bab iv hasil penelitian dan pembahasan 4.1 kondisi...
TRANSCRIPT
19
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Desa Moahudu
Desa Moahudu adalah bagian dari Kecamatan Tabongo Kabupaten
Gorontalo Provinsi Gorontalo yang berbatasan dengan sebelah Utara kecamatan
Limboto Barat, sebelah Selatan Desa Tabongo Barat, sebelah Timur Desa
Ilomangga, sebelah Barat Desa Limehe Barat dan Limehu. Luas wilayah Desa
Moahudu yaitu 450.34 Ha yang terdiri dari pemukiman/pekarangan 27.4 Ha,
persawahan 261.6 Ha, perkebunan 156 dan prasarana umum lainnya 5 Ha. Batas-
batas wilayah yang dikemukakan peneliti berdasarkan data profil Desa Moahudu.
Gambar 1. Pintu gerbang lokasi kerajinan keramik gerabah
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
Penduduk Desa Moahudu sebagian besar adalah penduduk asli yang
merupakan keturunan langsung dari leluhur yang lahir, besar dan juga hidup di
Desa tersebut. Pada tahun 2012 masyarakat Desa Moahudu terdiri dari 548 rumah
tangga dengan jumlah penduduk dewasa dan anak-anak total 1.978 jiwa yang
20
terdiri dari laki-laki 1.002 jiwa dan perempuan 976 jiwa. Tingkat pendidikan
terakhir penduduk Desa Moahudu sangat bervariasi seperti tampak pada tabel
berikut :
Tabel 1 Lulusan pendidikan terakhir masyarakat Desa Moahudu
No. Pendidikan
DUSUN
Jumlah
Jumlah
Tamat
Sekolah Moahudu Modelomo Ilomangga Manggulipa
1. Belum Sekolah /
Tidak Tamat 315 324 145 39 823 -
2. SD 174 139 85 34 432 432
3. SMP 144 161 118 8 431 431
4. SMA 67 91 64 38 260 260
5. D1-D3 4 5 - - 9 9
6. S1-S2 10 9 3 1 23 23
TOTAL KESELURUHAN 1.978 1.155
Sumber: Profil Desa Moahudu 2012
Dari tabel di atas dapat dilihat, bahwa sebagian besar masyarakat Desa
Moahudu menamatkan pendidikan SD 432 jiwa, dengan demikian jumlah
penduduk yang belum sekolah/ tidak tamat pendidikan SD juga sangat tinggi yaitu
823 jiwa. Melihat rendahnya pendidikan sebagian besar penduduk DesaMoahudu
yang berakibat pada terbatasnya kesempatan kerja yang bisa diraih dan kemudian
berdampak pada rendahnya pendapatan atau tingkat ekonomi masyarakat serta
lemahnya kemampuan masyarakat dalam meningkatkan mutu profesi yang
ditekuni khususnya sebagai pengrajin keramik gerabah.
21
Mengenai jenis mata pencaharian pokok penduduk Desa Moahudu secara
rinci diuraikan pada tabel berikut :
Tabel 2 Jumlah penduduk yang bekerja menurut lapangan kerja / usaha
No. Jenis Pekerjaan Jumlah
1. Tani 152 Orang
2. Buruh 269 Orang
3. Tukang kayu 14 Orang
4. Tukang mesel 9 Orang
5. Pedagang 21 Orang
6. Angkutan 11 Orang
8. TNI / POLRI 2 Orang
9. PNS 28 Orang
10. Tukang ojek / bentor 11 Orang
11. Jasa lainnya 26 Orang
JUMLAH TOTAL = 543 Orang
Sumber: Profil Desa Moahudu 2012
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduk Moahudu
bekerja sebagai buruh, namun data yang diperoleh seperti tercatat pada tabel di
atas tidak memberikan informasi yang memuaskan terkait dengan keberadaan
pengrajin keramik gerabah di Desa Moahudu. Pada tabel tersebut, data pengrajin
keramik gerabah tidak dikemukakan secara spesifik, sementara berdasarkan hasil
wawancara peneliti dengan TPL-IKM yang bekerja sama dengan
DISKOPERINDAG Provinsi Gorontalo kerajinan keramik gerabah Desa
Moahudu sudah terdaftar dan telah diketahui oleh pemerintah, yang termasuk
pada kerajinan sentra tungku dan gerabah (wawancara, Ervin Puluhulawa 21 Juli
2013).
22
Dilihat dari jumlah angkatan kerja berdasarkan data lulusan pendidikan
terakhir masyarakat Desa Moahudu tahun 2012 pada tabel sebelumnya yaitu
mencapai 1.155 jiwa. Dari jumlah tersebut yang telah bekerja berjumlah 543 dan
yang belum bekerja sebanyak 612 jiwa termasuk usia produktif dan tidak sedang
melanjutkan pendidikan.
Dari data penduduk di atas nampaknya jumlah penduduk yang tidak
bekerja lebih besar dari pada yang bekerja, dengan demikian di Desa Moahudu
lebih banyak pengangguran dibanding yang bekerja. Pengangguran tersebut
terkait dengan kerajinan keramik gerabah, berpotensi untuk direkrut menjadi
pengrajin gerabah.
4.2 Kondisi Pengrajin Keramik Gerabah di Moahudu
Kerajinan keramik gerabah di Desa Moahudu mulai ada sejak tahun 1996
produk yang dihasilkan berupa tungku. Kemudian pada tahun 2011, dengan
diadakan pelatihan oleh DISKOPERINDAG Provinsi Gorontalo pengrajin
keramik gerabah di Desa Moahudu telah mampu menghasilkan produk fungsional
seperti vas bunga, asbak, dan tempat pembakaran bara. Pelatihan itu diadakan
selama 2 minggu dengan instruktur yang di undang langsung dari Minahasa
Sulawesi Utara. Pada pelatihan itu mereka juga diberikan bantuan alat dan usai
pelatihan tiap peserta mendapat uang duduk dengan jumlah tertentu (wawancara,
Ervin Puluhulawa 21 Juli 2013).
Dari informasi tersebut, nampaknya perkembangan keramikgerabah di
Desa Moahudu tidak lepas dari dukungan pemerintah dalam bentuk pelatihan
serta berbagai dukungan lainnya.
23
4.2.1 Jumlah, Umur, dan Pendidikan Pengrajin Gerabah di Moahudu
Menurut Sudana (2011: 25), besaran jumlah pengrajin berpengaruh
terhadap kuantitas produk yang dihasilkan, semakin besar jumlah pengrajin yang
berproduksi maka semakin banyak pula kemungkinan produk yang bisa dibuat.
Berdasarkan penelitian, kelompok pengrajin gerabah di Desa Moahudu tercatat
jumlahnya 18 orang. Namun, dari ke-18 orang itu hanya sebagian yang masih
aktif yakni 13 orang dan justru yang tidak aktif adalah para pengrajin muda.
Mereka hanya terdaftar sebagai pengrajin ketika ada pelatihan dari pemerintah
dan setelah pelatihan selesai mereka bubar dan tidak menerapkan pengetahuan
yang mereka peroleh pada produk gerabah (wawancara, Ervin Puluhulawa 21 Juli
2013).
Dari penuturan Ervin Puluhulawa sebagai Tenaga Penyuluhan Lapangan di
Desa Moahudu, nampaknya para pengrajin yang berusia mudah tersebut hanya
memanfaatkan momen pelatihan yang diadakan pemerintah karena uang
duduknya saja. Mereka tidak berkeinginan untuk menjadi seorang pengrajin yang
di mata mereka pengrajin merupakan pekerja kotor dengan penghasilan yang
sedikit khususnya pada kerajinan keramik gerabah. Sementara para pengrajin
yang usia tua, harus terus bekerja menekuni profesinya demi memenuhi
kebutuhan hidup rumah tangga.
Informasi yang diperoleh peneliti dari Ervin Puluhulawa dan hasil
penelusuran peneliti, diketahui nama, umur, dan pendidikan dari pengrajin
keramik gerabah di Desa Moahudu yang masih aktif berproduksi. Dalam
kelompok pengrajin di Moahudu tidak ada suatu pembagian kerja, karena semua
24
proses pengerjaan keramik gerabah dilakukan oleh masing-masing pengrajin,
yaitu dari penggalian atau penyediaan bahan baku tanah liat, pembentukan atau
produksi, pembakaran, finishing dan sebagai penyalur atau penjual. Dalam artian,
dengan tidak adanya pembagian kerja yang dilakukan kelompok pengrajin di Desa
Moahudu dapat dikatakan bahwa secara profesional kelompok usaha kerajinan
keramik gerabah Moahudu belum terorganisir dengan baik.
Tabel 3 Jumlah, umur dan pendidikan pengrajin
No Nama Pengrajin Jenis Kelamin Umur Pendidikan Aktif/
Tidak aktif
1 Abas Husain Laki-laki 50 Tahun SD Aktif
2 Abd. Karim Puyo Laki-laki 50 Tahun SD Aktif
3 Adam Rajak Laki-laki 31 Tahun SD Aktif
4 Adam Diku Laki-laki 47 Tahun SD Aktif
5 Ali Demolingo Laki-laki 53 Tahun SD Aktif
6 Anwar Karim Laki-laki 25 Tahun SD Tidak aktif
7 Arfan Ahmad Laki-laki 35 Tahun SD Aktif
8 Aswin Ma’ruf Laki-laki 27 Tahun SD Aktif
9 Danial Abdullah Laki-laki 23 Tahun SD Tidak aktif
10 Hamzah Rajak Laki-laki 50 Tahun SD Aktif
11 Hidun Yusuf Laki-laki 27 Tahun SD Tidak aktif
12 Muhaidin Po’u Laki-laki 25 Tahun SD Tidak aktif
13 Nasir Demolingo Laki-laki 51 Tahun SD Aktif
14 Saiful Abdul Laki-laki 50 Tahun SD Aktif
15 Susanto Abdullah Laki-laki 29 Tahun SD Tidak aktif
16 Usman Husain Laki-laki 35 Tahun SD Aktif
17 Yasin Abdul Laki-laki 50 Tahun SD Aktif
18 Wahab Monoarfa Laki-laki 24 Tahun SD Tidak aktif
Sumber: Ervin Puluhulawa (wawancara, 21 Juli 2013).
Dari tabel di atas dapat dilihat jenis kelamin pengrajin merupakan kaum
laki-laki. Dapat dikatakan bahwa kelestarian kerajinan keramik gerabah di
Moahudu memang terletak pada keterampilan tangan kaum laki-laki. Keuletan
kaum laki-laki Moahudu untuk terus mengembangkan kerajinan keramik
gerabahnya hanya dapat diterapkan pada suatu produk tungku. Meskipun
25
demikian keahlian yang mereka miliki sudah patut dihargai sebagai suatu potensi
sumber daya manusia yang bersifat alami dengan demikian rasa kekhawatiran
timbul dibenak para pengrajin akan putusnya regenerasi penerus kerajinan
keramik gerabah, karena dapat dilihat dari kenyataannya laki-laki remaja di
Moahudu hanya aktif pada saat pelatihan.
Anggapan para remaja, meskipun mereka hanya aktif saat pelatihan, tetapi
untuk melanjutkan atau terus mengembangkan kerajinan keramik gerabah di Desa
Moahudu sudah tertanam dalam hati mereka, hanya saja untuk saat ini mereka
masih ingin fokus pada profesi sebagai abang bentor demikian yang diungkapkan
oleh ketua kelompok pengrajin (wawancara, Adam Radjak 06 April 2013).
Dilihat dari segi usia, para pengrajin yang masih aktif pada sentra
kerajinan keramik gerabah Moahudu rata-rata berusia 50 tahun ke atas. Menurut
Sudana (2011: 27) dalam produktifitas untuk melakukan berbagai kegiatan atau
pekerjaan, usia sangat berpengaruh pada kekuatan fisik seseorang. Sementara jika
dihitung dari usia produktif, semakin tua umur seseorang maka semakin
berkurang produktifitasnya.
Dengan demikian, jika dilihat dari faktor usia bisa dipastikan produktifitas
pengrajin keramik gerabah di Moahudu cukup rendah dan lemah dalam
berinovasi. Jadi sangat diperlukan upaya yang sungguh-sungguh agar dapat
menarik minat generasi muda dalam menekuni bidang tersebut, yang merupakan
factor penghambat dan permasalahan yang paling serius untuk pengembangan
kerajinan keramik gerabah di masa depan.
26
Chitaru Kawasaki (dalam Sudana, 2011: 27) menyarankan, bahwa untuk
membangkitkan kembali minat generasi muda pada kerajinan tradisional pertama
yang harus dilakukan adalah menumbuhkan kebanggaan, membangun rasa
percaya diri terhadap profesi pengrajin yang ditekuni, serta memupuk kesadaran
melalui bimbingan teknis dan desain yang telaten dan menantang.
Terkait dengan tidak difungsikannya alat pembuat keramik gerabah
bantuan pemerintah, faktor usia tidak menjadi satu-satunya penyebab tidak pernah
digunakannya peralatan meja putar kaki dengan tempat duduk tinggi bantuan yang
diberikan pemerintah Provinsi Gorontalo dikatakan oleh pengrajin yaitu Aswin
Maruf sebagai salah satu pengrajin (wawancara, 12 April 2013), meskipun pada
penggunaan alat terasa mudah oleh pengrajin tetapi sulit untuk bahan bakunya.
Dari kondisi itu juga bisa dianalisis, bahwa pemberian bantuan pada
pengrajin hanya memperhatikan segi kegunaan teknis dari peralatan itu, tanpa
mempertimbangkan kondisi fisik bahan baku tanah liat. Akibatnya peralatan
tersebut menjadi mubazir karena tidak sesuai dengan kondisi fisik bahan baku
tanah liat. Oleh karena itu pengrajin malah kembali pada produk tungku yang
sudah bertahun-tahun ditekuninya.
Dari segi pendidikan pengrajin tampak dari tabel di atas bahwa rata-rata
pengrajin berpendidikan (SD) yang dapat dikatakan tergolong rendah.rendahnya
tingkat pendidikan para pengrajin aktif itulah yang kemudian telah menciptakan
citra kurang baik dikalangan generasi muda yang beranggapan menjadi seorang
pengrajin tidak memerlukan pendidikan yang tinggi. Hingga akhirnya mereka
berpandangan yakni profesi seorang pengrajin gerabah hanya merupakan
27
pekerjaan bagi orang-orang yang putus sekolah dan cenderung pada kebodohan
serta kemiskinan.
Dapat ditegaskan dengan melihat citra pengrajin gerabah tersebut sehingga
para generasi muda beralih profesi ke pekerjaan yang lain. Chitaru Kawasaki
(dalam Sudana, 2011:28) mengatakan, bahwa kurangnya pendidikan para
pengrajin tradisional menyebabkan pewaris kerajinan tradisional di Indonesia
semakin berkurang dan akhirnya hilang sama sekali. Oleh sebab itu sangat
diperlukan pendidikan yang berkualitas bagi para pengrajin penerus agar mampu
melakukan inovasi teknologi, pengembangan produk baru, dan pembukaan rute
penjualan baru.
Jadi apabila dilihat dari segi pendidikan, dapat dikatakan kondisi pengrajin
keramik gerabah Moahudu juga dalam masalah yang serius. Pengrajin yang latar
pendidikan Sekolah Dasar, bahkan ada juga yang tidak sampai tamat sekolah yang
menyebabkan kurangnya wawasan yang dimiliki pengrajin dalam menentukan
suatu arah pengembangan profesi yang mereka tekuni. Sementara agar dapat
mengembangkan kerajinan keramik gerabah tradisional dan dapat mengikuti
kontekstualisasi zaman, diperlukan insan-insan pengrajin dengan pendidikan
berkualitas dan sesuai dengan profesi yang mereka jalankan, seperti jenjang
pendidikan menengah. Rendahnya pendidikan pengrajin gerabah di Moahudu
akibatnya mereka terjebak dalam rutinitas kerja yang turun-temurun dengan
variasi produk lama, yang bentuk dan fungsinya kurang diminati konsumen.
Mereka tidak pernah memikirkan untuk melakukan perbaikan produk yang
bermutu dan inovasi untuk menarik minat konsumen.
28
Agar permasalah tersebut dapat teratasi perlu dilakukan dorongan pada
generasi muda khususnya di Desa Moahudu sehingga mereka dapat mewarisi
kerajinan keramik gerabah juga dapat menempuh pendidikan yang lebih tinggi
dan relevan yaitu melalui, beasiswa yang diberikan oleh pemerintah bagi mereka
yang memiliki bakat dan berkeinginan untuk sekolah. Tidak hanya pada
pendidikan saja tetapi juga dapat mengatasi masalah umur, dan jumlah pengrajin
yang semakin langka sehingga dengan sendirinya kita akan mampu meningkatkan
citra pengrajin yang awalnya dikenal hanya orang tua, tidak berpendidikan, dan
miskin, yang akhirnya dapat digantikan oleh generasi muda yang berpendidikan
dan memiliki masa depan dengan demikian profesi sebagai seorang pengrajin
akan lebih diminati oleh berbagai kalangan (Sudana, 2011: 29).
Dari pembahasan mengenai kondisi pengrajin keramik gerabah di Desa
Moahudu, dari jumlah, umur, dan pendidikan, telah ditemukan beberapa
permasalahan yang menyangkut jumlah pengrajin aktif sangat terbatas dan mulai
berkurang; umur pengrajin yang sudah mulai memasuki usia tua (tidak produktif);
serta pendidikan pengrajin yang tergolong rendah. Sementara potensi yang
terdapat pada pengrajin yaitu adanya semangat kerja yang tinggi meskipun
diantara mereka banyak pengrajin yang sudah berusia lanjut, dan berpendidikan
rendah dengan keterampilan mereka dapat membuat keramik gerabah yang cukup
memadai. Potensi dan permasalahan yang telah ditemui inilah yang kemudian
perlu dipertimbangkan oleh para pihak untuk peningkatan sumber daya manusia
yang dapat mendukung pengembangan sektor kerajinan keramik gerabah.
29
4.2.2 Persepsi Pengrajin tentang Profesinya
Persepsi pengrajin terkait dengan pekerjaan dan masa depannya menurut
salah satu pengrajin keramik gerabah di Desa Moahudu yaitu Nasir Demolingo
(wawancara, 01 Juni 2013) bahwa, pekerjaan yang mereka tekuni pada saat ini
hanya merupakan keterpaksaan saja melihat sempitnya lapangan pekerjaan dan
rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki pengrajin. Para pengrajin tidak pernah
memikirkan variasi produk untuk pengembangan kedepannya. Asalkan sudah
dapat membantu mencukupi kebutuhan hidup keluarga, meskipun disisi lain
penghasilan tersebut tidak mampu untuk membiayai pendidikan anak-anak
mereka. Oleh karena itu anak-anak mereka diajak ikut serta membantu dalam
memproduksi keramik gerabah mulai dari persiapan alat dan bahan sampai
dengan pembakaran.
Mengenai persepsi pengrajin di Desa Moahudu tentang profesinya untuk
membuat kerajinan keramik gerabah khususnya jenis tungku diperoleh informasi
dari ketua kelompok pengrajin yang mewakili para pengrajin lainnya bahwa,
penghasilan yang mereka peroleh rata-rata Rp. 20.000 per hari dan pengrajin
menganggap penghasilan tersebut cukup untuk kebutuhan sehari-hari (Adam
Radjak, wawancara 06 April 2013). Jika dihitung dari penghasilan pengrajin
perharinya sekitar Rp. 20.000 dan diakumulasi menjadi Rp. 600.000 perbulan.
Dibandingkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Gorontalo tahun
2012 sebesar Rp. 1.750.000 (http://www.hrcentro.com/umr/gorontalo), maka
penghasilan pengrajin Moahudu termasuk sangat rendah.
30
Menurut penuturan Adam Radjak 31 tahun (wawancara, 06 April 2013)
bahwa, jumlah penghasilan tersebut tidak tetap tergantung dari hasil produk yang
laku perharinya. Laku tidak laku produk tersebut mereka tetap melakukan
produksi, karena biasanya juga dalam perhari produk yang laku bisa mencapai
antara 10-20 unit. Selain itu pekerjaan yang mereka jalani saat ini hanya
merupakan suatu pelarian karena sempitnya lapangan pekerjaan bagi mereka yang
tingkat pendidikannya Sekolah Dasar. Jadi pengrajin tidak terlalu khawatir dengan
laku tidaknya produk yang mereka jual, yang penting untuk makan sehari-hari
sudah dapat terpenuhi. Oleh sebab itu, para pengrajin belum berniat untuk
meninggalkan pekerjaan mereka sebagai pengrajin keramik gerabah. Para
pengrajin hanya bisa bersyukur dengan apa yang mereka peroleh dari pekerjaan
yang mereka tekuni dengan penuh kesabaran.
Berdasarkan informasi tersebut, persepsi pengrajin mengenai penghasilan
pekerjaannya merupakan suatu nasib yang perlu disyukuri. Penghasilan yang
mereka dapat hanya digunakan untuk kebutuhan yang penting-penting saja. Oleh
karena itu mereka tetap merasa nyaman dengan pekerjaan dan penghasilan yang
demikian itu. Tetapi tidak menutup kemungkinan jika nanti ada pekerjaan yang
lebih layak dari profesi yang mereka jalankan saat ini maka mereka akan beralih
ke profesi tersebut.
Dari hasil wawancara tersebut dapat dikatakan bahwa keterpaksaan
pekerjaan yang dialami pengrajin karena disebabkan tidak adanya lapangan
pekerjaan yang dapat menampung mereka yang hanya memiliki tingkat
pendidikan Sekolah Dasar. Wawasan pengrajin sangat terbatas mengenai
31
pengembangan produk yang mereka hasilkan. Mereka belum berfikir mengenai
inovasi produk yang dapat menjangkau pasar yang lebih luas. Para pengrajin juga
belum mampu mengarahkan usahanya dengan pengelolaan manajemen yang baik.
Oleh sebab itu, dalam pengembangan kerajinan keramik gerabah Desa Moahudu
harus disertai dengan perubahan persepsi pengrajin mengenai profesinya dengan
cara membekali para pengrajin dengan kemampuan menciptakan inovasi-inovasi
baru pada produk yang akan dihasilkan.
4.3 Bahan Baku Keramik Gerabah Di Desa Moahudu
Berdasarkan data dan pengamatan langsung oleh peneliti, Desa Moahudu
sebagian besar tergolong lahan basah atau lembab yang merupakan wilayah
persawahan dan perkebunan yang terdapat tanah liat, sehingga berpotensi sebagai
bahan baku keramik gerabah. Dengan demikian, dari kondisi alam Desa Moahudu
telah memberi peluang untuk tumbuhnya kerajinan keramik gerabah dan tungku
di Desa tersebut.
Telah disebutkan sebelumnya, bahwa di Desa Moahudu bahan baku tanah
liat dari awal proses penggalian tanah, pengolahan tanah yang siap dibentuk,
pengeringan dan pembakaran, serta sampai pada proses pemasaran dilakukan
secara individu oleh para pengrajin. Masing-masing tahapan proses tersebut
diuraikan sebagai berikut:
4.3.1 Pengambilan Tanah Liat
Bahan baku tanah liat yang digunakan oleh para pengrajin keramik
gerabah di Desa Moahudu terdiri dari tiga warna, yaitu coklat, putih, dan hitam
seperti yang diurai pada gambar berikut ini :
32
Gambar 2. Bahan baku tanah liat di Desa Moahudu
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
Pengambilan bahan baku tanah liat dilakukan di areal persawahan yang
memiliki jarak tempuh yang berbeda yaitu tanah coklat berjarak 10 m dan tanah
liat putih hitam berjarak 50 m dari tempat tinggal pengrajin. Selain jarak tempuh,
cara penggalian tanah pun berbeda. Tanah coklat diambil pada dataran tanah
bagian atas sementara tanah liat putih hitam diambil pada lapisan tanah yang
kedalamannya sekitar 20 cm. Lokasi pengambilan lapisan tanah putih dan hitam
saling berdekatan.
Gambar 3. Lapisan tanah liat putih dan tanah liat hitam
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
Pengambilan tanah liat dilakukan oleh pengrajin sendiri, biasanya dengan
menggunakan ranting pohon atau sekop untuk menggali tanah yang kemudian
diangkut menggunakan karung atau tas plastik sampai ketempat pengrajin
berproduksi. Dalam menentukan warna dari tanah liat tersebut, para pengrajin
Coklat Putih Hitam
33
hanya melihat warna dasar yang ada pada tanah. Penentuan kualitas tanah liat para
pengrajin hanya memijit gemburan tanah yang dikepal di telapak tangan, apabila
tanahnya tidak terlalu lengket dan tidak banyak bercampur kerikil tanah tersebut
dianggap baik untuk keramik gerabah (Adam Radjak, wawancara 12 April 2013).
Gambar 4. Persawahan lokasi pengambilan tanah liat
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
Berdasarkan hasil pengamatan peneliti, bahan baku tanah liat yang
digunakan oleh pengrajin diambil pada sawah produktif yang masih ditanami
padi. Cara pengambilannyadengan melihat kehalusan tanah dan bagian-bagian
tanah yang subur dipisahkan. Sementara untuk penggalian tanah liat sering
dilakukan pengrajin pada pinggiran-pinggiran sawah, kemudian akan membekas
menjadi suatu lekukan tanah galian yang nantinya akan kembali diurai atau
ditutupi oleh lumpur dan air hujan sehingga menjadi rata serta dapat dipergunakan
kembali (Nasir Demolingo, wawancara 01 Juni 2013).
Dari keterangan yang disebutkan pengrajin, rupanya penentuan kualitas
tanah yang baik hanya didasarkan pada pengalaman secara turun temurun. Teknik
34
pengambilan tanah liat yang dilakukan pengrajin merupakan pengetahuan alami
yang potensial untuk diturunkan pada generasi berikutnya guna mengembangkan
kerajinan keramik di Desa Moahudu.
Teknik pengambilan tanah liat yang dilakukan oleh para pengrajin tidak
menyebabkan kerusakan lingkungan atau menghilangkan kesuburan tanah,
sehingga lahan persawahan dan perkebunan, masih tetap produktif.
Menurut Suwardono (2002: 11) apabila akan menggunakan lahan sawah
atau kebun yang masih subur, sebaiknya penggaliannya diatur. Lapisan tanah
bagian atas yang merupakan lapisan tanah yang subur hendaknya
dipisahkan/disimpan dan tidak dipergunakan sebagai bahan lempung untuk
keramik. Setelah penggalian pada suatu areal dianggap habis, tubuh tanah yang
dipisahkan tadi dikembalikan atau untuk menguruk bekas galian-galian.
Sehinggaareal tersebut akhirnya tetap bisa dipergunakan sebagai lahan pertanian
atau perkebunan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, dari ketersediaan bahan baku
cukup melimpah, dan berpotensi untuk pengembangan kerajinan keramik gerabah
di Desa Moahudu, karena untuk hasil penggalian tanah tersebut tidak merusak
lingkungan dan tidak mengganggu pemukiman pengrajin. Untuk pengambilan
tanah liat oleh pengrajin, dampaknya dapat memperluas area persawahan yang
nantinya akan ditanami kembali bibit-bibit padi yang baru. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan bekas-bekas penggalian pengrajin yang berada pada pinggiran-
pinggiran sawah. Untuk itu dapat dikatakan bahwa dengan adanya kerajinan
keramik gerabah, potensi alam yang ada telah termanfaatkan dengan baik.
35
4.3.2 Jenis dan Karakteristik Lempung Moahudu
Telah diuraikan secara singkat di atas, bahwa lempung yang digunakan
pengrajin keramik gerabah di Desa Moahudu diambil dari persawahan. Menurut
Suwardono (2002: 21), dari tempat pengambilannya dapat dikatakan lempung
tersebut adalah jenis lempung rawa yaitu lempung yang mengendap di rawa yang
berwarna hitam. Lempung rawa Moahudu ini sangat berbeda dengan lempung
yang lainnya, misalnya lempung residual yakni lempung yang belum berpindah
dari tempat asalnya, lempung illuvial yaitu lempung yang berada tidak jauh dari
tempat asalnya, lempung alluvial (lempung endapan sungai), lempung danau, dan
lempung marin yang terdapat dipinggir laut.
Dari hasil pengujian tanah liat atau lempung yang dilakukan oleh peneliti
hanya salah satu jenis tanah yang dapat diuji keplastisan dan teksturnya yaitu
tanah liat yang warnanya coklat. Sementara untuk tanah liat yang warna hitam dan
putih lama pengendapannya sudah sampai 4 minggu airnya tidak naik ke atas dan
tanahnya tidak turun mengendap. Tanah liat dan air menyatu seperti agar-agar.
Dapat disimpulkan bahwa tanah liat yang berwarna hitam dan putih adalah jenis
tanah yang masih sangat produktif. Jadi jenis tanah liat ini tidak dapat digunakan
untuk kerajinan gerabah yang bervariasi kecuali tungku, karena masih banyak
mengandung kotoran (humus).
36
Gambar 5. Tanah liat saat diendapkan
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
Setelah diolah karakteristik alami lempung yang warna coklat berdasarkan
hasil eksperimen dan uji manual saat ditekan lempungnya tidak lengket dijari,
tetapi saat dipatahkan hasilnya kurang plastis. Lain halnya dengan tekstur
lempung saat diamati dan uji manual dilokasi pengambilan tanahnya yaitu bersifat
lunak, lembab dan plastis, berbentuk warna berlapis, kemudian bertekstur lembut
dan lengket ditangan.
Berdasarkan karakteristik tekstur dan keplastisan dari tanah liat Moahudu,
dari uji manual yang dilakukan peneliti menunjukkan bahwa: 1) tekstur tanah
bersifat halus karena saat dipotong dengan kawat atau bendrat tidak terdapat
kerikil penghambat tetapi mengandung pasir; 2) keplastisan tanah liat bersifat
“sedikit plastis”, karena tanah liat hanya dapat dibengkokkan menjadi ½ lingkaran
saja selebihnya akan terjadi keretakan atau patah. Sebab menurut Suwardono
(2002: 25) tanah liat yang baik digunakan untuk bahan keramik gerabah adalah
tanah liat yang mempunyai sifat “plastis” yaitu dapat dibengkokkan menjadi
sebuah lingkaran penuh tanpa terjadi keretakan; 3) dilihat dari kadar air tergolong
“sudah cukup”, karena dari hasil uji tanah liat saat ditekan tidak melengket pada
37
jari dan cetakannya nampak. Dari hasil pengujian kadar air tersebut sifat
keplastisan tanah liat sudah memungkinkan untuk bisa dibentuk, sebab menurut
Suwardono (2002: 24) sifat plastis timbul apabila tanah liat ditambah air pada
kadar yang tepat. Jadi jika tergolong “belum cukup air” maka saat tanah liat
ditekan tidak nampak cetakan jari dan jika tergolong “terlalu banyak air” saat
tanah liat ditekan hasil cetakan tidak beraturan serta banyak melengket dijari.
Gambar 6. Cara pengujian keplastisan tanah liat
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
Terkait dengan karakteristik tanah liat Moahudu yang telah diuraikan
diatas hanya merupakan sifat-sifat yang diamati secara fisik. Sementara sifat lain
yang menyangkut sifat fisika, sifat kimia, dan kandungan mineral lainnya yang
memerlukan uji laboratorium sama sekali belum terungkap. Oleh karena itu,
masih perlu penelitian selanjutnya untuk mengungkap karakteristik dan potensi
lempung Moahudu, terutama dengan melakukan uji laboratorium bahan baku
yang bersifat standar.
38
4.4 Proses dan Teknologi Produksi Keramik Gerabah Di Desa Moahudu
Proses produksi yang dilakukan oleh pengrajin keramik gerabah di Desa
Moahudu saat diamati dilapangan, setelah pengambilan tanah liat, terdiri dari
beberapa tahapan yaitu: pengolahan tanah liat, pembentukan, pengeringan,
pembakaran, pengecetan keramik gerabah serta pemasaran. Proses tahapan
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 7. Bagan alur proses pembuatan keramik gerabah di Desa Moahudu
Pengolahan tanah liat
Tanah liat warna
hitam
Tanah liat warna
putih
Tanah liat warna
coklat
Pembentukan
Pengeringan
Pembakaran
Pengambilan bahan
baku
(tanah liat)
Teknik
Putar Teknik
Cetak
Finishing
39
4.4.1 Persiapan dan Pengolahan Bahan Baku
Pengolahan bahan baku yang dilakukan pengrajin keramik gerabah di
Desa Moahudu tergolong sangat sederhana tanpa peralatan yang memadai.
Bongkahan tanah liat kering ditumbuk menggunakan kayu pohon, kemudian
dipindahkan ke dalam wadah dengan mencampurkan sedikit demi sedikit air
sambil dipijit-pijit dan membersihkan kerikil serta kotoran lainnya. Proses
tersebut dilakukan sampai tanah liat dapat diperkirakan sudah agak plastis.
Gambar 8. Proses pengolahan bahan baku tanah liat hasil bimtek di Moahudu
Foto: Ervin Puluhulawa, 2011
Hasil pengolahan tersebut belum dapat dikatakan sudah bisa dibentuk,
karena kandungan airnya masih ada sehingga terlalu encer. Oleh karena itu, tanah
liat yang telah selesai diolah disimpan dalam plastik selama 2 hari dan
dihindarkan dari sinar matahari serta air hujan. Pengendapan tersebut bertujuan
agar tanah liat yang sudah diolah dapat menghasilkan kepadatan dan keplastisan
sehingga mudah dibentuk. Banyaknya tanah yang akan diolah tergantung pada
kebutuhan tanah yang akan pengrajin gunakan (Yasin Abdul, wawancara 07 April
2013).
40
Teknik pengolahan yang dilakukan oleh para pengrajin di Desa Moahudu
merupakan hasil bimtek pada tahun 2011. Tapi saat ini teknik tersebut sudah tidak
digunakan lagi, karena menurut mereka proses tersebut selain lama juga
merugikan waktu produksi yang sudah mereka tentukan. Akhirnya para pengrajin
kembali pada proses pengerjaan yang terdahulu yaitu pengambilan tanah liat dari
areal persawahan, kemudian pengendapan tanah yang dilakukan pada bak yang
terbuat dari susunan batu bata dan campuran semen yang berukuran 3 x 2m.
Pengendapan dilakukan selama ± 1-2 hari dan setiap jam pengendapan tersebut
diaduk menggunakan pacul atau sekop agar tanah yang diendapkan cepat larut
dalam air. Setelah tanah liat larut dengan air, tanah liat tersebut dipindahkan
sekaligus disaring pada bak selanjutnya yang bertujuan untuk membersihkan
tanah liat dari kerikil dan akar-akar tumbuhan serta kotoran lainnya. Dari hasil
saringan tanah liat tersebut, dicampur dengan abu kulit padi sisa pembakaran
keramik gerabah.
Gambar 9. Proses pengolahan bahan baku tanah liat di Moahudu
Foto: Erna A.Van Gobel, 2013
Informasi wawancara tersebut, menjelaskan bahwa pengolahan tanah liat
yang dilakukan pengrajin Moahudu merupakan proses turun temurun dan mudah
41
dikerjakan serta tidak memakan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan
proses yang mereka dapat saat bimtek. Jadi dapat dikatakan bahwa, pengrajin
Moahudu mempunyai potensi dalam penyediaan bahan baku dengan teknik
mereka sendiri, meskipun hanya dengan peralatan seadanya. Sementara
permasalahannya yaitu hasil upaya pemerintah untuk mendukung keberhasilan
kerajinan keramik gerabah melalui bimtek tidak mendapat respon yang baik dari
para pengrajin.
4.4.2 Proses Pembentukan
Para pengrajin gerabah di Desa Moahudu dalam teknik pembuatan
kerajinan keramik gerabah menggunakan teknik putar dan teknik cetak. Terkait
dengan peralatan produksi, para pengrajin memanfaatkan peralatan meja putar
sederhana.
a. Peralatan Proses Pembentukan
Peralatan pokok yang digunakan pengrajin keramik gerabah Moahudu
adalah sebagai berikut :
Tabel 4 Jenis dan fungsi peralatan pembuatan keramik gerabah
No. Jenis Peralatan Fungsi
1. Meja putar kaki Sebagai pembentuk benda bulat dan silindris.
2. Mal kayu Digunakan hanya untuk membuat tungku memasak
3. Ember Tempat air untuk membasahkan tanah dan sebagai
pencucian tangan agar benda yang dibentuk terasa halus.
4. Kawat Untuk memotong tanah liat
5. Kayu rotan Membuat cekukan pada benda gerabah.
6. Kain Pengalas tangan saat menghaluskan dan membentuk bodi
atau dinding gerabah.
7. Pisau Membuat lubang pada tungku
8. Sendok plastic Penghalus dinding tungku pada bagian dalam
9. Sendok aduk Penghalus dinding tungku pada bagian luar
Sumber: Aswin Maruf
42
Dilihat dari tabel di atas, peralatan pembentuk keramik gerabah yang
digunakan oleh para pengrajin Moahudu masih sangat sederhana yang bahannya
terbuat dari kayu tanpa menggunakan mesin otomatis, untuk digerakkan cukup
dengan menggunakan bantuan kaki saja. Dari peralatan yang sederhana tersebut
ternyata tidak menjadi suatu masalah atau kendala bagi para pengrajin keramik
gerabah untuk terus mempertahankan variasi jenis produk yang sudah lama
mereka produksi. Selama konsumen atau pasar belum terlalu menginginkan jenis
produk yang bervariasi dan berkualitas para pengrajin pun akan bertahan pada
variasi-variasi produk tertentu saja khusunya pada tungku. Dengan demikian,
kurangnya kretifitas dan pengetahuan para pengrajin mengenai pekerjaan yang
ditekuni pada bidangnya akan mudah tertinggal dengan seiring berjalannya waktu.
Pada tahun 2011 pemerintah daerah Gorontalo memberikan bantuan alat
putar melalui DISKOPERINDAG Provinsi Gorontalo. Bantuan alat yang
diberikan sangat membantu para pengrajin dalam membuat benda gerabah dengan
berbagai jenis, tetapi sebaliknya peralatan tersebut justru sudah tidak digunakan
lagi.
Gambar 10. Peralatan meja putar kaki
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
43
Menurut Adam Radjak, yaitu ketua kelompok pengrajin gerabah Moahudu
peralatan meja putar tersebut digunakan hanya pada saat pelatihan yang diadakan
oleh DISKOPERINDAG yang mendatangkan instruktur keramik gerabah
langsung dari Minahasa Sulawesi Utara. Setelah pelatihan selesai para pengrajin
sudah tidak membuat keramik gerabah lagi mereka malah kembali memproduksi
jenis tungku. Menurutnya, para pengrajin beralasan bahwa tanah liat atau lempung
yang mereka gunakan tidak dapat dibentuk menjadi suatu benda keramik gerabah
(wawancara, 07 Juli 2013).
Dari informasi yang disampaikan oleh Adam Radjak menunjukkan bahwa,
ketersediaan peralatan terkadang tidak secara langsung menjamin hadirnya
produk-produk berkualitas tanpa didukung oleh pengetahuan dan keterampilan
yang memadai. Sementara upaya pemerintah dalam mengusahakan bentuk
bimbingan teknis dalam bentuk pelatihan tidak menjadi suatu dorongan bagi para
pengrajin yang tidak aktif. Terkesan mereka hanya memanfaatkan uang duduk
yang didapat dari mengikuti pelatihan tersebut.
b. Tahapan Pembentukan
Terkait dengan tahap pembentukan kerajinan keramik gerabah yang ada di
Desa Moahudu, menurut Aswin Maruf (wawancara, 12 April 2013) para pengrajin
menggunakan teknik putar untuk membuat jenis gerabah yang berbentuk silinder
atau simetris seperti vas bunga, asbak, guji dan lain-lain. Sementara, untuk jenis
tungku pengrajin menggunakan teknik cetak. Padahal pembentukan produk
keramik gerabah dikenal beberapa macam teknik yaitu, 1) teknik pilin yang
merupakan cara membentuk benda keramik melalui penyusunan pilinan atau
44
gulungan-gulungan lempung yang menyerupai tali; 2) teknik pijit (pinching)
merupakan cara membentuk dengan memijit tanah menggunakan tangan sesuai
bentuk yang diinginkan; 3) teknik seleb merupakan cara membentuk benda
gerabah dengan menggunakan lempengan lempung (seleb); 4) teknik cetak
merupakan cara membentuk benda gerabah dengan menggunakan cetakan; 5)
teknik putar merupakan cara membentuk benda gerabah dengan memanfaatkan
alat putaran (tangan atau kaki, mesin atau manual). Pengaplikasian beragam
teknik pembentukan tersebut akan menghasilkan berbagai variasi bentuk gerabah
(Sudana, 2011: 49).
Dari hasil wawancara dengan Aswin Maruf tersebut, nampaknya para
pengrajin hanya menguasai dua teknik saja yaitu teknik putar dan teknik cetak.
Hal tersebut dibuktikan dengan jenis produk yang mereka hasilkan hanya berupa
vas bunga, asbak, tempayan, guci dan tungku.
Pembentukan dengan teknik putar berawal dari pengrajin menyiapkan
tanah lempung yang dibentuk menjadi bola-bola tanah atau bulatan tanah yang
disesuaikan dengan besar kecil ukuran gerabah yang akan dibuat. Proses
pengerjaannya sebagai berikut :
1. Bulatan tanah diletakkan ditengah-tengah daun putaran, daun putaran diputar
dengan tangan kiri kearah kebalikan jarum jam dan jari-jari tangan kanan
menekan bola-bola tanah pada titik pusatnya agar tetap di tengah-tengah.
Penekanan tanah diatur kekuatan tanahnya dengan ibu jari tangan kanan,
sehingga sedikit demi sedikit membentuk lubang sampai kira-kira 1 cm dari
dasar dan tarik ke atas mengikuti tangan sampai lubang menjadi besar.
45
Menurut Aswin Maruf jika tanah yang dibentuk terasa agak kering atau pecah-
pecah, teteskan sedikit air atau dengan membasahi tangan.
2. Pada bagian dinding gerabah sedikit demi sedikit ditarik ke atas dengan cara
menghimpitkan jari-jari pada bagian dalam benda gerabah yang sedang
dibentuk dan diimbangi dengan jari-jari lain di luar benda, sejajar dengan jari-
jari bagian dalam benda. Setelah itu untuk menghaluskan bagian bibir gerabah
digunakan secarik kain basah, kemudian dasarnya diratakan. Pada saat benda
gerabah yang dibuat sudah terasa agak kering maka dipotong dengan kawat
yang dapat mempermudah saat mengangkat atau memindahkan gerabah
tersebut.
Gambar 11. Pembuatan bentuk produk gerabah
Foto: Ervin Puluhulawa, 2011
3. Vas bunga diletakkan dalam keadaan terbalik, tegak lurus ditengah-tengah
daun putaran. Kemudian bentuk luar kaki dan bentuk kaki bagian dalam
disempurnakan. Setelah dibentuk, vas bunga diambil dari daun putaran untuk
diangin-anginkan dan selanjutnya dijemur sampai kering.
46
Pada proses diatas telah menjelaskan tahapan pembentukan keramik
gerabah dengan teknik putar yang menghasilkan jenis produk yang berbentuk
silinder atau simetris. Berikutnya proses pembentukan keramik gerabah jenis
tungku dengan teknik cetak :
1. Siapkan terlebih dahulu cetakkan yang akan digunakan untuk pembuatan
jenis tungku yaitu terbuat dari kayu cempaka atau kayu pohon mangga,
kemudian masukkan adonan lempung tanah liat yang telah diolah kedalam
cetakkan dan ditekan menggunakan pemberat atau batu agar hasil cetakannya
padat selama ± 3 hari.
Gambar 12. Proses pembuatan jenis tungku
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
2. Setelah itu keluarkan alat cetakan tersebut dan dilanjutkan dengan membuat
lubang menggunakan pisau, lalu keluarkan hasil potongan pada lubang
47
dengan sendok aduk kemudian haluskan menggunakan sendok plastik. Proses
ini dilakukan selama 1 hari penuh.
3. Proses berikutnya pengeringan yang dilakukan selama ± 2 hari dengan cara
diangin-anginkan.
Melihat serangkaian tahapan pembentukan yang dilakukan pengrajin
Moahudu ternyata mereka mampu menghasilkan jenis produk fungsional dengan
menggunakan dua teknik saja.
4.4.3 Proses Pengeringan
Proses selanjutnya setelah pembentukan adalah pengeringan.Menurut
Yasin Abdul (wawancara, 07 April 2013), pengeringan diawali dari diangin-
anginkan terlebih dahulu, kemudian dijemur dibawah sinar matahari selama ± 2-3
hari. Benda-benda keramik gerabah diatur pada halaman belakang rumah
menggunakan alas berupa papan dan karung yang mudah menyerap air.
Gambar 13. Pengeringan keramik gerabah
Foto: Ervin Puluhulawa, 2011
Proses pengeringan yang dilakukan para pengrajin di Desa Moahudu
bertujuan menurunkan kadar air agar keramik gerabah lebih padat, sehingga tidak
mudah retak dan pecah pada saat dilakukan pembakaran.
48
4.4.4 Proses Pembakaran
Proses pembakaran keramik gerabah di Desa Moahudu dapat dilihat
sebagai berikut:
a). Tungku Pembakaran
Gambar 14. Tempat pembakaran keramik gerabah
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
Para pengrajin keramik gerabah yang ada di Desa Moahudu biasanya
melakukan pembakaran di tempat yang terbuka seperti perkebunan atau ladang
yang ada dibelakang rumah penduduk, hal ini dilakukan karena mereka belum
memiliki tungku pembakaran yang khusus. Menurut Suwardono dalam Sudana
(2011: 56), suatu tempat pembakaran berupa tanah lapang yang sesungguhnya
tidak ada wujudnya disebut tungku ladang. Dibandingkan dengan jenis-jenis
tungku lainnya seperti tungku botol, tungku api terbalik, dan tungku bak, tungku
ladang tergolong tungku yang masih sangat primitif dan paling tradisional. Teknik
pembakaran dengan tungku ladang termasuk teknologi yang paling rendah
kualitasnya.
Dilihat dari tungku pembakarannya, hasil pembakaran keramik gerabah
Desa Moahudu tergolong berkualitas rendah, karena pembakaran yang dilakukan
49
dengan tungku ladang hanya dapat menghasilkan suhu pembakaran dibawah
500°C, sedangkan untuk dapat menghasilkan kualitas keramik gerabah yang baik
harus mencapai suhu pembakaran 900-950°C. Oleh karena itu, untuk
menghasilkan suhu yang dimaksud, para pengrajin keramik gerabah Moahudu
minimal harus mempunyai tungku bak. Jadi dalam hal tungku pembakaran,
teknologi yang diterapkan oleh pengrajin keramik gerabah Desa Moahudu masih
tergolong lemah atau bermasalah. Tapi meskipun demikian kelemahan dan
keterbatasan teknologi tidak menjadi penghambat bagi para pengrajin untuk tetap
semangat bekerja. Terkait dengan kualitas pembakaran, produk keramik gerabah
yang mereka hasilkan tidak pernah terjadi komplein dari konsumen yang
membeli, namun dengan demikian para pengrajin perlu menyediakan tungku yang
lebih baik untuk pengembangan pembakarannya nanti.
b). Bahan Bakar
Pada bahan bakar, para pengrajin Moahudu sering memanfaatkan sekam
padi. Untuk memperoleh sekam padi pengrajin harus datang ketempat orang yang
sedang panen padi kemudian mengepulnya langsung menggunakan karung,
biasanya juga langsung diantar dengan gerobak atau mobil ketempat pengrajin.
Dengan memanfaatkan sekam padi tersebut para pengrajin sudah dapat membantu
mengatasi dan mengurangi limbah yang ada disekitar masyarakat. Dari jenis
bahan bakar sekam padi ini dapat menghasilkan nyala api yang besar sehingga
mampu menghasilkan bara api yang cukup lama untuk menyimpan dan
meningkatkan suhu bakar pada keramik gerabah.
50
Gambar 15. Bahan bakar yang digunakan pengrajin gerabah Moahudu
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
Dilihat dari bahan bakar yang dimanfaatkan oleh pengrajin Desa Moahudu
untuk membakar gerabah hasilnya sudah cukup memadai, meskipun bahan bakar
sekam padi sudah cukup baik digunakan pada pembakaran keramik gerabah
Moahudu namun sangat penting untuk menggunakan bahan bakar lainnya seperti
minyak tanah, solar dan gas.
c). Penyusunan Gerabah yang akan dibakar
Sebelum proses pembakaran, para pengrajin Moahudu menyusun terlebih
dahulu keramik gerabah yang akan dibakar agar saat pembakaran nanti panasnya
merata, kemudian pada bagian atas keramik gerabah yang sudah disusun ditutupi
dengan sekam padi. Keramik gerabah ditempatkan secara teratur dengan jarak
5cm agar dapat memudahkan masuknya api ke celah-celah keramik gerabah yang
dibakar.
Dari cara penyusunan yang dilakukan oleh para pengrajin keramik gerabah
di Desa Moahudu, saat diamati langsung oleh peneliti memang sangat tradisional
tanpa ada pengetahuan teori yang mendasar. Mereka mampu melakukannya hanya
dengan berdasarkan teknik yang mereka ketahui.
51
d). Pembakaran
Pada pembakaran, sebelum menyalakan api terlebih dahulu gundukan kulit
padi yang telah menutupi keramik gerabah dituangkan sedikit minyak tanah
kemudian dinyalakan. Proses pembakaran berlangsung selama ± 2 jam. Selama
pembakaran berlangsung pengrajin selalu mengawasi api dan membenahi
gundukan kulit padi yang mulai menjadi bara agar bisa masuk ke celah-celah
bagian keramik gerabah yang sementara dibakar.
Menurut Yasin Abdul, seorang pengrajin yang telah berpengalaman dalam
membakar, tujuan dari mengawasi nyalanya api yaitu untuk mempertahankan bara
api agar menyala lebih lama dan dapat mempertahankan panas suhu dalam
pembakaran. Diharapkan dengan cara inilah hasil pembakaran yang dilakukan
bisa lebih baik dan merata (wawancara, 07 April 2013).
Dari penuturan Yasin Abdul, nampaknya para pengrajin mempunyai
teknik sendiri untuk meningkatkan kualitas produk yang mereka hasilkan dari
proses pembakaran. Semangat para pengrajin tersebut merupakan potensi yang
ada pada diri mereka, dan akan lebih baik lagi jika mereka mendapat pendidikan
dan pelatihan serta fasilitas yang memadai demi pengembangan usaha kerajinan
keramik gerabah di Desa Moahudu.
52
Gambar 16. Proses pembakaran keramik gerabah
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
Dalam melihat kematangan keramik gerabah yang dibakar, para pengrajin
mencermati dari warnanya yang agak kemerahan dan berbunyi nyaring saat
diketuk. Dari hasil wawancara peneliti saat di lapangan, ternyata mereka sangat
jarang mengalami produk yang gagal produksi atau gagal pembakaran Nasir
Demolingo (wawancara, 01 Juni 2013). Hal tersebut dapat dilihat dari meratanya
hasil pembakaran yang mereka lakukan.
4.4.5 Finishing
Proses terakhir finishing yang dilakukan para pengrajin pada pengecatan
keramik gerabah. Menurut Yasin Abdul (wawancara, 07 April 2013), pengecatan
benda keramik gerabah selain dilakukan pengrajin sendiri biasanya dibantu oleh
para istri pengrajin. Pengecatan diawali dari menggosok terlebih dahulu dinding
53
keramik gerabah dengan menggunakan amplas sampai terasa halus, kemudian
letakan di atas wadah cat atau wadah lainnya yang bertujuan untuk mempermudah
proses pengecatan, lalu mengecat menggunakan kuas yang berukuran 2-5 cm. Cat
yang digunakan pengrajin keramik gerabah di Desa Moahudu yaitu cat minyak.
Tujuan dari pengecatan yaitu untuk membuat keramik gerabah menjadi cerah dan
menarik serta melindungi dari kotoran debu.
Gambar 17. Proses finishing keramik gerabah
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
Pengecetan yang dilakukan para pengrajin keramik gerabah di Desa
Moahudu hanya berlaku pada saat diadakan bimbingan teknis pada tahun 2011
saja itupun hanya pada produk keramik hias sedangkan produk jenis tungku
sampai pada saat ini tidak dilakukan pengecetan, karena meskipun tidak di cat
tetap laku dipasaran (wawancara, Yasin Abdul 07 April 2013).
Dari informasi yang disampaikan oleh Yasin Abdul, nampaknya proses
pengecatan tidak menjadi suatu bagian penting untuk menghasilkan produk
54
keramik gerabah yang berkualitas di Moahudu, karena meskipun tidak di cat pun
keramik gerabah sejenis tungku tetap diminati oleh konsumen.
4.5 Jenis dan Nilai Guna Produk Keramik Gerabah Desa Moahudu
Jenis produk keramik gerabah yang dihasilkan oleh para pengrajin Desa
Moahudu dilihat dari bentuk dan fungsinya sebenarnya cukup variatif untuk
perkembangannya yaitu, tungku, tempat bara api, vas bunga dan asbak.Sangat
disayangkan saat ini mereka sudah tidak memproduksinya lagi kecuali tungku.Hal
ini disebabkan oleh kualitas tanah liat yang rendah untuk dilakukan inovasi
produk yang baru.Sementara, zaman terus berkembang tentunya selera
masyarakat yang menjadi konsumen telah jauh berubah.Hal ini yang kemudian
menjadi kesenjangan antara selera dan kebutuhan konsumen terhadap model dan
fungsi produk keramik gerabah Desa Moahudu sehingga kurang mendapat
apresiasi pasar.Berikut jenis dan fungsi produk keramik gerabah hasil produksi
para pengrajin Moahudu.
4.5.1 Tungku Dapur
Produk tungku di Desa Moahudu seperti terlihat pada gambar 17, bagian
atasnya terdapat 4 penyangga yang dibuat pada pinggiran sudut diantara lingkaran
lubang sebagai tempat keluarnya api, sedangkan penyangga tersebut bertujuan
untuk menahan belanga saat digunakan untuk memasak dan terdapat satu lubang
besar dibagian bawah yang berfungsi sebagai tempat memasukan kayu bakar dan
menyalakan api.
55
Gambar 18. Tungku dapur
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
Pada zaman dahulu dimana masyarakat pada umumnya belum terlalu
mengenal yang namanya kompor yang menggunakan bahan bakar minyak tanah
dan gas, tungku dari keramik gerabah pada saat itu masih sangat dibutuhkan atau
lebih jelasnya lagi telah mendapat apresiasi yang sangat baik dari masyarakat.
Tetapi setelah berlalunya zaman yang serba tradisional kemudian masuklah zaman
modern, dimana beragam kompor minyak tanah dan gas telah menguasai pasar.
Oleh karena itu dengan melihat keadaan yang ada, terdesaklah para pengrajin
mengurangi jumlah produksi tungku yang dihasilkan. Dalam hal ini hampir
dipastikan berkurangnya jumlah konsumen meskipun untuk harga jualnya tidak
pernah mengalami peningkatan.
4.5.2 Tempat Bara Api (Pulutube)
Tempat bara api atau biasa disebut dalam bahasa Gorontalo polutube yang
dibuat oleh pengrajin keramik gerabah Desa Moahudu pada dasarnya dibuat dari
bentuk bulatan. Ukurannya berdiameter sekitar 15 cm dan tingginya kurang lebih
56
20 cm. Nampak pada bagian atas bentuk bulat pada bagian tengah polutube
merupakan tempat diletakkan bara api.
Pada zaman dahulu polutube memiliki banyak kegunaan bagi konsumen,
tetapi pada masa kini produk tersebut hampir tidak dibutuhkan lagi seiring dengan
mulai berkurangnya kepercayaan-kepercayaan masyarakat terhadap tradisi-tradisi
yang menyimpang dimasa lalu seperti, dukun dan hal-hal gaib lainnya.
Gambar 19. Tempat Bara Api (Pulutube)
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
4.5.3 Vas Bunga
Vas bunga dengan bentuk dasar bulatan dari bawah yang berdiameter ± 15
cm dan tinggi ± 20 cm. Untuk hiasan dibuat pada bagian tengah sisi vas dan pada
bagian atas mulut vas bunga. Model gerabah ini sebenarnya memiliki peluang
pasar yang cukup baik, namun tidak dapat diproduksi dengan tanah yang ada di
Desa Moahudu. Oleh karena itu agar produk ini mampu diproduksi perlu diadakan
tanah liat yang mampu untuk diolah dan dibentuk secara variatif.
57
Gambar 20. Vas bunga
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
4.5.4 Asbak
Asbak yang berbentuk bulat dengan diameter ± 10 cm dan tinggi ± 5 cm.
pada bagian mulut asbak terdapat empat penyangga yang berfungsi sebagai
tempat meletakkan batangan rokok. Volume ruang pada asbak berperan penting
dalam menampung sesuatu didalamnya. Dari segi estetika, bentuk pada tepi mulut
asbak terlihat lebih sempit yang tujuannya agar dapat menampung banyaknya
sampah kecil yang dimasukkan ke asbak.
Gambar 21. Asbak
Foto: Erna A. Van Gobel, 2013
58
Dari beberapa jenis produk yang diuraikan di atas, masih ada beberapa
produk juga yang pernah dibuat oleh para pengrajin gerabah di Desa Moahudu,
seperti piring, guci, dan kuali yang memiliki nilai yang sama dengan peralatan
rumah tangga yang mereka produksi. Dilihat dari beragam produk yang mampu
dihasilkan oleh para pengrajin dengan fungsi-fungsi tertentu membuktikan bahwa
para pengrajin Moahudu memiliki kemampuan untuk membuat produk gerabah
yang variatif dan sesuai fungsinya, meskipun saat ini mereka cenderung hanya
memproduksi tungku.