bab iv hasil penelitian dan pembahasan 4.1. setting … · 2017. 8. 2. · bahwa ketika bhsp dengan...
TRANSCRIPT
[46]
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Setting Penelitian
4.1.1. Gambaran Umum Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD)
Provinsi Maluku
Rumah Sakit Jiwa Ambon di mulai tahun anggaran
1981/1982 Rumah Sakit Jiwa Pusat Ambon mulai beroperasi
berdasarkan surat Keputusan Kakanwil Depkes Provmal Nomor
: 874 / Kanwil / TU / II / 1985 tanggal 14 September 1985 dan di
resmikan 12 Oktober 1990 oleh Menteri Kesehatan RI oleh
Bapak Dr. Adhyatma,MPH.
Pada tahun 2001 Rumah Sakit Jiwa Pusat Ambon
diserahkan dari pemerintah Pusat dan menjadi UPT Dinas
Dinas Kesehatan Provinsi maluku sebagai pusat rujukan
kesehatan jiwa di Provinsi Maluku. Dan sesuai dengan
Peraturan Daerah Provinsi Maluku Nomor : 04 tahun 2007
tentang pembentukan organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Teknis Daerah Provinsi Maluku maka Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Maluku diganti menjadi Rumah Sakit Khusus Daerah
(RSKD) dan terletak di Jalan Laksdya Leo Wattimena dengan
luas 60.000 m².
[47]
Gambar I. Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Maluku.
Rumah sakit Khusus Daerah (RSKD) Provinsi Maluku
merupakan rumah sakit tipe B. Rumah Sakit Khusus Daerah
Provinsi Maluku merupakan satu – satunya fasilitas kesehatan
jiwa di Provinsi Maluku yang berupaya mengadakan pelayanan
kesehatan jiwa kepada masyarakat melalui upaya – upaya
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Pelayanan
kesehatan di RSKD Provinsi Maluku yang dilakukan perawat
sesuai dengan jam jaga atau shift. Shift pagi mulainya 07.00 -
[48]
14.00 WIT, shift siang 14.00 – 21.00 WIT dan shift malam 21.00
– 07.00 WIT. Kegiatan setiap hari pemberian obat sesuai
anjuran dokter, Terapi Aktivitas Kelompok (hanya terlihat
selama ada mahasiswa praktik), visiting dokter setiap hari
disetiap ruangan, Pendidikan Kesehatan (PenKes) (Hanya
terlihat pada saat mahasiswa praktik)
4.1.2. Gambaran Umum Informan
4.1.2.1. Informan 1
Nama : Tn.S
Umur : 26 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : D3 Keperawatan
Masa Kerja : 5 tahun
Ruang : Asoka
4.1.2.2. Informan 2
Nama : Tn.R
Umur : 38 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : S1 Keperawatan
Masa Kerja : 13 tahun
Ruang : Asoka
[49]
4.1.2.3. Informan 3
Nama :Ny.R.N
Umur : 33 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : S1 Keperawatan
Masa Kerja : 11 tahun
Ruang : Anggrek
4.1.2.4. Informan 4
Nama : Ny. D.P
Umur : 47 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : S1 Keperawatan
Masa Kerja : 25 tahun
Ruang : Anggrek
4.2. Analisis Data
4.2.1. Penerapan Strategi Komunikasi Terapeutik
4.2.1.1. Informan 1 (P1)
Pada P1 mengatakan bahwa sebelum
melakukan komunikasi terapeutik dilakukan BHSP
kepada pasien gangguan jiwa walaupun disertai
dengan konsumsi obat tetapi hal yang paling utama
adalah BHSP.
[50]
“Bukan pasien HDR saja semua pasien katong butuh
katong punya kesiapan diri artinya bagaimana
metode pendekatan katong punya ikatan dengan
dong. Pertama kan yah BHSP yang menjadi sasaran
utama katong pasien jiwa karna pasien jiwa
kebanyakan obat bukan salah satu untuk
menyembuhkan dong tapi bagaimana katong pung
cara bina hubungan dengan dong. Katong seng akan
dapat kepercayaan sehingga dong bisa mengikuti apa
yang katong mau begitu kalau katong BHSP dengan
dong dengan baik maka apa yang katong mau capai
dan sasaran yang perlu katong capai dong selalu
kendala menurut dong.” (P1)
P1 mengatakan bahwa penerapan komunikasi
terapeutik dilakukan walaupun tidak menggunakan
Bahasa Indonesia yang benar karena tujuan
komunikasi terapeutik adalah terbinanya hubungan
saling percaya (BHSP).
"Jadi komunikasi terapeutik untuk katong memang
katong walaupun tidak menggunakan komunikasi
terapeutik tidak menggunakan Bahasa Indonesia
yang bagus artinya dong pasti memahami katong
pung bicara tapi sasarannya tetap katong ee
komunikasi terapeutik tujuannya untuk katong bina
hubungan dengan dong bina hubungan saling
percaya dengan pasien itu tapi tandanya kalau
komunikasi terapeutik itu katong bikin penerapan apa
yang perlu katong terapkan walaupun dengan Bahasa
sederhana yang mudah dong mengerti seperti itu
kalau yang komunikasi biasa-biasa ini mungkin
katong dong berbuat ini, bikin ini tapi sasaran
[51]
komunikasi terapeutik katong buat for dong walaupun
dengan Bahasa sederhana tapi mempunyai waktu
sama dengan penerapan SP.” (P1)
Namun P1 juga merasa kendala dalam
penerapan komunikasi terapeutik yaitu jumlah
perawat jiwa yang lebih sedikit daripada perawat
umum.
“kalau katong di RSKD ini memang kendala karna
katong juga perawat satu berbanding sekian banyak
katong punya kendalanya seperti itu sehingga kalau
katong mau penerapan komunikasi deng pasien-
pasien, seng disini kan dengan berbagai macam
pasien mulai dari yaa paling tingkat terkecil gangguan
konsep diri sampai ke waham sampai ke segala
macam bentuk disini jadi katong penerapannya
mungkin masih kurang karena terkendala dari tenaga
sendri katong disini.” (P1)
Dari keterangan P1 disimpulkan bahwa BHSP
sangat penting sebelum dilakukannya komunikasi
terapeutik pada pasien HDR maupun pasien
gangguan jiwa lainnya. Namun P1 juga merasakan
adanya kendala dalam penerapannya karena
kurangnya perawat jiwa di RSKD Provinsi Maluku.
[52]
4.2.1.2. Informan 2 (P2)
P2 mengatakan bahwa penerapan komunikasi
terapeutik masih kurang diterapkan dengan maksimal
oleh perawat-perawat di ruangan.
“Kalau saya mau bilang dalam komunikasi terapeutik
memang rata-rata teman-teman saya belum
mendukung itu belum menerapkan secara sempurna
secara maksimal katakanlah seperti itu karena
memang terkadang memang, saya tetap akan
memberikan contoh itu, memberikan pendidikan
kepada teman-teman cuma dalam pelaksanaan
memang terkadang keluar dari konteks itu walaupun
tujuannya ada tapi komunikasi terapeutik tetap
berjalan dengan baik. Nah kalau saya bilang kurang
ya kurang.” (P2)
Dari pernyataan P2 ini disimpulkan bahwa
penerapan yang dilakukan masih belum maksimal
karena masih belum didukung oleh perawat jiwa
lainnya.
4.2.1.3. Informan 3 (P3)
“Pertama-tama ya itu komunikasi terapeutik, bina
hubungan saling percaya maksudnya awalnya sih
memang kadang-kadang pasien belum mau tapi lama
kelamaan juga mau Cuma katong punya teknik disini
katong bilang mau pulang tidak kalau mau pulang kita
harus berbagi, kita harus tahu masalah masing-
masing supaya mungkin kita bisa bantu gitu. Nah itu
[53]
teknik yang disini kalau nda begitu kan pasien nda
mau bicara, mau pulang tidak. Pasien itu kan
kemungkinan pengen pulang semua nda ada yang
mau tinggal dirumah sakit itu kuncinya itu.” (P3)
P3 menyatakan bahwa awal dari komunikasi
terapeutik adalah membina hubungan saling percaya
dengan pasien walaupun dengan waktu yang lama.
Penerapan yang dilakukan P3 juga menggunakan
teknik berbeda yaitu memberikan suatu stimulus kata-
kata seperti membuat pasien menjadi takut. Namun
P3 juga memberikan motivasi pada pasien jiwa
tergantung masalah yang dihadapi pasien.
“Banyak hal. Iya itu tergantung kan. Motivasi katong
berikan itu tergantung masalah yang dihadapi pasien
contohnya pasien masuk dengan HDR itu
masalahnya contoh ditinggal suami, katong kasi
motivasi mengenai rumah tangga atau mengenai
kehidupan kedepan bahwa belum tentu bercerai
dengan suami semuanya menjadi hambar atau
bagaimana pokoknya berikan motivasi tergantung
masalah yang dihadapi pasien.” (P3)
Jadi dapat disimpulkan bahwa penerapan
komunikasi terapeutik belum maksimal dilakukan P3
walaupun sudah terbina hubungan saling percaya
dan teknik yang digunakan P3 sesuai dengan teori
[54]
komunikasi terapeutik atau tidak sesuai dengan
tahap-tahap komunikasi terapeutik namun tetap
diberikan motivasi kepada pasien.
4.2.1.4. Informan 4 (P4)
Awal P4 melakukan komunikasi terapeutik
adalah membina hubungan saling percaya karena
ketika pasien percaya maka komunikasi dapat terjadi.
“yang pertama dilakukan perawat itu dia harus bisa
membangun hubungan saling percaya dulu, kalau
hubungan saling percaya itu ada lalu dia bisa
melakukan pendekatan yang baik dengan pasien,
menimbulkan rasa percaya diri bagi pasien, rasa
percaya baik dari pasien ke perawat pasti komunikasi
bisa jalan.” (P4)
P4 mengatakan bahwa komunikasi terapeutik
maupun SP 1 - 2 itu terjadi ketika ada mahasiswa
praktek.
“Terkadang beta mau jujur buat ai, kadang
komunikasi itu ada, peran SP 1-2 itu ada ketika ada
mahasiswa yang dating praktek sehingga tidak benar-
benhar jalan, semua kegiatan itu akan jalan ketika
ada siswa praktek.” (P4)
Namun P4 juga mengatakan bahwa masih
ada satu atau dua perawat yang melakukan
komunikasi terapeutik pada pasien HDR walaupun
masih banyak perawat lain yang melakukan
[55]
komunikasi terapeutik karena adanya mahasiswa
praktek dan lainnya.
“Iya. Tapi ada sih satu-satu perawat yang mau tapi
yang lebih rutin dan intens itu jika ada mahasiswa
praktek.” (P4)
Jadi dapat disimpulkan dari pernyataan P4
bahwa ketika BHSP dengan pasien HDR telah terjadi
maka komunikasi dapat dilakukan dengan lancar
namun komunikasi terapeutik dapat diterapkan
secara rutin hanya jika terdapat mahasiswa praktek
oleh karena itu penerapan komunikasi terapeutik
belum efisien.
4.2.2. Penerapan Strategi Pelaksanaan (SP 1 - 2)
4.2.2.1. Informan 1 (P1)
Pada P1 menjelaskan bahwa SP 1 - 2 ini
sudah dilakukan dalam aktivitas sehari-hari
pasien sehingga tidak perlu lagi dilakukan SP.
Kegiatan sehari-hari seperti kegiatan ibadah dan
jika dilakukannya Terapi Aktivitas Kelompok
(TAK).
“seng kalau katong kan untuk perawat
diruangan itu kebanyakan seng perlu untuk
[56]
menjalankan SP tapikan SP itu sudah tertuang
dalam katong kegiatan sehari-hari sehingga
katong seng perlu harus datang dengan format
SP untuk katong laksanakan katong perawat
Cuma hanya butuh katong cara strategi
bagaimana supaya katong bisa merangkul
orang-orang HDR itu saja.” (P1)
“Kebanyakan sih katong banyak disini punya
strategi harus melibatkan dong dalam katong
punya TAK atau katong punya kegiatan ibadah-
ibadah sehingga katong motivasi dong untuk
bagaimana cara ini dia dengan teman-teman
kalau dengan TAK dia bergaul dengan teman-
teman artinya katong libatkan dia dalam semua
kegiatan yang berhubungan dengan dia punya
kegiatan-kegiatan di jiwa.” (P1)
Disimpulkan bahwa penerapan SP 1 - 2
belum efisien karena perawat tidak melakukan
sesuai tahapannya seperti perawat yang tidak
melakukan identifikasi kemampuan positif yang
dapat dilakukan maupun yang belum dapat
dilakukan pasien namun langsung
mengikutsertakan pasien dalam kegiatan-
kegiatan mahasiswa praktek maupun kegiatan
yang sudah ada di RSKD tersebut serta tidak
ada evaluasi atau Rencana Tindak Lanjut (RTL)
kepada pasien. Kurangnya pemahaman yang
[57]
tepat dari perawat yang menyamakan antara
kegiatan sehari-hari dengan kegiatan SP 1 - 2
yang harus dilakukan perawat.
4.2.2.2. Informan 2 (P2)
P2 sudah cukup memahami SP 1 - 2
dengan yang dikatakan yaitu menanyakan
kemampuan pasien, menilai kemampuannya,
melatih pasien HDR, kemudian memilih
kemampuan yang lain yang dapat dilakukan
pasien serta adanya dukungan/motivasi dari P2.
“Salah satu motivasinya adalah kita menggali ke
pasien itu sendiri jadi bukan kita yang
menentukan misalkan kita menanyakan dia
masih bisa menyapu atau tidak, masih bisa cuci
piring tidak, masih bisa cuci pakaian tidak,
merapikan tempat tidur tidak, kalau dia bilang
masih bisa itulah kemampuan positif yang masih
dia miliki dengan begitu kita akan memberikan
support bahwa dia masih berguna tidak seperti
yang pikirkan jadi kegiatan-kegiatan langsung
untuk pasien HDR memang langsung kita
terapkan, kita sering mengajak dia merapikan
tempat tidurnya sendiri.” (P2)
“Kalau kita melihat kesembuhan itu bahwa dia
tidak HDR lagi kepercayaan dirinya mulai ada
walaupun masih dalam proses itu biasanya
pasien itu sudah mampu untuk bercerita,
[58]
bergabung dengan teman-temannya.
Perkembangan itulah yang kita lihat kalau dia
sudah mampu mulai hallo apakabar, selamat
pagi, mampu menjawab itu ada peningkatan
disitu. Terus dalam hal praktik latihan walaupun
mungkin dia merapikan apa yang kita suruh dan
belum maksimal itu juga ada penilaian tersendiri
dan dikatakan sudah mulai berhasil, itu yang
kita nilai.” (P2)
Namun kerjasama dalam tindakan
SP 1 - 2 antara P2 dan perawat yang lain belum
maksimal karena belum pahamnya perawat lain
tentang tindakan keperawatan dan belum ada
usaha dari P2 (kepala ruang) dalam berbagi
pengetahuan maupun dalam memberikan
contoh serta mengevaluasi apa yang dilakukan
perawat tersebut sehingga ini dapat menjadi
kendala penerapan SP 1 - 2 yang tidak
maksimal.
“Kalau menurut saya memang masih ada
beberapa yang kurang jadi tidak semua beta
teman-teman perawat tahu langsung ini loh
tindakannya tapi kalau misalkan disuru mereka
bisa tapi untuk secara konsep mungkin dalam
hal praktik mungkin masih ada beberapa yang
kurang.” (P2)
[59]
Disimpulkan bahwa P2 sudah cukup
efesien melaksanakan SP 1 - 2 namun harus
tetap dievaluasi lagi kemampuan pasien HDR
tersebut.
4.2.2.3. Informan 3 (P3)
P3 mengatakan bahwa penerapan
SP 1 - 2 sudah maksimal karena adanya
perubahan pada pasien HDR yang sudah
mengungkapkan kemampuan positifnya.
“kalau belum efektif kan belum tentu pasien
mengungkapkan.” (P3)
“Iya sama. Pokoknya tujuan kita yang pertama
itu SP 1 pasien yang mampu mengungkapkan
kemampuan positif. Kita tanyakan itu sesuai SP
1.” (P3)
P3 mengatakan adanya paksaan atau
ajakan perawat pada pasien HDR.
“otomatis aktivitas menurun karena merasa
seng bergunalah itu aja sih yang lebih ke HDR
untuk kegiatan lain memang sih harus dipaksa
atau perawat lebih aktif untuk mengajak kalau
tidak ya tidak sama sekali.” (P3)
[60]
Disimpulkan bahwa P3 masih kurang
maksimal dalam pelaksanaan SP 1 - 2 kepada
pasien HDR karena tidak adanya evaluasi dari
kemampuan yang telah diungkapkan pasien dan
tidak adanya rencana tindak lanjut dari perawat
serta adanya paksaan dari perawat yang tidak
harus dilakukan.
4.2.2.4. Informan 4 (P4)
P4 jelas mengatakan bahwa penerapan
SP 1 - 2 terlaksana jika ada mahasiswa praktek,
koas yang praktek namun ada satu atau dua
perawat juga yang melakukan SP 1 - 2 sehingga
ada perubahan pada pasien walaupun dengan
disuruh. P4 juga mengatakan terjadi kekurangan
perawat dalam menjalankan tugas dan fungsi
perawat yaitu melakukan SP 1 - 2.
“sebenarnya itu tanggung jawab perawat
sampai merasa bahwa tugas dan tanggung
jawab dia sebagai perawat dalam membantu
pasien dalam proses suatu kesembuhan saya
rasa masalah seng ada tinggal bagaimana
perawat itu dia bertanggung jawab, mungkin
waktu atau perawat shift-nya kurang. Satu
[61]
perawat itukan rasa-rasa di RSKD itu dia kalau
dinas pagi bisa 2 - 3 orang kalau shift-shiftan itu
dia Cuma 1 orang. Dalam satu ruangan itu
sampe blasan orang kalau satu orang dia bisa
layani 8 orang itu kan eh satu perawat dia bisa
tangani sampe diatas 10 orang kan kadang
imposible jadi mungkin dia terbatas karna
ketenagaannya yang kurang, itu mungkin
kendala karna dia lebih, kalau dia mau fokus
dengan 1 pasien lalu yang lain, nah itu mungkin
kendala yang kadang-kadang akang tidak jalan
karna tenaga kerja yang kurang atau kadang
perawat masa bodoh. Terkadang beta mau jujur
buat ai, kadang komunikasi itu ada, peran
SP 1 - 2 itu ada ketika ada mahasiswa yang
datang praktek sehingga tidak benar-benar
jalan, semua kegiatan itu akan jalan ketika ada
siswa praktek.” (P4)
“perubahan yang sangat signifikan ketika
disuruh, kalau disuruh dia menyapu ya sapu, dia
membersihkan tempat tidur ya dia merapikan,
disuruh membantu misalnya mengambil
makanan dan lain-lain itu pasti dia mampu
untuk melakukan. Beta rasa itu perubahan-
perubahan yang nyata yang dilakukan meskipun
masih disuruh tapi dia sudah bisa melakukan
itu. Kadang kalau tidak disuruh juga kan dia
Cuma diam, ada yang duduk senyum-senyum,
ada perhatian ada yang bisa bersosialisasi
kalau disuruh beta rasa lebih baik disuruh, ada
perkembangan daripada dia duduk diam.” (P4)
Jadi kesimpulanya adalah penerapan
SP 1 - 2 terlaksana jika ada mahasiswa praktek
[62]
dan kurangnya perawat jiwa dalam setiap
ruangan.
4.3. Uji Keabsahan Data
Keabsahan data dilakuakn dengan menggunakan trianggulasi teknik
yaitu dengan membandingkan hasil wawancara dengan hasil
observasi.
4.3.1. Informan 1 (P1)
4.3.1.1. Hasil Wawancara
Pada hasil wawancara peneliti dengan P1
menunjukkan bahwa kurang adanya pemahaman
pada penerapan SP 1 - 2 dengan kegiatan sehari-hari
atau kegiatan TAK yang disamakan oleh P1.
4.3.1.2. Hasil Observasi
Dari hasil observasi peneliti menyatakan
bahwa P1 tidak melakukan komunikasi terapeutik dan
tidak ada penerapan SP 1 - 2 pada pasien HDR serta
P1 hanya lebih banyak menyuruh pasien mengikuti
kegiatan yang sebelumnya tidak ada kesempatan
pasien untuk ikut serta didalamnya dengan volume
suara yang keras.
[63]
4.3.2. Informan 2 (P2)
4.3.2.1. Hasil Wawancara
Hasil wawancara dengan P2 menunjukkan
bahwa sudah cukup paham dalam pelaksanaan
SP 1 - 2 pada pasien HDR namun masih belum
sepenuhnya didukung oleh perawat yang lain.
4.3.2.2. Hasil Observasi
Dari hasil observasi di ruang asoka terhadap
P2 menunjukkan bahwa penerapan SP 1 - 2 tidak ada
dan tidak ada interaksi antara P2 dan pasien HDR.
P2 juga tidak adanya evaluasi atau memberikan
contoh pada teman perawat lain yang belum paham
tentang penerapan SP 1 - 2 pada pasien HDR. P2
juga tidak ada kontrol atau evaluasi terhadap
mahasiswa praktek yang melakukan SP 1 - 2 pada
pasien HDR. P2 terlihat sering keluar ruangan ke
ruangan lain tanpa keterangan yang jelas. Dan P2
tidak melakukan komunikasi terapeutik dengan
pasien HDR.
[64]
4.3.3. Informan 3 (P3)
4.3.3.1. Hasil Wawancara
Seperti pada analisa data P3 menunjukkan
bahwa penerapan SP 1 - 2 sudah efisien karena
adanya perubahan pada pasien HDR. P3 juga
mengatakan bahwa perawat diruangan anggrek
melakukan paksaan pada pasien HDR supaya pasien
HDR dapat melakukan kegiatan yang ada.
4.3.3.2. Hasil Observasi
Dari hasil observasi di ruang anggrek
terhadap P3 menunjukkan bahwa penerapan SP
masih belum terlaksana maksimal karena peneliti
hanya dapat melihat penerapan SP 1 sedangkan SP
2 maupun RTL tidak dilakukan P3 sehingga tidak
efektif dalam penyembuhan pasien HDR. P3 juga
tidak adanya evaluasi atau memberikan contoh pada
teman perawat lain yang belum paham tentang
penerapan SP 1 - 2 pasien Harga Diri Rendah (HDR)
serta P3 lebih berfokus pada pasien dengan diagnosa
lain daripada pasien HDR.
[65]
4.3.4. Informan 4 (P4)
4.3.4.1. Hasil Wawancara
Dari hasil wawancara P4 menunjukkan bahwa
penerapan SP 1 - 2 terlaksana hanya jika ada
mahasiswa praktek maupun koas. P4 juga
menyatakan bahwa terjadi kendala dalam penerapan
SP 1 - 2 karena kurangnya tenaga perawat jiwa.
4.3.4.2. Hasil Observasi
Observasi peneliti terhadap P4 menunjukkan
bahwa P4 merupakan salah satu perawat jiwa yang
melakukan SP 1 - 2 dengan cukup maksimal namun
P4 masih terlihat belum melakukan SP 2 dengan
maksimal karena P4 terlihat menyuruh pasien HDR
mengulangi kegiatan yang sudah mampu pasien
lakukan jadi tidak terlihat usaha meningkatkan
kemampuan pasien dengan kegiatan yang lain. P4
juga kurang adanya pengontrolan pada perawat lain
yang tidak paham penerapan SP 1 - 2 pada pasien
HDR.
[66]
4.4. Pembahasan
4.4.1. Penerapan Strategi Komunikasi Terapeutik
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang
dilakukan menyatakan bahwa tidak maksimal atau tidak efisien
penerapan komunikasi terapeutik disebabkan karena
kurangnya pengetahuan atau tingkat pendidikan, kurangnya
empati dari perawat, dan jumlah tenaga perawat jiwa yang
kurang. Kurangnya pengetahuan (P1 dan P2) dapat
mempengaruhi penerapan komunikasi terapeutik yang kurang
berhasil seperti menurut Purwanto (2007), kemungkinan
kurang berhasilnya komunikasi terapeutik perawat pada klien
diantaranya dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan perawat
dalam komunikasi terapeutik, sikap perawat, tingkat
pendidikan, pengalaman, lingkungan, jumlah tenaga yang
kurang dan lain-lain. Kurangnya pengetahuan perawat jiwa
akan berdampak negatif pada kesembuhan pasien gangguan
jiwa khususnya pasien HDR dan hal ini merupakan
kendala/hambatan perawat. Peningkatan pengetahuan
perawat dapat didukung oleh kegiatan rumah sakit yaitu
memberikan pelatihan-pelatihan, seminar tentang pasien
gangguan jiwa khususnya HDR maupun rumah sakit
memberikan sekolah lanjut kepada perawat. Pengetahuan atau
tingkat pendidikan perawat juga mempengaruhi kejelasan
[67]
dalam menyampaikan informasi dan edukasi pada pasien
maupun keluarga pasien. Oleh karena itu perawat dituntut
untuk menguasai bidang keilmuan, teknik komunikasi, strategi
komunikasi dan mampu memotivasi serta mempengaruhi
pasien untuk menceritakan keluhan yang dirasakannya (Nasir,
2009). Selain kurangnya pengetahuan terdapat kurangnya
empati dari perawat jiwa di ruang sub akut RSKD Provinsi
Maluku dalam melakukan komunikasi terapeutik padahal rasa
empati harus dimiliki seorang perawat dalam menerapkan
komunikasi terapeutik seperti yang dikatakan Townsend (2005)
bahwa manfaat dari empati adalah agar perawat dapat
membantu klien untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi
perasaan yang telah dipendam. Supaya klien menyadari
bahwa ia benar-benar dipahami dan diterima oleh orang lain,
serta meningkatkan harga diri klien khususnya klien dengan
masalah gangguan jiwa, sikap empati telah menjadi bagian
dalam setiap tindakan yang seharusnya dilakukan oleh
perawat.
Jumlah tenaga perawat jiwa juga sangat berpengaruhi
pada penerapan komunikasi terapeutik. Jumlah perawat yang
kurang dalam melakukan komunikasi terapeutik yang lebih
sedikit dibandingkan banyaknya pasien sehingga kesulitan
perawat karena satu perawat tidak dapat mengelolah banyak
[68]
pasien. Sehingga dibutuhkan perhatian khusus pada bagian
keperawatan dalam perhitungan jumlah perawat dengan
jumlah pasien dalam setiap shift maupun ruangan serta system
Rumah sakit tersebut.
Gambar II. Tidak Ada Komunikasi Terapeutik Perawat Dengan Pasien Dan
Tidak Ada Penerapan SP 1 – 2 Dari Perawat
4.4.2. Penerapan Strategi Pelaksanaan (SP 1 - 2)
Berdasarkan standar asuhan keperawatan, asuhan
keperawatan harga diri rendah yang dilakukan yaitu SP 1 - 2.
Tujuan tindakan keperawatan jiwa pada pasien harga diri
rendah adalah pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan
aspek positif yang dimiliki, pasien dapat menilai
kemampuannya, pasien dapat memilih kegiatan sesuai dengan
kemampuan, pasien dapat melakukan kegiatan yang sudah
[69]
dilatih yang dipilih sesuai dengan kemampuannya, pasien
dapat melakukan kegiatan yang sudah dilatih sesuai dengan
kemampuan dan pasien dapat melakukan kegiatan yang lain
sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Dari hasil
wawancara dan observasi perawat menunjukkan bahwa belum
maksimal/efisien dilakukannya SP 1 - 2 pada pasien HDR.
Tidak terlaksana penerapan SP 1 - 2 dapat dipengaruhi oleh
perawat maupun pasien. Perawat memiliki peran penting
dalam penerapan SP 1 - 2 seperti yang dikatakan Doheny
(1982) salah satu peran perawat yaitu perawat sebagai
pemberi asuhan keperawatan. Pemahaman perawat menurut
Stuart (2007), merupakan hal penting yang harus dimiliki
perawat. Perawat harus mempunyai cukup pengetahuan
tentang strategi pelaksanaan yang tersedia, tetapi informasi ini
harus digunakan sebagai satu bagian dari pendekatan holistik
pada asuhan keperawatan pada pasien. Asuhan keperawatan
yang dimaksud adalah pemberian SP 1 - 2 kepada pasien
HDR. Penerapan SP 1 - 2 tidak terlaksana dengan maksimal
berarti peran perawat juga tidak maksimal, secara otomatis
kesembuhan pasien sangat berpengaruh dan hal ini terjadi
pada perawat jiwa di ruang sub akut RSKD Provinsi Maluku.
Dalam penelitian juga terdapat sebagian besar perawat yang
bertugas di ruang sub akut merupakan perawat D-III (pegawai
[70]
tetap maupun honor) dan perawat umum sehingga tingkat
pendidikan mempunyai pengaruh terhadap penerapan SP 1 - 2
pada pasien HDR. Edyana (2008) menyebutkan bahwa proses
pendidikan merupakan suatu pengalaman yang berfungsi
untuk mengembangkan kemampuan dan kualitas kepribadian
seseorang, dimana semakin tinggi pendidikan maka akan
semakin besar motivasinya untuk memanfaatkan pengetahuan
dan ketrampilannya.
Penerapan SP 1 - 2 tidak terlaksana juga karena
kurang adanya kesadaran perawat jiwa bahwa penerapan
SP 1 - 2 juga dapat dikatakan obat bagi pasien jiwa namun
yang terjadi perawat jiwa hanya melakukannya jika terdapat
mahasiswa praktek maupun koas sehingga proses
penyembuhan pasien jiwa khususnya pasien HDR semakin
lama dibandingkan pasien jiwa lain karena pasien HDR
berbeda dengan pasien lain.
[71]
Gambar III. Lokasi Penelitian