bab iv hasil penelitian dan pembahasan a. kondisi geografis … · 2013. 3. 15. · 17 bab iv hasil...
TRANSCRIPT
-
17
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Geografis dan Pemerintahan Kota Salatiga
Salatiga terletak di sebelah selatan Semarang dengan luas wilayah
295 KM2, dengan ketinggian 580 M di atas permukaan laut. Luas wilayah
administrasi Salatiga mengalami perubahan seiring dengan perkembangan
sejarah kota ini. Tidak diketahui secara pasti luas dan batas wilayah
Salatiga sampai pada pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Surat
Keputusannya pada tanggal 13 Februari 1895 tentang penghapusan
Kabupaten Salatiga menjadi sebuah Distrik Salatiga, Afdeeling
Ambarawa, Kabupaten Semarang, Karesidenan Semarang.
Salatiga memiliki iklim yang sejuk, agak lembab dan memiliki
pemandangan indah karena terletak di lereng Gunung Merbabu dan
Ungaran. Pada akhir tahun 1905, populasi hampir 115.000 jiwa yang
terdiri dari orang Eropa, orang China, beberapa orang Arab dan Asiatik
asing lainnya. Sedangkan pada tahun 1915 populasi hampir 396.000 jiwa.
Distrik Salatiga dibagi menjadi empat sub distrik, yaitu Salatiga, Bringin,
Getasan dan Tuntang (Encyclopedie van Nederlandsch Deel VI)
Dalam St. No. 35 tahun 1895, Salatiga tidak lagi menjadi sebuah
kabupaten karena kedudukan Bupati digantikan dengan seorang Patih yang
bernama Raden Soemowidjojo dari tahun 1904 – 1919 kemudian
digantikan oleh Raden Mas Soerohamiprodjo pada tahun 1919-1928.
-
18
Setelah itu jabatan Patih dihapus dengan berubahnya status gementee
Salatiga menjadi stadsgementee (Emy Wuryani, 2006: 56).
Perkembangan sistem pemerintahan di Salatiga tidak terlepas dari
tuntutan orang-orang Eropa yang tinggal di Salatiga. Mereka menuntut
pemerintah Hindia Belanda supaya Salatiga diberi status gementee yang
kemudian disetujui oeh kerajaan Belanda pada tanggal 25 Juni 1917.
Menurut Handjojo, alasan Salatiga dijadikan suatu gementee ialah karena
Salatiga memiliki letak yang strategis diantara kota Solo, Semarang dan
Magelang. Kota ini merupakan tempat peristirahatan orang-orang kaya dan
kulit putih. Alasan kedua ialah bangsa Belanda yang bertempat tinggal di
Salatiga tidak senang berada di bawah pemerintahan seorang Bupati
pribumi (Handjojo, 1973:14)
Gementee Salatiga dipimpin oleh seorang Burgermeester
(walikota) yang ditunjuk oeh Gubernur Jenderal. Adapun yang menjadi
daerah gementee Salatiga meliputi desa yang selama ini menjadi jalur
utama kegiatan ekonomi, pusat kegiatan pemerintahan dan tempat tinggal
orang-orang Eropa, yaitu Salatiga atau Krajan, Sidorejo Lor,
Kutowinangun, Kalicacing, Ledok, Gendongan dan Mangunsari (Emy
Wuryani, 2006:58)
Sedangkan menurut mantan walikota Salatiga, Handjojo, didirikan
stadsgementee Solotigo yang wilayahnya terdiri dari 8 desa, diambil dari
wilayah Asistenan Solotigo, yaitu:
-
19
1. Sebagian besar dari Desa Sidorejo Lor sekarang
2. Sebagian besar dari Desa Solotigo Krajan sekarang
3. Sebagian besar dari desa Kutowinangun sekarang
4. Seluruh Desa Kalicacing sekarang
5. Kurang lebih separo dari Desa Mangunsari sekarang
6. Sebagian besar dari Desa Gendongan sekarang
7. Sebagian kecil dari Desa Tegalrejo sekarang
8. Sebagian kecil dari Desa Ledok sekarang
Beberapa bagian dari desa tidak dimasukkan dalam stadsgementee
karena penduduknya sedikit, merupakan tanah sawah dan tegalan serta
mencari batas yang lurus dan menggunakan jalur atau sungai sebagai
batas. Terbentuknya stadsgementee bertujuan untuk menjamin
kesejahteraan golongan atas yaitu bangsa Belanda.
Pada tanggal 25 Agustus 1937, Salatiga termasuk dalam distrik
Semarang yang dikepalai oleh Raden Soegiri Soemobroto (Reegerings
Almanak, 1940:325). Dengan demikian struktur pemerintahan Salatiga
pada tahun 1895-1942 mengalami perubahan dan terdapat dua sistem
pemerintahan yang bersifat kolonial dan tradisional. Sistem pemerintahan
kolonial untuk gementee Salatiga, sedangkan sistem pemerintahan
tradisional untuk desa-desa Salatiga yang tidak termasuk ke dalam sistem
pemerintahan gementee. Sistem pemerintahan ini berlangsung sampai
pemerintah militer Jepang menduduki Salatiga pada tanggal 9 Maret 1942.
-
20
B. Pendudukan Jepang di Salatiga
Bala tentara Jepang memulai pendaratannya di Pulau Jawa di
daerah Krawang dan Banten (Jawa Barat) dan Kragan (Jawa Tengah).
Jepang mendarat di Kragan, sebuah daerah di sebelah timur kota Rembang
pada tanggal 28 Februari dan tanggal 1 Maret 1942 dengan kekuatan 6
divisi, yang kurang lebih berjumlah 50.000 orang. Melalui daerah Kragan,
tentara Jepang memasuki daerah Purwodadi, Grobogan, Cepu, dan
Surakarta. Di tempat ini bala tentara Jepang bergerak ke dua arah yaitu ke
Surakarta dan Boyolali, dan keduanya bertemu di kota Klaten. Dari daerah
ini tentara Jepang melanjutkan perjalanannya menuju Jogyakarta,
Magelang, dan Semarang. Setelah diadakannya perjanjian Kalijati pada
tanggal 8 Maret 1942, kekuasaan Hindia Belanda resmi diserahkan kepada
pemerintah Jepang. Sehingga Indonesia mulai diperintah oleh Jepang yang
luas wilayahnya meliputi wilayah Hindia Belanda dahulu. Luas wilayah
kekuasaan Jepang di Jawa Tengah dapat dikatakan sama dengan luas
wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Yang membedakan hanyalah
mengenai nama jawatan pemerintahan dan sebutan wilayah pengelolaan
administrasi (DEPDIKBUD, 1980:19).
Menurut Handjojo, bala tentara Jepang menduduki kota Salatiga
datang dari arah Solo dengan kekuatan kurang lebih setengah batalyon.
Setelah pemerintahan Hindia Belanda menyerah tanpa syarat pada tanggal
9 Maret 1942, mulailah masa pendudukan Jepang di Salatiga yang ditandai
dengan penurunan bendera Hindia Belanda yang dikibarkan di rumah
-
21
Asisten Residen Nuson dengan disaksikan oleh seorang opsir Jepang
(Handjojo, 1975: 17). Pada saat Jepang masuk Salatiga, tidak ada
perlawanan ataupun pertempuran dengan Koninklijk Nederlands-Indisch
Leger (KNIL) maupun polisi, karena lima hari sebelumnya tentara Hindia
Belanda telah meninggalkan Salatiga menuju Magelang kemudian Jawa
Barat dengan tidak merusak gedung-gedung seperti apa yang telah
direncanakan oleh Vernielings Corps atau Pasukan Pengrusak.
Setelah itu diikuti tindakan-tindakan lain dari pemerintah Jepang
dengan mengeluarkan aturan yang bersifat menyerupai Jepang. Pada saat
itu Salatiga masih dipimpin oleh walikota yang merangkap Asisten
Residen. Asisten Residen Salatiga Nuson masih diwajibkan bekerja kurang
lebih satu bulan lamanya sampai akhirnya seluruh nama jawatan diganti
dengan bahasa Jepang. Pada saat pendudukan Jepang, semua pemerintahan
Hindia Belanda dihapuskan dan untuk nama seluruh jawatan dirubah
dengan istilah-istilah Jepang, seperti:
-
22
Tabel 1
Pergantian Nama Jawatan Salatiga Tahun 1942-1945
No Nama Jawatan Sebelum
Pendudukan Jepang
Nama Jawatan Pada Masa
Pendudukan Jepang
1. Residen Syucokan
2. Asisten Residen Sidokan
3. Bupati Kunco
4. Patih Fuku Kenco
5. Walikota Shityo
6. Wedana Gunyto
7. Asisten Wedana Sontyo
8. Lurah Kutyo
9. Kasunanan/ kasultanan Kooti
10. Karesidenan Shuu/ Syuu
11. Kabupaten Ken
12. Kotapraja Si
13. Kawedanan Gun
14. Asistenan Son
15. Desa Ku
16. Jawatan Kepolisian Keisatsu
17. Jawatan Pengadilan Negeri
Tihoo Hooun
18. Jawatan Kejaksaan Tihoo Kensatsu Kyoku
19. Jawatan Penerangan Sendenka
20. Jawatan Pertanian Noo-ka
21. Jawatan Perikanan Suisan-ka
22. Jawatan Kehutanan Rin-ka
23. Jawatan Pendidikan Sungaka
24. Jawatan Bank Rakyat Syomin Ginko
25. Jawatan Listrik Denki-ka
26. Jawatan Pekerjaan Umum
Dobu-ka
27. Sekolah Pertama Syotoo Kokumin Gakko
28. Sekolah Rakyat Kokumin Gakko
29. Sekolah Menengah Tjuntoo Gakko
Sumber : Handjojo, 1973:18-19
Menurut Undang-Undang No. 27 tentang perubahan tata
pemerintahan daerah, seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali dua koci
Surakarta dan Yogyakarta, dibagi atas:
-
23
1. Syuu (Karesidenan), yang terbagi atas Si dan Ken
2. Si (Kotapraja atau sama dengan “stadsgementee” dahulu), dipimpin
Shityo (Walikota). Shityo pertama R. Patah
3. Ken (Kabupaten atau sama dengan “regentschap” dahulu), dipimpin
Kenjo (Bupati). Daerah ken terbagi atas gun
4. Gun (Kawedanan atau sama dengan “district” dahulu),dipimpin
Guntyo (Wedono)
5. Son (Kecamatan atau sama dengan “onderdistrict” dahulu), dipimpin
oleh Shontyo. Contoh: Bringin-Son
6. Ku (Desa), dipimpin Kutyo atau Lurah/ Kepala Desa
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah daerah yang tertinggi
ialah Syuu (Karesidenan) yang dipimpin oleh Syucokan. Dalam tugasnya,
Syucokan dibantu oleh Cokan kambo (Majelis Permusyawaratan Cokan)
yang memiliki tiga bu (bagian), yaitu Naseibu (bagian pemerintahan
Umum), Keizabu ( bagian ekonomi) dan Keisatsubu (bagian kepolisian).
Untuk Pulau Jawa sendiri terdapat 17 Syuu (karesidenan). Di Jawa
Tengah terbagi atas 5 Syuu, yaitu Pekalongan, Banyumas, Pati, Kedu dan
Semarang. Sedangkan wilayah Jepara-Rembang diganti namanya menjadi
Pati Syuu. Salatiga sendiri masuk Karesidenan Semarang/ Semarang Syuu
(DEPDIKBUD, 1979:13). Berdasarkan Osamu Seirei No.17 tanggal 15
Desember 2602, desa Tanduk, Sidomulyo, Banyuanyar dan Seboto yang
semula masuk Kecamatan Tengaran Kabupaten Semarang dimasukkan ke
Surakarta Kooci (Kawedanan Ampel Kabupaten Boyolali).
-
24
Pada bulan Mei tahun 1942, Raden Patah diangkat menjadi Asisten
Residen kota Salatiga. Namun, karena Raden Patah berhalangan, maka
digantikan sementara oleh Raden Roeslam sampai akhir Oktober 1942.
Kemudian pada tanggal 1 November 1942 Raden Soemardjo yang semula
Guntyo Tengaran ditetapkan menjadi Shityo Salatiga sampai tanggal 30
Juni 1945 dan digantikan oleh Soemitro (Handjojo, 1973:21).
Pemerintah Jepang juga membentuk Tonari Gumi atau yang biasa
dikenal dengan sebutan Rukun Tetangga (RT). Tujuan dibentuknya Tonari
Gumi ini ialah untuk memudahkan pemerintah Jepang mengawasi
masyarakat secara langsung dan supaya segala perintah serta informasi
dari Jepang kepada rakyat, misalnya pengerahan tenaga dapat disampaikan
dengan mudah dan cepat.
Berbagai kebijakan mulai diberlakukan pemerintah Jepang. Pada
tanggal 20 Maret 1942 pemerintah Jepang mulai mengeluarkan peraturan
mengenai pemasangan bendera Merah putih yang sementara dilarang
untuk dikibarkan. Sebagai gantinya rakyat diwajibkan mengibarkan
bendera Hinomaru pada setiap jawatan, kantor, dan bangunan resmi
lainnya. Lagu Indonesia Raya juga dilarang untuk dinyanyikan. Lagu
kebangsaan yang boleh dinyanyikan ialah Kimigayo.
Semua pegawai harus menandatangani surat pernyataan setia
kepada pemerintahan bala tentara Dai Nippon dan diharuskan memakai
ban lengan putih dengan bendera merah di tengah yang berarti bendera
Jepang. Selanjutnya, tahun Masehi disesuaikan dengan tahun Jepang yaitu
-
25
terpaut 660 tahun lebih tua, misalnya tahun 1944 Masehi menjadi tahun
2604. Waktu Indonesia juga disesuaikan dengan tahun Jepang yang terpaut
1,5 jam lebih dahulu, misalnya pukul 04.00 menjadi pukul 05.30. Sejak
saat itu juga rakyat diwajibkan marayakan hari raya Tenchosetsu yakni
hari lahirnya Kaisar Hirohito (Suwarti, 2004:16). Pemerintah Jepang di
Salatiga juga mewajibkan setiap pegawai kantor dan anak-anak sekolah
untuk melakukan apel dengan menaikkan bendera Jepang sambil
menyanyikan lagu kebangsaan negara Jepang, Kimigayo, dengan
menghadap ke Timur Laut sebagai bentuk penghormatan kepada Kaisar
Tenno.
Pada masa pendudukan Jepang, kondisi masyarakat Salatiga sangat
memprihatinkan. Pada awalnya memang baik-baik saja karena beberapa
waktu sebelum Jepang datang, di Salatiga sudah terdapat orang Jepang
yang berdagang di sekitar Pecinan (Jalan Jenderal Sudirman) sebagai
mata-mata. Hanya saja masyarakat Salatiga dan Belanda kurang bisa
membedakan karena mirip dengan etnis Cina. Mereka berkomunikasi
dengan baik dengan masyarakat Salatiga dan mampu berbahasa Indonesia.
Pada tanggal 9 Maret 1942 tentara Jepang masuk ke Salatiga. Sejak
saat itulah kondisi kota Salatiga kacau, terutama dalam pemerintahannya.
Orang-orang Belanda ditawan dan dimasukkan di kamp-kam interniran,
yang dibagi menjadi beberapa tempat, yaitu Roncali (dulu istana Djoen
Eng), Ambarawa dan Banyubiru. Sementara KNIL dan polisi telah dibawa
ke Magelang dan Kalijati lima hari sebelum kedatangan Jepang. Sisa-sisa
-
26
KNIL dan polisi ditawan di Cilacap. Kondisi yang mencekam
menimbulkan teror tersendiri bagi masyarakat Salatiga (wawancara
dengan Eddy Supangkat 6 jnuari 2013)
Setelah teror terhadap penduduk berkebangsaan Belanda, teror
selanjutnya terhadap masyarakat pribumi. Tentara Jepang mendatangi
rumah penduduk secara door to door kemudian menggeledah isi rumah
untuk kemudian menyita kamera, radio, lampu senter serta senjata tajam.
Tentara Jepang menyita kamera atau foto tustel milik masyarakat sehingga
tidak ada yang sempat mengabadikan momen ketika Jepang berada di
Salatiga.
Ketakutan pihak Jepang membuat mereka mengontrol siaran radio
serta menyegelnya supaya masyarakat tidak dapat mendengarkan siaran
luar negeri sedangkan siaran lokal masih diperbolehkan. Berikut
merupakan program radio standar dari Stasiun Pemancar Jakarta pada
bulan April 1944 :
-
27
Tabel 2
Program Radio (Stasiun Pemancar Jakarta) Tahun 1942-1945
Pukul Program
7.30 Bahasa Jepang
7.40 Pengantar siaran hari ini
8.00 Pengumuman berita pemerintah
8.30 Berita dalam bahasa Jawa
8.45 Gerak badan (taisho) melalui radio
9.00 Berita dalam bahasa Sunda
9.15 Musik Barat
9.45 Jeda
11.00 Ceramah untuk wanita atau musik
11.30 Musik keroncong atau gamelan
13.00 Gerak badan (taisho) melalui radio
13.30 Orkes
14.00 Berita dalam bahasa Indonesia
14.15 Musik
15.30 Jeda
17.45 Pelajaran bahasa Jepang
18.00 Siaran untuk anak-anak (“Bahasa Jepang Sederhana”)
18.05 Siaran untuk anak-anak (pelajaran menyanyi Jepang)
18.30 Berita dalam bahasa Indonesia
18.45 Berita dalam bahasa Jawa
19.00 Berita dalam bahasa Sunda
19.15 Musik
19.30 Pengumuman dari kantor Kotamadya Khusus Jakarta
19.40 Musik
19.55 Menyanyi, keroncong
20.10 Bahasa Jepang, music
20.30 Orkes
21.00 Komentar berita
21.30 Berita dalam bahasa Indonesia
21.45 Hiburan
22.00 Berita dalam bahasa Jawa
22.30 Berita dalam bahasa Sunda
23.00 Musik
24.00 Hiburan
24.25 Pengumuman dari Kantor Kotamadya Khusus Jakarta
24.30 Penutup
Sumber : Aiko Kurasawa, 1993:256
-
28
Berita dalam bahasa Jepang tidak ditujukan bagi warga Jepang
melainkan untuk orang Indonesia yang belajar bahasa Jepang. Program
radio yang ada di Tabel 2 diatas merupakan pengaturan untuk wilayah
Jakarta. Sedangkan untuk wilayah Jawa Tengah hanya bahasa Jawa saja
yang dimasukkan. Menilai dari programnya, peran radio dalam
propaganda pemerintah Jepang beraneka ragam. Ia berfungsi sebagai
sarana yang paling cepat dan akurat untuk menyebarkan seluruh
pengumuman pemerintah.
Senjata tajam seperti parang dan pedang semua disita oleh tentara
Jepang. Hal ini dilakukan untuk menghindari perlawanan dari masyarakat.
Masyarakat dipaksa mengumpulkan besi-besi tua di sepanjang Jalan
Tuntang (sekarang Jalan Diponegoro) yang masih dipakai, seperti pagar
besi, tiang listrik dan tiang telepon yang tidak dipasang. Besi-besi tua yang
terdapat di makam Tionghoa dan makam Belanda di Kerkhof juga diambil.
Kewajiban masyarakat untuk menanam tanaman jarak dan rosela
diberlakukan. Tanaman ini menjadi tanaman wajib untuk kebutuhan bahan
bakar. Baik pria maupun wanita diwajibkan menanam tanaman ini
(wawancara dengan Suwarni 4 Januari 2013). Bahkan Salatiga yang ketika
jaman pemerintah Hindia Belanda mendapat julukan “Salatiga de
Schoonste van Midden Java” atau Kota Salatiga yang Terindah Se-Jawa
Tengah karena banyak bunga-bunga seperti alamanda di sepanjang jalan,
menjadi tak indah lagi karena bunga-bunga tersebut diganti dengan
tanaman jarak.
-
29
Pemuda-pemuda yang terlihat sehat dan fisiknya bagus
dipekerjakan menjadi romusha yang dijanjikan akan diberi upah yang baik
dan dipekerjakan di tempat yang bagus. Karena pada saat itu kondisi
ekonomi masyarakat lemah, mereka percaya dan mau menjadi romusha
meskipun pada akhirnya romusha Salatiga banyak yang dikirim ke luar
Jawa, Birma, Irian Barat dan Filiphina dan tidak kembali. Selain itu, rakyat
juga takut apabila tidak mau menjadi romusha akan diberi hukuman oleh
tentara Jepang.
Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang memprihatinkan
membuat masyarakat ada yang terpaksa mencuri. Akhirnya siapapun yang
ketahuan mencuri kemudian dihukum dan disiksa dengan cara mengikat
tangan orang tersebut dan disayat menggunakan silet. Orang yang lewat
dipaksa menyiramkan air asam kepada orang yang sedang disiksa tersebut.
Di Salatiga terdapat rumah penyiksaan di Buksuling. Orang-orang yang
dicurigai sebagai mata-mata Belanda ditangkap, ditelanjangi kemudian
diperintahkan untuk tengkurap di atas seng yang sebelumnya sudah
dipanaskan di bawah sinar matahari sampai ia mengaku.
Wanita-wanita pribumi yang terlihat cantik dipaksa untuk melayani
dan menjadi pemuas nafsu tentara Jepang. Mereka dibawa ke tangsi-tangsi
di Salatiga dan dijanjikan akan diberi pekerjaan yang baik. Namun
kenyataannya wanita-wanita pribumi dan nonik-nonik Belanda dibawa
hanya untuk menjadi pekerja seks untuk tentara Jepang sebelum pergi
berperang (wawancara dengan Eddy Supangkat 6 Desember 2013).
-
30
C. Kondisi Sosial-Ekonomi Salatiga Pada Masa Pendudukan Jepang
1. Mata Pencaharian Penduduk
Dengan adanya peraturan yang dikeluarkan pemerintah Jepang
mengenai pengumpulan bahan makanan terutama padi, serta letak kota
Salatiga yang berada di lereng Gunung Merbabu maka dapat
dipastikan mata pencaharian penduduk Salatiga adalah bertani,
menjadi peternak, pedagang, pegawai negeri serta buruh kasar.
Pada masa Jepang di Salatiga, petani diharuskan menanam jarak
yang diambil minyaknya untuk keperluan cadangan perang
(Wawancara dengan Wasipin 31 Desember 2012). Karena jarak
merupakan tanaman wajib, maka tanaman padi dan palawija menjadi
terdesak sehingga hasil padi dan palawija tidak cukup untuk makan
sehari-hari.
Dalam Sinar Baroe 29 Djoeni 2604, dikemukakan bahwa
pemerintah Jepang memberikan imbalan atas hasil jerih payah
masyarakat yang berhasil melipatgandakan hasil bumi seperti padi dan
palawija di pendopo Salatiga-Gun. Mereka menerima pakaian, uang,
cangkul, dan sebagainya. Namun tentu saja hal ini dilakukan sebagai
usaha menarik simpati masyarakat untuk lebih mempercayai
pemerintah Jepang yang mengaku sebagai saudara tua.
Pemeliharaan ternak merupakan suatu usaha untuk menguatkan
ekonomi masyarakat disamping pertanian. Ditinjau dari sudut makanan
yang sebagian masyarakat mengkonsumsi daging ayam, sapi maupun
-
31
kerbau mendorong masyarakat bekerja sebagai peternak. Selain dapat
dijual, hewan ternak seperti kerbau dan sapi menjadi sarana
perhubungan lalu lintas pada masa itu (Sinar Baroe 6 Djoeni 2604 hal
3 kol 1).
Sesuai dengan Undang-Undang No. 1 pasal 1 yang dikeluarkan
oleh Panglima Tentara Keenambelas pada tanggal 7 Maret 1942 yang
berbunyi “Bala Tentara Nippon melangsungkan pemerintah militer
untuk sementara waktu di daerah yang ditempatinya agar supaya
mendatangkan keamanan yang sentausa dengan segera” (Sartono
Kartodirdjo, 1975:5), pemerintah Jepang segera menanamkan
kekuasaan yang sementara kosong yang diserahkan kepada Gunseibu
yang berpusat di Semarang untuk Jawa Tengah. Pegawai-pegawai
berkebangsaan Belanda banyak yang dipecat. Akhirnya Jepang
mengalami kekurangan staf pegawai di pemerintahan, yang sebenarnya
pegawai Jepang telah dikirim tetapi kapalnya terkena torpedo dari
pihak Sekutu. Karena kekurangan pegawai, dengan terpaksa
pemerintah Jepang mengangkat pegawai-pegawai berkebangsaan
Indonesia.
Dengan diangkatnya pegawai-pegawai Indonesia, maka pada
tanggal 1 April 1942 pemerintah militer Jepang mengeluarkan undang-
undang mengenai peraturan gaji pegawai negeri dan lokal. Untuk
sementara waktu gaji bagi pegawai-pegawai bangsa Indonesia yang
dahulu dibayar dibawah f.100,- sebulan, akan tetap dibayarkan f.100,-.
-
32
Sedangkan bagi pegawai yang dahulu gajinya melebihi f.100,- akan
dibayar menurut aturan berikut:
Tabel 3
Daftar Gaji Pegawai Bangsa Indonesia Untuk Sementara Waktu
Tahun 1942-1945
No. Banyaknya gaji dahulu
sebulan
Potongan
%
Banyaknya gaji
sekarang sebulan
1. f. 100 – 150 5% f. 100
2. f. 151 – 200 7,5% f. 141
3. f. 201 – 250 10% f. 184
4. f. 251 – 300 12% f. 224
5. f. 301 – 400 12% f. 239
6. f. 401 - 500 18% f. 269
7. f. lebih dari 501 20% f. 409
Sumber : Museum Sono Budoyo No. 1989
Berdasarkan pada peraturan gaji yang tercantum diatas, jelas
bahwa pegawai-pegawai bangsa Indonesia yang gajinya melebihi
f.100,- terkena potongan yang cukup besar. Disamping itu ditetapkan
pula untuk tidak memberikan gaji kepada pegawai Indonesia melebihi
f.500,-. Disebutkan juga kewajiban untuk pegawai negeri supaya
bekerja dengan sungguh-sungguh penuh cinta kasih dan bersikap
seperti pemimpin. Seorang pemimpin selalu berjasa dan mengabdi
pada pekerjaan yang dikerjakannya (Sinar Baroe 20 Go-Gatsu 2604
hal 3 kol 4).
Selain mata pencaharian yang telah disebutkan di atas, pekerjaan
yang dilakukan masyarakat Salatiga pada masa pendudukan Jepang
ialah menjadi buruh kasar. Kebanyakan dari mereka menjadi kuli
angkut dan buruh gendong di pasar dengan upah yang tidak seberapa
-
33
(Wawancara dengan Eddy Supangkat tanggal 4 Januari 2013). Selain
itu ada pula masyarakat yang bermata pencaharian sebagai pedagang.
2. Pemenuhan Kebutuhan Sandang dan Pangan
Ketika perang antara Amerika dengan Jepang semakin sengit pada
tahun 1944, tuntutan akan bahan baku kebutuhan perang semakin
meningkat. Pada sidang I Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat)
pada tanggal 16-20 Oktober 1943 telah disepakati untuk :
a. Memperkuat dan melindungi para prajurit PETA dan Heiho;
b. Menggerakkan tenaga kerja untuk keperluan masyarakat dan
perang;
c. Meneguhkan susunan penghidupan masyarakat dalam masa
perang;
d. Memperbanyak hasil produksi pangan.
Dalam hal memproduksi bahan pangan, petani dipaksa
menyerahkan sebagian padi yang mereka hasilkan dengan harga yang
sangat rendah. Karena beras yang mereka hasilkan tidak cukup untuk
memenuhi konsumsi sendiri dan kebutuhan sehari-hari, mereka
terpaksa membeli beras padahal di lain pihak petani sendiri tidak
mampu atau kesulitan dalam membeli beras apabila persediaan mereka
sudah habis. Menurut Aiko Kurasawa (1993:103), mereka umumnya
petani kecil yang bekerja di atas sepetak tanah yang luasnya kurang
dari 0,5 hektar baik milik sendiri maupun menyewa. Mereka terlilit
hutang, sehingga setelah mereka membayar hutang dalam bentuk padi
-
34
yang dipanen, biasanya hanya sedikit yang tertinggal di tangan mereka.
Oleh karena itu hanya sebagian kecil hasil panen yang dapat mereka
jual. Berikut merupakan harga beras pada masa pendudukan Jepang
sesuai dengan Maklumat Gunseikan No.2:
Tabel 4
Harga Eceran Beras (setengah giling) Tahun 1943-1945
(Unit: sen)
Tahun Beras biasa
(per kg)
Beras biasa
(per liter)
Beras ketan
(per kg)
Beras
Ketan
(per liter)
1943 Antara
9,17-10,37
sen
- - Antara
9,17-10,37
sen
1944 10 - 11 -
1945 13 11 14 12
Sumber : Aiko Kurasawa, 1993:98
Tabel 5
Harga yang ditetapkan pabrik penggilingan beras tahun 1942-1945
Jenis Harga (per 100 kg)
Padi bulu Rp 3,80,-
Padi cere Rp 3,45,-
Gabah Rp 4,15,-
Beras no.1 Rp 6,50,-
Beras no.2 Rp 4,--
Sumber : Handjojo,1973:20
Karena kelangkaan dan distribusi yang tidak merata, harga beras di
daerah pedesaan melambung tinggi. Pembagian beras lebih sering dan
jatahnya lebih banyak dibandingkan pedesaan. Hal ini disebabkan
adanya anggapan pemerintah Jepang yang menilai sebagian besar
penduduk pedesaan ialah produsen beras sehingga tidak perlu dipasok
beras dari luar. Dengan demikian, kebijakan Jepang mengenai wajib
-
35
serah padi mengakibatkan tekanan yang luar biasa dan penderitaan
bagi petani pada khususnya.
Pemerintah Jepang mendorong masyarakat untuk makan berbagai
macam makanan pelengkap seperti gaplek, jagung, singkong, dan
kedelai karena bahan makanan seperti nasi digunakan pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan perang. Akan tetapi, harga-harga makanan
pelengkap tersebut juga meningkat di pasaran karena menurunnya
panen dan meningkatnya permintaan masyarakat.
Berbagai jenis tanaman yang sebelumnya tidak pernah dimakan
dianjurkan supaya dimanfaatkan. Contohnya bonggol dan batang
(debog) pohon pisang dan pepaya. Selain itu, masyarakat juga
memakan bekicot (siput) sebagai sumber protein pengganti.
Sekalipun gagasan ini cukup bermanfaat dan agak mengganjal perut,
namun gizi rakyat semakin memburuk (Wawancara dengan Kaslan 9
Desember 2012). Hal ini karena makanan pengganti tidak memuaskan.
Masyarakat lebih suka makan nasi dibandingkan makanan lainnya dan
bagi mereka nasi begitu penting sehingga mereka sering berkata
“Kalau belum makan nasi, belum makan”. Menurunnya produksi
pangan di Jawa dapat dilihat pada tabel berikut ini :
-
36
Tabel 6
Produksi Pangan di Jawa tahun 1941-1944 (dalam kg)
Tahun Padi Palawija
1941 83.934.807 121.525.781
1942 83.081.989 118.054.367
1943 81.125.225 107.109.669
1944 68.115.550 90.055.664
Sumber : Sartono Kartodirdjo, 1976:147
Tidak ada upaya dari pemerintah Jepang di Salatiga untuk
membantu memenuhi kebutuhan sandang dan pangan. Meskipun
pemerintah Jepang telah mengeluarkan anjuran untuk berhemat serta
giat menabung (Sinar Baroe 3 Rokugatsu 2604 hal 4 kol 3), namun
karena perekonomian masyarakat yang merosot dan serba sulit,
anjuran tersebut dirasa percuma oleh masyarakat dari golongan bawah
karena tidak ada uang yang akan ditabung, kecuali bagi mereka yang
bekerja sebagai pegawai dengan gaji yang cukup.
Sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan semakin terasa bertambah
berat pada saat rakyat juga merasakan penggunaan sandang yang
sangat memprihatinkan. Rakyat hanya memakai pakaian compang-
camping, ada yang terbuat dari karung goni yang berdampak pada
penyakit gatal-gatal akibat kutu di dalam karung tersebut. Masalah
sandang merupakan masalah yang cukup serius. Sebagian masyarakat
bahkan sudah ada pula yang mengganti pakaian dengan lembaran karet
sebagai penutup badan.
Kain yang merupakan salah satu barang yang sangat penting, yaitu
untuk baju, sarung, dan juga jarik bagi masyarakat Salatiga dan
-
37
sekitarnya sangat langka dan bahkan sangat sulit sekali
mendapatkannya (Mia Nuraini 2012:64). Karung goni, kliko, serat,
lembar karet merupakan barang pengganti dari kain di masa Jepang.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, biasanya masyarakat yang
memiliki saudara dari luar daerah dibantu dengan mengirimkan
makanan berupa singkong dan gaplek. Ada juga yang menerima uang
dari keluarga yang bekerja di luar Salatiga sebagai prajurit dengan
perantara Salatiga Shityo (Sinar Baroe 11 Shigatsu 2604 hal.2 kol 2).
3. Tenaga Romusha
Salah satu tujuan pokok pendudukan Jepang di Asia Tenggara,
khususnya Indonesia ialah untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi
serta memperoleh pasokan ekonomi yang penting demi kelangsungan
perang. Jepang sangat memperhatikan kegiatan-kegiatan ekonomi,
memberikan serta mencurahkan tenaga yang besar dalam bidang ini.
Permintaan akan tenaga kerja meningkat ketika situasi perang semakin
berkobar. Pada saat itulah muncul kebutuhan besar untuk
pembangunan pertahanan seperti perlindungan serangan udara. Hal ini
berarti tenaga kerja tidak hanya diperlukan untuk eksploitasi ekonomi,
tetapi juga untuk segala proyek yang berhubungan dengan
kelangsungan perang. Pada tahap itulah perekrutan romusha di Jawa
meningkat.
Romusha secara harafiah berarti seorang pekerja yang melakukan
pekerjaan sebagai buruh kasar (Aiko Kurasawa, 1993:123). Sebagian
-
38
besar tenaga romusha ialah petani biasa, yang diperintahkan supaya
bekerja pada proyek pembangunan dan pabrik. Awalnya, romusha
dipekerjakan sebagai buruh tetap, namun lama kelamaan mereka mulai
dianggap kurang lebih sebagai buruh kuli paksaan. Jenis-jenis
pekerjaan untuk tenaga romusha menurut Aiko Kurasawa (1993:144)
ialah menyelenggarakan pekerjaan yang berhubungan dengan
kepentingan ala tentara Jepang dan pembela tanah air, memperbaiki
dan menambah produksi bahan-bahan keperluan bala tentara serta
persenjataan, menambah penghasilan bahan-bahan makanan yang
penting serta membuat Jinji atau gua untuk tempat perlindungan
tentara Jepang (wawancara dengan Wasipin 31 Desember 2012).
Untuk membangun sarana-sarana pertahanan seperti benteng-
benteng, jalan raya, dan sebagainya, Jepang sangat memerlukan tenaga
kasar. Selain itu tenaga romusha diperlukan untuk bekerja di pabrik-
pabrik atau tempat-tempat produksi lainnya. Pada mulanya pekerjaan
tersebut dilakukan secara sukarela oleh masyarakat karena pengerahan
tenaga tersebut tidak begitu sukar dilakukan dan masyarakat masih
dipengaruhi oleh propaganda untuk kemakmuran bersama Asia Timur
Raya. Namun lama kelamaan pengerahan tenaga yang bersifat sukarela
berubah menjadi paksaan. Mereka diperlakukan sangat buruk,
kesehatan tidak dijamin, makanan yang tidak cukup dan pekerjaan
yang berat menyebabkan romusha banyak yang meninggal. Meskipun
pada sidang Chuo Sangi In IV tentang mengatur urusan prajurit
-
39
pekerja dan perlindungan mereka dan keluarganya telah ditetapkan
sebagai berikut:
Hendaknya prajurit pekerja dihormati dan dihargai sebagai prajurit
“Pembela Tanah Air” dan dijauhkan segala perlakuan terhadap
pekerja yang mengganggu perasaan yang berhubungan dengan
agama dan adat istiadat (Djawa Baroe 14 tanggal 15 Agustus 2604
hal 4).
Kenyataannya romusha diperlakukan sangat buruk. Untuk
menghilangkan ketakutan di kalangan penduduk karena perlakuan
Jepang kepada romusha semena-mena, sejak tahun 1943 Jepang
melancarkan kampanye yang menganggap romusha sebagai pahlawan.
Di dalam kampanye tersebut mereka mendapat julukan “prajurit
ekonomi” atau “prajurit pekerja” yang digambarkan sebagai orang
yang sedang melaksanakan tugas sucinya untuk angkatan perang
Jepang dan tidak boleh disebut kuli. Romusha ialah prajurit dan
sumbangan mereka terhadap perang sangat dihargai. Akan tetapi
faktanya diantara 300.000 tenaga romusha yang dikirim ke luar Jawa,
diperkirakan 70.000 orang dalam kondisi yang memprihatinkan
(Sartono Kartodirdjo, 2975:139).
Selain pekerjaan yang telah disebutkan di atas, romusha
dipekerjakan untuk mengumpulkan tanaman iles-iles (sejenis talas),
membuat pupuk, mencangkul dan sebagainya untuk kemudian
diserahkan kepada Jepang. Rakyat yang menjadi romusha tidak hanya
dipekerjakan di desa saja tetapi juga dikirim ke Kalimantan dan
Burma. Awalnya romusha dijanjikan menerima upah dari Jepang,
-
40
sehingga banyak rakyat yang bersedia untuk menjadi romusha. Namun
pada kenyataannya romusha setiap hari hanya dibayar dengan jagung
rebus sakbumbung (secangkir) atau beras untuk makan. Pada waktu
pendudukan Jepang tahun 1942-1945, banyak romusha yang
kehilangan nyawa akibat kelaparan. Mereka sulit sekali memperoleh
tambahan makanan dengan uang mereka sendiri. Akibatnya banyak
juga yang mengalami kekurangan gizi. Bagi masyarakat yang memiliki
sawah, hasil padi sebagian disetor ke ABC (koperasi milik Jepang) dan
sebagian lagi untuk makanan sehari-hari. Bagi mereka yang tidak
memiliki sawah, untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, rakyat
bekerja menjadi buruh kasar bagi orang-orang yang memiliki sawah
(wawancara dengan Kaslan 9 Desember 2012).
4. Kegiatan Niaga
Pada masa pendudukan Jepang di Salatiga, masyarakat melakukan
transaksi jual beli di Pasar Kalicacing, yang kemudian pada tahun 1928
direlokasi oleh pemerintah Hindia Belanda dan ditempatkan yang saat
ini bernama Pasar Raya I (wawancara dengan Eddy Supangkat 6
Januari 2013). Barang dagangan yang dibawa ke pasar Salatiga tidak
hanya berupa hasil bumi saja, melainkan ada pula gerabah. Berikut ini
adalah tabel yang menunjukkan para pedagang yang datang ke Salatiga
dan barang apa saja yang mereka bawa dan mereka jual di pasar
Salatiga yaitu pasar Kalicacing :
-
41
Tabel 7
Daerah asal pedagang dan barang yang diperdagangkan
tahun 1900-1942
No Daerah asal pedagang Barang yang diperdagangkan
1 Bringin Hasil bumi (beras, ubi,pisang), kayu bakar,
arang dan daun jati
2 Dadapayam Beras, kelapa, kayu bakar, dan arang
3 Susukan Singkong, tape, kambing, dan sapi
4 Suruh Hasil bumi, kambing, sapi
5 Karanggede Tape, kambing, sapi
6 Kopeng dan Getasan Sayuran, singkong, jagung, bunga, kayu dan
arang
7 Bandungan (Ambarawa) Bunga, sayuran, kambing dan sapi
8 Klaten (Bayat, Ceper,
Pedan)
Pakaian, gerabah, stagen, lurik berupa : jarik
dan selendang
9 Ampel (Boyolali) Beras, kambing, sapi
10 Solo Pakaian, batik dan tikar
11 Salatiga Tahu, tempe, mainan anak-anak, kain tenun,
karak
12 Semarang Ikan asin, gula pasir, teh, kain dan barang-
barang industri
13 Demak Gerabah berupa : cobek, kuali, genthong,
tempayan, dsb
Sumber: (Emy Wuryani, 2006 : 36)
Namun setelah pendudukan Jepang, masyarakat yang berdagang
umumnya enggan untuk pergi berdagang dikarenakan takut dengan
pasukan Jepang. Barang yang semakin langka, para pedagang juga
takut untuk berdagang dikarenakan barang-barang milik para pedagang
seperti beras, bahkan ketela dirampas oleh Jepang. Meskipun begitu
masih ada pedagang yang tetap menjajakan barang dagangannya untuk
mencukupi kebutuhan. Barang-barang yang dijual antara lain gula
jawa, jengkol serta sayur mayur (Wawancara dengan Suwarni tanggal
3 Januari 2013). Karena perekonomian yang semakin merosot, maka
daya beli masyarakat ikut merosot juga.
-
42
Untuk perdagangan kain, jarik lurik, batik yang didapat dari pasar
Salatiga sangat sulit dan bahkan tidak ada yang menjualnya lagi karena
susahnya untuk mendapatkan barang tersebut. Di Salatiga pada saat itu
ada yang menjual karung goni, kliko, serat yang semuanya merupakan
barang pengganti dari kain di masa Jepang. Pedagang dari Ambarawa
membeli barang-barang tersebut dari Salatiga yang kemudian dijual di
Ambarawa. Berikut adalah tabel harga barang-barang tersebut pada
masa itu :
Tabel 8
Daftar harga barang pengganti kain pada masa pendudukan Jepang
tahun 1942-1945
No Nama Harga per Harga per
Barang 1 helai 1/2 Helai
1 Kliko 4 rupiah 2 rupiah
2 Serat 3 rupiah 1 rupiah
3 Karung 4 rupiah 2 rupiah
Sumber : Mia Nuraini, 2012:65
Wanita membantu pria bekerja sebagai petani maupun berdagang
di pasar. Namun karena perekonomian masyarakat pada saat itu tengah
merosot, maka daya beli masyarakat juga turun.
Menurut Meta Sekar Puji Astuti (2008:119), pengembangan
jaringan toko Jepang di Jawa Tengah sangat pesat. Meskipun skalanya
tidak besar, namun toko-toko Jepang mencapai pelosok-pelosok kota
kecil seperti Prembun di daerah Kebumen, Muntilan, Magelang,
Karanganyar, Purworejo, Cepu, Salatiga, Wonosobo dan lainnya.
Selain pengembangan toko-toko Jepang, orang-orang Jepang
-
43
melakukan bisnis perkebunan, peternakan dan penanaman bunga di
daerah tersebut.
Pada umumnya penilaian masyarakat pribumi dengan adanya toko-
toko milik Jepang di kawasan Pecinan yang sekarang Jalan Jenderal
Sudirman cukup baik. Dikarenakan pelayanan dari orang Jepang yang
relatif sopan dibandingkan toko milik orang Cina. Harga yang
ditawarkan juga terjangkau dibandingkan toko-toko Belanda. Hal ini
menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat pribumi.
Dalam hal perniagaan, semasa pendudukan Jepang di Salatiga,
dibuka sebuah perusahaan milik orang Cina bernama Tjien Lam Kong
Jap Shie di Djalan Solo (sekarang jalan Jenderal Sudirman).
Perusahaan ini memproduksi potlot tinta, potlot hitam, kapur tulis ,dan
kuas untuk cat (Sinar Baroe 7 Djoeni 2604 hal 4 kol 2).
Pusat-pusat kegiatan ekonomi di Salatiga tidak hanya di pasar-
pasar saja terdapat pula warung-warung milik pribumi dan toko-toko
yang dimiliki oleh orang Cina dan Arab. Orang-orang asing Asia yaitu
orang Cina dan Arab mendominasi perdagangan pada masa itu.
Sehingga orang-orang Cina banyak yang mendominasi perekonomian
di Salatiga. Hal ini dapat kita lihat pula sampai saat ini di sepanjang
jalan Jenderal Sudirman terdapat banyak sekali toko-toko yang
dimiliki oleh orang Cina dan beberapa orang Arab.
Sarana transportasi juga mengalami kemunduran yang pesat.
Sebelum Jepang menginjakkan kakinya di Salatiga beberapa kendaraan
-
44
di Salatiga salah satunya bus ESTO dibawa oleh Belanda menuju
Bandung untuk berperang menghadapi Jepang (Mia Nuraini,2012:67).
Bus ESTO yang masih berada di Salatiga disita dan diambil alih oleh
Jepang dan diganti Rp 500,- per bus-nya untuk sarana transportasi
tentara Jepang. Meskipun begitu, di Salatiga masih terdapat sarana
transportasi yang digunakan masyarakat, seperti Bis Adam jurusan
Semarang-Salatiga, dokar dan gerobag yang masih ada sampai tahun
1960an (wawancara dengan Bp. Eddy Supangkat 6 Januari 2013)
Jepang dengan truknya yang besar dan terbuat dari besi digunakan
untuk menjarah barang-barang yang kemudian diangkut dan dibawa ke
negaranya. Penjarahan tesebut juga termasuk mengambil hewan-hewan
yang biasanya digunakan untuk sarana angkutan di Salatiga. Sapi, kuda
merupakan hewan yang dapat dimanfaatkan tenaganya untuk menarik
gerobak dan dokar diambil oleh Jepang. Hewan-hewan ternak juga
dijarah oleh Jepang dari orang-orang kaya dan para pengusaha jasa
angkutan seperti gerobak dan dokar (Mia Nuraini, 2012:67).
5. Perubahan Sosial
Di dalam masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa,
terdapat tiga lapisan sosial, yaitu wong cilik (orang kecil) yang terdapat
baik di desa maupun di kota-kota. Pada umumnya terdiri dari petani-
petani, buruh kecil, tukang becak, tukang gunting rambut. Golongan
priyayi terdiri dari pegawai-pegawai pemerintah. Sebagian golongan
ini berasal dari sistem birokrasi pemerintahan kerajaan-kerajaan sejak
-
45
sebelum penjajahan Belanda dan sebagian lagi berasal dari orang-
orang yang mendapat pendidikan akademis pada zaman Hindia
Belanda. Golongan bangsawan ialah keturunan raja-raja atau sultan-
sultan di pusat-pusat kraton seperti di Jawa Tengah. Untuk lingkungan
umat Islam terdapat golongan abangan dan golongan santri. Golongan
santri ialah orang-orang yang menjalankan syari’at Islam sepenuhnya,
sedangkan orang-orang abangan ialah orang-orang yang tidak
menjalankan syari’at Islam sepenuhnya, misalnya tidak melakukan
sholat lima kali sehari.
Menurut Sartono Kartodirdjo (1975: 188), revolusi membawa
banyak perubahan. Golongan yang pada masa kolonial memiliki status
sosial yang rendah, memegang posisi yang penting. Begitu pula
sebaliknya dengan golongan yang dulunya memegang dominasi, turun
menjadi golongan yang kurang berkuasa. Adanya golongan intelektuil
membuat golongan bangsawan merosot. Di bawah golongan ini
terdapat golongan menengah, yaitu pegawai rendahan, pedagang-
pedagang kecil dan tukang, sedangkan golongan yang paling bawah
adalah golongan petani di desa-desa dan buruh kasar. Stratifikasi sosial
tidak lagi didasarkan atas dasar ras, yang pada jaman kolonial hal ini
merupakan ciri masyarakat kolonial. Stratifikasi lebih ditentukan oleh
tingkat pendidikan.
Masa pendudukan Jepang yang berlangsung selama tiga setengah
tahun, terjadi perubahan sosial yang cukup besar baik di kota-kota
-
46
maupun di desa. Perubahan itu terjadi berdasarkan kepentingan
pemerintah pendudukan Jepang. Kepentingan yang dimaksud meliputi
propaganda untuk mempengaruhi rakyat, kebutuhan akan tenaga-
tenaga untuk menjalankan administrasi pemerintahan serta untuk
keperluan perang.
Pada masa pendudukan Jepang, lahir satu kelompok baru yaitu
golongan pemuda, yang pada masa sesudahnya terutama selama
Perang Kemerdekaan memegang peranan besar. Pada umumnya
mereka berasal dari lingkungan sosial yang berbeda-beda. Ada yang
pendidikannya sampai sekolah menengah, namun ada pula yang hanya
sampai sekolah dasar. Perhatian Jepang dicurahkan kepada kaum muda
ini karena mereka memiliki semangat yang tinggi dan sangat giat.
Jepang sendiri membentuk gerakan-gerakan seperti Seinendan
(Barisan Pemuda), Heiho (pembantu prajurit Jepang), Peta (Tentara
Pembela Tanah Air), Fujinkai (himpunan wanita), Keibodan (barisan
bantu polisi). Di kalangan masyarakat, kedudukan Peta dianggap
kedudukan yang paling tinggi. Status mereka seringkali lebih tinggi
dari seorang kepala daerah. Apabila seseorang menjadi anggota Peta,
maka statusnya menjadi naik. Di Salatiga sendiri pernah diadakan
acara khusus untuk menghormati prajurit Peta dan Heiho dengan
mengadakan penghormatan, penyambutan atas kedatangan prajurit
serta perjamuan sederhana (Sinar Baroe 5 Go-Gatsu 2604 hal 2 kol 2).
-
47
Prajurit Peta dan Heiho mendapatkan perlakuan khusus baik dari
masyarakat maupun dari pemerintah.
Kelompok lain yang juga mengalami perubahan status pada masa
pendudukan Jepang ialah kelompok guru. Apabila pada masa Hindia
Belanda tidak semua guru diperbolehkan mengajar anak-anak priyayi,
pada masa pendudukan Jepang guru-guru diperbolehkan mengajar
anak-anak priyayi dari sekolah dasar sampai sekolah menengah.
Jepang juga menyadari bahwa golongan ulama memiliki
kedudukan yang penting dalam masyarakat, terutama di desa-desa.
Pendapat-pendapat mereka umumnya lebih didengarkan dibandingkan
pendapat dari para priyayi. Hal itu diperlukan Jepang untuk melakukan
propaganda. Karena itu Jepang meningkatkan status golongan ini
sebagai guru-guru di desa untuk menjadi pemimpin. Para pemimpin
agama juga diberi kesempatan untuk menjadi kepala daerah.
Merujuk pada tindakan pemerintah Jepang mengenai pendaftaran
semua penduduk warga asing, baik Tionghoa/ Cina, Eropa, maupun
bangsa keturunan lain dapat disimpulkan bahwa komposisi penduduk
Salatiga pada waktu itu telah terdiri dari bermacam-macam jenis
keturunan. Antara lain Indonesia asli (mayoritas Jawa), warga
keturunan Tionghoa, Eropa khususnya Belanda.
Golongan minoritas seperti Indo-Eropa, peranakan Cina, peranakan
Arab dan lainnya mengalami kemerosotan dalam kedudukan. Apabila
dalam sistem masyarakat kolonial zaman Belanda kedudukan mereka
-
48
lebih tinggi dari kedudukan bangsa Indonesia yang menempati lapisan
terendah, maka pada zaman Jepang orang-orang yang sebelumnya
malu dengan statusnya sebagai golongan Indo, mulai bangga
menyatakan dirinya sebagai peranakan yaitu berasal dari ayah atau ibu
Indonesia (Sartono Kartodirdjo, 1975:137).
6. Sistem Pendidikan
Selama 3,5 tahun masa pendudukan Jepang, pemerintah Jepang
mengeluarkan kebijakan mengenai pendidikan yang ditandai oleh tiga
prinsip pokok (Selo Soemardjan, 2009:419), yaitu :
a. Pendidikan ditata kembali atas dasar keseragaman dan kesamaan
untuk seluruh kelompok etnis dan kelas sosial;
b. Pengaruh Belanda dihapuskan secara sistematis dari sekolah-
sekolah, sedangkan unsur-unsur kebudayaan Indonesia dijadikan
landasan utama;
c. Semua lembaga pendidikan dijadikan alat untuk mengindoktrinasi
gagasan kemakmuran Asia Tenggara di bawah pimpinan Jepang.
Pada masa pemerintahan Belanda, yang dapat merasakan
pendidikan formal hanyalah kalangan menengah ke atas untuk
pribumi. Sedangkan untuk kelas menengah ke bawah tidak memiliki
kesempatan mengenyam pendidikan formal. Sedangkan pada masa
pendudukan Jepang diskriminasi semacam itu mulai dihilangkan.
Rakyat dari lapisan manapun berhak mengenyam pendidikan formal.
Jenjang pendidikan pada masa Jepang disamakan dengan negara
-
49
Jepang, yakni Sekolah Dasar 6 tahun, Sekolah Menengah 3 tahun dan
Sekolah Menengah Tinggi 3 tahun. Jenjang pendidikan semacam ini
masih digunakan di Indonesia sampai saat ini.
Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar di semua
sekolah dan bahasa Jepang diberikan sebagai mata pelajaran wajib.
Selain sekolah formal, Jepang juga membuka berbagai kursus.
Dibuktikan dengan dibukanya kursus Bahasa Nippon (Jepang) dan
Bahasa Indonesia di Salatiga yang diikuti 110 orang laki-laki dan
perempuan. Adapun guru bahasa Jepang adalah Tuan S. Ito dan Tuan
Widdisiswojo dibantu Tuan Soetomo mengajarkan Bahasa Indonesia
dan Olahraga (Sinar Baroe 15 Agoestoes 2604, hal 2 kol 3).
Dalam surat kabar Sinar Baroe 21 Djoeli 2604 hal 4 kolom 5,
selain kursus Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia, Jepang juga
membuka kursus kesehatan yang dibuka di Gedoeng Nippon-Go
Gakko Djetis. Kursus ini diikuti oleh para guru di Salatiga dan
sekitarnya. Lama kursus ini 3 minggu dan masuk setiap pukul 6-7 sore
dan dilatih oleh dokter dari Semarang dan Salatiga.
Dalam bidang pendidikan, Jepang tidak hanya membuka sekolah
umum saja, tetapi juga membuka sekolah guru yang terdiri dari
Sekolah Guru 2 tahun, Sekolah Guru 4 tahun, dan Sekolah Guru 6
tahun (Sartono Kartodirdjo, 1975:171). Di Salatiga, Jepang membuka
Sekolah Guru Negeri untuk lelaki atau Sekolah Guru Lelaki yang
bertempat di belakang rumah Sekolah Normal. Sekolah Guru Lelaki
-
50
menerima murid sebanyak 70 anak berusia 14-17 tahun dan lamanya
belajar selama 4 tahun. Setiap bulan murid dikenakan biaya sebesar f 5
(Sinar Baroe 19 Go Gatsu 2604 hal 4, kol 5). Siswa dari Sekolah Guru
Lelaki dipersiapkan untuk mengajar Sekolah Rakyat, diajarkan
mengenai semangat berjuang serta cara untuk menjadi teladan yang
baik untuk semua orang. Guru dari Jepang dan Indonesia telah ditunjuk
untuk mendidik calon-calon guru ini. Diantaranya tuan Akiyama
selaku guru kepala, tuan Ito sebagai guru Bahasa Jepang, tuan R.
Soedarsono, tuan Soewadji, tuan Slamet dan dua orang bangsa Jepang
dari kalangan militer telah ditunjuk untuk mengajarkan kepada murid-
murid dalam hal semangat keprajuritan.
Dalam aspek pendidikan, kurikulum dan sistem pengajaran
disesuaikan untuk kepentingan perang. Oleh sebab itu Jepang selalu
mewajibkan siswa mengikuti latihan dasar kemiliteran. Setiap pagi
siswa wajib mengikuti gerak badan atau senam yang disebut Taisho
dan baris berbaris sambil berteriak Hajime!!! apabila dalam keadaan
siap. Siswa dan guru juga diwajibkan menghafal lagu kebangsaan
Jepang “Kimigayo” dan mengheningkan cipta yang kurang lebih
berbunyi “Noshi to wa shime no tane shito te o wari na kyono mede
kusara” serta melakukan penghormatan kepada Tenno (Kaisar) yang
dipercaya sebagai keturunan Ometerasu Omikami (Dewa Matahari)
(wawancara dengan Suwarni 4 Januari 2013). Menurut Shuchokan
dalam Sinar Baroe tanggal 6 Djoeni 2604 hal 3 kol 1“ Salatiga adalah
-
51
pusat Semarang Syuu dan layak untuk tempat belajar, disebabkan
hawanya yang baik itu”.
Pelajaran yang diajarkan ditetapkan oleh pemerintah militer Jepang
sebagai berikut:
a. Latihan kemiliteran (kyoren) i. Ilmu bumi atau geografi
b. Pelajaran moral (shushin) j. Ilmu alam
c. Pekerjaan praktis (sagyo) k. Olahraga
d. Bahasa Jepang l. Musik
e. Bahasa Indonesia m. Seni menulis (shuji)
f. Bahasa daerah n. Kerajinan tangan
g. Sejarah o. Melukis
h. Perawatan rumah (untuk siswi)
Latihan kemiliteran tetaplah yang paling utama karena disesuaikan
dengan kepentingan perang. Latihan-latihan militer kepada penduduk
dapat dimanfaatkan untuk mempertahankan negeri-negeri yang telah
diduduki pemerintah militer Jepang. Pelajaran yang ditekankan kepada
mereka ialah seishin atau semangat. Semangat yang diutamakan ialah
semangat ksatria atau bushido yakni berbakti kepada tuannya atau
pemimpinnya dan orang tuanya. Selain itu ditekankan pula perlunya
disiplin dan diberantasnya rasa rendah diri serta semangat budak. Hal
inilah yang kemudian dipakai para pemuda Indonesia ketika
mempertahankan kemerdekaan.
-
52
Mengenai mutu pendidikan sekolah secara umum, meskipun
Jepang mendorong pendidikan,tetapi hanya sedikit waktu yang
disisihkan untuk belajar di dalam kelas. Murid seringkali diperintahkan
untuk melakukan kerja bakti (kinro hoshi) yang meliputi
membersihkan tempat-tempat umum, mencari berbagai tanaman liar
untuk diserahkan kepada pihak Jepang, bekerja di sawah, menanam
pohon jarak dan rami.
7. Kesehatan
Pada saat pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942-1945,
kondisi kesehatan rakyat mulai memprihatinkan akibat pengerahan
tenaga romusha di daerah-daerah. Untuk memelihara kesehatan
romusha, beberapa sarana kesehatan disediakan di kamp-kamp
romusha yang besar. Namun, dibandingkan dengan jumlah tenaga
romusha, tenaga kesehatan dan obat-obatan jauh dari kata cukup. Jam
kerja romusha berlangsung sepanjang hari, jarang diberi hari libur
sehingga mereka menderita berbagai penyakit dan kelelahan yang luar
biasa, dan beberapa diantaranya meninggal dunia. Kecelakaan kerja
dan kelaparan menjadi pemandangan yang biasa.
Menurut Bapak Kaslan, untuk menjaga kesehatan, rakyat seringkali
membuat ramuan sendiri untuk mengobati penyakitnya. Mereka
menggunakan daun-daunan yang mereka temukan meskipun
pengetahuan mengenai obat-obatan sangat terbatas. Untuk mengobati
masuk angin, misalnya mereka menggunakan daun dadap serep.
-
53
Pakaian yang dipakai oleh masyarakat yang terbuat dari karung
goni serta kotor karena jarang diganti membuat mereka terkena
penyakit gatal. Pada saat itu serangan kutu yang menurut sumber lisan
berwarna putih dan berukuran agak besar merajalela sehingga
dinamakan wabah kutu Jepang. Baik laki-laki maupun perempuan,
entah ia cantik ataupun tidak, semuanya terkena penyakit gudigen dan
koreng. Tidak jarang karena kebersihan yang kurang terjaga dan gizi
yang tidak terpenuhi dengan baik, masyarakat banyak yang meninggal
karena kolera. Pada saat itu hampir 4 sampai 7 orang meninggal dalam
sehari. Karena langkanya kain dan terbatsanya ekonomi masyarakat
pada waktu itu, orang yang meninggal dunia hanyalah dibungkus
dengan tikar, tidak dengan kain mori (wawancara dengan Suwarni 4
Januari 2013). Berbeda dengan jaman pemerintah Hindia Belanda yang
sangat memperhatikan sarana kesehatan masyarakat, pemerintah
Jepang yang mengaku sebagai “saudara tua” kurang memperhatikan
kesehatan masyarakat Salatiga. Sehingga pada periode tahun 1942-
1945 angka kematian cukup tinggi yang dibuktikan pada tabel berikut :
Tabel 9
Angka Kelahiran dan Kematian Tahun 1939-1944
Wilayah Karesidenan Semarang
Tahun Jumlah Kelahiran
(ribuan orang)
Jumlah Kematian
(ribuan orang)
1939 73 52
1943 63 55
1944 48 103
Sumber : Aiko Kurasawa, 1993:105
-
54
Meningkatnya angka kematian pada tahun 1944 dan menurunnya
angka kelahiran disebabkan karena masyarakat tidak memiliki tenaga dan
keinginan dalam memenuhi fungsi reproduksi karena kelaparan dan
kesulitan-kesulitan hidup dalam kesehariannya.