bab iv hasil penelitian dan pembahasan -...
TRANSCRIPT
60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Demografi Responden Penelitian
Di dalam penelitian ini terdapat dua kategori responden
yaitu 42 orang perawat dan 42 orang pasien yang sedang
mendapatkan terapi Intravena. Penelitian dilakukan di tiga
ruangan yaitu Ruang Anggrek, Ruang HCU dan Ruang
Cempaka. Demografi responden penelitian perawat
dijabarkan menurut umur, jenis kelamin, tingkat pengetahuan,
dan lama bekerja. Demografi responden penelitian pasien
dijabarkan menurut umur, jenis kelamin, pekerjaan, diagnosa
medis, jenis terapi intravena, waktu dan lama pemasangan
terapi intravena, serta letak pemasangan terapi intravena.
4.1.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Ruangan/Bangsal
Distribusi frekuensi karakteristik pasien dan perawat di
Ruang Anggrek, HCU (High Care Unit), dan Ruang
Cempaka Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang
dapat dilihat pada table berikut.
Tabel 4.1 Tabel Distribusi Frekuensi Karakteristik Ruangan
No Karakteristik Ruang
Anggrek HCU Cempaka
1. Jumlah tempat tidur 38 TT 6 TT 46 TT
2. Jumlah tempat tidur
yang terpakai
36 TT 6 TT 41 TT
3. Jumlah tempat tidur 2 TT - 5 TT
61
yang tidak terpakai
4. Jumlah pasien
yang terpasang
terapi Intravena
34 orang 6
orang
38 orang
5. Jumlah pasien
yang terpasang
terapi intravena
yang masuk ke
dalam kriteria
sampel
16 orang 6
orang
20 orang
6. Jumlah pasien
yang terpasang
terapi intravena
yang tidak masuk
kriteria sampel
18 orang - 18 orang
7. Jumlah pasien
yang tidak
terpasang terapi
intravena
2 orang - 3 orang
Berdasarkan tabel 4.1, dapat dilihat di ruang Anggrek
yang masuk ke dalam kriteria sampel penelitian sebanyak
16 orang, di ruang HCU yang terpasang infus sebanyak 6
orang, dan semua responden masuk kedalam kriteria
sampel, dan di ruang Cempaka yang masuk ke dalam
kriteria sampel penelitian sebanyak 20 orang, sehingga
jumlah sampel pasien sebanyak 42 orang.
62
4.1.2. Distribusi Frekuensi Responden Perawat Menurut Umur
Tabel 4.2 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Perawat
Menurut Umur
No Umur Frekuensi Persentase
1. 25 – 40 tahun 38 90.5 %
2. 41 – 55 tahun 4 9.5 %
Jumlah 42 100 %
Berdasarkan tabel 4.2 diatas menunjukkan bahwa
mayoritas responden perawat adalah berumur antara 25-
40 tahun yaitu sebanyak 38 orang (90,5%) dan responden
yang berumur 41-55 tahun sebanyak 4 orang (9,5%).
4.1.3. Distribusi Frekuensi Responden Perawat Menurut Jenis Kelamin
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Perawat Menurut
Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase
1. Laki-laki 9 21.4 %
2. Perempuan 33 78.6 %
Jumlah 42 100 %
Berdasarkan tabel 4.3 diatas, dari 42 responden
perawat, responden yang paling banyak adalah berjenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak 33 orang (78,6%) dan
responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 9
orang (21.4%).
63
4.1.4. Distribusi Frekuensi Responden Perawat Menurut Tingkat Pendidikan
Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Perawat Menurut
Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase
1. D3 35 83.3 %
2. Sarjana 7 16.7 %
Jumlah 42 100 %
Berdasarkan tabel 4.4 diatas dapat dilihat dari 42
responden perawat, tingkat pendidikan terbanyak adalah
lulusan D3 yaitu sebanyak 35 orang (83,3%) dan Sarjana
sebanyak 7 orang (16,7%).
4.1.5. Distribusi Frekuensi Responden Perawat Menurut Lama Bekerja
Tabel 4.5 Tabel Distribusi Frekuensi Responden Perawat
Menurut Lama Bekerja
No Lama bekerja Frekuensi Persentase
1. < 5 tahun 15 35.7 %
2. > 5 tahun 27 64.3 %
Jumlah 42 100 %
Berdasarkan Tabel 4.5 diatas dapat dilihat lama
bekerja responden perawat terbanyak adalah lebih dari 5
tahun sebanyak 27 orang (64,3%) dan responden perawat
yang bekerja kurang dari 5 tahun sebanyak 15 orang
(35,7%).
64
4.1.6. Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut Umur
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut
Umur
No Umur Frekuensi Persentase
1. 20 – 40 thn 18 42.9 %
2. 41 – 60 thn 13 31.0 %
3. > 60 thn 11 26.2 %
Jumlah 42 100 %
Berdasarkan tabel 4.6 diatas dapat dilihat dari 42
responden, responden pasien dengan umur 20 sampai 40
tahun sebanyak 18 orang (42,9%), reponden pasien
dengan umur 41 sampai 60 tahun sebanyak 13 orang
(31,0%), dan responden pasien yang berumur lebih dari
60 tahun sebanyak 11 orang (26,2%).
4.1.7. Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut Jenis Kelamin
Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut
Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase
1. Laki-laki 17 40.5 %
2. Perempuan 25 59.5 %
Jumlah 42 100 %
Berdasarkan Tabel 4.7 diatas dapat dilihat dari 42
responden pasien sebanyak 25 orang berjenis kelamin
perempuan (59,5%), dan responden yang berjenis kelamin
laki-laki sebanyak 17 orang (40,5%).
65
4.1.8. Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut Pekerjaan
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut
Pekerjaan
No Pekerjaan Frekuensi Persentase
1. Tidak Memiliki
Pekerjaan 8 19.0 %
2. Ibu Rumah Tangga 8 19.0 %
3. Mahasiswa 4 9.5 %
4. Pensiunan 4 9.5 %
5. Swasta 13 31.0 %
6. Wiraswasta 5 11.9 %
Jumlah 42 100 %
Berdasarkan tabel 4.8 diatas dapat dilihat dari 42
responden pasien, 8 orang tidak memiliki pekerjaan
(19,0%), 8 orang ibu rumah tangga (19,0%), 4 orang
mahasiswa (9,5%), 4 orang pensiunan (9,5%), 13 orang
sebagai pekerja swasta (31,0%), dan 5 orang bekerja
wiraswasta (11,9%).
4.1.9. Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut Diagnosa Medis
Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut
Diagnosa Medis
No Diagnosa Medis Frekuensi Persentase
1. AMI (Acute Myocardial
Infarction) 2 4.8 %
66
2. Demam Tipoid 1 2.4 %
3. DHF (Dengue
Haemoragic Fever) 3 7.1 %
4. Diare 2 4.8 %
5. Dispepsia 1 2.4 %
6. DM (Diabetes
Mellitus) 3 7.1 %
7. Febris 8 19.0 %
8. Gastritis 2 4.8 %
9. Hipertensi 5 11.9 %
10. Kanker Ovarium 1 2.4 %
11. Kolik Renal 1 2.4 %
12. Odonektomi 1 2.4 %
13. Pneumonia 1 2.4 %
14. Post Op. Laparatomi 1 2.4 %
15. SH (Stroke
Haemoragic) 1 2.4 %
16. SNH (Stroke Non
Haemoragic) 8 19.0 %
17. Tumor 1 2.4 %
Jumlah 42 100 %
Berdasarkan tabel 4.9 diatas dapat dilihat dari 42
responden, jumlah responden dengan diagnosa medis
terbanyak adalah Febris yaitu 8 orang responden (19,0%),
8 orang responden (19,0%) dengan diagnosa Stroke Non
Haemoragic, dan 5 orang responden (11,9%) dengan
diagnosa Hipertensi.
67
4.1.10. Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut Jenis Terapi Intravena
Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut
Jenis Terapi Intravena
No Jenis Terapi IV Frekuensi Persentase
1. Asering 1 2.4 %
2. DW 10% /(Dextrosa In
Water)10% 2 4.8 %
3. DW 5% /(Dextrosa In
Water)5% 2 4.8 %
4. NaCl 0,9%(Natrium
Clorida) 2 4.8 %
5. RL (Ringer lactated) 30 71.4 %
6. RS (Ringer Solution) 5 11.9 %
Jumlah 42 100 %
Berdasarkan tabel 4.10 diatas dapat dilihat jenis terapi
yang paling banyak diberikan kepada responden pasien
adalah cairan RL/Ringer Lactated sebanyak 30 orang
(71,4%), cairan Asering sebanyak 1 orang (2,4%), cairan
Dextrosa 10% sebanyak 2 orang (4,8%), cairan Dextrosa
5% sebanyak 2 orang (4,8%), cairan NaCl sebanyak 2
orang (4,8%), dan cairan RS sebanyak 5 orang (11,9%).
68
4.1.11. Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut Waktu Dan Lama Pemasangan Terapi Intravena
Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut
Waktu Dan Lama Pemasangan
No Karakteristik Frekuensi Persentase
1. Waktu Pemasangan
a. 1 Desember 2011 23 54.8 %
b. 2 Desember 2011 15 35.7 %
c. 3 Desember 2011 4 9.5 %
Jumlah 42 100 %
2. Lama Pemasangan
a. 1 hari 4 9.5 %
b. 2 hari 15 35.7 %
c. 3 hari 23 54.8 %
Jumlah 42 100 %
Berdasarkan tabel 4.11 diatas dapat dilihat dari 42
responden pasien, ketika dilakukan observasi pada
tanggal 3 Desember 2011, responden dengan tanggal
pemasangan 1 Desember 2011 dengan lama
pemasangan 3 hari sebanyak 23 orang (54,8%),
responden dengan tanggal pemasangan 2 Desember
2011 dengan lama pemasangan 2 hari sebanyak 15 orang
(35,7%), responden dengan tanggal pemasangan 3
Desember 2011 dengan lama pemasangan 1 hari
sebanyak 4 orang (9,5%).
69
4.1.12. Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut Letak Pemasangan
Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Responden Pasien Menurut
Letak Pemasangan
No Letak Pemasangan Frekuensi Persentase
1. Vena punggung
tangan kiri (vena
Metakarpal /dorsalis
sinistra)
16 38.1 %
2. Vena punggung
tangan kanan (vena
metakarpal/dorsalis
dekstra)
12 28.6 %
3. Vena lengan tangan
kiri (vena radialis
sinistra)
11 26.2 %
4. Vena lengan tangan
kanan (vena radialis
dekstra)
2 4.8 %
5. Vena punggung kaki
kiri (vena dorsalis
pedis)
1 2.4 %
Jumlah 42 100 %
Berdasarkan tabel 4.12 diatas dapat dilihat dari 42
responden pasien, letak pemasangan terapi intravena di
vena punggung tangan kiri sebanyak 16 orang (38,1%),
letak pemasangan terapi intravena di vena punggung
tangan kanan sebanyak 12 orang (28,6%), letak
pemasangan terapi intravena di vena lengan kiri sebanyak
11 orang (26,2%), letak pemasangan terapi intravena di
70
vena lengan tangan kanan sebanyak 2 orang (4,8%), letak
pemasangan terapi intravena di vena punggung kaki kiri
sebanyak 1 orang (2,4%).
4.1.13. Pengetahuan Perawat Tentang Terapi Intravena
Tabel 4.13 Pengetahuan Perawat Tentang Terapi Intravena
No Kategori Frekuensi Persentase
1. Rendah 7 16.7 %
2. Tinggi 35 83.3 %
Jumlah 42 100 %
Berdasarkan tabel 4.13, dapat dilihat bahwa
mayoritas responden penelitian secara umum memiliki
pengetahuan yang tinggi dengan persentase 83,3%
atau sebanyak 35 orang, sedangkan hanya 7 orang
(16,7%) yang masuk kedalam kategori memiliki
pengetahuan rendah.
4.1.14. Angka Kejadian Flebitis
Tabel 4.14 Angka Kejadian Flebitis
No Kategori Frekuensi Persentase
1. Rendah 40 95.2 %
2. Tinggi 2 4.8 %
Jumlah 42 100 %
Berdasarkan tabel 4.14, dapat dilihat bahwa angka
kejadian flebitis di Rumah Sakit rendah dengan
persentase 95,2 %.
71
4.1.15. Analisa Hubungan Antara Pengetahuan Perawat Tentang Pemasangan Terapi Intravena Dengan Angka Kejadian Flebitis 4.1.15.1. Uji Chi-Square
Setelah seluruh data terkumpul, kemudian peneliti
melakukan pengolahan data dengan menggunakan uji
Chi-Square dengan bantuan program SPSS. Hasil
pengolahan data secara statistik diperoleh hasil
sebagai berikut: Tabel 4.15
Crosstabulation Pengetahuan Perawat dan Angka Kejadian Flebitis
Angka Kejadian
Flebitis
Total Rendah Tinggi
Tingkat
Pengetahuan
Perawat
Tentang
Terapi
Intravena
Rendah Count 6 1 7
Expected
Count 6.7 0.3 7.0
Tinggi Count 34 1 35
Expected
Count 33.3 1.7 35.0
Total Count 40 2 42
Expected
Count 40.0 2.0 42.0
Tabel 2x2 diatas tidak layak untuk diuji dengan
Chi-Square karena terdapat sel yang nilai expected-
nya kurang dari 5 jumlah sel yaitu 0,3 dan 1,7. Oleh
karena itu, uji yang dipakai adalah uji alternatifnya
yaitu uji Fisher.
72
4.1.15.2. Analisa Uji Fisher
Tabel 4.16 Chi-Square Tests
Value df
Asymp.
Sig. (2-
sided) Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 1.680a 1 0.195
Continuity Correctionb 0.105 1 0.746
Likelihood Ratio 1.258 1 0.262
Fisher's Exact Test 0.309 0.309
N of Valid Casesb 42
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The
minimum expected count is 0.33.
b. Computed only for a
2x2table
Hasil dari table 4.16 diatas menunjukkan hasil uji
Fisher. Nilai Significancy adalah 0,309 untuk 2-sided
(two tail) dan 0,309 untuk 1-sided (one tail). Karena
nilai p > 0,05, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
H0 diterima. Kesimpulan tidak ada hubungan antara
pengetahuan perawat tentang terapi intravena dengan
angka kejadian flebitis.
73
4.2. Pelaksanaan Penelitian 4.2.1. Perijinan
Untuk melakukan sebuah penelitian yang menjadi
syarat utama adalah mendapatkan ijin dari pihak yang
terkait, dalam hal ini adalah Rumah Sakit Panti Wilasa
Citarum Semarang. Peneliti meminta surat perijinan
untuk melakukan penelitian dari Dekan Fakultas Ilmu
Kesehatan UKSW yang ditujukan kepada Direktur
Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang. Peneliti
mengirimkan surat tersebut pada tanggal 22
November 2011 dengan lampiran proposal penelitian
dan instrumen penelitian ke bagian Diklat Rumah Sakit
untuk kemudian diteruskan ke Direktur Rumah Sakit
Panti Wilasa Citarum Semarang. Peneliti mendapatkan
informasi perijinan pada tanggal 2 Desember 2011
melalui telepon dan kemudian disusulkan dengan surat
ijin penelitian.
4.2.2. Pengumpulan Data
Peneliti melakukan dua kegiatan dalam penelitian
ini, yaitu penyebaran angket untuk responden perawat
dan melakukan observasi pada pada klien yang
terpasang terapi intravena. Peneliti melaksanakan
penyebaran angket di Rumah Sakit Panti Wilasa
Citarum Semarang pada tanggal 2 sampai 9
Desember 2011. Peneliti melakukan penyebaran
angket dilakukan sendiri oleh peneliti di ruang rawat
inap/bangsal yaitu bangsal Anggrek, HCU, dan
Cempaka. Kegiatan observasi dilakukan pada tanggal
3 Desember 2011 di 3 ruangan tersebut.
74
Angket pengetahuan perawat tentang terapi
intravena dikerjakan sendiri oleh perawat yang telah
dipilih oleh peneliti. Peneliti menyebarkan angket
sebanyak 42 buah yang terbagi dalam 3 ruangan atau
masing-masing ruangan 14 buah dan angket tersebut
kembali diterima semua oleh peneliti dengan lengkap
sebanyak 42 buah. Peneliti dapat menerima semua
angket kembali karena peneliti menunggu responden
penelitian mengisi angket hingga angket tersebut
kembali dan semua angket dapat diolah. Selama 8 hari
responden penelitian yang mengisi angket di tiga
ruangan tersebut adalah 42 orang sehingga jumlah
tersebut sudah memenuhi jumlah sampel penelitian.
Kegiatan observasi dilakukan pada tanggal 3
Desember 2011 di tiga ruangan yaitu ruang Anggrek,
HCU, dan Cempaka selama 1 hari. Peneliti
menggunakan Lembar Observasi Angka Kejadian
Flebitis yang diisi sendiri oleh peneliti. Peneliti
melakukan pengamatan langsung kepada klien yang
terpasang infus di tiga ruangan tersebut.
75
4.3. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, maka
pada bagian ini akan dibahas lebih lanjut hasil penelitian yang
diperoleh.
4.3.1. Demografi Responden Perawat Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa
mayoritas responden perawat adalah berumur antara
25-40 tahun yaitu sebanyak 38 orang (90,5%). Secara
fisiologis pertumbuhan dan perkembangan seseorang
dapat digambarkan dengan pertambahan umur.
Dengan peningkatan umur diharapkan terjadi
pertumbuhan kemampuan motorik sesuai dengan
tumbuh kembangnya, yang identik dengan idealisme
tinggi, semangat tinggi dan tenaga yang prima
(Sastrohadiwiryo, 2002). Kemampuan berpikir kritis
pun meningkat secara teratur selama usia dewasa
(Perry & Potter, 2009).
Menurut Hurlock (1980), umur 25-40 tahun masuk
dalam masa dewasa dini dimana pada masa ini orang
akan memusatkan harapan-harapannya untuk
mendapatkan pekerjaan, memilih teman hidup,
membentuk keluarga, dan bersosialisasi. Pada masa
ini orang akan berpacu dan bersaing dengan orang
lain atau rekan kerjanya agar lebih produktif dalam
bekerja. Orang akan menggunakan kemampuan
motorik yang masih baik dalam belajar menguasai
ketrampilan-ketrampilan motorik baru, dan
menggunakan kemampuan mental seperti mengingat
hal-hal yang dulu pernah dipelajari, penalaran
analogis, dan berpikir kreatif serta didukung dengan
kemampuan fisik/tenaga yang masih efisien agar
76
mampu bersaing dengan lingkungannya. Menurut
Perry& Potter (2009), pengalaman pendidikan formal
dan informal, pengalaman hidup, dan kesempatan
untuk bekerja dapat meningkatkan konsep diri,
kemampuan menyelesaikan masalah, dan ketrampilan
motorik individu.
Usia perawat yang diperoleh peneliti di Rumah
Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang banyak berkisar
di masa dewasa muda, sehingga masih banyak
perawat yang berpacu dan bersaing dengan
menggunakan kemampuan motorik, kemampuan
mental, penalaran analogis, berpikir kreatif, dan
didukung dengan fisik/tenaga yang prima sehingga
mampu memberikan pelayanan kesehatan yang
maksimal khususnya dalam memberikan asuhan
keperawatan.
Responden penelitian perawat yang paling banyak
adalah berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 33
orang (78,6%) dan responden yang berjenis kelamin
laki-laki sebanyak 9 orang (21.4%). Menurut
Manajemen Keperawatan Rumah Sakit tidak ada
batas yang pasti dan ideal untuk perbandingan antara
perawat laki-laki dan perempuan. Namun dalam terkait
dengan pengaturan jadwal dinas, dianjurkan dalam
satu shift ada perawat laki-laki dan perempuan,
sehingga apabila melakukan tindakan yang bersifat
privacy bisa dilakukan oleh perawat yang sama jenis
kelaminnya misalnya personal higiyene, eliminasi,
perekaman EKG, pemasanga asesoris bed side
monitor, dll (Kusumapraja, 2002).
77
Berdasarkan tabel 4.4 responden perawat dengan
tingkat pendidikan terbanyak adalah lulusan D3 yaitu
sebanyak 35 orang (83,3%) dan Sarjana sebanyak 7
orang (16,7%). Menurut U.S Departement of Labor
(2005), lulusan sarjana muda dan diploma atau yang
setingkat merupakan sumber daya yang tumbuh paling
signifikan dalam dunia kerja (Perry & Potter, 2009).
Terdapat empat jenjang pendidikan keperawatan yaitu
pendidikan D3 yang menghasilkan perawat vokasional,
pendidikan Ners dimana menghasilkan Sarjana
Keperawatan dan Perawat Profesional (Ners ”First,
Profesional Degree ), pendidikan Ners Spesialis yang
menghasilkan perawat ilmuwan (Magister) dan
profesional (Ners Spesialis, ”Second Profesional
Degree), dan pendidikan S3 Keperawatan yang
menghasilkan perawat ilmuwan (Nursalam, 2011).
Perawat profesional adalah perawat yang memiliki
kriteria lulusan pendidikan tinggi keperawatan,
mentaati kode etik, mampu berkomunikasi dengan
pasien dan keluarga, serta mampu memanfaatkan
sarana kesehatan yang tersedia secara berdaya guna
dan berhasil guna, mampu berperan sebagai agen
pembaharu dan mengembangkan ilmu serta teknologi
keperawatan (Nursalam, 2002).
Hasil penelitian yang diperoleh, lama bekerja
responden perawat terbanyak adalah lebih dari 5
tahun sebanyak 27 orang (64,3%) dan responden
perawat yang bekerja kurang dari 5 tahun sebanyak 15
orang (35,7%). Semakin lama perawat bekerja
semakin banyak kasus yang ditanganinya sehingga
semakin meningkat pengalamannya, sebaliknya
78
semakin singkat orang bekerja maka semakin sedikit
kasus yang ditanganinya. Pengalaman bekerja banyak
memberikan keahlian dan ketrampilan kerja
(Sastrohadiwiryo, 2002). Dengan waktu selama itu
pengetahuan perawat dan ketrampilannya terus diasah
dengan bervariasinya kasus yang ditangani.
Dari hasil demografi responden perawat dapat
disimpulkan bahwa usia perawat di Rumah Sakit Panti
Wilasa Citarum Semarang mayoritas di masa dewasa
muda, sehingga perawat yang bekerja di Rumah Sakit
ini masih saling berpacu dan bersaing memberikan
pelayanan kesehatan yang maksimal khususnya
dalam memberikan asuhan keperawatan. Perawat di
Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang hampir
semua sudah bekerja lebih dari 5 tahun, sehingga
sudah banyak pengalaman, ketrampilan, pengetahuan,
dan kasus yang ditanganinya sehingga semakin
meningkat pengalamannya.
4.3.2. Pengetahuan Perawat Tentang Terapi Intravena
Berdasarkan tabel 4.13, dapat dilihat bahwa
mayoritas responden penelitian secara umum memiliki
pengetahuan yang tinggi dengan persentase 83,3%
atau sebanyak 35 orang, sedangkan hanya 7 orang
(16,7%) yang masuk kedalam kategori memiliki
pengetahuan rendah.
Didalam melakukan asuhan keperawatan terapi
intravena, perawat dituntut untuk mengetahui,
memahami, mengaplikasikan, menganalisis, dan
mengevaluasi dari setiap tahap-tahap tindakan terapi
79
intravena. Pengetahuan perawat tentang terapi
intravena lebih dari 80% masuk kedalam kategori
tinggi. Perawat di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum
Semarang sudah mampu untuk memahami atau dapat
menjelaskan secara benar tentang tujuan pemberian
terapi intravena, memahami pemilihan akses dan cara
pemberian terapi intravena, memahami jenis cairan
yang akan digunakan, memahami dan mengaplikasi
standart operasional prosedur tindakan terapi
intravena sesuai dengan standart yang berlaku di
rumah sakit, serta mampu mengevaluasi, menganalisis
dan mengidentifikasi komplikasi terapi intravena.
Jika dilihat dari usia perawat, mayoritas di usia
dewasa muda (25-40 tahun), sehingga dari
kemampuan untuk memahami, mengingat, dan
bekerja sesuai dengan prosedur yang ada masih
mampu dilakukan oleh perawat di Rumah Sakit Panti
Wilasa Citarum Semarang.
Menurut Perry& Potter (2009), Kemampuan
seorang perawat dalam berfikir kritis dalam melakukan
asuhan keperawatan akan terus meningkat secara
teratur selama usia dewasa dengan banyaknya kasus
dan pengalaman yang diperoleh selama perawat
bekerja. Pengalaman perawat yang didapat dari
pendidikan formal dan informal, pengalaman hidup,
dan kesempatan untuk bekerja di Rumah Sakit,
komunitas, maupun di tempat kerja yang lain dapat
meningkatkan konsep diri, kemampuan menyelesaikan
masalah, dan ketrampilan motorik perawat tersebut.
Tenaga perawat di Rumah Sakit ini mayoritas
adalah lulusan D3 yang dikategorikan sebagai perawat
80
vokasional, dan tenaga perawat sarjana hanya
beberapa ditiap ruangan, sehingga perawat sudah
memiliki dasar pendidikan yang kuat untuk menjadi
perawat yang profesional. Menurut U.S Departement
of Labor (2005), lulusan sarjana muda dan diploma
atau yang setingkat merupakan sumber daya yang
tumbuh paling signifikan dalam dunia kerja (Perry &
Potter, 2009). Dengan ditambah hampir semua
perawat di Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum
Semarang sudah bekerja lebih dari 5 tahun, sehingga
sudah banyak pengalaman, ketrampilan, pengetahuan,
dan kasus yang ditanganinya sehingga semakin
meningkat pengalamannya khususnya dalam
melakukan asuhan keperawatan terapi intravena.
81
4.3.3. Angka Kejadian Flebitis Berdasarkan tabel 4.14, dapat dilihat bahwa angka
kejadian flebitis di Rumah Sakit rendah yaitu hanya
terdapat dua kejadian flebitis.
Jika dihitung menggunakan rumus :
Persen Flebitis = Angka Kejadian x 100
Total pasien yang terpasang IV
Maka didapatkan hasil infeksi flebitis sebesar
4,76%. Sementara data yang didapatkan peneliti saat
studi pendahuluan bahwa selama tahun 2010 sampai
2011 telah tercatat infeksi flebitis sebanyak 7,56%
(Diklat RSPW Citarum Semarang, 2011). Menurut INS
(Infusion Nurses Society, 2006) dalam Phillips (2010),
Insiden flebitis harus di bawah 5% dari populasi pasien
yang dirawat di Rumah Sakit. Rumah Sakit Harus
terus menjaga maupun menekan agar tidak terjadi
infeksi flebitis dengan rata-rata 5% atau dibawah
angka tersebut. Insiden flebitis meningkat sesuai
dengan lamanya pemasangan jalur intravena,
komposisi cairan, atau obat yang diinfuskan (terutama
pH dan tonisitas), ukuran dan tempat kanula
dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak sesuai,
dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan.
Faktor lain yang berkontribusi dalam insiden flebitis
seperti trauma pada vena selama penusukan, cairan
infuse yang bersifat asam atau alkali atau memiliki
osmolalitas tinggi, penusukan ke pembuluh darah yang
terlalu kecil, menggunakan jarum yang terlalu besar,
jarum infuse yang lama tidak diganti, jenis bahan
kateter infus, riwayat dan kondisi pasien, kondisi
82
pembuluh darah, stabilitas kanul, dan pengendalian
infeksi di Rumah Sakit (Nursalam, 2011).
Selain itu faktor lain yang berkontribusi dalam
insiden flebitis dalam penelitian ini antara lain faktor
usia, dari hasil yang ada responden pasien dengan
umur 20 sampai 40 tahun sebanyak 18 orang (42,9%),
reponden pasien dengan umur 41 sampai 60 tahun
sebanyak 13 orang (31,0%), dan responden pasien
yang berumur lebih dari 60 tahun sebanyak 11 orang
(26,2%). Menurut Phillips (2010), resiko untuk terjadi
infeksi flebitis lebih besar pada orang yang lebih
tua/lansia maupun pada anak-anak. Selain itu resiko
flebitis lebih tinggi terjadi pada wanita dibanding laki-
laki. Pertimbangan usia harus digunakan, seperti pada
anak-anak pemilihan tempat penusukan sangat
penting, biasanya vena anak akan sangat mudah
pecah seperti vena-vena dikulit kepala dan
memerlukan perlindungan agar tidak mudah
mengalami infiltrasi. Untuk pertimbangan geriatrik juga
perlu diperhatikan karena otot-otot lengan menjadi
kurang kuat karena proses penuaan, ketebalan kulit
dermal menurun, lapisan subkutan berkurang yang
membuat tendon dan vena menonjol sehingga akan
beresiko untuk vena menjadi pecah ketika melakukan
pungsi/memasang infus (Rocca, 1998).
Diagnosa medis ikut mempengaruhi insiden
flebitis. Diagnosa medis terbanyak adalah Febris yaitu
8 orang responden (19,0%), 8 orang responden
(19,0%) dengan diagnosa Stroke Non Haemoragic,
dan 5 orang responden (11,9%) dengan diagnosa
83
Hipertensi. Penyakit yang dapat beresiko terjadi flebitis
seperti Diabetes Melitus, infeksi, dan luka bakar.
Jenis cairan terapi intravena juga dapat menjadi
faktor yang berkontribusi dalam insiden flebitis, jenis
cairan terapi intravena paling banyak diberikan kepada
responden pasien adalah cairan RL/Ringer Lactated.
Cairan ini memiliki konsertrasi elektrolit yang hampir
sama dengan kadar plasma, indikasi pada pasien yang
mengalami hipovolemi. Cairan ini masuk kedalam jenis
cairan isotonis, contoh lainnya seperti Dekstrosa 5%,
Dekstrosa 5% + NaCl 0,2%, Dekstrosa 5% + NaCl
0,3%, Normal saline/larutan garam fisiologis (NaCl
0,9%). Jenis cairan hipertonik osmolaritasnya lebih
tinggi dibandingkan serum, sehingga menarik cairan
dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh
darah. Pemberian cairan hipertonik yang cepat dapat
menyebabkan kelebihan (overload) sirkulasi, dan
dehidrasi. Pemberian cairan infus hipotonik yang
berlebihan dapat menyebabkan deplesi cairan
intravaskular, hipotensi, edema seluler, dan kerusakan
sel. Oleh karena itu larutan ini digunakan hanya
dengan observasi yang teliti karena dapat
menyebabkan komplikasi yang serius. Larutan
hipotonis digunakan pada keadaan sel yang
mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci
darah, hiperglikemia. Contoh seperti NaCl 0,45%,
NaCl 0,33% dan Dekstrosa 2,5%. Osmolaritas cairan
dan pH infus yang ekstrem selalu diikuti risiko flebitis
tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3 – 5, jadi
larutan yang mengandung glukosa, asam amino dan
lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat
84
lebih flebitogenik dibandingkan normal saline (Rocca,
1998). Larutan Hipertonik seperti D10% yang memiliki
tonisitas lebih dari 375, dapat meningkatkan resiko
flebitis (Phillips, 2010).
Lama pemasangan juga menjadi salah satu faktor
insiden flebitis. Ketika dilakukan observasi pada
tanggal 3 Desember 2011, responden dengan lama
pemasangan terlama adalah 3 hari sebanyak 23 orang
(54,8%), Menurut Smith 2008, observasi dan
penggantian set infus dilakukan dalam 3x24 jam
setelah pemasangan terakhir sehingga dapat
meminimalkan insiden flebitis. Hal tersebut juga
menjadi standart yang diberlakukan oleh INS (Infusion
Nurses Society) dimana terapi infus harus diganti
setiap 72 jam atau kurang jika terdapat kontaminasi,
komplikasi, atau terapi dihentikan (Phillips, 2010). Di
rumah sakit Panti Wilasa Citarum sudah menerapkan
prosedur unruk penggantian rutin set infus selama
3x24 jam sekali, sehingga dapat menekan jumlah
kejadian infeksi flebitis.
Letak pemasangan terapi intravena juga dapat
mempengaruhi insiden flebitis. Menurut Perry dan
Potter (2005), tempat atau lokasi vena perifer yang
sering digunakan pada pemasangan infus adalah vena
supervisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia
subcutan dan merupakan akses paling mudah untuk
terapi intravena. Dari hasil yang didapat letak
pemasangan terapi intravena yang biasa digunakan
adalah di vena punggung tangan kiri, vena punggung
tangan kanan, dan lengan kiri. Lokasi-lokasi yang
85
sering menyebabkan komplikasi seperti flebitis,
infiltasi, dll adalah seperti vena digitalis sampai ke
vena dorsalis. Vena dorsalis (metacarpal/punggung
tangan) berasal dari gabungan vena digitalis,
keuntungan pemasangan terapi intravena didaerah ini
adalah pasien memungkinkan pergerakan lengan,
mudah dilihat dan dipalpasi, sedangkan kerugiannya
tempat penusukan sering macet karena digunakan
untuk aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, cuci
tangan, dll (Rocca, 1998).
Pemilihan kateter penting untuk keberhasilan terapi
intravena. Ketebalan dinding kateter dapat
berpengaruh pada kecepatan aliran, sifat kelunakan
kateter dapat berpengaruh pada lama/keawetan
kateter, desain yang aman untuk mencegah cedera
saat pemasangan terapi, dan ukuran kateter juga
berpengaruh pada kecepatan aliran. Kateter yang
terbuat dari silikone elastomer dan polyurethane
kurang bersifat iritatif di vena dibanding
politetrafluoroethylene (teflon). Bahan kateter yang
terbuat dari silikone elastomer dan polyurethane
permukaannya lebih halus, lebih thermoplastik dan
lentur. Risiko tertinggi untuk flebitis dimiliki kateter
yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen
(Rocca, 1998).
Flebitis dapat dicegah dengan menggunakan
teknik aseptik selama pemasangan, menggunakan
ukuran kateter dan jarum yang sesuai untuk vena,
mempertimbangkan komposisi cairan dan medikasi
ketika memilih daerah penusukan, mengobservasi
tempat penusukan akan adanya komplikasi apapun
86
setiap jam, dan menempatkan kateter atau jarum
dengan baik (Smeltzer, 2002).
4.3.4. Hubungan Antara Pengetahuan Perawat Tentang Pemasangan Terapi Intravena Dengan Angka Kejadian Flebitis
Berdasarkan analisa data pada Tabel 4.15 diatas,
tabel tersebut tidak layak untuk diuji dengan Chi-
Square karena sel yang nilai expected-nya kurang 5
dari 50% dari jumlah sel yaitu 0,3 dan 1,7. Oleh karena
itu, uji yang dipakai adalah uji alternatifnya yaitu uji
Fisher.
Hasil dari table 4.16 diatas menunjukkan hasil uji
Fisher. Nilai Significancy adalah 0,309 untuk 2-sided
(two tail) dan 0,309 untuk 1-sided (one tail). Karena
nilai p > 0,05, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
H0 diterima. Kesimpulan tidak ada hubungan antara
pengetahuan perawat tentang terapi intravena dengan
angka kejadian flebitis.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi insiden
flebitis diantaranya jenis larutan yang akan diberikan,
lamanya terapi intravena yang diharapkan, kondisi
vena, jenis obat yang diberikan, usia/ukuran pasien,
riwayat kesehatan/status kesehatan pasien sekarang,
dan ketrampilan dan pengetahuan tenaga kesehatan
(Smeltzer, 2002).
Dilihat dari sisi pengetahuan perawat dapat
dijelaskan bahwa mayoritas responden perawat
berumur di masa dewasa dini sebanyak 90,5%. Menurut Hurlock (1980), umur 25-40 masuk dalam
87
masa dewasa dini dimana pada masa ini orang akan
memusatkan harapan-harapannya untuk mendapatkan
pekerjaan. Orang akan menggunakan kemampuan
motorik yang masih baik dalam belajar menguasai
ketrampilan-ketrampilan motorik baru, dan
menggunakan kemampuan mental seperti mengingat
hal-hal yang dulu pernah dipelajari, penalaran
analogis, dan berpikir kreatif serta didukung dengan
kemampuan fisik/tenaga yang masih efisien agar
mampu bersaing dengan lingkungannya. Menurut
Perry& Potter (2009), Kemampuan seorang perawat
dalam berfikir kritis dalam melakukan asuhan
keperawatan akan terus meningkat secara teratur
selama usia dewasa dengan banyaknya kasus dan
pengalaman yang diperoleh selama perawat bekerja.
Pengalaman perawat yang didapat dari pendidikan
formal dan informal, pengalaman hidup, dan
kesempatan untuk bekerja di Rumah Sakit, komunitas,
maupun di tempat kerja yang lain dapat meningkatkan
konsep diri, kemampuan menyelesaikan masalah, dan
ketrampilan motorik perawat tersebut.
Mayoritas pendidikan perawat di Rumah Sakit
Citarum Semarang adalah lulusan D3 sebanyak 83,3%
dan lulusan sarjana sebanyak 16,7%, dengan sebaran
tahun lulusan terbanyak antara tahun 2005 dan 2006
sehingga dapat dikatakan masih lulusan baru dan
dengan tenaga sarjana ditiap ruangan minimal 2 orang
yang dapat menjadi kontrol untuk menjaga mutu
pelayanan keperawatan dimana beberapa diantara
lulusan sarjana tersebut menduduki jabatan sebagai
kepala dan wakil kepala ruang.
88
Lama bekerja terbanyak adalah lebih dari 5 tahun
yaitu sebanyak 64,3% sehingga dapat disimpulkan
bahwa perawat-perawat di Rumah Sakit Citarum
Semarang mempunyai tingkat pengalaman yang
cukup dan pengetahuan yang tinggi. Semakin lama
perawat bekerja semakin banyak kasus yang
ditanganinya sehingga semakin meningkat
pengalamannya, sebaliknya semakin singkat orang
bekerja maka semakin sedikit kasus yang
ditanganinya. Pengalaman bekerja banyak
memberikan keahlian dan ketrampilan kerja
(Sastrohadiwiryo, 2002).
Dari hasil perhitungan bahwa mayoritas responden
penelitian secara umum memiliki pengetahuan yang
tinggi dengan persentase 83,3%. Sedangkan angka
kejadian flebitis di Rumah Sakit rendah. Insiden flebitis
meningkat sesuai dengan lamanya pemasangan jalur
intravena, jenis/komposisi cairan, atau obat yang
diinfuskan (terutama pH dan tonisitas), ukuran dan
tempat kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang
tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat
penusukan. Faktor lain yang berkontribusi dalam
insiden flebitis seperti trauma pada vena selama
penusukan, cairan infus yang bersifat asam atau alkali
atau memiliki osmolalitas tinggi, penusukan ke
pembuluh darah yang terlalu kecil, menggunakan
jarum yang terlalu besar, jarum infuse yang lama tidak
diganti, jenis bahan kateter infuse, riwayat dan kondisi
pasien, kondisi pembuluh darah, stabilitas kanul, dan
89
pengendalian infeksi di Rumah Sakit (Nursalam,
2011).
Dari beberapa penjelasan diatas disimpulkan
bahwa pengetahuan perawat di Rumah Sakit Panti
Wilasa Citarum adalah tinggi dan angka kejadian
flebitis rendah. Dari hasil analisa uji bivariat dapat
diambil kesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara
tingkat pengetahuan perawat tentang terapi intravena
dengan angka kejadian flebitis. Hal ini dapat
disebabkan karena peneliti hanya memfokuskan pada
pengetahuan perawatnya saja, tetapi tidak melihat dari
aspek peralatan (alat dan bahan), aspek metode
(ketrampilan/skill), dan lingkungan maupun aspek-
aspek lain.
Aspek yang berpengaruh dalam kejadian flebitis
yang perlu perawat ketahui selain pengetahuan
perawat itu sendiri adalah dari aspek peralatan dan
bahan dari terapi intravena seperti jenis cairan
intravena, komposisi cairan, ukuran kateter. Pemilihan
kateter yang benar adalah penting untuk keberhasilan
terapi intravena. Seperti pada jarum kupu-kupu dapat
digunakan pada situasi terbatas dan bersifat jangka
pendek. Jarum ini mudah dimasukkan tetapi mudah
menyebabkan infiltrasi. Pemilihan dan pertimbangan
ketebalan dinding kateter dapat berpengaruh pada
kecepatan aliran, ketajaman jarum dapat berpengaruh
pada ada tidaknya gangguan saat melakukan
penusukan, sifat kelunakan kateter berpengaruh pada
masa pemasangan kateter, desain yang aman
berpengaruh pada keamanan pasien dan perawat.
Selain itu mempertimbangkan jenis dan komposisi
90
cairan intravena dapat mempengaruhi angka kejadian
flebitis. Perawat perlu mengetahui jenis larutan seperti
cairan isotonik, hipotonik, dan hipertonik. Perawat juga
harus mempertimbangkan osmolalitas suatu larutan,
tetap mengingat bahwa osmolalitas plasma adalah
kira-kira 300 mOsm/L. Larutan Hipertonik seperti
D10% yang memiliki tonisitas lebih dari 375, dapat
meningkatkan resiko flebitis (Phillips, 2010). pH larutan
dekstrosa berkisar antara 3 – 5, jadi larutan yang
mengandung glukosa, asam amino dan lipid yang
digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih
flebitogenik dibandingkan normal saline (Rocca, 1998).
Aspek lain yang ikut mempengaruhi Insiden flebitis
seperti lamanya obat yang diinfuskan (terutama pH
dan tonisitas), Obat suntik yang bisa menyebabkan
peradangan vena yang hebat, antara lain kalium
klorida, vancomycin, amphotrecin B, cephalosporins,
diazepam, midazolam dan banyak obat khemoterapi.
Larutan infus dengan osmolaritas > 900 mOsm/L
harus diberikan melalui vena sentral. Aspek-aspek dari
lingkungan yang ikut mencetuskan seperti daerah
kanula dimasukkan, pemasangan jalur IV yang tidak
sesuai, riwayat dan kondisi pasien, dan masuknya
mikroorganisme pada saat penusukan. Ketrampilan
perawat saat melakukan insersi juga dapat
mempengaruhi infeksi flebitis, seperti trauma pada
vena selama penusukan, penusukan ke pembuluh
darah yang terlalu kecil, menggunakan jarum yang
terlalu besar, jarum infus yang lama tidak diganti
(Phillips, 2010).