bab iv koordinasi antar organisasi dalam...
TRANSCRIPT
96
BAB IV
KOORDINASI ANTAR ORGANISASI DALAM PEMBANGUNAN
PARIWISATA DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
4.1. Kepariwisataan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berdiri pada bulan November
2000 merupakan provinsi yang ke-31 di Indonesia yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang (Nomor 27 tanggal 4 Desember 2000). Pada awal terbentuknya,
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari dua kabupaten, yaitu Kabupaten
Bangka dan Kabupaten Belitung, serta satu kota, yaitu Pangkalpinang. Pada
tahun 2003 terjadi pemekaran kabupaten sehingga bertambah empat kabupaten
lagi. Dengan demikian sampai saat ini Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
terdiri dari enam kabupaten, yaitu Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Barat,
Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Belitung, dan
Kabupaten Belitung Timur, serta satu kota, yaitu Kota Pangkalpinang.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terletak pada posisi antara 104050‟ –
109030‟ Bujur Timur dan 0
050‟ – 4
010‟ Lintang Selatan, serta berbatasan dengan
Laut Natuna dan Laut Cina Selatan di sebelah utara, Selat Karimata di sebelah
timur, Laut Jawa di sebelah selatan, dan Selat Bangka di sebelah barat (RIPPDA
Kep. Babel 2007-2013). Secara geografis, lokasi Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung berada di posisi yang sangat strategis yaitu di Selat Karimata, dapat
mendatangkan banyak keuntungan dari segi ekonomi karena terletak di segitiga
pertumbuhan ekonomi, yaitu Singapura-Johor-Riau dan Batam di bagian utara,
97
serta di bagian selatan dengan pusat pertumbuhan selat Sunda yang berpusat di
Jakarta dan Lampung dan Banten. Wilayah kepulauan yang terdiri dari wilayah
daratan dan perairan ini memiliki luas keseluruhan 81.725,14 km2. Wilayah
perairan memiliki proporsi yang lebih besar, yaitu seluas 65.301 km2 atau sekitar
79,90 persen dibandingkan wilayah daratan yang hanya memiliki luas 16.424,14
km2 atau 20,10 persen dari luas keseluruhan (RIPPDA Kep. Babel 2007-2013).
Provinsi ini memiliki 950 pulau, 470 pulau sudah bernama termasuk
didalamnya dua buah pulau besar yaitu Bangka dan Belitung, dan yang dihuni 51
pulau, sedangkan 480 pulau yang belum bernama (Data Dinas Kelauatan dan
Perikanan Prov babel 2011). Pulau Bangka dan Pulau Belitung dikelilingi oleh
pulau-pulau kecil, seperti Pulau Nangka, Penyu, Burung, Lepar, Pongok, Gelasa,
Panjang, Tujuh, Nasik, Lima, Lengkuas, Melindang, Selanduk, Seliu, Nadu,
Mendanau dan Batu Dinding. Beberapa pulau kecil di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung memiliki potensi pariwisata, termasuk potensi bawah lautnya yang
cukup tinggi. seperti Pulau Memperak di kepulauan Memperang, Pulau Lepar,
Pulau Pongok, Pulau Ayer Masin, Pulau Nanas, Pulau Burung, Pulau Tinggi, dan
Pulau Lengkuas.
4.1.1. Visi, Misi, dan Tujuan Pembangunan Kepariwisataan
Undang-undang (Nomor 10 tahun 2009) tentang Kepariwisataan pada
pasal 6 menyatakan bahwa, pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan
asas-asas: (1) Manfaat; (2) Kekeluaragaan; (3) Adil dan merata; (4)
keseimbangan; (5) Kemandirian; (6) Kelestarian; (7) Partisipatif; (8)
98
Berkelanjutan; (9) Demokratis; (10) Kesetaraan,; dan (11) Kesatuan.
Sementara itu di dalam melaksanakan pembangunan kepariwisataan
(sesuai dengan pasal 7 huruf b) Undang-undang tentang Kepariwisataan
dinyatakan meliputi empat aspek yaitu: a. Industri pariwisata; b. Destinasi
pariwisata; c. Pemasaran; d. Kelembagaan pariwisata.
Keempat hal tersebut ditegaskan kembali dalam penjelasan ( pasal 7):
Huruf a
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan industri
pariwisata, antara lain pembangunan struktur (fungsi hirarki, dan
hubungan) industri pariwisata, daya saing produk pariwisata, kemitraan
usaha pariwisata, kredebilitas bisnis, serta tanggungjawab terhadap
lingkungan alam dan sosial budaya.
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan destinasi
pariwisata, antara lain pemberdayaan masyarakat, pembangunan daya tarik
wisata, pembangunan prasarana, penyediaan fasilitas umum, serta
pembangunan fasilitas pariwisata secara terpadu dan berkesinambungan.
Huruf c
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan pemasaran,
antara lain pemasaran pariwisata bersama, terpadu dan berkesinambungan
dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta pemasaran yang
bertanggungjawab dalam membangun citra Indonesia sebagai destinasi
pariwisata yang berdaya saing .
Huruf d
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan kelembagaan
kepariwisataan, antara lain pengembangan organisasi pemerintah,
pemerintah daerah, swasta dan masyarakat, pengembangan sumber daya
manusia, regulasi, serta mekanisme operasional di bidang kepariwisataan.
99
Keseluruhan penjelasan dimaksud digambarkan seperti dalam
skemaberikut:
Gambar 4.1. Empat Komponen Pembangunan Kepariwisataan
Sumber : Riparnas 2010-2025 Modul Destinasi Pariwisata (I-4)
Pembangunan kepariwisataan tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan
rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman,
keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk
berwisata.
Sesuai dengan Prioritas Nasional (dalam Buku I RPJMN tahun 2010 – 2014),
pembangunan di bidang kepariwisataan merupakan bagian dari Program Prioritas
100
Nasional Lainnya di bidang Kesejahteraan Rakyat. Dalam Program Prioritas
Nasional tersebut antara lain diamanatkan :
a. Peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara
sebesar 20 % secara bertahap dalam 5 tahun;
b. Promosi 10 tujuan pariwisata Indonesia melalui saluran pemasaran dan
pengiklanan yang kreatif dan efektif;
c. Perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana
pendukung pariwisata;
d. Peningkatan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata
lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management
yang kompetitif di kawasan Asia.
Di dalam Buku II RPJMN 2010 -2014, khususnya Bab III : Ekonomi, Strategi
pembangunan kepariwisataan yang merupakan salah satu bagian yang tidak
terpisahkan dari prioritas peningkatan ekspor adalah sebagai berikut.
a. Mengembangkan industri pariwisata dengan menciptakan iklim yang
kondusif bagi pertumbuhan investasi dan peluang usaha yang berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan penyerapan
tenaga kerja;
b. Mengembangkan destinasi pariwisata dengan mendorong perbaikan dan
peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata,
melakukan konsolidasi akses transportasi mancanegara dan dalam negeri,
terutama ke sepuluh tujuan pariwisata Indonesia, dan mengembangkan
kawasan strategis dan daya tarik pariwisata berbasis wisata bahari, alam,
dan budaya di luar Jawa dan Bali, termasuk industri kreatif, serta
mengembangkan desa wisata melalui PNPM Mandiri;
c. Mengembangkan pemasaran dan promosi pariwisata dengan meningkatkan
jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20 (dua
puluh) persen secara bertahap dalam 5 (lima) tahun dan mempromosikan ke
10 (sepuluh) tujuan pariwisata Indonesia melalui saluran pemasaran dan
pengiklanan yang kreatif dan efektif, serta menguatkan strategi pemasaran
dan promosi pariwisata terpadu berbasis teknologi informasi dan
komunikasi, dan responsif terhadap pasar;
d. Mengembangkan sumber daya pariwisata dengan strategi meningkatkan
kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk
mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management yang
kompetitif di kawasan Asia, dan meningkatkan kualitas penelitian dan
pengembangan kepariwisataan.
101
Strategi tersebut didukung oleh peningkatan koordinasi lintas sektor pada
tataran kebijakan, program, dan kegiatan kepariwisataan, terutama di bidang (1)
pelayanan kepabeanan keimigrasian, dan karantina; (2) keamanan dan ketertiban;
(3) prasarana umum yang mencakup jalan, air bersih, listrik, telekomunikasi, dan
kesehatan lingkungan; (4) transportasi darat, laut, dan udara; dan (5) bidang
promosi dan kerja sama luar negeri; serta koordinasi dan kerja sama dengan
pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.
Dalam meningkatkan koordinasi lintas sektor ini guna mendukung
pengembangan pariwisata yang banyak terkait dengan sektor-sektor lainnya maka
telah diterbitkan Instruksi Presiden (Nomor 16 tahun 2005) tentang Kebijakan
Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata.
Beberapa tekanan yang terdapat dalam Inpres (Nomor 16 tahun 2005) yang
ditujukan kepada : Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu; Para Kepala Lembaga
Pemerintah Non Departemen; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Para Gubernur, Bupati dan Walikota tersebut antara lain untuk:
PERTAMA : Meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik dalam bentuk
jasa atau kemudahan-kemudahan yang diperlukan bagi wisatawan
mancanegara yang hendak berkunjung ke Indonesia dan kemudahan bagi
wisatawan nusantara dalam melakukan perjalanan untuk mengenali dan
mencintai alam dan ragam budaya Indonesia.
KEDUA : Mengambil langkah-langkah nyata guna mengoptimalkan
akselerasi pembangunan kebudayaan dan pariwisata nasional dalam upaya
menyejahterakan masyarakat, membuka lapangan kerja, memberantas
kemiskinan dan memeratakan pembangunan.
KETIGA: Secara proaktif melakukan upaya perlindungan, pengembangan
dan pemanfaatan sumber daya alam dan budaya untuk pembangunan
kebudayaan dan pariwisata.
KEEMPAT : Menggunakan tema "Indonesia Ultimate in Diversity' dalam
setiap kegiatan promosi yang dilakukan di luar negeri dan tema "Kenali
102
Negerimu Cintai Negerimu Ayo Tamasya Jelajahi Nusantara" dalam setiap
kegiatan promosi di dalam negeri.
Dalam Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (nomor
PM.17/PR.001/MKP/2010) tentang Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata tahun 2010-2014 dinyatakan bahwa pembangunan kebudayaan dan
pariwisata dibimbing oleh visi: "Terwujudnya Bangsa Indonesia yang mampu
memperkuat jati diri dan karakter bangsa serta meningkatkan kesejahteraan
masyarakat." Dalam upaya mewujudkan visi tersebut maka misi yang diemban
oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2010-2014 adalah :
1. Melestarikan nilai, keragaman dan kekayaan budaya dalam rangka
memperkuat jati diri dan karakter bangsa.
2. Mengembangkan industri pariwisata berdaya saing, destinasi yang
berkelanjutan dan menerapkan pemasaran yang bertanggung jawab
(responsible marketing).
3. Mengembangkan sumberdaya kebudayaan dan pariwisata.
4. Menciptakan tata pemerintahan yang responsif, transparan dan
akuntabel.
Tujuan pembangunan bidang pariwisata yang disusun berdasarkan visi dan
misi kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2010-2014 adalah:
1. Meningkatkan kesadaran, apresiasi dan pemahaman masyarakat
terhadap nilai dan keragaman budaya.
2. Meningkatkan kualitas perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan
warisan budaya.
3. Mengembangkan industri pariwisata yang memberikan kontribusi yang
signifikan terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat.
4. Meningkatkan kapasitas sumberdaya pembangunan kebudayaan dan
pariwisata.
5.Mewujudkan pengelolaan tugas dan fungsi kebudayaan dan
kepariwisataan yang bersih dan berwibawa.
Untuk sasaran di bidang pariwisata antara lain adalah:
1. Terwujudnya destinasi pariwisata yang berdaya saing
103
2. Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia
dan pergerakan wisatawan nusantara
3. Mendukung peningkatan kontribusi pariwisata bagi perekonomian
nasional terhadap PDB, lapangan kerja, dan investasi.
Dengan kewenangan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat maka
daerah menyusun kebijakan pembangunan di bidang kepariwisataan yang antara
lain termuat dalam dokumen perencanaan jangka menengah (RPJMD) provinsi
Kepulauan Bangka Belitung 2007-2012.
Adapun visi yang akan dituju oleh provinsi Kepulauan Bangka Belitung
adalah :
"Terwujudnya provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang aman, damai,
sejahtera, adil, demokratis dan berdaya saing global dalam wadah Negara
kesatuan Republik Indonesia".
Guna mewujudkan visi tersebut disusunlah sepuluh misi yang merupakan
tugas seluruh komponen daerah di tingkat provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Misi Dasa Bhakti Era Emas
1. Membangun komitmen bersama Pemerintah, masyarakat untuk
menciptakan iklim kondusif, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
2. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Insani masyarakat melalui penguatan
sektor pendidikan, kesehatan, olahraga, seni dan budaya daerah/nasional serta
pembinaan generasi muda.
3. Meningkatkan kapasitas Pengayoman dan Pelayanan Publik baik kepada
masyarakat pada umumnya maupun pelayanan investasi dalam segala sektor
dengan menerapkan sekurang-kurangnya Standard Pelayanan Minimum
(SPM) dan secara bertahap mengupayakan penguatan kapasitas melalui
pengaplikasian e-Government di lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung termasuk Kabupaten/Kota.
4. Meningkatkan kapabilitas Infrastruktur, dalam rangka mendukung
pembangunan ekonomi masyarakat dan penguatan kapasitas infrastruktur
yang berkaitan dengan investasi seperti Bandara, Pelabuhan Laut, Kawasan
104
Industri, Pembangkit Tenaga Listrik, telekomunikasi, Instalasi Air Bersih,
Rumah Sakit, dan Perbankan.
5. Menciptakan lapangan kerja dan lapangan berusaha, dalam rangka
meningkatkan income per kapita dan daya beli masyarakat melalui penguatan
terhadap 6 sektor unggulan daerah (yaitu: Kelautan dan Perikanan,
Pariwisata, Pertanian, Pertambangan, Perindustrian, Perdagangan dan Jasa),
serta menciptakan tenaga kerja siap pakai dan berdaya saing sebagai salah
satu komoditas daerah yang siap dipasarkan ke lingkup domestik, regional
dan global.
6. Memperhatikan masalah lingkungan hidup sebagai salah satu azas dalam
mengambil keputusan publik pada semua sektor pembangunan sekaligus
melakukan upaya rehabilitasi, reklamasi dan refungsionalisasi terhadap lahan-
lahan kritis menjadi lahan produktif dengan melibatkan pemerintah, swasta
dan masyarakat secara terpadu dan bersinergi.
7. Meneruskan penyusunan Peraturan-Peraturan Daerah (Perda) sebagai
penjabaran dari aturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai dasar
penetapan Kebijakan Publik Pemerintah Daerah yang legitimate serta
melakukan penegakan hukum secara konsisten dan konsekuen baik di lingkup
internal pemerintahan maupun masyarakat.
8.Melaksanakan program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui
penguatan kapasitas lembaga ekonomi rakyat seperti Usaha Mikro, Kecil,
Menengah (UMKM) dan Koperasi untuk menciptakan sentra-sentra
pembangunan produk unggulan wilayah pedesaan/
kecamatan/kabupaten/Kota sesuai dengan kultur dan potensi wilayah.
9.Meningkatan kapabilitas aparatur pemerintah untuk menciptakan Good
Governance dan Clean Government secara tersistem dan menyeluruh dengan
melakukan Gerakan Bersama dalam pemberantasan KKN berbasis kultur dan
agama. Melakukan penerapan prinsip Reward and Punishment dalam rangka
meningkatkan rasa tanggung jawab dan kebanggaan profesionalisme dengan
tidak mengenyampingkan jiwa pengabdian sebagai "Abdi Negara" dan
semangat Patriotisme sebagai bagian anak bangsa yang senantiasa berupaya
melestarikan semangat kejuangan 17 Agustus 1945. Penegakan Hukum (Law
Enforcement) dilakukan secara konsisten dan konsekuen tanpa pandang bulu,
menyeluruh "tidak tebang pilih" berdasarkan kepada peraturan dan Undang-
Undang yang berlaku baik di lingkungan Pemerintahan maupun Masyarakat
pada umumnya.
10. Melakukan upaya pembangunan infrastuktur pada proyek-proyek strategis
dalam rangka meningkatkan daya saing regional dan global melalui
pengupayaan pembangunan International Entry Port (Pelabuhan Samudera)
di Belitung yang dilengkapi dengan kawasan Free Trade Zone atau sekurang-
kurangnya Bounded Zone sekaligus melakukan penguatan infrastruktur di
tingkat Regional Entry Port (Pelabuhan Nusantara) di Bangka dan Belitung
105
serta meningkatkan status Bandara Pangkal Pinang untuk dapat
mengakomodasi jalur penerbangan Internasional dengan route Singapura-
Bangka-Bali (SIBABA) sekaligus memperkuat jalur penerbangan regional
yang menghubungkan secara rutin Jakarta-Bangka, Jakarta Belitung, Jakarta-
Bangka-Belitung, Batam-Bangka-Belitung-Palembang serta mengupayakan
percepatan realisasi Belitung sebagai Etalase Kelautan dan merintis konsep
pengembangan Zona Karimata (Karimata Growth Zone). (RPJMD Kepulauan
Bangka Belitung 2007-2012)
Dinas Kebudayaan dan Priwisata Kepulauan Bangka Belitung sebagai leading
sektor dalam menjalankan misi untuk mengembangkan sektor unggulan seperti
yang tercantum dalam misi ke-5 di provinsi Kepulauan Bangka Belitung
menyusun langkah dan kebijakan terkait hal tersebut sesuai dengan visi dan misi,
baik yang telah ada dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah
(RIPPDA) 2007-2013, maupun yang menjadi Rencana Strategis Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Visi dan misi yang terdapat dalam RIPPDA adalah :
Visi:
" Terwujudnya kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2013 sebagai
Daerah Tujuan Wisata (DTW) utama di Kawasan Barat Indonesia yang
berdaya saing tinggi dengan menampilkan perpaduan keragaman
kebudayaan daerah serta kekuatan potensi wisata bahari melalui
pemanfaatan secara terkendali, berkelanjutan, dan berwawasan
lingkungan."
Misi:
1. Penciptaan citra pariwisata Kepulauan Bangka Belitung yang berbasiskan
potensi wisata bahari dan kekhasan budaya pesisir sebagai identitas
provinsi.
2. Peningkatan daya saing pariwisata Kepulauan Bangka Belitung melalui
pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi yang memiliki
keunggulan produk wisata dan keterpaduan dalam pengelolaan.
3. Penerapan perencanaan dan pengelolaan produk wisata yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
106
4. Peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial, budaya, dan ekonomi
masyarakat Kepulauan Bangka Belitung melalui pengembangan
pariwisata.
5. Peningkatan apresiasi masyarakat terhadap pariwisata Kepulauan Bangka
Belitung yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Visi dan misi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kepulauan Bangka Belitung
2008-2013adalah:
Visi: " Terwujudnya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai daerah
pariwisata yang berdaya saing berbasis budaya dan bahari."
Misi:
1. Meningkatkan pengembangan keragaman, kekayaan dan nilai-nilai
budaya
2. Meningkatkan pengembangan destinasi pariwisata
3. Meningkatkan sarana dan prasarana guna memacu percepatan
pembangunan pariwisata dan kebudayaan
4. Meningkatkan pengembangan pemasaran pariwisata.
Adapun program yang terdapat dalam pembangunan pariwisata di
Kepulauan Bangka Belitung (RIPPDA Kep. Babel 2007-2012) meliputi:
1. Program pengembangan pemasaran pariwisata
2. Program pengembangan destinasi pariwisata
3. Program pengembangan kemitraan (kelambagaan dan SDM)
4. Program pengembangan ekonomi kreatif berbais media, desain dan iptek
5. Program pengembangan ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya
4.1.2. Konsep Pengembangan Perwilayahan Pariwisata Unggulan Kepulauan
Bangka Belitung
Di dalam RIPPDA Kepuluan Bangka Belitung 2007-2013 dinyatakan
bahwa dalam memacu pertumbuhan kawasan pariwisata difokuskan pada kawasan
107
wisata berskala provinsi, nasional dan internasional. Kawasan unggulan
pariwisata provinsi dapat terdiri dari beberapa daya tarik wisata dan berada pada
wilayah administrasi yang berbeda, dan memiliki keunikan daya tarik yang
bernilai tinggi dan mendukung tema serta citra provinsi Kepulauan Bangka
Belitung.
Pengelompokan daya tarik pariwisata dilakukan dengan tujuan :
a. Memunculkan kekhasan produk wisata yang dimiliki provinsi
Kepulauan Bangka Belitung.
b. Secara kolektif membentuk atau memunculkan ciri khas yang
mengedepankan atau mengangkat jati diri masyarakat provinsi Kepulauan
Bangka Belitung.
c. Meningkatkan daya saing produk wisata provinsi Kepulauan Bangka
Belitung
d. Menciptakan keterpaduan pengembangan pariwisata antar kawasan
e. Efisiensi pelaksanaan program pembangunan pariwisata, baik
perencanaan, pengelolaan maupun pemasaran dan promosi.
Sedangkan faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan
pengelompokan tersebut adalah:
a. Faktor geografis: perencanaan dan pengembangan pariwisata akan lebih
mudah dilakukan jika jarak fisik antar kawasan dekat. Hal ini juga akan
mempermudah koordinasi terkait pengembagan kawasan.
b. Faktor aksesibilitas:
c. Faktor pengikat: dapat berupa tanda fisik atau non fisik yang ada dalam
suatu kawasan
d. Faktor produk wisata unggulan yang sama dan atau saling melengkapi
e. Keragaman produk wisata unggulan antar kawasan.
Berdasarkan kriteria tersebut dan analisis potensi yang dimiliki maka
Kawasan Wisata Unggulan (KWU) yang mencirikan KWU dan menjadi unggulan
provinsi , serta memiliki daya tarik wisata lain yang mendukung tema
pengembangan pariwisata kawasan dibagi ke dalam tujuh KWU yaitu:
108
1. KWU Sejarah - Muntok
2. KWU Rekreasi pantai -Sungailiat
3. KWU Perkotaan - Pangkalpinang
4. KWU Agrowisata- Koba
5. KWU Alam Bahari - Selat Lepar
6. KWU Budaya Pesisir - Tanjungbinga
7. KWU Bahari Minat khusus - Memperak
Untuk melaksanakan pengembangan pariwisata di kepulauan Bangka Belitung
maka telah dirancang didalam RIPPDA adanya tujuh aspek pengembangan yang
terdiri dari:
1. Pengembangan Wilayah Pariwisata
2. Pengembangan Produk wisata
3. Pengembangan Transportasi dan Infrastruktur
4. Pengembangan Pasar dan Pemasaran
5. Pengembangan SDM
6. Pengembangan kelembagaan
7. Pengelolaaan lingkungan
4.1.3. Peran Pariwisata Dalam Perekonomian Kepulauan Bangka Belitung
Sebagaimana telah disampaikan bahwa kegiatan pariwisata memiliki
pengaruh yang cukup besar dalam perekonomian, bahkan pariwisata sebagai suatu
konsep yang dapat dipandang dari berbagai perspektif yang berbeda. Pariwisata
menurut Lunberg dkk (1997:7) dapat dipandang sebagai suatu lembaga dengan
jutaan interaksi, suatu kebudayaan dengan sejarahnya, kumpulan pengetahuan,
dan jutaan jumlah orang yang merasa dirinya sebagai bagian dari kelembagaan
ini.
United Nation World Tourism Organization (UNWTO) sebagai lembaga
dunia yang menangani perkembangan pariwisata dunia memperkirakan jumlah
kunjungan wisatawan internasional di seluruh dunia akan mencapai 1,8 miliar
109
pada tahun 2030, seperti yang tertuang dalam UNWTO‟s Tourism 2030 Vision.
Tingkat pertumbuhan kunjungan wisatawan diprediksi akan mencapai angka 3,3
persen per tahun. Untuk wilayah Asia Pasifik dapat mencapai angka pertumbuhan
sebesar 4,9 persen.
Membangun sektor pariwisata memang lebih rumit dari pada membangun
sektor industri manufaktur. pembangunan sektor pariwiata melibatkan berbagai
sektor ekonomi baik yang tergolong tourism characteristic industry seperti hotel
dan restoran, maupun tourism connected industry, yaitu kegiatan-kegiatan yang
sepintas tidak memiliki keterkaitan dengan sektor pariwisata, namun sebagaian
penggerak perkembangannya berasal dari permintaan yang dipicu oleh aktivitas
kepariwisataan.
Berdasarkan Neraca Satelit Pariwisata Nasional (NESPARNAS) 2010
yang menggambarkan semua kegiatan dan transaksi ekonomi yang berhubungan
dengan barang-barang dan jasa pariwisata, baik dari produksi (Supply) maupun
dari sisi permintaan (Demand), maka nilai transaksi ekonomi yang diciptakan oleh
kegiatan pariwisata di Indonesia pada tahun 2009 mencapai Rp. 285,24 trilyun.
Sementara itu konsumsi wisnus Rp. 137,91 trilyun. Dari total nilai transaksi
sebesar Rp 285,24 trilyun di tahun 2009 tersebut, nilai transaksi yang diciptakan
oleh wisnus menyumbang 48,35 persen terhadap total nilai transaksi pariwisata.
Kemudian disusul oleh nilai transaksi dalam rangka investasi yang mencapai Rp.
76,26 trilyun atau 28,73 persen. Di urutan ketiga terbesar adalah transaksi wisman
yang mencapai Rp. 59,20 trilyun atau 20,75 persen. Melalui gambaran tersebut
dapat dilihat bahwa kontribusi wisnus pada ekonomi pariwisata di Indonesia jauh
110
lebih besar dari pada wisman, dan kondisi ini sudah berlangsung sejak terjadinya
krisis ekonomi tahun 1998 (NESPARDA 2010). Karena itu pengembangan angka
perjalanan wisnus merupakan bagian penting yang terus harus dilakukan guna
penguatan pariwisata nasional, di samping secara terus menerus menggarap pasar
manca negara. Kesadaran pentingnya memperhatikan wisatawan nusantara
menguat manakala Indonesia menghadapi bencana bom Bali 2002 dan 2005 yang
berpengaruh besar bagi pariwisata Indonesia yang sangat mengandalkan
keberadaan Bali sebagai pintu masuk wisatawan mancanegara ke Indonesia.
Di Kepulauan Bangka Belitung peranan pariwisata dalam perekonomian
dapat dilihat dari Neraca Satelit Pariwisata Daerah (NESPARDA) 2012 seperti
jumlah perjalanan dan jumlah pengeluaran. Sebagai catatan dapat disampaikan
bahwa penghitungan jumlah wisatawan dalam Nesparda 2012 berbeda dengan
cara perhitungan yang selama ini dipergunakan di Bangka Belitung. Jika selama
ini cara menghitung wisatawan adalah dengan meminta laporan dari pihak hotel
yang diakui oleh informan Disbudpar sering tidak akurat1, maka Nesparda
mempergunakan sumber Passenger Exit Survey (PES) sebagai basis penghitungan
wisman, serta Sensus Ekonomi Nasional (SUSENAS) untuk menghitung wisnus
(Nesparda Babel 2012:1-6).
Dari data Nesparda terlihat bahwa jumlah perjalanan yang ada, wisatawan
terbanyak di Kepulauan Bangka Belitung adalah wisatawan lokal yaitu penduduk
Bangka Belitung yang melakukan kunjungan ke antar kota atau antar daerah di
Bangka Belitung saja. Dengan jumlah 1.787.440 wisatawan lokal. Hal ini
1 Wawancara dengan informan Disbudpar 22/10/2012
111
mendominasi 76.79 persen perjalanan. Untuk jumlah wisnus yang keluar Bangka
Belitung (orang Bangka Belitung yang melakukan perjalanan ke luar wilayah
provinsi Bangka Belitung) jumlahnya masih lebih besar dibandingkan jumlah
wisnus yang datang. yaitu 211.272 berbanding 144.567 atau jumlah wisnus yang
keluar lebih besar 46,14 persen dibandingkan dengan jumlah wisnus yang datang.
Demikian pula halnya dengan jumlah wisatawan nasional (wisnas) yaitu
orang asal Bangka Belitung yang melakukan perjalanan ke luar negeri jumlahnya
masih lebih banyak dibandingkan dengan jumlah wisatawan mancanegara
(wisman) yang datang ke Bangka Belitung, yaitu 10.126 wisnus berbanding
7.603 wisman, atau jumlah wisnus yang keluar 33,18 persen lebih besar dari pada
jumlah wisman yang datang.
Namun demikian walaupun dari sisi jumlah wisman yang datang lebih
sedikit dari pada wisnas Bangka Belitung yang ke luar negeri, tetapi dari sisi
pengeluaran terlihat bahwa masih lebih besar jumlah uang yang dikeluarkan oleh
wisman yang datang ke Bangka Belitung. Jika wisnas yang ke luar Bangka
Belitung hanya mengeluarkan uang Rp. 14.9 milyar, maka wisman yang datang
ke Bangka Belitung membelanjakan uang sebesar Rp. 53.1 milyar atau 256,67
persen lebih besar.
Hal yang sama juga terjadi pada jumlah pengeluaran wisnus yang datang
dan yang ke luar dari Bangka Belitung, walaupun kalah dari sisi jumlah, namun
tetap lebih besar jumlah pengeluaran wisnus yang datang ke Bangka Belitung.
Pengeluaran wisnus yang datang berjumlah Rp. 312.5 milyar, sedangkan
112
pengeluaran wisnus Bangka Belitung yang ke luar adalah Rp. 23.7 milyar, atau
hanya 7,6 persen saja dari jumlah pengeluaran wisnus yang datang.
Besarnya pengeluaran wisatawan lokal yang mencapai angka Rp. 229.6
milyar patut mendapatkan perhatian karena jumlah ini merupakan urutan terbesar
kedua setelah pengeluaran wisman ke Bangka Belitung, sehingga merupakan
potensi yang dapat digarap guna menciptakan pola perjalanan dalam provinsi
yang lebih besar lagi. Di samping itu konsentrasi penguatan pemasaran dalam
negeri akan lebih mudah dan murah dilaksanakan karena adanya banyak
kesamaan dengan yang difikirkan oleh perencana lokal.
Untuk melihat lebih jelas bagaimana jumlah perjalanan wisatawan serta
jumlah pengeluaran wisatawan yang ada di Bangka Belitung maka dapat dilihat
pada gambar 4.2 berikut.
A Jumlah Pejalanan :
1. Wisnus :
Wisnus Ke Bangka Belitung : 144.567
Wisatawan Lokal : 1.787.440
Wisnus Ke luar Bangka Belitung : 211.272
Wisnas : 10.126
2. Wisman : 7.603
B Jumlah Pengeluaran(Juta Rp)
1. Wisnus :
Wisnus Ke Bangka Belitung : 312.575
Wisatawan Lokal : 229.629
Wisnus Ke luar Bangka Belitung : 23.756
Wisnas : 14.900
2. Wisman : 53.144
Gambar 4.2. Wisatawan yg Datang ke
Kep. Bangka Belitung 2011 (Nesparda Kep Bangka Belitung, 2012)
113
Perkembangan fasilitas akomodasi yang terjadi di Bangka Belitung dalam
lima tahun terakhir dengan lonjakan yang cukup berarti terlihat terutamas setelah
dilaksanakannya program Visit Bangka Belitung Archipelago 2010 yang dimulai
di 2008 dengan soft launching oleh Menteri Perhubungan.
Pertambahan jumlah hotel dalam lima tahun terakhir sebesar 67,21 persen
atau rata-rata 13,4 persen tiap tahun, dengan pertambahan jumlah hotel berbintang
yang terbanyak yaitu 109,09 persen dalam lima tahun, disusul hotel non bintang
yaitu 61,22 persen. Perkembangan jumlah hotel terjadi dengan pesat setelah
diluncurkannya program Visit Bangka Belitung Archipelago 2010 yang telah
dimulai di tahun 2008 yang terlihat dari penambahan jumlah hotel terbanyak
terjadi di tahun 2010 yaitu jumlah penambahan sebanyak 18,98 persen yang
terdiri dari 42,85 persen untuk hotel berbintang dan 13,84 persen untuk hotel non
bintang.
Perkembangan itu dapat dilihat pada tabel 4.1. berikut.
Tabel 4.1.Banyaknya Hotel Bintang dan Non Bintang
di Kep. Babel 2007-2011
Tahun Bintang Non Bintang Jumlah
[1] [2] [3] [4]
2007 11 49 61
2008 12 60 72
2009 14 65 79
2010 20 74 94
2011 23 79 102
Nesparda Kep. Bangka Belitung 2012
114
Pengaruh sektor pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung terhadap
ekonomi dilihat dari dampak ekonomi pariwisata yang terjadi maka kontribusinya
terhadap Produk Domestic Regional Bruto (PDRB) Kepulauan Bangka Belitung
adalah sebesar Rp. 1.4 trilyun lebih atau 4,84 persen dari PDRB yang berjumlah
Rp. 29,9 trilyun. Pengaruh ekonomi pariwisata terhadap upah/gaji sebesar 6,86
persen, dan pengaruh terhadap pajak adalah 6,51 persen. Sementara itu serapan
tenaga kerja yang dipengaruhi oleh ekonomi pariwisata adalah sebanyak
18.043.000 orang dari jumlah 589.634.000 tenaga kerja atau 3,06 persen.
Hal yang perlu lebih dicermati adalah munculnya angka sumbangan sektor
pariwisata dalam PDRB sehingga menjadi 4,84 persen. Jika diamati lebih jauh
ternyata terlihat bahwa sumbangan tertinggi di sektor pariwisata adalah dari sektor
bangunan 47,25 persen , restoran 17,72 persen, industri pengolahan 17,16 persen,
hotel 4,27 persen. Artinya, penyumbang kontribusi terbesar di sektor pariwisata
adalah yang berasal dari bangunan dan restoran, industri pengolahan dan hotel.
Dengan pemahaman ini maka terlihat bahwa yang terjadi di tahun 2011 adalah
nilai investasi di bangunan yang sedang tinggi, sedangkan jika sektor pariwisata
sudah berkembang dengan baik maka yang akan berkembang dengan baik adalah
sektor hotel, restoran, industri pengolahan dan jasa-jasa.
Fenomena besarnya kontribusi sektor bangunan terhadap pariwisata juga
menggambarkan bahwa di Kepulauan Bangka Belitung di tahun 2011 trend
pembangunan konstruksi untuk infrastruktur pariwisata masih tinggi. Jika
pemerintah daerah mampu menciptaan iklim yang kondusif secara
115
berkesinambungan maka akan tercipta daya tarik yang baik bagi investasi bidang
pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung.
Untuk struktur investasi pariwisata maka dari data Nesparda terlihat bahwa
di 2011 kontribusi pemerintah hanya 0,28 persen dari pemerintah pusat dan 1,07
persen dari pemerintah daerah, selebihnya dan memegang porsi terbesar adalah
dari investasi swasta/RT/BUMN/BUMD yaitu 98,65 persen. Dengan kondisi
demikian maka pemerintah dipandang masih perlu melakukan investasi untuk
bangunan bukan tempat tinggal dan bangunan yang berhubungan dan menunjang
kegiatan kepariwisataan seperti bangunan olahraga, rekreasi, hiburan, seni dan
budaya.
Berikutnya untuk melihat bagaimana pola yang tercipta dari pariwisata
terhadap sektor-sektor lainnya seperti dampak terhadap barang dan jasa, dampak
terhadap nilai tambah sektoral, dampak terhadap kesempatan kerja, dampak
terhadap upah gaji di Kep Bangka Belitung maka kita amati tabel 4.2. tentang
dampak Ekonomi Pariwisata Kep Babel 2011 di bawah ini.
116
Tabel 4.2. Dampak Ekonomi Pariwisata Di Kep Bangka Belitung
Tahun 2011 (Juta Rupiah)
Sektor
Kons.
Wisatawan,
Investasi
dan
Promosi
Dampak Terhadap
Output PDRB Upah/Gaji Pajak
Tenaga
Kerja
(ribu
org)
Pertanian 11.716 143.636 128.132 28.490 2.431 2.989
Pertambangan &
Penggalian 0 91.575 82.287 17.844 2.164 1.622
Industri Pengolahan 250.054 413.137 247.474 69.087 7.081 2.896
Listrik, Gas dan Air
Minum 167 15.928 9.485 1.399 177 30
Bangunan 692.587 702.219 468.077 156.082 9.111 2.998
Perdagangan 0 111.363 83.945 19.842 2.620 1.278
Restoran 173.446 193.370 119.600 29.260 3.317 695
Hotel 86.296 87.527 59.730 14.937 3.352 3.586
Angkutan Darat 42.684 55.272 35.151 7.291 380 364
Angkutan Air 83.471 88.345 70.066 13.765 652 195
Angkutan Udara 52.067 63.386 41.517 7.440 915 57
Penunjang
Angkutan 964 4.016 3.054 931 59 179
Komunikasi 9.527 17.092 13.492 2.559 125 33
Jasa-Jasa Lainnya 62.642 103.593 81.370 32.875 1.338 1.121
Total Pariwisata 1.465.621 2.090.460 1.443.380 401.803 33.721 18.043
Total Ekonomi
42.706.852 29.851.276 5.857.532 518.259 589.634
Persentase (%)
4,89 4,84 6,86 6,51 3,06
Nesparda Kep Bangka Belitung, 2012
Selanjutnya untuk dapat melihat dengan lebih jelas bagaimana posisi
kepariwisataan Kepulauan Bangka Belitung maka dapat dilihat sandingannya
dengan apa yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia. Data Nesparda yang
dipergunakan berbeda tahun pembuatannya namun paling tidak terdapat gambaran
kondisi yang ada di masing-masing provinsi yang diamati seperti yang terlihat
dalam tabel perbandingan dampak sektor kepariwisataan terhadap beberapa
provinsi maka dapat dilihat di tabel 4.3 berikut.
117
Tabel 4.3. Perbandingan Dampak Ekonomi Pariwisata
di Beberapa Provinsi
Tahun Provinsi
Dampak Ekonomi Pariwisata
PDRB
(triliun
Rp)
Peran
Pariwisata thd
PDRB (%)
Lapangan
Kerja (juta
orang)
Peran
Pariwisata
thd Lap.
Kerja (%)
2006 SUMATERA SELATAN 1,06 1,07 0,03 1,04
2007 BALI 19,54 46,16 0,82 40,56
RIAU 4,52 2,14 0,10 5,22
2008 BANTEN 3,72 3,04 0,15 4,03
2009 DKI JAKARTA 44,24 5,84 0,40 9,48
2010 JAWA BARAT 30,15 3,91 0,67 3,97
2011 BANGKA BELITUNG 1,44 4,84 0,02 3,06
Sumber: Nesparda Kep Bangka Belitung, 2012
Nesparda merupakan angka statistik yang harus dimaknai dan
dimanfaatkan secara kreatif untuk membuat analisa kebijakan melalui trend, pola,
perbandingan dan sebagainya. Dari upaya semacam itu, misalnya kita dapat
menyimpulkan bahwa sebenarnya posisi pariwisata Bangka Belitung cukup baik.
Misalnya saja jika angka pajak tidak langsung yang diterima daerah dibandingkan
dengan pengeluaran wisatawan maka Bangka Belitung memiliki angka 4,8 persen.
artinya peluang penerimaan pajak di Bangka Belitung sebesar 4,8 persen pada
setiap pengeluaran wisatawan. Untuk angka ini maka Bangka Belitung jauh lebih
baik dari pada DKI Jakarta (1,3 persen) dan bahkan Bali yang hanya 2,5 persen.
118
Demikian pula jika PDB dibagi dengan angka pengeluaran wisatawan
maka Bangka Belitung memiliki jumlah terbesar dengan angka 223 persen.
Bandingkan dengan DKI Jakarta yang 86,5 persen, Bali 77 persen, Riau 97
persen, dan Jateng 101 persen. Hal lain yang cukup mengejutkan adalah ketika
angka investasi dan biaya promosi dibagi dengan PDB, maka Bangka Belitung
memiliki angka tertinggi di antara provinsi lainnya yaitu 57,6 persen. Artinya,
Babel sangat gencar berpromosi dan menanamkan investasi di bidang pariwisata.
Bandingkan dengan Bali yang hanya 21,14 persen dan 12,8 persen untuk DKI
Jakarta. Hal ini memperlihatkan besarnya komitmen daerah dalam memajukan
pariwisata. Namun investasi tersebut masih perlu ditingkatkan pula pada SDM
pariwisata yang akan menjadikan sektor ini berkembang lebih kuat dan
berkesinambungan. Tabel 4.4 memperlihatkan olahan hasil Nesparda antar
provinsi yang dilakukan.
Tabel 4.4. Perbandingan Hasil Nesparda Antar Provinsi
DAMPAK DKI
(2004)
BALI
(2007)
RIAU
(2007)
BABEL
(2012)
JATENG
(2012)
PTL/ PENG
WSTW
1,3 % 2,5 % 3,43 % 4,8 % 5,3%
PENG WSTW/TK 100,7
JUTA
31,01
JUTA
42,60
JUTA
31
JUTA
28,54
JUTA
UPAH & GAJI/
TK
30,09
JUTA
5,46
JUTA
12,08
JUTA
20
JUTA
8,95
JUTA
PDB/ PENG
WSTW
86,5 % 77 % 97 % 223% 101 %
INV+PROM/PDB
12,8 % 21,14 % 1,8 % 57,6 % 25,91 %
Sumber: Gunawan (2012)
Ket: PTL : Pajak Tidak Langsung
Peng WSTW : Pengeluaran Wisatawan
119
TK : Tenaga Kerja
PDB : Product Domestik Bruto
INV : Investasi
Prom : Promosi
Beberapa perkembangan lainnya terkait dengan kepariwisataan di
Kepulauan Bangka Belitung dapat dilihat pula seperti aksesibilitas dari dan ke
Bangka Belitung yang dapat ditempuh melalui hubungan udara dan laut. Untuk
transportasi laut yang diutamakan adalah angkutan barang, sementara untuk
Bangka Belitung –Jakarta dengan jenis angkutan kapal penyeberangan barang
dan roro yang berlayar setiap tiga kali seminggu. Sedangkan untuk penyeberangan
dari Bangka Belitung – Palembang setiap hari dilayani oleh dua kapal cepat dan
satu kapal ferry, serta dua angkutan kapal barang.
Untuk penerbangan Jakarta – Pangkalpinang, saat ini dilayani oleh empat
maskapai yaitu Sriwijaya Air, Garuda, Batavia, dan Lion Air, dengan total rata-
rata 14 penerbangan per hari. Sedangkan penerbangan Jakarta-Tangjungpandan
dilayani oleh dua maskapai saja yaitu Sriwijaya Air dan Batavia dengan enam kali
penerbangan per hari. Penerbangan Pangkalpinang – Palembang dilayani oleh
Sriwijaya Air dengan sepuluh kali penerbangan seminggu. Untuk Pangkalpinang-
Tangjungpandan dilayani oleh maskapai Sky Aviation sebanyak 10 kali
penerbangan seminggu. Pangkalpinang-Batam dan Tanjungpandan – Batam tiga
kali seminggu dilayani oleh Sky Aviation, demikian pula dengan penerbangan
Tanjungpandan-Palembang. Jumlah penumpang yang datang dan berangkat dilihat
pada figur berikut.
120
1. Pangkalpinang (Depati Amir)
Jakarta – CGK : 485 803
Jakarta HLP : 133
Palembang : 118 190
Batam : 52 760
Surabaya : 114
Tanjung Pandan : 1 818
2. Belitung (H.As Hanandjoeddin)
Batam : 2 215
Jakarta – CGK : 188 621
Palembang : 1 285
Pangkalpinang : 4 726
Gambar 4. 3.Keberangkatan Penumpang Penerbangan ke Babel Menurut
Asal dan Tujuan
Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung dalam dua tahun terakhir
yaitu tahun 2011 dan 2012 juga mendapatkan penghargaan dari Travel Club
Tourism Award (TCTA) di tahun 2011 dan 2012 untuk kategori Best Achievment,
serta dari Indonesia Tourism Award (ITA) di tahun 2011 untuk kategori
Penghargaan Khusus Pariwisata.
Pengembangan pariwisata dalam suatu negara atau daerah yang dikenal
dengan istilah Model Butler‟s‟s seperti yang diungkapkan Pearce (1989:18-19)
sebagai berikut :
1. Tahap Eksplorasi Awal. Pertumbuhan sektor pariwisata pada tahap ini
ditandai dengan belum begitu banyaknya fasilitas, belum berkembangannya
transportasi pendukung, informasi wisata masih dicari bentuknya;
2. Tahap Pembangunan dan Perkembangan. Pada tahap ini seluruh aspek
sudah mulai lengkap, jaringan transportasi sudah mulai lengkap dengan berbagai
121
pilihan serta jadwal yang terprogram. Pada tahap ini pula sektor pariwisata sudah
berkembang dengan kualitas lingkungan yang cukup baik;
3. Tahap Konsolidasi. Tahap ini merupakan tahap paling tinggi dalam
perkembangan sektor pariwisata. Daya dukung lahan telah optimal dan
pertumbuhan mulai landai sehingga memerlukan konsolidasi;
4. Tahap Stagnasi. Pada tahap ini penentuan akan keberlanjutan perkembangan
sektor pariwisata akan dilanjutkan dengan segala konsekwensi yang terjadi yaitu
hancur atau menurunnya kualitas lingkungan. Hal ini ditandai dengan wisatawan
mulai jenuh dengan kondisi dan atraksi yang ada.
Gambar.4.4. Proses Evolusi Kegiatan Pariwisata dan Pembangunan
Berkelanjutan Menurut Butler’s (Pearce, 1989:19)
122
Apabila mengacu pada model yang dikemukakan oleh Butler‟s ini maka
kondisi kepariwisataan di Kepulauan Bangka Belitung dapat digolongkan ke
dalam tahapan pembangunan dan perkembangan, dimana aspek kepariwisataan
berupa fasilitas dan program pembangunan yang ada mulai dilengkapi.
Fenomena mulai dimasukinya tahapan pembangunan dan pengembangan
tersebut dapat juga dilihat dari mulai membaiknya angka-angka yang tersaji dari
nesparda di atas. Dengan begitu maka dapat dikatakan bahwa pariwisata sudah
mulai memperlihatkan geliat yang cukup berarti jika dibandingkan dengan
beberapa tahun sebelumnya dimana kontribusi pariwisata terhadap PDRB baru
mencapai 1,30 persen saja atau hanya Rp. 383 milyar (Sayogo:2007:51),
sedangkan di 2011 sudah mencapai 4, 84 persen.
Selanjutnya diperlukan upaya dan tindakan yang lebih serius dan
keterlibatan semua pihak yang berkepentingan guna menjaga tahapan ini dapat
berkembang ke arah yang ideal yaitu menjadi tahap konsolidasi yang memiliki
kondisi yang paling optimal dalam pengembangan pariwisata di dalam suatu
daerah.
4.2. Dimensi Waktu Dalam Strategi Koordinasi Antar Organisasi
Untuk memahami bagaimana pilihan strategi koordinasi yang dilakukan
dalam melaksanakan koordinasi antar organisasi maka dilihat berdasarkan
dimensi waktu. Menurut Alexander (1995:36) Strategi koordinasi dimensi waktu
terdiri dari koordinasi antisipatif dan strategi adaptif. Secara antisipatif adalah
melihat koordinasi pada sisi perencanaan, sedangkan adaptif yaitu berupa
123
koordinasi yang dilakukan mulai dari ketika pelaksanaan, pemantauan, umpan
balik, dan pengendalian. Dalam konteks melaksanakan koordinasi di bidang
tugasnya pemerintah daerah dituntun oleh perangkat aturan seperti Peraturan
Pemerintah nomor 39 tahun 2006 tentang Pedoman Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan RencanaPembangunan, Peraturan Pemerintah nomor 6
tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah,
Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara
Penyusunan Pengendalian dan Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah, dan
Permendagri Nomor 33 tahun 2008 tentang Pedoman Hubungan Kerja Organisasi
Perangkat daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Pola kerja hubungan koordinatif yang dimaksudkan di dalam pembahasan
ini memiliki didefinisikan sebagai:
Hubungan kerja antar pejabat yang dimaksudkan untuk memadukan
(mengintegrasikan), menyerasikan, dan menyelaraskan berbagai
kepentingan dan kegiatan yang saling berkaitan beserta segenap gerak,
langkah dan waktunya dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran
bersama (Rosyadi :2010:57).
Selanjutnya di dalam Permendagri (nomor 33 tahun 2008) misalnya
dijelaskan maksud dari hubungan koordinatif tersebut adalah untuk : a.
Mengembangkan hubungan kerjasama secara struktural dengan
menumbuhkembangkan semangat kolegial yang sinergis dan terpadu dalam
penanganan dan penyelesaian tugas dan fungsi sesuai dengan wewenang
organisasi perangkat daerah masing-masing ; b. Menjamin kelancaran,
kemudahan, efektifitas, dan efisiensi ; c. Menghindari tumpang tindih atau
124
duplikasi program dan kegiatan secara substansial, dan menjamin keselarasan
program dan kegiatan antar perangkat daerah.
Hubungan kerja koordinatif ini memiliki beberapa varian sebagai berikut
(pasal 9):
a. Koordinasi hirarki (intersektoral) yang dilaksanakan dalam unit
organisasi oleh pimpinan di bawahnya. Misalnya, koordinasi antara
Kepada Bappeda dengan semua Kepala lembaga kantor dan dinas.
b. Koordinasi fungsional (lintas sektoral) yang dilaksanakan antar instansi
dari sektor berlainan yang memiliki keterkaitan berdasarkan fungsinya
dalam pelaksanaan kegiatan. Sebagai contoh antara Bappeda dengan
dinas-dinas terkait upaya penyususnan perencanaan tata ruang.
c. Koordinasi instansional (multisektor), koordinasi yang dilaksanakan
dengan instansi lain yang terkait berdasarkan keterkaitan secara
instansional. Misalnya hubungan kerja antara kantor Lingkungan
Hidup, Bappeda, Badan Penananman Modal dalam penanggulangan
dampak kegiatan ekonomi tertentu terhadap lingkungan.
Menurut Rosyadi (2010:59) dari perspektif reformasi administrasi, upaya
untuk merumuskan hubungan kerja merupakan refleksi dari terjadinya pergeseran
karakteristik birokratik ke organisasi pasca birokrasi. Salah satunya ditandai
dengan tidak berlakunya lagi nilai yang mengedepankan tindakan individual yang
bebas dari konsultasi dan koordinasi. Dengan mengutip pendapat Kernaghan
(2000: 92) Rosyadi menyatakan bahwa dalam organisasi birokrasi modern,
hubungan kerja dikembangkan semakin intens antar satuan organisasi sehingga
membentuk aksi kolektif yang sarat dengan konsultasi, kerjasama dan koordinasi.
Semua ini dimaksudkan untuk terus menerus melakukan perubahan sehingga
kompleksitas masalah dapat dipecahkan secara sinergis, efisien, dan efektif.
125
Selanjutnya (dalam pasal 10 Permendagri nomor 33 tahun 2008)
dinyatakan bahwa hubungan kerja koordinatif dapat dilakukan dengan beberapa
kegiatan meliputi:
a. Penyusunan dan penetapan kebijakan untuk dijadikan pedoman dan
arahan bagi semua instansi terkait.
a. Penetapan rencana strategis yang melibatkan semua instansi terkait
b. Pengintegrasian rencana program dari berbagai instansi, lembaga dan
organisasi melalui rapat koordinasi.
c. Pembahasan berbagai hal yang perlu dikonsultasikan dan ditangani
bersama melalui temu konsultasi.
d. Pembentukan gugus kerja yang melibatan berbagai instansi terkait
untuk menangani berbagai persoalan yang perlu dipecahkan secara
bersama.
e. Pembentukan badan/lembaga/wadah yang diperlukan untuk menangani
fungsi-fungsi koordinasi pembinaan secara menyeluruh.
f. Penelitian dan pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan
program dan koordinasi pelaksanaan program.
4.2.1. Strategi Koordinasi Perencanaan Antar Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD)
Pariwisata memiliki kepentingan yang sangat kompleks antar sektor dan
antar pelaku. Dalam kondisi yang demikian maka terdapat kebutuhan koordinasi
yang semakin tinggi pula. Salah satu penyebab kegagalan pembangunan
kepariwisataan di masa lalu antara lain disebabkan kurang disadarinya hakekat
kepariwisataan dan produk pariwisata. Sebagai barang campuran, produk wisata
hendaknya dibangun berdasarkan peran yang seimbang antar pihak-pihak yang
menjalankan posisi kunci, terutama oleh pihak pemerintah, swasta dan
masyarakat. Menurut McIntosh (1995: 10)
"Tourism may be defined as the sum of the phenomena and relationship arising from the interaction of tourist, business supplier, host government and host community in the process af atracting and hosting these tourists and other visitor".
126
Sebuah perencanaan pariwisata yang baik membutuhkan tahapan-tahapan yang
dapat digunakan untuk menjamin tercapainya tujuan perencanaan serta mampu
melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan. Beberapa pendekatan ditawarkan
dalam mencermati tahapan dari perencanaan pariwisata.
Acerenca (dalam Pearce, 1998:246-247) menerapkan perencanaan
strategis dalam pariwisata yang menempatkkan perencanaan sebagai pendekatan
awal dalam upaya pengembangan pariwisata. Secara umum tahapan yang
disarankan oleh Acerenca tersebut dimulai dari tahapan analisis yaitu dengan
melihat bagaimana kondisi pengembangan pariwisata yang ada sebelumnya.
Kemudian dilanjutkan dengan melakukan evaluasi terhadap bagaimana posisi
kepariwisataan saat ini. Tahapan ketiga adalah dengan melakukan perumusan
kebijakan pariwisata yang dilanjutkan dengan mendifinisikan strategi
pengembangan. Tahapan terakhir adalah dengan melakukan elaborasi dari
bagaimana program dilaksanakan. Pendekatan tersebut selengkapnya dapat
dilihat dari bagan yang digambarkannya seperti pada gambar 4.5. berikut.
127
Gambar 4.5: Basic stages in tourism planning :
Acerenza (1985) (dalam Pearce, 1989:247)
Jika diperhatikan dengan seksama terlihat bahwa pendekatan yang
dilakukan oleh Acerenca memang masih sangat umum sehingga belum mampu
menggambarkan secara lebih komprehensif bagaimana langkah yang seharusnya
dilakukan dalamn perencanaan pariwisata. Selanjutnya Sukarsah (1999:54)
merinci proses perencanaan dalam kepariwisataan dalam lima tahapan. Tahapan-
tahapan yang diajukan yaitu:
1. Melakukan inventarisasi mengenai semua fasilitas yang tersedia dan
potensi yang dimiliki.
2. Menaksir pasaran pariwisata dan mencoba melakukan proyeksi lalu lintas
wisatawan pada masa yang akan datang.
3. Memperhatikan di belahan dunia mana permintaan (demand) lebih besar
dari pada persediaan atau penawaran.
4. Melakukan penelitian kemungkinan perlunya penanaman modal, baik
modal dalam negeri maupun modal asing.
ANALYSIS OF PREVIOUS TOURIST DEVELOPMENT
EVALUATION OF POSITION OF TOURISM
FORMULATION OF TOURISM POLICY
DIFINITION OF DEVELOPMENT STRATEGY
ELABORATION OF ACTION PROGRAMME
128
5. Melakukan perlindungan terhadap kekayaan alam yang dimiliki dan
memelihara warisan budaya bangsa serta adat istiadat suatu bangsa yang
ada.
Pendekatan yang ditawarkan oleh Sukarsah terkesan belum memberikan
bagaimana sebenarnya arahan yang dilakukan menyangkut pemetaan wilayah
perencanaan, unsur yang terlibat serta gambaran langkah yang mampu menjamin
berjalannya tahapan perencanaan pariwisata.
Pitana & Diarta (2009:109) mencoba menawarkan pula beberapa tahapan
dalam perencanaan strategis pariwisata yaitu sebagai berikut:
1. Menentukan bisnis/usaha apa yang akan dimasuki yang biasanya dicirikan
oleh misi organisasi. Misi organisasi mungkin dapat dilihat dan diketahui
dengan mudah tetapi misi organisasi terkadang tidak dapat secara eksplisit
dikenali. Misalnya sebuah hotel tidak dengan tegas mengatakan kata
„Hotel‟ dalam misi perusahaannya tetapi memaksiamalkan pengembalian
aset dan menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan untuk para
pemegang saham. Biasanya untuk organisasi pemerintah dengan audiens
yang berbeda yang akan diyakinkan mempunyai misi yang jelas. Misalnya
“ untuk mengakselerasi pertumbuhan sosial ekonomi jangka panjang yang
berkelanjutan dari industri pariwisata bagi negara”.
2. Menentukan tujuan organisasi yang akan dicapai, yang merupakan tujuan
utama organisasi, seperti penguasaan pasar yang melibatkan pengenalan
produk baru. Tujuan organisaasi haruslah mempunyai jangka waktu yang
mengindikasikan kapan tujuan tersebuta akan diwujudkan. Hal ini
memberikan kerangka waktu, menetapkan tujuan jangka pendek dan
strategi pencapaian serta tindakan yang diperlukan.
3. Mengumpulkan informasi dan pengetahuan sebagai dasar dalam
pengambilan keputusan. Kualitas keputusan organisasi yang diambil
sangat tergantung pada kualitas informasi yang dikumpulakan. Biasanya
tahapan ini memerlukan waktu lama.
4. Menganalisis informasi, terutama yang berkaitan dengan kekuatan,
kelemahan, peluang dan tantangan dari organisasi. Biasanya organisasi
yang dikumpulkan dan dianalisis dapat dikelompokan menjadi dua: (a)
informasi yang berkaitan dengan kondisi dan keaadaan masa kini, baik
yang menyangkut organisasi itu sendiri maupun lingkungan diluar
organisasi yang dapat mempengaruhi kehidupan organisasi, dan (b)
informasi yang dapat membantu perencana memberikan perkiraan masa
depan, misalnya dengan mengunakan analisa SWOT.
5. Menentukan tujuan khusus yang menentukan aktivitas yang diperlukan
dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi secara keseluruhan.
129
6. Menentukan strategi dalam mewujudkan tujuan yang telah ditentukan.
7. Mendistribusikan sumber daya ke masing-masing program aksi untuk
memberikan dampak pada strategi yang yang diambil.
8. Mengimplementasikan rencana.
9. Mengontrol dan memonitor hasil dan membuat perbaikan jika diperlukan.
Di dalam perencanaan pengembangan kepariwisataan harus berpedoman
pada visi dan misi kepariwisataan. Visi dan misi kepariwisataan di daerah
diturunkan dan dijabarkan dari visi dan misi kepariwisataan nasional. Oleh
karena masyarakat selalu berkembang dan wisatawan juga berkembang
tuntutannya maka visi dan misi juga harus selalu ditinjau kembali (Fandeli,
2002:172).
Pembangunan pariwisata memerlukan kebijakan dan perencanaan yang
sistimatis, untuk itu diperlukan sebuah proses perencanaan strategis. Menurut
Richardson dan Fluker (dalam Pitane & Diarta, 2009:108) perencanaan strategis
merupakan
“...the magerial process of matching an organisation’s resouces and
abilities with its business opptunities over the long term. Its consists of
defining organisation’s mission and determining an overall goal,
aqcuiring relevant knowledge and analysing it, then setting objectives and
the strategies to echieve them”.
Beberapa hal yang perlu juga diperhatikan oleh pemerintah dalam
perencanaan dan penentuan kebijakan di bidang pariwisata. Menurut UN – WTO
peran pemerintah dalam menentukan kebijakan pariwisata sangat stretegis dan
bertanggung jawab atas hal-hal sebagai berikut (Pitana & Diarta, 2009:113):
1. Membangun kerangka (framework) operasional dimana sektor publik dan
swasta terlibat di dalam menggerakan denyut pariwisata.
130
2. Menyediakan dan memfasilitasi kebutuhan legislasi, regulasi dan kontrol
yang diterapkan dalam pariwisata, perlindungan lingkungan, dan
pelestarian budaya serta warisan budaya.
3. Menyediakan dan membangun infrastruktur transportasi darat, laut, dan
udara dengan kelengkapan prasarana komunikasinya.
4. Membangun dan memfasilitasi peningkatan kualitas sumber daya manusia
dengan menjamin pendidikan dan pelatihan yang profesional untuk
menyuplai kebutuhan tenaga kerja di sektor pariwisata.
5. Menerjemahkan kebijakan pariwisata yang disusun ke dalam rencana
kongkret yang mungkin termasuk di dalamnya: (a) evaluasi kekayaan aset
pariwisata, alam dan budaya serta mekanisme perlindungan dan
pelestariannya; (b) identifikasi dan kategorisasi produk pariwisata yang
mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif; (c) menentukan
persyaratan dan ketentuan penyediaan infrastruktur dan suprastruktur yang
dibutuhkan yang akan berdampak pada keragaan (performance)
pariwisata, dan; (d) mengelaborasi program untuk pembiayaan dalam
aktivitas pariwisata, baik untuk sektor publik maupun swasta.
Pendekatan tahapan atau proses dalam perencanaan pariwisata yang
cukup komprehensif ditawarkan oleh Gunn (2002: 139) yang mencoba melihat
dari cakupan mulai dari kebijakan dan panduan dalam kegiatan yang spesifik
untuk aspek pengembangan secara fisik maupun program-program
pengembangan. Proses perencanaan menurut Gunn hendaknya diawali dengan
langkah-langkah kunci yang dimulai dengan beberapa asumsi.
Pertama, kesiapan kepentingan publik maupun swasta dalam menyokong
dan mendukung proses.
Kedua, tujuan-tujuan seperti kepuasan pengunjung, pengembangan
ekonomi, perlindungan sumber daya, dan penyatuan kawasan
mendapatkan pertimbangan yang seimbang dalam perencanaan.
Ketiga, selama proses berlangsung semua bagian dan konstituennya
sepakat untuk terlibat dalam proses.
Dan keempat, rekomendasi akan mengarahkan keterlibatan semua sektor
yaitu pemerintah, swasta dan LSM serta masyarakat dalam pengembangan
pariwisata.
Pada kenyataannya dari hasil penelitian yang dilakukan, memperlihatkan
131
strategi koordinasi dalam proses perencanaan pariwisata yang berlangsung di
provinsi Kepulauan Bangka Belitung belum menerapkan empat asumsi dan
tahapan seperti yang dikemukakan oleh Gunn. Strategi koordinasi dan proses
perencanaan pariwisata yang menuntut adanya koordinasi antar organisasi SKPD
yang berkepentingan masih belum terwujud dengan baik.
Padahal koordinasi memungkinkan dan menjamin adanya kesatuan,
keterpaduan antar unit kerja ataupun antar stakeholders terkait dalam menciptakan
keselarasan pelaksanaan perencanaan stratejik kepariwisataan. Koordinasi
menempatkan stakeholders dalam posisi sentral dalam menjamin keberhasilan
pembangunan. “the best coordination occurs when individuals see how their jobs
contribute to the dominant goals of organization” (Koonz, O‟Donell, dan
Weichrich, 1983:82 dalam Hermana, 2006:73). Pentingnya koordinasi dalam
perencanaan stratejik dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya tindakan atau
kegiatan yang tidak selaras antar unit yang satu dengan yang lainnya akibat
perbedaan persepsi ataupun prioritas sasaran. Koordinasi merupakan suatu teknik
untuk mempersatukan sejumlah keahlian dan perhatian (skills and interests) yang
saling bertentangan, dan memimpinnya ke arah tujuan yang sama. Konteks
koordinasi dalam perencanaan stratejik sebagaimana dikemukakan oleh
Friedmann (1987:96) bahwa: “An early planning paradigm: coordination,” dalam
tatanan ini Rosadi (1996:52) menyatakan bahwa: “Berbagai kegiatan yang
terkoordinasi dengan baik akan menciptakan keharmonisan karena akan
memberikan efek pemberdayaan yang lebih besar dalam pencapaian tujuan.”
Pertama, dalam hal kesiapan para pihak, maka yang terjadi di Kepulauan
132
Bangka Belitung, pemerintah daerah mencanangkan program Visit Bangka
Belitung Archipelago 2010 misalnya, tanpa harus menunggu kesiapan sektor
swasta dan masyarakat.
Idealnya strategi koordinasi direncanakan dari awal baik dengan sektor
swasta maupun masyarakat. Strategi koordinasinya dapat dijalankan misalnya
dimulai dengan meminta dan mengundang berbagai masukan, usul dan saran
dalam mempersiapkan program dan kegiatan pembangunan kepariwisataan.
Pelibatan sektor lainnya sejak dini akan lebih mempercepat kesiapan setidaknya
secara psikologis bagi swasta dan masyarakat. Melalui pelibatan sejak dini akan
tercipta kondisi yang lebih kondusif bagi tumbuhnya sikap partisipatif di kalangan
masyarakat dan swasta.
Berbagai persiapan termasuk bagaimana merencanakan kegiatan dan
mengkondisikan masyarakat dilakukan sambil berjalan dengan mengandalkan
utamanya peranan media massa yang ditangani dengan penggunaan pengaruh para
pejabat, serta melakukan kegiatan-kegiatan kehumasan atau public relation.
Alasan yang disampaikan informan di Disbudpar jika harus menunggu kesiapan
semuanya, maka Bangka Belitung tak akan pernah benar-benar siap1.
Tahapan kedua, yaitu tujuan-tujuan yang ada baru sebatas bagaimana
meningkatkan kunjungan wisatawan dulu dengan melaksanakan berbagai macam
kegiatan yang akan mengundang para pengunjung di tingkat nasional dan regional
di Bangka Belitung. Tujuan lainnya yang bersifat lebih ideal seperti peningkatan
kesejahteraan masyarakat, kepuasan wisatawan, dan kelestarian lingkungan
1 Wawancara dengan informan di Disbudpar Babel, tanggal 22-10-2012
133
diharapkan dapat berjalan seiring dengan mulai dikenalnya Bangka Belitung
sebagai destinasi wisata.
Adapun tahapan ketiga, berkolerasi dengan tahapan pertama dimana
kesiapan dan keterlibatan masyarakat dan swasta belum terlalu dirasakan dalam
penyelenggaraan event, karena kegiatan yang sangat dominan dalam pelaksanaan
event di VBA 2010 adalah milik pemerintah daerah yang tentu juga didorong
terutama pendanaannya dari pemerintah baik APBN, APBD provinsi maupun
kabupaten/kota. Termasuk pula di dalamnya berbagai kegiatan di kebudayaan di
tingkat desa yang mendapatkan bantuan dari pemerintah provinsi.
Tahapan keempat, berupa rekomendasi untuk melibatkan masyarakat
dilakukan utamanya dalam bentuk himbauan. Termasuk di dalam bentuk
himbauan ini adalah upaya mengkondisikan masyarakat dan kalangan pelajar.
Sebagai contoh selama persiapan penyelenggaraan Visit Babel Archi 2010, setiap
kepala SKPD ditugaskan untuk menjadi pembina upacara senin pagi di sekolah
sampai ke tingkat kecamatan dimana mereka bertugas. Dalam kegiatan tersebut
dibacakan sambutan gubernur yang berkaitan dengan informasi tentang adanya
program VBA 2010.
Disbudpar Provinsi selayaknya mengambil inisiatif untuk pada
kesempatan pertama mengkomunikasikan berbagai kepentingan dan
mengharapkan dukungan dari SKPD. Misalnya kepada Bappeda selaku SKPD
yang bertanggungjawab terhadap perencanaan di tingkat provinsi dan mengawal
kepentingan dan koordinasi perencanaan lintas sektor. Hal semacam ini
seharusnya dilakukan baik dalam perencanaan jangka menengah yang bersifat
134
lima tahunan, maupun perencanaan jangka pendek yang dilaksanakan setiap
tahun. Kurangnya komunikasi yang dijalin seperti yang diakui baik oleh pihak
Disbudpar dan Bappeda telah menyebabkan tidak terjalinnya sinergi yang baik
antar SKPD dalam mendukung perencanaan pariwisata yang utuh dan
menyeluruh.
Perencanaan selayaknya juga mendengarkan harapan dan keluhan dari
semua pihak termasuk pengusaha sektor swasta dan masayarakat, termasuk
wisatawan. Keluhan pengusaha perhotelan terhadap kondisi kelistrikan di Babel
yang kekurangan pasokan, misalnya yang menyebabkan membengkaknya biaya
operasional hotel yang bisa mencapai Rp 2 milyar per tahun1. Begitu pula adanya
keluhan wisatawan akan tingkat kebersihan di daerah destinasi wisata perlu
disikapi dan dicarikan jalan keluar secepatnya2.
Koordinasi yang berlangsung pada tahap perencanaan masih belum
berlangsung baik3. Hal tersebut bermula dari kelemahan di pihak Disbudpar
sendiri yang tidak menginformasikan secara detil program dan kegiatan yang akan
dilakukan, serta apa pula yang harus dilakukan oleh SKPD lainnya untuk
menunjang program atau kegiatan kepariwisataan berjalan dengan baik.
“Kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pembangunan di bidang
kepariwisataan seperti SKPD berjalan sendiri-sendiri dan tidak
menginformasikan secara detil apa yang harus dilakukan oleh SKPD
lainnya, akibatnya program dan kegiatan yang berjalan seperti terlepas.
Tim Anggaran pemerintah daerah (TAPD) dan Bappeda fungsinya sebagai
koordinator saja.
Koordinasi adalah kelemahan utama kita selama ini. Dukungan terhadap
sektor-sektor yang diunggulkan tidak terlalu kelihatan, sehingga upaya
yang harus dilakukan dimulai dari melihat mana sektor yang menjadi
1 Wawancara dengan pengusaha hotel di Babel, 28-10-12
2 Wawancara dengan wisatawan di Belitung, 18-10-2012
3 Wawancara dengan informan dari Bappeda Provinsi kepulauan Bangka Belitung, tgl 01-10-2012.
135
unggulan atau diunggulkan, misalnya melalui diadakan dulu FGD,
sebelum membahas Musrenbang........................ Kalau di level
perencanaan saja masih terdapat kelemahan seperti itu koordinasinya
apalagi di level pelaksanaannya”.
Dalam konteks perencanaan kegiatan 1, selama ini diakuinya bahwa tidak
terdapat pembahasan yang mempertemukan SKPD seperti Distamben serta
SKPD terkait dengan sektor pariwisata mulai dari tingkat perencanaannya.
Kelemahan utama di sisi perencanaan selain tidak dibuatkannya strategi
koordinasi pada tahapan perencanaan, juga sudah dimulai dengan belum
ditetapkannya cetak biru perencanaan pembangunan pariwisata yang di sebut
dengan dokumen RIPPDA atau RIPARDA dengan produk hukum baik dengan
Keputusan Kepala Daerah atau dengan Peraturan daerah. Tanpa adanya kekuatan
yuridis tersebut maka RIPPDA yang telah dibuat sejak tahun 2006 dan seharusnya
diberlakukan di tahun 2007 itu menjadi tidak punya kekuatan sama sekali. Tidak
dibuatkannya Perda untuk RIPARDA 2, bermula dari tidak adanya keharusan
tersebut dibuatkan perdanya dalam Undang-undang (Nomor 9 Tahun 1990)
tentang Kepariwisataan yang masih berlaku ketika RIPPDA Kepulauan Bangka
Belitung selesai dibuat di tahun 2006. Kewajiban pemberlakuan Rencana Induk
Pembangunan Pariwisata itu dalam bentuk Perda baru diatur dalam Undang-
undang (Nomor 10 tahun 2009) tentang Kepariwisataan. Pada (pasal 9) Undang-
undang Kepariwisataan yang baru ini diatur tentang dasar hukum dari Rencana
Induk Pembangunan Pariwisata yang berbunyi:
Pasal 9
1 Hal yang sama juga dirasakan oleh informan di Dinas Pertambangan, wawancara tgl 25-10-2012
2 Wawancara dengan informan Disbudpar, 22-10-2012
136
(1) Rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah provinsi.
(3) Rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan
Daerah kabupaten/kota.
(4) Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan dengan
melibatkan pemangku kepentingan.
(5) Rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata,
destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan.
Ketika akan diusulkan menjadi Peraturan daerah dengan adanya perubahan
undang-undang kepariwisataan, beberapa asumsi yang terdapat di dalam Rencana
Induk Pembangunan Pariwisata yang ada ternyata banyak yang sudah tidak sesuai
lagi dengan situasi mutakhir1 . Untuk itu diperlukan review terhadap Rencana
Induk tersebut yang baru dapat dianggarkan di tahun 2012. Namun dalam
perkembangannya review ini tidak dapat dilaksanakan karena masalah lelang atau
seleksi pihak ketiga yang akan melakukan pekerjaan dimaksud. Menurut informan
Disbudpar, pemenang yang ditetapkan oleh Lembaga Unit Pelelangan (ULP)
tidak memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan oleh pihak Disbudpar 2.
“Kami tidak mau menerima pemenang lelangnya. Masak tenaga ahli yang
kita persyaratkan minimal memiliki pengalaman kerja di bidang pariwisata
selama empat tahun, tapi yang dimenangkan hanya punya pengalaman 18
bulan. Kan ga benar itu, jadi kami kembalikan lagi ke mereka. Sayangnya,
waktu untuk melaksanakannya sudah tidak cukup lagi”
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang ditetapkan menjadi salah satu
pilot proyek selain provinsi Gorontalo dan Nusa Tenggara Timur untuk Program
Penguatan Peran Pemerintah Provinsi atau Provincial Government Streengthening
1 Menurut informan yang ada di Disbudpar, wawancara 22-10-2012.
2 Wawancara dengan informan Disbudpar 22-10-2012.
137
Programme (PGSP) yang bekerjasama dengan UNDP di tahun 2012. Melalui
program ini akan dikembangkan model penguatan pemeritahan di tingkat
provinsi, khusus di Kepulauan Bangka Belitung dipilih sektor pariwisata dan
pelayanan kesehatan sebagai model.
Melalui kegiatan PGSP ini terdapat beberapa kegiatan yang berkaitan
dengan penguatan perencanaan pariwisata di tingkat provinsi seperti pembuatan
Rencana strategis (Renstra) Disbudpar yang melibatkan seluruh pegawai,
pengembangan destinasi pariwisata, serta program pengembangan Desa Wisata.
Rencana Induk yang telah ada dan seharusnya dijadikan sebagai panduan
perencanaan berbagai kegiatan di Disbudpar, ternyata kurang dimanfaatkan
sebagai acuan1. Perencanaan lebih sering melihat apa yang telah dilakukan di
tahun sebelumnya dan mengantisipasi apa yang sedang dan menjadi trend ketika
perencanaan kegiatan dibuat. Bahkan beberapa kegiatan merupakan hasil dari
perintah atau arahan dari Gubernur yang mendapatkan masukan dari pihak ketiga
seperti kegiatan Festival kembang Api, Jambore VW dan Pembentukan Kantor
Promosi di luar daerah. Khusus kegiatan pembentukan kantor promosi walaupun
telah dianggarkan dalam APBD di tahun 2010, namun tidak dapat dilaksanakan
karena adanya perintah penundaan kegiatan dengan alasan adanya perubahan
anggaran. Ketika anggaran sudah dinyatakan dapat dilakukan setelah adanya
perubahan nilai, ternyata kegiatan tidak bisa lagi dilaksanakan karena untuk sewa
gedung atau bangunan pihak-pihak ketiga yang dihubungi tidak mau jika hanya
disewa beberapa bulan saja (tidak sampai satu tahun atau kurang dari 12 bulan).
1 Wawancara dengan informan Disbudpar 23-10-2012
138
Perencanaan yang tidak mengacu pada dokumen yang telah ada tersebut di
samping belum mempunyai kekuatan hukum dari sisi yuridis, juga karena adanya
asumsi-asumsi yang telah mengalami perubahan. Sedangkan Rencana Strategis
SKPD tidak dijadikan acuan karena dianggap belum sempurna sebagai sebuah
perencanaan strategis SKPD1.
“Pembahasannya dulu tidak sempurna banyak yang tidak dilibatkan,
akibatnya banyak kelemahan. Indikatornya saja banyak yang tidak pas,
jadi kita tidak terlalu yakin tingkat kebenarannya sebagai dokumen
rencana yang layak dijadikan acuan”.
Sementara itu di sisi lain kurangnya koordinasi dalam perencanaan
anggaran seringkali membuat kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan seakan-akan
“Dipaksa” menyesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Akibatnya capaian
kegiatan tidak bisa dilakukan dengan baik, karena pelaksana kegiatan harus
mencari jalan bagaimana menyiasati keterbatasan anggaran di satu pihak, dan
mencoba mencapai target-target kinerja yang telah ditetapkan2.
“Kami sering bingung melaksanakan kegiatan, tetapi karena sudah
dijadikan kalender tahunan mau tidak mau harus tetap dilaksanakan.
Pernah ada kegiatan festival yang pesertanya dari kabupaten/kota, tetapi
ternyata tidak ada uang penginapan di anggarannya. Kan kasihan lihat
anak-anak yang datang, padahal mereka datang dari pulau Belitung
misalnya,”
Hal semacam ini terjadi karena koordinasi perencanaan Disbudpar dengan
Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang diketuai oleh Sekretaris Daerah,
1 Kurang baiknya kualitas Renstra yang ada, berdasarkan wawancara dengan informan Disbudpar
Babel, tanggal 23-10-2012. 2 Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 23-10-2012
139
wakil TAPD Kepala Bappeda, dengan sekretaris Kepala Dinas Pendapatan dan
Pengelolaan Aset daerah (PPKAD) tidak berjalan dengan baik1.
“Mereka sering memangkas anggaran tanpa mengkonfirmasikan dulu
dengan kami sehingga jadi masalah di kemudian hari. Pernah anggaran
yang sudah disahkan tapi kemudian keluar surat yang menyatakan bahwa
kegiatan-kegiatan tertentu ditunda pelaksanaannya. Dan ketika keluar surat
lagi bahwa kegiatan sudah bisa dilaksanakan, kegiatannya sudah tidak
memungkinkan lagi dilakukan, karena waktu yang terbatas. Alasannya
karena ada proyek multi years,”
Dari sisi mekanisme pembahasan kegiatan, terdapat beberapa kelemahan
yang seharusnya tidak perlu terjadi pada sektor pariwisata yang secara jelas sudah
dijadikan sebagai sektor unggulan. Dengan status sebagai sektor unggulan
selayaknya pariwisata mendapatkan perhatian yang lebih memadai terutama
dalam bentuk sinergi yang dapat dimulai pada saat perencanaan kegiatan-kegiatan
berlangsung. Institusi perencana seperti Bappeda dan Disbudpar (dalam struktur
organisasi Disbudpar terdapat Bidang Perencanaan yang dikepalai oleh seorang
pejabat eselon 3 dan tiga orang Kepala Seksi eselon 4-pen) sendiri seyogyanya
yang mengambil peran aktif untuk mensinergikan berbagai kegiatan SKPD ke
arah dukungan terwujudnya Bangka Belitung sebagai destinasi unggulan.
Perencanaan oleh pemerintah dalam pariwisata memainkan peran yang
penting karena tanpa keterlibatan pemerintah maka perencanaan pariwisata akan
dapat kehilangan kendali, tidak memiliki arah, serta kehilangan daya rekat antar
elemen-elemen institusional perencana (Lickorish, 1988:70). Rencana induk atau
RIPPDA itulah yang seharusnya merupakan contoh perencanaan yang dilakukan
pemerintah. Di samping itu sinergi stakeholder dalam perencanaan yang meliputi
1 Wawancara dengan informan Disbudpar babel tanggal 23-10-2012
140
prakondisi perencanaan, perumusan rencana, serta implementasi dan evaluasi
berpengaruh terhadap pelasanaan pembangunan kepariwisataan suatu daerah
(Bahar, 2003:265).
Bidang pemasaran merupakan titik lemah lainnya yang terlihat dalam
koordinasi perencanaan pariwisata di Bangka Belitung. Hal tersebut dapat dilihat
dari telah terlampauinya target wisatawan secara total seperti yang diarahkan
dalam RIPDA sejak tahun 2009 lalu, namun belum ada rencana perubahan target
jumlah wisatawan yang baru. Hal ini menyebabkan target capaian jumlah total
wisatawan dalam tiga tahun terakhir sudah tercapai tanpa harus melakukan upaya
berarti di Disbudpar1
Persoalan perencanaan pemasaran lainnya adalah bagaimana Disbudpar
melihat konsep pemasaran pariwista sendiri. Pemasaran pariwisata (tourism
marketing) bersifat sangat kompleks jika dibandingkan dengan pemasaran
barang-barang lainnya. Perkembangan yang pesat dalam pariwisata yang
berakibat pada berubahnya berbagai perkembangan baik dari sisi produk wisata
maupun dari sisi target pasar menuntut kebutuhan akan metode bisnis pariwisata
yang lebih responsif. Hal seperti ini antara lain menyebabkan pengadopsian dan
penerapan konsep-konsep pemasaran pariwisata (Pitana & Diarta, 2009:152).
Pengertian pemasaran seperti yang dikemukakan oleh Kotler, 1996 dalam Pitana
& Diarta (2009:153). adalah :
“A social and managerial process by which individusls and want through
creating and exchanging products and value with others”. Sementara
menurut British Chartered institute of Marketing , pemasaran adalah “
The manajement process responsible for identifying, anticipating, and 1 Dikatakan informan Disbudpar Babel, wawancara tanggal 24-10-2012: “Kami bisa mencapai
target sambil tidur-tiduran”.
141
satisfying customers requirements profitably” .
Pemasaran pariwisata adalah suatu sistim dan koordinasi yang harus
dilakukan sebagai kebijaksanaan bagi perusahaan –perusahaan kelompok industri
pariwisata, baik milik swasta atau pemerintah, dalam ruang lingkup lokal,
regional, nasional atau internasional untuk mencapai kepuasan wisatawan dengan
memperoleh keuntungan yang wajar ( J. Krippendorf, dalam Yoeti, 2005:1-2) .
Sementara itu menurut Salah Wahab dan kawan-kawan, pemasaran
pariwisata adalah suatu proses manajemen yang dilaksanakan oleh
organisasi pariwisata nasional atau perusahaan-perusahaan termasuk
dalam kelompok industri pariwisata untuk melakukan identifikasi
terhadap wisatawan yang sudah punya keinginan untuk melakukan
perjalanan wisata dan wisatawan yang punya potensi akan melakukan
perjalanan wisata dengan jalan melakukan komunikasi dengan mereka,
mempengaruhi keinginan, kebutuhan, memotivasinya, terhadap apa yang
disukai dan yang tidak disukainya, pada tingkat daerah-daerah lokal,
regional, nasional ataupun internasional dengan menyediakan objek dan
atraksi wisata agar wisatawan memperoleh kepuasan.
Terdapat persamaan bahwa pemasaran merupakan suatu proses manajerial yang
digunakan untuk melakukan penilaian permintaan konsumen dan
mengantisipasinya, dimana semangat yang menjadi muara dari semuanya adalah
meletakan kebutuhan konsumen sebagai pangkal dari semua urusan organisasi
pemasaran.
Menurut Yoeti (2005:2) jika disimpulkan maka pemasaran pariwisata
mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pertama: pemasaran pariwisata itu merupakan suatu proses manajemen
yang dilakukan oleh organisasi pariwisata nasiaonal, dengan bekerjasama
dengan organisasi pariwisata swasta, yang mewakili perusahaan-
perusahaan kelompok industri pariwisata.
Kedua: melakukan identifikasi terhadap kelompok wisatawan yang sudah
memiliki keinginan untuk melakukan perjalanan wisata (actual demand)
dan kelompok wisatawan yang memiliki potensi akan melakukan
142
perjalanan wisata di waktu-waktu yang akan datang (potential demand).
Ketiga: melakukan komunikasi dan mempengaruhi keinginan, kebutuhan,
dan memotivasinya terhadap yang disukai atau tidak disukai mereka, baik
pada tingkat lokal, regional , maupuan internasional.
Keempat: menyediakan objek dan atraksi wisata sesuai dengan persepsi
wisatawan sehingga mereka puas.
Dengan memahami bahwa pariwisata merupakan salah satu produk layanan
khusus yang mencakup beberapa hal yang perlu dilakukan secara baik apabila
suatu usaha pariwisata ingin memaksimalkan potensinya untuk sukses, maka
perhatian terhadap kegiatan pemasaran menjadi amat penting.
Orientasi pemasaran yang sukses merupakan tugas dan tanggungjawab
manajemen. Karena pemasaran merupakan penghubung antara produsen dan
konsumen, hal tersebut artinya memerlukan tugas manajemen yang bersifat
spesifik. Karenanya bagi penyedia produk dan layanan yang tidak memiliki
komitmen yang jelas mengenai orientasi pemasarannya pada umumnya tidak
akan memiliki fungsi pemasaran yang efektif. Menurut Kotler dan Lee (2007:12)
pemasaran menjadi alat perencanaan yang tepat bagi instansi publik yang ingin
memenuhi kebutuhan masyarakat dan memberikan nilai yang sesungguhnya.
Perhatian utama pemasaran adalah menghasilkan keluaran yang memenuhi nilai
pangsa pasar. Apabila pada sektor swasta kata kunci pemasarannya adalah nilai
dan kepuasan pelanggan, maka pada sektor publik kata kuncinya adalah nilai dan
kepuasan masyarakat.
Perencanaan pemasaran pariwisata merupakan bagian yang sangat penting
dalam upaya mencapai tujuan dari kegiatan yang akan dilaksanakan. Perencanaan
pemasaran akan berdampak kepada beberapa keuntungan manajeman berikut
(Cooper 1999, dalam Pitane & Diarta, 2009: 166) ;
143
1. Menyediakan arah yang jelas dari kegiatan pemasaran berdasarkan
pendekatan pemasaran dan kegiatan yang sistimatis dan tertulis.
1. Mengkordinasikan segala sumber daya yang dimiliki organisasi
2. Menetapkan target pencapaian yang dapat diukur .
3. Meminimalkan resiko melalui analisis lingkungan internal dan eksternal.
4. Memilih dan memilah cara pencapaian target dan tujuan dalam beragam
segmen pasar.
5. Menyediakan rekam jejak mengenai kebijakan dan perencanaan
pemasaran.
6. Memungkinkan organisasi berjalan dalam rencana jangka panjang
sehingga rencana organisasi selalu berada pada posisi terbaik untuk
mencapai tujuan masa depannya.
Untuk membangun strategi pemasaran yang solid Kertajaya dan
Yuswohady (2005:12) menawarkan konsep yang disebut dengan Strategic Place
Triangle yang menyangkut tiga hal kunci yaitu: pertama, Strategi yang mencakup
Segmentasi-Tergeting-Positioning. Kedua adalah Taktik yang mencakup
Diferensiasi-Marketing Mix-Selling.; dan ketiga, adalah Value yang mencakup
Brand-Servis-Proses.
Pada kenyataannya dalam hal pemasaran di sektor pariwisata di kepulauan
Bangka Belitung belum berjalan sebagaimana yang disampaikan. Kelemahan
menggarap pemasaran sudah teridentifikasi dari beberapa hal. Pertama,
nomenklatur bidang yang menangani yang dinamakan Bidang Promosi, yang
sebenarnya lebih sempit dari pada istilah pemasaran. Kedua, pejabat yang
menangani promosi di Disbudpar sendiri menyatakan ketidaktahuannya terhadap
wisatawan dari mana saja yang harusnya menjadi target upaya pemasaran atau
promosi. Alasannya adalah sampai ketika penelitian dilakukan sang pejabat belum
mengetahui karakteristik wisatawan, baik wisatawan nusantara atau mancanegara
144
yang mengunjungi Kepulauan Bangka Belitung1. Hal ini terjadi karena memang
belum tersedia data hasil penelitian yang dapat menunjukan karakteristik
wisatawan di Bangka Belitung.
Sebagai akibatnya maka pemasaran pariwisata yang dilakukan selama ini
belum terarah secara baik, mulai dari penentuan target pasar, cara berpromosi dan
bahan promosi seperti apa yang harus disiapkan, serta kapan dan dimana harus
berpromosi.
Kendala lain, ketiadaan lembaga Badan Promosi di Kepulauan Bangka
Belitung yang membuat pelaksanaan kebijakan pemasaran dan promosi belum
berjalan baik. Keterpaduan cara berpromosi, dimana, kapan dan menggunakan
alat atau sarana promosi yang bagaimana seperti diuraikan terdahulu, belum
dilakukan dengan sinergi. Di tingkat provinsi misalnya tidak jelas bagaimana
kebijakan promosi daerah diarahkan, termasuk di Disbudpar, yang berakibat pada
SKPD mana saja yang mengikuti pameran di dalam dan luar negeri, bahan dan
materi pamerannya sama saja, atau itu-itu saja. Demikian pula yang terjadi di
antara kabupaten kota. Dengan alasan otonomi dan belum adanya pengaturan dan
standarisasi pameran, maka pameran yang diikuti oleh kabupaten dan kota
seringkali bersifat tumpang tindih dan pengulangan. Misalnya, dalam sebuah
pameran pariwisata di sebuah gedung pameran, di Jakarta, peserta pameran
pariwisata dari provinsi Kepulauan Bangka Belitung maupun dari kabupaten kota
menampilkan produk yang sama saja di setiap stan seperti, getas, kletek, anyaman
resam, pewter, terasi, dan tenun cual. Variasi tampilan produk dan paket wisata
1 Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 24-10-2012
145
juga belum banyak terlihat dalam berbagai pameran yang diikuti. Demikian pula
bahan promosi seperti leaflet, peta wisata, booklet, cd dan dvd masih terkesan
belum memperhatikan kualitas bahan dan desain yang membuat pengunjung
pameran akan jadi tertarik untuk melihat, membaca dan memperhatikannya, yang
pada akhirnya akan berkunjung ke Bangka Belitung.
Hasil Nesparda 2012 menyatakan bahwa wisatawan yang datang ke
Bangka Belitung memperoleh informasi terbanyak dari internet yaitu 27,50
persen, dari teman dan saudara 22,50 persen, 17,50 persen dari kantor pariwisata,
5,00 persen dari media cetak/koran dan majalah. Dengan demikian Disbudpar
harus lebih serius membenahi fasilitas dunia maya yang berupa internet dan
jejaring sosial baik situs, blog, face book maupun tweeter, terutama dalam desain
promosi, bahasa dan strateginya. Sinerji dan keterlibatan SKPD lainnya seperti
Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo), serta jaringan yang serupa di
tingkat Kabupaten/kota, demikian pula pihak swasta (seperti PT Timah Tbk dan
PT Koba Tin) dan masyarakat akan lebih memperbesar jaringan yang selama ini
sudah tersedia.
Dari keseluruhan koordinasi perencanaan maka merujuk pada apa yang
dikemukakan oleh Agranoff dan Lindsay (dalam Alexander, 1995:139) bahwa
agar koordinasi dapat berjalan dengan baik, maka terdapat beberapa langkah yang
harus dilakukan yaitu :
1) Recognition of the institutional-legal and organizational structural
context, involving fragmented systems with jurisdictional overlaps;
2).Consciousness of the political nature of the tasks and the diffusion of
power in the system “put politics up front”;
3).Addressing the technical elements with the problems with the assistance
146
of the specialists such as planners, community center directors and
program heads, and dealing with the “nuts and bolts” of substantives
issues;
4). A task orientation and clear focus on the problem at hand and mutual
willingness to make adjustments to solve particular problem, rather
thanhollow attemps to “work together” or more “pseudo-arenas” for
interagency coordination such as joint boards, task forces, or requirements
for coordinated or comprehensive planning.
Langkah-langkah strategi dalam koordinasi perencanaan yang merupakan
koordinasi antisipatif adalah; Pertama mengenali kedudukan organisasi terlebih
dulu secara hukum dan kerangka struktur dengan melibatkan system yang
berlaku. Kemudian yang kedua adalah kesadaran politik terhadap tugas dan difusi
kekuasaan dalam system dengan mengedepankan politik. Ketiga, menangani
unsur-unsur teknis yang terkait dengan masalah yang memerlukan keterlibatan
keahlian seperti perencana, pengarah kemasyarakatan dan pimpinan program
dalam mengatasi permasalahan yang bersifat substansial. Sementara itu keempat,
berorientasi pada tugas dan fokus yang jelas untuk menyelesaikan masalah dengan
tetap berpegang pada keinginan guna melakukan koordinasi antar instansi seperti
pada kerjasama antar instansi, gugus tugas, dan perencanaan yang terkoordinasi
dengan baik dan menyeluruh.
Dengan menggunakan pendekatan keempat langkah seperti yang
disampaikan oleh Agranoff dan Lindsay (dalam Alexander, 1995:139) tadi maka
sangat dirasakan bahwa koordinasi di bidang perencanaan pembangunan
pariwisata yang terjadi antar SKPD belum terjadi dengan baik. Belum munculnya
format kerjasama mulai dari keterpaduan rencana sampai ke dalam pelaksanaan
program-program kepariwisataan di Kepulauan Bangka Belitung adalah contoh
dari kelemahan dimaksud. Walaupun seharusnya perencanaan pembangunan
147
pariwisata yang ada menekankan pada aspek koordinasi untuk menyatupadukan
berbagai rencana agar tidak terjadi tumpang tindih atau justru kekosongan dalam
suatu bidang pekerjaan.
Pada langkah pertama menurut Agranoff dan Lindsay (dalam
Alexander, 1995:139) misalnya, dimana diperlukan pengenalan kedudukan
organisasi maka jika melihat struktur Dinas Kebudayaan dan pariwisata serta SK
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Nomor 188.44/299/III/2008) tentang
Pembentukan Tim Percepatan Persiapan Visit Babel Archi 2010, tanggal 28 Mei
2008, terdapat beberapa kelemahan mendasar. Pada SK Gubernur dimaksud
misalnya nomenklatur SKPD yang ditugaskan masih berdasarkan pada Peraturan
Daerah yang lama sehingga sudah tidak sesuai lagi dengan Perda tentang
organisasi yang baru. Sebagai cuntoh, Dinas yang menangani kewenangan
Pariwisata yang dulunya bernama Dinas Perhubungan dan Pariwisata telah
menjadi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Demikian pula dinas-dinas lainnya
seperti Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi yang telah menjadi dua
dinas masing-masing Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Dinas Koperasi
dan UMKM, Bahkan beberapa dinas dengan nomenklatur yang baru juga muncul
yang selama ini belum pernah ada seperti Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas
Komunikasi dan Informatika, Badan Ketahanan Pangan, dan Badan
Penanggulangan Bencana. Semua perubahan nomenklatur tersebut seharusnya
membawa implikasi bagi disempurnakannya SK Gubernur menyangkut Tim
Percepatan persiapan Visit Babel Archi 2919, karena akhirnya SKPD yang
namanya tercantum di dalam SK Gubernur tersebut tidak merasa sebagai objek
148
dari Keputusan Gubernur dimaksud.
Akibatnya SKPD tidak melaksanakan apa yang sudah diarahkan di dalam
SK yang kemudian membuat tidak berjalannya arahan kegiatan seperti
direncanakan. Dengan kondisi seperti itu maka peranan SK Gubernur yang
tadinya diharapkan dapat memperkuat koordinasi antar SKPD yang terlibat
menjadi kehilangan maknanya serta tidak mampu menjadi alat dalam mendorong
percepatan yang diinginkan.
Hal lain yang perlu dicermati pada pendekatan pertama berdasarkan
pendapat Agranoff dan Linsay, adalah kondisi di Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata sendiri yang memiliki berbagai kelemahan dari sisi struktur dan
nomenklatur organisasi. Padahal seperti diketahui bahwa struktur memegang
peranan penting dalam upaya pencapaian tujuan organisasi serta ikut menentukan
kapasitas organisasi (Drucker, Robbins dan Daft, dalam Tachjan, 2008: 89-90).
Pentingnya sebuah struktur organisasi yang efektif dalam pengelolaan
kepariwisataan dan kebutuhan atas perencanaan yang terintegrasi secara
berkesinambungan juga dikemukakan oleh Inskeep (1991) dalam Jamal dan Getz
(1994:187). Kelemahan-kelemahan struktur tersebut terlihat dari: Pertama, tidak
adanya unit kerja yang menangani kewenangan pengembangan destinasi yang
berimplikasi pada tidak adanya bagian dalam organisasi yang menjalankan
tanggungjawab di bidang destinasi, padahal destinasi merupakan prasyarat bagi
adanya kegiatan pariwisata di suatu daerah. Kedua, kurang tepatnya nama Bidang
Promosi dan Pemasaran, sebaiknya Bidang Pemasaran dan Promosi. Implikasi
dari nomenklatur seperti ini berakibat pada tugas yang lebih luas dan strategis
149
yang seharusnya dilakukan oleh bidang. Misalnya perumusan kebijakan
pemasaran yang terkadang hanya dimaknai sebagai strategi promosi saja.
Padahal seharusnya berada di tataran yang lebih tinggi, yaitu kebijakan
pemasaran. Ketiga, adanya tumpang tindih pekerjaan antara Seksi di Bidang
Perencanaan yaitu Seksi Monitoring dan Evaluasi dengan Seksi Pengendalian
yang berakibat pada kurang efektifnya pengendalian. Hal tersebut dapat dilihat
pada gambar 4.6.
Gambar 4.6. Struktur Organisasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
150
Jika dihubungkan dengan pendekatan kedua menurut Agranoff dan
Lindsay dalam Alexander (1995:139) maka akibat dari tidak disempurnakannya
SK Gubernur tersebut, serta belum dilakukannya perbaikan struktur dan
nomenklatur di Disbudpar yang akan mempersulit pencapaian tujuan dan
pelaksanaan tugas sehari-hari.akan membawa implikasi politis dimana kebijakan
pembangunan pariwisata melalui program VBA 2010, serta membangun
pariwisata sebagai sektor unggulan daerah yang sudah menjadi salah satu janji
politis Gubernur tidak akan dapat berjalan dengan baik
Pendekatan ketiga menurut Agranoff dan Lindsay (dalam Alexander,
1995:139) dapat dicermati pada kesiapan dan keterlibatan tenaga perencana,
pengarah kemasyarakatan, dan pimpinan program yang selama ini belum
ditangani dengan baik. Keterlibatan dan pembuatan kebijakan berskala besar dan
luas seperti yang dilakukan di bidang kepariwisataan sesungguhnya memerlukan
keahlian serta pendekatan lintas sektor dan ilmu di samping kepariwisataan
sendiri seperti, tata ruang, psikologi, sosiologi, teknologi komunikasi, transportasi,
arsitekur dan lain-lain. Hal semacam ini belum terlihat dalam konteks perencanaan
yang dilakukan selama ini di Kepulauan Bangka Belitung.
Sehubungan dengan betapa pentingnya koordinasi dalam perencanaan
pariwisata ini, maka Jamal dan Getz (1994:186-187) menyatakan bahwa:
The lack of coordination and cohesion within the highly fragmented
tourism industry is a well-known problem to destination planners and
managers. Gunn (1988) stated that continuous tourism planning must be
integrated with all other planning for social and economic development,
and could be modeled as an interactive system. He pointed out that "the
'go-it-alone' policies of many tourism sectors of the past are giving way
151
to stronger cooperation and collaboration . . . . No one business or
government establishment can operate in isolation" (Gunn 1988:272).
Inskeep (1991) has also pointed out the importance of an effective
organizational structure for tourism management and the need for
continuous, integrated planning. Achieving coordination among the
government agencies, between the public and the private sector, and
among private enterprises is a challenging task, however, and requires
the development of new mechanisms and processes for incorporating the
diverse elements of the tourism system.
Jika ditafsirkan maka apa yang disampaikan oleh Jamal dan Getz adalah sebagai
kurangnya koordinasi dan kohesi dalam industri pariwisata yang sangat
terfragmentasi merupakan masalah yang telah diketahui oleh para perencana dan
pengelola destinasi. Gunn (1988) menyatakan bahwa, perencanaan pariwisata
yang berkesinambungan harus terintegrasi dengan seluruh perencanaan lainnya di
bidang pembangunan sosial dan ekonomi, dan dapat dijadikan model sebagai
suatu sistem yang interaktif.
Dia menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan dari banyak sektor
pariwisata “Berjalan sendiri-sendiri” akan digantikan dengan kerjasama dan
kolaborasi.....tidak ada bisnis atau usaha pemerintah yang dapat bekerja dalam
isolasi (Gunn:1988:272). Inskeep (1991) juga menunjukan pentingnya sebuah
struktur organisasi yang efektif dalam pengelolaan kepariwisataan dan kebutuhan
atas perencanaan yang terintegrasi secara berkesinambungan.
Untuk mencapai koordinasi antar berbagai lembaga pemerintah, antar
sektor publik dan swasta, dan antara perusahaan-perusahaan swasta adalah sebuah
tugas yang menantang, dan memerlukan pembangunan suatu mekanisme-
mekanisme dan proses-proses baru untuk menyatukan berbagai elemen yang
berbeda dari suatu sistem pariwisata.
152
Pendekatan terakhir atau keempat, menyangkut atau berorientasi pada
tugas dan focus yang jelas untuk menyelesaikan masalah dengan melakukan
koordinasi antar instansi ternyata juga belum berjalan dengan baik. Sampai saat
penelitian dilakukan masih terkesan adanya kebijakan yang ambigu dari
pemerintah daerah , yaitu di satu sisi ingin membangun pariwisata sebagai sektor
unggulan, namun di sisi lain masih “membiarkan” adanya izin penambangan yang
dikeluarkan di kawasan pariwisata atau di sekitar kawasan pariwisata. Kendala
lainnya adalah karena masing-masing instansi masih terfokus pada tugas pokok
dan kepentingannya sendiri. Untuk itu dibutuhkan seorang koordinator yang mau
dan mampu mengarahkan berbagai kegiatan perencanaan pariwisata sehingga
menjadi semakin terarah dan membuat sinergi antar sektor dan SKPD yang baik.
Jika merujuk pada aturan yang ada maka fungsi koordinator tersebut dapat
dimainkan oleh beberapa pejabat. Pertama, adalah pejabat tertinggi yang
memegang fungsi koordinasi di provinsi yaitu Sekretaris Daerah. Kedua, adalah
Kepala Bappeda yang bertanggung jawab membuat sinkronisasi perencanaan
makro antar sektor dan SKPD. Ketiga, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
yang bertanggung jawab terhadap koordinasi perencanaan dalam kepentingan
pariwisata di tingkat yang lebih mikro yaitu pada tataran internal kebudayaan dan
pariwisata. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Gunn (2002:267) bahwa
perencanaan pariwisata harus terintegrasi dengan perencanaan-perencanaan
lainnya seperti perencanaan sosial dan pembangunan ekonomi, dan menjadi model
perencanaan yang terintegrasi.
153
4.2.2. Strategi Koordinasi Pelaksanaan, Pemantauan, Umpan Balik dan
Pengendalian
4.2.2.1. Strategi Koordinasi Pelaksanaan
Upaya melakukan percepatan pembangunan sektor pariwisata di Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung melibatkan kerjasama dan koordinasi antar
organisasi internal pemerintahan daerah di tingkat provinsi, bahwa sektor
pariwisata sangat memerlukan keterlibatan sektor-sektor lainnya dalam
membangun berbagai destinasi atau objek pariwisata. Karena itu bagaimana
keterkaitan koordinasi yang diperlukan dengan SKPD dimaksud dapat dilihat dari
uraian menyangkut pelaksanaan strategi koordinasi yang terjadi di tiga SKPD di
bawah ini yaitu Dinas Pertambangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan
Dinas Perhubungan.
4.2.2.1.1. Dinas Pertambangan dan Energi
Sektor pertambangan, sangat diperlukan keterlibatannya dalam
pembangunan pariwisata, karena sejak lama Kepulauan Bangka Belitung telah
menjadi kawasan pertambangan sehingga tidak saja menguasai lahan yang cukup
luas tetapi juga karena pertambangan telah sangat membudaya di sebagian besar
masyarakat Kepulauan Bangka Belitung. Luasnya cakupan kawasan
pertambangan yang terhampar tidak saja di darat tetapi juga di laut telah
membawa persoalan tersendiri dalam pengembangan pariwisata. Adanya duplikasi
154
kawasan antara pertambangan dan pariwisata menyebabkan kedua sektor ini
mengalami kesulitan untuk bekerja secara optimal.
Sebuah pertanyaan besar bahkan seringkali muncul ke permukaan
manakala membicarakan pembangunan pariwisata di Bangka Belitung adalah,
apakah mungkin menjadikan kawasan tambang menjadi sebuah destinasi
pariwisata? Guna menjawab pertanyaan tersebut jika merujuk pada beberapa
pengalaman sejumlah tempat yang pernah menjadi lokasi pertambangan tetapi
kemudian dijadikan sebagai kawasan pariwisata maka ada beberapa pengalaman
yang dapat dijadikan rujukan. Kota-kota berikut misalnya dikembangkan dari kota
tambang menjadi kota wisata seperti yang terjadi di Kellogg, Idaho, (USA);
Kolari, Laplane, (Finland); Saint Etienne, Rhode Alpes, (France); dan di Yubari,
Hokaido, (Japan) (Budiati, 2011:6-9). Selain itu beberapa lokasi bekas
penambangan timah di Malaysia dan Thailand, sekarang sudah dikembangkan
menjadi kawasan pariwisata seperti yang terlihat pada kawasan Patra jaya yang
saat ini merupakan lokasi perkantoran perdana mentri Malaysia. Demikian pula
yang terjadi di dalam negeri, Kota Sawahlunto, di Sumatera Barat. Kota
Sawahlunto yang sudah ditinggalkan sebagai lokasi pertambangan batubara di
Ombilin sejak 1888 oleh Belanda, kemudian atas inisiatif pemerintah kotanya
dijadikan kota wisata tambang1.
Perbedaan Kepulauan Bangka Belitung dengan kota-kota yang disebutkan
tadi adalah terletak pada masih dipergunakannya kawasan tersebut sebagai
kawasan pertambangan atau tidak. Jika di Patrajaya Malaysia, kawasan yang ada
1 www.sawahluntokota.go.id, diunduh tanggal 11-09-2012.
155
telah benar-benar ditinggalkan sebagai kawasan pertambangan, demikian pula
yang terjadi di Sawahlunto, maka yang terjadi di Bangka Belitung adalah sebagian
besar kawasan pertambangan tersebut masih dipergunakan sebagai lokasi
pertambangan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena teknologi pertambangan
timah di masa lalu masih memungkinkan tersisanya biji timah yang cukup
memadai secara ekonomis untuk ditambang lagi, karena itu maka di banyak
tempat yang telah ditambang dan semula telah ditinggalkan, bahkan sudah
diadakan upaya reklamasi dan penghijauan, ternyata kemudian ditambang
kembali.
Kondisi seperti ini terjadi karena beberapa faktor seperti, dicabutnya
aturan bahan tambang timah sebagai barang strategis, serta munculnya otonomi
daerah. Berdasarkan deregulasi yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan dan
Industri yaitu masing-masing (Nomor 558 tahun 1998 dan 146/1999) (Far
Earstern Economic Review 2001, dalam Erman: 2009:259, dan Sujitno:2007:289).
Keluarnya deregulasi ini difahami oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai
telah berakhirnya timah sebagai komoditas strategis yang diawasi oleh
pemerintah pusat. Yang selama ini di Kepulauan Bangka Belitung hanya dikelola
oleh PT Timah dan PT Koba Tiin saja.
Dengan semangat otonomi setelah keluarnya Undang-undang, kemudian
daerah mengeluarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bangka (Nomor 2 tahun
2001) mengenai Izin Ekspor Pasir Timah dan Izin Penambangan Timah oleh
penduduk lokal, dan Peraturan Daerah (Nomor 6 tahun 2001) tentang
Pengelolaan Pertambangan Umum (Erman, 2009:259 dan Maulana, 2012:23). Hal
156
inilah yang kemudian menimbulkan pro dan kontra dalam pertambangan rakyat
serta merebaknya penambangan timah baik legal maupun ilegal oleh masyarakat.
Dengan Perda itu pula maka monopoli pengusahaan mineral timah yang sejak
lama dipegang oleh negara melalui PT Timah dan PT Koba Tin berakhir. Dampak
positif dari adanya Perda tersebut adalah munculnya 21 perusahaan tambang lokal
yang mendapatkan izin dari bupati atau walikota pada tahun 2002 dan
mempekerjakan 130.000 penambang Tambang Inkonvensional (TI). Jumlah ini
meningkat menjadi 400% menjelang tahun 2004 (Erman, 2009:260). Demikian
pula peningkatan yang terjadi dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
diinvestasikan dalam bentuk pembangunan fasilitas pendidikan di beberapa
kecamatan (Maulana, 2012:23). Dampak negatifnya adalah kerusakan lingkungan
yang semakin parah akibat penambangan timah yang sporadis dan masive di era
awal otonomi daerah tersebut.
Tidaklah mengherankan apabila beberapa kawasan yang tadinya sudah
dinyatakan sebagai kawasan yang tidak lagi ditambang, dalam perjalanannya
kemudian ternyata kembali diusahakan sebagai daerah pertambangan baik secara
legal maupun tidak. Hal tersebut dapat dilihat misalnya pada kawasan yang berada
di pinggir jalan raya antara Sungailiat-Pangkalpinang, di dekat lokasi sumber air
baku PDAM di kecamatan Merawang, yang semula sudah ditanami dengan
tanaman penghijauan seperti acasia mangium, ternyata kembali ditambang oleh
masyarakat. Peristiwa ini bahkan sempat mengganggu operasional PDAM Tirta
Bangka yang mengambil air baku di danau bekas penambangan (kolong) di
sekitar lokasi. Akibat penambangan kembali kawasan yang tidak terkendali
157
tersebut mengakibatkan limbah buangan tambang langsung mengalir ke kolong
yang menyebabkan airnya menjadi sangat keruh dan mengganggu pelayanan air
bersih untuk kota Sungailiat.
Demikian pula dengan yang terjadi di kawasan pantai Rebo di Sungailliat
Kabupaten Bangka. Pantai yang semula merupakan Tapak Kawasan Pariwisata
seluas 199 hektar telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bangka
(Nomor 04 Tahun 1991) (Megawandi, 1999:67). Sampai saat ini peraturan daerah
dimaksud belum dicabut, tetapi.kemudian di sekitar kawasan tersebut dijadikan
sebagai kawasan pertambangan. Pengembangan kawasan pariwisata di pantai
Rebo tersebut sempat dilakukan pemerintah Kabupaten Bangka berupa
pembangunan shelter, permainan anak-anak dan beberapa bangunan. Di awal
tahun 2000an kawasan tersebut ternyata telah ditambang kembali oleh masyarakat
sehingga menyebabkan fasilitas pariwisata yang telah dibangun menjadi rusak dan
sulit untuk difungsikan kembali. Penambangan kembali kawasan pariwisata di
pantai Rebo telah menyebabkan lobang-lobang di banyak tempat serta kerusakan
kawasan yang cukup parah, bahkan beberapa bangunan yang semula diperuntukan
sebagai fasilitas pariwisata telah berubah fungsi menjadi seperti tampat tinggal
sementara para penambang.
Pada tahun 2010 pemerintah daerah kabupaten Bangka dengan dana
APBN membuat perencanaan kawasan ini dengan Detail Engineering Desain
(DED), akan tetapi sampai saat ini belum dimulai kegiatan pembangunannya.
Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Bangka, untuk
pengembangan kawasan pantai Rebo diperlukan investor karena memerlukan
158
biaya pembangunan yang cukup besar, dan pemerintah daerah tidak akan mampu
mendanainya. Namun hal lain yang juga menjadi pertimbangan belum
dibangunnya pariwisata di sana adalah masih adanya potensi biji timah di
kawasan pantai Rebo yang akan membuat masuknya kepentingan berbagai pihak
yang akan diuntungkan oleh pertambangan timah di daerah tersebut.
Kawasan pantai Rebo merupakan contuh penggunaan ruang yang
kemudian menimbulkan konflik yang cukup serius karena kawasan ini ternyata
juga sejak lama menjadi tempat nelayan di sekitarnya untuk berlabuh dan
menambatkan perahu (Kurniawan, 2012). Terakhir para nelayan di kawasan pantai
Rebo melakukan penolakan terhadap penambangan timah di laut yang dilakukan.
Penolakan terhadap pertambangan timah di kawasan ini yang akan dilakukan
perwakilan nelayan dengan secara simbolik memberikan uang Rp 300 ribu rupiah
kepada perwakilan manajemen perusahaan pertambangan 1. Sebelumnya di 24
April 2012, sejumlah pemerhati lingkungan, nelayan dan pelaku wisata mendesak
pemerintah daerah agar segera membatasi penambangan timah lepas pantai.
Menurut salah seorang koordinator Komunitas Bangka Belitung Cinta Laut
(KBBCL), Bambang Patijaya, tidak adanya pembatasan penambangan timah lepas
pantai itu telah menyebabkan kerusakan laut di kawasan wisata dan tangkapan
nelayan rusak parah2. Menurut nelayan di pantai Rebo, Adi (35), hasil tangkapan
mereka telah berkurang 60 persen dibandingkan dengan lima tahun lalu. Jika dulu
terdapat sekitar 25 terumbu yang jadi tempat nelayan biasa memancing, maka
sekarang hanya tinggal 6 terumbu karang saja. Hal senada juga dikemukakan oleh
1 Harian Bangka pos, tanggal 02-11-2012.
2 Kompas.com diunduh tanggal 15 -11- 2012.
159
peneliti dari Universitas Bangka Belitung (UBB), Indra Ambalika, yang
menyatakan bahwa kerusakan terumbu karang di pulau Bangka 22, 22 persen
sampai 83,33 persen.
Teknologi penambangan timah lepas pantai selama ini mengandalkan pada
teknologi Kapal keruk mangkok (bucket ladder dredge) yang sudah diterapkan
sejak awal abad 20. dengan kedalaman pengerukan 50 meter saja. Di akhir 80an
Thailand sudah meninggalkan penggunaan kapal semacam ini sehingga praktis
sejak saat itu hanya Indonesia yang mengembangkan teknologi Kapal keruk di
dunia (Sujitno, 2007:302). Teknologi lain yang juga digunakan adalah yang sering
dipakai oleh masyarakat yang sering disebut dengan penambangan
Inkonvensional (TI) dan sering juga dikonotasikan sebagai tambang ilegal
(Erwan, 2009, dan Sujitno, 2007). Teknologinya dengan menggunakan peralatan
sederhana seperti dulang, pompa kecil, dan palong mini. Untuk beroperasi di laut
maka peralatan-peralatan tersebut di letakan di atas perahu atau ponton yang
terbuat dari drum-drum yang terbuat dari plastik. Jenis atau cara penambangan di
laut yang lainnya adalah dengan teknologi Kapal Isap (KI). Kapal ini juga
digunakan dalam penggalian timah di lepas pantai, bahkan kapal jenis ini yang
paling banyak beropera di laut sekitar pulau Bangka saat ini jika dibandingkan
dengan kapal keruk. Kapal isap atau cutter section adalah kapal pemotong lapisan
tanah menggunakan pisau putar. Hasil hancuran tanah tersebut dihisap dan melalui
pipa dialirkan ke suatu tempat yang ditentukan (Sujitno, 2007:326). Kapal-kapal
jenis ini kebanyakan diproduksi di Thailand dengan ukuran mencapai 80 meter
panjang dan 18 meter lebar. Para pegawainya pun kebanyakan didatangkan dari
160
Thailand dengan jumlah pekerja 14-18 orang setiap kapal. Menurut informan
salah seorang pekerja asal Thailand yang sempat menamatkan kuliahnya di
Bandung, para pekerja tersebut berada di kapal sekitar 3 bulan dengan masa libur
selama 18 hari1. Menurut informan ini, pengusaha pemilik kapal isap tempatnya
bekerja, yang juga menjadi pemilik sebuah perusahaan penerbangan cukup
terkenal ini memiliki sekitar 18 kapal isap yang beroperasi di sekitar pulau
Bangka.
Contoh yang paling nyata tentang kondisi kerusakan kawasan pantai
lainnya yang sering dipergunakan oleh masyarakat untuk berwisata bahkan
lokasinya telah ditetapkan sebagai pantai pariwisata atau kawasan pariwisata yang
ternyata berdekatan dengan lokasi kawasan pertambangan misalnya kawasan
pariwisata pantai Parai Tenggiri dan pantai Tanjung Pesona. Peraturan daerah
Kabupaten Bangka (Nomor 01 tahun 1985), misalnya telah menetapkan bahwa
seluas 800 hektar di pantai Matras dan Parai Tenggiri adalah merupakan Tapak
Kawasan Wisata. Begitu juga 110 hektar di pantai Tanjung Belayar yang terletak
diantara pantai Parai dan Matras yang diatur dengan perda (Nomor 04 tahun
1992). 25 hektar di pantai Teluk Uber dengan Perda (Nomor 15 tahun 1989)
(Megawandi, 1999:67). Baik pantai Parai Tenggiri, maupun Tanjung Pesona,
sebenarnya merupakan resort dengan berbagai fasilitas yang cukup terkenal
bahkan menjadi icon di Kepulauan Bangka Belitung. Namun demikian
1 Wawancara dengan pekerja Kapal Isap , warga negara Thailand di bandara Soekarno Hatta,
tanggal 12-11-2012.
161
dikeluarkannya izin penambangan di lepas pantai sekitar lokasi pariwisata ini
telah menyebabkan menurunnya kualitas air di kawasan tersebut1.
“ Saya tak habis pikir kenapa bisa sampai begini. Tamu kami pernah
komplin dan check out malam hari gara-gara kapal isap yang beroperasi
depan hotel kami. Mereka bahkan minta pengembalian uang sewa hotel
yang sudah mereka bayarkan. dan itu terjadi bukan hanya sekali”.
Kewenangan pemberian izin pertambangan sampai dengan 4 mil ke arah
laut tersebut menurut informan di Dinas Pertambangan dan Energi
(DISTAMBEN) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berada di pemerintah
Kabupaten atau bupati Bangka. Di samping itu, penambangan timah kebanyakan
telah hadir lebih dulu di lokasi-lokasi yang ada sebelum dijadikan kawasan
pariwisata. Karena itu pihaknya tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah
berlangsungnya penambangan di dekat lokasi pariwisata.
"Adanya duplikasi lokasi penambangan dengan pariwisata karena secara
historis timah ini sudah sejak lama ditambang di Babel. KP (Kawasan
Penambangan-pen) Timah sudah sejak jaman Belanda, Babel ini masuk
jalur timah Tin belt. Dan penambangan itu dilakukan dimana-mana tidak
cuma di darat dilaut juga. Jadi lokasi-lokasi penambangan itu sudah lebih
dahulu ada. Di kementrian juga berusaha menyelesaikan itu. Tapi ini juga
perlu dikoordinasikan agar jangan main tabrak saja. Ada batasan-batasan
yang perlu disepakati.
Tetapi tambang kan sudah lama jadi keberadaannya sudah harus juga
dipertimbangkan lagi. Pariwisata ini adalah masa depan, dan strategis, dan
menjanjikan secara ekonomis. Pertambangan sendiri sebenarnya secara
ekonomi sudah turun dari 22% menjadi 16 %, sedangkan jasa-jasa
meningkat, pariwisata ada di jasa-jasa itu. Coba lihat di PDRB".
Salah satu upaya yang mungkin dapat mengurangi adanya tumpang tindih
wilayah atau berdekatannya daerah penambangan dengan pariwisata tersebut
menurut informan di Distamben adalah dengan memasukan peruntukan kawasan
1 Wawancara dengan pelaku pariwisata di Babel, tanggal 22-11-12.
162
di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ketika wawancara
berlangsung sedang dibahas finalisasinya di DPRD Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung.
Usul tersebut memang sekilas cukup melegakan, namun demikian upaya
inipun tidak semuanya dapat mengeliminir permasalahan duplikasi kawasan,
karena pembahasan RTRW yang sekarang sedang berlangsung hanyalah
membahas tata ruang wilayah darat seperti yang diatur dalam Undang-undang
Tata Ruang (Nomor 26 tahun 2007). Karenanya konflik kepentingan antara
kawasan pertambangan dan pariwisata hanya mungkin diminimalkan apabila
memang terdapat keinginan yang cukup kuat dari Kepala Daerah, baik Bupati,
Walikota, atau pun Gubernur. Persoalannya jadi tidak sederhana karena perizinan
pertambangan timah beserta kegiatan hilirnya ternyata memiliki kaitan yang
cukup erat bahkan sangat erat dengan kepentingan para elit baik politik maupun
ekonomi, perorangan maupun kelompok yang ada di Kepulauan Bangka Belitung
(Erwan, 2009).
Jalan keluar lainnya adalah seperti yang disampaikan oleh informan di
Dinas Pertambangan Kabupaten Bangka bisa saja dilakukan seperti yang pernah
dilaksanakan di Phuket Thailand. Caranya adalah dengan mengajak bertemu
semua unsur yang mewakili kepentingan di kawasan yang diperkirakan akan
tumpang tindih tersebut. Dalam kesempatan itu bisa disampaikan perkiraan
kandungan biji timah yang ada serta bagaimana membagi pendapatan yang akan
163
diperoleh tersebut. Di sisi lain penambangan di kawasan dilakukan dengan batas
waktu tertentu sehingga benar-benar dapat berlangsung secara optimal 1.
"Sebagai contoh misalnya kawasan pantai Rebo dan sekitarnya itu
potensinya sangat menjanjikan. Satu kali musim penambangan, disana bisa
didapat uang sekitar dua trilyun (rupiah-pen). Dengan demikian bisa
disepakati berapa lama cadangan timah yang ada dapat diambil, dengan
perhitungan jumlah armada dan teknik penambangan yang efektif. Setelah
itu pendapatan yang diperoleh disepakati bagiannya dan untuk
kepentingan pihak mana saja. Termasuk untuk pemulihan lingkungan dan
pemda, serta masyarakat nelayan di sekitar lokasi".
Konflik antara pihak yang pro dan kontra terhadap penambangan timah di
lepas pantai berlangsung cukup menonjol di pulau Belitung. Kelompok yang
kontra dengan pertambangan timah di lepas pantai yang didukung oleh para pegiat
lingkungan dan pelaku pariwisata di pulau Belitung di berbagai kesempatan
menyampaikan argumentasi mereka menolak tambang lepas pantai. Alasan
utamanya adalah kekhawatiran mereka bahwa keindahan alam terutama
keindahan bawah laut di sekitar pulau Belitung akan terganggu. Padahal
pariwisata Belitung yang terdongkrak dengan adanya gerakan pemerintah daerah
dengan program Visit Bangka Belitung 2010, serta meledaknya pamor pulau
Belitung karena tetralogi novel Laskar Pelangi beserta filmnya yang mengambil
latar cerita di pulau Belitung. Film dan novel Laskar pelangi mencatat berbagai
pencapaian dalam dunia penulisan dan perfilman Indonesia.
Sementara itu pihak yang pro dengan penambangan timah di laut yang
dipelopori Bupati Belitung dan Belitung Timur, berargumen bahwa eksplorasi
timah di laut yang telah disetujuinya tidak mungkin dihentikan. "Eksplorasi
1 Wawancara dengan informan Dinas Pertambangan Kabupaten Bangka 16-11- 2012 di Sungailiat.
164
penting untuk pemetaan sumber daya. Ini berguna jika Indonesia menghadapi
masa sulit. Jangan sampai kita mati di lumbung,"1. Di dalam berbagai kesempatan
kedua bupati di pulau Belitung, yaitu bupati Belitung dan bupati Belitung Timur
selalu menyampaikan ide mereka untuk tetap melaksanakan penambangan timah
lepas pantai untuk memperoleh sebesar-besarnya manfaat dari kandungan timah
yang ada di satu sisi dan berusaha mengeliminir dampak lingkungan yang
mungkin terjadi.
Puncak penolakan oleh pihak yang kontra dengan rencana penambangan
timah di laut ini kemudian diperlihatkan dengan adanya unjuk rasa damai yang
dilakukan oleh para pelaku pariwisata Belitung, pencinta lingkungan, nelayan dan
masyarakat. Unjukrasa yang melibatkan ribuan orang tersebut berlangsung secara
damai di kantor bupati Belitung yang diwakili sekretaris daerah 28 Oktober 2012.
Para pengunjuk rasa menuntut agar bupati menandatangani surat pembatalan
rencana penambangan timah lepas pantai..Meskipun surat ditandatangani oleh
Bupati Belitung namun implementasinya masih diragukan banyak pihak2.
Strategi koordinasi yang selama ini terjadi berkaitan dengan sektor
pertambangan dan pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung adalah mencoba
melakukan pendekatan Cooperative yang terkesan malah melakukan sikap
pembiaran terhadap kejadian yang ada seperti penambangan di kawasan wisata 3.
Hal tersebut antara lain diperlihatkan dengan melakukan himbauan di media
massa, yang pada gilirannya diharapkan mampu menyadarkan masyarakat bahwa
jika pariwisata yang dikedepankan maka sumber daya alam akan lebih dapat
1 Bupati Belitung ; Kompas 5-11-2012.
2 Kompas 5-11-2012.
3 Wawancara dengan informan di Disbudpar Babel, tanggal 22-11-2012.
165
dimanfaatkan dalam jangka panjang. Pendekatan mengedepankan informasi yang
dilakukan selama ini belum berpengaruh banyak kepada masyarakat dan
pengusaha tambang. Tidak terjadinya pengaruh yang signifikan tersebut
dikarenakan pengendalian di lapangan yang tidak efektif, serta tuntutan ekonomi
dimana masyarakat lebih mencari peghasilan dan pendapatan yang lebih cepat
(instan) dan lebih banyak, yang selama ini sulit mereka peroleh dengan cara
bertani atau menjadi nelayan. Pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sendiri
selama ini terkesan lebih menyukai tindakan yang menghindari konflik.
Misalnya, dalam pro kontra soal pertambangan timah di laut, tidak pernah atau
sangat jarang adanya komentar atau keberatan yang diajukan. Demikian pula
dalam penanganan adanya keluhan dari para pengusaha pariwisata yang merasa
terganggu atas kehadiran sejumlah Kapal Isap di kawasan wisata, Disbudpar
bersikap pasif dan kurang memberikan perlindungan. Sikap seperti ini justru
membuat para penambang lebih leluasa karena merasa “mendapat angin” berupa
sikap pembiaran dari Disbudpar. Adanya kekhawatiran bahwa sejumlah
“Petinggi” di Kabupaten/Kota maupun provinsi diindikasikan memiliki
keterkaitan dalam perizinan, yang apabila di komentari dan diserang secara frontal
akan menimbulkan hubungan negatif dengan pejabat bersangkutan, termasuk
munculnya masalah-masalah di belakang hari baik secara politis, maupun
administratif1.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata seharusnya merupakan pihak pertama
yang menyatakan dengan tegas menolak atau mengajukan keberatan jika kegiatan
1 Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 22-11- 2012.
166
penambangan sudah memasuki atau mengganggu kawasan pariwisata. Dengan
demikian maka seharusnya strategi koordinasi yang dipilih adalah strategi
Kontrol, yang perlu ditegaskan akan adanya sanksi dan ancaman hukuman
terhadap kegiatan yang merusak kawasan pariwisata, seperti yang telah diatur
dalam pasal 65 Undang-undang (Nomor 10 Tahun 2009). Penegasan tersebut
dapat pula dilakukan dengan menyampaikannya ke Distamben di samping ke
media massa, agar dapat memperoleh keselarasan tindakan SKPD yang
menangani secara teknis.
Di tengah situasi tarik menarik kepentingan pertambangan dan pariwisata
itu masih terdapat adanya harapan akan lebih diperhatikannya kepentingan
kepariwisataan yang berasal dari Distamben provinsi. Untuk membantu upaya
pengembangan pariwisata di daerah, Distamben merasa selama ini telah berusaha
untuk ikut berpartisipasi di dalam pengembangan pariwisata1.
" Peranan dinas pertambangan kepada pariwisata misalnya dalam bentuk menyampaikan hasil-hasil penelitian potensi yang ada seperti sumber air panas yang dapat digunakan juga sebagai objek wisata. Beberapa calon investor pertambangan baik dari luar negeri dan dari dalam negeri kami ajak ke lokasi air panas, ada yang dari Cina dan Perancis. Ada 9 titik air panas di Bangka. Air panas di sini cukup unik karena tidak mengandung belerang, jadi tidak bau samasekali".
Upaya lain yang dilakukan oleh dinas Pertambangan adalah dengan mengundang
berbagai pihak untuk melakukan kegiatan seminar, rapat, dan kunjungan ke
Bangka Belitung.
Untuk koordinasi dengan pihak-pihak terkait pariwisata diakui oleh
informan di Distamben Provinsi masih tergolong rendah yang dapat dilihat dari
1 Wawancara dengan informan Distamben Babel tanggal 25-10-2012.
167
jarangnya pembahasan tentang kepariwisataan tersebut yang melibatkan pihak
dinas pertambangan 1.
"Selama ini kami mencoba mencari informasi sendiri mengenai langkah-langkah yang dilakukan di bidang pariwisata, tetapi setelah pembahasan perda tata ruang barulah terasa betul bagaimana kita juga perlu memikirkan kepentingan pariwisata, terutama yang ada kaitannya dengan pertambangan".
Sampai saat penelitian ini dilakukan kegiatan penambangan timah di laut
yang berdekatan dengan lokasi pariwisata terkemuka di Kabupaten Bangka yaitu
di pantai Parai Tenggiri dan pantai Tanjung Pesona sedang tidak berlangsung,
setidaknya yang dilakukan oleh Kapal Isap, yang biasanya beroperasi di dekat
kedua pantai tersebut. Tetapi beberapa tambang inkonvensional terapung tampak
masih terlihat di beberapa lokasi2. Penghentian bersifat sementara karena saat ini
pihak pemkab Bangka meminta para pengusaha mencari teknologi penambangan
yang dapat meminimalkan kerusakan lingkungan3.
"Teknologi pertambangan lepas pantai itu adalah yang tidak secara langsung membuang tailingnya ke laut. Itu artinya penambang harus menyediakan semacam tongkang besar dan membawa bahan galiannya ke luar kawasan penambangan untuk memprosesnya. Sebelum itu ditemukan teknologinya maka penambangan timah di lokasi itu belum diizinkan". 4
Masalahnya adalah pemberhentian sementara tersebut menurut informan
hanya bersifat kesepakatan saja, dan belum ada kebijakannya secara tertulis.
Dengan begitu apabila salah satu pihak melanggarnya akan sulit mengambil
tindakan. Di tambah lagi masa pemerintahan bupati Bangka sudah memasuki
1 Wawancara dengan informan Distamben Babel tanggal 25-10-2012.
2 Menurut informan di Dinas Pertambangan Kabupaten Bangka , wawancara tgl 17-11-2012.
3 Wawancara dengan Informan Dinas Pertambangan Kabupaten Bangka, tgl 17-11-2012.
168
tahun terakhir. Artinya, apabila bupati patahana tidak terpilih kembali, maka tidak
ada jaminan bahwa pertambangan di lepas pantai itu akan berhenti baik dalam
jangka waktu sementara maupun permanen.
4.2.2.1.2. Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Koordinasi dengan SKPD lainnya adalah dengan Dinas Perindustrian
Perdagangan (Perindag) provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Salah satu peran
sektor perindustrian dan perdagangan yang diharapkan dapat mendukung
pembangunan pariwisata daerah adalah menyediakan produk-produk lokal
menarik yang memiliki nuansa daerah antara lain dari bahan, desain dan cara
pembuatan. Dalam slogan pariwisata Indonesia yang dipopulerkan oleh
pemerintah sejak menteri pariwisata Susilo Sudarman .adalah apa yang disebut
dengan Sapta Pesona, yaitu Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah tamah
dan Kenangan.
Keluhan yang masih dirasakan selama ini ialah belum terlalu banyak
produk lokal khas Bangka Belitung yang mendukung pariwisata, walau pun sudah
tersedia sejumlah toko cindramata atau toko oleh-oleh seperti yang terdapat di
beberapa lokasi di kota Pangkalpinang dan Tanjungpandan. Toko-toko cindramata
yang ada biasanya hanya toko yang menjual panganan khas Bangka Belitung
seperti yang terdapat di sekitar jalan Sudirman Pangkalpinang atau toko-toko yang
berada di sekitar Tugu Batu Satam yang terdapat di kota Tanjungpandan. Menurut
wisatawan, produk yang ada sama dengan yang terdapat di daerah pariwisata
pantai lainnya produk seperti kerang-kerangan dan sejenisnya, tapi harga yang ada
169
di Bangka Belitung relatif lebih mahal 1. Hal tersebut menyebabkan kurang
menariknya cindramata yang ada di samping keunikannya yang kurang.
Disperindag provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebenarnya telah
menjalankan program pengembangan produk yang terdiri dari produk pangan dan
kerajinan2. Khusus untuk kerajinan pihak Disperindag mendorong munculnya
produk potensial daerah dengan berbasis pada bahan baku lokal seperti produk
hasil laut dan produk berbasis bahan baku timah. Namun demikian hambatan yang
dialami ada beberapa hal sehingga berakibat pada lambannya produk industri
yang ada untuk dapat berkembang, yang juga menjadi kendala dalam mendukung
pariwisata, seperti masih rendahnya anggaran; minimnya dukungan pusat-pusat
promosi; lemahnya desain produk; lambannya alih teknologi; serta belum
berubahnya mindset pelaku yang terkait3.
Rendahnya anggaran terlihat dari hanya terakomodirnya 20-25% saja
usulan kegiatan yang diajukan oleh dinas. Kondisi seperti ini menyebabkan
terjadinya penundaan terhadap kegiatan yang semestinya dapat dilakukan dengan
lebih cepat dan mencakup wilayah yang lebih luas. Karena masalah ketersediaan
anggaran ini maka peserta pelatihan yang dilibatkan biasanya menjadi terbatas,
demikian pula jangka waktu yang dipergunakan seringkali dipersingkat yang
menyebabkan kurang optimalnya capaian kegiatan.
Minimnya dukungan pusat-pusat promosi dilihat dari masih sedikitnya
tempat promosi. Sampai saat ini pusat promosi baru ada di tingkat kabupaten/
kota saja, seperti yang terdapat pada galery UMKM di Tanjungpandan kabupaten
1 Wawancara dengan PH wisatawan di Bangka, 22 – 11- 2012
2 Wawancara dengan informan di Dinas Perindag Babel, tanggal 1 -11- 2012.
3 Wawancara dengan informan di Dinas Perindag Babel, tanggal 1 -11- 2012.
170
Belitung. Untuk tingkat provinsi, sampai saat ini baru berupa wacana dalam
bentuk usulan pembuatan DED bangunan gedung promosi yang diusulkan terletak
di pusat kota Pangkalpinang, di dekat rumah dinas walikota.
Lambannya alih teknologi dapat dilihat dari kurang berkembangnya
produk-produk yang berbasis bahan baku yang justru seharusnya berkembang dan
menjadi andalan yaitu timah seperti industri pewter. Industri ini sudah sejak
puluhan tahun ada di Pulau Bangka, akan tetapi belum mampu berkembang
sehingga menjadi andalan produk lokal. Salah satu kendala yang dihadapi ialah
belum berkembangnya desain produk dan teknik cara pengolahan pewter, sejak
puluhan tahun lalu produk yang sama dengan teknik yang juga sama masih terus
diproduksi. Sebagai pembanding dapat dilihat bagaimana berkembangnya produk
sejenis yang terdapat di Thailand dan Malaysia. Produk-produk mereka bahkan
berhasil memasuki pasal Indonesia seperti yang terdapat pada beberapa pusat
perbelanjaan terkenal yang sudang menjual produk pewter dari Selangor,
sementara produk pewter dari Bangka Belitung kebanyakan hanya terbatas pada
desain yang itu-itu saja. Dengan teknik dan desain yang menawan serta strategi
promosi yang baik, produk dari luar memang terlihat jauh lebih menarik
tampilannya, yang kemudian juga bisa meningkatkan harga jual produk. Belum
berubahnya mindset dari para produsen barang di Babel dapat dilihat dari masih
kurangnya upaya menjemput bola, sehingga terkesan hanya bersikap menunggu
saja peluang dan kesempatan yang ada.
Sebuah hal yang menarik adalah yang terjadi pada industri utama yang
selama ratusan tahun telah tumbuh dan berada di Bangka Belitung yaitu industri
171
timah. Industri ini yang mulai digarap sejak ditemukannya biji timah di Bangka
pada tahun 1700an ternyata tidak mengalami perkembangan sebagaimana yang
diharapkan. Dalam kurun waktu sejak ditemukannya timah atau dalam rentang
waktu sekitar 300an tahun ( Sujitno, 2007:40) terdapat kemungkinan bahwa
timah telah ditemukan jauh sebelum tahun 1717 yang mencatat adanya laporan
resmi VOC tentang terdapatnya timah di Bangka, industri timah Indonesia yang
ada di Bangka Belitung hanya mampu berkutat pada upaya memproduksi biji
timah menjadi balok timah saja. Barulah di tahun 2008 seorang pengusaha daerah
meresmikan sebuah pabrik tin solder yang terletak di Kawasan Industri Jelitik
Sungailiat (KIJS) di Kabupaten Bangka. Pemilik konsesi tambang timah terbesar
yaitu PT Timah, sampai saat ini masih dalam tahap rencana untuk membuat
produksi tin chemical di Pulau Bangka.
Jika di daerah lain pengusaha sudah melakukan pemasaran dengan
memanfaatkan teknologi informasi seperti website, facebook dan jaringan media
sosial lainnya, maka kebanyakan pengusaha di Babel baru sebatas memasang
iklan di media cetak lokal saja, serta mengikuti berbagai kegiatan pameran ke luar
daerah dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah.
Dalam melakukan koordinasi diakui oleh informan di Disperindag bahwa
kondisi pada saat ini belum baik. Menurutnya, sinergi yang terjalin belum intens
dan belum fokus, sehingga lebih banyak ego sektorlah yang muncul. Hal tersebut
karena komunikasi yang kurang serta mainset pejabat yang memaknai
172
pembangunan pariwisata dan perindustrian yang hanya melihatnya dari masing-
masing kepentingan1.
"Seharusnya acara-acara seperti coffe morning (setiap selesai upacara hari senin pagi biasanya dilakukan kegiatan pertemuan antar pejabat eselon 2 dan 3 dengan durasi sekitar 30 menit, yang membahas berbagai persoalan dengan nara sumber yang bergantian, termasuk mendatangkan nara sumber dari luar-red) dapat digunakan sebagai forum untuk menjembatani kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh sektor-sektor yang terkait. Sampai sekarang belum ada juga forum yang dapat menjembatani untuk mendorong program unggulan di tingkat provinsi, seperti pariwisata tetapi hal itu harus berkelanjutan". Antara perindustrian dan pariwisata memiliki keterkaitan yang cukup erat.
Namun sampai saat ini koordinasi yang terjadi seperti yang telah disampaikan di
atas belum memadai guna mendorong percepatan berkembangnya industri
rumahtangga yang mendukung pariwisata. Tiap pihak, baik dari Dinas Budpar
maupun dari Disperindag terkesan saling menunggu. Diharapkan dengan adanya
penetapan pariwisata merupakan sektor unggulan, serta akan dilakukannya Visit
Babel Archi akan membuat SKPD lain termasuk Disperindag melakukan
dukungan dalam bentuk kegiatan yang sinergi, misalnya melalui peningkatan
jumlah kursus dan pembinaan kepada pengrajin yang dapat menyediakan produk
cindra mata khas Bangka Belitung 2. Strategi koordinasi yang terlihat dilakukan
selama ini dengan Disperindag adalah strategi cultural yang mencoba
mempengaruhi organisasi lain melalui upaya public relation yang formal.
Produk-produk industri dapat menunjang perkembangan pariwisata
daerah, tetapi kalau pariwisatanya tidak maju dan berkembang maka pemasaran
produk perindustrian juga akan terpuruk. Sedangkan pariwisata juga memerlukan
tumbuhnya industri kerajinan sebagai salah satu objek wisata dan cindra mata.
1 Wawancara dengan informan Dinas Perindag Babel, tanggal 01-11-2012.
2 Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 22-11-2012.
173
Bagaimana supaya pelaku pariwisata berperan aktif dalam menjembatani
pemasaran produk-produk perindustrian, hal seperti inilah yang belum dilakukan
menurut informan dari disperindag 1. Dengan demikian lebih diperlukan sebuah
strategi koordinasi yang bersifat fungsional dimana akan terjadi semacam
kerjasama dalam bentuk koalisi antara kedua SPKD yang akan saling menguatkan
satu sama lain.
4.2.2.1.3. Dinas Perhubungan
Untuk koordinasi dengan Dinas Perhubungan (Dishub) diakui juga oleh
informan di Disbudpar juga belum memadai, walau pun aksesibilitas sebuah
daerah menjadi salah satu syarat dalam pengembangan dan pembangunan sebuah
destinasi. Besarnya peranan akan aksesibilitas tersebut mempunyai korelasi
dengan kondisi kepariwistaan di suatu daerah (Soekadijo, 2000:68, Tachjan,
2005: 131). Kurangnya komunikasi antara lain menjadi penyebab dari masih
minimnya koordinasi antara Disbudpar dengan Dishub. Sebagai akibatnya antara
lain menyebabkan belum tersedianya angkutan umum yang baik di Bangka
Belitung. Hal tersebut menjadi keluhan bagi wisatawan yang tidak menggunakan
jasa biro perjalanan wisata, terutama di pulau Belitung. Upaya yang dilakukan
oleh pihak Dishub adalah dengan pengadaan bus. Namun kerena jumlahnya hanya
4 unit di Belitung, sedangkan kebutuhan pelayanan kepada masyarakat juga harus
dilakukan, di samping memenuhi layanan kepada wisatawan, maka masih
diperlukan penambahan armada angkutan umum dimaksud. Demikian pula yang
1 Wawancara dengan informan Disperindag Babel, tanggal 01-11-2012
174
terjdai di Bangka, dimana jumlah armada anguktan umum sangat tiodak memadai
bahkan dibeberapa rute ke tempat wisata tidak tersedia sama sekali. Untuk keluar
dari hotel di kota Pangkalpinang saja sampai saat ini belum terdapat angkutan
umum jika malam hari 1.
"Koordinasi kita masih kurang, misalnya saja kami tidak tahu mana angkutan yang akan diprioritaskana oleh pariwisata. Kurang informasi dari dinas pariwisata. Misalnya kawasan pantai Matras ingin dibangun fasilitasnya dan akan dikembangkan, nanti kami bisa bantu dengan mengarahkan angkutan. Kalau ada tujuan wisata yang baru, misalnya kami kan bisa dimintai bantuan".
Apa yang dilakuksn oleh Disbudpar dengan dinas lain yang sangat agresif
sehingga terkadang melaksanakan pekerjaan yang sebenarnya lebih tepat
dilakukan oleh Dishub2. Diharapkannya kalau saja dinas pariwisata bersifat lebih
agresif maka kemajuan pengembangan pariwisata akan lebih cepat lagi. Hal ini
juga diakui oleh informan di Disbudpar terlihat bahwa strategi cultural memang
masih mendominasi strategi koordinasi yang dilakukan yaitu mencoba melakukan
penyesuaian tindakan public relation namun belum membuahkan hasil yang
memadai 3. Selayaknya strategi yang dilakukan ialah strategi cooperatif dengan
mencoba melibatkan interaksi strategi informasional sehingga terjadi persuasi
kepada stakeholder perhubungan.
Tingginya harga tiket pesawat yang dikeluhkan beberapa biro perjalanan,
dan dituduh sebagai salah satu penyebab kurang pesatnya kemajuan pariwisata di
Bangka Belitung, menurut informan dari Dishub adalah karena hukum pasar yang
berlangsung. Dengan penjualan tiket secara online seperti yang terjadi saat ini
1 Wawancara dengan wisatawan nusantara di Hotel Novotel, tanggal 20-11-2012.
2 Wawancara dengan informan Dinas Perhubungan Babel, tanggal 14-11-2012.
3 Wawancara dengan Informan Disbudpar, tanggal 22-11-2012.
175
agak sulit orang menuduh adanya pihak-pihak yang bermain.. Tidak
mengherankan jika sampai saat ini jumlah penerbangan yang melayani rute
Pangkalpinang - Jakarta PP padat.
Hukum pasar dalam harga tiket pesawat tersebut terjadi hampir di setiap
kota atau tempat, maka tidak ada jalan lain jika ingin mendapatkan harga yang
lebih murah adalah dengan memesannya jauh-jauh hari sebelum tanggal
keberangkatan 1.
“Mereka (airlines-pen) biasanya menjual tiket dengan startegi pembagian
jumlah di satu kelas saja. Misalnya, untuk kelas Viktor yang paling murah
dan kelas Yangki yang merupakan harga tertinggi. Di waktu musim ramai
mereka jual tetap ada di setiap kelas tapi jumlah yang Viktornya jauh lebih
sedikit, sedangkan kelas Yangki nya yang dijual dalam jumlah lebih
banyak. Sebaliknya sewaktu musim sepi maka yang dijual adalah tiket di
kelas Viktor yang lebih banyak, kelas Yangki nya yang justru sedikit”.
Upaya penambahan jumlah pesawat memang dapat menurunkan harga tiket, akan
tetapi hanya dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, apabila rasio jumlah
penumpang belum sesuai perhitungannya dengan harga yang ditawarkan, maka
airlines dipastikan akan mengurangi jumlah penerbangannya kembali sesuai
dengan kapasitas penumpang yang ada.
Karena itu koordinasi dengan pihak-pihak terkait mulai dari airlines, Dinas
Perhubungan, Disbudpar, Angkasa Pura, serta para travel agen perlu digiatkan lagi
paling tidak untuk lebih memberikan informasi kepada masyarakat tentang
mekanisme harga tiket yang ada. Mengenai tuduhan akan adanya semacam
monopoli atau oligopoli yang terjadi akibat adanya dominasi sebuah maskapai
penerbangan di Babel, agar tidak berlarut-larut kiranya dapat saja disampaikan
1 Wawancara dengan informan Dinas Perhubungan Babel, tanggal 14-11-2012.
176
kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk turut mengawasi,
sehingga dapat ditindaklanjuti dan diselasaikan dengan pendekatan yang lebih
transparan, dan tidak menimbulkan isu negatif di publik utamanya di kalangan
pelaku usaha pariwisata.
Namun demikian tingkat kemahalan komponen biaya dalam perjalanan
wisata ke Bangka Belitung dapat juga disumbang oleh tingginya angka inflasi
yang terjadi. Sebagai contoh untuk bullan September 2012 maka inflasi yang
terjadi di Kota Pangkalpinang merupakan yang tertinggi di Indonesia yaitu
sebesar 0,74 persen. Andil terbesar yang berpengaruh adalah bahan makanan dan
minuman 1. Besarnya tingkat inflasi di Bangka Belitung terutama di Kota
Pangkalpinang ini agak mengherankan karena dari aksesibilitas hampir tidak ada
masalah berarti dari dan ke Pangkalpinang baik dari Jakarta maupun dari kota
Palembang. Kondisi ini kemungkinan disebabkan adanya sistem ekonomi yang
kurang berjalan dengan baik yang dapat saja terjadi karena adanya pemain-pemain
ekonomi besar seperti pedagang pengumpul dan distributor besar yang dominan
menguasai perekonomian dan perdagangan di Bangka Belitung dan menjalankan
kegiatannya secara kuarang baik. Hasil pengamatan di lapangan misalnya terlihat
bahwa perbandingan harga sejumlah barang baik sembako ataupun bahan
bangunan dan elektronik memiliki perbedaan yang cukup tinggi dengan harga
barang di Jakarta atau Palembang.
Karena itu, pemerintah perlu melakukan penelitian yang lebih mendalam
mengenai adanya inflasi yang selalu tinggi di Bangka belitung tersebut terutama
1 Bangka pos.com, diunduh tanggal 03-10-2012.
177
yang berasal dari angka inflasi di Kota Pangkalpinang, lalu berupaya
mengintervensinya. Hal tersebut perlu dilakukan sebagai upaya mengurangi
tingginya harga barang-barang yang beredar, sehingga pada akhirnya dapat pula
membantu menurunkan tingkat harga jual paket pariwisata di Bangka Belitung.
4.2.2.2. Strategi Koordinasi Pemantauan, Umpan Balik dan Pengendalian
Strategi dalam kegiatan pemantauan, umpan balik dan pengendalian
dimulai dengan melihat bahwa pemantauan dan pengendalian merupakan faktor
yang dapat ikut menentukan pencapaian tujuan dari suatu perencanaan yang telah
dibuat. Menurut Wrihatnolo dan Nugroho (2006:131) Pengendalian adalah suatu
tindakan pengawasan yang disertai dengan tindakan pelurusan (korektif).
Pengawasan merupakan bagian dari pengendalian. Pengawasan adalah
pemeriksaan di lapangan yang dilakukan pada beberapa periode tertentu.
Umpan balik disini merupakan sebuah istilah yang sudah sangat populer
yang diambil dari teori Sibernitika (Cybernetics) dalam mekanika yang ditemukan
oleh Norbet Weiner (1954). Dalam Sibernetika, umpan balik adalah keluaran
(output) sistem yang dialihkan “dibalikkan” kembali (feedback) kepada sistim
sebagai masukan (input) tambahan dan berfungsi mengatur keluaran berikutnya
(Rakhmat, 1989:216). Dengan kata lain, umpan balik yang diperoleh dari
kegiatan terdahulu dapat dipergunakan sebagai masukan dalam melakukan
penyesuaian terhadap kegiatan berikutnya yang akan dilakukan. Menurut Wibowo
(2010:166) umpan balik pada organisasi berkenaan dengan monitoring, apakah
terjadi deviasi antara rencana dengan pelaksanaan dan memprediksi pencapaian
178
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut Wibowo, Jika terjadi deviasi
maka perlu ditetapkan tindakan yang harus dilakukan untuk mengoreksinya
sehingga tujuan dapat tetap tercapai.
Pemantauan menurut Bryant dan White (1987:191) merupakan upaya
pengumpulan data yang dilakukan ketika kegiatan/proyek sedang berlangsung
sebagai umpan balik sehingga dapat dilakukan perubahan-perubahan dan
penyesuaian-penyesuaian segera jika terdapat hal-hal yang dianggap tidak atau
belum sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Sementara itu menurut Wrihatnolo
dan Nugroho (2006:131) pemantauan merupakan pemeriksaan berkelanjutan
(terus menerus) terhadap hasil akhir laporan pengawasan berjenjang.
Proses pemantauan ini juga dibutuhkan guna memeriksa sistem
manajemen khusunya yang berhubungan dengan jenis-jenis insentif yang tersedia
bagi para pelaksana dan manajer dalam melakukan pekerjaannya masing-masing
(Bryant dan White :1987:193). Dalam Peraturan Pemerintah (Nomor 38 tahun
2006) tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan didifinisikan bahwa
pengendalian adalah: serangkaian kegiatan manajemen yang dimaksudkan
untuk menjamin agar suatu program/kegiatan yang dilaksanakan sesuai
dengan rencan yang telah ditetapkan (pasal 1. angka 1. ).
Pemantauan adalahkegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan
rencana pembangunan, mengidentifikasi serta mengantisipasi
permasalahan yang timbul dan/ atau akan timbul untuk dapat diambil
tindakan sedini mungkin (Pasal 1 angka 2.).
Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasasi masukan
(input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan
standar. (pasal 1, angka 3).
179
Bagian yang terpenting dari kegiatan ini adalah terkumpulnya bahan dan
data sehingga dapat dilakukan umpan balik yang berlangsung secara kontinyu
mengenai berbagai hal seperti cara – cara serta penggunaan berbagai sumber daya
yang ada. Umpan balik dapat diperoleh dari memorandum dan laporan-laporan
resmi bagi seluruh staf maupun dapat pula yang bersifat informal.
Pemahaman akan pengendalian dan pemantauan ini diperlukan agar dapat
diketahui dengan pasti bagaimana proses pengendalian dan pemantauan itu
seharusnya dilakukan dalam berbagai kegiatan yang merupakan implementasi dari
perencanaan yang ada. Menurut Wrihatnolo dan Nugroho (2006:132-133)
pengendalian dan pemantauan terhadap implementasi perencanaan adalah :
Rangkaian kegiatan untuk menjamin pelaksanaan perencanaan mencapai
tujuannya. untuk mewujudkan hal tersebut, suatu proses pengendalian dan
pemantauan pembangunan harus memperhatikan prinsip-prinsip: (1)
pengendalian pembangunan diarahkan pada efisiensi pengeluaran negara;
(2) pengoptimalan tugas pokok dan fungsi lembaga negara yang sudah
ada; (3) pengoptimalan peran serta masyarakat secara pro aktif dalam
pengawasan penggunaan keuangan negara; (4) penegakan upaya penilaian
terhadap kinerja implementasi perencanaan pembangunan.
Pariwisata sebagai sebuah urusan atau kewenangan pemerintahan
mengandung konsekuensi kebijakan yang diambil oleh pemerintah seperti
pembangunan kepariwisataan mau tidak mau juga merupakan sebuah kebijakan
publik yang mesti dikoordinasikan. Apabila dalam kebanyakan teks mengenai
kebijakan publik yang banyak ditulis adalah menyangkut evaluasi kebijakan,
maka Nugroho (2011: 665) berpendapat agak berbeda. Menurutnya karena
kebijakan publik merupakan sebuah manajemen maka seharusnya ia dikendalikan
dan bukan hanya dievaluasi. Selanjutnya menurut Nugroho pengendalian
180
kebijakan tersebut terdiri dari tiga dimensi yaitu: (1) Monitoring kebijakan, atau
pengawasan kebijakan; (2) Evaluasi Kebijakan; (3) Pengganjaran kebijakan.
Dijelaskannya bahwa yang dimaksud dengan pengawasan berupa
pemantauan dengan penilkaian untuk tujuan pengendalian pelaksanaan agar
pelaksanaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Nugroho (2011: 665)
menyamakan istilah pengawasan dengan “ongoing evaluation” atau “formative
evaluation”.
Evaluasi dimaksudkannya sebagai penilaian pencapaian kinerja dari
implementasi. Evaluasi ini dilakukan setelah kegiatan selesai dilaksanakan.
Pengganjaran yang dimaksudkan disini adalah semacam istilah lain yang sering
digunakan yaitu reward dan punishment, dimana tindakan pengganjaran tersebut
menurut Nugroho (2011: 666) terdiri dari insentif dan disinsentif. Apabila
hasilnya positif diberikan insentif dan sebaliknya bila hasilnya negatif maka perlu
diberikan disinsentif. Kedua hal ini diperlukan di dalam pengganjaran karena jika
monitoring dan evaluasi yang dilakukan tidak memberikan arti penting maka
tujuan akhir dari pengganjaran menjadi tidak terpenuhi.
Selanjutnya akan dilihat bagaimanakah strategi koordinasi yang
berlangsung di antara SKPD dalam kegiatan pemantauan, umpan balik, dan
pengendalian yang berlangsung pada pembangunan pariwisata di Kepulauan
Bangka Belitung. Koordinasi dalam melakukan pemantauan kegiatan
pembangunan pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung biasanya dilakukan
secara internal di Disbudpar saja, karena kebanyakan kegiatan yang dilakukan
bersifat non fisik seperti penyelenggaran event kebudayaan dan pariwisata,
181
pameran, promosi pariwisata, serta pelatihan dan sosialisasi. Model kegiatan non
fisik seperti ini diakui oleh informan di Bappeda (wawancara 20/11/2012) kurang
mendapatkan perhatian yang serius dan hanya dilihat laporan tertulis saja yang
hanya menggambarkan kemajuan serapan keuangan saja. Dalam kondisi seperti
ini maka umpan balik yang diharapkan tidak dapat sepenuhnya terjadi karena
dengan kondisi pemantauan yang seadanya maka upaya untuk mengetahui antara
rencana dan pelaksanaannya di lapangan tidak bisa dilakukan secara optimal,
sehingga umpan balik dalam melihat adanya deviasi hanyalah bersifat formal saja
dalam hal ini hanya sebatas laporan keuangan dan belum menyentuh substansi
kepada tujuan kegiatan atau program.
Tim pengendalian di Bappeda biasanya turun ke lapangan untuk melihat
bagaimana pelaksanaan fisik di lapangan. Untuk kegiatan-kegiatan yang
dilakukan di Disbudpar maka hampir tidak ada upaya pemantauan dari tim dari
Bappeda. Kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pembangunan
pariwisata yang berada pada SKPD lainnya seperti yang terdapat di Disperindag,
Dinas Perhubungan, Dinas UMKM dan sebagainya, selama ini pemantauannya di
Bidang Pengendalian Bappeda tidak dilakukan secara terkoordinasi sebagai
bagian kegiatan yang mendukung atau berkaitan dengan kepariwisataan.
Sementara itu di internal Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sendiri
walaupun terdapat Kasi Pengendalian dan Anggaran serta Kasi Monitoring dan
Evaluasi, akan tetapi pengendalian masih dilakukan secara terbatas bahkan
ternyata masih sangat minim. pengendalian yang dilakukan selama ini hanyalah
182
terbatas pada upaya meminta laporan secara berkala yang biasanya dimulai pada
semester pertama sudah selesai yaitu di sekitar bulan Juli1.
“Biasanya kami menyampaikan permintaan data laporan realisasi melalui
surat kepada setiap bidang yang membawahi masing-masing kegiatan.
Tapi sulit sekali menunggu meraka menyampaikannya, dari keseluruhan
kegiatan paling-paling hanya satu dua saja yang memberikan laporan
tertulis, sehingga biasanya kami langsung menghubungi bagian keuangan
untuk menanyakan tentang realisasi masing-masing kegiatan yang ada.
Waktu mau membuat LAKIP dan LKPJ juga begitu laporannya lambat,
bahkan ada yang tidak membuatnya sama sekali. Kalau mau menunggu
Seksi Monitoring dan Evaluasi, bisa tidak jalan, jadi kami lakukan atas
inisiatif sendiri saja.
Koordinasi pengendalian sulit dilakukan selain adanya keengganan
menyampaikan laporan dari pelaksana kegiatan, yang menjadi hambatan lainnya
dalam menjalankan fungsi pengendalian adalah buruknya indikator yang selama
ini dipergunakan dalam RPJMD2. Hal itu terlihat misalnya indikator yang tidak
sesuai dengan apa yang dilakukan. Terdapat indikator mengenai destinasi padahal
Disbudpar tidak ada kegiatan yang menyangkut destinasi, namun ternyata menjadi
target di RPJMD. Begitu pula dengan adanya indikator mengenai kamar tidur
yang sulit dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Disbudpar,
baik karena terlalu makro atau malahan terlalu mikro indikatornya.
Sementara itu dari pelaksana kegiatan kesulitan melakukan koordinasi
pengendalian ini terjadi karena menurut mereka pelaporan yang disampaikan tidak
memberikan dampak apa pun kepada kegiatan. Dilaporkan atau pun tidak
1 Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 23-10-2012.
2 Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 23-11-2012.
183
dilaporkan maka pencairan dana kegiatan tetap bisa dilakukan. dalam pelaksanaan
proyek atau kegiatan:1
“Selama ini surat yang meminta laporan seperti itu Cuma menjadi
tambahan pekerjaan kita yang sudah sibuk ngurus proyek. Lagi pula
kalaupun tidak dibuat juga tidak diapa-apakan. Karenanya kalau saya sih
malas saja membuat laporan-laporan seperti itu.”.
Dengan demikian maka terlihat berdasarkan penelitian bahwa strategi
koordinasi yang dijalankan dalam tahapan pemantauan, umpan balik, dan
pengendalian ini pihak-pihak yang berkompeten menerapkan koordinasi yang
bersifat cultural. Dengan melihat kenyataan di lapangan maka akan lebih tepat
apabila dipergunakan strategi koordinasi yang menerapkan control, sehingga akan
lebih pas dalam upaya pengendalian yang lebih memerlukan dukungan ketegasan
yaitu berusaha selalu mengembalikan kepada tujuan dan sasaran, serta mekanisme
kegiatan yang seharusnya dilakukan.
Namun demikian, hal penting dalam melaksanakan koordinasi
pengendalian juga harus dilakukan sedemikian rupa sehingga di satu sisi dapat
secara rutin diterima oleh pegawai yang bertugas mengendalikan, dan di lain
pihak si pelapor juga mendapat kemanfaatan dari sistem pelaporan yang
dilakukannya. Adanya insentif akan menjadikan kegiatan koordinasi dan
kerjasama pengendalian dapat berlangsung lebih baik seperti yang dikemukakan
Kickert, Klijn dan Koppenjan (1999:9). Menurut mereka dalam hal ketiadaan
insentif ini dapat merupakan penyebab bagi gagalnya sebuah kebijakan. Kondisi
seperti ini sama dengan hilangnya aktor penting yang mendorong koordinasi.
1 Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 23-11-2012
184
Oleh sebab itu perlu dikembangkan tindakan-tindakan yang mampu menjadi
insentif bagi setiap pelaksana dalam melakukan koordinasi di pelaksanaan,
pemantauan, umpan balik dan pengendalian.
Gambar 4.7. Model Pengendalian Menurut Nugroho (2011:666)
Koordinasi, pemantauan, umpan balik, dan pengendalian dalam
pembangunan pariwisata yang dari sisi makro yaitu lintas sektor pembangunan di
provinsi ditangani pula oleh Bidang Pengendalian di Bappeda. Namun demikian
berdasarkan pengamatan dan wawancara ternyata bidang ini tidak melakukan hal
yang cukup berarti yang tercermin dari tidak pernah dilakukannya koordinasi
pengendalian menyangkut pembahasan mengenai perkembangan pembangunan
pariwisata tersebut. Pengendalian program dan kegiatan yang dilakukan lebih
kepada memperhatikan aspek administratif saja yaitu bagaimana perkembangan
185
serapan dana yang dilakukan dengan secara rutin meminta laporan tertulis dari
SKPD 1. Tim penegendalian juga dapat turun ke lapangan untuk melakukan
pengecekan dalam hal dirasakan adanya kegiatan-kegiatan fisik. Persoalannya
sebagian besar kegiatan yang terdapat di Disbudpar biasanya bukan bersifat fisik
tetapi non fisik seperti penyelenggaraan berbagai even budaya dan pariwisata,
serta pameran dan pagelaran kebudayaan yang jarang sekali memperoleh
perhatian yang memadai dari tim pengendalian. Sebenarnya upaya pengendalian
yang selama ini dilakukan tidak ditindaklanjuti dengan adanya pengganjaran
seperti yang dimaksudkan oleh Nugroho (2011:666) 2.
“Memang pernah ada kami memberikan hadiah berupa TV kepada SKPD
yang menyampaikan laporan tepat waktu dan baik, sekitar dua tahun yang
lalu. Tapi untuk yang bersifat sanksi walaupun kami sudah surati SKPD
yang bermasalah melalui surat gubernur, tetap saja tidak ada
tindaklanjutnya. Kami sendiri tidak punya kekuatan untuk langsung
memberikan sanksi, itu wewenang atasan”.
Dari kedua SKPD baik di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata maupun yang
dilihat pada Bappeda dapat disimpulkan bahwa kegiatan koordinasi dalam hal
pemantauan, dan pengendalian pada pembangunan pariwisata di Kepulauan
Bangka Belitung selama ini masih lemah. Kelemahan dimaksud terlihat pada
tidak adanya insentif bagi pelaksana, kurang baiknya struktur organisasi, serta
sikap para pelaksana yang belum mendukung. Kesemuanya menjadi bagian yang
mengakibatkan lemahnya koordinasi.
Upaya pembangunan pariwisata dapat dikategorikan sebagai keputusan
politik yang ingin mendorong sektor pariwisata yang pada akhirnya membawa
1 Wawancara dengan informan Bappeda Babel, tanggal 07-12-2012.
2 Wawancara dengan informan Bappeda Babel, tanggal 07-12-2012.
186
kemanfaatan bagi masyarakat di daerah. Dalam pelaksanaannya kebijakan ini
berhubungan dengan berbagai aspek manajeman pemerintahan di daerah yang
selanjutnya juga ingin dikaji bagaimana elaborasinya dikaitkan dengan
pelaksanaan koordinasi antara stakeholder pariwisata. Untuk melihat bagaimana
pelaksanaan koordinasi pembangunan pariwisata ini secara efektif di lapangan
maka akan dilihat beberapa hal yang berkaitan dengan kondisi tersebut.
Salah satu hal penting dalam melakukan koordianasi antara lain dimulai
dari komunikasi yang baik atau efektif. Dari aspek komunikasi maka koordinasi
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi yang terjadi dalam pembangunan
pariwisata di Bangka Belitung dapat digambarkan sebagai berikut. Ndraha
(2003:467) mengemukakan bahwa komunikasi merupakan tekanan pada dua
aspek yaitu:
Yang pertama memberikan tekanan pada proses penyampaian berita
berdasarkan teori Lassewell tentang komunikasi (massage transmission
theory) “Who say what in which channel to whom with what effect”,
sedangkan yang kedua memberikan tekanan pada pertukaran nilai atau
proses pertukaran fikiran “The process of exchange of meaning by verbal
and non verbal signs operating through cosmologies, cultural, contens,
and conduits’.
Merujuk pada difinisi komunikasi menurut Laswell di atas maka dapat
disimpulkan bahwa unsur-unsur komunikasi meliputi : Komunikator (source) ;
pesan (message); saluran (channel); komunikan atau khalayak (audience,
reciever); dan efek (effect). Kelima unsur tersebut merupakan satau kesatuan yang
tidak terpisahkan sebagai sebuah proses yang menentukan efektivitas kounikasi.
Komunikator, dalam hal ini adalah para pimpinan di Disbudpar terkesan
kurang percaya diri menyampaikan keinginan atau kebutuhan yang diharapkan
187
dari SKPD lainya karena ketiadaan pegangan dari sisi cetak biru perencanaan
yang memiliki dasar hukum kuat. Mekanisme birokrasi yang mengedepankan
hubungan formal dan yuridis formal menyebabkan ada perasaan yang kurang
percaya diri di kalangan pimpinan Disbudpar menyampaikan prakarsa atau
inisiatif seputar dukungan dari SKPD terkait.
Kondisi ini berpengaruh pada pesan (message) yang disampaikan yang
menjadi kurang kuat dan kurang meyakinkan. Hal tersebut terlihat dari lebih
leluasanya pimpinan dan staf Disbudpar menjalin komunikasi dengan pihak
swasta dan masyarakat dari pada dengan pihak pemerintah sendiri. Dari sisi
kejelasan program pembangunan pariwisata selayaknya program-program mudah
difahami sehingga dapat berlangsung dengan lebih efektif dan efisien. Dengan
demikian harus jelas pula apa yang akan dilakukan, bagaimana cara
melaksanakannya dan siapa pelaksananya, serta kapan dilaksanakan. Hasil
penelitian memperlihatkan bahwa belum terlihat kejelasan program pembangunan
pariwisata yang akan dilaksanakan, yang seharusnya merupakan awal dari semua
proses. Di kalangan staf Disbudpar sendiri terlihat masih belum jelasnya tahapan
langkah-langkah apa yang harus dilakukan, dan itu terjadi hampir di semua level
jabatan struktural, serta pembidangan pekerjaan. Kondisi seperti ini disebabkan
oleh kelemahan dokumen perencanaan yang belum baik, misalnya dalam
membagi tahapan dan pembagian pekerjaan yang jelas. Kalaupun ada kejelasan
baru sebatas judul atau rencana event kegiatan yang akan dilaksanakan, tetapi
siapa yang melaksanakan apa, berapa anggaran dan detil yang lain belum ada
kepastiannya. Apabila belum terdapat kejelasan maka akan kesulitan pula
188
mengkomunikasikannya kepada pihak SKPD lain tentang apa yang seharusnya
menjadi pekerjaan mereka dalam mendukung pembangunan pariwisata.
Untuk saluran komunikasi biasanya di pemerintahan yang dibangun adalah
penyampaian pesan yang dilakukan oleh Disbudpar dalam bentuk komunikasi
surat menyurat bersifat formal dalam bentuk himbauan. Namun dalam
kenyataannya belum ditanggapi secara memadai. Surat balasan dari SKPD yang
diterima tentang ajakan menyukseskan program Visit Bangka Belitung 2010
bahkan dibalas dengan surat yang menyatakan bahwa mereka tidak dapat
berpartisipasi karena tidak ada dana untuk melaksanakan kegiatan1. Saluran
komunikasi lain adalah publikasi yang dilakukan oleh Disbudpar namun
bentuknya hanya terbatas kepada penyampaian program besar saja yaitu adanya
keinginan pemerintah mempercepat pembangunan pariwisata melalui Visit
Bangka Belitung 2010 dan Sail Wakatobi Belitong 2011 yang disebarkan dalam
berbagai bentuk mulai dari baliho, spanduk, stiker dan iklan.
Bagaimana khalayak atau penerima pesan berkaiatan dengan
pembangunan pariwisata ini ternyata masih ada yang memiliki budaya yang
kurang mendukung yang dikenal di Bangka Belitung dengan istilah “Dak Kawah
Nyusah” (arti harfiahnya: tidak mau bersusah payah-pen) atau budaya yang
menggambarkan kemalasan, ketidakpedulian karena belum akan merasakan
imbalan apa yang akan diperoleh jika melakukan sesuatu. Hal tersebut tergambar
seperti balasan surat yang disampaiakan kepada SKPD tadi. Padahal jika memang
berniat dan kreatif melakukan kegiatan ada banyak cara yang tidak memerlukan
1 Wawancara dengan informan Disbudpar, tanggal 22-11-2012
189
dana yang akan membantu keberhasilan pembangunan pariwisata. Misalnya
dengan melakukan hal-hal yang termuat pada gerakan Sapta Pesona, maka SKPD
yang bersangkutan sebenarnya telah ikut berpartisipasi. Pengiriman surat dari
SKPD yang menyatakan bahwa mereka tidak bisa ikut berpartisipasi merupakan
bukti bahwa mereka hanya ikut menindaklanjuti membalas surat tanpa harus
berpikir dan berusaha membantu walaupun program tersebut sebenarnya sudah
menjadi program provinsi yang disampaikan oleh gubernur dalam hampir setiap
kesempatan. Ini menggambarkan bahwa efek komunikasi yang ditimbulkan
ternyata di antara SKPD yang ada belum sesuai dengan yang diinginkan yaitu
mendukung upaya pembangunan pariwisata di bidangnya masing-masing.
Komunikasi dapat dianalogikan dengan pintu masuk pertama melakukan
koordinasi, tanpa komunikasi yang baik meliputi penyampaian informasi,
kejelasan apa yang diinginkan.
Selanjutnya keberadaan sumber daya merupakan hal penting dalam
menjalankan pariwisata (Pitana dan Diarta: 2009:68) yang meliputi sumber daya
alam dan sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang ada memberikan
andil dalam pelaksanaan kegiatan. Menurut Edward III (1980:53) hal itu meliputi
Staf (staff) yang cukup (jumlah dan mutu), informasi (information) yang
dibutuhkan guna pengambil keputusan, kewenangan (authority) yang cukup guna
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, serta fasilitas (facilities) yang
dibutuhkan.
Sebagaimana telah disampaikan bahwa sektor pariwisata bersinggungan
dengan banyak sektor, sehingga dibutuhkan pula kemampuan teknis aparatur yang
190
cukup memadai dalam penanganannya. ketrampilan teknis perencana utamanya
yang berkaitan dengan kewilayahan, geografi, dan teknis pariwisata mutlak
dibutuhkan di samping tenaga lainnya seperti ekonomi, pemasaran dan sosialogi.
Jika melihat sumber daya aparatura yang ada dari sisi jumlah sudah cukup
memadai namun dari aspek kemampuan teknis yang masih perlu dibenahi. Dari
60 karyawan yang ada di Disbudpar Bangka Belitung memang sudah ada empat
orang sarjana S2 atau master dan 29 orang S1, dan 19 orang diploma. Namun
demikian dari jumlah tersebut yang ada baru sarjana ekonomi dan diploma
pariwisata. Bagian terbanyak latar belakang pendidikan yang dimiliki adalah
sarjana hukum, bahasa, pendidikan, agama, dan sastra. Untuk yang berpendidikan
S2 terdiri dari dua orang magister administrasi publik, serta seorang magister
manajemen dan seorang lagi magister teknik.
Tabel 4.5.Pegawai Disbudpar Prov. Bangka Belitung
Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan 2008 2009 2010
S2 2 3 4
S1 16 20 29
Diploma 10 17 19
SMA/ SMK 9 8 8
TOTAL 37 48 60
Sumber: Disbudpar Babel 2012
Untuk kelengkapan informasi terutama dalam hal sebagai bahan
pengambilan keputusan, diakui oleh informan di Disbudpar masih kurang,
terutama berkaitan dengan akurasi data jumlah, asal, persepsi, dan perilaku
191
wisatawan, jumlah dan kualitas tenaga kerja yang bekerja di sektor pariwisata, dan
tingkat hunian kamar hotel. Data yang agak memadai baru diperoleh setelah
dilakukan pembuatan Nesparda Kepulauan Bangka Belitung 2011 yang baru
selesai di Desember 2012. Kondisi ini menyebabkan keputusan yang diambil
selama ini di bidang pariwisata hanya bersifat coba-coba dan belum disertai data
yang akurat, sehingga kemungkinan untuk memecahkan permasalahan dengan
efektif dan efisien masih diragukan kehandalannya.
Dari sisi kewenangan maka sebenarnya dengan terbitnya PP nomor 38
tahun 2007 maka kewenangan bidang kepariwisataan di tingkat provinsi sudah
jauh berkurang dibandingkan dengan masa sebelumnya. Untuk pembangunan
destinasi maka pemerintah provinsi hanya memiliki kewenangan untuk kawasan
strategis provinsi saja, sehingga tidak bisa secara leluasa melakukannya dalam
kawasan pariwisata di luar itu. Kalau pun akan melakukan pembangunan atau
pengembangan di luar wilayah kewenangannya maka hanya bersifat dukungan
saja. Minimnya kewenangan provinsi di bidang pariwisata juga terjadi dalam
pendaftaran (dulu perizinan) usaha kepariwisataan, yang dari 13 pendaftaran
usaha berdasarkan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata.
Dengan kondisi ini maka hanya tersisa satu saja kewenangan di tingkat
provinsi, sedangkan yang lainnya sudah diturunkan ke kabupaten/kota. Fenomena
ini mengakibatkan banyak usaha pariwisata yang berada di wilayah provinsi yang
tidak terpantau lagi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi karena tidak
dilaporkan oleh kabupaten kota, seperti munculnya hotel, restoran, dan berbagai
tempat dan layanan jasa pariwisata. Keberadaan 13 Kepmenbudpar tersebut juga
192
telah mendapatkan protes keras oleh sejumlah daerah seperti Bali1 (Berbagai
pihak yang mengajukan protes menganggap kebijakan baru ini akan
mengakibatkan semakin terkotak-kotaknya daerah pariwisata dan kesulitan dalam
hal sinkronisasi serta keselarasan pengembangan pariwisata. Dengan demikian
maka kewenangan pariwisata di tingkat provinsi hanyalah sebatas kebijakan
pemasaan dan penetapan standarisasi saja yang menyebabkan pemerintah provinsi
kesulitan mengarahkan pembangunan destinasi pariwisata kabupaten kota di
wilayahnya.
Menyangkut fasilitas yang tersedia yang selama ini bagi pengembangan
pariwisata di Bangka Belitung sudah ada walaupun masih harus ditingkatkan,
misalnya keberadaan gedung kantor Disparda yang merupakan gedung pinjaman
rumah dinas wakil ketua DPRD, tidak memiliki ruang rapat dan kurang
representatif untuk dijadikan kantor Disbudpar yang banyak sekali berhubungan
dengan berbagai kalangan.
Sikap pelaksana (attitudes of implementors), merupakan hal yang
menyangkut kesediaan dari para implementor atau pelaku dalam
mengimplementasikan kebijakan secara efektif. Modal awal bagi pelaksana atau
implementor adalah pemahaman akan latar belakang, maksud dan tujuan
kebijakan yang biasanya digambarkan melekat pada para pejabat mulai dari
eselon tertinggi sampai yang terendah (Sinaga, 2010:160). Pemahaman seperti
inilah yang menjadi salah satu kelemahan yang dirasakan, karena para pejabat
memang mengetahui tujuan kebijakan pembangunan pariwisata, namun tidak
1 Kompas.com, 23-06- 2011, diunduh 10-12-2012.
193
semuanya yang memahami bagaimana mewujudkannya. Terkait dengan sikap
pelaksana ini juga adalah semangat bekerja sama.
Kerjasama tim antar unit belum menjadi budaya utamanya dalam
melakukan pelayanan. Pandangan dan pemikiran yang muncul dari setiap aparat
adalah hanya mengerjakan tugas yang menjadi kewajibannya sendiri, tanpa perlu
membantu pekerjaan aparat lain. Hal tersebut muncul menurut Dwiyanto
(2006:221) karena pemberian pelayanan masih dianggap belum menjadi
tanggungjawab bersama semua aparat birokrasi, tetapi dipahami hanya sebatas
tanggungjawab beberapa aparat saja Budaya seperti inilah yang menurut perlu
diubah sehingga akan lebih mendukung adanya upaya melibatkan diri dan
bekerjasama termasuk berkoordinasi di dalamnya yang akan mempu
mengakselerasi perubahan ke arah yang lebih positif. Di dalam literatur semangat
kerjasama dikonsepkan sebagai keterpaduan tim atau juga ada yang
menyebutkannya sebagai esprit de corps (Dwiyanto, 2006:216).
Struktur birokrasi, menyangkut prosedur standar operasi dalam
pelaksanaan kebijakan (Standard Operating Procedures) dan pengaturan tata
aliran pekerjaan dan pelaksana program. Menurut Tachjan (1995:72) hampir
semua permasalahan atau problem dalam organisasi diakibatkan oleh struktur
organisasi. Karena itu struktur organisasi haruslah didesain dengan tepat dan terus
disempurnakan sesuai dengan perubahan lingkungan
Struktur birokrasi yang ada di tingkat Disbudpar masih terdapat hal yang
melemahkan upaya pembangunan pariwisata, karena tidak adanya bidang atau
seksi yang menangani pengembangan destinasi secara khusus. Padahal
194
keberadaan destinasi merupakan salah satu modal awal dalam upaya
mendatangkan wisatawan. Akibatnya urusan pengembangan destinasi yang di
tingkat pemerintah pusat ditangani oleh sebuah Direktorat Jendral, di Disbudpar
Bangka Belitung urusan ini tidak jelas tempatnya 1.
“Kami susah mengurusinya, terkadang dia di perencanaan, kadang di
bidang pengembangan SDM, kadang pula dia di tangani bidang promosi.
Karena kalau ada surat dari Dijen Destinasi kami harus mendiskusikannya
dulu akan dikemanakan tindaklanjut surat ini,”
Tidak adanya kepastian tersebut menyebabkan tidak ada pejabat di bidang
dan seksi yang merasa bertanggungjawab terhadap penanganan destinasi ini,
sehingga perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan serta evaluasi berbagai
kegiatan menyangkut pengembangan destinasi menjadi tidak jelas. Ketidakjelasan
ini pula yang kemudian tercermin dalam pemahaman teknis para pejabat di
Disbudpar yang menjadi kurang komprehensif dan terkesan belum mempunyai
konsep jelas, sehingga menyebabkan pula kurangnya komunikasi efektif kepada
SKPD lainnya.
Pembangunan kepariwisataan selama ini juga belum memiliki standar
prosudur bekerja yang memadai yang tercermin dari ketiadaan panduan dalam
melaksanakan kegiatan pembangunan pariwisata seperti kerangka kerja yang jelas
dalam bentuk penjadwalan kegiatan siapa yang melakukan apa dan kapan
dilakukan. Biasanya petunjuk hanya disampaikan dalam bentuk briefing dan
penjelasan secara lisan yang terkadang tidak cukup kuat menjadi pegangan para
pelaksana di lapangan. Namun demikian di sisi lain ketiadaan petunjuk teknis
1Wawancara dengan informan di Disbudpar Babel, tanggal 08-10-/2012.
195
secara tertulis juga dapat menjadi pemicu bagi terlaksananya koordinasi non
formal di tingkat bawah.
4.2.3. Strategi Koordinasi dengan Organisasi Swasta dan Organisasi di
Masyarakat
Seperti yang telah disampaikan bahwa paradigma goverment telah
bergeser menjadi governance dimana kekuasaan tidak lagi semata-mata menjadi
peranan pihak pemerintah semata akan tetapi governance telah menekankan
fungsi bersama-sama antara pemerintah, swasta dan LSM serta masyarakat.
Terbukanya peran bersama dalam wilayah publik tersebut menjadikan perhatian
akan peran swasta, LSM dan masyarakat di sektor pariwisata semakin meningkat.
Kerjasama dan kemitraan antara pemerintah dengan swasta yang
berlangsung dalam ranah ilmu administrasi publik telah berlangsung setidaknya
selama tiga dekade (Bovaird, 2004, dalam Dwiyanto, 2010:257). Di Indonesia
konsep ini masih terbatas penerapannya, walaupun di banyak negara maju konsep
ini sudah cukup lama berkembang. Menurut Dwiyanto (2010:257-260) bentuk
kerjasama antara swasta dan pemerintah selama ini baru terbatas pada kerjasama
pemerintah sebagai pemilik pekerjaan dengan lembaga non pemerintah sebagai
vendor atau kontraktor. Dalam model kemitraan seperti ini maka keduanya tidak
memiliki hubungan yang setara tetapi bersifat asimetris dimana pihak swasta
bekerja berdasarkan order yang biasanya dilakukan dalam kurun waktu yang
terbatas dengan intensitas hubungan yang juga terbatas pula.
196
Kerjasama yang bersifat kolaboratif bersifat lebih simetris dimana yang
terjadi adalah hubungan antar prinsipal dengan prinsipal. Bovaird (2004, dalam
Dwiyanto, 2010:259) mengartikan kemitraan antara pemerintah dengan swasta
secara sederhana sebagai "pengaturan pekerjaan berdasarkan komitmen timbal
balik, melebihi dan di atas yang diatur dalam setiap kontrak, antara satu organisasi
di sektor publik dengan organisasi di luar sektor publik".
Dalam kepariwisataan baik pada proses perencanaan maupun dalam
implementasi pembangunan kepariwisataan, sinergi dari seluruh stakeholder
merupakan syarat mutlak yang akan menentukan keberhasilan pembangunan
tersebut. "Stakeholders are those who benefit or burdened by the firm's operation;
that is, they have a stake in it" (Steiner dan Stainer:2000:14). Stakeholder
kepariwisataan itu adalah pemerintah selaku regulator dan fasilitator
pembangunan pariwisata, pihak swasta selaku aktor yang terlibat langsung dalam
berbagai bentuk usaha dan kegiatan kepariwisataan, serta masyarakat selaku host
community dari daerah tujuan wisata termasuk pula di dalamnya berbagai lembaga
swadaya masyarakat (LSM).
Pembangunan pariwisata daerah biasanya terdapat tiga pemain utama
pariwisata yang masing-masing memiliki kebutuhan atau kepentingan yang
berbeda, sehingga memerlukan perhatian agar dapat berjalan dengan baik
hubungan antara ketiganya. Ketiga pemain utama itu (Spillane, 1994 : 30adalah :
1. Mereka yang mencari kepuasan atau kesejahteraan lewat penjelasan
mereka (wisatawan atau tamu) (guest).
2. Mereka yang tinggal dan berdomisili dalam masyarakat yang menjadi
alat pariwisata (tuan rumah atau penduduk setempat) (hosts).
3. Mereka yang mempromosikan dan menjadi perantaranya (bisnis
pariwisata atau perantara) (brokers).
197
Ketiga kelompok tersebut saling berkaitan, yang pada gilirannya akan
berpengaruh terhadap kelancaran pengembangan pariwisata di daerah tersebut.
Dalam hal ini akan bergantung kepada pemerintah daerahnya yang mempunyai
kewenangan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakannya. Peranan pihak
swasta dan masyarakat sangat besar dalam memajukan pariwisata sebuah negara
atau daerah.
Di Kepulauan Bangka Belitung strategi koordinasi SKPD, khususnya di
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dengan kalangan swasta dan masyarakat antara
lain dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan oleh Disbudpar bersama dengan
stakeholder pariwisata seperti pihak travel, hotel dan restoran. Menurut informan
dari travel agen, pihak dinas dinilai telah berusaha melakukan koordinasi dengan
mereka. Koordinasi dimaksud antara lain dengan melibatkan pihak swasta dalam
rapat-rapat yang membahas masalah pariwisata. Pihak Disbudpar juga telah
menyelenggarakan fasilitasi berupa kegiatan gathering atau pertemuan yang
bersifat direct selling ke kota-kota seperti Batam, Jakarta, Palembang dan
Bandung. Dalam kegiatan tersebut para stakeholder pariwisata yang ada di
Bangka Belitung diajak oleh pihak Disbudpar untuk bertemu dengan para travel
agen di berbagai kota yang didatangi. Pihak dinas biasanya mengundang travel
agen ke dalam pertemuan yang difasilitasi biasanya di restoran atau rumah makan
untuk kemudian menawarkan paket wisata atau memperkenalkan hotel dan
restoran yang ada di Bangka Belitung1.
1 Wawancara dengan informan dari travel agen di Babel, tanggal 06-10-2012.
198
"Biasanya dalam pertemuan itu hadir juga para kepala dinas pariwisata provinsi maupun kabupaten kota se Babel, guna meyakinkan mitra kami di tempat yang dikunjungi bahwa. Kesannya kami di Babel lebih kompaklah. dan itu artinya kami sudah bekerjasama dengan cukup solid antara swasta dan pihak pemerintah yang bergerak di bidang pariwisata"
Kegiatan gathering yang dilakukan bersama ini bermula dari usulan travel
agen untuk dapat melakukan penjualan secara langsung ke kota-kota yang
menjadi target penjualan paket wisata para travel agen. Usulan ini kemudian
ditanggapi dengan memasukannya dalam anggaran. Tahun 2012 ini sudah
memasuki tahun kedua pelaksanaan gathering stakeholder.1
Hal lainnya yang diapresiasi oleh kalangan pelaku pariwisata di Bangka
Belitung adalah kesediaan Disbudpar yang selalu mengajak pelaku untuk
berpartisipasi serta melaksanakan pameran, tidak saja di dalam negeri tetapi juga
sampai ke manca negara dianggap sebagai cerminan bahwa koordinasi yang
tercipta antara pelaku usaha dengan Disbudpar sudah berlangsung dengan cukup
baik.
Kerjasama dan koordinasi dipandang cukup baik dengan kalangan swasta
dalam hal kegiatan seperti mendatangkan para travel agent serta wartawan atau
penulis pariwisata dari dalam dan luar negeri ke Bangka Belitung. Untuk
melaksanakan kegiatan famtrip atau perjalanan perkenalan mengenai sebuah
daerah pariwisata seperti ini biasanya kalangan pelaku usaha yang ada dilibatkan
baik pihak travel, hotel dan restoran, sehingga dana pemerintah yang tersedia
dapat dioptimalkan penggunaannya. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata memiliki
dana yang terbatas untuk penginapan dan konsumsi bagi wartawan atau travel
1 Wawancara dengan informan dari travel agen di Babel, tanggal 06-10-2012.
199
agen yang diundang ke Babel, maka para pelaku pariwisata akan membantu
dengan memberikan fasilitas yang ada pada mereka seperti menambah jumlah hari
kunjungan atau meningkatkan kelas hotel yang dipergunakan untuk menginap.
Meskipun demikian menurut informan dari travel agen, pihak Disbudpar
masih terkesan lamban dalam hal membentuk organisasi seperti badan promosi
pariwisata di tingkat provinsi yang justru telah diamanatkan dalam undang-
undang kepariwisataan. Secara yuridis memang kelembagaan badan promosi
telah diatur di dalam Undang-undang tentang Kepariwisataan (Nomor 10 tahun
2009). Lembaga serupa sebenarnya telah dibentuk di Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung pada tahun 2005, namun telah berakhir masa tugasnya di tahun 2010
lalu. Beberapa pihak telah mengusulkan agar segera dibentuk badan promosi
dimaksud seperti Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) dan ASITA Bangka
Belitung, namun belum juga terbentuk hingga saat ini. Alasan yang dikemukakan
oleh Disbudpar adalah masih mempelajari aturan yang ada karena biasanya jika
undang-undang diberlakukan akan keluar Peraturan Pemerintah (PP) yang dibuat
guna menjalankan undang-undang tersebut. Namun demikian alasan utama belum
dibentuknya badan promosi ini adalah adanya pengalaman di periode badan
promosi sebelumnya yang hanya dijalankan oleh kelompok bisnis pariwisata
tertentu saja, serta belum difahaminya tugas badan promosi seperti yang diatur
dalam undang-undang Kepariwisatan yang baru1.
“Dulu badan promosi di Babel itu hanya dimiliki oleh satu kelompok
bisnis saja, mulai dari Ketua, sekretaris sampai bendahara. Padahal mereka
itu pakai uang APBD tapi hanya promosi usaha pariwisata mereka sendiri.
1 Wawancara dengan Informan PHRI Babel, 28-11-2012.
200
Kita tidak mau ada yang seperti itu lagi, karena ini kepentingan kita sama-
sama”.
Dalam upaya melindungi para pekerja sektor pariwisata khususnya pramu
wisata belum nampak adanya upaya yang memadai yang dilaksanakan oleh
Disbudpar selain mengadakan diklat yang mendorong peningkatan kualitas para
pramu wisata. Padahal ada kebutuhan lain yang diinginkan oleh para pramu
wisata, yaitu pengaturan tentang keberadaan para pramu wisata atau pemandu
wisata dari luar Bangka Belitung yang sekarang mulai marak terutama di pulau
Belitung1.
Pada masalah pembentukan Perda tentang pemandu wisata ini masalahnya
hanya pada belum yakinnya pihak Disbudpar akan pentingnya Perda dimaksud2.
“Kami khawatir adanya Perda itu akan membuat kesulitan baru dalam
menangani pemandu wisata. Perda itu tak mungkin dilaksanakan dengan
baik, kalau pramu wisata lokal saja belum cukup jumlahnya, sementara
jika ada perda itu yang dari luar tidak boleh masuk”.
Kegiatan lainnya yang juga dilaksanakan bersama dengan pelaku
pariwisata di Bangka Belitung adalah upaya peningkatan kualitas SDM pariwisata
di daerah. Sebagaimana diketahui bahwa setiap pekerja yang terlibat langsung
dalam pelayanan kepariwisataan diharapkan memiliki sertifikasi yang ditentukan
untuk masing-masing jenis pekerjaannya. Misalnya seorang pemandu wisata atau
guide, diharuskan memiliki sertifikat sebagai pemandu wisata yang diterbitkan
oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) bidang pariwisata. Demikian pula seorang
seorang pekerja hotel yang bertugas sebagai front office diwajibkan memiliki
1 Wawancara dengan informan dari HPI Babel, tanggal 07-11-2012
2 Wawancara dengan informan dari Disbudpar Babel, tanggal 07-11-2012.
201
sertifikat mengenai bidang pekerjaannya tersebut yang juga diterbitkan oleh LSP
pariwisata.
Pengaturan tentang kewajiban memiliki sertifikasi inni terdapat dalam
Peraturan Pemerintah (Nomor 52 tahun 2012) tentang Sertifikasi Kompetensi dan
Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata, (tanggal 23 April 2012. PP nomor 52)
merupakan pelaksanaan (pasal 55 Undang-undang nomor 10 tahun 2009) tentang
Kepariwisataan yang mengamanatkan pemerintah untuk menyusun standar
kompetensi dan sertifikasi di bidang kepariwisataan. Standar kompetensi dan
sertifikasi ini merupakan upaya untuk emningkatkan kemampuan tenaga kerja
serta meningkatkan kemampuan pekerja yang bergerak di sektor pariwisata.
Untuk mempercepat dan meringankan biaya sertifikasi bagi para pekerja
pariwisata di Bangka Belitung, Disbudpar telah bekerjasama dengan pemerintah
pusat Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk membentuk LSP
pariwisata di maksud di Bangka Belitung. Kegiatan ini dimulai dengan
mengumpulkan organisasi profesi bidang kepariwisataan yang ada, serta
mengadakan diklat untuk menyiapkan tenaga assesor atau penguji/penilai yang
nantinya akan bekerja di LSP pariwisata. Peserta diklat assesor merupakan
gabungan dari kalangan swasta dan pegawai negeri yang diadakan oleh Disbudpar
bekerjasama dengan swasta1.
“Kita kumpul bahkan selama beberapa hari dengan orang dinas dan
kawan-kawan lain di hotel untuk menyiapkan berbagai persyaratan untuk
LSP segera berdiri di Babel. Diharapkan tahun depan (2013-pen) sudah
bisa terbentuk LSP nya, jadi nanti orang Babel yang akan ambil sertifikat
tidak perlu ke luar daerah lagi, cukup disini saja, sehingga bisa lebih cepat
dan lebih murah” .
1 Wawancara dengan informan HPI Babel, tanggal 07-11-2012
202
Adanya LSP di Babel memang akan lebih memudahkan para pekerja
pariwisata yang akan mengambil sertifikat. Jika selama ini mereka harus ke luar
Babel atau mendapatangkan tim penilai dari luar daerah sehingga waktu dan biaya
yang dipergunakan menjadi lebih banyak. Dengan adanya LSP nanti biaya dan
waktu pelaksanaan akan dapat ditekan. Biaya sertifikasi selama ini berkisat Rp. 1
juta, sehingga kalau semua tenaga kerja bidang pariwisata yang berjumlah sekitar
3000 orang berdasarkan data Nesparda akan diperlukan dana sekitar Rp. 3
milyar 1. Namun dengan adanya LSP sendiri angka itu dapat ditekan jadi jauh
lebih kecil lagi.
Untuk gambaran mengenai strategi koordinasi antara Disbudpar dengan
LSM atau masyarakat dalam pembangunan pariwisata di Babel dapat dilihat
bagaimana hubungan yang terjadi. Selama tiga tahun terakhir. Disbudpar
melakukan kegiatan bantuan terhadap penyelengaraan event pariwisata dan
kebudayaan yang dilakukan di tingkat desa berupa dana dukungan dalam APBD.
Terdapat dua kegiatan yang bersifat dukungan ini 2. Pertama, berupa dukungan
pelaksanaan pagelaran yang diberikan kepada berbagai sanggar untuk melakukan
pementasan, dan kedua bantuan dukungan pelaksanaan even kebudayaan dan
pariwisata.
Dukungan pelaksanaan pagelaran dilakukan berupa pemberian uang
Rp.1,5 juta kepada setiap sanggar yang melakukan pagelaran di tiap kabupaten
dengan alokasi satu sanggar setiap minggu. Dukungan “even” diberikan dengan
1 Wawancara dengan informan Disbudpar, tanggal 23-11-2012.
2 Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 30-10-2012.
203
jumlah bervariatif guna tetap menjaga kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan
baik dalam rangka acara adat seperti Rebo Kasan, Mandi belimau, Perang
Ketupat, Pesta adat, Buang Jong, dan lain sebagainya. Dengan bantuan seperti ini
diharapkan tradisi yang ada di desa-desa di Bangka Belitung masih dapat terus
dilakukan dan dilestarikan, bahkan dapat dikembangkan menjadi daya tarik
pariwisata budaya.
Koordinasi yang dilakukan oleh Disbudpar sudah mulai membaik dengan
mencoba mengajak pihak-pihak terkait untuk bersama-sama mengembangkan
pariwisata di daerah 1. Namun demikian disarankan agar koordinasi yang telah
dilakukan itu dapat lebih ditingkatkan lagi misalnya dengan mencoba
mengkoordinasikan terintegrasinya masing-masing destinasi pariwisata yang ada
agar tidak menjadi terkotak-kotak berdasarkan wilayah administratif pemerintahan
kabupaten dan kota saja.
“ Seharusnya pembangunan pariwisata di Bangka Belitung bisa lebih cepat
jika terjadi sinergi. Karena ada posisi-posisi yang harus kita perkuat secara
promosi. Kita sudah mencoba mengeksplore hal-hal yang menurut orang
"kecil" tapi ternyata bisa dijual kepada wisatawan. Penguatan akan sangat
diperlukan di tingkat provinsi agar jangan destinasi yang ada terkotak-
kotak hanya setingkat kabupaten saja. Misalnya untuk memasarkan pulau-
pulau kecil yang ada di Belitung dan Bangka harusnya bisa dijual oleh
provinsi supaya tidak hanya berhenti atau terbatas pada pulau-pulau
tertentu saja yang menjadi wilayah administaratif sebuah kabupaten”.
Seorang Kepala desa di Kabupaten Belitung Timur yang mendapatkan
bantuan untuk melaksanakan kegiatan Festival menyatakan bahwa apa yang
dilakukan oleh Disbudpar Bangka Belitung cukup baik2. Desa ini adalah tempat
1 Wawancara dengan informan dari LSM Babel yang mengembangkan kawasan pariwisata di
Kabupaten Belitung, tanggal 28-10-2012. 2 Wawancara dengan Kepala Desa di Beltim, tanggal 03-1111-2012.
204
biasanya kegiatan festival budaya dan pariwisata dilaksanakan dengan
menampilkan tradisi, kesenian, dan memuat unsur-unsur edukatif.
“Kalau disini, seperti yang dilakukan dinas inilah yang kami tunggu,
karena kami sendiri selalau kekurangan dana kalau ingin melaksanakan
festival. Apa yang selama ini kami alami dengan orang-orang dinas,
kadang-kadang tiidak pakai surat-surat yang terlalu rumit. Administrasi
biasanya dilakukan setelah ada koordinasi lisan atau bahkan komunikasi
dengan sms saja. Ini sesuai dengan harapan kami dan masyarakat. Ini bukti
bahwa kami merasa diperhatikan dan dinas punya kesamaan visi dengan
kami di desa. Memang dibandingkan dengan tahun lalu koordinasi kami
dengan EO (Event Organizer) agak kurang, tapi mungkin karena waktu
dan situasinya yang kurang, kami maklum saja”.
Mereka ingin membangun warung wisata di dekat objek wisata tahun depan
supaya masyarakat juga bisa berjualan. Harapannya kegiatan tersebut juga dapat
diperhatikan oleh Disbudpar, karena keterbatasan yang ada di desa. Mereka juga
sudah mendapatkan bantuan program PNPM pariwisata dan PNPM Mandiri yang
antara lain difasilitasi usulan program dan penyalurannya oleh Disbudpar dan
Badan Pemberdayaan Masyarakat.
Terlihat bahwa komunikasi dan koordinasi dengan kalangan swasta dan
masyarakat berlangsung dan terjalin dengan cukup baik. Koordinasi antara pihak
Disbudpar dengan swasta dan masyarakat dimungkinkan karena adanya
komunikasi yang lebih sering. Komunikasi Disbudpar dengan pihak swasta terjadi
lebih sering karena berbagai kegiatan yang dilakukan bersama seperti rapat,
pameran, dan pertemuan-pertemuan non formal seperti yang diakui oleh kedua
belah pihak. Selain itu selama kegiatan di luar daerah biasanya terjadi juga
diskusi dan komunikasi menyangkut kepariwisataan. Untuk melancarkan
205
komunikasi mereka juga membuat kelompok di jaringan sosial Facebook dan
Blackberry Massenger (BBM) dengan nama Stakeholder Babel.
Terlihat bahwa strategi koordinasi kultural dan Komunikatif yang
dilakukan Disparda kepada pihak swasta dan masyarakat melalui para pengurus
masing-masing institusi terjalin cukup berhasil, yang diperlihatkan oleh
munculnya upaya saling mendukung dan terjadinya pertukaran sumber daya di
antara pihak yang terlibat.
Dengan kondisi seperti itu tidak mengherankan jika hubungan antara
pelaku pariwisata yang tergabung dalam beberapa organisasi profesi
kepariwsataan dengan pihak Disbudpar menjadi lebih akrab dan terjadi berbagai
pertukaran informasi. Kondisi ini yang digambarkan oleh Kickert, Klijn, dan
Koppenjan (1999: 31) sebagai telah terjadinya interdependence antar pihak
Disbudpar dengan para stakeholder pariwisata yang merupakan prakondisi bagi
adanya atau terciptanya jaringan koordinasi.
Hal yang hampir sama dengan kondisi itu adalah baiknya koordinasi
antara Disbudpar dengan masyarakat. Jika kalangan swasta melakukan pertemuan
dengan Disbudpar karena seringnya mengadakan pertemuan dan bepergian
bersama, maka masyarakat menganggap bahwa koordinasi dengan Disbudpar
cukup baik yang merasa mendapatkan perhatian berupa bantuan dalam
melaksanakan berbagai kegiatan yang diselenggarakan di desanya. Pemberian
bantuan itu mengharuskan kedua belah pihak berkomunikasi guna melengkapi
persyaratan administrasi seperti proposal kegiatan, peninjauan lapangan,
pembuatan laporan, serta koordinasi menyangkut pelaksanann acara. Bagi
206
masyarakat selain sering bertemu langsung mereka juga memperoleh
pengetahuan tentang bagaimana mekanisme administrasi pemerintahan, serta tak
jarang juga memperoleh informasi bagaimana desa-desa lainnya
menyelenggarakan kegiatan. Bagi Disbudpar dengan komunikasi yang terjalin
memperoleh informasi mengenai bagaimana masyarakat melaksanakan acara,
mengenali persamaan dan perbedaan masing-masing desa, serta memahami
kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat di tingkat desa. Di beberapa desa
hubungan tersebut berkembang layaknya hubungan pertemanan, yang pada saat
panen buah-buahan atau komoditas yang menjadi ciri khas desa seperti madu,
jamur, ikan dan lainnya, pihak Disbudpar sering memperoleh kiriman tanda
pertemanan atau terimaksih telah membantu mengadakan acara di desa.
Dengan mengamati hubungan Disbudpar di kedua sektor itu, baik di
swasta maupun di masyarakat melalui tiap organisasinya, maka terlihat bahwa
koordinasi yang baik akan terjadi apabila terdapat komunikasi yang intens, serta
adanya insentif yang kemudian menciptakan saling ketergantungan di antara para
pihak (Kickert, Klijn dan Koppenjan, 1999: 31 ; Pratikno, 2008:5), di samping itu
juga adanya ketepatan dalam menentukan strategi koordinasi yang dipilih yang
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Berikut disampaikan
bagaimana strategi koordinasi dalam pembangunan pariwisata yang berlangsung
di Kep Bangka Belitung selama ini, seperti tertera pada tabel 4.6.
207
Tabel 4. 6. Strategi Koordinasi Pembangunan Pariwisata di Kep. Bangka Belitung
DIMENSI WAKTU STRATEGI KOORDINASI
1. Perencanaan (Gunn:2002)
a. Kesiapan Stakeholder
b. Pertimbangan
terhadap tujuan
c. Keterbukaan dalam
proses
d. Rekomendasi
Cultural dengan kooptasi, Public Relations,
& influence
Cultural sepihak
Cultural
Cultural
2. Pelaksanaan
a. Distamben
b. Disperindag
c. Dishub
Informational
Cultural
Cultural & Communicative
3. Pemantauan, Feedback, &
Pengendalian
Cultural
4. Organisasi Swasta dan
Masyarakat
Cultural & Communicative
Sumber: Hasil penelitian 2012
4.3. Karakter Jaringan Koordinasi Antar Organisasi
Kompleksitas untuk mengelola kepentingan bersama mulai muncul dan
semakin dirasakan sebagai kebutuhan secara tersistem dan terlembaga manakala
berkembangnya pendekatan melalui apa yang diistilahkan dengan governance
(Pratikno, 2008:3). Dalam kamus, istilah government dan governance seringkali
dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu
organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah adalah juga nama
yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan
dalam suatu negara. Istilah governance sendiri telah dikenal dalam literatur
administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun sejak Woodrow Wilson
memperkenalkan bidang studi tersebut 125 tahun yang lalu, tetapi selama itu
208
governance hanya digunakan dalam literatur politik dalam pengertian sempit
(Effendi, 2010:113). Barulah sejak dipergunakannya istilah governance oleh
Bank Dunia di tahun 1989, pemaknaan, penggunaan istilah governance menjadi
semakin beragam.
Menurut Pratikno (2008:3) setidaknya pemaknaan governance dapat
dilihat dalam dua orientasi. Pertama, definisi governance yang merujuk pada
reformasi administrasi dan kedua, merujuk pada dimensi governance yang
merujuk pada dimensi pembangunan konsensus dan sinergi. Untuk pembahasan
yang berkaitan dengan jaringan organisasi maka menurut Kickert, Klijn dan
Koppenjam (1999:1-7), definisi governance yang kedua adalah yang lebih relevan
untuk menjadi titik kajian.
Dalam melakukan pembangunan konsensus dan sinerji yang dilakukan
pada koordinasi antar organisasi, Alexander (1995:300) menyatakan bahwa
terdapat berbagai macam karakter jaringan antar organisasi yang mungkin terjadi.
“These vary enormously, from large, complex, and diverse networks which
host a complex IOC system of meso-and micro-IOC structures, to small
informal ones in which members intract just through interpersonal links.
Obviously, then, network differ in their relative institutionalzation. Other
network characteristics include size: how many and what scale of
organizations make up the network; complexity: the number of defferent
sectors represented by member organizations, and their specialization and
differentiation from one another; and structure: the centralization of links
between organizations, and their relative interconnectedness”.
Tidak hanya itu saja, terdapat tiga hal lainnya menurut Alexander yang perlu
diperhatikan dalam melihat karakter atau jenis jaringan koordinasi antar
organisasi yaitu, interdependence; autonomy dan ; mission. Melalui sudut
pandang yang disampaikan Alexander tersebut maka berikut akan dilihat
209
bagaimana karakter jaringan koordinasi antar organisasi yang terdapat di
Kepulauan Bangka Belitung dalam hubungan dengan pembangunan
kepariwisataan melalui unsur-unsur berikut.
4.3.1. Interdependence
Jaringan antar organisasi jika dilihat dari adanya fenomena hubungan
horizontal antar aktor dalam governance, mendasarkan pada adanya asumsi
bahwa relasi antar aktor bersifat saling bergantung antara satu sama lain seperti
yang dikemukakan oleh Kickert, Klijn dan Koppenjan (1999:31) bahwa:
“Networks develop and exist because of the interdependency between
actors. Interorganization theory stresses the fact that actor are dependent
on each other because they need each others resources to achieve their
goals.”.
Dalam bahasa lain dapat dikatakan bahwa dalam suatu jaringan, masing-masing
aktor yang terlibat mempunyai tujuan, kepentingan serta sumber daya sendiri-
sendiri.
Dalam makna yang lebih operasional merupakan suatu hal yang dapat
dimengerti apabila para aktor tidak akan memiliki kemampuan untuk mencapai
tujuan-tujuannya tanpa menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki oleh
aktor lain (Pratikno, 2008:5). Mekanisme adanya saling ketergantungan tersebut
berlangsung melalui adanya pertukaran (exchange) sumber daya antar aktor.
Selanjutnya pertukaran sumber daya tadi terjadi dengan interaksi dan mekanisme
yang akan berlangsung secara berulang-ulang dan terus menerus dalam jangka
waktu yang lama dalam kehidupan keseharian.
210
Keberulangan dan kontinuitas tersebut menurut Kickert, Klijn dan
Koppenjan (1999:31), selanjutnya secara bertahap akan menimbulkan suatu
aturan yang mengatur perilaku mereka yang terlibat di dalam jaringan. Aturan itu
akan timbul mulai dari yang paling rendah ikatannya sampai kepada yang lebih
tinggi atau lebih kuat.
Menurut Alexander (1995:301-302), terdapat empat kemungkinan karakter
jaringan jika dilihat dari aspek interdependence ini yaitu bersifat”sequensial”,
“resiprocal”, “symbiotic” atau “commensal”, dan kombinasi dari “resiprocal” dan
“symbiotic” atau “commensal”, atau “sequensial” dengan “symbiotic” atau
“commensal”.
Alexander (1995:301) melihat bahwa adanya interaksi antara organisasi-
organisasi yang direfleksikan dalam bentuk sequential interdependence atau
ketergantungan sekuensial yaitu ketergantungan antara organisasi-organisasi yang
terpisah. Bentuk ketergantungannya bisa sederhana tetapi juga bisa menjadi lebih
kompleks. Hal tersebut tergantung pada sifat dari objek transfer (sumberdaya)
yang terjadi antar organisasi. Apabila objek dari transfer yang ada bersifat relatif
standar dan banyak tersedia di pasar dengan pembeli dan penjual yang banyak,
maka ketergantungan ini akan mudah dilaksanakan. Proses koordinasi yang
relevan dalam hal seperti ini ialah penyesuaian yang bersifat spontan menyangkut
ketersediaan informasi, penawaran, permintaan dan harga. Namun jika transaksi
yang ada melibatkan sumberdaya yang spesifik, maka penyesuaian bersama
kurang memunginkan, sehingga diperlukan adanya permintaan bentuk mekanisme
211
koordinasi. Situasi ini memungkinkan berkembangnya mekanisme koordinasi dari
yang informal sampai kepada koordinasi yang bersifat formal.
Reciprocal interdependence, menghendaki adanya keterhubungan dyadic
atau multirateral berdasarkan pada adanya dua pihak atau lebih yang melakukan
transaksi dan dalam tugas yang beragam. Dengan begitu maka akan ada
kemungkinan hal seperti ini dapat menimbulkan reciprocal interdependencies
guna menangani keterhubungan yang bersifat dyadic, dan agar tercipta
manajemen yang efektif, biasanya diminta persyaratan-persyaraan akan adanya
struktur koordinasi antar organisasi yang melembaga.
Pooled interdependence, merupakan bentuk jaringan alami yang
melibatkan hubungan multilateral dan mermbutuhkan struktur koordinasi antar
organisasi. bentuknya mulai dari suasana yang relatif informal untuk pertukaran
informasi‟ negosiasi dan aksi koordinasi dengan penyesuaian bersama: kelompok-
kelompok antar organisasi seperti, gugus tugas (task force) atau lembaga-
lembaga pemerintah, sampai kepada koordinasi antar orgnisasi yang struktur
kelembagaannya sangat tinggi yang melimpahkan keputusannya kepada anggota
organisasi, seperti perusahaan holding, asosiasi perdagangan, dan gabungan usaha
bersama.
Dalam menentukan seberapa besar kelembagaan yang dibutuhkan untuk
struktur koordinasi antar organisasi di dalam jaringan organisasi, perlu diingat
kemungkinan adanya koordinasi yang efektif dengan mempergunakan interaksi
informal mulai dari pola hubungan sequensial interdependence yang memerlukan
sedikit saja kelembagaan, sampai kepada bentuk pooled interdependence yang
212
memerlukan kelembagaan paling tinggi: inilah pembelajaran dari apa yang disebut
sebagai “Koordinasi tanpa hirarki”. Ketergantungan yang lainnya yang
kemungkinan dapat terjadi merupakan kombinasi dari beberapa bentuk tadi seperti
antara bentuk “resiprocal” dengan “pooled”, atau kombinasi antara” sequential”
dengan “pooled”.
Temuan di lapangan yang terlihat dari jenis ketergantungan yang ada pada
koordinasi antar organisasi dalam pembangunan pariwisata di Bangka Belitung
adalah berbentuk sequential interdependence, dimana masih sangat kecil
ketergantungan yang terjadi antar SKPD, serta belum terjadi pelembagaan yang
berarti. Masing-masing SKPD masih merasa belum memerlukan ketergantungan
yang tinggi dengan SKPD lainnya sehingga kelembagaan jaringan yang tercipta
juga belum kuat.
Bentuk kesalingketergantungan koordinasi dalam pembangunan
kepariwisataan di Kepulauan Bangka Balitung yang masih sangat terbatas,
dimana masing-masing SKPD belum terlalu menyadari ketergantungan dengan
SKPD lainnya dalam mewujudkan hubungan yang positif untuk melakukan
pembangunan kepariwisataan yang lebih baik. Hal tersebut terlihat dari masih
tingginya ego sektoral yang terdapat di masing-masing SKPD sehingga belum
menemukan bentuk sinergi yang efektif. Kurang aktifnya peran Disbudpar selaku
stakeholder utama yang selayaknya mengkomunikasikan kepentingan
kepariwisataan di tingkat provinsi, serta tidak dijadikannya dokumen perencanaan
pariwisata (RIPPDA) dalam membuat perencanaan-perencanaan yang lebih
213
operasional merupakan hal yang membuat kesalingtergantungan yang kuat antar
SKPD belum terasakan.
Demikian pula minimnya komunikasi antar SKPD dalam kepentingan
kepariwisataan di tingkat provinsi yang terlihat dari jarangnya pembahasan
pembangunan pariwisata, atau kalaupun ada frekuensinya masih rendah dalam
pertemuan dan rapat koordinasi. Rapat koordinasi ada rapat yang dilakukan oleh
Disbudpar, tetapi hanya melibatkan SKPD kepariwisataan di kabupaten dan kota,
Bappeda provinsi dan lembaga organisasi profesi kepariwisataan di tingkat
provinsi seperti ASITA dan PHRI. Sementara itu peranan Bappeda yang
diharapkan dapat memfasilitasi koordinasi kepariwisataan di tingkat perencanaan,
pemantauan dan evaluasi tidak berjalan sebagai mana seharusnya.
Pada waktu pelaksanaan program VBA 2010 koordinasi yang terjadi antar
SKPD belum begitu kelihatan dilakukan. Koordinasi SKPD baru terlihat ketika
berlangsung kegiatan SWB 2011, dimana sejak awal dengan adanya Keputusan
Presiden tentang pelaksanaan SWB, dan SK Gubernur Kepulauan Bangka
Belitung serta diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan pada APBD. Dengan
demikian terlihat bahwa adanya kebijakan di tingkat pemerintah pusat oleh
presiden yang ditindaklanjuti dengan di tingkat daerah oleh Gubernur ternyata
memberikan dorongan yang besar bagi SKPD untuk melakukan komunikasi dan
koordinasi.
Hal tersebut membuktikan bahwa adanya koordinasi antar SKPD masih
harus didahului dan lebih didorong oleh adanya “perintah” oleh atasan dari pada
muncul dengan kesadaran sendiri untuk melakukan koordinasi. Jika dalam
214
program VBA 2010 keterlibatan pemerintah pusat sangat kecil karena hanya
merupakan program yang dicanangkan di tingkat pemerintah provinsi saja, maka
pada SWB 2011 keterlibatan peran pemerintah pusat cukup besar, karena
merupakan program nasional dimana keberhasilan atau kegagalan program ini
akan berimplikasi bagi citra dan kondite daerah di mata pemerintah pusat.
Kekhawatiran akan gagalnya program SWB 2011 di daerah di satu sisi, serta di
sisi yang lain timbulnya semangat untuk menyukseskan program agar
mendapatkan penghargaan dari pemerintah pusat sekaligus sebagai ajang
pembuktian diri bahwa provinsi Bangka Belitung mampu melakukan SWB 2011
dengan baik merupakan semacam faktor pendorong dan penarik yang memperkuat
munculnya koordinasi antar SKPD.
4.3.2. S i z e
Sebuah organisasi apalagi organisasi publik menurut Tachjan (2005:73)
memiliki ukuran yang berbeda-beda serta banyak jumlahnya yang disesuaikan
dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.
Organisasi publik karena bersifat politis seringkali memiliki stakeholders
yang lebih banyak dan kompleks dibandingkan dengan organisasi swasta
Stakeholders dalam organisasi publik juga seringkali memiliki
kepentingan yang berbenturan antara yang satu dengan yang lainnya.
Karena itu output atau keluaran organisasi publik juga tidak hanya satu
tapi bermacam-macam seperti :”Good, service, politics, program
information”
Keluaran tersebut selain dinikmati oleh masyarakat atau warga negara, juga
dinikmati oleh oleh pejabat eksekutif dan legislatif. Size, ukuran atau besaran
organisasi dikatakan Scott (1998:256) dapat dianggap sebagai dimensi dari
215
struktur organisasi seperti formalisasi atau sentralisasi. Ada juga yang
menyamakan size dengan kontekstual variabel yang mengukur permintaan untuk
produk dan jasa yang disediakan oleh organisasi yang strukturnya dapat menjadi
peluang atau justru penghambat bagi organisasi. Di bagian lain Alexander
(1995:311-312) menyatakan bahwa ukuran dari koordinasi antar organisasi dapat
dilihat dari dua hal yaitu dari jumlah organisasi yang terlibat, dan ukuran dari
organisasi-organisasi tersebut.
Jumlah organisasi sebenarnya berhubungan pula dengan complexity.
Semakin banyak organisasi yang terlibat akan semakin kompleks jaringan yang
tercipta. Hal ini terjadi karena komponen yang terdapat dalam complexity yaitu
heterogeneity dan defferentiation akan menyebabkan membesarnya jaringan.
Dalam kondisi antar organisasi seperti ini pada akhirnya menimbulkan adanya
organisasi-organisasi yang akan lebih mengembangkan spesialisasinya dan fokus
pada fungsi pengembangan.
Namun demikian, belum tentu semua jumlah organisasi yang banyak
akan menimbulkan tingkat kompleksitas yang tinggi, misalnya dalam hal
organisasi-organisasi yang tergabung bersifat sejenis seperti organisasi asosiasi
pengusaha atau perdagangan, atau asosiasi organisasi pembangunan perumahan
nasional yang jumlah anggota organisasinya cukup banyak atau seperti Kamar
Dagang Dan Industri (KADIN), tetapi mereka terspesialisasi dan fokus pada suatu
bidang tugas pekerjaan tertentu saja.
Sebenarnya agak sulit untuk melihat bagaimana ukuran dari bentuk antar
organisasi karena hal ini sangat dipengaruhi oleh struktur koordinasi antar
216
organisasi, dan karena ukuran berhubungan dengan banyak variabel lainnya yang
secara jelas membuat perbedaan.
Bagaimanapun beberapa hal terkait ukuran dalam hubungan antar
organisasi ini dapat membuat perbedaan. Ukuran antar organisasi yang kecil
terbentuk dari beberapa organisasi-organisasi yang kecil yang relatif bisa
ditangani secara informal dan koordinasi antar organisasi yang tidak terlalu
terstruktur.
Kajian tentang besaran organisasi ini juga dilakukan oleh Robbins
(1994:176) yang menyatakan bahwa besaran organisasi dapat juga dilihat dari
jumlah pegawai, yaitu dengan perkiraan rentang 1500-2000 pegawai. Jika jumlah
pegawainya kurang dari 1500 cenderung disebut kecil dan kebalikannya apabila
jumlah pegawainya kurang lebih 2000 orang maka dapat dikategorikan organisasi
besar.
Dari sisi ukuran organisasinya koordinasi antar organisasi dalam
pembangunan pariwisata Bangka Belitung dapat dikatakan termasuk dalam
kategori yang tidak terlalu besar atau sedang. Jika dilihat dari jumlah pegawai
misalnya, maka yang setidaknya yang terlibat secara langsung dalam
kepentingan kepariwisataan terdapat sekitar 14 SKPD di pemerintah provinsi
Kepulauan Bangka Belitung yaitu Disbudpar, Bappeda, Dinas pertambangan,
Dinas Perindustrian Perdagangan, Dinas Perhubungan, Dinas Koperasi dan
UMKM, Dinas PU, Dinas Tenaga Kerja, Badan Koordinasi Penanaman Modal
Daerah, Dinas Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah, Dinas Pemuda dan
Olahraga, Dinas Pertanian, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Komunikasi dan
217
Informatika. Sementara itu juga terdapat lagi 4 (empat) organisasi lainnya yang
berada di sektor swasta yaitu PHRI, ASITA, HPI, asosiasi airlines, dan beberapa
LSM yang bergerak di kepariwisataan, serta masyarakat. Apabila dijumlahkan
maka diperkirakan melibatkan pegawai berkisar sekitar 1500-2000 orang
bahkan mungkin lebih.
Dilihat dari ukuran anggota organisasi terlihat bahwa rata-rata masing-
masing SKPD memiliki ukuran yang juga tergolong sedang dengan tiga jenjang
struktur eselon yaitu eselon 2, eselon 3, dan eselon 4 yang total jumlah jabatan
strukturalnya berkisar antara 20-25 jabatan struktural di setiap SKPD.
Dalam menentukan ukuran koordinasi antar organisasi yang dilandasi oleh
dua karakter tadi yaitu jumlah organisasi dan ukuran dari anggota, serta pegawai
organisasi maka terlihat bahwa bentuk organisasi di dalam koordinasi
kepariwisataan Bangka Belitung dapat dimasukan dalam kategori yang terdiri dari
kombinasi jumlah organisasinya dan pegawai yang banyak dan ukurannya sedang
atau moderate. Dengan kombinasi seperti yang terjadi tersebut maka jika dilihat
bentuknya termasuk dalam kategori sangat besar.
Implikasinya maka ukuran organisasi koordinasi antar organisasi dalam
pembangunan pariwisata di Bangka Belitung yang tergolong besar tersebut akan
menyebabkan pula perlu adanya tingkat koordinasi yang tinggi sehingga
diperlukan upaya-upaya khusus dalam menjalin hubungan komunikasi antar
SKPD, serta organisasi swasta dan kemasyarakatan lainnya.
218
4.3.3. Structure
Keberadaan sebuah organisasi antara lain dibentuk dengan maksud untuk
mencapai suatu tujuan. Dalam kehidupan keseharian terdapat banyak tujuan yang
juga harus diikuti dengan pemilihan bentuk organisasi yang disesuaikan pula
dengan kebutuhan. Dalam teori organisasi dikenal beberapa bentuk struktur
seperti yang dikemukakan Keban (2004:125) bahwa struktur organisasi
menunjukkan pola interaksi antara anggota organisasi, yang dapat dibedakan atas
bentuk klasik atau sering disebut (1) bentuk birokratik atau mekanis;(2) bentuk
link-pin; (3) bentuk proyek; dan (4) bentuk matriks. Menurut Daft (1992:179)
struktur organisasi ditentukan oleh tiga hal penting yaitu,
1. Organization structure design formal reporting relationship,
including the number of levels in hierarchy and the span of control
of managers and supervisors
2. Organization structure indentifies the groupiong together of
individuals into departemens and grouping of departements into
the total organization.
3. Organization structure includes design of systems to ensure
effective communication, coordination and integration of effort
across departments.
Semua hal itu memiliki keterkaitan dengan aspek vertikal maupun
horizontal organisasi yang sama-sama berhubungan dengan diferensiasi dan
spesialisasi. Kedua elemen pertama merupakan kerangka kerja strukur, dan
elemen ketiga merupakan pola interaksi di antara pegawai-pegawai organisasi,
sehingga ketidaktepatan dalam cara ini akan menyebabkan timbulnya
permasalahan. Hampir semua masalah dalam organisasi diakibatkan oleh struktur
organisasi. oleh karenanya struktur organisasi haruslah didesain dengan tepat dan
terus disempurnakan sesuai dengan perubahan lingkungan (Tachjan, 1995:72).
219
Sedangkan menurut Alexander (1995:312) untuk struktur dalam jaringan
antar organisasi merupakan hasil dari kombinasi yang kompleks dari faktor-faktor
yang berinteraksi dalam proses yang dinamik dari evolusi sistem antar organisasi.
Konsekwensinya adalah ketika kita menyatakan bahwa struktur jaringan antar
organisasi akan lebih melembagakan struktur koordinasi antar organisasi,
maknanya adalah menggambarkan gabungan perubahan, dari pada
menggambarkan norma untuk desain kelembagaan. Pernyataan ini berarti
membedakan satu dimensi strukturasi dari dimensi yang lainnya. Keterpusatan
(centeredness) ini lebih kuat dari pada keterhubungan (connectedness), dimana
hal ini berkaitan langsung dengan munculnya atau lebih terlembaganya struktur
koordinasi antar organisasi.: kelompok-kelompok antar organisasi formal (seperti
lembaga pemerintahan dan komisi), unit-unit koordinasi , atau organisasi-
organisasi yang membentuk sistim koordinasi antar organisasinya dengan
struktur koordinasi antar organisasi.
Keterhubungan, melengkapi keterpusatan dalam jaringan antar organisasi.
Pengaturan antar organisasi dengan jaringan keterhubungan lebih mendorong
munculnya koordinasi informal. Keterhubungan jaringan mengembangkan
kemampuan manajerialnya sendiri dan mengurangi tingkat ketergantungannya
pada kelembagaan struktur koordinasi antar organisasi, yang terlihat dalam
beberapa kasus keberhasilan jaringan-jaringan informal.
Dengan mengamati kenyataan yang terjadi pada jaringan koordinasi antar
organisasi yang berlangsung dalam pembangunan kepariwisataan di Bangka
Belitung, maka struktur yang ada lebih mendekati pada bentuk struktur yang
220
tingkat keterpusatan dan keterhubungannya masih lemah yang berarti masih
dalam tingkatan sentralisasi sangat rendah atau tidak /belum terstruktur.
Kondisi struktur seperti ini dapat dilihat dari masih lemahnya
keterhubungan koordinasi antar organisasi, baik oleh karena masih kuatnya ego
sektor yang dimiliki oleh masing-masing SKPD, maupun belum munculnya upaya
koordinasi yang semestinya dilakukan oleh Disbudpar dan Bappeda mulai dari
proses perencanaan, pemantauan dan evaluasi berbagai kegiatan yang
berhubungan dengan pembangunan kepariwisataan.
4.3.4. Complexity
Di dalam sebuah organisasi yang dimaksudkan dengan complexity adalah
kerumitan dalam organisasi karena timbulnya satuan-satuan kerja yang
disebabkan adanya diferensiasi pekerjaan, baik horizontal, vertikal, maupun
spasial (Tachjan:2005:78). Diferensiasi tercipta karena semula dimaksudkan
sebagai upaya untuk mempermudah dan mewujudkan efisiensi dan efektivitas
dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi. sebagai akibatnya diferensiasi
menimbulakan perbedaan satuan-satuan kerja yang menyebabkan diperlukannya
koordinasi, komunikasi dan pengawasan agar semua kegiatan yang dilakukan
tetap mengarah kepada satu tujuan (Jones:1995:50).yang sama.
“Differentiation is the process by which an organization allocates people
and resources to organizational task and establish the tasks and autority
relationship that allow the organization to achieve its goals”
Diferensiasi merupakan suatu proses, dimana organisasi mengalokasikan
orang-orang dan sumber daya pada pekerjaan dan menetapkan tugas pekerjaan
221
serta hubungan otoritas agar organisasi dapat mencapai tujuan. Menurut Tachjan
(1995:78-83) diferensiasi dapat dibagi ke dalam tiga jenis yaitu: diferensiasi
horizontal, vertikal, dan spasial. Diferensiasi horizontal berhubungan dengan
pembagian kerja ke samping yang dikelompokan dalam unti-unit berdasarkan atas
orientasi para anggotanya., sifat dan tugas yang mereka laksanakan, tingkat
pendidikan serta pelatihannya. Diferensiasi horizontal ini akan menimbulkan
spesialisasi kerja yang bersifat fungsional maupun sosial. Spesialisasi yang
fungsional, pekerjaan dipecah-pecah menjadi tugas yang sederhana dan berulang,
sehingga pegawai memiliki kemampuan substansi. Sedangkan spesialisasi sosial
adalah para individunya yang dispesialisasi, bukan pekerjaanya.
Diferensiasi vertikal, mengarah kepada pembagian kerja atau spesialisasi
kerja secara hirarkis yang berhubungan dengan pembentukan dan pembagian
otoritas formal sebagai dasar untuk bertindak (diskresi) dalam pengkoordinasian,
komunikasi, dan pengawasan terhadap dan di antara unit-unit kerja dalam
organisasi.
Diferensiasi spasial, merupakan hal yang berhubungan dengan perluasan
organisasi secara geografis. organisasi dapat melakukan aktivitas yang sama
dengan tingkat diferensiasi horizontal dan vertikal di berbagai lokasi, namun
keberadaan berbagai lokasi tersebut akan meningkatkan pula kompleksitas yang
merujuk pada jarak lokasi, fasilitas dan penyebaran para pegawai secara geografis.
Dalam hubungannya dengan karakter jaringan antar organisasi, menurut
Alexander (1995:313-315) complexity merupakan hal penting yang
mempengaruhi ketepatan atau kecocokan struktur koordinasi antar organisasi,
222
namun hal ini juga berhubungan dengan karakter-karakter dari jaringan antar
organisasi dalam berbagai bentuknya. Menurutnya ada dua dimensi dari
complexiy, yaitu heterogenitas dan diferensiasi. Jika diferensiasi dalam suatu
organisasi telah dijelaskan dimuka, maka heterogenitas disini dimaksudkan
sebagai lawan dari homogenitas yang ada dalam organisasi-organisasi yang
tergabung dalam jaringan. Misalnya organisasi yang tergabung dalam suatu
jaringan merupakan orgaisasi-organisasi yang sama bidang pekerjaannya.
Dilihat dari sisi deferensiasi maka koordinasi antar organisasi dalam
pembangunan pariwisata di Bangka Belitung dapat digolongkan ke dalam bentuk
kategori sedang, karena dari diferensiasi horizontal terdapat pembagian
pengelompokan bidang kerja yang cukup luas dalam hal ini yang terkait langsung
adalah 14 SKPD, 4 organisasi swasta, dan LSM. Untuk diferensiasi vertikal masih
dapat dikategorikan dalam ukuran yang tidak terlalu tinggi karena hanya melibat
tiga jenjang eselon, dan dua tingkat pemerintahan yaitu pemerintah daerah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota bagi SKPD yang memiliki Unit
Pelayanan Teknis Daerah (UPTD). Dari sisi diferensiasi spasial maka sebaran
kegiatan yang menjadi urusan koordinasi pembangunan pariwisata tersebar di
tujuh kabupaten/kota muai dari wilayah daratan sampai laut yang terdiri dari
permukaan laut sampai ke dalam atau dasar lautnya.
Heterogenitas organisasi yang terkait dengan koordinasi pembangunan
pariwisata Bangka Belitung cukup tinggi jika dilihat dari banyaknya keterlibatan
organisasi pemerintahan (14 SKPD) yang mewakili kepentingan sektornya
masing-masing di bidang pemerintahan, organisasi profesi (4 organisasi) di bidang
223
swasta, dan LSM yang menangani aspek kemasyarakatan. Dengan demikian di
dalam complexity maka dapat dikategorikan berbentuk kompleksitas sedang.
4.3.5. Autonomy
Otonomi jaringan dipengaruhi oleh dua karakter yaitu keterbukaan
jaringan dengan lingkungannya, serta ketergantungan koordinasi antar organisasi
dengan lingkungannya yang disertai sumber daya yang terbatas. Jika dilihat dari
konteks otonomi jaringan maka peran lingkungan organisasi menjadi faktor
penting, karenanya perlu dicermati apakah yang dimaksud dengan lingkungan
organisasi tersebut.
Secara sederhana lingkungan dapat didifenisikan sebagai seluruh elemen
yang terdapat di luar batas-batas organisasi, yang mempunyai potensi untuk
mempengaruhi sebagian atau keseluruhan organisasi (Supriyatna dkk, 2011:2.5).
Lingkungan dapat dikelompokan menjadi lingkungan eksternal yang dapat dibagi
menjadi elemen aksi langsung (direct action element) dan elemen aksi tidak
langsung (indirect action element) dan lingkungan internal. Element aksi
langsung sering juga disebut dengan pihak-pihak yang berkepentingan atau
stakeholder, sedangkan yang termasuk elemen aksi tidak langsung diantaranya
adalah teknologi, ekonomi, politik, dan sebagainya.
Lingkungan menjadi penting dalam hubungannya dengan organisasi
karena dua hal (Bryant dan White, 1989:65). Pertama, lingkungan dapat
menyediakan sumber-sumber daya, dan kedua, lingkungan menawarkan batas
atau kendala. Dari sudut pandang ini maka semua tindakan organisasi sebenarnya
merupakan cara untuk menangani kesempatan atau ancaman yang datang dari
224
lingkungan. Koordinasi dengan demikian bukan hanya semata-mata sebagai upaya
untuk melakukan perpaduan spesialisasi, tetapi yang utama koordinasi adalah cara
menanggulangi permintaan dan tuntutan yang datang dari luar.
Keterbukaan jaringan berhubungan dengan jumlah dan intensitas interaksi
dari anggota organisasi yang menghubungkan hal ini dengan jaringan
kelembagaan. Sehingga semakin terstruktur jaringan akan lebih meningkatkan
otonomi. Alasannya adalah hubungan yang tinggi yang diasosiasikan dengan
struktur berarti jaringan akan lebih banyak berinteraksi secara intensif dengan
lingkungannya untuk mencapai keterbukaan.
Kondisi otonomi dalam koordinasi antar organisasi yang ada dalam
pembangunan pariwisata Bangka Belitung memperlihatkan bahwa baik dari sisi
dependency maupun openess masih tergolong rendah atau kecil yang tergambar
dari kondisi koordinasi yang tingkat ketergantungannya masih sangat tinggi pada
atasan atau pemerintahan pusat serta keterbukaan yang rendah karena masih
dominannya fragmentasi yang terjadi antar SKPD yang terkait.
Rendahnya keterbukaan ini juga antara lain yang menyebabkan kurangnya
komunikasi antar SKPD yang dapat dikatakan sebagai memiliki otonomi rendah.
4.3.6. Misson
Misi merupakan tujuan apa yang ingin dicapai dan akan dilakukan oleh
suatu organisasi di masa depan. Bryson (1995:28) menyatakan bahwa misi
selayaknya disandingkan dengan istilah mandat, yang merupakan alasan
keberadaan suatu organisasi. “An organization’s mission, in tandem with its
mandates, provides its raion d’etre, the social justification for its existence”.
225
Sementara itu dalam bahasa Tribe (1997:8) menyatakan bahwa misi organisasi
dapat menyangkut hal-hal berikut:
“- What organization is trying to achieve
- What its purpose or aim is
- What it is trying to head in the mediun long term”.
Misi merupakan apa yang akan dicapai oleh sebuah organisasi, apa yang
menjadi tujuan organisasi, dan apa yang menjadi pegangan bagi organisasi baik
dalam jangka menengah maupun jangka panjang. Sebagai tujuan dari sebuah
organisasi maka keberadaan misi dapat pula dinyatakan bahwa, misi yang dimiliki
oleh sebuah organisasi akan mempengaruhi para stakeholder yang terkait dalam
organisasi tersebut. Schein (2004:90) menyatakan bahwa misi organisasi akan
membuat isu yang multi komplek manakala fungsi utama dari organisasi harus
dipertahankan. Menururt Bryson, bagi organisasi yang bersifat non profit seperti
organisasi publik maka misi orgnisasi tersebut akan membuatnya mencari
kebutuhan sosial dan politik yang akan dipenuhi.
Bryson (1995;28) menyatakan bahwa mengindentifikasi misi bukan hanya
sekedar melihat keberadaan suatu organisasi saja, akan tetapi juga akan berguna
untuk mengurangi konflik dalam organisasi serta menjadi ruang diskusi dan
aktifitas produksi. Misi yang baik akan mampu menjadi inspirasi bagi seluruh
stakeholder kunci, utamanya pekerja. Misi organisasi dalam jaringan antar
organisasi adalah fungsi atau tujuan yang organisasi-organisasi melakukan
kegiatan dan berinteraksi bersama untuk mencapai keinginan bersama. Misi disini
dibedakan dengan struktur tugas koordinasi antar organisasi yang biasanya
226
memiliki beberapa dimensi. Skala atau tingkatan misi jaringan dapat diasosiasikan
dengan karakteristik lainnya seperti size dan complexity.
Ada dua faktor yang dapat menggambarkan skala misi. pertama adalah
scope: yaitu intensitas dan jangka waktu dari interaksi antara organisasi dengan
permintaannya dan bagaimana makna hubungan transaksi yang berlangsung antar
organisasi. Kedua, adalah complexity dari misi, yaitu bagaimana ketidakpastian
dan perbedaan yang ada dalam anggota organisasi membantu misi jaringan yang
ada dan pada tingkatan spesialisasi dan diferensiasi yang bagaimana hal itu
terjadi.
Dengan berpegang pada penjelasan tersebut maka akan dicermati kembali
Visi dan misi yang terdapat dalam RIPPDA Kepulauan Bangka Belitung adalah :
Visi: " Terwujudnya kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2013 sebagai Daerah
Tujuan Wisata (DTW) utama di Kawasan Barat Indonesia yang berdaya saing
tinggi dengan menampilkan perpaduan keragaman kebudayaan daerah serta
kekuatan potensi wisata bahari melalui pemanfaatan secara terkendali,
berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan."
Misi:
1. Penciptaan citra pariwisata Kepulauan Bangka Belitung yang
berbasiskan potensi wisata bahari dan kekhasan budaya pesisir sebagai
identitas provinsi.
2. Peningkatan daya saing pariwisata Kepulauan Bangka Belitung melalui
pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi yang memiliki
keunggulan produk wisata dan keterpaduan dalam pengelolaan.
2. Penerapan perencanaan dan pengelolaan produk wisata yang
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
3. Peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial, budaya, dan ekonomi
masyarakat Kepulauan Bangka Belitung melalui pengembangan
pariwisata.
227
4. Peningkatan apresiasi masyarakat terhadap pariwisata Kepulauan
Bangka Belitung yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Dilihat dari skala misi maka jangka waktu yang dijadikan batasan dalam
pencapaian visi pada Rencana Induk sebenarnya tidak terlalu jauh bahkan sangat
dekat jika dilihat yaitu pada tahun 2013 saja. Untuk skala misi pariwisata di dalam
RPJMD yang merupakan semacam janji dari kepala daerah terpilih juga hanya
dalam kurun waktu lima tahun yaitu 2007-2012. Dilihat dari sudut complexity
masih tergolong cukup kompleks karena sektor yang mendukung pengembangan
kepariwisataan rata-rata memiliki tingkat diferensiasi dan spesialisasi perbedaan.
Keterkaitan beberapa SKPD seperti Bappeda, Dinas Perhubungan, Dinas
Pertambangan dan Energi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (sebenarnya
masih banyak lagi SKPD, atau dapat juga dikatakan bahwa hampir semua SKPD
memiliki keterkaitan baik langsung maupun tidak langsung, hanya saja penelitian
ini membatasinya agar dapat lebih fokus dan terarah-pen), serta keterlibatan yang
kuat dari kalangan swasta dan masyarakat dalam hal ini LSM pada upaya
pembangunan pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung terlihat cukup beragam.
Dengan kondisi seperti demikian maka untuk misi dapat dikategorikan berada
pada jaringan yang dari sisi “task scope” rendah, dan pada complexity termasuk
sedang, atau berada pada yang termasuk rendah tingkat pekerjaan yang harus
dilakukan
Jenis jaringan yang telah diteliti untuk koordinasi antar organisasi pada
pembangunan pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung maka dapat dilihat bahwa
dari keenam aspek jaringan mulai dari interdependence, size, structure,
228
complexity, autonomy, dan mission terlihat bahwa sebenarnya hanya pada aspek
mission saja yang memberikan sumbangan yang mendorong kemudahan
bekerjanya koordinasi antar organisasi di antara sesama SKPD pemerintah
provinsi. Kelima aspek jaringan lainnya justru terjadi hal yang mengarah pada
hambatan bagi terjadinya proses koordinasi antar organisasi. Dengan kata lain
dapat dinyatakan bahwa karakter koordinasi antar organisasi dalam pembangunan
pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung belum siap mendukung
berlangsungnya koordinasi secara efektif, terutama pada koordinasi antar SKPD
di jajaran pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kondisi ini seperti
yang disampaikan oleh Pratikno (ed) (2007:29) yang menyatakan bahwa:
“jika hubungan antar lembaga daerah tidak terjalin dengan baik maka,
akan terjadi berbagai permasalahan: misscommunication, missperception,
missmacth, dan menginterpretasikan tugas dan fungsi masing-masing
lembaga pemerintah daerah. Akibatnya akan muncul berbagai kesenjangan
antara tujuan yang telah ditetapkan organisasi dengan sasaran yang
dihasilkan, disamping akan muncul pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
yang tumpang tindih (overlapping), sehingga membingungkan masyarakat
daerah”.
Karakter jaringan koordinasi antar organisasi yang ada dalam
pembangunan pariwisata Bangka Belitung jika dilihat dengan pendekatan di atas
maka dapat digambarkan sebagai mendekati bentuk yang memiliki:
Interdependence atau Ketergantungan sekuensial ; Size yang berbentuk besar
mendekati sangat besar,; Struktur yang ada bersifat tidak terstruktur; Complexity
berbentuk sedang; Otonomi yang berlangsung sedang; dan Mission yang rendah.
Mengikuti alur yang disarankan oleh Alexander untuk gambaran karakter
jaringan seperti yang ada di Kepulauan Bangka Belitung, maka selayaknya
229
strategi koordinasi yang dilakukan dalam konteks dimensi waktu adalah dengan
apa yang dinyatakan Alexander sebagai anticipatory coordination, yang di satu
sisi menggunakan pengorbanan yang lebih sedikit dibandingkan koordinasi yang
lain, dan di sisi selanjutnya, penggunaan koordinasi dengan anticipatory ini
mengharuskan pihak-pihak sejak awal sudah mulai terlibat atau dilibatkan mulai
dari pembuatan perencanaan, pelaksanaan, umpan balik dan pengendalian.
Apabila selama ini pendekatan strategi koordinasi dalam perencanaan
yang dilakukan lebih banyak secara kultural dengan kooptasi, Public Relations, &
influence, yang terlihat dari upaya-upaya sebatas persuasi dengan mengandalkan
media massa dan media luar ruang yang juga tidak dijalankan secara efektif
karena adanya alasan keterbatasan anggaran dan SDM yang belum memadai,
maka ke depan akan lebih baik jika strategi yang dijalankan adalah strategi
communicative. Dengan penerapan strategi ini maka yang dikedepankan adalah
adanya pertukaran informasi, pelaksanaan negosisai, serta penciptaan dan
pengembangan networking. Untuk itu dibutuhkan pengembangan kualitas SDM
dan ketrampilan dalam pelaksanaannya. Pertukaran informasi memerlukan
pemahaman akan sumberdaya apa yang dimiliki serta tidak dimiliki yang
dibandingkan dengan sumber daya yang ada pada pihak-pihak lainnya. Demikian
pula dengan negosiasi dimana diperlukan ketrampilan komunikasi yang memadai
guna meyakinkan pihak-pihak yang diajak berunding bahwa apa yang ditawarkan
baik itu pertukaran sumber daya atau kerjasama akan memberikan manfaat lebih
bagi para pihak.
Pada pelaksanaan kegiatan yang selama ini dilakukan dengan berbagai
230
strategi seperti strategi informational dengan sektor pertambangan, cultural dan
communicative dengan pihak Disperindag dan perhubungan, maka masih dapat
disempurnakan dengan mengembangkan strategi control di sektor pertambangan
misalnya. Hal ini sangat diperlukan melihat kecepatan berkembangnya kawasan
pertambangan utamanya yang bersifat ilegal yang merambah sampai ke tempat-
tempat yang sebenarnya dilarang untuk digarap, termasuk di kawasan lindung dan
kawasan pariwisata. Dengan penekanan pada strategi Control diharapkan pola
hubungan yang tercipta akan lebih menekankan aspek reward dan punishment
yang jelas, utamanya kepada para pengawas dan pengendali mulai dari level
perencana kebijakan sampai kepada pelaksana di lapangan.
Demikian pula halnya dengan strategi yang dikembangkan kepada
Disperindag, akan lebih tepat apabila dilakukan pendekatan fungsional yang
mengembalikan lagi fungsi Dinas Perindag sebagai pembina dan pembuat
kebijakan di bidang perindustrian perdagangan dalam konteks memajukan industri
yang berkaitan dengan kepariwisataan. Jika selama ini banyak hal yang terkesan
saling menunggu antara Disbudpar dan Dinas Perindustrian, maka ke depan
masing-masing pihak harus melakukan koordinasi fungsional dengan fungsi
utama merekatkan kepentingan yang langsung berhubungan antara permintaan di
sektor pariwisata dengan produk perindustrian dan perdagangan yang ada. Pihak
pariwisata dapat menyampaikan bagaimana selera dan kebutuhan pasar dan ikut
mempromosikan, sedangkan perindag melakukan standarisasi ketrampilan dan
produk guna memenuhi kebutuhan dimaksud.
Sektor perhubungan lebih memerlukan strategi kooperatif, dimana upaya
231
strategi koordinasi dapat dimulai dari menyampaikan informasi akan kebutuhan-
kebutuhan termasuk rencana pengembangan destinasi, serta berbagai even yang
dapat dikerjasamakan penggarapan fasilitas transportasinya. Khusus untuk
angkutan umum darat pola subsidi perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan
dalam upaya memancing pihak swasta untuk berinvestasi di awal kegiatan, dan
perlahan-lahan dilepas jika pasar (pariwisata) yang tercipta sudah memadai.
Dalam hal perbaikan pelayanan perhubungan udara, adanya kesan bahwa
dominasi sebuah maskapai penerbangan pada rute Jakarta-Babel, selayaknya
disikapi dengan mengundang maskapai-maskapai lain, serta mengundang pihak
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), guna membuktikan kebenaran dari
dugaan yang banyak beredar di berbagai kalangan pelaku pariwisata. Karenanya
pihak Disbudpar dan Dinas Perhubungan hendaknya lebih berperan aktif
mencarikan solusi penurunan harga tiket untuk meningkakan posisi tawar paket-
paket pariwisata ke Babel.
Pada tahap pemantauan, umpan balik dan pengendalian yang selama ini
terkesan sangat lemah, maka jika pendekatan kultural diubah menjadi pendekatan
control, kemungkinan perbaikan akan tercipta lebih luas. Namun diperlukan
keterlibatan dan komitmen pihak-pihak berwenang utamanya para atasan dalam
mengeksekusi pendekatan ini. Karena otoritas pemberian sanksi dan penghargaan
sangat perlu ditekankan terutama di tahap awal ketika strategi control ini akan
diterapkan guna melakukan semacam schock therapy dalam menarik keseriusan
pihak-pihak yang dipantau dan dikendalikan.
Strategi yang dilakukan dengan kalangan swasta dan masyarakat perlu
232
terus dijaga bahkan dikembangkan dengan lebih baik, misalnya dengan
menciptakan semacam forum bagi swasta dan masyarakat untuk bersinergi dalam
memajukan pariwisata, sehingga pengembangan pariwisata tidak semata-mata
dianggap sebagai tugas pemerintah saja akan tetapi juga merupakan kerja bersama
antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
Dengan demikian jika melihat pembahasan yang telah dilakukan maka
pada koordinasi berdasarkan dimensi waktu dalam pembangunan pariwisata di
Babel, strategi yang dilakukan pada masing-masing tahapan kegiatan dapat lebih
disempurnakan dengan menerapkan pula strategi berikut:
Tabel 4. 7. Karakter Jaringan dan Strategi Koordinasi Pembangunan Pariwisata di
Kep. Bangka Belitung (Dimensi Waktu)
Sumber : Hasil penelitian 2012
Karakter
Jaringan
Strategi Koordinasi
Dimensi Waktu
Strategi Koordinasi
Faktual
Strategi
Koordinasi
Rekomendasi
Interdependence:
Sekuensial
Size: Besar
Structure: Tidak
terstruktur
Complexity:
Sedang
Autonomy:
Sedang
Mission: Rendah
1. Perencanaan:
a.Kesiapan stakeholder
b.Pertimbangan thd
tujuan
c.Keterbukaan dalam
proses
d.Rekomendasi
Cultural dengan kooptasi,
Public Relations, &
influence
Cultural sepihak
Cultural
Cultural
Communicative
Communicative
Communicative
Communicative
2. Pelaksanaan:
a.Distamben
b.Disperindag
c.Dishub
Cooperative
Cultural
Cultural&Communicativ
e
Control
Fungsional
Cooperative
3.Pemantauan, Umpan
balik, & pengendalian
Cultural Control
4.Organisasi swasta dan
masyarakat
Cultural & commu-
nicative
Cultural & com-
municative
233
4.4. Strategi Manajemen Jaringan
Kickert, Klijn dan Koppenjan (1999 dalam Pratikno, 2008) menawarkan
sebuah pendekatan yaitu dengan memanfaatkan pendekatan strategi manajemen
jaringan guna memadukan karekter jaringan yang ada dengan strategi. Gambaran
karakter jaringan koordinasi antar organisasi dalam pembangunan pariwisata yang
ada memperlihatkan bahwa dalam merangkum sinergi yang terlembaga dan
berkelanjutan dibutuhkan tindakan-tindakan penting.
Pertama, pengembangan strategi-strategi, baik dalam Game Management
maupun Network structuring bukanlah sebagai sesuatu yang terpisah, melainkan
harus dirancang untuk membangun hubungan dualitas. Ketika hubungan atau
kohesivitas antar pelaku jaringan pada umumnya belum terlalu kuat, seperti yang
terlihat pada kondisi yang ada di Bangka Belitung, sedangkan hambatan yang
berbentuk kelembagaan sangat besar dalam membangun jaringan, maka yang
seharusnya dikembangkan adalah strategi yang diarahkan sekaligus pada dua
tahapan. Pada tahapan pertama yang harus diperhatikan ialah memperkuat
kohesivitas jaringan dan sekaligus juga di tahapan kedua dengan melakukan
upaya memperlemah hambatan kelembagaan yang ada.
Melalui cara ini maka, akan mampu dipetakan pada tahapan mana strategi
itu dikembangkan. Dengan mengetahui sisi-sisi mana yang kuat dan yang lemah,
dengan membandingkan antara daya hambat struktur dan kapasitas pelaku
jaringan, maka sarana-sarana manajemen jaringan bisa diformulasikan pada
wilayah yang tepat.
234
Karakter yang menghambat pada struktur jaringan dalam pembangunan
pariwisata di Babel yang diwakili oleh unsur-unsur Size, Complexity, dan
Structure. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh masing-masing yang
memperlihatkan, Size: berbentuk besar, Complexity: yang tidak terlalu rumit atau
sedang, dan Structure: tidak terstruktur. Dengan kata lain bahwa keberadaan
struktur jaringan yang ada belum dapat menjadi faktor pendorong bagi kuatnya
koordinasi yang tercipta atau masih menjadi penghambat lembaga. Hal dimaksud
nampak dari: pertama, keberadaan Size yang berbentuk besar bahkan cenderung
sangat besar, yang akan memberikan beban berat pada tugas-tugas koordinasi,
utamanya dalam koordinasi horizontal seperti pada kasus pembangunan
pariwisata. Kedua, dari sisi complexity yang sedang serta yang tidak diimbangi
dengan adanya kondisi structure yang bersifat tidak terstruktur akan lebih
menambah sulit dilakukannya koordinasi antar organisasi. Dengan kata lain dapat
juga dikatakan bahwa koordinasi yang berlangsung belum melembaga dan tidak
mempunyai pola yang jelas, baku dan teratur. Untuk itu diperlukan strategi yang
mampu mendorong terjadinya pola koordinasi yang strukturnya semakin
melembaga.
Pada pola hubungan kohesivitas antar aktor yang ada dalam jaringan
yang antara lain dapat dilihat pada unsur interdependence, Autonomy, dan
Mission. Dari hasil penelitian terlihat bahwa untuk Interdependence: berbentuk
sekuensial, Autonomy: berbentuk sedang, dan Mission:tergolong pada bentuk yang
rendah. Kondisi ini memperlihatkan masih belum padunya hubungan antar aktor
235
yang ada sehingga perlu dilakukan peningkatan kualitas hubungan yang
berlangsung antar pelaku dalam jaringan koordinasi yang ada.
Melalui adopsi terhadap strategi manajemen jaringan dalam kerangka
strukturasi seperti yang dikemukakan oleh Klijn dan Teisman (1999:106 dalam
Pratikno, 2008:14) maka pendekatan strategi yang disarankan untuk memperkuat
koordinasi dalam pembangunan pariwisata di Bangka Belitung adalah dengan
menggabungkan strategi Game Management dengan strategi Network Structuring
berupa:
GM: Covenanting: Mengeksplorasi persamaan dan perbedaan persepsi
antar aktor, dan menjajagi untuk menselaraskan tujuan bersama.
NS: Network (de) activation : Melibatkan aktor-aktor baru atau mengubah
posisi dari aktor yang ada; memobilisasi koalisi-koalisi baru. Sekaligus dilakukan
juga strategi Reconstitutionalism: yaitu Mengubah kebijakan, aturan dan
sumberdaya dalam jaringan secara fundamental.
Melalui tiga jenis strategi yang terdiri dari satu strategi GM dan dua
strategi NS tersebut di atas maka di level relasi atau hubungan antar aktor yang
menuju keselarasan tujuan akan menggerakan organisasi dimana dia berada dan
pada gilirannya akan terjadi perubahan menuju kohesivitas yang semakin baik.
Sedangkan melalui dua strategi NS dengan masuknya aktor baru yang mendorong
koalisi baru, serta perubahan aturan dan sumberdaya secara fundamental dalam
memfasilitasi struktur yang diharapkan akan semakin cepat mengurangi hambatan
kelembagaan yang ada.