bab iv pancasila sebagai religiositas indonesia iv.1 ... · politiknya.1 karena begitu posisi dan...

55
99 BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1. Konteks Kelahiran Pancasila Pancasila dan Indonesia adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Kelahiran negara- bangsa Indonesia bersamaan dengan kelahiran karakter dan cita-cita Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pancasila. Bertolak dari pengalaman sejarah bersamanya, kondisi dan situasi riilnya pada masa pra Indonesia, khususnya pada era kolonial, rakyat Indonesia hendak membangun sebuah negara bangsa merdeka dengan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi politiknya. 1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia, terutama pada era kolonial, sebagai konteks kelahiran Pancasila, sangat menentukan esensi Pancasila sebagai falsafah dan karakter Indonesia. 2 Nusantara yang dijajah lama oleh bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan bangsa Jepang sehingga sangat lama juga ada dalam masa kesengsaraan, berbentuk gugusan pulau yang terpisah namun saling terhubung oleh lautan. Letak geo-sosialnya yang terbuka ini, membuat Nusantara sejak dulu kala menjadi sebuah wilayah kebudayaan yang selalu terbuka. Ke dalam wilayah Nusantara yang demikian inilah, agama-agama dunia datang. Agama Hindu dan Budha datang dari negeri India, agama konghucu datang dari negeri China, agama Islam datang dari tanah Arab, agama Kristen dan Katolik datang dari Eropa setelah migrasi dari Timur Tengah. Walaupun semua agama dunia ini, semula sebagai agama asing yang tidak dikenal oleh penduduk Nusantara, namun di Nusantara mereka semua mendapat tempat, mempribumi, mengkontekstualisasi bahkan nyaris menganti agama lokal Nusantara. Pada masa pra Indonesia, nasionalisme Nusantara baru berupa komunalisme saja, karena hanya berbasis pada kesamaan bahasa yang sama yakni bahasa Melayu, berbasis pada agama trans regional yang sama yang dianut oleh kebanyakan komunitas Nusantara, dan berbasis pada kemudahan-kemudahan dalam mobilisasi penduduk. 3 Pada masa itu, di wilayah 1 John Titaley, Pertimbangan-pertimbangan Pendirian Program Pasca-sarjana Bidang Studi Agama dan Masyarakat (PpsAM) (Salatiga: UKSW,1991), 2. Lihat juga John A. Titaley,Pokok-Pokok Pikiran Tentang Arah Pembinaan Dan Pengembangan Pendidikan Agama Di Indonesia(Salatiga:Fakultas Teologi UKSW,1999),26-27. 2 Ibid. 3 Audrey Kahin (ed.), Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity from Diversity, (Honolulu: Hawaii University Press, 1983), 1-2. Bandingkan juga: George McTurnan Kahin, Nasionalisme Dan Revolusi di Indonesia, Terjemahan Ismail bin Muhammad dan Zaharom bin Abdul Rashid, Edisi bahasa

Upload: others

Post on 30-Oct-2020

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

99

BAB IV

PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA

IV.1. Konteks Kelahiran Pancasila

Pancasila dan Indonesia adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Kelahiran negara-

bangsa Indonesia bersamaan dengan kelahiran karakter dan cita-cita Indonesia sebagaimana

tertuang dalam Pancasila. Bertolak dari pengalaman sejarah bersamanya, kondisi dan situasi

riilnya pada masa pra Indonesia, khususnya pada era kolonial, rakyat Indonesia hendak

membangun sebuah negara bangsa merdeka dengan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi

politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi

Nusantara pada masa pra Indonesia, terutama pada era kolonial, sebagai konteks kelahiran

Pancasila, sangat menentukan esensi Pancasila sebagai falsafah dan karakter Indonesia.2

Nusantara yang dijajah lama oleh bangsa Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan

bangsa Jepang sehingga sangat lama juga ada dalam masa kesengsaraan, berbentuk gugusan

pulau yang terpisah namun saling terhubung oleh lautan. Letak geo-sosialnya yang terbuka

ini, membuat Nusantara sejak dulu kala menjadi sebuah wilayah kebudayaan yang selalu

terbuka. Ke dalam wilayah Nusantara yang demikian inilah, agama-agama dunia datang.

Agama Hindu dan Budha datang dari negeri India, agama konghucu datang dari negeri

China, agama Islam datang dari tanah Arab, agama Kristen dan Katolik datang dari Eropa

setelah migrasi dari Timur Tengah. Walaupun semua agama dunia ini, semula sebagai agama

asing yang tidak dikenal oleh penduduk Nusantara, namun di Nusantara mereka semua

mendapat tempat, mempribumi, mengkontekstualisasi bahkan nyaris menganti agama lokal

Nusantara.

Pada masa pra Indonesia, nasionalisme Nusantara baru berupa komunalisme saja,

karena hanya berbasis pada kesamaan bahasa yang sama yakni bahasa Melayu, berbasis pada

agama trans regional yang sama yang dianut oleh kebanyakan komunitas Nusantara, dan

berbasis pada kemudahan-kemudahan dalam mobilisasi penduduk.3 Pada masa itu, di wilayah

1John Titaley, Pertimbangan-pertimbangan Pendirian Program Pasca-sarjana Bidang Studi Agama

dan Masyarakat (PpsAM) (Salatiga: UKSW,1991), 2. Lihat juga John A. Titaley,Pokok-Pokok Pikiran Tentang

Arah Pembinaan Dan Pengembangan Pendidikan Agama Di Indonesia(Salatiga:Fakultas Teologi

UKSW,1999),26-27. 2Ibid.

3Audrey Kahin (ed.), Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity from Diversity,

(Honolulu: Hawaii University Press, 1983), 1-2. Bandingkan juga: George McTurnan Kahin, Nasionalisme Dan

Revolusi di Indonesia, Terjemahan Ismail bin Muhammad dan Zaharom bin Abdul Rashid, Edisi bahasa

Page 2: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

100

Nusantara, atau di wilayah Hindia Belanda, ada negara pribumi yang otonom dan masing-

masing negara otonom itu memiliki sistem pemerintahan. Sistem pemerintahannya ialah

imperialisme kuno dalam bentuk kerajaan-kerajaan.Tetapi sesudah Belanda menanamkan

imperialisme modernnya secara intensif sejak abad ke lima belas, terutama ketika Belanda

dalam tahun 1830 sampai dengan 1870 menerapkan “Cultuurstelsel” ciptaan Van den Bosch,

dimana penduduk harus menyerahkan hasil bumi kepada pemerintah kolonial sebesar pajak

tanah, semua negara itu kehilangan kemerdekaannya secara politik dan juga secara ekonomi.

Pelaksanaan cultuurstelsel mengakibatkan penduduk Nusantara terutama di Jawa menjadi

miskin dan kehilangan harkat dan martabat diri.4

Dahulu rakyat Nusantara pada masa Nusantara terdiri dari dari Negara-negara otonom,

terkenal sebagai pelaut yang gagah pemberani sehingga sanggup mengarungi lautan guna

meluaskan perdagangannya. Namun pada masa Belanda menjalankan kebijakan liberal

kolonial, rakyat Nusantara menjadi penakut, tertekan secara politik dan ekonomi. Sistem

kolonialisme dari kapitalisme Barat yang diterapakan Belanda dalam mendominasi Nusantara

sangat mencabut manusia Nusantara dari akar-akarnya sebagai manusia yang memiliki harkat

dan martabat diri sebagai penduduk pribumi Nusantara. Sembilan puluh lima persen

penduduk Nusantara pada masa penjajahan Belanda hidup dalam kesengsaraan. Mereka yang

keadaannya demikian ini, yang oleh Soekarno seorang intelektual kritis kelahiran 8 Juni l901,

dijuluki “rakyat kecil Indonesia” adalah para petani, nelayan, buruh, tukang gerobak, dan

intelektual.5

Pengalaman rakyat kecil Nusantara, yang menderita secara politis dan ekonomi atas

kolonialisme Belanda, melahirkan adanya sikap radikal untuk menghancurkan imperialisme

dan kapitalisme Belanda guna untuk meraih kemerdekaan. Pergerakan kemerdekaan ini yang

berlangsung hampir seratus tahun sepanjang abad ke sembilan belas, dilakukan oleh rakyat

Nusantara, namun tidak serentak padu melainkan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan

Malaysia,cetakan pertama(Kuala Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia,1980),49-

65. Dalam buku ini George McTurnan Kahin menjelaskan tentang lima faktor penting yang menjadi pemicu

pertumbuhan nasionalisme di Indonesia. Kelima faktor itu ialah: persamaan agama, persamaan bahasa,

pembentukan volksraad yang mewakili masyarakat Indonesia, penyebaran ide melalui surat khabar dan radio

nasional serta kemudahan-kemudahan dalam mobilisasi penduduk, dan pendidikan Barat. 4Sartono Kartodirjo,Pengantar Sejarah Indonesia Baru:Sejarah Pergerakan Nasional, dari

Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jakarta: Gramedia,1992), 13. Bandingkan G.J. Resink, Negara-Negara

Pribumi di Kepulauan Timur (Jakarta:Penerbit Bhrata, 1973 ), 7 – 34. 5Benhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan,Terjemahan,Hasan Basari, Cetakan

I,(Jakarta: LP3ES,1987), 175-176. Bandingkan juga, Soekarno, “Demokrasi-Politik dan Demokrasi Ekonomi”,

dalam Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi,I (Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964),

172-3.

Page 3: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

101

daerah, golongan dan agama. Beberapa dari pergerakan termaksud ialah seperti perang yang

dipimpin oleh: Patimura di Maluku (1817), Badarudin di Palembang (1819), Imam Bonjol di

Minangkabau (1821), Diponegoro di Jawa Tengah(1825-1830), Jelantik di Bali (1850),

Pangeran Antasari di Banjarmasin (1860), Panglimna Polim, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar

di Aceh(1871), Anak Agung Made di Lombok (1894), Sisingamangaraja di Batak (1900).

Semua perang yang menentang pemerintah kolonial Belanda ini memang bersifat

kedaerahan, namun semua perang itu menjadi pertanda awal gerakan rakyat sebagai

protonasionalisme Indonesia, menentang penderitaan yang diakibatkan kolonial atas rakyat.6

Perang terhadap pemerintah kolonial Belanda yang bersifat kedaerahan ini mudah dipatahkan

oleh Belanda karena Belanda menerapkan politik devide et invera (politik adu domba) yang

sangat berhasil di Nusantara yang sangat plural.7

Di awal abad ke dua puluh, organisasi-organisasi pergerakan kemerdekaan memang

sudah berskala Nusantara, sehingga dapat digolongkan ke dalam tiga golongan besar, namun

ketiga golongan itu tetap melakukan pergerakan kemerdekaan secara terpisah. Ketiga

golongan tersebut ialah: pertama, adalah golongan nasionalis yang terwakili dalam National

Indische Partij dan Partai Nasional Indonesia.Kedua, adalah golongan Sosialis-Marxis yang

terwakili dalam Partai Komunis Indonesia. Ketiga, adalah golongan Agama yang terwakili

dalam Sarikat Islam (bagi agama Islam) dan Sarikat Ambon (bagi agama Kristen Ambon).

Perjuangan atau pergerakan kemerdekaan di awal abad ke dua puluh yang sudah berskala

nasional, namun karena sifatnya tidak menyatu, tidak berhasil meraih kemerdekaan

Nusantara karena cara perjuangan yang demikian, mudah dipatahkan oleh Belanda.8

Salah satu contoh perjuangan sektarian itu adalah pemberontakan Partai Komunis

Indonesia (PKI) terhadap pemerintah kolonial Belanda yang dilakukan pada tanggal 18 Juni

1926. Perjuangan ini dengan mudah dapat digagalkan oleh Belanda, bahkan oleh pemerintah

Belanda PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. F. Corsino MacArthur mengetengahkan

bahwa ada tiga faktor dari dalam Partai Komunis Indonesia yang menjadi penyebab

kegagalan pemberontakannya. Ketiga faktor termaksud: Pertama, disintegrasi yang terjadi di

antara Tan Malaka, Alimin dan Muso sebagai pemimpin partai mengenai waktu pelaksanaan

6I Ketut Seregig, Filsafat Pancasila dalam Perspektif Hindu (Surabaya: Penerbit Paramita,2012), 78.

7Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia-III (Jakarta: PN,

Balai Pustaka, 1993), 331. 8Cindy Adams,Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (Jakarta:Gunung Agung,1965), 119-120.

Bandingkan: Colin Wild dan Peter Carey,(Peny),Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta:

Gramedia, 1986), 26-8. Bandingkan juga: G.McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca

and London: Cornell University Press,1967), 37.

Page 4: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

102

pemberontakan. Alimin dan Muso sangat mendukung hasil keputusan pertemuan di

Prambanan bahwa pemberontakan akan dilaksanakan pada tanggal 18 Juni 1926. Sedangkan

Tan Malaka, sejak masih di pembuangan menilai pemberontakan yang akan dilaksanakan itu

prematur adanya. Oleh karena itu ia berharap pengikut-pengikutnya tidak melibatkan diri

dalam pemberontakan itu. Kedua, rendahnya mutu dari para pemimpin yang tersisa. Ketiga,

kurangnya dukungan dari kalangan petani pada saat pelaksanaan pemberontakan.9

Kegagalan dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia terhadap pemerintah kolonial

Belanda memberikan dampak positif bagi nasionalisme Indonesia. Para nasionalis Indonesia

semakin sadar bahwa kolonialisme hanya bisa dilawan dengan persatuan. Bertolak dari

kegagalan pemberontakan PKI, Perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda yang dikenal

dengan nama Perhimpunan Indonesia (PI) orang-orang dari daerah Nusantara yang pertama

kali memakai kata Indonesia10

untuk menunjuk kepada tanah dan penduduk dan budaya yang

ada di wilayah Nusantara, menetapkan gagasan persatuan sebagai ideologi Perhimpunan

Indonesia. Gagasan tentang persatuan ini kemudian menjadi inti ideologi yang dikembangkan

oleh Partai Nasional Indonesia. Dalam ideologi persatuan ini terkandung tiga prinsip

nasionalisme Indonesia yaitu: kebebasan(kemerdekaan), kesatuan, dan kesamaan. Karena

begitu konsep nasionalisme Indonesia, maka sifat nasionalisme Indonesia itu ialah

antikolonial dan selalu nonkooperasi terhadap penguasa colonial.11

Di tahun kegagalan pemberontakan PKI, 1926 dalam majalah Indonesia Muda terbitan

Studi Club Bandung, Soekarno menulis artikel berjudul “Nasionalisme, Islam, dan

Marxisme”. Artikel tersebut merupakan langkah awal Soekarno dalam merumuskan

pemikirannya mengenai wadah bersama yang selanjutnya ia sebut nasionalisme. Penjelasan

Soekarno mengenai nasionalisme, diawalinya dengan uraian mengenai latar belakang

munculnya kolonialisme. Demikian dijelaskan Soekarno: “Sebab tipisnja kepertjajaan itu

adalah bersendi pengetahuan, bersendi kejakinan, bahwa jang menjebabkan kolonialisasi itu

9F.Corsino MacArthur, A Communist Revolutionary Movement As an International State-Actor: The

Case of The PKI Aidit, Cetakan Pertama (Singapore:Maruzen Asia,1982), 53. Bandingkan, Mohammad Hatta,

Memoir, Cetakan Pertama (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1979), 205. 10

Mohammad Hatta menjelaskan bahwa kata”Indonesia”sudah dipakai oleh ethnolog Inggris bernama

G.R.Logan dalam bukunya The Ethnology of the Indian Archipelago pada tahun 1850, bahwa nama “Indonesia”

ditemukan Etnolog Inggris bernama G.R. Logan(1850), berasal dari kata India (Lathin:Hindia) dan Nesos

(Yunani:kepulauan), sehingga Indonesia berarti Kepulauan Hindia. Lihat Mohammad Hatta, Memoir (Jakarta:

Tintamas Indonesia,1979), 126. Bandingkan juga:Hassan Shadiliy,Ensiklopedi Indonesia Vol.3 (Jakarta: Ichtiar

Baru-Van Hoeve,1982), 1437. 11

John Ingelson,Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan, Terjemahan Nin

Bakdisoemanto, Cetakan I(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), 15,16. Bandingkan Sartono Kartodirdjo,

Pengantar Sejarah Indonesia Baru:Sejarah Pergerakan Nasionalisme,cet.II (Jakarta: Gramedia, 1992), xi.

Page 5: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

103

bukanlah keinginan pada kemasjhuran, bukan keinginan melihat dunia-asing, bukanlah

kenginan merdeka, dan bukan pula oleh karena negri rakjat jang mendjalankan kolonisasi itu

ada terlampau sesak oleh banjaknja penduduk,- sebagai jang telah diadjarkan oleh Gustav

Klemm-, akan tetapi asalnja kolonisasi jalah teristimewa soal rezeki. Jang pertama-tama

menjebabkan kolonisasi jalah hampir selamanja kekurangan bekal hidup dalam tanah airnja

sendiri....itulah pula jang mendjadi sebab rakjat-rakjat itu mendjadjah negeri-negeri, dimana

mereka bisa mendapat rezeki itu.”12

Uraian Soekarno tersebut di atas, dimaksudkannya untuk menggugah kesadaran rakyat

mengenai kehidupan ekonomi dan politik yang buruk akibat kolonialisme. Melalui paparan

ini,Soekarno ingin merombak pandangan yang telah lama berakar dalam masyarakat

Indonesia, mengenai pemerintah kolonial yang dipandang sebagai saudara tua yang akan

memberikan kemerdekaan di suatu hari nanti. Soekarno berbuat demikian, karena menurut

dia, tidak ada satupun negara penjajah yang dengan begitu saja mau melepaskan sumber

rezeki mereka. Cara pandang Soekarno terhadap pemerintah kolonial yang sangat radikal ini,

sangat dipengaruhi oleh dua tokoh nasionalis di Bandung yaitu Douwes Deker dan Tjipto

Mangunkusomo. Dari kedua nasionalis tersebut, Soekarno belajar bahwa kemerdekaan

Indonesia harus diusahakan sendiri melalui pergerakan rakyat, dan bukan dalam usaha

dewan-dewan, juga tidak akan dicapai secara berangsur-angsur melalui kerjasama dengan

pemerintah kolonial Belanda.13

Penilaian Soekarno terhadap pemerintah kolonial Belanda seperti termaksud di atas,

telah bergeser dari penilaiannya semula semasa dia berada di Surabaya. Semasa di Surabaya

Soekarno banyak dipengaruhi oleh pandangan dua orang gurunya di Hogere Burger

School(HBS) Surabaya yaitu Tjokroaminoto dan C.Hartogtog. Pengaruh pandangan dari

kedua tokoh tersebut memberikan penilaian positif terhadap peran pemerintah kolonial dalam

mewujudkan pemerintahan sendiri bagi Indonesia. Salah satu tulisan Soekarnoyang

menyuratkan penilaian positifnya terhadap pemerintahan kolonial ialah sebagai berikut: “.....

kebutuhan rakyat telah melahirkan Sarekat Islam, dan bahwa salah satu tujuannya adalah

pemerintahan sendiri. Masalah-masalah kritis hanya bisa dipecahkan apabila rakyat

berpemerintahan sendiri, dan apabila ada persamaan kepentingan yang nyata antara

12

Soekarno, “Nasionalisme, Islamisme Dan Marxisme”, Suluh Indonesia Muda, tahun 1928, dalam, Di

Bawah Bendera Revolusi I, Cetakan ketiga (Jakarta: Panitia Penerbit, 1964), 2. 13

Soekarno, “Dimanakah Tinju?”, Suluh Indonesia Muda, tahun 1927,dalam “Di Bawah Bendera

Revolusi I, Cetakan ketiga (Jakarta: Panitia Penerbit, 1964), 33. Bandingkan juga dengan John Legge, Sukarno

Sebuah Otobiografi Politik, Terjemahan Tim Sinar Harapan,Cetakan ke II (Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 97.

Page 6: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

104

pemerintah dan rakyat. Tetapi itu tidak bisa terjadi dengan segera.Terlebih dulu rakyat

Indonesia harus belajar.Untuk itu rencana untuk mendesentralisasi pemerintahan memberikan

kesempatan yang baik sekali.14

Pergerakan kemerdekaan rakyat kecil Nusantara yang sendiri-sendiri ini, oleh Soekarno

pendiri Partai Nasional Indonesia pada tanggal 4 Juli 1927, diprediksi sebagai perjuangan

yang tidak akan menghasilkan kemerdekaan seluruh negara Nusantara yakni kemerdekaan

Indonesia. Dalam berprediksi demikian Soekarno bertimbang, sehandainya golongan Islam

saja yang memperjuangkan kemerdekaan, berarti akan berdiri negara Islam di kepulauan

Nusantara. Bila golongan komunis saja yang berjuang untuk kemerdekaan di kepulauan

Nusantara, kemungkinan besar akan ada usaha dari kelompok komunis untuk membentuk

negara Komunis Nusantara. Bertolak dari asumsi yang demikian ini, Soekarno berkeinginan

agar semua golongan yang ada di bumi Nusantara bersatu-padu melawan penjajahan Belanda

secara bersama-sama, guna sama-sama merdeka untuk membentuk sebuah negara bersama

yaitu negara Indonesia merdeka. Keinginan Soekarno ini segera berwujud dengan lahirnya

Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia, (PPPKI) pada tanggal 17

Desember 1927. PPPKI merupakan gabungan dari tujuh partai besar yang ada di Indonesia

yaitu: Partai Nasional Indonesia, Sarekat Islam, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen Bond,

Kaum Betawi, dan Kelompok Studi dr. Sutomo di Surabaya. PPPKI menjadi bukti keseriusan

para nasionalis Indonesia dalam usaha membentuk satu kekuatan nasional guna menghadapi

kolonialisme dan imperialisme. Para nasionalis yang dalam batas-batas tertentu saling

bertentangan, terutama soal koperasi dan non koperasi dengan pemerintah kolonial, mulai

menyadari pentingnya kerja sama untuk mencapai kemerdekaan.15

Pembentukan Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia memberikan

dampak positif dalam kehidupan pergerakan nasionalisme Indonesia. Pembentukan PPPKI

telah menjadi pemicu semangat persatuan di kalangan nasionalis Indonesia di masa itu,

terutama di kalangan pemuda. Ikrar bersama yang dicetuskan oleh para pemuda Indonesia,

antara lain Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Celebes, Jong Bataksbond, Jong Sumatra,

pada konggres pemuda di Batavia yang berlangsung dari tanggal 27-28 Oktober 1928,

menjadi bukti dari kesadaran akan pentingnya persatuan Indonesia. Sumpah Pemuda tersebut

14

Audrey Kahin(ed.),Regional Dynamics . . . , 50. 15

Soekarno, “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi”, dalam Soekarno, Di Bawah Bendera

Revolusi I (Jakarta: Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi,1964), 83. Bandingkan Marwati Djoened

Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia-V,198.

Page 7: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

105

telah mendobrak batas-batas suku, dan agama, ketika keinginan untuk berbangsa satu,

bertanah air satu, dan berbahasa satu menjadi keinginan bersama.16

Kerjasama beberapa partai dalam PPPKI berlangsung di atas dasar keinginan untuk

merdeka. Karena itu, perbedaan ideologi yang mengarah pada pertentangan dan perlawanan

di antara partai-partai dalam PPPKI, diharapkan dapat diabaikan demi tercapainya persatuan.

Cuplikan salah satu tulisan Soekarno memuat anjurannya kepada PPPKI, sebagai berikut:

“Hendaknya kita tidak mengemukakan soal-soalyang dapat membahayakan pemufakatankita.

Umpamanya, kita hendaknya jangan membicarakan soal koperasi dan non koperasi, soal

apakah kita akan bekerjasama dengan pemerintah atau tidak. Tapi marilah kita mencari hal-

hal yang lebih mendekatkan kita satu sama lain. Marilah kita tonjolkan segala hal yang

mempersatukan kita.”17

Terkait dengan keinginannya agar semua golongan yang ada di bumi Nusantara bersatu

karena mempunyai tujuan yang sama, yaitu menghapus imperialisme Belanda, Soekarno

menyadari bahwa masing-masing golongan yang ada di bumi Nusantara memiliki

pemahaman politik yang pada berbeda. Berangkat dari kesadaran ini, Soekarno seorang

intelektual yang sangat anti dengan imperialisme dan kapitalisme Barat, menjembatani semua

golongan yang ada di bumi Nusantara dengan satu pemahaman politik yang sama untuk

semua golongan. Menurut Soekarno, hanya dengan memiliki satu pemahaman politik yang

sama, semua golongan akan berhasil menghapus kolonialisme dan membentuk negara

merdeka.Satu pemahaman politik yang sama diusulkan Soekarno untuk menjadi pemahaman

politik bersama semua golongan dalam menghapus imperialisme dan membentuk sebuah

negara merdeka ialah Marhaenisme.18

Konsepsi Marhaenisme dari Soekarno ialah suatu ajaran sosio nasionalisme dan sosio

demokratisme. Melalui konsepsi ini soekarno ingin agar seluruh rakyat di bumi Nusantara ini

memiliki kemauan bersatu-padu untuk bertindak secara revolusioner dalam memperjuangkan

kemerdekaan semua, demi kelak diperoleh keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran

bersama. Persatuan dan gotong-royong dari semua negara dalam kepulauan Nusantara untuk

meraih kepentingan bersama yakni kemerdekaan menjadi jiwa dari Marhaenisme. Berangkat

dari konsepsi Marhaenisme yang demikian, Soekarno ingin memasukkan sebanyak mungkin

16

Benhard Dahn, Soekarno Dan Perjuangan . . . , 121. 17

Audrey Kahin (ed.), Regional Dynamics . . . , 98. 18

Grasindo, Bung Karno.Tentang Marhaen Dan Proletar (Jakarta: Gramedia Widiasarana

Indonesia,1999), 22-24.

Page 8: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

106

golongan-golongan yang ada di bumi Nusantara, agar kekuatan revolusioner semakin

bertambah banyak dan semakin bertambah kuat untuk menghapus imperialisme Belanda dan

mencapai Nusantara merdeka.19

Dalam konteks kolonial, Marhaenisme atau nasionalisme Soekarno menunjuk pada

kesatuan unsur-unsuryang mampu menjadi potensi kolektif apabila diarahkan kepada tujuan

bersama. Unsur-unsur termaksud adalah kenyataan penjajahan yang mengakibatkan

kemelaratan dan semangat persatuan demi pencapaian kemerdekaan. Dalam hal ini, Soekarno

ada mengemukakan bahwa, “Semangat tiap-tiap rakyat yang disengsarakan oleh suatu

keadaan, baik rakyat proletar di negeri-negeri industri, maupun rakyat di tanah-tanah jajahan,

adalah semangat ingin merdeka. Nah, kami ingin menyuburkan semangat ingin merdeka itu

pada rakyat Indonesia. Kami menyuburkannya tidak terutama dengan keinsafan kelas sebagai

pergerakan kaum buruh umumnya, tetapi terutama dengan keinsafan bangsa, dengan

keinsafan nasionaliteit, dengan nasionalisme. Sebab tiap-tiap rakyat yang dikuasasi oleh

bangsa lain, tiap-tiap rakyat jajahan, tiap-tiap rakyat yang saban hari, saban jam, merasakan

imperialisme bangsa lain, tiap-tiap rakyat yang diperintahi secara jajahan demikian itu,

adalah berbudi akal nasionalistis.”20

Menyimak kalimat Soekarno di atas, Marhaenisme atau nasionalisme yang dikonsep

Soekarno tidak hanya fundamental menciptakan solidaritas, tetapi juga potensial untuk

mewujudkan loyalitas yang mentransendensi loyalitas kedaerahan atau golongan.

Marhaenisme atau nasionalisme Soekarno berhakiki dan berperan sebagai konditio sine qua

non semua negara di kepulauan Nusantara merdeka. Marhaenisme atau sosialisme Soekarno

nampaknya memang adalah sosialisme campuran dari apa yang baik dari declaration of

independence dari America, apa yang benar dari spiritualitas agama-agama, dan apa yang

tepat dari teori Karl Marx. Sebagai sosialisme atau nasionalisme campuran dari ketiga unsur

tersebut di atas, nasionalisme Soekarno memiliki ajaran untuk hidup bekerja-sama,

mempunyai ajaran tentang Tuhan, dan sangat menekankan tentang anti kapitalisme dan

19

Soekarno, “Marhaen dan Proletar”, dalam Soekarno,Dibawah Bendera Revolusi I (Jakarta: Panitia

Penerbit di bawah Bendera Revolusi, 1964), 253. 20

Soekarno, Indonesia Menggugat:Pidato Pembelaan Bung Karno Di Muka Hakim Kolonial (Jakarta:

Departemen Penerangan Republik Indonesia,Tanpa Tahun), 117. Bandingkan: Rupert Emerson, “The progress

of Nationalism,” dalam Philip W. Thayer (ed.).Nationalism and Progress in Free Asia(Baltimore:The John

Hopkins Press,1956), 72,73. Buku ini berisi kajian yang dilakukan Rupert Emersontentang faktor penyebab

lahirnya nasionalisme di Selatan dan Asia Tenggara. Berdasarkan kajian tersebut, Emerson menjelaskan, ketika

kehidupan dan martabat satu bangsa terancam oleh kekuatan asing, nasionalisme muncul sebagai kekuatan

perjuangan menghadapi ancaman tersebut. Realitas tersebut mengantar Rupert Emerson pada kesimpulan,

bahwa pemunculan nasionalisme dalam bangsa yang terjajah merupakan konsekuensi dari kolonialisme.

Page 9: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

107

sosialisme Barat. Nasionalisme Soekarno menolak adanya kaum berjuis atau kaum ningrat di

bumi Nusantara, memimpikan adanya tatanan sosial yang adil di persada Nusantara, dan

memimpikan masyarakat Nusantara hidup mandiri, mampu berdiri di atas kaki sendiri untuk

kepentingan diri sendiri.21

Paham nasionalisme seperti termaksud di atas, pada masa perjuangan kemerdekaan,

penekanan operasionalnya memang lebih pada taraf ingin mempunyai negara merdeka.

Dengan kemerdekaan yang dimimpikannya itu, rakyat ingin mengatur negaranya menurut

konsepsi yang berdasar pada kesejarahan dan kebudayaannya sendiri. Dalam keadaan yang

demikian, para intelektual seperti Soekarno menyadari bahwa rakyat Nusantara perlu

diberdayakan dengan pengetahuan sejarah tentang negara-negara dalam kepulauan

Nusantara. Bertolak dari kesadaran ini, maka Soekarno bersama para pemikir dan propaganda

revolusi, baik yang belajar di dalam negeri maupun luar negeri, seperti: Sutomo, Hatta,

Sartono, Budiarto, Iwa Kusumasumantri, Ali Sastroamidjojo, demikian juga bersama dengan

para pemimpin Partai Komunis Indonesia seperti: Darsono, Semaun, dan Abdul Muis, selalu

mengkaitkan gerakan kebangsaan dengan jaman- jaman keemasan Sriwijaya dan Majapahit.

Mereka juga sering mengadopsi tokoh-tokoh pewayangan sebagai alat propaganda politik

perjuangan, serta mengadopsi ramalan-ramalan Prabu Jayabaya seperti akan datangnya

“ratu adil” sebagai bahan untuk membangkitkan harapan rakyat akan hari depan yang gilang-

gemilang berupa kemerdekaan Nusantara.22

Pada tahun 1930–an dunia ada pada zaman malaise yaitu ada dalam masa krisis

ekonomi. Keadaan ini tidak membendung gerakan nasionalisme, namun justru

menstimulasinya. Dalam gerakan nasionalisme yang memperjuangkan kemerdekaan

Indonesia, Soekarno mensintesiskan ketiga kekuatan ideologis yang pada berbeda namun

yang sama-sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yaitu: nasionalisme, agama dan

komunisme menjadi satu kekuatan dalam apa yang disebut NASAKOM.Gerakan

nasionalisme Indonesia adalah gerakan kerakyatan yang tidak sekedar memimpikan

pembentukan negara dan bangsa Indonesia saja, melainkan gerakan yang mendambakan

kemerdekaan dan keadilan. Dalam posisi demikian, nasionalisme Indonesia merupakan gejala

historis sebagai jawaban terhadap kondisi politik, ekonomi dan sosial yang ditimbulkan oleh

situasi kolonial. Nasionalisme Indonesia merupakan raungan historis dari rakyat banyak

21

Soekarno, “Marhaen dan Proletar” dalam Soekarno Dibawah Bendera Revolusi . . . , 178-182. 22

John Ingleson,Perhimpunan Indonesia and the Indonesian Nationalist Movement 1923-1928,

(Monash Papers on Southeast Asia, Nu.4, 1975), 2-4. Peter Carey,”Mitos,Pahlawan dan Perang”, dalam Wild

Colin, Gelora Api Revolusi: Sebuah Antologi Sejarah (Jakarta: Gramedia,1986), 7-14.

Page 10: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

108

khususnya dari kaum muda yang terdiri dari berbagai etnis dan keyakinan agama yang mau

bersatu untuk memperjuangkan perbaikan nasib. Nasionalisme Indonesia bukan sekedar

konsep politik. Ia lebih dari itu. Ia adalah identitas dan sekaligus etika hidup bersama

masyarakat Indonesia. Nasionalisme Indonesia adalah sarana untuk menegakkan martabat

dan persamaan manusia. Sebagai suatu gerakan emansipasi rakyat semesta Nusantara,

nasionalisme Indonesia mengandung visi, budaya, solidaritas dan kebijakan; sebagai jawaban

atas kebutuhan dan aspirasi-aspirasi politik, ideologi, budaya, sosial dan ekonomi untuk

perbaikan, kemajuan dan kesejahteraan masyarakat.23

Berdasarkan konteks kelahiran nasionalisme Indonesia atau keindonesiaan seperti

terurai di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila sesunguhnya adalah ekspresi dan

sekaligus perlawanan seluruh rakyat Indonesia terhadap penderitaan atas kolonialisme,

imperialisme dan kapitalisme, guna untuk meraih kemerdekaan sebagai jalan bagi rakyat

Indonesia menjadi sebuah bangsa-negara yang memiliki kedaulatan politik, ekonomi, sosial

dan kepribadian nasional.

IV.2. Proses Penetapan Pancasila Sebagai Dasar Negara Indonesia

Benih nasionalisme Indonesia yang bisa dilihat sebagai cikal bakalIdeologi politik

Indonesia, karena berupakemauan masyarakat Indonesia untuk bersatu guna memperbaiki

diri, yang telah ada pada masa kolonial Belanda, disemai oleh masyarakat Indonesia, pada

saat Indonesia mempersiapkan dan menjadikan dirinya sebagai sebuah negara bangsa, yaitu

Indonesia dalam fenomena baru dan modern yang berbeda dari Indonesia dalam fenomena

sebelumnya.24

Indonesia dalam fenomena sebelumnya berupa kerajaan-kerajaan dan

kolonialisme yang ditandai dengan segregasi manusia-manusia Indonesia dalam

pengelompokkan menurut ras,25

agama dan kepentingan sosial kemasyarakatan.26

Sedangkan

23

Soekarno,Indonesia Menggugat . . . , 58. Bandingkan: Hans Kohn, Nasionalisme dan Sejarahnya,

terjemahan Sumantri Mertodipuro, cetakan kedua (Jakarta: PT.Pembangunan Jakarta,1961), 12. Menurut Hans

Kohn, memang dalam satu negara terdapat unsur unsur objektif yang membedakan bangsa yang satu dengan

yang lain, misalnya persamaan agama, bahasa, turunan, kesatuan politik, adat istiadat, dan tradisi dari satu

bangsa. Tetapi menurut Kohn, bukan berarti tanpa persamaan turunan atau agama dan lain-lain, persatuan atau

nasionalisme tidak akan terwujud. Kohn berpendirian demikian karena baginya, faktor utama pembentukan

nasionalisme terletak pada kemauan bersama dari bangsa tersebut untuk bersatu demi perbaikan diri dan

kepentingan bersama. Bandingkan, Saafroedin Bahar,dkk.(penyunting),Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI 28

Mei–22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995), 75-76. Lihat juga, Th. Sumartana,

“Nasionalisme Indonesia sebagai Gerakan Emansipasi Rakyat”, dalam Bina Dharma(Salatiga: No.35, tahun ke

– 9, 1991), 8-13. 24

John Titaley,Pertimbangan-pertimbangan Pendirian Program Pasca-sarjana Bidang Studi Agama

dan Masyarakat(PPsAM),(Salatiga:UKSW,1991),2. 25

Ras Belanda sebagai penguasa, ras Tionghoa dan Asia lainnya sebagai kelas menengah, sedangkan

orang- orang pribumi Indonesia digolongkan sebagai kelas ketiga. Pada masa Indonesia fenomena lama, orang-

Page 11: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

109

Indonesia sebagai sebuah fenomena baru adalah Indonesia yang kehendak bersamanya untuk

bersatu guna merubah nasib, mendapatkan bentuk politiknya sebagai suatu bangsa yang

merdeka serta memiliki suatu pemerintahan yang sah, yang harus bersikap adil kepada setiap

rakyatnya, tanpa melihat agama, etnis, dan latar belakang budaya mereka. Indonesia sebagai

sebuah fenomena baru dan modern lahir secara resmi pada saat Indonesia memproklamasikan

kemerdekaannya yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945. Baru karena fenomena Indonesia ini

adalah fenomena yang belum pernah ada sebelumnya, dalam pengertian suatu lingkungan

wawasan daerah, budaya, sosial, politik, ekonomi, dan keamanan yang secara sadar

menyatakan diri satu dalam bentuk seperti Indonesia. Modern, karena kesatuannya itu

dinyatakan dalam bentuk pemerintahan Republik, bukan kerajaan seperti kenyataan-

kenyataan pemerintahan yang pernah ada di jaman pra Indonesia. Jadi Indonesia yang

Indonesia, adalah Indonesia fenomen per 17 Agustus 1945.27

Lahirnya Pancasila sebagaiideologi politik dari Indonesia fenomena baru, yaitu

Indonesia merdeka, tertayang untuk pertama kalinya pada pergumulan, perdebatan dan

ketetapan-ketetapan yang dibuat oleh Badan Penyelidik Usaha–usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). BPUPKI yang disebut Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai

dibentuk oleh pemerintahJepang pada tanggal 1 Maret 1945, diketuai oleh dokter Radjiman

Wedjodiningrat, beranggotakan 59 orang berasal dari hampir semua kelompok sosial dan

kelompok etnis masyarakat Indonesia dan ditambah tujuh orang Jepang. BPUPKI bersidang

selama dua masa sidang, 29 Mei-1 Juni dan 10 Juli-17 Juli 1945 di gedung Chuo Sangi In

Jalan Pejambon 6 Jakarta yang kini dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila. Pada masa

sidang pertamanya, BPUPKI membahas pemerumusan dasar negara yang akan dibentuk.

Memperhatikan pendapat-pendapat yang berkembang, dan menyimak pertentangan yang

tajam antar kelompok dalam persidangan itu, tampak jelas bahw ada tiga kelompok ideologi,

yang karena merasa telah bekerja keras dalam gerakan kemerdekaan Indonesia, saling

orang Tionghoa dan orang orang Asia lainnya adalah suatu masyarakat yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada

pembauran satu terhadap yang lain dalam kesetiaan politik. Bandingkan J.S. Furnivall, Nederlands India: A

Study of Plural Economy (Cambridge: The University Press,reprinted 1967), 446-469. 26

Agama Kristen dipandang oleh kolonial Belanda sebagai idola untuk meningkatkan mutu, harkat

kemanusiaan dan kematangan budaya golongan pribumi. Sedangkan agama Islam lebih dipandang sebagai

kekuatan yang mampu menggalang kekuatan rakyat untuk melawan kepentingan kolonial di Indonesia. Oleh

karena itu pada masa penjajahan Jepang, Islam dimanfaatkan untuk melawan Barat. Dengan demikian secara

historis posisi agama Islam bermusuhan dengan agama Kristen. Sedangkan agama Hindu dan Budha oleh

kolonial Belanda dipandang sebagai lapisan dasar masyarakat Indonesia yang secara politik dan budaya kurang

begitu mampu memberikan perlawanan ideologis terhadap kepentingan kolonial. Lihat Harry J. Benda, Bulan

Sabit dan Matahari Terbit,Islam Indonesia pada masa pendudukan Jepang(Jakarta:Pustaka Jaya,1985),175. 27

John A. Titaley,Religiositas Di Alinea Tiga Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-

Agama (Salatiga:Satya Wacana University Press,2013),154.

Page 12: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

110

berusaha memperjuangkan pandangan ideologinya masing-masing sebagai acuan untuk

merumuskan dasar negara dari proyek Indonesia merdeka. Ketiga kelompok ideologi

termaksud ialah: Agama (Syarikat Islam, Masyumi), Sosial-Marxis (Partai Komunis,

Sosialis), dan Nasionalisme(Partai Nasional Indonesia). Kelompok agama memperjuangkan

agar Islam menjadi dasar negara. Sementara itu kelompok Sosial-Marxis dan

Nasionalismemenentang Islam sebagai dasar negara dan mengusulkan agar kebangsaan

sebagai dasar negara.28

Ditengah-tengah pertentangan tiga kelompok ideologi yang ada pada para anggota

BPUPKI seperti termaksud di atas, dan didorong oleh keinginannya untuk mempersatukan

golongan agama, nasionalis, dan marxis-sosialis, sebagaimana telah dipikirkannya di era

1920-an dan 1930-an, Soekarno mengajukan Pancasila sebagaiideologi politik negara.

Pancasila usulan Soekarno, memuat pemikiran Soekarno yang sarat dengan penegasan

mengenai keharusan untuk bersatu, sebagai syarat terbentuknya negara Indonesia merdeka.

Dalam pola pikir demikian, masing-masing sila dari Pancasila harus dipahami sebagai upaya

meredam perbedaan dan pertentangan yang meruncing selama sidang BPUPKI berlangsung.

Berdasarkan proses lahirnya yang demikian, menampak sekali bahwa Pancasila usulan

Soekarno mengalir dari semangat nasionalisme. Hal itu dikatakan demikian, karena Pancasila

senyatanya adalah merupakan rumusan kompromis dari Soekarno seorang pemikir dan

politisi nasional, yang sangat bergumul dengan keinginannya untuk membangun Indonesia

merdeka, namun berangkat dari fakta kemajemukan bangsanya. Bagi Soekarno, kaum

nasionalis, marxis dan Islam perlu bekerjasama dan tidak jegal-menjegal satu terhadap yang

lainnya, karena sama-sama mereka dibutuhkan untuk memperjuangkan kemerdekaan

Indonesia. Hanya ketika mereka bersatu, maka tujuan bisa dicapai. Tujuan tidak akan bisa

dicapai ketika hanya satu saja yang merasa dirinya paling benar dan paling baik.29

Rumusan dan urutan Pancasila yang lahir dari konteks kemajemukan Indonesia dan

keinginan Indonesia menjadi negara merdeka, sebagaimana diusulkan Soekarno untuk

menjadi dasar dan sekaligus gagasan politis negara adalah sebagai berikut: Kebangsaan,

28

George McTurman Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia.Diterjemahkan oleh Nin Bakdi

Sumantri (Jakarta: Sebelas Maret University Press, 1995), 153. Saafroedin Bahar,dkk.(penyunting),Risalah

Sidang BPUPKI dan PPKI 28 Mei-22 Agustus 1945 (Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia,1995), 38.

Bandingkan Eka Darmaputra, Pancasila, Identitas dan Modernitas, cet.III (Jakarta: BPK.Gunung Mulia, 1991),

104 -105. 29

Roeslan Abdulgani(Ketua Panitia Penerbit),Bahan–bahan Pokok Indoktrinasi, (Jakarta: Prapanca,

1965, Tjetakan ke III), 46. Lihat juga John Titaley, Panggilan Gereja Dalam Heterogenitas Masyarakat

Indonesia (Salatiga: Makalah, 19 Juli 1997), 2

Page 13: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

111

Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakatatau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan

Ketuhanan. Makna kebangsaan menurut Soekarno adalah gabungan antara manusia dan

tempatnya. Dalam makna ini bangsa Indonesia, menurut Soekarno adalah seluruh manusia

yang menurut geopolitik tinggal di semua pulau Indonesia dan memiliki perangai mencintai

Indonesia. Namun kebangsaan yang dicita citakan Soekarno, bukan chauvinisme, bukan

kebangsaan yang menyendiri. Oleh karena itu, makna Internasionalisme atau peri-

kemanusiaan, sesuai dengan paparan Soekarno adalah persaudaraan dunia. Kemudian, makna

Mufakat atau Demokrasi dalam uraian Soekarno adalah Indonesia bukan negara untuk satu

golongan melainkan untuk semua golongan. Lalu makna Kesejahteraan Sosial sesuai uraian

Soekarno adalah Indonesia yang sama-sama berkesejahteraan di bidang ekonomi. Makna

Ketuhanan dalam paparan Soekarno adalah Indonesia yang keyakinannya akan ketuhanan

mengakomodir semua konsep ketuhanan agama-agama yang ada di Indonesia. Perumusan

Pancasila yang demikian ini selaras dengan prinsip-prinsip nasionalisme yang telah bergema

dalam hati dan pikiran Soekarno sejak tahun 1920 an.30

Menurut Soekarno, lima sila yang

diusulkannya sebagai dasar politik negara, dapat diperas menjadi tiga sila (Sosio-

Nasionalisme, mencakup kebangsaan dan Perikemanusiaan, Sosio-Demokrasi mencakup

Demokrasi dan Kesejahteraan, dan ke-Tuhanan yang berkebudayaan, dapat juga diperas

menjadi satu sila yaitu Gotong-Royong. Dalam hal ini, prinsip utama dalam Pancasila yang

diusulkan Soekarno sebagai ideologi politik negara adalah persatuan dan kesederajatan

Indonesia.31

Pancasila usulan Soekarno untuk menjadi ideologi politik Indonesia dalam pemahaman

seperti terpapar di atas, menunjukkan bahwa eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara yang

hendak dibangun adalah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai kelompok, dimana nanti di

dalam negara bangsa Indonesia itu, semua golongan dan kelompok diakui eksistensinya dan

ditempatkan dalam kedudukan yang setara. Dalam paparannya tentang Pancasila dengan

gagasan yang demikian, Soekarno ada mengatakan: “Negara Indonesia yang kita semua harus

mendukung dan mencintainya, Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan

30

Soekarno, “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, dalam Di Bawah Bendera Revolusi (Jakarta:

Panitia Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi,1963), 1-23. 31

John Legge,Sukarno Sebuah Biografi Politik,Terjemahan Tim Penerbit Sinar Harapan(Jakarta:Sinar

Harapan,1995), 218.Bandingkan Saafroedin Bahar dkk.,Risalah Sidang Badan Penyelidik Kemerdekaan

Indonesia(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) (Jakarta: Sekretariat Negara

Republik Indonesia,1995), 82.Bandingkan,Parakitri T.Simbolon,Menjadi Indonesia:Akar-akar Kebangsaan

Indonesia (Jakarta: Kompas Grasindo,1995),250-251. Bandingkan juga John A Titaley,A Socio historical

Analysis of The Pancasila as Indonesia’s State Ideology in The Light of The Royal Ideology in The Davidic

State (Th.D.diss., Graduate Theological Union Berkeley,California,1991),141.

Page 14: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

112

golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat

Indonesia, bukan Nitidemito yang kaya untuk Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia!-

semua buat semua. Prinsip gotong-royong diantara yang kaya dan tidak kaya, antara Islam

dan Kristen, antara yang Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi Indonesia”.

Perkataan Soekarno ini mempertegas bahwa eksistensi Indonesia Pancasila adalah sebuah

bangsa yang dibentuk di atas perbedaan baik daerah, etnis, agama, ras dan golongan, namun

hendak hidup bersama dalam negara bangsa yang bernama Indonesia. Keindonesiaan adalah

sinergi dari bermacam kelompok yang berbeda yang ada di wilayah Indonesia.32

Usulan Pancasila Soekarno tentu dengan maknanya pula, dapat diterima oleh BPUPKI

dalam sidangnya yang pertama. Namun dalam sidangnya yang kedua, 10-17 Juli 1945, ketika

BPUPKI melakukan pembahasan lanjutan tentang dasar negara dan Undang-Undang Dasar,

pernyataan kemerdekaan Indonesia, bentuk negara, wilayah negara, warga negara, keuangan

negara dan pembelaan negara, persoalan kedudukan agama dalam negara diperdebatkan

kembali. Melalui perdebatan yang panjang, pada tanggal 16 Juli 1945, BPUPKI menyepakati

rancangan pembukaan UUD,33

yang didalamnya tercantum dasar negara Indonesia, yaitu

Pancasila yang populer dengan sebutan Pancasila versi Piagam Jakarta.Urutan dan rumusan

Pancasila versi Piagam Jakarta adalah sebagai berikut: Ketuhanan dengan menjalankan

syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan

Indonesia, Kerakyatanyang dipimpin olehhikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan-

perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.34

Pancasila versi Piagam Jakarta seperti terpapar di atas, adalah hasil rumusan panitia

kerja BPUPKI yang bertugas menyusun rancangan Pembukaan UUD. Panitia ini terdiri dari

sembilan orang sehingga disebut juga dengan nama Panitia Sembilan. Kesembilan orang itu

adalah sebagai berikut: Soekarno sebagai ketua, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, A

Subardjo, A.A.Maramis, K.H.Muzakhir, K.H.Wachid Hasjim, Abikusno Tjokrosujoso dan

32

Saafroedin Bahar,dkk.,(Penyunting), Risalah Sidang . . . , 82. 33

Soekarno menyebut rancangan Pembukaan UUD ini dengan nama “Mukadimah”, oleh Mohammad

Yamin dinamakan “Piagam Jakarta”, sedangkan oleh Soekiman Wirjosandjojo disebut “Gentlemen’s

Agreement”. Lihat Yudi Latif, Negara Paripurna,Historisitas,Rasionalitas,dan Aktualitas Pancasila (Jakarta:

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,cetakan keempat,2012),284. Rumusan Piagam Jakarta dari Panitia Kerja

9 BPUPKI tertera dalam lampiran 1 dari disertasi ini. 34

Saafroedin Bahar dkk., (Penyunting), Risalah Sidang . . . , 69-76. Lihat Yudi Latif, Negara

Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,

cetakan keempat, 2012), 78.

Page 15: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

113

K.H. Agus salim.35

Dalam Pancasila versi Piagam Jakarta Kebangsaan digeser oleh

Ketuhanan. Terjadinya pergeseran ini saja, oleh Darmaputra sudah ditafsirkan sebagai

kesepakatan kompromis kelompok nasionalis dan kelompok Islam dalam Panitia Sembilan

untuk memenuhi aspirasi kelompok Islam yang memang menghendaki ideologi Islam sebagai

ideologi negara.36

Dalam Pancasila dan UUD kesepakatan 16 Juli 1945, yang nampaknya memang

sebagai sebuah kesepakatan kompromistis antara golongan ideologi kebangsaan dan

golongan ideologi Islam, masyarakat Islam diberi hak khusus, berbeda dari komunitas-

komunitas Indonesia lainnya. Hak khusus ini, oleh wakil kaum Islam memang sangat

diperjuangkan dengan alasan, pertama, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara sebab Islam

mengandung ideologi negara, dan kedua, karena komunitas Islam adalah mayoritas. Hak

khusus ini sudah terlihat jelas dalam sila pertama Pancasila versi Piagam Jakarta sebagaimana

tertuang dalam rumusan: “ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya.” Hak khusus bagi kaum Islam, tercantum pula dalam pasal 29 ayat 1

dan pasal 6 ayat 1 UUD. Dalam pasal 29 ayat 1: “Negara berdasar atas keTuhanan Yang

Maha Esa, dengan kewajiban menjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk- pemeluknya.” Dalam

pasal 6 ayat 1: “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam.”37

Makna Indonesia sebagai sebuah fenomena baru, dimana Pancasila adalah ideologi

politiknya, tergambar jelas dan final dalam pergumulan, perdebatan dan ketetapan yang

diambil dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI yang disebut

Dokuritzu zyunbi Iinkai juga dibentuk oleh pemerintah Jepang pada tanggal 7 Agustus 1945,

sehari setelah Amerika membom Hiroshima. PPKI yang anggotanya adalah semua orang

Indonesia, dipimpin oleh Soekarno sebagai ketua dan Mohammad Hatta sebagai wakil ketua.

Dalam sidangnya pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia memproklamirkan

kemerdekaannya, PPKI mengamandemen hak khusus kaum Islam dalam Pancasila dan dalam

UUD hasil kesepakatan 16 Juli 1945. Peniadaan hak khusus kaum Islam ini terjadi karena

keberatan dari wakil-wakil Katolik dan Protestan yang memandang bahwa kalimat “dengan

kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”, (dalam Pancasila Piagam Jakarta

dan UUD pasal 29 ayat 1 keputusan BPUPKI 16 Juli 1945) dan kalimat “Presiden ialah orang

35

Saafroedin Bahar,dkk(penyunting), Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia(PPKI) (Jakarta:Sekretariat

Negara Republik Indonesia, 1995), 94-95, 120, 177. 36

Eka Darmaputra, Pancasila Identitas dan Modernitas, cetakan III (Jakarta: BPK. Gunung

Mulia,1991), 108. 37

Roeslan Abdulgani,Bahan-bahan Pokok . . . , 266, 351.

Page 16: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

114

Indonesia aseli yang beragama Islam” (UUD pasal 6 alinea 1 keputusan BPUPKI 16 Juli

1945) sebagai politik diskriminasi yang sengaja dimuat dalam dasar negara dan undang

undang dasar terhadap kelompok minoritas. Keberatan dan pandangan para wakil Katolik dan

Protestan membuat PPKI meyadari bahwa politik diskriminasi memang sepatutnya tidak

boleh ada pada dasar negara dan UUD dari Indonesia merdeka. Hal itu disadari demikian,

karena masyarakat Indonsia yang pluralistis suku dan agama, dengan spirit dan prinsip-

prinsip nasionalisme telah menyatakan kemerdekaannya sebagai kemerdekaan dari satu

bangsa yaitu bangsa Indonesia.38

Berdasarkan keputusan sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, maka Pancasila

yang absah secara yuridis konstitusional berlaku sebagai dasar negara Indonesia adalah

Pancasila tanpa hak khusus bagi kaum Islam. Pancasila dalam bentuk definitif dan resmi itu,

tercantum dalam pembukaan UUD keputusan PPKI 18 Agustus 1945. Rumusan dan urutan

dari Pancasila termaksud ialah sebagai berikut:Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan

yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawarahtan-perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Urutan Pancasila ini tidak bersifat sequent atau prioritas, tetapi justru masing-

masing sila ini saling kait mengait.

Dilihat dari proses penetapannya sebagai dasar negara Indonesia, dapat disimpulkan

bahwa Pancasila dikonstruksi berlandaskan pada kesadaran dan kesepakatan bersama bangsa

Indonesia, sebagai sumber otoritas transendental bagi seluruh rakyat Indonesia dalam

pluralitasnya dan dalam kebersamaan sosialnya

IV. 3. Maksud Perumusan Masing-Masing Sila Dari Pancasila

Memperhatikan konteks kelahirannya dan mencermati proses perumusan dan penetapan

Pancasila sebagai karakter dan dasar negara sebagaimana terpapar pada uraian-uraian di poin

IV.1 dan IV.2, maka maksud urutan dan rumusan masing-masing sila dari Pancasila dpat

didiskripi sebagai berikut:

IV.3.a. Maksud Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Ditetapkannya “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dimaksudkan sebagai

dasar yang memimpin. Artinya kelima sila dari Pancasila tidak ada yang lepas dari yang lain.

38

Mohammad Hatta,Memoir(Jakarta:Tinta Nas Indonesia,1979), 458-9. Lihat Saafroedin Bahar dkk.,

Risalah Sidang . . . , 415.

Page 17: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

115

Sila yang satu harus djalankan bersamaan dengan sila-sila yang lainnya. Tidak ada yang

boleh terlepas dengan sendirinya. Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai lapis etik dari

dasar negara didahulukan, karena ia merupakan sumber yang tidak hanya semata-mata

rasional, sehingga bila suatu saat bangsa Indonesia buntu jalan atau sesat jalan, ada unsur

gaib yang memberikan petunjuk dan yang akan mendorong bangsa ini menuju ke jalan yang

benar39

. Dengan berdasar “Ketuhanan Yang Maha Esa”, nasionalisme Indonesia ialah

nasionalisme ke-timuran dan sekali-kali bukanlah nasionalisme ke-baratan yang menurut

perkataan C.R. Das adalah suatu nasionalisme yang menyerang-nyerang, suatu nasionalisme

yang mengejar keperluannya sendiri. Suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi.

Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang digerakkan oleh spirit bahwa Indonesia

adalah perkakasnya Tuhan sehingga harus hidup dalam roh.40

Dengan berdasar “Ketuhanan Yang Maha Esa”, Indonesia adalah negara demokrasi

yang memberi tempat pada peran publik agama tanpa terjebak dalam paham teokrasi. Dalam

hal ini, bangsa Indonesia tidak meniru sejarah negara-negara Barat yang mengalami

pertentangan antara agama dan negara. Mulanya gereja menguasai segala-galanya termasuk

negara. Kemudian negara memprotes sampai akhirnya berbagi tugas, dunia diurus negara,

akhirat diurus gereja. Dengan berdasar “Ketuhanan Yang Maha Esa”, Indonesia adalah

negara demokrasi dimana fungsi antara agama dan negara tidak dalam pola penyatuan atau

pemisahan namun dalam pola pembedaan, ada urusan agama dan ada urusan negara. Dalam

pola yang demikian, negara tidak dikendalikan oleh agama dan agama tidak diperalat oleh

negara.41

IV.3.b.Maksud Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab

Dengan ditetapkannya “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab”, sebagai sila kedua dari

Pancasila, dimaksudkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang menghargai manusia sebagi

manusia dari segi batinnya. Melalui sila kedua ini, Pancasila yang adalah karakter dan

falsafah Indonesia melihat semua anak manusia yang walaupun pada berbeda suku, ras dan

agama adalah sesama manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi dan bermartabat.

Sebagai bangsa yang berperikemanusiaan, Indonesia hendak menjalankan perilaku yang anti

kekerasan dan anti penyiksaan42

. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi kemanusiaan,

39

Z.Yasni,Bung Hatta Menjawab,Cetakan ketiga(Jakarta:Gunung Agung,1980),90-91. 40

Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 68. 41

Z.Yasni,Bung Hatta Menjawab. . . . , 89. Lihat juga Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 72-4. 42

Z.Yasni,Bung Hatta Menjawab . . . , 90.

Page 18: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

116

Indonesia memiliki kesadaran bersama bahwa setiap manusia dari latar belakang apapun dia,

adalah teman dan kawan seperjuangan, bukan musuh, bukan benda atau mesin atau barang

mati. Oleh karena begitu kesadaran bersama Pancasila, Indonesia melihat bahwa unsur

manusia sangat penting dihormati dan jangan sampai diinjak atau terinjak. Dalam hal ini,

kekerasa, intimidasi, teror, mau menang sendiri bukanlah jiwa Indonesia.43

Prinsip kehidupan dalam sila “Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab” seperti

termaksud di atas, memberi tempat bagi semua agama di Indonesia ada dalam posisi yang

setara, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Semua agama di Indonesia memiliki hak

dan kewajiban yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua agama

Indonesia memiliki tanggung jawab bersama untuk membangun Indonesia menuju cita-

citanya. Agama-agama yang ada di Indonesia bukan hanya sekedar aksesoris yang menempel

di Indonesia dan karena itu dapat berlaku semena-mena dan dangkal terhadap Indonesia.

Semua agama menjadi bagian yang utuh dari Indonesia bukan dalam rangka menguasai

Indonesia menurut tradisi yang membentuknya, melainkan semua agama ada dalam rangka

memanifestasikan keindonesian. Semua agama Indonesia terpanggil untuk selalu sensitif dan

korektif terhadap segala tindakan dan perilaku mereka, agar mereka jangan sampai

mengkhianati karakter dan cita-cita Indonesia. Agama-agama Indonesia terpanggil untuk

membuang sifat triumphalis dan kebiasaan hidup sendiri-sendiri secara eksklusif, karena itu

akan mengganggu karakter keindonesiaan yang sangat menghargai kemanusiaan.

IV.3.c. Maksud Sila Persatuan Indonesia

Penetapan “Persatuan Indonesia” sebagai sila ketiga dari Pancasila, adalah menganti

sila Kebangsaan yang disebut Soekarno. Hal itu terjadi demikian karena pada masa BPUPKI

dan PPKI bekerja, ada suatu arah-arah Jepang hendak membagi-bagi Indonesia. Dengan

penekanan pada Persatuan Indonesia sebagai ganti kata Kebangsaan, dimaksudkan bahwa

Indonensia sebagai suatu bangsa tidak dapat dibagi-bagi dan harus tetap menjadi satu.

Penekanan Persatuan Indonesia yang demikian ini, dimaksudkan bahwa Indonesia adalah

bangsa yang didasarkan pada kolektivisme bukan individualisme. Maksudnya Indonesia

adalah bangsa yang berbeda dengan kebanyakan bangsa Eropa, tidak mendahulukan individu

dari masyarakat, namun mengutamakan masyarakat dari individu.44

43

Z.Yasni, Bung Hatta Menjawab . . . , 92-93. 44

Ibid., 91.

Page 19: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

117

Melalui sila “Persatuan Indonesia” Pancasila sebagai ideologi politik Indonesia,

membuat Indonesia yang terdiri dari berbagai identitas primordial menyatu menjadi satu

keluarga besar Indonesia.Namun ideologi politik Indonesia ini tidak menghilangkan identitas

primordial. Oleh karena itu, jati diri Indonesia yang berideologi politik Pancasila, memiliki

dua identitas yaitu identitas nasional dan identitas primordial. Kedua identitas ini tidak bisa

ditiadakan dan juga tidak bisa saling meniadakan. Sebaliknya kedua identitas ini saling

mendukung dan menguatkan. Hubungan timbal balik antara identitas nasional dan identitas

primordial membuat Indonesia menjadi sungguh Indonesia. Memaksakan satu identitas

primordial menjadi identitas nasional bagi yang lainnya, membuat Indonesia tidak menjadi

Indonesia yang sesungguhnya. Dalam hal ini, setiap komponen Indonesia dalam kategori

identitas primordial harus mengidentifikasi dirinya sebagai anak bangsa dan bukan sebagai

anak emas. Sebagai anak bangsa, masing-masing komponen bangsa terpanggil untuk diatur

dan dikontrol oleh identitas nasional demi optimalnya fungsi mereka sebagai bagian dari

keluarga besar Indonesia.45

Gagasan tentang persatuan Indonesia, tidak dimaksudkan untuk menghapuskan segala

wujud dan bentuk keragaman yang secara alami, kultural dan historis ada dan berkembang

dalam proses dinamik mengindonesia dari segenap penduduk yang sebelumnya berada di

wilayah Hindia Belanda. Nampaknya, cita-cita yang demikianlah yang melatarbelakangi

Indonesia menetapkan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan nasional. Sebagai semboyan

nasional, Bhinneka Tunggal Ika adalah pengakuan masyarakat Indonesia akan keragaman

bangsa dan sekaligus merupakan penegasan bahwa keragaman Indonesia itu diikat oleh

bingkai kesatuan. Dalam bercita-cita mewujudkan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika,

yakni Indonesia yang satu dalam keragaman dan beragam dalam kesatuan, setiap komponen

bangsa terpanggil untuk mengelola secara dialektik antara ide kesatuan dan realita keragaman

Indonesia.46

Setiap komponen bangsa patut merawat dan menghargai keragaman Indonesia

tidak dalam rangka mengorbankan kesatuan Indonesia. Demikian pula setiap rakyat

Indonesia patut memeliara dan mengutamakan kesatuan Indonesia, namun tidak dalam

rangka menafikan keragaman Indonesia.

45

John A.Titaley, Religiositas Di Alinea Tiga Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-

Agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 37-38. Bandingkan, John A Titaley, Pluralisme Agama

Dan Nasionalisme, Peranan Agama Dalam Pembentukan Dasar Dasar Kehidupan Berbangsa Di Indonesia

(Bogor: Materi ceramah seminar agama-agama, September,1992), 16. 46

Djohan Effendi, Pluralisme dan Kebebasan Beragama (Yogyakarta: Institut Dian/Interfidei,

Cetakan IV, 2013),1-3.

Page 20: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

118

IV.3.d. Maksud Sila Kerakyatan Yang dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanan Dalam

Permusyawaratan/Perwakilan

Dengan ditetapkannya “Kerakyatan Yang dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam

Permusyawaratan/Perwakilan, sebagai sila keempat dari Pancasila dimaksudkan bahwa

demokrasi yang hendak dianut oleh Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara

terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi Indonesia bukan demokrasi liberal dan juga bukan

demokrasi totaliter. Demokrasi yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan ini, dihidupkan

melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang dapat

menghadirkan suatu toleransi dan sintesis yang positif, sekaligus dapat mencegah kekuasaan

dikendalikan oleh mayokrasi dan minokrasi.47

Dalam demokrasi permusyawaratan, suatu keputusan politik dikatakan benar jika

memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan

keadilan, bukan hanya berdasarkan subyektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua,

didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau

golongan. Ketiga berorientasi jauh kedepan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui

akomodasi transaksional yang bersifat destruktif atau toleransi negatif. Keempat, bersifat

imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak, minoritas

terkecil sekalipun, secara inklusif yang dapat menangkal, dikte-dikte minoritas elite penguasa

dan pengusaha, serta klaim-klaim mayoritas.48

Bertolak dari empat persyaratan yang harus

dipenuhi dalam setiap pengambilan keputusan politis dalam demokrasi permusyawaratan itu,

Hatta menegaskan bahwa faham demokrasi Indonesia didasarkan pada mufakat sebagai hasil

daripada permusyawaratan. Dalam bermufakat sebagai hasil dari permusywaratan, mufakat

tidak dipaksakan sebagaimana lazim terjadi di negeri-negeri totaliter, melainkan dibuat

setelah masyarakat menggunakan haknya untuk menyatakan pendapat dalam

permusyawaratan.49

Lebih jauh Hatta mengemukakan bahwa, sebagai bangsa yang

berdemokrasi permusyawaratan, setiap rakyat Indonesia berikhtiar untuk merawat mentalitas

kolektifnya tanpa harus menjadi objek kolektivitas yang tidak memiliki kebebasan. Dalam

merawat mentalitas kolektifnya setiap rakyat Indonesia tetap sebagai subyek yang

mempunyai kemauan. Kemudian Hatta juga mengatakan bahwa sebagai bangsa yang

47

M.Hatta, Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia(Jakarta:Penerbit Fasco,1957),34-5. 48

Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 478. 49

Ibid., 478-479.

Page 21: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

119

bermental kolektif demokratis, Indonesia berkehendak agar pendapat dan tindakan setiap

rakyatnya cendrung dikendalikan oleh kepentingan umum. Dalam arti kemauan pribadi setiap

rakyat Indonesia harus beroperasi dalam batas garis kontur kemaslahatan umum.50

Melalui gagasan demokrasi yang berorientasi pada kemaslahatan umum seperti

termaksud di atas,Indonesia hendakmenjadi tempat bagi setiap rakyatnya untuk mewujudkan

kebebasan dengan dijiwai oleh rasa persamaan, persaudaraan dan kekeluargaan bagi semua

kelompok ideologiyang ada di Indonesia.51

Dalam berdemokrasi yang demikian ini,

dimungkinkan terjadinya transformasi diri bagi masing-masing kelompok yang ada di

Indonesia. Hal itu diasumsi demikian, karena dalam mewujudkan kebebasan yang tidak

menafikan perasaan bersetara, bersaudara dan berkeluarga, dimungkinkan terjadinya

pemaknaan baru akan hakikat masing-masing kelompok, bahwa dirinya hanya bermakna

sepanjang ia berada dalam relasi yang setara, sederajat, sepersaudaraan bahkan

sekekeluargaan dengan kelompok Indonesia lainnya.

Dalam rangka berdemokrasi Pancasila yang transformatorik, masing-masing identitas

etnik dalam interaksinya dengan indentitas etnik lainnya, perlu terbuka untuk menerima yang

lain dalam batasan cita-cita Indonesiayang mensejahtera, yaitu Indonesia yang hidup

menghargai manusia sebagai manusia, yang hidup dalam persatuan, dan yang hidup dalam

kesetaraan.Dalam demokrasi yang transformatorik, juga terkandung maksud bahwa Indonesia

melihat perbedaan ideologi bukan sebagai ancaman yang harus dimusnahkan, bila senyatanya

ideologi tersebut tidak berseberangan dengan apa yang diperjuangkan Indonesia yakni

kemanusiaan, persatuan, dan kesetaraan.Ideologi-ideologi yang demikian ini, justru dapat

dipergunakan untuk memperkaya rekayasa sosial bangsa Indonesia52

IV.3.e. Maksud Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Penetapan sila “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sebagai sila kelima

dari Pancasila, dimaksudkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat menghargai

manusia sebagai manusia dari segi lahirnya. Sebagai bangsa yang sangat menghargai manusia

sebagai manusia dari segi lahirnya, Indonesia melihat bahwa memperbaiki taraf kehidupan

rakyat secara fisik sangat penting. Mengadakan perbaikan kehidupan rakyat agar rakyat tidak

hidup dalam kemiskinan tetapi dalam kemakmuran, bagi Hattaadalah strategi efektif untuk

50

Yudi Latif, Negara Paripurna . . . , 479. 51

Ibid.,480. 52

John A.Titaley, “Panggilan Gereja Dalam Heterogenitas Masyarakat

Indonesia”,Makalah(Salatiga,19 Juli 1997),2.

Page 22: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

120

merawat dan memperkuat suatu bangsa melawan komunisme. Dengan maksud untuk

membenarkan pendapatnya, Hatta menyebutkan bahwa kehidupan rakyat yang makmur di

Amerika Serikat, menyebabkan tak ada tempat berpijak bagi komunisme berkembang di

Amerika Serikat. Kalaupun dahulu di sana ada masalah diskriminasi terhadap penduduk kulit

hitam, tetapi karena penduduk Amerika yang berkulit hitam memiliki hidup yang lebih baik

dibandingkan dengan sesama mereka yang berkulit hitam yang hidup di negara-negara lain,

maka mereka juga tidak bisa menjadi tempat berpijaknya komunisme.53

Masih terkait dengan sila kelima, Hatta mengatakan bahwa, sila “Kerakyatan Yang

Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan”, berhubungan

erat dengan sila “ Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.54

Hatta berkata demikian,

karena menurut dia, demokrasi politik saja tidak akan dapat mewujudkan persamaan dan

persaudaraan Indonesia. Disamping demokrasi politik, Indonesia melalui sila kelima

Pancasila, juga memberlakukan demokrasi sosial ekonomi. Tanpa ada demokrasi politik dan

ekonomi, Indonesia belum merdeka, Indonesia belum hidup dalam persamaan dan

persaudaraan.55

Senada dengan komentar Hatta ini, Soekarno juga mengkumandangkan

bahwa tanpa ekonomi yang merdeka tidak mungkin kita bisa mendirikan negara, dan tidak

mungkin kita bisa hidup secara merdeka.56

Komentar Hatta dan Soekarno ini, mengantarkan

kita untuk melihat bahwa sila kerakyatan didahului dengan sila persatuan dan diakhiri dengan

sila keadilan. Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia mengandaikan adanya semangat

kekeluargaan terlebih dahulu, dan setelah demokrasi politik dijalankan, pemerintah yang

memegang kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial. Demokrasi politik

menjadi prasyarat bagi demokrasi sosial ekonomi yang besifat kekeluargaan.57

Para pendiri Republik Indonesia secara sadar menganut pendirian bahwa revolusi

kebangkitan bangsa Indonesia, sebagai bekas bangsa terjajah dan sebagai bangsa yang telah

hidup dalam alam feodalisme ratusan tahun lamanya, harulah berwajah dua: revolusi politik

dan revolusi sosial. Revolusi politik adalah untuk mengenyahkan kolonialisme dan

imperialisme serta untuk mencapai satu negara Republik Indonesia. Revolusi sosial adalah

untuk mengoreksi struktur sosial-ekonomi yang ada dalam rangka mewujudkan suatu

masyarakat adil dan makmur. Keadilan dan kemakmuran sebagai tujuan akhir dari revolusi

53

Z.Yasni,Bung Hatta Menjawab . . . , 92-3. 54

M. Hatta,Tanggung Djawab Moril . . . ,35, 55

M.Hatta,Demokrasi Kita(Jakarta:Pandji Masyarakat,1960),24. 56

Soekarno,Revolusi Belum Selesai:Kumpulan Pidato Presiden Soekarno,30 September 1965,

Pelengkap Nawaksara(Yogyakarta:Ombak,2005),587. 57

Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 484.

Page 23: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

121

Indonesia, hendak diwujudkan dengan jalan mensinergikan demokrasi politik dengan

demokrasi ekonomi, melalui pengembangan dan pengintegrasian pranata kebijakan ekonomi

dan pranata kebijakan sosial, yang berorientasi kerakyatan, keadilan dan kesejahteraan.

Keadilan ekonomi dan jaminan sosial diupayakan tanpa mengorbankan hak milik dan usaha

swasta. Hak milik pribadi dan daulat swasta dihormati dalam kerangka penguatan kedaulatan

seluruh rakyat.58

Makna dari sila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” seperti terurai di atas

menunjukkan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah bukan kapitalis dan juga bukan

sosialis, tetapi sosialis ala Indonesia. Sistem sosialis ala Indonesia adalah perpaduan dari apa

yang baik dari kapitalis dan sosialis, dan seraya dengan itu penghilangan apa yang buruk dari

kedua sistem itu. Sistem sosialis ala Indonesia dalam berekonomi adalah sistem yang

menjunjung tinggi kebebasan individu untuk membangun ekonomi dan mendapat hak milik,

namun dengan penekanan bahwa setiap individu itu adalah individu yang kooperatif dengan

sikap altruis yang mengedepankan tanggungjawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan

kolektif. Jadi sistem ekonomi sosialis ala Indonesia adalah sistem yang dijiwai oleh semangat

tolong-menolong, kekeluargaan, gotong-royong, kooperasi, guna untuk mengupayakan

keuntungan bersama dalam berekonomi.59

Dalam sistem ekonomi Indonesia yang demikian,

tidak dibenarkan seorang atau satu golongan kecil menguasai penghidupan orang banyak.

Sebaliknya keperluan rakyat yang harus menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok

dalam berusaha. Dengan sistem ekonomi sosialis ala Indonesia, Soekarno merindukan ada

persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia di lapangan ekonomi, agar tidak ada kemiskinan di

dalam Indonesia merdeka.60

Sebagai ekspresi dari demokrasi yang bersemangat keadilan, demokrasi Indonesia

mengembangkan sistem pemerintahan yang memberi peran penting pada negara dalam

mengembangkan kesejahteraan rakyat. Para pendiri bangsa menghendaki penjelmaan negara

Republik Indonesia sebagai “negara kesejahteraan” atau “negara pengurus”. Basis legitimasi

“negara kesejahteraan” atau “negara pengurus” ala Indonesia ini, bersumber pada empat jenis

tanggung jawab yaitu: perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan dan keadilan-perdamaian.

Negara memilki legitimasi perlindungan sejauh dapat melindungi segenap bangsa Indonesia

dengan mengatasi paham perseorangan dan golongan. Negara memiliki legitimasi

58

Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 492-3. 59

Ibid., 529,570,574,588. 60

Ibid., 583.

Page 24: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

122

kesejahteraan sejauh dapat menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan

yang menguasai hajat hidup orang banyak, menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat,

mampu mengembangkan perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan, serta mengembangkan pelbagai sistem jaminan sosial. Negara memiliki

legitimasi pengetahuan sejauh dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dengan jalan

memajukan pendidikan dan kebudayaan. Negara memiliki legitimasi keadilan-perdamaian,

sejauh ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

dan keadilan sosial dengan mengembangkan politik luar negeri bebas aktif.61

Dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, Indonesia bermaksud menjadi

bangsa yang beragama dengan menjunjung tinggi perikemanusiaan dan persatuan. Bangsa

yang hendak menyelesaikan persoalan Indonesia dengan musyawarah untuk mufakat bukan

dengan logika mayoritas. Bangsa yang hendak melihat penduduk Indonesia tidak hidup

dalam kesenjangan sosial yang ekstrem.62

IV.4. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila

Nilai-nilai Pancasila atau religiositas Indonesia sebagaimana telah tergambar sedikit

pada uraian tentang maksud perumusan dari masing-masing sila Pancasila, dapat dijabarkan

lebih dalam dengan menggalinya dari proklamasi kemerdekaan Indonesia, dari Pembukaan

UUD 1945 dan dari Batang Tubuh UUD 1945. Hal itu dimungkinkan demikian, karena nilai-

nilaikeindonesian sebagaimana terbenam atau terkandung dalam Pancasila, tertuang dan

terjabar dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia, dalam Pembukaan UUD 1945 dan dalam

Batang Tubuh UUD 1945. Dengan kata lain, semua konsepsi yang terdapat pada Proklamasi

Kemerdekaan Indonesia, Pembukaan UUD 1945, dan Batang Tubuh UUD 1945

merefleksikan nilai-nilai keindonesian, memancarkan kesadaran bersama Indonesiadan

menjunjung tinggi kontrak sosial rakyat Indonesia.63

IV. 4.a. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Naskah Proklamasi Kemerdekaan

Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia berbunyi sebagai berikut:“Proklamasi. Kami

Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal hal yang berkaitan

61

Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 483,484,493. 62

Yonky Karman,Republik Galau Merajut Asa Esai-Esai Tentang Negara, Bangsa Dan

Kepemimpinan,Cetakan Kedua(Jakarta:BPK Gunung Mulia,2014),118. 63

Kaelan, Pancasila Yuridis Kenegaraan (Yogyakarta: Liberty, 1987), 73.

Page 25: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

123

dengan penyerahan kekuasaan dan lain-lain dilaksanakan secara saksama dan dalam tempo

yang sesingkat-singkatnya.Jakarta, 17 Agustus 1945. Atas nama Bangsa Indonesia Soekarno-

Hatta”. Teks proklamasi ini merupakan pernyataan mengenai dekolonisasi Indonesia.

Proklamasi kemerdekaan itu menggambarkan bahwa Soekarno dan Hatta mewakili bangsa

Indonesia. Bangsa Indonesia yang kemerdekaannya diproklamirkan itu, adalah bukan hanya

kemerdekaan dari satu identitas suku atau satu identitas agama saja, melainkan kemerdekaan

bangsa Indonesia dengan segala kemajemukan suku dan agama yang dianut oleh

penduduknya.64

Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia disusun oleh Soekarno-Hatta dengan para

pemuda pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 03.00 pagi. Teks itu tidak mengikuti rancangan

Pernyataan Indonesia Merdeka yang dipersiapkan oleh BPUPKI. Rencana Pernyataan

Indonesia Merdeka yang dipersiapkan oleh BPUPKI,65

merupakan pengembangan dari

Piagam Jakarta. Konsep Indonesia merdeka versi rencana Pernyataan Indonesia Merdeka

adalah Indonesia sebagai kelanjutan Sriwijaya dan Majopahit, Indonesia yang berada di

bawah persemakmuran Jepang, dan Indonesia yang Islam. Disinyalir oleh Titaley,

sehandainya rancangan ini, yang dipakai untuk proklamasi Indonesia merdeka, maka akan

ada tiga hal yang menjadi ciri dominan Indonesia. Ketiga ciri itu ialah: Pertama, Indonesia

adalah kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya dan Majopahit. Kedua, Indonesia adalah bagian

dari Jepang sebagai saudara tua. Ketiga, Indonesia adalah Islam. Melihat latar yang demikian,

teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, secara substantif menolak dan menggugurkan

hakikat Indonesia tiga dimensi seperti yang dimaksudkan dalam rancangan BPUPKI. Teks

proklamasi dalam bentuk dua kalimat sederhana namun mengandung makna yang sangat

mendalam dan berarti, menyingkapkan bahwa Indonesia adalah bangsa dengan paham, siprit

dan nilai kebangsaan (persatuan) sehingga meraih kemerdekaan dan kini menjadi satu

bangsa.66

IV.4.b. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Pembukaan UUD 1945

Pembukaan UUD 1945 terdiri dari empat alinea. Alinea pertama berbunyi, “Bahwa

sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan

64

Aidul Fitriciada Azhari, UUD 1945 Sebagai Revolutiegrounwet:Tafsir Postkolonial atas Gagasan-

gagasan Revolusioner dalam Wacana Konstitusi Indonesia (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), 48. 65

Rancangan Pernyataan Indonesia Merdeka yang dipersiapkan oleh BPUPKI tertera pada lampiran 2

daridisertasi ini. 66

Saafroedin Bahar dkk. Risalah Sidang,390. Lihat John Titaley, Pertimbangan-Pertimbangan

Pendirian Program Pascasarjana Bidang Studi Agama dan Masyarakat (PPSAM) (Salatiga:UKSW,1991), 5.

Bandingkan juga Marwati Djoened Poesponegoro Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia-VI, 66.

Page 26: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

124

di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri-

keadilan.” Kalimat pada alinea pertama dari Pembukaan UUD 1945 ini, mengandung suatu

pernyataan oyektif dan subyektif. Dalam pernyataan obyektif didogmakan bahwa

imperialisme tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, sehingga harus

ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di dunia dapat menjalankan hak kemerdekaaan

sebagai hak asasinya. Dalam dogma ini juga terkandung panggilan bahwa setiap hal atau sifat

yang bertentangan atau tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan, juga harus

secara sadar ditentang oleh bangsa Indonesia. Dalam pernyataan subyektif disaksikan bahwa

alinea pertama Pembukaan UUD 1945, adalah juga sebuah aspirasi bangsa Indonesia sendiri

untuk membebaskan dirinya dari imperialisme dan kapitalisme, yang memperlakukan mereka

secara tidak manusiawi dan tidak beradab dalam kurun waktu yang sangat lama. Nilai

keindonesiaan yang ada pada alinea pertama Pembukaan UUD 1945, yang bersifat historis

namun juga sangat bersifat universal, adalah sebuah pengagungan dan pemuliaan akan

kemanusiaan manusia.67

Alinea kedua Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “Dan perjuangan pergerakan

kemerdekaan Indonesia, telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat

sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu kemerdekaan Negara Indonesia yang

merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.” Kalimat ini mencerminkan: Pertama, adanya

ketajaman penglihatan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampai pada tingkat

yang menentukan. Kedua, adanya pemahaman bahwa momentum berupa kemerdekaan yang

telah dicapai tersebut harus dimanfaatkan untuk menyatakan kemerdekaan. Ketiga, adanya

kesadaran bahwa kemerdekaan itu bukan merupakan tujuan akhir, tetapi masih harus diisi

dengan mewujudkan negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Bertolak

dari pemahaman dan kesadaran yang demikian, maka nilaikeindonesiaan sebagaimana

diproyeksikan oleh alinea kedua Pembukaan UUD 1945 ialah sebuah penghargaan akan

kebebasan, persatuan, kedaulatan dan keadilan.

Rumusan alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 berbunyi, “Atas berkat rahmat Allah

Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan yang luhur, supaya berkehidupan

kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.”

Kata “Allah” dalam teks ini harus diganti dengan kata “Tuhan” sesuai dengan konsensus

67

Soekarno, Indonesia Menggugat (Jakarta: Yayasan Pendidikan Sukarna-Inti Idayu Press, 1983), 13-

61. Bandingkan, John Titaley, Nilai-Nilai Dasar Yang Terkandung Dalam Pembukaan Undang Undang Dasar

1945 (Salatiga: Fakultas Teologi UKSW,1999),8. Bandingkan juga,Tim Pusdiklat Pegawai, Undang-Undang

Dasar 1945 (Jakarta: Pusdiklat Pegawai, 2008), 15.

Page 27: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

125

PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Kesepakatan tentang pengakuan iman bersama semua agama

Indonesia untuk menamai “dia yang mutlak itu” sebagai “Tuhan” bukan “Allah” adalah

penamaan konsensus yang berdasarkan sejarah. Dalam kesepakatan itu dipahamai dan

disetujui bahwa kata “Allah” sebagaimana disampaikan oleh I Gusti Ktut Puja, berkonotasi

hanya untuk sebagian manusia Indonesia, sedangkan kata ”Tuhan” dapat mencakup dan

merangkum manusia Indonesia secara keseluruhan. Kesepakatan PPKI untuk menamai “dia

yang mutlak itu” sebagai “Tuhan” dan bukan “Allah” menyatakan bahwa Indonesia menolak

hegemoni agama tertentu dalam berbangsa dan bernegara. Bahwa dalam Lembaran Negara

No.1 tahun 1945 dan dalam Berita Repoeblik Indonesia – No 7 tertanggal 15 Pebroeari 1946,

penaman untuk “dia yang mutlak itu” masih memakai kata “Allah” bukan “Tuhan” adalah

sebuah penulisan yang bertentangan dengan keputusan bersama, tidak memiliki dasar sejarah,

sehingga Indonesia harus memperbaikinya. Perbaikan ini mutlak harus dilakukan sebagai

salah satu langkah untuk tidak menodai karakter keindonesiaan.68

Dengan mengganti kata “Allah” menjadi kata “Tuhan”, alinea ketiga Pembukaan UUD

1945 seyogianya berbunyi: “Atas berkat rahmat Tuhan ...... maka rakyat Indonesia

menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Menurut Titaley, ini merupakan suatu religiositas

seluruh rakyat Indonesia, yang membuat pernyataan kemerdekaan itu, sebagaimana nampak

dalam anak kalimat terakhir, “maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini

kemerdekaannya.” Rakyat Indonesia ini bukanlah rakyat Indonesia yang beragama Islam

saja, akan tetapi juga yang beragama Hindu, Budha, Kristen, Kebatinan, KongHucu, Marapu,

Kaharingan dan semua agama suku lainnya yang ada di Indonesia. Semua agama Indonesia

mengakui bahwa kemerdekaan itu bukanlah hanya sekedar hak manusia per se, sebab yang

asasi itu bisa menjadi hak manusia karena dimungkinkan oleh rahmat Tuhan. Melalui

pengakuan yang demikian, seperti diungkap Titaley, Indonesia mau menunjukkan rasa

keagamaan dirinya, bahwa teraihnya kemerdekaan yang dalam kenyataannya memang

diperjuangkan oleh bangsa Indonesia dengan korban jiwa, tidak terlepas dari adanya campur

tangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Makna dari pengakuan yang demikian, memperlihatkan

bahwa religiositas Indonesia adalah sebuah kesadaran bersama bangsa Indonesia bahwa rasa

68

John Titaley, “Panggilan Gereja Dalam Konteks Heterogenitas Masyarakat Indonesia” Makalah

(Salatiga, 19 Juli 1997), 7,

Page 28: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

126

kemanusiaannya tidak bisa dilepaskan dari penghayatan atas keyakinan dan rasa

ketuhanannya.69

Sehubungan dengan gagasan religiositas dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 itu

terkait dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, maka Tuhan Yang Maha Kuasa

itu adalah Tuhan dari bangsa Indonesia yang memberi mereka kemerdekaan. Melalui

pemahaman dan pernyataan yang demikian, bangsa Indonesia dalam kepelbagian cara

menghayati agamanya, bersama–sama mengaku mempunyai satu religiositas yang sama,

yaitu adanya kepercayaan bersama terhadap Ketuhanan Yang Maha Kuasa. Dan Ketuhanan

Yang Maha Kuasa itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Pemahaman terhadap Ketuhanan

Yang Maha Esa ini, menurut Titaley harus bertolak dari keberadaan bangsa Indonesia itu

sendiri. Lebih jauh Titaley menegaskan bahwa, sehandainya pemahaman terhadap Ketuhanan

Yang Maha Esa, berangkat dari titik tolak yang lain, maka yang akan terjadi adalah

pengingkaran terhadap keberadaan bangsa Indonesia itu sendiri. Dalam pemahaman yang

demikian, masing-masing agama di Indonesia harus membangun perilaku beragamanya

dalam perspektif bahwa sebagai bangsa Indonesia, mereka bersama mengaku mempunyai

Ketuhanan Indonesia Yang Esa. Dalam pembangunan karakter yang demikian, masing-

masing agama Indonesia patut menempatkan diri sebagai anak bangsa dan anak manusia

Indonesia, anak-anak dari Tuhannya bangsa Indonesia demi terpeliharanya kemanusiaan kita.

Jadi, religiositas Indonesia sebagaimana tertuang dalam ungkapan” atas berkat rahmat Tuhan

Yang Maha Esa”, memiliki signifikansi kemanusiaan yang dalam, dimana masing-masing

agama Indonesia menyadari bahwa mereka setara, sama-sama sesama manusia Indonesia

dihadapan Tuhan.70

Mengingat masing-masing agama Indonesia mengaku bahwa mereka sederajat, sama-

sama sesama manusia Indonesia dihadapan Tuhan, maka dalam religiositas Indonesia semua

agama yang pada beragam terpanggil untuk saling mengakui dan saling menghargai satu

terhadap yang lainnya. Dalam religiositas Indonesia, tidak ada salah satu agama melebihi

agama lain, dihadapan Tuhan dan negara. Religiositas Indonesia yang demikian adalah

religiositas inklusif-transformatif. Disebut inklusif karena sebuah agama menerima

keberadaan agama-agama lainnya. Dikatakan transformatif karena agama itu juga mau

69

John A.Titaley, “Pembangunan dan Pengembangan Umat Kristen di Indonesia:Suatu Refleksi

Kontekstual”, Bahan seminar disampaikan dalam Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung,tanggal

3 Pebruari 1996 di Semarang, 7. 70

Ibid., 8-9.

Page 29: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

127

menerima keberadaan dan kepercayaan agama-agama lain, sebagai bagian dari

keberadaannya, sehingga dimungkinkan terjadinya transformasi dalam diri agama itu.71

Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 menyatakan, “kemudian daripada itu untuk

membentuk susunan pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan

kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang

terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan

berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,

persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia.” Dalam alinea ini terpancar jelas bahwa para pendiri bangsa kita, dari sejak

semula menghendaki terbentuknya suatu negara kesatuan, negara yang bersatu dalam bingkai

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi pokok pikiran dalam alinea keempat ialah adanya

negara persatuan.

IV.4.c. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Beberapa Pasal Dari UUD 1945

Pokok pikiran dalam alinea keempat diuraikan lebih lanjut dalam pasal 1 ayat 1 UUD

1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”

Bangsa Indonesia memilih bentuk negara yang dinamakan Republik yaitu suatu bentuk

negara atau pemerintahan yang mengutamakan pencapaian kepentingan umum (res publika)

dan bukan kepentingan perseorangan atau kepentingan golongan. Dalam negara yang

berbentuk republik, dimana bentuk negara yang demikian ini, ditetapkan untuk tidak boleh

dirubah sebagaimana dinyatakan dalam pasal 37 ayat 5 UUD 1945, tercermin jelas bahwa

nilaikeindonesiaan adalah sebuah kesadaran bahwa masing-masing kelompok Indonesia patut

melakukan praktek kehidupan yang mengutamakan kepentingan bersama, tidak merugikan

kelompok lain, tidak mengkerdilkan golongan lain, apalagi mentiadakannya, sebab jika

demikian gagasan tentang negara persatuan Indonesia akan terancam.

Gagasan tentang negara persatuan juga tertuang dalam pasal 6 ayat 1 UUD 1945, yang

berbunyi, “Presiden ialah orang Indonesia asli.” Panitia Lima dalam uraian Pancasila

71

John Titaley,Nilai-nilai . . . ,13 - 16

Page 30: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

128

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Indonesia asli dalam UUD pasal 6 ayat 1 ialah

manusia Indonesia yang dijiwai persatuan hidup dengan seluruh alam semesta ciptaan Tuhan

Yang Maha Kuasa, dimana ia menjadi makhlukNya pula, menganut agama apa pun

jua.72

Dalam pemahaman yang demikian, UUD 1945 pasal 6 ayat 1 mau menyatakan bahwa

tidak ada penonjolan agama tertentu dalam memilih atau mengangkat pemimpin Indonesia.

Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 juga menyatakan bahwa Indonesia adalah negara “semua buat

semua”, dimana tidak ada agama superior maupun inferior oleh polarisasi populasi penganut

sesuatu agama. Nilai keindonesiaan sebagaimana terbenam dalam pasal 6 ayat 1 UUD 1945

adalah sebuah pengakuan bahwa bangsa Indonesia dalam berbagai perbedaannya justru saling

menerima dan saling membutuhkan satu sama lain.

Religiositas Pancasila sebagaimana termaksud di atas, memandang manusia tanpa

polarisasi suku, agama maupun gender.Semua agama saling mengakui dan menghargai, tidak

ada mayoritas minoritas. Semua agama adalah peserta penuh baik dalam hak maupun dalam

kewajiban dalam berindonesia. Semua agama mendapat ruang yang sama bukan saja untuk

mempertahankan identitasnya masing-masing, tetapi juga untuk menyumbangkan sebaik-

baiknya dan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan seluruh bangsa Indonesia.73

Bertolak

dari pasal 6 ayat 1 UUD 1945, masing-masing agama Indonesia juga terpanggil untuk

mampu berlintas budaya, dalam arti mampu menerima sesuatu di luar atau di atas

keyakinannya yakni keagamaan Indonesia sebagai identitas dirinya selaku manusia

Indonesia.

Makna mengenai negara persatuan tertayang pula dalam pasal 9 ayat 1 UUD 1945 yang

berbunyi, “Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik

Indonesia(Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,

memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan

peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa.” Kata “Allah”

dalam teks ini seyogianya perlu diganti juga dengan kata “Tuhan “sesuai konsensus PPKI

tanggal 18 Agustus 1945. Dengan perbaikan itu, maka sumpah Presiden/Wakil Presiden

berbunyi,“Demi Tuhan Yang Maha Kuasa, saya bersumpah....”. Sumpah yang demikian tidak

didominasi oleh satu religi tetapi disesuaikan dengan religiositas Indonesia. Menurut pasal 9

72

Mohammad Hatta dan Panitia Lima: Ahmad Subardjo Djojodisujo, A. A. Maramis, Sunario, A. G.

Pringgodigdo, Uraian Pancasila (Jakarta: Mutiara,1984), 17. 73

John Titaley, “Kemerdekaan dan Masa Depan Indonesia”, dalam Tim Balitbang PGI (Penyunting),

Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1999), 212-213. Lihat John

Titaley, Nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 (Salatiga: Universitas Kristen Satya

Waacana, 1999), 16-17. Lihat juga Eka Darmaputra, Pancasila Identitas dan Modernitas, 146.

Page 31: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

129

ayat 1 UUD 1945, pemerintah harus menjalankan negara sesuai dengan sumpah

Presiden/Wakil Presiden berdasarkan Ketuhanan keagamaan Indonesia agar pemerintah tidak

kehilangan wibawa ghaib rakyat dari semua agama Indonesia. Pemerintah yang hidup di

dalam religiositas Indonesia, wajib melaksanakan tugas dengan tidak boleh menyimpang dari

jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan nusa dan bangsa. Dalam hal ini tercermin

bahwa religiositas Indonesia adalah sebuah keyakinan akan ketuhanan yang terwujud dalam

tingkah laku manusia(pemerintah dan rakyat) yang bertanggung jawab untuk kemaslahatan

umum.

Pokok pikiran tentang negara persatuan juga terjabar dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945

yang berbunyi,“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.”

Hukum ini terlahir dari fakta bahwa bangsa Indonesia mengakui intervensi Tuhan merahmati

perjuangan bangsa Indonesia yang beragam agama. Pengakuan ini memiliki arti bahwa

pemerintah dan rakyat Indonesia meyakini Tuhan merahmati penganut agama apapun yang

ada di Indonesia. Menjamin kebebasan beragama berarti saling mengakui dan saling

mengusahakan keharmonisan dalam berinteraksi antar agama. Pada saat menjabarkan sila

ketuhanan bagi Indonesia merdeka, Soekarno tidak saja menyebut bahwa masing-masing

agama Indonesia bertuhan tuhannya sendiri-sendiri, melainkan juga dia mengatakan bahwa

negara Indonesia merupakan suatu negara yang bertuhan.

Lebih detailnya Soekarno berkata sebagai berikut:“Hendaknja negara Indonesia ialah

negara jang tiap-tiap orangnja dapat menjembah Toehannja dengan tjara jang leloeasa.

Segenap rakjat hendaknja ber-Toehan setjara keboedajaan, ja’ni dengan tiada egoisme-

agama. Dan hendaknja negara Indonesia satu negara jang bertoehan.”74

Perkataan Soekarno

ini mengandung makna bahwa umat beragama Indonesia dalam alam Indonesia merdeka

nanti tidak hanya sekedar menjadi pemeluk-pemeluk suatu agama saja, tetapi lebih dari itu

diharapkan menjadi manusia Indonesia yang memiliki peri kehidupan beragama ala

Indonesia. Dengan kata lain, dalam Indonesia merdeka nanti, semua umat beragama

Indonesia diharapkan tidak saja merupakan masyarakat yang pada beragama, tetapi lebih dari

itu menjadi masyarakat pemeluk sebuah agama yang memiliki religiositas Indonesia yakni

sebuah keyakinan akan ketuhanan yang berimplikasi sosial. Sebuah kesadaran bersama untuk

74

Saafroedin Bahar, dkk., (penyunting), Risalah Sidang . . . , 81.

Page 32: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

130

menghormati Tuhan dengan menghapus kolonisasi dalam hal beragama dan melihat semua

agama yang ada di Indonesia adalah setara dihadapan Tuhan, bangsa dan Negara.75

Melalui ungkapan ungkapan seperti: “ber-Toehan secara keboedadajaan, dengan tiada

egoisme agama, dan hendaknya negara Indonesia satoe negara jang bertoehan, dengan tjara

berkeadaban, hormat menghormati satoe sama lain, berketoehanan jang berboedi pekerti jang

loehoer”, Soekarno hendak menunjukkan bahwa religiositas Pancasila tidak diambil dari

salah satu rumusan agama yang ada. Religiositas Pancasila adalah sebuah cita-cita dari rakyat

Indonesia untuk berperilaku sesuai dengan keberadaban manusia-manusia Indonesia.

Religiositas Pancasila adalah sebuah cita-cita bersama dari seluruh rakyat Indonesia untuk

berperilaku sebagai pemeluk agama yang tidak egois, yang berani terbuka untuk saling

menghormati, dan yang berbudi pekerti luhur. Religiositas Pancasila merupakan suatu akad

dan tekad bersama dari manusia-manusia Indonesia untuk menghayati kehidupan mereka

selaku satu bangsa yang merdeka dan berketuhanan yang maha esa. Keberagamaan Pancasila

memiliki kepentingan yang sama dengan kebangsaan Indonesia yakni terciptanya kebangsaan

Indonesia yang bulat. Arti kebangsaan Indonesia yang bulat adalah tidak memuja suatu

kepentingan kelompok, melainkan kebangsaan yang menegakkan peri kemanusiaan secara

universal. Religiositas Pancasila adalah keberagamaan yang tidak mengkultuskan suatu

agama, melainkan menyatukan agama-agama yang ada pada aras praksis bagi penegakkan

peri kemanusiaan.76

Religiositas Pancasila itu berbeda dengan agama. Religiositas Pancasila bukanlah

agama yang berpretensi mengatur sistem kepercayaan, sistem peribadatan dan identitas

keagamaan. Religiositas Pancasila adalah berupa nilai moral universal agama-

agamaIndonesia, sehingga tidak dapat dilepaskan dari cita-cita Indonesia untuk

memperjuangkan kebebasan, kemanusiaan, persatuan, dan keadilan. Dalam religiositas

Pancasila, semua agama Indonesia terpanggil untuk memikirkan ulang keberadaannya,

dogmatisme dan ritualismenya dalam memperjuangkan cita-cita Indonesia yang universal

termaksud di atas. Dalam religiositas Pancasila semua agama di Indonesia dimungkinkan

untuk melakukan tinjauan kritis terhadap eksistensinya di Indonesia. Dalam religiositas

Pancasila, terpancar jelas bahwa agama adalah suatu pranata ilahi yang juga pada saat yang

sama memiliki pranata sosial. Dalam religiositas Pancasila tidak ada perpisahan antara yang

75

Yayasan Idayu (pengumpul), Sekitar Tanggal dan Penggalinya, Guntingan Pers dan Bibliografi

tentang Pancaila, edisi II (Jakarta: 1991), 198 76

Lahirnya Pancasila, dalam Bacaan Kuliah Agama Dan Masyarakat, program pasca sarjana

Universitas Kristen Duta Wacana, dikumpulkan oleh John Titaley (Salatiga, UKSW, 1993),475-6.

Page 33: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

131

ilahi dengan yang alami. Keharmonisan antara manusia degan sesama, alam dan Tuhan

adalah kerohanian Indonesia.Karena begitu religiositas Pancasila, maka pranata ilahi yang

diemban oleh agama-agama patut diformulakan seturut dengan ideologi politik Indonesia,

agar semua agama Indonesia fungsional di Indonesia. Dalam hal ini, masing-masing agama

Indonesia tidak dapat memaksakan religionisme di negara Indonesia. Sebaliknya justru

religiositas Indonesia berfungsi sebagai pendorong bagi pemeluk-pemeluk agama menjadi

pejuang-pejuang kemerdekaan, kemanusiaan, kesatuan, kesamaderajatan, dan keadilan.77

Religiositas Pancasila sebagaimana termanifestasi dalam Teks Proklamasi

Kemerdekaan, dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 (seperti padapasal 1, 6, 9 dan

29,) adalah sebuah keyakinan atau kesadaran bersama rakyat Indonesia bahwa semua anak

bangsa adalah umat kepunyaan Tuhan yang sama-sama diberi hak untuk hidup dalam

kemerdekaan, persatuan dan kesetaraan. Bertolak dari kesadaran bersama ini, seluruh rakyat

Indonesia terpanggil untuk menjunjung tinggi rasakemanusiaan, rasa persatuandan rasa

kesetaraan dalam berbangsa dan bernegara. Mengingkari kemanusiaan anak bangsa dan

memperlakukan mereka secara diskriminatif adalah sebuah tindakan yang sangat tidak

menghormati Tuhan, sangat tidak manusiawi, tidak memancarkan rasa persatuan sehingga

sekaligus juga sebagai tindakan yang mengingkari religiositas Indonesia. Sebaliknya perilaku

yang menjamin kemerdekaan anak bangsa, menjunjung tinggi rasa kemanusiaan, merawat

persatuan, menegakkan kesederajatan sebagai wujud menghayati rasa ketuhanan demi

keadilan dan kemakmuran bersama, adalah perbuatan yang sangat mencerminkan religiositas

Indonesia.78

Religiositas Pancasila sebagaimana tergambar di atas, dalam pandangan Titaley

bukanlah sebuah religiositas yang eksklusif atau inklusif atau pluralis, tetapi transformatoris.

Bahwa religiositas Pancasila itu bersifat transformatoris, menurut Titaley, karena religiositas

Pancasila menuntut pemahaman yang melewati batas-batas kebenaran ajaran dan dogma hasil

pergumulan manusia dalam agama-agama tertentu. Lebih jauh Titaley mengemukakan bahwa

dalam religiositas Pancasila semua agama Indonesia memposiskan dirinya sebagai manusia

yang bertuhan kepada satu sajaTuhan manusia, yaitu Tuhan Pencipta, sumber dari segala

kehidupan dan kemanusiaan manusia. Di depan Tuhan yang satu itu, bangsa Indonesia degan

77

Yudi Latif,Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Penerbit

PT Gramedia Pustaka Utama, cetakan keempat, 2012), 110-111. 78

John A.Titaley, Pembangunan dan Pengembangan Umat Kristen di Indonesia: Suatu Refleksi

Kontekstual, Bahan seminar disampaikan dalam Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung, tanggal

3 Pebruari 1996 di Semarang, 14-15.

Page 34: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

132

agamanya masing-masing mengakui dirinya secara sadar bahwa mereka semua adalah sama-

sama anak-anak Tuhan itu, dengan segala kekuatan dan kelemahan mereka, kemuliaan dan

kehinaan mereka. Dalam religiositas Pancasila, banga Indonesia adalah manusia-manusia

yang berusaha dengan segala kekuatannya belajar untuk memahami lebih baik Tuhan yang

satu itu dan kehendakNya bagi umat manusia, melalui pengalaman bersama dan pengenalan

terhadap sesamanya dengan agamanya. Dalam religiositas Pancasila, yakni dalam sebuah

kesadaran dan sikap keagamaan yang bersifat transformatoris, bangsa Indonesia

dimungkinkan untuk menjadi manusia Indonesia yang baik dari Tuhan yang semakin mereka

kenal dengan lebih baik.79

Dilihat dari maksud Pancasila sebagaimana tertuang dalam urutan dan rumusan sila-

silanya dan berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung di dalam rumusan Pancasila

sebagaimana terjabar dalam Proklamasi Kemerdekaan, Pembukaan UUD’45, dan Batang

Tubuh UUD’45, dapat disimpulkan bahwa Pancasila yang merupakan sumber otoritas

transendental bagi Indonesia, yang melahirkan dan yang akan memelihara bahkan yang akan

menyelamatkan Indonesia, dalam meraih kesejahteraan bersama mereka adalah berupa

pengagungan akan kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan.

IV.5. Aktualisasi Pancasila Dalam Perjalanan Sejarah Bangsa

Aktualisasi Pancasila sebagai karakter dan dasar negara Indonesia dalam sejarah

perjalanan bangsa, dilihat dari segi inspirasi fenomenal yang diberi Presiden, bisa

diklasifikasi kedalam tiga jenis aktualisasi. Ketiga jenis aktualisasiitu ialah: aktualisasi

Pancasila sebagai karakter dan ideologi politik Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno,

aktualisasi Pancasila sebagai karakter dan ideologi politik Indonesia pada masa pemerintahan

Soeharto, dan aktualisasi Pancasila sebagai karakter dan ideologi politik Indonesia pada masa

pemerintahan Abdurrahman Wahid (masa reformasi). Nampaknya, tidak sulit untuk diasumsi

bahwa bentuk penghayatan akan Pancasila sebagai karakter dan ideologi politik Indonesia,

sangat ditentukan oleh konteks negara dan bangsa Indonesia pada masing-masing masa itu.

Pada masa pemerintahan Soekarno (1945-1966), konteks Indonesia lebih terarah kepada

persoalan bagaimana kedudukan negara Indonesia dalam menghadapi Negara-negara lain,

sehingga negara dan bangsa kurang tanggap untuk menyelesaikan masalah-masalah yang

berkaitan dengan problem intern. Konteks Indoneia pada masa pemerintahan Soeharto (1966-

1998) lebih terfokus pada masalah-masalah intern yang berkaitan dengan kesadaran nasional

79

John A. Titaley, Pembangunan dan Pengembangan . . . , 15-6.

Page 35: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

133

yang merelativisasikan dan mempersatukan kepentingan-kepentingan dari kelompok

solidaritas kultural. Kemudian konteks Indonesia pada masa Reformasi (1998 - sampai kini)

merupakan konsentrasi kebangsaan Indonesia yang ditandai oleh kesadaran akan pemilahan

antara pemahaman kebangsaan sebagaimana terumus dalam Pancasila dan UUD 1945,

dengan pemahaman terhadap jenis pemerintahan dalam mengurus bangsa dan negara.

IV.5.a. Aktualisasi Pancasila Pada Masa Pemerintahan Soekarno

Pemerintahan Soekarno dimulai pada tanggal 18 Agustus 1945, ketika PPKI

mengangkat Soekarno sebagai Presiden dan Muhammad Hatta sebagai wakil Presisden

Republik Indonesia. Di masa awal pemerintahannya (1945-1949), Soekarno mengijinkan

lahirnya partai-partai politik dengan karakternya masing-masing. Semua partai politik

termaksud dapat dikelompokkan kedalam tiga aliran ideologi besar, yaitu partai politik yang

berorientasi pada ideologi keagamaan, ideologi kebangsaan, dan ideologi Barat modern non

agama.80

Tujuan dibiarkannya lahir partai-partai politik adalah untuk memperkuat perjuangan

bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun dalam

kenyataannya, munculnya partai-partai politik itu hanya menyebabkan berkembangnya

ideologi kelompok, tidak menciptakan adanya kemajuan dalam pemahaman dan penghayatan

serta penghormatan terhadap Pancasila sebagai karakter dan ideologi politik Indonesia.81

Pada masa lima tahun pertama pemerintahan Soekarno (1945-1949), ketika pola politik

partai-partai lebih berorientasi kepada ideologi golongan masing-masing dan mengabaikan

Pancasila sebagai falsafah dan ideologipolitik Indonesia, hakikat politik kelompok anak

bangsa cendrung lepas dari rasa persatuan, kemanusiaan,dankesetaraan.Hakikat politik yang

demikian, menimbulkan di dalam benak masing-masing kelompok anak bangsa, usaha-usaha

ke arah pemusatan kekuasaan dan kekuatan, yang selanjutnya menghasilkan struktur politik

adu kekuatan dan struktur penghitungan kawan-lawan. Struktur politik yang antagonistis ini,

yang dalam pelaksanaannya menghasilkan power-struggle, mengakibatkan banyak

ketegangan, kecurigaan, perpecahan dan juga banyak kali menyebabkan adanya pertumpahan

darah dan pembunuhan di antara sesama anak bangsa.82

80

J. Kristiadi, “Sejarah Perkembangan Organisasi Sosial dan Politik di Indonesia”, Analisa (Jakarta:

CSIS, 1984-1988), 601-2. 81

A. M. W. Pranarka, Sejarah pemikiran tentang Pancasila (Jakarta: Yayasan Proklamasi, CSIS,

1985), 79. 82

A. M. W. Pranarka, Menuju Satu Indonesia Baru (Yogyakarta, 1991), 24.

Page 36: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

134

Pemberontakan-pemberontakan yang terjadi pada kurun waktu 1945-1949 adalah

indikator bahwa masing-masing kelompok tega melakukan tindakan kekerasan ketika mereka

hanya terobsesi oleh ideologi golongannya, namun sementara itu Pancasila sebagai

religiositas Indonesia sama sekali tidak terinternalisasi di dalam diri mereka. Tindakan

kekerasan yang demikian itu, bisa terlihat dari pemberontakan Partai Komunis Indonesia

pada bulan September 1948 di Madiun. Karena terobsesi oleh ideologi politik komunis,

mereka menentang sistem pemerintahan yang dinilainya kurang berafiliasi bagi kepentingan

rakyat, dan mereka berjuang menegakkan kelas proletar. Tindakan kekerasan yang mengadu

kekuatan, juga bisa dilihat dari pemberontakan Darul Islam atau Tentara Islam Indonesia

pimpinan Kartosuwiryo, yang karena terobsesi oleh ideologi agama memproklamirkan negara

Islam pada bulan Agustus 1949, sebagai jalan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara

agama. Disamping pemberontakan tersebut di atas, juga ada pemberontakan yang bersifat

kesukuan seperti gerakan Republik Maluku Selatan yang ingin mendirikan negara kesukuan

di daerah Maluku pada tahun 1950, pemberontakan pemerintah revolusioner Republik

Indonesia (PRRI) di Sumatra, yang kemudian bergabung dengan gerakan Pembangunan

Semesta(Permesta).

Dalam periode lima tahun pertama pemerintahan Soekarno (1945-1949) Indonesia

memiliki dua Undang-Undang Dasar, yaitu UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 dan UUD

Republik Indonesia Serikat tertanggal 27 Desember 1945. Hal itu terjadi demikian, karena

Negara Republik Indonesia Serikat(RIS) hasil dari perundingan meja bundar di Den Haag

Belanda, dimana melaluinya Belanda ingin melemahkan kedudukan Republik Indonesia, juga

memiliki Undang-Undang Dasarnya sendiri. Pancasila sebagaimana dicantumkan dalam

pembukaan UUD 1945, ia dicantumkan juga dalam pembukaan UUD RIS sebagai dasar

negara. Nampaknya keadaan yang demikian ini, membuat Indonesia pada masa pemerintahan

Soekarno di periode 1950-1959, memberlakukan Undang-Undang Dasar sementara (UUDS)

yaitu Undang-Undang Dasar 1950 tertanggal 15 Agustus 1950. Dalam pembukaan UUDS,

Pancasila tetap diterima sebagai dasar negara. Penamaan UUD sementara untuk UUD 1950

agaknya mengindikasikan bahwa pemerintah dan bangsa Indonesia menaruh harap Majelis

Konstituante hasil pemilihan umum 1955, akan membuat Undang-Undang Dasar yang baru

dan permanen.

Sebelum pemilihan umum digelar, Pancasila mendapat dukungan yang kuat dari

berbagai komponen bangsa. Lambang nasional yang berbentuk Garuda telah disetujui pada

tahun 1951 dengan lambang Pancasila dikalungkan pada lehernya. Pada tahun 1951

Page 37: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

135

juga,Angkatan Bersenjata merumuskan sumpah prajurit. Dalam sumpah prajurit tersebut

antara lain dinyatakan bahwa seorang prajurit Indonesia adalah seorang yang berdiri di atas

Pancasila sebagai ideologi negara, pendukung yang bertanggung jawab dan juga pelindung

Pancasila sebagai ideologi Indonesia.Angkatan Bersenjata menempatkan dirinya sebagai

pendukung kuat Pancasila. Pancasila juga diterima sebagai satu-satunya dasar oleh beberapa

partai kecil yang baru berdiri.83

Pada masa administrasi Soekarno di periode 1950-1959, bahkan berlanjut sampai tahun

1962, aneka gerakan dari kelompok Darul Islam, seperti gerakan Ibnu Hajar di Kalimantan

Selatan pada tahun 1950, Gerakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan pada tahun 1951,

Gerakan Tentara Islam Indonesia di Jawa Tengah padatahun 1951, Gerakan Daud Beureueh

di Aceh pada tahun 1953,84

tetap berusaha untuk mengganti Pancasila dengan Islam sebagai

dasar negara Indonesia. Usaha itu mereka lakukan baik dengan jalan kekerasan maupun

melalui jalur legal dalam persidangan Konstituante(1957-1959) di Bandung. Waktu

perdebatan dalam Konstituante tentang dasar negara, semua partai Islam sudah bulat

menyuarakan satu cita-cita memperjuangkan ajaran dan hukum Islam menjadi dasar dan

ideologi Negara Republik Indonesia. Perdebatan tentang dasar negara ini mengalami jalan

buntu, sebab baik golongan yang mempertahankan Pancasila sebagai ideologi Negara

maupun golongan yang menghendaki Islam sebagai ideologi Negara, tidak mencapai

mayoritas dalam pemungutan suara. Pemerintah memang mengusulkan supaya, Konstituante

mengesahkan UUD 1945, namun usaha kembali ke UUD 1945 juga mengalami kegagalan,

walau sudah sampai tiga kali diadakan pemungutan suara. Keadaan yang sangat kritis secara

politis inilah yang mendorong Presiden Soekarno untuk menggunakan hak darurat negara

mengadakan Dekrit Presiden Indonesia kembali ke UUD 1945 pada tanggal 5 Juli 1959.

Hal yang juga terjadi pada periode 1950-1959 dari pemerintahan Soekarno, adalah

fakta bahwa Partai Komunis Indonesia (PKI) semakin menguat di Indonesia. Soekarno

merangkul dan banyak memakai orang-orang dari PKI melaksanakan kebijakannya. Hal itu

dilakukan Soekarno, agaknya karena pada masa itu PKI adalah partai yang kuat dan memiliki

banyak kader yang militan. Sangat bisa jadi, Soekarno bertimbang bahwa PKI dapat dipakai

dan diajak bekerjasama untuk menentang penjajahan Belanda di Irian Barat.85

Strategi

Soekarno yang mendekat kepada PKI ini, menimbulkan rasa tidak senang dan kekhawatiran

83

A.M.W.Pranarka,Sejarah Pemikiran . . . , 91-93. 84

J. Kristiadi,Sejarah Perkembangan . . . , 611. 85

Sajuti Melik, “Perkenalan Saya dengan Bung Karno”,80 Tahun Bung Karno(Jakarta:Pustaka Sinar

Harapan,1981),87.

Page 38: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

136

dari beberapa kelompok masyarakat. Ketidaksenangan termaksud tercermin pada sikap dari

beberapa komponen bangsa seperti, Partai Katolik menolak konsepsi Presiden pada tanggal

21 Pebruari 1957 karena Partai Katolik tidak mau duduk dalam satu kabinet dengan orang-

orang PKI.86

Demikian juga beberapa Sinode Gereja KristenProtestan seperti Gereja Masehi

Injili Minahasa dan Huria Kristen Batak Protestan menulis keprihatinan terhadap

perkembangan ajaran komunis.87

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memang telah menghentikan perdebatan mengenai dasar

negara di dalam sidang Konstituante. Tetapi kontroversi mengenai dasar negara belum

berakhir. Tidak lama berselang sesudah dekrit Presiden, kedudukan Pancasila

dipermasalahkan dengan dimajukannya persoalan tentang kedudukan Piagam Jakarta.

Masalah ini muncul sebab ada pendapat yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta harus

memiliki kedudukan hukum sebagai kaidah fundamental negara.88

Merespon persoalan ini,

Partai Kristen mengemukakan bahwa Piagam Jakarta hanyalah memiliki kedudukan sebagai

dokumen sejarah saja, bukan sebagai dokumen yang mempunyai kekuatan hukum.

Pandangan dari Partai Kristen ini juga memperlihatkan bahwa, kedudukan Piagam Jakarta

hanya disebutkan di dalam konsiderans, tidak di dalam dictum.89

Kontroversi mengenai dasar

negara yang belum berakhir ini, menunjukkan bahwa Pancasila sebagai ideologi dan

religiositas Indonesia sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 belum diterima secara benar

oleh seluruh masyarakat Indonesia. Beberapa golongan masih berkeinginan untuk

menafsirkan Pancasila menurut ideologi kelompoknya masing-masing. Keadaan yang

demikian ini berpotensi menimbulkan pertentangan ideologis diantara anak bangsa.

Bertolak dari asumsi dan dalam rangka mengantisipasi kemungkinan terjadinya

pertentangan ideologis diantara anak bangsa yang justru dipicu oleh kehidupan partai, maka

pemerintahan Soekarno pada tanggal 31 Desember 1959 mengeluarkan Penpres No.7 tahun

1959 tentang syarat-syarat bagi kepartaian. Syarat-sayarat bagi kepartaian tersebut adalah

sebagai berikut: Pertama, partai harus menerima dan mempertahankan asas dan tujuan

Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UUD 1945 yang memuat dasar-dasar negara

86

G. Moedjanto, “Pandangan Khatolik Dan Sejarah Demokrasi di Indonesia”, Himpunan materi

saresehan Dewan Riset Nasional ke IV (Jakarta: 1989),138. 87

Dewan Gereja Indoneia,Warta Pekerjaan Badan Pekerja DGI dari Juli 1953-Juli 1956 (Jakarta:

DGI), 21-22. 88

Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Dan Sejarah Konsensus Nasional Antara

Nasionalis Islam Dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959 (Bandung:

Pustaka Salman ITB, 1983), 116-128. 89

J. C. T. Simorangkir, “Tentang Anjuran Untuk Kembali Kepada Undang-Undang Dasar 1945,

Honeste Vivere (Jakarta: Fak. Hukum UKI No. 11, 1991), 70.

Page 39: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

137

yaitu:Ketuhanan Yang Maha Esa,Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia,

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,

dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedua, program kerja berdasarkan

Manifesto Republik Indonesia. Ketiga, dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga

harus dengan tegas dicantumkan organisasi lain yang mendukung, dan atau bernaung di

bawah partai politik. Keempat, dalam memperjuangkan kegiatan harus menggunakan jalan

damai dan demokratis. Kelima, partai harus mempunyai cabang yang tersebar paling sedikit

seperempat jumlah Daerah Tingkat (Dati) I dan jumlah cabang minimal seperempat jumlah

Dati II di seluruh Indonesia. Keenam, partai tidak boleh menerima orang asing sebagai

pengurus maupun bantuan dari orang asing. Ketujuh, Presiden berhak mengawasi dan

memerintahkan untuk memeriksa tata usaha, keuangan dan kekayaan partai-partai.90

Syarat-syarat kepartaian seperti tersebut di atas, pada periode 1959-1965 dari

pemerintahan Soekarno, ternyata belum mampu menciptakan politik yang stabil. Hal ini

terjadi demikian, agaknya karena masyarakat telah terlanjur masuk kedalam kotak-kotak

golongan yang berorientasi kepada ideologi kelompok bukan kepada ideologi Indonesia.

Keadaan yang demikian, menimbulkan pertentangan di antara anak bangsa. Pertentangan

yang terjadi itu tidak hanya di antara partai-partai politik, tetapi juga di antara organisasi-

organisasi masyarakat yang bernaung di bawah partai-partai politik. Pertentangan-

pertentangan adu kekuatan di dalam masyarakat semakin lama semakin tajam dan meningkat

menjadi pemberontakan. Salah satu pemberontakan dimana beberapa tokoh Partai Politik

Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia terlibat, adalah pemberontakan yang dilakukan oleh

kelompok anak bangsa yang bermaksud memisahkan diri dari negara Republik Indonesia dan

ingin mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sehubungan dengan

terlibatnya beberapa tokoh dari Partai Politik Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dalam

pemberontakan itu, maka melalui Keppres No.200 dan 201 tahun 1960, kedua partai tersebut

dibubarkan.91

Dengan dibubarkannya Partai Masyumi, hubungan Soekarno dengan beberapa kekuatan

politik-politik Islam agak renggang. Sementara itu, kendatipun Partai Naional Indonesia

adalah partai terbesar namun karena sedang ada dalam perpecahan, maka Partai Komunis

Indonesia menjadi partai politik terkuat di Indonesia pada masa lima tahun terakhir

pemerintahan Soekarno. Walaupun keadaannya demikian, Soekarno tetap setia kepada cita-

90

J.Kristiadi, Sejarah Perkembangan . . . , 614-5. 91

Ibid., 615.

Page 40: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

138

citanya untuk mempersatukan kekuatan-kekuatan yang secara ideologis berbeda bahkan

bertentangan, menjadi satu kekuatan melalui konsep nasional agama dan komunis

(NASAKOM). Dalam konsep NASAKOM Soekarno berkeyakinan dan berharap bahwa

meskipun masing-masing golongan mempunyai ciri khasnya sendiri-sendiri, semua golongan

tersebut dapat dipersatukan guna mencapai tujuan bersama yaitu masyarakat Indonesia yang

adil dan makmur. Kemudian dalam rangka mengajak rakyat untuk menyelamatkan dan

melanjutkan revolusi, Soekarno dalam pidatonya pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan

Indonesia, dengan judul “Laksana Malaikat yang Menyerbu dari Langit: Jalannya Revolusi

Kita”, mengkumandangkan Manifestasi Politik: UUD 1945, Sosialisme Indonesia,

Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia (MANIPOL

USDEK). Menurut Soekarno,MANIPOLUSDEK adalah proyeksi daripada Pancasila. Ia

merupakan satu kesatuan dengan Pancasila. Lebih jauh Soekarno menegaskan bahwa

MANIPOL USDEK adalah progresif kiri yang mengabdi kepada kepentingan masyarakat

banyak, dalam semangat gotong royong.92

Upaya Soekarno sendiri, untuk menggalang semua kekuatan bagi persatuan bangsa,

nampak nyata dalam amanat yang disampaikannya, pada Sidang Raya V Dewan Gereja-

Gereja di Indonesia yang berlangsung di Jakarta pada tahun 1964. Melalui amanatnya yang

berjudul “Tudjuan Revolusi Indonesia Paralel dengan Tudjuan Agama Kristen”, Soekarno

ingin komunitas Kristiani Indonesia berpartisipasi aktif dalam revolusi yang berlangsung di

Indonesia.93

Upaya Soekarno untuk menggalang semua kekuatan bagi persatuan bangsa juga

terlihat jelas dalam sikapnya yang bersahabat terhadap beberapa institusi Islami seperti

Yayasan Api Islam yang berdiri tahun 1964, yang memiliki arah pikiran sejalan dengan

konsep NASAKOM, bahwa untuk mencapai kebebasan manusia, makhluk ciptaan Allah

meliputi semua umat manusia, baik Islam maupun bukan, harus membentuk persatuan dan

solidaritas.94

Konsep NASAKOM, MANIPOL USDEK dan posisi PKI yang seolah-olah berperan

sebagai pembela Soekarno, dipakai oleh PKI sebagai batu loncatan untuk memperjuangkan

cita-citanya. Berlindung dibalik citra baiknya di mata Soekarno, PKI beserta ormas-ormasnya

meningkatkan aktivitas politiknya yaitu memperluas pengaruh ideologi yang dianutnya di

92

Sukarno, Amanat Proklamasi: Pidato Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Jilid III

(Jakarta: Inti Idayu Press-Yayasan Pendidikan Soekarno,1986), 145. 93

Dewan Gereja Indonesia, Jesus Kristus Gembala Jang Baik(Djakarta: DGI, 1964), 343-344 94

Howard M.Federspiel, “Soekarno dan Apolog-Apolog Muslimnya”, Jurnal Ulumul Quran (II/1990

No.7), 40-2.

Page 41: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

139

kalangan masyarakat. PKI semakin berani melakukan tekanan-tekanan terhadap kelompok

nasionalis dan agamais, serta pada waktu yang bersamaan berusaha meningkatkan

pengaruhnya kepada Soekarno.95

Dalam suasana yang demikian, kedudukan Pancasila sebagai

religiositas Indonesia menjadi semakin kabur. Pancasila sebagai kesadaran dankonsensus

bersama Indonesia telah tergantikan oleh NASAKOM dan MANIPOL USDEK, yang

dirasakan sebagai ideologi baru dengan fungsi kritis yang lebih nyata dibandingkan dengan

Pancasila. Dalam keadaannya yang demikian, walau Pancasila banyak dibicarakan, pada

masa lima tahun terakhir pemerintahan Soekarno, namun secara formal, pemahaman dan

penghayatan akan Pancasila telah menjadi suatu interpretasi, yang bila dicermati secara kritis

sesungguhnya pemahaman dan penghayatan itu, tidak lagi sama dengan Pancasila.96

Bahwa pemahaman dan penghayatan PKI tidak lagi sama dengan Pancasila,

sebagaimana terlihat dalam tindakannya, melakukan tekanan-tekanan terhadap kelompok

nasionalis dan agamais, menampak juga dalam aksinya mendalangi usaha kudeta dalam

gerakan 30 September 1965. Mengingat fakta-fakta yang terkumpul banyak mengindikasikan

keterlibatan PKI dalam usaha kudeta itu, maka kelompok nasionalis dan agamais merapatkan

barisan, kemudian menyatukan pendapat untuk menuntut pembubaran PKI oleh Presiden

Soekarno. Atas tuntutan komponen-komponen bangsa tersebut, maka Preiden Soekarno

mengeluarkan surat perintah pada tanggal 11 Maret 1966 (Supersemar) diberikan kepada

Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, dalam menjamin

stabilitas keamanan demi kelancaran pemerintahan dan revolusi. Berdasarkan surat perintah

tersebut, maka Jenderal Soeharto pada tanggal 12 Mare 1966 atas nama Presiden/Panglima

tertinggi mengeluarkan keputusan Presiden nomer: 1/3/1966 yang isinya menyatakan

pembubaran PKI97

. Terkait dengan keputusan ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat

Sementara, pada tanggal 5 Juli 1966 dalam Sidang Umum-IV telah mengeluarkan Ketetapan

MPRS Nomer: XX/MPRS/1966, tentang Pancasila98

sebagai satu-satunya sumber dari segala

sumber hukum di Indonesia, dan Ketetapan MPRS Nomer: XXV/MPRS/1966. yang isinya

memperkuat keputusan Presiden Nomer: 1/3/1966 tentang pembubaran PKI dan pernyataan

95

Alfian,Komunikasi Politik Dan Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991),

40-1. 96

A.M.W.Pranarka, Sejarah Pemikiran . . . , 246. 97

I Ketut Seregig, Filsafat Pancasila . . . , 119-120. 98

Pancasila yang dimaksud oleh Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 ialah Pancasila yang terdapat

dalam Pembukaan UUD 1945, A. H. Nasution, Ketetapan 2 MPRS Tonggak Konstitusionil Order Baru

(Djakarta: Pantjuran Tujuh, 1966), 133-151.

Page 42: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

140

sebagai partai terlarang, serta meningkatkan keputusan Presiden termaksud menjadi ketetapan

MPRS.99

Seiring dengan dibubarkannya Partai Komunis Indonesia, bahkan dinyatakannya

sebagai partai terlarang di Indonesia, maka runtuhlah konsep NASAKOM dan MANIPOL

USDEKnya Soekarno, dan berakhir pula masa pemerintahan Soekarno.Kesadaran dan

konsensus bersama Indonesiasebagaimana tertuang dalam Pancasila, senyatanya memang

adalah sebuah titik berangkat dan titik tujuan Indonesia untuk mewujudkan: kemanusiaan,

persatuan, dan kesetaraan. Pada jaman Soekarno nilai-nilai ini memang sudah dipahami dan

dihayati sebagai ideologi bangsa. Namun karena pemerintahan Soekarno agak lengah dan

terkesan sangat mempercayai partai-partai, ternyata partai-partai politik di Indonesia, tidak

serta merta dengan sendirinya menghidupi kesadaran dan konsensus bersama Indonesia itu,

tetapi justru mereka lebih berorientasi kepada ideologi dan kepentingan kelompok mereka

masing-masing, bahkan ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain. Walaupun ada

banyak tantangan menghadang dan mencoba untuk merobohkannya, Pancasila sebagai

sebuah sintese nilai-nilai luhur bangsa (moralitas bangsa) dan kesepakatan politis Indonesia

berupa : kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan, telah membuktikan kesaktiannya bahwa bila

nilai-nilai Pancasila itu dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten akan sanggup

menyelamatkan Indonesia dari kehancuran dan ketiadaannya.100

IV.5.b. Aktualisasi Pancasila Pada Masa Pemerintahan Soeharto

Dengan berbekal sejarah bagaimana Pancasila dihayati oleh komponen anak bangsa

pada masa pemerintahan Soekarno (1945-1965), Soeharto memulai pemerintahannya dengan

mengajak seluruh anak bangsa melakukan suatu reaksi dan koreksi prinsipil, terhadap

praktek-praktek tidak diterapkannya nilai-nilai Pancasila berupa kesatuan, kemanusiaan dan

kesetaraan secara murni dalam berbangsa dan bernegara. Reaksi awal yang dilakukan

Soeharto dalam mengendalikan negara dan bangsa yang berlandaskan Pancasila, ialah

membubarkan Partai Komunis Indonesia. Pembubaran PKI dilakukan, nampaknya adalah

karena dalam pandangan beberapa komponen anak bangsa, ideologi komunis dipahami

sebagai suatu idilogi kediktatoran yang dengan sengaja memperalat rakyat demi kepentingan

golongan tertentu. Disamping itu, ideologi komunis juga diidentifikasi sebagai atheisme dan

sebagai sebuah ideologi yang membantutkan peranan agama yang positif serta mencurigai

99

I Ketut Seregig,Filsafat Pancasila . . . , 121. Lihat juga A.H. Nasution, Ketetapan 2 MPRS Tonggak

Konstitusionil Order Baru (Djakarta: Pantjuran Tujuh, 1966), 133-151. 100

C. S. T. Kansil, Pancasila & Undang Undang Dasar 1945 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), 268.

Page 43: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

141

agama sebagai sesuatu yang mampu menghambat pembangunan nasional. Dengan kata lain,

peranan dan fungsi ideologi komunis dihadapan beberapa komponen anak bangsa, pada masa

awal pemerintahan Soeharto, dilihat tidak sesuai dengan karakter keindonesiaan, karena

senyatanya ideologi komunis hanya sebagai pengacau dan perusak stabilitas, kesatuan, dan

ketahanan nasional, sebabmenghancurkan pembangunan Indonesia dalam bidang politik,

ekonomi, dan sosial.101

Berangkat dari pemahaman seperti tersebut di atas dan seusai pembubaran PKI,

Soeharto mengemudikan roda bahtera Indonesia, dengan mengajak seluruh rakyat Indonesia

untuk memahami dan mengamalkan Pancasila sebagai jiwa, pandangan dan cara hidup dari

bangsa Indonesia. Soeharto melihat bahwa nilai-nilai Pancasila memang baru dibahas sebagai

perjanjian bersama bangsa Indonesia, oleh wakil-wakil rakyat Indonesia pada masa persiapan

kemerdekaan dan baru ditetapkannya sehari setelah proklamasi kemerdekaan. Namun

sesungguhnya, nilai-nilai Pancasila itu berupa cinta akan kemanusiaan, kebersamaan dan

kesetaraan adalah pandangan hidup rakyat Indonesia yang telah lama berurat akar pada

kebudayaan masyarakat Nusantara. Oleh karena begitu keadaan Pancasila, maka dalam

rangka menghayati dan mengamalkannya, Soeharto menghimbau seluruh rakyat Indonesia

untuk melihat Pancasila sebagai pedoman hidup bersama bangsa Indonesia, yang harus

diterapkan setiap hari secara murni dan konsekuen dalam segala segi kehidupan, dalam tata

pergaulan Bangsa Indonesia dan dalam tingkah laku rakyat Indonesia, demi tercapainya

tujuan akhir Indonesia, yaitu Indonesia adil dan makmur. Terkait dengan himbauan ini,

Soeharto mengingatkan bahwa Pancasila tidak boleh berubah lagi menjadi NASAKOM dan

MANIPOL USDEK atau ideologi lainnya yang berseberangan dengan moralitas Pancasila.102

Soeharto juga mengajak rakyat Indonesia untuk mengidentifikasi dan mengamalkan

Pancasila sebagai tujuan hidup bangsa Indonesia. Sebagai tujuan hidup bangsa, Soeharto

menegaskan bahwa Pancasila patut diamalkan demi terciptanya masyarakat Indonesia yang

Pancasilais sejati. Sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, maka penghayatan Pancasila

sebagaimana diserukan Soeharto, dilakukan untuk menuntun rakyat Indonesia menjadi

masyarakat yang bersifat religius dan kekeluargaan. Masyarakat Indonesia yang bersifat

religius dan kekeluargaan adalah masyarakat Indonesia yang hormat kepada Tuhan Yang

101

Sekretaris Negara Republik Indonesia,Gerakan 30 Sepetember, Pemberontakan Partai Komunis

Indonesia,Latar Belakang Aksi dan Penumpasanya,dengan kata pengantar oleh Murdiono (Jakarta: Ghalia

Indonesia, Cet. II, 1994), 114-116. 102

Krissantono, Pandangan Presiden Suharto tentang Pancasila (Jakarta: CSIS-Yayasan Proklamasi,

1976), 5, 6, 12. Lihat juga Ali Murtopo,Dasar-Dasar Tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun

(Jakarta: CSIS, 1972), 54.

Page 44: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

142

Maha Esa, cinta kepada Tanah Air, kasih dan sayang kepada sesama manusia, suka bekerja

dan rela berkorban untuk kepentingan bersama rakyat Indonesia.103

Pada tanggal 12 April 1968 Soeharto mengeluarkan Intruksi Presiden No.12 tahun 1968

mengenai Tata Urutan Perumusan Pancasila. Intruksi Presiden ini menunjukkan bahwa

sumber Pancasila yang mempunyai kekuatan hukum adalah Pembukaan UUD

1945.104

Intruksi Presiden ini dikeluarkan untuk menangkal tuntutan beberapa segmen dari

kelompok Islam dan mencegah perdebatan mengenai sumber Pancasila. Beberapa segmen

dari kelompok Islam berupaya agar “Piagam Jakarta” menjadi preambul resmi dari Undang

Undang Dasar 1945. Ada dua alasan yang diajukan oleh pihak Islam. Alasan pertama,

“Piagam Jakarta” dalam dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikatakan sebagai “menjiwai UUD 1945

dan menjadi kesatuan dengan Konstitusi” Alasan kedua, ada pada asumsi bahwa muslim

merupakan mayoritas rakyat Indonesia. Pemerintahan Soeharto menyadari bahwa tuntutan

dari kelompok Islam ini akan merusakkan kesatuan bangsa. Berdasarkan pada kesadaran itu

Soeharto menolak tuntutan kelompok Islam.Melihat sikapnya yang demikian, Soeharto

menunjukkan kepada seluruh rakyat, bahwa Indonesia yang berreligiositas Pancasila,

bukanlah negara agama, bukan negara yang didominasi oleh suatu agama tertentu. Tetapi

bangsa yang berkeagamaan Indonesia, yakni bangsa dimana seluruh rakyatnya melalui

masing-masing agama yang dianutnya menjunjung dan menerapkan keagamaan Indonesia

berupa nilai-nilai: kemanusiaan, persatuan, dan kesetaraan.105

Dalam sebuah pidatonya Soeharto pernah menyampaikan bahwa, tanah air Indonesia

adalah karunia Tuhan bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga Indonesia adalah tempat bagi

seluruh rakyat Indonesia secara bersama untuk bertanah air dan berbangsa. Kemudian dalam

pidato itu, Soeharto juga mengingatkan bahwa karena rakyat Indonesia telah ditakdirkan oleh

Tuhan Yang Maha Esa untuk hidup sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia pun telah

bersumpah sebagai bangsa yang bertanah air satu yaitu Tanah Air Indonesia dan berbangsa

satu yaitu Bangsa Indonesia. Berangkat dari kedua fakta tersebut di atas, Soeharto mengajak

seluruh rakyat Indonesia agar melihat perbedaan-perbedaan bukanlah untuk dipertentangkan,

melainkan harus diharmonisasikan guna untuk mencapai cita-cita bersama yaitu

kesejahteraan Indonesia bersama.106

Pidato Soeharto yang demikian ini, sangat jelas

103

Krissantono, Pandangan Presiden Suharto . . . , 22-3. 104

A. M. W. Pranarka,Sejarah Pemikiran . . . , 222-3. 105

H. Anton Djawamaku, “Dialektika Struktur dan Kultur dalam proses Pembaharuan Politik Order

Baru”, Analisa, 1984-8, 640. 106

Krissantono, Pandangan Presiden Soeharto . . . , 29-30.

Page 45: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

143

menunjukkan bahwa Soeharto ingin seluruh rakyat Indonesia mengaktualisasikan

keindonsiaan dengan jalan bertoleransi dan hidup saling menghargai. Hal itu patut dilakukan,

karena Pancasila adalah sebuah kesadaran dan kesepakatan bersama rakyat Indonesia akan

nilai kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan sebagai jalan menuju kebahagiaan bersama.

Dalam banyak kesempatan Soeharto yang ingin rakyatnya mengaktualisasikan

Pancasila sebagai religiositas Indonesia, juga mengurai bahwa agama dan pembangunan tidak

berseberangan, Sebaliknya sejalan bahkan saling memerlu dalam menggapai cita-cita bangsa

yaitu Indonesia sejahtera. Agama tanpa pembangunan tidak akan membuat bangsa menjadi

maju. Sedangkan pembangunan tanpa agama bisa membuat bangsa menjadi kehilangan arah.

Melanjutkan paparan di atas, Soeharto mengemukakan agama akan kehilangan cahayanya

apabila masyarakatnya lemah, miskin, dan melarat. Kemudian dengan maksud untuk

menunjukkan kepada rakyat Indonesia akan kebenaran pandangannya ini, Soeharto juga

memberitahu rakyat Indonesia, bahwa semua agama yang ada di Indonesia mengajarkan

umatnya agar suka membangun. Sembari mengemukakan hal itu, Soeharto juga

mengetengahkan bahwa, tidak ada satu agamapun yang melarang umatnya untuk

bekerjasama dengan umat yang berlainan agama, dalam pembangunan bangsa demi

kepentingan dan kemaslahatan bersama seluruh rakyat.107

Indoktrinasi Soeharto seperti

termaksud di atas mengindikasikan bahwa Soeharto ingin seluruh rakyat Indonesia dalam

mengaktualisasikan Pancasila dalam kehidupan beragama, melakukan karya-karya sosial

yang senyatanya menyejahterakan kehidupan semua umat.

Dalam rangka memantapkan seruannya tentang pengaktualisasian Pancasila secara

murni, demi kemaslahatan bangsa, Soeharto menyelengarakan program kesatuan tafsir

Pancasila yang disebut dengan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila(P4).

Program Soeharto untuk melaksanakan program P4, dicetuskan atau disosialisasikan

beberapa kali. Diantaranya pada waktu Hari Ulang Tahun(HUT) ke -25 Universitas Gadjah

Mada pada tanggal 19 Desember 1974 di Yogyakarta, pada waktu Dies Natalis XXV

Universitas Indonesia pada tanggal 15 Pebruari 1975 di Jakarta, pada waktu acara pembukaan

Musyawarah Kwarnas Gerakan Pramuka se Indonesia pada tanggal 12 April 1976 di Istana

Negara, dan pada waktu upacara pengambilan sumpah para anggota DPR dan MPR pada

tanggal 1 Oktober 1977. Program P4 diselengarakan kepada seluruh rakyat Indonesia yang

meliputi Badan Legislatif, Badan Eksekutif dan Badan Yudikatif, para pengusaha, ekonom,

107

Krissantono, Pandangan Presiden Soeharto . . . , 35-7.

Page 46: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

144

organisasi sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya, keluarga besar ABRI. Program P4

Soeharto tentang kesatuan tafsir Pancasila demi terbentuknya manusia Indonesia yang

berkarakter Pancasilais, yakni manusia yang selalu memuliakan kemanusiaan, kesatuan dan

kesetaraan demi kemaslahatan bangsa, nampaknya dinilai strategis oleh MPR; sehingga

mendapat ketetapan MPR dengan No.II/MPR/1978 tentang PedomanPenghayatan

Pengamalan Pancasila(P4), yang juga disebut dengan Ekaprasetia Pancakarsa. Eka berarti

satu atau tunggal. Prasetia berarti janji atau tekad, Panca berarti lima, dan karsa punya arti

kehendak yang kuat. Dengan demikian Eka Prasetia Panca Karsa berarti tekad yang tunggal

untuk melaksanakan lima kehendak.108

Dalam melaksanakan program pengaktualisasian yang murni tentang Pancasila,

Soeharto melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 10 tahun 1979, membentuk

Badan Pembinaan Pendidikan Pedoman Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan

Pancasila(BP7). Badan ini bersifat non departemen, tetapi berada di lingkungan pemerintahan

yang berkedudukan langsung di bawah Presiden. BP7 berkoordinasi dengan Tim Penasehat

Presiden tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P7), yaitu

tim khusus yang mempersiapkan materi dan pendidikan P4. BP7 dan P7 bertugas

melaksanakan kerja-kerja ideologis untuk mengamankan tafsir terhadap Pancasila.109

Seiring dengan adanya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang

dikeluarkan oleh pemerintahan Soeharto pada masa Rencana Pembangunan Lima Tahun III

(1978-1983), maka bangsa Indonesia disamping memiliki Pancasila sebagai kesepakatan

nasional dengan rumusannya yang umum, kini bangsa Indonesia juga mempunyai pedoman

untuk mengaktualisasikan Pancasila. Dengan melihat latar belakang munculnya, Michael

Morfit menilai bahwa melalui penyusunan dan penerbitan P4, pemerintahan Soeharto mau

menunjukkkan kepada bangsa Indonesia bahwa P4 itu adalah tafsir tentang Pancasila yang

objektif dan legitimate. Jika ada tafsir yang lain, dengan mudah dan cepat diduga sebagai

tafsir yang anti Pancasila dan sekaligus anti negara.Keadaan yang demikian ini

memungkinkan kita berasumsi bahwa, Pancasila pada jaman Soeharto sangat difungsikan

secara nyata dan sakti oleh negara sebagai pertahanan dan integrasi bangsa110

.

108

I Ketut Seregig, Filsafat Pancasila . . . , 125-126. 109

Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Order Baru (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2003), 704. 110

Michael Morfit, “Pancasila: The Indonesian State Ideology According to the New Order

Government”, Asian Survey, Vol. 21, No.8 (Aug.,1981), 845-846.

Page 47: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

145

Tindakan-tindakan demonstratif yang dilakukan pemerintahan Soeharto menjadi fakta

yang membuat asumsi di atas beralasan. Beberapa fakta termaksud dapat disebutkan sebagai

berikut: Pertama, Pemerintahan Soeharto melakukan pembunuhan terhadap banyak orang

komunis Indonesia. Kedua, pemerintahan Soeharto menetapkan 30 September sebagai hari

pengkhianatan terhadap Pancasila dan 1 Oktober sebagai hari kesaktian Pancasila. Penetapan

ini seakan-akan mau berbicara bahwa Pancasila terbukti sakti dari rongrongan kelompok

yang dianggap anti Pancasila dan anti Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga, Soeharto

membangun Monumen Kesaktian Pancasila. Monumen ini dibangun sebagai alat pengikat

dan pembentuk pengetahuan akan saktinya Pancasila sebagai ideologi yang melahirkan dan

sekaligus menyelamatkan Indonesia. Ketiga, pemerintahan Soeharto membuat film tentang

gerakan pengkhianatan terhadap Pancasila berdasarkan tafsir resmi pemerintah.Film ini

dibuat juga untuk memproduksi pengetahuan tentang gerakan mempertahan

Pancasila.111

Melalui aktualisasi Pancasila yang demikian,Soeharto mau menunjukkan bahwa

Pancasila adalah moralitas dan kesepakatan bersama Indonesia atas seperangkat nilai nilai

berupa: kemanusiaan, kesatuan, dan kesetaraan, yang sangat sakti karena ia senyatanya

adalah jiwa yang melahirkan dan jalan yang menyelamatkan Indonesia, sehingga patut

dirawat.

Pada masa pemerintahannya, tindakan-tindakan Soeharto memang sangat menuntun

rakyat Indonesia untuk mengaktualisasikan Pancasila, sebagai moralitas bersama bangsa

Indonesia yang berfungsi untuk mempertahankan Indonesia. Sikap Soeharto yang demikian

itu menampak juga pada kebijaksanan konseptual dan konstitusional yang dibuatnya

sebagaimana tertuang pada Undang-Undang Nomer 8 tahun 1985 tentang Organisasi

Kemasyarakatan. Pada pasal 2 ayat 1 dari Undang-Undangini, dikatakan bahwa organisasi

kemasyarakatan harus berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kemudian pada pasal

16 Undang-Undang ini, dinyatakan bahwa pemerintah membubarkan organisasi

kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan dan menyebarkan paham atau ajaran

komunisme/marxisme-leninisme serta ideologi, paham, atau ajaran lain yang bertentangan

dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam segala bentuk dan perwujudannya.

Melalui Undang-Undang Nomer 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan,

pemerintahan Soeharto mengajak seluruh organisasi masyarakat tidak terkecuali organisasi

agama, untuk menempatkan nilai-nilai Pancasila sebagai nilai-nilai keutamaan dalam

111

Khatharina E. McGregor, History in Uniform: Military Ideology and the Construction of Indonesia,

terjemahan Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah Indonesia

(Yogyakarta: Syarikat, 2008), 161, 163, 173-179.

Page 48: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

146

berorganisasi di Indonesia. Pancasila berfungsi sebagai payung hukum bagi semua organisasi

masyarakat termasuk organisasi agama dalam menjalankan roda organisasi dalam rangka

berindonesia atau demi keselamatan Indonesia.

Aktualisasi Pancasila pada Jaman Soeharto, oleh Michael Morfit, dinilai hanya menitik

beratkan pada fungsi Pancasila sebagai pemersatu dan pertahanan bangsa, namun menafikkan

peranan Pancasila sebagai mobilisator masyarakat dalam pembangunan bangsa.112

Penilaian

Michael Morfit ini nampaknya beralasan sehingga memiliki kebenaran. Hal itu dikatakan

demikian, karena demi keutuhan bangsa, pemerintahan Soeharto memposisikan karyanya

berupa Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, sebagai pemahaman yang objektif

dan legitimate tentang Pancasila. Dalam memimpin rakyat untuk mengaktualisasikan

Pancaila demi keselamatan bangsa, pemerintahan Soeharto menempatkan diri sebagai

penafsir dan penjaga tunggal Pancasila. Terbentuknya aktualisasi Pancasila yang menekankan

keselamatan bangsa, dan sikap pemerintah yang melihat diri sebagai penafsir tunggal

Pancasila, nampaknya tidak terlepas dari latar belakang sejarah bahwa pada era Soeharto,

bentuk penghayatan Pancasila pertama-tama memang sebagai respon terhadap kelompok kiri

yang anti Pancasila. Oleh karena begitu pemerintah memposiskan diri, maka pemahaman lain

tentang Pancasila yang berbeda dengan tafsir pemerintah, walaupun sangat bisa jadi

pemahaman pemerintah tentang Pancasila belum tentu sepenuhnya murni, dan pemahaman

individual atau kelompok komponen bangsa tentang Pancasila bisa jadi memiliki unsur

kebenaran, diabaikan bahkan dihakimi sebagai anti Pancasila dan sekaligus anti Negara.

Dalam hal ini, salah satu contoh bisa dikemukakan bahwa pemerintahan Soeharto tidak bisa

menjawab pertanyaan apakah dapat diketemukan dalam Pancasila, alasan mengapa orang

komunis harus dibunuh dan bukan dibina kembali secara kekeluargaan.113

Pada masa Soeharto, sesungguhnya Pancasila dipahami dan dihayati sama seperti pada

masa Soekarno, yaitu sebagai sintese nilai-nilai luhur bangsa (moralitas bangsa) yang

mengagungkan: kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan, yang berfungsi

sebagaikeselamatanbangsa. Namun pada masa pemerintahan Soeharto, Pancasila lebih

dijadikan sebagai norma untuk menakar mana masyarakat yang Pancasilais dan mana

112

Michael Morfit, “Pancasila: “The Indonesian State Ideology According to the New Order

Goverment”, Asian Survey,Vol. 21, No. 8 (Aug., 1982), 845. 113

Katharine E.McGregor, History in Uniform: Military Ideology and the Construction of

Indonesia,terjemahan Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer dalam Menyusun Sejarah

Indonesia (Yogyakarta: Syarikat, 2008), 171-172,173-179,163.

Page 49: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

147

masyarakat yang anti Pancasila, dari perspektif pemerintah bukan dari sudut pandang

Pancasila itu sendiri.

IV.5.c. Aktualisasi Pancasila Dalam Masa Pemerintahan Abdurrahman Wahid

Abdurrrahman Wahid yang biasa disapa dengan Gus Dur menjadi Presiden Republik

Indonesia pada waktu-waktu awal Indonesia memasuki masa Reformasi. Pada masa-masa

awal Reformasi yang dimulai sejak tanggal 21 Mei 1998, secara evolusioner gaung Pancasila

agak terbenam oleh teriakan-teriakan kaum reformis, sehingga keran kebebasan terbuka

lebar, nyaris tidak ada filter dalam mengekspresikan kebebasan berpendapat, menulis, dan

berkarya. Etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara semakin memudar dan luntur,

tergerus oleh semangat reformasi yang berlandaskan kebebasan. Menghujat para pejabat,

membakar foto pejabat Negara dan menghancurkan fasilitas umum, dianggap reformis

bahkan dipandang sebagai pejuang. Dalam keadaan bangsa yang seperti itu, ketika memberi

sambutan pada waktu pelantikkannya sebagai Presiden ke-4 pada tanggal 20 Oktober 1999,

Gus Dur mengatakan bahwa demokrasi hanya dapat dipelihara dan dikembangkan oleh

orang-orang yang mengerti tentang hakikat demokrasi. Dalam pidato itu, Gus Dur mengajak

seluruh masyarakat Indonesia untuk menjunjung tinggi demokrasi dalam pengertiannya yang

benar, karena hanya dengan cara itu, menurut Gus Dur, Indonesia dapat menegakkan

kedaulatan hukum, kebebasan, persamaan hak bagi semua orang tanpa memandang

perbedaan keturunan, perbedaan bahasa, perbedaan budaya dan perbedaan agama114

. Dari

kalimat Gus Dur yang demikian ini, tampak jelas bahwa dia mengajak seluruh komponen

bangsa, untuk memahami dan menghayati Pancasila sebagai nilai-nilai keindonesiaan yang

tidak membunuh demokrasi, tetapi justru memeliaranya, lewat pemeliaraan hak-hak asasi

manusia dan penegembangan struktur masyarakat yang adil, sebagai jalan untuk

mengagungkan bahkan mengutamakan martabat kemanusiaan.115

Terkait dengan posisi Islam di Indonesia, Gus Dur memaparkan pendiriannya sebagai

berikut: Pertama, Islam harus secara kreatif dan substantif direinterpretasi atau direformulasi

dalam menjawab kehidupan modern. Kedua, dalam konteks keindonesiaan, Islam tidak

seharusnya menjadi agama negara. Ketiga, Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif,

114

Abdurrahman Wahid, Pidato Presiden Terpilih di Hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia, 20 Oktober 1999. 115

Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara,Agama, dan Kebudayaan (Jakarta: Desantara, 2001), 89,

Page 50: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

148

demokratis dan pluralistik daripada menjadi ideologi negara yang eksklusif.116

Dalam

mengelaborasi pendiriannya ini, Gus Dur mengemukakan bahwa formalisasi Islam di

Indonesia, dalam arti mewujudkan hukum Islam secara formal dalam negara Indonesia, akan

mengancam kebersamaan umat Islam Indonesia dan kebersamaan bangsa Indonesia. Hal itu

dikatakan demikian oleh Gus Dur karena fondasi kehidupan Indonesia adalah pada asas

pluralitas. Bertolak dari pendirian dan pandangannya ini, ketika mendengar beberapa suara

yang ingin menjadikan Islam sebagai ideologi negara, Gus Dur menilai bahwa munculnya

suara-suara yang demikian itu adalah karena terjadinya penyempitan pandangan mengenai

Pancasila itu sendiri.117

Dari sini kita bisa melihat bahwa Gus Dur sebagai presiden dan

sekaligus seorang Muslim yang taat, ingin mengajak seluruh bangsa untuk tetap memahami,

mengakui dan mengaktualisasikan Pancasila sebagai tiang penyangga kehidupan berbangsa.

Tatkala berbicara tentang peranan Islam dalam berindonesia, Gur Dur menegaskan

bahwa fungsionalisasi Islam haruslah dalam konteks bahwa Islam menjadi alternatif penafsir

Pancasila, bukan alternatif ideologi. Dalam posisinya yang demikian, menurut Gus Dur,

Islam memiliki fungsi yang sama dengan semua agama Indonesia lainnya, dengan

nasionalisme, dan dengan sosialisme, yaitu sebagai penafsir dan pengaktualisasi Pancasila.

Oleh karena begitu posisi semua komponen bangsa dihadapan Pancasila, maka yang patut

dilakukan adalah bagaimana ikatan moral yang telah disepakati bersama yang bernama

Pancasila, ditafsirkan dan diwejahwantahkan oleh masing-masing identitas keagamaan,

identitas kebangsaan dan identitas sosialisme. Berdasarkan pada posisi dan fungsi semua

komponen bangsa atas Pancasila seperti termaksud di atas, maka bagi Gus Dur yang patut

menjadi ukuran legal untuk diberlakukan secara formal dan menjadi patokan dalam

mengaktualisasikan Pancasila, adalah bukan penafsiran dan pemaknaan oleh pemerintah atas

Pancasila, tetapi oleh seluruh komponen bangsa.118

Pendirian dan sikap Gus Dur yang

demikian ini menunjukkan bahwa dia ingin mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk

memposisikan nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan yang adalah

nilai-nilai keutamaan Indonesia itu, sebagai jalan bersama bagi Indonesia dalam meraih

kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

116

John L. Esposito dan John O. Voll, Makers of Contemporary Islam (Inggris: Oxford University

Press, 2001), 206. 117

Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda Islam Kita:Agama Masyarakat Negara Demokrasi

(Jakarta: The Wahid Institute, 2006), 75-89. 118

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda . . . , 90.

Page 51: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

149

Terkait dengan kesejahteraan bersama seluruh rakyat Indonesia, Gus Dur menunjukkan

bahwa orientasi keislaman sesungguhnya adalah kesejahteraan umum. Kesejahteraan

bersama, kata Gus Dur, telah dari sejak dahulu menjadi pegangan dan gerakan Islam di

Indonesia. Berangkat dari kenyataan ini, menurut Gus Dur, gugurnya Piagam Jakarta dari

Undang-Undang Dasar 1945, adalah preseden yang sangat berharga. Alasan Gus Dur

berpandangan demikian, adalah karena muatan Piagam Jakarta sangat kental dengan nuansa

primordial Islami, dan tidak memiliki jaminan akan kesejahteraan umum. Tentang Pancasila

dan UUD 1945, oleh Gus Dur, dikatakan sangat sejalan dengan prinsip dasar agama Islam

yang memang mencita-citakan hadirnya kesejahteraan umum dalam masyarakat. Kalimat

Gus Dur yang demikian ini, bisa diartikan bahwa menurut Gus Dur Pancasila dan Undang

undang Dasar 1945 sangat Islami secara teologis.119

Pandangan Gus Dur yang demikian ini,

tidak keliru untuk ditafsirkan sebagai sebuah seruan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk

memposisikan Pancasila sebagai keagamaan bersama seluruh agama Indonesia.

Melanjutkan pandangannya di atas, Gus Dur mengingatkan bahwa agama-agama

Indonesia patut mengembangkan kemampuan untuk menghargai perbedaan. Gus Dur

berpesan demikian, karena menurut dia, hanya dengan mengembangkan kemampuan untuk

menghargai perbedaan itu, sebuah bangsa besar akan terbentuk.120

Kemudian lebih jauh, Gus

Dur mengemukakan bahwa dalam menghargai perbedaan, kita harus menanggalkan klaim

kebenaran mutlak. Dalam memposisikan Pancasila sebagai keagamaan Indonesiaan, menurut

Gus Dur masing-masing agama yang pada berbeda, sama-sama melihat bahwa nilai-nilai

Pancasila berupa kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan, tidak bertentangan dengan aspirasi

keagamaan semuaagama.121

Implikasi dari pandangan Gus Dur ini adalah bahwa Pancasila

bukan milik satu agama. Ia adalah milik semua agama. Di dalam Pancasila semua agama

Indonesia yang pada berbeda tidak bertentangan. Sekalipun Pancasila bukan milik pribadi

dari masing-masing agama namun milik bersama, nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan,

kesatuan dan kesetaraan tidak bertentangan dengan ajaran dari masing-masing agama. Oleh

karena prinsip-prinsip ajaran dari masing-masing agama tidak berseberangan dengan

Pancasila, maka bila kita mempraktekkan nilai-nilai Pancasila, secara tidak langsung kita

juga mengamalkan prinsip-prinsip ajaran agama kita. Dengan melakukan teologisasi terhadap

Pancasila seperti tergambar di atas, Gus Dur mau seluruh rakyat Indonesia mencintai dan

mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan

119

Abdurrahman Wahid, Islamku,Islam Anda . . . , 21-22. 120

Abdurrahman Wahid, Gus Dur Bertutur (Jakarta: Proaksi, 2005), 31. 121

Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda . . . , 349.

Page 52: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

150

sebagai inti dasarkeindonesiaan yang selaras dengan prinsip-prinsip ajaran semua agama

Indonesia.

Meski ada sedikit perbedaan dalam menterjemahkan Pancasila, baik Soekarno,

Soeharto maupun Gus Dur memiliki kesamaan. Mereka bertiga melihat Pancasila dan

Indonesia seperti sekeping mata uang. Keduanya, yaitu Pancasila dan Indonesia tidak bisa

dipisahkan. Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur sama-sama menempatkan Pancasila sebagai

religiositas Indonesia yang berfungsi untuk melahirkan, merawat dan menyelamatkan

Indonesia. Bahwa demi untuk keselamatan bangsa, sehingga dalam menjalankan Pancasila,

Pancasila difungsikan sebagai legitimasi kekuasaan, sangat kuat terasa pada masa

pemerintahan Soeharto dan Soekarno. Di masa Gus Dur gaung Pancasila sebagai alat

legitimasi kekuasaan tidak sekeras pada jaman Soeharto dan Soekarno. Gus Dur lebih

menekankan pada partisipasi rakyat untuk menjunjung nilai-nilai yang terkandung dalam

religiositas Indonesia yakni kemanusiaan, kesatuan, dan kesetaraan. Pancasila dengan nilai-

nilainya yang demikian ini, oleh Gus Dur dijadikan garansi dalam merawat dan menumbuh

kembangkan identitas dan keberadaan Indonesia.

Berdasarkan pada sejarah perjalanan bangsa dalam mengaktualisasikan Pancasila, dapat

disimpulkan bahwa sumber otoritas transendental Indonesia, berupa pemuliaan akan

kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan, tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar

ajaran dari masing-masing agama, sehingga di bawah kepemimpinan negara, setiap warga

negara patut mengaktualisasikan pemuliaan akan kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan

dalam misinya pada kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa guna untuk

mengantar bangsa Indonesia mewujudkan kehendak umum mereka yakni kesejahteraan batin

lahir bagi seluruh rakyat Indonesia.

IV.6. Pancasila Sebagai Keagamaan Negara Kebangsaan Indonesia

Dari konteks kelahirannya, sudah terlihat jelas bahwa, Pancasila adalah ekspresi dan

sekaligus perlawanan terhadap penderitaan rakyat Indonesia yang dialaminya atas

kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme. Dalam proses penetapannya sebagai dasar

negara Indonesia, telah tampak lugas bahwa, Pancasila dikonstruksi berlandaskan pada

kesadaran dan kesepakatan bersama bangsa Indonesia, bukan sebagai sebuah institusi agama

dengan keyakinan-keyakinan eksklusif yang hendak mentiadakan institusi agama-agama

Indonesia, melainkan sebagai sumber otoritas transendental bagi seluruh rakyat Indonesia

dalam pluralitasnya dan dalam kebersamaan sosialnya. Dilihat dari maksud dan tujuan

Page 53: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

151

Pancasila sebagaimana tertuang dalam rumusan dan urutan sila-silanya, dan berdasarkan pada

nilai-nilai yang yang terkandung di dalam Pancasila, sebagaimana dijabarkan dalam

Proklamasi Kemerdekaan, dalam Pembukaan UUD’45, dan dalam Batang Tubuh UUD’45,

telah dapat disimpulkan pula bahwa, Pancasila yang adalah sumber otoritas transendental

bagi Indonesia, yang melahirkan Indonesia dan yang akan memelihara kualitas keagamaan

dan solidaritas kebangsaan Indonesia, bahkan yang akan menyelamatkan Indonesia dalam

meraih kesejahteraan bersama mereka, adalah berupa pengagungan akan nilai-nilai:

kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan.

Kemudian berdasarkan pada sejarah perjalanan bangsa Indonesia dalam

mengaktualisasikan Pancasila, telah juga dapat terbaca bahwa Pancasila yang adalah sebagai

sumber otoritas transendental Indonesia, berupa pengagungan akan kemanusiaan, kesatuan

dan kesetaraan, tidak berseberangan dengan prinsip-prinsip ajaran dari masing-masing agama

Indonesia, sehingga di bawah kepemimpinan negara setiap warga negara patut

mengaktualisasikan pemuliaan akan kemanusiaan, kesatuan dan kesetaraan dalam misi

mereka pada kehidupan beragama, bermasyarakat dan berbangsa, guna untuk mengantar

bangsa Indonesia meraih kehendak umum mereka yakni kesejahteraan batin lahir bagi

seluruh rakyat Indonesia. Mensandingkan identitas, karakter dan fungsi Pancasila seperti

telah tegambar di atas, dengan pengertian agama sipil dalam gagasan Durkheim, Rousseau,

Bellah, Shank, Coleman, Kung, dan dengan pemahaman tentang hubungan antara agama dan

negara dari Wogaman, Leege, Glock, Hammond, Beiner, dan Cox, sebagaimana telah terurai

pada BAB III, maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila adalah agama sipil negara-bangsa

Indonesia.

Dalam rangka mengaktualisasikan Pancasila sebagai religiositas Indonesia dalam misi

agama-agama Indonesia, maka nilai-nilai keindonesiaan harus diformulasikan dalam misi

agama-agama Indonesia, agar misi agama-agama Indonesia itu kontekstual dan fungsional,

yakni sesuai dengan roh dan karakter Indonesia, yang menghidupinya dan yang harus mereka

hidupi. Dalam rangka membangun misi agama yang kontekstual dan fungsional ala Indonesia

seperti termaksud di atas, masing-masing agama Indonesia tidak boleh memaksakan

religionismenya di negara Indonesia. Sebaliknya justru religiositas atau misi Indonesialah

yang harus berfungsi sebagai roh pendorong bagi pemeluk-pemeluk agama Indonesia, agar

Page 54: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

152

mereka menjadi pengaktualisasi nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan dan kesederajatan

dalam beragama, bermasyarakat dan berbangsa demi kesejahteraan Indonesia.122

Upaya untuk menjadikan nilai-nilai keindonesiaan sebagai misi agama-agama

Indonesia tentu sangat dimungkinkan, sebab nilai-nilai keindonesiaan itu tidak bertentangan,

malah justru mengakomodir aspirasi keagamaan semua agama Indonesia. Misi agama-agama

menyatu dalam misi Pancasila.123

Di tangan John A. Titaley, misalnya, Pancasila dan

UUD’45 itu dipandang sangat Injili, dengan alasan nilai-nilai yang terkandung dalam

Pancasila dan UUD’45 selaras dengan nilai-nilai Injil.124

Pandangan yang substansinya sama,

juga datang dari Abdurrahman Wahid. Wahid mengemukakan bahwa Pancasila itu sangat

Islami. Wahid berpendirian demikian karena menurut dia, nilai-nilai Pancasila itu tidak

berseberangan dengan pokok-pokok ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam Alquran.125

Mengingat nilai-nilai Pancasila itu mengakomodir aspirasi keagamaan semua agama

Indonesia, atau dengan kata lain, mengingat kepentingan atau misi semua agama Indonesia,

menyatu dalam nilai-nilai Pancasila, maka seorang warga negara Indonesia yang

mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam hidupnya senyatanya bersamaan dengan itu, dia

juga mempraktekkan ajaran agamanya. Oleh karena demikian esensi Pancasila sebagai

keagamaan Indonesia, maka dalam berreligiositas Pancasila, negara dan warga negara

Indonesia patut mencintai dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila berupa: kemanusiaan,

kesatuan dan kesetaraan dalam misinya pada kehidupan beragama, bermasyarakat dan

berbangsa, sebagai jalan untuk meningkatkan kualitas keagamaan dan solidaritas kebangsaan,

guna untuk merawat serta menyelamatkan Indonesia dalam mewujudkan kehendak umumnya

yaitu Indonesia raya mensejahtera. Secara sosiologis Pancasila adalah agama sejati dari

rakyat Indonesia, sebab ia mengajarkan kebajikan yang bermanfaat bagi sesama manusia.

122

Yudi Latif,Negara Paripurna . . . , 110-111. 123

Ibid. 124

Pandangan John A. Titaley ini, disampaikan dalam kuliah Pancasila dan Agama Sipil bagi

mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Nopember 2013. 125

Abdurrahman Wahid,Islamku Islam Anda Islam Kita, Agama Masyarakat Negara

Demokrasi(Jakarta:The Wahid Institute,2006),75-89.

Page 55: BAB IV PANCASILA SEBAGAI RELIGIOSITAS INDONESIA IV.1 ... · politiknya.1 Karena begitu posisi dan eksistensi Pancasila,maka keadaan dan situasi Nusantara pada masa pra Indonesia,

289