bab iv pembahasan hasil penelitian manajemen bencana …eprints.undip.ac.id/61877/5/bab_iv.pdf ·...
TRANSCRIPT
BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN MANAJEMEN BENCANA OLEH
BPBD KOTA SEMARANG DALAM PENANGGULANGAN BENCANA
BANJIR DI SEMARANG
Pada bab ini peneliti akan menjelaskan lebih lanjut mengenai data-data yang telah diperoleh
mengenai manajemen bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota
Semarang dalam menanggulangi banjir di Semarang dan apa saja faktor penghambat dalam
manajemen bencana yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kota Semarang dalam menanggulangi banjir di kota Semarang. Data tersebut diperoleh
melalui wawancara kepada pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota
Semarang, studi kepustakaan dan juga observasi terhadap fenomena-fenomena yang berkaitan
dengan judul penelitian.
4.1 Tahapan Manajemen Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kota Semarang dalam menanggulangi banjir di Kota Semarang
4.1.1 Pra Bencana
Manajemen bencana yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) ini
adalah tahap pra bencana yang terwujud dalam kegiatan yang dilakukan pada kondisi sebelum
terjadinya bencana. Mulai dari perencanaan kegiatan apa saja yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana, dan membagi-bagi tugas dengan pihak-pihak terkait bencana, agar
dapat mengurangi risiko bencana banjir yang akan terjadi. Berikut merupakan pembahasan
berdasarkan tahapan manajemen bencana dalam menanggulangi banjir yaitu mitigasi,
kesiapsiagaan dan juga peringatan dini.
Bidang I Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kota Semarang melakukan beberapa
pencegahan bencana banjir di Semarang melalui dua metode, yaitu metode pencegahan secara
teknis, dan metode pencegahan non-teknis. Metode pencegahan secara teknis yang dilakukan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang adalah dengan cara
melakukan kerjasama dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang bersifat teknis, seperti
misalnya Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Penataan Ruang, Dinas Perumahan dan Kawasan
Permukiman. Merekalah dinas teknis yang mempunyai kewenangan untuk menjalankan
program mitigasi bencana dengan cara membangun fisik untuk memenuhi tujuan dari
pencegahan bencana banjir. Seperti misalnya, pembuatan drainase jalan raya yang baik,
melakukan pelebaran sungai, menyediakan pompa air, membangun kolam air resapan,
membangun polder di sungai-sungai, dan lain sebagainya. Sesuai dengan Peraturan Walikota
Semarang No. 39 tahun 2010 tentang tugas pokok dan fungsi Bidang I Pencegahan dan
Kesiapsiagaan.
Pencegahan bencana banjir melalui pembangunan fisik tersebut bukanlah kewenangan
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang, karena selain Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang tidak memiliki anggaran untuk hal tersebut,
melainkan BPBD hanyalah sebagai koordinator, komando, dan pelaksana saja sifatnya, oleh
sebab itu tugas dari Bidang I Pencegahan dan Kesiapsiagaan adalah berkoordinasi dengan
pihak-pihak terkait yang sudah disebutkan di atas agar bekerjasama dalam hal pembangunan
fisik yang tujuannya adalah mencegah terjadinya bencana banjir, atau paling tidak mengurangi
dampak dan kerugian yang nantinya dialami apabila bencana banjir tersebut terjadi di Kota
Semarang.
Metode yang kedua adalah metode pencegahan non-teknis. Metode pencegahan atau
mitigasi non-teknis yang dilakukan oleh Bidang I Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kota Semarang adalah fokus kepada pembentukan konsep masyarakat yang sadar
akan mitigasi bencana banjir, yaitu dengan beberapa program dan sosialisasi yang dilakukan
oleh Bidang I Pencegahan dan Kesiapsiagaan.
4.1.1.1 Mitigasi banjir
Mitigasi bencana banjir adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko
bencana banjir, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan masyarakatnya dalam menghadapi ancaman bencana Soehatman Ramli (2010:
32). Mitigasi bencana banjir juga sebuah upaya yang dilakukan untuk mengurangi atau bahkan
untuk mencegah dampak yang ditimbulkan akibat suatu bencana banjir, sehingga jelas sekali
bahwa mitigasi ini bersifat pencegahan sebelum kejadian bencana banjir terjadi.
Mitigasi merupakan salah satu dari tahapan manajemen bencana yang dilakukan oleh
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang dimana merupakan tahapan
yang pertama dilakukan. Pada tahap pra-bencana mitigasi ini adalah tugas yang dilakukan oleh
Bidang I yaitu Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kota Semarang. Sesuai dengan tahapan pra-bencana yaitu mitigasi, maka dapat dilihat
dengan program dan kegiatan yang dilakukan oleh Bidang I Pencegahan dan Kesiapsiagaan
BPBD Kota Semarang adalah yaitu:
Membentuk kelurahan siaga bencana dan kelurahan tangguh bencana
Dalam rangka mengurangi risiko dampak bencana banjir yang terjadi, maka Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang membentuk Kelurahan Siaga
Bencana (KSB) dan Kelurahan Tangguh Bencana. Pembentukan KSB dan KTB ini merupakan
langkah yang diambil oleh Bidang I Pencegahan dan Kesiapsiagaan bertujuan untuk
mempersiapkan masyarakat yang berada di daerah rawan akan bencana banjir agar dapat
mengantisipasi apabila terjadi banjir.
Pembentukan Kelurahan Siaga Bencana (KSB) dan Kelurahan Tangguh Bencana
(KTB) di Kota Semarang tersebut melibatkan banyak pihak yaitu warga masyarakat, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang, Aparatur Sipil Negara tingkat
Kelurahan, Ketua RT/RW, dan juga pihak terkait seperti relawan-relawan bencana, dan juga
Organisasi Non Pemerintah. Semuanya saling terkait satu sama lain dalam rangka untuk
mencegah terjadinya banjir atau paling tidak mengurangi dampak yang ditimbulkan akibat
banjir di suatu kelurahan berbasis masyarakat setempat. Jumlah Kelurahan Siaga Bencana di
Kota Semarang ada 35, namun Kelurahan Siaga Bencana yang memiliki karakter bencana
banjir ada 15 kelurahan. Selanjutnya ada Kelurahan Tangguh Bencana (KTB) yang jumlahnya
adalah baru ada lima (5) di Kota Semarang, itupun baru dalam tahap rintisan. Akan tetapi
Kelurahan Tangguh Bencana (KTB) konsepnya lebih baik lagi dibanding dengan Kelurahan
Siaga Bencana, karena KTB memiliki koordinasi yang lebih baik lagi secara keseluruhan
dibanding KSB.
Pembentukan KSB dan KTB tersebut merupakan perwujudan langkah manajemen
bencana yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota
Semarang dalam menerapkan program pr-bencana untuk menghadapi bencana banjir yang
sering melanda Kota Semarang. Melalui sosialisasi yang rutin dilakukan oleh BPBD kepada
KSB dan KTB, agar dapat berperan optimal dalam menghadapi bencana banjir.
4.1.1.2 Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana
melalui kegiatan yang tepat guna dan berdaya guna. Bidang Kesiapsiagaan mempunyai tugas
untuk mempersiapkan apabila terjadi bencana, sesuai dengan Perka No. 2 Tahun 2012
Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai upaya untuk
menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana, dalam hal ini peneliti lebih fokus pada
sisi kesiapan untuk menghadapi bencana banjir.
1. Peta rawan bencana dan peta risiko bencana
Peta rawan bencana dan peta risiko bencana merupakan salah satu program yang dilakukan
oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang dalam rangka untuk
menghadapi kemungkinan terjadinya banjir di suatu wilayah. Peta rawan bencana sendiri
merupakan peta yang dibuat dengan tujuan agar memetakan wilayah atau daerah mana saja
yang rawan dan memungkinkan terdampak banjir suatu waktu, sedangkan peta risiko bencana
lebih detil dibandingkan peta rawan bencana.
Pada peta risiko bencana tidak hanya memetakan wilayah atau daerah mana saja yang
akan rawan terkena banjir, melainkan dalam peta risiko bencana dijelaskan juga grid indeks
ancaman, kerentanan dan kapasitas masyarakatnya. Sehingga peta risiko bencana banjir yang
dimiliki oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang mencakup
banyak hal mulai dari peta ancaman yaitu memperkirakan seberapa tinggi atau rendahnya
genangan air banjir di suatu wilayah. Selanjutnya peta kerentanan yang meliputi penghitungan
dengan jelas demografi di wilayah yang rawan terkena banjir seperti jumlah balita, jumlah ibu
hamil, kepadatan penduduk jumlah lansia, jumlah penduduk miskin, selain itu juga menghitung
juga ekonomi di wilayah tersebut, lingkungan, dan juga fisik seperti jumlah bangunan.
Kemudian yang terakhir adalah peta kapasitas yaitu berisi informasi mengenai jumlah sarana
kesehatan, sudah adakan sosialisasi bencana banjir di wilayah tersebut, adakah perolehan
bantuan, adakan posko darurat, dan lain sebagainya. Ketiga grid indeks dalam bentuk peta
tersebut menjadi satu sehingga disebut peta risiko bencana banjir.
Peta rawan bencana dan peta risiko bencana yang dimiliki Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang dirasa belum efektif karena tidak memiliki koneksi
yang baik dengan pihak-pihak yang langsung berada di lokasi rawan bencana seperti pihak
Kelurahan Siaga Bencana atau Kelurahan Siaga Bencana. Menurut selama ini belum ada
kejelasan tentang sosialisasi peta rawan bencana dan risiko bencana tersebut kepada mereka.
2. Rencana Kontijensi
Rencana Kotijensi adalah suatu proses perencanaan ke depan, dalam situasi terdapat potensi
bencana, di mana skenario dan tujuan disepakati, tindakan teknis dan manajerial ditetapkan,
dan sistem tanggapan dan pengarahan potensi disetujui bersama, untuk mencegah atau
menanggulangi secara baik dalam situasi darurat atau kritis. Tujuan adanya dokumen rencana
kontijensi adalah sebagai dasar memobilisasi sumber daya para pemangku kepentingan pada
saat tanggap darurat bencana dalam melakukan penanggulangan bencana yang cepat dan
efektif.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, pembentukan dokumen rencana kontijensi
hingga saat ini belum juga selesai dikerjakan, karena masih dalam tahap penyelesaian. Namun
pelaksanaan dari dara untuk membuat rencana kontijensi sudah dilakukan oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang, yaitu dengan mengadakan
pertemuan dengan berbagai pihak terkait baik pemerintah dan juga masyarakat. Pada
pertemuan tersebut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang
mengundang Bappeda, DPU, Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Kesehatan, Dinas Pemadam
Kebakaran, BMKG, puskesmas, kecamatan, swasta, NGO, TNI dan Polri. Berdasarkan
penelitian hasil pertemuan tersebut sudah ada kesepakatan terjalinnya kerja sama untuk
pembuatan Rencana Kontijensi, namun karena prosesnya yang lama, sehingga menyebabkan
pembuatan dokumen rencana kotinjensi tersebut molor.
4.1.1.3 Peringatan dini
Bentuk peringatan dini dalam pencegahan dan kesiapsiagaan yang selanjutnya dilakukan oleh
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang adalah dengan membuat
sistem peringatan banjir di daerah-daerah yang deket dengan sungai. Sistem peringatan yang
sudah dibangun oleh Bidang I Pencegahan dan Kesiapsiagaan belum menggunakan sistem
yang modern. Masih mengandalkan cara tradisional seperti masih menggunakan pengamatan
secara langsung ke sungai oleh petugas atau relawan, dan juga peralatan yang digunakan masih
sederhana seperti masih menggunakan pengukur tinggi debit sungai yang relatif hanya
menunjukkan angka berapa ketinggian air sungai tersebut.
Cara sistem peringatan bencana banjir yang masih sederhana tersebut menjadi tugas
bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang agar bisa mengubah
sistem peringatan banjir yang lebih baik lagi dengan menggunakan inovasi-inovasi teknologi
yang sudah ada. Konektivitas antara peralatan pemantau ketinggian air di sungai yang
terhubung ke posko BPBD dengan menggunakan teknologi informasi yang terkini akan
memudahkan sistem manajemen bencana dalam menghadapi bencana banjir yang akan terjadi,
sehingga dampak yang ditimbulkan akan rendah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Bidang I Pencegahan dan
Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang dalam
tahapan pra-bencana menanggulangi bencana banjir sudah tepat yaitu dengan program-
program dan kegiatan yang dilaksanakan, namun belum maksimal dapat dilihati dalam hal
seperti memaksimalkan pekerjaan dalam membuat dokumen rencana kontijensi, dan juga
memaksimalkan inovasi-inovasi pada sistem peringatan dini bencana banjir di daerah-daerah
rawan bencana banjir.
4.1.2 Saat Terjadi Bencana
Menurut Soehatman Ramli dalam Manajemen Bencana (2010:35) tanggap darurat adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan
evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan
pengungsi, penyelamatan dan pemulihan sarana dan prasarana. Kegiatan pelaksanaan yang
dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang adalah pada
saat terjadinya bencana banjir, maka tugas dari Bidang II Kedaruratan dan Logistik untuk
memastikan bahwa bencana banjir yang terjadi dapat teratasi baik dari hal teknis hingga
kebutuhan logistik oleh para korban bencana banjir di lokasi.
Bidang II Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
memiliki tugas yang berat, yaitu bertugas pada tahap manajemen bencana saat kejadian
bencana banjir terjadi. Tahapan paling krusial dalam sistem manajemen bencana alah saat
bencana sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui peringatan dini, maupun tanpa
peringatan atau terjadi secara tiba-tiba, oleh karena itu diperlukan langkah-langkah seperti
tanggap darurat untuk dapat mengatasi dampak bencana dengan cepat dan tepat agar jumlah
korban atau kerugian dapat diminimalkan.
1. Daya Tanggap
A. Respon terhadap bencana
Pada tahap ini terdapat langkah-langkah yang harus segera dilakukan agar kejadian bencana
banjir yang terjadi tidak menimbulkan korban jiwa ataupun kerugian yang besar. Hal tersebut
dapat dilihat dari daya tanggap Bidang II Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang dalam mengatasi keadaan darurat bencana banjir di
lokasi. Sesuai dengan logo BPBD yang bergambar Segitiga, dimana artinya adalah terdapat
tiga pilar utama dalam penanggulangan bencana yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat.
Dalam pemerintah sendiri tidak hanya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota
Semarang saja yang mempunyai peran pada saat darurat bencana banjir terjadi, melainkan
Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya pun juga mempunyai kewajiban yang sama pada
saat penanganan kedaruratan bencana, namun BPBD di sini tugasnya adalah sebagai komando,
pelaksana, dan koordinator.
Ketika bencana banjir terjadi Bidang II Kedaruratan dan Logistik meresponnya dengan
langkah-langkah yang sekiranya diperlukan pada saat itu juga, sehingga penanggulangan
bencana banjir oleh BPBD ketika bencana itu terjadi adalah sifatnya fleksibel. Ketika ada
laporan bencana banjir terjadi di suatu tempat, maka Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kota Semarang segera bergerak mengirim personil ke lokasi kejadian untuk
memastikan informasi tersebut, lalu melakukan tindakan selanjutnya. Namun ketika survei ke
lokasi terjadinya bencana banjir tersebut, personil Badan Penanggulangan Bencana (BPBD)
Kota Semarang sudah siap dengan segala peralatan yang dimiliki, seperti mobil Ranger, perahu
karet, pelampung, HT, dan lainnya. Tidak adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) seperti
yang dijelaskan dalam Peraturan Kepala BNPB No. 9 tahun 2008 tentang Prosedur Tim Reaksi
Cepat, bahwa Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang tidak
menerapkannya ke dalam pembuatan Standar Operasional Prosedur kedaruratan bencana
banjir. Hingga saat ini BPBD dalam pelaksanaan kedaruratan bencana banjir di Semarang
masih menggunakan metode yang sederhana, yaitu fleksibilitas, artinya bahwa apa yang perlu
dilakukan maka akan dilakukan.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa manajemen bencana
Bidang II Kedaruratan dan Logistik dalam menghadapi saat terjadi bencana banjir masih
berisfat fleksibel dan tidak ada Standar Operasional Prosedur yang dijalankan karena memang
tidak dibuat oleh Bidang II tersebut.
B. Pemberian logistik
Selain melakukan tindakan kedaruratan pada saat terjadi bencana banjir di lokasi, Bidang II
Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang
juga melakukan kegiatan penunjang dari kedaruratan tadi, yaitu dengan cara pemberian logistik
kepada korban bencana banjir. Pemberian logistik kepada korban bencana banjir tersebut
bertujuan agar korban banjir yang berada di lokasi dapat mengungsi dengan tetap mendapatkan
pasokan kebutuhan sehari-hari yang normal.
Pemberian logistik pada korban bencana banjir oleh Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Kota Semarang harus dengan syarat yang harus dipenuhi. Setelah pihak dari
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang survei ke lokasi banjir, maka
yang menentukan apakah akan diberi bantuan logistik atau tidak adalah bahwa kondisi tinggi
genangan banjir, lalu apakah para warga masyarakat di lokasi tersebut harus mengungsi atau
tidak. Apabila ketinggian banjir di lokasi terbut sudah berada pada fase membahayakan bagi
warga, maka warga akan diungsikan ke tempat yang lebih aman.
Korban bencana yang menjadi pengungsi tersebut pastinya tidak bisa berkegiatan
sehari-hari, maka dari sinilah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang
memberikan bantuan logistik, yang dapat berupa makanan dan air minum, tenda darurat untuk
mengungsi, dan lain sebagainya. Pemberian logistik tersebut oleh Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang sangatlah terbatas, apabila warga masyarakat yang
terkena banjir tidak terlalu parah, maka tidak diberi logistik oleh BPBD.
Selanjutnya dapat disimpulkan bahwa terbatasnya ketersediaan logistik yang dimiliki
oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang menyebabkan tidak
maksimalnya bantuan yang diberikan oleh BPBD. Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kota Semarang juga harus memprioritaskan lokasi banjir mana yang paling parah,
itulah yang menjadi prioritas diberi bantuan logistik oleh BPBD.
4.1.3 Pasca Bencana
Tahapan manajemen bencana yang selanjutnya adalah tahap pasca bencana. Setelah bencana
terjadi dan proses tanggap darurat sudah dilewati, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
rehabilitasi dan rekonstruksi. Tahap pasca bencana banjir dilaksanakan oleh Bidang III
Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota
Semarang.
A. Rehabilitasi dan rekonstruksi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat
sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk
normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pasca bencana (Ramli, 2010:38). Dalam rehabilitasi yang dilakukan
oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang meliputi kegiatan-
kegiatan yang bersifat untuk memperbaiki dan memulihkan kondisi para korban bencana
banjir.
Upaya rehabilitasi yang dilakukan oleh Bidang III Rehabilitasi dan Rekonstruksi ada
beragam sektor yang harus dicapai. Pemulihan sektor-sektor tersebut adalah sebagai berikut:
a. Sektor pelayanan kesehatan
Pemulihan sektor kesehatan para korban bencana banjir harus segera dilakukan, dalam hal ini
tugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang melakukan koordinasi
dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan sektor kesehatan. Seperti puskesmas di wilayah
tersebut, rumah sakit, Dinas Kesehatan Kota Semarang, Palang Merah Indonesia (PMI), dan
juga relawan-relawan di dunia kesehatan.
Jadi tugas dari Bidang III Rehabilitasi dan Rekonstruksi di sini adalah sebagai
koordinator, komando dan pelaksana di lapangan. Mereka memberikan informasi kepada
pihak-pihak kesehatan terkait tadi agar supaya dapat datang ke lokasi bencana banjir dan
memberikan pelayanan kesehatan bagi para korban banjir. Sayangnya apabila keadaan yang
sangat genting tiba-tiba diperlukan tenaga medis, Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kota Semarang tidak bisa langsung memberikan bantuan tersebut, karena tidak ada
tenaga atau ahli medis di BPBD.
b. Sektor rekonsiliasi dan resolusi koflik
Pemulihan sektor selanjutnya adalah sektor sosial. Karena bencana banjir yang terjadi,
biasanya para pengungsi korban banjir sementara akan melakukan kegiatan sehari-hari tidak
seperti biasanya, baik itu di kamp pengungsian ataupun tetap tinggal di rumah. Akibatnya
konflik sosial di daerah pasca bencana banjir biasa terjadi. Konflik sosial tersebut contohnya
adalah, ketika sedang pembagian bantuan logistik ataupun bantuan sosial lainnya banyak yang
berebut untuk mendapatkan bantuan tersebut, sehingga kadang-kadang ada warga yang
seharusnya laik mendapatkan bantuan malah tidak menerimanya.
Maka tugas dari Bidang III Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang adalah dengan rekonsiliasi dan resolusi dengan
melakukan sosialisasi-sosialisasi kepada warga masyarakat yang terkena dampak bencana
banjir, yang tujuannya adalah agar mencegah konflik sosial yang bisa terjadi di lokasi bencana
banjir. Bidang III Rehabilitasi dan Rekonstruksi memberikan pengertian kepada masyarakat
bahwa musibah yang menimpa korban bencana banjir tersebut harus disikapi dengan bijak dan
baik, agar tidak stres atau bahkan depresi.
Kegiatan sosialisasi tersebut dilakukan sebanyak dua (2) kali dalam setahun di wilayah-
wilayah yang rentan akan bencana banjir. Di sini letak kesalahannya, dimana rekonsiliasi dan
resolusi yang dilakukan oleh Bidang III malah dilakukan sebelum terjadi bencana. Seharusnya
kegiatan rekonsiliasi dan resolusi tersebut dilakukan tidak hanya menjelang musim kemarau
dan penghujan tiba, melainkan harus dilakukan juga pada saat setelah bencana banjir terjadi.
Hal tersebut agar masih dapat masuk ke dalam pengertian para korban bencana banjir agar
tidak terjadi konflik sosial.
Sehingga dari penjelasan di atas maka kegiatan rekonsiliasi dan resolusi Bidang III
Rehabilitasi dan Rekonstruksi kurang tepat dalam hal waktu pelaksanaan. Hal tersebut
harusnya bisa dilakukan tidak hanya menjelang musim penghujan dan kemarau tiba, namun
juga ketika bencana banjir sudah terjadi.
c. Sektor pemulihan sosial ekonomi masyarakat
Pemulihan selanjutnya yang harus dilakukan adalah sektor pemberdayaan sosial ekonomi
budaya masyarakat. Pemulihan yang dilakukan sektor ini bertujuan agar korban bencana banjir
tidak kehilangan mata pencaharian mereka, ataupun kehidupan sosial mereka.
Pemulihan yang dilakukan oleh Bidang III Sektor Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan
Penanggulangan Bencana Daerah pada sektor pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat
adalah dengan cara memberikan sosialisasi kepada warga. Program yang sudah dijalankan saat
ini adalah memberikan sosialisasi tentang menanam tanaman hidroponik dan tanaman rumput
laut. Keterbatasan anggaran oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota
Semarang, menyebabkan mereka hanya memberikan program sosialisasi tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka program yang dilakukan oleh Bidang III
Rehabilitasi dan Rekonstruksi kurang tepat sasaran. Hal tersebut karena belum mampu
mendorong perekonomian dan sosial dari masyarakat pasca bencana banjir, dengan program
penanaman tanaman hidroponik tersebut,
d. Sektor keamanan dan ketertiban
Pemulihan sektor selanjutnya adalah ada pada sektor situasi keamanan dan ketertiban.
Pemulihan sektor ini mempunyai tujuan yaitu agar lokasi pasca bencana banjir dapat tetap
aman dan ketertibannya masih terkendali dengan baik. Tugas Bidang III Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang untuk
memastikan bahwa lokasi tersebut aman terkendali dengan cara bekerja sama dengan pihak-
pihak keamanan yang berada di lokasi bencana banjir.
Pihak keamanan tersebut adalah kepolisian, babinsa, dan pihak keamanan lainnya.
Koordinasi yang dilakukan Bidang III Rehabilitasi dan Rekonstruksi dengan pihak keamanan
terkait bertujuan agar rumah-rumah warga yang ditinggal mengungsi tidak dimasuki oleh
pencuri, dan tindakan kriminal yang mengganggu keamanan lainnya.
Berdasarkan penjelasan di atas maka, tugas koordinasi dan komando yang dilakukan oleh
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang sudah tepat.
e. Sektor fungsi pemerintahan dan fungsi pelayanan publik
Sektor pemulihan yang terakhir dilakukan oleh Bidang III Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang adalah mengembalikan fungsi
pelayanan publik pada saat pasca bencana terjadi. Pemulihan sektor pelayanan publik ini
contohnya adalah seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, administrasi, transportasi dan juga
pelayanan publik lainnya.
Tugas Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang harus dapat
berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait agar pelayanan publik tetap bisa berlangsung ketika
pasca bencana banjir terjadi. Hal tersebut dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Kota Semarang dengan berkoordinasi dengan Organisasi Perangkat Daerah
(OPD) lainnya seperti dengan Dinas Pendidikan, agar dapat memberikan pelajaran sekolah
meski korban bencana sedang tinggal di posko pengungsian, atau demam mendatangkan
petugas kecamatan atau kelurahan ke posko pengungsian dan memberikan pelayanan bagi
masyarakat yang ingin mengurus administrasi.
Untuk bantuan perbaikan rumah masyarakat masuk ke dalam program bantuan sosial
yang diberikan oleh Pemerintah Kota Semarang melalui Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Kota Semarang dan menggunakan anggaran dari BPKAD (Badan Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah. Begitu juga untuk bantuan perbaikan sarana dan pra sarana umum
dan juga lingkungan daerah bencana dilakukan oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang
terkait dan mempunyai kewenangan untuk hal teknis tersebut, sebagaimana yang sudah
dijelaskan bahwa tugas BPBD untuk hal rehabilitasi teknis tersebut hanya sebagai komando,
pelaksana dan koordinator.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang sudah melaksanakan tugas rehabilitasi sesuai dengan
Peraturan Daerah Kota Semarang No. 13 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan BPBD pasal 42.
B. Bantuan Sosial
Program Bidang III Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kota Semarang selanjutnya adalah dengan cara pemberian bantuan sosial. Bantuan
sosial yang diberikan bukan menjadi tanggung jawab Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kota Semarang sepenuhnya, namun mereka hanya mempunyai kewenangan sebagai
koordinasi, komando dan pelaksana. Dalam hal pemberian bantuan sosial ini tugas dari Bidang
III Rehabilitasi dan Rekonstruksi adalah melihat dan memastikan siap saja yang berhak untuk
dapat diberi bantuan sosial.
Bantuan sosial yang diberikan oleh Pemerintah Kota Semarang adalah bantuan kepada
korban bencana meninggal dunia, korban luka dan perlu dirawat di rumah sakit, korban
bencana yang rumah/tempat usaha/kios/los mengalami kerusakan. Hanya tiga (3) jenis akibat
yang dapat diberi bantuan sosial.
Bantun sosial yang diberikan Pemerintah Kota Semarang yang diajukan melalui oleh
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang sesuai dengan Peraturan
Walikota Semarang Nomor 5A Tahun 2013 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Sosial,
ditetapkan kriterianya sebagai berikut:
a. Korban meninggal dunia paling banyak Rp. 4.000.000 per orang
Korban luka berat dan perlu dirawat di rumah sakit paling banyak Rp. 3.000.000 per orang
b. Kerusakan rumah/tempat usaha/kios/los dengan ketentuan:
1) Roboh/musnah/terbakar habis paling banyak Rp. 10.000.000 per rumah/tempat
usaha/kios/los;
2) Rusak sedang paling banyak Rp. 7.000.000 per rumah/tempat usaha/kios/los;
3) Rusak ringan paling banyak Rp. 5.000.000 per rumah/tempat usaha/kios/los
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang bertugas untuk
mensurvei para korban bencana banjir di lapangan, dengan kriteria-kriteria yang sudah
ditentukan. Mulai kriteria yang paling ringan hingga kriteria yang paling berat. Pada proses
akhir akan keluar laporan atau surat pencairan dana sosial oleh Pemerintah Kota Semarang
melalui BPKAD (Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah).
Selama proses pencairan tersebut memerlukan banyak sekali prosedur yang harus
dilewati. Untuk mencairkan dana bantuan sosial tersebut sayangnya Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang tidak bisa mencairkannya satu per satu kepada
korban bencana banjir, sehingga sifatnya haruslah kolektif. Semua korban bencana yang bisa
memenuhi kriteria diberikan bantuan akan dijadikan satu terlebih dahulu. Sehingga proses
pengajuan hingga pencairan dana bantuan sosial tersebut akan butuh waktu yang lama.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian bantuan
sosial yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang
sudah dilakukan dengan benar dan tepat sasaran, bantuan yang diberikan diberikan kepada
korban bencana banjir yang harus sesuai dengan kriteria atau syarat di atas.
4.1.4 Penganggaran
Penganggaran adalah fungsi yang berkenaan dengan pengendalian organisasi melalui
perencanaan fiskal dan akuntansi. Pembiayaan mencakup seluruh kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh suatu organisasi atau lembaga. Setiap lembaga membutuhkan pembiayaan
yang matang, agar bisa memenuhi kegiatan dan program yang akan dilaksanakan oleh
organisasi tersebut.
Bidang Sekretariat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang
memiliki tugas untuk mengelola dan merencanakan anggaran yang akan dilaksanakan oleh
bidang-bidang lain yang ada di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) seperti
Bidang I Pencegahan dan Kesiapsiagaan, Bidang II Kedaruratan dan Logistik, Bidang III
Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Berkaitan dengan anggaran atau pembiayaan, sebagai
Organisasi Perangkat Daerah, Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) Kota Semarang
mendapatkan porsi pendanaan dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) Kota
Semarang, untuk melaksanakan kegiatan dan program yang ada di BPBD Kota Semarang.
Berdasarkan penelitian, anggaran yang ada di Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kota Semarang tidak dapat dikelompokkan ke dalam sub prioritas bencana tertentu,
seperti bencana banjir. Artinya adalah, bahwa anggaran yang ada itu untuk mencakup seluruh
kegiatan dan penanggulangan bencana apapun, baik bencana banjir, tanah longsor, puting
beliung, kekeringan, dan lain sebagainya. Anggaran untuk penanggulangan bencana banjir
masuk ke dalam program dan kegiatan yang direncanakan oleh masing-masing bidang yaitu
Bidang I, Bidang II, dan Bidang III yang dimana program penanggulangan banjir dilakukan.
Seperti misalnya adalah pada Bidang I Pencegahan dan Kesiapsiagaan mereka memberikan
anggaran untuk membuat peta rawan bencana dan peta risiko bencana, selain itu juga untuk
memberikan sosialisasi tentang pembentukan Kelurahan Siaga Bencana dan Kelurahan
Tangguh Bencana.
Kemudian untuk Bidang II Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Kota Semarang yang mengalokasikan dana untuk pembiayaan kebutuhan pada
saat darurat bencana banjir, seperti pengadaan perahu karet, pengadaan pelampung air,
pengadaan tenda posko darurat, dan juga untuk kebutuhan logistik misalnya makanan dan
minuman, selimut hangat, matras untuk tidur di tenda pengungsian, dan lain-lain. Pembiayaan
oleh Bidang II ini sudah tepat sasaran.
Khusus untuk pembiayaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan oleh
Bidang III Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang ini untuk yang
sifatnya non-teknis, seperti memberikan sosialisasi, memberikan pendampingan psikologis,
dan juga memberikan bantuan sosial. Namun dana bantuan sosial yang dilakukan Bidang III
Rehabilitasi dan Rekonstruksi tidak berasal dari BPBD Kota Semarang, melainkan berasal dari
dana pemerintah, yaitu Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota
Semarang, hal itu dikarenakan keterbatasan dana yang dimiliki oleh BPBD Kota Semarang.
Berdasarkan hasil penelitian, pembiayaan yang dimiliki dan dikelola oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang sudah cukup baik dan tepat sasaran.
Dapat dilihat dari masing-masing Bidang yang mengelola keuangannya untuk kegiatan yang
benar-benar menunjang penanggulangan bencana banjir yang biasa terjadi di Kota Semarang.
Namun karena keterbatasan anggaran juga, maka banyak dana yang berasal dari luar untuk
membantu penanggulangan bencana banjir yang biasa terjadi, seperti dana dari relawan, dari
swasta, dan juga dari komunitas atau organisasi masyarakat untuk membantu para korban
bencana dengan memberikan bantuan logistik.
4.1.5 Pengawasan
Pengawasan adalah unsur fungsi manajemen yang terakhir yang dilakukan oleh Badan
Penanggulangan Bencana (BPBD) Kota Semarang dalam melakukan manajemen di
lingkungan instansinya. Menurut G.R. Terry (Handoko, 2008: 35) bahwa pengawasan dan
pengendalian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang adalah proses
untuk mengamati secara terus-menerus pelaksanaan kegiatan sesuai rencana yang sudah
disusun dan mengadakan perbaikan jika terjadi penyimpangan. Pengawasan bertujuan untuk
menilai sejauh mana pelaksanaan yang dilakukan di dalam pengelolaan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang, apakah di dalamnya terdapat penyimpangan atau
tidak.
Pengawasan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang
dilakukan oleh pimpinan BPBD Kota Semarang secara langsung, yaitu dengan melihat
pengelolaan yang dilakukan oleh pelaksana rencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kota Semarang, sesuai rencana yang telah ditetapkan atau tidak. Sesuai dengan
Peraturan Walikota No. 39 tahun 2010 tentang Tugas Pokok Fungsi BPBD Pasal 11 ayat f yang
menjelaskan bahwa Sekretariat BPBD wajib untuk menyusun laporan kinerja BPBD, dan juga
pada pasal dan ayat selanjutnya yang menjelaskan bahwa kewajiban untuk melaksanakan
pembinaan, pemantauan, pengawasan dan pengendalian di masing-masing Bidang yang ada di
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang. Untuk terselenggaranya
pengawasan dan pertanggungjawaban dilakukan kegiatan sebagai berikut:
1. Pengawasan
Pengawasan dibedakan menjadi dua macam, yakni pengawasan secara langsung dan
pengawasan tidak langsung. Pengawasan langsung dilaksanakan secara hierarki vertikal,
artinya adalah pengawasan dilakukan oleh atasan kepada bawahan. Mulai dari Kepala Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang mengawasi seluruh jajaran di
bawahnya, namun yang terdekat adalah Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Kota Semarang, lalu Kepala Pelaksana mengawasi Sekretaris dan
Kepala-kepala Bidang yang ada di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota
Semarang, mulai dari Bidang I Pencegahan dan Kesiapsiagaan, Bidang II Kedaruratan dan
Bidang III Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Lalu masing-masing Kepala Bidang tadi mengawasi
Kepala seksi yang berada di bidangnya, dan selanjutnya Kepala seksi mengawasi para staf di
bawahnya lagi.
Untuk pengawasan langsung ini mencakup berbagai aspek, mulai dari kedisplinan,
administratif, dan juga teknis. Apabila terjadi pelanggaran atau penyimpangan maka menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri
Sipil akan dikategorikan menjadi tiga (3) jenis pelanggaran menurut besar kecilnya
pelanggaran yakni sebagai berikut:
1. Apabila melakukan pelanggaran ringan maka diberi teguran lisan;
2. Apabila melakukan pelanggaran sedang maka diberi teguran tertulis; dan
3. Apabila melakukan pelanggaran berat maka diberi pernyataan tidak puas secara tertulis.
Pengawasan yang kedua adalah pengawasan tidak langsung ialah pengawasan yang
dilakukan tanpa mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan
pegawai. Bentuk pengawasan tidak langsung yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang adalah dengan melakukan evaluasi setiap bulan,
dengan mengadakan pertemuan, yang tujuannya adalah mengevaluasi kegiatan apa yang sudah
dikerjakan dan kegiatan apa yang akan dikerjakan. Selain itu pengawasan tidak langsung
lainnya adalah pembuatan laporan kinerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kota Semarang yang dilaksanakan sekali dalam setahun.
Berdasarkan hasil penelitian yang dijelaskan di atas maka manajemen pengawasan yang
dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang sudah baik,
karena dua unsur pengawasan yang sudah dilakukan dengan baik karena pengawasan yang
dilakukan sifatnya sudah melekat dan seperti budaya di organisasi tersebut. Menurut informan
yang diwawancarai oleh peneliti bahwa dalam pelaksanaan pengawasan di Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang tidak ada kendala yang berarti.
4.1.6 Kendala yang dihadapi dalam Manajemen Bencana oleh BPBD Kota Semarang
dalam penanggulangan Bencana Banjir
1. Pola pikir yang belum berubah
Pola pikir atau mindset tentang pentingnya penanggulangan bencana banjir baik pada
masyarakat luas dan juga para pemangku kepentingan yang ada di pemerintahan masih kurang
sekali. Kurang pedulinya masyarakat akan program mitigasi yang sudah dicanangkan atau
disosialisasikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang masih
menjadi kendala atau penghambat bagi proses penanggulangan bencana banjir yang dilakukan.
Pola pikir atau mindset yang dimiliki masyarakat apabila belum memiliki kesadaran penuh
akan pentingnya penanggulangan bencana khususnya pada tahap pra-bencana atau mitigasi,
maka dampak atau akibat bencana banjir yang sewaktu-waktu dapat terjadi memiliki risiko
kerusakan dan kerugian yang tinggi. Begitu pula para pemangku kepentingan yang ada di
pemerintahan, baik mulai dari kepala Dinas, hingga perangkat-perangkat Organisasi Perangkat
Daerah (OPD) yang ada di Kota Semarang. Dapat dilihat dari sedikitnya dana yang
dianggarkan oleh OPD terkait yang berhubungan dengan PRB (Pengurangan Risiko Bencana).
2. Standar operasional prosedur pada tahapan bencana
Kendala yang ada di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang adalah
tidak adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) pada setiap tahapan manajemen bencana
yang dilakukan, seperti pada tahapan pra bencana mitigasi, selain itu juga pada tahap yang
penting yaitu tidak adanya standar operasional prosedur dalam penanggulangan bencana banjir,
karena berdasarkan hasil penelitian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota
Semarang dalam menanggulangi bencana banjir sifatnya fleksibel, jadi apa yang perlu
dilakukan maka akan dilakukan, tidak ada standar prosedur yang jelas yang tertulis dalam
dokumen prosedur penangan bencana banjir. Lalu yang terakhir adalah tidak adanya standar
prosedur rehabilitasi dan rekonstruksi, namun Bidang III ini diatur dalam Peraturan Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 5 tahun 2012 tentang Pedoman
Pemantauan dan Evaluasi Pasca Bencana, dan juga Peraturan Walikota Semarang No. 5 Tahun
2013 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Sosial.
3. Keterbatasan logistik
Dalam pelaksanaan manajemen bencana, kendala selanjutnya yang dihadapi Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang adalah keterbatasan logistik. Akibat
keterbatasan logistik tersebut adalah menyebabkan penanggulangan bencana pada saat darurat
bencana menjadi terhambat dan tidak maksimal dalam melaksanakan manajemen bencana
yang baik. Keterbatasan logistik tersebut menyebabkan Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Kota Semarang harus memilih-milih lokasi bencana banjir mana yang harus
diberikan bantuan logistik, sebab tidak bisa semua korban bencana banjir di banyak lokasi
diberi bantuan logistik oleh BPBD.
4. Kurangnya personil
Kendala yang selanjutnya adalah kurangnya personil yang dimiliki oleh Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang. Kurangnya tenaga personil
penanggulangan bencana mengakibatkan kurang maksimalnya kinerja manajemen bencana
yang dilakukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang,
khususnya adalah pada saat tahap sedang terjadi bencana. Akhirnya BPBD Kota Semarang
mengandalkan pegawai yang ada dan juga para relawan yang ada di lokasi bencana banjir.
Kurangnya personil di Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang juga
menyebabkan lambannya penanganan bencana banjir, apalagi orang-orang yang berjaga di
posko bencana yang disediakan oleh BPBD jumlahnya hanya sedikit, sehingga diakali dengan
cara bergantian atau melakukan shift jadwal jaga.
5. Keakuratan informasi
Kendala selanjutnya yang dihadapi oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota
Semarang alah kurang akuratnya informasi atau data yang didapat dari keterangan yang ada di
lapangan atau lokasi bencana banjir. Data yang kurang akurat menyebabkan penanganan
bencana banjir yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, karena biasanya informasi yang
datang dari lokasi bencana banjir itu adalah data primer yang akan langsung diberikan tindakan
oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang. Kurang akuratnya data
yang diperoleh menyebabkan Badan Penanggulangan Bencana untuk menyiapkan rencana
anggaran dan program kerja yang akan dilakukan di masa mendatang.
6. Keterbatasan dana
Kendala yang terakhir dan memang biasa terjadi di banyak Organisasi Perangkat Daerah
(OPD), yaitu kurang optimalnya dana yang didapat, dalam hal ini adalah Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang yang juga memiliki keterbatasan
dana dalam penanggulangan bencana banjir di Semarang. Mulai dari kendala di Bidang I
Pencegahan dan Kesiapsiagaan, banyak program yang membutuhkan dana yang besar untuk
mencegah bencana banjir di Kota Semarang. Lalu di Bidang II Kedaruratan dan Logistik, yaitu
minimnya anggaran untuk penyediaan personil kedaruratan untuk membantu tugas di lapangan
pada saat bencana banjir terjadi, yang hingga kini personil yang menjaga pos bencana BPBD
Semarang hanya memiliki 5 personil saja. Selain itu untuk kebutuhan logistik juga sangatlah
minim, sehingga dalam memberikan bantuan logistik kepada korban banjir, Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang harus survei ke lokasi bencana
terlebih dahulu, dan memastikan bahwa yang lokasi yang akan diberikan bantuan logistik oleh
BPBD benar-benar dalam keadaan yang sangat memerlukan bantuan, hal ini menyebabkan
lokasi banjir lain tidak kepagian bantuan logistik walaupun sebenarnya bisa saja diberikan
apabila memang stok logistik mencukupi. Selanjutnya untuk Bidang III Rehabilitasi dan
Rekonstruksi
4.1.7 Faktor pendorong dalam Manajemen Bencana oleh BPBD Semarang dalam
menanggulangi banjir
1. Adanya dukungan dari berbagai pihak
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dalam melaksanakan tugasnya banyak
sekali mendapat dukungan dari berbagai pihak, seperti misalnya dari Pemerintah Provinsi
(BPBD Provinsi), Pemerintah Pusat (BNPB), sektor swasta (perusahaan), organisasi
masyarakat, komunitas-komunitas, dan warga para relawan Kelurahan Siaga dan Tangguh
Bencana. Semuanya mempunyai peran yang sama pada saat penanggulangan bencana,
mulai dari mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mencegah bencana banjir, hingga
ikut membantu BPBD untuk mengevakuasi korban bencana, membantu memberikan
bantuan sosial, dan bantuan-bantuan lainnya.
2. Keaktifan tenaga relawan KSB /KTB
Terbentuknya Kelurahan Siaga Bencana / Kelurahan Tangguh Bencana sangat membantu
sekali bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Semarang dalam
menanggulangi bencana banjir, karena KSB/KTB tersebut merupakan instrumen awal
yang langsung berhadapan dengan bencana banjir yang terjadi di lapangan. Aktifnya peran
dari para relawan KSB/KTB sangat membantu tugas dari BPBD yang pada dasarnya tidak
memiliki banyak petugas untuk menanggulangi bencana banjir.
3. Koordinasi yang sudah baik dengan OPD terkait
Koordinasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainya dalam hal penanggulangan
bencana banjir di Semarang menjadi faktor pendukung bagi Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD). Contohnya adalah ketika pada setiap tahapan manajemen bencana, mulai dari
pra bencana, saat terjadi bencana, dan pasca bencana. Pada tahap pra bencana OPD terkait
membantu dalam hal pencegahan dalam bentuk fisik, misalnya melebarkan sisi sungai,
mengeruk dasar sungai agar sungai dapat menampung lebih besar kapasitas airnya. Pada saat
terjadi bencana OPD terkait seperti Dinas Kesehatan yang membantu BPBD untuk
memberikan perawatan pada korban bencana, lalu pada pasca bencana OPD terkait seperti
misalnya Dinas Pekerjaan Umum yang memperbaiki jalan raya yang rusak akibat banjir,
meninggikan jalan raya, lalu ada Dinas Pemadam Kebakaran yang membantu membersihkan
lumpur akibat banjir. Semua Organisasi Perangkat Daerah tersebut sudah melakukan tugasnya
dengan baik akibat koordinasi yang dilakukan oleh BPBD baik pula.