bab iv tonsilektomi.docx

19
BAB IV TONSILEKTOMI 4.1. Definisi Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina. 1,2,3 Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal. 4 4.2. Epidemiologi Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya. 5 Di AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor. 6,7 Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit. 8 Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat. 9 Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72 per

Upload: andriani-kemala-sari

Post on 16-Sep-2015

228 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

BAB IVTONSILEKTOMI

4.1. Definisi Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.1,2,3 Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.4

4.2. Epidemiologi Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya.5 Di AS karena kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor.6,7 Di Indonesia, tonsilektomi digolongkan pada operasi sedang karena durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.8 Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi, adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap tahunnya di Amerika Serikat.9 Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%) menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72 per 100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000 pada tahun 1996 (3.200 operasi).7 Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi belum ada.

4.3. Indikasi Tonsilektomi Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang.Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.9 Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non-emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.104.3.1. Indikasi Absolut6a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

4.3.2. Indikasi Relatif6a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik -laktamase resisten Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar, tonsilektomi dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.8Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat.Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi.Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala dapat sangat sederhana seperti halitosis, debris kriptus dari tonsil (cryptic tonsillitis) dan pada keadaan yang lebih berat dapat timbul gejala seperti nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi mungkin dapat berdasarkan terdapat dan beratnya satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat untuk tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak mengancam nyawa.11

4.4. KontraindikasiTerdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut adalah8: a. Gangguan perdarahan b. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat c. Anemia d. Infeksi akut yang berat

4.5. Teknik Operasi TonsilektomiPengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan.9,12 Selama bertahun-tahun, berbagai teknik dan instrumen untuk tonsilektomi telah dikembangkan. Sampai saat ini teknik tonsilektomi yang optimal dengan morbiditas yang rendah masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak seperti kebanyakan operasi dimana luka sembuh per primam, penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam.12 Diskusi terkini dalam memilih jenis teknik operasi difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pascaoperatif serta durasi operasi.12 Selain itu juga ditentukan oleh kemampuan dan pengalaman ahli bedah serta ketersediaan teknologi yang mendukung.13 Beberapa teknik dan peralatan baru ditemukan dan dikembangkan di samping teknik tonsilektomi standar.9 Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.

4.5.1. Guillotine Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas sejak akhir abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Namun tidak ada literatur yang menyebutkan kapan tepatnya metode ini mulai dikerjakan. Tonsilotomi modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat yang dirancang untuk memotong uvula yang edematosa atau elongasi.5 Laporan operasi tonsilektomi pertama dilakukan oleh Celcus pada abad ke-1, kemudian Albucassis di Cordova membuat sebuah buku yang mengulas mengenai operasi dan pengobatan secara lengkap dengan teknik tonsilektomi yang menggunakan pisau seperti guillotine. Greenfield Sluder pada sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan seorang ahli yang sangat merekomendasikan teknik Guillotine dalam tonsilektomi. Beliau mempopulerkan alat Sluder yang merupakan modifikasi alat Guillotin.5 Hingga kini, di UK tonsilektomi cara guillotine masih banyak digunakan. Hingga dikatakan bahwa teknik Guillotine merupakan teknik tonsilketomi tertua yang masih aman untuk digunakan hingga sekarang. Negara-negara maju sudah jarang yang melakukan cara ini, namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia, terutama di daerah masih lazim dilkukan cara ini dibandingkan cara diseksi.5 Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat, komplikasi anestesi kecil, biaya kecil.14

4.5.2. Diseksi Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi. Hanya sedikit ahli THT yang secararutin melakukan tonsilektomi dengan teknik Sluder.15 Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum dengan endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini juga banyak digunakan pada pasien anak.11 Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan desain yang lebih baik untuk tonsilektomi, prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak berubah.Pasien menjalani anestesi umum (general endotracheal anesthesia). Teknik operasi meliputi: memegang tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin.9 Bagian penting selama tindakan adalah memposisikan pasien dengan benar dengan mouth gag pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh ahli bedah dan harus diposisikan serta dicek fungsinya sebelum tindakan dimulai.Mouth gag diselipkan dan bilah diposisikan sehingga pipa endotrakeal terfiksasi aman diantara lidah dan bilah. Mouth gag paling baik ditempatkan dengan cara membuka mulut menggunakan jempol dan 2 jari pertama tangan kiri, untuk mempertahankan pipa endotrakeal tetap di garis tengah lidah. Mouth gag diselipkan dan didorong ke inferior dengan hati-hati agar ujung bilah tidak mengenai palatum superior sampai tonsil karena dapat menyebabkan perdarahan. Saat bilah telah berada diposisinya dan pipa endotrakeal dan lidah di tengah, wire bail untuk gigi atas dikaitkan ke gigi dan mouth gag dibuka.Tindakan ini harus dilakukan dengan visualisasi langsung untuk menghindarkan kerusakan mukosa orofaringeal akibat ujung bilah. Setelah mouth gagdibuka dilakukan pemeriksaan secara hati-hati untuk mengetahui apakah pipa endotrakeal terlindungi adekuat, bibir tidak terjepit, sebagian besar dasar lidah ditutupi oleh bilah dan kutub superior dan inferior tonsil terlihat. Kepala di ekstensikan dan mouth gag dielevasikan. Sebelum memulai operasi, harus dilakukan inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan palatum durum dan molle.1 Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah yang mempunyai alur garis tengah untuk tempat pipa endotrakeal (ring blade). Bilah mouth gag tersedia dalam beberapa ukuran. Anak dan dewasa (khususnya wanita) menggunakan bilah no.3 dan laki-laki dewasa memerlukan bilah no 4. Bilah no.2 jarang digunakan kecuali pada anak yang kecil. Intubasi nasal trakea lebih tepat dilakukan dan sering digunakan oleh banyak ahli bedah bila tidak dilakukan adenoidektomi.1 Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan dikembangkan disamping teknik diseksi standar, yaitu:1. Electrosurgery (Bedah listrik)13Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum, karena mudah memicu terjadinya ledakan.Namun, dengan makin berkembangnya zat anestetik yang nonflammable dan perbaikan peralatan operasi, maka penggunaan teknik bedah listrik makin meluas. Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi elektromagnetik (energi radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz. Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung.Pada teknik ini elektroda tidak menjadi panas, panas dalam jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini.Teknik ini menggunakan listrik 2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway).Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade, monopolar suction, bipolar dan prosedur dengan bantuan mikroskop.Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40 W untuk memotong, menyatukan atau untuk koagulasi.Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur. Dapat pula digunakan sebagai tambahan pada prosedur operasi lain.

2. Radiofrekuensi16Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan langsung ke jaringan.Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat kerusakan bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada medium penghantar seperti larutan salin.Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan. Karena proses ini terjadi pada suhu rendah (400C-700C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang rusak.Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia yaitu alat Bovie, Elmed Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus somnoplasty system (bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare coblation system dan Argon plasma coagulators. Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, ablasi sebagian atau berkurang volumenya.Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi. Namun masih diperlukan studi yang lebih besar dengan desain yang baik untuk mengevaluasi keuntungan dan analisa biaya dari teknik ini

3. Skalpel harmonik17Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan laser.Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup tinggi untuk tekanan gas dapat memecah sel tersebut (biasanya 1500C-4000C), sedangkan dengan skalpel harmonik temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah (biasanya 500C -1000C). Sistem skalpel harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece dengan kabel penyambung, pisau bedah dan pedal kaki. Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu oleh pisau tajam yang bergetar dengan frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih dari 80 m (paling penting), dan hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung pemotong saat kontak dengan jaringan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan tekanan jaringan internal, sehingga menyebabkan fragmentasi berongga dan pemisahan jaringan. Koagulasi muncul ketika energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah ikatan hidrogen tersier menjadi protein denaturasi dan melalui pembentukan panas dari friksi jaringan internal akibat vibrasi frekuensi tinggi. Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan dibanding teknik bedah lain, yaitu: Dibandingkan dengan elektrokauter atau laser, kerusakan akibat panas minimal karena proses pemotongan dan koagulasi terjadi pada temperatur lebih rendah dan charring, desiccation (pengeringan) dan asap juga lebih sedikit. Tidak seperti elektrokauter, skalpel harmonik tidak memiliki energi listrik yang ditransfer ke atau melalui pasien, sehingga tidak ada stray energi (energi yang tersasar) yang dapat menyebabkan shock atau luka bakar. Dibandingkan teknik skalpel, lapangan bedah terlihat jelas karena lebih sedikit perdarahan, perdarahan pasca operasi juga minimal. Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan elektrokauter, teknik ini mengurangi nyeri pascaoperasi. Teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak bisa mentoleransi kehilangan darah seperti pada anak-anak, pasien dengan anemia atau defisiensi faktor VIII dan pasien yang mendapatkan terapi antikoagulan.

4. Coblation18Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated tonsillar ablation, ionised field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation; bipolar radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation. Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Coblation probe memanaskan jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan probe diatermi standar (suhu 600C (45-850C) dibanding lebih dari 1000C). National Institute for clinical excellence menyatakan bahwa efikasi teknik coblation sama dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah perdarahan.

5. Intracapsular partial tonsillectomy19Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi. Meskipun mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya. Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk menghindari terlukanya otot-otot faring akibat tindakan operasi dan memberikan lapisan pelindung biologis bagi otot dari sekret. Hal ini akan mencegah terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah terjadinya peradangan lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu pemulihan. Jaringan tonsil yang tersisa akan meningkatkan insiden tonsillar regrowth. Tonsillar regrowth dantonsilitis kronis merupakan hal yang perlu mendapat perhatian khusus dalam teknik tonsilektomi intrakapsuler.Tonsilitis kronis dikontraindikasikan untuk teknik ini.Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan perdarahan pasca operasi lebih rendah dibanding tonsilektomi standar.Tetapi masih diperlukan studi dengan desain yang baik untuk menilai keuntungan teknik ini.

6. Laser (CO2-KTP)20Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phospote) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang meyebabkan infeksi kronik dan rekuren.LTA dilakukan selama 15-20 menit dan dapat dilakukan di poliklinik dengan anestesi lokal.Dengan teknik ini nyeri pascaoperasi minimal, morbiditas menurun dan kebutuhan analgesia pascaoperasi berkurang.Tekhnik ini direkomendasikan untuk tonsilitis kronik dan rekuren, sore throat kronik, halitosis berat atau obstruksi jalan nafas yang disebabkan pembesaran tonsil.

4.6. Penyulit Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus dalam melakukan tonsilektomi maupun tonsiloadenoidektomi pada anak dan dewasa:41. Kelainan anatomi: Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan) Kelainan maksilofasial dan dentofasial 2. Kelainan pada komponen darah: Hemoglobin < 10 g/100 dl Hematokrit < 30 g% Kelainan perdarahan dan pembekuan (Hemofilia) 3. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru lain 4. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI) 5. Multiple Allergi6. Penyakit lain, seperti: Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain Hipertensi dan penyakit kardiovaskular Obesitas, kejang demam, epilepsi

4.7. Komplikasi Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.211. Komplikasi anestesi22Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi dan adenoidektomi.Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa: Laringospasme Gelisah pasca operasi Mual muntah Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi23 Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hippotensi dan henti jantung23 Hipersensitif terhadap obat anestesi

2. Komplikasi bedah15a. Perdarahan. Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari jumlah kasus).37 Perdarahan dapat terjadi selama operasi, segera sesudah operasi atau di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000 pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena masalah perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan transfusi darah. Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama dikenal sebagai early bleeding, perdarahan primer atau reactionary haemorrage dengan kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat selama operasi. Umumnya terjadi dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk belum sempurna.Darah dapat menyumbat jalan napassehingga terjadi asfiksia.Perdarahan dapat menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan syok. Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut dengan late/delayed bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10 pascabedah.Perdarahan sekunder ini jarang terjadi, hanya sekitar 1%.Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, bisa karena infeksi sekunder pada fosa tonsilar yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan perdarahan dan trauma makanan yang keras.b. Nyeri Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua pasien pascatonsilektomi.Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik cold diseksi dan teknik jerat.Nyeri pascabedah bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan terdapat kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini tidak dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah sakit untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.

3. Komplikasi lain Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal, stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.

Daftar pustaka

1.Eibling DE. Tonsillectomy. In: Myers EN, editor. Operative Otolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company 1997.p.186-97 2. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical treatment for chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 3, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd. 3. Larizgoita I. Tonsillectomy: scientific evidence, clinical practice and uncertainties. Barcelona: CAHTA 1999 4. Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR, Newlands SD, Vrabec JT, editors. Atlas of Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2001.2nd edition.p.327-2-327-6 5. Mathews J, Lancaster J, Sherman I, Sullivan GO. Historical article guillotine tonsillectomy: a glimpse into its history and current status in the United Kingdom. The Journal of Laryngology and Otology 2002;116:988-91 6. Darrow DH, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy. Laryngoscope 2002;112:6-10 7. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Bernard BS, Rockette HE, Kurs-Lasky M. Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent throat infection in moderately affected children. Pediatrics 2002;110:7-15 8. Hasil rapat Tim Ahli Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa, HTA Indonesia. 9. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy. Laryngoscope 2002;112:3-5 13. Berkowitz RG, Zalzal GH.Tonsillectomy in children under 3 years of age. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 116:685-6.[Abstract] -1015. Bhattacharya N. When does an adult need tonsillectomy? Cleveland Clinic Journal of Medicine 2003:70;698-701 - 1119. Bck L. Paloheimo M, Ylikoski J. Traditional tonsillectomy compared with bipolar radiofrequency thermal ablation tonsillectomy in adults. Arch otolaryngol Head Neck Surg 2001;127:1106-12 -1220. Maddern BR. Bedah listrik for tonsillectomy. Laryngoscope 2002;112:11-13 -1321. Nawawi F. Studi Perbandingan cara Guillotine dan Diseksi. FKUI 1990 -1422. Webster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook MJ. Anesthesia for adenotonsillectomy: a comparison between tracheal intubation and the armoured laryngeal mask airway. Can J Anaeth 1993;40:757-8 [Abstract] -1524. Plant RL. Radiofrequency treatment of tonsillar hypertrophy. Laryngoscope 2002:112;20-2 -1625. Wiatrak BJ, Willging JP.Skalpel harmonik for tonsillectomy. Laryngoscope 2002:112;14-16 -1726. National Institute for Clinical Excellence. Coblation tonsillectomy. Available from: http://www.nice.org.uk/ip175overview -1827. Koltai PJ, Solares A, Mascha EJ, Meng Xu. Intracapsular partial tonsillectomy for tonsillar hypertrophy in children. Laryngoscope 2002,112:17-19. -1928. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery.Tonsillectomy procedures. Available from: http://www.entlink.net/KidsENT/tonsil_procedures.cfm -2030. Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote CJ, Todres ID, Ryan JF, Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia for infants and children. Philadelphia: WB Saunders Company 2001. 3rd ed.p.461-67.-2232. Joseph MM. Anesthesia for ear, nose, and throat surgery. In: Longnecker DE, Tinker JH, Morgan GE,editors. Principles and practice of anesthesiology. London: Mosby 1998.2nd ed.p.2208-10. -2335. Frey RJ. Gale Encyclopedia of Medicine. Published December, 2002 by the Gale Group -21