bab v esensi misi gereja dan konstruksi misi gereja dalam ...€¦ · kontekstual”, paper...
TRANSCRIPT
153
BAB V
ESENSI MISI GEREJA
DAN KONSTRUKSI MISI GEREJA DALAM KONTEKS PANCASILA
Setiap agama, terutama agama-agama yang disebut agama dunia, yakni agama-agama
yang bersifat transnasional melampaui batas-batas etnik dan bangsa, seperti Hindu, Budha,
Kong Hu Chu, Islam dan Kristen, memiliki tuntutan keagamaan yang misiologis sifatnya,
yaitu keharusan untuk meneruskan kebenaran-kebenarannya kepada orang lain yang belum
memiliki kebenaran serupa, melalui tindak-siar agama baik langsung, maupun tidak
langsung. Penyiaran atau pemberitaan agama adalah jiwa dari agama.1 Oleh karena begitu
jiwa agama, maka tindak-siar agama adalah sesuatu yang wajar bahkan wajib sifatnya, sebab
tanpa ada dimensi itu, kehidupan beragama akan menjadi mubasir. Perilaku setiap penganut
agama tidak dapat dilepaskan dari kewajiban untuk melakukan tindak-siar agama, yang
dinampakkan dalam tindakannya sehari-hari, baik dalam kehidupan beragama, maupun
dalam kehidupan di bidang sosial, politik, dan ekonomi. Kewajiban melakukan misi agama
dalam beragama, bermasyarakat dan berbangsa adalah sesuatu yang harus dipenuhi.
Mengingkari kewajiban ini pada dasarnya adalah mengingkari hakikat agama itu sendiri.2
Sebagai salah satu dari agama dunia itu, agama Kristen juga memiliki dalam dirinya
kewajiban misiologis berupa misi gereja. Kalau bukan karena adanya kewajiban misiologis
ini, maka kekristenan tidak akan dijumpai di Indonesia. Tindakan misioner gereja adalah
sesuatu yang wajar bahkan esensial sifatnya. Karena begitu keadaannya, maka melakukan
misi adalah bagian hakiki dari kehidupan bergereja dan menggereja. Misi adalah sesuatu
yang inherent dalam gereja. Dengan kata lain hubungan antara misi dan gereja adalah seperti
relasi antara api dan pembakaran. Sama seperti api berada oleh pembakaran dan untuk
pembakaran, demikianlah gereja berada oleh misi dan untuk misi. Misi bukanlah suatu
kegiatan fakultatif bagi gereja. Misi adalah hakikat keberadaan gereja.3Mengingat misi
menjadi core businesnya, maka gereja mesti memahami sejarah misi dan patut selalu
memikirkan hakikat dan rekonstruksi misi gereja, agar cara misi yang
1Emanuel Gerrit Singgih,Menguak Isolasi, Menjalin Relasi(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 240.
2John A.Titaley, “Pembangunan dan Pengembangan Umat Kristen di Indonesia: Suatu Refleksi
Kontekstual”, Paper disampaikan dalam seminar Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung di
Semarang (tanggal 3 Pebruari 1996), 1. 3John Campbell-Nelson, “Misi Gereja dan Pelayanan Global: Pernyataan Misiologi dari United
Church of Christ di Amerika Serikat”, dalam John Campbell-Nelson, Bendalina Souk, Stephen
Suleeman(Peny.), Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual (Jakarta: Perhimpunan Sekolah-sekolah
Theologia di Indonesia, 1995), 36-37.
154
dilakukannyaberpadanan dengan hakikat misi itu dan sekaligus sesuai dengan konteks
dimana gereja berada.
V.1.SEJARAHMISI GEREJA DARI ABAD KE-1 SAMPAI ABAD KE-20
J. Beckman seorang misiolog Jerman, sebagaimana direiterasi oleh Edmund Woga,4
mengklasifikasi dan memaparkan sejarah pelaksanaan dan karakter misi sepanjang dua puluh
abad dari abad ke-1 sampai dengan abad ke-20, sebagai berikut:
V.1.a. Sejarah Misi Pada Periode GerejaPerdana(Dari kelahiran Gereja-abad ke-4)
Sejarah misi pada periode ini bermula dari kisah tentang pelayanan misi para rasul,
khususnya Petrus sebagaimana diceriterakan oleh Kisah Para Rasul 1-12, dan Paulus seperti
dilaporkan oleh Kisah Para Rasul 13-28. Dua kota atau tempat yang menjadi pusat kegiatan
misioner pada periode Gereja Perdana adalah Yerusalem dan Antiokia. Yerusalem disamping
sebagai tempat lahirnya gereja, ia juga menjadi pusat pelayanan misi gereja ke arah timur
sampai ke India. Sedangkan Antiokia menjadi pusat pelayanan misi gereja ke arah barat
yakni ke Yunani dan Romawi. Sejarah misi sejak lahirnya gereja sampai abad ke-4, ditandai
juga dengan adanya masa penderitaan dan masa kejayaan. Pada masa pemerintahan kaisar
Nero (37–68), Markus Aurelius (177), dan Diokletianus (284-316) gereja mengalami banyak
penindasan. Tetapi pada masa pemerintahan kaisar Konstantin (285-337) dan kaisar
Theodosius I (337–380), ketika kedua kaisar ini menunjukkan sikapnya yang toleran terhadap
agama Kristen, gereja mengalami jaman keemasan, dimana pada tahun 313 oleh kaisar
Konstantin agama Kristen dinyatakan sebagai religio licita, dan pada tanggal 28 Pebruari 380
oleh kaisar Theodosius I agama Kristen diproklamirkan sebagai agama kekaisaran Romawi.5
V.1.b.Sejarah Misi Pada Periode Abad Pertengahan (Dari Abad 5-Abad 14)
Sejarah misi pada periode ini, ditandai dengan perkembangan gereja kepada bangsa-
bangsa Inggris dan Jerman. Beberapa rupa dari perkembangan gereja termaksud ialah:
Pertama, pada tahun 498 raja Inggris Chlodwig I dibaptis. Kedua,banyak muncul misionaris-
misionaris perdana pada bangsa Inggris dan Jerman seperti: Patrisius, Agustinus dari
Canterbury, Kolumbanus, Gallus, Kilian, Wilfrith, Willibrordus dan Bonefasius. Sejarah misi
pada periode abad Pertengahan, tepatnya pada abad ke-9, juga ditandai dengan mulai
masuknya agama Kristen ke tengah-tengah bangsa Slavia di Eropa Timur. Masuk dan
4Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 19-21, 47.
5Ibid., 47-48.
155
bertumbuhnya gereja di bangsa-bangsa Slavia, adalah karena adanya pelayanan misi yang
bernuansa penyebaran iman Kristen ke sana, yang dilakukan oleh uskup Kyrillos, Methodius,
para rahib Cisterciencer dan Premonstratenser. Sejarah misi pada abad Pertengahan, tepatnya
pada abad ke -13 dan ke-14, juga ditandai dengan penyebaran iman Kristen kearah timur,
kepada bangsa-bangsa Eropa yang beragama muslim dan kepada bangsa-bangsa Tartar,
Mongol, China dan Persia. Pelayanan misi gereja yang bercorak penyebaran iman Kristen ke
arah timur Eropa ini, didukung oleh ordo-ordo yang mencintai “hidup miskin” seperti ordo
Dominikan dan Fransiskan. Pelayanan misi gereja ke arah timur Eropa, sempat tidak
diteruskan pada waktu kerajaan Mongol hancur dan ketika benua Eropa dilanda penyakit
pes.6
Dalam kuliah dan diskusi tentang sejarah gereja Indonesia, cukup sering memang
tertayang informasi bahwa pada pertengahan abad ke-7, di Fansur Barus daerah pantai barat
Tapanuli Sumatera utara Indonesia terdapat banyak Gereja Nestorian. Sejarah menunjukkan
bahwa pelaksanaan misi oleh gereja Nestorian bersifat akomodatif terhadap kebudayaan-
kebudayaan di daerah misi. Sehandainya pada pertengahan abad ke-7, benar-benar telah ada
banyak gereja Nestorian di Fansur Barus, sebagaimana sering tertayang dalam informasi-
informasi, maka pasti pendekatan misi gereja Nestorian yang akomodatif itulah, yang
membuat penduduk Fansur daerah Tapanuli Sumatera dapat menerima bahkan memeluk
agama Kristen. Demikian pula, kalau sekiranya pada pertengahan abad ke-7, benar-benar
telah ada gereja Nestorian di Fansur Barus, sebagaimana hal itu acapkali muncul sebagai
informasi, maka hal ini mengindikasikan bahwa kekristenan telah tiba di Indonesia untuk
pertama kali sebelum Islambahkan sebelum Hindu dan Budhamasuk ke Indonesia. Namun,
sangat disayangkan kita tidak memiliki catatan sejarah baik mengenai kelahirangereja
Nestorian di Fansur Barus maupun mengenai ketiadaannya. Sehandainya pernah ada gereja
Nestorian di Fansur Barus pada pertengahan abad ke-7, kehadirannya dan kelenyapannya
sama sekali tidak meninggalkan bekas dan berita.7
V.1.c.Sejarah Misi Pada Periode Penemuan Benua-Benua Baru(Abad15-Abad 17)
Sejarah misi pada periode ini dapat diklasifikasi ke dalam dua kelompok. Ada
kelompok misi gerejaKatolik dan ada kelompok misi gereja-gereja Protestan. Sejarah misi
gereja Katolik sangat diperankan oleh bangsa Portugis dan Spanyol. Hal itu terjadi demikian
6Edmund Woga, CSsR, Dasar . . . , 48.
7F.Ukur dan Cooley, Jerih dan Juang, Laporan Nasional Survey Menyeluruh Gereja di Indonesia
(Jakarta: Lembaga Penelitian dan Studi DGI, 1979), 450.
156
karena kedua bangsa ini memang mendapat wewenang khusus dari Paus Aleksander VI pada
tahun 1493 dan dari Paus Yulius II pada tahun 1508 untuk menangani misi gereja, berupa
penyebaran iman Kristen ke benua-benua yang baru ditemukan yaitu Afrika, Amerika dan
Asia. Sedangkan pekerjaan misi pada kelompok gereja-gereja Protestan sangat diperankan
oleh bangsa Belanda, Jerman dan Inggris. Misi gereja pada abad ke-15 sampai dengan abad
ke-17, baik yang dilakukan oleh Portugis dan Spanyol yakni penyebaran iman Kristen dari
gereja Katolik, maupun yang dilakukan oleh Belanda, Jerman dan Inggris yakni penyebaran
iman Kristen dari gereja Protestan, berjalan bergandengan dengan usaha kerajaan Portugis,
Spanyol, Belanda, Jerman dan Inggris untuk menemukan, menaklukkan dan menguasai
daerah-daerah baru dalam bidang politik, ekonomi dan kebudayaan. Tindakan kekerasan
yang dipakai kaum kolonial untuk menaklukkan daerah tertentu, juga dipakai oleh gereja
dalam melaksanakan penyebaran iman Kristen. Misi pada periode ini semakin menjadi
sebuah proses imperialisme Kristen dari rasa superior agama Kristen. Misi gereja dijalankan
sebagai perjuangan untuk ekspansi, pendudukan daerah, penaklukkan para penganut agama-
agama lain untuk disatukan ke dalam agama Kristen karena agama Kristen diyakini sebagai
satu-satunya agama yang benar.8 Misi gereja Katolik dan misi gereja-gereja Protestan
merupakan bagian dari kekuatan kolonialisme Barat. Ini tidak berarti bahwa tidak ada
perbedaan kepentingan antara kepentingan pekabaran Injil dengan kepentingan kolonial.
Perbedaan kepentingan memang ada. Namun cara yang digunakan oleh kedua kekuatan yang
beraliansi ini adalah sama, yaitu cara kekerasanuntuk menaklukkan orang yang hendak
dijajah dengan orang yang hendak dikristenkan.9
Pada awal lahirnya reformasi, gereja-gereja Protestan di Eropa memang tidak semangat
melaksanakan misi keluar negeri. Hal itu terjadi demikian, bukan karena para Reformator
seperti Luther, Bucer dan Calvin tidak melihat misi itu sebagai tugas hakiki dari gereja.
Sebaliknya melalui interpretasinya terhadap beberapa teks Alkitab seperti: Kejadian 1-11,
Kejadian 12: 1-3, Kejadian 12: 14-16, Kejadian 22: 18, Kejadian 35:2, Mazmur 117, Yesaya
42: 6, Yesaya 49: 6, Matius 28: 19, Markus 16: 15, Lukas 2: 10, Efesus 2: 14, 1 Petrus 2 :9,
para Reformator justru sangat menggelorakan semangat pekabaran Injil yang terancam oleh
hierarki gereja. Pelaksanaan misi keluar negeri, pada masa awal reformasi terkesan tertidur
adalah karena para Reformator harus memprioritaskan pembinaan umat yang bersifat ke
dalam melalui pengajaran dan khotbah agar reformasi berhasil menghadapi kontra reformasi.
8Edmund Woga CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 48-49.
9Victor I. Tanja, “Perjumpaan Gereja Dengan Agama-Agama Lain”, dalam Chris Hartono
ed.Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah (Jakarta: Persetia,1995), 17.
157
Situasi di luar Eropa berada di luar jangkauan mereka. Jadi pelaksanaan misi keluar negeri
yang tertidur di kalangan gereja-gereja Protestan di masa awal reformasi sangat ditentukan
oleh situasi mereka.10
Konsepsi misi yakni pergi menjumpai dunia, yang dibangun oleh para
Reformator, baru bisa diaktualisasikan dalam pietisme yang lahir dalam abad ke-17 dan abad
ke-18. Jadi di kalangan gereja-gereja Protestan, gerakan pietismelah yang menghidupkan
semangat misi keluar negeri yang sebenarnya sudah dikonsep oleh para Reformator namun
sempat tertidur pada masa-masa awal reformasi.11
Pada masa penemuan dan pendudukan benua-benua baru, pelaksanaan misi gereja-
gereja Barat digerakkan oleh semangat pembentukancorpus christianum. Bangsa-bangsa
Eropa yang telah beragama Kristen seperti Portugis, Spanyol dan Belanda melihat diri
mereka sebagai corpus christianum. Berangkat dari keadaan ini mereka berkehendak agar
semua bangsa yang akan ditundukkannya juga menjadi corpus christianum.12
Dengan
berorientasipada perluasan corpus christianum, perjumpaan para misionaris Katolik dan para
misionaris Protestan dengan orang-orang di daerah koloni, menyebabkan gereja Barat
memikirkan langkah-langkah dan tindakan yang harus diambil bagi penduduk di daerah
koloni, untuk mengkristenkan mereka. Dalam misi yang digerakkan oleh semangat
pembentukan corpus christianumke seluruh benua yang ditemukan dan ditaklukkan,
evangelisasi senyatanya memang bergandengan dengan kolonisasi, sehingga misi yang
dilakukan gereja Barat berwajah kolonialis dan imperialis Barat. Anton Wesel sempat
mengkritisi misi gereja Barat yang berwajah kolonialis dan imperialis ini, sebagai misi yang
sering memberitakan Kristus sebagai sosok yang menentang kebudayaan dan agama, sebagai
sosok yang menindas.13
Beberapa tokoh yang berperan besar sebagai misionaris dan misiolog pada periode ini
adalahi Las Casas (di Amerika Latin), Fransiskus Xaverius (di Asia), Hadrianus Saravia
(Belanda), William Carey (Inggris),Robert de Nobili, dan Matteo Ricci. Ordo-ordo Gereja
baik yang telah lama ada seperti Dominikan dan Fransiskan, maupun yang baru terbentuk
10
Theo Kobong, “Konsepsi Tentang Misi Dalam Teologi Para Reformator”, dalam John Campbell-
Nelson, Bendalina Souk, Stephen Suleeman eds., Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual,Studi Institut
Misiologi Persetia 1992 (Jakarta: Persetia, 1995), 4-15. 11
A.A.Yewangoe, “Gereja Tua, Gereja Muda dalam Pekabaran Injil: suatu perspektif sejarah”, dalam
John Campbell-Nelson, Bendalina Souk, Stephen Suleeman eds.,Mengupayakan Misi Gereja Yang Kontekstual,
Studi Institut Misiologi Persetia 1992 (Jakarta: Persetia,1995), 16-20. 12
J. R. Hutauruk, “Sejarah Gereja di Indonesia”, dalam Chris Hartono(ed.),Perjumpaan Gereja di
Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah(Jakarta:Perseria,1995),95-96. 13
Anton Wesel, Memandang Yesus: Gambar Yesus dalam Berbagai Budaya (Jakarta: BPK Gunung
Mulia,1990), 122.
158
seperti Yesuit, Agustiner, Mercedarian dan Theatiner, juga sangat berperan dalam sejarah
misi pada periode penemuan benua-benua baru, yang sangat bercorak penyebaran iman
Kristen atau Kristenisasi. Melalui misi yang berkarakter demikian, gereja pada periode ini
juga melakukan usaha untuk membendung perkembangan agama Islam ke daerah-daerah
baru di Afrika dan Asia.14
V.1.d.Sejarah Misi Pada Periode Pasca Pendirian Sacra Congregatio De Propaganda
Fide(Abad17-Abad18)
Pada tahun 1622 gereja Katolik mendirikan Sacra Congregatio de Propaganda Fide
(SCPF). Pendirian lembaga ini dimaksudkan untuk mengembalikan karya misi, yang telah
sangat lama diidentikkan dengan penyebaran kekuasaan politik, ekonomi dan kebudayaan, ke
dalam urusan yang murni berpusat pada kekuasaan kepausan di Roma. Pada awal berdirinya,
SCPF ditolak di daerah-daerah kekuasaan Spanyol dan Portugis. SCPF dapat masuk ke
daerah Asia Timur dan Tenggara, karena adanya perselisihan antara Spanyol dan Portugis.
Munculnya SCPF menyebabkan sejarah misi berupa karya penyebaran iman Kristen,
mengalami kesulitan dan hambatan. Disamping munculnya SCPF yang menghambat sejarah
misi dalam arti penyebaran iman Kristen pada abad ke-17 dan abad ke-18, karya misi dalam
pengertian yang demikian ini, yakni pengembangan gereja, juga dipersulit oleh lahirnya masa
pencerahan, oleh dampak dari munculnya reformasi Luther (1517), Zwingli dan Calvin
(1523), dan oleh munculnya revolusi Prancis (1789), dimana dalam arti tertentu semua yang
muncul itu berseberangan atau bermusuhan dengan gereja Katolik.15
Pada periode ini, sejarah misi juga diwarnai dengan gerakan pietisme yaitu, kegiatan
rohani dari gereja-gereja Protestan untuk mencapai suatu kehidupan yang saleh (pia
desiseria) di dunia ini, yang mengutamakan pertobatan pribadi dan keselamatan rohani,
dimana benih gerakan ini sesungguhnya telah mucul pada abad ke 16 di Eropa, tetapi
mencapai puncak pertumbuhan dan pengaruhnya pada abad ke-17 dan ke-18 baik di Eropa
terlebih lagi di Amerika. Pada dasarnya gerakan pietisme yang lahir dari dua denominasi
yang ada di Eropa yaitu dari Lutheran dan Calvinis, adalah sebagai kritik atas situasi
kehidupan konkret gereja-gereja dan atas realitas sosial kemasyarakatan Eropa pada abad ke-
16 yang hampir tidak jauh berbeda. Sebagai gerakan rohani dalam gereja-gereja Protestan,
Pietisme merupakan gerakan yang paling berpengaruh sejak jaman reformasi. Atas pengaruh
14
Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar . . . , 48-49. 15
Ibid., 49.
159
pietisme, di Eropa dan di Amerika, banyak bermunculan badan-badan pekabaran Injil.
Badan-badan Zending ini dengan semangat yang besar siap mewartakan Injil ke seluruh
dunia dan sembari dengan itu juga menanamkan pengaruhnya di tanah misi.16
Ragam gerakan pietisme itu beraneka. Antara gerakan pietisme yang satu dengan yang
lainnya tidak dapat disamakan begitu saja. Masing-masing gerakan pietisme memiliki
tuntutan sendiri-sendiri dalam melaksanakan praxis pietatisnya. Pietisme atau puritantisme
Inggris berkarakter hendak menegakkan pemerintahan Kristus di bumi. Corak pietisme atau
puritantisme Belanda hendak menguduskan seluruh bangsa. Lalu, warna pietisme atau
puritantisme Lutheran Jerman terbagi-bagi dalam keinginan berkehidupan yang saleh yang
membuahkan pembaharuan kehidupan rohani dan kesejahteraan seluruh dunia. Gerakan
pietisme sejak awal kemunculannya telah banyak menghasilkan karya yang berkaitan erat
dengan pembaharuan kehidupan sosial dan kemasyarakatan dunia sekitar. Beberapa dari
karya pietisme itu baik yang dilakukan di dalam negeri maupun di ladang misi adalah seperti:
pelayanan terhadap orang miskin terutama anak yatim piatu, pelayanan dalam dunia
pendidikan, pelayanan dalam dunia kesehatan, pelayanan untuk ekumene yakni pelayanan
untuk menyatukan gereja-gereja dari berbagai konfesi dan denominasi.17
V.1.e.Sejarah Misi Pada Periode Abad ke-19 Sampai Pada Awal Abad ke-20
Pada abad ke-19 sampai pada awal abad ke-20, sejarah misi dalam pengertian
penyebaran iman Kristen atau pengembangan gereja ke luar daerah, baik yang dilakukan oleh
gereja Katolik maupun oleh gereja-gereja Protestan mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Di kalangan gereja Katolik, hal itu terjadi demikian disebabkan oleh dua hal: Pertama,
pada masa ini, baik ordo-ordo gereja seperti Societas Verbi Domini (SVD) maupun beberapa
kongregasi hidup membiara seperti Spiritaner, Missionaris Lyon, sangat tergerak untuk
mengkhususkan diri berkarya di daerah misi. Kedua, pada abad ke-19 sampai pada awal
abad ke-20, juga semarak muncul dalam gereja, organisasi-organisasi baru yang berdiri untuk
menunjang pertumbuhan dan kehidupan gereja Katolik di daerah misi. Beberapa dari
16
Christian de Jonge dan Jan Aritonang, Apa dan Bagaimana Gereja?Pengantar Sejarah Ekkesiologi
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet-2, 1993), 48. Bandingkan juga Christ Hartono,Pietisme di Eropa dan
Pengaruhnya di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), 56. 17
Soegeng Hardiyanto, “Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan, Sumbangsih Gereja-gereja Barat
terhadap Kesaksian dan Pelayanan Gereja-gereja di Indonesia”, dalam Ferdinand Suleeman dkk, (peny)(ed),
Bergumul Dalam Pengharapan:Buku Penghargaan untuk Pdt.Dr.Eka Darmaputera (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1999), 136-139. Bandingkan juga Soegeng Hardiyanto, “Teologi dan Zending: Sebuah Pemahaman
Ulang Bagi Gerakan Keesaan dan Keutuhan Ciptaan”, dalam Pengantar ke Teologi Lambaran,Obyek-Persoalan
Dasar-Metode (Salatiga: Fakultas Teologi dan PpsAM-UKSW, 1998), 146.
160
organisasi tersebut adalah seperti: Opus Sancti Petri, Karya Penyebaran Iman, dan
Persekutuan Kanak-Kanak Yesus.18
Sedangkan di kalangan gereja Protestan, semaraknya
misi berupa penyebaran iman ke bangsa-bangsa lain, disebabkan karena pada masa abad ke-
19 sampai dengan awal abad ke-20, bagi para misionaris Protestan, pergi ke seberang lautan
merupakan sebuah bentuk ketaatan terhadap perintah Tuhan yang telah memanggil dan
mengutus mereka, untuk mewartakan cinta kasih dan khabar keselamatan kepada segala
bangsa dalam rangka memenangkan jiwa-jiwa melalui pertobatan pribadi.19
Sampai pada
menjelang berakhirnya era kolonial, misi gereja-gereja Barat masih menekankan pertobatan
individu dan memandang penganut agama lain tidak memiliki kebenaran ilahi. Nilai-nilai
positif yang terdapat dalam agama-agama lain tidak dihargai. Pandangan yang demikian ini
didasari oleh asumsi teologis bahwa gereja ialah “umat terpilih” yang memperoleh prioritas
penting dan superior atas dunia untuk mengemban Amanat Agung Kristus karena misi Allah
dalam dunia hanya dipahami lewat gereja saja.20
Pekerjaan misi oleh gereja-gereja Protestan dari dunia Barat ke dunia non Barat pada
periode abad ke-19 sampai awal abad ke-20 juga diwarnai oleh adanya dua kelompok gereja
Protestan yang pola pendekatannya dalam cara bermisi pada berbeda. Pada satu pihak, ada
kelompok gereja Protestan yang pola pendekatan misinya bersifat ekumenikal, sementara itu
ada kelompok gereja Protestan yang pola pendekatan misinya bersifat
evangelical.21
Golongan ekumenikal menitikberatkan segi antropologis dari Injil dan
keselamatan yang berdampak sosial dan kemanusiaan secara utuh.Sedangkan golongan
18
Edmund Woga CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . ,49-50. 19
Soegeng Hardiyanto, “Teologi Sosial dan Gerakan Keesaan,Sumbangsih Gereja-Gereja Barat
terhadap Kesaksian dan Pelayanan Gereja-Gereja di Indonesia”, dalam Ferdinand Suleeman dkk.,(Peny.)(ed.),
Bergumul Dalam Pengharapan:Buku Penghargaan untuk Pdt.Dr.Eka Darmaputera(Jakarta:BPK.Gunung
Mulia,1999), 133. Juga: Soegeng Hardiyanto, “Teologi dan Zending:Sebuah Pemahaman Ulang Bagi Gerakan
Keesaan dan Keutuhan Ciptaan”, dalam,Pengantar ke Teologi Lambaran,Objek-Persoalan Dasar-
Metode(Salatiga:Fak.Teologi dan PpsAM-UKSW,1998),146. 20
Widi Artanto,Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia(Yogyakarta:Kanisius dan
Jakarta:BPK Gunung Mulia,1997),179. 21
Kata “Evangelical” yang diindonesiakan sebagai “Injili”, berasal dari dunia AngloSaxon yang
berlatar belakang sejarah gereja Inggris pada abad ke-19. Pada zaman Reformasi kata “Injili” berarti “setia
kepada Injil” yaitu mereka yang membedakan diri dengan kelompok yang setia kepada Paus di Roma, yang
kemudian juga disebut “kaum Protestan”. Pada abad ke-19, kata “Injili” mulai dipakai untuk menunjukkan
orang-orang Protestan yang menekankan kesetiaan kepada Injil yang disertai dengan semangat kebangunan
rohani dan keinginan untuk mengadakan evangelisasi. Kemudian, pada abad ke-20, terjadi polarisasi antara
kelompok evangelical dan kelompok ekumenikal yang juga disebut dengan kelompok keesaan Gereja. Kaum
Injili percaya penuh akan otoritas Alkitab, penebusan dosa hanya melalui darah Kristus, dan bahwa di luar
Kristus dunia akan binasa. Itu sebabnya pewartaan Injil bagi kaum Injili merupakan panggilan utama yang harus
dilakukan. Uraian ini didasarkan pada data yang ada pada Yakub B. Susabda,Kaum Injili,Membangkitkan
Kembali Iman Kristiani Ortodoks(Malang:Gandum Mas,cet-2,1997),12. Menurut Christ Hartono gerakan
evangelical nampaknya dipengaruhi oleh pietisme atau puritanisme Eropa. Christ Hartono,Pietisme di Eropa
dan Pengaruhnya di Indonesia(Jakarta: BPK Gunung Mulia,1974), 13-39.
161
evangelikal menekankan segi transendental dengan dimensi spiritual individual dari Injil.
Pemahaman misi kaum evangelical didasarkan pada “Amanat Agung” Kristus sebagaimana
tertulis dalam Matius 28:19-20. “Amanat Agung” oleh kelompok evangelical dipandang
sebagai amanat misi yang paling penting dalam Alkitab, sehingga baginya pertobatan dan
kesalehan merupakan kunci keselamatan manusia. Polarisasi misi yang demikian, yang
dibawa oleh gereja-gereja Protestan ke ladang misi menjadi fenomena global di lingkungan
gereja-gereja Protestan di seluruh dunia.22
V.1.f.Sejarah Misi Sejak Awal Abad ke-20 Sampai Sekarang
Sejarah misi sejak permulaan abad ke-20 sampai sekarang, ditandai dengan:
kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah di Asia dan Afrika, sekularisme masyarakat Eropa, dan
kesadaran gereja-gereja di daerah misi akan integritas dan jati dirinya sebagai gereja pribumi
atau gereja setempat yang utuh. Seiring dengan kemerdekaan bangsanya, gereja-gereja
pribumi hendak melepaskan diri dari dominasi gereja-gereja Barat dan mencari
keberagamaan yang khas dengan bangsanya. Mereka mulai menyadari bahwa kekristenan
bukan hak milik bangsa Barat saja, sebab kekristenan adalah sebuah fenomena global.
Mereka mulai mempertanyakan konsep misi “dari Barat ke Timur”, dan konsep misi yang
selalu diartikan sebagai usaha mengkristenkan dunia non Barat yang selalu dipandang
sebagai dunia kafir. Bersamaan dengan lahirnya kesadaran yang demikian, agama-agama
yang telah ada di benua ladang misi seperti Hindu, Budha dan Islam juga mengalami
kebangkitan. Berdasarkan pada realitas sosial yang demikian ini, perubahan pandangan
mengenai misi terjadi pada gereja-gereja Barat, baik pada kalangan gereja-gereja Protestan
maupun pada gereja Katolik.23
Perubahan pandangan tentang misi dikalangan gereja-gereja Protestan kelompok
ekumenical, tampak di dalam beberapa konferensi yang diselenggarakannya. Pertama, dalam
konferensi Edinburgh Skotlandia yang berlansung pada tahun 1910. Dalam konferensi ini
disepakati bahwa lapangan misi tidak boleh lagi dibatasi hanya pada Asia atau Afrika, namun
mencakup seluruh dunia. Misi bukan hanya tugas gereja-gereja di Barat, tetapi tugas semua
gereja di seluruh dunia. Kedua, dalam konferensi Yerusalem yang berlangsung pada tahun
1928. Dalam konferensi Yerusalem yang merupakan kelanjutan dari konferensi Edinburgh,
22
Richard AD Siwu, “Oikumenikalisme Dan Evangelicalisme:Fenomena modern Gerakan Misi
Kristen dan Kehadiran PGI”,dalam Gerakan Oikumene Tegar Mekar di bumi Pancasila, Buku Peringatan 40
tahun PGI (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet-3,1997), 304. 23
Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 50.
162
disepakati bahwa pemahaman tentang misi tidak lagi sebagai usaha mengkristenkan dunia
non Barat, melainkan sebagai tugas bersama dalam menjawab masalah-masalah dunia ini,
khususnya tantangan sekularisme, ateisme, komunisme dan masalah hubungan dengan agama
Yahudi dan Islam. Dalam konferensi Yerusalem, gereja-gereja Protestan dari kalangan
ekumenikal melihat misi dalam wawasan keterbukaan agama Kristen terhadap perkembangan
zaman.24
Ketiga, dalam konferensi Tambaran di India yang berlangsung pada tahun 1938
dengan tema “World Mission of the Church”. Dalam konferensi Tambaran, gereja-gereja
Protestan dari kalangan ekumenical di seluruh dunia Barat dan Timur, dengan berbekal
pendekatan kritis historis terhadap Alkitab memaknai misi sebagai panggilan gereja di
seluruh dunia, dan menetapkan “Amanat Agung” sebagai misi holistik berupa keselamatan
pribadi dan perwujudan keadilan, kemerdekaan, perdamaian.25
Perkembangan dalam pemikiran teologi khususnya kemajuan dalam studi biblis dengan
pendekatan kritik historis, memang sangat mendorong lahirnya perubahan pandangan tentang
misi pada gereja-gereja Protestan di kalangan ekumenikal. Studi kritis historis terhadap Injil
Matius 28: 16-20 yang dikenal sebagai Amanat Agung, yang telah dimulai pada tahu 1940-
an, misalnya, telah membuat gereja-gereja ekumenikal tidak lagi menjadikannya sebagai teks
khusus dalam menyusun teologi misi. Dalam menyusun teologi misi, pada umumnya para
teolog dari kalangan ekumenikal lebih suka memilih teks-teks lain seperti Lukas 4: 16-19.
Matius 25: 31-46 dan Yohanes 17: 21. Hal itu terjadi demikian, karena berdasarkan pada
pendekatan kritik historis, kata-kata dalam Matius 28:16-20, bukanlah kata-kata yang berasal
dari Yesus. Kata-kata itu berasal dari penulis Injil pertama sendiri. Pandangan ini dikuatkan
oleh fakta bahwa, kata-kata sebagaimana ada pada teks termaksud tidak pernah muncul
dalam kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya.26
Berdasarkan pada keputusan sidang International Missionary Council (IMC) atau
Dewan Misi Internasional (DMI) pada tahun 1958 di Achimota, IMC diintegrasikan dengan
World Council of Churches (WCC) atau Dewan Gereja-gereja se-Dunia (DGD) yang
pendekatan misinya sangat bersifat ekumenikal. Gereja-gereja Protestan dari kelompok
ekumenikal sangat senang dengan penggabungan IMC ke dalam WCC. Namun, kelompok
evangelical sangat berkeberatan karena menurut mereka kaum ekumenikal telah melalaikan
24
Richard AD Siwu, Misi Dalam Pandangan Ekumenikal Dan Evangelikal Asia, 1910-1961-
1991(Jakarta: BPK Gunung Mulia,1996), 1-2. 25
Richard AD Siwu,Misi Dalam . . . , 38. Lihat juga:Gerald D. Gort, “Sinkretisme dan Dialog:
Berbagai Persepsi Orang Kristen dalam Sejarah dan Pada Awal Kegiatan Ekumenis”, dalam Peninjau, XIV/2 &
XV/1 (Jakarta: PGI, 1990), 48. 26
David J. Bosch, Transforming Mission . . . , 56-57.
163
tugas pewartaan Injil kepada setiap orang27
. Berangkat dari keberatan yang seperti itu, gereja-
gereja Protestan dari kelompok evangelical pada Sidang Raya WCC III yang diselenggarakan
di New Delhi India pada tahun 1961, menyatakan keluar dari keanggotaan WCC. Mereka lalu
membentuk wadah sendiri, yang menghimpun kaum evangelical sedunia dalam semangat
evangelisasi yang dipengaruhi oleh fundamentalisme,28
pada kongres Internasional pertama
yang berlangsung di Woudschoten Belanda pada tahun 1961. Wadah yang dibentuknya itu
diberi nama ”World Evangelical Fellowship” (Persekutuan Evangelical Sedunia).29
Sejak tahun 1961 polarisasi antara ekumenikal dan evangelical semakin terlihat dalam
cara bermisi. Kaum evangelical senantiasa membendung pengaruh liberalisme dalam
lingkungan kehidupan gereja, khususnya metode penelitian Alkitab secara ilmiah yakni
metode kritis historis. Kaum evangelical selalu mempertahankan semangat misioner bagi
evangelisasi dunia seperti yang terjadi pada abad-abad sebelumnya. Kaum evangelical
senantiasa menjawab dari sudut pandang mereka masalah-masalah yang diakibatkan oleh
modernisme, kebangkitan agama-agama non Kristen dan pluralitas kebudayaan.30
Gereja-
gereja Protestan dari kalangan evangelical agak berorientasi ke belakang. Mereka tidak
seperti kaum ekumenikal yang berani mengembangkan teologi,misi dan identitas yang
dinamis seiring dengan kehidupan masyarakat dan lingkungan yang tidak pernah berhenti
berkembang. Dalam hal ini, gereja-gereja Protestan dari kalangan ekumenikal lebih sejalan
dengan gereja Katolik. Gereja Katolik sebagaimana diperlihatkannya dalam Konsili Vatikan
II, berorintasi ke depan. Penghargaannya yang semakin besar terhadap kebudayaan bangsa-
bangsa, kesadarannya bahwa agama-agama non Kristen juga merupakan sarana keselamatan,
27
Chris de Jonge,Menuju Keesaan Gereja,Sejarah,Dokumen-Dokumen dan Tema-Tema Gerakan
Oikumenis (Jakarta: BPK Gunung Mulia,cet-3,1996), 17, 57,143. 28
Fundamentalisme merupakan corak tertentu dalam gerakan evangelical yang menunjuk pada suatu
gerakan keagamaan yang muncul di Amerika Utara pada dekade terakhir abad ke-19. Fundamentalisme sebagai
gerakan merupakan reaksi negatif terhadap modernisme yang dianggap merusak ajaran Kristen. Oleh karena itu
Fundamentalisme sangat menekankan otoritas Alkitab sebagai sumber mutlak pengenalan Allah dan keadaan
manusia, ketuhanan Kristus yang universal sebagai satu-satunya Juru Selamat manusia, mementingkan
pengalaman pribadi terhadap kuasa penyelamatan Kristus, dan menekankan pekabaran Injil keseluruh dunia
agar seluruh manusia berpeluang memperoleh keselamatan. Informasi ini didapat dari Jan Aritonang,Berbagai
Aliran Di Dalam dan Disekitar Gereja,(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1995),232-233. Dan juga dari Zakaria
J.Ngelow, “Fundamentalisme Kristen”, dalam Peninjau XVIII/2&XVIII/I,(Jakarta: PGI,1993), 41. 29
Richard AD Siwu,”Asia dan Gerakan Evangelikalisme Baru”, dalam Mendidik Dengan Alkitab dan
Nalar,Kumpulan Karangan Dalam Rangka Penghormatan Kepada Pdt. Prof.Richard W.Haskin,Ph.D,Ioanes
Rahmat(peny),(Jakarta: BPK Gunung Mulia,1995), 361. 30
William R.Hutchinson,Errant to the world: American Protestant Thought and Foreign
Mission(Chicago:The University of Chicago Press,1987), 101, 104.
164
menuntun gereja Katoliktidak lagi melihat pelayanan misi gereja sebagai propaganda iman,
tetapi sebagai komunikasi iman.31
Sementara gereja-gereja Protestan dari kalangan ekumenikal bersama gereja Katolik
berpandangan demikian, gereja-gereja Protestan dari kalangan evangelical semakin
menegaskan bahwa mereka mempercayai Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
secara keseluruhan sebagai satu-satunya Firman Allah yang tertulis tanpa salah
(innerransi),32
serta satu-satunya pedoman yang benar bagi iman dan kehidupan ini. Bertolak
dari keyakinan ini dan melalui Kongres Internasional Injili di Berlin 23 Oktober-4 Nopember
1966, gereja-gereja Protestan dari kelompok evangelical atas kontribusi pemikiran dari
Harold J. Ockenga, memutuskan bahwa yang paling fundamental dalam Protestantisme ialah
pentingnya otoritas Alkitab bagi evangelisasi sedunia dalam rangka melaksanakan
evangelisasi ke seluruh dunia.33
Dalam rangka melaksanakan evangelisasi ke seluruh dunia,
kaum evangelical atas kontribusi pemikiran dari John R.Stott dan Donald McGavran juga
menegaskan bahwa pekerjaan misi itu adalah sebuah upaya penanaman gereja yang berlanjut
dengan upaya penumbuhan gereja dengan penekanan pada pemuridan atau pertambahan
jumlah anggota gereja. Bagi kaum evangelical, di antara sekian banyak tanggung jawab yang
dimiliki gereja, menjadikan segala bangsa sebagai murid Kristus merupakan tugas gereja
yang paling utama.34
31
Edmund Woga, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 50. 32
Doktrin innerancy lahir sebagai lawan atas rasionalisme. Pada dasarnya rasionalisme berasumsi
bahwa yang dapat disebut realitas hanyalah hal-hal yang dapat menjadi objek pengamatan dan pemikiran
manusia. Pengaruh rasionalisme sangat besar dalam kehidupan kekristenan. Rasionalisme melepaskan Alkitab
dari unsur inspirasi. Menurut rasionalisme segala yang Sang Khalik lakukan harus disesuaikan dengan hukum
alam dan dapat menjadi objek observasi. Menurut Yakub B. Susabda, rasionalismelah yang melahirkan adanya
Biblical Critism. Lihat:Yakub B. Susabda, “Kewibawaan Alkitab dari Sudut Pandang seorang Injili”, dalam
Forum Biblika,No.4,edisi April 1994(Jakarta:Lembaga Alkitab Indonesia,1994),46. Gereja yang memandang
Alkitab sebagai inerransi menerima adanya peran manusia di dalam proses penulisan Alkitab, namun Roh
Kudus menuntun dan mengendalikan seluruh proses penulisan. Oleh karena para penulis Alkitab diberi ilham
Allah (2Timothius 3:16) maka yang dikatakan dalam tulisan-tulisan itu dalam segala uraiannya tidak dapat
salah. Karenanya, Alkitab dipandang memiliki wibawa. Pada hakekatnya, Alkitab berisi warta keselamatan yang
tidak dapat salah. Lihat: Ioanes Rahmat, “Ditengah Arus Fundamentalisme Dalam Gereja,” dalam
Soetarman,Fundamentalisme,Agama-Agama dan Teknologi,(Jakarta:BPK Gunung Mulia,cet-3,1996),43-44.
Menurut Ioanes Rahmat, alasan Alkitab dipercaya dan dipertahankan sampai begitu rupa, berkaitan dengan
lahirnya fundamentalisme Protestan yang muncul pada awal abad ke-20 di Amerika Serikat, yang tidak dapat
dilepaskan dari kandungan paradigma reformasi Protestan Injili abad ke-16. Pemahaman seperti itu
dimaksudkan untuk menolak dan menyerang pendekatan historis kritis terhadap Alkitab yang mempergunakan
prinsip-prinsip penalaran. Lihat: Ioanes Rahmat,”Tempat Fundamentalisme Protestan dalam Teologi-Teologi
Kristen Memasuki Milenium III”, dalam,Penuntun,Vol.2,No.8,Juli 1996(Jakarta:Pokja GKI Jabar),418. 33
C.F.Henry dan Mooneyham(eds.),One Race,One Gospel,One Task(Berlin: World Congress on
Evangelism,1966),97. 34
John R. Stott, “The Great Commision”, dalam F.H.Henry dan W.S Mooneyham(eds.),One Race . . .
,37. Donald McGavran,The Bridges of God: A study in the Strategy of Missions(New York: Friendship
Press,1955), 14-15.
165
Sejarah misi dari abad ke-1 sampai dengan abad ke-20 menunjukkan bahwa,
pemahaman Injil yang dibawa oleh gereja-gereja Barat ke tanah misi (Asia dan Afrika)
terbungkus dalam kepingan-kepingan perbedaan teologi misi. Perbedaan-perbedaan teologi
misi yang ada dalam gereja-gereja pemberita Injil itu, secara historis disebabkan karena
adanya perbedaan perbedaan denominasi, aliran dan pemahaman teologis dalam gereja itu
sendiri, yang sudah ada sejak zaman Reformasi. Perbedaan yang dimulai dengan perpecahan
antara gereja Katolik dan Protestan, berlanjut dengan perpecahan di dalam kalangan
reformasi sendiri antara pengikut Luther dan Calvin yang dalam perkembangan selanjutnya
juga melahirkan berbagai aliran seperti Pietisme, Puritanisme, kelompok gereja ekumenikal
dan kelompok gereja evangelical. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kelahiran gereja-
gereja di tanah misi, berasal dari tiga tradisi besar gereja yaitu tradisi gereja Katolik, tradisi
gereja-gereja Protestan yang ekumenikal yang melahirkan gereja-gereja dalam gerakan
keesaan Gereja, dan tradisi gereja-gereja Protestan yang evangelical yang melahirkan gereja-
gereja dalam gerakan Injili.
Melihat sejarah pelaksanaan misi gereja sejak kelahiran gereja sampai pada
pertengahan abad ke-20, dapat disimpulkan bahwa berbicara tentang sejarah misi gereja
ternyata kita berbicara tentang sejarah gereja itu sendiri secara dinamis. Hal itu terjadi
demikian nampaknya karena seiring dengan perkembangan gereja dalam dunia yang
berkembang, berkembang pula pemahaman gereja tenatang misinya. Semula misi dipahami
sebagai usaha perluasan gereja secara triumfalistis dan para misionaris dilihat sebagai duta
dari superioritas budaya bangsa-bangsa Barat atas budaya bangsa-bangsa di luar bangsa
Barat, karena gereja mengerti dirinya sebagai umat pilihan Tuhan, umat yang telah
diselamatkan dalam Kristus dan yang harus menjadikan setiap bangsa murid Kristus agar
mereka juga terselamatkan. Ketika pengenalan gereja akan dirinya dan juga pengenalan
gereja akan dunianya mengalami perubahan, dimana dia dan sesamanya dipahami sama
sebagai sesama manusia ciptaan yang dikasihi dan diselamatkan Tuhan sang pencipta semua
makhluk, sebagaimana terungkap dalam Konferensigereja-gereja Protestan ekumenikal yang
diselengarakan di Edinburgh 1910, di Yerusalem 1928, di Tambaran India 1938, di New
Delhi India 1961, dan dalam Konsili Vatikan II gereja Katolik yang berlangsung pada
pertengahan tahun 1962,gereja tidak lagi menjadikan misinya sebagai propaganda iman
tetapi sebagai komunikasi iman.
166
V.2. ModelMisiGereja EropaDi Indonesia Pada Masa Penemuan Dan Penaklukkan
Benua-Benua Baru
Ekspansi imperialis dan kolonialis Barat ke Asia termasuk di dalamnya ke Indonesia
berlangsung dalam kurun waktu lima abad dari tahun 1492 sampai dengan 1947. Era ini
disebut juga sebagai era Vasco Da Gama, sebab Vasco Da Gama adalah tokoh yang
menemukan rute laut ke India sebagai rute yang digunakan oleh bangsa-bangsa Eropa:
Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Jerman dalam melancarkan ekspansinya ke wilayah
Asia. Pada tahun 1511 bangsa Portugis menduduki Malaka sebuah kota strategis di Asia
Tenggara, kemudian menjelajahi Maluku, Flores dan Timor yang kaya akan rempah-rempah.
Kehadiran Portugis ke Asia terutama didorong oleh motif ekonomi, motif politik dan motif
agama yaitu keinginan untuk mewartakan Injil. Jatuhnya Malaka di bawah kekuasaan
Portugis membuat Malaka menjadi pusat politik, ekonomi dan pusat kegiatan misi. Usaha
misi agama bangsa Portugis membuahkan hasil. Sejumlah penduduk pribumi di Maluku,
Timor, dan Flores menerima baptisan dan menjadi warga gereja Katolik mulai pada tahun
1543.35
Pelaksanaan misi agama bangsa Portugis senyatanya bergandengan tangan dengan
penjajahan dan perdagangan, sehinggamotif misi agama bangsa Portugisdikaburkan oleh
motif ekonomi danmotif politiknya.36
Sekalipun motif misi agama bangsa Portugis dikaburkan oleh motif ekonomi dan
politiknya, negara Portugis memandang penyiaran agama Katolik sebagai tugasnya, sehingga
ia membiayai seluruh usaha pekabaran Injil. Di setiap kapal Portugis selalu ada imam-imam
yang memeliara kerohanian awak kapal dan yang sesudah mendarat, berdoa kepada Tuhan,
memohon berkat atas perdagangan maupun pekabaran Injil, dan kemudian mulai
mengabarkan Injil kepada penduduk setempat. Selain memburu rempah-rempah, bangsa
Portugis yang datang ke Indonesia juga membawamentalitas superior dan memori kolektif
yang buruk dalam hubungannya dengan komunitas muslim,dari negara asalnya.37
Berdasarkan motif dan muatan yang terbawa oleh bangsa Portugis dalam
kedatangannya ke Nusantara, maka pada masa kolonial Portugis, terjadi dua persaingan di
wilayah Nusantara. Pertama, persaingan antar kekuatan politik, baik di kalangan kekuasaan di
35
Dick Hartono S.Y. “Iman dan Adat Istiadat:Sebuah Pergumulan Klasik” dalam Chris
Hartono(ed.),Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang
Berubah(Jakarta:Persetia,1995),159. 36
F.Ukur dan Cooley, Jerih dan Juang . . . , 453. 37
Jack Turner, Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme(Jakarta:Komunitas
Bambu,2011), 45.
167
wilayah Nusantara maupun antar kekuatan bangsa-bangsa asing dalam memperebutkan
monopoli perdagangan rempah-rempah Indonesia. Kedua, persaingan antar misi Kristen dan
misi Islam yang menyebar di wilayah Nusantara melalui pusat-pusat kekuasaan dari
Sumatera sampai Ternate. Misi agama dipakai dalam percaturan politik sehingga permusuhan
antara penguasa-penguasa Kristen dan penguasa-penguasa Islam di Barat terbawa ke
Indonesia. Persaingan antara KristenKatolik (Portugis dan Spanyol) dengan KristenProtestan
(Belanda yang datang ke Indonesia pada tahun 1602 dengan motif yang sama dengan motif
Portugis) juga terjadi pada era kolonial Portugis.38
Bangsa Belanda dengan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) datang ke
Indonesia pada tahun 1602, satu abad setelah kedatangan Portugis. Oleh karena bangsa
Belanda adalah pedagang, maka tujuan utama Belanda datang ke Indonesia melalui wadah
VOC adalah untuk mendapatkan monopoli dalam bidang perdagangan. Pada tahun 1605
Belanda melalui pertempuran mengusir orang-orang Portugis dari Maluku. Kemudian sebagai
pemilik VOC yang merupakan perusahan dagang terbesar pada abad ke-17, Belanda
mendirikan koloni tetap di Indonesia dan itu terus dipertahankannya hingga pada pertengahan
abad ke-20. VOC sesungguhnya tidak banyak melakukan pekerjaan misi. Pekerjaan misi
dalam arti penyebaran iman Kristen, sesungguhnya banyak dihindari oleh VOC karena
mereka takut akan berpengaruh negatif terhadap perolehan keuntungan ekonomi.39
Di bidang
misi, VOC pada umumnya hanya memimpin kebaktian di kalangan pemimpin yang
mempekerjakan mereka atau di rumah para pedagang Belanda.Sebuah karyapenyebaran iman
Kristenyang cukup monumental dilakukan VOC adalahhanya menerbitkan Perjanjian Baru
dalam bahasa Indonesia.40
Mencermati sikap pemerintah Belanda dalam penginjilan pada masa kolonialnya di
Indonesia seperti tersebut di atas, Saut Sirait memandang penjajahan Belanda merupakan
38
Van Den End,Harta Dalam Bejana(Jakarta:BPK Gunung Mulia,cet-7,1988), 165. Juga Christian de
Jonge dan Jan Aritonang,Apa dan Bagaimana Gereja?Pengantar Sejarah Eklesiologi (Jakarta: BPK Gunung
Mulia,cet-2,1993), 90. 39
Pemerintah kolonial Belanda pernah membuat kebijakan yang menyatakan bahwa beberapa daerah
jajahan di Nusantara seperti Bali, Jawa Timur, dan Jawa Barat khususnya Banten ditutup bagi pemberitaan Injil.
Kebijakan itu dibuat karena kepentingan politik dan ekonomi pemerintah Belanda, yang sudah berjalan baik
karena adanya kerjasama antara mereka dengan pemerintah dan masyarakat setempat, akan sangat terganggu
bila kedatangan gereja tidak bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat setempat. Dalam hal ini, pelaksanaan
misi gereja dikorbankan oleh pemerintah Belanda demi kepentingan politik dan ekonomi mereka. Lihat
J.R.Hutauruk,”Sejarah Gereja di Indonesia” dalam Chris Hartono(ed.),Perjumpaan Gereja di Indonesia Dengan
Dunianya Yang Sedang Berubah(Jakarta:Persetia,1995),105,133. 40
Th Van Den End, Ragi Carita 1, Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1980),
32-33. Lihat juga: Stephen Neil,A History of Christian Missions(London: Overseas Missionary Felloship, 1967),
16-17.
168
bagian kegagalan dan kekacauan penginjilan di Indonesia terutama pasca kemerdekaan.
Selama kekuasaan penjajahan, Belanda dianggap memiliki peran utama dalam penginjilan
hingga berdirinya gereja-gereja di Indonesia. Setelah Indonesia merdeka, kekristenan
diidentikkan dengan penjajahan Belanda atau paling tidak merupakan bagian dari strategi
penjajahan. Padahal dalam kenyataannya, banyak kebijakan dan tindakan Belanda yang justru
menghempang penginjilan dan kemajuan gereja-gereja di Indonesia. Fakta selama 350 tahun
menjadi penguasa di bumi Nusantara, tetapi penganut Kristen teramat minoritas merupakan
bukti bahwa penjajahan Belanda tidak sepenuhnya bertalian dengan kekristenan.41
Seiring dengan perjalanan waktu sebagaimana ditunjukkan oleh sejarah, monopoli
VOC tidak hanya pada perdagangan, tetapi juga di bidang gerejawi. Hal itu terjadi demikian,
karena VOC memahami bahwa ia adalah pelaksana pemerintahan Hindia-Belandasehingga
gereja di Indonesia ada di bawah wewenangnya. Orang KristenIndonesia tidak diperbolehkan
menempuh kebijakan sendiri dalam bergereja. Sementara melaksanakan kebijakan demikian,
pihak VOC tidak memiliki niat untuk mendidik orang-orang Indonesia menjadi pelayan
gereja. GerejaIndonesia diurus oleh tenaga dari Belanda yang dibiayai oleh VOC dalam
suasana paternalistik. Dalam keadaan yang demikian, berbicara tentang sejarah gereja
Indonesia pada jaman VOC adalah berbicara tentang sejarah gereja Nederland di
Indonesia.42
Keengganan para missionaris Belanda pada waktu itu untuk memberi tempat
pada gereja pribumi, didasarkan pada pandangan bahwa semua warisan dan nilai budaya
pribumi masih kafir. Para misionaris Belanda berpendirian bahwa bila warga pribumi hendak
menjadi penganut agamaKristen, maka semua warisan dan nilai budaya harus ditinggalkan
dan menggantikannya dengan unsur budaya Barat. Dengan kata lain, menjadi Kristen berarti
tercabut dari sosio-budaya-religius tempat warga pribumi berakar, kemudian di-Barat-
kan.Hal itu dilakukan demikian karena kristenisasi yang dilakukan oleh gereja Belanda dalam
misi agamanyadiidentikan dengan westernisasi.43
Selama hampir dua ratus tahun, dari tahun 1602 sampai tahun 1795, dalam asuhan
VOC Kekristenan di Indonesia tidak berkembang karena tidak memiliki kebebasan untuk
mengembangkan teologi dan keberadaannya. Menurut Van Den End, pada akhir abad ke-18,
41
Saut Sirait,Teologi Kenegaraan Negara Dalam Rancangan Tuhan(Jakarta:BPK Gunung
Mulia,2016),2. 42
Van Den End, Harta Dalam . . . , 218-226. 43
Christian de Jonge dan Jan Aritonang,Apa dan Bagaimana Gereja . . . , 92.
169
gereja Indonesia bagaikan tanaman yang hampir mati,44
karena pada masa kejayaan VOC
Belanda tidak memiliki upaya penyebaran agama Kristen secara besar-besaran di Indonesia.
Bahkan pada jaman kejayaan VOC, pulau Jawa Timur, Jawa Barat khususnya Banten dan
pulau Bali dinyatakan tertutup bagi penyebaran agama Kristen. VOC hanya melanjutkan
pemeliaraan jemaat-jemaat Kristen Indonesia yang ditinggalkan Portugis seadanya saja.
Bahkan kadangkala VOC mengorbankan gereja demi kepentingan ekonominya.
Ketika VOC bubar pada akhir abad ke-18, maka babakan baru dalam sejarah gereja
Indonesia dimulai. Pemerintah kolonial Belanda menangani langsung umat Kristen Indonesia
dengan menata ulang organisasi gereja-gerja Indonesia. Pada masa yang demikian,tepatnya
pada tahun 1835, dilakukan pembentukan gereja kesatuan Indonesia dengan menyatukan
seluruh golongan Protestan (Hervormd dan Lutheran) dengan nama De Protestansche Kerk
in Nederlandsch Indie (Gereja Protestan di India Belanda). Dengan penetapan itu, gereja
ProtestanIndonesia tidak lagi memiliki hubungan resmi dengan gereja Belanda, namun
menjadi bagian dari lembaga pemerintahan kolonial. Dari De Protestanche Kerk in
Nederlandsch Indie, lahir gereja-gereja etnis di Indonesia bagian Timur yaitu: Gereja Masehi
Injili Minahasa (GMIM) pada tahun 1934, Gereja Protestan Maluku (GPM) pada tahun 1935,
Gereja Masehi Injili Timor (GMIT) pada tahun 1947, dan jemaat-jemaat lainnya tergabung
dalam sinode tersendiri yaitu Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) pada tahun
1948.45
Pada abad ke-19, pekerjaan misi di Indonesia disamping dilakukan oleh gereja-gereja
Barat yang bergandengan tangan dengan kekuasaan pemerintahan kolonial, diselenggarakan
pula oleh para misionaris Eropa dan Amerika yang terlepas dari kekuasaan pemerintahan
kolonial. Para misionaris yang datang ke Nusantara pada abad ke-19 yang terlepas dari
kekuasaan pemerintahan kolonial, adalah para misionaris dari gerakan pietisme dan
revivalisme46
. Misi para misionaris Barat dari gerakan pietisme dan revivalisme hanya
berorientasi pada hidup di seberang dunia ini. Bertolak dari orientasi misi yang demikian,
mereka hanya menekankan pertobatan pribadi demi keselamatan rohani perorangan. Sebagai
bagian dari bangsa dan budaya Barat, dalam pelaksanaan misinya kaum pietis dan
44
Van Den End, Harta Dalam . . . , 227. Lihat juga: F.Ukur, “Pengkajian Kembali Sejarah Gereja di
Indonesia”, dalam MA.Ihromi(peny), Theo-Doron, Pemberian Allah, Kumpulan Karangan dalam rangka
menghormati usia 75 tahun Prof Dr. Theodor Mueller-Krueger (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1979), 60-62. 45
Zakaria J Ngelow, “Gereja di Tengah Bangsa dan Masyarakat Indonesia”, dalam Sularso Soepater,
dkk(peny.), Gereja dan Kontekstualisasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1998),15. 46
Van den End,Sejarah Gereja Asia (Yogyakarta:Pusat Penelitian dan Inovasi Pendidikan Duta
Wacana, 1988), 57.
170
revivalistidak memperkembangkan sikap kritis terhadap kekuasaan kolonialisme. Mereka
melaksanakan misi dengan berlomba-lomba baik secara halus maupun kasar, mencari
pengikut untuk dijadikan orang yang seagama dengan mereka.
Dalam pelaksanan misinya seperti terurai di atas, kaum pietis dan revivalis sekalipun
tidak terikat dengan kekuasaan kolonialisme, namun mentalitas mereka sama seperti
mentalitaspara misionaris bangsa Eropa yang datang pada abad ke-16 dan yang terikat
dengan pemerintahan kolonial, yakniselalu mau menang sendiri.Mentalitas yang demikian itu
bersumber dari pemahaman gereja Eropa bahwa agama Kristen diyakini lebih unggul dari
semua agama yang telah ada di Indonesia. Dengan bermental triumphalis, gereja Eropa baik
dari kelompok yang bertalian dengan kekuasaan kolonial maupun dari golongan yang
terlepas dari pemerintahan kolonial, melalui misi agamanyasama-sama berjuang untuk
memenangkan semua agama Indonesia yang dipandangnya inferior dengan
jalanmendominasi bahkan mengkonversi semua agama yang telah ada di Indonesia kedalam
kekristenan.47
Misi gereja Eropa pada masa kolonial yang sangat berkehendak dan bergiat untuk
mendominasi bahkan mengkonversi semua agama Indonesia ke dalam kekristenan,
senyatanya adalah misi yang berorientasiuntuk menjadikan Indonesia sebagai bagian dari
corpus christianum. Misi yang berorientasi pada pembentukan Indonesia sebagai bagian dari
corpus christianum, adalah misi yang bertujuan untuk menjadikan Indonesia sama seperti
bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-12, yaitu menjadi bangsa dimana gereja atau masyarakat
kristiani hadir untuk menjadi pusat dan pengatur perjalanan bangsa itu,48
dengan jalan
mendominasi dan mengkonversi semua agama non Kristen kedalam kekristenan. Misi yang
berorientasi pada pembentukan corpus christianum di Indonesia, tidak hanya berlangsung
pada masa kolonial, tetapi ia juga berwajah kolonialis.49
Misi yang berorientasi pada
pembentukan corpus christianum,agaknya dikonstruksi berdasarkan pada teologi dari
sebagian besar gereja-gereja Barat pada masa penemuan benua-benua baru, yang sangat
bercorak eklesiosentris.
47
Victor I Tanja, “Perjumpaan Gereja Dengan Agama-Agama Lain”, dalam Chris Hartono
ed.Perjumpaan Gereja Di Indonesia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah (Jakarta: Persetia, 1995),17-18. 48
J.R. Hutauruk, “Sejarah Gereja di Indonesia”,dalam Chris Hartono,Perjumpaan Gereja di Indonesia
Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah(Jakarta:Persetia,1995),95-96. 49
Anton Wesel,Memandang Yesus:Gambar Yesus dalam Berbagai Budaya(Jakarta:BPK Gunung
Mulia,1990),122.
171
Teologi yang bercorak eklesiosentris dibangun berdasarkan pada pemahaman bahwa
Alkitab adalah penyataan Allah yang absolut dan Kristus adalah penyataan Allah yang
bersifat normative, sehingga pengajaran gereja adalah bersifat mutlak. Salah satu dogma
gereja yang berkaraker demikian, tergurat jelas dalam kalimat klasik “extra ecclesiam nulla
salus”, di luar gereja tidak ada keselamatan”.50
Misi gereja yang berbasis pada teologi
eklesiocentris, adalah model misi eksklusivisme.Model misi eksklusivisme adalah model misi
yang dengan berpayungkan inkarnasi Allah yang paradoks sebagaimana tertayang dalam
Yohanes 3:16,51
hanya mengagungkan partikularitas keselamatan dalam Kristus, namun
sangat mengabaikan universalitas keselamatan Allah bagi dunia. Eksklusivisme memandang
kekristenan sebagai agama yang benar, karena menerima keselamatan Allah dalam Kristus,
namun tidak memberi tempat yang memadai bagi pemahaman faktual agama-agama lain,
bahkan agama-agama lain sering dilihat secara negatif. Gereja yang berparadigma
eksklusivisme selalu berusaha dengan giat merebut dan mengkonversi agama-agama non
Kristen kedalam kekristenan.52
Model misi yang demikian inilah, yang dilaksanakan oleh
gereja Eropa pada masa kolonial di Indonesia.
Model misi eksklusivisme yang diterapkan gereja Barat pada masa kolonial di
Indonesia bercorak pietis dan individualistis. Eksklusivisme yang bercorak pietis dibangun
berdasarkan pada pemahaman dan pendekatan gereja terhadap Injil yang mengutamakan
pertobatan pribadi dan keselamatan rohani. Kemudian misi model eksklusivisme yang
berkarakter individualistis dibangun berdasarkan pada pemahaman bahwa kebudayaan Barat
adalah ekspresi hakiki dari kekristenan, sehingga kebudayaan Barat juga dipandang superior
atas semua kebudayaan dan peradaban dunia. Paradigma misi eksklusivismeyang bercorak
pietis dan individualistis inilah, yang membuat gereja-gereja Barat menjalankan cara-cara
misi di Indonesia, yang menekankan bahwa hanya dengan membersihkan diri dari agama non
50
Teologi misi eklesiosentris yang christocentris ini senantiasa mengambil dasar biblis dari setidaknya
dua bagian Alkitab yaitu: Pertama, dari Yohanes 14:6 yang mengatakan, “Akulah jalan kebenaran dan hidup.
Tidak ada seorangpun yang sampai kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Kedua, dari Kisah Para Rasul 4:12
yang mengatakan: Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah
kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” 51
Teks Yohanes 3:16 berbunyi, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa melainkan
beroleh hidup yang kekal”. Inkarnasi yang tertayang dalam teks ini adalah inkarnasi paradoks. Di satu sisi ia
memperlihatkan dengan tegas bukti kasih Allah pada dunia ini, namun di sisi lain ia memunculkan persoalan
normativitas Kristus. 52
Joas Adiprasetya,Mencari Dasar Bersama:Etik Global dalam Kajian Postmodernisme dan
Pluralisme Agama,Cetakan kedua(Jakarta:BPK Gunung Mulia,2009),50-52. Lihat juga Douglas
J.Elwood,Teologi Kristen Asia:Tema-tema yang tampil kepermukaan,terj.(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1992),4,
Lihat juga, Dean William Ferm,Third World Liberation :An Introductory Survey(Maryknoll New York: Orbis
Books, 1986)76,77.
172
Kristen dan mentransplantasi cara hidup Barat dalam kehidupan, seorang Indonesia baru
menjadi Kristen dan dapat berharap memperoleh keselamatan.53
Dalam menjalankan model
misi yang demikian, gereja Barat tidak memberi penghargaan sedikitpun terhadap
spiritualitas yang ada pada agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan yang sudah ada di
Indonesia. Sebaliknya semua agama non Kristen yang ada di Indonesia dan semua
kebudayaan di luar kebudayaan Barat, dipandangnya distorsi karena terselimut dosa.
Dalam melakanakan model misi eksklusivisme yang bercorak pietis dan juga
nampaknya karena telah diposisikannya gereja-gereja Indonesia sebagai bagian dari
pemerintahan kolonial, gereja Belanda mengkondisikan gereja-gereja Indonesia tidak sebagai
kekuatan sosial agar tidak kritis terhadap kekuasaan kolonialisme. Para misionaris Belanda
mengajar gereja-gereja Indonesia untuk merasa puas dengan politik etika kolonialisme
tentang peningkatan pendidikan bagi masyarakat Indonesia. Melalui pengajaran itu, gereja
Belanda berkehendak agar politik etika pemajuan kaum pribumi itu, harus dipandang oleh
masyarakat Indonesia sebagai karya misi yang sudah cukup membangun peradaban manusia
Indonesia.54
Model dan cara misi gereja Barat di Indonesia pada masa kolonial seperti telah
tergambar di atas, dimana model itu nampaknya juga diterapkan di wilayah-wilayah jajahan
lainnya, oleh banyak teolog baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, dinilai sebagai
misi yang tidak merupakan penghayatan akan Injil secara komprehensif, tidak kontekstual
dan tidak relevan.Para teolog Barat misalnya seperti: Douglas J. Elwood,55
Dean William
Ferm,56
dan Anton Wessels,57
sama-sama mengatakan bahwa pemahaman tentang Injil yang
dibawa gereja Barat ke Asia, adalah pemahaman yang dibatasi oleh pengertian-pengertian
yang pietistis dan individualistis. Perhatian terhadap dimensi sosial sangat kecil dan nilai-
nilai positif yang ada dalam agama-agama lain kurang dihargai. Para teolog Asia seperti
Aloysius Pieris dan E.G. Singgih sama-sama mengatakan bahwa corak agama Kristen yang
53
Victor I.Tanya, “Perjumpaan Gereja Dengan Agama Lain”,dalam Chris Hartono(ed.),Perjumpaan
Gereja di Indoensia Dengan Dunianya Yang Sedang Berubah (Jakarta: Persetia,1995),17. Lihat juga Choan
Seng Song,Christian Mission in Reconstruction an Asian Analysis(Maryknoll,New York:Orbis
Books,1997),175,177. 54
Zakaria J.Ngelow,Kekristenan dan Nasionalisme Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan
Pergerakan Nasional Indonesia 1900-1950, Cetakan Kedua(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1996),18-22. 55
Douglas J.Elwood, Teologi Kristen Asia:Tema-tema yang tampil ke permukaan,terj.B.A.Abednego
(Jakarta:BPK Gunung Mulia,1992), 4. 56
Deane William Ferm, Third World Liberation:An Introductory Survey(Maryknoll New York:Orbis
Books,1986),76-77. 57
Anton Wessels, Memandang Yesus: Gambar Yesus Dalam Berbagai Budaya, terj. Evie V.Item
(Jakarta: BPK Gunung Mulia,1990),122.
173
dibawa Barat ke Asia sangat berwarna Barat dan disemangati oleh misiologi perebutan dan
kekuasaan, sehingga sangat bersifat imperialistis.58
Demikian juga Choan Seng Song
mengatakan bahwa model misi yang berpusat pada gereja yang gereja Barat bawa tidak
relevan bagi gereja dalam menghadapi kemajemukan. Di mata Song model misi gereja yang
demikian, mengganggu bahkan merusak hubungan gereja dengan sesamanya yang beragama
lain.59
V.3. Pengaruh Model Misi Gereja Eropa Bagi Gereja-Gereja Di Indonesia
Semangat kristenisasi berupa penaklukkan agama-agama yang telah ada di Indonesia
atas dorongan memori kolektif dari Barat berupa eksklusivisme, diinfus oleh gereja Barat
kedalam karakter kekristenan yang dilembagakan di Indonesia.60
Paradigma misi
eksklusivisme yang gereja Eropa terapkan di Indonesia pada masa kolonial, yang berorientasi
pada pembentukan corpus christianum sehingga juga berwajah triumphalis, masih melekat
dalam gereja-gereja di Indonesia sampai sekarang ini. Paradigma misi eksklusivisme yang
bercorak pietis yang dipraktekkan oleh gereja Belanda di Indonesia, dikatakan oleh J.H.
Bavink sebagaimana direiterasi oleh A.A. Yewangoe, telah membuat gereja-gereja di
Indonesia kurang menekankan pemahaman Injil yang berdimensi sosial.61
Model misi
eksklusivisme yang bersifat individualistis yang dilaksanakan oleh gereja-gereja Barat pada
masa kolonial di Indonesia, dimana kristenisasi diidentikkan dengan westernisasi,
menyebabkan beberapa gereja-gereja di Indonesia berwajah Eropa.62
Bahwa paradigma misi eksklusivisme gereja Eropa pada masa kolonial, bercorak pietis
dan individualistis, sehingga berorientasi pada pembentukan corpus christianum, dengan
gaya triumphalis, masih melekat dalam beberapa gereja di Indonesia sampai sekarang ini,
menampak jelas dari cara-cara gereja-gereja Indonesia melaksanakan misinya. Dalam
melakukan misinya itu, gereja Indonesia dengan sangat gigih, senang melakukan tindak-siar
tentangkeyakinan-keyakinan yang dipegangnya sebagai kebenaran absolut karena
dipahaminya sebagai kebenaran ilahi, kepada orang lain yang diduganya belum memiliki
58
Aloysius Pieris, “Toward an Asian Theology of Liberation : Same Religion-Culture Guidelines”,
Dialogue,New Series VI (Colombo: Ecumenical Institute for Study and Dialogue,1979),36. E.G. Singgih, Dari
Israel ke Asia(Jakarta: BPK Gunung Mulia,1983),22. 59
Choan Seng Song,Jesus and the Reign of God(Minneapolis:Fortress Press,1993),41. 60
Leonard Y.Andaya,The World of Maluku:Eastern Indonesia in the Early Modern
Period(Honolulu:University of Hawaii Press,1993), 123. M.S.Putuhena, “Interaksi Islam dan Budaya di
Maluku:Perspektif Historis dan Religio Politik”, dalam Komarrudin Hidayat dan Ahmad Gaus(ed.),Menjadi
Indonesia:13 Abad Eksistensi Islam di Bumi Nusantara(Jakarta:Mizan,2006),354-355. 61
A.A.Yewangoe,Teologi Crusis in Asia(Amsterdam:Rondop Bab V,1987),33. 62
Bandingkan William Hogg,One World,One Mission(New York:Friendship Press,1960),113.
174
kebenaran karena tidak memiliki keyakinan yang sama, melalui tri kegiatan gereja.63
Dalam
melaksanakan misinya, kebanyakan gereja Indonesia melalui tri dharmanya, masih lebih
condong melakukan pelayanan yang berorientasi pada kepentingan gereja berupa pentobatan
masyarakat menjadi murid Kristus demi keselamatan jiwa, daripada misi yang berorientasi
pada kepentingan riil masyarakat di bidang sosial dan politik di sini dan kini.64
Dalam
melaksanakan misinya, sebagaimanaterproyeksi dalam kegiatan gereja di bidang persekutuan,
pelayanan dan kesaksian, sebagian besar gereja Indonesia masih berorientasi pada corpus
kristianum sebagai esensi dan tujuan misi, sehinggadengan sikap yang terkesan arogan,
Indonesia dan keindonesiaan lebih diperlakukan sebagai ladang atau obyek misi daripada
sebagai tanah airnya dan sebagai misinya.65
Bahwa komunitas Kristen Indonesia dalam menjalankan misinya sangat bersikap
triumphalis sebagai dampak bentukan gaya misi gereja Barat, merupakan fakta yang masih
banyak jumlahnya dan masih menyolok coraknya. Keadaan yang demikian ini, berlangsung
bukan saja di kalangan yayasan-yayasan pekabaran Injil, tetapi juga menampakkan diri dalam
pandangan-pandangan teologis gereja-gereja. Bahwa sampai saat ini, masih banyak
komunitas Kristen Indonesia bermental eksklusif dan triumphalis, senyatanya mereka itu
tidak hanya dari lingkungan gereja-gereja evangelical, tetapi juga dari lingkungan gereja-
gereja ekumenikal. Persekutuan gereja gereja di Indonesia (PGI) misalnya, masih semangat
berbicara tentang Indonesia sebagai satu daerah pekabaran Injil, ketika berbicara dalam
kerangka pemahaman Matius 28 tentang Injil yang harus diberitakan ke seluruh pelosok
dunia.66
63
Dalam melakukan misinya yang berparadigma demikian, tidak jarang muncul kesan bahwa karakter
misi gereja Indonesia, sebagaimana terlihat dari presensia dan tri dharmanya, adalah misi yang berwajah
membela bahkan memberhala agama.Pengalaman penulis sebagai pendeta Jemaat menunjukkan bahwa, bila
ada seorang warga karena menikah meninggalkan agama Kristen dan mengikut agama suaminya, sebagian besar
warga Jemaat mencibir wanita itu beserta keluarganya dengan berujar demi cintanya kepada suami rela
meninggalkan kebenaran. Sebaliknya, bila ada warga jemaat yang karena menikah, suaminya meninggalkan
agamanya dan ikut menjadi Kristen, sebagian besar warga jemaat terutama keluarga besar penganten bangga
sekali seraya selalu berujar anak mereka bisa menarik suaminya dari jalan gelap ke jalan terang, dari jalan
menuju kebinasaan ke jalan menuju keselamatan. 64
Pengalaman penulis bekerja sebagai majelis sinode harian GKPB menunjukkan bahwa sebagian
besar jemaat-jemaat GKPB lebih bersemarak melakukan kegiatan-kegiatan gerejawi yang bersifat seremonial
seperti ibadah perayaan hari ulang tahun gereja daripada kegiatan-kegiatan gerejawi yang bersifat sosial seperti
memberi bantuan moril dan material kepada masyarakat yang tengah menderita karena bencana alam,
ekonomi,sosial dan politik. Kadang-kadang jemaat-jemaat memang suka memberi bantuan yang hanya bersifat
karitatif kepada sesama yang terkesan akan pindah agama dari non Kristen menjadi Kristen. 65
Pengalaman penulis sebagai anggota pengurus Musyawarah Pelayanan Antar Gereja menunjukkan
bahwa tidak jarang terdengar visi dan misi gereja-gereja di Bali adalah memenangkan Bali bagi Kristus. 66
Victor I Tanja,Perjumpaan Gereja . . . , 17.
175
Keberadaan gereja-gereja di Indonesia memang sangat dipengaruhioleh model misi dan
juga oleh keberadaan gereja-gereja Barat. Hal itu terjadi demikianagaknya memang wajar,
karena mereka adalah hasil dari pekerjaan misi gereja-gereja Barat. Keterkaitan gereja-gereja
di Indonesia dengan gereja-gereja Barat, membuat gereja-gereja di Indonesia pada taraf
tertentu memang bisa menyerupai sepertikekristenan Barat. Polarisasi gereja dikalangan
kelompok Protestan yang terjadi di Eropa dan di Amerika contohnya, senyatanya telah
menjadi barang import dalam tiga wajah atau wadah pada gereja-gereja Protestan di
Indonesia. Ketiga wadah itu ialah: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Persekutuan
Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII), dan Persekutuan Gerakan Pentakosta Indonesia
(PGPI).
Kalangan ekumenikal di Indonesia dianggap terwakili oleh gereja-gereja yang
bergabung di dalam PGI, sehingga PGI dikenal sebagai gerakan keesaan gereja. PGLII,
karena komitmentnya terhadap pekabaran Injil maka dikenal sebagai gerakan Injili.
Sementara PGPI karena komitmennya terhadap karunia-karunia Roh Kudus, maka dikenal
sebagai gerakan Pentakosta.Sebagaimana diproyeksikan oleh rumusan dokumen Pemahaman
Tugas Panggilan Bersama (PTPB) dari Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) Bab IV
mengenai Bersaksi dan Memberitakan Injil Kepada Segala Makhluk, teologi misi gerakan
keesaan gereja sama seperti teologi misi gerakan Injili dan gerakan Pentakosta, yakni sama
sama bersifat gereja sentris.67
Misiologi yang bersifatgereja sentris, oleh Aloysius Pieris,
dikatakan telah membuat gereja dalam praktek misinya, baik yang dilakukan dulu oleh
gereja-gereja Barat, maupun yang masih dilaksanakan sampai kini oleh gereja-gereja di tanah
bekas jajahan bangsa Barat, acapkali berwarna Barat dan tidak jarang pula, mentransplantasi
cara hidup Barat pada cara hidup komunitas Kristen yang terbentuk di wilayah koloni atau di
wilayah bekas koloni.68
Dalam pelaksanaan misinya yang gereja sentris,sejumlah gereja-gereja di Indonesia
acapkali masih mengabaikan dinamika kemajemukan agama Indonesia. Hal itu terjadi
demikian, karena gereja-gereja di Indonesia yang bersikap demikian itu, memandang diri
sebagai kelompok persekutuan yang telah diselamatkan, yang mesti berhadapan dengan dunia
yang belum diselamatkan. Gereja-gereja di Indonesia termaksud itu, menempatkan diri
67
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia,Lima Dokumen Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung
Mulia,cet-2,1996), 9. 68
Aloysius Pieris, “Toward an Asian Theology of Liberation: Same Religion-Culture Guidelines,
“Dialogue,New Series VI (Clombo: Ecumenical Institute for Study and Dialogue,1979),36. Lihat E.G. Singgih,
Dari Israel ke Asia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1983), 22.
176
sebagai pihak yang mentobatkan, dan agama-agama lain diposisikannya sebagai pihak yang
perlu ditobatkan.Pemahaman dan pelaksanaan misi yang demikian, cendrung mendorong
gereja-gereja Indonesia untuk mempertahankan eksklusifitasnya dan membuat mereka
mengartikan misi itu sebagai proklamasi Injil secara verbal, bagi orang yang belum mengenal
Kristus guna untuk mendatangkan pertobatan.
Dalam misinya yang gereja sentris, gereja-gereja Indonesia tidak menaruh perhatian
besar terhadap kehidupan sosial politik, dan kurang menghargai nilai-nilai positif yang ada
dalam agama-agama lain, bahkan tidak jarang gereja-gereja Indonesia menempatkan
penganut agama lain sebagai komunitas yang tidak memiliki kebenaran ilahi. Pemahaman
dan pelaksanaan misi gereja sentris tidak relevan bagi gereja dalam menghadapi
kemajemukan agama Indonesia. Pemahaman dan pelaksanaan misi gereja-gereja yang
mengabaikan keindonesiaan yang demikian ini,telah banyak menimbulkan hubungan yang
bermusuhan antara gereja dan agama-agama lain.69
Pada masa kolonial, pelaksanaan misi
yang gereja sentris, memang dapat berjalan, karena identitas Kristen sebagaimana tertuang
dalam wujud budaya Barat yang relatif lebih maju, bertemu dengan identitas Indonesia yang
belum maju. Namun kini, pada masa pasca-kolonial, ketika kekristenan menjadi salah satu
agama Indonesia, gereja-gerejaIndonesia menghadapi realitas kemajemukan agama
Indonesia, yang tidak bisa diabaikannyalagi,tetapi justru harus diresponnya secara
proporsional.70
V.4. Gereja Indonesia Patut Melakukan Reinterpretasi Atas Matius 28: 18-20
Dalam rangka menggereja dan mengindonesia dimana gereja Indonesia menghadapi
realitas kemajemukan agama yang tidak bisa diabaikannya lagi, tetapi justru harus
diresponnya secara proporsional; gereja Indonesia patut melakukan reinterpretasi atas Matius
28:18-20.71
Dalam mereinterpretasi Matius 28:18-20, Emanuel Gerrit Singgih berpendirian,
bahwa misi gereja yang pada umumnya didasarkan pada pemahaman gereja atas Matius
28:18-20, tidak bisa lagi dilakukan menurut cara-cara yang pernah berlangsung yaitu berupa
69
Alwi Shihab,Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan,cet-4,1998),
127. 70
Aristarchus Sukarto, “Komunitas Yang Rekonsiliatif, Identitas yang dicari dan yang harus
diwujudkan Gereja-gereja di Indonesia”, dalam Memahami Ulang Misi Gereja,Penuntun
Vol.4,no,13(Jakarta:Pokja GKI Jabar,1997/1998), 24-25. Lihat juga E.G.Singgih,Reformasi dan Transformasi
Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21 (Yogyakarta:Kanisius,1977), 166-167. 71
Matius 28:18-20 mengatakan, “Yesus mendekati mereka dan berkata : Kepada-Ku telah diberikan
segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
kuperintahkan kepada-mu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
177
gerakan membangun gereja sebagai sebuah institusi, atau sebagai gerakan membangun
simbol-simbol kesuksesan agamaKristen di suatu wilayah tertentu. Sebaliknya, tulis Singgih,
misi gereja harus dipahami sebagai kegiatan untuk menunjukkan bahwa di suatu wilayah
tertentu kerajaan Allah telah hadir.72
Dalam rangka memaparkan pendirian dan pandangannya seperti tersebut di atas,
Singgih melakukan reinterpretasi terhadap Matius 28:18-20 yang sangat mentransformasi
pemahaman gereja tentang esensi misi gereja. Hal itu dikatakan demikian, karena ketika
melakukan upaya reinterpretasi terhadap Matius 28:18-20, Singgih melakukan dan
mengemukakan hal-hal sebagai berikut: Pertama, Singgih menemukan bahwa dalam Injil ada
dua teks tentang pengutusan, yaitu Matius 10:1-42 dan Matius 28:18-20. Dalam observasinya
terhadap kedua teks ini, Singgih menemukan bahwa ada perbedaan jenis pengutusan. Pada
teks pengutusan dalam Matius 10:1-42, pengutusan bersifat kedalam umat Israel, sedangkan
pada teks pengutusan dalam Matius 28:18-20, pengutusan bersifat keluar umat Israel.
Bertolak dari hasil penemuannya ini, Singgih mengajak gereja untuk memposisikan Matius
28:18-20, memang sebagai teks pengutusan tetapi bukan sebagai isi atau pokok dari amanat
atau pengutusanagung Yesus terhadap para muridNya.73
Seruan Singgih ini memelekkan mata
gereja untuk tidak memposisikan Matius 28:18-20 sebagai satu-satunya teks Alkitab yang
harus mendesain dan menentukan esensi misi gereja.
Kedua, bahwa reinterpretasi Singgih terhadap Matius 28:18-20, sangat membawa
pencerahan bagi gereja dalam memahami misi, adalah ketika Singgih, seusai mengajak gereja
untuk memposisikan Matius 28:18-20 bukan sebagai satu-satunya teks pengutusan, ternyata
Singgih juga berpendapat bahwa sesungguhnya para murid tidak mengartikan “pengutusan
keluar umat Israel untuk menjadikan semua bangsa murid Yesus dan membaptis mereka
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”, sebagai tugas pokok dalam misi yang Yesus
percayakan kepadanya untuk diteruskan. Singgih membuktikan pendapatnya ini, dengan
menyuguhkan fakta bahwa para murid Yesus tidak melaksanakan amanat itu. Mereka semua
berkumpul di Yerusalem sampai akhir hidup mereka. Kalaupun ada informasi bahwa Petrus
mati di Roma, Yohanes melewati masa hidupnya setelah kenaikkan Yesus ke sorga di Efesus,
Thomas menjadi pekhabar Injil di India dan Markus di Mesir, semua itu, tulis Singgih,
72
Ebenhaizer I. Nuban Timo,Gereja Lintas Agama,Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan
Kekristenan di Asia(Salatiga:Satya Wacana University Press,2013), 92 73
Ebenhaizer I Nuban Timo, Gereja Lintas Agama . . . , 92-100. Bandingkan juga, Emanuel Gerrit
Singgih, Menguak Isolasi, Menjalin Relasi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 241-245. Lihat juga, Emanuel
Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 79.
178
hanyalah tradisi yang tidak dapat dibuktikan secara historis, dan senyatanya sumber-sumber
biblis tidak menyebutkan itu.74
Lebih jauh Singgih mengemukakan bahwa yang pergi keluar Israel, justru adalah
Paulus. Namun Paulus memahami pengutusannya itu tidak untuk membaptis. Bagi Paulus,
membaptis bukan hal yang utama. Oleh karena membaptis, nampaknya memang bukan hal
yang utama bagi Paulus, maka Paulus pun hanya membaptis beberapa orang saja seperti
Krispus (Kisah Para Rasul 18:8) dan Gayus (Kisah Para Rasul 19:29). Kemudian, dengan
bertolak dari makna kata “ekletos” dalam Matius 22:14 dan 24:22,24,31, Singgih juga
memahami bahwa pembaptisan itu adalah tanda bahwa seseorang telah ambil bagian atau
berada dalam lingkungan keselamatan ilahi di dalam Yesus, untuk melakukan semua amanat
agung Yesus, bukan sebagai tanda seseorang menjadi warga agama Kristen.75
Pendapat
Singgih bahwa para rasul sebenarnya tidak menterjemahkan pengutusan Yesus untuk
menjadikan semua bangsa murid Yesus, sebagai amanat pokok, dan juga pemahaman Singgih
tentang makna pembaptisan bukan sebagai tanda seseorang masuk agama Kristen, sangat
membuka wawasan gereja untuk memahami misinya bukan sebagai upaya untuk penanaman
dan pertumbuhan gereja.
Ketiga, bahwa reintrepretasi Singgih terhadap Matius 28:18-20 sangat membawa
pencerahan bagi gereja dalam memahami misi, adalah juga ketika Singgih berpendapat
bahwa pembaptisan itu adalah tanda bahwa seseorang telah ambil bagian atau berada dalam
lingkungan keselamatan ilahi dalam Yesus, untuk melakukan isi pokok dari amanat agung
Yesus. Pendapat Singgih ini, didasarkan pada anak kalimat: “dan ajarlah mereka melakukan
segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu.”Melanjutkan pemahamannya ini,
Singgih mengemukakan bahwa isi amanat agung Yesus tertera dalam: Khotbah di Bukit
(Matius 5-7), Kaidah Kencana (Matius 7:12), Ringkasan Taurat(Matius 22:37-40), dan
pelayanan terhadap orang kecil (Matius 25:31-46).
Dengan mendasarkannya pada maksud dari teks-teks tersebut di atas tempat terteranya
isi amanat agung Yesus, Singgih menyimpulkan bahwa yang menjadi isi dari amanat agung
Yesus adalah panggilan untuk hidup terbuka kepada Allah dan kepada sesama yang berbeda
dengan kita.76
Pemahaman Singgih bahwa pembaptisan itu adalah tanda seseorang berada
dalam keselamatan Yesus, yang menampakkan sikap hidup yang terbuka kepada Allah dan
74
Ebenhaizer I Nuban Timo,Gereja Lintas Agama . . . , 92-100. 75
Ibid. 76
Ibid.
179
kepada sesama, sangat menuntun gereja untuk memahami bahwa misi gereja senyatanya
adalah memang untuk menghadirkan nilai-nilai yang Yesus bawa dan ajarkan dalam
misiNya menghadirkan kerajaan Allah di bumi, yaitu:pengagungan akan ketuhanan dan
kemanusiaan (Matius 5-7, 7:12, 22:37-40), kebersamaan dan kesetaraan (Matius 25: 31-46)
dan kebebasan yang menyembuhkan (Matius 11: 5, Lukas 7: 22).
Reinterpretasi terhadap Matius 28: 18-20, menegaskan bahwa misi gereja itu adalah
misi menghadirkan kerajaan Allah di bumi. Misi menghadirkan kerajaan Allah di bumi
adalah misi yang berorientasi kepada kepentingan dunia, bukan kepada kepentingan gereja.
Misi menghadirkan kerajaan Allah yang berhorison pada dunia dan bukan pada gereja adalah
misi yang pada awalnya dihadirkan oleh Yesus dalam pelayananNya di dunia ini, dan
kemudian diamanatkan oleh Yesus kepada para pengikutnya atau gereja dalam arti
terbuka77
untuk diteruskan (Yohanes 20:21). Jadi secara essensial,misi gereja adalah
aktualisasi perutusan Yesus Kristus. Sebagai misi yang mengaktualisasikan perutusan Yesus,
maka misi gereja itu sejalan dengan misi Yesus, yakni misi yang dipercayakan kepada para
penghayat nilai-nilai yang dibawa Yesus untuk mengarahkan seluruh ciptaan kepada
kepenuhan kedamaian di dalam Allah (Kolose 1:15). Misi gereja dalam arti yang demikian
ini, adalah misi yang dikerjakan oleh gereja dalam arti terbuka, yakni oleh setiap umat Allah
apapun agamanya, yang mengupayakan agar dunia menjadi tempat sebagaimana dirancang
oleh Tuhan, yaitu sebagai kancah yang menyelamatkan dan mensejahterakan umat manusia,
melalui pengagungan akan nilai-nilai kerajaan Allah, sebagaimana terkandung dalam isi
amanat agung Yesus berupa: ketuhanan dan kemanusiaan, kebersamaandan kesetaran,
pembebasan yang menyembuhkan.78
V.5. Esensi Misi Gereja: Menghadirkan Kerajaan Allah Di Bumi
Misi gereja senyatanya adalah mengikuti Yesus pada jalan-Nya yang sama seperti
dahulu yakni memberitakan dan menghadirkankerajaan Allah di bumi(Matius 4:18-
25).Perutusangereja untuk menghadirkan kerajaan Allah di bumi merupakan unsur konstitutif
77
Gereja dalam arti terbuka maksudnya adalah pengikut Kristus yang melampaui pengertian gereja
secara institusi formal. Sebagai contoh sosok Mahatma Gandhi yang tidak menjadi anggota gereja secara
institusi formal, tetapi bila karsa dan karyanya seperti karsa dan karya Yesus, Mahatma Gandi telah meneruskan
misi Yesus yakni menghadirkan kerajaan Allah di bumi. Demikian pula, para pemerintah, pemeluk agama lain.
Pekerja Lembaga Sosial Masyarakat, para pemimpin partai politik, para pemimpin organisasi, para pengusaha,
para pekerja, para serikat buruh, para kelompok masyarakat, dan perorangan bila dalam hidup mereka masing-
masing mereka mengamalkan nilai-nilai yang Yesus ajarkan, mereka adalah para penghadir kerajaan Allah di
bumi. 78
Edmund Woga,CSsR, Dasar-Dasar Misiologi,Cetakan Kelima (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2006), 189-192, 201.
180
dan suatu dimensi yang koeksistensif dalam hakikat gereja. Dengan kata lain, misi gereja
untuk memberitakan kerajaan Allah di bumi melalui kata dan tindakan, merupakan bagian
integral dari keberadaan gereja.Hal itu dikatakan demikian, karena permulaan eksistensi dan
perjalanan gereja selanjutnya didahului oleh penugasan Yesus bagi gereja untuk
memberitakan kerajaan Allah (Markus 6:7-13, Matius 10:5-15,Lukas 9:1-6).
Saat lahirnya gereja adalah sekaligus saat lahirnya perutusan gereja untuk
menghadirkankerajaan Allah di dunia. Sebagai komunitas yang perutusannya tidak bisa
dilepaskan dari keberadaannya, maka gereja akan mandul tanpa misi menghadirkan kerajaan
Allah di bumi. Sebagai gereja dimana karya misionernya adalah mewujudkan pemerintahan
Allah di dunia, maka gereja tidak dapat dipikirkan tanpa hubungannya dengan dunia, tanpa
keterbukaannya terhadap dunia, dantanpa pengabdiannyaterhadap dunia. Berdasarkan pada
perutusannya yang demikian, maka dapat dikatakan bahwa yang menjadi horison dari misi
gerejauntuk menghadirkan kerajaan Allah bukanlah gereja tetapi dunia. Sebagai penghadir
kerajaan Allah di bumi, maka makna perutusan gereja kepada dunia adalah untuk
mengarahkan seluruh ciptaan kepada kepenuhan kedamaian di dalam Allah (Kolose
1:15).Jadi misi gereja menghadirkan kerajaan Allah di bumi, adalah misi yang diterimanya
dari Yesus untuk membuat dunia menjadi tempat dimana manifestasi kerajaan Allah, berupa
pengagungan akan kemanusiaan, kebenaran, keadilan, dan perdamaian mewujud nyata.79
Sebagai misi yang diwariskan oleh Yesus kepada gereja, maka perutusan gereja untuk
menghadirkan kerajaan Allah di bumi, senyatanya adalahmisi Allah sendiri yang
dipercayakan Yesus kepada gereja untuk diteruskan dan diaktualisasikan di dalam dunia.
Bahwa misi gereja untuk menghadirkan kerajaan Allah di bumi, senyatanya adalah
mengaktualisasikan misi Allah sendiri,memiliki dasar pada perkataan Yesus sebagaimana
tertulis dalam Yohanes 20:21, “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga Aku
mengutus kamu”. Perkataan Yesus yang demikian ini juga berimplikasi bahwa misi
gerejasesungguhnya adalah satu, sama dan tidak akan pernah berubah, yakni untuk
memberitakan dan menghadirkan kerajaan Allah di bumi. Namun dalam pelaksanaan
misinya, sebagaimana diperlihatkan dalam sejarah, bahwa gereja sering memiliki model misi
yang beragam. Hal ini dimungkinkan terjadi demikian, karena dalam menjalankan tugas
79
Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 189, 190,191,192,201.
181
misionernya, pemaknaandari gereja tentang misi kerajaan Allah yang satu dan sama serta
tidak berubah itu, sangat dinamis.80
Terkait dengan makna dari istilah “Kerajaan Allah”, Choan Seng Song, sebagaimana
tertuang dalam bukunya “Jesus and the Reighn of God”, lebih memilih pemakaian ungkapan
“the reighn of God”(Pemerintahan Allah) dari pada “the kingdom of God”(Kerajaan Allah).81
Menurut Song istilah “Kerajaan Allah” lebih mengandung arti wilayah nasional, sistem
feodal dan struktur monarkhi atau suatu kultur otoritater. Song juga menyebutkan bahwa
dikalangan sebagian besar orang Kristen, istilah “Kerajaan Allah” dihubungkan dengan
keselamatan Allah yang diberi makna keliru. Dimana istilah itu seolah-olah berbicara tentang
suatu alam sorgawi yang penuh dengan kesukaan dan kebahagiaan yang hanya diberikan
Allah kepada umat kristiani. Kemudian Song juga menunjukkan bahwa dalam sejarah
kekristenan, gereja mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai “Kerajaan Allah” di dunia ini,
untuk melaksanakan kekuasaan dan otoritas ilahi menghadapi semua kekuatan dan otoritas
sekuler.82
Pemahaman Song bahwa dalam istilah “kerajaan Allah” tidak terkandung pengertian
sebagai sebuah wilayah, adalah tepat. Hal itu dikatakan demikian karena Yesus sendiri
sebagaimana terlihat dalam ajaranNya kepada para pengikutNya untuk berdoa, “agar kerajaan
Allah datang, dan kehendak Allah Allah jadi di bumi seperti di sorga” (Matius 6:10),
memaknai bahwa kerajaan Allah itu bukan sebagai suatu wilayah, melainkan sebagai kuasa
Allah yang dinyatakan dalam kedayaan karyaNya. Penilaian Song bahwa pemahaman
sebagian warga gereja menghubungkan kerajaan Allah itu, dengan keselamatan Allah berupa
suatu alam sorgawi, yang penuh dengan kebahagiaan, yang hanya akan diberikan Allah
kepada gereja sebagai sebuah pemahaman yang keliru, adalah juga benar. Hal itu dikatakan
demikian karena Yesus sendiri sebagaimana ditampilkan dalam Matius 11:5 dan Lukas
7:22,83
tidak memandang kerajaan Allah itu sebagai suatu ilusi yang mereduksi atau membius
realitas dunia pada jamanNya, melainkan sebagai manifestasi pemerintahan Allah yang
Yesus sendiri harus wujudkan lewat kata dan tindakanNya, di dunia nyata ini berupa karya
yang membebaskan manusia dari segala penderitaannya.
80
Edmund Woga, CSsR, Dasar-Dasar Misiologi . . . , 13, 202. 81
Choan Seng Song,Jesus and the Reighn of God(Minneapolis:Fortress Press,1993),39. 82
Ibid., 39. 83
“Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang
mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik”.
182
Kemudian tanggapan Song tentang pengidentikkan gereja dengan kerajaan Allah
sebagai sebuah kekeliruan, adalah juga tidak salah, sebab pengertian kaum kristiani tentang
gereja tidak jarang memang berbeda dengan apa yang Yesus maksudkan dengan gereja.
Sebagai contohnya, makna pada anak kalimat yang diucapkan Yesus, “suatu bangsa yang
akan menghasilkan buah kerajaan itu” pada kalimat Yeus dalam kisah perumpamaan tentang
penggarap-penggarap kebun anggur, bahwa kerajaan Allah akan diambil dari pada Israel dan
akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah kerajaan itu, sebagaimana
tercatat dalam Markus 12:9, Matius 21:43 dan Lukas 20:16; sering diartikan “gereja” oleh
komunitas kristiani, padahal oleh Yesus bukan dimaksudkan dengan “gerejadalam
pengertiannya yang tertutup”84
, yakni orang Kristen yang diadministrasi menjadi warga
gereja karena telah diinisiai atau diproseletisi melalui sakramen baptisan, melainkan “gereja
dalam pengertiannya yang terbuka”, yaitu orang-orang yang menjelmakan nilai-nilai
kerajaan Allah.85
Berdasarkan pada pengertian tentang “kerajaan Allah”, dan hakikat “gereja”
sebagaimana telah tergambar di atas, maka dalam melaksanakan misinya “ menghadirkan
kerajaan Allah di bumi”, gereja tidak sepatutnya memandang penganut agama dan
kepercayaan lain sebagai sang lian yang harus ditaklukkan, tetapi justru sebagai kawan dialog
dalam perjalanan hidup, karena sebagai sesama ciptaan dan umat Allah, ia sangat
dimungkinkan untuk mengaktualisasikan kerajaan Allah di bumi ini, melalui kata dan
tindakannya yang menyelamatkan dan mensejahterakan bumi ini.Terhadap fakta bahwa
setiap agama dimungkinkan untuk menghayati nilai-nilai kerajaan Allah dan terkait dengan
pemahamannya tentang kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan Siro-Fenesia seperti
yang dituturkan oleh Markus 7:24-30, Emanuel Gerrit Singgih mengajak gereja dalam
melaksanakan misinya untuk melihat bahwa orang beragama lain bukanlah orang yang tidak
beriman.86
84
Hakikat gereja tidak harus dimengerti dalam arti tertutup , tetapi sebaliknya harus dipahami dalam
arti terbuka. Maksudnya, kapan saja dan dimana saja dapat terjadi masuknya orang yang semula dikategorikan
sebagai bukan gereja menjadi gereja, sebagai akibat dari perilakunya yang memanifestasikan nilai-nilai kerajaan
Allah sebagaimana telah didemonstrasikan oleh Yesus. Sebaliknya, kapan saja dan dimana saja dapat terjadi
keluarnya orang yang semula dikategorikan sebagai gereja, menjadi bukan gereja karena ia tidak
mengaktualisasikan nilai-nilai kerajaan Allah dalam kehidupannya. 85
Guido Tisera, “Faham Gereja Menurut Injil Matius” dalam, Orientasi Baru Pustaka Filsafat dan
Teologi No.2(Yogyakarta:Kanisius,1988),96. 86
Ebenhaizer I. Nuban Timo,Gereja Lintas Agama,Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan
Kekristenan di Asia (Salatiga: Satya Wacana University Press,2013),106-107.
183
Masih bersentuhan dengan realitas bahwa masing-masing agama, dimungkinkan untuk
menjelmakan nilai-nilai kerajaan Allah di bumi ini, Andreas A. Yewangoe berpandangan
bahwa semua agama adalah pemberian Allah kepada manusia. Sebagai pemberian Allah, tulis
Yewangoe, pada masing-masing agama ada unsur kebenaran. Oleh karena dalam semua
agama ada unsur kebenaran, Yewangoe mengajak kekristenan tidak memandang orang dari
agama lain sebagai orang asing apalagi musuh, melainkan sebagai tetangga dan mitra dalam
perjalanan kehidupan bersama. Melanjutkan ajakannya ini, Yewangoe merekomendir agar
gereja dalam melaksanakan misinya, mengganti teologi permusuhannya dengan teologi
keramahan dalam perjalanan kehidupan mereka bersama dengan semua umat beragama
lain.87
Esensi misi gereja senyatanya adalah meneruskan dan mengaktualisasikan misi Yesus
mewujudkan kerajaan Allah di bumi. Sebagaimana Yesus menghadirkankerajaan Allah di
bumi itu, melalui pelayanan yang membebaskan manusia dari segala belenggu yang
menyengsarakan, sehingga bumi bersukacita dalam damai sejahtera (Matius 11: 5, Lukas 7:
22 ), maka gereja dalam misinya menghadirkan kerajaan Allah di bumi, melaluikerja sama
dengan semua sesama manusia dari kelompok dan komunitas agama manapun mereka
berasal, patut mencipta dan mempersembahkan gagasan dan karya yang mendatangkan
kemaslahatan bagi umat manusia di dunia ini. Bahwa kerjasasama dengan semua penganut
agama lain patut dilakukan, karena setiap orang entah agama apapun dianutnya, adalah
sesama ciptaan dan umat Allah, yang sangat dimungkinkan lewat kata dan tindakannya
mencipta dan mempersembahkan terobosan dan bakti yang memperbaiki keadaan manusia,
sebagai tanda kerajaan Allah hadir (Markus 12:9, Matius 21:43, Lukas 20:16).
V.6. Rekonstruksi Misi Gereja Indonesia Dalam Konteks Pancasila
Berdasarkan pada esensi misi gereja adalah menghadirkan kerajaan Allah di bumi,
dimana setiap orang apapun agama yang dipeluknya dimungkinkan untuk membebaskan
umat manusia dari belenggu yang menyengsarakannya sebagai tanda kerajaan Allah
menampak; maka gereja Indonesia patut melakukan rekonstruksi misinya dengan
merubuhkan model misi yang gereja Eropa terapkan pada masa lalu, dan membangun
kembali model misi yang kontekstual Indonesia. Misi gereja kontekstual Indonesia adalah
misi gereja yang mengekspresikan dan mengakomodasi kenyataan-kenyataan sosial dari
87
Ebenhaizer I Nuban Timo,Gereja Lintas Agama . . . , 44-46. Lihat juga, Andreas A.Yewangoe,
Agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 76,84. Bandingkan juga, Andreas A.Yewangoe,
Tidak Ada Penumpang Gelap (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 53.
184
kemasyarakatan Indonesia seperti kemajemukan agama, sebagai jalan untuk terciptanya
transformasi sosial,88
dan sekaligus mengaktualisasikan nilai-nilai keindonesiaan
sebagaimana tertuang dalam Pancasila, bila nilai-nilai itu senyatanya tidak berseberangan
bahkan selaras dengan nilai-nilai kerajaan Allah. Dalam rangka merekonstruksi misi gereja
dalam konteks kemajemukan agama, nampaknya perlu untuk dipahami model-model misi
yang telah ada dengan kekuatan dan kekurangannya masing-masing, agar dengan berbekal
pemahaman akan model-model misi yang telah ada, dua hal yang paradoks dalam inkarnasi
yang ditayangkan oleh Yohanes 3:16,89
yaitu antara universalitas keselamatan Allah bagi
dunia ini dan partikularitas keselamatan Allah dalam Kristus, dapat didamaikan. Model-
model misi yang telah ada itu ialah: eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.
Model misieksklusivisme, sebagaimana telah disinggung sebelumnya dalam
pembahasan tentang model misi yang gereja Eropa terapkan di Indonesia, adalah model misi
yang menekankan partikularitas keselamatan Allah dalam Kristus tetapi mengabaikan
universalitas keselamatan Allah bagi dunia ini. Eksklusivisme memang berhasil menegakkan
premis dasar kekristenan bahwa keselamatan semata-mata adalah anugerah Allah yang
dinyatakan dalam Yesus Kristus. Namun eksklusivisme terlalu sempit memandang kristologi
yang dibentangkan dalam Alkitab padahal senyatanya dalam Alkitab terdapat kristologi yang
sangat majemuk. Eksklusivisme memandang kekristenan sebagai agama yang benar karena
menerima keselamatan Allah dalam Kristus,namun ia tidak memberi tempat yang memadai
bagi pemahaman faktual agama-agama lain,bahkan agama-agama lain sering dipandang
secara negatif.90
Tentang model misi inklusivisme di satu pihak, ia memang menghargai keberagaman
agama karena diyakini bahwa dalam agama-agama lain Allah juga bekerja untuk
mendatangkan keselamatan. Namun di lain pihak, inklusivisme juga berpendirian bahwa
penyataan Allah dalam agama-agama lain itu, tidak lengkap dan tidak utuh karena penyataan
itu tanpa Kristus. Pandangan inklusivisme yang demikian, adalah suatu bentuk imperialisme
teologis dan menyimpan suatu sikap yang tidak jujur dan sesungguhnya tidak menghargai
entitas agama lain, sebagaimana mereka alami dan hayati sendiri.91
Kemudian mengenai
88
Ebenhaizer I. Nuban Timo, Allah Menahan Diri,Tetapi Pantang Berdiam Diri Suatu Upaya
Berdogmatika Kontekstual di Indonesia(Jakarta:BPK Gunung Mulia,2015),xvi. 89
Yohanes 3: 16 mengatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan
beroleh hidup yang kekal”. 90
Joas Adiprasetya,Mencari Dasar Bersama . . . , 60-63. 91
Ibid., 65-67.
185
model misiPluralisme,ia memang berhasil dalam menekankan universalitas keselamatan
Allah bagi dunia, dengan berpijak pada premis dasar yang bersifat teosentris bahwa kehendak
Allah adalah menyelamatkan seluruh manusia.Namun dalam menekankan hal itu pluralisme
merelativir partikularitas keselamatan Allah dalam Kristus, dengan mengatakan bahwa semua
agama sebagai sarana yang melaluinya manusia mengalami kehadiran Allah yang absolut dan
transenden dalam sejarah manusia yang imanen, tidak bisa menjadi absolut karena
keterikatan historisnya.92
Eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan. Ketiganya tidak dapat menjawab secara sempurna pertanyaan tentang bagaimana
sepatutnya gereja membangun model misi yang mendamaikan dua hal yang paradoks dalam
inkarnasi sebagaimana tertayang dalam Yohanes 3:16, yaitu antara universalitas keselamatan
Allah bagi dunia ini dan partikularitas keselamatan Allah dalam Kristus. Berangkat dari
kelebihan dan kekurangan dari model misi eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme, dan
dalam rangka membangun model misi yang relevan dengan kemajemukan agama tanpa
mengorbankan keunikan Kristus yang daripadaNya gereja menerima tugas perutusan, John A.
Titaley seorang teolog Indonesia yang berteologi ala Indonesia tidak sekedar berteologi di
Indonesia, memunculkan model misi transformatif.
Mengawali teori misi transformatifnya, Titaley memaparkan bahwa setiap agama,
terutama agama-agama yang disebut agama dunia, memiliki tuntutan keagamaan yang
missiologis sifatnya, yaitu keharusan untuk meneruskan kebenaran-kebenarannya kepada
orang lain yang belum memiliki kebenaran serupa, melalui tindak siar agama baik langsung
maupun tidak langsung. Kalau bukan karena adanya kewajiban missiologis ini, maka
kekristenan tidak akan dijumpai di Indonesia. Tindakan siar agama, bagi Titaley, adalah
sesuatu yang tidak bisa diingkari karena tanpa dimensi itu kehidupan beragama akan menjadi
mubasir. Ia adalah bagian yang inherent dalam setiap agama. Melakukan misi adalah bagian
hakiki dari kehidupan beragama seseorang. Mengingkarinya pada dasarnya mengingkari
hakikat agama itu sendiri. Lebih jauh Titaley mengatakan, tindak siar agama yang bersifat
hakiki itu, tidak masalah untuk dilakukan dimana saja dan kapan saja. Ia bisa dinampakkan
oleh para pemeluk agama dalam perilaku mereka sehari hari, baik dalam kehidupan
beragama, maupun dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi. Yang menjadi masalah,
92
Joas Adiprasetya,Mencari Dasar Bersama . . . , 73-74.
186
adalah bagaimana misi itu sepatutnya dilaksanakan. Cara bermisi atau cara pelaksanaan misi
patut dipikirkan, tulis Titaley.93
Melanjutkan paparan di atas, Titaley mengemukakan bahwa memikirkan cara bermisi
tidak berarti misi itu harus dilumpuhkan. Pemikiran tentang cara misi itu lebih menunjuk
kepada pemikiran yang serius tentang hakikat misi dan rekonstruksi misi, tentang apa yang
harus diberitakan dalam misi itu dan bagaimana hal itu harus diberitakan dalam suatu konteks
sosial. Dalam rangka memahami hakikat misi agama dan dalam rangka merekonstruksi misi
agama, menurut Titaley kita harus mendekati dan memposisikan bahwa agama itu dalam
dirinya memiliki sisi ilahi dan juga sisi manusiawi yang sosial sifatnya. Penghayatan terhadap
yang ilahi itu terjadi dalam konteks sosial, historik dan budaya dari manusia penerimanya,
sehingga faktor sosial, historik dan budaya dari manusia turut membentuk pemahaman
terhadap yang ilahi itu. Dalam proses yang demikian bukannya tidak mungkin terjadi bahwa
pada suatu saat tertentu pengaruh dari faktor sosial budaya itu sedemikian kuatnya, sehingga
keinginan manusia lalu dirumuskan dengan bahasa ilahi. Akibat dari keadaan ini, atas nama
agama tertentu, sekelompok manusia tertentu bisa jadi lalu bertindak tidak adil terhadap
kelompok manusia yang lainnya. Bertolak dari analisa ini, Titaley mengingatkan bahwa
faktor sosial, historik dan budaya yang manusiawi sifatnya tidak boleh diabaikan dalam
penghayatan terhadap agama itu. Ketidaksadaran terhadap faktor ini dapat mengakibatkan
tumbuhnya fanatisme buta dalam kehidupan beragama yang tidak menolong umat beragama
untuk mengagungkan kemanusiaan, kesatuan dan kesetaran.94
MenurutTitaley, dalam rangka kehidupan beragama yang memuliakan
kemanusiaan,kesatuan dan kesetaraan; pemahaman yang sadar terhadap konteks sosial,
historik dan budaya tempat agama itu tumbuh dan dikembangkan, demikian juga
pengembangannya dalam suatu konteks sosial, historik dan budaya yang baru menjadi sangat
penting. Hal itu dikatakannya demikian, karena dalam pengamatan Titaley ketidaksadaran
terhadap realitas sosial dari agama itulah yang melahirkan perasaan superioritas agama-
agama tertentu terhadap agama yang lainnya, yang kemudian menjadi salah satu sebab
munculnya konflik-konflik agama. Dalam pandangan Titaley,konflik-konflik agama bisa
dihindarkan bila para penganut agama-agama bisa melakukan suatu pendalaman pemahaman
dengan melihat agama dari kedua dimensinya, yaitu dimensinya yang ilahi dan sosial lewat
93
John A.Titaley, Pembangunan dan Pengembangan Umat Kristen di Indonesia:Suatu Refleksi
Kontekstual,Bahan seminar disampaikan dalam Ramadhan di Kampus Universitas Islam Sultan Agung,tanggal 3
Pebruari,1996 di Semarang,1-2. 94
Ibid., 2.
187
proses hermeneutik dekonstruksi-rekonstruksi. Berangkat dari pandangannya ini, Titaley
menegaskan bahwa, misi agama yang hanya memperhatikan dimensi ilahi dari agama tetapi
tidak memperhatikan sisi sosial, historik dan budaya, baik dari masyarakat tempat lahirnya
agama itu, maupun masyarakat tempat dikembangkannya lebih lanjut agama itu, akan
menghasilkan perilaku beragama yang sempit dan destruktif, serta akan membuat umat
beragama memproyeksikan suatu kehidupan beragama yang tidak realistik.95
Memahami agama dengan pendekatan atau proses hermeneutic dekonstruksi-
rekonstruksi, oleh Titaley dikatakan, bahwa itu bisa menghindarkan pemeluk agama dari
penyimpangan pemahaman akan makna agama. Titaley memberikan contoh tentang
kekristenan yang berkembang dalam pangkuan budaya Barat yang dipengaruhi oleh budaya
Judeo dan Hellenis. Perintah Yesus Kristus agar murid-muridNya mengabarkan Injil dan
menjadikan semua bangsa itu muridNya dan membaptiskan mereka dalam nama Bapa dan
Anak dan Roh Kudus(Matius 28:19), kalau tidak dipahami dalam konteks sosio historis pada
jaman Yudaisme dan Hellenisme, dapat menimbulkan pemahaman yang salah terhadap Injil
yang disampaikan oleh Yesus Kristus, dimana pemberitaan Injil itu dipahami sebagai
ekspansi kebudayaan Kristen. Pendekatan yang memperhatikan dengan baik latar belakang
sejarah dan budaya dari kekristenan, akan menghasilkan suatu pemahaman yang lebih baik
terhadap amanat Yesus Kristus itu untuk dilaksanakan dalam konteksnya yang baru. Seorang
Kristen yang mengikuti proses hermeneutic dekonstruksi-rekonstruksi atas Alkitabnya,
dimungkinkan untuk menghayati dan mentaati amanat Kristus dalam Matius 28:18-20, dalam
konteks kehidupan sosial, historis dan budayanya.96
Berdasarkan pada pendekatannya yang melihat kedua sisi agama secara utuh yakni sisi
ilahi dan sisi sosialnya, maka dalam membangun teologi misi yang mendamaikan
universalitas keselamatan Allah bagi dunia dan partikularitas Yesus sebagai jalan
keselamatan Allah, Titaley menggagas teori misi inklusif transformatif,97
sebagai terobosan
untuk menciptakan hubungan yang baik antar kekristenan dan agama-agama lain. Dengan
berpayungkan teori misi inklusif transformatif, Titaley dalam menginterpretasi penyataan
95
John A.Titaley, Pembangunan dan Pengembangan . . . , 2-3. Lihat juga John A.Titaley,Religiositas
Di Alinea Tiga, Pluralisme, Nasionalisme,dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana University
Press,2013),28. 96
John A.Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 3. 97
Dalam teori misi gereja inklusif-transformatif, Titaley berpendirian bahwa gereja mesti menerima
dan menghargai keberadaan semua agama lain dan sembari dengan itu berinteraksi dengan semua agama. Bila
gereja berinteraksi dengan semua agama, interaksi itu akan menungkinkan terlahirnya transformasi pemahaman
gereja yang lebih luas tentang Tuhan dan tentang sesama manusia. Lihat John A. Titaley, Religiositas Di Alinea
III . . . , 28-29.
188
bahwa Yesus sebagai jalan keselamatan Allah, mengatakan bahwa, Yesus dipandang sebagai
mesias oleh para pengikutNya karena Yesus memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi.
Kehidupan kaum Yahudi pada jaman Yudaisme sangat terpuruk. Mereka tertindas karena
diperlakukan secara semena-mena oleh para pemimpin mereka. Keterjajahan kaum Yahudi
pada jaman Yudaisme semakin terasa ketika jurang yang sangat tajam menganga antara
kehidupan para elite politik dan kehidupan rakyat. Para pemimpin sangat berkuasa, kaya,
kejam dan mementingkan diri sendiri, sedangkan rakyat berada dalam kondisi
ketakberdayaan yang akut.98
Dalam keadaannya yang seperti tersebut di atas, kaum Yahudi yang sangat menuntut
kemerdekaan, mendambakan datangnya mesias, datangnya kerajaan Allah untuk melepaskan
kaum Yahudi dari penindasan (Matius 11: 2-6, Lukas 7:18-23). Pada masa kaum Yahudi
mendambakan kebebasan, Yesus tampil dengan gaya hidup mengkritik perilaku buruk elite
politik atau orang-orang kelas atas yang sewenang-wenang terhadap penderitaan orang kecil.
Yesus juga tidak senang melihat para imam yang menggunakan atribut-atribut keagamaan
untuk kepentingan diri sendiri. Yesus tidak suka melihat agama digunakan oleh para
pemimpin agama dan politik untuk kepentingan ekonomi dan kekuasaan mereka. Yesus juga
sangat marah ketika agama dipakai untuk melakukan penindasan, kekerasan dan berbagai
tindakan kekejaman dan diskriminasi sebagaimana terproyeksi dalam Yohanes 8:1-
11.99
Melihat corak misi Yesus yang demikian, Titaley menyimpulkan bahwa hakikat dari
misi Yesus sebagai pemberita dan penghadirkerajaan Allah adalah menghadirkan kesetaraan
antar manusia akibat diskriminasi yang dibuat manusia.100
Berbekal pada interpretasi Titaley tehadap Yesus sebagaisang penyelamat, penghadir
kerajaan Allah di bumi yang sangat memuliakan kebersamaan, kemanusiaan dankesetaraan
98
John A.Titaley,Religiositas Di Alinea Tiga, Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-
Agama (Salatiga:Satya Wacana University Press,2013), 61. 99
Dalam perikop yang berjudul “Perempuan yang berzinah” pada Yohanes 8:1-11, para ahli Taurat
dan Farisi yang merasa dirinya kudus dan benar di hadapan Tuhan, ternyata dibuat setara oleh Yesus dengan
yang berdosa. Kesetaraan itu nampak dalam ungkapan penulis Injil Yohanes dengan ungkapan “pergilah”.
Pergilah mereka seorang demi seorang..... (ayat 9).Yang merasa dirinya kudus dan benar yaitu mereka yang
berada di suatu tempat yang tinggi, diturunkan oleh Yesus dengan perkataan “ Barangsiapa di antara kamu tidak
berdosa , hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan ini (ayat 7). Pergilah, dan jangan
berbuat dosa lagi mulai dari sekarang(ayat 11).Yang berdosa dan rendah dinaikkan oleh Yesus. Jadi dalam
pelayanan Yesus yang kudus dan tinggi bertemu dalam kesetaraan dengan yang pendosa dan rendah. John
A.Titaley,Religiositas Di Alinea Tiga,Pluralisme,Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama(Salatiga:Satya
Wacana University Press,2013),64-65. 100
John A. Titaley,Religiositas Di Alinea Tiga . . . ,62-66. Lihat juga John A.Titaley,”Dekonstruksi
dan Rekonstruksi Teologi Menuju Teologi Indonesia yang Kontekstual”,dalam Andreas
A.Yewangoe(eds.),Format Rekonstruksi Kekristenan: Menggagas Teologi,Misiologi dan Ekklesiologi di
Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,2006), 177-196.
189
sesama manusia, dan bertumpu pula pada pandangannya bahwa Pancasila itu sangat injili
karena nilai-nilai injil kerajaan Allah seperti termaksud di atas selaras dengan nilai-nilai
Pancasila,101
maka dalam rangka merekonstruksi misi gereja yang kontekstual Pancasila,
gereja Indonesia harus menginternalisasikan atau mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila
dalam misinya sehingga misi Pancasila menjadi misi gereja. Dalam rangka menjadikan misi
Pancasila sebagai misi gereja, gereja terpanggil untuk: Pertama, menjunjung tinggi kesatuan
Indonesia yang tidak menafikan keberagaman Indonesia tetapi justru untuk merawatnya.
Kedua, memuliakan kemanusiaan setiap orang tanpa mengorbankan kepentingan bersama.
Ketiga, mengagungkan kesetaraan guna untuk memandu segala upaya pencapaian kemajuan
bermuara pada kesejahteraan bersama. Dengan berpayungkan konstruksi misi gereja
Indonesia kontekstual Pancasila, gereja Indonesia mesti mampu melepaskan diri dari
kukungan perilaku kolonialisme dan kapitalisme yang senyatanya merupakan tindakan
penghancuran kemanusiaan sesama manusia. Dalam rekonstruksi misi gereja kontekstual
Pancasila, gereja Indonesia harus mampu melepaskan sikap merasa memilikikedudukan
istimewa terhadap agama-agama lainnya, juga melepaskan sikap egois karena sikap-sikap
demikian hanya akan menciptakan diskriminasi antar sesama umat beragama dan
kesenjangan sosial antar sesama manusia Indonesia.
Dibawah konstruksi misi gereja kontekstual Pancasila, gereja Indonesiajuga harus
sanggup melepaskan sikap pemutlakan keyakinan kristiani, sebab sikap yang demikian,
hanya akan memacu umat kristiani merasa berwenang untuk bertindak sewenang-wenang
terhadap sesama manusia. Dengan rekonstruksi misi gereja kontekstual Pancasila, gereja
bersama dengan semua agama mestiterpanggil untuk mengalami adaptasi dan terpanggil
tampil dalam wajah yang lebih manusiawi dan sikap yang lebih egaliter.Dalam rekonstruksi
misi gereja kontekstual Pancasila, gereja Indonesia harus beragama secara inklusif-
transformatif. Beragama secara inklusif transformatif maksudnya,gereja terpanggil untuk
bersedia menerima keberadaan semua agama yang lain dan bersedia untuk berinteraksi
dengannya, sebab justru ketika gereja berinteraksi dengan semua agama yang lain, interaksi
itu akan melahirkan adanya transformasi pemahaman yang lebih luas tentang Tuhan dan
tentang sesama manusia.102
Dalam rekonstruksi misi gereja Indonesia kontekstual Pancasila,
gereja Indonesia sebagai pengikut Yesus Kristus bersama dengan semua agama Indonesia
terpanggil untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi dalam perjalanan mereka bersama
101
Pandangan John A. Titaley ini disampaikannya dalam kuliah Pancasila dan Agama Sipil, bagi
mahasiswa Magister Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Nopember 2013. 102
John A. Titaley, Religiositas Di Alinea Tiga. . . . , 28-29.33-34
190
mengindonesia untuk merawat kesatuan, memuliakan kemanusiaan, dan mengagungkan
kesetaraan. Dalam melaksanakan misi yang mengaktualisasikan Pancasila, dimana misi
Pancasila itu selaras dengan misi kerajaan Allah,gereja Indonesia sebagai bagian integral dari
Indonesia, dan sekaligus sebagai penghayat akan nilai-nilai yang Yesus Kristus bawa,
terpanggil untuk membangun peradaban yang digerakkan oleh nilai-nilai: kesatuan,
kemanusiaan dan kesetaraan demi Indonesia yang bersukacita dalama damai sejahtera.