bab v hasil penelitian dan pembahasan a. asal usul …repository.unwira.ac.id/4584/6/bab v.pdfbab v...
TRANSCRIPT
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Asal Usul Tarian Ha’i Nggaja
Pada masa penjajahan Belanda di zaman raja Mari Longa, perjuangan sengit
Mari Longa masuk keluar hutan melawan penjajah sangat luar biasa. Setelah berjuang
sekian lama melawan penjajah, Mari Longa rupanya tidak ingin keluar masuk hutan
lagi, maka munculah gagasan untuk membangun sebuah benteng pertahanan, atau
dalam bahasa Lio disebut Potu. Karena itu, Mari Longa dan anak buahnya mulai
membangun benteng tersebut. Benteng dibangun dalam tujuh lapis atau bagian. Lapis
pertama atau lapis dalam di susun batu-batu besar. Lapis kedua, di isi tanah. Lapis ke
tiga di tanam bambu berisi air. Lapis ke empat berisi bongkahan tanah, lapis ke lima di
tanam kayu deo, lapis ke enam di susun batu-batu besar dan lapis ke tujuh atau bagian
paling luar di tanam bambu yang ujungnya sudah diruncing dan digantung onak dan
duri. Setelah selesai membangun benteng, Mari Longa mengundang anak buahnya dari
Detu Soko, Pe’i Benga, Muku Reku, Detu Nio, Kanga Nara dan beberapa kampung
lain untuk mengatur strategi perang, sekaligus meresmikan benteng pertahanan. Acara
peresmian benteng diwarnai dengan tarian Gawi atau tandak dan tarian Ha’i Nggaja.
Menurut Perpetua Sura dan Yoseph Jando (wawancara tanggal 10 April 2014,
di Woloara), tarian Ha’i Nggaja diciptakan oleh para leluhur, tidak hanya untuk
merayakan kemenangan dalam perang, tetapi juga untuk merayakan keberhasilan
panen dalam kegiatan pertanian atau perladangan. Hal ini dapat dilihat pada syair-syair
lagu yang digubah oleh Nikolaus Doja (almarhum), yang di dalam syair lagu tersebut
termuat makna-makna kemenangan lainnya.
42
Selama masa perjuangan Raja Mari Longa, dan semenjak tarian ini diciptakan,
tidak ada orang yang menulis atau mencatat kisah sejarah tarian Ha’i Nggaja, yang
ada hanya cerita dari mulut ke mulut. Pada zaman raja Mari Longa, tarian ini selalu
disajikan ketika raja Mari Longa meresmikan benteng pertahanan, dan juga saat
menyambut kembali Mari Longa dan anak buahnya dari medan pertempuran.
Setelah raja Mari Longa gugur dalam medan pertempuran, tarian Ha’i Nggaja
ini di wariskan dan dilestarikan secara turun temurun oleh masyarakat Desa Woloara
dengan ketua Nikolaus Doja (almarhum) sebagai pelatih tarian dan juga penggubah
syair nyanyian Ha’i Nggaja
Dalam perkembangannya, tarian ini tidak hanya dipentaskan saat acara
syukuran kemenangan atau kesuksesan dan ritual adat, tapi juga dipentaskan saat
menyambut tamu, pertunjukan atau hiburan bagi wisatawan asing, dan juga dalam
mengikuti festival-festival kebudayaan.
B. Pengertian Ha’i Nggaja
Ha’i Nggaja merupakan sebuah tarian tradisional dari daerah Lio khususnya
pada masyarakat Dusun Nuaone, Desa Woloara, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten
Ende. Secara etimologis tarian Ha’i Nggaja terdiri dari dua suku kata yang masing-
masing mempunyai arti. Ha’i berarti kaki atau hentakan kaki, sedangkan Nggaja
merupakan sebuah simbol kemenangan. Jadi tarian Ha’i Nggaja berarti hentakan kaki
sebagai ungkapan kemenangan.
Tarian Ha’i Nggaja adalah tarian yang menjadi lambang kemenangan dalam
perang. Pada masa sekarang tarian ini dipentaskan dalam pesta adat (nggua),
pengangkatan, dan terutama pelantikan mosalaki (tua adat), atau juga saat menyambut
tamu, sebagai penghormatan dan tanda keperkasaan suku. Tarian ini diiringi musik
wani (gendang), serta nyanyian yang bersahut-sahutan antara laki-laki dan perempuan.
43
Gerak kaki dan tangan bertempik sorak kegirangan karena memenangi perang,
sekaligus merupakan simbol kejantanan laki-laki yang umumnya disyukuri oleh para
perempuan, (wawancara Perpetua Sura (40) dan Yosep Jando (80) tanggal 10 April
2014, di Woloara).
C. Pola Gerak dan Pola Lantai Tarian Ha’i Nggaja
1. Pola Gerak
Pada awalnya gerak manusia merupakan suatu kebiasaan untuk maksud-
maksud tertentu. Pengembangan gerak manusia yang digarap sebagai tari, banyak
mendapat pengaruh dari gerak-gerak alamiah yang dipergunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Pola gerakan tarian Ha’i Nggaja terdiri dari dua (2)
gerakan yaitu:
a. Pola gerak I : gerak maju
Pola lantai : berbentuk horizontal
Artinya : dengan posisi berhadapan, dan mata saling memandang,
para penari Ha’i Nggaja melakukan gerakan tari
berdasarkan ritme dengan bergerak maju.
b. Pola gerak II : gerak mundur
Pola lantai : berbentuk horizontal
Artinya : dengan posisi berhadapan dan mata saling memandang,
para penari Ha’i Nggaja melakukan gerakan tari
berdasarkan ritme dengan bergerak mundur.
2. Pola lantai
Pola lantai yang dipakai dalam tarian ini adalah berbentuk horizontal
dengan berdiri berhadapan, kaki sejajar, dan mata saling memandang. Untuk lebih
jelasnya lihat tabel dibawah ini:
44
Tabel 5: Pola Lantai tarian Ha’i Nggaja
Pola gerak Pola lantai
Gerak maju O O O O O O
O O O O O O
Gerak mundur O O O O O O
O O O O O O
artinya : Arah hadap (horizontal)
artinya :
D. Pelaku Tarian Ha’i Nggaja
Berdasarkan hasil wawancara bersama Perpetua Sura (40) dan Lambertus
Pamo (45) tanggal 10 april 2014, yang pantas melakukan tarian Ha’i Nggaja adalah
para orang tua, remaja, maupun anak-anak. Artinya siapa saja boleh melakukan tarian
ini, semuanya tergantung moment atau peristiwanya. Untuk acara syukuran
kemenangan dalam perang maupun syukuran panen maka tarian Ha’i Nggaja hanya
khusus dibawakan oleh para penari orang tua saja, karena dalam upacara ritual bersifat
sakral dan penuh daya magis, sehingga tidak diperbolehkan sembarang orang
menarikannya. Lain halnya untuk kebutuhan pertunjukan atau festival budaya, tarian
Ha’i Nggaja bisa dibawakan oleh siapa saja, baik orang tua, remaja, maupun anak-
anak, tergantung kebutuhan.
E. Busana dan Properti
Busana adalah sesuatu yang di pakai oleh penari untuk menutupi tubuh saat
melakukan gerakan tarian. Busana yang dikenakan para penari Ha’i Nggaja adalah
pakaian adat Ende-Lio yang terdiri dari:
45
No
1
2
>
O Penari
1. Busana penari wanita
Lawo boge nake (sarung adat);
Lambu muku (baju adat);
Fu wege (rambut diikat dengan tusuk konde);
Tusuk konde
Gambar 1: Busana Perempuan
(Koleksi Hermanus W. Laka 14 April 2014)
2. Busana penari pria:
Ragi mite (sarung hitam);
Lambu sabhe (baju dalam pria);
Lambu putih lima bewa (baju putih tangan panjang);
46
Luka (selendang);
Lesu (penutup kepala laki-laki);
Gambar 2: Busana laki-laki
(Koleksi Hermanus W. Laka 14 April 2014)
F. Setting dan Tempat Pertunjukkan
Tarian Ha’i Nggaja dipentaskan dimana kegiatan upacara atau hari besar itu
dilaksanakan. Untuk upacara syukuran kemenangan atau upacara yang bersifat magis,
tarian Ha’i Nggaja dipentaskan di tengah kampung atau dilapangan (kanga) dekat
47
tubuh musu (mesbah). Masyarakat Desa Woloara meyakini bahwa tempat ini menjadi
tempat leluhur tinggal dan terlibat dalam berbagai upacara yang dilaksanakan dan
mereka juga turut melindungi masyarakat penghuni. Untuk acara festival atau
pertunjukan, dilaksanakan pada tempat yang sudah ditentukan oleh panitia
penyelenggara, baik di dalam gedung maupun di alam terbuka (wawancara Perpetua
Sura tanggal 10 April 2014 di Woloara)
G. Bentuk Lagu dan Syair Nyanyian
1. Bentuk Lagu
Lagu merupakan bentuk karya seni musik yang merupakan ekspresi
(ungkapan pikiran perasaan manusia) dalam rangkaian nada, baik menggunakan
teks maupun tanpa teks. Lagu sebagai iringan pada tarian Ha’i Nggaja berisi
penyampaian permohonan serta rasa kegembiraan dan syukuran melalui teksnya.
Bentuk lagu dalam teks nyanyian Ha’i Nggaja terdiri dari tiga bagian
yaitu: Bagian Oro pembukaan, bagian lagu (puncak gerak) yang terdiri dari syair
lagu 1, syair lagu 2, syair lagu 3, syair lagu 4 dan bagian akhir yaitu Oro penutup
Oro adalah nyanyian sahut menyahut antara penyanyi (solis) dengan
penari pada bagian awal sebelum melakukan gerakan (oro pembuka), dan pada
bagian akhir setelah melakukan gerakan tarian (oro penutup), sebagai penunjuk
berakhirnya tarian Ha’i Nggaja.
Bagian lagu (puncak gerak) terdiri dari empat syair lagu yaitu syair lagu 1
yang di dalamnya terdapat bagian reff, bagian tanya, dan bagian jawab. Syair lagu
2 yang di dalamnya terdapat bagian reff, bagian tanya, dan bagian jawab. Syair
lagu 3 yang terdiri dari bagian ref, bagian tanya, bagian jawab. Syair lagu 4 yang
terdiri dari bagian reff, bagian tanya, dan bagian jawab.
48
Bentuk penyajian lagu dalam tarian ini yakni sebagai berikut:
Penyanyi dan penari Menyanyikan bagian oro pembukaan
Menyanyikan syair lagu 1 dengan bagian-bagiannya, kemudian syair lagu
2 dengan bagian-bagiannya, dilanjutkan syair lagu 3 dengan bagian-
bagiannya, dan terakhir syair lagu 4 dengan bagian-bagiannya.
Bagian terakhir penyanyi dan penari sama-sama menyanyikan Oro
penutup sebagai penutup tarian.
Bentuk teks lagu (melodi dan syair lagu) nyanyian Ha’i Nggaja dapat di
lihat pada teks berikut ini:
49
HA’I NGGAJA
Do: Cipt : Nikolaus Doja
Bagian Oro pembukaan:
Penyanyi (tanya):
2 3 2 6 7 4 6 6 1 1 7 . 1 5 5
Le ja i - na ki - ta te - bo bo - u lo.............. u bu
Penari (jawab):
1 6 2 2 7 6 4 4
O........................ lo o u bu
Penyanyi (tanya):
7 7 6 6 4 4 6 6 7 1 5 5
Bo – u mondo to - lo po - ngo pu’ - u u - ju
Penari (jawab):
1 6 2 2 7 6 4 4
O....................... pu – u u - ju
Penyanyi (tanya):
5 6 5 2 3 1 2 2 4 3 4
O............ le.....e........e.......o e le.....le le le
Penari (jawab):
1 1 1 2 2 2 3 2 6
O....o.....o.......o........o.......o......o.......e......e
Syair lagu 1 :
(Reff)
3 5 1 1 . 7 1 5 3 6 6 5 6 5 3 . 2 1 1 . .
Ki ta pa ti ka ti’i mi nu ba pu a ta ma ta
50
(bagian tanya)
6 6 . 7 1 7 6 5 3 6 5 4 3 . 2 1 1 .
Le ja i na ki ta te bo bo u lo mondo
6 6 . 7 1 7 6 5 3 6 5 4 3 . 2 1 1 .
Ki ta me ra bo u pu’u u ju to lo pongo
6 6 . 7 1 7 6 5 3 6 5 4 3 . 2 1 1 .
O la ga re se - wi wi nu nu se - le ma
6 6 . 7 1 7 6 5 3 6 5 4 3 . 2 1 1 .
Bo ka ki ta modha la i ki ta la la mbeja
(bagian Jawab)
. 3 4 5 7 6 5 4 3 . 2 1 1 3 3 1 4 3 2 . 1 1
Le ja i na ki ta pa ti ka - du’ a ba pu a ta ma ta
. 3 4 5 7 6 5 4 3 . 2 1 1 3 3 1 4 3 2 . 1 1
Pa ti ka - no’ o su a sa sa ri na embu mamo ka
Catatan: dilanjutkan ke syair lagu 2, 3, dan 4, kemudian oro penutup.
Bagian Oro penutup:
Penyanyi (tanya)
5 6 5 2 3 1 2 2 4 3 4
O............ le.....e........e.......o e le.....le le le
Penari (jawab)
1 1 1 2 2 2 3 2 6
O....o.....o.......o........o.......o......o.......e......e
51
Keterangan urutan nyanyian:
1. Bagian pertama Penyanyi dan penari menyanyikan Oro pembuka
2. Menyanyikan syair lagu 1
3. Setelah sampai pada bagian jawab syair lagu 1, nyanyian di lanjutkan ke syair lagu 2
dengan notasi lagu dan irama atau ritme yang sama seperti syair lagu 1
4. Setelah sampai pada bagian jawab syair lagu 2, nyanyian di lanjutkan ke syair lagu 3
5. Setelah sampai pada bagian jawab syair lagu 3, nyanyian di lanjutkan ke syair lagu 4
6. Setelah sampai pada bagian jawab syair lagu 4, kemudian di lanjutkan ke bagian oro
penutup
7. Bagian terakhir Penyanyi dan penari menyanyikan Oro penutup
8. Notasi lagu dan ritme yang sama juga berlaku untuk menyanyikan semua syair lagu,
baik syair lagu 1, syair lagu 2, syair lagu 3, dan syair lagu 4.
Gambar 3: Penyanyi sedang menyajikan lagu
(koleksi Hermanus W. Laka 14 April 2014)
52
2. Syair Lagu Ha’i Nggaja
Syair lagu dalam nyanyian Ha’i Nggaja terdiri dari beberapa bagian
utama yaitu:
Bagian Oro pembuka,
Syair lagu 1 yang terdiri dari bagian reff, bagian tanya, dan bagian jawab
Syair lagu 2 yang terdiri dari bagian reff, bagian tanya, dan bagian jawab
Syair lagu 3 yang terdiri dari bagian reff, bagian tanya, dan bagian jawab
Syair lagu 4 yang terdiri dari bagian reff, bagian tanya dan bagian jawab.
bagian Oro penutup.
Syair lagu nyanyian Ha’i Nggaja dapat dilihat pada teks berikut ini:
HA’I NGGAJA
Cipt: Nikolaus Doja (alm)
Syair lagu Terjemahan
Bagian Oro pembukaan Bagian Oro pembukaan
Penyanyi: Penyanyi:
Le ja i-na ki-ta te-bo bo-u lo......... u-bu hari ini kita semua berkumpul
Penari: penari:
O . . . lo o u bu o.............mari berkumpul
penyanyi: Penyanyi:
bo-u mondo to-lo pongo pu-u u - ju kita berkumpul untuk mengikat tali
persaudaraan, dengan menari
penari: penari:
O . . . pu - u u – ju o...........pusat dan ujung
53
penyanyi + penari: penyanyi + Penari:
o....le....e ole...le lele o...o...o...o......e o...le...e ole...le...le lele o...o...o...o...e...
bagian lagu/gerak Bagian lagu/gerak
penyanyi: Penyanyi:
Syair lagu 1: Syair lagu 1:
kita pati ka ti’i minu bapu ata mata Kita memberi makan dan minum
kepada nenek moyang
leja ina kita tebo bou lo mondo Hari ini kita berkumpul bersama
kita mera bopu pu’u uju tolo pongo Kita berkumpul untuk menari
ola gare se wiwi nunu se lema Satu hari satu suara
boka kita modha lai kita lala mbeja Jantung basah hati kita remuk
leja ina kita pati ka Hari ini kita memberi makan
du’a bapu ata mata Orang tua dan nenek moyang
pati ka no’o sua sasa Memberi makan dengan memohon
rina embu mamo ka minta nenek moyang datang makan
rina mamo ma’e segu no’o tete keu Minta nenek jangan tolak Seperti
Seperti kulit pinang
ono embu ma’e tibha no’o longgo lima Minta moyang jangan tolak dengan
Telapak tangan
tipo kami ngere nio pama ngere naka Rangkul kami seperti kelapa
Jaga kami seperti nangka
bhondo kami ma’e lo’o kapa ma’e Rejeki kami jangan hanya sedikit
ndara tebal Jangan tipis
kami gha lo’o ngongo boko Kami disini kecil tak berdaya
kami benge ngai ngura...... Kami seperti anak kecil
54
Syair lagu 2: Syair lagu 2:
ae tiwu telu leka ema ngga’e peso welu Air tiga warna yang Tuhan ciptakan
ae po lo bupu no’o nuwa muri jemu Air merah putih dan biru
mutu ta’u aro paru ga ana mbana Mutu takut dan lari segan anak jalan
mutu kai poa kota kai langga kasa Mutu lompat pagar
mutu nuka deki bhu ria kema lepa Mutu mendaki sampai bhu ria buat
Rumah
ebe bou ngere uwi onu Mereka berkumpul seperti ubi jalar
tolo pongo pu’u uju Melihat pusat dan ujung
mera gare tau pape leku Duduk bicara untuk membahas sejarah
tibhi kanga kali tubu Membersih lapangan membuat mezbah
Konde kai si’i Seku ndua ghawa nua Konde menyuruh Seku ke kampung
Mota gha aku Ndale tape ruti uli Mota aku disini Ndale tahan untuk
tinggal
Tau kaju mbotu noki ae benu po’o mencari kayu penuh dapur air penuh
lumbung
Lepa leka pati nata so’o ti’i mbako memberikan siri pinang dan rokok
Seku ndua deki ghawa nua Seku turun sampai di kampung
Gare no’o nara Rangga Cerita dengan saudaranya Rangga
Mota Konde ruti mera leda Mota Konde tahan untuk tetap tinggal
Ka iwa dowa ndua Dia tidak lagi pulang
Syair lagu 3: Syair lagu 3:
Rangga kai ate dhoa no’o Mota weta Rangga merasa kasihan dengan
dhoa saudarinya Mota
Rangga kai sua sasa leka bhaku rate Rangga memohon di kuburan nenek
55
moyang
Tubu kanga lodo nda keda wawo naka mesbah di lapangan
Miu mulu aku ndu dheko aku jejo kamu dahulu saya ikuti dari belakang
Wi’isia aku nuka da ghele nua besok saya pulang ke kampung
rina embu mamo ku kajo minta pada nenek moyang
Mota aku no’o walo Mota saya bawa pulang
Mota kaki kai leka Numba Mota suaminya Numba
Aku mbana no’o wola Saya jemput bawa pulang
Rangga numba ebe nuka deki bhu ria Rangga Numba naik sampai bhu ria
Rangga Numba ebe ndawi lima gawi Rangga numba berpegangan tangan
Limba Dan menari gawi
Mota kai tana Rangga tama pere emba Mota tanya Rangga ikut mana
Rangga gare aku mai mo’o no’o weta Rangga bilang saya datang jemput
saudari
Mota penu no’o nara Rangga Mota menjawab saudaranya rangga
Walo kita ghawa nua Mari pulang ke kampung
Rangga gege Mota leka kele Rangga pegang Mota di ketiak
wi leka buku lima Pegang dan tarik di tangan
Mu tu kai pati ka nitu iju kipu Mutu memberi makan roh jahat
Kai ti’i minu pa’i eo nggela sawi Dia memberi minum roh jahat bibir
Sumbing
Rina leka nitu tipo ebe ngere nio Minta roh jahat pegang mereka
seperti Pegang kelapa
Ono leka pa’i ebe pama ngere naka Minta roh jahat jaga mereka seperti
Jaga nangka
56
Bhondo kami gha ma’e lo’o Banyak kami disisni janganlaah sedikit
Kapa kami ma’e ndara Tebal kami janganlah tipis
Riwu kami gha ngere ipu Banyak kami seperti ikan dilaut
Nggama ngere ngana raga Banyak kami seperti semut di pohon
Mutu kai poa kota tau nge tana Mutu lompat pagar panjang tanah
Mutu kai langga kasa tau ngenda watu Mutu melewat pagar batu
Kea gawi no’o wedho wanda Menari gawi dan wanda pa’u
Ghele leka seka kangga Disana diatas lapangan mezbah
Bobi ta’u konde no’o ratu Bobi takut konde dan ratu
Mutu gare ebe ndu Mutu bicara merekapun ikut
Syair lagu 4: Syair lagu 4:
Ogo kai pai kunu one kai mera ubu Ogo panggil semua keluarganya
Ogo kai kuni mbana leka nua-nua Ogo suruh pergi ke kampung
Nosi ata fai ata kaki mbana gawi Panggil laki-laki dan perempuan
untuk Ikut gawi
Wengi telu kita nuka mbana ghele nua Tiga hari lagi kita naik ke kampung
Gawi ga’i nggo wani no’o wedho Menari gawi main gong wani dan
wanda Menari wanda pa’u
Deki wengi telu ebe nuka Pada hari yang ketiga mereka mendaki
Tama nua mutu ema Masuk kampung Mutu
Mutu konde ratu bobi bau Mutu Konde Ratu Bobi bau
Ebe simo pati nata Mereka memberi makan siri pinang
Ogo no’o kunu one ebe kai gawi Ogo dan keluarganya menari gawi
Nebu gawi ata fai nua beu mai sementara gawi seorang perempuan
dari kampung yang jauh datang
57
Mota no’o seku ebe teke lima gawi Mota Seku gawi bergandeng tangan
Konde kai ate nara no’o ko’o vai Konde simpati pada perempuan itu
Konde kai tana leka weta Konde bertanya pada perempuan itu
Miu nua leka emba? kamu kampung dimana?
Mota seku ebe penu bala Mota dan Seku menjawab
Kami ina weta rangga kami adalah saudarinya Rangga
Bagian Oro penutup Bagian Oro panutup
Penyanyi + penari Penyanyi + Penari
o... le....e...o ele...le lele o...o...o...o...e... o...le....e...o........ele....lelele o...o...o...
o...e.....
H. Bentuk Penyajian Tarian Ha’i Nggaja
Pada awalnya, para penari masuk ke tempat pertunjukan yang telah di siapkan
dalam dua barisan dengan arah berhadapan. Dalam posisi Horizontal, Para penari
berdiri berhadapan dengan posisi saling berpegangan tangan satu sama lain dan kaki
masih dalam posisi sejajar. Dalam posisi tangan saling berpegangan, mereka
melangkah ke depan dan ke belakang sambil tangan diayunkan kedepan dan
kebelakang pada setiap kali hitungan, menyesuaikan dengan irama nyanyian. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada komposisi gerak dalam hitungan sebagai berikut:
1. Pada awalnya, para penari berbaris masuk membentuk dua barisan dengan
arah hadap (horizontal), posisi kaki sejajar dan saling bergandengan tangan
dalam keadaan siap;
58
Gambar 4: posisi penari pada awal masuk
(koleksi Hermanus W. Laka 14 April 2014)
2. Penyanyi mulai menyanyikan lagu (bagian oro pembukaan), dan dijawab oleh
para penari. Mereka saling sahut menyahut antara penyanyi dan penari
sebelum melakukan gerakan;
3. Penyanyi menyanyikan syair lagu 1 dengan diiringi irama pukulan wani
(gendang) sebagai pengatur ritme;
4. Pada hitungan ke tujuh dari ritme nyanyian, penari mulai melakukan gerakan
maju dan mundur sebanyak enam hitungan;
5. Irama hentakan kaki para penari disesuaikan dengan Pola ritme dan melodi
lagu yang dinyanyikan oleh para penyanyi;
6. Gerakan pertama dilakukan dengan melangkah dan menghentahkan kaki
kanan ke depan dalam hitungan pertama. posisi tumit kaki kanan sejajar
dengan ujung jari kaki kiri atau ujung jari kaki kiri sejajar dengan tumit kaki
kanan;
59
7. Gerakan maju diikuti dengan hentakan kaki kiri dalam hitungan kedua. Posisi
tumit kaki kiri sejajar dengan ujung jari kaki kanan atau ujung jari kaki kanan
sejajar dengan tumit kaki kiri;
8. Pada hitungan ke tiga, gerakan maju diikuti lagi dengan menghentakan kaki
kanan ke depan. Posisi kaki kanan berada sejajar dengan posisi kaki kiri;
9. Gerakan maju dilakukan sebanyak tiga langkah, dengan rincian dua langkah
kaki kanan dan satu langkah kaki kiri. Artinya gerakan di mulai dengan
hentakan kaki kanan, kemudian dibalas hentakan kaki kiri, dan diikuti lagi
dengan hentakan kaki kanan;
Gambar 5: penari melakukan gerakan maju
(koleksi Hermanus W. Laka 14 April 2014)
10. Pada hitungan keempat, penari melakukan gerakan mundur. Gerakan diawali
dengan hentakan kaki kanan ke belakang. Posisi ujung jari kaki kanan berada
60
sejajar dengan tumit kaki kiri, atau tumit kaki kiri berada sejajar dengan ujung
jari kaki kanan
11. Kemudian pada hitungan ke lima di ikuti gerakan kaki kiri. Posisi ujung jari
kaki kiri berada sejajar dengan tumit kaki kanan, atau tumit kaki kanan sejajar
dengan ujung jari kaki kiri;
12. Pada hitungan ke enam, gerakan di ikuti lagi dengan menghentakan kaki
kanan ke belakang. Posisi kaki kanan berada sejajar dengan posisi kaki kiri;
Gambar 6: penari melakukan gerakan mundur
(Koleksi Hermanus W. Laka 14 April 2014)
13. Posisi badan para penari agak condong ke depan, dan sedikit jongkok
14. Setiap gerakan, baik gerakan maju maupun gerakan mundur selalu diiringi
suara sahutan oleh para penari. Artinya sambil melakukan gerakan, Setiap
61
irama hentakan kaki selalu di iringi dengan suara sahutan (pus), sehingga
semua pola gerak membentuk motif ritme seperdelapan sebagai berikut:
Gerakan maju: Gerakan mundur:
x p x p x/p x p x p x/p
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Keterangan x : hentakan kaki
p : pusssss (suara sahut menyahut para penari)
xp : hentakan kaki ke tiga jatuh bersamaan dengan suara
sahutan penari (pussss)
1&4 : gerakan kaki kanan
2&5 : gerakan kaki kiri
3&6 : gerakan kaki kanan
15. Setiap gerakan baik gerakan maju maupun gerakan mundur, selalu diawali
dengan hentakan kaki kanan dan diakhiri dengan kaki kanan.
16. Setiap gerakan selalu dibangun dengan suasana penuh semangat. Saat kaki
dihentakan pada hitungan ke enam, selalu diikuti dengan suara sahutan (hoe)
dari seorang penari hingga hitungan ketiga. Kemudian pada hitungan ke tiga
suara sahutan itu dibalas oleh semua penari. Artinya sahutan segha sebagai
balasan dari para penari di suarakan saat hentakan kaki kanan pada hitungan
ke tiga, sambil maju dan bergerak merapat. Namun tidak semua gerakan
dilakukan sahut sahutan (segha). Suara segha akan di perdengarkan apabila
para penyanyi mulai menyanyikan bagian reff pada setiap syair lagu.
moti sahutan segha:
x h x h x h x/sg
(6) (1) (2) (3)
keterangan: x : hentakan kaki
62
h : hoe (suara teriakan seorang penari)
sg : segha (suara sahutan semua penari)
xsg : bunyi hentakan kaki, diiringi sahutan segha dari
para penari.
6 : hitungan ke enam
1 : hitungan pertama
2 : hitungan ke dua
3 : hitungang ke tiga
I. Makna Tarian Ha’i Nggaja
Makna yang terkandung dalam tarian Ha’i Nggaja adalah makna kemenangan,
yang menggambarkan kejadian atau peristiwa kehidupan masyarakat setempat, baik
yang berhubungan dengan peristiwa kemenangan dalam perang, maupun yang
berhubungan dengan keberhasilan mereka dalam kegiatan pertanian atau perladangan
Adapun makna tarian Ha’i Nggaja terdapat pada gerak dan syair-syair lagu
yang dinyanyikan oleh penyanyi dan penari. Gerakan yang disertai dengan syair lagu
dari masing-masing pola gerak mempunyai makna. Gerakan dan syair lagu dalam
tarian Ha’i Nggaja mempunyai hubungan dan merupakan satu kesatuan, karena setiap
gerakan selalu diiringi dengan nyanyian.
1. Makna gerakan
Dilihat dari segi kekompakkan gerak maju dan mundur secara bersama
sama, dengan saling bergandengan tangan dan mata memandang, ketika saling
berhadapan mengartikan adanya kekompakan dalam menjalankan suatu
kehidupan bersama dengan mengutamakan persatuan, tenggang rasa, saling
membantu, gotong royong, rela berkorban, menyesuaikan satu dengan yang lain
untuk mewujudkan keselarasan hidup bersama sabagai makluk sosial. Hal ini
63
secara eksplisit disimbolkan melalui tarian Ha’i Nggaja dengan bergandengan
tangan tidak terputus.
2. Makna syair lagu
Teks atau syair lagu dalam tarian Ha’i Nggaja memiliki berbagai makna
yang harus diketahui oleh masyarakat umumnya dan secara khusus generasi
muda, karena dalam teks atau syair lagu Ha’i Nggaja terkandung makna yang
harus diketahui dan dipelajari yakni:
Dalam syair-syair lagu pengiring tarian Ha’i Nggaja secara keseluruhan
mengandung makna Historis (sejarah), makna sosiologis, makna kebersamaan,
makna pengharapan dan permohonan akan kesehatan, makna pengharapan dan
permohonan akan keberhasilan, makna persatuan dan kesatuan, makna religius
(ucapan syukur dan persembahan),makna didaktis, makna estetis (keindahan)
yang terdiri dari makna estetis individual dan makna estetis kolektif.
a. Makna Historis
Makna historis adalah makna yang mengisahkan tentang peristiwa-
peristiwa kehidupan masa lampau. Makna historis diwujudkan dalam bentuk
petuah atau nasehat agar kehidupan masyarakatnya bersatu padu, rukun dan
damai.
Makna historis yang terungkap dalam teks terdapat dalam semua syair
lagu, dari syair lagu 1 sampai syair lagu 4. Contoh makna historis terdapat
pada syair lagu:
Ae tiwu telu leka ema ngga’e peso welu
Ae polo bupu no’o nuwa muri jemu
Mutu ta’u aro paru ga ana mbana
Mutu kai poa kota ka langga kasa
64
Mutu nuka deki bhu ria kema lepa
Artinya:
Air tiga warna yang Tuhan ciptakan
Air merah putih dan biru
Mutu takut dan lari terpontang panting
Mutu melompat pagar
Mutu mendaki sampai bhu ria dan membangun rumah.
b. Makna sosiologis
Makna sosiologis yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah makna
konsepsi yang mengarahkan pada setiap manusia, dalam hal ini, masyarakat
setempat pemilik budaya untuk berusaha memikirkan masalah hidup di alam
semesta, dan menerima hidup dalam alam seperti apa adanya serta mencoba
untuk melihat hubungan secara keseluruhan. Makna sosiologis yang di lihat
dalam konteks syair lagu ini ditandai dengan adanya sikap-sikap antara lain,
bekerja sama, bersifat terbuka, dan solidaritas dan saling mendukung satu
sama lain sebagai kesadaran diri dari masyarakat pendukung budaya tersebut.
Berkaitan dengan makna sosiologis teks atau nyanyian Ha’i Nggaja,
mencakup beberapa hal pokok yakni makna kebersamaan, makna
pengharapan akan kesehatan, dan makna pengharapan akan keberhasilan,
makna persatuan dan kesatuan.
Makna Kebersamaan
Dalam konteks budaya, makna kebersamaan merupakan refleksi
kesadaran diri bahwa manusia sebagai makhluk sosial, di samping
sebagai makhluk pribadi yang memiliki keterbatasan dan kekurangan.
65
Manusia dalam kehidupannya tentunya saling membutuhkan satu sama
lain, karena kebersamaan merupakan hakekat dasar dari manusia.
Konsep diatas mengemban makna ajakan yang ditujukan kepada
partisipan, dalam hal ini masyarakat setempat untuk terlibat bersama
dalam mengikuti tarian Ha’i Nggaja. Kebersamaan yang dimaksud di
sini adalah kebersamaan dalam kekompakan yang berhubungan dengan
bernyanyi dan menari disertai hentakan kaki seiring irama lagu dalam
tarian Ha’i Nggaja untuk meramaikan acara tersebut.
Hentakan kaki, syair lagu (nyanyian) dan tarian yang dimaksud di
sini diumpamakan dengan contoh kalimat “ngere wando ngesu” (seperti
suara alu dan lesung), karena untuk menimbulkan bunyi, alu dan lesung
tidak dapat dipisahkan atau berdiri sendiri. Oleh karena itu, hentakan
kaki, syair lagu dan tarian merupakan unsur-unsur yang mutlak dan
saling mendukung dalam Ha’i Nggaja. Kekompakan ini juga merupakan
suatu simbol kebersamaan.
Makna kebersamaan dapat diperhatikan dalam syair lagu bagian
Oro pembukaan sebagai berikut:
Leja ina kita tebo bou lo ubu
o..........lo ubu
bou mondo tolo pongo pu’u uju
o..........pu’u uju
artinya:
pada hari ini kita semua berkumpul
o...........mari berkumpul
kita berkumpul untuk megikat tali persaudaraan
66
dengan menari bersama
o............mari menari bersama
Makna Pengharapan akan Kesehatan
Pengharapan akan kesehatan merupakan suatu hal yang sangat
diharapkan dari setiap umat manusia yang senantiasa di jaga. Setiap
manusia selalu menaruh suatu harapan akan kesehatan dalam mengarungi
bahtera hidup. Makna pengharapan akan kesehatan tertuang dalam syair
lagu sebagai berikut:
“tipo kami ngere nio, pama kami ngere naka”
artinya:
”rangkul kami seperti merangkul kelapa, jaga kami seperti menjaga
pinang”
Contoh kutipan tersebut di atas, mengandung makna pengharapan
agar dapat terhindar atau dijauhkan dari sakit atau penyakit, dijauhkan
dari malapetaka, diberikan keturunan dan di jauhkan dari kematian.
Untuk menghindari hal-hal yang diutarakan di atas, maka masyarakat
melakukan ritual. Hal ini dimaknai sebagai wujud pengharapan manusia
akan keselamatan. Dalam kegiatan ritual tidak terlepas dilakukan tarian
Ha’i Nggaja sebagai suatu wahana komunikasi antara manusia dengan
Wujud Tertinggi yang dimediasi oleh embu mamo (leluhur).
Makna Pengharapan akan kesehatan dapat dilihat dalam syair
lagu sebagai berikut:
Rina mamo ma’e segu no’o tete keu
Ono embu ma’e tibha no’o longgo lima
Tipo kami ngere nio pama kami ngere naka
67
Artinya:
Minta nenek moyang jangan tolak seperti kulit pinang
Jangan tolak kami seperti membalikan telapak tangan
Rangkul kami seperti rangkul kelapa
Jaga kami seperti manjaga pinang
Makna Pengharapan akan Keberhasilan
Pengharapan akan keberhasilan dalam kehidupan masyarakat
(keluarga) merupakan harapan manusia umumnya dan secara khusus
termasuk dalam kehidupan sosiokultural masyarakat Desa Woloara.
Dalam teks syair Ha’i Nggaja terungkap harapan-harapan akan
keberhasilan yang terungkap dalam syair berikut:
“bhondo kami ma’e lo’o kapa ma’e ndara”
Rejeki kami banyak jangan hanya sedikit, tebal janganlah tipis.
“riwu kami ngere ipu”
Banyaklah kami seperti ikan dilaut
“nggama ngere ngana raga”
Banyaklah kami seperti semut yang berjalan.
Wacana tersebut mengindikasikan pengharapan akan kelimpahan
rejeki, dan diberikan keturunan agar beranak cucu dan bertambah banyak
memenuhi bumi.
Makna persatuan dan kesatuan
Syair lagu dalam tarian Ha’i Nggaja juga bermaksud mengajak
semua warga masyarakat untuk hidup bersatu padu, satu hati, satu suara,
demi membangun daerah, sehingga terwujudnya masyarakat yang adil
dan makmur, hidup rukun dan damai, dan mempunyai prinsip hidup.
68
Hal ini secara nyata terungkap dalam teks syair lagu berikut:
“leja ina kita tebo bou lo mondo
Kita mera bou pu’u uju tolo pongo
Ola gare se wiwi nunu se lema
Boka kita modha lai kita lala mbeja”
Artinya:
Hari ini kita berkumpul bersama
Kita berkumpul untuk menari bersama
Kita semua haruslah satu hati dan satu suara
Jantung kita basah hati kita remuk
c. Makna Religius
Makna religius (ucapan syukur dan persembahan) merupakan
proyeksi makna yang paling menonjol atau yang berkaitan dengan tindakan
atau perilaku keagamaan. Tindakan-tindakan atau perilaku religius
merupakan proses refleksi atas ketidakberdayaan manusia. Ketidakberdayaan
inilah yang mengusung semangat spiritualitas yang tinggi dalam kehidupan
manusia.
Dengan ide semangat spiritualitas, manusia mengungkapkan diri dan
hidupnya untuk dibentuk sesuai dengan semangat Sang Pencipta. Hal ini
secara nyata ditemukan dalam kehidupan sosial kolektif orang Woloara.
Tarian Ha’i Nggaja dimaknai sebagai praktik religiusitas etnik Lio pada
Wujud Tertinggi. Praktik ini dimaknai sebagai ungkapan pengakuan atas
ketidakberdayaan manusia, sekaligus pengakuan Tuhan diyakini sebagai
sumber kehidupan utama dan leluhur sebagai mediasi.
Hal ini secara nyata terungkap dalam teks syair lagu berikut:
69
“Leja ina kita pati ka du’a bapu ata mata”
pada hari ini kita memberi makan nenek moyang
“pati ka no’o sua sasa eina embu mamo ka”
Memberi makan dengan permohonan minta nenek moyang datang
makan sesajian
“kami gha loo ngongo boko, kami benge ngai ngura”
Kami yang kecil dan lemah tak berdaya, kami seperti anak kecil.
“Rangga kai sua sasa leka bhaku rate”
Rangga memohon di kuburan nenek moyang
“tubu kanga lodo nda keda wawo naka”
Di mesbah lapangan ditengah-tengah kampung
“Miu mulu aku ndu dheko aku jejo”
Kamu dahulu, saya ikut dari belakang
Wi’isia aku nuka da ghele nua”
Besok saya pulang ke kampung
Kutipan syair lagu di atas menggambarkan permohonan kepada
leluhur untuk melindungi warga masyarakat dari segala bencana yang akan
menimpa. Keda (mesbah) dimaknai sebagai simbol pengasal leluhur, yang
dipancangkan di tengah kampung. Hal ini dimaknai bahwa kemanapun orang
Lio (orang woloara) berada, harus selalu mengingat akan tanah air atau
kampung halaman, karena disana bersemayamnya leluhur yang selalu
mengikuti warganya kemanapun mereka berada.
Konsep di atas mengemban makna pelestarian. konsep keseimbangan
antara manusia dengan wujud tertinggi, manusia dengan manusia, dan
manusia dengan pelestarian alam lingkungan.
70
Konsep di atas juga tersirat makna keharmonisan atau keseimbangan.
Ketiga kekuatan di atas, Wujud Tertinggi, leluhur, dan roh alam sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, namun tetap menempatkan Tuhan
sebagai penguasa yang tersirat dan tersurat. Yang tersurat dalam konteks ini
dapat dilihat dengan kasat mata, sedangkan yang tersirat tidak dapat di lihat
dengan kasat mata seperti jin (nitu), dan leluhur. Namun secara rohani
diyakini selalu berada di tengah-tengah mereka.
d. Makna Didaktis
Makna didaktis yang dimaksudkan di sini adalah suatu konsepsi yang
mengandung seperangkat norma dan nilai pendidikan dan pengajaran tentang
pengetahuan religi, kemasyaratan, hukum, dan budaya. Pengajaran Konsepsi
pemaknaan pendidikan dan pengajaran bertujuan untuk menafsirkan dan
merekontruksi realitas dalam tatanan yang bersifat intelektual bagi
pencapaian kesejahteraan hidup sebagai individu dan guyub tutur dalam
bermasyarakat.
Makna didaktis dalam teks nyanyian Ha’i Nggaja merupakan esensi
pokok yang sedang dihadapi masyarakat dalam menghadapi era globalisasi.
Globalisasi telah menimbulkan pergulatan budaya antara global, nasional dan
lokal, telah menimbulkan semakin tinggi intensitasnya. Masyarakat
dihadapkan pada dua kutub, di satu sisi, dipengaruhi budaya global sebagai
buah peradaban perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada sisi
lain, terjadi penguatan budaya lokal, atau nasionalisme lokal yang
menunjukkan jati diri sebagai pemertahanan di tengah arus global. Pengajaran
tentang kemasyarakatan, kehidupan sosial kolektif masih nampak dalam
kehidupan masyarakat etnik Lio. Hal ini tercermin dalam perilaku masyarakat
71
etnik Lio, bila ada warga yang ditimpah kesulitan atau bencana secara
spontan mereka datang membantunya. Perilaku seperti ini menunjukkan rasa
kesetiakawanan dalam kehidupan sosial kolektif masih nampak, serta peran
serta penguasa adat (mosalaki) dan seluruh masyarakat dalam tarian Ha’i
Nggaja, dimaknai sebagai ajaran dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini
terindikasi manusia sebagai makluk sosial yang selalu berinteraksi antara satu
sama lain. Realitas ini menunjukkan manusia dalam hidup dan kehidupannya
selalu saling membutuhkan sama sama lain. Rasa ketergantungan ini sebagai
wujud ajaran sosial kolektif untuk membendung rasa individualisme yang
telah menggejolak pada era globalisasi dewasa ini. Contoh makna didaktis
dapat dilihat pada kutipan berikut ini:
Leja ina kita tebo bou lo mondo
Kita mera bou pu’u uju tolo pongo
Ola gare sa wiwi nunu sa lema
Boka kita modha lai kita lala mbeja
Ebe bou ngere uwi onu
Tolo pango pu’u uju
Mera gare tau pape leku
Tibhi kanga kali tubu
Artinya:
Hari ini kita berkumpul bersama
Kita berkumpul untuk menari
Satu hati satu suara
Jantung kita basah hati kita remuk
Mereka berkumpul seperti ubi jalar
72
Melihat pusat dan ujung
Duduk bicara untuk membahas sejarah
Membersih lapangan membuat mesbah
e. Makna Estetis (Keindahan)
Cita rasa dan ekspresi estetis berupa nada dan irama. Gaya tarian dan
nyanyian Ha’i Nggaja dimaknai estetis bagi pengungkap dan penikmat
budaya. Makna estetis yang dimaksudkan pada konteks ini adalah suatu
pranata budaya yang secara maknawi berperan untuk memberikan sentuhan
rasa sebagai salah satu sarana untuk pemuasan kebutuhan manusia. Hal ini
dapat dikatakan bahwa kebahagian tidak dapat dipisahkan dari keindahan
(estetis).
Nada dan irama dalam syair nyanyian Ha’i Nggaja dimaknai sebagai
estesis yang menimbulkan rasa senang atau gembira. Makna estetis dalam
teks nyanyian Ha’i Nggaja menyangkut dua hal pokok yaitu (1) makna estetis
individual, dan (2) makna estetis kolektif. Contoh makna estetis dapat dilihat
dalam kutipan berikut ini:
Makna estetis Individual
Ogo no’o kunu one ebe kei gawi
Nebu gawi ebe ata fai nua beu mai
Mota no’o seku ebe teke lima gawi
Konde kai ate nara no’o ko’o fai
Konde kai tana leka weta
Miu nua leka emba?
Mota seku ebe penu bala
Kami inia weta rangga
73
Artinya:
Ogo dan keluarganya menari gawi
Sementara gawi seorang perempuan dari kampung yang jauh
datang
Mota seku gawi bergandengan tangan
Konde ada hati dengan perempuan itu
Konde bertanya pada perempuan itu
Kamu kampung dimana?
Mota dan seku menjawab
Kami adalah saudarinya rangga
Kutipan data tersebut di atas meyatakan makna kesenangan yang
dinyatakan secara pribadi dari seorang pemuda terhadap seorang gadis.
Ekspresi kesenangan atau kegembiraan yang diungkapkan dalam teks
nyanyian Ha’i Nggaja sebagai kiasan muda-mudi. Kiasan tersebut
bermakna estesis tentang kisah cinta antara pemuda dan pemudi etnik
Lio, namun tetap berpedoman pada tata norma yang menjadi rujukkan.
Makna estetis kolektif
Kenikmatan secara kolektif menuntut guyub kultur dan guyub
tutur pemiliknya untuk mengakui karyanya sebagai kekayaan yang
memerlukan penerimaan apa adanya. Hal ini secara nyata harus adanya
peran serta masyarakat untuk bersama-sama dalam mengikuti tarian Ha’i
Nggaja dan atraksi gawi atau tandak. Tarian Ha’i Nggaja merupakan
sebuah seni pertunjukkan tradisional dalam khazanah budaya Lio-Ende.
Makna estetis kolektif dapat dilihat pada data berikut.
“Ogo kai pai kunu one kai mera ubu
74
Ogo kai kuni mbana leka nua-nua
Nosi ata fai ata kaki mbana gawi
Wengi telu kita nuka mbana ghele nua
Gawi ga’i nggo wani no’o wedho wanda”
Artinya:
Ogo panggil keluarga untuk duduk berkumpul
Ogo suruh masuk ke kampung - kampung
Panggil laki-laki dan perempuan untuk ikut gawi
Menari gawi, bunyikan gong wani, dan menari Ha’i
Nggaja.
Kutipan tersebut di atas menunjukkan rasa estetis dalam
kebersamaan yaitu mengundang para penguasa adat dan masyarakat
lainnya untuk bernyanyi dan menari bersama melalui tarian Ha’i Nggaja,
gawi (tandak), serta membunyikan nggo wani (gong gendang) guna
memeriakan acara.
Seni pertunjukkan pada masa lampau dimotivasi oleh
kepercayaan religius dalam konsep kehidupan tradisional. Tingkah laku
seremonial, termasuk yang diekspresikan melalui gerakan tubuh dan juga
nada suara, serta kata-kata dalam nyanyian, sebenarnya merupakan
materialisasi dari konteks mistis yang menjadi dasar dari tingkalaku
seremonial. Mistis di masa lalu memberikan intensif dan justifikasi bagi
tindakan ritual dan menuntun tampilan pertunjukkan yang benar dari
tindakan yang suci (Kessing dalam Devung, 1997:37).
Di zaman dahulu ritual termasuk musik, nyanyian, dan tarian
dilakukan dengan serius dan kusuk. Kondisi ini masih nampak pada
75
budaya etnik Lio dalam tarian Ha’i Nggaja dan juga tarian gawi atau
tandak. Para mosa laki (tua adat) dan ana kalo fai walu (yatim piatu dan
janda) atau dengan kata lain tua adat dan seluruh masyarakat mengambil
bagian tarian Ha’i Nggaja yang diiringi dengan syair-syair yang sangat
memikat peserta. Tarian Ha’i Nggaja walaupun dalam waktu lama,
masyarakat tetap bersemangat walau hanya diiring dengan alunan suara
dan sentakan kaki
J. Fungsi Tarian Ha’i Nggaja
Adapun yang menjadi dasar dan fungsi dari tarian Ha’i Nggaja adalah dimana
memberikan nilai positif kepada generasi penerus masyarakat Desa Woloara bahkan
masyarakat luas, bahwa tarian Ha’i Nggaja merupakan ungkapan rasa kegembiraan
dan syukur kepada Du’a Ngga’e (Tuhan) dan kepada roh-roh nenek moyang yang
telah memberikan kemenangan, kemakmuran, kedamaian, keselamatan kepada
manusia.
Tarian Ha’i Nggaja juga merupakan suatu ajang pertunjukan yang dapat
memberikan nilai budaya dalam suatu kegiatan masyarakat untuk belajar memahami
tata nilai budaya yang terkandung dalam tarian Ha’i Nggaja, agar dapat menghormati
dan menghargai para leluhur atau nenek moyang. Budaya warisan leluhur harus
ditegakan untuk mengikat tali persaudaraan, persahabatan diantara anggota
masyarakat.
Tarian Ha’i Nggaja juga merupakan salah satu tarian yang menyatukan tali
persahabatan antara satu sama lain, dan mereka juga melakukan tarian Ha’i Nggaja
sebagai ucapan syukur kepada Du’a Ngga’e (Tuhan alam semesta) dan nenek moyang
yang telah memberikan segalanya yang mereka miliki saat ini.
76
Selain itu juga tarian Ha’i Nggaja dapat dikatakan sebagai suatu ajang untuk
mendorong dan menciptakan hubungan antara manusia dengan Tuhan,
manusia
dengan sesama manusia, manusia dengan alam semesta.
Tarian Ha’i Nggaja dapat memberikan suatu pengertian kepada mereka
dalam
hal ini para penari Ha’i Nggaja yang adalah persekutuan yang terjalin sejak
dahulu
kala untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan, demi mencapai keserasian
dalam
tarian Ha’i Nggaja, dimana hentakan kaki dan alunan syair yang dilantunkan
oleh
penyannyi dan penari Ha’i Nggaja yang menggambarkan kehidupan orang Lio
yang
selalu silihberganti, dan selalu kuat dalam menghadapi segala tantangan dan
cobaan
yang datang dari dalam maupun dari luar.
K. Fungsi Lagu dalam Tarian Ha’i Nggaja
Secara umum lagu pengiring tarian Ha’i Nggaja berfungsi sebagai
sarana
upacara adat, sebagai pengiring tarian, sebagai media komunikasi, sebagai
sarana
hiburan, sebagai ungkapan rasa kegembiraan, sebagai ungkapan sejarah,
sebagai
ungkapan permohonan, sebagai bentuk pemujaan kepada Du’a Ngga’e (Tuhan)
dan
kepada nenek moyang.