bab vii program, dan motif misi gkpb periode 2012...
TRANSCRIPT
225
BAB VII
PROGRAM, DAN MOTIF MISI GKPB PERIODE 2012-2016
PADA BIDANG PERSEKUTUAN, PELAYANAN DAN KESAKSIAN
DALAM PERSPEKTIF PANCASILA
Satu periode pelayanan GKPB berdurasi empat tahun. Dalam pelayanan pada periode
2012-2016, GKPB terdiri dari 67 jemaat dan 18 Balai Pembinaan Iman (BPI) 14 ribu jiwa.1
Seluruh jemaat GKPB itu yang terdiri dari suku Bali, Jawa, Ambon, Timor, Toraja, Menado,
Batak, Dayak, Sumba, Sunda, Papua, Tionghoa, Warga Negara Indonesia Keturunan Asing,
dan Warga Negara Asing tersebar di delapan kabupaten dan satu kota madya yang ada di
provinsi Bali.2 Daftar jemaat-jemaat dan BPI GKPB beserta dengan lokasinya di provinsi
Bali tertera dalam lampiran 3 dari disertasi ini. Pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 ada
dalam alur sebagaimana diperlihatkan oleh struktur GKPB periode 2012-2016 seperti tertera
dalam lampiran 4 dari disertasi ini. Kemudian dengan maksud agar pelayanan GKPB pada
periode 2012-2016 dapat berjalan mumpuni, GKPB. sebenarnya telah menetapkan arah dari
pelayanan itu.
Program-program pelayanan GKPB pada periode 2012-2016 diarahkan: Pertama, oleh
visi dan misi GKPB dalam kurun waktu 2008-2028. Kedua, oleh tema GKPB 2012-2016.
Visi GKPB untuk kurun waktu 20 tahun, terhitung dari tahun 2008-2028 ialah: “Bumi
Bersukacita Dalam Damai Sejahtera”. Visi ini ditetapkan oleh GKPB dalam sinodenya yang
ke 40 Juni 2006 dan diberlakukan sejak sinodenya ke 41 Juni 2008. Melalui visi ini GKPB
berupaya menselaraskan cita-cita luhurnya dengan kehendak Sang Transenden agar bumi ini
secara keseluruhan ada pada keadaan bersukacita dalam damai sejahtera. Mengenai misi
GKPB juga untuk kurun waktu 20 tahun yaitu dari tahun 2008-2028 ialah: “Membangun
Peradaban Yang Dijiwai Oleh Kasih Terhadap Tuhan, Sesama dan Lingkungan”. Misi ini
1GKPB, Laporan Kerja Majelis Sinode 2012-2016 Kepada Sinode ke 45 GKPB Tentang
Perbendaharaan GKPB(Mangupura : Percetakan MBM,2016),67-69. Laporan Bishop I Nengah Suama, dalam
ceramahnya pada pertemuan antara Majelis Sinode Harian GKPB dan mahasiswa teologi Universitas Kristen
Satya Wacana, 29 Juli 2017 di Kantor Sinode GKPB. 2Ada 35 jemaat dan 2 Balai Pembinaan Iman GKPB yang berlokasi di daerah perkotaan dan di daerah
yang bersentuhan langsung dengan pariwisata. Sedangkan 34 jemaat dan 14 Balai Peminaan Iman lainnya
berlokasi di daerah pedesaan. Strata sosial dan sumber daya manusia jemaat-jemaat GKPB yang terdiri dari
berbagai suku yang ada di indonesia dan juga beberapa orang Warga Negara Asing itu, sangat beragam. Ada
pengusaha besar dan pengusaha kecil, ada pejabat tinggi dan pejabat rendah, ada pegawai negeri dan pegawai
swasta, ada petani dan peternak, ada buruh dan tukang, ada tentara dan polisi, ada dosen dan ada guru, ada juga
yang tidak bekerja karena difabel, lanjut usia dan sakit.
226
ditetapkan oleh GKPB dalam sinodenya yang ke 40 Juni 2006 dan diberlakukan sejak sinode
ke 41 Juni 2008. Melalui misi ini, GKPB bertekad bersama dengan semua sesamanya
manusia, mewujudkan bumi yang damai sejahtera, dengan jalan menciptakan suatu tata
kehidupan yang harmonis dengan Tuhan, sesama dan lingkungan.3
Tentang tema GKPB pada periode 2012-2016 yang juga ditetapkan oleh GKPB
berbarengan dengan ditetapkannya visi dan misi, yang berfungsi untuk memandu perjalanan
misi GKPB sepanjang periode 2012-2016, ialah: “Menjadi Gereja Yang Bertumbuh Bersama
Masyarakat”. Melalui tema ini GKPB mengakui bahwa masyarakat bukanlah orang lain,
melainkan kawan seperjalanan sehingga melalui misinya pada periode 2012-2016, GKPB
berupaya untuk menciptakan interaksi antara GKPB dan masyarakat bukan saling
menegasikan tetapi justru saling menumbuhkan. Dengan berpayungkan tema “Menjadi
Gereja Yang Bertumbuh Bersama Masyarakat”, GKPB berharap warganya semakin merasa
menjadi bagian dari satu masyarakat majemuk dan tidak melihat sesamanya manusia yang
berbeda-beda itu, sebagai orang lain yang harus dikotak-kotakan. Sebaliknya agar mereka
menikmati kepelbagian itu sebagai anugerah Tuhan sehingga mereka dimungkinkan untuk
bertumbuh bersama dalam keperbedaan.4
VII.A.Program Dan Motif Misi GKPB Periode 2012-2016
Dalam mengimplementasikan misi GKPB pada periode 2012-2016, GKPB
menuangkan misinya itu melalui program-program pada bidang Persekutuan, Pelayanan dan
Kesaksian. Tentang motif misi GKPB pada periode 2012-2016, diduga terbenam dalam
pemahaman dan cara berpikir GKPB dalam melaksanakan program-program misi itu di
bidang Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian. Program dan motif misi GKPB periode 2012-
2016 seperti termaksud ialah sebagai berikut:
VII.A.1. Program Dan Motif Misi GKPB Periode 2012-2016 Pada Bidang Persekutuan
Dalam mengeksekusi misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang persekutuan,
majelis sinode GKPB melalui departemen Persekutuan dan Pembinaan GKPB menuangkan
misinya itu ke dalam beberapa mata program. Tidak semua program itu dikemukakan di sini.
3Gereja Kristen Protestan Di Bali,Buku Visi dan Misi GKPB(Mangupura: Percetakan MBM,2006),7-
15. 4Gereja Kristen Protestan Di Bali,Posisi GKPB Dan Isi Pelayanannya (Mangupura:Percetakan
MBM,2010),10.
227
Yang dibahas di sini, hanya beberapa mata program misi yang motifnya diduga bermasalah
ketika disorot dari perspektif nilai kesatuan, nilai kemanusiaan dan nilai kesetaraan Pancasila.
Beberapa dari mata program termaksud ialah sebagai berikut:
VII.A.1.a. Program Dan Motif Pemantapan Spiritualitas Kristen Bagi Warga Jemaat
Dalam menelisik program pemantapan spiritualitas Kristen bagi warga jemaat, penulis
menemukan bahwa majelis sinode GKPB melalui Departemen Persekutuan dan Pembinaan
mengedukasi jemaat-jemaat GKPB untuk memposisikan Alkitab itu sebagai harta rohani
orang Kristen yang menginspirasi kerohanian orang Kristen. Tidak jarang GKPB menuturkan
warganya bahwa semua buku pada umumnya berisi pengetahuan bukan kebenaran. Hanya
Alkitab yang berisi kebenaran. Hal itu terjadi demikian karena Alkitab adalah firman Allah.
Dalam banyak momen GKPB menuntun warganya untuk senang membaca dan menggali isi
Alkitab karena sebagai firman Allah Alkitab adalah pelita dan suluh yang memantapkan
kehidupan rohani. Dengan maksud untuk menanamkan di hati warga jemaat betapa sucinya
Alkitab itu, warga jemaat sering diajak menyanyikan lagu “baca kitab suci doa tiap hari kalau
mau hidup”.
Pengajaran menanamkan di hati warga jemaat tentang betapa mulianya Alkitab,
sehingga patut dihormati, nampaknya cukup berhasil. Hal itu dikatakan demikian sebab
hampir di seluruh jemaat GKPB ada tindakan-tindakan warga jemaat yang memperlihatkan
betapa Alkitab itu diagungkan. Beberapa contoh dapat disebutkan di sini: Pertama, dalam
setiap kebaktiam umum, kebaktian hari raya gerejawi, dan kebaktian khusus seperti kebaktian
hari ulang tahun gereja, selalu ada prosesi lilin dan Alkitab mengawali ibadah. Lilin dipakai
sebagai simbol Tuhan, dan Alkitab ditempatkan sebagai firman Tuhan. Pada saat prosesi ini,
jemaat berdiri dengan sikap khidmat.
Kedua, dalam setiap kebaktian peneguhan nikah dan peneguhan iman, majelis jemaat
selalu memberikan Alkitab kepada pasangan suami-istri dan kepada para warga yang
diteguhkan imannya dengan ucapan “selamat beriman karena itu tetaplah berpegang pada
Alkitab”. Ketiga, tiga belas tahun belakangan ini menjelang pembacaan teks Alkitab bahan
khotbah, jemaat-jemaat dengan semangat menyanyi lagu “Kusiapkan hatiku Tuhan, tuk
dengar firmanMu saat ini....”. Keempat, beberapa kali juga terjadi dalam kebaktian
penghiburan dan penguburan, pada peti jenasah ditaruh oleh keluarga dari orang yang
meninggal, Alkitab bukan Alkitab baru tetapi Alkitab milik dari orang yang meninggal. Hal
228
itu dilakukan demikian didasarkan pada harapan keluarga dari orang yang meninggal, bahwa
dia yang meninggal itu berjalan bersama firman Tuhan sehingga tenang menuju bumi abadi.
Berdasarkan pada tindakan dari jemaat-jemaat GKPB seperti tersebut di atas, penulis
berinterpretasi bahwa bagi jemaat-jemaat GKPB Alkitab itu adalah segala-galanya.
Interpretasi yang penulis buat ini, menjadi tidak salah sebab semua informan ketika diajak
berdiskusi mengenai hubungan antara Alkitab dan konteks, mempunyai cara berpikir dari
Alkitab ke konteks.5 Maksud mereka Alkitab menjadi norma untuk menerangi dan menilai
konteks. Mereka berpendirian demikian karena pengajaran GKPB sendiri tentang Alkitab
sebagaimana tertuang dalam buku “Inti Pemahaman Iman GKPB” dan buku “Katekesasi
GKPB”, menyatakan bahwa sebagai firman Allah Alkitab itu bersifat mutlak,6 sumber iman
orang Kristen satu-satunya.7Tindakan jemaat-jemaat GKPB terhadap Alkitab seperti
demikian ini, sudah merupakan sebuah sikap penyembahanterhadap Alkitab.
Sebuah sikap penyembahan terhadap Alkitab akan cendrung mengutamakan Alkitab
sebagai sumber kebenaran-kebenaran mutlak yang menafikan eksistensi kitab suci atau
kebenaran-kebenaran keberagamaan lainnya. Sikap yang demikian telah dan akan membuat
jemaat-jemaat GKPB menjadi fanatik. Fanatisme yang berlebihan hanya akan menimbulkan
kebutaan rohani. Kemudian rohani yang buta cendrung mendorong orang bersikap
manipulatif yang pada akhirnya hipokrit dengan dalil agama. Sikap yang demikian ini
mengarah kepada pembekuan keberagamaan yang seharusnya dinamis dan responsif terhadap
konteks masyarakat pluralistik.
VII.A.1.b. Program Dan Motif Pemantapan Persekutuan Keluarga Kerajaan Allah
Dalam mengobservasi program pemantapan persekutuan keluarga kerajaan Allah,
penulis menemukan bahwa dengan berpayung pada Roma 8:29, 1 Korintus 1:9, 8:6, GKPB
dalam pemahaman imannya merumuskan kerajaan Allah yang telah datang dan yang akan
datang itu, sebagai persekutuan orang-orang yang percaya dan menerima karya penyelamatan
5Hasil wawancara dengan Pdt. Pieter Alexander Lestuny, seorang pendeta GKPB yang menjadi
pendeta di jemaat penulis menjadi warga jemaat, dengan Guntur Tateang seorang majelis jemaat GKPB Yudea
Padang Luwih, dengan I Wayan Ruspendi wakil rektor II Universitas Dhyana Pura majelis jemaat GKPB
Legian, dengan I Made Gunawan, seorang guru sekolah minggu di GKPB. wilayah Badung Selatan. 6Gereja Kristen Protestan Di Bali,Inti Pemahaman Iman(Mangupura:Percetakan MBM,tanpa
tahun),39-40. 7Departemen Persekutuan dan Pembinaan GKPB,Buku Pelajaran Katakesasi GKPB
(Mangupura:Percetakan MBM,tanpa tahun),1.
229
Allah dalam Kristus.8 Nampaknya dengan berpayungkan pada dogma ini dan dalam rangka
memantapkan program persekutuan keluarga kerajaan Allah, di jemaat-jemaat GKPB ada
ungkapan “Keluarga Kerajaan Allah”. Ungkapan ini pada umumnya merupakan suatu sapaan
yang muncul dari para pemimpin kebaktian atau pertemuan dan dialamatkan kepada warga
jemaat. Warga jemaat agaknya tidak hanya suka tetapi juga menerima bahkan membenarkan
ungkapan “Keluarga Kerajaan Allah” sebagai suatu sapaan yang tepat buat mereka, karena
bagi warga jemaat, kerajaan Allah itu tidak berbeda dengan gereja itu sendiri yang di
dalamnya mereka ada seperti sebuah keluarga. Bagi mereka, seluruh warga gereja menjadi
satu keluarga yaitu keluarga kerajaan Allah.9
Dalam pengamatan penulis hampir di seluruh jemaat-jemaat GKPB, setiap kali
menaikkan doa persembahan kepada Tuhan dalam kebaktian-kebaktian, wargajemaat selalu
memohon agar uang yang telah dikumpulkan berguna untuk pelebaran Kerajaan Allah, tetapi
tidak pernah bersikap kritis walaupun dalam prakteknya uang persembahan itu lebih banyak
digunakan untuk pekerjaan dan kepentingan gereja. Hal ini terjadi demikian adalah karena
ketika warga jemaat mendoakan agar uang persembahan itu berguna untuk pelebaran
Kerajaan Allah, mereka memang maksudkan agar uang persembahan itu berguna bagi
pelebaran dan kepentingan gereja.Dalam hal ini, bagi warga jemaat, sesuatu yang mereka
bawa bagi gereja mereka lihat sebagai sesuatu yang mereka bawa bagi kerajaan Allah.10
Ketika menjawab pertanyaan penulis apakah kata “kerajaan” dalam kalimat yang
berbunyi “dan yang telah membuat kita menjadi suatu kerajaan” (Wahyu 1:6) dan dalam
kalimat yang berbunyi ,”dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan” (Wahyu
5:10), hendak menerangkan bahwa kerajaan Allah itu adalah gereja, warga GKPB
mengatakan ya. Menurut mereka kata “kerajaan” dalam kitab Wahyu 1:6 dan Wahyu 5:10
dikaitkan dengan Allah dan dikaitkan dengan orang-orang yang dibeli atau ditebus oleh
Yesus Kristus bagi Allah. Jadi kerajaan Allah itu adalah gereja karena yang dibeli atau
ditebus oleh Yesus Kristus bagi Allah dari segala bangsa adalah gereja itu sendiri11
.
Menjawab pertanyaan apakah ungkapan “Kerajaan Allah” dalam lagu “Sungguh Kerajaan
8Gereja Kristen Protestan Di Bali,Inti Pemahaman . . . , 28,30. Departemen Persekutuan dan
Pembinaan GKPB,Buku Pelajaran . . . , 97. 9Hasil wawancara dengan I Wayan Murdana, majelis jemaat GKPB. Sabda Bayu Singaraja
10Hasil wawancara dengan I Nyoman Tri Amerta majelis jemaat GKPB. Gunung Muria Gitgit,
Sukasada, Buleleng, Bali utara. I Gusti Putu Sukma Wibawa warga GKPB. Jemaat Yudea Padang Luwih,
Badung. 11
Hasil wawancara dengan I Wayan Agus Wiratama, pendeta GKPB. jemaat Filia Amlapura,
Karangasem, Bali timur. I Wayan Suarta, majelis jemaat GKPB Marga Pakerti Padangtawang, Canggu, Kuta
utara, Badung. Very Mou, majelis jemaat GKPB. Jemaat Yudea, Padang Luwih, Kuta utara, Badung.
230
Allah di bumi tak kalah “(Kidung Jemaat Nomer 247) mau menerangkan dan harus dihayati
bahwa kerajaan Allah itu adalah gereja, semua warga GKPB yang ditanyakan menjawab ya.
Mereka berpendapat demikian karena menurut mereka dalam lagu itu disebutkan bahwa
Yesus yang adalah kepala gereja dilantik menjadi kepala kerajaan Allah. Jadi ungkapan
“Kerajaan Allah” dalam lagu “Sungguh Kerajaan Allah di bumi tak kalah” menunjuk kepada
gereja.12
Kepada beberapa warganya yang malas bergereja dan yang kebetulan banyak
mengalami penderitaan, dan dengan maksud supaya mereka menjadi warga yang rajin
bergereja, kebanyakan para pendeta dan majelis jemaatGKPB sering merujukpada Matius
6:33 yang mengatakan : “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan KebenaranNya, maka semuanya
akan ditambahkan kepadamu, sebagai nasihat. Hal itu dilakukan karena mereka
berpandangan bahwa kerajaan Allah dan kebenaranNya harus dicari di gereja dan dengan
jalan bergereja. Gereja itulah kerajaan Allah dan di luar gereja tidak ada kerajaan
Allah.13
Ketika menjawab pertanyaan penulis apakah kerajaan sorga sama dengan sorga,
warga GKPB mengatakan bahwa kerajaan sorga tidak sama dengan sorga. Menurut mereka
kerajaan sorga adalah sebuah lembaga Allah yang ada di dunia. Sedangkan sorga dipahami
sebagai tempat dimana Allah dan orang kudus yang telah meninggal dunia bersemayam.14
Pada waktu ditanyakan apakah kerajaan sorga sama dengan kerajaan- kerajaan dunia,
dijawab bahwa kerajaan sorga tidak sama dengan kerajaan-kerajaan dunia. Kerajaan sorga
dimengerti sebagai lembaga Allah yang dipimpin oleh Allah, yang masih ada di dunia tetapi
berasal dari Allah.Sedangkan kerajaan-kerajaan dunia dimengerti sebagai kerajaan-kerajaan
yang tidak hanya berada di dunia tapi juga berasal dari dunia.15
Dalam menjawab pertanyaan
apakah kerajaan Allah sama dengan semua agama yang ada di dunia, dikatakatan bahwa
kerajaan Allahsesuai dengan kesaksian Alkitab dan dogma gereja, tidak sama dengan semua
agama yang ada di dunia. Kerajaan Allah adalah gereja itu sendiri, yaitu lembaga dimana
Allah di dalam Yesus Kristus menjadi rajanya dan orang-orang yang percaya kepadaNya
12
Hasil wawancara dengan I Nengah Jebolyasa, majelis jemaat GKPB. Katung, Bangli, Bali Timur.
I Ketut Sarjana, warga GKPB. jemaat Filia, Amlapura, Karangasem, Bali timur. I Gusti Putu Sukma Wibawa,
warga GKPB Jemaat Yudea Padang luwih, Kuta utara, Badung. Ni Ketut Lipur, warga GKPB jemaat
Blimbingsari di Salatiga 13
Hasil wawancara dengan Ni Gusti Ayu Negari, warga GKPB.Jemaat Mandira Santi Negara,
Jembrana, Bali barat. I Dewa Nyoman Sudarta, majelis jemaat GKPB Belatungan, Tabanan 14
Hasil wawancara dengan Obed Dartha, warga GKPB. Jemaat Mandira Santi Negara, Jembrana,
Bali barat. 15
Hasil wawancara dengan Hematang Jermias, warga GKPB.Jemaat Mandira Negara, Jembrana,
Bali barat
231
menjadi warganya.Sedangkan semua agama yang ada di dunia, selain agama Kristen (gereja)
dipahami bukan sebagai keluarga kerajaan Allah, sebab agama-agama tersebut tidak dipimpin
oleh Yesus Kristus dan penganut-penganutnya tidak percaya kepadaNya sebagai juru selamat
dunia.16
Pada waktu ditanyakan apakah berbuat sesuatu bagi gereja tidak berbeda dengan
berbuat sesuatu bagi kerajaan Allah, dan apakah memberitakan gereja tidak berbeda dengan
memberitakan kerajaan Allah, warga GKPB menjawab tidak, dengan alasan karena kerajaan
Allah dan gereja itu tidak berbeda. Bagi mereka apa yang kita buat bagi gereja kita buat bagi
kerajaan Allah. Memberitakan kerajaan Allah adalah memberitakan gereja.17
Ketika
ditanyakan apakah para pendeta mengajarkan dan mewariskan kepada mereka bahwa
kerajaan Allah itu sama saja dengan kerajaan dunia, dijawab tidak.Menurut mereka para
pendeta mengajarkan dan mewariskan kepada mereka bahwa kerajaanAllah adalah
pemerintahan Allah, sedangkan kerajaan dunia adalah pemerintahan dunia. Oleh karena itu
keluarga kerajaan Allah adalah orang-orang yang telah ada dalam pemerintahan Allah dalam
Kristus yaitu gereja. Orang-orang yang tidak percaya kepada Kristus yang adalah juru
selamat dan kepala gereja, belum masuk sebagai keluarga kerajaan Allah dan masih berada di
dalam kerajaan dunia. Demikian juga orang-orang yang meninggalkan imannya kepada
Kristus sebab menikah dengan orang yang tidak seiman, tidak lagi menjadi keluarga kerajaan
Allah.18
Dengan mengamati perkataan, tindak tanduk warga GKPB, penulis menemukan bahwa
dalam rangka memantapkan persekutuan keluarga kerajaan Allah di bawah terang dogma
gereja dimana gereja adalah persekutuan orang-orang yang telah diselamatkan oleh Kristus,
banyak warga GKPB menasehati anak-anaknya untuk hati-hati dan pilih-pilih kawan dalam
pergaulan agar jangan sampai menikah dengan orang lain atau orang luar yaitu orang yang
berbeda agama. Kalau ada warga jemaat yang meninggalkan imannya karena menikah,
keluarga besar dari warga tersebut sangat sedih dan sebagian besar jemaat menilai pernikahan
itu sebagai suatu kemalangan. Sebaliknya bila ada warga jemaat yang karena melalui
pernikahannya bisa membawa pasangannya menjadi warga gereja, keluarga besar dan seluruh
warga jemaat sangat bersukacita, sebab pernikahan yang demikian itu dinilai sebagai suatu
16
Hasil Wawancara dengan I Wayan Yohanes, majelis jemaat GKPB.Selabih, Tabanan, Bali. 17
Hasil wawancara dengan I Wayan Murtiyasa majelis jemaat GKPB. Blimbingsari, Melaya,
Jembrana. 18
Hasil wawancara dengan I Gusti Ketut Sudiatmika, warga GKPB, Jemaat Gunung Muria, Gitgit,
Sukasada, Buleleng, Bali utara. I Gede Sudigda, warga GKPB. jemaat Blimbingsari, Melaya, Jembrana.
232
keberhasilan, membawa seseorang dari gelap kepada terang. Berdasarkan pada penemuan ini,
penulis menafsirkan bahwa program pemantapan persekutuan keluarga kerajaan Allah GKPB
adalah sebuah pemujaan dogma gereja. Dalam memperilah dogma gereja senyatanya GKPB
tertuntun untuk memandang sesamanya manusia yang hanya karena berbeda agama, sebagai
orang lain. Dogmalatry mendiskriminasi manusia bukan menyatukan. Pemujaan terhadap
dogma gereja membentuk persekutuan gerejawi yang eksklusif dan mendominasi bukan
persekutuan gerejawi yang inklusif dan transformatif.
VII.A.1.c. Program Dan Motif Pemantapan Kekudusan Dan Ketertiban Gereja
Dalam menelisik program pemantapan kekudusan dan ketertiban gereja, penulis
menemukan bahwa GKPB menetapkan tata gereja dan peraturan gereja dimana beberapa
pasal darinya merupakan hukum gereja yang berpotensi dijadikan instrumen untuk memenuhi
hasrat pribadi warga gereja untuk mendishumanisasi dan menstigmatisasi warga gereja.19
Majelis sinode dan majelis jemaat menerapkan beberapa pasal tata gereja dan peraturan
gereja dengan sangat keras kepada beberapa pekerja, pejabat dan warga gereja tertentu.
Kepada beberapa pekerja dan pejabat gereja yang secara resmi sampai dibahas ditetapkan
melakukan pelanggaran terhadap tata gereja dan peraturan gereja, dijatuhi masa pendisiplinan
berupa tidak boleh menerima sakramen perjamuan kudus dan dibebastugaskan, dan tidak
diperbolehkan menjadi pejabat gereja dalam waktu tertentu. Kepada beberapa warga gereja
yang tidak menghadiri dan tidak menerima kegiatan-kegiatan gerejawi secara berturut-turut
dalam kurun waktu setahun diposisikan dan didaftar sebagai warga gereja tidak aktif.
Mencermati perkataan, bahasa tubuh, dan sikap majelis sinode, majelis jemaat dan
warga jemaat; baik dari pihak yang menjatuhi pendisiplinan maupun dari pihak mereka yang
dijatuhi pendisiplinan, baik dari mereka yang menyebut sesamanya sebagai warga gereja non
aktif maupun dari mereka yang ditulis namanya dalam buku induk sebagai warga gereja tidak
aktif, penulis berinterpretasi bahwa masa pendisplinan dan penertiban itu sekalipun dalam
tata gereja dan peraturan gereja disebut sebagai masa gereja melakukan pembinaan,20
namun
dalam penerapannya adalah lebih banyak ditungngangi oleh mens rea warga gereja, untuk
menghakimi, meremehkan, melukai bahkan menghancurkan sesamanya yang dikenakan
pendisiplinan.
19
Gereja Kristen Protestan di Bali,Tata Gereja GKPB(Mangupura: Percetakan MBM,2006),7. Lihat
juga Gereja Kristen Protestan di Bali,Peraturan GKPB (Mangupura: Percetakan MBM,2007),12-14. 20
Ibid.,7.
233
Analisa penulis mendapat pembenaran ketika atas pertanyaan penulis bagaimana
pelaksanaan pendisiplinan dijalankan di GKPB, beberapa pekerja dan warga GKPB
mengatakan bahwa penerapan pendisiplinan di GKPB tidak banyak berupa pengembalaan,
tetapi justru lebih banyak bersifat dan berbentuk pendishumanisasian dan penstigmatisasian
sesama manusia yang ditetapkan bersalah sebagai orang yang harus dijauhi dan dilepaskan
dari gereja. Oleh karena begitu rupa dan praktek pendisiplinan, maka tidak sedikit pekerja,
pejabat dan warga gereja yang setelah mendapat perlakukan seperti itu dari gereja dalam
menjalani masa pendisiplinan, bukan menjadi warga yang mendekatkan diri ke gereja malah
menjauhkan diri dari gereja.21
VII.A.1.d. Program Dan Motif Penerapan Fungsi Jabatan Gerejawi
GKPB menetapkan lima jabatan gerejawi yang berfungsi untuk mengatur kehidupan
gereja yaitu: bishop, pendeta, penatua, diaken dan penginjil.22
Dalam meneliti program
penerapan fungsi jabatan gerejawi, penulis menemukan bahwa dalam setiap upacara
gerejawi, warga gereja yang berjabatan gerejawi mengenakan pakaian dan atribut yang
khusus serta duduk atau berdiri di tempat yang khusus pula. Warga gereja yang berjabatan
bishop memegang tongkat, mengenakan jubah yang berbeda dengan jubah pendeta dan
berkalung salib emas lagi besar, sementara pendeta berkalung salib dari perak dan dalam
ukuran lebih kecil. Pada waktu ada warga jemaat biasa meninggal dunia, ia dikubur oleh
pendeta setempat. Tetapi ketika ada warga jemaat dari keluarga pendeta yang meninggal, ia
dikubur oleh bishop. Upacara pernikahan warga jemaat biasa dilayankan oleh pendeta
setempat, sedangkan upacara pernikahan pendeta atau vikaris dilayankan oleh bishop. Pada
waktu ada upacara-upacara seperti pemakaman pendeta dan pentahbisan vikaris ke dalam
jabatan pendeta, selalu ada prosesi para pendeta dengan mengenakan pakaian seragam,
berkalungkan salib dan mereka juga duduk berpisah dari warga jemaat lain yang disebutnya
warga jemaat biasa.
Berdasar pada realita tersebut di atas, penulis berinterpretasi bahwa program penerapan
fungsi jabatan gerejawi di GKPB membuat warga gereja: Pertama, memandang spiritualitas
gerejawi itu lebih sebagai upacara yang bersifat ritualistik daripada sebuah perilaku dan
kinerja yang bersifat humanis. Kedua, membentuk warga gereja melihat organisasi gerejawi
21
Hasil wawancara dengan I Wayan Yasa, Hengki Henkrisliono, I Wayan Gari Viryadama. 22
Gereja Kristen Protestan di Bali,Tata Gereja Pasal 78 ayat 2(Mangupura:Percetakan
MBM,2006),12.
234
itu lebih sebagai lembaga keagamaan yang berstruktur hirarkhis daripada sebagai lembaga
keagamaan yang bersifat egaliter. Dalam interpretasi penulis, program penerapan fungsi
jabatan gerejawi di GKPB menuntun warga GKPB untuk melihat keberagamaan itu sebagai
kegiatan yang bersifat formalistik, ornamental dan show off, sehingga lebih mementingkan
uniformity ketimbang unity; dan organisasi gerejawi itu sebagai lembaga keagamaan yang
berstruktur hirarkis dari pada sebagai lembaga keagamaan yang berstruktur non hirarkis,
sehingga sangat mendiskriminasi warga gereja dan bukan mensederajatkannya.
Interpretasi penulis menampak tervalidasi ketika terhadap pertanyaan penulis, untuk
siapa kira-kira para warga gereja yang berjabatan gerejawi dengan segala seragam dan atribut
jabatannya melayankan dan terlibat dalam upacara-upacara gerejawi, beberapa warga gereja
mengatakan bahwa itu semua dilakukan bukan sebagai sebuah tindakan kemanusiaan, tetapi
sebagai sebuah tindakan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Sebagai contoh, demikian
kata para informan, pada waktu koleganya masih hidup, tidak jarang ia mendapat perlakuan
yang melukai batinnya justru dari para koleganya. Pada waktu kawan sekerjanya jatuh sakit
sampai masuk rumah sakit berulangkali, mereka tidak mengunjungi apalagi memberi
bantuan. Tetapi ketika koleganya telah menjadi jenasah, mereka datang dengan pakaian
seragam dan bermuka duram durja, seolah-olah mereka sangat sayang kepada koleganya,
padahal motif mereka berbuat demikian, sebatas hanya untuk menunjukkan kepada publik
bahwa mereka kaum rohaniwan-rohaniwati yang mempunyai solidaritas.23
VII.A.1.e. Program Dan Motif Pemantapan Persekutuan Dengan Gereja-Gereja Di Bali
Dalam meneliti program pemantapan persekutuan warga GKPB dengan gereja-
gereja yang ada di Bali, penulis menemukan bahwa majelis sinode GKPB melalui
departemen persekutuan dan pembinaan GKPB senantiasa mempelopori dan mengajak
jemaat-jemaat GKPB untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan oleh lembaga persekutuan gereja-gereja Protestan yang ada di daerah
provinsi Bali, yang bernama Musyawarah Pelayanan Antar Gereja (MPAG),24
yaitu sebuah
lembaga yang nampaknya memang dikehendaki oleh kementrian agama,25
baik di tingkat
23
Hasil wawancara dengan Dwi Adnyana, Anik Yuesti, I Nyoman Rubin, I Nyoman Sukarya, I Made
Sukariata, Ni Komang Ester, Ni Gusti Ratna. 24
MPAG,Pedoman Dasar Musyawarah Pelayanan Antar Gereja Propinsi Bali (Denpasar:tanpa
penerbit,2010),1. 25
Sebagai bukti MPAG lembaga yang dikehendaki oleh pemerintah, ia melalui kementrian agama
kantor wilayah provinsi Bali mendaftarkan MPAG sebagai lembaga resmi keagamaan umat Kristen Protestan
235
provinsi maupun tingkat kabupaten dan kodya. Sebagaimana terbaca dalam buku “Pedoman
Dasar MPAG Provinsi Bali”, penulis juga menduga bahwa seluruh gereja-gereja anggota
MPAG menyadari bahwa: Pertama, mereka adalah orang-orang yang dipanggil oleh satu juru
selamat yaitu Yesus Kristus, sehingga mereka bertekad untuk merealisasikan tri panggilan
gereja bersekutu, melayani dan bersaksi secara bersama-sama. Kedua, mereka menyadari
bahwa ia bukan saja warga-warga kerajaan Allah tetapi juga adalah warga Indonesia yang
berazaskan Pancasila, sehingga mereka juga bertekad untuk mewujudkan tri kerukunan umat
beragama.26
Dalam mengamati perjalanan pimpinan GKPB dan jemaat-jemaat GKPB dalam
mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh MPAG seperti rapat pengurus
MPAG untuk mencari solusi bersama atas masalah-masalah gerejawi yang mereka hadapi,
kebaktian Natal bersama dan kebaktian kebangunan rohani, dan berdasarkan informasi dari
beberapa informan,27
penulis mendapat kesan bahwa konten dari partisipasi GKPB dalam
kegiatan-kegiatan MPAG yang dimaksudkan sebagai pemantapan persekutuan GKPB dengan
gereja-gereja Protestan, baru sebatas upaya untuk saling mengenal akan keberadaan masing-
masing gereja. Kegiatan-kegiatan dengan konten seperti itu, dalam perkiraan penulis banyak
menguras tenaga dan waktu gereja-gereja anggota MPAG, untuk mendisain acara-acara dan
liturgi yang merepresentasikan dan mengakomodir tradisi masing-masing gereja. Penulis
berkira demikian, karena dalam pengamatan penulis, masing-masing gereja anggota MPAG
dalam setiap kegiatan MPAG, memiliki kepentingan yang bersifat denominasi sentris, berupa
keperluan untuk diterima dan diakui keberadaannya.
Mencermati kegiatan persekutuan gerejawi yang GKPB ikuti dalam MPAG seperti
terurai di atas, kualifikasi dari program pemantapan persekutuan GKPB dengan gereja-gereja
di Bali dalam interpretasi penulis, justru adalah sebuah partisipasi GKPB yang mendukung
kepentingan gereja-gereja melalui lembaga MPAG untuk mendapat pengakuan dan legitimasi
sebagai gereja dari sesama komunitas Kristiani, masyarakat dan pemerintah. Dalam
keadaannya yang demikian, GKPB belum mempunyai upaya, daya dan jalan konkrit untuk
mengajak gereja-gereja dalam wadah MPAG Bali mengembangkan makna persekutuan
gereja-gereja MPAG dalam perspektif Pancasila, yaitu persekutuan gereja-gereja MPAG
dan kadang-kadang melalui Pembimas Kristen Protestan memfasilitasi kegiatan-kegiatan MPAG. Pada tahun
2016 ada 55 gereja (denominasi)Protestan di Bali yang menjadi anggota MPAG Bali. 26
MPAG,Pedoman Dasar . . . , pengantar. 27
I Ketut Suyaga Ayub, I Nengah Ripa, I Nyoman Sukaya, I Made Putra Wibawa, I Wayan
Damyana, Pieter Lestuny.
236
yang mencintai dan merawat keindonesiaan, padahal lembaga ini menyatakan bahwa ia
berazaskan Pancasila. Interpretasi penulis dibenarkan oleh pendeta GKPB Januar Togatorop
Simatupang yang menjadi Pembimas KristenProtestan pada Kantor Kementrian Agama
Wilayah Provinsi Bali. Dengan merujuk buku Pedoman Dasar MPAG Bali,28
dia mengatakan
setiap gereja anggota MPAG Bali tidak terkecuali GKPB memang hanya dipanggil untuk
mengakui, menerima dan menghormati perbedaan doktrin dan keberadaan masing-masing
gereja. Lebih jauh dia mengatakan, pengurus MPAG pun tidak diperbolehkan sehingga tidak
dibenarkan mencampuri urusan rumah tangga masing-masing gereja.29
VII.A.1.f. Program Dan Motif Pemantapan Hubungan Gereja Dengan Masyarakat
Dalam menelisik program pemantapan relasi gereja dengan masyarakat, penulis
menemukan bahwa majelis sinode melalui departemen persekutuan dan pembinaan GKPB
dan para pendeta GKPB selalu mengedukasi dan mengajak jemaat-jemaat untuk membangun
relasi yang baik dengan masyarakat melalui etika gerejayang baik. Dengan maksud untuk
menciptakan relasi yang baik dengan masyarakat, tidak sedikit jemaat-jemaat GKPB
melakukan kunjungan rumah dan membawa dana aksi sosial (uang diakonia) kepada warga
masyarakat yang tengah menderita sebagaimana mereka perbuat kepada warga jemaat. Masih
terkait dengan upaya menciptakan relasi yang baik dengan masyarakat, hampir semua jemaat-
jemaat GKPB melakukan kunjungan pelayatan dan membawa “uang tali kasih” atau
“bingkisan belasungkawa” kepada anggota masyarakat yang berduka atas kematian sanak
saudaranya, seperti yang mereka lakukan kepada anggota jemaat.
Dalam mencermati apa yang dikatakan, gerak-gerik dan mimik, serta tindakan yang
dilakukan oleh jemaat-jemaat GKPB ketika melakukan kedua jenis kegiatan yang
dimaksudkan untuk pemantapan hubungan baik jemaat dengan masyarakat seperti tersebut di
atas, penulis berasumsi bahwa dalam membangun relasi harmonis gereja dengan masyarakat,
ternyata hubungan jemaat dengan masyarakat substansinya sangat berbeda dengan relasi
jemaat dengan sesama warga jemaat. Bertolak dari data yang faktual ini, penulis menafsirkan
bahwa walaupun dalam program pemantapan hubungan jemaat dengan masyarakat,etika
28
Januar Togatorop Simatupang merujuk Pedoman Dasar MPAG Bali BAB III Saling Mengakui Dan
Saling Menghormati, pada pasal 7 yang berbunyi “Anggota MPAG saling mengakui dan saling menghormati
doktrin setiap anggotanya”, pada pasal 9 yang berbunyi “Anggota MPAG saling mengakui dan saling menerima
keberadaan dan perbedaan masing-masing anggota. Dan pada pasal 11 yang mengatakan: “MPAG tidak
mencampuri urusan rumah tangga masing-masing anggotanya”. 29
Hasil wawancara dengan Januar Togatorop Simatupang pada hari Senin 12 Desember 2016.
237
jemaat-jemaat GKPB ternyata diskriminatif. Mereka melihat dan memperlakukan antara
warga gereja dengan warga masyarakat sebagai saudara-saudara yang berbeda.
Interpretasi penulis seperti termaksud di atas, tidak keliru setelah mendengar jawaban
beberapa orang atas pertanyaan yang penulis kemukakan. Ketika penulis menanyakan apakah
kunjungan dan pemberian uang diakonia yang jemaat-jemaat GKPB lakukan terhadap
anggota masyarakat, substansinya sama dengan kunjungan dan pemberian diakonia yang
jemaat-jemaat lakukan kepada anggota gereja, semua informan sejumlah 8 orang dari
masing-masing majelis wilayah menjawab hal itu tidak sama. Menurut mereka, kunjungan
dan pemberian uang diakonia ke warga jemaat dilakukan sebagai tanda persaudaraan di
dalam Tuhan. Sedangkan kunjungan dan pemberian uang diakonia kepada anggota
masyarakat dilakukan untuk memperkenalkan kasih Yesus kepada masyarakat.30
Selanjutnya dalam menjawab pertanyaan apakah pelayatan dan pemberian “uang tali
kasih” yang jemaat-jemaat GKPB lakukan terhadap sesama warga jemaat itu, sama
substansinya dengan yang diperbuat jemaat untuk warga masyarakat, semua informan
sejumlah 8 orang perempuan dari masing-masing wilayah pelayanan GKPB menjawab bahwa
hal itu berbeda. Menurut mereka pelayatan ke warga jemaat adalah pelayatan dimana warga
jemaat berperan sebagai tuan rumah yakni menyambut dan melayani para pelayat,
mengusahakan dan menyediakan segala yang diperlu sebagai tanda jemaat satu saudara
dengan keluarga yang berduka. Sedangkan dalam pelayatan dan pemberian “uang tali kasih”
kepada warga masyarakat dikatakan oleh mereka bahwa dalam pelayatan itu jemaat hanya
berperan sebagai hadirin saja, dan “bingkisan belasungkawa” yang diberikannya itu sebagai
tanda empati semata.31
30
Hasil Wawancara dengan I Gusti Ngurah Suryawan(Wilayah Buleleng),I Made Suarna (Wilayah
Jembrana), I Wayan Ardana (Wilayah Tabanan), I Made Widiadana (Wilayah Badung utara), I Nyoman Subaga
(Wilayah Badung Selatan), I Nyoman Jefri Sutarsa (Wilayah Kota Denpasar), I Wayan Sutarja (Wilayah Bali
timur laut), I Nyoman Wira Saputra(Wilayah Bali timur ). 31
Hasil wawancara dengan: Ni Luh Mastri (Wilayah Badung selatan),Rai Suryawati (Wilayah
Badung utara), Sri Rejeki (Wilayah kota Denpasar), Ni Luh Susanti (Wilayah Tabanan ),Ni Luh Mudrasih
(Wilayah Buleleng), Ni Wayan Sumarni (Wilayah Jembrana), Endang Pasaribu (Wilayah Bali timur laut),
Yanik Yasmini ( Wilayah Bali timur ).
238
VII.A.1.g. Program Dan Motif Penciptaan Upacara-Upacara Gerejawi Yang Kreatif
Membaca Buku Arah Pelayanan GKPB periode 2012-2016,32
penulis menemukan
bahwa program penciptaan upacara-upacara gerejawi kreatif dicanangkan oleh GKPB
dengan tujuan agar ibadah-ibadah yang diselenggarakan oleh jemaat-jemaat menjadi berkat
bagi masyarakat, menarik, kontekstual, sesuai dengan situasi dan kondisi dimana upacara itu
dilayankan.Tujuan yang demikian ini dipandang sangat relevan karena beberapa jenis
upacara gerejawi seperti ibadah peneguhan nikah, ibadah memasuki rumah baru dan ibadah
pemakaman, tidak hanya dihadiri oleh umat kristiani saja, tetapi juga oleh umat beragama
lain dan pada umumnya dalam jumlah yang tidak sedikit.
Menelisik empat kali upacara peneguhan nikah dan mengobservasi dua kali kebaktian
pemakaman di jemaat-jemaat GKPB dalam kurun waktu tujuh bulan terhitung dari 5 Agustus
2016 sampai dengan 24 Pebruari 2017, penulis menemukan hal-hal sebagai berikut: Pertama,
warga jemaat duduk berkelompok dengan sesama warga jemaat. Kedua, semua warga jemaat
memegang buku liturgi beserta lagu-lagu yang dinyanyikan dalam ibadah, sedangkan
sebagian besar umat beragama lain tidak diberi liturgi. Ketiga, warga jemaat menyanyi
dengan suara keras karena mereka sudah terbiasa menyanyikan lagu-lagu yang tersedia. Umat
beragama lain diam karena tidak mengenal lagu-lagu yang dinyanyikan jemaat. Keempat,
pendeta berkhotbah dengan sangat semangat tentang “kebahagiaan hidup orang percaya
kepada Kristus”. Kelima, kebanyakan umat beragama lain menampakkan wajah kebingungan
karena merasa asing dan karena sama sekali tidak bisa menikmati isi ibadah. Berdasarkan
pada temuan-temuan seperti tersebut di atas, penulis menafsir bahwa GKPB sekalipun
berpayungkan pada tema bertumbuh bersama masyarakat, dan walaupun berprogram supaya
upacara-upacara gerejawi itu kontekstual, ternyata ibadah GKPB sangat bercorak eksklusif
dan menginjili, sehingga memisahkan dan menggurui, bukan merangkul apalagi
mempersekutukan antara warga jemaat dan warga masyarakat.
Interpretasi penulis sebagaimana tergambar di atas, menampak tidak salah ketika dua
pendeta dan satu orang majelis jemaat atas pertanyaan penulis kenapa gereja dalam
kebaktian-kebaktian yang dihadiri oleh banyak umat beragama lain, tidak membuat liturgi
yang berkarakter humanis saja, mengatakan bahwa justru ketika banyak orang dari umat
beragama lain hadir dalam kebaktian Kristen, gereja harus memakai kesempatan itu untuk
32
Gereja Kristen Protestan Di Bali, Arah Pelayanan GKPB Periode 2012-2016,
(Mangupura:Percetakan MBM,2012), 3-4.
239
mengkumandangkan keunikan dan keunggulan ajaran-ajaran Kristen lewat lagu-lagu, doa dan
khotbah, supaya mereka boleh mendengar dan menjadi percaya.33
Jemaat-jemaat GKPB dan
masyarakat Bali sebenarnya memiliki banyak lagu dan ceritera daerah yang sarat dengan
nilai-nilai kemanusiaan. Bila saja jemaat-jemaat GKPB mengkomposisi semua itu dalam
ibadah-ibadah mereka yang dihadiri oleh umat beragama lain, sangat bisa jadi ibadah jemaat
itu akan menjadi ibadah bersama yang sangat mempersekutukan masyarakat.
VII.A.1.h. Program Dan Motif Pemantapan Hubungan Gereja Dengan Agama-Agama
Lain
Dalam mengobservasi program pemantapan hubungan gereja dengan agama-agama
lain, penulis menemukan bahwa majelis sinode melalui departemen persekutuan dan
pembinaan GKPB mengkondisikan para pendeta yang bekerja di tingkat sinode menjadi
pengurus Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) tingkat provinsi, dan para
pendeta yang menjadi pengurus wilayah menjadi pengurus Komunikasi Antar Umat
Beragama tingkat kabupaten. FKUB Bali adalah wadah yang dibentuk pemerintah Bali
melalui kementerian agama republik Indonesia kantor wilayah provinsi Bali dengan
menempatkan lima orang dari masing-masing agama duduk sebagai pengurusnya. Sebagai
hasil bentukan pemerintah yang mendapat sambutan dari agama-agama, kegiatan FKUB
difasilitasi dan diarahkan tujuannya oleh pemerintah, yakni untuk membantu pemerintah
menciptakan masyarakat beragama yang hidup berdampingan rukun. Sesuai dengan nama
dan peruntukannya, FKUB selalu menjadi jalan bagi pemerintah berkomunikasi dan
membuat masing-masing agama melalui perwakilannya saling berdialog dalam sebuah
forum, untuk membahas peristiwa yang akan terjadi dan masalah yang telah terjadi, guna
untuk menciptakan adanya harmoni di antara umat beragama.
Mengamati model dialog FKUB provinsi dan kabupaten/kodya yang ada di Bali,
berupa diskusi berbagi pemahaman terhadap suatu topik dari sudut pandang masing-masing
agama, dan mencermati beberapa materi dialog yang disampaikan oleh para pendeta GKPB
di tingkat provinsi dan kabupaten/kodya, penulis menafsirkan bahwa dalam dialog-dialog
FKUB, GKPB yang berprogram untuk memantapkan hubungan baik dengan agama-agama
lain, ternyata hanya mengulang atau menegaskan apa yang sesungguhnya telah merupakan
ketetapan atau kebenaran konstitusional yaitu kebhinneka tunggal ikaan agama-agama
33
I Made Sukarta, pendeta GKPB. jemaat Kaba-Kaba, Tabanan. Pieter Lestuny, pendeta GKPB.jemaat
Yudea Padang Luwih, I Wayan Sudarma, majelis jemaat GKPB. Suluh Kasih Tibu Biu, Tabanan.
240
Indonesia, dan seraya dengan dengan itu melakukan pemberitaan yang bersifat apologetik
atas kekristenan. Interpretasi penulis ini menampak benar, ketika empat informan yaitu para
pimpinan dan pendeta GKPB yang kerap menjadi pembicara dalam dialog antar agama,
mengatakan bahwa dalam paper-paper dialognya, mereka selalu hanya berangkat dari Alkitab
sehingga memilih dan mengurai teks-teks Alkitab yang dipandangnya mendukung hubungan
antar agama dan yang diduganya membentangkan keunggulan kekristenan.34
Di mata penulis, program pemantapan hubungan gereja dengan agama-agama lain,
yang dibangun berdasarkan pada gaya dialog yang melihat keindonesiaan itu atau kebhinneka
tunggal ikaan agama itu, dari sudut pandang agama masing-masing, memperlihatkan bahwa
keindonesiaan itu, atau Pancasila itu, seolah-olah belum final atau belum menjadi sebuah
ideologi atau konstitusi bangsa. Padahal kebhinneka tunggal ikaan agama-agama itu sudah
final dalam ideologi dan konstitusi Indonesia. Artinya ajaran dari semua agama sudah
terakomodasi dalam Pancasila dan UUD’45. Oleh karena begitu keadaannya, maka dalam
rangka memantapkan hubungan dengan agama-agama lain yang otentik dan juga dalam
rangka memajukan kualitas hubungan dengan agama-agama lain, yang mensejahterakan
bangsa, GKPB semestinya mempelopori gerakan untuk menginovasi model gaya dialog
FKUB, bukan lagi membahas tujuan kerukunan dari sudut pandang masing-masing agama
yang pada memiliki titik tengkar, tetapi justru melihat keberadaan masing-masing agama dari
perspektif titik temu yang mendamaikan yaitu konstitusi.
Menurut penulis dialog yang melihat keindonesiaan dari perspektif Alkitab, membuka
ruang bagi gereja untuk tergoda melakukan apologetik, dimana sifat itu pada umumnya tidak
mendukung upaya penciptaan hubungan baik dengan agama-agama. Sedangkan dialog yang
melihat Alkitab atau dogma gereja dari perspektif Pancasila, sangat bisa jadi akan membantu
gereja untuk berbuka diri, berintrospeksi diri dan bertransformasi diri dalam beretika dan
berupacara, dimana perilaku demikian dalam imaginasi penulis, akan sangat kondusif dalam
penciptaan hubungan baik dengan agama-agama lain.
34
Hasil wawancara dengan I Ketut Suyaga Ayub, I Wayan Damayana, I Nengah Ripa, I Nyoman
Yohanes.
241
VII.A.1.i. Program Dan Motif Pemantapan Hubungan Gereja Dengan Negara Dan
Bangsa
Dalam mengobservasi program pemantapan hubungan gereja dengan negara, penulis
menemukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, jemaat-jemaat GKPB secara institusional selalu
mengindahkan setiap undangan dan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Kedua, jemaat-
jemaat GKPB senantiasa mengundang para pemerintah untuk menghadiri upacara-upacara
peringatan hari raya gerejawi yang mereka selenggarakan dan mereka sangat senang sekali,
ketika para pemerintah bisa memenuhi undangan itu. Ketiga, jemaat-jemaat GKPB sangat
bangga sekali ketika dalam setiap upacara-upacara gerejawi, para pemerintah menyampaikan
bahwa agama Kristen adalah salah satu dari agama resmi Indonesia yang dilindungi oleh
negara dan yang diharap peran sertanya bersama dengan agama-agama lain dan pemerintah
dalam menyukseskan pembangunan nasional. Keempat, kehadiran para pemerintah dan
pernyataan mereka tentang keberadaan gereja sebagai bagian integral yang diperlu oleh
negara dan bangsa, oleh jemaat-jemaat GKPB dinilai sebagai penentu atau puncak
keberhasilan sebuah upacara gerejawi.
Dalam mencermati perkaataan jemaat-jemaat GKPB, penulis menemukan bahwa
mereka mengenal semua hari raya nasional seperti: 2 Mei hari pendidikan nasional, 20 Mei
hari kebangkitan nasional, 17 Agustus hari proklamasi kemerdekaan Indonesia, 28 Oktober
hari sumpah pemuda, 10 Nopember hari pahlawan, dan 20 Nopember hari peringatan puputan
Margarana. Mendengar perkataan jemaat-jemaat GKPB penulis juga menemukan bahwa
tidak sedikit diantara mereka mengetahui lagu-lagu kebangsaan seperti: Indonesia Raya, Satu
Nusa Satu Bangsa, Padamu Negeri, Maju Tak Gentar, Garuda Pancasila, Dari Sabang
sampai Merauke. Namun dalam mengamati tindakan jemaat-jemaat GKPB, penulis
menemukan bahwa di gereja mereka hanya menyelengarakan upacara peringatan hari
proklamasi kemerdekaan Indonesia, dalam sebuah kebaktian minggu pada tanggal yang
bersamaan atau berdekatan dengan 17 Agustus. Peringatan itupun dibuat sangat sederhana.
Mereka hanya menyanyikan lagu Indonesia Raya saja, lalu menaikkan doa syukur atas
kemerdekaan Indonesia. Peringatan yang sangat sederhana itu disisipkan dalam liturgi
minggu. Jemaat-jemaat tidak membuat tata ibadah khusus untuk peringatan kemerdekaan
Indonesia.
Berdasarkan pada temuan-temuan di atas, penulis menafsir bahwa melalui program
pemantapan hubungan gereja dengan negara dan bangsa, ternyata keinginan GKPB lebih
242
banyak untuk mendapat pengakuan dan legitimasi diri dari negara dan bangsa, daripada untuk
menggelorakan semangat kebangsaan warga jemaat dan kecintaan warga jemaat akan tanah
air. Analisa penulis bahwa program GKPB dalam pemantapan hubungan gereja dengan
negara dan bangsa bermotifkan untuk mendapat pengakuan dan legitimasi diri, mendapat
pembenaran ketika beberapa informan atas pertanyaan penulis mengapa pemerintah diundang
dan dimintakan memberi sambutan dalam upacara-upacara gerejawi, mengatakan bahwa
pemerintah diundang supaya pemerintah yang adalah penguasa negara dan pengayom
masyarakat bisa mengenal lalu memperhitungkan keberadaan gereja.35
Interpretasi penulis bahwa pelaksanaan program GKPB dalam pemantapan hubungan
gereja dengan negara dan bangsa, tidak banyak bertujuan untuk membangkitkan semangat
nasionalisme dan kecintaan akan tanah air. juga mendapat pembenaran ketika beberapa
informan atas pertanyaan penulis mengapa peringatan hari proklamasi kemerdekaan
Indonesia sangat sederhana dan mengapa GKPB tidak memperingati hari-hari raya nasional
lainnya, mengatakan bahwa urusan inti gereja yang adalah lembaga keagamaan berbeda
dengan urusan inti negara dan bangsa yang adalah lembaga politik. Mendengar jawaban para
informan seperti tersebut di atas, penulis juga berinterpretasi bahwa GKPB walaupun
mempunyai program pemantapan hubungan gereja dengan negara dan bangsa, ternyata
warganya belum melihat Indonesia itu sebagai karya keselamatan Allah buat seluruh rakyat
Indonesia.
Analisa penulis seperti termaksud di atas, tidak meleset ketika beberapa warga GKPB
atas pertanyaan penulis apakah lembaga gereja itu berbeda sekali dengan negara dan bangsa,
memberi jawab bahwa gereja itu sangat berbeda dengan bangsa. Gereja itu adalah lembaga
keagamaan hasil karya keselamatan Allah di dalamYesus. Sedangkan bangsa adalah lembaga
politik hasil perjuangan para pahlawan bangsa. Lebih jauh mereka mengatakan urusan inti
gereja sebagai lembaga rohani harus lebih banyak memberitakan tentang karya keselamatan
Allah di dalam Yesus. Olehnya, hal-hal yang menyangkut negara dan bangsa tidak perlu
banyak dibahas apalagi diupacarakan di dalam gereja, tegas mereka.36
Penyebab dari realita
ini, sebagaimana ditemukan dalam pemeriksaan penulis atas dokumen-dokumen pengajaran
35
Ni Nyoman Switrini warga GKPB. Jemaat Mandira Santi negara Jembrana Bali barat. Ni Luh Erni
Kesuma wati warga GKPB. Jemaat Bukit Palma Sanggulan Tabanan. Yohanes Ano majelis jemaat GKPB
Mandira Asih, Tegal Badeng, Jembrana, Bali barat. Ni Luh Mudrasih warga GKPB. Jemaat Sabda Bayu
Singaraja, Bali utara. 36
I Ketut Lias Wirawantha warga GKPB. Jemaat Efrata Buduk, Mengwi, Badung. I Gusti Made
Samekto Putra, majelis jemaat GKPB Kristus Kasih Denpasar. I Made Wibawa warga GKPB. jemaat Gabriel
Pegending, Dalung, Kuta utara, Badung, I Gusti Ngurah Ketut Jaya Puta Majelis Jemaat GKPB Piling, Tabanan.
243
GKPB seperti Inti Pemahaman Iman dan Buku Katakesasi, nampaknya karena GKPB sendiri,
memang belum merumuskan secara iman Indonesia itu sebagai karya keselamatan Allah bagi
seluruh rakyat Indonesia.
VII.A.1.j.Program Dan Motif Partisipasi Pembentukkan Gereja Kristen Indonesia
YangEsa
Dalam meneliti program partisipasi GKPB dalam pembentukkan gereja Kristen
protetan Indonesia, penulis menemukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, kata Di dalam
nama Gereja Kristen Protestan Di Bali sekalipun tidak muncul dalam singkatannya (GKPB)
sangat ditekankan oleh para pemimpin dan pekerja GKPB ketika mereka berbicara atau
memperkenalkan GKPB. Kedua, warga GKPB, para pendeta GKPB dan para pekerja GKPB
lainnya tidak hanya terdiri dari suku Bali saja, tetapi dari berbagai suku yang ada di Indonesia
bahkan juga ada beberapa orang yang berasal dari negara-negara di luar Indonesia. Ketiga,
suku Bali yang beragama Kristen Protestan di luar wilayah provinsi Bali seperti di wilayah
Provinsi Sulawesi Tengah, di wilayah provinsi Sumatera Selatan, di wilayah provinsi
Bengkulu, di wilayah provinsi Sulawesi Tenggara jumlahnya lebih banyak daripada seluruh
warga GKPB, namun GKPB dari dulu dan khususnya pada periode pelayanan 2012-2016,
tidak pernah berikhtiar untuk mendirikan GKPB di luar wilayah provinsi Bali. Keempat, suku
Bali yang beragama KristenProtestan yang menggereja di wilayah mereka tinggal, khususnya
di daerah-daerah transmigrasi cendrung untuk menetap di sana, bekerja optimal membangun
diri dan negeri, sampai ajal menjemput mereka.
Interpretasi penulis atas hasil temuan tersebut di atas ialah GKPB memiliki sikap politis
bahwa warga gereja Kristen Protestan dari manapun ia berasal harus melebur diri dan
menyatu dengan gereja Kristen Protestan di suatu wilayah Indonesia dimana dia tinggal,
untuk memperkuat gereja Kristen Protestan pada tingkat wilayah, dalam rangka menciptakan
gereja Kristen Protestan Indonesia yang bersatu dan kuat di tingkat nasional, seraya dengan
itu pula memperkuatwawasan kebangsaan dari warga gereja. Interpretasi bahwa GKPB
berpandangan “memperkuat gereja KristenProtestan di wilayah akan membantu gereja-gereja
KristenProtestan Indonesia menjadi gereja-gereja bersatu dan kuat di tingkat nasional”,
menampak benar, karena beberapa informan ketika penulis menanyakan pandangan mereka
tentang beberapa gereja anggota Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) yang
mendirikan gereja di beberapa wilayah Indonesia, mengatakan bahwa itu adalah tindakan
yang hanya mementingkan diri sendiri, namun tidak memperkuat gereja KristenProtestan di
244
wilayah, sehingga olehnya juga cita-cita didirikannya Dewan Gereja Indonesia (DGI) kini
PGI pada tahun 1950 agar gereja-gereja Kristen Protestan di seluruh wilayah Indonesia,
bukan hanya sekedar membentuk hubungan kerjasama gereja-gereja Indonesia seperti yang
terjadi sekarang ini, namun bersatu menjadi gereja-gereja Kristen Protestan di tingkat
nasional, menjadi semakin kabur.37
Analisa penulis bahwa GKPB berpandangan dan berprediksi “dengan menyatu dan
melebur diri dalam memperkuat gereja Kristen Protestan di sebuah wilayah Indonesia, akan
memperluas wawasan kebangsaan warga gereja”, menampak benar pula karena atas
pertanyaan penulis kepada empat suku Bali yang menjadi warga gereja di wilayah
transmigrasi “mengapa tidak pulang saja ke Bali lagi, karena Bali sekarang sudah sangat
maju sekali”, mengatakan bahwa mereka memang tidak lupa Bali, tetapi mereka tidak punya
keinginan untuk pulang ke Bali. Kalaupun mereka ke Bali hanya sebentar saja untuk tujuan
menegok keluarga dan berobat kalau sakit. Sesudah itu mereka ingin cepat-cepat pulang ke
rumah mereka. Daerah dimana mereka kini tinggal, menjadi rumah mereka. Mereka tidak
merasa asing sebaliknya sangat kerasan di sana karena tanah dan air di sana sama dengan
tanah dan air yang ada di Bali yakni bagian dari Tanah Air Indonesia, yaitu sama-sama
memberi mereka penghidupan, tempat mereka berbakti kepada ibu pertiwi, tempat mereka
belajar hidup bersama dengan orang-orang dari berbagai suku, ras dan agama, tempat mereka
beranak pianak, tempat perlindungan mereka di hari tua sampai mereka menutup mata.38
VII.A.2. Program Dan Motif Misi GKPB Periode 2012-2016 Pada Bidang Pelayanan
Dalam mengeksekusi misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang Pelayanan,
majelis sinode GKPB melalui departemen pelayanan dan usaha menuangkan misinya itu ke
dalam beberapa mata program. Tidak semua program itu dikemukakan di sini. Yang
dibicarakan di sini, hanya beberapa mata program yang pelaksanaannya diduga bermasalah
ketika dikaji dari perspektif nilai-nilai: kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan Pancasila.
Beberapa dari program termaksud ialah sebagai berikut:
37
Hasil wawancara denganI Wayan Mastra, I Ketut Suyaga Ayub, Kristantius Dwiatmaja, I Wayan
Damayana, I Nengah Ripa. 38
I Made Cukra dan Ni Ketut Darwati warga GEKESIA di Bengkulu. I Nyoman Yohanes warga
Gereja Kristen Sulawesi Tengah. I Nyoman Andreas warga Gereja Protestan Indonesia Donggala.
245
VII.A.2.a. Program Pemberdayaan Warga GKPB Untuk Berjiwa Wira Usaha
Program pemberdayaan warga GKPB untuk berjiwa wira usaha, sebagaimana telah
disebutkan di atas, dikelola oleh departemen pelayanan GKPB yang selengkapnya bernama
departemen pelayanan dan usaha. Filosofi yang ada dalam penamaan itu, ialah GKPB akan
bisa melayani dengan baik yakni bisa membantu ekonomi dan kesehatan masyarakat, bila
GKPB sendiri terlebih dahulu telah maju dalam hal ekonomi dan kesehatan. Dalam
mempelajari program pemberdayaan warga GKPB untuk berjiwa enterpreneur, yang dikelola
oleh departemen pelayanan dan usaha, penulis menemukan bahwa berangkat dari falsafah
termaksud di atas, para pimpinan GKPB yang mengelola departemen pelayanan dan usaha,
selalu menanamkan di hati warga GKPB; semangat kewirausahaan melalui ceramah-ceramah
yang dibawakan oleh para motivator, dan pengusaha-pengusaha yang berhasil secara
ekonomi. Disamping pemberian motivasi, majelis sinode GKPB melalui departemen
pelayanan dan usahanya, juga memberikan contoh kepada warga gereja dan masyarakat
bagaimana berwirausaha yang berpotensi sukses, melalui pendirian dan pengelolahan usaha
percetakan, usaha peternakan babi, usaha perkebunan, usaha perkayuan, usaha Bank
Perkreditan Rakyat dan usaha penginapan.
Mengobservasi perkataan, gerak tubuh, dan sikap para pekerja GKPB di departemen
pelayanan dan usaha dan warga GKPB binaan mereka, penulis menemukan bahwa
pemberdayaan tentang kewirausahaan yang dilakukan oleh departemen pelayanan dan usaha
GKPB, telah mampu membangkitkan semangat enterpreneurship warga gereja. Sebagian
besar warga GKPB menjadi orang-orang yang memiliki usaha-usaha disamping mereka telah
mempunyai pekerjaan tetap. Bahkan tidak sedikit warga GKPB meninggalkan pekerjaan
tetap mereka ketika dalam berwirausaha dan merebut pasar, hasil usaha mereka
memenangkan pasar, sehingga hasil usaha mereka mendatangkan keuntungan materiil yang
jauh lebih besar. Kebanyakan warga GKPB yang telah berhasil dalam usaha mereka yang
satu, membangun usaha yang lain lagi dan mereka dengan gigih melakukan segala cara untuk
mempertahankan keberhasilan usahanya. Pada umumnya mereka juga sangat bangga dan
merasa telah berjasa membantu masyarakat miskin dengan cukup memberi mereka pekerjaan
di perusahan-perusahan mereka dengan gaji sesuai dengan standar upah minimum regional.
Membaca keadaan warga GKPB yang telah terjun di dunia bisnis seperti tergambar di
atas, dengan mata kepala dan mata hati, penulis beranalisa bahwa roh kapitalisme yakni
semangat berebut untuk memperoleh harta benda sebanyak-banyaknya, telah sangat merasuk
246
kedalam tubuh warga GKPB dan mengendalikan perilaku mereka. Analisa penulis
dibenarkan oleh beberapa pembisnis dan warga GKPB, sebab terhadap pertanyaan penulis
bagaimana caranya menjadi kaya dan untuk apa menjadi kaya, mereka mengatakan bahwa
kalau kita tidak bisa dan tidak kuat dalam bersaing di dunia bisnis, kita tidak akan bisa
menjadi kaya, dan kalau kita tidak kaya harta, kita tidak akan bisa memenuhi kebutuhan
hidup kita yang kian hari kian meningkat dan kita juga tidak akan bisa menolong ekonomi
dan kesehatan, anak-anak, keluarga dan sesama kita yang miskin.39
VII.A.2.b. Program Dan Motif Pemberian Modal Sebagai Sarana Usaha Bagi
Masyarakat Miskin
Mendengar perkataan dan menyimak tindakan para pekerja GKPB pada departemen
pelayanan dalam program pembekalan kewirausahaan dan pemberian pinjaman modal kredit
uang sebagai sarana usaha bagi masyarakat miskin, seraya mencermati sikap para stake
holdersnya dan menyimak beberapa dokumen terkait,40
penulis menemukan data dan fakta
sebagai berikut: Jumlah penduduk miskin di Bali pada bulan Maret tahun 2015 mencapai
4.74 % dari total penduduk Bali. Penduduk Bali miskin yang berjumlah sekitar 197 ribu jiwa
itu, adalah mereka yang potensi dirinya belum tergali, mereka yang motivasi dan ketrampilan
dirinya dalam berusaha sangat rendah, mereka yang memiliki keterbatasan atas akses modal
usaha. Pemerintah belum memiliki skema yang memungkinkan penduduk miskin bisa dengan
mudah mendapatkan akses modal.
Sepanjang periode 2012-216, departemen pelayanan GKPB melalui kerjasama dengan
pihak pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat baik dari luar maupun dari dalam
negeri, sudah melakukan pengidentifikasian, pembekalan kewirausahaan, pendampingan dan
pemberian kredit yang jumlahnya disesuaikan dengan jenis usaha yang dibuat, berkisar
antara Rp 500.000,- sampai Rp.40.000.000,- dengan bunga sebesar 1 % tanpa jaminan,
kepada 3.525 orang dari keluarga miskin yang tersebar di 20 desa di kabupaten Buleleng,
Jembrana dan Bangli. Para penerima pembekalan tentang kewirausahaan, pendampingan dan
kredit sejumlah 3.525 orang itu, memanfaatkan pemberdayaan departemen pelayanan GKPB
itu, untuk usaha-usaha yang produktif seperti: perkebunan, peternakan, tukang jahit, bengkel,
39
. I Wayan Mastra, I Wayan Kayun Sudirsa, I Ketut John Panca, I Ketut Putra Suartana, I Wayan
Sudirman, I Made Matius, I Made Kornelius 40
.Beberapa dari dokumen termaksud ialah : Buku laporan penelitian departemen pelayanan GKPB
tentang Keadaan Sosial Dan Ekonomi Masyarakat Bali Tahun 2015. Buku Laporan Kerja Majelis Sinode
Periode 2012-2016 Kepada Sinode Ke 45.
247
perdagangan, transportasi, depot makanan, dan pendirian salon kecantikan. Para pekerja
GKPB di departemen pelayanan sangat bahagia ketika menyaksikan bahwa pada akhir
Desember 2016, masing-masing pengembang usaha mikro kecil dampingannya dapat
menaikkan taraf kehidupan mereka sehingga menunjukkan kegairahan hidup karena telah
mencapai pendapatan rata-rata Rp1.824.292 per bulan.
Berbekal pada temuan-temuan tersebut di atas, penulis menafsirkan bahwa misi GKPB
melalui kerja sama dengan banyak pihak, dalam bidang pelayanan berupa pemberian
pembekalan tentang kewirausahaan dan pinjaman modal sebagai sarana usaha bagi
masyarakat miskin guna untuk meningkatkan taraf kehidupan mereka, agar mereka bisa
memenuhi kebutuhan hidup primer mereka berupa pangan, sandang dan papan adalah hanya
sebuah solidaritas terbatas terhadap kaum miskin. Melalui solidaritas yang terbatas itu,
tersirat GKPB memang bisa merasakan betapa tertekannya hidup orang miskin, yaitu orang
yang belum bisa mengatasi tiga kebutuhan pokok mereka seperti tersebut di atas, sehingga
GKPB memberdayakan mereka di bidang ekonomi agar mereka memiliki pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Namun sementara berasa dan berbuat demikian, sedikitpun
tidak ada terlintas dalam pikiran sebagian besar warga GKPB sebuah mimpi luhur agar
pemerintah dan pengusaha di negeri ini, mendesain sistem ekonomi dan mencipta beberapa
badan usaha yang tidak berpihak dan berorientasi kepada para pemilik modal, tetapi berpihak
kepada masyarakat umum dan berorientasi pada kemajuan ekonomi masyarakat miskin.
Analisa penulis sebagaimana terurai di atas, mendapat validasi, karena atas pertanyaan
penulis, apakah mungkin kita bisa mengatasi kemiskinan dari sesama kita sementara kita di
negeri ini tidak pernah bercita-cita agar di negeri ini, ada sistem ekonomi dan ada badan
usaha milik negara bahkan badan usaha milik swasta pun, yang tidak berpihak dan tidak
berorientasi pada keuntungan bagi pemilik modal tetapi berpihak kepada masyarakat umum
dan berorientasi pada kemajuan ekonomi kaum miskin, seperti menyelengarakan transportasi
masal yang berbiaya murah terjangkau oleh masyarakat miskin, membangun pasar rakyat
yang menggairahkan lapisan masyarakat miskin untuk berekonomi, membuat desa wisata
yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan banyak bagi penduduk desa dan meyebabkan desa
mendapat pendapatan secara langsung dari kunjungan wisata, membangun koperasi yang
mampu menerima produksi masyarakat dan mendistribusikannya dengan hasil yang
menguntungkan masyarakat miskin, semua informan memberi jawaban bahwa setiap badan
usaha baik milik negara terlebih lagi milik swasta, tidak mungkin tidak mengejar profit
248
sebanyak mungkin. Kemudian sebagai pemilik modal yang memburu kekayaan pribadi, baik
pemerintah maupun pengusaha pasti mencipta sistem ekonomi dan badan usaha yang lebih
banyak berpihak pada kemajuan ekonomi mereka yang tidak kenal batas daripada
keuntungan ekonomi masyarakat miskin. Bila sistem ekonomi dan badan usaha negara dan
swasta tidak berorientasi pada keuntungan, kedua badan usaha itu tidak hanya berpotensi
untuk segera gulung tikar, tetapi juga tidak akan melatih masyarakat untuk bersaing dalam
dunia ekonomi dengan jalan kerja keras dan kerja cerdas, agar semua lapisan masyarakat
menjadi manusia pembangun dan bukan manusia parasit. Manusia benalu yang tidak mau
bekerja keras dan tidak berani bersaing, justru akan mengganggu tatanan ekonomi
masyarakat dan negara.41
VII.A.2.c. Program Dan Motif Pemberdayaan Dan Pelayanan Kesehatan Bagi
Masyarakat Miskin
Mendengar apa yang dikatakan dan mengamati apa yang dilakukan para pekerja GKPB
pada departemen pelayanan dalam program pemberdayaan dan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat miskin,42
sembari menyimak sikap para stake holdernya, penulis menemukan hal-
hal sebagai berikut: Dalam mempersiapkan rencana kerjanya, departemen pelayanan GKPB
melalui kerjasama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat,
mengidentifikasi dan menetapkan 24 desa atau kelompok masyarakat yang kepadanya akan
diberi pendampingan dalam pelayanan kesehatan.43
Kemudian mengawali kerjanya,
departemen pelayanan mengutus dua buah tim pelayanan kesehatan keliling ke desa-desa
dampingan itu. Masing-masing tim itu terdiri dari seorang dokter, dan empat orang perawat.
Sekali sebulan kedua tim termaksud di atas, mengadakan perkunjungan sehari penuh,
sehingga dalam setahun ke 24 desa atau kelompok dampingan itu terlayani. Dalam setiap
kunjungannya, tim kesehatan GKPB memberi penjelasan tentang pemeliaraan kesehatan
seperti mengkonsumsi makanan yang sederhana namun sehat dan gaya hidup yang sehat
seperti banyak bergerak dan hidup sederhana tapi bersih, memberi penjelasan tentang jenis-
jenis penyakit yang bisa menimpa masyarakat dan penyebabnya, memberi nasehat tentang
41
I Wayan Mastra, I Ketut Arka, I Nengah Ripa, I Gede Mustika,I Nyoman Sunarta, I Nyoman
Dirgayusa, I Gede Suarna, I Ketut Mertayasa. 42
Masyarakat desa yang penghasilannya belum mampu mengatasi kebutuhan primernya, sehingga
sering tidak punya kemampuan untuk meningkatkan kondisi dan derajat kesehatannya. 43
Beberapa dari desa-desa atau kelompok masyarakat tersebut dapat disebutkan di sini yaitu:
Candikusuma, Manistutu, Perancak,Yehkuning, Sepang, Galungan, Pengejaran,Bayunggede, Pingan, Apuan,
Taman Bali, Bunutin, Abuan, Blimbingsari, dan Panti Asuhan.
249
pentingnya program keluarga berencana, dan memberi pengajaran tentang pencegahan
penularan Human Immune deficiency Virus (HIV) dari ibu ke anak.Terhadap penyakit-
penyakit yang ditemukan dalam kunjungannya, tim pelayanan kesehatan melakukan
pemeriksaan, imunisasai, pelayanan pengobatan secara langsung, dan rujukan ke rumah sakit
bagi orang-orang yang penyakitnya perlu mendapat penanganan rumah sakit.
Selama periode pelayanan 2012-2016, tim kesehatan GKPB telah memberikan edukasi
dan pelayanan kesehatan dasar kepada 34.074 orang. Kepada masyarakat yang telah
mendapat pemberdayaan tentang hidup sehat, telah memiliki kemampuan dasar untuk
meningkatkan derajat kesehatannya. Kepada masyarakat yang mendapat pelayanan
kesehatan, sebagian besar telah mendapat kesembuhan. Sebagai contoh, 88 % dari 133 ibu
hamil yang dilayani sudah bebas anemia saat melahirkan, padahal pada awal pemeriksaan
29,3 % anemia. Pada akhir tahun 2016, 84,4 % dari 2.047 anak yang dilayani sudah bebas
anemia, padahal pada tahun 2014 20 % dari anak-anak tersebut ditemukan anemia. Sejumlah
7 bayi yang dilahirkan oleh para ibu yang terinfeksi HIV tidak terinfeksi HIV. Masyarakat
desa dampingan sangat berbahagia, terlebih lagi departemen pelayanan GKPB ketika kini,
melihat sebagian besar masyarakat dampingan memiliki kemampuan dasar dalam
meningkatkan derajat kesehatan keluarga dan sebagaian besar masyarakat dampingan
memiliki kondisi hidup sehat.
Bertolak dari temuan-temuan tersebut di atas, penulis menafsirkan bahwa misi GKPB
dalam bidang pelayanan berupa pemberian edukasi dan pelayanan kesehatan dasar bagi
masyarakat miskin, guna untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah sebuah
misi yang mengagungkan kemanusiaan. Dalam misi itu tersirat GKPB bisa merasakan betapa
menderitanya hidup orang miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk hidup sehat dan
tidak sanggup untuk membiayai kesehatan bila mereka sakit. Dalam misi yang
mengagungkan kemanusiaan, nampaknya GKPB bisa merasakan bahwa orang yang
kesehatannya terganggu dalam waktu yang berkepanjangan, bisa menjadi orang yang
kehilangan akan harkat dan martabat diri sebagai manusia. Dalam misinya berupa
pemberdayaan dan pemberian pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, mudah
terinterpretasi bahwa departemen pelayanan GKPB melalui kerjasama dengan pihak
pemerintah dan lembaga-lembaga sosial, berempati dengan sesamanya yang tidak memiliki
kemampuan untuk meningkatkatkan derajat kesehatannya, dan yang tidak mempunyai
kesanggupan untuk membiayai pengobatan penyakitnya, lalu membantu mereka
250
meningkatkan derajat kesehatannya dan membebaskan mereka dari penyakitnya, karena
ketidaksehatan itu cendrung mendegradasi kemanusiaan seseorang.
Analisa penulis sebagaimana terurai di atas, mendapat validasi ketika atas pertanyaan
penulis tentang tujuan utama dari pemberdayaan dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin, semua informan mengatakan bahwa departemen pelayanan GKPB melalui kerjasama
dengan pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat, melakukan pemberdayaan dan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin, dimaksudkan agar sebagaimana sebagian besar
warga GKPB dengan kemampuannya dalam meningkatkan derajat kesehatan, tidak
terdegradasi kemanusiaanya oleh ketidaksehatan, biarlah juga sesamanya manusia yang
miskin, memiliki kemampuan untuk meningkatkan kondisi hidup sehat dan biarlah mereka
juga sembuh dari penyakitnya, sebab hidup dengan penyakit yang tidak bisa tertangulangi
sangat mendegradasi kemanusiaan.44
VII.A.2.d.Program Dan Motif Pendampingan Sosial Bagi Orang Dengan Human
Immune Deficiency Virus (HIV)/Acquired Immune Deficiency Syndrom
(AIDS) Dan Disable
Dalam menelisik program pendampingan sosial departemen pelayanan GKPB bagi
orang dengan HIV/AIDS dan disable, dengan jalan mendengarkan perkataan dan mengamati
tindakan para pekerja GKPB pada departemen pelayanan dalam program pendampingan
sosial bagi orang dengan HIV/AIDS dan disable, sembari mencermati sikap para stake
holdernya dan menyimak dokumen-dokumen terkait,45
penulis menemukan beberapa
fenomena sebagai berikut: Peningkatan kasus HIV dan AIDS per tahun di Bali pada semua
umur sekitar 25 %. Sampai Januari 2017 kasus HIV dan AIDS di Bali telah sebanyak 12.341.
Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) demikian juga orang yang cacat fisik (diable) sering
merasa terstigmatisasi oleh masyarakat sebagai orang yang tidak normal sehingga tidak
jarang juga menjadi kelompok manusia yang merasa terpinggirkan, merasa menjadi manusia
yang tidak dihargai kemanusiaannya.
Dalam merespon masalah kemanusiaan yang tidak ringan seperti termaksud di atas,
departemen pelayanan GKPB melalui kerjasama dengan pemerintah dan lembaga-lembaga
sosial masyarakat merancang sedemikian rupa pos-pos pelayanannya yang ada di Kapal,
44
Ni Luh Debora Murthy, Vera Manurung, Ni Nengah Widiasih, Ni Gusti Ratna, Ni Gusti Ratih. 45
GKPB, Laporan Kerja Majelis Sinode Periode 2012-2016 Kepada Sinode Ke 45, (Mangupura:
Percetakan MBM,2016),78-79.
251
Mengwi Badung, di Abianbase Mengwi Badung dan di Bongan Tabanan lalu
mensosialisasikannya sebagai “rumah sehat” tempat penyelenggaraan pendampingan sosial
bagi para ODHA dan disable. Di rumah-rumah sehat ini, para ODHA dan disable tidak
dilihat sebelah mata, melainkan diterima sebagai sesama manusia yang berpotensial untuk
mengisi lembaran hidupnya di masa-masa mendatang sebagai lembaran penuh guna bagi
banyak orang. Dalam penerimaan yang demikian, para ODHA dan disable disamping diberi
pendidikan dan pelayanan kesehatan, mereka juga diberi pendidikan dan pelatihan
ketrampilan seperti tata rias, tata boga, dan menjahit. Sebagian besar para ODHA dan disable
setelah mendapat pendampingan sosial dari departemen pelayanan GKPB, berangsur-angsur
terhapus traumanya sebagai orang yang tertolak, lalu dengan percaya diri menunjukkan
eksistensinya dihadapan publik sebagai sesama manusia yang sama-sama punya rasa dan
kebutuhan untuk aktualisasi diri, lewat kerja dan usaha yang sepadan dengan kondisinya.
Berangkat dari temuan-temuan tersebut di atas, penulis menafsirkan bahwa misi GKPB
dalam bidang pelayanan berupa pemberian pendampingan sosial bagi para ODHA dan
disable, adalah sebuah misi yang memeliara kemanusiaan seseorang. Melalui misi ini
terproyeksi lugas bahwa GKPB bisa merasakan betapa merananya hidup seseorang, bila
hanya karena ia ODHA atau disable ia tertolak atau termarginalisasikan dalam kehidupan
sosial. Orang yang merasa hidupnya dipinggirkan dalam sebuah kelompok sosial, pada
umumnya mudah kehilangan akan harkat dan martabat diri sebagai manusia, mengingat
manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup nyaman tanpa memiliki interaksi sosial yang
kondusif. Analisa penulis yang demikian ini tidak menyimpang, sebab ketika penulis
bertanya mengapa GKPB melaksanakan pendampingan sosial bagi para ODHA dan disable,
semua orang yang penulis wawancarai mengatakan GKPB melaksanakan pendampingan
sosial bagi para ODHA dan disable karena GKPB ingin berbela rasa dengan para ODHA dan
disable, bahwa keberadaan mereka sebagai ODHA dan disable tidak membuat sedikitpun
kemanusiaannya berkurang.46
VII.A.2.e. Program Dan Motif Pengelolahan Sampah Dan Pelestarian Lingkungan
Pemeriksaan terhadap program departemen pelayanan GKPB dalam pengelolahan
sampah, melalui mendengar perkataan para pekerja dan stake holder dari departemen
46
Ni Luh Debora Murthy, Vera Manurung, I Gusti Alit Purya.
252
pelayanan GKPB pada program tersebut, dan juga dengan menyimak dokumen terkait,47
penulis terinformasi bahwa Bali dengan penduduk 4,1 jiwa menghasilkan 10.030 m3 sampah
tiap harinya.13 % atau 1.304 m3 darinya merupakan sampah plastik yang hanya akan terurai
secara sempurna hingga ribuan tahun. Sampah plastik yang didaur ulang sampai saat ini baru
mencapai sekitar 2% dan sisanya masih mencemari lingkungan disamping juga mengancam
daya tarik Bali sebagai destinasi pariwisata utama Indonesia. Penerapan aturan penggunaan
kantong plastik berbayar seharga Rp 200.- per kantong di toko ritel sangat terbatas dan tidak
efektif untuk mengubah perilaku masyarakat dalam menggunakan kantong plastik.
Pemeriksaan terhadap program departemen pelayanan GKPB dalam pelestarian lingkungan,
melalui mendengar perkataan para pekerja dan stake holdernya departemen pelayanan GKPB
pada program termaksud, penulis terinformasi bahwa jumlah penebangan pohon lebih banyak
dari penanamannya, sehingga olehnya daya dukung alam Bali baik dalam penyiapan lahan,
air dan udara yang tidak tercemar bagi penduduk, menjadi sangat menurun.
Pemeriksaan terhadap program departemen pelayanan GKPB dalam pengelolahan
sampah, dengan jalan mencermati tindakan para pekerja departemen pelayanan GKPB
beserta dengan stake holdernya, penulis menemukan bahwa melalui kerjasama dengan pihak
pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat, departemen pelayanan GKPB pada
periode pelayanan 2012-2016, membentuk lembaga bank sampah di kecamatan Mengwi dan
Kuta utara dimana pada akhir 2016 anggotanya sudah berjumlah 725 orang. Dalam
pendampingan departemen pelayanan GKPB lembaga bank sampah ini bertugas untuk
mengidentifikasi, memilah dan memposisikan antara sampah anorganik dan sampah organik.
Dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2015, bank sampah departemen pelayanan GKPB telah
mengumpulkan 87.591 kg sampah anorganik dari wilayah Mengwi dan Kuta utara dan telah
menyalurkannya ke pendaur ulang sehingga tidak mencemari lingkungan dari mana sampah
itu di ambil. Sedangkan sampah organik oleh 278 orang dari anggota bank sampah diolah
menjadi kompos baik dengan metode tradisional dalam bentuk galian lubang di tanah
maupun dengan komposter.Sampah organik yang menjadi kompos sangat membantu
komposisi dan pori-pori tanah dan sangat menyuburkan tanaman yang tumbuh di atasnya.
Pemeriksaan terhadap program departemen pelayanan GKPB dalam pelestarian
alamdengan jalan mengamati tindakan para pekerja departemen pelayanan GKPB beserta
47
GKPB, Laporan Kerja Majelis Sinode Periode 2012-2016 Kepada Sinode ke 45 (Mangupura:
Percetakan MBM,2016),76-77.
253
dengan stake holdernya, penulis menemukan bahwa melalui kerjasama dengan pihak
pemerintah dan lembaga-lembaga sosial masyarakat, departemen pelayanan GKPB sepanjang
periode pelayanan 2012-2016 telah mendistribusikan 26.170 bibit pohon yang terdiri atas 16
jenis pohon buah-buahan dan juga 5.599 bibit tanaman terong ke 20 desa dampingan, ke 43
jemaat-jemaat GKPB dan juga ke masyarakat desa di Kapal, Mengwi, Badung. Pemberian
bibit-bibit pohon ini sangat menggairahkan naluri pertanian dari masyarakat dampingan dan
juga naluri pertanian para pekerja departemen pelayanan GKPB, karena dengan menanam
bibit pohon, mereka sama-sama memiliki pengharapan untuk menuai dari pohon itu, sesuatu
yang bermanfaat bagi mereka yang menanam dan bagi banyak umat manusia lainnya.
Berpegang pada informasi dan temuan yang didapat dalam meneliti program
departemen pelayanan GKPB pada pengelolahan sampah dan pelestarian lingkungan seperti
terpapar di atas, penulis menganalisa bahwa program itu adalah sebuah misi untuk
kemanusiaan. Nampaknya penulis tidak salah beranalisa demikian, karena atas pertanyaan
penulis apakah program departemen pelayanan GKPB dalam pengelolahan sampah dan
pelestarian lingkungan memiliki dimensi kemanusiaan, semua informan dari departemen
pelayanan GKPB dan masyarakat dampingannya memberi jawab bahwa program departemen
pelayanan GKPB baik dalam pengelolahan sampah maupun dalam pelestarian lingkungan,
senyatanya adalah sebuah dharma bakti penyelamatan manusia melalui penyelamatan bumi.
Dalam menjawab seperti tersebut di atas, beberapa dari informan itu beragumentasi
bahwa program pengelolahan sampah non organik dengan mendaurnya kembali menciptakan
lingkungan tanah yang tidak tercemar, sehingga tidak mencelakakan kehidupan manusia.
Program pengelolahan sampah organik dengan menjadikannya kompos membuat tanah
menjadi subur, sehingga dari padanya tumbuh pepohonan dan bahan makanan yang
menjamin keberlangsungan hidup manusia. Program pelestarian alam dengan melakukan
penghijauan menciptakan udara yang bersih, memproduksi daun dan buah yang bisa
dikonsumsi untuk kesehatan umat manusia. Lebih jauh para informan itu juga dengan tegas
mengatakan bahwa program pengelolahan sampah dan pelestarian lingkungan departemen
pelayanan GKPB adalah sebuah pengakuan GKPB akan kebenaran filosofi tri hita karana,
bahwa hanya jika manusia menyelamatkan bumi, bumi akan menyelamatkan manusia.48
48
I Nengah Ripa, I Gede Mustika, I Gede Efrayim, I Wayan Budayasa, I Ketut Bagiada, Dewa Ketut
Astana, I Ketut Yokanan, I Ketut Sariana Edi, I Wayan Tunas, I Nengah Duduk.
254
VII.A.3. Program Dan Motif Misi GKPB Periode 2012-2016 Pada Bidang Kesaksian
Dalam mewujudkan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang kesaksian,
majelis sinode GKPB melalui departemen kesaksian dan pengembangan menjabarkannya ke
dalam beberapa program. Tidak semua program itu ditayangkan di di sini. Yang dibahas di
sini hanya beberapa program yang eksekusinya diduga bermasalah ketika dikaji dari sudut
pandang nilai kesatuan, kemanusiaan dan kesetaraan Pancasila. Beberapa dari program
termaksud ialah sebagai berikut:
VII.A.3.a. Program Dan Motif Penginjilan
Mendengar perkataan dan mengamati tindakan para pekerja GKPB pada departemen
kesaksian dan pengembangan dalam program penginjilan, mencermati sikap para stake
holdernya dan menyimak beberapa dokumen GKPB tentang penginjilan,49
penulis
menemukan beberapa hal sebagai berikut: Beberapa pimpinan GKPB berpandangan bahwa
gereja yang tidak berkembang secara kwantitas dan kualitas bahkan punah adalah karena
gereja itu tidak setia melakukan penginjilan. GKPB pada periode 2012-2016 melalui
departemen kesaksian membentuk Yayasan Tabur Tuai dimana para pengurusnya adalah
orang-orang yang tertarik dengan program yayasan ini yaitu melakukan penjelasan tentang
kekristenan kepada publik yang bermuara pada penanaman gereja.
Dengan karakter seperti termaksud di atas, yayasan tabur tuai melalui kerja sama
dengan lembaga-lembaga penginjilan dari dalam dan luar negeri, dalam pendekatan yang
diupayakan agar sopan dan santun, tidak arogan dan tidak menghakimi, secara rutin
melayankan tindak siar kekristenan lewat pelayanan radio, kebaktian kebangunan rohani dan
doa penyembuhan yang terbuka bagi publik, pengajaran-pengajaran pemuridan, pelayanan
doa bagi masyarakat yang memiliki pergumulan dan pendampingan lanjutan bagi masyarakat
yang memerlukan.50
Para pekerja GKPB pada bidang penginjilan ini sangat senang sekali bila
mendengar ada orang-orang yang tertarik dengan kekristenan, lalu terkesan agresif untuk bisa
menuntun orang-orang tersebut menjadi Kristen. Terhadap sikap para pekerja GKPB yang
demikian, membuat tidak sedikit pemerintah dan masyarakat Bali masih sulit menghapus
kecurigaannya yang dikonstruksi berdasarkan sejarah kelam penginjilan di Bali bahwa gereja
49
Beberapa dari dokumen termaksud: Tata Gereja GKPB, Buku Pemuridan Dan Pekabaran Injil
GKPB 2008-2028. 50
GKPB, Laporan Kerja Majelis sinode Periode 2012-2016 Kepada Sinode Ke 45(Mangupura:
Percetakaan MBM,2016),54-61.
255
sebagai lembaga agama nampaknya memang tidak pernah bisa absen dari keinginan untuk
berekspansi diri.
Berangkat dari temuan-temuan tersebut di atas, penulis menafsirkan bahwa misi GKPB
dalam bidang penginjilan yang berkonten penjelasan kekristenan dan yang bermuara pada
perluasan gereja, adalah sebuah misi yang yang bertolak dari dan berorientasi pada
pemahaman gereja sebagai pemilik akan kebenaran tunggal, sehingga ia cendrung
mendominasi kebenaran agama-agama lain karena dipandangnya sebagai kebenaran yang
tidak setara. Dengan maksud untuk menguji kevalidan interpretasi ini, penulis mewawancarai
beberapa pekerja dan warga GKPB guna untuk mendapat pandangan mereka tentang
penginjilan yang bermotifkan pada perluasan gereja. Para pekerja dan warga GKPB yang
setuju dengan motif penginjilan sebagai perluasan gereja, mengatakan bahwa gereja memiliki
kebenaran yang khas yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain sehingga harus melakukan
penginjilan dan kristenisasi lewat kata dan tindakan yang sopan santun,51
demikian juga
gereja tidak boleh mengingkari identitasnya sebagai tubuh Kristus. Mereka menegaskan,
sebagaimana Kristus membangun gereja, para pengikut Kristus juga harus membangun
gereja52
. Sedangkan para pekerja dan warga GKPB yang tidak sejalan dengan tujuan
penginjilan sebagai penanaman gereja, mengatakan bahwa gereja apalagi perluasan gereja
bukan tujuan dari misi Kristus. Mereka menambahkan, gereja dalam arti yang sebenarnya
yaitu para pengikut jalan Kristus dari berbagai agama adalah agen dari Sang khalik untuk
membangun bumi yang bersukacita dalam damai sejahtera.53
VII.A.3.b. Program Dan Motif Pemberdayaan Warga GKPB Untuk Mengagungkan
Pendidikan
Departemen kesaksian GKPB yang mengelola program pemberdayaan warga GKPB
untuk mengagungkan pendidikan dinamakan departemen kesaksian dan pengembangan.
Filosofi yang terbenam dalam nama itu ialah GKPB akan bisa bersaksi bagi masyarakat, bila
warga GKPB terlebih dahulu telah maju dalam pendidikan. Dalam meneliti program
pemberdayaan warga GKPB untuk mengagungkan pendidikan, penulis menemukan bahwa
dengan berbekal falsafah seperti tersebut di atas, para pimpinan GKPB baik yang ada tingkat
sinode maupun yang ada di tingkat jemaat selalu menanamkan di hati warganya bahwa
51
I Made Putra Wibawa, Ni Luh Siska. I Made Evan, Ni Wayan Enni, Very Mou, I Gusti Putu Sukma
Wibawa. 52
I Wayan Sudarma, I Gede Trisna Putra, I Nyoman Budi Hartawan. 53
Ni Luh Suartini, Ni Luh Ratna Kumala, I Made Nyandra, I Nyoman Urbanus.
256
pengetahuan itu sama bergunanya dengan warisan, bekal bagi manusia yang memperolehnya
untuk menjamin kelangsungan hidupnya, sehingga sembari dengan itu selalu memacu
semangat warga GKPB untuk menimba ilmu pengetahuan setinggi-tingginya.
Dalam mengobservasi perkataan, gerak tubuh dan sikap warga GKPB, penulis
menemukan bahwa pemberdayaan warga GKPB untuk mengagungkan ilmu pengetahuan,
telah mampu menyadarkan warga GKPB akan pentingnya ilmu pengetahuan, sehingga
mereka bersemangat untuk mengejarnya dan mendorong anak-anak mereka untuk
menuntutnya pula dengan sebaik-baiknya. Tidak sedikit warga GKPB dari keluarga miskin,
berani hidup dalam keprihatinan selama mereka bersekolah guna untuk meraih ilmu
pengetahuan. Tidak terbilang banyaknya warga GKPB berani bekerja keras dan juga rela
menjual beberapa propertinya demi anak-anaknya bisa tetap bersekolah sampai ke jenjang
pendidikan yang paling tinggi. Banyak warga GKPB yang berada, menyekolahkan anak-
anaknya di sekolah-sekolah yang sangat mahal karena berkualitas, dan seraya itu pula
mengirim anak-anaknya untuk mendapat tambahan ilmu pengetahuan ke lembaga-lembaga
kursus yang biayanya juga tidak murah.
Mencermati keadaan warga GKPB dalam mengejar ilmu pengetahuan dan dalam
menyekolahkan anak-anak mereka, seperti terdiskripsi di atas, penulis berinterpretasi bahwa
roh kapitalisme yakni semangat untuk meraih ilmu sebagai sebuah investasi agar kelak bisa
memiliki peluang untuk memperoleh pekerjaan, kekuasaan dan kekayaan, telah juga sangat
merasuk ke dalam tubuh warga GKPB dan mengendalikan perilaku mereka. Analisa penulis
dibenarkan oleh beberapa warga GKPB, sebab terhadap pertanyaan penulis apakah biaya
pendidikan sekarang sangat mahal, mereka memberi jawaban bahwa pendidikan itu wajar
mahal dan kita harus berani membayarnya, sebab nanti bila kita dan anak-anak kita sudah
memiliki pengetahuan yang tinggi, kita akan memenangkan persaingan untuk mendapat
pekerjaan yang lebih baik, jabatan dan kekuasaan yang lebih tinggi, lalu pendapatan yang
lebih banyak.54
VII.A.3.c. Program Dan Motif Penyelenggaraan Pendidikan Dasar Dan Menengah
Mendengar perkataan dan mengamati tindakan para pekerja GKPB pada departemen
kesaksian dalam program penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, mencermati
54
I Wayan Mastra, I Wayan Sudirman, I Made Nyandra, I Nyoman Urbanus, I Putu Bagiarta, I Dewa
Nyoman Sudarta, Ni Nyoman Murtini.
257
sikap para stake holdernyasembari menyimak beberapa dokumen tentang penyelenggaraan
pendidikan GKPB, penulis menemukan bahwa banyak pihak swasta telah membantu negara
melaksanakan tugas konstitusionalnya yaitu menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat
dalam rangka mencerdaskan dan memajukan kehidupan semua anak bangsa, namun baik
negara maupun swasta sama-sama memiliki keterbatasan dalam mewujudkan tugas itu.
Kondisi yang demikian ini membuat penyelenggaraan pendidikan di pulau Bali seperti
sebuah komoditi berharga yang disuguhkan oleh penyelenggara lalu diperebutkan oleh putra-
putri bangsa dan dibayar tinggi baik dengan kemampuan intelektualnya maupun dengan
kemampuan material orang tuanya. Dalam kondidi dunia pendidikan yang demikian ini,
melalui kerjasama dengan pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga sosial masyarakat,
GKPB dengan berpedoman pada undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah tentang
pendidikan, menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah bagi masyarakat umum
lewat 11 sekolah.
Kesebelas sekolah yang dijalankan GKPB itu terdiri dari: tiga sekolah taman kanak-
kanak, dua sekolah dasar, tiga sekolah menengah pertama, dan tiga sekolah menengah atas.
Dari kesebelas sekolah yang dijalankan GKPB itu lima berlokasi di kodya Denpasar dengan
jumlah siswa rata-rata 3000 orang pertahun, tiga sekolah berlokasi di kabupaten Badung
dengan kisaran jumlah siswa 1300 orang pertahun, dan tiga sekolah lagi berlokasi di desa
Blimbingsari, kecamatan Melaya, kabupaten Jembrana dengan jumlah siswa kurang lebih 200
orang pertahun. Peserta anak didik sekolah-sekolah GKPB yang ada di kodya Denpasar dan
di kabupaten Badung adalah anak-anak yang orangtuanya dari golongan ekonomi menengah
ke bawah, sedangkan anak-anak yang bersekolah di sekolah-sekolah GKPB yang ada di desa
Blimbingsari dan Melaya Bali barat 97% darinya adalah anak-anak Panti Asuhan milik
GKPB. Dengan keadaan dan jumlah siswa seperti tersebut di atas, sepanjang periode
pelayanan 2012-2016 sekolah-sekolah GKPB yang ada di kodya Denpasar dan di kabupaten
Badung bisa membiayai dirinya sendiri, namun sekolah-sekolah yang diselenggarakan GKPB
di desa Blimbingsari dan Melaya 97% pembiayaannya di subsidi oleh GKPB.
Dengan mengantongi dan mengolah temuan-temuan tersebut di atas, penulis menilai
bahwa program GKPB dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah bagi
masyarakat umum, yang senyatanya membantu anak didik dari masyarakat ekonomi kelas
menengah ke bawah, dan anak-anak panti asuhan adalah sebuah misi pengagungan akan nilai
kesetaraan. Dalam penafsiran penulis, GKPB melihat penyelenggaran pendidikan dasar dan
258
menengah yang dijalankannya itu adalah sebagai wujud ia belajar mencintai kesetaraan dan
sekaligus sebagai upaya ia mengantar anak bangsa kelak hidup dalam kesetaraan. Analisa
penulis ini tidak menyimpang karena ketika atas pertanyaan penulis mengapa sekolah-
sekolah GKPB yang ada di kabupaten Jembrana yang harus dibiayai oleh GKPB sekitar 400
juta rupiah per tahun tidak ditutup saja, semua informan memberi jawaban bahwa untuk
menjunjung tinggi nilai kesetaraan, GKPB harus berani berkurban. Kita harus berani
berkurban dalam menyelengarakan sekolah, sebab hanya dengan demikian, anak-anak dari
keluarga miskin bisa setara sama-sama bisa sekolah dengan anak-anak dari keluarga kaya.
Dan hanya dengan penyelenggaraan sekolah, kita bisa mewariskan ilmu pengetahuan kepada
anak-anak dari keluarga miskin yang kelak bisa membuat mereka memiliki hidup setara
dengan anak-anak dari keluarga berada yang diwariskan banyak harta benda.55
VII.A.3.d. Program Dan Motif Penyelenggaraan Panti Asuhan Dan Beasiswa
Dalam mendengarkan apa yang dikatakan oleh para pekerja GKPB di departemen
kesaksian pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) sejumlah 37orang dan
membaca apa yang diperbuatnya, menyimak sikap para stake holdernya dan membaca
beberapa dokumen tentang pelayanan panti asuhan GKPB,56
penulis menemukan data dan
fakta sebagai berikut: GKPB memiliki enam lembaga kesejahteraan soial anak yang diberi
nama “Widhya Asih” yang masing-masing darinya berlokasi di desa Blimbingsari Jembrana,
di desa Melaya Jembrana, di banjar Cica, kelurahan Abianbase Badung, di kota Bangli, di
kota Amlapura, di kota Singaraja. Melalui lembaga ini GKPB menyelenggarakan pelayanan
pengasuhan bagi anak-anak dari usia pra sekolah sampai mahasiswa agar terjamin
kesejahteraan diri mereka dan terpenuhi kebutuhan mereka dalam meraih masa depannya dan
demi masa depan bangsa.
Keseluruhan anak yang diasuh GKPB dalam LKSAnya pada periode pelayanan 2012-
2016 sejumlah 364 orang.57
Kebanyakan dari mereka ini adalah anak-anak dari keluarga tidak
mampu, sebagian ada yang yatim, piatu, yatim piatu, dan sebagian lagi ada yang berasal dari
keluarga dimana ayah dan ibunya bercerai. Biaya penyelenggaraan LKSA ini, bersumber dari
setoran wajib GKPB sebesar 5% dari hasil usahanya, 2% dari total pendapatan jemaat-jemaat
55
I Made Suwirya, I Nyoman Murtiadi, I Gede Mustiadi, I Wayan Kornelius, I Ketut Tadius, I Gusti
Putu Sukma. 56
GKPB,Laporan Kerja Majelis Sinode Periode 2012-2016 Kepada Sinode Ke
45(Mangupra:Percetakan MBM,2016),49. 57
Ibid., 50.
259
GKPB, bantuan natura rutin dari jemaat-jemaat GKPB di wilayah LKSA, sumbangan pribadi
warga GKPB, usaha ekonomi kreatif masing-masing LKSA, dan pemberian sukarela dari
personal dan lembaga mitra LKSA baik dari dalam dan luar negeri.
Memperhatikan perkataan dan tindakan para pekerja GKPB di departemen kesaksian
dalam penyelenggaraan program beasiswa, mencermati sikap para stake holdernya dan
menyimak dokumen-dokumen tentang pelayanan beasiswa GKPB, penulis menemukan data
dan fakta seperti berikut: GKPB memberikan beasiswa bagi warga jemaat dan masyarakat
yang hendak melanjutkan studi di perguruan tinggi negeri atau swasta, pada disiplin ilmu
yang sesuai dengan pilihannya dari jenjang strata 1 sampai strata 3, dengan prioritas utama
bagi mereka yang berprestasi namun berasal dari keluarga tidak berada harta, dalam rangka
mempersiapkan mereka memiliki pendidikan yang baik guna untuk berpartisipasi dalam
meraih masa depan bangsa yang sejahtera. Biaya penyelenggaraan program beasiswa ini
bersumber dari Dana Peduli Pendidikan Anak (DPPA) GKPB baik yang pengadaannya
diupayakan dari kemandirian GKPB berupa pemberian masing-masing pribadi warga jemaat,
masing-masing jemaat dan lembaga-lembaga sinode GKPB, maupun yang keterhimpunannya
itu diusahakan dari adanya kerjasama dengan lembaga-lembaga mitra GKPB.
Dengan berpegang pada temuan-temuan termaksud di atas, penulis beranalisa bahwa
misi GKPB dalam bidang kesaksian berupa penyelenggaraan panti asuhan dan beasiswa bagi
anak-anak miskin, agar mereka memiliki pendidikan yang maju sebagai modal untuk
mensejahterakan diri dan bangsa,memang adalah sebuah misi solidaritas yang mengangkat
anak-anak dari kemiskinannya agar kelak mereka mempunyai masa depan yang maju demi
kesejahteraan bangsa; namun misi yang demikian itu belum merupakan misi solidaritas sosial
yang radikal dalam menjunjung tinggi nilai kesetaraan manusia. Analisa penulis tervalidasi
karena atas pertanyaan penulis, mengapa GKPB membiayai penyelenggaraan panti asuhan
dan beasiswa ini hanya sebesar 2% dari pendapatannya dan mengapa tidak banyak warga
GKPB yang membantu secara rutin pembiayaan penyelenggaran panti asuhan dan beasiswa,
semua yang terwawancara mengatakan; tidak semua warga GKPB memiliki pendapatan
yang besar, namun semua warga GKPB mempunyai kebutuhan yang tidak sedikit. Lalu kita
memang wajar membantu secukupnya saja penyelenggaraan panti asuhan dan beasiswa,
dalam rangka kita melatih anak-anak untuk hidup prihatin dalam masa pendidikannya. Hal
itu patut dilakukan demikian sebab dengan pengalaman hidup prihatin, seperti pengalaman
260
dari orang-orang sukses, kelak mereka akan menjadi pekerja yang rajin, hemat, kaya lalu
bisa memenuhi semua keinginannya.58
VII.B.Pelaksanaan Misi GKPB Periode 2012-2016 Pada Bidang Persekutuan,
Pelayanan Dan Kesaksiaan Dalam Perspektif Pancasila
Dalam mengkaji pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang
Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian sebagaimana terpapar pada Bab VII. Point A di atas,
dari perspektif nilai-nilai Pancasila yang mengagungkan kesatuan, kemanusiaan dan
kesetaraan; maka kajian itu dapat diklasifikasi dan dideskripsi sebagai berikut:
VII.B.1.Pelaksanaan Misi GKPB Pada Periode 2012-2016 Ditinjau Dari Nilai Kesatuan
Membedah pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang
Persekutuan, Pelayanan dan Kesaksian dengan pisau analisis nilai kesatuan Indonesia, maka
dapat dikatakan bahwa pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016, sebagaimana
terimplementasi dalam program-program: Pemantapan persekutuan dengan gereja-gereja se
provinsi Bali, Pemantapan hubungan gereja dengan negara dan bangsa, Partisipasi dalam
pembentukan gereja Kristen Indonesia yang esa, Pengelolahan sampah dan pelestarian
lingkungan, belum optimal bermuara pada pengagungan akan kesatuan Indonesia. Hal itu
dikatakan demikian, karena GKPB melalui pelaksanaan misinya pada periode 2012-2016,
hanya melihat Indonesia itu, sebatas sebagai satu tanah air yang menjamin seluruh
masyarakat Indonesia, bisa tinggal di dalamnya untuk melangsungkan hidup dan melakukan
misi, sehingga Indonesia dihayati hanya sebagai ladang misi saja. GKPB belum memahami
secara mendalam bahwa Indonesia yang mengagungkan kesatuan itu adalah karya
penyelamatan Tuhan, sehingga kesatuan Indonesia itu adalah subyek misi yang harus
dihidupi gereja.
Dalam rangka melaksanakan misi yang dijiwai oleh nilai kesatuan Indonesia, GKPB
bersama dengan gereja Indonesia lainnya, patut memahami dan mensossialisasikan
pemahaman tentang Indonesia sebagai karya penyelamatan Tuhan. Gagasan untuk
membangun dan mensosialisasikan teologi keindonesiaan bahwa Indonesia dan
keindonesiaan itu adalah karya penyelematan Tuhan, bisa diwujudkan melalui alat-alat
58
Hasil pertemuan dan diskusi dengan I Wayan Diksa, I Ketut Firman, I Ketut Suartana, Rai Wira
Dana, Ni Gusti Ayu Stiti, Franky Wardana, I Nengah Swikrama, I Nyoman Yohanes, I Putu Suranata, I Nyoman
Murdita, I Ketut Philipus Arya Wijaya, I Wayan Bagia, I Made Suastiana Adi dan Ni Nyoman Puri.
261
kelengkapan organisasinya seperti: pemahaman iman, liturgi, tata gereja, peraturan, struktur,
tradisi dan kegiatan gerejawi. Dalam membangun dan mensosialisasikan pemahaman
tentangIndonesia dan terutama keindonesiaan sebagai karya penyelamatan Tuhan, gereja
dapat mengingatkan seluruh warganya, bahwa pembentukkan Indonesia dan keindonesiaanitu
terjadi bukan terutama karena kehebatan para pendiri bangsa, tetapi justru karena pertama
dan utama adanya campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Bahwa terlahirnya Indonesia terutama karena adanya campur tangan Tuhan terproyeksi
dari keyakinan bangsa Indonesia, bahwa kemerdekaan yang diperolehnya per 17 Agustus
1945 itu merupakan bagian dari karya penyelamatan Tuhan. Keyakinan tersebut mempunyai
dasar dalam sejarah lahirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Sejarah itu memperlihatkan
bahwa, paling sedikit ada dua disain proklamasi kemerdekaan yang direncanakan sehingga
nyaris terjadi.Desain proklamasi pertama adalah disain proklamasiyang dipersiapkan oleh
BPUPKI, yang dilaporkan oleh Soekarno-Hatta kepada Laksamana Terauchi di Dalat dekat
Saigon pada tanggal 15 Agustus 1945.Menurut disain itu, proklamasi kemerdekaan akan
dilaksanakan sekitar tanggal 22 Agustus 1945. Pada disainitu, proklamasi kemerdekaan akan
dilakukan dengan naskah proklamasi yang disebut denganPernyataan Indonesia Merdeka.
Disain proklamasi itu oleh para pemuda waktu itu disebut sebagai “proklamasi hadiah
Jepang”.Disain proklamasi kedua adalah proklamasi para pemuda yang ingin dilaksanakan
oleh para pemuda sendiri tanggal 16 Agustus 1945.
Dalam kenyataannya, kedua disaintermaksud di atas gagal dilaksanakan.Yang terjadi
adalah proklamasi kemerdekaan yang bukan kedua disain itu. Proklamasi kemerdekaan yang
terjadi yakni disain ketiga,yangmerupakan hasil dari percakapan panjang tanggal 16 Agustus
1945 antara para pemuda dengan Soekarno-Hatta. Naskah proklamasi pada disain ketiga ini
sangat sederhana namun bermakna dalam.Disain ketiga ini oleh Mohamad Roem disebut
sebagai proklamasi “kemerdekaan sebagai rahmat Tuhan.”59
Berdasarkan pada sejarah yang
demikian ini, kemerdekaan Indonesia itu bukan rekaan panitia BPUPKI ataupun rekaan para
pemuda. Kemerdekaan Indonesia terjadi senyatanya karena adanya campur tangan Tuhan
sendiri, sesuatu yang terjadi di luar rencana sebelumnya. Dengan naskah proklamasi yang
sangat sederhana itu, kemerdekaan yang diproklamirkan membawa mandat yang lebih
59
Muhamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah(Jakarta:Bulan Bintang,1972),50.
262
terbuka ketimbang naskah proklamasi yang sudah disiapkan oleh BPUPKI sebelumnya, yang
lebih kental dengan muatan mandat-mandat tertentu.60
Bahwa Indonesia merdeka sebagai karya penyelamatan Tuhan adalah Indonesia dengan
Pancasila sebagai dasarnya dan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan moralnya,
adalah suatu bangsa dimana manusia Indonesia memandang manusia Indonesia lainya
sebagai sesama manusia yang setara, yang sama-sama memiliki kemerdekaan politik. Pada
masa pemerintahan penjajahan tidak ada kemerdekaan politik di Indonesia.Yang ada
keterbatasan politik.Oleh karena itu keselamatan secara rohani yang terjadi ketika ada orang
Indonesia menjadi Kristen di bawah pemerintahan penjajahan bangsa Barat yang pada
dasarnya adalah Kristen, tidak memberikan kepada orang Indonesia Kristen itu, kesamaan
kemanusiaan yang utuh. Dalam hal ini, keselamatan di dalam agama saja tidak mempunyai
makna apa pun terhadap kemanusiaan seseorang, bila tiada di dalamnya kemerdekaan politik.
Hanya bila ada kemerdekaan politik, keselamatan itu akan menjadi penuh. Di dalam alam
Indonesia merdeka, batasan-batasan politik yang diberlakukan oleh pemerintahan penjajah
bisa diatasi. Dalam pemahaman bahwa Indonesia adalah karya keselamatan Tuhan, seluruh
rakyatIndonesiadari agama manapun mereka berasal adalah umatNya.Perlakuan anak bangsa
yang tidak setara antara satu terhadap yang lainnya, merupakan sikap yang sangat tidak
menghormati Tuhan Sang Penyelamat atau Penganugerah Indonesia.61
Dari sudut pandang teologiKristen, karya keselamatan Tuhan atas Indonesia seperti
tersebut di atas bisa mengacu pada Roh Tuhan yang ada di dalam Yesus untuk membebaskan
manusia dari perlakuan diskriminatif sesamanya (Yohanes 8:1-11). Pekerjaan Tuhan
menurunkan roh kesetaraan dalam keindonesiaan lebih termanifestasi nyata dalam:
Perubahan 7 kata dalam Piagam Jakarta, Pembukaan UUD 1945, batang tubuh UUD 1945
pasal 6 ayat 1, dan pasal 29 ayat 1.Sebagai karya penyelamatan Tuhan, Indonesia
diselamatkanNya melalui roh kesetaraan politik, sehingga seluruh rakyat Indonesia yang
sangat majemuk di dalam Indonesia merdeka, bisa hidup sederajat sebagai bangsa yang satu
dalam keragaman dan beragam dalam kesatuan. Sebagai karya keselamatan Tuhan, kesatuan
Indonesia ialah Indonesia untuk semua dan semua untuk Indonesia. Sebagai karya
60
John A.Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 12. 61
Ibid., 13.
263
keselamatan Tuhan, Indonesia adalah negara yang beragama, tetapi bukan negara agama.
Semua agama Indonesia berketuhanan satu yaitu Tuhanya bangsa Indonesia.62
Keagamaan Indonesiasebagaimana telah ditunjukkan oleh Pembukaan UUD’45 dan
sila pertama dari Pancasila adalah sarat dengan muatan signifikansi kemanusiaan.
Religiositas Indonesia melampaui batas-batas konvensional dari pemahaman
keberagamaannya sendiri.Religiositas Indonesia yang demikian ini bukanlah religiositas yang
eksklusif, atau inklusif, atau pluralis, tetapi transformatoris. Sebagai religiositas yang
transformatoris, religiositas Indonesia menuntut pemahaman yang melewati batas-batas
kebenaran ajaran dan dogma hasil pergumulan manusia dalam agamanya masing-masing, dan
menempatkan dirinya sebagai manusia yang bertuhan satu saja Tuhannya semua manusia
Indonesia, yaitu Tuhan Pencipta, sumber dari segala kehidupan dan kemanusiaan manusia.Di
depan Tuhan yang satu itu, manusia Indonesia dengan agamanya masing-masing
menempatkan dirinya dalam kerendahan da kesadaran bahwa bersama-sama mereka adalah
anak-anak dari Tuhan yang satu itu, dengan segala kekuatan dan kelemahan mereka,
kemuliaan dan kehinaan mereka.
Berpayungkan pada keagamaan yang demikian, manusia Indonesia adalah manusia
yang berjanji dan berusaha dengan segala kekuatannya untuk memahami dengan lebih baik
Tuhan yang satu itu, dan kehendakNya bagi umat manusia, lewat pengalaman bersama dan
pengenalan terhadap sesamanya dengan agamanya, tentang penghayatan mereka terhadap
Tuhan itu. Dengan berreligiositas Indonesia yang seperti ini, manusia Indonesia
dimungkinkan untuk semakin mengenal Tuhan dengan lebih baik sehingga mereka juga akan
menjadi semakin baik. Bila gereja dan semua agama Indonesia lainnya melihat Indonesia
sebagai karya keselamatan Tuhan, seluruh masyarakat Indonesia memiliki panggilan untuk
mengagungkan kesatuan Indonesia.63
Berdasar pada teologi bahwa kesatuan Indonesia
adalah karya penyelamatan Tuhan, maka kesatuan Indonesia itu patut dihidupi sebagai misi
gereja.
Dalam mengkonstruksi misi gereja yang berdasar pada teologi bahwa Indonesia adalah
karya keselamatan Tuhan, GKPB dan gereja Indonesia lainnya terpanggil untuk memandang
dirinya bersama dengan semua agama lain yang ada di Indonesia, sebagai bagian dari
religiositas yang sama yakni religiositas Indonesia. Sebagai bagian dari religiositas Indonesia
62
John A.Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 3-4.. 63
Ibid., 15-16.
264
itu, semua agama Indonesia bersama-sama adalah umat yang mengakui Tuhan yang sama
itu, yakni Tuhannya bangsa Indonesia, yang dalam tradisi kekristenan Tuhan itu dipahami
sebagai Tuhan yang karakterNya dikenal dalam Yesus Kristus. Dalam konstruksi misi gereja
yang berreligiositas Indonesia, gereja Indonesia terpanggil untuk menyadari bahwa
pemahaman gereja tentang Tuhan yang dikenalnya melalui Yesus Kristus, tidaklah berarti
mentiadakan pemahaman terhadap Tuhan yang sama itu, menurut dan dalam tradisi-tradisi
keagamaan yang lainnya. Misi gereja yang dibangun di atas teologi bahwa Indonesia adalah
karya keselamatan Tuhan, akan menuntun gereja bersama-sama dengan semua agama
Indonesia lainnya, melalui keberadaan kebangsaan Indonesia, menyaksikan dan
mengembangkan sebuah religiositas yang menghormati Tuhan namun yang bersignifikansi
dan berimplikasi pada kemanusiaan.64
Edukasi dan sosialisasi tentang Indonesia dan keindonesiaan sebagai karya
penyelamatan Tuhan, nampaknya akan menuntun seluruh masyarakat kristiani Indonesia
untuk semakin menyadari dan memaknai Indonesia sebagaimodal nasional dimana mereka
bisa mengembangkan dirinya dengan keluhuran keindonesiaan, dan melihat Indonesia
sebagai rumah bersama mereka, untuk mereka pelihara bersama, karena hanya bila rumah
bersama mereka masih kokoh berdiri, mereka juga sebagai komponen bangsa masih
dimungkinkan bisa tinggal nyaman dan berdiri kokoh di dalam rumah itu.
Bertolak dari kesatuan Indonesia sebagai karya keselamatan Tuhan dalam pemahaman
seperti termaksud di atas, GKPB bersama dengan gereja Indonesia lainnya, akan tertuntun
untuk melihat bahwakebesaran Indonesia bukannya terletak pada luasnya negara Indonesia
itu, atau besarnya jumlah penduduk yang dimilikinya, atau kekayaan sumber daya alam yang
dipunyainya. Melainkanterletak dalam kenyataan bahwa sekalipun pada dasarnya negara ini
terbentuk dari suku bangsa yang bearagam dengan latar belakang sejarah, kebudayaan, dan
agama yang juga beraneka, namun negara ini mempunyai misi bahwa di negeri ini ada suatu
kehidupan kemanusiaan yang demokratis yang tidak didasarkan kepada asas mayoritas, tetapi
musyawarah untuk mufakat, suatu bentuk demokrasi politis yang lebih dapat menjamin
kemanusiaan setiap warga negaranya.65
Dengan berbekalpemahaman bahwa kesatuan Indonesia adalah karya penyelamatan
Tuhan, diharap GKPB dan gereja Indonesia lainnya, akan memiliki kesadaran untuk
64
John A.Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 15. 65
Ibid.,3-4.
265
menempatkan dirinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari fenomena kesatuan
Indonesia.Kesadaran untuk menempatkan diri sebagai bagian dari kesatuan Indonesia, akan
memampukan mereka menjadi gereja Indonesia yang mempunyai nuansa-nuansa yang
berbeda dari umat Kristendi luar Indonesia seperti kristianitas di Belanda dan Amerika.
Perbedaan itu tentu sesuatu yang wajar. Justru menjadi tidak wajar apabila kekristenan itu
lalu menjadi sama diseluruh tempat dan disepanjang masa. Perbedaan itu harus terjadi, karena
konteks sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dari umat Kristen yang ditempatkan oleh
Tuhan di Indonesia berbeda dengan konteks gereja di luar negeri seperti di Belanda dan
Amerika.Salah satu contoh perbedaan itu adalah konteks keragaman agama.
Gereja Indonesia mempunyai konteks keragaman agama yang lebih kaya katimbang
gereja Belanda atau gereja Amerika. Perjumpaan dengan agama yang beragam itu sendiri,
telah membuat gereja Indonesia lebih kreatif seperti dalam memahami makna Ketuhanan
Yang Maha Esa secara teologis antropologis, yang sangat menolong gereja menghayati
bahwa Indonesia senyatanya adalah Karya Penyelamatan Tuhan yang memuliakan
kemanusiaan.66
Demi bertumbuhkembangnya teologi gereja tentang Indonesia sebagai karya
keselamatan Tuhan, maka penyelenggaraan edukasi dan sosialisasi tentang Indonesia sebagai
negara beragama tetapi bukan sebagai negara agama, nampaknya sangat kondusif untuk
dilakukan. Hal itu diperkirakan demikian, karena melalui edukasi dan sosialisasi termaksud,
seluruh warga gereja diingatkan bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler yang terpisah
dari agama, tetapi juga bukan negara beragama yang menyatu dengan agama.67
Peringatan bahwa agama tidak terpisah dari negara, setidaknya akan menuntun setiap
warga gereja tentu bersama dengan agama-agama lainnya dan dengan negara untuk
menyadari bahwa mereka mempunyai panggilan untuk membimbing, memelihara dan
mengembangkan setiap agama secara aktif dan dinamis.Peringatan bahwa agama tidak
menyatu dengan negara, akan menuntun warga gereja untuk mengetahui bahwa posisi negara
tidak mewakili agama tertentu, sehingga negara tidak boleh didikte oleh agama tertentu, dan
juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada salah satu agama. Dalam Indonesia
negara beragama namun bukan negara agama, setiap warga negara mempunyai hak dan
kewajiban yang sama tanpa ada perbedaan. Setiap agama yang hidup di alam Indonesia
66
John A.Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 11-15. 67
A. Sunarko, “Agama di Ruang Publik Demokrasi Indonesia”,dalamBasis,(Jakarta:No,03-04,Tahun
ke 62,2013),11.
266
adalah anak masyarakat Indonesia, tidak ada anak emas diantara mereka.Semuanya tanpa
terkecuali adalah anak Indonesia.
Dalam menjaga kesatuan Indonesia, GKPB bersama dengan semua gereja dan agama
Indonesia, lewat kritik dan koreksinya yang bersifat kreatif dan konstruktif bukan reaktif,
patut membantu para pejabat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ada di lembaga
legislatif, eksekutif dan yudikatif untuk mempersembahkan keteladanan politik dan
kenegaraan, yang mengedukasi dan menginspirasi seluruh rakyat Indonesia lebih mengenal
dan menghayati kesatuan dalam kebhinnekaan Indonesia. Bila pejabat negara tidak
mencerminkan semangat kebhinnekaan dalam fungsi-fungsi mereka sebagai penyelenggara
negara, dampak negatif yang akan timbul adalah sesama anak bangsa bisa kehilangan rasa
saling percaya yang akan berbuntut saling mencurigai. Bila anak bangsa kehilangan rasa
saling percaya bahkan sampai menjadi saling mencurigai, maka realitas kesatuan Indonesia
akan sangat terancam.
VI.B.2. Pelaksanaan Misi GKPB Periode 2012-2016 Ditinjau Dari Nilai Kemanusiaan
Mengkaji pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 dalam bidang Persekutuan,
Pelayanan dan Kesaksian dari sudut pandang nilai kemanusiaan Pancasila, maka dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016, sebagaimana
teraktualisasi dalam program-program: Pemantapan spiritualitas Kristen bagi warga jemaat,
Pemantapan persekutuan keluarga kerajaan Allah, Pemantapan kekudusan dan ketertiban
gereja, Penerapan fungsi jabatan gerejawi, Penciptaan upacara-upacara gerejawi yang kreatif,
Pemantapan hubungan gereja dengan masyarakat, Pemantapan hubungan gereja dengan
agama-agama lain, Pendampingan sosial bagi orang dengan HIV dan AIDS dan juga bagi
orang dengan kebutuhan khusus; Penginjilan, lebih banyak sebagai karya yang berorientasi
pada penguatan gereja, dan kalaupun ada karya yang bermuara pada kemaslahatan
masyarakat, karya itu hanya berupa sebuah aksi solidaritas terbatas dari GKPB terhadap
sesama manusianya.
Bertolak dari fakta seperti tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa pelaksanaan
misi GKPB pada periode 2012-2016, belum sepenuhnya sebagai gerakan yang berkiprah
secara totalitas pada pemuliaan akan harkat kemanusiaan setiap sesama manusia. Hal itu
dinilai demikian, karena dalampelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016, GKPB
belum bisa melepaskan dirinya dari kungkungan religiolatry, bibliolatry, dogmalatry, yang
diwariskan kepadanya pada masa lalu dan yang masih diajarkan kepadanya pada masa
267
sekarang.Ketidakberaniannya melepaskan diri dari kungkungan-kungkungan tersebut di atas,
menyebabkan GKPB dalampelaksanaan misinya pada periode 2012-2016, masih memandang
dan memperlakukan sesamanya manusia secara tidak manusiawi. Bila GKPB bersama
dengan gereja Indonesia lainnya, hendak membagun peradaban dan melaksanakan misi yang
dijiwai oleh nilai kemanusiaan, gerejapatut membentuk dirinya dan pelayanannya
berspiritualitas humanis. Berspiritualitas humanis maksudnya memiliki dan menghadirkan
kesalehan yang bersifat sosial, yakni sebuah kualitas keagamaan yang tidak menistakan
kemanusiaan sesama manusia, tetapi justru yang menghargainya.
Beberapa hal yang GKPB bersama dengan gereja Indonesia lainnya, dapat lakukan
dalam pembentukkangereja berspiritualitas humanis adalah seperti:Pertama,
membebaskanwarga GKPB dan umat kristiani Indonesia lainnya dari: religionisme,
bibliotarisme dan dogmatolarisme. Kedua, membentuk umat Kristiani yangterbuka dan
berdialog dengan semua umat beragama lain. Ketiga, melatih warga gereja melaksanakan
kerja sama lintas agama yang berguna bagi masyarakat luas.
Dalam membebaskan warga gereja dari religionisme Kristen, yaitu sebuah pemahaman
dan sikap bahwa agama Kristen itu adalah sebuah agama tentang penyataan ilahi sehingga
kebenarannya bersifat absolut, gereja harus melakukan edukasi dan sosialisasi bahwa agama
itu selain memang memiliki sisi ilahi. pada dirinya juga ada sisi manusiawi yang sosial
sifanya. Hal itu terjadi demikian, sebab agama itu adalah penghayatan terhadap yang ilahi
dalam konteks sosial budaya dari manusia. Dalam keadaannya yang demikian, faktor sosial
budaya dari manusia turut membentuk pemahaman terhadap yang ilahi itu. Jadi dalam hal ini,
agama adalah suatu kenyataan sosial dan historis. Dalam bahasa Titaley, terbentuknya suatu
agama sangat tergantung pada bagaimana masyarakat tersebut menyapa yang Sang ilahi
melalui dan membawanya masuk dalam imajinasi budaya mereka.Dinamika sosial, politik
dan ekonomi masyarakat darimana kitab suci itu berasal, sangat mempengaruhi terbentuknya
teks-teks kitab suci itu.68
Dalam keadaannya yang demikian, bukannya tidak mungkin terjadi bahwa pada suatu
saat tertentu pengaruh dari faktor sosial budaya itu sedemikian kuatnya, sehingga keinginan
manusia lalu dirumuskan dengan bahasa ilahi. Sebagai akibatnya, atas nama agama tertentu,
sekelompok manusia tertentu dapat menciptakan kelas manusia, yang pada asasnya
68
John A.Titaley,Religiositas di Alinea Tiga:Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-
Agama(Salatiga:Satya Wacana University Press,2013),1,19.
268
merupakan pengingkaran terhadap keberadaan manusia itu sendiri.Berdasar pada fenomena
ini, faktor sosial budaya yang manusiawi sifatnya tidak bisa diabaikan dalam penghayatan
terhadap agama itu.69
Ketidaksadran terhadap faktor inilah yang masih memicu tumbuhnya
fanatisme buta di kalangan warga GKPB dan nampaknya di kalangan gereja Indonesia
lainnya juga dalam melakukan misi, sehingga pelaksanaan misi GKPB dan gereja Indonesia
lainnya, tidak sepenuhnya mengagungkan kemanusiaan bahkan tidak jarang mengabaikan
dan menistakannya.
Misi GKPB dan misi gereja Indonesia lainnya, yang hanya memperhatikan dimensi
ilahi dari agama dan tidak memperhatikan sisi sosial-budaya, baik dari masyarakat tempat
lahirnya kristianisme maupun masyarakat tempat dikembangkannya lebih lanjut
kekristenanitu, akan selalu menghasilkan konsepsi dan pelaksanaan misi gereja yang sempit
dan destruktif. Ketidaksadaran terhadap realitas sosial dari agamaKristen inilah, yang sering
menjadi salah satu sebab munculnya konflik antara gereja dengan agama-agama lain, karena
perasaan superioritas gereja terhadap agama-agama yang lainnya. Konflik antara gereja
Indonesia dan agama-agama Indonesia lainnya, tidak akan terjadi bila dalam melakukan
misinya, gereja dan semua agama lain melakukan suatu pedalaman pemahaman tentang
agama dengan melihat agama itu dari kedua dimensinya, yaitu dimensi yang ilahi dan sosial.
Pendalaman pemahaman tentang agama dengan melihat agama itu dari kedua
dimensinya yaitu dimensi yang ilahi dan sosial, dalam rangka membebaskan warga gereja
dari religionisme dan bibliotarianisme, yaitu sebuah sikap penyembahan terhadap agama
Kristen dan Alkitab karena diyakini sebagai penyataan Tuhan, gereja mesti berani melakukan
dekonstruksi Alkitab, sebelum di atasnya direkonstruksi suatu teologi misi.Dalam proses
hermeneutik yang demikian, GKPB dan gereja Indonesia lainnya patut: Pertama,
menempatkan Alkitab bukan sebagai “medium keselamatan” kelak di akhirat, melainkan
sebagai sarana untuk memahami peristiwa sosial-politik-keagamaan yudaisme dan
kristianisme di masa silam. Kedua, melepaskan diri dari kungkungan budaya Yahudi yang
melekat dalam tradisi gereja.Perilaku yang demikian ini,akan memungkinkan gereja
Indonesia membebaskan diri dari religionisme dan bibliotarisme, sehingga bisa membangun
konsepsi dan pelaksanaan misi yang bermuara pada pemuliaan akan kemanusiaan.70
69
John A.Titaley,Pembangunan dan Pengembangan . . . , 2,5. 70
Ibid., 3.
269
Dekonstruksi teks Alkitab guna untuk membebaskan warga gereja dari religionisme
dan bibliotarisme, guna untuk membentuk warga gereja yang berspiritualitas humanis mutlak
dilakukan, karena akar-akar tindakan dehumanisasi, kekerasan, anti-pluralisme yang
dilakukan oleh para misionaris dan gereja di masa lalu dan juga masih berlanjut sampai
sekarang, bersumber pada sejumlah teks Alkitab yang tidak demokratis dan sangat eksklusif,
seperti Yohanes 3:16,71
Yohanes 14:6,72
Kisah Para Rasul 4:1273
dan Matius 28:19,2074
.
Teks-teks Alkitab yang seeksklusif seperti itulah, yang terus-menerus diproduksi dan
direproduksi oleh kelompok gereja dan rezim politik tertentu untuk dijadikan sebagai basis
atau fondasi teologis guna melakukan tindakan yang berlawanan dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta kontra terhadap esensidan fungsi agama sebagaiintegrator sosial. Teks-
teks Alkitab yang sedemikian itu, harus dibongkar, dilihat ulang dan dikaji dengan seksama
melalui pendekatan sosio-historis, agar gereja mengetahui konteks dan asal-muasal lahirnya
teks-teks itu, dan tidak terperangkap ke dalam ketaatan buta terhadap doktrin dan apologetik
gereja.
Dalam mendekonstruksi sejumlah teks-teks Alkitab, dengan maksud untuk
membebaskan warga gereja dari religionisme dan bibliotarianisme, sesungguhnya GKPB dan
gereja Indonesia lainnya tengah melakukan demokratisasi dalam pengkajian dan penafsiran
teks-teks Alkitab yang selama ini dibekukan dan dibakukan oleh sekelompok kristianitas
tertentu. Dalam melakukan upaya demokratisasi yang demikian, GKPB dan gereja Indonesia
lainnya, sesungguhnya mulai menjadikan antroposentrisme sebagai watak dan bukan lagi
teosentrisme dalam pengkajian dan penafsiran teks-teks Alkitab.Pengkajian dan penafsiran
teks-teks Alkitab yang berwatak antroposentris, akan membantu GKPB dan gereja Indonesia
lainya mengembangkan tafsir dan pemahaman terhadap teks-teks Alkitab, yang akan
mematangkan pemahaman GKPB dan gereja Indonesia lainnya bahwa, agama bukanlah
merupakan kekuatan pembelah yang diskriminan, melainkan justru ia adalah kekuatan
pemersatu.
71
Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang
tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. 72
Akulah jalan, kebenaran dan hidup.Tidak ada seorangpun yang sampai kepada Bapa, kalau tidak
melalui Aku. 73
Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong
langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehNya kita dapat diselamatkan. 74
Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan
Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan
ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.
270
Dengan terbebasnya warga GKPB dari religionisme dan biblitarianisme, GKPB dan
gereja Indonesia lainnya, akan dimungkinkan untuk berpandangan dan sekaligus mampu
bersiar seperti Dalai Lama bersaksi bahwa semua agama itu hanyalah jalan belaka.75
Dampak
dari pembebasan umat dari sikap religiolatry dan bibliotalatryseperti termaksud di
atas,diharap akan menumbuhkembangkan spiritualitas warga gereja Indonesia yang
menghormati Allah berupa sikap membiarkan Allah menjadi Allah,76
dan sekaligus
menghormati semua manusia yang beragama lain dengan berpandangan bahwa, “people take
different roads seeking fulfillment and happiness. Just because they are not on our road does
not mean they are lost.”77
Selanjutnya dalam program pendampingan dan pendidikan untuk pembebasan umat
kristiani dari dogmatolarisme, gereja patut membantu warganya agar memahami dan
memposisikan dogma gereja bukan sebagai sesuatu yang baku, apalagi sebagai sesuatu yang
bersifat ilahi. Hal itu patut dilakukan, karena sebuah dogma agama sebagaimana juga
dipandang oleh Raymondo Panikkar, hanyalah instrument lewat mana kita menjelaskan apa
yang kita imani. Oleh karena itu, tidak salah bila kita selalu mereformasinya untuk
menghadapi situasi baru78
dan demi transformasi sosial yang mengagungkan kemanusiaan.
Sebaliknya kita justru tetap akandimungkinkan melakukan kesalahan demi kesalahan yang
menistakan kehidupan dan kemanusiaan, bila kita memandang sebuah doktrin agama yang
senyatanya sangat mendegradasi martabat kemanusiaan, sebagai sebuah kebenaran yang
bersifat absolut.
Terhadap masyarakat kristiani yang telah berangsur-angsur membuang sikap
religiolatry,bibliotalatry dan dogmatalatrynya, program pembentukkan komunitas kristiani
yang terbuka dan berdialog dengan semua masyarakat beragama lain, tidak hanya sangat
kondusif untuk dilakukan, tetapi program itu juga diperkirakan akan sangat membantu gereja
membangun spiritualitas humanis. Bahwa dialog dikatakan sebagai program pembentuk
75
Sumanto Al Qurtuby, “John Titaley di Mataku”. . . . , 97. 76
M.Thomas Thangaraj, “Let God Be God:Crossing Boundariers as aTheological Practice” dalam
D.N.Premnath(ed.),Border Crossing:Cross-Cultural Hermeneutics(New York:Orbis Books),100. 77
People take different roads seeking fulfillment and happiness, Just because they are not on your
road does not mean they are lost”. Ini adalah pandangan Dalai Lama terhadap eksistensi masing-masing
agama.Dikutip oleh Sumanto Al Qurtuby. Lihat Sumanto Al Qurtuby, "John Titaley di Mataku” dalam Steve
Gaspersz, Tedi Kholiludin(eds.),Nyantri Bersama John Titaley(Salatiga:SatyaWacana University
Press,2014),85. 78
Ebenhaizer I.Nuban Timo,Gereja Lintas Agama,Pemikiran-Pemikiran Bagi
PembaharuanKekristenan di Asia(Salatiga:Satya Wacana University Press,2013),281-282. Lihat juga,
Raymondo Panikkar,The Unknown Christ of Hinduism,Completely Revised and Enlarge Edition(New
York:Orbis Book,1981),52-55.
271
spiritualitas humanis, karena dalam dialog masyarakat Kristiani bersama dengan umat
bergama laindimungkinkan melakukan langkah praksis untuk menyeberang atau melintas
batas, dengan membawa identitas yang berkarakter dinamis, karenadisadarinya identitas itu
bisa berubah, dalam interaksi dan negosiasi yang terjadi.79
Bahwa program dialog diduga akan sangat menumbuhkembangkan spiritualitas
humanis, adalah karena dengan saling mendialogkan dirinya dan keyakinannya, masing-
masing agama baik agama-agama dunia maupun agama-agama suku Indonesia, akan semakin
meyadari bahwa mereka semua adalah manusia kepunyaan Tuhan, yang sama-sama
memiliki kebenaran agama yang berbilang sifatnya, tetapi juga bersamaan dengan itu sama-
sama mempunyai keterbatasan dalam memahami Tuhan. Konsekuensi logis dari kesadaran
yang demikian ini, dapat diraba akan menuntun umat beragama Indonesia untuk bisa saling
merendahkan diri atas keterbatasan pemahaman mereka, dan seraya dengan itu saling
menghormati karena mereka bisa saling belajar satu sama lain, dari kelebihan dan
kekurangan mereka masing-masing. Cara beragama yang menghormati Tuhan dalam bentuk
mau saling belajar pemahaman tentang Tuhan dari umat beragama lain,akan sangat
membantu gereja bersama dengan umat beragama lainmewujudkan bahkan menggelorakan
spiritualitas yang manusiawi
Dalam dialog agama, semua agama melakukan praksis “ menyeberang atau melintas
batas”. Tindakan menyeberang batas ini, oleh Pui-Lan disebut sebagai “border passage”,
yaitu sesuatu yang mengindikasikan sebuah proses yang sedang berlangsung dalam
perjalanan yang sementara ditempuh, dan sekaligus sebagai bagian penting dari sejarah
kehidupan yang sangat mempengaruhi kepribadian manusia.80
Dalam “border passage” ini,
GKPB dan gereja Indonesia lainnya mesti menyadari bahwa identitas yang dibawanya dalam
perjumpaan itu, adalah identitas dinamis yang bisa berubah, sebagai akibat dari interaksi dan
relasi yang terjadi. Kesadaran yang demikian ini, dibangun berdasarkan pada pemahaman,
bahwa Tuhan tidak dapat dibatasi dalam suatu budaya, doktrin atau praktek agama tertentu
saja, karena keagungan Tuhan tidak bisa direduksi oleh keterbatasan pemikiran dan
pengetahuan manusia. Kesadaran gereja akan identitas dinamis yang dibawanya dalam
kehidupan bermasyarakat, menunjukkan pula bahwa gereja Indonesia secara tidak langsung
terpanggil untuk bersikap membiarkan Tuhan menjadi Tuhan. Panggilan untuk bersikap
79
Pui-Lan,dalam D.N.Premnath(ed.),Border Crossing:Cross-Cultural Hermeneutics(New York:Orbis
Books), 104. 80
Ibid.
272
membiarkan Tuhan menjadi Tuhan sebagaimana diungkap oleh M. Thomas Thangaraj, “Let
God be God,”81
adalah sebuah spiritualitas yang sangat humanis.
Panggilan gereja Indonesia untuk bersikap “membiarkan Tuhan menjadi Tuhan” dalam
berdialog dan bernegosiasi dengan semua agama di Indonesia, adalah sebuah tuntutan
pemahaman dan pengakuan bahwa hakikat Tuhan yang sebenarnya tidak akan mampu
ditangkap oleh gereja dan oleh semua agama lainnya secara sendiri-sendiri karena senyatanya
masing-masing pemikiran setiap agama tentang Tuhan hanyalah sebuah pengambilan
kebenaran berdasarkan perspektif yang digunakan.Apa yang bisa dilakukan oleh setiap
agama hanyalah menerka atau meraba-raba saja dari zat Tuhan itu. Produk dari hasil rabaan
manusia inilah yang membuat masing-masing umat beragama memiliki ide atau konsep
tentang “Tuhan budaya”.Tuhan budaya hasil rabaan manusia tentu tidak bisa diklaim sebagai
“Tuhan” yang sebenarnya.
Demikian pula kebenaran agama berbilang sifatnya, sebab yang sungguh-sungguh tahu
bahwa suatu kebenaran itu betul-betul benar hanyalah Tuhan sendiri.Oleh karena begitu
keadaan gereja dan semua agama lainnya dalam memahami Tuhan, maka dalam berdialog
dan bernegosiasi dengan semua agama di Indonesia, gereja patut mempelopori dan mengajak
semua umat beragama untuk bisa saling memahami keterbatasan masing-masing dan
sekaligus saling belajar satu dengan yang lainnya dengan penuh hormat dan rasa tanggung
jawab. Pembentukkan gereja yang berspiritualitas humanis lewat dialog dan negosiasi
dengan semua agama Indonesia, seperti termaksud di atas, akan membantu gereja bersama
dengan semua agama lainnya untuk semakin menyadari bahwa sikap keberagamaan yang
cendrung fanatik dan tertutup terhadap kebenaran agama lain justru akan menyebabkan
kemunduran kita dalam beragama. Perjuangan menjadi gereja berspiritualitas humanis
melalui dialog dan negosiasi, nampaknya akan mengarahkan gereja untuk berhenti melulu
melihat jalan yang mereka biasanya lalui dan juga berhenti untuk selalu mengabaikan
bahkan menyalahkan jalan-jalan lain. Pembentukkan gereja yang berspiritualitas humanis
lewat dialog dan negosiasi, mengantar gereja bersama dengan semua agama lainnya untuk
bisa bersuara seperti Dalai Lama berkata: “People take different roads seeking fulfillment
and happiness. Just because they are not on our road does not mean they are lost.”82
81
M.Thomas Thangaraj, “Let God Be God:Crossing Boundariers as a Theological Practice” dalam
D.N.Premnath(ed.),Border Crossings: Cross-Cultural Hermeneutics(New York: Orbis Books),100. 82
Sumanto Al Qurtuby, “John Titaley di Mataku” dalam Steve Gaspersz, Tedi
Kholiludin(eds.),Nyantri Bersama John Titaley(Salatiga: Satya Wacana University Press, 2014),85.
273
Upaya membentuk gereja berspiritualitas humanislewat dialog dan negosiasi sungguh
akan memperkaya wawasan teologi dan kearifan sosial gereja bersama dengan semua umat
beragama lainnya. Panggilan hidup beragama untuk berdampingan dalam relasi saling
memperkaya oleh Raymondo Panikkar sebagaimana direiterasi oleh Ebenhaizer I Nuban
Timo, dinamakan dengan beberapa istilah seperti: interpenetration (saling mendiami), mutual
fecundation (saling menghidupkan dan menyuburkan),dan mutation in the self-interpretation
(penyesuaian dalam hal interpretasi diri). Kemudian lebih jauh Raymondo Panikkar juga
mengemukakan bahwa dalam rangka mentibakan diri pada relasi saling memperkaya diri
yang demikian, masing-masing agama patut menjauhkan empat sikap korup dalam hidup
bersama antara pemeluk agama.
Keempat sikap yang dimaksud Panikkar itu adalah sebagai berikut: Pertama, sikap
isolasi diri dari tiap agama sembari merendahkan atau meremehkan agama lain. Sikap
beragama yang demikian, menurut Panikkar merupakan tanda kebertuhanan yang egois dan
akan berakhir pada kepunahan agama itu. Kedua, sikap subsitusi dari tiap agama dimana
agama yang satu dianggap sebagai pengganti agama yang lain. Sikap agama ini oleh Panikkar
dinilai a-religius, hanya akan menciptakan kekacauan diantara agama. Ketiga, sikap ecletic
unity, yakni sikap menyatukan agama berdasarkan prinsip-prinsip yang sama pada agama
yang berbeda. Sikap seperti ini, bagi Panikkar tidak realistik karena mengabaikan situasi riil
dan sejarah yang sesungguhnya dari agama-agama. Keempat,sikap koeksistensi damai, yaitu
sikap memperlihatkan adanya perdamaian antar agama yang dimotivasi oleh adanya
kepentingan politis. Sikap yang demikian ini, oleh Panikkar dinilai dangkal tidak akan
mampu menciptakan hubungan yang benar dan lestari antara agama-agama.83
Gagasan untuk menjadi gereja berspiritualitas humanis lewat dialog dan negosiasi
dengan semua agama, diperkirakan akan mampu membangkitkan kearifan sosial gereja.
Dengan kata lain, gagasan termaksud idealnya akan menuntun gereja Indonesia untuk
menjadi lebih inklusif dan toleran terhadap komunitas agama lain, serta meyakini bahwa
fakta kebenaran tidak hanya dimonopoli oleh gereja saja tetapi itu juga ada pada agama dan
kepercayaan lain.84
Dalam spiritualitas yang demikian, gereja belajar untuk mengakui bahwa
83
Ebenhaizer I Nuban Timo, Gereja Lintas Agama, Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan
Keristenan di Asia(Salatiga: Satya Wacana University Press,2013),261-263. Lihat juga, Raymondo Panikkar,
The Unknown Christ of Hinduism, Completely Revised and Enlarge Edition(New York:Orbis Book,1981),32. 84
Andreas A. Yewangoe sebagaimana dituturkan oleh Ebenhaizer I. Nuban Timo berpandangan
bahwa agama-agama adalah pemberian Allah kepada manusia.Sebagai pemberian Allah, Yewangoe lebih jauh
menegaskan bahwa ada unsur kebenaran dalam agama-agama.Oleh karena dalam agama-agama ada unsur
kebenaran, Yewangoe mengajak gereja Indonesia untuk menggiatkan upaya-upaya mendalami agama-agama
274
menjadi Kristen atau bukan, tidaklah hal yang penting, karena setiap individu memiliki latar
belakang dan pengalaman sejarah yang berlainan, dimana halitu membentuk struktur teologi
dan kultur keagamaan yang berlainan pula. Melanjutkan pengakuan itu, gereja Indonesia juga
akan mendapat pencerahan sehingga bisa menegaskan bahwa yang paling penting dalam
beragama di Indonesia adalah bagaimana gereja bersama dengan semua agama Indonesia itu
hidup.85
Selanjutnya masih dalam gagasan untuk membentuk gereja yang berspiritualitas
humanis, program kerja sama gereja dengan semua agama Indonesia untuk kemanusiaan,
sangat strategis untuk dilakukan. Dengan melaksanakan program tersebut, gereja bersama
dengan semua agama Indonesia melakukan edukasi yang menuntun masyarakat Indonesia
menjadi insan yang semakin memiliki kepekaan terhadap masalah kemanusiaan, semakin
ramah terhadap perbedaan, semakin tergerak menjadi pengayom kemajemukan, dan semakin
bergairah untuk menjadi manusia Indonesia yang bermanfaat bagi orang banyak.
Terbentuknya insan Indonesia yang demikian, sebagai hasil dari program kerja sama lintas
agama untuk kemanusiaan, akan semakin membuat masyarakat Indonesia menyadari bahwa
yang paling penting dalam beragama, adalah bagaimana penganut masing-masing agama itu
menjalani hidup yang berguna bagi kemanusiaan. Sikap keagamaan yang tidak menempatkan
agama sebagai tujuan, melainkan sebagai sarana untuk mewujudkan kebajikan bagi
kemanusiaan adalah sebuah manifestasi dari spiritualitas humanis.
Dadalam mewujudkan kebajikan berupa kemajuan manusia dalam hal-hal
kemanusiaan, gereja Indonesia bersama dengan semua agama di Indonesia, patut membantu
pemerintah dan masyarakat Indonesia, menciptakan kehidupan demokrasi yang
secara teologis. Ajakan untuk mendalami agama-agama secara teologis memimpin Yewangoe membuat seruan
agar komunitas Kristen tidak memandang orang dari agama lain sebagai orang asing melainkan tetangga.
Teologi kita terhadap saudara-saudara dari agama lain, kata Yewangoe, bukan lagi teologi permusuhan
melainkan teologi keramahan. Masing-masing agama di Indonesia, di mata Yewangoe, adalah mitra dalam
perjalanan bersama sejarah umat manusia, khususnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Lihat, Ebenhaizer I.
Nuban Timo, Gereja Lintas Agama, Pemikiran-Pemikiran Bagi Pembaharuan Kekristenan di
Asia(Salatiga:Satya Wacana University Press,2013),44-46. Lihat juga,Andreas A. Yewangoe, Agama dan
Kerukunan(Jakarta:BPK Gunung Mulia,2006),76,84. Andreas A. Yewangoe,Tidak Ada Penumpang
Gelap(Jakarta:BPK Gunung Mulia,2009),53. 85
Bahwa agama itu adalah sarana dan bukan tujuan, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Emmanuel Gerrit Singgih sebagaimana direiterasi oleh Ebenhaizer I Nuban Timo, bahwa agama tidak absolut.
Hanya Tuhan yang absolut. Justru karena agama tidak absolut, maka masing-masing agama patut terbuka satu
sama lain dalam hal kemanusiaan dan juga dalam hal pemahaman tentang Tuhan. Singgih mengajak kita untuk
melihat bahwa orang beragama lain bukanlah orang yang tidak beriman. Dia mengatakan ini dalam hubungan
analisa dan pemahamannya mengenai kisah perjumpaan Yesus dengan perempuan Siro-Fenesia seperti yang
dituturkan oleh Markus 7:24-30. Lihat, Ebenhaizer I Nuban Timo, Gereja Lintas Agama,Pemikiran-Pemikiran
Bagi Pembaharuan Kekristenan di Asia (Salatiga: Satya Wacana University Press,2013),106-107.
275
menghargaiagama, dan kehidupan agama yang menghormatidemokrasi. Dalam kehidupan
yang demikian, demokrasi tidak boleh mengabaikan agama dan agama tidak boleh alergi
terhadap demokrasi.Negara harus mendorong agar agama masuk ke dalam diskusi politik
guna untuk mengemukkakan aspirasi-aspirasinya dalam bahasa particular mereka, yang bisa
dimengerti oleh publik.Agama patut berbuat demikian karena dari segi rasional agama
merupakan intuisi moral yang mengagungkan hak-hak asasi manusia dan keadilan, dan dari
sudut pandang motivasional, agama memelihara solidaritas hidup bersama dan persaudaraan
universal umat manusia.
VI.B.3. Pelaksanaan Misi GKPB Periode 2012-2016 Ditinjau Dari Nilai Kesetaraan
Membedah pelaksanaan misi GKPB periode 2012-2016 pada bidang Persekutuan,
Pelayanan dan Kesaksian, dengan pisau analisis nilai kesetaraan Pancasila, maka dapat
diungkapkan bahwa pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016 sebagaimana
teraktualisasi dalam program-program: Pemberdayaan warga GKPB untuk berjiwa wira
usaha, Pemberian modal sebagai sarana usaha bagi masyarakat miskin, Penyelenggaraan
panti asuhan dan beasiswa, Pemberdayaan warga GKPB untuk mengagungkan pendidikan,
Penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah, baru berupa sebuah pelayanan sosial
terbatas GKPB terhadap sesama manusia yang miskin, belum sebagai kepedulian sosial
radikal yang berorientasi pada terciptanya kesetaraan masyarakat Indonesia secara nyata. Hal
itu dinilai demikian, karena pelaksanaan misi GKPB pada periode 2012-2016, di Indonesia
yang bermoralitaskan kesetaraan, masih sangat kuat dipengaruhi bukan oleh roh kegotong-
royongan, tetapi justru oleh semangat kapitalisme. Dengan kata lain, pelaksanaan misi GKPB
pada periode 2012-2016, di Indonesia yang berjiwa gotong-royong, justru masih dijiwai oleh
kapitalisme yang tidak mengenal sambung rasa itu.
Dalam rangka membangun peradaban yang dijiwai oleh nilai kesetaraan Pancasila,
maka GKPB bersama dengan gereja Indonesia lainnya patut membentuk warganya menjadi
anak bangsa yang beretika sambung rasa. Hal ini patut dilakukan, sebab kesenjangan
masyarakat Indonesia di bidang ekonomi dan sosial,yang nampaknya disebabkan oleh adanya
sikap ketidakpedulian di antara anak bangsa, sangat mencolok. Kemudian kesenjangan
ekonomi dan sosial ini sering menjadi akar masalah terjadinya tindakan-tindakan kekerasan
dalam masyarakat.
Dalam rangka membentuk gereja yang beretika sambung rasa, melalui alat-alat
kelengkapan organisasinya dan kegiatan-kegiatannya, gereja dapat melakukan beberapa hal
276
sebagai berikut: Pertama, melakukan edukasi dan sosialisasi tentang sistem ekonomi
Indonesia. Kedua, memberdayakan warga gereja untuk berpandangan kritis dan kreatif dalam
berpartisipasi untuk memposisikan pembangunan nasional itu,sebagai pembangunan yang
berkiblat pada kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Ketiga, mengkarakterisasi dan
memotivasi lembaga-lembaga pelayanan gerejawi sebagai lembaga yang memberdayakan
masyarakat miskin untuk menjadi masyarakat pembangun dengan memberikan mereka
bantuan yang bersifat transformatif bukan karitatif. Keempat, membentuk warga gereja untuk
memiliki karakter kesederhanaan dan pola hidup cukup. Kelima, memberdayakan gereja
untuk memiliki lembaga-lembaga pemberi bantuan karitatif, sebagai lembaga yang
menyalurkan bantuan urgen kepada masyarakat yang sangat memerlukannya secara
mendesak.
Melalui edukasi dan sosialisasi tentang sistem ekonomi Indonesia, gereja mengajarkan
warganya bahwa Indonesia adalah negara yang berekonomi dengan sistemsosialis ala
Indonesia, yaitu sebuah sistem ekonomi hasil perpaduan apa yang baik dari kapitalisme dan
sosialisme. Dalam sistem ekonomi sosialis ala Indonesia, negara sangat menghargai
kebebasan setiap individu untuk membangun ekonomi dan mendapat hak milik, namun
dengan penekanan bahwa setiap individu itu adalah individu yang koperatif dengan sikap
altruis yang mengedepankan tanggung jawab dan solidaritas sosial bagi kebajikan kolektif.
Dengan sistem ekonomi “sosialis ala Indonesia”, negara menghendaki setiap aktivitas
ekonomi rakyat Indonesia, harus dijiwai oleh semangat: kekeluargaan, tolong-menolong,
kooperasi, gotong royong, guna untuk mengupayakan keuntungan bersama bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dengan mengajarkan sistem ekonomi Indonesia yang demikian, kita bisa
membentuk warga gereja berkarakter gotong royong dalam berekonomi, yaitu rajin bekerja
dan berusaha untuk keuntungan ekonomi, yang bermuara bukanpada pengumpulan kekayaan
pribadi namun pada kesejahteraan bersama.
Setelah berbekal pengetahuan tentang ekonomi Indonesia bersistem sosialisme gotong
royong, yakni sebuah sistem usaha pembangunan ekonomi yang bebas, tetapi dalam rangka
mensejahterakan orang banyak, gereja dapat memberdayakan warganya untuk memiliki
gagasan-gagasan kritis dan kreatif tentang esensi pembangunan nasional. Dengan memiliki
pikiran-pikiran yang konstruktif tentang pembangunan naional, warga gereja diharap mampu
berpartisipasi aktif bersama dengan semua komponen bangsa lainnya dan bersama dengan
pemerintah, dalam memposisikandan memfungsikan pembangunan nasional itu, sebagai
pembangunan bersama seluruh rakyat Indonesia, yang berorientasi pada kesejahteraan
277
seluruh rakyat Indonesia. Dalam kontribusinya yang demikian, gereja dapat menyuarakan
bahwa tidak dibenarkan seorang atau satu golongan kecil menguasai penghidupan orang
banyak. Sebaliknya keperluan seluruh rakyat Indonesia, yang harus menjadi pedoman bagi
seseorang atau kelompok dalam membangun usaha ekonomi. Dengan bermental ekonomi
sosialis ala Indonesia, gereja juga bisa berpartisipasi dengan semua anak bangsa dan
pemerintah, untuk merencanakan dan mengawasai pembangunan nasional dalam
mengelolasumber daya alam Indonesia, agar dari padanya seluruh manusia Indonesia
memperoleh manfaat yang mensejaterakan.
Berpayungkan pada sistem ekonomi Indonesia berupa sosialisme koperasi, gereja perlu
mengkaraterisasi lembaga-lembaga pelayanangerejawi sebagai lembaga yang
memberdayakan masyarakat berekonomi lemah. Hal itu patut dilakukan, karena sampai sat
ini lembaga pemberdayaan masyarakat lebih banyak hanya berpihak kepada masyarakat
yang sudah mampu dan mengabaikan masyarakat yang lemah. Kebijakan yang demikian ini
membuat masyarakat yang mampu bertambah mampu, dan masyarakat yang lemah semakin
tidak berdaya. Memiliki lembaga-lembaga pelayanan yang berorientasi pada pemberdayaan
masyarakat lemah, akan memungkinkan terciptanya kesempatan yang sama, bagi semua
golongan masyarakat untuk sama-sama berkembang. Kepedulian warga gereja untuk
menyelengaraakan pemberdayaan masyarakat yang lemah, sementara masyarakat yang kuat
bisa melakukan pemberdayaan diri dengan kekuatannya, akan melahirkan tatanan ekonomi
yang berkeadilan.
Hidup di negara yang bersistem ekonomi “sosialisme yang bersambung rasa” gereja
patut membentuk warganya untuk berkarakter peduli sosial dalam berpola hidup sederhana
dan berpola hidup cukup. Sebagai gereja yang berpola hidup sederhana, gereja tidak
mengidealkan hidup miskin, namun hidup bersahaja. Dalam hidup bersahaja, kekayaan tidak
menyilaukan gereja, dan kemiskinan tidak menjadi obsesinya. Dalam berpola hidup
sederhana, warga gereja boleh menghasilkan pendapatan, sebab itu merupakan
pengembangan dan pemanfaatan talenta yang ada padanya. Namun setiap warga gereja patut
mengumpulkan dan mengkonsumsinya berdasarkan pada kebutuhannya dan bukan pada
keinginannya. Dalam hal ini, gereja harus menyadari bahwa produksi akan menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup manusia,
tetapi konsumsi berdasarkan keinginan akan menghasilkan ketidakpedulian, keserakahan dan
pada akhirnya kesenjangan ekonomi masyarakat.
278
Hidup di negara yang bersistem ekonomi “sosialisme tolong-menolong”, gereja patut
membentuk dirinya menjadi lembaga keagamaan dengan solidaritas sosial yang bergaya
hidup “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing” dalam menghadapi dan menyikapi
penderitaan masyarakat demi tidak pupusnya harapan masyarakat untuk menanti
kesejahteraan bersama. Dengan bergaya hidup “berat sama dipikul ringan sama dijinjing”,
gereja dapat membentuk lembaga pemberian bantuan karitatif bagi anak bangsa yang tengah
menderita, karena ditimpa berbagai bencana. Pelayananan pemberian bantuan kemanusiaan
yangberorientasi pada keperluan dari masyarakat yang dibantu sangat memungkinkan
terciptanya keejahteraan bersama.