bab viii analisis kebijakan - repository.ipb.ac.id · dengan pengembangan prasaran dan sarana...
TRANSCRIPT
BAB VIII
ANALISIS KEBIJAKAN
Pemerintah selaku agen perubahan dan pembangunan bertugas melakukan
pembinaan atas penyelenggaraan pembangunan. Pembinaan kepada pemerintah
daerah meliputi koordinasi, pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan
pemerintahan melalui berbagai kebijakan public. Hal tersebut sesuai dengan era
otonomi daerah dimana masing-masing daerah diberikan otonom dalam
mengelolah sumber daya alamnya sesuai karakteristik daerah dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan rakyat daerahnya dalam kerangka Republik
Indonesia.
Pesatnya laju pembangunan terutama pada era otonomi daerah saat ini
menimbulkan beberapa masalah dan dampak terhadap kualitas lingkungan antara
lain degradasi air. Memang dampak negative dari suatu kegiatan pembangunan
sulit untuk dihilangkan sepenuhnya. Untuk memngurangi dampak negatife perlu
diambil langkah-langkah nyata salah satunya adalah melalui kebijakan pemerintah
yang menjamin agar lingkungan tetap terjaga dan keberlanjutan pembangunan
dapat dimaksimalkan termasuk dalam sumber daya air.
8.1 Analisis Konten
Analisis konten (isi) adalah melihat aspek konten (isi) sumber daya air
lintas wilayah apakah sudah diatur oleh undang-undang maupun peraturan
dibawahnya. Beberapa produk hukum tentang sumber daya air khususnya yang
terkait air bersih akan dianalisis baik analisis content maupun analisis legal review
antara lain:
1. Undang-undang Republik Indonesia No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
2. Undang-undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya
Air.
3. Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
223
4. Undang-undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 16 Tahun 2005 Tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum.
Analisis konten (isi) terhadap Undang-undang No. 7 Tahun 2004, Undang-
undang No. 5 Tahun 1990, Undang-undang 32 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah
Nomor 38, Peraturan Pemerintah Nomor 42, Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun
2005, Permen PU nomor 20 Tahun 2006, Permen PU No. 18 Tahun 2007. Hasil
analisis konten terhadap peraturan perundang-undangan terkait sumber daya air
nampak pada lampiran
8.1.1 UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
Undang-undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air lebih
menekankan kepada, pengelolaan, wilayah sungai, pemerintah daerah
pengendalian, konservasi, keterpaduan dan pemerintah daerah. Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya air memperhatikan
bahwa pengelolaan wilayah sungai agar tetap dikendalikan dan memperhatikan
kepentingan daerah secara terpadu serta memperhatikan konservasi sumber daya
air. UU No. 7 Tahun 2004, maupun UU No 5 Tahun 1990 serta PP No. 42 Tahun
2008 dan PP No. 43 Tahun 2008, serta Permen PU No. 20 Tahun 2006 tentang
KSNP SPAM dan Permen PU No. 18 tentang Strategi Pengembangan SPAM
tidak satupun yang menyinggung tentang kebijakan pendanaan konservasi
sumberdaya alam dan hayati maupun pendanaan konservasi air .
Pasal 40 UU No. 7 Tahun 2004 terdiri dari 9 ayat, ayat (1).Pemenuhan
kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam
pasal 34 ayat (1) dilakukan dengan pengembangan sistem penyediaan air minum,
ayat (2) Pengembangan SPAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah, ayat (3) Badan Usaha Milik
Negara dan/ atau Badan Usaha Milik Daerah merupakan penyelenggaran
pengembangan SPAM, ayat (4) Koperasi, Badan Usaha Swasta dan masyarakat
dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan SPAM, ayat (5)
224
Pengaturan terhadap pengembangan sistem penyediaan air munim bertujuan untuk
a). Terciptanya pengelolaan dan pelayanan air minum yang berkualitas dengan
harga terjangkau, b. Tercapainya kepentingan yang seimbang antara konsumen
dan penyedia jasa pelayanan, dan c. Meningkatnya efisiensi dan cakupan
pelayanan air minum.
Pasal 34 ayat (6) Pengaturan pengembangan SPAM sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diselenggarakan secara terpadu
dengan pengembangan prasaran dan sarana sanitasi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 21 ayat (2) huruf d; ayat (7). Untuk mencapai tujuan pengaturan
pengembangan SPAM dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat
(6), pemerintah dapat membentuk badan yangn berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada mentri yang membidangi sumber daya air; ayat (8) Ketentuan
pengembangan SPAM, BUMN dan/ atau BUMD penyelenggara pengembangan
SPAM, peran serta koperasi, bus dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pengembangan SPAM dan pembentukan badan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4 ),dan ayat (7) diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah.
Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terdiri atas
18 Bab dengan 100 pasal. Undang-undang Nomor 5 tahun 2007 telah
menyinggung masalah konservasi sumber daya air sebanyak 6 pasal serta
pendayagunaan sumber daya air sebanyak 25 pasal, lampiran. Undang undang
SDA memuat hampir semua aspek yang berkaitan dengan pengelolaan sumber
daya air bahkan dalam pengaturan berbagai aspek menunjukkan keseimbangan,
untuk itu UU SDA ini merupakan produk hukum yang relatif komprehensi
subatansinya. Keseimbangan perhatian terhadap nilai ekonomis produksi dengan
konservasi sudah ditunjukkan dalam Pasal 2,3, Pasal 4. Dalam ketiga pasal
tersebut dinyatakan bahwa Sumber Daya Ari mempunyai fungsi sosial,
lingkungan hidup, dan ekonomi yang harus diwujudkan secara selaras. SDA harus
dikelolah secara menyeluruh, terpadu dan berwawasan lingkungan hidup dengan
tujuan mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakayat. Sumber daya air dikelola berdasarkan asas
225
kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian,
keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas.
Undang-undang SDA mengarahkan agar pengeloaan SDA sejak dari
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi harus diarahkan pada upaya
keselarasan antara konservasi dan pendayagunaan SDA serta pengendalian daya
rusak air. Asas kelestarian dan asas kesesimbangan harus dijadikan pedoman agar
pengelolaan SDA harus menjaga keberlanjutan eksistensi dan dungsi SDA baik
secara sosial maupun secara ekonomis. Pengaturan tentang keharusan melakukan
konservasi diatur melalui Pasal 20 s/d Pasal 25. Ketentuan konservasi
dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan keberadaan daya dukung, daya
tampung, dan fungsi SDA. Upaya konservasi dilakukan melalui kegiatan
perlindungan dan pengendalian pencemaran air. UU SDA juga melarang bagi
siapapun melakukan kegiatan yang menyebabkan rusaknya sumber air dan
prasarananya, pencemaran air, dan menganggu pengawetan air.
Pasal 5 menentukan bahwa negara menjamin hak setiap orang untuk
mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokoknya sehari-hari. Negara
mempunyai kewajiban agar kebutuhan yang minimal sehari-hari akan air dari
perseorangan dan badan hukum dapat terpenuhi.Sedangkan pasal 29 ayat (2) dan
Pasal 34 ayat (1) memberikan jaminan dan pemenuhan kebutuhan minimal untuk
kegitan manusia seperti kegiatan hidup sehari hari, sanitasi lingkungan, pertanian,
ketenagaaan, industri, pertambangan, perhubungan, kehutanan dan
keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan pariwisata, ekosistem, estitika,
dan kebutuhan lain yang ditetapkan peraturan perundang-undangan. Jadi ada dua
kegiatan yang ditempatkan sebagai prioritas utama dalam perolehan dan
pemanfaatan air yaitu kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari dan irigasi
pertanian rakyat. Kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari mencakup untuk
mandi, cuci, masak, dan air minum, sedangkan ketersediaan air bagi pengairan
tanah pertanian rakyat diutamakan yang terlertak dalam jaringan saluran irigasi
aitu antrair laut yang ada di daratan untuk usaha budidaya tambak atau sistem
pendingin mesin atau penyulingan air laut untuk air minum.
226
Semangat desentralisasi tampaknya mendasari pembentukan UUSDA ini
karena pemberian kewenangan otonomi juga sampai ke pemerintahan desa.
Artinya kewenangan pengelolaan SDA yang bersumber dari Hak Penguasaan
Negara tidak hanya dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, namun dengan
menggunakan prinsip pembagian kewenangan, Pemdah dan Pemerintah Desa juga
diberi kewenangan melaksanakannya. Pasal 6 ayat (2) menentukan bahwa
penguasaan (Negara) atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau Pemdah. Hak penguasaan negara dapat
saja bersifat desentralisasi mutlak yaitu antara kewenangan yang dipunyai oleh
Pemerintah dengan yang diserahkan berbeda, namun juga dapat bersifat
desentralisasi yang mengarah pembagian kewenangan yaitu antara kewenangan
Pemerintah Pusat dan Pemda sama dengan perbedaan dalam luas ruang lingkup
berlakungan kewenangan tersebut.
Hak Guna Air (HGA) merupakan wewenang untuk memperoleh dan
memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan. Hak Guna Air diatur
dalam pasal 7, HGA dibedakan antara Hak Guna Pakai Air (HGPA) yaitu
kewenangan untuk memperoleh dan memakai air seHGPA dan HGUA tidak jelas,
karena secara UU No. 7 Tahun 2004 tidak secara konsisten menggunakan
keduanya sebagai alas hak bagi siapapun untuk memakai atau mengusahakan air.
Alas hak yang memberikan kewenangana adalah ijin yang diberikan oleh
Pemerintah atau Pemda. Ijin diperlukan jika pemakaian air harus mengubah
kondisi alami sumber air, pemakaian dalam jumlah besar, dan pemakaian air
untuk pertanian rakyat yang berada di luar sistem irigasi yang sudah ada.
Privatisasi sumber daya air nampak pada nuansa UU No 7 Tahun 2004
tentang SDA. UU No 7 Tahun 2004 tentang SDA memperkenalkan istilah air
bukan barang publik (sosial) namun mengarah kepada komoditas ekonomi.
Dengan UU No. 7 Tahun 2004 membuka peluang pengusahaan air dan atau
privatisasi air. Menurut Sanim (2011), lambannya reformasi institusi dan
ketidakpastian legal formal di sektor air, secara bersamaan privatisasi air sendiri
sudah dijalankan oleh Pemerintah Indonesia, khususnya privatisasi Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM) antara lain:
227
1. Tahun 1977, World Bank mensponsori privatisasi air di Jakarta, dibagi
kepada Thames Water (Inggris) dan Suwez-Lyonnaise (France).
2. Privatisasi PDAM Batam dan Palembang oleh Biwater (Inggris).
3. Privatisasi PDAM Pekanbaru dan Manado.
4. Privatisasi air oleh Ondo-Suez yang beroperasi di Jakarta, Medan,
Semarang, dan Tangerang, serta
5. Privatisasi air di Sidoarjo oleh Vivendi (Feance).
Hingga saat ini, privatisasi air di Indonesia difokuskan pada sektor sanitasi
atau penyediaan air bersih perkotaan. Keterlibatan swasta berupa penyediaan
prasarana, distribusi, dan penarikan retribusi pemakaian air dari konsumen.
Mereka menfokuskan pada wilayah perkotaan disebabkan adanya kemudahan
dalam investasi prasarana distribusi air dan kemampuan konsumen untuk
membanyar (willingness to pay) yang tinggi. Prasarana distribusi air di perkotaan
relatif sudah terbangun. Sementara di perdesaan, cakupan pengelolaan air akan
membutuhkan investasi prasarana yang cukup besar, willingness to pay
masyarakat perdesaan yang lemah dan persoalan peggunaaan air irigasi oleh
petani (Sanim, 2011).
Hasil analisis konten dan analisis legal review terhadap undang-undang
yang berkaitan dengan sumber daya air, dapat disimpulkan bahwa perlunya
dilakukan restrukturisasi dan reformasi pengelolaan sumber daya air. Karena
sektor air di Indonesia tidak mampu memenuhi pertumbuhan dan berbagai
tuntutan sebagai konsekwensi meningkatnya populasi penduduk, termasuk
penduduk DKI Jakarta yang meningkat pesat. Kebutuhan air untuk keperluan
rumah tangga, industri, dan mall serta pertanian meningkat dan gagal dipenuhi
oleh pemerintah. Restrukturisasi juga perlu dilakukan berkaitan deengan
kecenderungan yang berlaku, khususnya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air. Jika sebelum adanya UU No. 7 Tahun 2007, tentang Sumber Daya Air,
swasta hanya terlibat pada pengusahaan dan pengelolaan air minum, maka saat ini
swasta dimungkinkan berperan pada seluruh bidang perairan, dari penyediaan air
bersih, air minum, hingga pemenuhan air baku untuk pertanian. Bentuk kerjasama
228
dapat berupa kontrak BOT, perusahaan patungan, kontrak pelayanan, kontrak
manajemen, kontrak konsesi, kontrak sewa dan sebagainya.
Laporan Pemerintah Indonesia pada World Water Forum III di Kyoto,
Jepang, menyatakan bahwa 80 persen populasi belum memiliki akses kepada air
yang mengalir (running water). Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah
sesungguhnya masih memiliki kewajiban yang besar untuk dapat memenuhi
kewajiban tersebut, diperlukan sumber dana yang besar untuk pembangunan
infrastruktur pengairan, pemulihan dan perawatan sumber daya air. Diperkirakan,
pemerintah membutuhkan dana sebesar 5,1 triliun rupiah setiap tahun untuk
menyediakan air bersih bagi 40 persen populasi hingga 2015.
Beberapa peraturan perundang-undangan dibawah UU Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air antara lain Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67
Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam
Penyediaan Infrastruktur, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 294/PRT/M2005 tentang Badan Pendukung
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor: 18/PRT/M/2007 tentang Penyelanggaraan Pengembangan Sistem
Penyediaan Air Minum, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:
20/PRT/M/2006 tentang Kebijakan Dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem
penyediaan Air minum (KSNP – SPAM).
8.1.1.1 Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air
Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air tidak hanya
mengatur sehubungan dengan susunan organisasi dan tata kerja Dewan Sumber
Daya Air tetapi juga pembentukan, kedudukan, tugas dan fungsi, susunan
organisasi dan tata kerja, hubungan kerja antar dewan sumberdaya air; dan
pembiayaan. Pengaturan Dewan Sumber Daya Air dalam Undang-undang No. 7
Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air terdapat dalam Pasal 86 ayat 1– 4. Undang-
undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Bagian menimbang pada
Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air hanya
mencantumkan Pasal 86 ayat 4.
229
Undang Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
sebagai satu-satunya dasar pertimbangan pembentukan Dewan Sumber Daya Air.
Pasal 86 ayat 4 Undang Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya
Air hanya mengatur bahwa susunan organisasi dan tata kerja wadah koordinasi
(Dewan Sumber Daya Air) akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.
Pasal 86 ayat 4 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
dengan sangat jelas menyebutkan bahwa pengaturan tentang susunan organisasi
dan tata kerja wadah koordinasi (Dewan Sumber Daya Air) akan diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Presiden tetapi pengaturan lebih lanjut sebagai amanat
tersebut dilakukan dengan Peraturan Presiden sehingga perlu ditelusuri dan di
telaah lebih lanjut sehubungan dengan kedudukan peraturan presiden dengan
keputusan presiden. Tetapi yang jelas, amanat Undang-Undang adalah melalui
Keputusan Presiden tetapi justru diatur dengan Peraturan Presiden.
Susunan organisasi Dewan SDA Nasional terdiri dari ketua merangkap
anggota yang dijabat oleh Menko Perekonomian, ketua harian merangkap anggota
yang dijabat oleh Menteri dan anggota yang akan diisi oleh unsur pemerintah dan
non pemerintah. Susunan organisasi dimana ketua dijabat oleh Menko
Perekonomian sebenarnya sudah menunjukan watak dan corak pengelolaan
dan/atau pemanfaatan sumberdaya air nasional, yaitu menempatkan air sebagai
barang ekonomi semata. Air akan di tempatkan dan dimanfaatkan bagi
pemenuhan pemasukan Negara dalam konteks anggaran. Watak dan corak yang
akan mencerminkan keberpihakan pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya
air pada kesejahteraan rakyat adalah ketika posisi ketua di jabat oleh Menko
Kesejahteraan Rakyat (Kesra). Menko Perekonomian akan lebih berorientasi pada
sector ekonomi sebagai pilar utamanya sedangkan Menko Kesra akan lebih
beroreintasi pada kesejahtaraan rakyat. Menko Kesra sendiri tidak mendapatkan
posisi apa pun dalam Dewan SDA Nasional. (Adhiyul, 2011)
Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa wadah koordinasi, yaitu Dewan SDA Nasional di tingkat
nasional beranggotakan unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah dalam
230
jumlah yang seimbang atas dasar prinsip keterwakilan. Penjelasan pasal tersebut
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan seimbang adalah jumlah anggota yang
proporsional antara unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah. Perpres No. 12
Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air tidak menunjukan proporsional
jumlah anggota antara unsur pemerintah dan unsur nonpemerintah. Anggota dari
unsure pemerintah sesuai dengan Pasal 18 Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang
Dewan Sumberdaya Air adalah berjumlah 22 anggota, sedangkan jumlah angota
dari unsur non pemerintah hanya 11 anggota. Perbandingan antara unsur
pemerintah dan unsur nonpemerintah adalah 2:1. Hal ini jelas bertentangan
dengan Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya
Air.
Keanggotaan Dewan SDA Nasional dari unsur non pemerintah sesuai
dengan Pasal 18 Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air
tidak mencerminkan prinsip keterwakilan sebagaimana yang terdapat dalam
Penjelasan Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 yang menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan prinsip keterwakilan adalah terwakilinya
kepentingan unsur-unsur yang terkait, misalnya sektor, wilayah, serta kelompok
pengguna dan pengusaha sumber daya air. Keterwakilan rakyat selaku kelompok
pengguna sumberdaya air hanya terwakili dalam komposisi anggota dari unsur
non pemerintah adalah keterwakilan langsung bagi rakyat selaku pengguna
sumberdaya air maksimal hanya terdapat dalam 2 unsur, keterwakilan langsung
bagi pengusaha sumberdaya air terwakili dalam 7 unsur, keterwakilan langsung
bagi kalangan lingkungan hanya terwakili dalam 2 unsur.Komposisi keanggotaan
Dewan SDA Nasional dari unsur non pemerintah menunjukkan bahwa pandangan
pemerintah sehubungan dengan keterwakilan dari unsur non pemerintah lebih
mengakomodasi kepentingan pengusaha sumberdaya air.
Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air telah
memposisikan organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat
secara ambigu. Dalam konteks keanggotaan Dewan Sumberdaya Air, organisasi
masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat hanya diposisikan sebagai
pihak yang “dapat” dilibatkan sebagai narasumber sebagaimana yang terdapat
231
dalam Penjelasan Pasal 86 ayat 3 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumberdaya Air.
Kalimat “dapat” memberikan gambaran bahwa masukan dari organisasi
masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat tidak menjadi suatu keharusan.
Dampak yang akan muncul adalah besarnya kemungkinan pengabaian masukan
organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat dalam pengelolaan
dan/atau pemanfaatan sumberdaya air. Posisi organisasi masyarakat dan/atau
lembaga swadaya masyarakat hanya sebagai narasumber, artinya organisasi
masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat belum benar-benar
mendapatkan pengakuan penuh dari pemerintah sebagai salah satu subjek dalam
pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya air.
Pasal 92 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air
menyebutkan bahwa organisasi yang bergerak pada bidang sumber daya air
berhak mengajukan gugatan terhadap orang atau badan usaha yang melakukan
kegiatan yang menyebabkan kerusakan sumber daya air dan/atau prasarananya,
untuk kepentingan keberlanjutan fungsi sumber daya air. Penjelasan pasal ini
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan organisasi yang bergerak di bidang
sumber daya air antara lain adalah organisasi pengguna air, organisasi pemerhati
masalah air, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat bidang sumber
daya air, asosiasi profesi, dan/atau bentuk organisasi masyarakat lainnya yang
bergerak di bidang sumber daya air. Pasal 92 Undang-Undang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumberdaya Air dengan sangat jelas dan terang mengakui keberadaan
organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat sebagai suatu
subjek hukum dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya air karena
mendapatkan hak gugat atas sumberdaya air.
Perpres No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air, memposisikan
organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat hanya sebagai
“narasumber” sesuai dengan Pasal 21 jis Pasal 30 dan Pasal 37 Perpres No. 12
Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air, yaitu “Dalam melaksanakan
persidangan, Dewan SDA (Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota) dapat
232
mengundang narasumber dari instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga
swadaya masyarakat, atau masyarakat terkait”. Klausul-klausul yang
memposisikan organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya masyarakat yang
terdapat dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air dan
Perper No. 12 Tahun 2008 tentang Dewan Sumberdaya Air menunjukkan bahwa
pemerintah beranggapan organisasi masyarakat dan/atau lembaga swadaya
masyarakat sebagai elemen utama dalam pengelolaan dan/atau pemanfaatan
sumberdaya air. Keterlibatan masyarakat dalam keanggotaan Dewan Sumber
Daya Air masih belum seimbang yaitu hanya dua orang dimana keterlibatan
gender (wanita) belum banyak dibahas, padahal wanita paling banyak pengguna
air di rumah tangga.
8.1.1.2 Permen PU No. 20/PRT/M/2006 tentang KNSP-SPAM
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 20/PRT/M/2006 tentang
Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan SPAM (KNSP-SPAM), Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan Kebijakan dan Strategi
Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, yang selanjutnya
disingkat KNSP – SPAM, merupakan pedoman untuk pengaturan
penyelenggaraan dan pengembangan sistem penyediaan air minum, baik bagi
pemerintah pusat maupun daerah, dunia usaha, swasta dan masyarakat.
Sedangkan Pasal 2 KNSP–SPAM digunakan sebagai pedoman untuk
pengaturan, penyelenggaraan, dan pengembangan sistem penyediaan air munim
berkualitas baik di tingkat pusat, maupun daerah sesuai dengan kondisi daerah
setempat . Pada Pasal 4 ayat (1) Dalam hal daerah belum mempunyai pengaturan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, maka ketentuan dan rencana
pengembangan sistem penyediaan air minum di daerah perlu disiapkan dan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah, mengacu pada peraturan menteri ini.
Pada ayat (2) Bagi daerah yang telah mempunyai Peraturan Daerah
Tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum sebelum Peraturan
Menteri ini diterbitkan, agar Peraturan Daerah tersebut di sesuaikan berdasarkan
ketentuan – ketentuan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri ini.
233
8.1.1.3 Permen PU No 18/PRT/M/2007 tentang Penyelenggaraan SPAM
Isi Peraturan Mentri Pekerjaan Umum No 18/PRT/M/2007 tentang
Penyelenggaraan Pengembangan SPAM, pada Bab VIII Pengaturan di daerah
pada pasal 62 terdiri dari dua ayat antara lain: ayat (1) Untuk pedoman
pelaksanaan penyediaan prasarana air minum di daerah perlu di buat Peraturan
Daerah yang didasarkan pada ketentuan–ketentuan dalam peraturan mentri ini.
Ayat (2) Dalam hal daerah belum mempunyai Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka terhadap pelaksanaan penyediaan
prasarana dan sarana air minum di daerah diberlakukan ketentuan – ketentuan
dalam peraturan mentri ini.
Pasal 62 ayat 2 memberikan kewenangan kepada daerah untuk
menetapkan kebijakan daerah berupa perda tentang air bersih (air minum) maka
akan menimbulkan berbagai bentuk perda dalam pengelelolaan air bersih. Jika hal
ini terjadi maka dimungkinkan terjadi konflik kepentingan terkait air. Konflik air
dan tumpang tindih kepentingan akan air antar perda wilayah a dengan wilayah b
dikarenakan masing-masing pemerintah daerah mengacu dan berpegang teguh
pada pelaksanaan perda tersebut. Maka diperlukan model perda air minum (air
bersih) yang ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai suatu Norma Standar
Prosedur Manual (NSPK) bagi daerah.
Karena penyediaan air merupakan wewenang pemerintah pusat dan daerah
maka, perlu dipikirkan kebijakan lintas wilayah yang mengakomodir pengelolaan
air bersih secara lintas wilayah yang berbasis otonomi daerah. Kerjasama antar
wilayah harus tetap dalam koridor nasional artinya bahwa kerjasama lintas
wilayah dalam pengelolaan air bersih harus dipandu oleh Pemerintah Pusat
segbagai penengah dan pengawas kerjasama tersebut dikaernakan wilayah sungai
tidak dapat dibatasi oleh satuan wilayah administrasi.
Pengelolaan yang dibahasakan sebagai penataan ruang dilakukan sebagai
suatu sistem proses (i) perencanaan tata ruang, (ii) pemanfaatan ruang, dan (iii)
pengendalian pemanfaatan rauang. Dengan demikian harus difahami bahwa
penataan ruang adalah sebuah sistem yang berkelanjutan. Dimulai dari
perencanaan terhadap ruang, dilanjutkan dengan pemanfaatan ruang, dan diakiri
dengan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang tersebut. Penataan
234
ruang tersebut diselenggarakan berdasarkan asas; (i) keterpaduan; (2) keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan, (iii) keberlanjutan, (iv) keberdayagunaan dan
keberhasilgunaan (v) keterbukan; (vi) kebersamaan dan kemitraan: (vii)
perlindungan kepentingan umum (viii) kepastian hukum dan keadilan; dan (ix)
akuntabilitas. Dalam implementasi, penataan ruang mengklasifikasikan penataan
ruang didasarkan pada lima hal, pertama, sistem penataan ruang; kedua, fungsi
utama kawasan, ketiga: wilayah adminstrasi: keempat, kegiatan kwasan dan
kelima: nilai stategi kawasan.
Pada konstek Good governance yang dicirikan melalui prinsip transparansi
dan akutanbilitas, UUPR merumuskan kannya melalaui hak dan peran serta
masyarakat (pasal 60) dan pasal 65) serta rumusan mengenai potensi penjatuhan
sanksi pidana (tanggung gugat) bagi pejabat pemerintah yang menerbitkan ijin
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang (pasal 73). Perumusan tanggung
gugat bagi pejabat pemerintah dalam konsteks ini oleh UUPR bisa dibaca sebagai
langkah maju yang menegaskan bahwa kebijakan pemerintah tidak selamanya
steriil dari potensi penyimpangan (absuse of power). Oleh karena itu, harus ada
mekaniseme yang bisa digunakan untuk menyikkapinya.
8.1.2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pemerintah Daerah
Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdiri
dari 16 bab dan 240 pasal. Pada pasal 10 ayat 1 mengamanatkan bahwa
pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-undang ini
ditentukan menjadi urusan pemerintah. Urusan peemerintahan yang menjadi
urusan pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi,
moneter dan fiskal nasional dan agama.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan eksternalitas,
akutanbilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar
susunan pemerintahan, UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 11 ayat 1. Adapun yang
dimaksud dengan eksternalitas yang dimuat dalam penjelaasan Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 adalah kriteria pembagian urusan pemerintahan
dengan memperhatikan dampak yang timbul sebagai akibat dari penyelenggaraan
suatu urusan pemerintahan. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal,
235
maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan pemerintahan daerah
kabupaten/kota. Sedangkan apabila dampaknya bersifat lintas kabupaten/kota
dan/atau/regional maka urusan pemerintahan itu menjadi kewenangan pemerintah
provinsi, dan apabila dampaknya bersifat lintas provinsi dan/atau nasional, maka
urusan itu menjadi kewenangan Pemerintah.
Pasal 12 ayat 1 menjelaskan bahwa urusan pemerintahan yang diserahkan
kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan
prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
Urusan pemerintah yang dilimpahkan kepda Gubernur disertai dengan pendanaan
sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan. Pasal 13 urusan wajib yang
menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam
skala privinsi yang meliputi penangan kesehatan, penanggulangan masalah sosial
lintas kabupaten/ kota, penyediaan sarana dan prasarana umum, pengendalian
lingkungan hidup dan peyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yanb belum dapat
dilaksanakan oleh kabupaten dan/ kota.
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 14 menempatkan urusan
penyediaan prasarana dan sarana umum serta pelayanan dasar bagi masyarakat di
kabupaten/kota sebagai “urusan wajib pemerintah kabupaten/kota”. Tentunya
lingkup atau pengertian dan urusan penyediaan prasarana dan sarana umum serta
pelayanan dasar bagi masyarakat di kabupaten/ kota tersebut mencakup pula
penyediaan air minum bagi masyarakat. Pembangunan sarana dan prasarana
terkait air bersih selain menjadi kewenangan pemerintah pusat juga menjadi
kewenangan pemerintah provinsi serta kewenangan pemerintah daerah.
Namun perhatian yang besar terdahap sektor air minum ini belum diimbangi
dengan perhatian yang besar terhadap sektor sanitasi yang mencakup limbah
domestik dan persampahan. Penduduk yang memiliki akses kepada jamban yang
aman baru 48,52% (BPS 2000) dan yang dilayani sistem perpipaan baru mencapai
2,33% di 11 kota, itu pun sebagian besar belum memenuhi standar kualitas yang
ditentulan. Sisanya yang sebagian besar lagi membuang limbahnya tanpa
pengolahan ke lingkungan, terutama ke badan-badan airah.
Hubungan antara pemerintah daerah dalam bidang pelayanan umum
dituangkan pada pasal 16 ayat 1-3. Pada pasal 16 ayat 2 hubungan dalam bidang
236
pelayanan umum antar pemerintahan daerah meliputi kerjasama antar
pemerintahan daerah dalam penyelenggaran pelayanan umum dan pengelolaan
perizinan bersama bidang pelayanan umum. Lebih lanjut pada pasal 17 ayat 1
dijelaskan hubungan dalam bidang pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara Pemerintah dan pemerintah daerah meliputi kewengangan,
tanggung jawab, pemanfaatan, pemeliharaan, pengendalian dampak budi daya,
dan pelestarian, bagi hasil atas pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya
lainnya, dan penyerasian lingkungan dan tata ruang serta rehabilitasi lahan.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
ditindak lanjuti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota.
PP Nomor 38 Tahun 2007 terdiri dari 9 bab dan 23 pasal. Pada pasal 19 ayat 1
dinyatakan bahwa khusus untuk Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta rincian
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota secara otomatis
menjadi kewenangan provinsi.
8.2 Kerjasama Lintas Wilayah Berbasis Otonomi Daerah
Untuk memenuhi kebutuhan air DKI Jakarta perlu dilakukan kerjasama
lintas wilayah, karena kebutuhan air besih DKI Jakarta disupali dari luar DKI
Jakarta. Sedangkan sungai-sungai pensuplai air ke DKI Jakarta merupakan sungai
dengan kategori lintas provinsi dan Sungai Wilayah Strategis Nasional (Permen
PU No.11A/PRT/M/2006). Kerjasama pengelolaan air bersih lintas wilayah dalam
rangka pemenuhan air bersih DKI Jakarta dilakukan agar keberlanjutan
pemenuhan air bersih tercapai baik dari segi kualitas, kuantitas maupun
kontinuitas. Bentuk kerjasama lintas wilayah tersebut mengacu kepada PP 38
tahun 2007 maupun mengacu kepada PP 42 tahun 2008 serta peraturan
turunannya yaitu Permen PU No.11A/PRT/M/2006.
Peraturan Pemerintah RI No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber
Daya Air pasal 12 menjelaskan; (a) rancangan pola pengelolaan sumber daya air
pada wilayah sungai dalam kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan
kebijakan pengelolaan SDA pada tingkat kabupaten/kota yang bersangkutan (b)
237
rancangan pola pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan kebijakan pengelolaan SDA pada
tingkat kabupaten/kota. (c) rancangan pola pengelolaan sumber daya air pada
wilayah sungai lintas provinsi disusun dengan memperhatikan kebijakan
pengelolaan SDA pada tingkat provisi yang bersangkutan. (d) rancangan pola
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas negara dan wilayah
sungai strategi nasional disusun dengan memperhatikan kebijakan nasional SDA
dan kebijakan pengelolaan SDA pada tingkat povinsi dan/kabupaten/kota yang
bersangkutan.
Pola pengelolaan sumber daya air dirumuskan oleh wadah koordinasi
pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai lintas provinsi setelah
dikonsultasikan dengan para gubernur yang bersangkutan diserahkan kepada
Mentri untuk ditetapkan sebagai pola pengelolaan sumber daya air wilayah sungai
lintas provinsi. Sedangkan pola sumber daya air pada wilayah sungai lintas negera
dirumuskan oleh Dewan Sumber Daya Air Nasional untuk dilakukan konsultasi
publik dengan instansi teknis dan unsur masyarakat terkait dengan mengikut
sertakan bupati/walikota dan gubernur yang bersangkutan, mentri yang
membidangi pertahanan, dan mentri yang membidangi hubungan luar negeri dan
hasilnya disampaikan oleh unit teknis yang membidangi SDA kepada Mentri
untuk ditetapkan sebagai pola pengelolaan sumber daya air wilayah sungai lintas
negara.
Bersasarkan kebijakan sebagaimana tersebut di atas, Pemerintah DKI
Jakarta dapat melakukan kerjasama dengan Pemda lain seperti Provinsi Jabar dan
Provinsi Banten serta dapat pula melakukan kerjasama langsung dengan Pemda
Kabupaten/Kota Bogor, Tangerang dan Bekas dengan melakukan koordinasi
terlebih dahulu dengan pemerintah provinsi masing-masing, sesuai dengan PP No.
38 Tahun 2007 pasal 19 ayat (1) Khusus Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta
rincian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota
sebagaimana tertuang dalam PP ini secara otomatis menjadi kewenangan provinsi
DKI Jakarta.
Kerjasama yang bersifat lintas wilayah tersebut tidak terbatas dalam
pemanfaatan sungai untuk sumber air baku, namun termasuk dalam pengelolaan
238
sungai termasuk didalamnya kegiatan konservasi. Bentuk kerjasama pengelolaan
air bersih lintas wilayah adalah pendanaan konservasi melalui mekanisme role
sharing dari daerah pemanfaat air (DKI Jakarta) kepada daerah pensuplai air
dengan besaran berapa air yang dapat diterima oleh DKI dari daerah tersebut.
Kontribusi pendanaan konservasi air untuk wilayah hulu dan tengah DAS tersebut
biasa disebut dengan pembayaran jasa lingkungan atau payment environtment
servise (PES). Agar kebijakan kerjasama lintas wilayah memiliki payung hukum
yang tetap dan kuat, sebaiknya ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pekerjaan
Umum atas nama Pemerintah Pusat.
8.3 Pengelolaan air baku untuk air bersih DKI Jakarta
Untuk meningkatkan pelayanan air bersih, pemda DKI Jakarta melakukan
kerjasama dengan pihak swasta. Perjanjian kerjasama dimaksudkan untuk
meningkatkan produksi, distribusi, pengelolaan dan kemampuan teknologi. Surat
perjanjian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak tersebut disaksikan dan
disetujui oleh Gubernur DKI Jakarta. Surat perjanjian setebal 245 halaman
memuat secaca rinci dan detail tentang makna atau definisi-definisi 41 halaman
yang harus dibaca dengan cermat dan teliti karena berisi definisi yang complicated
dan penuh dengan makna yang mengambang. Kerjasama tersebut dilakukan
dilakukan sejak 1997 dengan beberapa kali perubahan surat perjanjian. Perjanjian
kerjasama pertama kali ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 6
Juni 1997 yang kemudian diubah dengan perubahan terhadap perjanjian
kerjasama pada tanggal 28 Januari 1998 dan diubah kembali dengan perjanjian
kerjasama tertanggal 22 Oktober 2001.
Perjanjian kerjasama antara pemda DKI Jakarta yang diwakili oleh PAM
Jaya dengan pihak PT.Palyja dan PT.Aetra, dengan pembagian wilayah timur
Jakarta dengan pihak PT.Thames PAM Jays dan wilayah barat Jakarta dengan
pihak PT. Palyja. PT. Palyja berkantor di daerah Pejompongan dengan wilayah
operasi di wilayah barat sedangkan PT. Aetra wilayah operasinya mulai dari
Kalimalang sampai dengan Pulogadong, peta wilayah kerjasama dengan swasta
dapat dilihat pada Gambar 49.
239
Gambar 49. Intake building PT. Aetra Air Jakarta (PAM JAYA) di Kalimalang
JakTim
.
Gambar 50 . Peta proyek kerjasama air bersih di DKI Jakarta
Dalam perjanjian tersebut pihak kedua melakukan penagihan rekening air
kepada pelanggan, melakukan pengoperasian fasilitas-fasiltas produksi dan
distribusi air bersih dan air minum. Pembangunan aset baru (akan dibangun)
240
didanai bukan oleh pihak kedua (swasta) namun oleh pihak pertama dengan
persetujuan badan regulator. Pada tahun ini PT Palyja mengajukan dana sebesar
13 milyar untuk membangun WTP (IPA) baru di Kali Pesanggrahan dengan
kapasitas 600 liter per detik. Sungai Cisadane 3000 liter per detik, Kali Krukut
5.600 liter per detik. Badan regulator tidak menyetujui hal tersebut, badan
regulator menyarankan untuk menunggu hasil proyek pipanisasi yang akan
dibangun dengan dana APBN dan diperkirakan dimulai pada tahun 2013 dengan
kapasitas 4.000 liter per detik. Sedangkan WTP (water treatment Plant) Curug
diperkirakan akan mampu menghasilkan 5.000 liter detik.
Pendapatan dari usaha ini disimpan dalam rekening bersama yang
dinamakan dengan rekening escrow. Rekening escrow berarti rekening escrow
yang diadakan menurut perjanjian rekenening escrow sesuai dengan klausal 30.
Adapun pendapatan pendapatan yang tidak dibagi adalah semua pendapatan yang
tidak dibagi menurut perjanjian ini dan yang akan diterrima oleh masing-masing
pihak sebagai berikut; untuk pihak pertama, pendapatan yang terdiri dari; (i)
semua piutang yang belum diselesaikan sejak tanggal berlakunya kerjasama. (2)
kontribusi atau sumbangan yang dipungut atas nama instansi pemerintah. (iii)
hasil penjualan surplus aset (iv) pendapatan lain yang bukan milik pihak kedua
dari pendapatan yang tidak dibagi (v) 50% (lima puluh persen) dari semua denda
dan penalti yang dikenakan kepada para pelanggan selain biaya-biaya pemutusan
sambungan dari dan penyambungan kembali ke fasilitas distribusi.
Untuk pihak kedua, pendapatan yang terdiri dari pendapatan yang bukan
milik pihak pertama, termasuk: (i) biaya nyata sambungan pelanggan; (ii) denda
untuk keterlambatan pembanyaran hutang atau setiap pembanyaran rekening tak
tertagiih pada setiap waktu selama jangka waktu, baik berdasarkan perintah
pengadilan atau lainnya. Sehubungan dengan ganti rugi telah dibayar kepada
pihak pertama. (iii) bagian dari piutang yang belum diselesaikan yang berkaitan
dengan jumlah volume air yang ditagih dikalikan dengan imbalan yang berlaku
pada saat berakirnya jangka waktu atau tanggal berlakunya pengakiran perjanjian
ini. (iv) biaya pemutusan sambungan dari dan penyambungan kembali ke fasilitas
distribusi (v) 50% dari semua denda dan penalti yang dikenakan kepada pelangan
241
selain dari biaya-biaya pemutusan sambungan dari atau penyambungan kembali
ke fasilitas distribusi.
Dengan adanya kerjasama tersebut maka, pihak swasta yang melakukan
penagihan hasil distribusi air, pihak swasta pula yang melakukan pengeloaan air
minum dengan menggunakan instalasi dari PAM JAYA (yang telah terpasang)
sedangkan untuk WTP yang baru atas usulan pihak swasta pendanaannya tetap
ditanggung oleh pihak pemerintah dalam hal ini DKI Jakarta. Dengan model
kerjasama semacam ini, maka pihak PAM Jaya mengalami kerugian terus
menerus bahkan pada semester II tahun 2011 sebesar Rp. 8,6 milyar. Lihat Tabel
48 Kerugian PAM Jaya pada awal tahun 2011.
Tabel 48. Kerugian PAM JAYA awal tahun 2011.
No. Bulan Jumlah (Rp)
1.
2.
3.
Januari
Februari
Maret
2.504.310.120
3.090.960.482
2.984.632.513
Sumber: Diolah dari hasil wawancara dengan PAM Jaya, (2011)
Kondisi di atas, meperlihatkan kerjasama dengan pihak swasta semacam
ini patut untuk dikaji ulang. Sesuai dengan pendapat Sanim (2011), terdapat
beberapa negara yang mengalami kegagalan dalam hal privatisasi air bersih. PAM
Bogor melakukan pengelolaan sendiri, dengan modal sendiri dan pinjaman
dengan dana lain dan menunjukkkan kinerja PAM Bogor sangat bagus. Begitu
pula PAM di luar Pulau Jawa misalnya Banjarmasin juga menunjukkan kinerja
PAM yang bagus sekali jika dikelolah oleh PAM tanpa ada kerjasama dengan
pihak swasta.
Dalam kerjasama dengan pihak swasta semacam ini, beberapa pegawai
yang ada di PAM Jaya dipekerjakan di pihak swasta yaitu PT.Palyja dan
PT.Aetra, padahal dalam kerjasama dinyatakan bahwa pihak swasta memiliki
keahlian dan modal, pihak pemerintah memiliki infrastruktur. Sedangkan
242
kenyataannya pihak pemerintah keahlian dan sdm yang berpengalaman serta
infrastruktur dan juga sumber air. Jika pemerintah kekurangan modal, maka tidak
perlu melakukan swastanisasi (privatusasi) karena privatisasi hanya menambah
beban bagi rakyat. Pihak swasta tentu hanya mengejar keuntungan sebesar-
besaranya, padahal air bersih berfungsi sosial, ekonomi dan fungsi lingkungan.
Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Undang-undang No 7 Tahun 2004 pasal 5).
Menurut Dirut PAM JAYA, MAURITS Napitupulu meminta operator
bekerjasama dengan PAM Jaya untuk menyelesaikan segala persoalan yang ada
termasuk peninjauuan ulang kerja sama. Jika peninjauan ulang perjanjian kontrak
pada tahun 2012 mendatang berlangsung adil, PAM Jaya berencana membangun
sejumlah instalasi pengelolaan Air (IPA) dan pipa di sejumlah lokasi yang rawan
air bersih dengan bantuan dana dari Pemprov DKI akan membangun reservior
(penampung) dan pipa di kawasan Cilincing dan Muara Karang, Jakarta Utara.
Selain itu, meningkatnya IPA dibuaran dengan membangun IPA III dan IV,
pembangunan IPA itu akan dilakukan seiring dengan ditingkatnay debit air baku
di Kalimalang oleh pemerintah pusat dari 16 meter kubik per detik menjadi 26
m3/ per detik pada tahun 2015.
Mauritz Napitupulu menegaskan, pihaknya tidak pernah menahan uang
dari pelanggan (cash retntion) yang berada di rekening bersama antara Palyja dan
PAM Jaya, Maurit menilai Palyja tidak konsisten menerapkan aturan
sebagaimana diamanatkan Perda 11/1993 tentang pelayanan air minum. Kalim
Palyja yang menyatakan bahwa kami menahan dana mereka, tidak benar. Selama
ini Palyja tidak bisa membuktikan dana itu milik mereka. Kami tidak bisa
menandatangani suatu pencairan dana tanpa ada bukti kalim yang jelas, “ tutur
Mauritz kepada SP di Jakarta. Selasa 13/12. Menurut Meyritha Maryani
mengatakan, mereka memiliki bukti-bukti klaim. Selain penahanan cash retention,
hambatan lain yang harus segera diselesaikan adalah water charge yang tidak
pernah diperbaruhi sejak semester I tahun 2010 sehingga membuat tingginya
shortfall. Persoalan lainnya, sumber air yang tidak bertambah sejak awal
kerjasama sehingga menyulitkan operator.
243
Juga perlunya revisi Perda 11/1993 yang sudah tidak sesuai dengan
kondisi saat ini. Kerjasama PAM Jaya DENGAN PALYJA tahun 2008,
Seperti diberitakan sebelumnya, salah satu operator pelayanan air bersih Jakarta,
Palyja nilai yang tertahan sejak Agustus 2010 hingga Oktober 2011 mencapai
10% hingga 15% dari pendapatan Palyja atau total Rp.163,4 milyar. Cash
retention tersebut berasal dari para pelanggan yang menunggak pembayaran pada
periode tententu termasuk. Untuk penggunaan dana dari rekening tersebut harus
ada tanda tangan kedua belah pihak yakni operator dan PAM Jaya. Yang terjadi
saat ini. Palyja sebagai opeator tak dapat mencairkan cash tetention karena PAM
Jaya tak menyetujui. PAM Jaya dinilai menahan uang dari pelanggan.
Alasan PAM Jaya, sepeti dikemukakan Mauritz, Palyja tak memiliki bukti
klaim pelanggan yang menunggak dan besaran klaim yang tidak sesuai kenyataan,
PAM Jaya juga tidak mengetahui kapan dana yang ada di rekening bersama mulai
terisi. Palyja meminta pembayaran Rp. 7200 per meter kubik. Sementara
pelanggan mereka yang menunggak itu hanya membayar tagihan air sebesar Rp.
1.050 per meter kubik. Darimana dana PAM Jaya menanggulangi selisih itu?”
kata Mauritz.
Terkait dengan bukti klaim cash retention, Manager Komunikasi Palyja
Meyritha Maryani mengatakan, mereka memilikinya. Bahkan, sambung dia, PAM
Jaya juga memiliki bukti-bukti klaim yang sama. Selain penahanan cash retention,
hambatan lain yang harus segera diselesaikan adalah water charge yang tidak
pernah diperbarui sejak semester I tahun 2010 sehingga membuat tingginya
shortfall. Persoalan lainnya, sumber air yang tidak bertambah sejak awal kerja
sama sehingga menyulitkan operator.
Ketua komisi B (bidang perekonomian) DPRD Jakarta, Selamet Nurdin
mengatakan, restrukturisasi kesepakatan antara PAM Jaya dengan dua
operatornya yakni PT.Aetra dan PT. Palyja sudah mendesak. Selambat-lambatnya
reskonstruksi itu dilaksanakan pada 2012 mendatang. Pada 2012 mendatang
merupakan saat yang tepat untuk merestrukturisasi utang PAM Jaya.
244
8.4 Implikasi Kebijakan Kerjasama Lintas Wilayah
Berdasarkan verifikasi yang dilakukan, perlu disusun strategi untuk
memperkuat sistem yang telah disusun guna meningkatkan kinerja sistem dalam
mencapai tujuan. Perlu dilakukan suatu setting agenda dalam mengimplikasikan
kebijakan sebelum kebijakan itu diterapkan secara luas di masyarakat. Kebijakan
pengelolaan air lintas wilayah secara terpadu, holistik yang mengkaitkan antara
kualitas dan kuantitas serta berbasis OTDA, perlu memperhatikan kesetaraan
kepentingan daerah baik daerah hilir selaku pemanfaat air maupun daerah hulu.
Untuk itu perlu dipikirkan suatu imbalan dari pihak pemanfaat kepada daerah
hulu, imbalan tersebut bisa dinamakan jasa lingkungan (PES) yang dipergunakan
untuk budget konservasi air atau perbaikan lingkungan yang di hulu. Iuran atau
pendanan tersebut belum banyak dibahas dalam peraturan perundang-udangan
yang ada, walau telah banyak peraturan perundang-udangan yang membahas
konservasi namun tidak ada satupun peraturan baik undang-undang sampai
kepada peraturan pelaksana yang mengatur masalah dana atau pendanaan
konservasi air dan pembayaran jasa lingkungan.
8.4.1 Setting agenda kebijakan menuju DKI berketahanan air bersih
Suatu kebijakan akan lebih mudah untuk diimplementasi jika telah jelas
tahapan pencapaiannya dan pembagian tugas (role sharing). Pencapaian target
dapat dituangkan dalam setting agenda sedangakan penetapan setting agenda
serta role sharing mengacu peraturan perundang-undangan yang ada dan juga
mempertimbangkan target MDGs serta mengkaitkan hasil beberapa analisis
sebelumnya seperti identifikasi DAS terkait supply demand, identifikasi
dukungan kebijakan, analisis ISM, MDS dan juga Sistem Dinamik (SD).
Keterkaitan beberapa komponen kebijakan Tabel 49.
245
Tabel 49 Keterkaitan komponen kebijakan dalam model dinamik
Atribut sensitif hasil analisis MDS
Analisis Sistem Dinamik
Analisa das terkait supply deman
Driver power (dependen) hasil analisis ISM
Dukungan kebijakan
Banjir, Kekeringan, ,
BKT, 13 sungai, Desalinasi,
Citarum, Ciliwung, Cisadane wilayah sungai lintas propinsi yang memiliki potensi yang besar dan menjadi kewenangan pemerrintah pusat
Pemerintah Pusat, Suplai air bersih Kebutuhan air tinggi
UU No.32/2004, PP 38/2007Perpres No.12/2008 Perment PU No. 11/a/PRT/M/2006 Pement PU No. 18/PRT/M2007, PermentPU No.21/PRT/M/2006 UU No.32/2004, PP 38/2007, PP 42/2008 Perpres 12/2008
Kualitas air bersih Pipanisasi
Citarum, Kualitas air, Terhindar dari penyakit, jumlah limbah,
PP 82/2001, Permen Kes
Keberadaan lembaga keuangan, Kapasitas lembaga pengelola air
PES Citarum, Ciliwung, Cisadane
jumlah limbah,
UU No. 7/ 2004 UU No.32/2004, UU No.32/2009 PP 38/2007, PP 42 / 2008
Partisipasi masyarakat dalam program (prokasi)
13 sungai, program 3 R,
Citarum, Ciliwung, dll.
Suplai air bersih, Kebutuhan air tinggi
Perment PU No. 11/a/PRT/M/2006
pembayaran rek. air, PAD
Dana otda, Harga air tinggi, UU No.32/2004, PP 38/2007 Perment PU No. 11/a/PRT/M/2006
Dengan mengacu pada hasil analisis MDS (atribut yang sensitif) dan analisis ISM
(elemen pendorong), analisis supply demand dan DAS terkait, analisis kebijakan
terkait pengelolaan air bersih, serta hasil dari analisis sistem dinamik, maka
kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah untuk pemenuhan air bersih DKI
Jakarta dapat ditetapkan dalam suatu rencana berupa target waktu dalam setting
agenda kebijakan sebagaimana nampak pada Tabel 50 berikut ini.
246
Tabel 50 Setting agenda kebijakan berketahanan air bersih
N0 Kebijakan 2012 2015 2020 2025 2030
1 Pemanfaatan BKT
2 Kebocoran (perbaikan pipa distribusi)
3 Peningkatan cakupan pelayanan (pemasangan pipa baru/distribusi)
4 Penerapan 3R
5 Pipanisasi WTP Curug
6 PES DKI (konservasi)
7 Sumber lain dari 13 Sungai lainnya
8 Desalinasi (pemanfaatan air laut)
Pencapaian target yang dituangkan dalam setting agenda perlu dilaksanakan
secara konsisten dan memperhatikan beberapa kondisi dan kendala yang mungkin
dihadapi. Program setting agenda tersebut di atas (Tabel 49) secara rinci dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Banjir Kanal Timur (BKT).
Proyek ini dimulai sejak tahun 2005 yang tercantum dalam Perda Provinsi
DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 2010, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Tahun 2010 Provinsi DKI Jakarta. Presiden RI Megawati Soekarno Putri
mencanangkan pembangunan BKT pada tahun 2003 melalui percakapan jarak
jauh saat pencangan 30 proyek infrastruktur yang dipusatkan di Jepara Jawa
Tengah dan didanai oleh APBNI sejak 3 Desember 2007.
Pembuatan proyek BKT memotong sungai-sungai Cipinang, Sunter,
Buaran, Jatikramat, dan Cakung, dari barat ke timur, sejajar dengan jalan
Basuki Rahmat sampai perbatasan Pondok Kopi, lalu dialirkan ke utara di
prerbatasan timur wilayah DKI Jakarta (Robert Adhi Ksp 2009). Proyek
Banjir Kanal Timur meliputi wilayah seluas + 160 km2. Dengan proyek BKT
diharapkan dapat mengurangi masalah banjir di DKI Jakarta. Namun
DKI, Banten, Jabar Pusat
PU DKI, PU Pusat
PU, DKI, PAM
10% PAM, DKI
80%(MDG Nasional) PU,DKI,PAM
Pusat dan daerah
DKI, Pemda Non DKI, Pusat,
PAM
DKI, PAM
247
demikian diperlukan peran Pemda DKI dalam membenahi sistem drainase
lokal di utara BKT serta pemanfaatan ruangnya ditata kembali sesuai kaidah-
kaidah penataan ruang agar proyek BKT berfungsi sesuai harapan. Peran lain
pemerintah DKI Jakarta yaitu dengan menganggarkan untuk pembebasan
tanah sebesar 2,5 trilyun rupiah. Pembangunan Banjir Kanal Timur selesai
dibangun pada tahun 2011 dengan kemampuan pendanaan dan tenaga kerja
dari bangsa sendiri. Dengan memanfaatkan air dari Banjir Kanal Timur maka
diperkirakan akan menambah kurang lebih 10.000 liter/ detik.
2. Penurunan tingkat kebocoran.
Penurunan tingkat kebocoran dengan melakukan perbaikan pipa pada
jaringan distribusi dan sehingga dapat menurunkan tingkat kebocoran sampai
dengan 10% pada tahun 2015. Perbaikan pipa distribusi diperlukan mengingat
kondisi pipa distribusi rata-rata sudah berumur di atas 15 tahun. Kebocoran
yang terjadi disebabkan oleh pipa distribusi yang sudah berumur di atas 15
tahun. Umur pipa distribusi yang tua, keropos, dan berkarat menyebabkan
kebocoran, mengurangi volume air serta mengakibatkan penurunan kualitas
air akibat kematian.
Kebocoran air yang terjadi pada pertengahan 2011 di daerah Kebon Jeruk,
distribusi yang ditanam di bawah tanah (jalan raya). Kebocoran pipa
distribusi air bersih yang terjadi di daerah Pangeran Jayakarta yang
disebabkan oleh proyek pengerukan got/ saluran air untuk penanggulangan
banjir. Pengerukan got (drainase) dengan menggunakan peralatan berat
(backqu loader) mengakibatkan kebocoran pipa distribusi dan distribusi air
bersih di daerah Pangeran Jayakarta mengalami gangguan kurang lebih
sebulan dari bulan Nopember 2011 sampai dengan Desember 2011.
Perbaikan pipa dapat berjalan dengan baik jika dilakukan dengan secara
bertahap dan didukung oleh data tentang panjang, umur, lokasi pipa bawah
tanah dan lain-lain. Perbaikan pipa distribusi dibawah tanah (dekat jalan raya)
akan mengakibatkan kemacetan di DKI Jakarta. Untuk itu perbaikan
pipanisasi harus direncanakan secara baik dan dilakukan di malam hari secara
bertahap.
248
Jika PAM Jaya mampu menurunkan tingkat kebocoran dari 46% sampai
kepada30% bisa mendapatkan tambahan air bersih sebesar 3,6 m3/ detik atau
setara dengan 110.376.000 m3/ tahun dengan perkiraan biaya sebesar Rp. 3
trilyun. Dana sebesar itu dipergunakan untuk perbaikan pipa distribusi yang
sudah tua dan mengalami kebocoran.
3. Peningkatan cakupan layanan.
Saat ini cakupan pelayanan air bersih DKI Jakarta masih sekitar 50%
sampai dengan 60% dari total penduduk DKI Jakarta. MDGs mentargetkan
untuk kota besar cakupan pelayanan air bersih perpipaan sebesar 80% pada
tahun 2015. Peningkatan layanan air bersih perpipaan saat ini masih
mengalami banyak kendala antara tingginya tingkat kebocoran dan
kehilangan air di saluran distribusi. Tingkat kehilangan tersebut diakibatkan
oleh berbagai hal baik kebocoran pipa distribusi maupun tingkat hal lain.
Selain itu kuantitas air baku belum mencukupi kebutuhan masyarakat DKI
Jakarta.
Sejalan dengan program peningkatan (penambahan) sumber air baku,
maka ditingkat distribusi perlu dilakukan peningkatan cakupan pelayanan
dengan menambah saluran perpipaan yang baru. Peningakatan jaringan
distribusi perpipaan harus dimulai pada tahun 2013 sehingga pada tahun 2015
sudah tercapai target MDGs yaitu cakupan pelayanan air bersih sebesar 80%
dari total penduduk DKI Jakarta.
4. 3R ( reduce, reuse , recyle)
Dalam pelaksanaan program 3R tidak dapat hanya mengharapkan dari
kesadaran masyarakat walau keberhasilan program 3R sangat menuntut
kesadaran masyarakat. Program 3R yaitu reduce (menghemat), reuse
(menggunakan kembali), recycle (mengolah kembali). Pemerintah Pusat dan
Pemda DKI Jakarta haruslah memulai dengan melakukan sosialisasi program
3R ditiap-tiap Kecamatan sampai kepada tingkat kelurahan.
Pelaksanaan program reduce, reuse , recyle dimulai dengan sosialisasi ke
RT dan RW seluruh Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2012. Selanjutnya
pelaksanaan program 3R yaitu melakukan pembangunan instalasi pengelollan
3R di tiap-tiap kelurahan sampai kepada tiap-tiap Rukun Warga (RW) yang
249
dimulai pada tahun 2013 diseluruh kelurahan wilayah Propinsi DKI Jakarta.
dan dapat dimanfaatkan pada tahun 2015.
Jika program 3R dapat dilaksanakan dengan baik, maka DKI Jakarta akan
menghemat 30% dari pasokan air baku saat ini atau sekitar 99.255.000 m3. .
5. Pipanisasi dari Waduk Jatiluhur
Menurut Direktur Jendral Sumber Daya Air Kementrian Pekerjaan, Dr.Ir.
Muhamdad Amron (Suara Pembaruan 14/12/11) saluran Taum Barat yang
mengalirkan air baku dari Jatiluhur mendapatkan banyak masalah antara lain
pencemaran, kondisi saluran, serta penyalahgunaan fasilitas di sekitar saluran.
Pipanisasi diperlukan dikarekan air dari Jatiluhur yang disalurkan ke IPA
Buaran melalui saluran terbuka mudah terkena pencemaran. Perkiraan dana
untuk porgram pipanisasi menelan biaya sebesar Rp.2,3 triliun. Program
pipanisasi dari Jatiluhur hingga Jakarta sepanjang 78 kilometer dengan
ukuran pipa berdiameter 1,8 meter, akan mampu menggelontorkan air bersih
hingga 4.000 liter/detik. Program pipanisasi air bersih langsung, jauh lebih
efektif dan murah karena air tidak perlu diolah di IPA, suplai air langsung
dihubungkan ke pipa distribusi air minum yang ada di Jakarta.
Pembangunan pipanisasi akan meningkatkan efisiensi pemanfaaan air
baku dari tingkat kehilangan 50% menjadi 10 % dan penurunan tingkat
pencemaran di sumber air baku. Program pembangunan pipanisasi dimulai
dalam waktu dekat (Muhamad Amron) diperkirakan dimulai tahun 2012 dan
diperkirakan selesai dan dapat beroperasi pada tahun 2025.
6. PES (Payment For Environment Sevice).
Awal teori tentang PES muncul pada tahun 1960 melaui tulisan artikel The
Problem of Social Cost oleh Prof Ronald Harry Coase, Universitas Chicago.
Sedangkan menurut Sven Wunder, PES adalah skema pemberian imbalan
kepada penghasil jasa untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas jasa
lingkungan, bukan pembayaran kepada ekosistem itu sendiri. Jadi transaksi
PES dilakukan secara sukarela antara penerima manfaat dan pemberi manfaat
jasa lingkngan. Kongres Watersheed Management tahun 2003 mendefisinikan
PES sebagai mekanisme kompensasi dimana penyedia jasa lingkungan
(service providers) dibayar oleh pengguna manfaat jasa lingkungan (service
250
users). PES untuk jasa air dan perlindungan DAS diartikan sebagai penerapan
mekanisme pasar pemberian kompensasi kepada masyarakat pemilik lahan di
hulu untuk konservasi dan tidak merubah peruntukan lahan-lahan yang
berpengaruh terhadap ketersediaan atau kualitas sumber daya air di hilir. PES
bersifat jangka panjang dan insentif bersifat jangka pendek, hal tersebu sesuai
pendapat dari Doribel Herrador dan Leopoldo Dimas, peneliti disiplin ilmu
agronomist dan environment economisc dari El Salvador.
Pembayaran PES (payment environment services) bertujuan mendorong
pemanfaatan sumberdaya alam yang lebih efisien dan bertanggungjawab.
Skema PES untuk mendorong kesejahteraan masyarakat yang berkontribusi
dalam meletarikan sumberdaya alam, dengan catatan bahwa daerah hilir atau
penerima manfaat atau pihak yang membayar, logikanya harus levih sejahtera
dibanding daerah hulu atau penyedia jasa lingkungan atau pihak yang
menerima pembayaran, jika tidak, tak akan terjadi skema PES (Dewa Gumay,
2011).
Pembayaran PES dapat dilakukan secara sukarela oleh penerima manfaat
dan pemberi manfaat, hal tersebut seperti yang dilaksanakan di DAS Cidanau
yaitu PT.KTI secara sukarela membayar iuran jasa lingkungan sebesar Rp.
175.000.000,- melalui Forum Komunikasi Das Cidanau (FKDC) yang
dibentuk melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor: 124.3/Kep.64-Huk/02
tanggal 24 Mei 2002. Namun dalam kesepakan sukarela pembayaran jasa
lingkungan tersebut belum jelas menakisme kepada siapa sebenarnya PES
dibayarkan.
Pembayaran PES dalam kasus pemenuhan air bersih untuk DKI Jakarta
sebaiknya dilakukan dengan pandangan bahwa air merupakan barang publik
yang dilindungi oleh konstitusi. Untuk itu pembayaran PES dalam
pengelolaan air bersih lintas wilayah untuk pemenuhan air bersih DKI Jakarta
yang berbasiskan otonomi daerah, berbeda dengan pembayaran PES yang
terjadi di DAS Cidanau. DKI Jakarta melalui PAM Jaya menerima manfaat
dari daerah hulu untuk itu Pemda DKI Jakarta harus membayar PES sebagai
kepeduliannya dalam rangka konservasi sumber daya air kepada daerah hulu
251
yaitu Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan DAS bagian tengah yaitu Pemda
Tangerang Provinsi Banten.
Beberapa contoh pembayaran PES seperti yang terjadi di Banten dan juga
di Cirebon dan Kuningan dapat dijadikan pelajaran untuk mekanisme
pembayaran PES. Kerjasama pemanfaatan Sumber Mata Air Paniis
Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan antara pemerintah Kabupaten
Cirebon dan Kabupaten Kuningan. Dalam perjanjian tersebut disepakati
bahwa besarnya dana kompensasi konservasi dihitung dengan
mempertimbangkan produksi air dari sumber air, tarif berlaku sebelum diolah
bagi pelanggan di Kota Cirebon dan tingkat kebocoran air (Hikmat
Ramdhan). Pada saat proses negosiasi berjalan penyedia jasa lingkungan
menunjukkan bentuk sertifikat komitmen untuk menyakinkan wilayah
pengguna bawhwa wilayah penyedia jasa lingkungan hidrologi secara serius
menjamin wilayahnya tetap mampu memasok air. Skema pembayaran jasa
lingkungan yang menganut skena voluntery akan sulit diwujudkan jika
pandangan masyarakat daerah tersebut menganut faham bahwa air dan bumi
seisinya adalah dikuasai negara dan dimanfaatakan untuk kemakmuran
masayrakat sebesar-besarnya. Skema voluntery hanya bisa diterapakan pada
kelompok bisnis yang bersifat komersial seperti yang diterapkan di Propinsi
Banten.
Perbedaaan masalah pemenuhan air dan sumber air di masing-masing
daerah serta belum diputuskannya secara hukum mekanisme pembayaran jasa
lingkungan, maka skema pembayaran jasa lingkungan setiap daerah juga
berbeda-beda. Untuk DKI Jakarta, pemerintah DKI Jakarta dapat melakukan
beberapa kerjasama dengan pemerintah daerah di sekitarnya, misalnya untuk
pemanfaatan sumber mata air yang terdapat di Kabupaten Bogor, maka skema
kerjasama bisa menggunakan atau mencontoh skema pembayaran yang
dilakukan oleh Kabupaten Cirebon dan Kuningan. Namun untuk pemanfaatan
DAS Sungai dengan status wilayah sungai strategis nasional dan sungai lintas
propinsi, maka mekanisme kerjasama antar propinsi yang perlu dilakukan dan
dibawah payung hukum pemerintah pusat karena kewengan pengelolaan
252
sungai starategis nasional dan sungai lintas propinsi berada pada kewenangan
pemerintah pusat.
Pembayaran PES oleh Pemda DKI ke Provinsi Jabar dan Tangerang
Provinsi Banten dengan perhitungan air yang dapat diterima oleh DKI Jakarta
dengan perkiraan sebesar Rp. 100/ m3 . Biaya atau dana PES tersebut diambil
dari teori valuasi air dan mempertimbangkan biaya pengelolaan air yang rata-
rata membutuhkan dana sebesar Rp. 1.000,-/ m3 s.d. Rp. 1.500,- (termasuk
biaya investasi IPA) serta mempertimbangkan pembayaran jasa air sebesar
Rp.161,-. Saat ini DKI Jakarta menerima pasokan air baku dari Jatiluhur
sebesar 400 juta m3 s.d. 500 juta m3 sehingga DKI Jakarta perlu
menyediakan dana PES sebesar kurang lebih Rp.50.000.0000.000.- . Dana
tersebut dibayarkan kepada Provinsi Jabar dan Pemda Tangerang Provinsi
Banten yang diperuntukan perbaikan lingkungan dan konservasi sumber daya
air di hulu DAS Citarum dan Cisadane sesuai dengan besaran air baku yang
ditrima. Mekanisme kerjasama tersebut sebaiknya dibahas oleh pihak pihak
terkait termasuk para gubernur yang melibatkan beberapa kabupaten yang
dilewati oleh DAS Citarum dan DAS Cisadane. Kerjasama antar wilayah
dengan daerah atau propinsi lain dalam pemanfaatan DAS sungai wilayah
strategis nasional seperti DAS Ciatrum dan Cisadane haruslah ditetapkan
dalam payung hukum pemerintah pusat hal tersebut sesuai dengan PP 38
tahun 2007 dan PP 42 tahun 2008.
Kerjasama dengan Provinsi Jabar dimulai tahun 2013 sampai dengan
tahun 2033 serta Provinsi Banten (Pemda Tangerang) 2013 sampai dengan
2033, kerjasama tersebut bersifat jangka panjang. Dana PES yang dibayarkan
kepada daerah hulu dan daerah tengah DAS tersebut dipergunakan untuk
memperbaiki kondisi DAS di hulu Sungai Citarum yang berada di Kabupaten
Bandung. Sedangkan bagian tengah DAS Citarum bagian tengah yaitu
Purwakarta, Karawang, dan Bekasi mendapatkan dana PES sesuai dengan
kesepakatan dan arahan Gubernur Jabar. Dana PES dipergunakan untuk
perbaikan badan sungai dan program kali bersih di daerah tersebut, agar
masyarakat dan industri yang ada di ketiga daerah tersebut tidak membuang
sampah dan limbah ke badan sungai.
253
7. Menambah sumber lain dari 13 sungai lainnya.
Penambahan air baku untuk air bersih dari 13 sungai yang ada dalam
rangka peningkatan kapasitas pelayanan air bersih perpipaan sampai 80%
pada 2015 dan sekaligus penurunan cakupan pelayanan air bersih dengan
sistem non-perpipaan terlindungi sampai 20% pada tahun 2015. Pemanfaatan
sumber air baru dari 13 sungai di DKI yang belum dimanfaatkan secara
maksimal dengan metode pengelolaan ultrafiltras dengan diikuti program kali
bersih dan melakukan normalisasi sungai-sugai di DKI Jakarta.
Kebijakan semacam ini pernah dilakukan oleh Pemerintah Singapuran.
Singapura melakukan pemindahan bangunan di pingiran atau bantaran sungai
ke rumah susun sederhana dan pembuangan saluran rumah tangga tidak
dialirkan ke sungai. Program ultraviltasi air sungai Jakarta dimulai pada tahun
2012 sampai tahun 2015. Menambah sumber air baru baik dari luar DKI
Jakarta, misalnya Bogor yang tekenal memiliki DAS terbaik dan terbanyak.
Kerja sama dengan Provinsi Jawa Barat, Gubernur DKI Jakarta berinisiatif
untuk melakukan rencana kerjasama pengelolaan tersebut kepada menteri dan
ditembuskan kepada badan koordinasi pengelolaan sumber daya air pada
wilayah sungai untuk di bahas dalam pola pengelolaan wilayah sungai lintas
propinsi dengan melibatkan Gubernur Jawa Barat dan DKI Jakarta serta
melibatkan Bupati Bandung, Bupati Purwakarta, Bupati Karawang, Bupati
Bekasi, dan Bupati Bogor. Rencana pola pengelolaan sungai lintas propinsi
yang telah disusun dengan melibatkan para gubernur dan bupati terkait serta
pihak terkait dalam konsultasi publik, untuk draft tersebut di kembalikan
kepada menteri.
Kualitas 13 sungai yang melewati wilayah DKI Jakarta dari waktu ke
waktu terus mengalami pencemaran oleh buangan rumah tangga dan industri.
Program perbaikan kualitas sengai melalui Program Kali Bersih (Prokasih)
pada awal tahun 90-an yang kemudian terhenti karena krisis moneter dan
ekonomi melanda Indonesia ternyata tidak mampu memenuhi target yang
ditetapkan. Akibat perubahan kualitas air yang signifikan tersebut, bisa
dipastikan bahwa hampir tidak ada sungai-sungai dalam kota yang bisa
254
dijadikan sumber air baku bag PAM DKI. Beberapa instalasi pengolahan air
bersih skala kecil (mini water treatment plant) yang pada awalnya
menggunakan beberapa sungai yang ada di dalam kota sebagai sumber air
bakunya sudah tidak difungsikan lagi akibat jeleknya airnya serta
berkurangnya debit air, terutama selama musim kemarau.
Sebagaimana diketahui, penurunan muka air tanah merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan penurunan muka tanah di wilayah Jakarta. Abidin
dan kawan-kawan (2002) menemukan bahwa dari hasil pemantauan dengan
menggunakan teknologi GPS (Global Positioning System) yang dilakukan
secara berkala dari tahun 1997 sampai tahun 2000 pada beberapa tempat
diwilayah DKI Jakarta, ditemukan terjadi penurunan muka tanah secara
signifikan dengan kecepatan yang bervariasi. Dari hasil pemantauan,
diketahui bahwa daerah yang cukup besar terjadi penurunan muka tanahnya
adalah di daerah Kapuk dengan kecepatan 10 cm/tahun dan di daerah
Marunda yang mencapai 9 cm /tahun. Penurunan permukaan tanah ini dapat
menyebabkan potensi volume dan permukaan genangan air pada musim
hujan (banjir) bertambah secara signifikan. Sedangkan pada saat musim
kemarau, karena perubahan tekanan hidrolisis pada sistem geohidrologis air
tanah di wilayah dekat pantai dan akibat tingkat etraksi air tanah sedang dan
dalam yang sangat tinggi, instrusi air laut bergerak dengan sangat cepat dari
utara ke arah selatan bahkan sudah hampir mencapai wilayah Jakarta Selatan.
Sementara itu, khususnya pada air tanah dangkal karena belum
tersedianya sistem penanganan limbah cair yang memenuhi persyaratan
sanitasi, sebagian besar air tanah di wilayah DKI Jakarta tercemar oleh
limbah cair rumah tangga yang terlihat dari indikasi kandungan Fecal Coli
Form yang sangat tinggi. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh BPLHD
DKI Jakarta pada tahun 2004 dan 2005 menunjukan bahwa 67% dari sumur
yang dipantau mengandung bakteri coliform dan 58% diantaranya
mengandung fecal coli melebihi bakal mutu.
Pemanfaatan sungai yang mengalir di DKI Jakarta terkendala dengan
kualitas air sungi yang tercemar berat dan debit air sungai yang tidak setabil.
Progam pemanfaatan 13 sungai lainnya yang mengalir ke DKI Jakarta, harus
255
dibarengi dengan penanganan pembuangan air limbah ke sungai oleh pabrik
dan perumahan penduduk ataau perumahan kumuh di badan sungai. Selain itu
pelaksanaan program kali bersih harus terus diterapkan secara konsisten.
Program tersebut direncanakan dimulai pada tahun 2015 sampai tahun 2025.
Untuk mengurangi limbah industri yang dibuang ke sungai, maka perlu
dipertimbangkan untuk melakukan pemindahan pabrik-pabrik /industri berat
yang ada di bantaran sungai atau pinggiran sungai ke wilayah pinggiran DKI
Jakarta atau BODETBEK..
Salah satu dari 13 sungai yang ada di Jakarta adalah Sungai Ciliwung.
Sungai Ciliwung memiliki panjang aliran utama adalah hampir 120 km
dengan daerah pengaruhnya (daerah aliran sungai) seluas 387 km persegi.
Wilayah yang dilintasi Ciliwung adalah Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota
Depok, dan Jakarta. Hulu sungai ini berada di dataran tinggi yang terletak di
perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, atau tepatnya di
Gunung Gede, Gunung Pangrango dan daerah Puncak. Setelah melewati
bagian timur Kota Bogor, sungai ini mengalir ke utara, di sisi barat Jalan
Raya Jakarta-Bogor, sisi timur Depok, dan memasuki wilayah Jakarta sebagai
batas alami wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur. Di daerah Manggarai
aliran Ciliwung banyak dimanipulasi untuk mengendalikan banjir. Jalur
aslinya mengalir melalui daerah Cikini, Gondangdia, hingga Gambir, namun
setelah Pintu Air Istiqlal jalur lama tidak ditemukan lagi karena dibuat kanal-
kanal, seperti di sisi barat Jalan Gunung Sahari dan Kanal Molenvliet di
antara Jalan Gajah Mada dan Jalan Veteran. Dari 13 sungai yang mengalir di
Jakarta, Ciliwung memiliki dampak yang paling luas ketika musim hujan
karena ia mengalir melalui tengah kota Jakarta dan melintasi banyak
perkampungan, perumahan padat, dan pemukiman
kumuh.http://id.wikipedia.org/wiki/Halaman_Utama.
256
Gambar 1. Sungai Ciliwung yang bermuara di Pasar Ikan
Tabel 51. Luas DAS dan Debit
No DAS Luas Daerah Tangkapan Air (Ha)
Luas DAS
Debit Q max m3/detik
Debit Q min m3/detik
Volume air permukaan (juta m3/thn)
1 Citarum hilir 719.605 85.196 4.5140 0.0030 1.220
2 Ciliwung 38.260 28.634 1.6830 1.6000 410
3 Cisadane 155.975 124.013 4.8800 0.2800 1.775
4. Kali angke-
pesanggrahan
65.957
5. Sunter 12.346
6. Kali Bekasi 176.000 41.175. 590
Sumber : Diolah dari berbagai sumber.
8. Desalinasi.
Pemanfaatan air laut untuk mencukupi kebutuhan masyarakat DKI dengan
metode desalinasi dan ultraviolet. Air laut memiliki kapasitas yang sangat
besar dan belum dimanfaatkan untuk kebutuhan air bersih. Namun kondisi
dan kualitas air laut DKI Jakarta yang asin dan tercemar logam berat perlu
dilakukan metode reverse osmoses.
Penggunaan air laut untuk air bersih sudah diuji coba dilaksanakan di
daerah Bali. Air laut diambil pada kedalaman 300 meter dibawah permukaan,
kemudian dinaikkan dan dimasukan kedalam tangki untuk menjaga suhu air .
257
Setelah itu dilakukan pemisahan air dari garam laut (desalinasi), yang
menghasilkan air tawar kurang lebih sebesar 50%nya. Selanjutnya dilakukan
proses kimiawi, biologi, dan fisika. Metode ultraviltrasi diperlukan agar
kuman-kuman yang terdapat pada air tersebut dapat dilemahkan. Selanjutnya,
sebelum air tersebut didistribusikan kepada masyarakat, perlu dilakukan
pengecekan melalui laboratorium untuk memastikan apakah air hasil
desalinasi sudah sesuai dengan baku mutu.
8.4.2 Role Sharing (Bagi Peran ) Pengelolaan Air Baku untuk Air Bersih
Pengelolaan air bersih bersifat kompleks dan melibatkan beberapa stake
holders, misalnya pemerintah, pemda, PAM, Kementrian PU, Kementrian
Keuangan, Kementrian Kesehatan, Kementrian ESDM, LSM, masyarakat dan
swasta (telah dibahas pada bab sebelumnya tentang analisis kelembagaan). Untuk
itu dalam pengelolaan air tidak dapat mengandalkan lembaga yang tunggal,
pengelolaan air di era otonomi daerah seperti sekarang ini harus berdasarkan
kepada prinsip-prinsip keadilan, keseimbangan, berwawasan lingkungan dan
berdasarkan prinsip-prinsip good governance (tata pemerintahan yang baik), yaitu
dengan melibatkan semua stakeholder yang berkepentingan dalam proses
pengelolaan air. Institusi inti dan usulan atau bagi peran dalam pengelolaan air
lintas wilayah dapat diringkas pada role sharing Tabel 52
258
Tabel 52. Role Sharing pengelolaan air bersih lintas wilayah berbasis otonomi
daerah
Institusi Peran
Pemerintah Pusat - Memfasilitasi pemerintah kabupaten kota untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat al.
- Memenuhi kebutuhan minimun air bersih masyarakat .
- Kementrian Kesehatan dengan program Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), penetapan dan pengawasan kualitas air.
- Kementrian Pekerjaan Umum dengan program sanitasi masyarakat (Sanimas), sosialisasi 3R, pembangunan sarana dan prasarana yang menjadi wewenang pusat (skala nasional), mengelolah sungai lintas negara, sungai lintas propinsi dan sungai strategis nasional.
- Kementrian Kehutanan dengan program pelestarian hutan
- BKKBN program KB untuk menekan laju pertumbuhan penduduk
- Kementrian Lingkungan Hidup untuk mencegah pencemaran lingkungan oleh Industri
DKI Jakarta - Berinisiatif untuk mengidentifikasi sumber air baku di wilayah DKI Jakarta.
- Melakukan koordinasi dengan instansi terkait lintas propinsi dan lintas kabupaten/kota serta mendiskusikan permasalahan yang ada dalam pemanfaatan air sungai lintas provinsi.
- Melakukan evaluasi status mutu air sungai DKI Jakarta dan melakukan studi kelayakan pemanfaatan air sungai.
- Melakukan normalisasi sungai dan program prokasi.
- Menerapkan Law Enforcement bagi pelaku pencemaran lingkungan terutama di sungai. - Mewajibkan Industri melaksanakan progam
Reduce, reuse dan recycle dengan cara membuat instalasi pengolahan limbah industri dan mengolahnya kembali dan membuat studi kelayakan untuk pemindahan industri besar ke daerah di luar DKI Jakarta.
- Mewajibkan Hotel melakukan progam reduce dan reuse dengan cara mengganti equipment kamar mandi menjadi yang otomatic
- Menaikkan tarif pajak air tanah akan diperoleh dana untuk konservasi air tanah
259
Institusi Peran
- Memberikan subsidi air untuk keperluan masyarakat miskin dan meningkatkan akses kepada air bersih.
- Berkoordinasi dengan BKKBN untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. .
PDAM - Mengurangi kebocoran - Meningkatkan pelayanan dan menambah jumlah
sambungan rumah - Ikut terlibat dalam program pelestarian DAS
hulu. - Meningkatkan teknologi modern untuk
pengelolaan. - Melakukan kajian terhadap program desalinasi. - Mengawasi kualitas air bersih dan pelayanan
air bersih di DKI Jakarta.
PJT II - Melaksanakan konservasi air di das yang
menjadi wewenangnya, memelihara dan menjaga
kestabilan debit di Bendungan Jatiluhur . LSM - Ikut terlibat dalam proses pemerdayaan
masyarakat - Mengawasi pemanfaatan lahan dan mencegah
konversi lahan serta terlibat dalam proses reboisasi
- Turut mengawasi kualitas air bersih dan pelayanan air bersih di DKI Jakarta.
Masyarakat - Terlibat langsung dalam pelaksanaan reboisasi hutan, terasering pada tegalan.
- Ikut mencegah pencemaran dengan tidak lagi memuang limbah rumah tangga kedalam sungai atau selokan.
- Melaksanakan program hemat air dengan metode / program 3R.
- Mewakili komponen masyarakat dalam dewan SDA dan lain-lain.
Perguruan tinggi - Melakukan penelitian R & D terkait pemenuhan air bersih baik teknis maupun kebijakan pengelolaan air bersih lintas wilayah.
- Mendesain metoda metoda sosialisasi pemberdayaan masyarakat.
Pemerintah provinsi Jabar
dan Tangeran Banten - Memfalitasi koordinasi antara pemerintah
kabupaten kota (Kota Bogor, Karawang, Bekasi, Purwakarta, Subang, Cianjur, Sukabumi) terkiat dengan pemanfaatan sumber air di sungai lintas
260
Institusi Peran
provinsi dan lintas kabupaten/kota. - Memfasilitasi koordinasi antara pemerintah
kabupaten kota dengan Pemerintah Pusat
BP SPAM - Melaksanakan tugas dan fungsi BPSPAM terkait pengembangan sistem penyediaan air minum sebagai mana yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
- Melaksanakan kebijakan yang sudah digariskan.
Untuk mensukseskan DKI Jakarta yang berketahanan air, maka seluruh
stakeholder harus berperan pada tugas dan fungsinya masing-masing. Pemenuhan
air bersih DKI Jakarta selain membutuhkan kerjasama lintas wilayah dan lintas
sektoral dan bersifat holistik, juga membutuhkan peran semua pihak. Untuk
mencukupi kebutuhan air bersih DKI Jakarta tidak hanya dapat dilakukan dengan
memperbaiki sisi supply tetapi juga perlu pengendalian sisi demand (permintaan/
pemanfaatan). Dari sisi deman program pengendalian dapat dilakukan melalui
pengendalian jumlah penduduk (BKKBN) dan Dinas Kependudukan, program
hemat air (3R) dan program pengendalian perijinan (DKI Jakarta).
Berdasarkan skenario kebijakan dan role sharing dapat disusun suatu perkiraan
pendanaan biaya yang diperlukan untuk masing-masing program kegiatan baik
untuk kegiatan 3R, pemanfaatan DAS BKT, pembayaran PES, desalinasi dan
pipanisasi dari Jatiluhur serta perbaikan kebocoran pada pipa distribusi.
261
Tabel 53. Perkiraan biaya dan kapasitas air yang diperoleh
No.
Program Kapasitas(liter/ detik)
Volumem3
Dana APBN(Rp)
Pemda DKI (Rp)
1 Kali Pasanggrahan 6.000 189.216.000 - 5 trilyun 2 Sungai Cisadane 3.000 94.608.000 - 189 trilyun 3 Pipanisasi Curug 5.000 157.680.000 6.0 trilyun -
4 BKT 10.000 315.360.000 5.5 trilyun 4,5 miyar 5 Desalinisasi Tidak
terbatas- 5 trilyun
6 PES 5.00.000.000 - 50 milyar 7 Perbaikan
Kebocoran Pipa Distribusi
113.529.600 - 3 trilyun
8 Program 3R 99. 255.000 s.d
157.680.000
- 6 trilyun
Sumber: Diolah dari berbagai sumber, 2011
Program pipanisasi Curug (Jatiluhur) akan menghasilkan pasokan air yang
cukup besar dengan pendanaan dari pemerintah pusat (APBN) dan pemda DKI
Jakarta tidak mengeluarkan dana apapun. Melihat komposisi tersebut tentunya
Pemda DKI memilih menunggu proyek tersebut selesai. Namun demikian sebagai
Pemerintah Provinsi yang memiliki ketergantungan sumber air baku dari daerah
lain, maka Pemerintah DKI sebaiknya memanfaatkan debit sungai BKI yang
cukup besar tersebut untuk mencukupi kebutuhan warganya. Pemda DKI telah
mengeluarkan dana sebesar 2.5 milyar untuk pembebasan tanah dan diperlukan
sekitar 2 milyar untuk membangun IPA baru untuk mengelola air baku dari BKT.