babii tinjauanpustaka 2.1.1. definisidanetiologidifteri
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Difteri
2.1.1. Definisi dan Etiologi Difteri
Gambar 2.1 Corynebacterium Diphtheriae dari medium Pai yang diwarnai denganbiru metilen pembesaran x1000 (Carroll, 2017)
Difteri adalah penyakit akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheria, suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob. Penyakit ini
ditandai dengan sakit tenggorokan, demam, malaise dan pada pemeriksaan
ditemukan pseudomembran pada tonsil, faring, dan / atau rongga hidung
(Hartoyo, 2018). Awal dari penyakit ini yaitu ditandai dengan adanya
peradangan pada selaput mukosa, faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada
kulit. Selain itu manusia merupakan satu-satunya reservoir Corynebacterium
Diphtheriae. Penyebaran penyakit ini melalui droplet (percikan ludah) dari
batuk, muntah, bersin, alat makan, dan kontak langsung dengan lesi kulit.
Setelah terpapar nantinya akan disusul dengan gejala seperti infeksi saluran
5
pernafasan akut (ISPA) bagian atas, nyeri menelan (faringitis) disertai
dengan demam namun tidak tinggi (kurang dari 38,50 C), dan ditemukan
pseudomembrane putih/keabu-abuan/kehitaman pada tonsil, laring atau
faring. (Kemkes RI, 2017)
Gambar 2.2 Ciri khas infeksi difteri pada faring posterior (Bruce, 2019)
Distribusi membran bervariasi dari lokal (misalnya, tonsil, faring)
hingga luas yang mencakup seluruh trakeobronkial. Penyebab kematian yang
paling sering adalah obstruksi jalan napas atau mati lemas setelah aspirasi
pseudomembran. (Bruce, 2019)
Diameter dari bakteri ini sekitar 0.5 μm - 1 μm. Pada bagian ujung
organisme ini memberikan gambaran seperti "bentuk gada" (Gambar 2.1).
Lalu pada batang (seringnya pada bagian ujung) terwarnai penuh oleh anilin
(granula metakromatik) dan karena itu bakteri batang terlihat seperti
manik-manik (Carroll, 2017)
6
Difteri pada umumnya lebih banyak menyerang pada umur anak 5-7
tahun. Penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium
diphtheria (Kementerian Kesehatan, 2014). Ketika endemik difteri, paling
banyak mempengaruhi anak-anak <15 tahun. Sejak diperkenalkannya
imunisasi toksoid, penyakit ini telah bergeser ke orang dewasa yang tidak
mendapat vaksin dan memiliki tingkat imunisasi yang rendah (Padhye, 2016).
Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri 296 kasus dengan jumlah kasus
meninggal 16 orang dengan CFR difteri 4%. Dari 22 provinsi yang
melaporkan adanya kasus difteri, provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa
Timur, yaitu 295 kasus yang berkonstribusi sebesar 74%. Dari total kasus
tersebut, 37% tidak mendapakan vaksin campak. Sementara pada tahun 2015
terdapat 252 kasus difteri dengan 5 kasus meninggal sehingga CFR 1,98%
dan gambaran menurut umur terbanyak pada usia 5-9 tahun dan 1-4 tahun
(Hartoyo, 2018).
Semua golongan umur dapat terinfeksi oleh bakteri Corynebacterium
diphtheria, namun 80% kasus terjadi diderita pada anak usia kurang dari 15
tahun dan yang tidak mendapatkan imunisasi dasar. Golongan umur yang
sering terkena difteri adalah 5-7 tahun. Jarang ditemukan pada bayi yang
berusia di bawah 6 bulan dikarenakan, adanya imunitas pasif melalui
plasenta dari ibunya. Bahkan juga jarang pada umur di atas 10 tahun. Dan
jenis kelamin yang sering menderita difteri adalah perempuan dikaitkan
dengan daya imunitasnya yang rendah (Fitriansyah, 2018)
Menurut Fitriana dan Harli (2014) Kelompok risiko tinggi penyakit
difteri terutama adalah anak-anak (golongan umur 1-5 tahun) dan lanjut usia.
7
Dewasa ini di era vaksinasi terjadi perubahan epidemiologi dimana penyakit
difteri juga dapat terjadi pada orang dewasa. Kejadian epidemi atau
peningkatan kasus difteri dapat terjadi pada suatu daerah yang sebelumnya
sudah dinyatakan terbebas dari difteri. Faktor resiko yang dapat
menyebabkan hal tersebut terjadi adalah sebagai berikut: adanya penderita
difteri atau carier yang datang dari daerah endemik difteri, terjadinya
penurunan cakupan imunisasi, dan terdapat perubahan virulensi bakteri.
2.1.2. Patofisiologi
Bakteri Corynebacterium Diphtheriae akan tumbuh di membrane
mukosa atau kulit yang mengalami abrasi dan kemudian bakteri akan mulai
menghasilkan toksin. Toksin akan diserap ke dalam membran mukosa yang
akan mengakibatkan kerusakan epitelium dan juga respon inflamasi
superficial. Epitel yang cedera akan menempel pada fibrin, sel darah merah
dan putih sehingga membentuk "pseudomembran" berwarna kelabu yang
seringnya akan menutupi tonsil, faring, atau laring. Jika ingin mencoba
mengambil pseudomembran ini, malah akan membuka dan merusak kapiler
sehingga akan terjadi perdarahan. Di ikuti dengan kelenjar getah bening
regional dileher membesar lalu kemungkinan akan muncul edema pada
bagian leher yang mengakibatkan gangguan saluran napas yang dikenal
dengan "bull neck" (Carroll, 2017)
Bakteri ini akan terus aktif menghasilkan toksin dan akan terus
diabsorbsi lalu dapat mengakibatkan kerusakan toksik ditempat yang jauh
salah satunya degenerasi parenkim, infiltrasi lemak, nekrosis pada jantung,
hati, ginjal, dan kelenjar adrenal. Terkadang akan disertai dengan
8
perdarahan hebat. Toksin ini juga mampu menyebabkan kerusakan saraf
yang berujung pada paralisis palatum mole, otot-otot mata, dan ekstrimitas
(Carroll, 2017)
2.1.3. Jenis-jenis Difteri
Menurut (Hartoyo, 2018) Berikut ini adalah beberapa jenis difteri
menurut lokasinya.
1. Difteri saluran napas
Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx
kemudian hidung dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih
sering terjadi pada bayi, menyebabkan sekret serosanguinis,
purulen, dan rhinitis erosiva dengan pembentukan membran. Ulkus
dangkal dari nares eksternal dan bibir atas merupakan tanda khas.
Pada difteria tonsilar dan pharyngeal, sakit tenggorokan merupakan
gejala yang pertama kali muncul. Separuh pasien memiliki gejala
demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak,
malaise atau sakit kepala. (Hartoyo, 2018)
2. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya menyerupai common cold dengan
gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinus dan kemudian
mukopurulen, menyebabkan lecet pada nares dan bibir atas. Pada
pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi.
9
Absorpsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul
tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. (Hartoyo, 2018)
3. Difteri Tonsil dan Laring
Gejala difteria tonsil-faring adalah anoreksia, malaise, demam
ringan, dan nyeri menelan. Dalam 1-2 hari kemudian timbul
membran yang mudah perdarah, melekat, berwarna putih-kelabu
dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi
limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi
bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul
bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi
toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan
pernafasan dan sirkulasi, paralisi palatum molle baik uni maupun
bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma,
kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus
sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur dan bisa disertai
penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan, membran
akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan
sempurna. (Hartoyo, 2018)
4. Difteri Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada
difteria laring gejala toksik kurang jika dibandingkan difteri faring
karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah
10
dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran
nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis difteria laring sukar
dibedakan dengan gejala sindrom croup, seperti nafas berbunyi,
stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada
obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
interkostal, dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran
yang menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada
kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial.
Apabila difteria laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring
maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi
dan toksemia. (Hartoyo, 2018)
5. Difteri Kulit
Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan
ulkus superfisial, ektima, indolent dengan membran coklat kelabu
di atasnya, sulit dibedakan dengan impetigo akibat Stapyllococcus/
Streptococcus dan biasanya bersamaan dengan infeksi kulit ini.
Pada banyak kasus infeksi, difteri merupakan infeksi sekunder
pada dermatosis, laserasi, luka bakar, tersengat atau impetigo.
Ekstremitas lebih sering terkena daripada leher atau kepala. Infeksi
simtomatik atau kolonisasi kuman di traktus respiratorius dengan
komplikasi toksin terjadi pada sebagian kecil penderita difteria
kulit. (Hartoyo, 2018)
6. Difteri pada tempat lain
11
C. diphteriae dapat menyebabkan infeksi mukokutaneus pada
tempat lain, seperti di telinga (otitis eksterna), mata (purulen dan
ulseratif konjungtivitis) dan traktus genitalis (purulen dan ulseratif
vulvovaginitis). Tanda klinis terdapat ulserasi, pembentukan
membran dan perdarahan submukosa membantu dalam
membedakan difteria dari penyebab bakteri lain dan virus.Difteria
pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema
dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan sekret purulen dan berbau. (Hartoyo, 2018)
2.1.4. Tatalaksana Difteri
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin
yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit
yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah
penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria. (Hartoyo,
2018)
1. Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien
tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama
kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat.
Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta
dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier
(Hartoyo, 2018)
12
2. Antitoksin: Anti difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan
segera setelah dibuat diagnosis difteria, dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun, dengan penundaan lebih dari hari ke-6
menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata
terlebih dahulu. Pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik
sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit.
Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL ADS dalam
larutan garam fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila
dalam 20 menit trejadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan
dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam
fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil
positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada
konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif,
ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji
hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan
sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris
berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada
berat badan pasien. Pemberian ADS intravena dalam larutan
garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal
dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam
13
berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness). (Hartoyo, 2018)
3. Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan
produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin
(40-50 mg/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV,
maksimum 2 gram per hari), Penisilin V Oral 125-250 mg, 4 kali
sehari, kristal aqueous pensilin G (100.000 – 150.000 U/kg/hari,
dosis terbagi setiap 6 jam IV atau IM), atau Penisilin prokain
(25.000-50.000 IU/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 12 jam IM).
Terapi diberikan untuk 14 hari. Beberapa pasien dengan difteria
kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari. Eliminasi bakteri harus
dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif dari
hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil 24 jam setelah
terapi selesai. Terapi dengan eritromisin diulang apabila hasil
kultur didapatkan C. diphteriae. (Hartoyo, 2018)
4. Pengobatan kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai
tindakan berikut terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok
serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlampaui,
pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah
mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
(Hartoyo, 2018)
14
5. Pengobatan karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan,
mempunyai uji Schick negatif tetapi mengandung basil difteria
dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan adalah
penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/iv atau eritromisin 40
mg/kgBB/hari selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/ adenoidektomi. (Hartoyo, 2018)
Gambar 2.3 Dosis ADS menurut lokasi membran dan lama sakit (Hartoyo,2018)
Gambar 2.4 Pengobatan terhadap kontak difteria (Hartoyo, 2018)\
15
2.1.5. Prognosis Difteri
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik
daripada sebelumnya. Di Indonesia, pada daerah yang belum di imunisasi,
masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Kematian
mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena (1) obstruksi
jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteria, (2)
Adanya miokarditis dan gagal jantung, dan (3) paralisis diafragma sebagai
akibat neuritis nervus frenikus. Anak yang pernah menderita miokarditis
atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh
sempurna tanpa gejala sisa, walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan
jantung yang menetap. (Hartoyo, 2018)
2.1.6. Pencegahan Difteri
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan
memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya,
setelah seorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini
sangat rendah sehingga perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri
dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. (Hartoyo, 2018)
Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal
terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat
bertahan selama 2-3 minggu. Imunitas aktif diperoleh setelah menderita
aktif yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid difteria.
Imunisasi DPT sangat penting untuk mempertahankan kadar antibodi tetap
tinggi diatas ambang pencegahan dan imunisasi ulangan sangat diperlukan
agar lima kali imunisasi sebelum usia 6 tahun. Imunitas terhadap difteria
16
dapat diukur dengan uji Schick dan uji Moloney. Apabila belum pernah
mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali dengan interval
masing-masing 4-6 minggu (Hartoyo, 2018). Vaksin DPT pertama diberikan
paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa.
Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi
vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan dan yang telah lengkap imunisasi
primer (< 1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT ulangan umur 18 bulan
dan 5 tahun. Anak yang usianya lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau
Tdap. Untuk DPT 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan
booster Td diberikan setiap 10 tahun. Apabila imunisasi belum lengkap,
segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak
perlu diulang). (IDAI, 2017)
Test kekebalan:
Schick test : Menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap difteri. Tes
dilakukan dengan menyuntikan toksin difteri (dilemahkan) secara intrakutan.
Bila tidak terdapat kekebalan antitoksik akan terjadi nekrosis jaringan
sehingga test positif. (Hartoyo, 2018)
Moloney test : Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. Tes
dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid diphtheri toxoid secara
suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10
mm. Ini berarti bahwa:
Pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi
hipersensitivitas.
17
Pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkan timbulnya reaksi yang
berbahaya.
(Hartoyo, 2018)
2.2. Sistem Imun
2.2.1. Mekanisme Pertahanan Tubuh Manusia
Dengan adanya sistem imun, tubuh dapat mengenali secara teliti dan
membunuh pathogen yang telah masuk ke dalam tubuh. Inilah yang disebut
dengan respon imun. Terdapat 2 sistem yang berperan dalam melawan atau
mencegah pathogen masuk ke dalam tubuh yaitu imunitas bawaan (innate
immunity) dan imunitas didapat (adaptive immunity). Pada innate immunity
memiliki sifat non spesifik terhadap pathogen, cepat dimobilisasi ditempat
awal infeksi yang berarti imunitas ini bekerja dengan segera terhadap
pathogen tetapi imunitas ini tidak menghasilkan imunitas protektif yang
bertahan lama. Komponen yang termasuk dalam imunitas bawaan antara
lain sel fagositik, sel natural killer (NK), sitokin dan komplemen. (Detrick,
2017)
Pada adaptive immunity, sistem ini bersifat spesifik terhadap pathogen
yang berarti dapat mengenali dan menghancurkan pathogen secara spesifik
dan juga memberikan imunitas protektif jika innate immunity tidak mampu
mencegah atau melawan pathogen yang masuk kedalam tubuh. Komponen
yang ada pada adaptive immunity antara lain sistem produksi antibody dari
sel B dan imunitas seluler sel T Singkatnya innate immunity bersifat efektif
dan berperan penting dalam melenyapkan pajanan antigen pertama dari
pathogen tetapi jika sistem ini tidak mampu atau gagal maka adaptive
18
immunity akan secara spesifik melawan pathogen serta membentuk
imunitas spesifik terhadap pathogen tersebut. Kedua sistem ini tidak dapat
dipisahkan dan selalu bekerja sama dalam menghancurkan pathogen.
(Detrick, 2017)
Sitokin berperan dalam imunitas nonspesifik dan spesifik dan
mengawali, mempengaruhi dan meningkatkan respon imun nonspesifik.
Makrofag dirangsang oleh IFN-γ, TNF-α dan IL-1. IL-12 merupakan
mediator utama imunitas nonspesifik dini terhadap mikroba intraselular dan
merupakan induktor kunci dalam imunitas selular spesifik terhadap mikroba.
Efek biologis IL-12 adalah merangsang produksi IFN-γ oleh sel NK dan sel
T, diferensiasi set T CD4 menjadi sel Th1 yang memproduksi IFN-γ. IFN-γ
yang diproduksi berbagai sel sistem imun merupakan sitokin utama MAC
dan berperan terutama dalam imunitas non spesifik dan spesifik selular.
IFN-γ adalah sitokin yang mengaktifkan makrofag untuk membunuh fagosit.
IFN-γ yang merangsang ekspresi MHC-1 dan MHC-II dan konstimulator
APC. IFN-γ meningkatkan diferensiasi sel CD4 naif ke subset sel Th1 dan
mencegah proliferasi sel Th2. IFN-γ bekerja terhadap sel B dalam
pengahalihan subkelas IgG yang mengikat Fcγ-R pada fagosit dan
mengaktifkan komplemen. Kedua proses tersebut meningkatkan fagositosis
mikroba yang diopsinisasi. IFN-γ dapat mengalihkan Ig yang berpatisipasi
dalam eliminasi mikroba. IFN-γ mengaktifkan neutrofil dan merangsang
efek sitolitik sel NK. (Bratawidjaja dan Rengganis, 2014)
19
2.2.2. Respon imun terhadap bakteri
Terbagi menjadi 2 yaitu respon imun terhadap bakteri ekstraseluler
dan intraseluler dan masing-masing akan dibagi lagi menjadi imunitas
alamiah dan imunitas spesifik. Imunitas alamiah pada bakteri ekstraseluler
melalui mekanisme fagositosis oleh neutrophil, monosit serta makrofag
jaringan sedangkan imunitas spesifik pada ekstraseluler komponen yang
berperan penting adalah kekebalan humoral. Lalu imunitas alamiah pada
bakteri intraseluler ialah fagositosis tetapi seringkali bakteri resisten
terhadap degradasi dari sel fagosit sehingga dapat dikatakan tidak terlalu
efektif untuk mencegah penyebaran infeksi. Selanjutnya imunitas spesifik
terhadap bakteri intraseluler mengandalkan cell mediated immunity (CMI)
yang dimana sistem ini dijalankan oleh sel T. (Munasir, 2016)
Pertahanan lini pertama pada imunitas alami dilakukan oleh barrier
epithelial kulit dan mukosa serta oleh sel dan antibiotik alami yang berada
di epitel, yang semuanya berfungsi untuk menghambat masuknya mikroba.
Bila mikroba menghancurkan epitel dan memasuki jaringan atau sirkulasi,
mikroba akan diserang oleh fagosit, limfoid spesifik yang disebut sel
limfoid alami misalnya sel natural killer, dan beberapa protein plasma,
temasuk protein dari sistem komplemen. (Abbas, 2016)
Keseluruhan mekanisme imunitas alami ini secara spesifik mengenali
dan bereaksi terhadap mikroba. Selain memberikan pertahanan awal
terhadap infeksi, respon imun alami meningkatkan respon imun adaptif
terhadap agen-agen infeksius. Respon imun adaptif terutama penting untuk
pertahanan terhadap mikroba infeksius yang bersifat patogenik terhadap
20
manusia (yaitu dapat menyebabkan penyakit) dan mampu melawan imunitas
alami. Sementara mekanisme imunitas alami mengenali struktur-struktur
yang sama-sama dimiliki oleh berbagai kelas mikroba, sel-sel imunitas
adaftif (limfosit), mengekpresikan reseptor yang secara spesifik mengenali
berbagai molekul yang diproduksi oleh mikroba serta molekul-molekul non
infeksius (Abbas, 2016)
Setiap bahan yang secara spesifik dapat dikenali oleh limfosit dan
antibodi disebut antigen. Respon imun adaptif seringkali menggunakan
sel-sel serta molekul dari sistem imun alami untuk mengeliminasi mikroba,
dan fungsi imunitas adaptif untuk memprekuat mekanisme antimikroba
imunitas alami. Sebagai contoh, antibodi (suatu komponen dari imunitas
adaptif) berikatan dengan mikroba, dan mikroba yang dilapisi antibodi ini
berikatan kuat dengan fagosit yang telah teraktivasi dan mengaktivasi
fagosit tersebut, yang mencerna dan menghancurkan mikroba (Abbas, 2016)
2.3. Imunisasi
2.3.1. Definisi
Imunisasi merupakan suatu upaya agar dapat menimbulkan atau
meningkatkan imunitas individu terhadap suatu penyakit dan diharapkan
jika terpajan oleh suatu penyakit, kemungkinan untuk tidak sakit atau hanya
sakit ringan saja. (Mardiana, 2018)
Saat vaksin berada didalam tubuh, vaksin membuat antibodi untuk
melawan antigen dan setelah itu sistem imun yang memiliki daya ingat
terhadap antigen lalu mengingatnya sebagai pajanan pertama. Masyarakat
yang dapat diberikan imunisasi antara lain anak-anak dan juga orang dewasa,
21
dikarenakan sistem imun pada anak-anak belum sempurna dan pada orang
dewasa yang berusia diatas 60 tahun akan terjadi degradasi sistem imun
nonspesifik dan ini menjadi salah satu faktor yang membuat usia lanjut
sering atau mudah terkena penyakit autoimun. Pemberian booster dilakukan
untuk memperkuat kekebalan agar tetap diatas ambang perlindungan dan
juga memperpanjang durasi perlindungan (Mulyani dan Rinawati, 2013)
Dengan imunisasi antigen dapat dicegah untuk menginfeksi tubuh.
Salah satu sistem yang berperan disini adalah immunoglobulin yang
dihasilkan oleh sistem pertahanan humoral antara lain IgA, IgD, IgE, IgG,
IgM. Dan juga terdapat limfosit B dan limfosit T dari sistem pertahanan
seluler yang terdiri dari sel Th1, Th2, Tc). Imunitas seluler pada anak-anak
mulai berkembang secara spesifik pada umur 2-3 tahun dan pada imunitas
humoral lebih lambat perkembangannya yaitu pada umur 6-9 tahun
(Bratawidjaja dan Rengganis, 2014)
2.3.2. Imunisasi di Indonesia
Indikator yang dipakai untuk mengetahui pencapaian program
imunisasi diIndonesia yaitu dengan melihat angka UCI (Universal Child
Immunization). Awalnya UCI digunakan sebagai cakupan imunisasi
lengkap dengan persentase minimal 80% dengan tiga jenis antigen antara
lain DPT3, Polio dan Campak. Lalu pada tahun 2003, UCI telah mencakup
semua jenis vaksin yaitu BCG 1 (satu) kali, DPT 3 (tiga) kali, HB 3 (tiga)
kali, Polio 4 (empat) kali dan campak 1 (satu) kali (Dinkes Jatim, 2015).
Target sasaran program imunisasi antara lain bayi (0-11 bulan), ibu
hamil, Wanita Usia Subur (WUS) dan siswa SD. Adapun usaha untuk
22
meningkatkan kualitas imunisasi antara lain dengan kampanye, peningkatan
keahlian petugas imunisasi, kualitas penyimpanan vaksin dan sweeping
sasaran (Dinkes Jatim, 2015).
Menurut Data statistik (Kemenkes, 2016) dalam 3 tahun terakhir
cakupan imunasasi di Indonesia dapat dikatakan baik jika dilihat dari
cakupan imunisasi dasar lengkap dari tahun 2014-2016, persentase cakupan
imunisasi dasar lengkap berada diatas 85% walaupun menurut target standar
prosedur minimal di Indonesia adalah 100%. Lalu salah satu hal yang harus
dapat perhatian dari pemerintah yaitu sampai saat ini belum ada program
imunisasi untuk orang dewasa padahal dengan diadakan program tersebut
dapat meningkatkan kualitas hidup dan peningkatan produktivitas.
2.3.3. Tujuan Imunisasi
Adapun tujuan imunisasi memiliki 2 tujuan:
1. Tujuan Umum
Menurukan angka kesakitan, kematian dan kecacatan akibat
penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I)
2. Tujuan Khusus
a. Tercapainya target universal child Immunization (UCI)
yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara
merata pada bayi diseluruh desa/kelurahan pada tahun
2014
b. Tervalidasinya eliminasi tetanus maternal dan neonatal
(insiden di bawah 1 per 1.000 kelahiran hidup dalam satu
tahun) pada tahun 2013
23
c. Eradikasi polio pada tahun 2015
d. Tercapainya eliminasi campak pada tahun 2015
e. Terselenggaranya pemberian imunisasi yang aman serta
pengolahan limbah medis (safety injection practice and
waste disposal management)
(Mexitalia, 2017)
2.3.4. Manfaat Imunisasi
Manfaat yang didapat dari imunisasi antara lain:
1. Untuk anak : mencegah agar penderitaan yang disebabkan
penyakit tidak menimbulkan kecacatan ataupun kematian
2. Untuk keluarga : menghilangkan kekhawatiran orangtua dan
meyakinkan bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak
yang nyaman
3. Untuk negara: Membenahi tingkat kesehatan, menjadikan
bangsa kuat dan berakal dengan tujuan pembangunan negara
(Proverawati dan Andhini, 2010)
24
2.3.5. Jenis-jenis kekebalan
Saat terjadi pengenalan antigen dapat terjadi 2 jenis kekebalan yaitu:
a. Kekebalan aktif: Pada kekebalan aktif, perlindungan yang
dihasilkan oleh sistem kekebalan orang itu sendiri dan akan
berlansung seumur hidup lalu kekebalan aktif dapat didapatkan
dengan 2 cara yaitu aktif alamiah dan buatan. Aktif Alamiah
adalah ketika seseorang menderita penyakit sedangkan buatan
didapatkan ketika pemberian vaksinasi. (Bratawidjaja dan
Rengganis, 2014)
b. Kekebalan pasif: tidak diperoleh dari dalam tubuh melainkan
dari luar tubuh dan terbagi menjadi pasif alamiah dan pasif
buatan. Pasif alamiah contohnya kekebalan yang didapat dari
ibu lewat plasenta saat didalam kandungan atau diperoleh dari
pemberian ASI pertama kali. Sedangkan untuk pasif buatan
kekebalan yang diperoleh dengan cara menyuntikkan antibodi
yang telah diekstrak dari satu individu ke tubuh orang lain
sebagai serum, contohnya pemberian serum antibisa ular pada
orang yang dipatuk ular berbisa. (Bratawidjaja dan Rengganis,
2014)
25
2.3.6. Keberhasilan Imunisasi
Berbagai faktor mempengaruhi respon terhadap imunisasi seperti
faktor endogen berupa usia, genetik, kesehatan umum dan faktor eksogen
berupa infeksi intermiten, status gizi dan medikasi (Bratawidjaja dan
Rengganis, 2014)
2.3.7. Kegagalan Imunisasi
Beberapa faktor penting penyebab kegagalan imunisasi antara lain
adalah harga vaksin yang mahal, menurunnya efektifitas vaksin akibat
distribusi yang tidak baik, cara penyimpanan vaksin yang tidak tepat, tidak
adanya kotak pendingin dalam pendistribusiannya, dan sebagian besar
vaksin harus diberikan dengan penyuntikan, dll. Keadaan ini mempengaruhi
ketersediaan vaksin terutama di negara-negara miskin dimana justru
penyakit tersebut sangat tinggi angka kesakitan dan kematiannya. (Mulyani
dan Rinawati, 2013)
2.3.8. Reaksi KIPI (Kejadian Ikutian Pasca Imunisasi)
1. Klasifikasi
Menurut (WHO, 2014) KIPI adalah setiap kejadian medis yang
tidak diinginkan pada seseorang yang terjadi setelah pemberian
imunisasi. Kejadian ini dapat merupakan reaksi vaksin ataupun bukan.
Kejadian yang bukan reaksi vaksin dapat merupakan peristiwa
koinsidens (peristiwa yang kebetulan terjadi) bersamaan atau setelah
imunisasi. Klasifikasi KIPI dibagi menjadi 5 kategori :
a. Reaksi KIPI yang terkait komponen vaksin
26
KIPI yang diakibatkan sebagai reaksi terhadap suatu
komponen atau lebih yang terkandung di dalam vaksin
Contoh: Pembengkakan luas di paha setelah imunisasi DTP
(WHO, 2014)
b. Reaksi KIPI yang terkait dengan cacat mutu vaksin
KIPI yang disebabkan oleh karena ada cacat mutu
yang dipersyaratkan dalam produk vaksin, termasuk
penggunaan alat untuk pemberian vaksin yang disediakan
oleh produsen.
Contoh: Kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh
produsen vaksin pada waktu melakukan inaktivasi virus
polio saat proses pembuatan vaksin IPV (inactivated polio
vaccine). Kelalaian dalam proses inaktivasi dapat
menyebabkan kelumpuhan apabila IPV tersebut
disuntikkan kepada orang. (WHO, 2014)
c. Reaksi KIPI akibat kesalahan prosedur
KIPI jenis ini disebabkan oleh cara pelarutan vaksin
yang salah dan cara pemberian vaksin yang salah.
Kesalahan ini sangat mudah untuk dihindari.
Contoh: Terjadinya infeksi oleh karena penggunaan vial
multidosis yang terkontaminasi oleh mikroba (Catatan :
Jarum yang berulang-ulang masuk ke dalam vial sewaktu
mengambil vaksin sudah tidak steril lagi) (WHO, 2014)
27
d. Reaksi KIPI akibat kecemasan karena takut disuntik
KIPI ini terjadi karena kecemasan pada waktu disuntik.
Contoh: Terjadinya apa yang disebut dengan vasovagal
syncope yaitu reaksi neurovaskuler yang menyebabkan
terjadinya mata berkunang-kunang , badan terasa lemah
sampai pingsan. Sering terjadi pada anak dewasa muda
pada saat pemberian imunisasi atau sesudah pemberian
imunisasi. (WHO, 2014)
e. Kejadian koinsiden
KIPI ini disebabkan oleh hal-hal lain yang tidak
disebutkan sebelumnya.
Contoh: Demam yang sudah terjadi sebelum atau pada saat
pemberian imunisasi. Dalam hal ini dikatakan
sebagai asosiasi temporal. Sebagai contoh di daerah
endemis malaria seperti di daerah sub sahara, penderita
malaria yang disebabkan infeksi plasmodium malaria yang
ditularkan oleh nyamuk anopheles sangat sering terjadi.
Sehingga sering terjadi KIPI yang bersifat koinsiden.
KIPI koinsiden apabila sering ditemukan didalam kegiatan
imunisasi, maka dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa ada
masalah kesehatan masyarakat diwilayah tersebut yang
perlu dianalisis lebih jauh. (WHO, 2014)
28
2.3.9. Kontraindikasi Imunisasi
Kontraindikasi terhadap vaksinasi adalah keadaan tertentu yang jarang
pada seseorang dimana terjadi peningkatan risiko terjadinya reaksi simpang.
Mengabaikan kontra indikasi dalam pemberian imunisasi dapat
menimbulkan reaksi simpang serius yang tidak diinginkan. Kebanyakan
kontra indikasi bersifat sementara sehingga vaksinasi dapat dilakukan lagi
dikemudian hari. (WHO, 2014)
Kontra indikasi yang mutlak diperhatikan terhadap semua jenis vaksin
adalah riwayat reaksi alergi berat terhadap vaksin atau konstituen vaksin.
Perhatian khusus (precautions) bukanlah kontra indikasi tetapi merupakan
kondisi yang harus dipertimbangkan dalam menentukan manfaat dan risiko
vaksinansi. Peringatan yang tertulis dalam label vaksin terkadang oleh
petugas ditafsirkan sebagai kontra indikasi mutlak. Hal ini dapat
menyebabkan menurunnya cakupan imunisasi kerena
terjadi missopportunities (kehilangan kesempatan untuk mendapatkan
imunisasi). (WHO, 2014)
29
Tanda-tanda reaksi alergi
Petugas imunisasi harus mengenal setiap gejala alergi agar dapat melakukan
tindakan segera.
Gambar 2.5 Kontraindikasi Terhadap vaksin (WHO, 2014)
30
Anafilaksis adalah suatu reaksi alergi yang sangat jarang (satu per satu
juta dosis vaksin), tidak diharapkan, dan dapat menjadi fatal bila tidak
ditangani dengan baik. Antigen vaksin dan komponennya dapat
menimbulkan alergi. Reaksi alergi dapat bersifat lokal maupun sistemik dan
dapat berupa reaksi anafilaktik ringan sampai berat atau respons seperti
anafilaksis (urtikaria diseluruh tubuh, kesulitan bernafas, nafas bunyi,
pembengkakan pada mulut dan tenggorokan, hipotensi sampai syok). (WHO,
2014)
2.3.10. Outbreak Response Immunization
Secara epidemiologi, penyebab KLB (kejadian luar biasa) karena
terjadinya Immunity Gap kekebalan dalam populasi karena akumulasi
kelompok yang rentan terhadap difteri, baik karena tidak mendapat
imunisasi atau karena imunisasinya tidak lengkap. Juga faktor kepadatan
penduduk serta kepadatan hunian rumah. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa rumah dengan kapadatan lebih dari lima orang meningkatkan risiko
terjadinya penularan. Kejadian Luar Biasa lebih sering terjadi pada wilayah
dengan kepadatan penduduk tinggi. Selain itu, risiko KLB juga meningkat
pada wilayah dengan mobilisasi penduduk tinggi. (Kemenkes RI, 2016)
31
Berbagai strategi untuk menanggulangi kejadian Difteri antara lain:
Melakukan penyelidikan epidemiologi dan penemuan kasus, kontak dan
karier pada seluruh kasus Difteri. Hal ini untuk menentukan ada atau tidaknya
penularan dan penyebaran kasus Difteri
Melakukan rujukan segera kasus difteri ke rumah sakit, serta memberikan
antibiotika profilaksis pada kasus kontak dan karier. Kemudian dilakukan
tatalaksana kasus di Rumah Sakit sesuai prosedur, seperti dengan
menempatkan kasus di ruang isolasi, serta mengurangi kontak dengan orang
lain
Meningkatkan cakupan imunisasi rutin difteri agar mencapai cakupan
minimal 95%.
Melaksanakan Outbreak Response Immunization (ORI) kasus difteri
sebanyak 3 (tiga) putaran.
(Kemenkes RI, 2015)
Outbreak Response Immunization (ORI) dimaksudkan untuk: (1).
Memutuskan rantai penularan dengan segera; (2). Menurunkan jumlah kasus
difteri dan (3). Mencegah agar penularan tidak semakin meluas dengan
memberikan imunisasi difteri kepada kelompok usia tertentu. (Kemenkes RI,
2015)
Strategi ORI
Outbreak Response Immunization dilaksanakan dengan beberapa
strategi, antara lain dilaksanakan sebanyak 3 putaran, dengan target
cakupan >90%. ORI dilaksanakan dengan interval 1 dan 6 bulan, pada
kelompok sasaran usia 1 – <19 tahun (kelas 3 SLTA). Terdapat 3 macam
jenis vaksin yang dipergunakan untuk ORI, yaitu : Vaksin DPT-HB-Hib
32
(Penta valen) untuk anak usia 1 s/d <5 tahun, Vaksin DT untuk anak usia 5
s/d <7 tahun; dan Vaksin Td untuk usia 7 s.d <19 tahun. (Kemenkes RI,
2015)
Selain hal tersebut, strategi ORI dilakukan dengan melibatkan
organisasi profesi (IDAI, IDI, IBI,PPNI, dan lainnya) untuk meningkatkan
keberhasilan. ORI dilaksanakan di sekolah-sekolah, Posyandu, Puskesmas
dan Faskes lainnya. (Kemenkes RI, 2015)
Sedangkan untuk wilayah yang tidak termasuk dalam kategori ORI,
dilakukan beberapa strategi, antara lain dengan : Penguatan program
imunisasi rutin (bayi, Baduta dan BIAS); Penjangkauan sasaran yang tidak
atau belum lengkap status imunisasi rutinnya; Perbaikan manajemen
program, seperti kualitas rantai dingin vaksin serta pelayanan imunisasi;
Peningkatan kinerja surveilans PD3I (Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi); Tetap mempertahakan cakupan imunisasi rutin difteri tetap
tinggi dan merata (minimal 95%). (Kemenkes RI, 2015)
2.4. Status imun pejamu
Mekanisme proteksi dipengaruhi berbagai faktor. Keadaan nutrisi,
penyakit yang menyertai dan usia akan mempengaruhi kadar globulin atau
CMI. In utero, janin biasanya terhindar dari antigen asing dan infeksi
mikroorganisme, meskipun patogen tertentu (rubela) dapat menginfeksi ibu
dan merusak janin. Imunitas ibu melindungi janin dengan jalan
mengeliminasi mikroba sebelum memasuki uterus, atau melindungi bayi
baru lahir melalui antibody transplansenta atau air susu ibu. Pada umumnya
33
bayi baru lahir menunjukkan respon imun yang lemah dan meningkat efektif
dengan usia. Bayi baru lahir sudah siap membentuk IgM dan dapat
memberikan respon terhadap toksoid, virus polio yang diberikan parenteral
atau polio yang dilemahkan dan diberikan oral. Pemberian vaksin pertusis
segera setelah lahir, tidak memberikan respon protektif bahkan dapat
menimbulkan toleransi terhadap vaksin yang diberikan kemudian hari
(Bratawidjaja dan Rengganis, 2014)
Alasan ketidaklengkapan imunisasi antara lain ketidaktahuan akan
jadwal imunisasi, anak sakit saat hendak diimunisasi, dan orang tua takut
akan efek samping imunisasi. Selain itu, terdapat faktor lain yang berkaitan
dengan kelengkapan imunisasi antara lain yaitu pendidikan ayah dan
pendidikan ibu. (Albertina, 2016)
Menurut (Mulyani, 2018) Kurangnya sumber informasi di lingkungan
masyarakat dan partisipasi dari petugas kesehatan atau kader posyandu
harus lebih banyak melakukan pemantauan sehingga warga ingin
melakukan imunisasi terhadap anaknya. Pengetahuan ibu dipengaruhi oleh
banyaknya informasi yang diterima serta kemampuan ibu dalam
pemahaman informasi yang diberikan termasuk informasi pemberian
imunisasi dasar pada bayi. Masih banyaknya pengetahuan ibu tentang
kelengkapan imunisasi dasar pada bayi yang masih rendah yaitu
pengetahuan tentang frekuensi dan waktu pemberian imunisasi dasar
lengkap. Hal ini dikarenakan pemberian imunisasi jadwalnya rutin sebagai
kegiatan penimbangan balita di Posyandu sehingga ibu hanya berperan pasif
dalam kepatuhan jadwal pemberian imunisasi karena kegiatan penimbangan
34
tersebut disertai dengan pemberian imunisasi-imunisasi dasar pada bayi
sehingga banyak ibu yang tidak tahu pastinya kapan waktu yang tepat dalam
pemberian imunisasi. Hal ini juga yang menyebabkan ibu tidak tahu berapa
kali pemberian imunisasi diberikan pada bayinya karena informasi jadwal
pemberian imunisasi hanya disampaikan tanpa menyebutkan jenis
imunisasinya, sedangkan nama imunisasi yang berbeda dengan tujuannya
dan masih asing bagi ibu sehingga menyebabkan masih banyak sebagian ibu
yang kurang pengetahuannya tentang pengertian dan manfaat imunisasi
tersebut yaitu imunisasi BCG dan DPT. Hal ini dikarenakan informasi
jarang diterima oleh ibu-ibu sehingga kebanyakan dari mereka tidak
mengetahui hal tersebut
2.4.1. Faktor Genetik Pejamu
Sel- sel imun yang berinteraksi dipengaruhi oleh variabel genetik.
Respon imun manusia terbagi atas responder rendah, cukup, dan baik
terhadap suatu antigen. Respon yang diberikan tidak menentu, terkadang
respon terhadap antigen tinggi tetapi terhadap antigen yang lain lebih
rendah. Karena alasan inilah terdapat keberhasilan vaksinasi yang tidak
100% (Melanie, 2015)
Faktor genetik dari respon imun akan berperan pada gen yang
berbeda-beda yaitu kompleks MHC (Major Histocompability Compleks)
dan gen non MHC. Gen komplek MHC memegang peranan dalam
presentasi antigen. Sel Tc melakukan proses pengenalan pada antigen yang
berasosiasi dengan MHC klas 1, dan juga sel Td disertai sel Th yang akan
mengenali antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC klas 2. Maka,
35
respon set T akan mengawasi secara genetic dan dapat diketahui bahwa
terdapat potensi variasi sel imun. Sedangkan gen non MHC mengakibatkan
defisiensi imun yang berikatan dengan gen tertentu, contohnya pada
gammaglobulinemia yang bergabung dengan kromosom dan hanya terdapat
pada anak laki-laki atau penyakit alergi. Inilah beberapa faktor yang
mendukung adanya peran genetik pada respon imun, walaupun
mekanismenya belum diketahui secara jelas (Melanie, 2015)
2.5. Imunisasi DPT
2.5.1. Fungsi Imunisasi DPT
Imunisasi DPT merupakan sebuah vaksin 3-in-1 yang melindungi
tubuh dari difteri, pertusis dan tetanus. Difteri merupakan suatu infeksi
bakteri yang menyerang tenggorokan dan bisa mengakibatkan komplikasi
yang serius juga fatal. Pertusis (batuk rejan) merupakan infeksi bakteri yang
ada disaluran udara dan ditandai dengan batuk hebat dan disertai bunyi
pernafasan yang melengking. Sedangkan pertusis akan menyebabkan
serangan batuk hebat yang mengakibatkan anak tidak dapat bernafas, makan
dan minum. Selain itu juga pertusis dapat mengakibatkan komplikasi serius,
seperti pneumoni, kejang dan kerusakan otak. Tetanus merupakan infeksi
bakteri yang akan mengakibatkan kaku pada bagian rahang disertai dengan
kejang (Mulyani dan Rinawati, 2013)
Frekuensi imunisasi DPT akan mempengaruhi peningkatan titer
antibodi terhadap difteri. Konsentrasi antibodi spesifik yang lebih besar dari
0,1 IU / mL dianggap protektif terhadap tetanus atau difteri. Level di atas
1.0 dianggap untuk memastikan perlindungan jangka panjang, bila hasil titer
36
difteria atau tetanus < 0,01 IU/ml dikelompokkan sebagai rentan. Titer
antibodi terhadap dfiteri meningkat dengan jumlah dosis yang diberikan dan
menurun seiring waktu. Pada bayi berumur 2 bulan yang belum mendapat
imunisasi DPT masih memiliki kekebalan terhadap difteria dengan kadar
rata-rata 0,008 IU/ml. Setelah imunisasi ke-1 terjadi penurunan secara
bermakna menjadi 0,005 IU/ml, dan baru meningkat secara bermakna
setelah imunisasi ke-2 menjadi 0,005 IU/ml dan setelah imunisasi ke-3 titer
antibodi menjadi 0,217 IU/ml (Fadlyana, 2016). Tingkat efektivitas
vaksinasi dipengaruhi oleh beberapa dosis pemberian DPT seperti dosis satu
kali, dua kali, tiga kali, dan dosis ulangan, sehingga semakin lengkap
pemberian DPT maka semakin efektif anak akan terlindungi dari penyakit
difteri. (Fitriansyah, 2018)
Penelitan dilakukan terhadap remaja yang memiliki titer antibodi
difteri yang belum diinjeksi booster DPT. Setelah diberikan booster, semua
pasien mengembangkan titer antibodi pelindung, yang bertahan selama 10
tahun berikutnya. (Gowin, 2016)
WHO menganjurkan anak yang berusia < 48 bulan atau < 4 tahun
mendapatkan imunisasi DPT-HB-Hib saat bayi dan imunisasi DPT-HBHib
booster untuk menstimulasi level antibodi. Kekebalan dipengaruhi oleh
adanya antitoksin dan kemampuan pembentukan antibodi. (Fitriansyah,
2018)
37
2.5.2. Komposisi DPT
Gambar 2.6 Vaksin DTP-HB-Hib Produksi Biofarmayang digunakan Depkes (WHO, 2015)
Tiap dosis (0,5 mL) mengandung :
Toksoid difteri murni 20 Lf
Toksoid tetanus murni 5 Lf
B.Pertussis inaktif 12 OU
HbsAg 10mcg
Konjugat Hib 10mcg
Alumunium fosfat 0,33 mg
Thimerosal 0,025mg
(FDA, 2018)
2.5.3. Perbedaan Vaksinasi dan Imunisasi
Vaksin adalah suatu zat yang berbentuk produk biologi yang diketahui
berasal dari virus, bakteri atau dari kombinasi antara keduanya yang
dilemahkan. Vaksin diberikan kepada individu yang sehat guna merangsang
munculnya antibody atau kekebalan tubuh guna mencegah dari infeksi
penyakit tertentu lalu vaksinasi adalah ketika vaksin diberikan kepada tubuh,
38
biasanya melalui injeksi. Yang perlu diperhatikan, imunisasi adalah proses
yang terjadi pada tubuh setelah divaksinasi yang memberikan perlindungan
kekebalan terhadap penyakit secara spesifik tergantung jenis vaksin yang
diberikan. (Depkes RI, 2016)
2.5.4. Jadwal Pemberian Imunisasi DPT
Menurut (IDAI, 2017) imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu
saat anak berumur 2 bulan (DPT1), 3 bulan (DPT2), 4 bulan (DPT3) dan
booster pada usia 18 bulan tetapi jika diberikan vaksin DTPa maka interval
mengikuti rekomendasi vaksin yaitu usia 2, 4 dan 6 bulan.
Imunisasi DPT juga termasuk komitmen global dalam rangka
eliminasi tetanus. Imunisasi DPT diberikan 3 kali sebagai imunisasi dasar,
dilanjutkan dengan imunisasi ulangan 1 kali (interval 1 tahun setelah DPT3).
Pada usia 5 tahun, diberikan ulangan lagi (sebelum masuk sekolah) dan
pada usia 12 tahun berupa imunisasi Td. Pada wanita, imunisasi TT perlu
diberikan 1 kali sebelum menikah dan 1 kali pada ibu hamil, yang bertujuan
untuk mencegah tetanus neonatorum (tetanus pada bayi baru lahir). (IDAI,
2017)
39
Gambar 2.7 Jadwal Imunisasi IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017)
Gambar 2.8 Keterangan Vaksin DPT (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2017)
Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain
demam tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan
pembengkakan, yang akan hilang dalam 2 hari. Orangtua dianjurkan untuk
memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika demam pakailah
pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat dikompres air dingin,
jika demam berikan parasetamol 15 kg/kgbb setiap 3 - 4 jam bila diperlukan,
maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau cukup diseka dengan air
hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan menetap, atau jika
orangtua merasa khawatir, bayi atau anak dibawa ke dokter. (IDAI, 2013)
40
Di Indonesia, ada 2 jenis jadwal imunisasi yang berlaku yaitu jadwal
imunisasi IDAI (ikatan dokter anak indonesia) dan jadwal imunisasi Depkes
RI. Jadwal IDAI biasanya digunakan sebagai rujukan oleh dokter di rumah
sakit atau klinik, sedangkan jadwal Kemenkes dipakai oleh fasilitas
pemerintah seperti puskesmas/ posyandu. Semua imunisasi wajib ada pada
kedua jadwal tersebut. Tetapi untuk imunisasi tambahan hanya ada pada
jadwal IDAI saja. Ada beberapa perbedaan jadwal imunisasi wajib pada
IDAI dan Depkes RI secara garis besar yaitu imunisasi menurut jadwal
IDAI dilakukan setelah lahir, bulan ke 1, 2, 4, 6, dan 9. Sedangkan menurut
jadwal Depkes RI dilakukan imunisasi saat setelah lahir, bulan ke 1, 2, 3, 4,
dan 9. (Nur, 2015)
Gambar 2.9 Jadwal imunisasi Depkes RI (Kemenkes RI, 2015)
41
2.5.5. Prosedur Pemberian Imunisasi DPT
Vaksin DPT dosis 0,5 cc diberikan dengan bentuk suntikan pada
bagian otot lengan (deltoid) atau paha tengah luar dengan cara:
menempatkan bayi pada posisi miring di atas pangkuan ibu dengan seluruh
kaki telanjang dan masukkan jarum dengan sudut 90 derajat lalu menekan
seluruh jarum ke dalam otot dan suntikkan dengan perlahan (Mulyani dan
Rinawati, 2013)
Suntikan DPT dapat menyebabkan demam ringan, nyeri, kemerahan
atau bengkak di area penyutikkan setelah 1-2 hari setelah penyuntikan.
Solusi agar tidak nyeri dan menurunkan demam dapat dengan diberikan
asetominofen (atau ibuprofen). Jika ditempat penyuntikan terasa nyeri dapat
diberi kompres hangat dan banyak menggerakkan bagian tempat
penyuntikan. Apabila anak sedang menderita sakit yang serius, imunisasi
DPT dapat ditunda sementara sampai anak kembali sehat. (Mulyani dan
Rinawati, 2013)
2.5.6. Cara Penyimpanan Vaksin DPT
Sebaiknya vaksin disimpan pada suhu 2 – 8 °C agar mampu bertahan
sampai 2 tahun. Bila vaksin disimpan pada suhu < 0 °C ini akan
menyebabkan kerusakan pada vaksin dan jika pada suhu 22 °C – 25 °C
vaksin hanya akan bertahan sekitar 6 bulan (Sambara, 2017). Salah satu ciri
yang dapat dilihat apabila vaksin terpapar suhu tinggi yaitu dengan Vaksin
Vial Monitor (VVM) yang berada pada lingkaran gelap dan putih segiempat
akan berubah jika terpapar suhu luar dan dapat menurunkan efektifitas
vaksin (WHO, 2011)
42
Persegi yang berada dibagian dalam VVM terbuat dari bahan yang
peka terhadap panas, pada awalnya berwarna cerah dan akan menjadi lebih
gelap terhadap paparan panas. Awalnya, kotak bagian dalam berwarna lebih
terang dari lingkaran luar. Sejak saat itu, akan terjadi perubahan suhu tetapi
masih mencapai batas yang dapat diterima, yaitu persegi bagian dalam tetap
lebih terang dari lingkaran luar dan jika vaksin belum kadaluarsa, vaksin
dapat digunakan. Vaksin harus dibuang jika persegi bagian dalam berwarna
sama dengan lingkaran luar. Ini menunjukkan bahwa vial telah terpapar
pada tingkat panas yang tidak dapat diterima dan vaksin telah terdegradasi,
tidak dapat digunakan dan harus dibuang. (WHO, 2011)
Persegi bagian dalam akan terus menjadi gelap oleh paparan panas
sampai jauh lebih gelap dari lingkaran luar. (WHO, 2011)
Gambar 2.10 Vaksin Vial Monitoring (VVM) (WHO, 2011)
2.5.7. Booster DPT
Imunisasi sangat penting untuk diulang, hal ini bertujuan untuk bosa
mempertahankan agar kekebalan tubuh dapat melindungi terhadap paparan
penyakit. Beberapa jenis imunisasi akan mulai berkurang kemampuannya
43
sesuai dengan pertumbuhan usia anak, hal ini menyebabkan imunisasi perlu
penguatan (booster) dengan cara pemberian imunisasi ulangan. (Mulyani
dan Rinawati, 2013)
Vaksin DPT ulangan
1. Apabila imunisasi dasar belum pernah diberikan pada anak usia
kurang dari 8 tahun maka DPT diberikan dalam 4 dosis yaitu ke 1
sampai ke 3 diberikan dengan selang waktu 1-2 bulan dan yang
ke-4 enam bulan kemudian.
2. Apabila anak sudah berumur lebih dari 8 tahun diberikan vaksin
DT kemudian penguat diberikan setiap 10 tahun
3. Imunitas terhadap pertusis berlangsung selama 10 tahun setelah
mendapatkan imunisasi dasar. Meskipun demikian seorang anak
yang sudah menerima 5 dosis vaksin pertusis, kemungkinan
terjangkit pertusis masih dapat terjadi pada usia remaja. Maka
dianjurkan untuk memberikan suntikan ulangan pada usia remaja
4. Pada usia remaja (10-14 tahun) diperlukan vaksinasi ulang
terhadap tetanus (DT). Khususnya anak perempuan yang bertujuan
untuk mencegah kemungkinan terjadinya tetanus neonatorum pada
bayi yang akan dilahirkan kemudian hari.
(Mulyani dan Rinawati, 2013)
2.5.8. Reaksi Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi Difteri, Pertusis, Tetanus
1. Difteri, Pertusis, Tetanus
44
Reaksi yang dapat terjadi segera setelah vaksinasi DPT antara lain
demam tinggi, rewel, di tempat suntikan timbul kemerahan, nyeri dan
pembengkakan, yang akan hilang dalam 2 hari. Orangtua / pengaruh
dianjurkan untuk memberikan minum lebih banyak (ASI atau air buah), jika
demam pakailah pakaian yang tipis, bekas suntikan yang nyeri dapat
dikompres air dingin, jika demam berikan parasetamol 15 kg/kgbb setiap 3 -
4 jam bila diperlukan, maksimal 6 kali dalam 24 jam, boleh mandi atau
cukup diseka dengan air hangat. Jika reaksi-reaksi tersebut berat dan
menetap, atau jika orangtua merasa khawatir, bawalah bayi / anak ke
dokter. (WHO, 2014)
2. Difteri, Tetanus
Reaksi yang dapat terjadi pasca vaksinasi DT antara lain kemerahan,
pembengkakan dan nyeri pada bekas suntikan. Bekas suntikan yang nyeri
dapat dikompres dengan air dingin . Biasanya tidak perlu tindakan khusus.
(WHO, 2014)
45
2.6 Alur Teori
CorynebacteriumDiphteriae
Imunisasi DPT
Produksi IFN-y
Kekebalan Aktif
Identifikasi Imun BakteriCorynebacterium Diphteriae
Fagositosis efektifKerusakan epiteldan peradangan
Diserap ke dalammembrane mukosa
Inhalasi
Menghasilkantoksin
(Eksotoksin)
Difteri
Berkembang biak padasaluran nafas atas
Memicu terbentuknyaIL-12 dan sitokin
DPT 1
ImunitasBawaan
DPT 2
ImunitasAdaptif
DPT 3 DPT 4 DPT 5
Induksi responimun adekuat
Produksi antibodijangka panjangdan sel memori