bahan ajar siswa - ttp-library.org materials x110/students/6... · modul ini disusun sebagai bahan...
TRANSCRIPT
i
BAHAN AJAR SISWA
REKAYASA ALAT PENGOLAH DAN STNDAR MUTU BIODIESEL
Disusun oleh:
Wanto, S.T., M. Eng. Senja, S.Pd., M.T.
Didukungi oleh:
TEACHING BIOMASS TECHNOLOGIES AT MEDIUM TECHNICAL SCHOOLS
Dikembangkan oleh:
ETC Foundation the Netherlands
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Pengembangan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Bidang Mesin dan Teknik Industri/ TEDC Bandung Desember 2014
i
KATA PENGANTAR
Bahan ajar siswa ini dimaksudkan untuk memandu siswa dalam
melaksanakan tugas kegiatan belajar di sekolah. Dengan demikian diharapkan
setiap siswa akan berusaha untuk melatih diri memecahkan berbagai persoalan
sesuai dengan tuntutan kompetensi yang akan dipilih.
Di dalam buku bahan ajar siswa ini diberikan kegiatan belajar, tugas- tugas
dan tes formatif dimana seluruh kegiatan tersebut diharapkan dikerjakan/dilakukan
secara mandiri/kelompok oleh setiap siswa untuk melatih kemampuan dirinya dalam
memecahkan berbagai persoalan.
Dalam pelaksanaanya seluruh kegiatan dilakukan oleh setiap siswa dengan
arahan guru, dan pada akhir kegiatan pembelajaran seluruh materi dari bahan ajar
siswa ini akan diujikan secara mandiri untuk memenuhi tuntutan kompetensi siswa.
Materi pembelajaran atau bahan dari bahan ajar siswa dan tugas-tugas ini
diambil dari beberapa buku referensi yang dipilih dan juga buku referensi tersebut
sebagai bahan bacaan yang dianjurkan untuk memperkaya penguasaan
kompetensi siswa.
Diharapkan setiap siswa setelah mempelajari dan melaksanakan semua
petunjuk dari bahan ajar siswa ini secara tuntas, akan mempunyai kompetensi sesuai
dengan tuntutan pekerjaan sebagai tenaga pelaksana pemeliharaan Teknik Energi
Terbarukan.
Bandung, Maret 2014
Kepala PPPPTK BMTI,
Dr. Dedy H. Karwan, MM
NIP. 19560930 198103 1 003
ii
KATA PENGANTAR
Rekayasa Alat Pengolah Dan Standar Mutu Biodiesel merupakan salah satu
Modul pada kegiatan pembelajaran biodiesel yang diselenggarakan atas kerjasama
EEP dengan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Bidang Mesin dan Teknik Industri (P4TKBMTI).
Modul ini disusun sebagai bahan ajar pendukung untuk meningkatkan
pemahaman para siswa terhadap alat yang diperlukan untuk mengolah dari alat
panen, hingga menjadi biodiesel. Selain itu, dijelaskan mengenai standar biodiesel
dan cara analisa berdasarkan acuan standar nasional indonesia (SNI).
Penyusun berusaha sedapat mungkin menuangkan berbagai alat pemroses
biodesel mulai dari alat pengolah bahan mentah, alat pemroses biodesel, serta alat
pengujian untuk standardisasi biodesel. Modul ini menjelaskan pula prosedur-
prosedur untuk penggunaan alat serta bahan penunjang yang digunakan. Dengan
harapan agar dalam penerapannya dapat memilih, menggunakan, dan
menggembangkan alat–alat biodesel yang tepat.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan modul ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu saran dan masukan sangat diharapkan untuk
penyempurnannya. Semoga modul ini bermanfaat dalam rangka mendorong
berkembangnya indutri bahan bakar yang memanfaatkan minyak nabati dari hulu
sampai ke hilir.
Cimahi, Maret 2014
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………….....…………………………… ii
DAFTAR ISI………………………………………………….....………………………….. iii
DAFTAR TABEL....…………………………………………....………………………….. v
DAFTAR GAMBAR………….………………………………....………………………… vi
PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL……………………....……………….………... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang…………………………………......…………………………… 1
B. Deskripsi…………………………………………......………………………….. 7
C. Tujuan Pembelajaran…………………………….....…………………………. 7
D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok…………….....………………………... 7
BAB II KEGIATAN PEMBELAJARAN
A. MATERI POKOK 1
1. Peralatan Pengolah Biodiesel………………….………….......………..…. 8
2. Indikator Keberhasilan ……………….………………….....………… 8
3. Uraian dan Contoh…..…...……………………………...………....………... 8
4. Latihan………………………………….……..……….………….....……… 29
5. Rangkuman………………………….………..…………………......……... 30
6. Evaluasi Materi Pokok……………….…………..……………....………... 31
7. Umpan Balik dan Tindak Lanjut…………………....…………....………... 32
B. MATERI POKOK 2
1. Standar Mutu Biodiesel …………………………….………....…….. 33
2. Indikator Keberhasilan ………………..…………………....………. 33
3. Uraian dan Contoh………………………………..……………....………. 33
4. Latihan……………………………………..……………………....………. 42
5. Rangkuman……………………………………..………………....………. 42
6. Evaluasi Materi Pokok 2………………………………..………....……… 43
7. Umpan Balik dan Tindak Lanjut………………..………………....……... 44
iv
B. MATERI POKOK 3
1. Prosedur Analisa Biodiesel ……………….……………....…………….. 45
2. Indikator Keberhasilan ………………………..……....……………. 45
3. Uraian dan Contoh…………………………………………......…………. 45
4. Latihan………………………………..…………………….....……………. 95
5. Rangkuman……………………………..…………………....……………. 96
6. Evaluasi Materi Pokok 3……………………..……………....…………… 97
7. Umpan Balik dan Tindak Lanjut…………………………....…..………... 98
BAB III PENUTUP…………………………………….…………………....……………. 99
KUNCI JAWABAN………………………………………………..………....…………. 100
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………..…………....………….. 101
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Penggunaan BBM pada sektor transportasi di Indonesia
Tabel 2 Penetapan kewajiban minimal pemanfaatan biodisel (B100) sebagai
Campuran BBM
Tabel 3 Penetapan kewajiban minimal pemanfaatan bioetanol (E100) sebagai
Campuran BBM
Tabel 4 Penetapan kewajiban minimal pemanfaatan minyak nabati murni (O100)
sebagai Campuran BBM
Tabel 5 Perbedaan kelebihan pada reaktor awal dan reaktor pengembangan
Tabel 6 Standar Mutu Biodiesel Indonesia (SNI 04-7182-2006)
Tabel 7 Perbandingan standar biodiesel internasional
Tabel 8 Tipe Viskometer
Tabel 9 Persamaan waktu alir bermacam produk bahan bakar
Tabel 10 Handwheel reading yang tepat
Tabel 11 Spesifikasi termometer
Tabel 12 Spesifikasi sentrifuse
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Buah jarak pagar pada beberapa tingkat kematangan
Gambar 2 Alat bantu panen kelapa sawit egrek dan kapak buah
Gambar 3 Alat pemecah buah jarak
Gambar 4 Pengepresan biji menggunakan dongkrak hidrolik
Gambar 5 Double stage screw expeller
Gambar 6 Single stage screw Expeller
Gambar 7 Desain screw press single stage
Gambar 8 Teknik ekstraksi minyak menggunakan pelarut
Gambar 9 Teknik pemisahan minyak dari pelarut
Gambar 10 Alat penyaring minyak nabati tipe putar
Gambar 11 Alat penyaring minyak nabati tipe horizontal
Gambar 12 Beberapa contoh reaktor biodesel yang ada lapangan
Gambar 13 Reaktor biodiesel awal
Gambar 14 Reaktor pengembangan
Gambar 15 Detail bagian-bagian reaktor pengembangan
Gambar 16 Kondensor
Gambar 17 Heater dan termokopel
Gambar 18 Gelas indikator
Gambar 19 Pompa input-output
Gambar 20 Pompa vakum
Gambar 21 Kaca kontrol
Gambar 22 Corong input katalis
Gambar 23 Sistem agitator reactor dan drive motor reaktor biodiesel multifungsi
Gambar 24 Aliran cairan tipe radial dan axial
Gambar 25 Bentuk impeller pada agitator tipe radial dan axial
Gambar 26 Rumus bangun asam malvalat dan asam sterkulat
Gambar 27 Piknometer
Gambar 28 Viscometer
Gambar 29 Cetane meter
Gambar 30 Pensky-Martens closed cup flash test
Gambar 31 Water bath
Gambar 32 Sentrifuse
vii
Gambar 33 Berbagai macam labu
Gambar 34 Evaporating dish
Gambar 35 Krus-krus Vycor
Gambar 36 Labu erlenmeyer
Gambar 37 Buret
viii
PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL
1. Baca semua isi dan petunjuk pembelajaran modul mulai halaman judul hingga
akhir modul ini. Ikuti semua petunjuk pembelajaran yang harus diikuti pada
setiap Kegiatan Belajar.
2. Belajar dan bekerjalah dengan penuh tanggung jawab dan sepenuh hati, baik
secara kelompok maupun individual sesuai dengan tugas yang diberikan.
3. Kerjakan semua tugas yang diberikan dan kumpulkan sebanyak mungkin
informasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan pemahaman Anda terhadap
modul ini.
4. Kompetensi yang dipelajari di dalam modul ini merupakan kompetensi
minimal. Oleh karena itu disarankan Anda mampu belajar lebih optimal.
5. Laporkan semua pengalaman belajar yang Anda peroleh baik tertulis maupun
lisan sesuai dengan tugas setiap modul.
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim telah menjadi
perhatian masyarakat dunia. Wacana ini diangkat ke acara Earth Summit di Rio de
Janeiro, Brazil, pada tahun 1992 yang menghasilkan Kerangka Konvensi untuk
Perubahan Iklim (United Nation Framework Convention on Climate Change-
UNFCCC) dan ditandatangai oleh 167 negara. Kerangka ini mengikat secara
moral semua negara-negara industri untuk menstabilkan emisi CO2. Indonesia ikut
menyetujui konvensi ini melalui Undang Undang No. 6 Tahun 1994 mengenai
perubahan iklim dan Undang Undang No. 17 Tahun 2004 tentang pengesahan
Protokol Kyoto.
Indonesia sebagai negara berkembang tidak berkewajiban untuk mengurangi
emisi CO2, namun diharapkan untuk melaporkan besarnya emisi CO2 yang
dihasilkan. Dalam kaitan ini, Indonesia telah menyampaikan kepada UNFCCC
hasil penyusunan Komunikasi Nasional Pertama (First National Communication)
pada tahun 1999 dan Indonesia Second National Communication Under The
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada tahun
2009 sebagai bukti keseriusannya dalam menangani perubahan iklim. Salah satu
rencana pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di bidang energi
adalah penggunaan bahan bakar yang lebih bersih dan penggunaan energi baru
dan terbarukan (EBT).
Emisi CO2 dapat berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti: batubara,
minyak bumi dan gas bumi, emisi dari industri semen dan konversi lahan.
Berdasarkan data dari Carbon Dioxide Information Analysis Center (2000)
penggunaan bahan bakar fosil merupakan sumber utama emisi CO2 di dunia dan
mencapai 74% dari total emisi. Konversi lahan mempunyai kontribusi sebesar
24% dan industri semen sebesar 3%. Emisi CO2 merupakan bagian terbesar dari
emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di Indonesia dengan pangsa sebesar hampir 70 %
sedangkan gas lainnya sebesar 30 %. Berdasarkan laporan Komunikasi Nasional
Pertama, sumber utama emisi GRK adalah sektor energi dan sektor kehutanan.
Sektor energi mempunyai pangsa sebesar 46 % dari total emisi GRK yang berasal
dari penggunaan bahan bakar fosil pada bermacam-macam aktivitas seperti:
2
produksi energi, pengolahan energi dan juga pembakaran energi yang digunakan
baik untuk pembangkit listrik maupun untuk keperluan industri lainnya
Berdasarkan jenis energinya, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan
konsumsi energi komersial terbesar. Berdasarkan data tahun 2010, bahwa
konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) mencapai 61 juta liter (Tabel 1).
Tabel 1 Penggunaan BBM pada sektor transportasi di Indonesia Tahun AVGAS AVTUR MOGAS Minyk
tanah Minyak solar
Minyak diesel
Minyak bakar
Total
Ribu SBM*
Ribu Kiloliter
2005 17 13.682 101.867 67.395 175.518 5.893 33.431 397.802 63.927
2006 19 14.303 99.458 59.412 164.656 3.289 33.554 374.691 60.222
2007 12 14.845 105.940 58.672 166.448 1.781 35.756 383.453 61.664
2008 11 15.526 114.796 46.836 175.148 1.196 34.594 388.107 62.388
2009 9 16.262 129.255 28.332 173.134 959 31.190 379.142 61.037
2010 15 22.180 148.575 18.093 174.669 990 23.719 388.241 61.730
*Setara Barel Minyak
Sumber :Kementerian ESDM (2012)
Konsumsi BBM yang tinggi ini membebani anggaran pemerintah dalam pemberian
subsidi. Peningkatan jumlah penduduk serta tingginya ketergantungan masyarakat
Indonesia terhadap minyak bumi semakin memperparah kondisi di atas.
Penambahan jumlah penduduk akan berakibat pada peningkatan kebutuhan
sarana transportasi dan aktivitas industri yang akan berakibat lebih lanjut pada
peningkatan kebutuhan dan konsumsi BBM nasional. Beban tersebut akan terus
meningkat seiring dengan kenaikan harga minyak dunia karena pemerintah masih
harus mengimpor sebagian BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biofuel sebagai sumber energi yang
dapat diperbaharui dapat merupakan salah satu pilihan untuk membantu
mengatasi besarnya tekanan kebutuhan BBM. Berbagai kebijakan pemerintah
telah dikeluarkan yang melibatkan banyak pihak mulai dari: tingkat departemen,
kelembagaan negara, pemerintah daerah, perguruan tinggi, BUMN, perusahaan,
LSM, koperasi hingga lapisan masyarakat.
Melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang
Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif
sebagai pengganti BBM, Pemerintah mengumumkan rencana Indonesia untuk
3
mengurangi ketergantungan pada bahan bakar minyak. Kebijakan ini bertujuan
untuk mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Kebijakan utama
meliputi penyediaan energi yang optimal, pemanfaatan energi yang efisien,
penetapan harga energi ke arah harga keekonomian dan pelestarian lingkungan.
Pengembangan bioenergi atau bahan bakar nabati sebagai sumber energi
alternatif sangat strategis untuk mengatasi permasalahan yang ada. Langkah
nyata pemerintah Indonesia dalam pengembangan bahan bakar nabati adalah
dengan diterbitkannya Instruksi Presiden No.1 Tahun 2006 tertanggal 25 Januari
2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai
Bahan Bakar Lain.
Penggunaan bahan bakar nabati sebagai subtitusi BBM juga telah didukung oleh
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia nomor 25
tahun 2013 tentang perubahan atas peraturan menteri energi dan sumber daya
mineral nomor 32 tahun 2008 tentang penyediaan, pemanfaatan, dan tata niaga
bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan bakar lain. Berdasarkan Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia nomor 25 tahun
2013 bahan bakar yang ditetapkan kewajiban minimalnya sebagai campuran
bakar minyak adalah biodiesel, bioetanol, dan minyak nabati murni.
Biodiesel merupakan bentuk ester dari minyak nabati. Bahan baku dapat berasal
dari kelapa sawit, jarak pagar, kedelai dan kelapa. Dalam pemanfaatanya
dicampur dengan minyak solar dengan perbandingan tertentu. B5 merupakan
campuran 5% biodiesel dengan 95% minyak solar yang dijual secara komersiil
oleh Pertamina dengan nama dagang biosolar.
Bioetanol merupakan anhydrous alkohol yang berasal dari fermentasi tetes tebu,
singkong, jagung atau sagu. Bioetanol dimanfaatkan untuk mengurangi konsumsi
premium. E5 merupakan campuran 5% bioetanol dengan 95% premium yang
telah dipasarkan Pertamina dengan nama dagang biopremium. Penggunaan
bioetanol sampai dengan E15 tidak perlu melakukan modifikasi mesin kendaraan
yang sudah ada, tetapi untuk E100 hanya dapat digunakan untuk mobil jenis FFV
(flexible fuel vehicle).
Minyak nabati murni yang sering disebut pure plant oil (PPO) adalah minyak
nabati yang tidak perubahan sifat kimiawi dan dimanfaatkan secara langsung
4
untuk mengurangi konsumsi solar industri, minyak diesel, minyak tanah dan
minyak bakar. O15 merupakan campuran 15% PPO dengan 85% minyak diesel
dan dapat digunakan tanpa tambahan peralatan khusus untuk bahan bakar
peralatan industri. Pemakaian yang lebih besar dari O15 harus menambah
peralatan konverter.
Penetapan kewajiban minimal pemanfaatan bahan bakar nabati sebagai
campuran bahan bakar minyak disajikan pada tabel 2, Tabel 3, dan tabel 4.
Tabel 2 Penetapan kewajiban minimal pemanfaatan biodisel (B100) sebagai Campuran BBM
Jenis Sektor Septem
ber 2013
Januari 2014
Januari 2015
Januari 2016
Januari 2020
Januari 2025
Keterangan
Rumah Tangga - - - - - - Saat ini tidak ditentukan
Transportasi PSO
10% 10% 10% 20% 20% 25% Terhadap Kebutuhan total
Transportasi Non PSO
3% 10% 10% 20% 20% 25% Terhadap Kebutuhan total
Industri dan Komersial
5% 10% 10% 20% 20% 25% Terhadap Kebutuhan total
Pembangkit Listrik
7,5% 20% 25% 30% 30% 30% Terhadap Kebutuhan total
* PSO “Public Service Obligation” Pelaksanaan Kewajiban Pelayanan Publik oleh BUMN
Tabel 3 Penetapan kewajiban minimal pemanfaatan bioetanol (E100) sebagai Campuran BBM
Jenis Sektor September
2013
Januari
2014
Januari
2015
Januari
2016
Januari
2020
Januari
2025
Keterangan
Rumah Tangga - - - - - - Saat ini tidak ditentukan
Transportasi PSO
- 0,5% 1% 2% 5% 10% Terhadap Kebutuhan total
Transportasi Non PSO
1% 1% 2% 5% 10% 20% Terhadap Kebutuhan total
Industri dan Komersial
- 1% 2% 5% 10% 20% Terhadap Kebutuhan total
Pembangkit Listrik
- - - - - - Terhadap Kebutuhan total
5
Tabel 4 Penetapan kewajiban minimal pemanfaatan minyak nabati murni (O100)
sebagai Campuran BBM
Jenis Sektor September
2013
Januari
2014
Januari
2015
Januari
2016
Januari
2020
Januari
2025
Keterangan
Rumah Tangga - - - - - - Saat ini tidak ditentukan
Industri dan Transportasi (low and medium speed engine)
Industri 1% 5% 10% 20% 20% 20% Terhadap Kebutuhan total
Transportasi Laut
- - - 20% 20% 20% Terhadap Kebutuhan total
Transportasi Udara
- - - 2% 3% 5% Terhadap Kebutuhan total
Pembangkit Listrik 1% 65 155 20% 20% 20% Terhadap Kebutuhan total
Salah satu jenis bahan bakar yang banyak digunakan di Indonesia adalah bahan
bakar solar. Potensi pengembangan bahan bakar pengganti minyak solar cukup
besar mengingat kebutuhkan solar nasional di tahun 2010 adalah sebesar 18.093
ribu SBM. Angka ini tentu saja bukan angka yang kecil mengingat jumlah ini
hanya dibutuhkan oleh satu negara saja. Jika hal ini dibiarkan terus menerus
tanpa ada solusi pengendalian, maka ketersediaan bahan bakar dunia akan
terancam dan tidak ada yang tersisa untuk kelanjutan hidup di masa yang akan
datang. Oleh karena itu, perlu adanya bahan bakar diesel alternatif yang memiliki
sifat mirip dengan solar tetapi dapat diperbarui. Salah satu bahan bakar alternatif
tersebut adalah biodiesel.
Biodiesel merupakan alternatif terbaik pengganti bahan bakar diesel. Selain dapat
digunakan secara langsung pada mesin tanpa modifikasi, juga ramah lingkungan
(Xu dan Wu, 2003). Biodiesel dapat dibuat dari dari minyak nabati (Ramos et al.,
2009), lemak hewan (Saraf dan Thomas, 2007), maupun minyak goreng bekas
(Sunthitikawinsakul dan Sangatith, 2012).
Ide menggunakan minyak nabati secara langsung untuk mesin diesel sudah
dilakukan orang lebih dari 100 tahun lalu oleh penemunya sendiri, Rudolf Diesel
pada tahun 1985 dengan menggunakan minyak tanah untuk menggerakkan
6
diesel. Namun hingga meninggalnya Rudolf Diesel pada tahun 1913, visi
pengembangan minyak nabati sebagai bahan bakar belum selesai bahkan terhenti
karena perkembangan produksi minyak solar dan harga solar yang murah.
Pengembangan minyak nabati mulai marak dibicarakan setelah terjadi kenaikan
harga minyak bumi.
Karakteristik minyak nabati tidak memungkinkan penggunaannya secara langsung
karena terdapat asam lemak bebas, gum dan viskositasnya tinggi sehingga dapat
mengganggu performa mesin diesel dan dapat mengakibatkan pengendapan
pada mesin disel (Rodrigues et al., 2006). Oleh karena itu sebagai bahan bakar
sehingga diperlukan suatu proses untuk mengubah minyak nabati menjadi bahan
bakar (Korus et al., 2000). Schwab et al. (1987) mengatakan, ada tiga teknologi
yang pada umumnya digunakan untuk memproduksi biodiesel, yaitu pirolisis,
mikroemulsifikasi, dan transesterifikasi.
Biodiesel memiliki beberapa kelebihan diantaranya:
1. Biodegradable (dapat terurai), lebih dari 90% biodiesel dapat terurai dalam 21
hari (Mudge dan Pereira, 1999; Speidel et al., 2000)
2. Renewable energy karena terbuat dari bahan alam yang dapat diperbarui,
3. Mempunyai sifat pelumasan yang lebih baik dibanding solar minyak bumi,
sehingga mesin dapat bertahan lebih lama,
4. Titik bakar lebih tinggi dibandingkan solar, sehingga memudahkan dalam
penyimpanan dan penanganan.
5. Motor diesel tidak membutuhkan modifikasi khusus untuk menggunakan
biodiesel..
6. Biodiesel dapat dicampur dengan solar minyak bumi biasa dengan berbagai
perbandingan.
7. Mengurangi emisi gas buang; particulate matter (PM), total hydrocarbon (THC),
dan carbon monoxide (CO), tetapi menambah nitrogen oxides (NOx) (Knothe et
al, 2006; lopez et al, 2009).
8. Biodiesel mengandung sulfur yang lebih rendah dibandingan solar, sehingga
tidak terlalu banyak mengeluarkan zat toksik (Harrington, 1986; USEPA., 2002).
9. Keuntungan komparatif dalam penggunaan biodiesel ini dapat
menyeimbangkan antara pertanian, pengembangan ekonomi dan lingkungan
(Meher et al., 2006).
7
B. Deskripsi
Modul ini berisi pengetahuan tentang peralatan pengolah biodiesel, standar mutu
biodiesel, dan prosedur analisa biodiesel.
C. Tujuan Pembelajaran
Setelah menyelesaikan modul ini, Peserta diklat diharapkan dapat mengerti dan
memahami berbagai aspek yang menjadi bagian dalam rekayasa alat pengolah
biodiesel serta mampu melakukan penentuan standar mutu biodiesel.
D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok
Materi dan sub materi pokok dalam modul ini adalah:
1. Peralatan Pengolah Biodiesel
2. Standar Mutu Biodiesel
a. Standar Mutu Biodiesel Indonesia
b. Standar Mutu Biodiesel Negara lain
3. Prosedur Analisa Biodiesel
8
BAB II KEGIATAN PEMBELAJARAN
A. Materi Pokok 1
1. Peralatan Pengolah Biodiesel
2. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, siswa dapat menjelaskan tentang
peralatan pengolah biodiesel.
3. Uraian dan Contoh
Biodiesel dapat dibuat dari dari minyak nabati, lemak hewan, maupun minyak
goreng bekas. Namun produksi biodiesel yang telah ada dipasaran merupakan
hasil pengolahan dari minyak nabati. Minyak nabati adalah minyak yang
didapatkan dari tanaman yang yang mengandung minyak, baik yang dapat
dimakan (edible) atau tidak (non edible). Indonesia memiliki banyak
keanekaraaman hayati yang berpotensi sebagai sumber minyak nabati,
diantaranya kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kemiri, kemiri minyak, nyamplung,
pongamia pinnata, biji karet, dan tanaman penghasil minyak nabati lainnya.
Dalam membuat biodiesel dari bahan baku, ada beberapa proses yang harus
dilalui yaitu: pemilihan bahan baku, pengeringan bahan baku, ekstraksi minyak
dari bahan baku, pemurnian minyak, transesterifikasi, pencucian, dan
pengeringan.
Tiap proses tersebut membutuhkan peralatan yang berbeda-beda, kecuali pada
proses ke 5 s/d 7 dapat dilakukan pada 1 jenis alat.
a) Pemilihan bahan Baku
Pemilihan bahan baku yang tepat sangat penting dalam pengolahan biodiesel,
mulai dari jenis bahan baku yang digunakan hingga waktu yang terbaik untuk
memanen bahan baku. Di Indonesia banyak terdapat tanaman penghasil
minyak oleh karena itu perlu dipilih bahan baku yang mudah didapatkan dan
banyak terdapat di lingkungan sekitar. Pemilihan lokasi prosesing yang dekat
dengan lokasi bahan baku karena bahan baku yang telah dipanen diharapkan
segara dapat di proses lebih lanjut. Waktu yang lama antara pemanenan
9
dengan ekstrakasi minyak, dapat mengakibatkan penurunan kualitas minyak
yang dihasilkan.
Kandungan minyak tertinggi pada tanaman paling banyak terdapat pada bagian
kernel, kecuali pada kelapa sawit dan kelapa. Rendemen minyak tertinggi pada
kedua tanaman tersebut terdapat pada bagian buah.
Waktu panen juga berpengaruh terhadap kualitas minyak yang dihasilkan. Buah
yang dipanen hendaknya dipilih buah yang telah matang secara fisiologis.
Walaupun kadangkala buah yang lewat matang rendemen minyaknya lebih
tinggi, namun kandungan asam lemak bebasnya (ALB) lebih tinggi. Minyak
yang memiliki kadar ALB tinggi dapat meningkatkan biaya produksi, lama
proses dan menurunkan rendemen biodiesel. Oleh karena itu bahan yang
dipilih sebaiknya telah matang secara fisiologis.
Sebagai contoh, buah jarak pagar pada saat masak, kulit buah berubah warna
yang semula hijau menjadi kuning dan akan berubah menjadi hitam setelah
buah terlewat matang. Panen sebaiknya dilakukan saat buah sudah masak
(warna kuning) karena rendemen biji jarak pagar pada buah yang masih muda
(warna hijau) menghasilkan rendemen minyak sebesar 20,7%, yang sudah
matang fisologis (warna kuning) renemenya 30,3%, sedangkan yang telah
lewat matang (hitam) mencapai 31,5% (Prastowo dan Pranowo, 2009). Pada
beberapa tanaman, umur fisiologis buah juga dapat diketahui dari lepasnya
buah dari tangkatnya.
Gambar 1 Buah jarak pagar pada beberapa tingkat kematangan
10
Perbedaan karakteristik antar tanaman penghasil biodiesel menjadikan alat
yang digunakan untuk panen berbeda-beda. Bahkan pada beberapa tanaman,
pemanenan dapat dilakukan tanpa membutuhkan peralatan khusus. Salah
satunya adalah tanaman jarak pagar, tanaman ini dalam satu dompolan
(Gambar 1) dapat berkumpul buah yang masih muda, matang dan kelewat
matang. Sehingga disarankan pemanenannya dilakukan dengan tangan dan
dipilih yang berwarna kuning.
Selain itu, agar kualitas minyaknya bagus. Contoh beberapa peralatan bantu
panen dapat dilihat pada gambar di bawah ini. “Egrek” digunakan sebagai alat
pemanen sawit dan memotong pelepah sedangkan kapak buah untuk
memindahkan TBS (Tandan Buah Segar) yang jatuh ke dalam lori. Kedua alat
ini kurang cocok jika digunakan untuk kegiatan panen tanaman yang lain.
Gambar 2 Alat bantu panen kelapa sawit egrek dan kapak buah (sumber: http://alatperkebunan.blogspot.com/)
b) Pemecahan buah
Pemecahan buah dapat dilakukan secara manual maupun mekanis. Cara
manual dilakukan dengan menggilas buah yang dihamparkan dilantai dengan
menggunaan kaki. Secara mekanis dapat dilakukan dengan menggunakan alat
pemecah buah jarak.
11
Gambar 3 Alat pemecah buah jarak
Prinsip kerja alat ini adalah pengupasan kulit buat akibat gesekan buah-buah
dalam ruang di antara silinder yang berputar pada kecepatan tertentu dengan
konkaf. Mesin ini dilengkapi dengan separator sehingga biji-biji jarak pagar hasil
pengupasan relatif sudah bersih dari kulit buh, gagang, atau kotoran lainnya.
Namun jika buah yang di proses terlalu matang (berwarna coklat/hitam), biji
dapat bercampur dengan kulit buah bagian dalam (cangkang).
c) Pengeringan Bahan Baku
Proses pengeringan bahan baku (biji) diperlukan untuk mengurangi air yang
terdapat pada bahan. Masih banyaknya air pada biji dapat menghambat proses
ekstraksi minyak, oleh karena itu perlu dikurangi hingga mencapai 7%. Proses
pengeringan dapat dilakukan menggunakan panas matahari atau buatan.
Pengeringan buatan dapat menggunakan alat pengeringan (dryer).
d) Ekstraksi Minyak Nabati
Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari
bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Ada beberapa metode
ekstraksi, yaitu dengan metoda pemanasan, rnetoda pres hidrolik (hidrolic
press), metoda pres ulir (screw press) dan metoda pelarutan.
12
1) Metode pengepresan hidrolik (hydraulic pressing)
Gambar 4 Pengepresan biji menggunakan dongkrak hidrolik
2) Metode pengepresan ulir
Metode pengepresan berulir merupakan metode ekstraksi yang lebih maju
dan telah diterapkan di industri pengolahan minyak. Cara ekstraksi ini paling
sesuai untuk memisahkan minyak dari bahan yang kadar minyaknya di atas
10%. Prinsip operasinya adalah bahan rnendapat tekanan dari ulir yang
berputar dan dengan sendirinya terdorong keluar. Minyak keluar melalui
celah diantara ulir dan penutup yang dapat berupa pipa atau lempengan
besi berongga yang mempunyai celah dengan ukuran tertentu sedangkan
ampasnya keluar dari tempat yang lain. Tipe alat pengepres berulir yang
digunakan dapat berupa pengepres berulir tunggal (single screw press) atau
pengepres berulir ganda (twin screw press). Pada pengepresan jarak
pagar, dengan teknik pengepres berulir tunggal (single screw press)
dihasilkan rendemen sekitar 28-34 persen, sedangkan dengan teknik
pengepres berulir ganda (twin screw press) dihasilkan rendemen minyak
sekitar 40-45 persen.
Pengepresan dengan pengepresan berulir memiliki beberapa kelebihan,
yaitu:
Kapasitas produksi menjadi lebih besar karena proses pengepresan dapat
dilakukan secara kontinyu.
13
Menghemat waktu proses produksi karena tidak diperlukan perlakuan
pendahuluan, yaitu pengecilan ukuran dan pemasakan/pemanasan.
Rendemen yang dihasilkan lebih tinggi.
Gambar 5 Double stage screw expeller
Gambar 6 Single stage screw Expeller
14
Gambar 7 Desain screw press single stage
3) Metode pelarutan dengan pelarut
Prinsip, minyak yang bersifat non polar dilarutkan atau dibilas menggunakan
pelarut yang bersifat non polar sehingga minyak akan ikut keluar bersama
dengan pelarut. Kemudian pelarut dan minyak dipisahkan berdasarkan titik
didih larutan.
Gambar 8 Teknik ekstraksi minyak menggunakan pelarut
15
Gambar 9 Teknik pemisahan minyak dari pelarut
Keuntungan dari teknik ekstraksi minyak nabati menggunakan pelarut
mampu menghasilkan minyak yang lebih banyak dibandingkan dengan
metode yang lain. Namun biaya operasionalnya mahal dan membutuhkan
ketelitian yang tinggi.
e) Penjernihan Minyak Nabati
Proses penjernihan minyak nabati dapat dilakukan dengan pengendapan,
absorpsi atau penyaringan. Untuk mempercepat proses penyaringan dapat
dilakukan dengan gaya gravitasi, tekanan vakum maupun centrifuge.
Gambar 10 Alat penyaring minyak nabati tipe putar
16
Gambar 11 Alat penyaring minyak nabati tipe horizontal
f) Reaktor Biodiesel
Produksi biodiesel umumnya menggunakan metode batch, dimana proses
tersebut terjadi pencampuran serta pengadukan antara bahan baku utama
biodiesel dan katalis secara bersamaan dan ada idle time sampai terpisah
menjadi 2 lapisan. Proses pembuatan biodiesel dilakukan dalam reaktor.
Reaktor adalah peralatan yang digunakan sebagai tempat terjadinya
transformasi/reaksi kimia untuk mendapatkan produk yang diinginkan (Mann,
2009). Performa reaktor berperan penting dalam operasional dan keuangan
karena berpengaruh terhadap unit operasi yang lain (pemisahan,
pengeringan, dll).
Reaktor merupakan jantung pada sebagian besar proses kimia. Desain dan
operasional reaktor menentukan kesuksesan dan kegagalan keseluruhan
proses kimia. Reaktor merupakan komponen dasar untuk mengkonversi
bahan baku yang bernilai rendah menjadi produk yang mempunyai nilai jual
yang lebih tinggi. Reaktor biodiesel digunakan untuk mengkonversi minyak
nabati menjadi biodiesel yang mempunyai nilai jual lebih tinggi.
Reaktor biodiesel sudah banyak beredar di pasaran, dari yang skala lab
hingga skala produksi, dari tipe batch hingga kontinu, dari bahan besi hingga
stainless steel. Pembuatnya juga beragam, ada dari Perguruan Tinggi (ITB,
IPB, UGM, UNDIP dll), Lembaga Penelitian (BB mektan, BB pasca panen,
LIPI, BPPT), Pertamina, ataupun perusahaan swasta (PT. Rizki Anugrah
Putra/RAP, PT. Pindad, dan PT. Rekayasa Industri).
17
Gambar 12 Beberapa contoh reaktor biodesel yang ada lapangan
Permasalahannya desain reaktor yang beredar antara lain didesain hanya
untuk mengolah minyak nabati yang spesifik, padahal dalam skala
pedesaan/kerakyatan ketersediaan bahan bakunya tidak selalu ada; tiap
proses membutuhkan peralatan/tangki yang berbeda, sehingga meningkatkan
biaya investasi dan biaya transportasi; tiap reaktor saling terintegrasi sehinga
jika salah satu terjadi masalah dapat menghambat proses produksi;
mengalami kesulitan untuk mengolah minyak nabati yang mempunyai
bilangan asam >10. Oleh karena itu perlu adanya reaktor biodiesel yang dapat
mengatasi semua masalah tersebut.
Reaktor hasil pengembangan ini merupakan pengembangan dari reaktor
yang telah ada sebelumnya. Kemampuan reaktor ini telah tingkatkan
(upgrade) sehingga mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan reaktor
lama. Perbedaan antara reaktor awal dan reaktor multifungsi ini disajikan pada
gambar dan tabel berikut.
18
Gambar 13 Reaktor biodiesel awal
Gambar 14 Reaktor pengembangan
19
Tabel 5 Perbedaan kelebihan pada reaktor awal dan reaktor pengembangan
Tabel Reaktor Awal Reaktor pengembangan
Kondensor Tunggal Kondensor ganda
Bahan baku spesifik Semua jenis minyak nabati
Kecepatan pengadukan konstan
(500 rpm)
Kecepatan pengadukan dapat diatur (250-
1450 rpm)
Suhu maksimal proses 90°C Suhu maksimal proses 120°C
Penggunaan katalis banyak Penggunaan katalis sedikit
Satu reaktor-satu proses Multifungsi reaktor
6-8 jam/proses 4-6 jam/proses
Khusu ALB rendah Berbagai Tingkatan ALB
Rendemen 76-80% Rendemen 87-92%
Bentuk geometri reaktor diusahakan hampir silindris/mempunyai bentuk dasar
melengkung (tanda ada sudut) untuk mengoptimalkan pencampuran (mixing)
bahan dalam reaktor dan mempunyai konstruksi berukuran (dimensi) standar
(e.g. International Standards Organization dan British Standards Institution)
yang memperhitungkan keefektifan pencampuran dan konsiderasi struktur.
Sebaiknya reaktor biodiesl yang dibuat memiliki perbandingan diameter dan
tinggi sebanyak 1:3. Jadi, jika diameter tangki reaktor memiliki diameter 1
meter, maka tinggi reaktor 3 meter.Bentuk reaktor dan bagian-bagian reaktor
di gambarkan pada Gambar 9.
Bahan yang digunakan sebagai kontruksi rektor harus menggunakan bahan
yang tidak bereaksi dengan bahan bakar dan katalis yang digunakan misalnya
stainless steel.
20
1
2
3
4
5
6
7
8
9
9
10
10
11
1212
13
14
15 15
Gambar 15 Detail bagian-bagian reaktor pengembangan
Bagian-Bagian Reaktor
1) Kondensor
Kondensor pada reaktor biodiesel berfungsi untuk mengembunkan uap
hasil proses sehingga dapat menurukan tekanan atmosfir reaktor dibawah
tekanan normal (76 cmHg). Turunnya tekanan atmosfir membuat proses
pengeringan biodiesel dapat berlangsung di bawah titik didih normal
(<100°C). Pada sebagian besar reaktor biodiesel mini yang terdiri dari 2
tangki proses, hanya terpasang satu kondensor. Ini membuat hanya tangki
Keterangan: 1. Katup untuk memasukkan minyak nabati 2. Katup menuju pompa vakum 3. Katup untuk memasukkan katalis 4. Motor pengaduk 5. Katup input air pendingin kondensor 6. Katup output air pendingin dari kondensor 7. Kondensor 8. Kaca control 9. Pengaduk (impeller) 10. Pemanas 11. Termokopel 12. Katup untuk mengeluarkan
gliserol/biodiesel hasil reaksi 13. kaca control 14. shaft 15. baffles
21
yang memiliki kondensor saja yang dapat melakukan proses “pengeringan
biodiesel”.
Proses yang dilakukan pada reaktor konvensional yang terdiri dari 2 tangki
dilakukan dengan melakukan proses esterifikasi, transesterifikasi, dan
pemisahan gliserol di tangki yang tidak memiliki kondensor (tangki A)
kemudian di transfer ke tangki yang memiliki kondensor (tangki B). Proses
ini memiliki beberapa kelemahan, diantaranya :
Ada waktu tunggu (lead time) pada tangki B, karena mulai bekerja
setelah proses pemisahan gliserol dilakukan pada tangki.
Pemindahan biodiesel dari tangki A ke tangki B, membutuhkan
tambahan energi listrik dan ada waktu tunggu hingga semua biodiesel
berpindah semua ke tangki B.
Jika salah satu tangki mengalami kerusakan, proses pengolahan
biodiesel tidak dapat dilaksanakan.
Kelemahan tersebut dapat ditanggulangi dengan cara membuat kedua
tangki tersebut dapat melakukan pengolahan biodiesel mulai dari
esterifikasi hingga pengeringan. Salah komponen yang harus ada ditiap
tangki adalah kondensor. Pada rektor multifungsi ini, pada tiap tangki
reaktor menpunyai satu buah kondensor sehingga tiap reaktor mampu
digunakan dalam mengolah biodiesel dari minyak kasar hingga menjadi
biodiesel yang sesuai standar.
Gambar 16 Kondensor
22
Spesifikasi:
Tinggi : 50 cm
Diameter : 10 cm
Bahan : Stainless steel
2) Heater dan termokopel
Pada reaktor ini terdapat heater yang terintegrasi dengan termokopel.
Integrasi ini berfungsi untuk mengontrol pemanasan yang dilakukan pada
reaktor karena tiap tahap pengolahan biodiesel membutuhkan suhu yang
berbeda-beda. Jika suhu bahan dibawah suhu yang telah ditentukan,
heater menyala dan suhu bahan meningkat. Begitu pula sebaliknya, heater
akan mati jika suhu telah melewati suhu yang telah ditentukan. Pada
proses esterifikasi dan transesterifikasi membutuhkan suhu 60-80°C,
pencucian 60°C, dan proses pengeringan membutuhkan suhu110-115°C.
Penempatan heater dan indikator sangat berpengaruh terhadap efektifitas
pemanasan. Rektor sebaiknya terdiri dari beberapa heater agar dapat
mempercepat proses pemanasan. Misalnya reaktor terdiri dari beberapa
heater sebaiknya diletakkan saling silang dan pada ketinggian yang
berbeda sehingga pemanasan lebih merata. Selain itu sebaiknya tiap
heater mempunyai pengatur saklar masing-masing sehingga jumlah minyak
yang digunakan dapat bervariasi.
Gambar 17 Heater dan termokopel
23
3) Gelas Indikator
Salah satu proses dalam pengolahan biodiesel adalah proses pemisahan
(separasi) yang dilakukan untuk memisahkan produk hasil pengolahan
dengan limbahnya.
Pada proses esterifikasi terjadi reaksi antara asam lemak bebas dengan
alkohol sehingga menghasilkan minyak nabati (trigliserida dan fatty acid
metil ester) dengan kandungan asam rendah dan limbah yang terdiri dari air
dan methanol sisa. Densitas limbah (campuran air dan methanol) lebih
berat dibandingkan minyak nabati, sehingga minyak berada di lapisan atas
dan limbahnya dibagian bawah dengan batas yang jelas. Gelas indikator ini
berguna untuk mengetahui bahwa proses pengambilan bahan hampir
mencapai batas, sehinga produk yang dihasilkan mempunyai tingkat
kemurnian yang tinggi. Pada reaktor, pemisahan gliserol dan air limbah
pencucian sebaiknya sebaiknya dipisahkan secara perlahan (menggunakan
gaya gravitasi), jangan menggunakan pompa sebagai pendorong karena
dapat mengacaukan larutan yang telah mengendap.
Gambar 18 Gelas indikator
Spesifikasi Gelas indikator
Tinggi : 9,7 cm
Diameter : 7,0 cm
Type : Gelas tahan panas
Ketebalan : 5 mm
24
4) Pompa input-output
Pompa pada yang terintegrasi pada reaktor biodiesel multifungsi ini ada 4
buah, tiap-tiap pompa berfungsi untuk:
Input minyak mentah
Input air pendingin
Output limbah pencucian
Reversible biodiesel
Gambar 19 Pompa input-output
Spesifikasi :
Merk : Radar
Model : RD-125 C
MAXCAP : 42 Lt/Min
Suchead : 9 meter
Dischead : 25 meter
Total : 33 meter
Size : 1” x 1”
Output : 125 watt
V/Hz/Ph : 220/50.1
Kecepatan putar : 2850 rpm
5) Pompa vakum
Pompa vakum berfungsi untuk mengeluarkan gas-gas yang tidak dapat
menyublim, misalnya adalah gas amoniak. Selain itu juga, pompa vakum
membantu mengeluarkan uap air dan sisa methanol yang tidak bereaksi
pada proses pengeringan.
25
Gambar 20 Pompa vakum
Spesifikasi:
Merk : Brok Crompton, New Castle, Stafft
Volt : 110/120-220/240
Hz : 50/60 Wo 550
Kecepatan putar : 1420/1750 rpm
6) Kaca kontrol
Kaca kontrol ini terdapat di sisi luar kedua reaktor. Kaca kontrol berfungsi
untuk mengontrol proses pengolahan dan proses pemisahan. Kaca kontrol
ini terbuat dari bahan khusus sehingga dapat menahan suhu proses hingga
1000°C.
Gambar 21 Kaca kontrol
26
7) Corong input katalis
Pada beberapa reaktor, teknik untuk memasukkan katalis ada berbeda-
beda, ada yang secara manual (dituang) dan ada yang dialirkan melalui
pipa (vakum). Permasalahannya pada proses pembuatan biodiesel, katalis
yang telah ditentukan harus bereaksi semua dengan minyak. Penggunaan
pipa untuk mengalirkan katalis dapat menyebabkan sebagian katalis
tertinggal di pipa dan tidak bereaksi dengan minyak. Oleh karena itu
disarankan pada proses memasukkan katalis sebaiknya dilakukan secara
manual.
Tiap proses membutukan jumlah dan jenis reaktan/katalis yang berbeda,
sehingga pada reaktor perlu ada alat untuk memasukkan reaktan/katalis
sewaktu-waktu. Corong input ini berada dibagian atas reaktor dan berfungsi
untuk memasukkan reaktan dan katalis. Antara reaktor dan corong input
terdapat kran, sehingga selama tidak digunakan ditutup untuk menjaga
tekanan reaktor.
Spesifikasi Corong Input:
Tinggi : 10 cm
Diameter : 7,5 cm
Bahan : Stainless steel
Gambar 22 Corong input katalis
27
8) Agitator
Sistem agitasi dalam reaktor terdiri dari motor pengaduk (drive motor),
speed reducer, mechanical seal, shaft, impeller, impeller blade, dan baffel.
Sistem agitasi ini berfungsi agar pencampuran dapat dilakukan dengan
merata dan meningkatkan luas pindah massa. Speed reducer berfungsi
untuk meningkatkan kekuatan putaran dan memperkecil kecepatan putar
impeller. Baffel terletak dinding bagian dalam dan digunakan untuk
memecah aliran cairan dalam rangka meningkatkan turbulensi dan
effesiensi pencampuran.
Sistem agitator dapat diklasifikasi menjadi dua tipe yaitu aliran radial dan
aliran axial. Sistem agitator pada reaktor biodiesel multifungsi ini masuk
dalam klasifikasi aliran radial. Pada tipe aliran radial ini aliran cairan
mengikuti jari-jari tangki reaktor dan membutuhkan input energi yang lebih
besar dibandingkan tipe axial. Dibandingkan dengan tipe radial, tipe axial
efektif untuk mengangkat padatan dari dasar tangki. Perbedaan bentuk
impeller dan aliran pada kedua tipe agitator dapat dilihat pada Gambar 19
Untuk menghasilkan teknik pengadukan yang optimal, sebaiknya diameter
pengaduk berukuran 2/3 diameter tabung.
Spesifikasi motor pengaduk:
Merk : TECO
Kode : AEVBKBB-
Tipe : 4 pole
Volt : 220/380
Hz, A : 50 Hz/3 A/2,1 A
Kec. Putar : 1430 rpm
Weight : 18 kg
28
Gambar 23 Sistem agitator reactor dan drive motor reaktor biodiesel multifungsi
Gambar 24 Aliran cairan tipe radial dan axial
Gambar 25 Bentuk impeller pada agitator tipe radial dan axial
29
4. Latihan
a. Sebutkan permasalahan desain reaktor yang ada saat ini....
Jawab: Permasalahannya desain reaktor yang ada saat ini antara lain: didesain
hanya untuk mengolah minyak nabati yang spesifik, padahal dalam skala
pedesaan/kerakyatan ketersediaan bahan bakunya tidak selalu ada; tiap proses
membutuhkan peralatan/tangki yang berbeda, sehingga meningkatkan biaya
investasi dan biaya transportasi; tiap reaktor saling terintegrasi sehinga jika
salah satu terjadi masalah dapat menghambat proses produksi; mengalami
kesulitan untuk mengolah minyak nabati yang mempunyai bilangan asam > 10.
b. Sistem agitator dapat diklasifikasi menjadi dua tipe yaitu aliran radial dan aliran
axial. Sebutkan karakter sistem agitator tipe aliran radial....
Jawab: Karakter sistem agitator tipe aliran radial: aliran cairan mengikuti jari-jari
tangki reaktor dan membutuhkan input energi yang lebih besar dibandingkan
tipe axial.
c. Sebutkan kelemahan reaktor konvensional yang terdiri dari 2 tangki....
Jawab: Kelemahan reaktor konvensional yang terdiri dari 2 tangki antara lain:
ada waktu tunggu (lead time) pada tangki B, karena mulai bekerja setelah
proses pemisahan gliserol dilakukan pada tangki; pemindahan biodiesel dari
tangki A ke tangki B, membutuhkan tambahan energi listrik dan ada waktu
tunggu hingga semua biodiesel berpindah semua ke tangki B; jika salah satu
tangki mengalami kerusakan, proses pengolahan biodiesel tidak dapat
dilaksanakan.
d. Jelaskan mengenai kaca kontrol pada konstruksi reaktor biodiesel....
Jawab: Kaca kontrol ini terdapat di sisi luar kedua reaktor. Kaca kontrol
berfungsi untuk mengontrol proses pengolahan dan proses pemisahan. Kaca
kontrol ini terbuat dari bahan khusus sehingga dapat menahan suhu proses
hingga 1000°C.
30
5. Rangkuman
a. Biodiesel dapat dibuat dari dari minyak nabati, lemak hewan, maupun minyak
goreng bekas. Namun produksi biodiesel yang telah ada dipasaran
merupakan hasil pengolahan dari minyak nabati. Minyak nabati adalah minyak
yang didapatkan dari tanaman yang yang mengandung minyak, baik yang
dapat dimakan (edible) atau tidak (non edible). Indonesia memiliki banyak
keanekaraaman hayati yang berpotensi sebagai sumber minyak nabati,
diantaranya: kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kemiri, kemiri minyak,
nyamplung, pongamia pinnata, biji karet, dan tanaman penghasil minyak
nabati lainnya.
b. Dalam membuat biodiesel dari bahan baku, ada beberapa proses yang harus
dilalui yaitu: pemilihan bahan baku, pengeringan bahan baku, ekstraksi
minyak dari bahan baku, pemurnian minyak, transesterifikasi, pencucian, dan
pengeringan.
c. Di Indonesia banyak terdapat tanaman penghasil minyak oleh karena itu perlu
dipilih bahan baku yang mudah didapatkan dan banyak terdapat di lingkungan
sekitar. Pemilihan lokasi prosesing yang dekat dengan lokasi bahan baku
karena bahan baku yang telah dipanen diharapkan segara dapat di proses
lebih lanjut.
d. Proses pengeringan bahan baku (biji) diperlukan untuk mengurangi air yang
terdapat pada bahan. Masih banyaknya air pada biji dapat menghambat
proses ekstraksi minyak, oleh karena itu perlu dikurangi hingga mencapai 7%.
e. Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak atau lemak dari
bahan yang diduga mengandung minyak atau lemak. Ada beberapa metode
ekstraksi, yaitu dengan metoda pemanasan, rnetoda pres hidrolik (hidrolic
press), metoda pres ulir (screw press) dan metoda pelarutan.
f. Proses penjernihan minyak nabati dapat dilakukan dengan pengendapan,
absorpsi atau penyaringan. Untuk mempercepat proses penyaringan dapat
dilakukan dengan gaya gravitasi, tekanan vakum maupun centrifuge.
31
6. Evaluasi Materi Pokok 1
1) Prinsip operasi metode ekstraksi apakah yang mempunyai langkah sebagai
berikut: bahan rnendapat tekanan dari ulir yang berputar dan dengan
sendirinya terdorong keluar, minyak keluar melalui celah diantara ulir dan
penutup yang dapat berupa pipa atau lempengan besi berongga yang
mempunyai celah dengan ukuran tertentu sedangkan ampasnya keluar dari
tempat yang lain.
a. Hidrolic press b. Screw press
c. Pelarutan d. Deguming
2) Berikut ini merupakan kelebihan metode pengepresan berulir, kecuali:
a. Kapasitas produksi menjadi lebih besar karena proses pengepresan dapat
dilakukan secara kontinyu.
b. Menghemat waktu proses produksi karena tidak diperlukan perlakuan
pendahuluan, yaitu pengecilan ukuran dan pemasakan/pemanasan.
c. Rendemen yang dihasilkan lebih tinggi.
d. Ampas yang dihasilkan lebih banyak.
3) Komponen reaktor biodiesel apakah yang berfungsi untuk mengembunkan
uap hasil proses sehingga dapat menurukan tekanan atmosfir reaktor dibawah
tekanan normal (76 cmHg).
a. Kondensor b. Heater
c. Termokopel d. Agitator
4) Komponen reaktor biodiesel apakah yang berfungsi untuk mengeluarkan gas-
gas yang tidak dapat menyublim, misalnya adalah gas amoniak. Selain itu
juga membantu mengeluarkan uap air dan sisa methanol yang tidak bereaksi
pada proses pengeringan.
a. Kondensor b. Heater
c. Pompa vakum d. Agitator
5) Yang bukan merupakan bagaian dari sistem agitasi dalam reaktor adalah?
a. Kondensor b. impeller blade
c. mechanical seal d. baffel
32
7. Umpan Balik dan Tindak Lanjut
Cocokkanlah hasil jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Materi Pokok 1 yang
terdapat pada bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban Anda yang benar.
Gunakanlah rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda
terhadap Materi Pokok 1.
Rumus:
Tingkat penguasaan =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐽𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑜𝑎𝑙𝑥100
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai:
90 – 100% = baik sekali
80 - 89% = baik
70 – 79% = cukup
< 70% = kurang
Bila Anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat melanjutkan
dengan Materi Pokok selanjutnya. Selamat untuk Anda ! Tetapi apabila tingkat
penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus mempelajari kembali Materi
Pokok 1, terutama bagian yang belum Anda kuasai.
33
B. Materi Pokok 2
1. Standar Mutu Biodiesel
2. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, siswa dapat menjelaskan tentang
peralatan pengolah biodiesel.
3. Uraian dan Contoh
Pengembangan standar biodiesel dimulai pada tahun 1990-an untuk mendukung
peningkatan penggunaaan alkyl ester (biodiesel) dan campurannya untuk bahan
bakar mesin. Standar mutu Amerika Serikat , ASTM (The American Society for
Testing of Materials), merupakan hasil perbaikan dari standar PS121 untuk
biodiesel tahun 1991. Standar ASTM pertama untuk biodiesel (ASTM D6751)
pertama kali diadopsi pada tahun 2002 (ASTM 2002). Sedangkan di kawasan
eropa, standar biodiesel EN 14214 telah di selesaikan pada oktober 2003.
a) Standar Mutu Biodiesel Indonesia
Standar mutu biodiesel diperlukan untuk menjamin kualitas biodiesel yang
diproduksi dan diniagakan untuk membangun dan mengamankan kepercayaan
(calon-calon) konsumen/pemakai. Selain itu, dapat menuntun dan
mempercepat derap langkah penelitian & pengembangan (Riset &
Development) produksi dan pemanfaatan biodiesel yang intensitasnya kian
meningkat sehingga benar-benar terarah ke perwujudan industri biodiesel yang
tangguh di dalam negeri.
Secara umum parameter yang menjadi standar mutu biodiesel adalah
densitas, titik nyala, angka setana, viskositas kinematik, abu sulfat, energi yang
dihasilkan, bilangan iod dan residu karbon. Standar mutu biodiesel Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 6. Standar mutu biodiesel Indonesia (SNI 04-7182-
2006) merupakan hasil perwujudan dari :
1) Studi standar-standar biodiesel luar negeri
Di masa depan jangka pendek sampai menengah, penggunaan biodiesel di
Indonesia diperkirakan lebih cenderung ke bentuk campuran dengan solar
pada kadar 5 s/d 30 %-vol (B5, B10, B20, B30). Karena ini,dengan beberapa
kekecualian, rincian parameter-parameter standar biodiesel Indonesia lebih
condong ke arah standar Amerika Serikat’
34
2) Studi metode uji alternatif
Pabrik-pabrik biodiesel diperkirakan akan tersebar ke tiap kabupaten di
seantero negeri dan diusahakan oleh industri menengah sampai besar.
Tanpa mengabaikan mutu/ketelitian hasilnya, peralatan dan metode
pengujian perlu dapat terjangkau dan dilakukan oleh industri menengah,
sementara industri besar boleh juga memilih alternatif yang padat modal dan
canggih.
3) Identifikasi jenis dan potensi sumber minyak nabati di indonesia.
Salah satu fungi SNI adalah untuk melindungi produk dalam negeri, sehingga
SNI yang dibuat perlu mengakomodir berbagai jenis minyak nabati di
Indonesia. Berbeda dengan negara-negara barat, rentang asam lemak
penyusun minyak nabatinya berkisar antara C14–C24. Di Indonesia, banyak
sumber daya minyak nabati berkomponen utama C8–C12, misalnya minyak
kelapa, minyak inti-sawit, dan minyak dari biji pohon-pohon marga
Lauraceae. Selain itu terdapat sumber daya nabati berasam lemak unik,
yang keberadaannya di dalam biodiesel (sementara ini) diduga bakal
berakibat kurang baik, sehingga perlu dihindarkan (FBI, 2005).
35
Tabel 6 Standar Mutu Biodiesel Indonesia (SNI 04-7182-2006)
Parameter dan satuannya Batas nilai Metode Uji
Massa jenis pada 40 oC, kg/m3 850 – 890 ASTM D 1298
Viskos. kinem. pd 40 oC, mm2/s (cSt) 2,3 – 6,0 ASTM D 445
Angka setana min. 51 ASTM D 613
Titik nyala (mangkok tertutup), oC min. 100 ASTM D 93
Titik kabut, Oc maks. 18 ASTM D 2500
Korosi bilah tembaga (3 jam, 50 oC) maks. no. 3 ASTM D 130
Residu karbon (%-b),
- dalam contoh asli
- dalam 10 % ampas distilasi
maks. 0,05 (maks.
0,3)
ASTM D 4530
Air dan sedimen, %-vol. maks. 0,05 ASTM D 2709
Temperatur distilasi 90 %, oC maks. 360 ASTM D 1160
Abu tersulfatkan, %-b maks. 0,02 ASTM D 874
Belerang, ppm-b (mg/kg) maks. 100 ASTM D 5453
Fosfor, ppm-b (mg/kg) maks. 10 FBI-A05-03
Angka asam, mg-KOH/g maks. 0,8 FBI-A01-03
Gliserol bebas, %-b maks. 0,02 FBI-A02-03
Gliserol total, %-b maks. 0,24 FBI-A02-03
Kadar ester alkil, %-b min. 96,5 FBI-A03-03
Angka iodium, %-b (g-I2/100 g) maks. 115 FBI-A04-03
Uji Halphen negatif FBI-A06-03
Sumber : Badan Standarisasi Nasional
Parameter-parameter kualitas SNI-04-7182-2006 terdiri atas 2 kelompok,
yaitu :
1) Parameter-parameter yang nilainya lebih mewakili tingkat kesempurnaan
pengolahan/pemrosesan : viskositas kinematik, titik nyala (flash point),
tingkat korosi bilah tembaga, angka asam, dan kadar-kadar ester alkil,
gliserol bebas, gliserol total, fosfor, belerang, abu tersulfatkan, serta air
dan sedimen
2) Parameter-parameter yang nilainya lebih ditentukan (‘ditakdirkan’) oleh
komposisi asam-asam lemak bahan mentah yang digunakan : angka
setan, angka iodium, titik kabut (cloud point), residu karbon, uji Halphen,
massa jenis, dan temperatur distilasi 90%.
Sebagian besar parameter (massa jenis, viskositas dst. s/d belerang) sudah
lazim digunakan sebagai parameter standar mutu solar (BBM). Metode-
36
metode pengujian yang dianut industri BBM Indonesia umumnya adalah
bakuan ASTM.
1) Massa jenis
Temperatur penetapan massa jenis tidak dipilih 15oC, karena titik
awan/mendung biodiesel boleh mencapai 18oC. Temperatur 40oC dipilih
karena selain sama dengan temperatur pengukuran viskositas, juga
memudahkan pengendalian kekonstanan temperatur peralatan pengukur
(tidak di dekat suhu kamar). Persyaratan harga 0,850 s/d 0,890 dipilih
berdasar data harga massa jenis ester metil asam-asam lemak C8 s/d C24
pada 40oC.
2) Viskositas
Batas bawah harga viskositas ditetapkan berdasar data harga metil laurat
pada temperatur 40oC. Asam laurat adalah asam lemak utama minyak
kelapa dan minyak inti sawit.
3) Angka setana
Batas harga angka setana (min. 51) mengikuti standar eropa (min. 51).
Nilai ini lebih tinggi dibandingkan standar di Amerika (≥40) dan Brazil
(≥42). Nilai ini juga lebih besar dari syarat solar Indonesia (min. 45)
sehingga pencampuran biodiesel kepada solar berpotensi manfaat
meningkatkan angka setan bahan bakar.
4) Titik Nyala
Harga titik nyala (flash point) min. 100oC dipandang cukup menjamin
biodiesel ester metil bebas dari sisa-sisa metanol serta mengakomodasi
kemungkinan keberadaan sejumlah kecil metil kaprilat (C8) dan metil
kaprat (C10).
5) Titik kabut
Untuk Indonesia, harga titik awan/mendung 18oC dipandang cukup untuk
menjamin biodiesel masih bisa mengalir sekalipun digunakan di daerah
dataran tinggi (pegunungan) pada cuaca dingin.
6) Korosi bilah tembaga
Crude petroleum mengandung komponen sulfur yang kebanyakan dapat
dipisahkan selama pemurnian. Dimana, keberadaan komponen sulfur di
dalam produk petroleum dapat menyebabkan korosi pada beberapa jenis
metal dan tingkat korosivitas ini tidak selamanya berbanding lurus dengan
37
total sulfur. Sulfur ini menyebabkan efek yang berbeda tergantung dari
struktur kimia sulfur yang terkandung di dalamnya.
7) Fosfor
Metode uji/analisis kadar fosfor yang ditetapkan dalam standar Eropa
[prEN 14214:2002(E)] maupun Amerika [ASTM D6751-02a], yaitu masing-
masing prEN 14107 dan ASTM D 4951, menggunakan peralatan sangat
canggih yaitu Inductively Coupled Plasma Emission Spectrometry. Utk
Indonesia sebaiknya ditetapkan metode alternatif yang lebih sederhana,
yaitu spektrofotometri sinar tampak dengan prosedur standar AOCS Ca
12-55 dari American Oil Chemists Society; disadur ke dalam bahasa
Indonesia menjadi prosedur FBI-A05-03.
8) Gliserol total dan gliserol terikat
Metode analisis kadar gliserol bebas dan gliserol total dalam standar
Eropa maupun Amerika, yaitu masing-masing prEN 14105 dan ASTM D
6584, juga canggih karena menggunakan khromatografi gas-cair kolom
kapiler. Metode alternatif yang layak adalah prosedur standar titrasi
iodometri – asam periodat AOCS Ca 14-56 dari American Oil Chemists
Society; disadur ke dalam bahasa Indonesia menjadi prosedur FBI-A02-03
9) Kadar ester alkil
Metode penentuan ester alkil dalam standar Eropa (dan Aus-tralia) juga
menggunakan khromatografi gas-cair kolom kapiler. Prosedur alternatif
yang sederhana (sebut saja FBI-A03-03) dapat memanfaatkan gabungan
hasil-hasil analisis angka penyabunan, angka asam (FBI-A01-03) serta
kadar gliserol total dan gliserol bebas (FBI-A02-03).
10) Angka iodium
Batasan angka iodium diperlukan sebagai tolok ukur empirik untuk
membatasi kadar ester metil asam-asam lemak berikatan rangkap 3
(mudah berpolimerisasi dan menyebabkan deposit dalam mesin diesel).
Harga batas 115 dipandang cukup baik; Eropa dan Australia menetapkan
harga batas lebih tinggi, yaitu 120, karena mensyaratkan pula pengukuran
langsung kadar-kadar ester metil asam-asam lemak berikatan rangkap 3
tersebut. A.S. tidak mau membatasi angka iodium karena sumber daya
nabati utamanya (minyak kedelai) berangka iodium tinggi (117 s/d 143).
38
11) Uji halphen
Di Indonesia terdapat berbagai tumbuhan (umumnya dari marga
malvaceae) yang minyak-lemaknya mengandung asam lemak unik,
karena bergugus siklopropenoid. Gugus siklopropenoid adalah gugus
yang berbentuk rangkaian melingkar (siklo) menyerupai cincin dari
propena pada suatu molekul/senyawa (Greenberg dan Harris,1982).
Asam lemak yang mengandung gugus siklopropenoid adalah asam
malvalat (C-17) dan asam sterkulat (C-18) (Hudaya, 2011). Pada asam
sterkulat dan asam malvalat terdapat ikatan rangkap, sehingga termasuk
sebagai asam lemak tak jenuh.
Gambar 26 Rumus bangun asam malvalat dan asam sterkulat
Minyak yang mengandung gugus siklopropenoid antara lain, Minyak dari
biji kepoh (Sterculia foetida) mengandung gugus siklopropenoid sekitar
50-70% (Greenberg dan Harris,1982), minyak Kulit biji durian
mengandung 65.4%, Minyak dari biji kapok (Ceiba pentandra)
mangandung 10.1%, minyak dari melinjo (Gnetum gnemon)
mengandung 51.6% dan minyak dari biji kapas (Gossypium hirsutum)
mengandung kurang dari 1% (Berry,1979).
Gugus siklopropenoid bersifat reaktif sehingga membuat biodiesel
menjadi kental (viscous). Biodiesel yang kental tersebut dapat
menyebabkan penyumbatan pada nozzle pada mesin/motor diesel
tersebut (Hudaya et al., 2011). Oleh karena itu, keberadaan gugus
siklopropenoid di dalam biodiesel harus dideteksi. Gugus siklopropenoid
sangat sensitif bereaksi positif terhadap uji Halphen, sehingga reaksi
39
negatif terhadap uji Halphen menunjukkan biodiesel bebas dari gugus
siklopropenoid.
b) Standar Mutu Biodiesel Negara Lain
Beberapa negara telah menetapkan standar biodiesel. Penetapan standar
biodiesel antara satu negara dengan negara lainnya berbeda karena
disesuaikan dengan iklim dan kondisi masing-masing negara. Pada Tabel 4
disajikan perbandingan standar biodiesel internasional.
Standar provisional biodiesel di Eropa (EN 14214:2002), merupakan standar
yang paling lengkap dan mencerminkan tingkat kemajuan industri biodiesel di
bagian dunia tersebut; EN 14214:2002 mencakup hampir semua parameter
yang ditetapkan dalam standar biodiesel Amerika Serikat ASTM D6751 dan
batasan nilai-nilainya tiap parameternya pun kebanyakan sangat mirip.
Terdapat perbedaan pendekatan standar mutu biodiesel di amerika serikat dan
eropa. Di Amerika serikat, ASTM D6751 merujuk pada penggunaan biodiesel
sebagai campuran minyak diesel, walaupun dalam spesifikasi disebutkan untuk
B100. Sedangkan untuk standar mutu kawasan eropa, EN 14214 merujuk pada
spesifikasi fatty acid methy ester untuk motor diesel. Berbeda dengan ASTM
D6751, B100, dimaksudkan bahwa standar ini dapat digunakan tanpa
pencampuran atau dengan pencampuran sesuai dengan EN 590, standar
eropa untuk bahan bakar diesel. EN 590:2004 memperbolehkan
mencampurkan biodiesel hingga 5% dengan bahan bakar diesel. Spesifikasi
campuran biodisel sebanyak 7% (B7) telah dirinci pada EN 590:2009
(http://www.dieselnet.com).
40
Tabel 7 Perbandingan standar biodiesel internasional
Items Units U.S. EU Australia Japan Rep. of Korea
Thailand Vietnam
ASTM D6751-07b
EN14214:2003 JIS K2390:2008
PPAFB Act
DOEB: 2009
TCVN 7717:2007
Kadar ester alkil mass% - 96.5 min. 96.5 min. 96.5 min. 96.5 min.
96.5 96.5 min.
Densitas kg/m3 - 860-900 860-900 860-900 860-900
860-900 860-900
Viskositas mm2/s 1.9-6.0 3.50-5.00 3.5 - 5.0 3.50-5.00 1.9-5.0 3.5-5.0 1.90-6.00
Titik nyala deg. C 93 min. 120 min. 120.0 min. 120 min. 120 min.
120 min 130 min.
Kadar Belerang mass% 0.0015 max.
0.0010 max. 0.0010 max.
0.0010 max.
0.0010 max.
0.0010 max
0.05 max.
Temperatur distilasi 90 %, ⁰C
deg. C 360 max. - 360 max. - - - 360 max.
Residu karbon (100%) or Residu karbon (10%)
mass% 0.05 max.
-
- 0.30 max.
- 0.30 max.
- 0.3
max.
- 0.10 max.
- 0.30 max.
0.050 max.
-
Angka Setana 47 min. 51.0 min. 51.0 min. 51.0 min. - 51.0 min 47.0 min.
Abu Tersulfatkan mass% 0.02 max. 0.02 max. 0.02 max. 0.02 max. 0.01 max.
0.02 max 0.020 max.
Kadar air mg/kg 0.05[vol%] max.
500 max. 0.050 [vol%] max.(1)
500 max. 500 max.
0.05[Wt%] max
0.05[vol%] max.
Total Kontaminasi mg/kg - 24 max. 24 max. 24 max. 24 max. 24 max. -
Korosi bilah tembaga
No.3 Class-1 Class-1 Class-1 Class-1 Class-1 No.1
Angka asam mgKOH/g 0.50 max. 0.50 max. 0.80 max. 0.50 max. 0.50 max.
0.50 max. 0.50 max.
Kesetabilan Oksidasi
hrs. 3 min. 6.0 min. 6 min.
(**) 6.0 min. 10.0 min. 6.0 min.
Angka Iodine - 120 max. - 120 max. - 120 max. 120 max.
41
Metil Linolenat mass% - 12.0 max. - 12.0 max. - 12.0 max. -
Ikatan rangkan pada FAME (>4 ikatan rangkap)
mass% - 1 max. - N.D. - - -
Kadar methanol mass% 0.2 max. (*) 0.20 max. 0.20 max. 0.20 max. 0.20 max.
0.20 max. -
Kadar Monogliserida
mass% - 0.80 max. - 0.80 max. 0.80 max.
0.80 max. -
Kadar Digliserida mass% - 0.20 max. - 0.20 max. 0.20 max.
0.20 max. -
Kadar Trigliserida mass% - 0.20 max. - 0.20 max. 0.20 max.
0.20 max. -
Gliserol bebas mass% 0.020 max. 0.02 max. 0.020 max. 0.02 max. 0.02 max.
0.02 max. 0.020 max.
Total Gliserol mass% 0.240 max. 0.25 max. 0.250 max. 0.25 max. 0.24 max.
0.25 max. 0.240 max.
Na+K mg/kg 5 max. 5.0 max. 5 max.
5.0 max. 5.0 max.
5.0 max. 5.0 max.
Ca+Mg mg/kg 5 max. 5.0 max. 5 max.
5.0 max. 5.0 max.
5.0 max. -
Fosfor mg/kg 10 max. 10.0 max. 10 max. 10.0 max. 10.0 max.
10.0 max. 10.0 max.
Sumber : Benchmarking of Biodiesel Fuel Standardization in East Asia Working Group (2010)
42
4. Latihan
1) Jelaskan mengapa pada penentuan standar mutu biodiesel dengan
parameter massa jenis, massa jenis diukur pada suhu 40°C?
Jawab: Suhu 40oC dipilih karena selain sama dengan temperatur pengukuran
viskositas, juga memudahkan pengendalian kekonstanan temperatur
peralatan pengukur (tidak terlalu dekat dengan suhu kamar).
2) Kapan uji halphen dilakukan pada penentuan mutu biodiesel?
Jawab: Uji halphen dilakukan jika bahan baku biodiesel yang digunakan
minyak-lemaknya mengandung asam lemak unik, karena bergugus
siklopropenoid seperti biodiesel yang berasal dari biji pohon kapuk randu.
3) Apa pentingnya uji halphen?
Jawab: Gugus siklopropenoid bersifat reaktif sehingga membuat biodiesel
menjadi kental (viscous). Biodiesel yang kental tersebut dapat menyebabkan
penyumbatan pada nozzle pada mesin/motor diesel tersebut. Oleh karena
itu, keberadaan gugus siklopropenoid di dalam biodiesel harus dideteksi.
Gugus siklopropenoid sangat sensitif bereaksi positif terhadap uji Halphen,
sehingga reaksi negatif terhadap uji Halphen menunjukkan biodiesel bebas
dari gugus siklopropenoid.
4) Terangkan tentang harga titik nyala pada parameter titik nyala sesuai standar
mutu biodiesel indonesia?
Jawab: Harga titik nyala (flash point) min. 100 oC dipandang cukup menjamin
biodiesel ester metil bebas dari sisa-sisa metanol serta mengakomodasi
kemungkinan keberadaan sejumlah kecil metil kaprilat (C8) dan metil kaprat
(C10).
5. Rangkuman
a. Standar mutu biodiesel diperlukan untuk menjamin kualitas biodiesel yang
diproduksi dan diniagakan untuk membangun dan mengamankan
kepercayaan (calon-calon) konsumen/pemakai. Selain itu, dapat menuntun
dan mempercepat derap langkah penelitian & pengembangan (Riset &
Development) produksi dan pemanfaatan biodiesel yang intensitasnya kian
meningkat sehingga benar-benar terarah ke perwujudan industri biodiesel
yang tangguh di dalam negeri.
b. Secara umum parameter yang menjadi standar mutu biodiesel adalah
densitas, titik nyala, angka setana, viskositas kinematik, abu sulfat, energi
yang dihasilkan, bilangan iod dan residu karbon.
c. Parameter-parameter kualitas SNI-04-7182-2006 terdiri atas 2 kelompok,
yaitu: Parameter-parameter yang nilainya lebih mewakili tingkat
kesempurnaan pengolahan/pemrosesan dan parameter-parameter yang
nilainya lebih ditentukan (‘ditakdirkan’) oleh komposisi asam-asam lemak
bahan mentah yang digunakan.
43
d. Di Indonesia terdapat berbagai tumbuhan (umumnya dari marga Malvaceae)
yang minyak-lemaknya mengandung asam lemak unik, karena bergugus
siklopropenoid. Gugus siklopropenoid adalah gugus yang berbentuk
rangkaian melingkar (siklo) menyerupai cincin dari propena pada suatu
molekul/senyawa.
6. Evaluasi Materi Pokok 2
1) Berikut ini merupakan pengujian parameter-parameter kualitas mutu biodiesel
yang nilainya lebih mewakili tingkat kesempurnaan pengolahan/pemrosesan,
kecuali…
a. viskositas kinematik c. titik nyala
b. tingkat korosi bilah tembaga d. uji Halphen
2) Berikut ini merupakan pengujian parameter-parameter kualitas mutu biodiesel
yang nilainya lebih ditentukan oleh komposisi asam-asam lemak bahan
mentah yang digunakan, kecuali…
a. viskositas kinematik c. massa jenis
b. residu karbon d. uji Halphen
3) Berapa perbandingan antara biodiesel dengan solar untuk biosolar B10…
a. 5 : 95 c. 10 : 90
b. 95 : 5 d. 90 : 10
4) Berapa perbandingan antara solar dengan biodiesel untuk biosolar B5…
a. 5 : 95 c. 10 : 90
b. 95 : 5 d. 90 : 10
5) Berikut ini bahan baku yang mengandung gugus siklopropenoid, kecuali…
a. Biji kepoh c. Nyamplung
b. Biji melinjo d. Biji kapok
44
7. Umpan Balik dan Tindak Lanjut
Cocokkanlah hasil jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Materi Pokok 2 yang
terdapat pada bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban Anda yang benar.
Gunakanlah rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda
terhadap Materi Pokok 2.
Rumus:
Tingkat penguasaan =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐽𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑜𝑎𝑙𝑥100
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai :
90 – 100% = baik sekali
80 - 89% = baik
70 – 79% = cukup
< 70% = kurang
Bila Anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat melanjutkan
dengan Materi Pokok selanjutnya. Selamat untuk Anda ! Tetapi apabila tingkat
penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus mempelajari kembali Materi
Pokok 2, terutama bagian yang belum Anda kuasai.
45
C. Materi Pokok 3
1. Prosedur Analisa Biodiesel
2. Indikator Keberhasilan
Setelah mengikuti kegiatan pembelajaran ini, siswa dapat menjelaskan dan
mempraktekkan prosedur analisa biodiesel.
3. Uraian dan Contoh
Prosedur analisa biodiesel dilakukan untuk mengetahui kualitas biodiesel
berdasarkan karakter fisik yang terkandung pada rendemen minyak biodiesel.
Prosedur analisa biodiesel antara lain:
a) Densitas
Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel pada
suhu 25oC dengan berat air pada volume dan suhu yang sama.
Peralatan:
Piknometer 5 ml
Prosedur:
1) Pada tahap awal pengukuran densitas minyak ditentukan berat dari air.
Piknometer bersih dan kering diisi dengan air destilasi yang telah didihkan
dan didinginkan pada suhu 20oC dan simpan piknometer dalam water
bath pada suhu konstan 25oC selama 30 menit. Piknometer diangkat,
dikeringkan, dan ditimbang. Berat air dihitung dengan menghitung selisih
berat piknometer berisi air dan berat piknometer kosong.
2) Pada tahap kedua ditentukan berat minyak atau lemak contoh. Minyak
atau lemak cair yang telah disaring didinginkan sampai suhu 20oC.
Kemudian dimasukan ke dalam piknometer hingga meluap dan pastikan
tidak terbentuk gelembung udara. Keringkan bagian luar piknometer dan
kemudian tempatkan piknometer dalam water bath pada suhu konstan
25oC selama 30 menit. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan dan
ditimbang. Berat contoh dihitung dengan menghitung selisih berat
piknometer berisi contoh minyak atau lemak dan berat piknometer
kosong.
46
(berat piknometer dan contoh) – (berat piknometer kosong) Volume air pada 25oC (ml)
Densitas minyak atau lemak pada 25 o/25oC adalah:
Gambar 27 Piknometer
b) Viskositas Kinematik (ASTM, 2000)
Viskositas diartikan sebagai ukuran ketahanan bahan bakar untuk mengalir.
Viskositas berpengaruh secara langsung pada penetrasi pola semprotan pada
bilik pembakaran sehingga juga berpengaruh pada atomisasi bahan bakar
dan efisiensi pembakaran.
Lingkup:
Metode ini spesifik untuk menentukan viskositas kinematik produk-produk
turunan petroleum dengan mengukur waktu yang dibutuhkan larutan untuk
mengalir pada kondisi gravitasi di sepanjang gelas kapiler viskosimeter yang
terkalibrasi.
Peralatan:
1) Viskometer
47
Tabel 8 Tipe Viskometer
Tipe viskometer Jarak nilai viskositas kinematik
Tipe Oswald
Canon-Fenske routine 0,5-20000
Zeitfuchs 0,6-3000
BS/U-tube 0,9-10000
BS/U/M miniatur 0,2-100
SIL B 0,6-10000
Canon-maning-semimicro 0,4-20000
Pinkevitch 0,6-17000
Tipe Suspenden-level
BS/IP/SLB 3,5-100000
BS/IP/SL(S)B 1,05-10000
BS/IP/MSL 0,6-3000
Ubbelohde 0,3-100000
Fitzsimons 0,6-1200
AtlanticB 0,75-5000
Cannon- Ubbelohde(A), Cannon
0,5-100000
Ubbelohde dilutionB(B)
Canon- Ubbelohde semimicro 0,4-20000
2) Holder viskometer yang mempunyai meniskus atas tepat di atas meniskus
paling bawah dan dengan sudut direksi tidak lebih dari 1o serta dilengkapi
dengan bak yang memiliki temperatur konstan.
3) Bak yang di lengkapi dengan kontrol temperatur dengan jarak suhu 15-100
oC dan dengan tingkat variasi ± 0,02oC sedangkan untuk kisaran suhu di
luar kisaran tersebut, tingkat variasi tidak lebih dari 0,05oC.
4) Termometer yang telah dikalibrasi dengan jarak suhu 0-100oC dan tingkat
keakuratan ± 0,02oC.
5) Alat pengukur waktu. Gunakan alat pengukur waktu yang dapat melakukan
pembacaan dengan tingkat akurasi hingga 0,1 detik.
Larutan-larutan:
1) Larutan pembersih asam kromat.
2) Pelarut contoh: toluene atau xylene.
3) Pelarut pengering viskometer: aceton.
4) Air destilasi.
48
Prosedur analisa:
1) Pastikan viskometer dalam keadaan kering dan bersih.
2) Sesuaikan dan jaga suhu bak viskometer pada suhu tes yang diinginkan
yaitu temperatur yang berada diantara 15-100oC. Ketika temperatur tes di
bawah titik embun, isi viskometer seperti pada tahap 3. Untuk memastikan
tidak ada embun dan kondensasi pada dinding kapiler, tutupi dengan
penutup karet dan masukan viskometer ke dalam bak. Kemudian biarkan
hingga dicapai temperatur yang diinginkan lalu buka penutup karet.
3) Pengukuran viskositas kinematik sampel
Saring sampel yang akan diukur dengan filter berukuran 75 µm.
Naikan suhu bak viskometer pada kisaran 15-100oC hingga diperoleh
kisaran waktu konstan, yaitu sekitar 30 menit.
Ketika viskometer telah mencapai kondisi yang diinginkan. Sesuaikan
ketinggian sampel dalam kapiler hingga garis batas pengisian setelah
suhu sampel mencapai temperatur yang seimbang. Ketinggian sampel
dalam kapiler tidak lebih dari 7 mm dari atas. Untuk sampel yang dapat
dengan mudah mengalir, pengukuran dilakukan dalam waktu 1-0,1 detik.
Waktu terukur merupakan waktu meniskus untuk melewati waktu
sasaran pertama menuju waktu sasaran kedua. Waktu yang dibutuhkan
sampel untuk mengalir tidak kurang dari 200 detik. Jika waktu yang
terukur kurang dari waktu tersebut, gunakan viskometer dengan
diameter yang lebih kecil dan ulangi pengukuran.
Tabel 9 Persamaan waktu alir bermacam produk bahan bakar
Base oil pada 40 dan 100 oC 0,0020 y 0,2 %
Minyak berformulasi pada 40 dan 100 oC
0,0013 y 0,13 %
Minyak berformulasi pada 150 oC 0,015 y 1.5 %
Petroleun wax pada 100 oC 0,0080 y 0.08 %
Residual fuel oil pada 80 dan 100 oC 0,011 (y+8)
Residual fuel oil pada 50 oC 0,017 y 1,7 %
Aditif pada 100 oC 0,00106 y
Gas oil pada 40 oC 0,0013 (y+1)
Jet fuel pada -20 oC 0,0018 y 0,18 %
y: nilai rata-rata waktu alir yang terukur
49
V = C x t
Ulangi langkah 3 untuk melakukan pengukuran yang kedua. Catat hasil
pengukuran. Jika hasil kedua pengukuran sesuai dengan spesifikasi
produk pada Tabel 4 di bawah, nilai viskositas kinematik dihitung
dengan merata-ratakan hasil kedua pengukuran. Jika hasil pengukuran
tidak sesuai, ulangi pengukuran dengan membersihkan dan
mengeringkan viskometer terlebih dahulu. Untuk penghitungan sampel
di luar sampel dalam Tabel 4, pengukuran pada kisaran suhu 15-100oC,
digunakan estimasi 0,20%, dan 0,35% untuk pengukuran di luar kisaran
suhu 15-100°C.
Perhitungan:
Dengan:
v = kinematik viskositas, mm2/dtk
C = calibration konstan viskometer, (mm2/dtk)/dtk
t = rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk mengalir, detik (dtk)
Gambar 28 Viscometer
50
c) Cetane Number (ASTM 613, 2000)
Cetane number adalah ukuran kualitas suatu pembakaran bahan baker diesel
yang dinyatakan dengan ketertundaan (delay) pembakaran bahan bakar,
yaitu selisih antara awal injeksi dan awal terjadinya pembakaran bahan bakar.
Lingkup:
Metode ini menentukan rating dari bahan bakar berdasarkan nilai cetane
number-nya dengan menggunakan silinder tunggal standar, mesin empat
langkah, rasio variabel tekanan.
Peralatan:
Peralatan mesin, menggunakan silinder tunggal yang terdiri dari pompa
crankcase.
Instrumen, terdiri dari:
1) Cetane meter
2) Peralatan dispensi bahan bakar
3) Buret 400-500 ml dengan toleransi ± 0,2 % dan telah dikalibrasi
4) Injektor
Reagen :
1) Pendingin jaket silinder, air dengan temperatur didih mencapai 100 ± 2
oC.
2) Minyak pelumas mesin crankcase.
3) n-cetane dengan tingkat kemurnian 99%.
4) heptamethylnonane dengan minimum kemurnian 98%.
5) Bahan bakar T dengan CNARV diantara 73-75 dan disimpan pada
temperatur di atas 0oC. Sebelum disimpan dalam suhu tersebut
sebaiknya dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 15oC di atas cloud
point-nya.
6) Bahan bakar U dengan CNARV diantara 20-22 dan disimpan pada
temperatur di atas 0oC. Sebelum disimpan dalam suhu tersebut
sebaiknya dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 15oC di atas cloud
point-nya.
7) Check fuels dengan grade sesuai dengan D 975, grade No. 2-D (lihat
Catatan Peringatan).
8) Low cetana check fuel dengan CNARV diantara 38-42.
51
9) High cetana check fuel dengan CNARV diantara 50-55.
Sampling:
Sampling dilakukan sesuai dengan D 4057, sampel difiltrasi dengan kertas
saring grade A pada suhu ruang, dan temperatur bahan bakar harus pada
suhu 18-32oC sebelum dilakukan pengetesan.
Pengaturan Instrumen dan standar operasi:
1) Instalasi peralatan.
2) Kondisi berdasarkan spesifikasi komponen:
Kecepatan 900 ± 9 rpm (pada saat pembakaran maximum) dan ± 3 rpm
(pada saat tidak terjadi pembakaran).
Valve timing:
- Digunakan mesin empat langkah.
- Intake valve opening 10,0 ± 2,5o after-top-dead-center (atdc) dengan
penutupnya pada 34 o after-bottom-dead-center (abcd).
- Exhaust valve opening pada 40o before-bottom-dead-center (bbdc)
dengan penutupannya pada 15,0 ± 2,5o after-top-dead-center.
Valve lift dengan kenaikan contour 6,223-6,350 mm dari bagian dasar
hingga bagian atas sehingga dihasilkan valve lift 6,045 ± 20,05 mm.
Pompa: dengan kemiringan roda antara 300-306o.
Fuel pump inlet pressure dengan laju alir diukur dengan mengunaka
buret sehingga dapat menjalankan 635 ± 25 mm di atas garis tengah
pompa inlet injeksi.
3) Pengaturan dan kondisi operasi
Arah rotasi mesin: rotasi crankshaft diamati dari depan.
Waktu injeksi : 13,0o before-top-dead-center (btdc).
Tekanan pembuka nozzle injektor : 10,3 ± 0,34 Mpa (1500 ± 50 psi).
Laju alir injeksi : 13,0 ± 0,2 ml/menit (60 ± 1 s per 13,0 ml).
Suhu pendingin injektor : 38 ± 3oC
4) Klep pengeluaran
Penghenti dan pendingin mesin: pengeluaran antara klep steam dan
klep rocker half-ball di atur pada:
klep intake 0,075 mm
klep exhaust 0,33 mm
52
penjalan dan pemanas mesin: jarak baik untuk klep intake dan exhaust
diatur pada 0,2 ± 0,025 mm.
Tekanan minyak: 172 – 207 kPa (25 -30 psi).
Temperatur minyak: 57 ± 8oC.
Temperaur jaket pendingin: 100 ± 2oC.
Basic ignition delay: 13,00 baik untuk sampel ataupun bahan bakar
referensi.
Batas jaket pendingin silinder:
- Penghenti dan pendingin mesin: air
- Penggerak mesin dan pemanas: level pendingin dalam kondensor
diantara ± 1 cm dari level panas dalam kondensor pendinginan.
Batas mesin crankacase minyak bumi:
Mesin penghenti dan pemanas: minyak ditambahkan ke dalam
crankcase sehingga mendekati bagian atas kaca penglihatan.
Crankcase tekanan internal: dinyatakan dengan manometer yang
dihubungkan kepada bagian dalam cranckcase, tekanan harus kurang
dari 0 (vakum) dan 25-150 mm dari air, kurang dari tekanan atmosfir.
Exhaust and crankcase breather system resonance.
Piston Over-Travel.
Tegangan sabuk: sabuk dihubungkan dengan roda ke motor absorbsi.
Pengaturan nozlle injeksi tekanan dan spray (lihat Catatan Peringatan).
Injektor pembuka tekanan: atur screw untuk melepaskan bahan bakar
pada tekanan 10,3 ± 0,34 Mpa (1500 ± 50 psi). Periksa pengaturan
dengan menggunakan nozzle injektor.
Periksa pola spray injektor.
Indeks handwheel reading:
- Mikrometer drum tangan dan pengatur skala, pada Tabel 10 berikut
disajikan handwheel reading yang tepat.
53
Tekanan kompresi= 3275 kPa x local baro/standar baro Untuk contoh, Tekanan kompresi = 3275 kPa x 710/760
= 3060 kPa
Tabel 10 Handwheel reading yang tepat
Diameter silinder Handwheel reading
3.250 Standard bore 1.000
3.260 Rebored 0.010 in oversize 0.993
3.270 Rebored 0.020 in oversize 0.986
3.280 Rebored 0.030 in oversize 0.978
- Basic setting of variable compression plug
- Settling handling reading
Basic Compression Pressure: pada saat hand wheel reading 1.000 dan
saat tekanan standar 760 mmHg tekanan standar sebaiknya
compression pressure mesin beroperasi pada 3275 ± 138 kPa. Untuk
mesin yang dioperasikan pada tekanan barometrik standar lain,
tekanan kompresi berbanding lurus dengan ratio tekanan barometrik
local dibagi dengan tekanan barometrik standar. Misalkan, tekanan
kompresi mesin pada barometrik 710 mmHg adalah 3060 ± 138 kPa
adalah:
Batas pompa minyak pelumas: batas minyak pelumas adalah pada
batas pencelupan.
Batas pompa minyak perseneling.
Prosedur Analisa:
1) Periksa kondisi mesin.
2) Masukan sampel ke dalam tangki bahan bakar, cuci buret, keluarkan
udara dari dalam pompa dan nyalakan mesin dengan mengatur posisi
klep fuel-selector.
3) Periksa laju alir bahan bakar (sampel) dan atur laju alir mikrometer dari
pompa bahan bakar agar berada pada kisaran 13 ml/menit. Proses
diakhiri jika sampel sudah penuh pada wktu 60±1 detik. Catat laju alir
mikrometer yang terbaca sebagai referensi.
4) Petunjuk waktu injeksi bahan bakar: setelah menentukan laju alir,
tentukan injeksi-waktu-mikrometerpompa pada 13,0 ± 0,2o.
54
5) Penundaan penyalaan, ubah posisi handwheel untuk merubah ratio
kompresi pada kisaran 13,0 ± 0,2o.
6) Pembacaan stabil diantara 5-10 menit, waktu yang dibutuhkan untuk
sampel dan reference haruslah konstan dan tidak lebih dari 3 menit.
7) Pembacaan handwheel: amati dan catat pembacaan handwheel sebagai
indikasi dari pembakaran sampel.
8) Bahan bakar referensi No.: pilih campuran bahan bakar referensi T dan U
untuk menentukan bilangan cetana sampel. Siapkan 400-500 ml
campuran bahan bakar referensi. Masukan campuran ini ke dalam tangki
bahan bakar yang tidak digunakan untuk memancarkan garis bahan
bakar yang sama dengan sampel. Lakukan langkah yang sama untuk
sampel.
9) Ambil bahan bakar referensi yang kedua dan lakukan hal yang sama.
Perbedaan antara bahan bakar referensi yang pertama dan kedua tidak
lebih dari 5,5. Persiapkan 400-500 ml bahan bakar referensi dan
kemudian masukan ke dalam tangki ketiga dan lakukan langkah yang
sama dengan point (9).
10) Ulangi pembacaan.
Perhitungan:
Keterangan:
CNs = bilangan cetana sampel
CNLRF = bilangan cetana bahan low reference fuel
CNHRF = bilangan cetana bahan high reference fuel
HWs = handwheel reading sampel
HWLRF = handwheel reading low reference fuel
HWHRF = handwheel reading high reference fuel
Catatan Peringatan
Check fuels bersifat mudah terbakar dan uapnya berbahaya.
Hindari kontak dengan spray dari nozzle injektor karena
bertekanan tinggi yang dapat berpenetrasi ke dalam kulit.
CNs = CNLRF + HWs – HWLRF (CNHRF – CNLRF)
HWHRF – HWLRF
55
Gambar 29 Cetane meter
d) Flash Point (ASTM 93, 2000)
Flash point merupakan suhu terendah dimana aplikasi suatu pembakar
(ignition) menyebabkan uap suatu specimen terbakar pada kondisi uji yang
spesifik. Suatu contoh menyala jika api secara nyata muncul dan merambat
secara spontan dan sempurna di atas permukaan contoh. Halo biru tidak
didefinisikan sebagai titik nyala.
Lingkup:
Metode ini meliputi penentuan flash point dari bahan bakar yang mempunyai
flash point diantara 40-360oC.
Peralatan:
Pensky-Martens closed cup flash test
Gas pembakar alami (ignition source)
Termometer
Tabel 11 Spesifikasi termometer
Jarak suhu Nomor termometer
ASTM IP
-5 sampai +110 oC 9 C 15 C
+10 sampai +200 oC 88 C 101 C
+90 sampai +370 oC 10 C 16 C
Reagen:
Pelarut pembersih test cup dari sampel: toluene atau aceton
Prosedur Analisa:
1) Isikan contoh ke dalam cup test hingga garis batas pengisian. Jaga suhu
cup test dan contoh pada kisaran suhu 18oC di bawah kisaran suhu flash
point yang diperkirakan. Tutup cup test dengan test cover.
56
2) Nyalakan test flame dan sesuaikan ukuran diameternya pada 3,2-4,8 mm
atau hidupkan tombol pengatur penyala dan sesuaikan intensitas
penyalaan sesuai dengan instruksi pabrik.
3) Atur kenaikan temperatur sebesar 5-6oC/menit dan aduk contoh dengan
menghidupkan pengaduk pada kecepatan putar 90-120 rpm.
4) Jika contoh mempunyai flash point di bawah 110oC, tambahkan gas
pembakar ketika temperatur mencapai 23 ± 5oC di bawah flash point yang
diperkirakan dan kenaikan temperatur dibaca pada saat kelipatan 1oC.
Hentikan pengadukan dan tambahkan gas pembakar dengan
mengoperasikan test cover. Jika flash point contoh di atas 110oC,
tambahkan gas pembakar seperti di atas pada saat suhu mencapai 23 ± 5
oC di bawah flash point yang diperkirakan dan setiap kenaikan suhu 2oC.
5) Untuk contoh yang belum diketahui nilai flash point-nya, lakukan tes pada
suhu 15 ± 5oC. Ketika contoh terlalu kental pada suhu tersebut, panaskan
contoh pada suhu 28oC di bawah suhu flash point yang diharapkan selama
30 menit. Tambahkan gas pembakar seperti pada point 4, pada saat suhu
mencapai 5oC lebih tinggi dari suhu awal.
6) Catat temperatur yang terbaca pada setiap penambahan gas pembakar
menimbulkan penyalaan yang jelas. Ketika gas pembakar menimbulkan
lingkaran biru, ini bukan flash point.
7) Ketika flash point terlihat pada penambahan pertama gas pembakar,
hentikan pengetesan, dan ulangi kembali tes dengan contoh yang baru.
Pada penambahan pertama gas pembakar dengan contoh yang baru, nilai
flash point yang terukur sebaiknya 23± 5oC di bawah suhu flash point yang
terbaca pada tes pertama.
8) Ketika flash point yang terdeteksi lebih besar dari 28oC di atas suhu pada
penambahan pertama gas pembakar, atau ketika flash point terdeteksi
kurang dari 18oC di atas temperatur pada penambahan pertama gas
pembakar, nilai yang terbaca akan di ukur rata-ratanya. Ulangi tes dengan
contoh yang baru. Sesuaikan nilai flash point pada tes berikutnya sehingga
mendekati suhu rata-rata yang dihasilkan. Penambahan pertama gas
pembakar dengan sampel yang baru ini harus 23± 5oC di bawah suhu rata-
rata yang diperoleh.
9) Peralatan dibersihkan dengan menurunkan suhu hingga kurang dari 55oC.
57
Corrected flash point = C + 0,25 (101,3 – K)
Corrected flash point = F + 0,06 (760 – P)
Corrected flash point = C + 0,033 (760 – P)
Perhitungan:
Keterangan :
C = nilai flash point yang terbaca, oC
F = nilai flash point yang terbaca, oF
P = tekanan ambient barometer pada saat pengukuran, mmHg
K= tekanan ambient barometer pada saat pengukuran, kPa.
Gambar 30 Pensky-Martens closed cup flash test
e) Uji Korosi Cu (ASTM 130, 2000)
Crude petroleum mengandung komponen sulfur yang kebanyakan dapat
dipisahkan selama pemurnian. Dimana, keberadaan komponen sulfur di
dalam produk petroleum dapat menyebabkan korosi pada beberapa jenis
metal dan tingkat korosivitas ini tidak selamanya berbanding lurus dengan
58
total sulfur. Sulfur ini menyebabkan efek yang berbeda tergantung dari
struktur kimia sulfur yang terkandung didalamnya.
Lingkup:
Metode ini melingkupi deteksi korosivitas kepada tembaga dari gasolin
penerbangan, bahan bakar turbin penerbangan, gasolin otomotiv, gasolin
alami atau hidrokarbon lainnya yang memiliki tekanan uap Reid tidak lebih
dari 18 psi (124 kPa), pelarut pembersih, kerosine, diesel, minyak bakar hasil
distilasi, minyak pelumas, dan produk petroleum tertentu lainya.
Peralatan:
Tabung tes yang dilengkapi dengan bath (water bath, oil bath, ataupun
alumunium block bath). Bath yang digunakan dilengkapi dengan control
suhu pada kisaran 50±1oC atau 100±1oC, atau keduanya, dan dilengkapi
dengan pemegang untuk memegang tabung tes dalam posisi vertikal dan
dapat dibenamkan hingga kedalaman sekitar 100 mm (4 in).
Copper strip corrosion test bomb yang terbuat dari stainles dan dilengkapi
dengan tes tekanan sebesar 100 psi (698 kPa), gasket karet sintetik pada
bagian dalam, tutup bomb, water bath dengan kontrol suhu pada kisaran
40±1oC atau 100±1oC, atau keduanya. Bath dilengkapi dengan pegangan
untuk memegang test bomb pada posisi vertikal. Bath harus cukup dalam
sehingga dapat membenamkan bomb selama pengetesan.
Termometer dengan graduasi 1oC atau kurang dan ketinggian raksa tidak
lebih dari 25 mm dibawah permukaan bath.
Clamp.
Viewing test tube.
Reagen:
1) Pelarut pencuci: pelarut hidrokarbon bebas sulfur yang tidak kusam pada
suhu tes 50oC seperti isooktana.
2) Bahan pemoles: kertas silcon carbide grit.
3) Copper strip
Spesifikasi: lebar strip 12,5 mm (1/2 in), tebal 1,5-3,0 mm, pemotong 75
mm dari permukaan smooth, keras, tingkat kemurnian cold-finished copper
99,9%.
59
Persiapan permukaan: hilangkan semua noda pada permukaan dari semua
strip dengan menggunakan silicon carbide paper. Sudahi dengan silicon
carbide paper 65 µm atau kain. Benamkan strip dalam pelarut pencuci.
Tempatkan selembar silicon carbide paper pada bagian datar permukaan,
basahi dengan kerosin atau pelarut pencuci, dan kucek strip dengan arah
berlawanan dengan silicon carbide paper dengan pergerakan memutar,
gunakan kertas saring bebas abu untuk menghindari strip kontak dengan
jari. Alternatif lain, persiapan dapat dilakukan dengan menggunakan motor
mesin untuk mengeringkan kertas atau kain.
4) Persiapan terakhir: pindahkan strip dari pelarut pencuci. Pegang dengan
menggunakan tangan. Gunakan kertas saring bebas abu untuk memegang
strip. Pertama poles bagian ujung dan kemudian sisi-sisi strip dengan 105
µm butiran-butiran silicon carbide yang diambil dari piringan gelas bersih
yang dialasi dengan kain wol yang telah dibasahi dengan beberapa tetes
pelarut pencuci. Keringkan dengan kain wol dan kemudian gunakan
pegangan satinless steel untuk memegangnya. Jangan memegangnya
langsung dengan tangan. Polesi permukaan dengan menggunakan butiran-
butiran silicon-carbide dalam cotton absorben. Jangan memolesi secara
melingkar. Kucek strip searah axis strip, bawa pemoles menjauhi bagian
ujung strip sebelum merubah arah pergerakan. Bersihkan semua debu-
debu metal yang terdapat pada strip dengan mengkucek-kucek dengan
menggunakan kain yang bersih. Ketika strip telah bersih, secepatnya
benamkan strip dalam sampel yang telah disiapkan.
Prosedur analisa:
1) Tempatkan 30 ml sampel yang bebas dari suspensi atau air ke dalam
tabung tes yang telah dibersihkan, 1 menit setelah preparasi akhir,
masukan copper strip ke dalam tabung sampel. Tutup dengan penyumbat
gabus dan tempatkan dalam bath pada suhu 50 ± 1 oC. Jaga tabung tes
dari cahaya langsung. Setelah 3 jam ± 5 menit di dalam bath, cek strip
seperti yang di jelaskan pada poin (2). Untuk minyak bakar dan diesel,
untuk spesifikasi selain yang dijelaskan pada D396 dan D 975, gunakan
temperatur tes pada suhu 100 oC selama 3 jam.
2) Pengecekan strip
60
Kosongkan isi tabung tes ke dalam beaker 150 ml, biarkan strip meluncur
secara perlahan untuk menghindari beaker pecah. Secepatnya pindahkan
strip dan benamkan strip dalam pelarut pencuci. Pindahkan strip dan
keringkan dengan kertas saring. Periksa kekusaman atau korosivitas
dengan membandingkannya dengan copper strip corrosion standar.
Pegang kedua strip, baik strip tes dan strip standar, dan lihat cahaya yang
terefleksi pada kemiringan 45o.
Catatan peringatan:
Isooctana bahan mudah terbakar, hindarkan dari panas. Tempatkan pada
tempat tertutup, gunakan ventilasi yang cukup. Hindarkan penghirupan uap
isooktana dan hindarkan kontak dengan kulit.
Gambar 31 Water bath
f) Uji Air dan Sedimen (ASTM 2709, 2000)
Metode ini melingkupi penentuan volume air bebas dan sedimen di dalam
bahan bakar yang mempunyai viskositas pada suhu 40oC dalam kisaran 1.0-
4.1 mm2/dtk dan densitas dalam kisaran 770–900 kg/m3.
Peralatan:
Sentrifuse, dengan kapasitas 2 atau lebih tabung tes pada kecepatan yang
dapat dikontrol untuk memberikan relative centrifugal force (rcf) 800 ± 60
61
dan dilengkapi dengan penutup terbuat dari logam. Data dalam Tabel 12
dapat digunakan sebagai acuan untuk memilih jenis sentrifuse yang tepat.
Tabel 12 Spesifikasi sentrifuse
Diameter Swing Rpm pada 500 rcf
Rpm pada 800 rcf
in Cm
12 30.5 1710 2160
13 33.0 1650 2080
14 35.6 1590 2000
15 38.1 1530 1930
16 40.6 1480 1870
17 43.2 1440 1820
18 45.7 1400 1770
19 48.3 1360 1720
20 50.8 1330 1680
21 53.3 1300 1640
22 55.9 1270 1600
23 58.4 1240 1560
24 61.0 1210 1530
dengan:
Rcf = relative centrifugal force
d = diameter swing (cm), atau
Tabung tes sentrifuse 100 ml berbentuk cone yang dapat melakukan
pengukuran 0,01 ml.
Tabung tes sentrifuse 100 ml, pear-shape, dengan graduasi 0,01 ml.
Prosedur analisa:
1) Kocok sampel dengan tangan atau menggunakan shaker selama 10 menit
hingga homogen.
2) Masukan sampel ke dalam tabung tes sentrifuse, tutup dan tempatkan
dalam sentrifuse dengan posisi satu sama lain berlawanan dan pusingkan
selama 10 menit pada kecepatan yang tepat untuk memperoleh rcf 800 ±
60. Ukur air dan jumlah sedimen pada bagian bawah tabung tes.
3) Laporkan volume air dan sedimen yang terukur sebagai persentase dari
total sampel.
Rpm = 422√𝑟𝑐𝑓
𝑑
62
Gambar 32 Sentrifuse
g) Uji Destilasi (ASTM 1160, 2000)
Lingkup:
Metode ini dapat digunakan untuk produk-produk yang dapat teruapkan
secara sempurna pada suhu 400oC.
Peralatan:
peralatan destilasi vakum yang terdiri dari: 1) labu destilasi kapasitas 500
ml dan terbuat dari gelas borosilikat yang dilengkapi dengan mantel
pemanas, 2) jaket kolom vakum yang terbuat dari gelas borosilikat,
dilengkapi dengan kondesor, bagian atas dilengkapi penutup dengan jaket
vakum gelas dengan tekanan di bawah 10-5 pa (10-7 mm hg). Kondensor
memiliki adapter untuk menghubungkan dengan sumber vakum dan
dilengkapi dengan penerang yang tergantung pada posisi 5 mm di bawah
10 ml batas yang dapat diterima, 3) platinum resistance thermometer (prt)
sensor untuk menentukan temperatur penguapan dengan tingkat akurasi ±
0,5oc, jarak suhu 0-400oc, dan dapat merespon waktu kurang dari 200
detik. Letak sensor temperatur penguapan sangat kritis. Elemen sensor
63
harus diletakan di tengah dengan bagian atas sensor berada 3 ± 1 mm di
bawah titik spillover (titik tumpah), 4) receiver yang terbuat dari gelas
borosilikat. Jika receiver merupakan bagian dari mesin automatis, dan
terdapat dalam chamber maka tidak diperlukan jaket, 5) vakum gage yang
dapat mengukur dengan tingkat akurasi 0,01 kpa pada jarak di bawah
tekanan absolut 1 kp dan dengan tingkat akurasi 1% di atas tekanan
tersebut. Hubungkan vakum gage ke sisi tabung sensor temperatur/vakum
adapter dari kolom distilasi, 6) sistem pengatur tekanan yang mampu
menjaga tekanan konstan hingga 0,01 kpa pada tekanan absolut 1 kpa dan
pada tekanan di bawahnya dan sekitar 1% pada tekanan absolut 1 kpa dan
tekanan di atasnya. Hubungkan sistem pengatur ini ke bagian atas tabung
kondensor, 7) sumber vakum yang dilengkapi dengan pompa vakum dan
beberapa tangki serta mampu menjaga temperatur konstan hingga 1%.
Hubungkan sumber vakum dengan kondensor dengan menggunakan
vakum adaptor. Pada pompa single, sumber vakum mempunyai kapasitas
kurang lebih 850 l/menit (30 cfm) pada tekana 100 kpa dan pada pompa
double dapat digunakan kapasitas yang sama ataupun lebih. Tangki
mempunyai kapasitas kurang lebih 5 l, 8) cold traps, ditempatkan diantara
bagian atas kondensor dan sumber vakum untuk merekover komponen
dalam distilat yang tidak terkondensasi. cold trap mempunyai suhu di
bawah -40oc. Pada umumnya digunakan cairan nitrogen (catatan
peringatan: jika terdapat udara dalam jumlah besar dalam sistem dan
nitrogen cair digunakan sebagai pendingin, nitrogen dapat mendinginkan
udara. Jika hidrokarbon juga terperangkap dan terkondensasi akan
menimbulkan kemungkinan terjadinya ledakan pada step 10 dan 12.
Disamping itu copld trap ditempatkan diantara sensor temperatur/vakum
adaptor dan vakum gage untuk menghindari terkontaminasinya gage oleh
komponen yang mempunyai titik didih rendah dalam distilat, 9) sumber
udara bertekanan rendah atau karbon dioksida, untuk mendinginkan labu
dan pemanas pada akhir distilasi, 10) sumber nitrogen bertekanan rendah,
11) layar pengaman (safety screen) untuk memisahkan operator dari
peralatan distilasi dan direkomendasikan terbuat dari bahan kaca yang kuat
dengan ketebalan 6 mm, 12) sistem sirkulasi pendingin yang mampu
mensuplai pendingin ke receiver dan sistem kondensor pada temperatur ±
64
3oC dan dengan jarak suhu 30-80oC. pada peralatan otomatis sistem
sirkulator hanya mensuplai pada sistem kondensor saja.
Reagen:
1) n-Tetradekan.
2) n-Heksadekan.
3) Silikon cair
4) Minyak silikon yang mampu digunakan untuk waktu yang lama pada
temperatur di atas 350oC.
5) Toluene.
Prosedur analisa:
1) Atur temperatur pendingin kondensor pada suhu sekitar 30oC di bawah
temperatur penguapan bahan yang akan diamati.
2) Berdasarkan berat jenisnya, timbang sampel dalam labu pada temperatur
receiver hingga ekivalen dengan 200 ml.
3) Lumasi peralatan distilasi dengan pelumas yang cocok. Pastikan bahwa
permukaan kunci-kunci peralatan dalam keadaan bersih. Pasang labu,
tempatkan pemanas di bawah labu, pasang mantel dan tempatkan
peralatan dengan menggunakan clamp.
4) Tetesi bagian bawah pemanas labu dengan dengan beberapa tetes
minyak silikon dan masukan sensor temperatur pada bagian bawah.
5) Nyalakan pompa vakum dan amati isi labu terhadap keberadaan busa.
Jika sampel berbusa, biarkan tekanan untuk naik hingga busa berkurang.
6) Pindahkan peralatan hingga tekanan mencapai tingkat yang diinginkan.
Gagalkan untuk mencapai tekanan destilasi atau timbulnya keadaan
kenaikan yang teratur dari tekanan dengan mematikan pompa. Biarkan
sistem berada dalam kondisi atmosfir dengan menggunakan nitrogen.
7) Setelah dicapai tekanan yang diinginkan, nyalakan pemanas dan biarkan
secepat mungkin memanasi labu tanpa menyebabkan terjadinya busa
pada sampel. Secepatnya uapkan atau reflux cairan yang muncul pada
leher labu, atur laju pemanasan sehingga diperoleh laju 6-8 ml/menit.
8) Catat temperatur, waktu, dan tekanan terjadinya penguapan pada saat
volume yang terkumpul dalam receiver mencapai: IBP, 5, 10, 20, 30, 40,
50, 60, 70, 80, 90, 95, dan pada titik terakhir. Jika temperatur larutan
mencapai 400oC atau mencapai temperatur maksimum sebelum titik
65
terakhir teramati, catat temperatur penguapan yang terbaca dan total
volume yang direkover pada saat distilasi dihentikan. Ketika produk hasil
destilasi di tes, catat semua hasil yang diperoleh.
9) Jika terjadi kenaikan tekanan pada tekanan yang diamati, tutupi dengan
uap putih yang terbentuk dan tetesi pada temperatur penguapan, bahan
yang sedang didestilasi akan pecah membentuk molekul ber-BM (Berat
Molekul) rendah. Hentikan proses destilasi dan catat hasil yang di
peroleh. Jika perlu, lakukan proses destilasi kembali dengan
menggunakan sampel yang baru.
10) Turunkan pemanas labu pada posisi 5-10 cm dan dinginkan labu dan
pemanas dengan mengalirkan karbondioksida. Turunkan tekanan alat
destilasi dengan nitrogen kering atau karbondioksida, jika perlu lepaskan
mantel sebelum suhu mencapai di bawah 200oC.
11) Naikan temperatur cold trap sebelum sumber vakum mencapai
temperatur ambient. Rekover, ukur, dan catat volume produk yang
terkumpul dalam trap.
12) Pindahkan receiver dan ganti dengan yang lain. Pindahkan labu dan ganti
dengan yang lain yang telah diisi pelarut pembersih. Lakukan destilasi
pada tekanan atmosfir untuk membersihkan peralatan. Setelah
dibersihkan, pindahkan labu dan receiver kemudian keringkan alat
dengan menggunakan udara atau nitrogen.
Gambar 33 Berbagai macam labu
66
h) Uji Sulfated Ash (ASTM 874, 2000)
Debu sulfat adalah residu yang tertinggal setelah sample dikarbonisasi dan
umumnya residu ini kemudian di treatment dengan menggunakan asam
klorida dan dipanaskan hingga berat konstan.
Lingkup:
Metode ini meliputi pengukuran debu sulfat dari produk yang mempunyai
kandungan debu sulfat di bawah 0.02 % (b/b).
Peralatan:
Evaporating dish atau crucible (piringan dari metal untuk memanaskan
pada suhu tinggi), dengan kapasitas 50-100 ml untuk sampel yang
mengandung lebih dari 0,02 % (b/b) debu sulfat, atau 120-150 ml untuk
sampel yang mengandung debu sulfat kurang dari 0,02 % (b/b).
Tanur.
Timbangan yang mampu menimbang hingga 0,1 mg.
Reagen:
1) Air.
2) Minyak dengan kandungan mineral rendah.
3) Asam sulfat (1:1) yang dibuat dengan melarutkan asam sulfat pekat
(densitas relatif 1,84) ke dalam 1 volume air dan diaduk dengan cepat
(lihat Catatan Peringatan).
4) Propan-2-ol (lihat Catatan Peringatan).
5) Toluene.
6) Sampel QC.
Prosedur analisa:
1) Pilih ukuran piringan yang sesuai dengan jumlah sampel yang akan
digunakan.
2) Panaskan piringan yang akan digunakan pada suhu 775 ± 25oC, untuk
piringan alumunium pemanasan dilakukan selama 10 menit. Dinginkan
piringan hingga suhu ruang dalam desikator dan timbang.
3) Timbang sampel dalam piringan dengan mengikuti persamaan dibawah
ini:
W = 10
𝑎
67
Dengan:
W = berat sampel (g)
a = kandungan debu yang diharapkan (% b/b)
Jangan gunakan sampel lebih dari 80 g. Untuk sampel yang mengandung
debu sulfat 2 % (b/b) atau lebih, larutkan sampel yang telah ditimbang 10
x berat sampel minyak mineral dengan kandungan debu sulfat yang
rendah.
4) Panaskan piringan yang telah berisi sampel secara hati-hati hingga
sampel terlihat menyala. Jaga temperatur pada saat sampel mulai
terbakar. Ketika pembakaran berhenti, lanjutkan pemanasan hingga asap
menghilang. Jika sampel yang digunakan mengandung air, tambahkan 1-
2 ml propan-2-ol 99 % pada sampel sebelum dipanaskan, jika tidak cukup
tambahkan 10 ml campuran toluene dan prona-2-ol (1:1). Tempatkan
beberapa kertas saring yang tidak mengandung abu (kertas saring
organik) dalam campuran dan panaskan, ketika kertas mulai terbakar,
sebagian besar air akan hilang.
5) Dinginkan piringan hingga temperatur ruang kemudian tetesi residu
dengan beberapa tetes larutan asam sulfat. Panaskan piringan pada
temperatur rendah dengan hati-hati di atas hoteplate, hindari percikan,
dan lanjutkan pemanasan hingga terlihat asap tidak lama menghilang.
6) Tempatkan piringan dalam tanur pada suhu 775 ± 25oC dan lanjutkan
pemanasan hingga semua karbon teroksidasi.
7) Dinginkan piringan pada suhu ruang kemudian tambahkan 3 tetes air dan
10 tetes larutan asam sulfat dalam air (1:1). Kemudian panaskan piringan
seperti pada tahap (5).
8) Kemudian panaskan kembali piringan dalam tanur pada suhu 775 ± 25oC
selama 30 menit. Dinginkan piringan hingga suhu ruang dalam desikator
dan kemudian timbang.
9) Ulangi langkah (8) hingga diperoleh berat konstan, tidak lebih dari 1,0 mg.
10) Untuk sampel yang diharapkan mengandung abu sulfat 0,02% atau
kurang, tentukan blanko dengan menggunakan asam sulfat dengan
menambahkan 1 ml asam sulfat pekat ke dalam piringan yang telah
diketahui beratnya. Kemudian panaskan hingga uap tidak lama
68
mengembang lalu panaskan piringan dalam tanur pada suhu 775 ± 25oC
selama 30 menit. Dinginkan piringan hingg asuhu ruang dalam desikator
dan timbang hingga diperoleh berat konstan (mendekati 0,1 mg). Jika
diketahui bahwa asam sulfat yang digunakan mengandung debu, kurangi
berat debu sulfat dengan berat debu dari asam sulfat, yang ditentukan
dari total volume asam sulfat yang digunakan dan berat debu yang
ditemukan untuk 1 ml blanko, dari total gram debu sulfat dari sampel.
Perhitungan:
Keterangan :
w = berat debu sulfat (g)
W = berat sampel (g)
Catatan peringatan:
Pencampuran asam dalam air akan menimbulkan panas, sehingga pada
pencampuran, dinginkan larutan sebelum menambahkan lebih banyak
asam. Jangan biarkan larutan hingga mendidih.
Propanol adalah bahan mudah terbakar dan dapat terbakar ketika
dipanaskan.
Toluene adalah bahan mudah terbakar dan toksik.
Gambar 34 Evaporating dish
Debu sulfat (% b/b) = 𝑤
𝑊𝑥100
69
i) Uji Standar untuk Kadar Fosfor (FBI-A05-03)
Prosedur pengujian ini digunakan untuk menentukan kadar fosfor dalam
biodiesel yang dihasilkan melalui pengabuan contoh biodiesel ester alkil yang
telah ditambahi seng oksida (ZnO), disusul dengan pengukuran
spektrofotometrik fosfor sebagai kompleks asam fosfomolibdat yang berwarna
biru.
Lingkup:
Dapat diterapkan untuk biodiesel yang berupa ester alkil (metil, etil, isopropil,
dsb.) dari asam-asam lemak.
Peralatan yang diperlukan:
Krus-krus Vycor (atau yang ekivalen)–mampu menahan temperatur
oven/tungku muffle/pemanas sampai paling sedikitnya 600oC, kapasitas 50
ml.
Kaca masir (kaca arloji) diameter 75 mm.
Pelat pemanas listrik dengan pengendali reostat.
Oven/tungku muffle/pemanas dengan pirometer dan pengendali yang
sesuai untuk mempertahankan temperatur 550–600oC.
Corong gelas bertangkai pendek dan berdiameter 50 mm.
Kertas saring tak berabu, diameter 90 mm, Whatman no. 42 atau yang
ekivalen.
Botol pencuci 1 liter, untuk pencucian dengan air panas.
Labu-labu ukur/takar volumetrik 50, 100, 250, dan 500 ml, masing-masing
bertutup gelas.
Pipet-pipet seukuran 2, 5, 10 dan 25 ml.
Pipet tipe mohr, 10 ml, dengan skala 0,1 ml.
Spektrofotometer yang mampu mengukur absorbansi pada 650 nm dengan
keakuratan 0,5 %.
Kuvet-kuvet 1,000±0,005 cm, cocok untuk daerah sinar tampak.
Reagen:
1) Asam khlorida (HCl) pekat berat jenis 1,19 (lihat Catatan peringatan).
2) Seng oksida (ZnO) mutu reagen (reagen grade atau p.a.)
3) Pelet-pelet kalium hidroksida (KOH) mutu reagen (lihat Catatan
peringatan).
4) Asam sulfat (H2SO4) pekat berat jenis 1,84 (lihat Catatan peringatan).
70
5) Natrium molibdat mutu reagen.
6) Hidrazin sulfat mutu reagen (lihat Catatan peringatan).
7) Kaliumdihidrogen fosfat (KH2PO4) mutu reagen; dikeringkan dahulu
selama 2 jam pada 101oC sebelum digunakan.
Larutan-larutan:
1) Natrium molibdat
Cara pembuatan: Tambahkan hati-hati 140 ml asam sulfat pekat ke dalam
300 ml akuades. Dinginkan sampai temperatur kamar dan tambahi 12,5
gram natrium molibdat. Pindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar
500 ml dan encerkan dengan akuades sampai ke garis batas-takarnya,
campurkan baik-baik dan biarkan larutan selama 24 jam sebelum
digunakan.
2) Hidrazin sulfat 0,015 %
Cara pembuatan: Larutkan 0,150 gram hidrazin sulfat ke dalam 1 liter
akuades.
3) Larutan kalium hidroksida 50 %-b
Cara pembuatan: Larutkan 50 gram KOH ke dalam 50 gram akuades dan
dinginkan hingga temperatur kamar (lihat Catatan peringatan).
4) Larutan fosfat standar
(a). Larutan standar untuk stok
Cara pembuatan: Larutkan 1,0967 gram KH2PO4 kering (reagen 7) ke
dalam sejumlah akuades, pindahkan secara kuantitatif ke dalam labu
takar 250 ml dan encerkan dengan akuades hingga ke garis batas-
takarnya, kemudian campurkan baik-baik. Larutan ini mengandung 1
miligram fosfor per mililiter.
(b). Larutan standar untuk kerja
Cara pembuatan: Pipet 5 ml larutan standar untuk stok dan kucurkan ke
dalam labu takar 500 ml. Encerkan hingga ke garis batas-takar dengan
akuades dan campurkan baik-baik. Larutan ini mengandung 0,01 miligram
fosfor per mililiter.
71
Prosedur analisa:
1) Timbang 3,0–3,2 ± 0,001 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam krus
Vycor. Tambahi 0,5 gram seng oksida (ZnO).
2) Panaskan pelahan pada pelat pemanas listrik sampai contoh mengental.
Kemudian tingkatkan pemanasan pelahan-lahan sampai massa
sempurna menjadi arang.
3) Tempatkan krus di dalam oven/tungku muffle/pemanas pada 550–600°C
dan biarkan di sana selama 2 jam. Sesudah ini, keluarkan dari
oven/tungku dan biarkan mendingin hingga temperatur kamar.
4) Tambahkan 5 mililiter akuades dan 5 ml HCl pekat kepada abu di dalam
krus tersebut.
5) Tutup krus dengan kaca masir/arloji dan panaskan sampai mendidih
pelahan selama 5 menit.
6) Saring larutan ke dalam labu takar 100 ml. Bilas sisi dalam kaca
masir/arloji dan dinding dalam krus dengan kira-kira 5 ml akuades panas,
dengan menggunakan botol pencuci dan pancaran air yang halus.
Kemudian, bilas lagi krus dan kertas saring dengan 4 x 5 ml akuades
panas.
7) Dinginkan larutan hingga temperatur kamar dan netralkan sampai agak
keruh dengan penambahan tetes demi tetes larutan KOH 50%.
Tambahkan tetes demi tetes HCl pekat agar seng oksida tepat melarut
dan kemudian tambahkan lagi 2 tetes HCl pekat. Encerkan larutan
sampai ke garis batas-takar dan campurkan baik-baik.
8) Pipet 10 ml larutan dari labu takar ke dalam labu takar 50 ml (lihat
Catatan no. 1).
9) Tambahkan berturut-turut 8,0 ml larutan hidrazin sulfat dan 2,0 ml larutan
natrium molibdat.
10) Tutup labu takar, jungkirkan 3 atau 4 kali. Longgarkan tutupnya dan
panaskan selama 10 ± 0,5 menit di dalam bak air yang mendidih kuat.
11) Singkirkan labu dari bak air mendidih, dinginkan sampai 25±5oC dalam
bak air dingin. Sesudahnya, encerkan dengan akuades sampai garis
batas-takar dan campurkan baik-baik (lihat Catatan no. 2).
12) Isikan larutan ke dalam kuvet yang bersih dan kering. Kemudian ukur
absorbansinya pada 650 nm. Sebelumnya, spektro fotometer harus diset
72
berpembacaan 0% absorbansi (100% transmitansi) untuk kuvet berisi
akuades (lihat Catatan no. 1).
13) Siapkan reagen blangko dengan mengikuti prosedur no. 1 s/d no. 12
tetapi tanpa ada contoh biodiesel ester alkil.
14) Ukur kadar fosfor larutan contoh dan larutan blangko via pembandingan
dengan kurva standar yang diperoleh sebagai berikut :
Pembuatan kurva standar:
Pipet 0,0; 1,0; 2,0; 4,0; 6,0; 8,0 dan 10,0 ml larutan standar untuk kerja
(larutan 4b) ke dalam labu-labu takar 50 ml dan kemudian lakukan
prosedur no. 9 s/d no. 12. Catat absorbansinya sebagai respons
terhadap 0,0; 0,01; 0,02; 0,04; 0,06; 0,08 dan 0,1 miligram fosfor.
Plot absorbansi tiap standar ini terhadap kadar fosfornya dalam
miligram pada suatu kertas grafik berskala linier.
Perhitungan:
Kadar fosfor (%-b) = 10(𝐴 − 𝐵)
𝑉 𝑥 𝑊
dengan:
A = kadar fosfor di dalam kuvet contoh yang dianalisis, mg
B = kadar fosfor di dalam kuvet berisi larutan blangko, mg.
W = berat contoh biodiesel ester alkil, g.
V = volume larutan yang dipipet pada prosedur no. 8.
Catatan peringatan:
Asam klorida (HCl) pekat adalah asam kuat dan akan menyebabkan kulit
terbakar. Uapnya menyebabkan peracunan jika terhirup dan terhisap serta
menimbulkan iritasi kuat pada mata dan kulit. Jas dan sarung tangan
pelindung harus dipakai ketika bekerja dengan asam ini. Penanganannya
disarankan dilakukan dalam lemari asam yang beroperasi dengan benar.
Pada pengenceran, asam harus selalu yang ditambahkan ke air/akuades
dan bukan sebaliknya.
Kalium hidroksida (KOH), seperti alkali-alkali lainnya, dapat membakar
parah kulit, mata dan saluran pernafasan. Kenakan sarung tangan karet
tebal dan pelindung muka untuk menangkal bahaya larutan alkali pekat.
Gunakan peralatan penyingkir asap atau topeng gas untuk melindungi
saluran pernafasan dari uap atau debu alkali. Pada waktu bekerja dengan
73
bahan-bahan sangat basa seperti kalium hidroksida, tambahkan selalu
pelet-pelet basa ke air/akuades dan bukan sebaliknya. Alkali bereaksi
sangat eksoterm jika dicampur dengan air; persiapkan sarana untuk
mengurung larutan basa kuat jika bejana pencampur sewaktu-waktu
pecah/retak atau bocor akibat besarnya kalor pelarutan yang dilepaskan.
Asam sulfat adalah asam kuat dan akan membakar parah kulit. Kenakan
jas dan sarung tangan pelindung jika bekerja dengan asam ini. Karena
merupakan oksidator kuat, asam sulfat tak boleh disimpan di dekat bahan-
bahan organik. Pencampurannya dengan air harus dilakukan dengan
sangat hati-hati karena pelepasan kalor yang besar dapat membangkitkan
cipratan yang eksplosif. Selalu tambahkan asam sulfat ke dalam
air/akuades dan bukan sebaliknya.
Hidrazin sulfat dapat menyebabkan iritasi mata, kulit dan membran
tenggorokan serta kerusakan liver dan ginjal. Senyawa ini diketahui
karsinogen bagi binatang-binatang percobaan laboratorium dan
mengakibatkan tumor-tumor liver dan paru-paru pada tikus, sehingga
dicurigai karsinogen pula bagi manusia. Kesiagaan dalam menangani zat
ini mencakup penggunaan sarung tangan, pelindung mata dan saluran
pernafasan. Hindari penghirupan debu atau serbuknya. Buang bahan dan
larutan bekasnya secara layak dan aman.
Catatan bernomor:
1) Jika absorbansi dari larutan berwarna yang diukur pada prosedur no. 12
ternyata terlalu tinggi (> 0,9 atau 90 %), pipet sejumlah larutan yang lebih
kecil dari yang dinyatakan dalam prosedur no. 12 (misalnya saja 2,0 ml),
encerkan hingga 10 ml dengan penambahan akuades via pipet tipe mohr
dan lanjutkan seperti diuraikan prosedur no. 9 s/d no. 12.
2) Contoh-contoh yang berkadar fosfor tinggi masih bisa memberikan
absorbansi >Z 0,9 (atau 90 %). Jika hal ini ditemui, pipet 10 ml larutan
contoh yang dibuat dengan prosedur no. 7 ke dalam labu takar 100 ml
dan encerkan sampai ke garis batas takarnya dengan akuades.
Laksanakan urutan pengembangan warna yang diuraikan dalam prosedur
no. 8 s/d no. 12 dengan contoh terpipet yang sesuai dan diencerkan
sampai 10 ml dengan akuades. Kalikan kadar fosfor yang diperoleh
dengan persamaan pada bagian “Perhitungan” dengan faktor
74
pengenceran (10 jika mengikuti prosedur yang diuraikan pada paragraf
ini).
3) Selang waktu antara pengembangan warna dalam prosedur no. 11 dan
pengukuran absorbansi dalam prosedur no. 12 tak boleh terlalu lama.
Gambar 35 Krus-krus Vycor
j) Uji Standar untuk Bilangan Asam (FBI-A01-03)
Prosedur pengujian ini digunakan untuk menentukan bilangan asam biodiesel
dengan proses titrimetri. Bilangan asam adalah banyak miligram KOH yang
dibutuhkan untuk menetralkan asam-asam bebas di dalam satu gram contoh
biodiesel; sekalipun terutama terdiri dari asam-asam lemak bebas, sisa-sisa
asam mineral, jika ada, juga akan tercakup di dalam angka asam yang
ditentukan dengan prosedur ini.
Lingkup:
Dapat diterapkan untuk biodiesel yang berupa ester alkil (metil, etil, isopropil,
dsb) dari asam-asam lemak serta berwarna pucat.
Peralatan yang diperlukan:
Labu-labu erlenmeyer 250 atau 300 ml.
Buret mikro, 10 ml, dengan skala 0,02 atau 0,05 ml.
Neraca analitik dengan ketelitian ukur ± 0,05 gram atau lebih baik.
75
Larutan-larutan:
1) Larutan 0,1 N kalium hidroksida di dalam etanol 95%-v (atau jika tak
tersedia etanol 95 %-v, isopropanol kering/absolut).
Cara pembuatan: Refluks campuran 1,2 liter etanol 95%-v (lihat Catatan
peringatan) dengan 10 gram KOH dan 6 gram pelet aluminium (atau
aluminum foil) selama 1 jam dan kemudian langsung distilasikan; buang
50 ml distilat awal dan selanjutnya tampung 1 liter alkohol distilat
berikutnya dalam wadah bersih bertutup gelas. Larutkan 7 gram KOH
mutu reagen atau pro analisis ke dalam 1 liter alkohol distilat tersebut;
biarkan selama 5 hari untuk mengendapkan pengotor-pengotor dan
kemudian dekantasikan larutan jernihnya ke dalam botol gelas coklat
bertutup karet. Normalitas larutan ini harus diperiksa/distandarkan setiap
akan digunakan (lihat Catatan no.1).
2) Larutan indikator fenolftalein.
Cara pembuatan: 10 gram fenolftalein dilarutkan ke dalam 1 liter etanol
95%-v.
3) Campuran pelarut yang terdiri atas 50%-v dietil eter – 50%-v etanol 95%-
v, atau 50%-v toluen – 50%-v etanol 95%-v atau 50%-v toluen – 50%-v
isopropanol. (lihat Catatan peringatan). Campuran pelarut ini harus
dinetralkan dengan larutan KOH (larutan no. 1) dan indikator fenolftalein
(larutan no. 2, sebanyak 0,3 ml per 100 ml campuran pelarut), sesaat
sebelum digunakan.
Prosedur analisa:
1) Timbang 19–21 ± 0,05 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam sebuah
labu erlenmeyer 250 ml.
2) Tambahkan 100 ml campuran pelarut yang telah dinetralkan ke dalam
labu Erlenmeyer tersebut.
3) Dalam keadaan teraduk kuat, titrasi larutan isi labu erlenmeyer dengan
larutan KOH dalam alkohol sampai kembali berwarna merah jambu
dengan intensitas yang sama seperti pada campuran pelarut yang telah
dinetralkan di atas. Warna merah jambu ini harus bertahan paling
sedikitnya 15 detik. Catat volume titran yang dibutuhkan (V ml).
76
Perhitungan:
Angka asam (Aa) = 56,1 𝑥 𝑉 𝑥 𝑁
𝑚 mg KOH/g biodiesel
dengan:
V = volume larutan KOH dalam alkohol yang dibutuhkan pada titrasi (ml).
N = normalitas eksak larutan KOH dalam alkohol.
M = berat contoh biodiesel ester alkil (g).
Nilai bilangan asam yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua desimal
(dua angka di belakang koma).
Catatan peringatan:
Etanol (etil alkohol) adalah mudah terbakar. Lakukan pemanasan atau
penguapan pelarut ini di dalam lemari asam.
Kalium hidroksida (KOH), seperti alkali-alkali lainnya, dapat membakar
parah kulit, mata dan saluran pernafasan. Kenakan sarung tangan karet
tebal dan pelindung muka untuk menangkal bahaya larutan alkali pekat.
Gunakan peralatan penyingkir asap atau topeng gas untuk melindungi
saluran pernafasan dari uap atau debu alkali. Pada waktu bekerja dengan
bahan-bahan sangat basa seperti kalium hidroksida, tambahkan selalu
pelet-pelet basa ke air/akuades dan bukan sebaliknya. Alkali bereaksi
sangat eksoterm jika dicampur dengan air; persiapkan sarana untuk
mengurung larutan basa kuat jika bejana pencampur sewaktu-waktu
pecah/retak atau bocor akibat besarnya kalor pelarutan yang dilepaskan.
Dietil eter sangat mudah menguap dan terbakar serta dapat membentuk
peroksida yang eksplosif. Tangani dengan hati-hati.
Toluen sangat mudah terbakar dan merupakan sumber risiko kebakaran.
Batas eksplosifnya dalam udara adalah 1,27 – 7%-v. Zat ini juga toksik jika
termakan, terhisap atau terabsorpsi oleh kulit. Angka ambang
kehadirannya di udara tempat kerja adalah 100 ppm-v. Karena ini,
penanganannya harus dilakukan di dalam lemari asam.
Isopropanol (atau isopropil alkohol atau propanol-2) adalah zat mudah
terbakar. Batas eksplosifnya di dalam udara adalah 2 – 12%-v. Zat ini
77
toksik jika termakan dan terhisap. Angka ambang kehadirannya di udara
tempat kerja adalah 400 ppm-v.
Catatan bernomor:
1) Standarisasi (penentuan normalitas) larutan KOH dalam alkohol (≈ 0,1 N).
Prosedur A: dengan kalium hidrogen ftalat. Timbang seksama kira-kira
100 mg kalium hidrogen ftalat kering (KHC8H4O4) dan larutkan dalam
sebuah gelas piala ke dalam 100 ml akuades. Tambahkan 0,5 ml larutan
indikator fenolftalein. Isi buret dengan larutan KOH dalam alkohol yang
akan distandarkan. Atur posisi gelas piala pada pelat pengaduk sehingga
ujung buret cukup dekat dengan permukaan cairan, untuk menjamin
semua percikan jatuh ke dalam cairan dalam gelas piala tersebut. Sambil
terus diaduk, titrasi isi gelas piala dengan larutan KOH beralkohol sampai
ke titik akhir berjangkitnya warna merah jambu. Catat volume larutan KOH
dalam alkohol yang dibutuhkan (VKOH, ml) dan hitung normalitasnya (N)
dengan formula:
N =WKHF
(VKOH x 204,21)
dengan:
WKHF = berat kalium hidrogen ftalat yang ditimbang di atas (mg)
204,21 = berat molekul kalium hidrogen ftalat.
Prosedur B: dengan HCl. Pipet persis 5 ml larutan HCl 0,1 ± 0,0005 N ke
dalam sebuah gelas piala yang berisi 100 ml akuades. Tambahkan 0,5 ml
larutan indikator fenolftalein. Isi buret dengan larutan KOH dalam alkohol
yang akan distandarkan. Atur posisi gelas piala pada pelat pengaduk
sehingga ujung buret cukup dekat dengan permukaan cairan, untuk menjamin
semua percikan jatuh ke dalam cairan dalam gelas piala tersebut. Sambil
terus diaduk, titrasi isi gelas piala dengan larutan KOH beralkohol sampai ke
titik akhir berjangkitnya warna merah jambu. Catat volume larutan KOH dalam
alkohol yang dibutuhkan (VKOH ml) dan hitung normalitasnya (N) dengan
formula sebagai berikut:
N =5 𝑥𝑁𝐻𝐻𝐶𝑙
𝑉𝐾𝑂𝐻
dengan:
NHCl = normalitas eksak (sampai 4 angka di belakang koma) larutan HCl.
78
Gambar 36 Labu erlenmeyer
k) Uji Standar Kadar Gliserol Total, Bebas dan Terikat di dalam Biodiesel
(FBI-A02-03)
Prosedur pengujian ini digunakan untuk menentukan kadar gliserol total,
gliserol bebas, dan gliserol terikat di dalam biodiesel ester alkil dengan
menggunakan metode iodometri-asam periodat. Gliserol bebas ditentukan
langsung pada contoh yang dianalisis, gliserol total setelah contohnya
disaponifikasi, dan gliserol terikat dari selisih antara gliserol total dengan
gliserol bebas.
Lingkup:
Dapat diterapkan untuk biodiesel yang berupa ester alkil (metil, etil, isopropil,
dsb) dari asam-asam lemak.
Peralatan yang diperlukan:
Buret 50 ml, telah dikalibrasi dengan baik.
Pembesar meniskus yang memungkinkan pembacaan buret sampai skala
0,01 ml.
Labu takar 1 liter bertutup gelas.
Pipet-pipet volumetrik 5, 10 dan 100 ml yang sudah dikalibrasi dengan
baik.
Gelas-gelas piala 400 ml, masing-masing dengan kaca arloji/masir untuk
penutupnya.
79
Motor listrik berputaran variabel untuk pengadukan, dengan batang
pengaduk gelas.
Gelas-gelas ukur 100 dan 1000 ml.
Labu-labu erlenmeyer 250 dan 300 ml, serta kondensor berpendingin
udara dengan panjang 65 cm. Labu-labu dan kondensor harus memiliki
sambungan asah N/S 24/40.
Reagen:
1) Asam periodat (HIO4.2H2O) mutu reagen atau p.a. (lihat Catatan
peringatan).
2) Natrium tiosulfat (Na2S2O3.5H2O) mutu reagen.
3) Kalium iodida (KI) mutu reagen.
4) Asam asetat glasial mutu reagen, 99,5 %-b (lihat Catatan peringatan).
5) Larutan pati dibuat seperti diuraikan dalam bagian larutan-larutan dan
diuji kepekaannya sebagai berikut : Masukkan 5 ml larutan pati ke dalam
100 ml akuades dan tambahkan 0,05 ml larutan 0,1 N KI yang masih
segar (baru dibuat) serta satu tetes larutan khlor (dibuat dengan
mengencerkan 1 ml larutan natrium hipokhlorit [NaOCl] 5%-b, yang
tersedia di perdagangan, menjadi 1000 ml). Larutan harus menjadi
berwarna biru pekat dan bisa dilunturkan dengan penambahan 0,05 ml
larutan natrium tiosulfat 0,1 N.
6) Khloroform (CHCl3) mutu reagen (lihat Catatan peringatan). Uji blanko
dengan asam periodat dengan dan tanpa khloroform harus tidak berbeda
lebih dari 0,5 ml; jika tidak, khloroform harus diganti dengan pasokan
baru.
7) Kalium dikhromat mutu reagen. Sebelum digunakan harus digerus halus
dan dikeringkan pada 105 –110oC sampai berberat konstan.
8) Asam khlorida (HCl) mutu reagen, pekat, berat jenis 1,19 (lihat Catatan
peringatan).
9) Kalium hidroksida (KOH) pelet-pelet bermutu reagen (lihat Catatan
peringatan).
10) Etanol (etil alkohol) 95%-v mutu reagen (lihat Catatan peringatan).
80
Larutan-larutan:
1) Larutan asam periodat.
Cara pembuatan: Larutkan 5,4 gram asam periodat ke dalam 100 ml
akuades dan kemudian tambahkan 1900 ml asam asetat glasial.
Campurkan baik-baik. Simpan larutan di dalam botol bertutup gelas yang
berwarna gelap atau, jika botol berwarna terang, taruh di tempat gelap.
Perhatian: Hanya botol bertutup gelas yang boleh dipakai. Tutup gabus
atau karet sama sekali tak boleh dipergunakan.
2) Larutan natrium tiosulfat 0,01 N.
Cara pembuatan: Larutkan 2,48 gram Na2S2O3.5H2O ke dalam akuades
dan kemudian diencerkan sampai 1 liter. Larutan ini harus distandarkan
sebagai berikut : Pipet 5 ml larutan kalium dikhromat standar (lihat no. 5 di
bawah) ke dalam gelas piala 400 ml. Tambahkan 1 ml HCl pekat, 2 ml
larutan KI (lihat no. 3 di bawah) dan aduk baik-baik dengan batang
pengaduk atau pengaduk magnetik. Kemudian, biarkan tak teraduk
selama 5 menit dan selanjutnya tambahkan 100 ml akuades. Titrasi
dengan larutan natrium tiosulfat sambil terus diaduk, sampai warna
kuning hampir hilang. Tambahkan 1 – 2 ml larutan pati dan teruskan titrasi
pelahan-lahan sampai warna biru persis sirna. Maka:
Normalitas larutan Na2 S2 O3=𝑉 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7 𝑥 𝑁 𝐾2𝐶𝑟2𝑂7
ml lar. Na2S2O3 saat titrasi
3) Larutan kalium iodida (KI)
Cara pembuatan: larutkan 150 gram KI ke dalam akuades, disusul
dengan pengenceran hingga bervolume 1 liter. Larutan ini tak boleh kena
cahaya.
4) Larutan indikator pati
Cara pembuatan: dibuat dengan membuat pasta homogen 10 gram pati
larut (lihat Catatan no. 1) di dalam akuades dingin. Tambahkan pasta ini
ke 1 liter akudes yang sedang mendidih kuat, aduk cepat-cepat selama
beberapa detik dan kemudian dinginkan. Asam salisilat (1,25 g/l) boleh
dibubuhkan untuk mengawetkan patinya. Jika sedang tak digunakan,
larutan ini harus disimpan di dalam ruang bertemperatur 4–10oC. Larutan
81
indikator yang baru harus dibuat jika titik akhir titrasi tidak lagi tajam, atau
jika larutan indikator pati gagal dalam uji kepekaan yang telah diuraikan
pada no. 5 dalam bagian “reagen-reagen”.
5) Larutan standar 0,1 N kalium dikhromat
Cara pembuatan: larutkan 4,9035 gram kalium dikhromat kering dan
tergerus halus ke dalam akuades di dalam labu takar 1 liter dan kemudian
mengencerkannya sampai garis batas-takar pada 25oC.
6) Larutan KOH alkoholik
Cara pembuatan: larutkan 40 gram KOH dalam 1 liter etanol 95 %-v. Jika
ternyata agak keruh, saring larutan sebelum digunakan.
Prosedur analisis Kadar Gliserol Total :
1) Timbang 9,9–10,1 ± 0,01 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam
sebuah labu erlenmeyer.
2) Tambahkan 100 ml larutan KOH alkoholik, sambungkan labu dengan
kondensor berpendingin udara dan didihkan isi labu pelahan selama 30
menit untuk mensaponifikasi ester-ester.
3) Tambahkan 91±0,2 ml khloroform (lihat Catatan peringatan) dari sebuah
buret ke dalam labu takar 1 liter. Kemudian tambahkan 25 ml asam asetat
glasial (lihat Catatan no. 2) dengan menggunakan gelas ukur.
4) Singkirkan labu saponifikasi dari pelat pemanas atau bak kukus, bilas
dinding dalam kondensor dengan sedikit akuades. Lepaskan kondensor
dan pindahkan isi labu saponifikasi secara kuantitatif ke dalam labu takar
pada no. 03 dengan menggunakan 500 ml akuades sebagai pembilas.
5) Tutup rapat labu takar dan kocok isinya kuat-kuat selama 30–60 detik.
6) Tambahkan akuades sampai ke garis batas takar, tutup lagi labu rapat-
rapat dan campurkan baik-baik isinya dengan membolak-balikkan dan,
sesudah dipandang tercampur dengan baik, biarkan tenang sampai
lapisan khloroform dan lapisan akuatik memisah sempurna.
7) Pipet masing-masing 6 ml larutan asam periodat ke dalam 2 atau 3 gelas
piala 400–500 ml dan siapkan dua blanko dengan mengisi masing-masing
50 ml akuades (sebagai pengganti larutan asam periodat).
8) Pipet 100 ml lapisan akuatik yang diperoleh dalam langkah no. 06 ke
dalam gelas piala berisi larutan asam periodat dan kemudian kocok gelas
piala ini pelahan supaya isinya tercampur baik. Sesudahnya, tutup gelas
82
piala dengan kaca arloji/masir dan biarkan selama 30 menit (lihat Catatan
no. 2). Jika lapisan akuatik termaksud mengandung bahan tersuspensi,
saring dahulu sebelum pemipetan dilakukan.
9) Tambahkan 3 ml larutan KI, campurkan dengan pengocokan pelahan dan
kemudian biarkan selama sekitar 1 menit (tetapi tak boleh lebih dari 5
menit) sebelum dititrasi. Jangan tempatkan gelas piala yang isinya akan
dititrasi ini di bawah cahaya terang atau terpaan langsung sinar matahari.
10) Titrasi isi gelas piala dengan larutan natrium tiosulfat yang sudah
distandarkan (diketahui normalitasnya). Teruskan titrasi sampai warna
coklat iodium hampir hilang. Setelah ini tercapai, tambahkan 2 ml larutan
indikator pati dan teruskan titrasi sampai warna biru kompleks iodium–pati
persis sirna.
11) Baca buret titran sampai ke ketelitian 0,01 ml dengan bantuan pembesar
meniskus.
12) Ulangi langkah 8 s/d 11 untuk mendapatkan data duplo dan (jika
mungkin) triplo.
13) Lakukan analisis blanko dengan menerapkan langkah 9 s/d 11 pada dua
gelas piala berisi larutan blanko (yaitu akuades) tersebut pada no. 7.
Prosedur analisa kadar gliserol bebas:
1) Timbang 9,9–10,1 ± 0,01 gram contoh biodiesel ester alkil dalam sebuah
botol timbang.
2) Bilas contoh ini ke dalam labu takar 1 liter dengan menggunakan 91±0,2
ml khloroform (lihat Catatan peringatan) yang diukur dengan buret.
3) Tambahkan kira-kira 500 ml akuades, tutup rapat labu dan kemudian
kocok kuat-kuat selama 30–60 detik.
4) Tambahkan akuades sampai ke garis batas takar, tutup lagi labu rapat-
rapat dan campurkan baik-baik isinya dengan membolak-balikkan dan,
sesudah dipandang tercampur dengan baik, biarkan tenang sampai
lapisan khloroform dan lapisan akuatik memisah sempurna.
5) Pipet masing-masing 2 ml larutan asam periodat ke dalam 2 atau 3 gelas
piala 400–500 ml dan siapkan dua blanko dengan mengisi masing-masing
100 ml akuades (sebagai pengganti larutan asam periodat).
6) Pipet 300 ml lapisan akuatik yang diperoleh dalam langkah (4) ke dalam
gelas piala berisi larutan asam periodat dan kemudian kocok gelas piala
83
ini pelahan supaya isinya tercampur baik. Sesudahnya, tutup gelas piala
dengan kaca arloji/masir dan biarkan selama 30 menit (lihat Catatan no.
2). Jika lapisan akuatik termaksud mengandung bahan tersuspensi,
saring dahulu sebelum pemipetan dilakukan.
7) Tambahkan 2 ml larutan KI, campurkan dengan pengocokan perlahan
dan kemudian biarkan selama sekitar 1 menit (tetapi tak boleh lebih dari 5
menit) sebelum dititrasi. Jangan tempatkan gelas piala yang isinya akan
dititrasi ini di bawah cahaya terang atau terpaan langsung sinar matahari.
8) Titrasi isi gelas piala dengan larutan natrium tiosulfat yang sudah
distandarkan (diketahui normalitasnya). Teruskan titrasi sampai warna
coklat iodium hampir hilang. Setelah ini tercapai, tambahkan 2 ml larutan
indikator pati dan teruskan titrasi sampai warna biru kompleks iodium –
pati persis sirna.
9) Baca buret titran sampai ke ketelitian 0,01 ml dengan bantuan pembesar
meniskus.
10) Ulangi langkah (6) s/d (9) untuk mendapatkan data duplo dan (jika
mungkin) triplo.
11) Lakukan analisis blanko dengan menerapkan langkah (7) s/d (9) pada
dua gelas piala berisi larutan blanko (yaitu akuades) tersebut pada (5).
Perhitungan:
1) Hitung kadar gliserol total (Gttl, %-b) dengan rumus :
Gttl (%-b) =2,302 (B − C) x N
𝑊
dengan :
C = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi contoh, ml.
B = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi blangko, ml.
N = normalitas eksak larutan natrium tiosulfat.
a x mL sampelb
W = berat sampelax mL sampelb
900
Dengan :
a Dari prosedur untuk total gliserol, 1
b Dari prosedur untuk total gliserol, 8
84
2) Kadar gliserol bebas (Gbbs, %-b) dihitung dengan rumus yang serupa
dengan di atas, tetapi menggunakan nilai-nilai yang diperoleh pada
pelaksanaan prosedur analisis kadar gliserol bebas.
3) Kadar gliserol terikat (Gikt, %-b) adalah selisih antara kadar gliserol total
dengan kadar gliserol bebas : Gikt = Gttl - Gbbs
Catatan peringatan :
Asam periodat adalah oksidator dan berbahaya jika berkontak dengan
bahan-bahan organik. Zat ini menimbulkan iritasi kuat dan terdekomposisi
pada 130oC. Jangan gunakan tutup gabus atau karet pada botol-botol
penyimpannya.
Khloroform diketahui bersifat karsinogen. Zat ini toksik jika terhisap dan
memiliki daya bius. Cegah jangan sampai khloroform bertkontak dengan
kulit. Manusia yang sengaja atau tak sengaja menghisap atau meneguknya
secara berkepanjangan dapat mengalami kerusakan lever dan ginjal yang
fatal. Zat ini tidak mudah menyala, tetapi akan terbakar juga bila terus-
terusan terkena nyala api atau berada pada temperatur tinggi, serta
menghasilkan fosgen (bahan kimia berbahaya) jika terpanaskan sampai
temperatur dekomposisinya. Khloroform dapat bereaksi eksplosif dengan
aluminium, kalium, litium, magnesium, natrium, disilan, N2O4, dan
campuran natrium hidroksida dengan metanol. Angka ambang
kehadirannya di udara tempat kerja adalah 10 ppm-v. Karena ini,
penanganannya harus dilakukan di dalam lemari asam.
Asam khlorida (HCl) pekat adalah asam kuat dan akan menyebabkan kulit
terbakar. Uapnya menyebabkan peracunan jika terhirup dan terhisap serta
menimbulkan iritasi kuat pada mata dan kulit. Jas dan sarung tangan
pelindung harus dipakai ketika bekerja dengan asam ini. Penanganannya
disarankan dilakukan dalam lemari asam yang beroperasi dengan benar.
Pada pengenceran, asam harus selalu yang ditambahkan ke air/akuades
dan bukan sebaliknya. Asam asetat murni (glasial) adalah zat yang cukup
toksik jika terhisap atau terminum. Zat ini menimbulkan iritasi kuat pada
kulit dan jaringan tubuh. Angka ambang kehadirannya di udara tempat
kerja adalah 10 ppm-v.
Kalium hidroksida (KOH), seperti alkali-alkali lainnya, dapat membakar
parah kulit, mata dan saluran pernafasan. Kenakan sarung tangan karet
85
tebal dan pelindung muka untuk menangkal bahaya larutan alkali pekat.
Gunakan peralatan penyingkir asap atau topeng gas untuk melindungi
saluran pernafasan dari uap atau debu alkali. Pada waktu bekerja dengan
bahan-bahan sangat basa seperti kalium hidroksida, tambahkan selalu
pelet-pelet basa ke air/akuades dan bukan sebaliknya. Alkali bereaksi
sangat eksoterm jika dicampur dengan air; persiapkan sarana untuk
mengurung larutan basa kuat jika bejana pencampur sewaktu-waktu
pecah/retak atau bocor akibat besarnya kalor pelarutan yang dilepaskan.
Etanol (etil alkohol) adalah mudah terbakar. Lakukan pemanasan atau
penguapan pelarut ini di dalam lemari asam.
Catatan bernomor:
1) Yang disarankan untuk digunakan adalah pati kentang untuk iodometri,
karena pati ini menimbulkan warna biru pekat jika berada bersama ion
iodonium. Pati larut saja tak disarankan karena bisa tak membangkitkan
warna biru pekat yang konsisten ketika berkontak dengan ion iodonium.
reagen-reagen berikut diketahui cocok : “soluble starch for iodometry”,
fisher s516-100; “soluble potato starch, sigma s-2630; “soluble potato
starch for iodometry”, J.T. Baker 4006-04.
2) Pada temperatur kamar, tenggang waktu antara penyiapan contoh-contoh
dan pentitrasiannya tak boleh lebih dari 1,5 jam.
Gambar 37 Buret
86
l) Uji Standar Bilangan Penyabunan dan Kadar Ester Biodiesel Ester Alkil
(FBI-A03-03)
Prosedur pengujian ini digunakan untuk menentukan bilangan penyabunan
biodiesel ester alkil dengan proses titrimetri. Bilangan penyabunan adalah
banyak miligram KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan satu (1) gram
contoh biodiesel. Melalui kombinasi dengan hasil-hasil analisis bilangan asam
(FBI-A01-03) dan gliserol total (FBI-A02-03), angka penyabunan yang
diperoleh dengan metode standar ini dapat dipergunakan untuk menentukan
kadar ester di dalam biodiesel ester alkil.
Lingkup:
Dapat diterapkan untuk biodiesel yang berupa ester alkil (metil, etil, isopropil,
dsb) dari asam-asam lemak serta berwarna pucat.
Peralatan:
Labu-labu Erlenmeyer tahan alkali (basa) 250 atau 300 ml, masing-masing
berleher sambungan asah N/S 24/40.
Kondensor berpendingin udara berpanjang minimum 65 cm dan ujung
bawahnya bersambungan asah N/S 24/40 hingga cocok dengan labu
Erlenmeyer.
Bak pemanas air atau pelat pemanas yang temperatur atau laju
pemanasannya dapat dikendalikan.
Labu distilasi 2 liter yang mulutnya berupa sambungan asah N/S 24/40 dan
lengkap dengan kondensor berpendingin air, untuk merefluks dan
mendistilasi etanol 95 %-v seperti ditunjukkan pada no. 2 dalam bagian
“reagen-reagen” di bawah ini.
Reagen-reagen:
1) Asam khlorida 0,5 N yang sudah terstandarkan (normalitas eksaknya
diketahui).
2) Larutan kalium hidroksida (lihat Catatan peringatan) di dalam etanol 95
%-v. Refluks campuran 1,2 liter etanol 95 %-v (lihat Catatan peringatan)
dengan 10 gram KOH dan 6 gram pelet aluminium (atau aluminium foil)
selama 1 jam dan kemudian langsung distilasikan; buang 50 ml distilat
awal dan selanjutnya tampung 1 liter alkohol distilat berikutnya dalam
wadah bersih bertutup gelas. Larutkan 40 gram KOH berkarbonat rendah
ke dalam 1 liter alkohol distilat tersebut sambil didinginkan (sebaiknya di
87
bawah 15oC); biarkan selama 5 hari untuk mengendapkan pengotor-
pengotor dan kemudian dekantasikan larutan jernihnya ke dalam botol
gelas coklat bertutup karet. 3. Larutan indikator fenolftalein dibuat dengan
melarutkan 10 gram fenolftalein ke dalam 1 liter etanol 95 %-v.
Prosedur analisa:
1) Timbang 4–5 ± 0,005 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam sebuah
labu erlenmeyer 250 ml. Tambahkan 50 ml larutan KOH alkoholik dengan
pipet yang dibiarkan terkosongkan secara alami.
2) Siapkan dan lakukan analisis blanko secara serempak dengan analisis
contoh biodiesel. Langkah-langkah analisisnya persis sama dengan yang
tertulis untuk di dalam “prosedur analisis” ini, tetapi tidak mengikut-
sertakan contoh biodiesel.
3) Sambungkan labu erlenmeyer dengan kondensor berpendingin udara dan
didihkan pelahan tetapi mantap, sampai contoh tersabunkan sempurna.
Ini biasanya membutuhkan waktu 1 jam. Larutan yang diperoleh pada
akhir penyabunan harus jernih dan homogen; jika tidak, perpanjang waktu
penyabunannya.
4) Setelah labu dan kondensor cukup dingin (tetapi belum terlalu dingin
hingga membentuk jeli), bilas dinding-dalam kondensor dengan sejumlah
kecil akuades. Lepaskan kondfensor dari labu, tambahkan 1 ml larutan
indikator fenolftalein ke dalam labu, dan titrasi isi labu dengan HCl 0,5 N
sampai warna merah jambu persis sirna. Catat volume asam khlorida 0,5
N yang dihabiskan dalam titrasi.
Perhitungan:
Angka penyabunan (As) = 56,1(B - C) x N mg KOH/g biodiesel m dengan:
B = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi blanko, ml.
C = volume HCl 0,5 N yang dihabiskan pada titrasi contoh, ml.
N = normalitas eksak larutan HCl 0,5 N.
m = berat contoh biodiesel ester alkil, g.
Nilai angka penyabunan yang dilaporkan harus dibulatkan sampai dua
desimal (dua angka di belakang koma).
88
Kadar ester biodiesel ester alkil selanjutnya dapat dihitung dengan rumus
berikut:
Kadar ester (%-b) = 100 (As - Aa – 4,57Gttl)
As
dengan:
As = angka penyabunan yang diperoleh di atas, mg KOH/g biodiesel.
Aa = angka asam (prosedur FBI-A01-03), mg KOH/g biodiesel.
Gttl = kadar gliserin total dalam biodiesel (prosedur FBI-A02-03), %-b.
Kadar ester dapat juga dihitung sebagai selisih antara bilangan
penyabunan dan bilangan asam.
Catatan peringatan:
Kalium hidroksida (KOH), seperti alkali-alkali lainnya, dapat membakar
parah kulit, mata dan saluran pernafasan. Kenakan sarung tangan karet
tebal dan pelindung muka untuk menangkal bahaya larutan alkali pekat.
Gunakan peralatan penyingkir asap atau topeng gas untuk melindungi
saluran pernafasan dari uap atau debu alkali. Pada waktu bekerja dengan
bahan-bahan sangat basa seperti kalium hidroksida, tambahkan selalu
pelet-pelet basa ke air/akuades dan bukan sebaliknya. Alkali bereaksi
sangat eksoterm jika dicampur dengan air; persiapkan sarana untuk
mengurung larutan basa kuat jika bejana pencampur sewaktu-waktu
pecah/retak atau bocor akibat besarnya kalor pelarutan yang dilepaskan.
Etanol (etil alkohol) adalah mudah terbakar. Lakukan pemanasan atau
penguapan pelarut ini di dalam lemari asam.
m) Uji Standar untuk Bilangan Iod Biodiesel Ester Alkil (FBI-A04-03)
Prosedur pengujian ini digunakan untuk menentukan bilangan iodium
biodiesel ester alkil dengan metode dan reagen wijs. Bilangan iodium
adalah ukuran empirik banyaknya ikatan rangkap (dua) di dalam (asam-
asam lemak penyusun) biodiesel dan dinyatakan dalam sentigram iodium
yang diabsorpsi per gram contoh biodiesel (%-b iodium terabsorpsi). Satu
mol iodium terabsorpsi setara dengan satu mol ikatan rangkap (dua).
89
Lingkup:
Dapat diterapkan untuk biodiesel yang berupa ester alkil (metil, etil,
isopropil, dsb.) dari asam-asam lemak.
Peralatan:
Labu iodium, bisa berupa botol atau labu erlenmeyer bermulut besar dan
bertutup gelas serta berkapasitas 500 ml.
Labu-labu takar 1000 ml bertutup gelas, untuk menyiapkan larutan-
larutan standar.
Pipet seukuran 25 ml untuk memasok larutan wijs.
Pipet 20 ml dengan skala 1 ml, untuk memasok larutan KI 10 %.
Pipet 2–5 ml dengan skala 1 ml, untuk memasok larutan pati.
Pipet 50 ml dengan skala 1 ml untuk memasok akuades.
Neraca analitik berketelitian ±0,0001 gram.
Pelat pengaduk magnetik dengan batang pengaduknya.
Kertas saring–Whatman no. 41H atau yang setara.
Gelas piala 50 ml.
Pengukur waktu (timer).
Reagen-reagen:
1) Larutan/reagen wijs (lihat Catatan peringatan dan catatan no. 1).
2) Kalium iodida (KI) mutu reagen atau p.a. (pro analysis).
3) Karbon tetrakhlorida mutu reagen (lihat Catatan peringatan). Kenihilan
zat-zat dapat teroksidasi di dalam reagen ini harus diverifikasi dengan
mengocok 10 ml reagen dengan 1 ml larutan jenuh kalium dikhromat
dan 2 ml asam sulfat pekat: tak ada perebakan warna hijau. Jika tidak
tersedia, karbon tetrakhlorida boleh diganti dengan campuran 50%-v
sikloheksan mutu reagen dan 50%-v asam asetat glasial mutu reagen
(lihat Catatan peringatan).
4) Larutan indikator pati segar (lihat Catatan no. 2) atau baru disiapkan.
Buat pasta dari 1 gram pati alami yang larut (lihat Catatan no. 3) dan
sejumlah kecil akuades. Tambahkan ke 100 ml akuades yang sedang
mendidih dan diaduk. Kepekaannya harus diuji sebagai berikut :
Masukkan 5 ml larutan pati ke dalam 100 ml akuades dan tambahkan
0,05 ml larutan 0,1 N KI yang masih segar (baru dibuat) serta satu
tetes larutan khlor (dibuat dengan mengencerkan 1 ml larutan natrium
90
hipokhlorit [NaOCl] 5 %-b, yang tersedia di perdagangan, menjadi 1000
ml). Larutan harus menjadi berwarna biru pekat dan bisa dilunturkan
dengan penambahan 0,05 ml larutan natrium tiosulfat 0,1 N. 5. Kalium
dikhromat mutu reagen. Sebelum digunakan harus digerus halus dan
dikeringkan pada 105 – 110°C sampai berberat konstan.
5) Natrium tiosulfat (Na2S2O3.5H2O) – mutu reagen.
Larutan-larutan:
1) Larutan kalium iodida (KI) – 100 g/l (larutan 10 %)
Cara pembuatan: dibuat dengan melarutkan 100 gram KI ke dalam
akuades, disusul dengan pengenceran hingga bervolume 1 liter.
Larutan ini tak boleh kena cahaya.
2) Larutan indikator pati disiapkan/dibuat dan diuji seperti diuraikan pada
no. 4 dalam bagian “reagen-reagen”. Asam salisilat (1,25 g/l) boleh
dibubuhkan untuk mengawetkan patinya. Jika sedang tak digunakan,
larutan ini harus disimpan di dalam ruang bertemperatur 4–10oC. Jika
disimpan pada kondisi ini, larutan biasanya stabil selama 2-3 minggu.
Larutan indikator yang baru harus dibuat jika titik akhir titrasi tidak lagi
tajam, atau jika larutan indikator pati gagal dalam uji kepekaan yang
telah diuraikan pada no. 4 dalam bagian “reagen-reagen”.
3) Larutan natrium tiosulfat 0,1 N.
Cara pembuatan: larutkan 24,8 gram Na2S2O3.5H2O ke dalam akuades
dan kemudian diencerkan sampai 1 liter. Larutan ini harus distandarkan
sebagai berikut: Pipet 25 ml larutan kalium dikhromat standar (lihat no.
4 di bawah) ke dalam gelas piala 400 ml. Tambahkan 5 ml HCl pekat,
10 ml larutan KI (lihat no. 1 di atas) dan aduk baik-baik dengan batang
pengaduk atau pengaduk magnetik. Kemudian, biarkan tak teraduk
selama 5 menit dan selanjutnya tambahkan 100 ml akuades. Titrasi
dengan larutan natrium tiosulfat sambil terus diaduk, sampai warna
kuning hampir hilang. Tambahkan 1–2 ml larutan pati dan teruskan
titrasi pelahan-lahan sampai warna biru persis sirna. Maka:
Normalitas lar. Na2S2O3 =2,5
Ml lar.Na2S2O3 pada titrasi
4) Larutan standar 0,1 N kalium dikhromat
91
Cara pembuatan: larutkan 4,9035 gram kalium dikhromat kering dan
tergerus halus ke dalam akuades di dalam labu takar 1 liter dan
kemudian mengencerkannya sampai garis batas-takar pada 25 oC.
5) Larutan/reagen wijs; lihat no. 1 dalam bagian “reagen-reagen”.
Prosedur analisa:
1) Timbang 0,13–0,15 ± 0,001 gram contoh biodiesel ester alkil ke dalam
labu iodium.
2) Tambahkan 15 ml larutan karbon tetrakhlorida (atau 20 ml camp. 50%-
v sikloheksan – 50%-v asam asetat) dan kocok-putar labu untuk
menjamin contoh larut sempurna ke dalam pelarut.
3) Tambahkan 25 ml reagen wijs dengan pipet seukuran dan tutup labu.
Kocok-putar labu agar isinya tercampur sempurna dan kemudian
segera simpan di tempat gelap bertemperatur 25±5oC selama 1 jam.
4) Sesudah perioda penyimpanan usai, ambil kembali labu, dan
tambahkan 20 ml larutan KI serta kemudian 150 ml akuades.
5) Sambil selalu diaduk baik-baik, titrasi isi labu dengan larutan natrium
tiosulfat 0,1 N yang sudah distandarkan (diketahui normalitas
eksaknya) sampai warna coklat iodium hampir hilang. Setelah ini
tercapai, tambahkan 2 ml larutan indikator pati dan teruskan titrasi
sampai warna biru kompleks iodium pati persis sirna. Catat volume
titran yang dihabiskan untuk titrasi.
6) Bersamaan dengan analisis di atas, lakukan analisis blanko (tanpa
contoh biodiesel, jadi hanya langkah 2 s/d 4).
Perhitungan :
Angka iodium contoh biodiesel dapat dihitung dengan rumus :
Angka iodium, AI (%-b) = 12,69(𝐵−𝐶)𝑥𝑁
𝑊
dengan:
C = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi contoh, ml.
B = volume larutan natrium tiosulfat yang habis dalam titrasi blangko, ml.
N = normalitas eksak larutan natrium tiosulfat.
W = berat eksak contoh biodiesel yang ditimbang untuk analisis, g.
92
Catatan peringatan:
Larutan wijs bisa membakar-parah kulit dan uapnya bisa merusak paru-
paru serta mata. Penggunaan lemari asam sangat disarankan. Larutan
wijs tanpa karbon tetrakhlorida bisa diperoleh dari pemasok-pemasok
bahan-bahan kimia laboratorium.
Karbon tetrakhlorida diketahui bersifat karsinogen. Zat ini toksik jika
terhisap, termakan/terminum serta terabsorpsi ke dalam kulit, serta
berdaya narkotik. Zat ini tidak boleh digunakan untuk menyingkirkan api;
pada temperatur tinggi akan terdekomposisi menghasilkan fosgen
(bahan kimia berbahaya). Angka ambang kehadirannya di udara tempat
kerja adalah 10 ppm-v. Karena ini, penanganannya harus dilakukan di
dalam lemari asam.
Asam khlorida (HCl) pekat adalah asam kuat dan akan menyebabkan
kulit terbakar. Uapnya menyebabkan peracunan jika terhirup dan
terhisap serta menimbulkan iritasi kuat pada mata dan kulit. Jas dan
sarung tangan pelindung harus dipakai ketika bekerja dengan asam ini.
Penanganannya disarankan dilakukan dalam lemari asam yang
beroperasi dengan benar. Pada pengenceran, asam harus selalu yang
ditambahkan ke air/akuades dan bukan sebaliknya.
Asam asetat murni (glasial) adalah zat yang cukup toksik jika terhisap
atau terminum. Zat ini menimbulkan iritasi kuat pada kulit dan jaringan
tubuh. Angka ambang kehadirannya di udara tempat kerja adalah 10
ppm-v.
Catatan bernomor:
1) Yang disarankan untuk digunakan adalah pati kentang untuk iodometri,
karena pati ini menimbulkan warna biru pekat jika berada bersama ion
iodonium. Pati larut saja tak disarankan karena bisa tak
membangkitkan warna biru pekat yang konsisten ketika berkontak
dengan ion iodonium. Reagen-reagen berikut diketahui cocok: “Soluble
starch for iodometry”, Fisher S516-100; “Soluble potato starch, Sigma
S-2630; “Soluble potato starch for iodometry”, J.T. Baker 4006-04.
2) Pada temperatur kamar, tenggang waktu antara penyiapan contoh-
contoh dan pentitrasiannya tak boleh lebih dari 1,5 jam.
93
n) Uji Standar untuk Menyidik Keberadaan Gugus Siklopropenoid (FBI-A06-
03)
Prosedur ini digunakan untuk menyidik secara kualitatif keberadaan gugus
siklopropenoid di dalam biodiesel ester alkil melalui uji halphen. Gugus
siklopropenoid menimbulkan warna merah atau merah jingga dalam larutan
belerang dalam karbon disulfida dan amil alkohol panas.
Lingkup:
Dapat diterapkan untuk biodiesel yang berupa ester alkil (metil, etil, isopropil,
dsb) dari asam-asam lemak.
Peralatan:
Tabung-tabung reaksi untuk pengujian ukuran 250 x 25 mm.
Bak pemanas berisi minyak atau larutan jenuh garam dapat
diatur/dipertahankan bertemperatur 110–115oC.
Reagen:
Buat larutan 1%-b belerang (S) dalam karbon disulfida (CS2) (lihat Catatan
peringatan). Kemudian tambahkan amil alkohol (C4H9CH2OH) yang
bervolume sama dengan larutan belerang dalam CS2 tersebut. Campur baik-
baik.
Prosedur pengujian:
1) Di dalam tabung reaksi uji 250 x 25 mm, campurkan 10 ml biodiesel ester
alkil dengan 10 ml reagen. Kocok baik-baik dan panaskan perlahan di
dalam air panas (70–80oC) selama beberapa menit sambil kadang-
kadang dikocok, sampai semua karbon dioksida terusir oleh pendidihan
(lihat Catatan peringatan) dan cairan dalam tabung tak berbusa lagi.
2) Tempatkan tabung di dalam bak pemanas bertemperatur 110–115oC
panaskan pada temperatur tersebut selama 1–2 jam. Perebakan warna
merah atau merah jingga pada akhir perioda ini menunjukkan keberadaan
gugus siklopropenoid (lihat Catatan bernomor 1 dan 2) .
3) Jika kadar gugus siklopropenoid cukup besar, reaksi positif (yaitu
perebakan warna merah atau merah jingga) bisa terjadi dalam 1 jam atau
bahkan kurang di dalam bak air pada sekitar temperatur didih.
Pemanasan dalam bak pemanas pada temperatur 110–115oC selama 2
jam hanya perlu jika kadar gugus siklopropenoid sangat sedikit atau untuk
memastikan ketiadaannya.
94
Catatan peringatan:
Karbon disulfida adalah racun yang berbahaya jika terhirup, termakan, atau
berulang-ulang/terus-menerus berkontak dengan kulit. Peracunan kronis
bisa diakibatkan oleh keberadaan uapnya di tempat kerja. Zat ini sangat
mudah terbakar, dapat menyala karena gesekan dan, karenanya
membawa risiko kebakaran dan peledakan yang membahayakan.
Penggunaan pelarut ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan
penanganannya mutlak harus dilakukan di dalam lemari asam.
Catatan bernomor:
1) Kepekatan warna sedikit-banyak berbanding lurus dengan banyak gugus
siklopropenoid di dalam contoh yang dianalisis, sehingga via
pembandingan visual dengan contoh yang kadar gugus
siklopropenoidnya diketahui, kadar gugus siklopropenoid dapat
diperkirakan. Sekalipun demikian, nilai kadar yang diperoleh dengan cara
visual ini hanya merupakan taksiran kasar.
2) Hidrogenasi dan pemanasan akan mengurangi atau bahkan
memusnahkan kapasitas perebakan warna merah atau merah jingga.
95
4. Latihan
1) Upaya apa yang harus dilakukan ketika mengadakan pengukuran parameter
kualitas biodiesel dengan bahan asam khlorida?
Jawab: Asam khlorida (HCl) pekat adalah asam kuat dan akan menyebabkan
kulit terbakar. Uapnya menyebabkan peracunan jika terhirup dan terhisap
serta menimbulkan iritasi kuat pada mata dan kulit. Jas dan sarung tangan
pelindung harus dipakai ketika bekerja dengan asam ini. Penanganannya
disarankan dilakukan dalam lemari asam yang beroperasi dengan benar.
Pada pengenceran, asam harus selalu yang ditambahkan ke air/akuades dan
bukan sebaliknya.
2) Sebutkan peralatan-peralatan yang dipakai pada uji flash point?
Jawab: Peralatan-peralatan yang dipakai pada uji flash point adalah: pensky-
martens closed cup flash test, gas pembakar alami (ignition source), dan
termometer.
3) Sebutkan definisi dari bilangan penyabunan?
Jawab: Bilangan penyabunan adalah banyak miligram KOH yang dibutuhkan
untuk menyabunkan satu (1) gram contoh biodiesel.
4) Apakah maksud dari uji standar kadar fosfor pada penentuan mutu biodiesel?
Jawab: Prosedur pengujian ini digunakan untuk menentukan kadar fosfor
dalam biodiesel yang dihasilkan melalui pengabuan contoh biodiesel ester
alkil yang telah ditambahi seng oksida (ZnO), disusul dengan pengukuran
spektrofotometrik fosfor sebagai kompleks asam fosfomolibdat yang berwarna
biru.
5) Jelaskan tentang bilangan iodium?
Jawab: Bilangan iodium adalah ukuran empirik banyaknya ikatan rangkap
(dua) di dalam (asam-asam lemak penyusun) biodiesel dan dinyatakan dalam
sentigram iodium yang diabsorpsi per gram contoh biodiesel (%-b iodium
terabsorpsi). Satu mol iodium terabsorpsi setara dengan satu mol ikatan
rangkap (dua).
96
5. Rangkuman
a. Densitas merupakan perbandingan berat dari suatu volume sampel pada
suhu 25 oC dengan berat air pada volume dan suhu yang sama.
b. Viskositas diartikan sebagai ukuran ketahanan bahan bakar untuk mengalir.
Viskositas berpengaruh secara langsung pada penetrasi pola semprotan
pada bilik pembakaran sehingga juga berpengaruh pada atomisasi bahan
bakar dan efisiensi pembakaran.
c. Cetane number adalah ukuran kualitas suatu pembakaran bahan baker diesel
yang dinyatakan dengan ketertundaan (delay) pembakaran bahan baker,
yaitu selisih antara awal injeksi dan awal terjadinya pembakaran bahan bakar.
d. Flash point merupakan suhu terendah dimana aplikasi suatu pembakar
(ignition) menyebabkan uap suatu specimen terbakar pada kondisi uji yang
spesifik. Suatu contoh menyala jika api secara nyata muncul dan merambat
secara spontan dan sempurna di atas permukaan contoh. Halo biru tidak
didefinisikan sebagai titik nyala.
e. Crude petroleum mengandung komponen sulfur yang kebanyakan dapat
dipisahkan selama pemurnian. Dimana, keberadaan komponen sulfur di
dalam produk petroleum dapat menyebabkan korosi pada beberapa jenis
metal dan tingkat korosivitas ini tidak selamanya berbanding lurus dengan
total sulfur. Sulfur ini menyebabkan efek yang berbeda tergantung dari
struktur kimia sulfur yang terkandung di dalamnya.
f. Debu sulfat adalah residu yang tertinggal setelah sample dikarbonisasi dan
umumnya residu ini kemudian di treatment dengan menggunakan asam
klorida dan dipanaskan hingga berat konstan.
97
6. Evaluasi Materi Pokok 3
1) Yang merupakan alat untuk mengukur densitas adalah…
a. Piknometer c. Viskometer
b. Buret d. Injektor
2) Berikut ini merupakan instrumen dalam pengukuran cetane number, kecuali…
a. Cetane meter c. Termometer
b. Buret d. Injektor
3) Larutan-larutan berikut digunakan dalam uji viskositas kinematik, kecuali…
a. Asam kromat c. Asam sulfat
b. xylene d. aquades
4) Apakah reagent yang dipakai pada pelarut pencuci untuk uji korosi cu pada
analisa mutu biodiesel…
a. Iso oktana c. n-heksadekan
b. n-tetradekan d. Silikon cair
5) Disebut apakah banyaknya miligram KOH yang dibutuhkan untuk
menetralkan asam-asam bebas di dalam satu gram sampel biodiesel…
a. Bilangan asam c. Sulfated ash
b. Kadar fosfor d. Flash point
98
7. Umpan Balik dan Tindak Lanjut
Cocokkanlah hasil jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Materi Pokok 3 yang
terdapat pada bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban Anda yang benar.
Gunakanlah rumus di bawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda
terhadap Materi Pokok 3.
Rumus:
Tingkat penguasaan =𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑗𝑎𝑤𝑎𝑏𝑎𝑛 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑛𝑎𝑟
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑜𝑎𝑙𝑥100
Arti tingkat penguasaan yang Anda capai :
90 – 100% = baik sekali
80 - 89% = baik
70 – 79% = cukup
< 70% = kurang
Bila Anda mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat melanjutkan
dengan Materi Pokok selanjutnya. Selamat untuk Anda ! Tetapi apabila tingkat
penguasaan Anda masih di bawah 80%, Anda harus mempelajari kembali Materi
Pokok 3, terutama bagian yang belum Anda kuasai.
99
BAB III PENUTUP
Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim telah menjadi perhatian
masyarakat dunia. Kerangka Konvensi untuk Perubahan Iklim telah disetujui oleh
167 negara. Kerangka ini mengikat secara moral semua negara-negara industri
untuk menstabilkan emisi CO2. Penggunaan bahan bakar fosil merupakan sumber
utama emisi CO2 di dunia dan mencapai 74% dari total emisi GRK. Oleh karena itu
dicari bahan bakar yang ramah lingkungan. Salah satunya adalah Biodiesel.
Pengolahan biodiesel dari tanaman memerlukan beberapa alat yang spesifik
tergantung jenis bahan baku yang digunakan, kecuali reaktor biodiesel. Reaktor
biodiesel hasil pengembangan telah mampu mengolah segala jenis minyak nabati.
Alat-alat yang tersedia hingga saat ini perlu dilakukan proses penyempurnaan
berdasarkan kebutuhan.
100
KUNCI JAWABAN
a. Evaluasi Materi Pokok 1 1. a 2. b 3. a 4. b 5. a
b. Evaluasi Materi Pokok 2 1. d 2. c 3. b 4. a 5. d
c. Evaluasi Materi Pokok 3 1. a 2. b 3. c 4. d 5. c
101
DAFTAR PUSTAKA
Oguma, S. M., and Chollacoop, N., (2010), Benchmarking of Biodiesel Fuel Standardization in East Asia Working Group, Biodiesel Fuel Standardization Activities inGoto, EAS-ERIA Biodiesel Fuel Trade Handbook, Jakarta, ERIA, pp.16-26.
Berry, S. K., (1979), Cyclopropenoid Fatty Acids in Some Malaysian Edible Seeds and Nuts, Journal of Food Science and Technology, 17, pp. 224-227.
FBI, 2005, Standar Tentatif Biodiesel Indonesia, Makalah seminar Forum Biodiesel Indonesia, 02 Maret 2005.
Greenberg, A., and Harris, (1982), Cyclopropenoid Fatty Acid, Journal of Chemical Education, 59, pp. 539 – 543.
Harrington, K.J., (1986), Biomass, Chemical and physical properties of vegetable oil esters and their effect on diesel fuel performance, 9:1–17.
Haryati, T., (2006), Biogas: Limbah Peternakan Yang Menjadi Sumber Energi Alternatif, WARTAZOA 16 (3), 160 -169.
Hudaya, T., Soerawidjaja , T. H., dan Liana, (2011), Studi Hidrogenasi Minyak Biji Kapok dengan Katalis Pd/C untuk Bahan Baku Biodiesel, Laporan Penelitian Lembaga Penelitian & Pengabdian Masyarakat, Fakultas Teknologi Industri-Universitas Katolik Parahyangan.
Knothe, G., Sharp, C.A., Ryan T.W., (2006), Exhaust emissions of biodiesel, petrodiesel,neat methyl esters, and alkanes in a new technology engine, Energy Fuels, 20:403–8.
Lopez, J.M., Gomez A., Aparicio F., and Javier S.F., (2009), Comparison of GHG emissions from diesel, biodiesel and natural gas refuse trucks of the City of Madrid, Appl Energy, 86:610–5.
Meher, L.C., S. D. Vidya, and S.N. Naik, (2006), Technical aspects of biodiesel production by transesterification–a review, Renewable and Sustainable Energy Reviews 10 (3), 248–268.
Mudge, S.M., Pereira, G., (1999), Stimulating the biodegradation of crude oil with biodiesel preliminary results, Spill Sci Technol Bull, 5:353–5.
Ramos, M. J., C. M. Fernández, A. Casas, L. Rodríguez, and Á. Pérez, (2009), Influence of fatty acid composition of raw materials on biodiesel properties, Bioresource Technology, 100: 261–268.
Saraf, S., and B. Thomas, (2007), Influence of feedstock and process chemistry on biodiesel quality, Process Safety and Environmental Protection, 85: 360–364.
Speidel, H.K., Lightner, R.L., Ahmed, I., (2000), Biodegradability of new engineered fuels compared to conventional petroleum fuels and alternative fuels in current use, Appl Biochem Biotechnol, 84–86:879–97.
102
Sunthitikawinsakul A. and N. Sangatith, (2012), Study on the quantitative fatty acids correlation of fried vegetable oil for biodiesel with heating value, Procedia Engineering, 32: 219 – 224.
USEPA, (2002), A comprehensive analysis of biodiesel impacts on exhaust emissions. Draft Technical Report, USEPA.