bahan humaniter rumusan masalah 2&3

Upload: ngurahdwiky

Post on 11-Oct-2015

24 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pdf

TRANSCRIPT

Bahan hk humaniterRumusan masalah 2

b. Tentara Bayaran (Mercenaries)

Sudah lama dikenal oleh masyarakat dunia bahkan sejak jaman purba. Pada awal kekasisaran romawi dikenal istilah Belearic Slingers dan Aegean Bowmen, di Jerman disebut Landsknechts, di Amerika disebut Hessian. Pada masa ini istilah yang sering digunakan adalah mercenary, masyarakat umum mkadang-kadang menyebutnya dengan istilah Soldier of Fortune.

Kebutuhan terhadap tentara bayaran ini timbul karena kesulitan untuk membentuk atau memiliki suatu angkatan bersenjata yang besar dan tangguh, dan dengan biaya yang tinggi. Oleh karena itu pada waktu dahulu, raja-raja di Eropa memutuskan untuk memiliki suatu pasukan yang kecil namun tangguh. Penggunaan tentara bayaran dalam perang indochina (1946-1954) dan perang saudara di Congo

Istilah-istilah yang digunakan adalah :

Ayala, Vitoria, Grotius, Vattel, Wolff, Calvo.Pengaturan tentara bayaran menurut hukum humaniter Selain dalam Konvensi Den Haag yang mengatur perekrutan orang-orang asing dalam angkatan perang pihak-pihak yang terlibat pertikaian, di dalam konvensi Jenewa III 1949 mengatur tentara bayaran juga .

Ps. 4 konvensi III, menyebutkan tentara bayaran adalah :

- Menjadi anggota angkatan perang, milisi atau barisan sukarela yang menjadi bagian dari angkatan perang tersebut- Menjadi anggota milisi atau barisan sukarela lainnya serta anggota gerakan perlawanan yang diorganisir

Dalam Protokol Tambahan I 1977, menyatakan sebagai berikut :

- Seorang tentara bayaran tidak berhak atas status kombatan atau tawanan perang- Tentara bayaran :@secara khusus direkrut di dalam negeri atau diluar negeri@secara nyata ikut serta secara langsung dalam permusuhan@motivasinya adalah untuk memperoleh keuntungan pribadi, dan dijanjikan kompensasi materi, atau jabatan dalam angkatan bersenjata@bukan wn dari negara yang bersengketa, bukan pula orang yang berdiam di daerah yang bersengketa@bukan anggota dari angkatan bersenjata dari suatu pihak yang bersengketa@tidak dikirim oleh negara yang bukan pihak-pihak yang bersengketa.

Tentara bayaranOrang sering mendengar karyawan perusahaan militer swasta dirujuk sebagai tentara bayaran. Frase ini membangkitkan reaksi emosional yang kuat bagi banyak orang karena pengertian romantis para penyendiri yang menjalankan profesi usia tua, atau kecaman keras pembunuh tak bermoral dan mencari keuntungan dari penderitaan dan perang. Akan tetapi, para pengacara dan pemerintah yang berusaha mengatur perusahaan-perusahaan ini harus melihat makna hukum dari istilah tersebut. Seperti yang akan ditunjukan, konsep hukum tentara bayaran tidak terlalu membantu untuk menyelesaikan dilema mengenai bagaimana mengatur perusahaan-perusahaan militer swasta.

Tentara bayaran dibahas dalam dua konvensi internasional yang secara khusus bertujuan menghilangkan mereka melalui kriminalisasi kegiatan tentara bayaran. Selain itu, tentara bayaran dibahas dalam hukum humaniter internasional pada Protokol Tambahan I. Kendati definisi tentara bayaran sama dalam Konvensi Internasional anti Perekrutan, Penggunaan, Pembiayaan dan Pelatihan Tentara Bayaran (International Convention against the Recruitment, Use, Financing and Training of Mercenaries),17 kemudian Konvensi Organisasi Afrika Bersatu untuk Penghapusan Segala Bentuk Tentara Bayaran di Afrika (Organization of African Unity Convention for the Elimination of Mercenarism14 Singer mengindikasikan bahwa mereka menggunakan bom cluster dan bahan peledak yang dipicu udara (fuel air explosives), ibid. Nathaniel Stinnett mengatakan bahwa para komandan EO dilaporkan hanya memerintahkan pilot mereka untuk membunuh semua orang. Lihat catatannya tentang Regulating the privatization of war: How to stop private military firms from committing human rights abuses, Boston College International and Comparative Law Review, Vol. 28 (2005), hal.

211, pada hal. 215. Fakta bahwa perusahaan-perusahaan itu dianggap efisien bisa menghadirkan tantangan bagi mereka yang mempertahankan hukum humaniter internasional, yang tidak memprioritaskan efisiensi di atas segalanya.

15 Thatcher mengaku bersalah karena memperbolehkan penggunaan dukungan udara tetapi menyangkal mengetahui untuk dukungan udara tersebut digunakan.

16 Mantan Pelapor Khusus Enrique Ballasteros merujuk pada penggunaan semacam itu dalam laporan akhir sebagai

Pelapor Khusus, UN Doc E/CN.4/2004/15, para. 26 dan 32.

17 Konvensi Internasional menentang Perekrutan, Penggunaan, Pembiayaan dan Pelatihan Tentara Bayaran (International Convention against the Recruitment, Use, Financing and Training of Mercenaries), 4 Desember 1989, UNGA Res. A/RES/44/34, mulai berlaku tanggal 20 Oktober 2001 (selanjutnya dalam tulisan ini disebut Konvensi PBB).

in Africa)18 (keduanya dikenal dengan konvensi tentara bayaran) dan menurut Protokol Tambahan I, konsekuensi karena dianggap sebagai tentara bayaran berbeda. Secara singkat, berdasarkan konvensi tentara bayaran, jika negara-negara pihak pada konvensi tersebut telah mengadopsi legislasi yang diberlakukan, orang-orang yang memenuhi definisi tentara bayaran dapat dituntut atas kejahatan khusus karena menjadi tentara bayaran. Sebaliknya, menurut hukum humaniter internasional, bukan pelanggaran Konvensi Jenewa atau Protokol menjadi tentara bayaran dan tentara bayaran sendiri tidak menimbulkan tanggung jawab pidana internasional; tentara bayaran hanya tidak mendapat status tawanan perang jika tertangkap. Tentara bayaran sebagaimana didefinisikan dalam Protokol Tambahan I dapat dihukum berdasarkan hukum domestik dari kuasa penahanan jika memilih demikian, karena fakta telah berpartisipasi secara langsung dalam permusuhan, tetapi bisa dituntut karena menjadi tentara bayaran hanya jika negara tersebut juga memiliki undang-undang terpisah yang menyatakan tentara bayaran sebagai kejahatan berbeda. Perbedaan selanjutnya antara kedua rezim tersebut adalah bahwa status tentara bayaran relevan menurut hukum humaniter internasional hanya dalam konflik bersenjata internasional (karena status kombatan dan hak-hak istimewanya hanya ada di konflik kategori tersebut), sedangkan konvensi tentara bayaran juga bisa berlaku dalam situasi konflik bersenjata non-internasional.

Tidak ada kesimpulan meyakinkan yang dapat diambil bahwa semua karyawan perusahaan militer swasta adalah tentara bayaran, baik menurut konvensi tentara bayaran atau berdasarkan hukum humaniter internasional.19 Menurut kedua badan hukum, definisi membutuhkan penentuan seorang individu secara kasus per kasus. Memang, faktor ini saja membuat konvensi tentara bayaran sangat tidak memadai sebagai metode untuk mengontrol (memberantas) atau mengatur industri PMC secara keseluruhan.

Tentara bayaran menurut hukum humaniter internasionalKarena konvensi tentara bayaran mengadopsi sebuah definisi tentara bayaran yang serupa dengan yang ditetapkan dalam Pasal 47 Protokol Tambahan I, kita harus menggunakan definisi tersebut sebagai titik awal. Pasal 47.2 Protokol Tambahan I berbunyi:

Tentara bayaran adalah setiap orang yang:

(a) secara khusus direkrut secara lokal atau di luar Negara itu untuk bertempur di dalam suatu konflik bersenjata;

18 Konvensi Penghapusan Tentara Bayaran di Afrika, Organisasi Uni Afrika, Libreville, 3 Juli 1977, CM/817 (XXXIX), Lampiran II, Rev. 3 (mulai berlaku tanggal 22 April 1985) (selanjutnya dalam tulisan ini disebut Konvensi AU).

19 Fakta ini tidak menghentikan mantan Pelapor Khusus PBB mengenai Tentara Bayaran, Enrique Ballasteros, dari untuk menggambarkan semuanya dengan kuas yang sama. Lihat UN Doc. E/CN.4/2004/15, khususnya. para. 57 (2003).

(b) yang secara nyata berpartisipasi secara langsung dalam permusuhan;

(c) mempunyai motivasi untuk berpartisipasi dalam permusuhan terutama karena keinginan mendapat keuntungan pribadi yang dijanjikan oleh atau atas nama Pihak dalam sengketa, kompensasi materiil yang jauh melebihi yang dijanjikan kepada atau dibayarkan kepada kombatan dengan pangkat dan fungsi yang sama dalam angkatan bersenjata Pihak tersebut;

(d) bukan warga negara dari suatu Pihak dalam konflik ataupun bukan penduduk wilayah yang dikuasai oleh suatu Pihak dalam konflik;

(e) bukan anggota angkatan bersenjata suatu Pihak dalam konflik; dan

(f) tidak dikirim oleh suatu Negara yang bukan Pihak dalam konflik untuk bertugas resmi sebagai anggota angkatan bersenjatanya.

Definisi dalam Pasal 47 secara luas dipandang secara virtual tidak berhasil karena enam syarat kumulatif yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dianggap sebagai tentara bayaran.20Kendati kejanggalan dari definisi tersebut, studi ICRC mengenai hukum kebiasaan menetapkan bahwa ketentuan ini merupakan bagian hukum internasional kebiasaan.21 Konsekuensi ditahan sebagai tentara bayaran ditetapkan dalam paragraf pertama Pasal 47: Tentara bayaran tidak akan mendapat hak sebagai seorang kombatan atau seorang tawanan perang. Namun, Protokol Tambahan I menetapkan bahwa bahkan jika seseorang telah secara sah berpartisipasi dalam permusuhan dan tidak memiliki hak atas status tawanan perang, orang tersebut tetap mendapat manfaat perlindungan dari Pasal 75

Protokol (jaminan fundamental).22 Berdasarkan hukum humaniter internasional, adalah kuasa penahanan yang akan membuat penetapan apakah seseorang adalah tentara bayaran dengan membentuk pengadilan yang kompeten ketika status tawanan perang dipertanyakan.23Namun Konvensi Jenewa dan Protokol-Protokol Tambahannya bisa dibilang tidak mewajibkan kuasa penahanan untuk menolak status tawanan perang apabila yang bersangkutan memenuhi persyaratan Pasal 47. Teks tersebut berbunyi tentara bayaran tidak akan mempunyai hak untuk

20 Lihat secara khusus Francoise Hampson, Mercenaries: Diagnosis before prescription, Netherlands Yearbook of International Law, Vol. 3 (1991), hal. 14-16. Lihat juga George Aldrich, Guerrilla combatants and prisoner-of-war status", American University International Law Review, Vol. 31 (1982), hal. 881, untuk mendapatkan gambaran singkat tapi akurat mengenai hal-hal teknis dari Pasal 47.

21 J. -M. Henckaerts dan L. Doswald-Beck, Customary International Humanitarian Law, Vol. I, Aturan-aturan, ICRC and Cambridge University Press, Cambridge, 2005, Aturan 108. Studi hukum kebiasaan memasukkan melalui rujukan definisi pada Pasal 47 Protokol Tambahan I. Namun, perlu dicatat bahwa Amerika Serikat sudah lama menolak anggapan bahwa Pasal 47 adalah hukum kebiasaan, lihat M. J. Matheson, Remarks, dalam "Session One: The United States position on the relation of customary international law to the 1977 Protocols additional to the 1949 Geneva Conventions, American University Journal of International Law and Policy, Vol. 2 (1987), hal. 426.

22 Perluasan perlindungan ini kepada mereka yang tidak mendapat status kombatan dijelaskan dalam dalam PT I, Pasal 45.

23 Pasal 5.2 KJ III mewajibkan kuasa penahanan untuk membentuk "suatu pengadilan yang kompeten untuk menentukan, jika keraguan timbul, status seorang individu yang mengklaim status Tawanan Perang. Pasal 45 Protokol Tambahan I memberlakukan persyaratan yang sama.

menjadi tawanan perang. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa mereka tidak dapat mengklaim hak untuk status tawanan perang yang dimiliki oleh kombatan, tetapi bisa saja manfaat itu apabila kuasa penahanan memilih untuk memberikannya, atau bisa juga berarti bahwa kuasa penahanan tidak boleh memberikan tentara bayaran status tawanan perang. Fakta bahwa Konferensi Diplomatik yang mengadopsi Protokol Tambahan I menolak permintaan untuk menyusun konsekuensi status bayaran secara lebih tegas menunjukkan bahwa tindakan menjadi tentara bayaran tidak dengan sendirinya merupakan pelanggaran hukum humaniter internasional.24 Hukum humaniter internasional tidak terang- terangan berusaha untuk memberantas penggunaan tentara bayaran, tetapi hanya menyediakan pilihan bagi negara-negara yang ingin melakukannya. Konsekuensi dari tidak mendapat manfaat imunitas seorang kombatan bisa berat: seseorang bisa menjalani pengadilan dan mendapat dakwaan pembunuhan jika ia telah membunuh seorang pejuang saat turut berpartisipasi dalam pertempuran. Dengan cara ini, melonggarkan perlindungan sebagaimana biasanya diberikan oleh hukum humaniter internasional secara tidak langsung dapat mencegah banyak orang menempatkan diri pada posisi rentan, tetapi hukum humaniter internasional tidak per se mengatur kategori orang-orang tersebut. Akhirnya, berdasarkan Statuta ICC, adalah bukan kejahatan menjadi tentara bayaran.25Perlu dicatat bahwa melemahnya perlindungan bagi sekelompok orang sangat tidak biasa dan bertentangan dengan tujuan dari hukum humaniter lainnya. Status tawanan perang dapat ditolak untuk tentara bayaran, meski niat secara umum untuk memperluas perlindungan bagi sebanyak mungkin orang, karena sifat memalukan dari aktivitas tentara bayaran.26 Unsur-unsur dari yang dikatakan sifat memalukan kegiatan tentara bayaran berkaitan dengan fakta bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya sepertinya hanya termotivasi oleh keuntungan pribadi (bertentangan dengan pemikiran bahwa tentara secara unik terpanggil ke profesi mereka karena perasaan kuat tugas patriotik kepada negara mereka) dan tidak memiliki kepentingan dalam konflik karena mereka bukan warga negara dari suatu negara yang menjadi pihak dalam konflik.27 Ada kebencian secara umum bahwa individu-individu

tertentu tidak segan-segan menggunakan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan di tengah24 Y. Sandoz, C. Swinarski dan B. Zimmerman (eds.), Commentary on the Additional Protocols of 8 June 1977 to the Geneva Conventions of 12 August 1949, ICRC/Martinus Nijhoff, Dordrecht, 1987, para. 1795 (selanjutnya dalam tulisan ini disebut Penjelasan ICRC). Penulis Penjelasan menyatakan bahwa sebagian delegasi telah mencari kata-kata yang lebih ketat, dengan tujuan agar tentara bayaran tidak boleh diberikan status tawanan perang (penekanan ditambahkan), tetapi pada akhir posisi yang lebih netral diadopsi. Selain itu, penuntutan pidana yang disebabkan status tentara bayaran bisa menyebabkan antara lain penuntutan atas tindak kekerasan yang sah jika dilakukan oleh seorang kombatan, dari sisi Protokol, dan atas fakta tunggal telah ambil bagian secara langsung dalam 'permusuhan', tetapi para penulis Penjelasan tidak menyebutkan penuntutan apapun karena semata-mata fakta menjadi seorang tentara bayaran (lihat para. 1796). Lihat juga Abdulqawi A. Yusuf, Mercenaries in the law of armed conflicts, dalam A. Cassese (ed.), The New Humanitarian Law of Armed Conflict, Editoriale Scientifica, Napoli, 1979, hal. 113-27 khususnya hal. 124.

25 Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional, 2187 UNTS 90, mulai berlaku tanggal 1 Juli 2002.

26 Penjelasan ICRC, pada catatan 24 di atas, para. 1794.27 Lihat A. Behnsen, The status of tentara bayaran and other illegal combatants under international humanitarian law, German Yearbook of International Law, Vol. 46 (2003), 27 Penjelasan ICRC, pada catatan 24 di atas, para. 1794.

27 Lihat A. Behnsen, The status of tentara bayaran and other illegal combatants under international humanitarian law,German Yearbook of International Law, Vol. 46 (2003), hal. 494 pada hal. 497. Francoise Hampson, pada catatan 20 di atas, membuat observasi yang sama (hal. 16).

perang dan penderitaan. Di sisi lain, beberapa menggunakan argumen historis untuk mengutuk gerakan untuk menghukum tentara bayaran, menunjuk pada fakta bahwa tentara bayaran telah digunakan paling tidak sejak 2094 SM (yaitu sejak perang pertama yang tercatat).28 Yang lain berpendapat bahwa banyak prajurit mendaftar menjadi tentara semata-mata untuk mencari nafkah, dan bahwa definisi tersebut mencerminkan kepatuhan yang tidak realistis pada pemikiran patriotisme dan kehormatan.29Tentara bayaran menurut konvensi tentara bayaranSeperti yang disebutkan di atas, konvensi tentara bayaran pada dasarnya menyatakan kembali definisi tentara bayaran yang diatur dalam Pasal 47 Protokol Tambahan I.30 Konvensi kemudian menetapkan elemen-elemen kejahatan terkait: orang-orang yang memenuhi definisi menjadi tentara bayaran dan yang berpartisipasi secara langsung dalam permusuhan melakukan tindak pidana,31 dan bahkan upaya untuk berpartisipasi secara langsung juga merupakan suatu tindak pidana berdasarkan Konvensi PBB tentang tentara bayaran. Selain itu, Pasal 2 Konvensi PBB menyatakan bahwa Setiap orang yang merekrut, menggunakan, mendanai atau melatih tentara bayaran... melakukan pelanggaran untuk tujuan Konvensi; sehingga mencakup sejumlah cara berpartisipasi dalam kejahatan tanpa benar- benar hadir dan berperang di panggung permusuhan. Masing-masing konvensi memiliki definisi tambahan tentang tentara bayaran yang secara khusus dimaksudkan untuk mengatasi situasi di mana tujuannya adalah untuk menggulingkan pemerintah, dan, dalam kasus Konvensi Uni Afrika, ada ketentuan-ketentuan khusus berkaitan dengan keterlibatan perwakilan negara dalam kasus-kasus seperti itu.32 Konvensi PBB diratifikasi hanya oleh 28 negara dan mulai diberlakukan pada tahun 2001.33Konvensi Uni Afrika mulai berlaku pada tahun 1985. Barangkali layak dicatat bahwa tak satupun negara yang memiliki sejumlah besar perusahaan militer swasta yang berasal dari atau beroperasi di wilayah mereka adalah negara pihak.34Studi kasus dari Irak: apakah karyawan perusahaan militer swasta tentara bayaran?Mengambil contoh perusahaan militer swasta yang beroperasi di Irak pada tahun 2003 dan awal tahun 2004 (yaitu pada saat konflik masih bisa diragukan untuk diklasifikasikan sebagai konflik

28 Lihat misalnya Singer, pada catatan 11 di atas, hal. 20. Lihat juga Todd Hilliard, Overcoming post-colonial myopia: A call to recognize and regulate private military companies, Military Law Review, Vol. 176 (2003), hal. 1ff.

29 Dalam konteks yang lebih modern, kesulitan yang dialami oleh negara-negara dan masyarakat internasional untuk secara efektif melucuti senjata kelompok pejuang yang berpindah dari satu konflik ke konflik lain di Negara-negara yang tidak stabil

di Afrika Sub-Sahara tidak boleh dianggap enteng.

30 Definisi Konvensi AU mengulang Pasal 47 kata demi kata, Konvensi PBB tidak menyertakan Pasal 47.2(b) tetapi kemudian menambahkannya sebagai suatu unsur pelanggaran.

31 Pasal 3 Konvensi PBB dan Pasal 1.3 Konvensi AU.

32 Pasal 5 Konvensi AU.

33 Ratifikasi tanggal 7 September 2006.

34 Daftar negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi PBB dan Konvensi AU dapat diakses di www.icrc.org. (Terakhir dikunjungi tanggal 13 November 2006).

internasional), dapat disimpulkan bahwa beberapa orang yang bekerja untuk perusahaan-perusahaan semacam itu dapat tersangkut oleh Pasal 47 Protokol Tambahan I dan oleh konvensi tentara bayaran. Perhatikan, misalnya, suatu kasus hipotetis (tapi mungkin secara keseluruhan) seorang bekas pejuang pasukan khusus Afrika Selatan yang barangkali telah disewa untuk memberikan jasa perlindungan untuk para pemimpin Otorita Sementara Koalisi di Irak. Dengan mempertimbangkan enam bagian dari definisi tentara bayaran tersebut, kita harus bertanya, pertama, apakah fakta dipekerjakan sebagai pengawal merupakan perekrutan dalam rangka bertempur, penting untuk mengingat di sini bahwa frase bertempur berdasarkan hukum humaniter internasional tidak identik dengan serangan ofensif,35 sehingga orang-orang yang dipekerjakan untuk menjaga seorang (militer) tetapi yang terlibat dalam pertempuran defensif (membela diri) dapat berada di bawah Pasal 47.2 (a) dan juga memenuhi kriteria kedua. Namun, dipahami bahwa untuk memenuhi kriteria ini, seseorang harus direkrut secara khusus untuk bertempur dalam konflik tertentu yang berkaitan, bukan sebagai seorang karyawan umum. Selain fakta bahwa melindungi seorang komandan AS sendiri bisa merupakan partisipasi langsung dalam pertempuran, ada berbagai laporan pertempuran berat oleh perusahaan militer swasta. Satu contoh terkenal terjadi di Najaf pada tahun 2004, di mana orang-orang dari suatu PMC bertempur dengan pejuang musuh, menembakkan ribuan berondongan amunisi dan harus mendatangkan satu helikopter dari perusahaan itu sendiri bukan untuk mengevakuasi mereka, tapi untuk menjatuhkan lebih banyak amunisi.36 Sebagian karyawan PMC dengan demikian mudah memenuhi persyaratan kedua berpartisipasi secara langsung dalam permusuhan (sub-para. (b)). Adapun kriteria ketiga (sub-para. (c)), orang-orang yang bertindak sebagai pengawal komandan pendudukan AS mendapat bayaran hingga US$ 2.000 per hari, jauh lebih banyak daripada penghasilan seorang tamtama AS dalam sebulan dan, dalam kasus pejuang Afrika Selatan, mereka bukan warga negara dari salah satu Pihak yang terlibat dalam konflik (kriteria keempat, sub-para. (d)). Adapun kriteria kelima (bukan anggota angkatan bersenjata dari pihak yang terlibat dalam konflik, sub-para. (e)), cukup untuk mengatakan secara singkat pada titik ini bahwa karyawan perusahaan-perusahaan ini bukan anggota angkatan bersenjata; kriteria ini akan dibahas lebih rinci di bawah ini.37 Akhirnya, Afrika Selatan tidak mengirimkan tentaranya (atau bekas tentara) ke Irak dalam tugas resmi. Ada juga sekitar 1.500 tentara Fiji yang bergabung dengan perusahaan militer swasta di Irak. Karena mereka tidak dikirim untuk bertugas secara resmi oleh Fiji, mereka tidak akan tercakup oleh persyaratan keenam (sub-para. (f))

dan dengan demikian mencegah mereka tersangkut oleh Pasal 47 jika mereka kebetulan memenuhi35 Pasal 49 (1) Protokol Tambahan I menyatakan, ""Serangan berarti tindak kekerasan terhadap musuh, baik untuk menyerang atau bertahan.

36 David Barstow, Eric Schmitt, Richard A. Oppel Jr dan James Risen, Security firm says its workers were lured into Iraqi ambush", New York Times, 9 April 2004, hal. A1. Penyergapan (ambush) sebagaimana dimaksud dalam judul di atas adalah

serangan terhadap kontraktor Blackwater di Fallujah pada tanggal 30 Maret 2004 yang memicu respon berlebihan dari AS

dan kehancuran cukup besar di kota itu. Contoh lain sangat banyak, termasuk pertempuran di Kut. Lihat Daniel Bergner,

The other army", New York Times, 14 Agustus 2005, (Majalah) hal. 29.

37 Lihat bagian selanjutnya dengan judul "Kombatan.

lima kriteria lainnya. Dengan demikian tidak mustahil bahwa sebagian orang yang bekerja untuk perusahaan militer swasta di Irak dapat memenuhi definisi hukum tentara bayaran. Namun, definisi jelas sekali masih belum berguna sebagai alat peraturan bagi ribuan warga Negara Irak, AS dan Inggris yang bekerja untuk perusahaan semacam itu di sana. Selanjutnya, kompleksitas membuat definisi itu tidak efektif bagi mereka yang bekerja di tempat lain dalam situasi konflik bersenjata non-internasional di seluruh dunia.

Analisis status karyawan PMC sering melangkah lebih dari sekedar menyimpulkan apakah mereka memenuhi syarat sebagai tentara bayaran atau tidak.38 Namun penentuan ini tidak menyelesaikan pertanyaan mengenai apa yang boleh dilakukan karyawan PMC dalam situasi konflik. Jika PMC diatur, sangat penting untuk mempertimbangkan apakah karyawan PMC adalah warga sipil atau kombatan.

KombatanApakah karyawan perusahaan militer swasta adalah kombatan untuk tujuan hukum humaniter internasional?

Setidaknya ada tiga alasan berbeda mengapa penting untuk mengetahui apakah karyawan PMC kombatan: pertama, agar pasukan musuh mengetahui bahwa mereka adalah sasaran militer yang sah dan dapat secara sah diserang; kedua, untuk mengetahui apakah karyawan PMC dapat secara sah berpartisipasi langsung dalam permusuhan, dan alasan ketiga, terkait dengan kedua, guna mengetahui apakah karyawan PMC yang berpartisipasi dalam permusuhan dapat dituntut karena melakukannya.

Status kombatan terkait dengan keanggotaan pada angkatan bersenjata salah satu pihak dalam konflik39 atau keanggotaan pada pasukan milisi atau relawan di bawah salah satu pihak dalam konflik dan memenuhi kriteria tertentu.40 Ketika mengevaluasi status karyawan PMC, penting untuk menilai integrasi mereka (menurut Pasal 4A(1) Konvensi Jenewa Ketiga atau Pasal 43 Protokol Tambahan I) ke dalam angkatan bersenjata, atau kapasitas mereka untuk memenuhi syarat sebagai milisi dalam arti Pasal 4A(2) Konvensi tersebut. Berdasarkan Pasal 4A(1), harus dipastikan apakah seseorang sudah dimasukkan ke dalam angkatan bersenjata suatu negara menurut hukum Negara tersebut. Berdasarkan Pasal 4A(2), kelompok secara keseluruhan harus dinilai untuk menentukan

apakah memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut.38 Lihat, misalnya, Juan Carlos Zarate, The emergence of a new dog of war: Private international security companies, international law, and the new world disorder", Stanford Journal of International Law, Vol. 34 (Winter 1998); Coleman, pada catatan 12 di atas; Hilliard, pada catatan 28 di atas.

39 Pasal 4A(1) Konvensi Jenewa Ketiga mengenai Perlakuan Tawanan Perang, 12 Agustus 1949 (kj III), dan Pasal 43

Protokol Tambahan I (PT I).

40 KJ III, Pasal 4A(2).Cara pertama karyawan PMC bisa memenuhi syarat sebagai kombatan - yang berbanding terbalik dengan kriteria kelima definisi tentara bayaran - adalah menentukan apakah mereka adalah anggota angkatan bersenjata dari pihak yang terlibat konflik. Pasal 43.2 Protokol Tambahan I menyebutkan bahwa Anggota angkatan bersenjata dari suatu Pihak dalam konflik ... adalah kombatan, yaitu, mereka yang mempunyai hak untuk berpartisipasi secara langsung dalam permusuhan.41Dengan demikian penting untuk menilai apakah karyawan perusahaan militer swasta digabungkan dalam angkatan bersenjata dari suatu pihak dalam konflik, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43,1

Protokol Tambahan I atau Pasal 4A(1) Konvensi Jenewa Ketiga. Bisa dibayangkan bahwa hal ini jarang terjadi. Memang, jika mereka semua digabungkan seperti itu, itu akan menyelesaikan seluruh masalah peraturan dan tidak menimbulkan masalah untuk kategorisasi mereka menurut hukum humaniter internasional. Namun, poin keseluruhan dari privatisasi adalah sebaliknya - menyerahkan kepada sektor swasta apa yang sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah. Tampaknya berbeda dengan filosofi outsourcing untuk berpendapat bahwa perusahaan militer swasta merupakan anggota angkatan bersenjata suatu negara.42Hukum humaniter internasional tidak menetapkan langkah-langkah spesifik yang harus diambil oleh negara agar orang-orang dapat mendaftar ke dalam angkatan bersenjata mereka berdasarkan Pasal 4A(1) Konvensi Jenewa Ketiga atau berdasarkan Pasal 43 Protocol Tambahan I; ini adalah murni masalah hukum internal.43 Karena itu penggabungan tergantung pada kemauan dan rezim hukum internal dari negara bersangkutan. Namun, jelas bahwa beberapa bentuk penggabungan secara resmi sangat diperlukan, terutama karena Pasal 43.3 Protokol Tambahan I membebankan kewajiban tertentu kepada Negara yang menggabungkan kepolisian mereka atau pasukan paramiliter lain ke dalam angkatan bersenjata mereka untuk menginformasikan pihak lawan.44 Ini menunjukkan hukum humaniter internasional mengantisipasinya meskipun hal itu menjadi masalah hukum domestik tentang bagaimana anggota angkatan bersenjata direkrut dan didaftar di suatu negara, pasukan lawan harus mengetahui secara persis siapa-siapa yang merupakan pasukan-pasukan tersebut. Selain itu, seseorang harus hati- hati untuk tidak menjadi bingung tentang aturan atribusi untuk tujuan menjadikan negara bertanggung

jawab atas tindakan kontraktor swasta yang disewanya dengan aturan tentang agen-agen pemerintah41 Pasal 4A (1) KJ III tidak secara eksplisit menyatakan bahwa mereka yang berhak atas status tawanan perang juga memiliki hak untuk berpartisipasi secara langsung dalam permusuhan.

42 Namun demikian, perlu dicatat bahwa salah satu pakar dalam Pertemuan Pakar berpendapat bahwa Pasal 43 cukup luas untuk mencakup perusahaan militer swasta dalam bidang tersebut. Lihat Laporan CUDIH, pada catatan 8 di atas, hal. 10-11.

43 Michael Schmitt, dalam Re-evaluating the rules, mencatat bahwa beberapa negara mewajibkan warga sipil tertentu untuk menjalankan fungsi penting bekerja untuk angkatan bersenjata sebagai cadangan, yang menunjukkan bahwa mudah

bagi negara-negara yang mau menyertakan warga sipil dalam angkatan bersenjata mereka untuk melakukannya. Pada catatan 7 di atas, hal. 524.

44 Pasal 43.3 menyatakan, Apabila suatu pihak dalam konflik menggabungkan ke dalam angkatan bersenjatanya paramiliter atau badan penegakkan hokum yang bersenjata, maka Pihak itu harus memberi tahu Pihak-pihak lain dalam konflik.

yang secara sah memiliki status kombatan.45 Meskipun dimungkinkan untuk mengatributkan tindakan karyawan suatu perusahaan militer swasta kepada Negara, hubungan tersebut dengan negara, walaupun mungkin cukup untuk keperluan tanggung jawab negara, tidak cukup untuk membuat bagian seseorang menjadi bagian angkatan bersenjata suatu negara. Contoh dari Irak telah menunjukkan bahwa negara-negara yang mempekerjakan PMC lebih cenderung menekankan bahwa mereka adalah warga sipil - misalnya, peraturan yang disahkan oleh Otorita Sementara Koalisi di Irak mewajibkan mereka untuk mematuhi hukum hak asasi manusia, yang sangat tidak memadai jika Amerika Serikat, sebagai kuasa pendudukan, mengetahui atau percaya bahwa mereka adalah bagian dari angkatan bersenjatanya.46Cara kedua agar suatu kelompok memenuhi syarat untuk mendapat status kombatan (atau tawanan perang) menurut Konvensi Jenewa adalah dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 4A(2) Konvensi Ketiga,47 yang mengatur bahwa berikut ini juga berhak atas status tawanan perang:

Anggota-angota milisi serta anggota-anggota dari barisan sukarela lainnya, termasuk anggota- anggota gerakan perlawanan terorganisir, yang tergolong pada suatu Pihak dalam konflik dan beroperasi di dalam atau di luar wilayah mereka sendiri ... asal saja milisi atau barisan sukarela tersebut, termasuk gerakan perlawanan terorganisir, memenuhi syarat-syarat berikut:

(a) dipmpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya; (b) mempunyai tanda pengenal tetap yang dapat dikenali dari jauh;

(c) membawa senjata secara terang-terangan;

(d) melakukan operasi mereka sesuai dengan hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang.

Meskipun bukan tujuan dari penjelasan ini untuk mendalami kompleksitas Pasal 4A(2) secara rinci, beberapa pengingat barangkali bisa membantu. Pertama, paragraf pembuka mensyaratkan bahwa milisi harus merupakan bagian ... dari suatu Pihak dalam konflik. Kedua, ke-empat persyaratan harus dipenuhi semuanya oleh kelompok tersebut secara keseluruhan. Pasal ini dengan demikian menuntut

setiap perusahaan militer swasta dipertimbangkan sendiri. Meskipun ini normal, analisis dari45 Lihat Rancangan Pasal-Pasal Komisi Hukum Internasional tentang Tanggung Jawab Negara untuk Tindakan'Tindakan Yang Salah Secara Internasional (International Law Commissions Draft Articles on the Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts), UN GAOR sesi ke-55. Supp. No. 10, A/56/10, terutama Rancangan Pasal 5 dan 8.

46 Order 17 disahkan oleh Otorita Sementara Koalisi di Irak, CPA/ORD/27 Juni 2004 / 17 (Revisi), dapat diakses di http://www.cpa-iraq.org. (terakhir dikunjungi tanggal 13 November 2006). Selain itu, Pasal 51 KJ IV melarang suatu kuasa pendudukan merekrut orang-orang yang dilindungi secara paksa ke dalam angkatan bersenjata, dan bahkan melarang "tekanan atau propaganda yang bertujuan untuk memuluskan pendaftaran secara sukarela". Akan halnya ribuan warga Irak yang dipekerjakan oleh perusahaan militer swasta untuk melakukan tugas-tugas seperti menjaga pipa minyak, bisa dipertanyakan apakah Amerika Serikat atau Inggris melanggar ketentuan tersebut jika perusahaan militer swasta dianggap telah dimasukkan ke dalam angkatan bersenjata kuasa pendudukan.

47 Meskipun kategori kombatan ini dapat dimasukkan berdasarkan Pasal 43 Protokol Tambahan I, tetap saja membantu untuk mempertimbangkannya secara terpisah.

perusahaan ke perusahaan tetap memiliki kelemahan. Hukum humaniter internasional harus diterapkan sedemikian rupa agar membuatnya cukup memungkinkan bagi kombatan untuk mematuhinya. Jika secara virtual tidak mungkin bagi pasukan lawan untuk mengetahui karyawan PMC mana yang secara akurat dianggap memiliki status kombatan (dan karena itu menjadi sasaran militer yang sah), dan karyawan PMC mana merupakan warga sipil dan bahkan mungkin orang-orang yang dilindungi (penembakan terhadap mereka bisa merupakan pelanggaran berat Konvensi Jenewa), kebingungan yang tercipta dapat menghambat setiap upaya untuk mematuhi hukum humaniter. Penting untuk diingat bahwa di Irak, setidaknya, ada lebih dari seratus perusahaan militer swasta berbeda yang beroperasi.

Anggota dari sebagian besar perusahan tersebut barangkali mengenakan seragam dan terlihat sangat serupa dengan pasukan dalam Pasal 4A(2) tetapi mereka sebenarnya warga sipil. Tentu saja, penentuan status sering menjadi masalah yang sulit, bahkan untuk beberapa anggota angkatan bersenjata (misalnya dalam operasi rahasia), namun, proliferasi pihak-pihak dengan status yang ambigu dalam situasi konflik bersenjata memperburuk masalah. Jelas, perdebatan ini jelas menambah panasnya perdebatan mengenai kombatan yang sah dan kombatan yang tidak sah, dan penentuan status mereka bisa memiliki konsekuensi pada seluruh perdebatan.

Beberapa pengamat menyatakan bahwa kontraktor sipil akan jarang memenuhi semua empat persyaratan dalam Pasal 4A(2). Secara khusus, Michael Schmitt berpendapat bahwa banyak dari mereka tidak berseragam dan sepertinya tidak berada di bawah komandan yang bertanggung jawab.48Selanjutnya Schmitt berpendapat bahwa dua persyaratan lain dari Pasal 4A(2) menjegal kesempatan PMC untuk dipertimbangkan sebagai pasukan milisi, yaitu kemandirian (independence) dari angkatan bersenjata tapi bagian dari satu Pihak dalam konflik. PMC tersebut yang paling mungkin milik Amerika Serikat (bahwa mereka melaksanakan pelayanan langsung bagi pasukan AS) tidak memiliki kemandirian yang diperlukan untuk dianggap sebagai milisi yang terpisah, tetapi tetap berada di luar angkatan bersenjata yang sebenarnya. PMC-PMC tersebut menikmati kemerdekaan yang lebih luas berdasarkan fakta bahwa mereka bisa jadi di-subkontrak-kan oleh badan rekonstruksi, dan di sisi lain, cenderung bukan milik/bagian dari suatu pihak dalam konflik.49 Argumen-argumen ini bersifat persuasif. Selain itu, apakah dan bagaimana perusahaan seperti itu yang menjadi milik/bagian suatu pihak yang terlibat konflik dapat juga diukur oleh tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka yang

dapat diterima oleh pemerintah afiliasi.50 Sebenarnya bisa dikatakan bahwa ketika negara membuat48 Schmitt, pada catatan 7 di atas, hal. 527ff. Sekali lagi, penting untuk diingat bahwa meskipun ada bukti yang bersifat anekdot beberapa perusahaan yang mengenakan seragam semi-militer, ada ratusan perusahaan yang disewa oleh angkatan bersenjata dan perusahaan konstruksi serta lembaga kemanusiaan. Ada variasi yang cukup besar.

49 Ibid., hal. 529ff.50 Kenneth Watkin mengutip kasus Penuntut Militer v. Kassem (1971) 42 ILR 470, 477 untuk mengilustrasikan hal ini. Fakta bahwa tidak ada pemerintah yang menerima tanggung jawab atas tindakan para pejuang membuat pemerintah Israel menolak status tawanan perang untuk para pejuang yang tertangkap. Lihat Watkin, Warriors without Rights? Combatants,pilihan sadar untuk melibatkan personil non-militer dari sektor swasta untuk melakukan tugas tertentu, dan untuk mengkualifikasi orang-orang tersebut sebagai semacam kekuatan paramiliter untuk tujuan Pasal 4A(2) bertentangan dengan logika.51 Diakui, sebagian PMC bisa memenuhi syarat sebagai kombatan dalam Pasal 4A(2), tetapi banyak yang tidak.52 Patut untuk dipikirkan bahwa kualifikasi dari sebagian PMC seperti itu bukanlah obat mujarab. Banyak PMC dapat membedakan diri dari penduduk sipil lokal melalui pakaian mereka, tapi mengingat banyaknya jumlah perusahaan seperti itu, akan sangat sulit bagi musuh untuk membedakan satu PMC dari yang lain, karyawan-karyawan yang tidak masuk dalam Pasal 4A(2) dan adalah kejahatan kalau menargetkan mereka secara langsung.

Sebuah interpretasi teleologis Pasal 4A(2) juga menghalangi penggunaan pasal tersebut untuk mendefinisikankaryawanPMCsebagaikombatan:penggunaanketentuantersebutuntuk membenarkan kategorisasi mereka sebagai kombatan bertentangan dengan tujuan historis, yakni untuk memungkinkan partisan dalam Perang Dunia Kedua memiliki status tawanan perang.53 Para partisan tersebut jauh lebih mudah disamakan dengan sisa-sisa angkatan bersenjata yang dikalahkan atau kelompok-kelompok yang berusaha membebaskan wilayah yang diduduki dibandingkan dengan PMC. Memang peran perlawanan milisi-milisi ini merupakan faktor (yang kadang-kadang menjadi duri) dalam memberikan mereka status tawanan perang.54 Pemberian status kombatan kepada penjaga keamanan yang disewa oleh pasukan pendudukan mengubah tujuan 4A ayat (2) pada bagian depannya, karena tidak dimaksudkan untuk memperbolehkan penciptaan dan penggunaan kekuatan militer swasta oleh para pihak dalam konflik, melainkan memberi ruang pada gerakan perlawanan dan memberi mereka dorongan untuk mematuhi hukum humaniter internasional. Definisi tentara bayaran sekitar tiga puluh tahun kemudian yang berusaha untuk menghapus status kombatan dari pasukan swasta yang persis seperti itu adalah bukti lebih lanjut bahwa tujuan awal Pasal 4A(2) tetap penting sepanjang tahun 1970-an. Meskipun tidak ada kewajiban untuk membatasi penafsiran Pasal 4A(2) terhadap tujuan historisnya, perhatian atau pertimbangan terhadap tujuan historis tersebut menyediakan beberapa indikasi ketidakcukupan dan ketidaktepatan menggunakan ketentuan itu dalam

konteks perusahaan militer swasta modern.Unprivileged Belligerents, and the Struggle over Legitimacy, Harvard University, Terbitan Tak Berkala HPCR, Seri No. 2, Cambridge, Mass., 2005, hal. 26.

51 KJ III tidak memberi kesempatan kepada Negara-negara untuk mempekerjakan warga sipil yang mendampingi pasukan mereka (semacam outsourcing) dan untuk memberikan mereka perlindungan status tawanan perang, tetapi tidak memberi

orang-orang itu status kombatan. Lihat Pasal 4A(4) KJ III dan pembahasan di bawah ini.

52 Lihat Schmitt, pada catatan 7 di atas.53 Jean Pictet, Konvensi Jenewa tahun 1949: Penjelasan Konvensi Jenewa III (Geneva Conventions of 1949: CommentaryIII Geneva Convention), ICRC, Jenewa, 1952, hal. 52ff.

54 Ibid., hal 53-9. Ketika seseorang mempertimbangkan pelonggaran persyaratan dalam Pasal 43 untuk membuat pejuang gerilya tertentu mempunyai status kombatan, jelas bahwa pendorong untuk melakukan hal itu pada dasarnya tetap sama - untuk membuat mereka yang terlibat dalam perang anti-kolonial, yakni berperang melawan penindas yang lebih kuat, untuk dilindungi sebagai kombatan menurut hukum humaniter apabila mereka menghormati ambang batas persyaratan.

Selain itu, argumen akhir menentang pemberian hak untuk status kombatan pada Pasal 4A (2) termasuk kepada PMC adalah bahwa justru kategori ini yang paling berisiko di kemudian hari menjadi tentara bayaran. Mengingat kriteria kumulatif untuk penandaan sebagai tentara bayaran, PMC bisa menghindari masalah ini jika mereka hanya merekrut karyawan dari negara-negara yang merupakan para pihak dalam konflik terkait (karena menjadi seorang warganegara dari pihak yang terlibat konflik adalah faktor yang mengecualikan seseorang dari status tentara bayaran). Bagaimanapun, pada saat ini masalah masih tetap sama bahwa bahkan jika argumen sebagian karyawan PMC merupakan kombatan melalui eksploitasi Pasal 4A(2) Konvensi Jenewa Ketiga diterima, banyak orang bisa kehilangan pendorong untuk mematuhi hukum humaniter karena mereka dapat dikecualikan dari status tawanan perang.

Kita harus menyimpulkan bahwa hanya ada dasar yang sangat terbatas dalam hukum untuk sebagian PMC di Irak untuk diklasifikasikan sebagai kombatan menurut hukum humaniter internasional. Meskipun demikian, kurangnya kejelasan status kontraktor tersebut diilustrasikan oleh fakta bahwa pemerintah yang terlibat di Irak mengkonsultasikan masalah ini dengan penesehat hukum mereka, lebih lanjut, perwakilan dalam Kongres AS telah meminta penjelasan mengenai status dan penggunaan PMC.55 Alasan untuk menekankan temuan bahwa mereka adalah kombatan dapat dipahami - kewajiban mereka akan jelas dan mereka bisa memiliki pendorong yang lebih besar untuk berusaha mematuhi hukum humaniter internasional. Pada tingkat yang lebih abstrak dan teoritis, Kenneth Watkin menegaskan bahwa pertanyaan harus diajukan apakah kriteria untuk mencapai status kombatan yang sah cukup mencerminkan sifat peperangan dan menjelaskan sepenuhnya mereka yang berpartisipasi di dalamnya.56 Namun demikian, sejumlah faktor, termasuk hukum, menghalangi temuan bahwa PMCs adalah kombatan dan menghambat argumen bahwa penafsiran seperti itu diyakini secara cukup luas untuk menjadi efektif. Karena wacana tersebut pertanda buruk bagi karyawan PMC untuk memiliki status kombatan, sangat penting untuk mempertimbangkan konsekuensi dari orang-orang semacam itu

memiliki status warga sipil.55 Lihat, misalnya, D. Rothwell, Legal Opinion on the Status of Non-Combatants and Contractors under International Humanitarian Law and Australian Law, 24 Desember 2004, dapat diakses di: http:// www.privatemilitary.org/ legal.html. (Terakhir dikunjungi tanggal 13 November 2006). Sejumlah senator di Amerika Serikat telah meminta Comptroller General Amerika Serikat untuk menginvestigasi penggunaan perusahaan militer swasta di Irak oleh Departemen Pertahanan dan CPA: Surat ke Comptroller Walker dari Senator C. Dodd, R. Feingold, J. Reed, P. Leahy dan J. Corzine tanggal 29 April

2004 (dapat diakses di http://dodd.senate.gov/index.php?q5node/3270&pr5press/Releases/04/0429.htm, (terakhir dikunjungi tanggal 1 Oktober 2006). Selain itu, Ike Skelton, seorang Politisi Demokrat di Komite Angkatan Bersenjata di Senat AS telah menulis kepada Donald Rumsfeld, Menteri Pertahanan, untuk meminta rincian informasi mengenai personil militer swasta

dan keamanan di Irak. Khususnya ... perusahaan mana yang beroperasi di Irak, berapa banyak personil dimiliki setiap

perusahaan di sana, berfungsi khusus apa yang mereka lakukan, berapa mereka digaji ... rantai komando apa untuk personel-personel ini, aturan pelibatan (rule of engagement) apa yang mengatur mereka, dan bagaimana tuduhan disipliner atau pidana ditangani jika terjadi klaim semacam itu kepada mereka. Lihat juga Surat dari Yang Mulia (Honorable) Ike Skelton kepada Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, tanggal 2 April 2004.

56 Lihat Watkin, pada catatan 50 di atas, hal. 16. Namun, perlu diketahui bahwa secara garis besar Watkin mengkaji masalah kombatan tidak sah terkait dengan perang melawan teror-nya Amerika Serikat yakni, mereka yang berperang melawan Amerika Serikat.