bahan teknik

Upload: zainal-arifin

Post on 08-Mar-2016

23 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Ilmu bahan

TRANSCRIPT

Materi PembelajaranMata Kuliah Bahan Teknik I

Ir. Andr. Surjaka, Isp.,MTLilik Dwi Setyana, ST., MTRadhian Krisnaputra, ST.,M.Eng

PROGRAM STUDI DIPLOMA TEKNIK MESINSEKOLAH VOKASI UGMYOGYAKARTA2013

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI iiBAB I PENDAHULUAN 1BAB II PROSES PEMBUATAN BAJA 2BAB III DIAGRAM Fe-Fe3C 63.1 Ferrite73.2 Austenite73.3 Cementit73.4 Reaksi-reaksi Invarian dan Konstituen Mikro Penting8BAB IV BAJA KARBON 104.1 Proses Perlakuan Panas Baja Karbon124.2 Pearlite 134.3 Martensite 13BAB V BAJA TAHAN KARAT 15BAB VI BESI TUANG 19BAB VII PENGUJIAN BAHAN 227.1 Pendahuluan 257.2 Pengujian Tarik 297.3 Pengujian Bending 367.4 Impact 397.5 Pengujian Kekerasan 417.6 Puntir 457.7 Keausan 467.8 Pengujian Tidak Merusak 49

48

BAB I PENDAHULUAN

Secara umum bahan teknik dalam bidang rekayasa dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan logam dan non logam. Logam dikelompokkan lagi menjadi logam ferro (baja karbon, besi tuang dan baja paduan) dan logam non ferro (aluminium, tembaga, nikel, khrom, zinc, dll.) sedangkan bahan non logam terdiri dari polymer (plastik dan karet), keramik dan komposit.Logam ferro dan paduan logam berbasis ferro (Fe) atau besi adalah salah satu jenis bahan yang paling banyak dan luas aplikasinya dibidang rekayasa yaitu mencapai lebih dari 60%. Besi atau ferro terdapat di alam sebagai bijih besi. Kandungan utama bijih besi adalah oksida besi yang telah bercampur dengan pengotor atau unsur lain dan air. Logam ferro sebagian besar diperoleh melalui serangkaian proses pemurnian dan reduksi bijih besi. Melalui proses ini diperoleh lelehan besi mentah atau pig iron yang masih mengandung pengotor, terutama karbon, silikon, mangan, sulfur, dan fosfor. Secara umum biji besi dapat dikelompokkan dalam tiga tipe, yaitu;1. Oxidea. Magnetic Ores, komposisinya terdiri atas mineral magnetic (Fe3O4), dimana magnetic berwarna coklat dengan kadar besi yang tinggi diatas 56%.b. Haematite Ores, komposisinya terdiri atas mineral haematite (Fe2O3), dimana magnetic berwarna kuning kemerahan dengan kadar biji besi 40% hingga 65%.2. Hydrate Ore, berisi limotite (2Fe2O3.3H2O) dan Geothite (Fe2O3.3H2O) dengan kadar besi 20% hingga 55%.3. Karbonates, berisi mineral siderite (FeCO3) dengan kadar besi 30%.

Namun, logam ferro hampir tidak pernah digunakan untuk aplikasi rekayasa dalam keadaan murni karena keterbatasan sifat-sifat mekaniknya serta mahalnya proses untuk memurnikan logam ferro. Paduan berbasis besi (ferrous alloy) yang paling banyak digunakan untuk aplikasi rekayasa adalah paduan besi-karbon dengan kandungan karbon tertentu beserta unsur-unsur paduan lainya. Keberadaan unsur karbon di dalam larutan padat Fe memiliki pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan sifat-sifat mekanik logam besi. Baja karbon (carbon steel) adalah salah satu jenis logam paduan besi karbon terpenting dengan prosentase berat karbon hingga 2,11%. Baja karbon diklasifikasikan menjadi baja karbon (1) rendah, (2) sedang, dan (3) tinggi berdasarkan kadar karbon-nya. Jika penambahan elemen-elemen lain selain karbon untuk tujuan-tujuan tertentu cukup signifikan, maka baja diklasifikasikan sebagai baja paduan (alloy steel) yang dapat terdiri dari baja paduan rendah (low alloy steel) dan baja paduan tinggi (high alloy steel). Jenis baja lainnya yang cukup penting adalah baja perkakas (tool steel) dan baja tahan karat (stainless steel). Selain baja, paduan berbasis besi karbon lain yang juga penting adalah besi tuang atau besi cor (cast iron), yaitu besi dengan kadar karbon lebih dari 2,11% hingga 4-6%. Besi tuang diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan struktur mikro dan sifat-sifatnya ke dalam besi tuang kelabu (grey cast iron), besi tuang ulet atau nodular (ductile or nodular cast iron), besi tuang putih (white cast iron), dan besi tuang mampu tempa (malleable cast iron).

BAB II PROSES PEMBUATAN BAJA

Proses pembuatan baja dimulai dengan proses ekstraksi bijih besi. Proses reduksi umumnya terjadi di dalam tanur tiup (blast furnace) di mana di dalamnya bijih besi (iron ore) dan batu gamping (limestone) yang telah mengalami pemanggangan (sintering) diproses bersama-sama dengan kokas (cokes) yang berasal dari batubara. Serangkaian reaksi terjadi di dalam tanur pada waktu dan lokasi yang berbeda-beda, tetapi reaksi penting yang mereduksi bijih besi menjadi logam besi adalah sebagai berikut:

Fe2O3 + 3CO 2Fe + 3CO2

Gambar 2.1 Dapur Tinggi

Hasil utama dari proses ini adalah lelehan besi mentah (molten pig iron) dengan kandungan karbon yang cukup tinggi (4% C) beserta pengotor-pengotor lain seperti silkon, mangan, sulfur, dan fosfor. Besi mentah ini belum dapat dimanfaatkan secara langsung untuk aplikasi rekayasa karena sifat-sifat mekanisnya belum sesuai dengan yang dibutuhkan karena pengotor tersebut. Besi mentah berupa lelehan atau coran selanjutnya dikirim menuju konverter yang akan mengkonversinya menjadi baja.

Gambar 2.2 Skema Proses Dapur Tinggi

Proses pembuatan baja umumnya berlangsung di dalam tungku oksigen-basa (basic-oxygen furnace - BOF). Di dalam tungku ini besi mentah cair dicampur dengan besi tua (scrap) hingga 30% yang terlebih dahulu dimasukkan ke dalam tanur. Selanjutnya, oksigen murni ditiupkan dari bagian atas ke dalam leburan dan bereaksi dengan Fe membentuk oksida besi FeO. Beberapa saat sebelum reaksi dengan oksigen mulai berlangsung, fluks pembentuk slag dimasukkan dalam jumlah tertentu.Oksida besi atau FeO selanjutnya akan bereaksi dengan karbon di dalam besi mentah sehingga diperoleh Fe dengan kadar karbon lebih rendah dan gas karbon monoksida. Reaksi penting yang terjadi di dalam tungku adalah sebagai berikut:

FeO + C Fe + CO

Gambar 2.3 Dapur KonverterSelama proses berlangsung (sekitar 22 menit), terjadi penurunan kadar karbon dan unsur-unsur pengotor lain seperti P, S, Mn, dalam jumlah yang signifikan.

Gambar 2.4 Dapur Listrik

Selanjutnya untuk memperoleh baja paduan dapat dilakukan di dalam dapur listrik baik electric arc furnace maupun induction furnace. Untuk mendapatkan bentuk baja yang siap diproses digunakan continuous casting. Hasilnya adalah bloom, billet maupun slab. Selanjutnya bahan setengah jadi tersebut diproses dalam mesin roll untuk diproses menjadi profil, pelat atau batangan baja.

Gambar 2.5 Dapur Induksi

Gambar 2.6 Proses-proses pembentukan baja

Gambar 2.7 Produk dari continuous casting dan proses pembentukan profil baja

Gambar 2.8 Diagram alir pembuatan baja

BAB III DIAGRAM Fe-Fe3C

Diagram Fasa adalah diagram yang menunjukkan hubungan antara komposisi paduan dan temperature. Ketika memadukan dua atau lebih logam dengan cara mencairkan kemudian membekukan paduan tersebut secara perlahan-lahan maka akan terjadi perubahan fasa-fasa. Kesetimbangan fasa Fe-Fe3C adalah alat penting untuk memahami struktur mikro dan sifat-sifat baja karbon, suatu jenis logam paduan besi (Fe) dan karbon (C). Karbon larut di dalam besi dalam bentuk larutan padat (solid solution) hingga 0,05% berat pada temperatur ruang. Baja dengan atom karbon terlarut hingga jumlah tersebut memiliki fasa alpha-ferrite (-ferrite) pada temperatur ruang. Pada kadar karbon lebih dari 0,05% akan terbentuk endapan karbon dalam bentuk hard intermetallic stoichiometric compound (Fe3C) yang dikenal sebagai cementite atau ferro-carbide. Selain larutan padat -ferrite yang dalam kesetimbangan dapat ditemukan pada temperatur ruang terdapat fase-fase penting lainnya, yaitu delta-ferrite (-ferrite) dan gamma-austenite (-austenite). Logam Fe bersifat polymorphism yaitu memiliki struktur kristal berbeda pada temperatur berbeda. Pada Fe murni, misalnya, -ferrite akan berubah menjadi -austenite saat dipanaskan melewati temperature 910oC. Pada temperatur yang lebih tinggi, mendekati 1400oC -austenite akan kembali berubah menjadi -ferrite. ( dan ) ferrite dalam hal ini memiliki struktur kristal BCC (body centered cubic) sedangkan -austenite memiliki struktur kristal FCC (face centered cubic).

Gambar 3.1 Diagram Kesetimbangan Fasa Fe-Fe3C

3.1 FerriteFerrite adalah fase larutan padat yang memiliki struktur BCC (body centered cubic). Ferrite dalam keadaan setimbang dapat ditemukan pada temperature ruang, yaitu -ferrite atau pada temperatur tinggi, yaitu -ferrite. Secara umum fase ini bersifat lunak (soft), ulet (ductile), dan magnetik hingga temperatur tertentu, yaitu Tcurie. Kelarutan karbon di dalam fase ini relatif lebih kecil dibandingkan dengan kelarutan karbon di dalam fase larutan padat lain di dalam baja, yaitu fase austenite. Pada temperatur ruang, kelarutan karbon di dalam -ferrite hanyalah sekitar 0,05%.Berbagai jenis baja dan besi tuang dibuat dengan mengeksploitasi sifat-sifat ferrite. Baja lembaran berkadar karbon rendah dengan fase tunggal ferrite misalnya, banyak diproduksi untuk proses pembentukan logam lembaran. Dewasa ini bahkan telah dikembangkan baja berkadar karbon ultra rendah untuk karakteristik mampu bentuk yang lebih baik. Kenaikan kadar karbon secara umum akan meningkatkan sifat-sifat mekanik ferrite. Untuk paduan baja dengan fase tunggal ferrite, faktor lain yang berpengaruh signifikan terhadap sifat-sifat mekanik adalah ukuran butir.

3.2 AusteniteFase austenite memiliki struktur atom FCC (Face Centered Cubic). Dalam keadaan setimbang fase austenite ditemukan pada temperatur tinggi. Fase ini bersifat non magnetik dan ulet pada temperatur tinggi. Kelarutan atom karbon di dalam larutan padat austenite lebih besar jika dibandingkan dengan kelarutan atom karbon pada fase ferrite. Secara geometri, dapat dihitung perbandingan besarnya ruang intertisi di dalam fase austenite (atau kristal FCC) dan fase ferrite (atau kristal BCC). Perbedaan ini dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena transformasi fase pada saat pendinginan austenite yang berlangsung secara cepat. Selain pada temperatur tinggi, austenite pada sistem ferrous dapat pula direkayasa agar stabil pada temperatur ruang. Elemen-elemen seperti Mangan dan Nikel misalnya dapat menurunkan laju transformasi dari -austenite menjadi -ferrite. Dalam jumlah tertentu elemen-elemen tersebut akan menyebabkan austenite stabil pada temperatur ruang. Contoh baja paduan dengan fase austenite pada temperatur ruang misalnya adalah baja Hadfield (12% Mangan) dan baja Stainless 18 - 8 (8%Ni).

3.3 CementiteCementite atau ferro-carbide dalam sistem paduan berbasis besi adalah stoichiometric inter-metallic compund Fe3C yang keras (hard) dan getas (brittle). Nama cementite berasal dari kata cementum yang berarti stone chip atau lempengan batu. Cementite sebenarnya dapat terurai menjadi bentuk yang lebih stabil yaitu Fe dan C sehingga sering disebut sebagai fase metastabil. Namun, untuk keperluan praktis, fase ini dapat dianggap sebagai fase stabil. Cementite sangat penting perannya di dalam membentuk sifat-sifat mekanik akhir baja. Cementite dapat berada di dalam sistem besi baja dalam berbagai bentuk seperti: bentuk bola (sphere), bentuk lembaran (berselang seling dengan -ferrite), atau partikel-partikel carbide kecil. Bentuk, ukuran, dan distribusi karbon dapat direkayasa melalui siklus pemanasan dan pendinginan (heat threatment). Jarak rata-rata antar karbida, dikenal sebagai lintasan ferrite rata-rata (ferrite mean path), adalah parameter penting yang dapat menjelaskan variasi sifat-sifat besi baja. Variasi sifat luluh baja diketahui berbanding lurus dengan logaritmik lintasan ferrite rata-rata.

3.4 Reaksi-reaksi Invarian dan Konstituen Mikro PentingSecara keseluruhan ada tiga reaksi penting di dalam diagram kesetimbangan fase Fe-Fe3C, yaitu: reaksi peritectic, reaksi eutectic, dan reaksi eutectoid sebagaimana terlihat di dalam diagram kesetimbangan. Untuk sistem besi baja, reaksi eutectoid adalah reaksi yang sangat penting karena dengan mengontrol reaksi eutectoid dapat diperoleh berbagai konstituen mikro (micro constituent) yang diinginkan untuk mendapatkan sifat-sifat tertentu. Berdasarkan kadar karbonnya, baja dapat pula diklasifikasikan menjadi (1) baja eutectoid, (2) baja hypoeutectoid, dan (3) baja hypereutectoid.

Gambar 3.2 Reaksi-reaksi penting dalam Diagram Fasa

Lever rule:% dan %Fe3C pada eutectoid pearlite adalah:

Gambar 3.3 Menghitung jumlah fasa dalam sistem Fe-Fe3CPerhitungan jumlah fasa pada sistem Fe Fe3C dapat ditentukan dengan menggunakan kaidah lengan (lever rule). Pada Gambar 3.3 dapat diketahui besarnya persentase berat fasa -ferrite dan persentase berat fasa Fe3C. Mikrostruktur yang terjadi adalah pearlite ( + Fe3C) yang tersusun menghasilkan lamellar eutectoid dimana kedua fasa tersebut tumbuh secara simultan. Kesetimbangan pendinginan (perlahan / slow) dari daerah-austenite pada komposisi eutectoid persentase berat 0.76% C:

+ Fe3C (pearlite)

Baja paduan terdapat bermacam-macam, tergantung pada unsur paduannya. Sistem penamaan baja yang telah dikenal luas adalah sistem AISI-SAE yang menggunakan 4 - 5 Angka. Dua angka pertama menunjukkan elemen-elemen paduan utama (major alloying elements) dan dua atau tiga angka sisanya menunjukkan prosentase karbon dalam persen.Baja dengan nama AISI-SAE 1080 misalnya, adalah jenis baja karbon (plain carbon steel) dengan kadar karbon 0.8%. Contoh dari baja jenis ini adalah baja kawat piano. Kawat piano memiliki struktur pearlite seluruhnya dan kekuatannya yang tinggi terutama diperoleh dari proses pengerjaan dingin pada proses produksinya.

BAB IV BAJA KARBON

Baja karbon adalah paduan besi baja dengan elemen utama Fe dan C. Baja karbon memiliki kadar C hingga 2.11% dengan Mn 0.30%-0.95%. Baja dengan kadar karbon sangat rendah memiliki kekuatan yang relatif rendah tetapi memiliki keuletan yang relatif tinggi. Baja jenis ini umumnya digunakan untuk proses pembentukan logam lembaran. Dengan meningkatnya kadar karbon maka baja karbon menjadi semakin kuat tetapi berkurang keuletannya. Beberapa jenis baja karbon, klasifikasi dan aplikasinya berdasarkan AISI-SAE dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Klasifikasi dan aplikasinya berdasarkan AISI-SAE

Umumnya baja karbon (plain carbon steel) diklasifikasikan menjadi:1. Baja karbon rendah (low carbon steel),2. Baja karbon menengah (medium carbon steel), dan 3. Baja karbon tinggi (high carbon steel) berdasarkan prosentase karbonnya.

Baja AISI-SAE 1020-1040, dengan kadar karbon 0,2%-0,4%, diklasifikasikan sebagai baja karbon menengah. Baja jenis ini digunakan secara luas sebagai bahan poros (shaft) dan roda gigi (gear). Baja dengan kadar karbon di atas 0,60% umumnya dikategorikan sebagai baja karbon tinggi. Aplikasi dari baja karbon tinggi misalnya untuk pembuatan cetakan-cetakan logam (dies, punch, block), kawat-kawat baja (kawat pegas, kawat musik, kawat kekuatan tinggi), dan alat-alat potong (cutter, shear blade).Baja karbon rendah atau sangat rendah, seperti telah dijelaskan sebelumnya, banyak digunakan untuk proses pembentukan logam lembaran, misalnya untuk badan dan rangka kendaraan serta komponen-komponen otomotif lainnya. Baja jenis ini dibuat dan diaplikasikan dengan mengeksploitasi sifat-sifat ferrite. Ferrite adalah salah satu fasa penting di dalam baja yang bersifat lunak dan ulet. Baja karbon rendah umumnya memiliki kadar karbon di bawah komposisi eutectoid dan memiliki struktur mikro hampir seluruhnya ferrite. Pada lembaran baja kadar karbon sangat rendah atau ultra rendah, jumlah atom karbon-nya bahkan masih berada dalam batas kelarutannya pada larutan padat sehingga struktur mikronya adalah ferrite seluruhnya. Hingga batas kelarutannya di dalam larutan padat ferrite, penambahan karbon berpengaruh terhadap sifat-sifat mekanik lembaran (lihat Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Grafik hubungan prosentase karbon dan kekuatan baja.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sifat cementite atau carbide yang keras dan getas berperan penting di dalam meningkatkan sifat-sifat mekanik baja. Salah satu parameter penting yang menunjukkan hal tersebut, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah a mean ferrite path. A mean ferrite path menunjukkan jarak antar cementite, baik pada pearlite maupun sphreodite. Jarak antar carbide di dalam pearlite secara khusus dikenal sebagai interlamellar spacing atau spasi antar lamel atau lembaran.Selain kadar karbon, sifat-sifat mekanik baja karbon rendah dengan fase tunggal ferrite (ferritic low carbon steel) ditentukan pula oleh dimensi atau ukuran butir-butir ferrite. Secara umum diketahui bahwa baja dengan ukuran butir lebih kecil akan memiliki kekuatan yang lebih tinggi pada temperatur kamar. Hubungan tersebut secara kuantitatif dikenal sebagai Persamaan Hall-Petch.

Di mana:y= tegangan luluh,o= konstanta tegangan awal untuk pergerakan dislokasi (hambatan kisi-kisi pada pergerakan dislokasi) pada material,ky= koefisien penguatan (khas untuk setiap material), dand= diameter rata-rata butiran

Tabel 4.2 Contoh konstanta Hall-PetchMaterialo (Mpa)k (Mpa.m1/2)

Tembaga250.11

Titanium800.40

Mild Steel700.74

Ni3Al3001.70

Mild steel adalah baja dengan kadar karbon kurang dari 0.15%, sehingga dapat dikategorikan sebagai baja karbon rendah. Namun dibeberapa literatur kadar karbon dapat mencapai 0.3%. Baja ini biasa digunakan untuk baja struktur.

Persamaan Hall-Petch ini sangat penting dalam menjelaskan hubungan antara struktur mikro dan sifat-sifat baja. Hubungan ini dimanfaatkan di dalam pemrosesan baja, yaitu dengan mengatur atau mengendalikan ukuran butir untuk meningkatkan kekuatan baja. Penguatan baja dengan cara ini dilakukan melalui proses thermomekanika (thermomechanical process), proses perlakuan panas (heat treatment), dan pemberian paduan mikro (micro alloying).

Gambar 4.2 Pengaruh ukuran butir terhadap tegangan luluh

Untuk aplikasi proses pembentukan logam lembaran, sifat-sifat ferrite yang ulet sangat penting. Perlu diketahui bahwa keuletan adalah salah satu sifat intrinsik yang sangat berpengaruh. Namun, di samping % elongasi maksimum (mulur) yang menggambarkan keuletan baja karbon, terdapat parameter penting lain yang lebih menggambarkan karakteristik mampu bentuk logam lembaran yaitu nilai n (koefisien pengerasan regangan) dan nilai Lankford Value, r (rasio regangan plastis). Nilai n secara umum menggambarkan kemampuan lembaran baja untuk mendistribusikan regangan secara merata. Pada pengujian tarik dapat diketahui dari besarnya regangan uniform yang mampu dicapai oleh logam (akan dibahas lebih lanjut pada bagian yang lain). Nilai r secara umum menggambarkan ketahanan logam lembaran terhadap penipisan. Dalam hal ini, terhadap hubungan yang cukup kuat antara nilai r dan limit drawing ratio (LDR) atau batas rasio penarikan logam lembaran. Nilai r terutama berhubungan dengan tekstur kristalografi pada baja, yaitu adanya orientasi kristal yang lebih disukai (preferred orientation). Di samping itu, terdapat pula hubungan antara nilai r dengan ukuran besar butir.

4.1 Proses Perlakuan Panas Baja KarbonTelah dijelaskan sebelumnya bahwa reaksi eutectoid sangat penting di dalam mengendalikan struktur mikro baja. Dengan mengendalikan reaksi eutectoid, dapat diperoleh tiga konstituen mikro penting yaitu: (1) pearlite, (2) bainite, dan (3) (tempered) martensite.

Gambar 4.3 Tiga konstituen mikro penting dari baja karbon.4.2 PearlitePearlite adalah suatu campuran lamellar dari ferrite dan cementite. Konstituen ini terbentuk dari dekomposisi austenite melalui reaksi eutectoid pada keadaan setimbang, di mana lapisan ferrite dan cementite terbentuk secara bergantian untuk menjaga keadaan kesetimbangan komposisi eutectoid. Pearlite memiliki struktur yang lebih keras daripada ferrite, yang terutama disebabkan oleh adanya fase cementite atau carbide dalam bentuk lamel-lamel.

Gambar 4.4 Struktur mikro dari pearlite.

Gambar 4.4 menunjukkan struktur mikro pearlite dalam perbesaran lebih tinggi. Daerah yang lebih terang pada gambar adalah ferrite sedangkan daerah yang lebih gelap pada gambar adalah carbide atau cementite. Salah satu contoh baja karbon yang memiliki struktur ini adalah kawat piano atau baja AISI 1080 menurut standar SAE-AISI. Baja kawat piano dengan kadar karbon 0,8% dengan struktur pearlite seluruhnya memiliki kekuatan tarik (tensile strength) sekitar 4,2 GPa. Bandingkan dengan kekuatan tarik baja karbon rendah (0,05% C) dengan struktur mikro ferrite seluruhnya yang kekuatan tariknya hanya 0,2 GPa. Konstituen mikro lain yang dapat diperoleh dengan mengendalikan reaksi eutectoid adalah Bainite. Bainite adalah suatu campuran non-lamellar dari ferrite dan cementite yang terbentuk pada dekomposisi austenite melalui reaksi eutectoid. Berbeda dengan pearlite yang terbentuk pada laju transformasi atau pendinginan sedang, strukturnya adalah acicular, terdiri atas ferrite lewat jenuh dengan partikel-partikel carbide terdispersi secara diskontinu. Dispersi dari bainite tergantung pada temperatur pembentukannya.

4.3 MartensiteMartensite adalah mikro konstituen yang terbentuk tanpa melalui proses difusi. Konstituen ini terbentuk saat austenite didinginkan secara sangat cepat, misalnya melalui proses quenching pada media air. Transformasi berlangsung pada kecepatan sangat cepat, mendekati orde kecepatan suara, sehingga tidak memungkinkan terjadi proses difusi karbon. Transformasi martensite diklasifikasikan sebagai proses transformasi tanpa difusi yang tidak tergantung waktu (diffusionless time-independent transformation). Martensite yang terbentuk berbentuk seperti jarum yang bersifat sangat keras (hard) dan getas (brittle). Fase martensite adalah fase metastabil yang akan membentuk fase yang lebih stabil apabila diberikan perlakuan panas. Martensite yang keras dan getas diduga terjadi karena proses transformasi secara mekanik (geser) akibat adanya atom karbon yang terperangkap pada struktur kristal pada saat terjadi transformasi polimorf dari FCC ke BCC. Hal ini dapat dipahami dengan membandingkan batas kelarutan atom karbon di dalam FCC dan BCC serta ruang intertisi maksimum pada kedua struktur kristal tersebut. Akibatnya terjadi distorsi kisi kristal BCC menjadi BCT atau body centered tetragonal. Distorsi kisi akibat transformasi pada proses pendinginan secara cepat tersebut berbanding lurus dengan jumlah atom karbon terlarut sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 4.5.

Gambar 4.5 Atom karbon di dalam austenite, ferrite, dan martensite

Distorsi kisi pada transformasi martensite meskipun memiliki kekerasan yang sangat tinggi, martensite tidak memiliki arti penting di dalam aplikasi rekayasa. Untuk kebanyakan aplikasi rekayasa martensite perlu di-temper atau dipanaskan kembali pada temperature tertentu untuk mengurangi kegetasan (brittleness) dan meningkatkan ketangguhannya (toughness) ke tingkat yang dapat diterima tanpa terlalu banyak menurunkan kekerasannya.

BAB V BAJA TAHAN KARAT

Baja tahan karat atau stainless steel telah sering didengar atau digunakan sehari-hari. Sifat stainless steel yang tahan karat pun telah banyak yang mengetahuinya. Tetapi mungkin tidak semua tahu bahwa stainless steel adalah hasil dari percobaan yang dianggap merupakan kesalahan namun akhirnya membawa berkah. Salah seorang professor di Sheffield (tempat pertama kali ditemukannya logam stainless steel), Harry (1913), salah seorang peneliti, sedang berkutat dengan penelitiannya untuk mengatasi masalah erosi pada senapan laras panjang. Kesalahannya mencampur dan mengolah paduan ternyata kemudian membawa manfaat. Suatu hari ia merasa heran karena di bak sampahnya terdapat logam yang tetap bersih dan mengkilap, sementara logam-logam lainnya telah mulai berkarat. Kemudian diketahuinya bahwa logam itu adalah salah satu paduan yang pernah dibuangnya saat melakukan penelitian. Kelak diketahui bahwa besi dengan kadar khromium 13% akan membentuk lapisan film oksida krom yang bersifat protektif yang akan melindungi logam dari korosi.Paduan Fe-Cr adalah jenis baja tahan karat paling sederhana yang berstruktur dasar ferrite. Hal ini dapat dipahami dengan mempelajari diagram kesetimbangan fase Fe-Cr yang diperlihatkan pada Gambar 5.1.

Gambar 5.1 Diagram fasa Fe-Cr yang memperlihatkan kesetimbangan fasa-fasa pada kombinasi khromium dan temperatur. Titik leleh besi dan khromium pada tekanan 101.325 kPa masing-masing adalah 1538 C dan 1907 C.

Khromium adalah unsur penstabil ferrrite. Khromium dengan struktur BCC (sama dengan Ferrite) akan memperluas daerah fase dan mempersempit daerah fase . Akibatnya terbentuk loop austenite yang membatasi daerah FCC dan BCC. Dari Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa pada paduan Fe-Cr dengan kandungan Cr di atas 12% tidak terjadi transformasi fase austenite ke ferrite. Dari temperatur ruang hingga ke titik lebur fasenya adalah ferrite. Akibatnya, tidak dimungkinkan pula terjadi transformasi martensitik. Sementara ini dapat ditarik kesimpulan bahwa besi (tanpa karbon) stainless dengan kadar Cr di atas 12% selalu berstruktur ferrite. Ferritic stainless steel dapat memiliki kadar Cr hingga 30%.Jika pada kadar karbon rendah (Gambar 5.2) ferrrite stabil di semua rentang temperatur maka pada kadar karbon yang lebih tinggi dapat ditemukan daerah fase austenite. Penambahan kadar karbon sebesar 0,6% misalnya, akan memodifikasi diagram fasa sehingga paduan akan memiliki fase austenite pada temperatur tinggi. Pada kondisi ini, baja dapat di-quench untuk menghasilkan martensite.Secara umum, semakin tinggi kadar Cr semakin tahan besi terhadap korosi. Hal ini disebabkan karena terbentuknya lapisan film oksida khrom pada permukaan. Di sisi lain kekurangan kadar khromium akan menyebabkan berkurangnya jumlah lapisan film oksida protektif. Dalam hal ini, kadar karbon di dalam stainless perlu dijaga dalam keadaan rendah. Jika tidak, maka akan terbentuk karbida khrom sehingga khrom tidak dapat ke permukaan membentuk oksida film protektif. Penambahan Ni sangat penting karena Ni memiliki struktur FCC yang memiliki batas kelarutan karbon yang lebih besar sehingga mengurangi peluang terjadi pembentukan karbida khromium yang akan mengurangi kadar khromium dan oleh karenanya jumlah lapisan film oksida protektif pada permukaan.

Gambar 5.2 Pengaruh penambahan karbon terhadap luas daerah fase austenite

Gambar 5.2 menunjukkan pengaruh penambahan karbon terhadap luas daerah fase austenite pada paduan stainless steel Fe-Cr. Contoh paduan stainless steel dengan penambahan Ni adalah stainless steel 18-8. Telah dijelaskan pula sebelumnya bahwa Ni yang memiliki struktur FCC adalah elemen penstabil FCC atau austenite pada paduan besi. Keberadaan Ni akan mengurangi kecenderungan besi FCC untuk bertransformasi menjadi BCC. Pada kadar karbon tertentu (< 0,03%C) fase austenite bahkan akan stabil pada temperatur ruang.

Gambar 5.3 Pengaruh penambahan kadar Nikel terhadap daerah fase austenite

Gambar 5.4 Skema pengelompokan baja paduanPada paduan baja stainless Fe-Cr-Ni sejauh ini telah dikenal dua jenis paduan stainless steel yang penting, yaitu paduan stainless steel dengan kandungan Ni rendah dan paduan stainless steel dengan kandungan Ni tinggi. Telah dikenal pula tiga jenis paduan stainless steel berdasarkan fasenya, yaitu: logam stainless steel feritik (ferritic stainless steel), logam stainless steel martensitik (martensitic stainless steel), dan logam stainless steel austenitik (austenitic stainless steel). Selain berdasarkan kedua hal di atas, paduan stainless steel dapat pula dikelompokkan berdasarkan mekanisme penguatannya. Termasuk ke dalam golongan ini adalah PH stainless steel, yaitu paduan stainless steel yang dikuatkan melalui mekanisme precipitation hardening yang meliputi solutionizing, qenching, dan aging.

BAB VI BESI TUANG

Besi tuang adalah paduan berbasis besi dengan kadar karbon tinggi, yaitu 2% - 4%C dengan kadar Si 0,5%-3%. Besi tuang memiliki aplikasi di bidang rekayasa yang cukup luas terutama karena kemampuannya untuk langsung dibentuk menjadi bentuk akhir (net shape) atau mendekati bentuk akhir (near net shape) melalui proses solidifikasi (solidification) atau pengecoran (casting). Besi tuang mudah untuk dicor karena beberapa hal. Pertama, besi tuang mudah dilebur dan memiliki fluiditas yang sangat baik pada keadaan cairnya. Kedua, ketika dituang besi tidak membentuk lapisan film pada permukaannya. Selain itu, besi tuang tidak mengalami penyusutan volume (shrinkage) yang terlalu tinggi pada saat solidifikasi.Gambar 3.1 dan 3.2, diagram fase Fe-Fe3C menunjukkan daerah besi tuang. Kemampuan besi tuang untuk dapat dicetak menjadi bentuk yang diinginkan terutama berhubungan dengan adanya reaksi eutectic pada diagram kesetimbangan Fe-Fe3C pada rentang kandungan karbon tersebut. Pada reaksi tersebut titik lebur paduan besi turun hingga sekitar 1130oC dengan rentang temperatur liquidus dan solidus yang sangat kecil, atau membeku seperti logam murni dengan satu titik beku.Di samping itu, reaksi eutectic penting pula di dalam merekayasa dan mengendalikan sifat-sifat besi tuang yang sangat tergantung pada karakteristik konstituen-konstituennya. Dekomposisi autenite, seperti halnya pada baja, dapat dikendalikan sehingga dihasilkan matriks ferrite, pearlite, bainite, atau martensite. Solidifikasi dan dekomposisi austenite dapat diatur agar menghasilkan grafit (C) atau karbida (Cementite). Dengan menambahkan modifier dan innoculant bentuk grafit dapat pula direkayasa menjadi berbentuk bola (sphereoidal graphite), kompak (compacted graphite), dan serpihan (flake). Selanjutnya, karbida dapat diberi perlakuan panas lebih lanjut untuk mendekomposisi cementite, menghasilkan struktur yang mampu ditempa.Besi tuang dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan karakteristik struktur mikro menjadi besi tuang kelabu (gray cast iron), besi tuang nodular (nodular cast iron), besi tuang grafit kompak (compacted graphite cast iron), besi tuang putih (white cast iron), dan besi tuang mampu tempa (malleable cast iron). Gambar skematis jenis-jenis besi tuang tersebut diperlihatkan Tabel 6.1.

Tabel 2. Jenis-jenis besi tuang, struktur mikro, pembuatan, dan karakteristiknya.BESI TUANGSTRUKTUR MIKROPEMBUATANSIFAT MEKANIK

Besi tuang kelabu (Grey cast iron) *diberi nama kelabu (grey) karena patahannya berwarna kelabu.Biasanya memiliki kadar karbon 2,5 - 4%. Jumlah silikon yang relatif tinggi (1 - 3%) diperlukan untuk mempromosikan pembentukan grafit. Kecepatan pembekuan sangat penting untuk mengatur jumlah grafit yang terbentuk (biasanya lambat hingga sedang). Laju solidfikasi berperan pula di dalam menentukan matriks yang terbentuk.Grafit berbentuk serpihan-serpihan panjang (flakes). Memiliki kekuatan dan keuletan rendah. Memiliki mampu mesin yang baik pada kekerasannya. Memiliki ketahanan aus (wear resistance) yang baik, tahan terhadap galling pada pelumasan terbatas serta memiliki kemampuan untuk menahan getaran (damping capacity) sangat baik.

Besi tuang putih (White cast iron) *diberi nama putih karena patahannya berwarna putih.Struktur karbida diperoleh dengan menjaga kandungan karbon (2,5-3,0%) dan silikon (0,5 - 1,5%) pada kadar rendah dan kecepatan pembekuan yang tinggi pada proses solidifikasi.Memiiki struktur karbida (cementite) di dalam matriks pearlite. Keras, getas, dan tidak dapat dimesin. Memiliki ketahanan terhadap keausan (wear resistance) dan abrasi sangat baik.

Besi tuang mampu tempa (Malleable cast iron).

Bahan baku yang digunakan adalah besi tuang putih. Perlakuan panas untuk menghasilkan besi tuang mampu tempa terdiri atas: grafitisasi dan pendinginan. Pembentukan grafit dilakukan pada temperature di atas temperature eutectoid. Karbida akan berubah menjadi grafit (tempered carbon) dan austenite. Selanjutnya asutenite dapat didekomposisi menjadi ferrite, pearlite, atau martensite.Koloni grafit berbentuk bulat tidak teratur. Memiliki kekuatan, keuletan, dan ketangguhan lebih baik. Memiliki struktur uniform.

Besi tuang ulet atau nodular (Ductile iron, Nodular cast iron).* nama mengacu pada sifat dan bentuk grafit-nyaKandungan karbon (3,0 - 4,0%) dan silikonnya (1,8 - 2,8%). Kandungan sulfur (S) dan fosfor (P) sangat rendah kira-kira 10 kali lebih rendah dari besi tuang kelabu. Nodule berbentuk bola terbentuk pada proses solidikasi karena kandungan belerang (S) dan oksigen ditekan ke tingkat yang sangat rendah dengan menambahkan Magnesium (Mg) beberapa saat sebelum penuangan.Partikel-partikel grafit berbentuk bola (speroid). Memiliki sifat-sifat yang hampir sama dengan malleable cast iron. Memiliki mampu mesin sangat baik dan ketahanan aus baik. Memiliki sifat-sifat yang mirip dengan baja (kekuatan, ketangguhan, keuletan, mampu bentuk panas, dan kemampukerasan).

BAB VII PENGUJIAN BAHAN

7.1 PendahuluanPengujian bahan bertujuan mengetahui sifat-sifat fisik, mekanik atau cacat pada bahan/produk, sehingga pemilihan bahan dapat dilakukan dengan tepat untuk suatu keperluan. Cara pengujian bahan dibagi dalam dua kelompok yaitu pengujian dengan merusak (destructive test) dan pengujian tanpa merusak (non destructive test). Pengujian dengan merusak dilakukan dengan cara merusak benda uji dengan cara pembebanan/penekanan sampai benda uji tersebut rusak. Dari pengujian ini akan diperoleh informasi tentang kekuatan dan sifat mekanik bahan. Pengujian tanpa merusak dilakukan dengan memberi perlakuan tertentu terhadap bahan uji atau produk sehingga diketahui adanya cacat berupa retak atau rongga pada benda uji/produk. Pengujian dengan merusak (destructive test) terdiri dari: 1. Pengujian Tarik (Tensile Test) 2. Pengujian Tekan (Compressed Test) 3. Pengujian Bengkok (Bending Test) 4. Pengujian Pukul (Impact Test ) 5. Pengujian Puntir (Torsion Test) 6. Pengujian Lelah (Fatique Test) 7. Pengujian Kekerasan (Hardness Test).

Pengujian tanpa merusak (non destruktive test) terdiri dari: 1. Dye Penetrant Test 2. Electro Magnetic Test 3. Ultrasonic Test 4. Sinar Rongent

Sifat-sifat mekanik bahan sangat dipengaruhi oleh jenis dan komposisi bahan logam serta perlakuan terhadap bahan tersebut. Sifat-sifat mekanik logam tersebut antara lain, keras (hardness), liat ( ductile), lunak, dan tangguh (toughness). Bahan logam dikatakan keras apabila memiliki ketahanan terhadap penetrasi terhadap logam lain atau bahan pembanding standar (sebagai contoh bahan pembanding adalah intan), atau memiliki kemampuan melakukan penetrasi terhadap logam lain (contoh baja HSS atau HCS, baja karbida). Bahan logam dikatakan liat apabila memiliki kemampuan dibentuk dengan proses penarikan dingin tanpa putus (contoh tembaga). Bahan logam dikatakan lunak apabila mampu dibentuk dengan proses penekanan dingin tanpa pecah/retak (contoh: Timah). Bahan logam dikatakan tangguh apabila mampu menahan pembebanan gabungan dan berulang dalam rentang waktu tertentu tanpa rusak. Sifat-sifat mekanik tersebut dapat diubah apabila diubah komposisi bahan tersebut atau memberikan perlakuan panas terhadap bahan tersebut. Bila dikaitkan dengan proses produksi, maka sifat bahan bisa dikategorikan mampu mesin (machine ability) atau tidak mampu mesin, serta mampu bentuk atau tidak mampu bentuk. Apabila bahan dapat dikerjakan dengan mudah pada mesin konvensional (mesin produksi yang mamakai alat potong dan menghasilkan tatal), disebut mampu mesin. Logam mampu bentuk apabila dapat dibentuk dengan proses penekanan tanpa retak atau pecah. Logam mempunyai beberapa sifat antara lain: 1. sifat mekanis, 2. sifat fisika, 3. sifat kimia,4. sifat konduktifitas thermal, 5. sifat konduktifitas listrik. Sifat mekanis adalah kemampuan suatu logam untuk menahan beban yang diberikan pada logam tersebut. Pembebanan yang diberikan dapat berupa pembebanan statis (besar dan arahnya tetap), ataupun pembebanan dinamis (besar dan arahnya berubah). Yang termasuk sifat mekanis pada logam, antara lain: kekuatan bahan (strength), kekerasan, elastisitas, kekakuan, plastisitas, kelelahan bahan.Kekuatan (strength) adalah kemampuan material untuk menahan tegangan tanpa kerusakan. Beberapa material seperti baja struktur, besi tempa, alumunium, dan tembaga mempunyai kekuatan tarik dan tekan yang hampir sama. Sementara itu, kekuatan gesermya kira-kira dua pertiga kekuatan tariknya. Ukuran kekuatan bahan adalah tegangan maksimumnya, atau gaya terbesar persatuan luas yang dapat ditahan bahan tanpa patah. Dalam ilmu kekuatan bahan, akan dipelajari tentang banyak hal misalnya: jenis pembebanan yang diberikan, gaya-gaya yang bekerja didalamnya, tegangan-tegangan yang terjadi, jenis bahan dan kasus pembebanan yang diberikan sampai menentukan tegangan yang diizinkan sehingga seorang Engineer dapat menentukan jenis bahan, dimensi dan mengontrol kekuatan suatu konstruksi mekanik sesuai dengan fungsi dari ilmu kekuatan bahan itu sendiri. Secara garis besar fungsi dari ilmu kekuatan bahan yakni : 1. Menentukan dimensi yang proporsional (Apabila beban dan bahan diketahui atau ditentukan). 2. Menentukan beban maksimum (Apabila dimensi dan bahan diketahui atau ditentukan).3. Menentukan bahan yang sesuai atau cocok (Apabila beban dan dimensi diketahui).4. Mengontrol kekuatan bahan (Apabila beban, dimensi dan bahan diketahui) dengan melakukan comparisson study antara tegangan yang terjadi dengan tegangan yang diizinkan.

Gaya DalamGaya dalam ialah gaya yang terjadi di dalam suatu elemen konstruksi (batang) sebagai akibat adanya pengaruh gaya dari luar. Gaya dalam diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu:a. Gaya normal (gaya aksial) yakni gaya dalam yang bekerja tegak lurus terhadap penampang potong atau sejajar dengan sumbu batang. Arah gaya satu sumbu.b. Gaya geser (gaya melintang) yakni gaya dalam yang bekerja sejajar dengan penampang potong atau tegak lurus terhadap sumbu batang. Arah gaya tidak satu sumbu.

PembebananJika ditinjau dari arahnya (beban) dan akibatnya terhadap komponen yang menahannya, pembebanan dikategorikan menjadi 5 jenis, yaitu:a. Pembebanan tarik yakni apabila gaya yang bekerja sejajar dengan garis sumbu atau tegak lurus terhadap penampang potong berorientasi kerja keluar (menjauh) sehingga mengakibatkan batang atau elemen konstruksi mengalami perpanjangan.b. Pembebanan Tekan yakni apabila gaya yang bekerja sejajar dengan garis sumbu atau tegak lurus terhadap penampang potong berorientasi kerja kedalam (menuju) sehingga mengakibatkan batang atau elemen konstruksi mengalami perpendekan.c. Pembebanan Bengkok yakni apabila gaya yang bekerja dengan jarak tertentu terhadap penampang potong yang mengakibatkan momen bending pada batang atau elemen konstruksi tersebut.d. Pembebanan Geser yakni apabila gaya yang bekerja sejajar dengan penampang potong atau tegak lurus terhadap garis sumbu yang mengakibatkan elemen kontruksi (batang) mengalami pergeseran.e. Pembebanan Puntir yakni apabila gaya yang bekerja sejajar penampang potong dengan jarak radius tertentu terhadap sumbu batang (garis sumbu) yang mengakibatkan momen puntir.

TeganganApabila suatu gaya dalam ditahan oleh penampang batang maka di dalam penampang batang tersebut akan mengalami adanya tegangan. Tegangan ialah besarnya gaya yang diberikan per satuan luas penampang. Ditinjau dari arah gaya dalam yang terjadi, tegangan diklasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu :a. Tegangan Normal yakni tegangan yang terjadi karena pengaruh dari Gaya Normalb. Tegangan Geser yakni tegangan yang terjadi karena pengaruh Gaya Geser

7.2 Pengujian TarikPrinsip pengujianSampel atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu (sesuai standar pengujian tarik) ditarik dengan beban kontinyu sambil diukur pertambahan panjangnya. Data yang didapat berupa perubahan panjang dan perubahan beban yang selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik tegangan-regangan. Data-data penting yang diharapkan didapat dari pengujian tarik ini adalah: perilaku mekanik material dan karakteristik perpatahan. Informasi penting yang bisa didapat adalah:a. Batas proporsionalitas (proportionality limit)Merupakan daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai hubungan proporsionalitas satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan akan diikuti dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan linier = E (bandingkan dengan hubungan y = mx; dimana y mewakili tegangan; x mewakili regangan dan m mewakili slope kemiringan dari modulus kekakuan). Titik P pada Gambar 7.2 menunjukkan batas proporsionalitas dari kurva tegangan-regangan.

Gambar 7.1 Alat dan spesimen uji tarik

Gambar 7.2 Batas proporsionalitas dari kurva tegangan-regangan.

b. Batas elastis (elastic limit)Daerah elastis adalah daerah dimana bahan akan kembali kepada panjang semula bila tegangan luar dihilangkan. Daerah proporsionalitas merupakan bagian dari batas elastik ini. Selanjutnya bila bahan terus diberikan tegangan (deformasi dari luar) maka batas elastis akan terlampaui pada akhirnya sehingga bahan tidak akan kembali kepada ukuran semula. Dengan kata lain dapat didefinisikan bahwa batas elastis merupakan suatu titik dimana tegangan yang diberikan akan menyebabkan terjadinya deformasi permanen (plastis) pertama kalinya. Kebanyakan material teknik memiliki batas elastis yang hampir berimpitan dengan batas proporsionalitasnya. c. Titik luluh (yield point) dan kekuatan luluh (yield strength)Titik ini merupakan suatu batas dimana material akan terus mengalami deformasi tanpa adanya penambahan beban. Tegangan (stress) yang mengakibatkan bahan menunjukkan mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh (yield stress). Titik luluh ditunjukkan oleh titik Y pada Gambar 7.3. Gejala luluh umumnya hanya ditunjukkan oleh logam-logam ulet dengan struktur Kristal BCC dan FCC yang membentuk interstitial solid solution dari atom-atom carbon, boron, hidrogen dan oksigen. Interaksi antara dislokasi dan atom-atom tersebut menyebabkan baja ulet seperti mild steel menunjukkan titik luluh bawah (lower yield point) dan titik luluh atas (upper yield point).

Gambar 7.3 Gejala luluh

Baja berkekuatan tinggi dan besi tuang yang getas umumnya tidak memperlihatkan batas luluh yang jelas. Untuk menentukan kekuatan luluh material seperti ini maka digunakan suatu metode yang dikenal sebagai Metode Offset. Dengan metode ini kekuatan luluh (yield strength) ditentukan sebagai tegangan dimana bahan memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari proporsionalitas tegangan dan regangan. Pada Gambar 7.3 garis offset OX ditarik paralel dengan OP, sehingga perpotongan XW dan kurva tegangan-regangan memberikan titik Y sebagai kekuatan luluh. Umumnya garis offset OX diambil 0.1 0.2% dari regangan total dimulai dari titik O. Kekuatan luluh atau titik luluh merupakan suatu gambaran kemampuan bahan menahan deformasi permanen bila digunakan dalam penggunaan struktural yang melibatkan pembebanan mekanik seperti tarik, tekan bending atau puntiran.

d. Kekuatan tarik maksimum (ultimate tensile strength)Merupakan tegangan maksimum yang dapat ditanggung oleh material sebelum terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum uts ditentukan dari beban maksimum Fmaks dibagi luas penampang awal Ao. Pada bahan ulet tegangan maksimum ini ditunjukkan oleh titik M (Gambar 7.2) dan selanjutnya bahan akan terus berdeformasi hingga titik B. Bahan yang bersifat getas memberikan perilaku yang berbeda dimana tegangan maksimum sekaligus tegangan perpatahan (titik B pada Gambar 7.3). Dalam kaitannya dengan penggunaan structural maupun dalam proses forming bahan, kekuatan maksimum adalah batas tegangan yang sama sekali tidak boleh dilewati.

e. Kurva tegangan-reganganSebagaimana beban aksial yang bertambah bertahap, pertambahan panjang terhadap panjang gage diukur pada setiap pertambahan beban dan ini dilanjukan sampai terjadi kerusakan (fracture) pada spesimen. Dengan mengetahui luas penampang awal spesimen, maka tegangan normal, yang dinyatakan dengan , dapat diperoleh untuk setiap nilai beban aksial dengan menggunakan hubungan:

dimana P menyatakan beban aksial dalam Newton dan A menyatakan luas penampang awal (m2). Dengan memasangkan pasangan nilai tegangan normal dan regangan normal , data percobaan dapat digambarkan dengan memperlakukan kuantitas-kuantitas ini sebagai absis dan ordinat. Gambar yang diperoleh adalah diagram atau kurva tegangan-regangan.

OOOPPPYUBa) b)c)

OOY1Od)e)

Gambar 7.4 Berbagai bentuk kurva tegangan - regangan

Kurva tegangan-regangan mempunyai bentuk yang berbeda-beda tergantung dari bahannya. Gambar 7.4 masing-masing adalah a) kurva tegangan regangan untuk baja karbon-medium, b) untuk baja campuran, dan c) untuk baja karbon-tinggi dengan campuran bahan non ferrous. Untuk campuran non ferrous dengan besi kasar diagramnya ditunjukkan pada Gambar 7.4 d), sementara untuk karet ditunjukkan pada e).

f . Kekuatan Putus (breaking strength)Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji putus (Fbreaking) dengan luas penampang awal Ao. Untuk bahan yang bersifat ulet pada saat beban maksimum M terlampaui dan bahan terus terdeformasi hingga titik putus B maka terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat adanya suatu deformasi yang terlokalisasi. Pada bahan ulet kekuatan putus adalah lebih kecil daripada kekuatan maksimum sementara pada bahan getas kekuatan putus adalah sama dengan kekuatan maksimumnya.

g. Keuletan (ductility)Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam menahan deformasi hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini, dalam beberapa tingkatan, harus dimiliki oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses rolling, bending, stretching, drawing, hammering, cutting dan sebagainya. Pengujian tarik memberikan dua metode pengukuran keuletan bahan yaitu: Persentase perpanjangan (elongation)Diukur sebagai penambahan panjang ukur setelah perpatahan terhadap panjang awalnya. Elongasi, (%) = [(Lf-Lo)/Lo] x 100% dimana Lf adalah panjang akhir dan Lo panjang awal dari benda uji. Persentase pengurangan/reduksi penampang (Area Reduction)Diukur sebagai pengurangan luas penampang (cross-section) setelah perpatahan terhadap luas penampang awalnya. Reduksi penampang, R (%) = [(Ao-Af)/Ao] x 100% dimana Af adalah luas penampang akhir dan Ao luas penampang awal.

h. Modulus elastisitas (E)Modulus elastisitas atau modulus Young merupakan ukuran kekakuan suatu material. Semakin besar harga modulus ini maka semakin kecil regangan elastis yang terjadi pada suatu tingkat pembebanan tertentu, atau dapat dikatakan material tersebut semakin kaku (stiff). Pada grafik tegangan-regangan), modulus kekakuan tersebut dapat dihitung dari slope kemiringan garis elastis yang linier, diberikan oleh:E = / atau E = tan dimana adalah sudut yang dibentuk oleh daerah elastis kurva tegangan-regangan. Modulus elastisitas suatu material ditentukan oleh energi ikat antar atom-atom, sehingga besarnya nilai modulus ini tidak dapat dirubah oleh suatu proses tanpa merubah struktur bahan.

i. Kurva tegangan-regangan rekayasa dan sesungguhnyaKurva tegangan-regangan rekayasa (teknik) didasarkan atas dimensi awal (luas area dan panjang) dari benda uji, sedangkan untuk mendapatkan kurva tegangan-regangan sesungguhnya diperlukan luas area dan panjang aktual pada saat pembebanan setiap saat terukur. Pada kurva tegangan-regangan rekayasa, dapat diketahui bahwa benda uji secara aktual mampu menahan turunnya beban karena luas area awal Ao bernilai konstan pada saat penghitungan tegangan = P/Ao. Sementara pada kurva tegangan-regangan sesungguhnya luas area aktual adalah selalu turun hingga terjadinya perpatahan dan benda uji mampu menahan peningkatan tegangan karena = P/Ai.

j. Model Perpatahan MaterialPerpatahan ulet memberikan karakteristik berserabut (fibrous) dan gelap (dull), sementara perpatahan getas ditandai dengan permukaan patahan yang berbutir (granular) dan terang. Perpatahan ulet umumnya lebih disukai karena bahan ulet umumnya lebih tangguh dan memberikan peringatan lebih dahulu sebelum terjadinya kerusakan. Pengamatan kedua tampilan perpatahan itu dapat dilakukan baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan stereoscan macroscope. Pengamatan lebih detil dimungkinkan dengan penggunaan SEM (Scanning Electron Microscope).

Gambar 7.5 Perpatahan ulet

Gambar 7.6 Perpatahan getas

k. Modulus kekenyalan, keuletan (modulus of resilence) Kerja yang dilakukan suatu unit volume bahan, seperti misalnya gaya tarikan yang dinaikkan secara bertahap dari nol sampai suatu nilai dimana batas proporsional bahan dicapai, disebut sebagai batas kekenyalan. Ini dapat dihitung sebagai luasan dibawah kurva tegangan regangan dari titik origin sampai batas proporsional dan digambarkan dengan daerah yang diarsir pada Gambar 7.4.a. Satuan untuk kuantitas ini adalah N.m/m3. Dengan demikian, modulus kekenyalan adalah kemampuan bahan menyerap energi pada daerah elastisnya.

l. Persentase pertambahan panjang (elongation)Persentase pertambahan panjang didefiniskan sebagai pertambahan panjang setelah patah dibagi dengan panjang awal dan dikalikan dengan seratus persen. Baik persentasi pengurangan luasan-penampang dan pertambahan panjang merupakan ukuran keuletan atau ductility bahan.

m. Tegangan kerja (working stress)Karakteristik-karakteristik kekuatan yang telah didiskusikan diatas dapat digunakan untuk memilih tegangan kerja. Sering suatu tegangan ditentukan hanya dengan membagi salah satu dari tegangan luluh atau tegangan puncak dengan suatu bilangan yang disebut faktor keselamatan. Pemilihan faktor keselamatan didasarkan pada keputusan perancang dan berdasarkan pengalaman. Faktor keselamatan spesifik kadang-kadang ditentukan dengan kode-kode rancang bangun. Kurva tegangan-regangan non-linier bahan rapuh, seperti ditunjukkan Gambar 7.6, memberikan karakteristik beberapa ukuran kekuatan yang lain yang tidak dapat ditunjukkan oleh kurva tegangan-regangan linier.

n. Rasio PoissonKetika suatu batang dikenai pembebanan tarik sederhana maka terjadi penambahan panjang batang pada arah pembebanan, tetapi terjadi pengurangan dimensi lateral tegak lurus terhadap pembebanan. Rasio regangan pada arah lateral terhadap arah aksial didefinisikan sebagai rasio Poisson (Poissons ratio). Dalam buku ini dilambangkan dengan . Pada kebanyakan logam mempunyai nilai antara 0.25 sampai 0.35.

7.3 Pengujian Bending (Lengkung)Kekakuan adalah ketahanan suatu material terhadap deformasi elastis. Modulus elastisitas (E) adalah harga kekakuan suatu material pada daerah elastis. Modulus elastis juga berarti perbandingan tegangan dengan regangan pada daerah elastis. Material yang lentur (tidak kaku) adalah material yang dapat mengalami regangan bila diberi tegangan atau beban tertentu. Jenis pengujian bending yaitu: Three Point Bending Test (TPBT), Four Point Bending Test (FPBT).Pengujian lengkung merupakan salah satu pengujian sifatmekanik bahan yang dilakukan terhadap spesimen. Pelengkuan (bending)merupakan proses pembebanan terhadap suatu bahan pada suatutitik ditengah-tengah dari bahan yang ditahan diatas dua tumpuan.Dengan pembebanan ini bahan akan mengalami deformasi dengandua buah gaya yang berlawanan bekerja pada saat yang bersamaan.Gambar dibawah ini memperlihatkan prilaku bahan uji selamapembebanan lengkung.

Gambar 7.7 Distribusi teganganPada pembebanan di daerah elastis, momen lentur tersebut menyebabkan timbulnya tegangan pada penampang melintang sebesar:

di mana: = tegangan normalMB= momen lentur di penampang melintang yang ditinjauC= jarak dari sumbu netral ke elemen yang ditinjauI= momen inersia penampang

Untuk spesimen yang mempunyai penampang segi empat, maka tegangan normal maksimum pada penampang adalah:

di mana:P = beban yang bekerjaL= panjang spesimenb= lebar spesimenh= tebal spesimen

Defleksi pada daerah elastis pada penampang adalah:

di mana: = defleksiP= beban yang bekerjaL= panjang spesimenE= modulus elastisitas bahan spesimenI= momen inersia penampang

Tujuan pengujian bengkok adalah mengetahui ketahanan bengkok suatu bahan. Pengujian dapat dilakukan terhadap logam keras/getas seperti besi cor atau terhadap logam liat/ulet. Benda uji berpenampang bulat dia. 20mm atau 30 mm, sepanjang 450 mm atau 650 mm, ditumpu pada kedua ujungnya dengan jarak tumpu 400 mm atau 600 mm, kemudian pada tengah batang uji tersebut diberi beban dengan tekanan alat penekan hidrolik, beban bertambah secara teratur Pelaksanaan pengujian logam keras/getas dilakukan sampai benda uji patah, kemudian dihitung ketahanan bengkoknya, sedangkan untuk logam liat pengujian dilaksanakan sampai benda uji bengkok mencapai sudut tertentu (biasanya 30, 60 atau 900) atau sampai benda uji berbentuk U. Pada kondisi pembengkokan seperti diatas benda uji tidak boleh retak atau patah. Sebagaimana perilaku bahan terhadap pembebanan, semua bahanakan mengalami perubahan bentuk (deformasi) secara bertahap darielastis menjadi plastis hingga akhirnya mengalami kerusakan (patah).Dalam proses pembebanan lengkung dimana dua gaya bekerja denganjarak tertentu (1/2L) serta arah yang berlawanan bekerja secarabersamaan (lihat Gambar 7.7), maka Momen lengkung (Mb) itu akanbekerja dan ditahan oleh sumbu batang tersebut atau sebagai momentahanan lengkung (Wb). Dalam proses pengujian lengkung yangdilakukan terhadap material sebagai bahan teknik memilki tujuanpengujian yang berbeda tergantung kebutuhannya.

7.4 Pengujian ImpakPrinsip pengujianDasar pengujian impak ini adalah penyerapan energi potensial dari pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji sehingga benda uji mengalami deformasi. Gambar 7.8 memberikan ilustrasi suatu pengujian impak dengan metode Charpy:

h

Gambar 7.8 Ilustrasi pengujian impak dengan metode Charpy

Pada pengujian impak ini banyaknya energi yang diserap oleh bahan untuk terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahanan impak atau ketangguhan bahan tersebut. Pada Gambar 7.8. dapat dilihat bahwa setelah benda uji patah akibat deformasi, bandul pendulum melanjutkan ayunannya hingga posisi h. Bila bahan tersebut tangguh yaitu makin mampu menyerap energi lebih besar maka makin rendah posisi h. Suatu material dikatakan tangguh bila memiliki kemampuan menyerap beban kejut yang besar tanpa terjadinya retak atau terdeformasi dengan mudah. Pada pengujian impak, energi yang diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam satuan Joule dan dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang terdapat pada mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan yang diuji dengan metode Charpy diberikan oleh:

(dimana E adalah energi yang diserap dalam satuan Joule dan A luas penampang di bawah takik dalam satuan mm2. Secara umum benda uji impak dikelompokkan ke dalam dua golongan sampel standar yaitu: batang uji Charpy sebagaimana telah ditunjukkan pada Gambar 7.9, banyak digunakan di Amerika Serikat dan batang uji Izod yang lazim digunakan di Inggris dan Eropa. Benda uji Charpy memiliki luas penampang lintang bujur sangkar (10 x 10 mm) dan memiliki takik (notch) berbentuk V dengan sudut 45o, dengan jari-jari dasar 0,25 mm dan kedalaman 2 mm. Benda uji diletakkan pada tumpuan dalam posisi mendatar dan bagian yang bertakik diberi beban impak dari ayunan bandul, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Gambar 7.9. Benda uji Izod mempunyai penampang lintang bujur sangkar atau lingkaran dengan takik V di dekat ujung yang dijepit. Perbedaan cara pembebanan antara metode Charpy dan Izod ditunjukkan oleh Gambar 7.9.

Gambar 7.9 Perbedaan metode Charpy dan Izod

Serangkaian uji Charpy pada satu material umumnya dilakukan pada berbagai temperature sebagai upaya untuk mengetahui temperatur transisi. Sementara uji impak dengan metode Izod umumnya dilakukan hanya pada temperatur ruang dan ditujukan untuk material-material yang didisain untuk berfungsi sebagai cantilever. Takik (notch) dalam benda uji standar ditujukan sebagai suatu konsentrasi tegangan sehingga perpatahan diharapkan akan terjadi di bagian tersebut. Selain berbentuk V dengan sudut 45o, takik dapat pula dibuat dengan bentuk lubang kunci (key hole). Pengukuran lain yang biasa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah penelaahan permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan (fracografi) yang terjadi. Secara umum sebagaimana analisis perpatahan pada benda hasil uji tarik maka perpatahan impak digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu: 1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme pergeseran bidang bidang kristal di dalam bahan (logam) yang ulet (ductile). Ditandai dengan permukaan patahan berserat yang berbentuk dimpel yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram.2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan (cleavage) pada butir-butir dari bahan (logam) yang rapuh (brittle). Ditandai dengan permukaan patahan yang datar yang mampu memberikan daya pantul cahaya yang tinggi (mengkilat). 3. Perpatahan campuran (berserat dan granular). Merupakan kombinasi dua jenis perpatahan di atas.

7.5 Pengujian KekerasanKekerasan suatu material dapat didefinisikan sebagai ketahanan material terhadap deformasi plastis. Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme penggoresan (scratching), pantulan ataupun indentasi dari material keras terhadap suatu permukaan benda uji. Berdasarkan mekanisme penekanan tersebut, dikenal tiga metode uji kekerasan:

Gambar 7.10 Alat uji kekerasan

A. Metode goresMetode ini tidak banyak lagi digunakan dalam dunia metalurgi dan material lanjut, tetapi masih sering dipakai dalam dunia mineralogi. Metode ini dikenalkan oleh Friedrich Mohs yang membagi kekerasan material di dunia ini berdasarkan skala (yang kemudian dikenal sebagai skala Mohs). Skala ini bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling rendah, sebagaimana dimiliki oleh material talk, hingga skala 10 sebagai nilai kekerasan tertinggi, sebagaimana dimiliki oleh intan. Dalam skala Mohs urutan nilai kekerasan material di dunia ini diwakili oleh:1. Talc 6. Orthoclase2. Gipsum 7. Quartz3. Calcite 8. Topaz4. Fluorite 9. Corundum5. Apatite 10. Diamond (intan)Prinsip pengujian: bila suatu mineral mampu digores oleh Orthoclase (no. 6) tetapi tidak mampu digores oleh Apatite (no. 5), maka kekerasan mineral tersebut berada antara 5 dan 6. Berdasarkan hal ini, jelas terlihat bahwa metode ini memiliki kekurangan utama berupa ketidak akuratan nilai kekerasan suatu material. Bila kekerasan mineral-mineral diuji dengan metode lain, ditemukan bahwa nilai-nilainya berkisar antara 1-9 saja, sedangkan nilai 9-10 memiliki rentang yang besar.

B. Metode elastik/pantul (rebound)Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat Scleroscope yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer) dengan berat tertentu yang dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan benda uji. Tinggi pantulan (rebound) yang dihasilkan mewakili kekerasan benda uji. Semakin tinggi pantulan tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada alat pengukur, maka kekerasan benda uji dinilai semakin tinggi.

C. Metode indentasiPengujian dengan metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji dengan indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Kekerasan suatu material ditentukan oleh dalam ataupun luas area indentasi yang dihasilkan (tergantung jenis indentor dan jenis pengujian). Berdasarkan prinsip kerjanya metode uji kekerasan dengan cara indentasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:1. Metode BrinellMetode ini diperkenalkan pertama kali oleh J.A. Brinell pada tahun 1900. Pengujian kekerasan dilakukan dengan memakai bola baja yang diperkeras (hardened steel ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 7.11. Hasil penekanan adalah jejak berbentuk lingkaran bulat, yang harus dihitung diameternya di bawah mikroskop khusus pengukur jejak. Pengukuran nilai kekerasan suatu material diberikan oleh rumus:

dimana P adalah beban (kg), D diameter indentor (mm) dan d diameter jejak (mm).

Gambar 7.11 Indentasi Brinnel2. Metode Vickers (1924)Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut 136o. Prinsip pengujian adalah sama dengan metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur sangkar berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop pengujur jejak. Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh:

di mana D adalah panjang diagonal rata-rata dari jejak berbentuk bujur sangkar.

Gambar 7.12 Indentasi Vickers

3. Metode Rockwell (1920)Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers dimana kekerasan suatu bahan dinilai dari diameter/diagonal jejak yang dihasilkan maka metode Rockwell merupakan uji kekerasan dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode ini banyak dipakai dalam industri karena pertimbangan praktis. Variasi dalam beban dan indetor yang digunakan membuat metode ini memiliki banyak macamnya. Metode yang paling umum dipakai adalah Rockwell B (dengan indentor bola baja berdiameter 1/6 inci dan beban 100 kg) dan Rockwell C (dengan indentor intan dengan beban 150 kg). Walaupun demikian metode Rockwell lainnya juga biasa dipakai. Oleh karenanya skala kekerasan Rockwell suatu material harus dispesifikasikan dengan jelas. Contohnya 82 HRB, yang menyatakan material diukur dengan skala B: indentor 1/6 inci dan beban 100 kg.

Gambar 7.13 Indentasi RockwellMetode yang paling umum digunakan karena simple dan tidak menghendaki keahlian khusus. Digunakan kombinasi variasi indentor dan beban untuk bahan metal dan campuran mulai dari bahan lunak sampai keras. Indentor: - bola baja keras, ukuran 1/16 , 1/8 , 1/4 , 1/2 inci (1,588; 3,175; 6,350; 12,70 mm) - intan kerucut Hardness number (nomor kekerasan) ditentukan oleh perbedaan kedalaman penetrsi indenter, dengan cara memberi beban minor diikuti beban major yang lebih besar. Berdasarkan besar beban minor dan major, uji kekerasan rockwell dibedakan atas dua: I. Uji kekerasan rockwell:- beban minor : 10 kg - beban major : 60, 100, 150 kg II. Uji kekerasan rockwell superficial bahan tipis: - beban minor : 3 kg - beban major : 15, 30, 45, kg

Tabel 7.1 Skala kekerasan RockwellSIMBOLINDENTORBEBAN MAJOR (KG)

ABCDEFGHKINTANBOLA 1/16 INCHIINTANINTANBOLA 1/8 INCHIBOLA 1/16 INCHIBOLA 1/16 INCHIBOLA 1/8 INCHIBOLA 1/8 INCHI601001501001006015060150

Tabel 7.2 Skala kekerasan Rockwell SuperficialSIMBOLINDENTERBEBAN MAJOR(KG)

15 N30 N45 N15 T30 T45 T15 W30 W45 WINTAN INTAN INTAN BOLA 1/16 INCHI BOLA 1/16 INCHI BOLA 1/16 INCHI BOLA 1/8 INCHI BOLA 1/8 INCHI BOLA 1/8 INCHI 153045153045153045

7.6 Pengujian PuntirPrinsip pengujianBenda uji puntir umumnya memiliki penampang lintang silinder, karena bentuk ini mewakili geometri paling sederhana dalam penghitungan tegangan yang terjadi pada material. Dalam batas elastis tegangan geser bervariasi secara linier dari nol di bagian pusat lingkaran hingga mencapai maksimum pada permukaan terluar benda uji. Pengujian dilakukan dengan mencengkam salah satu ujung benda uji silinder pada grip pemegang (chuck), sementara ujung lainnya diberikan pembebanan melalui kepala beban. Deformasi diukur dengan alat pengukur sudut puntir (twisting) yang dinamakan troptometer. Penentuan deformasi didasarkan atas perpindahan sudut (angular displacement) dari suatu titik yang berada dekat ujung benda uji terhadap posisi suatu titik dengan elemen longitudinal yang sama di ujung lainnya. Gambar 7.14 memberikan ilustrasi deformasi pada benda uji puntir:

Gambar 7.14 Ilustrasi deformasi pada benda uji puntir

Momen luar yang ditimbulkan pada salah ujung benda uji mendapat tahanan dari tegangan geser material. Tegangan tersebut bernilai nol pada pusat benda uji dan meningkat secara linier dengan penambahan jarak terhadap titik pusat. Pada daerah elastis, sebagaimana halnya hukum Hooke pada uji tarik, maka tegangan geser dapat dianggap proporsional dengan regangan gesernya. Konstanta proporsionalitas dalam hal ini adalah modulus kekakuan/elastisitas dalam geseran, G menghasilkan persamaan:

= G.

Gambar 7.15 Diagram momen puntir-sudut puntir

7.7 Pengujian KeausanPrinsip pengujianPengujian keausan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode dan teknik, yang semuanya bertujuan untuk mensimulasikan kondisi keausan aktual. Salah satunya adalah dengan metode Ogoshi dimana benda uji memperoleh beban gesek dari cincin yang berputar (revolving disc). Pembebanan gesek ini akan menghasilkan kontak antar permukaan yang berulang-ulang yang pada akhirnya akan mengambil sebagian material pada permukaan benda uji. Besarnya jejak permukaan dari material tergesek itulah yang dijadikan dasar penentuan tingkat keausan pada material. Semakin besar dan dalam jejak keausan maka semakin tinggi volume material yang terlepas dari benda uji.

Gambar 7.16 Pengujian keausan dengan metode Ogoshi

Laju keausan (V) dapat ditentukan sebagai perbandingan volume terabrasi (W) dengan jarak luncur x (setting pada mesin uji):

Dengan B adalah tebal revolving disc (mm), r jari-jari disc (mm), b lebar celah material yang terabrasi (mm).

Material jenis apapun akan mengalami keausan dengan mekanisme yang beragam, yaitu: keausan adhesive, abrasi, lelah dan oksidasi. Di bawah ini diberikan penjelasan ringkas dari mekanisme-mekanisme tersebut:1. Keausan adhesive: terjadi bila kontak permukaan dari dua material atau lebih mengakibatkan adanya perlekatan satu sama lain dan pada akhirnya terjadi pelepasan/pengoyakan salah satu material.Faktor yang menyebabkan keausan adhesive: Kecenderungan dari material yang berbeda untuk membentuk larutan padat atau senyawa intermetalik. Kebersihan permukaan.

Jumlah debris keausan akibat terjadinya aus melalui mekanisme adhesif ini dapat dikurangi dengan cara, antara lain: Menggunakan material keras. Material dengan jenis yang berbeda, misal berbedas truktur kristalnya.

Gambar 7.17 Iustrasi pengujian keausan adhesive

2. Keausan abrasif: terjadi bila suatu partikel keras (asperity) dari material tertentu meluncur pada permukaan material lain yang lebih lunak sehingga terjadi penetrasi atau pemotongan material yang lebih lunak, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 7.18. Tingkat keausan pada mekanisme ini ditentukan oleh derajat kebebasan (degree of freedom) partikel keras atau sperity tersebut. Sebagai contoh partikel pasir silica akan menghasilkan keausan yang lebih tinggi ketika diikat pada suatu permukaan seperti pada kertas amplas, dibandingkan bila partikel tersebut berada di dalam sistem slury. Pada kasus pertama partikel tersebut kemungkinan akan tertarik sepanjang permukaan dan mengakibatkan pengoyakan sementara pada kasus terakhir partikel tersebut mungkin hanya berputar (rolling) tanpa efek abrasi.

Gambar 7.17 Iustrasi pengujian keausan abrasif

3. Keausan lelah: merupakan mekanisme yang relatif berbeda dibandingkan dua mekanisme sebelumnya, yaitu dalam hal interaksi permukaan. Baik keausan adhesive maupun abrasif melibatkan hanya satu interaksi sementara pada keausan lelah dibutuhkan interaksi multi. Gambar 7.18 memberikan skematis mekanisme keausan lelah. Permukaan yang mengalami beban berulang akan mengarah pada pembentukan retak-retak mikro (t1). Retak-retak tersebut pada akhirnya menyatu (t2) dan menghasilkan pengelupasan material (t3). Tingkat keausan sangat tergantung pada tingkat pembebanan.

Gambar 7.18 Ilustrasi skematis keausan lelah

4. Keausan oksidasi: seringkali disebut sebagai keausan korosif. Pada prinsipnya mekanisme ini dimulai dengan adanya perubahan kimiawi material di bagian permukaan oleh faktor lingkungan. Kontak dengan lingkungan ini akan menghasilkan pembentukan lapisan pada permukaan dengan sifat yang berbeda dengan material induk. Sebagai konsekuensinya, material pada lapisan permukaan akan mengalami keausan yang berbeda Hal ini selanjutnya mengarah kepada perpatahan interface antara lapisan permukaan dan material induk dan akhirnya seluruh lapisan permukaan itu akan tercabut. Gambar 7.19 memperlihatkan skematis mekanisme keausan oksidasi/korosi ini.

Gambar 7.19 Ilustrasi skematis keausan oksidasi

7.8 Pengujian Tidak Merusak Pengujian Tanpa Merusak: pengujian bahan dengan tidak merusak bahan yang diuji, sifat fisik maupun kimia dari bahan tersebut selama dan setelah pengujian tidak mengalami perubahan.Tujuan dari pengujian tanpa merusak adalah untuk mengetahui mutu barang atau bahan yang merupakan salah satu cara pengendalian untuk pemenuhan standard yang telah ditetapkan. Pengujian tanpa merusak di beberapa negara maju sudah dan dikembangkan penggunaannya sesuai dengan kemajuan teknologi saat ini.

A. RadiografiMetode Radiografi mempunyai daya penetrasi dan penyerapan dari radiasi sinar x dan sinar , maka radiografi dapat digunakan untuk memeriksa berbagai macam produk antara lain sambungan las, pengecoran, penempaan dan fabrikasi.

Keuntungan dari pemeriksaan radiografi meliputi:1. Dapat digunakan untuk berbagai jenis material.2. Menghasilkan visual image yang permanent.3. Dapat memperlihatkan kondisi asli bagian dalam material.4. Dapat mengungkapkan kesalahan fabrikasi.5. Dapat memperlihatkan bentuk cacat.

Kerugian / keterbatasan dari pemeriksaan radiografi meliputi:1. Tidak praktis digunakan pada spesimen-spesimen yang mempunyai bentuk geometris beragam / kompleks.2. Spesimen harus cocok untuk dua sisi pekerjaan.3. Laminasi tidak dapat dideteksi dengan radiogarfi.4. Pertimbangan keselamatan dan kesehatan dari bahaya yang ditimbulkan sinar x dan sinar harus dipikirkan.5. Peralatan yang digunakan relatif mahal.

Pertimbangan Keselamatan Kerja Dengan Radiasi.Personil yang melaksanakan pemeriksaan radiografi sangat perlu untuk selalu memperhatikan dan diingatkan secara terus menerus akan bahaya radiasi dan harus mengenal peraturan keselamatan kerja dengan radiasi.Radiasi tidak dapat dideteksi dengan panca indera kita maka dibutuhkan peraturan pelaksanaan yang ketat sesuai dengan peraturan keselamatan kerja dengan radiasi.

B. Ultrasonic Flaw Detector

Gambar 7.20 Ultrasonic Flaw Detector

Uji ultrasonik menggunakan salah satu gelombang yang disebut gelombang ultrasonik yaitu gelombang mekanik seperti gelombang suara yang frekuensinya lebih besar dari 20 kHz. Besaran-besaran fisisnya juga seperti pada gelombang suara yaitu panjang gelombang (), kecepatan rambat (v), waktu getar (T), amplitudo (A), fasa () dan sebagainya. Formula yang berlaku pada gelombang suara berlaku pula bagi gelombang ultrasonik.Sumber gelombang ultrasonik berasal dari kristal piezoelektrik. Kristal ini mempunyai sifat, kalau diberi tegangan listrik, dimensinya akan berubah. Bila tegangan listrik dihilangkan maka kristal akan kembali ke bentuk semula dan terjadi getaran dengan frekuensi tetap yang tergantung pada tebal kristal. Bila kristal ini ditempelkan pada benda lain maka getaran akan diteruskan dan merambat pada benda tersebut. Sifat unik lain dari kristal ini adalah bahwa bila gelombang ultrasonik yang berfrekuensi sama dengan frekuensi sendiri datang pada kristal, maka pada kristal akan timbul tegangan listrik. Tegangan listrik yang timbul ini nantinya diolah untuk display. Jadi kristal ini dapat berfungsi sebagai sumber maupun penerima gelombang ultrasonik. Kristal yang telah diberi wadah lengkap dengan kutub-kutub listrik disebut probe.

(Probe normal tunggal) (Probe cable PKLL2) (Probe cable SEKG2) (Probe normal tunggal)(Probe normal ganda)

(Probe sudut ganda) (Probe universal) (Probe normal tunggal) (Probe normal ganda) (Probe sudut)

Gambar 7.21 Probe dan kelengkapannya

Dalam penggunaannya, probe dapat dikontakkan langsung pada benda uji melalui kuplan yang sangat tipis yang biasa disebut teknik kontak langsung, dapat pula dilakukan teknik rendam (immersion) dimana jarak antara probe dan benda uji cukup jauh sehingga kuplan cukup tebal. Fungsi kuplan adalah memudahkan merambatnya gelombang dari probe ke dalam benda uji karena bila antara probe dan benda uji terdapat udara, maka hampir 100% gelombang tidak dapat masuk ke dalam benda uji dan akan dipantulkan kembali ke dalam probe.Gelombang ultrasonik dapat dipantulkan dan dibiaskan oleh permukaan batas antara dua bahan yang berbeda. Dari sifat pantulan tersebut dapat ditentukan tebal bahan, lokasi cacat serta ukuran cacat. Cacat / permukaan yang mudah diperiksa dengan gelombang ultrasonik adalah cacat / permukaan yang tegak lurus terhadap arah rambatan gelombang, karena cacat / permukaan tersebut mudah memantulkan kembali gelombang untuk diterima oleh probe. Dalam perambatannya frekuensi gelombang selalu dianggap tetap, sedangkan kecepatan rambat gelombang tergantung pada jenis bahan.

Gambar 7.22 Perambatan gelombang ultrasonic

Pesawat ultrasonik mirip osiloskop dimana pengukuran yang dilakukan berdasarkan pada pengukuran waktu dan tegangan. Pengukuran waktu yang dilakukan melalui skala horisontal dapat diterjemahkan menjadi pengukuran jarak (s = v . t) sedangkan pengukuran tegangan yang dipresentasikan pada skala vertikal adalah untuk mengetahui besarnya cacat. Skala horisontal dan vertikal ini harus linier agar interpolasi dapat dilakukan dan tidak mengurangi ketelitian pembacaan.

Gambar 7.23 Scaning dan terjemahannyaC. Dye Penetrant

Gambar 7.24 Dye Penetrant

Metode dye penetrant atau sering disebut liquid penetrant merupakan salah satu metode NDT yang digunakan untuk mendeteksi discountinuity yang terbuka ke permukaan.Dye penetrant dipakai untuk process, final atau maintenance inspection dari nonporous metallic material, seperti keramik, plastic dan gelas. Metode ini didasari pada capillarity action dimana kecenderungan dari suatu cairan melakukan penetrasi ke dalam suatu opening yang kecil seperti halnya retak (crack).Ada dua kategori penetrant, yang pertama visible penetrant inspection, yang dalam aplikasinya dapat menggunakan cahaya biasa (visible light) sehingga tidak membutuhkan black light dan kedua fluorescent penetrant inspection yang dalam aplikasinya menggunakan penetrant yang menjadi bercahaya fluorence bila disinari dengan black light.Emulsifier adalah suatu cairan yang digunakan untuk melarutkan oil penetrant yang berlebihan di permukaan material yang akan diuji, jenisnya oil base dan water base. Solvent remover berfungsi menjadikan penetrant yang berada dipermukaan dapat dihilangkan/dibersihkan sehingga permukaan bebas dari sisa penetrant. Developer merupakan zat yang membawa penetrant keluar dari dalam discountinity sehingga memperbesar kemampuan terlihatnya cacat dari indikasi.1. Pre-cleaning:Permukaan uji dibersihkan untuk menghilangkan kotoran, cat, minyak, pelumas atau menghilangkan semua hal yang menyebabkan penetrant tidak dapat bekerja dengan baik. Metode pembersihan diantaranya adalah dengan menggunakan pelarut, pembersih alkali, pengurang uap air, atau media penghancur (blasting) kotoran. Tujuan akhir dari langkah ini adalah untuk membersihkan permukaan dari semua cacat yang ada terbuka, kering, dan bebas dari kontaminasi. Sebagai catatan jika menggunakan blasting, mungkin ada sebagian kecil bagian komponen yang terlepas, dan proses etching disarankan dilanjutkan dengan perlakuan post-bath treatment.2. Application of Penetrant:The penetrant is then applied to the surface of the item being tested. The penetrant is allowed time to soak into any flaws (generally 5 to 30 minutes). The dwell time mainly depends upon the penetrant being used, material being testing and the size of flaws sought. As expected, smaller flaws require a longer penetration time. Due to their incompatible nature one must be careful not to apply solvent-based penetrant to a surface which is to be inspected with a water-washable penetrant.3. Excess Penetrant Removal:The excess penetrant is then removed from the surface. Removal method is controlled by the type of penetrant used. Water-washable, solvent-removable, lipophilic post-emulsifiable, or hydrophilic post-emulsifiable are the common choices. Emulsifiers represent the highest sensitivity level, and chemically interact with the oily penetrant to make it removable with a water spray. When using solvent remover and lint-free cloth it is important to not spray the solvent on the test surface directly, because this can the remove the penetrant from the flaws. This process must be performed under controlled conditions so that all penetrant on the surface is removed (background noise), but penetrant trapped in real defects remains in place.4. Application of Developer:After excess penetrant has been removed a white developer is applied to the sample. Several developer types are available, including: non-aqueous wet developer, dry powder, water suspendible, and water soluble. Choice of developer is governed by penetrant compatibility (one can't use water-soluble or suspedible developer with water-washable penetrant), and by inspection conditions. When using non-aqueous wet developer (NAWD) or dry powder the sample must be dried prior to application, while soluble and suspendible developers are applied with the part still wet from the previous step. NAWD is commercially available in aerosol spray cans, and may employ acetone, isopropyl alcohol, or a propellant that is a combination of the two. Developer should form a semi-transparent, even coating on the surface.The developer draws penetrant from defects out onto the surface to form a visible indication, a process similar to the action of blotting paper. Any colored stains indicate the positions and types of defects on the surface under inspection.5. Inspection:The inspector will use visible light with adequate intensity (100 foot-candles is typical) for visible dye penetrant. Ultraviolet (UV-A) radiation of adequate intensity (1,000 micro-watts per centimeter squared is common), along with low ambient light levels (less than 2 foot-candles) for fluorescent penetrant examinations. Inspection of the test surface should take place after a 10 minute development time. This time delay allows the blotting action to occur. The inspector may observe the sample for indication formation when using visible dye. Also of concern, if one waits too long after development the indications may "bleed out" such that interpretation is hindered.6. Post Cleaning:The test surface is often cleaned after inspection and recording of defects,especially if post-inspection coating processes are scheduled.