bahasa indonesia: membangun karakter bangsa
TRANSCRIPT
BAHASA INDONESIA: MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
LEMBAGA PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN DAN PENJAMINAN MUTU (LP3M) PUSAT PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER DAN IDEOLOGI KEBANGSAAN (P3KIK)
UNIVERSITAS JEMBER
A. Erna Rochiyati S. Ali Badrudin
Rusdhianti Wuryaningrum Fitri Nura Murti Ahmad Syukron
BAHASA INDONESIA: MEMBANGUN KARAKTER BANGSA
Penerbit:
UPT Percetakan & Penerbitan Universitas Jember
Redaksi/Distributor Tunggal:
UNEJ Press
Jl. Kalimantan 37
Jember 68121
Telp. 0331-330224, Voip. 00319
e-mail: [email protected]
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak tanpa ijin
tertulis dari penerbit, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik
cetak, photoprint, maupun microfilm.
Penulis:
A. Erna Rochiyati S. Ali Badrudin Rusdhianti Wuryaningrum Fitri Nura Murti Ahmad Syukron
Desain Sampul dan Tata Letak
Risky Fahriza
M. Arifin
M. Hosim
ISBN: 978-623-7226-76-5
iii
KATA PENGANTAR
UU RI Nomor 24 Tahun 2009 menegaskan bahwa “Bendera,
bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan merupakan atribut
kebangsaan” karenanya tidak ada yang boleh menghina dan merendahkan
atribut-atribut kebangsaan tersebut. Bahasa Indonesia merupakan identitas
bangsa yang membawa karakter dan jati diri bangsa. Sesuai fungsi dan
kedudukannya, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi
negara, wajib dikuasai, dijunjung tinggi, dan digunakan sesuai konteksnya
di masyarakat. Oleh sebab itu, Matakuliah Bahasa Indonesia wajib
ditempuh oleh seluruh mahasiswa Universitas Jember.
Buku ini merupakan salah satu wujud komitmen Pusat
Pengembangan Pendidikan Karakter dan Ideologi Kebangsaan (P3KIK) di
Matakuliah Wajib Umum (MKWU) memiliki potensi yang sangat
besar dalam membentengi krisis nasionalisme dan ideologi bangsa.
Pembelajaran MKWU sebagai rumpun matakuliah kepribadian harus
mampu membentuk karakter generasi muda agar memberikan peranannya
dalam mengukuhkan kedaulatan bangsa dan negara. Melalui Matakuliah
Bahasa Indonesia, nasionalisme berbahasa Indonesia dikuatkan dengan
cara menelisik kembali sejarah perkembangan bahasa Indonesia yang
digagas oleh para pemuda sebagai bagian dari strategi merancang
kemerdekaan. Melalui peristiwa Sumpah Pemuda, kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibentuk dan diikat melalui politik bahasa
Indonesia. Oleh sebab itu, sudah sepantasnyalah kita mendukung upaya
pemerintah dalam pengembangan dan pembinaan bahasa Indonesia.
LP3M telah berkomitmen dalam mendukung visi misi Universitas
Jember menjadi universitas kebangsaan yang menjunjung nilai
nasionalisme-religius. Oleh sebab itu, secara sistematis LP3M telah
merumuskan kurikulum berbasis karakter dan wawasan kebangsaan dan
telah mengeluarkan Pedoman Penyusunan Kurikulum Program Studi di
Lingkungan Universitas Jember (Keputusan Rektor Universitas Jember
No.17527/UN25/KP/2017) yang di dalamnya termaktub secara jelas
bahwa karakter yang akan dikembangkan dalam kurikulum program studi
di Universitas Jember adalah karakter religius-nasionalis. Salah satunya
melalui Matakuliah bahasa Indonesia (MKWU).
iv
bawah Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu
(LP3M) Universitas Jember terhadap kebutuhan pendidikan karakter
sekaligus sebagai jawaban Surat Edaran Kemristekdikti No.
03/M/SE/VIII/2017 tentang Penguatan Pendidikan Pancasila dan
Matakuliah Wajib Umum pada Pendidikan Tinggi yang secara eksplisit
menyatakan bahwa Matakuliah Umum Bahasa Indonesia harus berperan
aktif mendukung ideologi bangsa demi mempertahankan keutuhan NKRI.
Selanjutnya, buku ini diharapkan menjadi acuan guna menjaga kualitas
dan memudahkan monitoring yang dilakukan LP3M terhadap jalannya
perkuliahan matakuliah wajib umum di lingkungan Universitas Jember.
Pusat Pengembangan Pendidikan Karakter dan Ideologi Kebangsaan
(P3KIK)
v
PRAKATA
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sudah sepatutnya
dijunjung tinggi oleh bangsa dan negara sebagai identitas dan atribut
kebangsaan. Rakyat Indonesia harus berbangga diri memiliki bahasa
Indonesia. Di tengah popularitas bahasa Indonesia yang semakin dikenal
secara internasional, bahasa Indonesia harus menjadi tuan rumah di
negaranya sendiri.
Masyarakat, khususnya mahasiswa yang menjadi sasaran buku ini,
harus secara sadar menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar
sesuai konteks penggunaannya. Mahasiswa harus memahami peran bahasa
Indonesia dalam mendukung ideologi bangsa dan mempertahankan jati diri
bangsa. Untuk mendukung hal tersebut, mahasiswa perlu dibekali berbagai
pengetahuan tentang bahasa Indonesia agar memiliki keterampilan
berbahasa yang mumpuni dalam kegiatan-kegiatan akademisnya.
Dalam buku ajar yang berjudul “Bahasa Indonesia: Membangun
Karakter Bangsa” ini diuraikan hal-hal pokok mengenai: (1) sejarah,
fungsi, dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai identitas dan jati diri
bangsa Indonesia; (2) bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam
berbagai konteks penggunaannya; (3) penggunaan bahasa Indonesia ragam
ilmiah; (4) analisis bahasa ragam ilmiah; (5) menulis karya ilmiah; dan (6)
keterampilan berbicara dalam forum ilmiah. Buku ini disusun guna
memberikan informasi yang memadai kepada mahasiswa tentang capaian-
capaian akademis yang perlu dikuasai mencakup capaian ideologis, empat
keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, menulis, dan berbicara),
dan penulisan karya tulis ilmiah.
Tim Penyusun
Tentunya hal yang kami sajikan masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami butuhkan guna terwujudnya
buku ajar yang mampu secara praktis memudahkan mahasiswa memahami
materi bahasa Indonesia sebagai matakuliah wajib umum (MKWU) di
lingkungan Universitas Jember yang sangat kita cintai. Semoga buku ini
dapat membantu mahasiswa dalam meningkatkan keterampilan berbahasa
Indonesia dan menguatkan rasa cinta terhadap bahasa Indonesia.
Demikian, harapan kami. Jayalah Indonesia, gemalah bahasa Indonesia.
vi
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii PRAKATA ................................................................................................. v DAFTAR ISI ............................................................................................. vi DAFTAR TABEL ...................................................................................... x TINJAUAN MATAKULIAH .................................................................. xi BAB 1. SEJARAH, KEDUDUKAN, DAN FUNGSI BAHASA
INDONESIA ............................................................................... 1 1.1 Pengantar .............................................................................. 1 1.2 Sejarah Bahasa Indonesia ..................................................... 2
1.2.1 Sebelum Kemerdekaan ............................................. 7
1.2.2 Sesudah Kemerdekaan............................................ 10
1.3 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia .......................... 15 1.3.1 Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional ........... 15
1.3.2 Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara .............. 17
1.4 Rangkuman ......................................................................... 19 1.5 Bahan Diskusi..................................................................... 19 1.6 Daftar Rujukan ................................................................... 20 1.7 Latihan Soal ........................................................................ 21
BAB 2. BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR ........... 22 2.1 Pengantar ............................................................................ 22 2.2 Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar ............................. 22 2.3 Kesantunan Berbahasa ....................................................... 26
2.3.1 Konsep Kesantunan Berbahasa .............................. 28
2.3.2 Kesantunan di Lingkungan Kampus ...................... 32
2.3.3 Kesantunan Ilmiah .................................................. 34
2.4 Ragam Bahasa Indonesia .................................................... 37 2.4.1 Pengertian Ragam Bahasa ...................................... 38
2.4.2 Macam-macam Ragam Bahasa .............................. 38
2.5 Rangkuman ......................................................................... 40 2.6 Bahan Diskusi..................................................................... 40 2.7 Daftar Rujukan ................................................................... 41 2.8 Latihan Soal ........................................................................ 41
BAB 3. BAHASA INDONESIA RAGAM ILMIAH .......................... 42 3.1 Pengantar ............................................................................ 42
vii
3.2 Pengertian Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah ...................... 42 3.3 Ranah Penggunaan Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah ........ 42 3.4 Ciri-ciri Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah .......................... 43 3.5 Diksi ................................................................................... 47 3.6 Kalimat ............................................................................... 52
3.6.1 Pengertian Kalimat ................................................. 52
3.6.2 Unsur-unsur Kalimat .............................................. 53
3.6.3 Struktur Kalimat ..................................................... 58
3.7 Kalimat Efektif ................................................................... 65 3.7.1 Pengertian Kalimat Efektif ..................................... 65
3.7.2 Ciri-ciri Kalimat Efektif ......................................... 66
3.8 Paragraf .............................................................................. 70 3.8.1 Pengertian Paragraf ................................................ 70
3.8.2 Ciri-ciri Paragraf .................................................... 71
3.8.3 Fungsi Paragraf ...................................................... 71
3.8.4 Pikiran Utama dan Kalimat Utama/Topik .............. 72
3.8.5 Syarat-syarat Paragraf yang Baik ........................... 76
3.8.6 Jenis Paragraf ......................................................... 82
3.8.7 Hubungan Antarparagraf ........................................ 85
3.8.8 Pengembangan Paragraf ......................................... 85
3.8.9 Paragraf Berdasarkan Fungsi ................................. 87
3.9 Rangkuman ........................................................................ 89 3.10 Bahan Diskusi .................................................................... 89 3.11 Daftar Rujukan ................................................................... 89 3.12 Latihan Soal ....................................................................... 90
BAB 4. ANALISIS BAHASA RAGAM ILMIAH .............................. 91 4.1 Pengantar ............................................................................ 91 4.2 Kesalahan Berbahasa Tataran Fonologi ............................. 92
4.2.1 Perubahan Fonem ................................................... 92
4.2.2 Penghilangan Fonem .............................................. 94
4.3 Kesalahan Berbahasa Tataran Morfologi ........................... 95 4.3.1 Kesalahan Berbahasa dalam Afiksasi..................... 95
4.3.2 Kesalahan Berbahasa dalam Reduplikasi ............... 97
4.3.3 Kesalahan Berbahasa dalam Komposisi................. 98
4.3.4 Kesalahan Berbahasa dalam Bidang Kata ............ 100
viii
4.4 Kesalahan Berbahasa Tataran Sintaksis ........................... 104 4.4.1 Kesalahan dalam Frasa ......................................... 105
4.4.2 Kesalahan dalam Kalimat ..................................... 108
4.5 Kesalahan Berbahasa Tataran Semantik .......................... 112 4.6 Kesalahan Berbahasa Tataran Wacana ............................. 121
4.6.1 Ketidakefektivan Paragraf karena Tidak Ada
Pelesapan .............................................................. 121
4.6.2 Kesalahan karena Terdapat Kalimat Sumbang ..... 121
4.7 Kesalahan Berbahasa Tataran Ejaan dan Tanda Baca ...... 122 4.7.1 Kesalahan Berbahasa tataran Ejaan Bahasa
Indonesia .............................................................. 123
4.7.2 Kesalahan Berbahasa Tataran Tanda Baca ........... 130
4.8 Rangkuman ....................................................................... 131 4.9 Bahan Diskusi................................................................... 132 4.10 Daftar Rujukan ................................................................. 132 4.11 Latihan Soal ...................................................................... 134
BAB 5. MENULIS KARYA ILMIAH ............................................... 135 5.1 Pengantar .......................................................................... 135 5.2 Hakikat Menulis ............................................................... 136
5.2.1 Menulis sebagai Produk ....................................... 136
5.2.2 Menulis sebagai Proses Kreatif ............................ 136
5.2.3 Proses Menulis Karya Ilmiah ............................... 137
5.3 Keterampilan Membaca dalam Intelektualisasi Pikiran dan
Karya ................................................................................ 139 5.3.1 Membaca dan Proses Berpikir .............................. 139
5.3.2 Teknik Membaca .................................................. 140
5.3.3 Membaca Karya Ilmiah ........................................ 142
5.4 Hakikat Karya Tulis Ilmiah .............................................. 143 5.4.1 Bagian-bagian Karya Tulis Ilmiah ....................... 144
5.4.2 Tiga Pilar Ilmu: Ontologis, Epistimologis, dan
Aksiologis ............................................................. 151
5.5 Tahapan Menulis Karya Ilmiah ........................................ 152 5.5.1 Perencanaan Penulisan Karya Ilmiah ................... 153
5.5.2 Penyusunan Kerangka Karangan .......................... 153
5.5.3 Pengembangan Tulisan ......................................... 158
ix
5.6 Sistematika Karya Tulis Ilmiah ........................................ 159 5.6.1 Makalah ................................................................ 159
5.6.2 Artikel .................................................................. 162
5.6.3 Proposal dan Laporan Penelitian .......................... 165
5.7 Teknik Pengutipan dan Sumber Rujukan ......................... 170 5.8 Tips Menghindari Plagiarism ........................................... 176 5.9 Rangkuman ...................................................................... 177 5.10 Bahan Diskusi .................................................................. 177 5.11 Daftar Rujukan ................................................................. 178 5.12 Latihan Soal ..................................................................... 179
BAB 6. KETERAMPILAN BERBICARA DALAM FORUM
ILMIAH (PRESENTASI) ..................................................... 180 6.1 Pengantar .......................................................................... 180 6.2 Berbicara sebagai Kapabilitas Berbahasa......................... 180 6.3 Hubungan Keterampilan Berbicara dengan Keterampilan
Berbahasa Lain ................................................................. 182 6.3.1 Hubungan Berbicara dengan Menyimak .............. 183
6.3.2 Hubungan Berbicara dengan Membaca ............... 186
6.3.3 Hubungan Berbicara dengan Menulis .................. 186
6.4 Berbicara pada Forum Ilmiah ........................................... 187 6.4.1 Teknik Berbicara yang Baik ................................. 187
6.4.2 Teknik Berbicara di Depan Umum ...................... 188
6.4.3 Teknik Membuka dan Menutup Pembicaraan ...... 189
6.4.4 Diskusi Ilmiah ...................................................... 190
6.5 Etika Diskusi .................................................................... 195 6.6 Kesantunan Berdiskusi ..................................................... 198 6.7 Rangkuman ...................................................................... 204 6.8 Bahan Diskusi .................................................................. 204 6.9 Daftar Rujukan ................................................................. 204 6.10 Latihan Soal ..................................................................... 205
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 206 DAFTAR ISTILAH (GLOSARIUM) ................................................... 212 TIM PENYUSUN .................................................................................. 213
x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Kritikan secara Langsung dengan Kata-kata Kasar ................... 35
Tabel 3.1 Kata Tidak Baku dan Baku ........................................................ 48
Tabel 3.2 Kata Tidak Baku dan Baku ........................................................ 49
Tabel 3.3 Kata Tidak Baku dan Baku ........................................................ 49
Tabel 3.4 Kata Konotatif dan Denotatif .................................................... 49
Tabel 3.5 Kata Tidak Tepat dan Tepat ...................................................... 49
Tabel 3.6 Kata Emotif dan Tidak Emotif .................................................. 50
Tabel 3.7 Kata Ganti .................................................................................. 50
Tabel 3.8 Kata Kebijakan dan Kebijaksanaan ........................................... 50
Tabel 3.9 Kata dari dan daripada ............................................................. 51
Tabel 3.10 Kata Bentuk Frasa ................................................................... 51
Tabel 3.11 Kata Frasa Tidak Tepat dan Tepat ........................................... 52
Tabel 5.1 Matrik Penelitian ..................................................................... 147
Tabel 5.2 Kerangka Karangan ................................................................. 155
Tabel 5.3 Judul ........................................................................................ 160
xi
TINJAUAN MATAKULIAH
Matakuliah Bahasa Indonesia memiliki beban 2 sks dan wajib
ditempuh oleh seluruh mahasiswa Universitas Jember. Bahasa Indonesia
sebagai matakuliah wajib umum (MKWU) berperan sebagai matakuliah
pendidikan karakter, khususnya pengembangan dan pengenalan kembali
jati diri bangsa melalui pembelajaran bahasa Indonesia. Setelah menempuh
Matakuliah Bahasa Indonesia (MKWU), mahasiswa diharapkan mampu
menciptakan sikap yang baik, santun, dan kreatif dalam menggunakan
bahasa Indonesia sebagai media pengungkapan pikiran, gagasan, dan sikap
ilmiah dalam berbagai bentuk karya ilmiah yang berkualitas, baik secara
lisan maupun tulis.
Matakuliah Bahasa Indonesia merupakan matakuliah wajib umum
atau disingkat MKWU. Matakuliah Bahasa Indonesia MKWU
membekali mahasiswa terkait wawasan dan pemahaman bahasa Indonesia
dalam ranah akademis dan ideologis sebagai identitas bangsa. Pada
ranah ideologis, mahasiswa dibekali pengetahuan mengenai sejarah,
kedudukan, dan fungsi bahasa Indonesia, serta posisinya sebagai
identitas bangsa; sedangkan ranah akademis, mahasiswa dibekali
pengetahuan tentang kecermatan penggunaan bahasa Indonesia yang baik
dan benar, kesantunan berbahasa Indonesia dalam berbagai konteks
penggunaannya di masyarakat maupun di ruang akademis, ragam
ilmiah bahasa Indonesia, analisis bahasa,menulis karya ilmiah,
mempresentasikannya dengan bahasa yang baik, santun, serta kreatif.
Materi-materi yang disajikan dalam Matakuliah Bahasa Indonesia
(MKWU) ialah (1) sejarah, kedudukan, dan fungsi bahasa Indonesia, (2)
bahasa indonesia yang baik dan benar, (3) bahasa indonesia ragam ilmiah,
(4) praktik menganalisis bahasa karya tulis ilmiah, (5) praktik menulis
karya tulis ilmiah, dan (6) presentasi karya tulis Ilmiah. Selanjutnya,
mahasiswa diharapkan menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan
inovatif dalam konteks penggunaan bahasa Indonesia baik secara lisan
maupun tulis; mencerminkan budaya berbahasa Indonesia yang santun;
serta mampu mengembangkan bidang profesi melalui penggunaan bahasa
Indonesia yang kreatif dan inovatif.
1
BAB 1. SEJARAH, KEDUDUKAN, DAN FUNGSI BAHASA
INDONESIA
1.1 Pengantar
“Melalui bahasa kita dapat mempelajari kebudayaan suatu bangsa”,
itulah yang disampaikan Folley, W.A. (1997) dalam buku yang berjudul
“Anthroplogical Linguistics: An Introduction”. Masyarakat Indonesia
memiliki banyak peribahasa yang mengarah kepada hal yang sama di
antaranya: “Ajining diri ana ing lathi” (Jawa) yang berarti harga diri
seseorang terletak pada ucapannya, “Mulutmu harimaumu” yang memiliki
arti ucapanmu menunjukkan jati dirimu, dan banyak lagi. Bahasa
menunjukkan karakter/watak, pola pikir (mainset), tradisi, dan bahkan
intelegensi seseorang. Melalui bahasa yang dipergunakan (diksi, dan
intonasi yang diucapkan) dapat diketahui watak penuturnya. Seseorang
yang berhati lembut akan bertutur kata yang lembut juga dan sebaliknya.
Demikianlah, bahasa mencerminkan hati dan kepribadian penggunanya.
Bahasa Indonesia yang kita miliki tidak hanya berfungsi sebagai alat
komunikasi saja. Peranan bahasa Indonesia lebih dari bahasa yang lainnya
yaitu sebagai alat perjuangan. Keberadaan bahasa Indonesia di masa
kolonial menjadi pemicu sikap nasionalisme (persatuan anak bangsa).
Ikrar Sumpah Pemuda yang dideklarasikan para pemuda Indonesia pada
tanggal 28 Oktober 1928 menjadi tonggak kesatuan cita-cita bangsa. Ikrar
tersebut telah menghapuskan segala bentuk perbedaan SARA (suku,
agama, ras, dan golongan) serta mampu menyatukan seluruh elemen
bangsa.
Banyak bangsa di dunia yang tidak memiliki bahasanya sendiri,
karena itu kita wajib bersyukur karena memiliki bahasa sendiri.
Menggunakan dan mencintai Bahasa Indonesia dengan baik dan benar
merupakan bentuk terima kasih kita atas jasa-jasa para pahlawan dalam
merajut kemerdekaan. Mempelajari sejarah bahasa Indonesia merupakan
Kemampuan Akhir yang Diharapkan (KAD)
Mahasiswa mampu menjelaskan sejarah, fungsi, dan kedudukan
bahasa Indonesia; memiliki penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa; dan mampu
menggunakan bahasa Indonesia sesuai fungsi dan kedudukannya.
2
wujud penghargaan kepada bangsa dan negara ini, sekaligus sebagai upaya
pemertahanan bahasa. Sebagai warga negara Indonesia, sudah selayaknya
kita menjaga diri kita agar tidak hanyut dalam gelombang penyalahgunaan
bahasa dan memiliki kesadaran di lubuk hati terdalam untuk berbahasa
yang baik dan benar tanpa harus menanggalkan keinginan untuk
berekspresi dan bereksplorasi. Mempelajari sejarah bahasa Indonesia
sangat penting bagi warga negara Indonesia untuk mengenal kepribadian
atau karakter bangsa sehingga dapat menggunakan bahasa Indonesia sesuai
fungsi dan kedudukannya.
Melalui sejarah yang panjang, bahasa Indonesia telah mengalami
perkembangan baik dari segi jumlah pemakainya maupun dari segi sistem
tata bahasa, kosa kata, dan maknanya. Saat ini, bahasa Indonesia telah
menjadi bahasa yang digunakan dan dipelajari tidak hanya di seluruh
Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain. Sebagai warga negara
Indonesia yang menjunjung tinggi harkat dan martabat negara Indonesia,
mahasiswa peserta matakuliah bahasa Indonesia perlu disadarkan akan
kenyataan ini dan perlu juga ditumbuhkan rasa kebanggaannya terhadap
bahasa Indonesia. Lebih lanjut, para mahasiswa perlu juga ditingkatkan
rasa kesadarannya akan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara dan bahasa nasional. Bahasa Indonesia sebagai lingua franca
berpotensi untuk mempersatukan dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
1.2 Sejarah Bahasa Indonesia
Sejarah perkembangan bahasa Indonesia mulai sebelum
kemerdekaan sampai dengan era globalisasi dewasa ini sangat berwarna.
Sejarah perkembangan bahasa Indonesia harus sung-sungguh dipahami
oleh warga negara Indonesia karena melalui perkembangannya, bahasa
Indonesia merupakan pemersatu bangsa. Oleh sebab itu, membahas sejarah
bahasa Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari konteks fungsi dan
kedudukannya, baik sebagai bahasa negara maupun sebagai bahasa
nasional.
Bahasa adalah lambang identitas suatu bangsa. Begitu pula bahasa
Indonesia merupakan salah satu identitas nasional bagi bangsa dan negara
Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan
bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan
penggunaannya satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia,
tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, bersamaan dengan mulai
berlakunya Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
3
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu
dari banyak ragam bahasa Melayu. Ragam yang dipakai sebagai dasar bagi
bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu Riau. Pada Abad ke-19, bahasa
Melayu merupakan bahasa penghubung antaretnis dan suku-suku di
kepulauan nusantara. Selain menjadi bahasa penghubung antaretnis
(antarsuku), dulu bahasa Melayu juga menjadi bahasa penghubung dalam
kegiatan perdagangan internasional di wilayah nusantara. Transaksi
antarpedagang, baik yang berasal dari pulau-pulau di wilayah nusantara
maupun orang asing, menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu.
Bahasa melayu kala itu sebagai lingua franca (bahasa pergaulan). Hal ini
merupakan salah satu alasan mengapa bahasa Melayu disepakati sebagai
dasar bagi bahasa Indonesia.
Alasan lain mengapa bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa nasional
bagi negara Indonesia adalah karena hal-hal sebagai berikut. Dibandingkan
dengan bahasa daerah lain, misalnya bahasa Jawa, sesungguhnya jumlah
penutur bahasa Melayu tidak lebih banyak. Dipandang dari jumlah
penuturnya, bahasa Jawa jauh lebih besar karena menjadi bahasa ibu bagi
sekitar setengah penduduk Indonesia, sedangkan bahasa Melayu dipakai
tidak lebih dari sepersepuluh jumlah penduduk Indonesia. Di sinilah letak
kearifan para pemimpin bangsa kala itu. Mereka tidak memilih bahasa
daerah yang besar sebagai dasar bagi bahasa Indonesia karena
dikhawatirkan akan dirasakan sebagai pengistimewaan yang berlebihan.
Alasan kedua, bahasa Melayu dipilih sebagai dasar bagi bahasa
Indonesia karena bahasa itu sederhana sehingga lebih mudah dipelajari dan
dikuasai. Bahasa Jawa lebih sulit dipelajari dan dikuasai karena kerumitan
strukturnya, tidak hanya secara fonetis dan morfologis, tetapi juga secara
leksikal. Seperti diketahui, bahasa Jawa memiliki ribuan morfem leksikal
dan stuktur gramatikal yang banyak dan rumit. Penggunaan bahasa Jawa
juga dipengaruhi oleh struktur budaya masyarakat Jawa yang cukup rumit.
Ketidaksederhaan itulah yang menjadi alasan mengapa bukan bahasa Jawa
yang dipilih sebagai dasar bagi bahasa Indonesia. Yang sangat
menggembirakan adalah bahwa orang-orang Jawa pun menerima dengan
ikhlas kebedaraan bahasa Melayu sebagai dasar bagi bahasa Indonesia,
meskipun jumlah orang Jawa jauh lebuih banyak daripada suku-suku lain
(Susanti, 2014:2).
Penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca atau bahasa
pergaulan bagi suku-suku di wilayah nusantara dan orang-orang asing
yang datang ke wilayah nusantara dibuktikan dalam berbagai temuan
prasasti dan sumber-sumber dokumen. Dari dokumen-dokumen yang
ditemukan diketahui bahwa orang-orang Cina, Persia dan Arab, pernah
4
datang ke kerajaan Sriwijaya di Sumatera untuk belajar agama Budha.
Pada sekitar abad ke-7 kerajaan Sriwijaya merupakan pusat internasional
pembelajaran agama Budha dan negara yang terkenal sangat maju
perdagangannya. Kala itu, bahasa Melayu merupakan bahasa pengantar
dalam pembelajaran agama Budha dan perdagangan di Asia Tenggara.
Bukti-bukti yang menyatakan hal itu adalah prasasti-prasasti yang
ditemukan di Kedukan Bukit di Palembang (683 M), Talang Tuwo di
Palembang (684 M), Kota Kapur (686 M), Karang Birahi di Jambi (688
M). Prasasti-prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari dan berbahasa Melayu
Kuno. Bahasa Melayu Kuno ternyata tidak hanya dipakai pada masa
kerajaan Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Ganda Suli) juga ditemukan
prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor berangka tahun 942 M yang
juga menggunakan bahasa Melayu kuno.
Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu juga
dipakai sebagai bahasa kebudayaan dan pendidikan. Pada saat itu bahasa
Melayu sudah dipergunakan dalam penulisan buku-buku pelajaran agama
Budha. Seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing yang belajar agama Budha di
Sriwijaya, antara lain menyatakan bahwa di Sriwijaya kala itu ada bahasa
yang bernama Koen Loen yang berdampingan dengan bahasa Sanskerta.
Sebutan Koen-Luen bermakna bahasa perhubungan (lingua franca), yaitu
bahasa Melayu (Ali Syahbana, 1971).
Sejarah bahasa Melayu yang telah lama menjadi lingua franca
tampak makin jelas dari peninggalan-peninggalan kerajaan Islam, antara
lain tulisan pada batu nisan di Minye Tujah, Aceh (tahun 1380 M) dan
karya sastra abad 16-17, misalnya syair Hamzah Fansuri yang berisi
hikayat raja-raja Pasai dan buku Sejarah Melayu, yaitu Tajussalatin dan
Bustanussalatin. Selanjutnya, bahasa Melayu menyebar ke seluruh pelosok
nusantara bersama dengan menyebarnya agama Islam di wilayah.
Meskipun dipakai oleh lebih dari 90% warga Indonesia, bahasa
Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Bahasa ibu
bagi sebagian besar warga Indonesia adalah salah satu dari 748 bahasa
daerah yang ada di Indonesia. Dalam pemakaian sehari-hari, bahasa
Indonesia sering dicampuradukkan dengan dialek Melayu lain atau bahasa
daerah penuturnya. Meskipun demikian, bahasa Indonesia digunakan
sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat
lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya sehingga
dapatlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga
Indonesia.
Dari prasasti-prasasti dan peninggalan kuno diketahui bahwa bahasa
Melayu telah digunakan sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, yang kemudian
5
berkembang pesat penggunaannya karena diperkaya dengan kata-kata dan
istilah pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari
cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini pun cukup luas,
karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau
Jawa dan Pulau Luzon. Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra,
kepala, kawin, dan kaca adalah kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta.
Pada Abad XV M berkembang varian baru bahasa Melayu yang
disebut sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval
Malay). Bahasa Melayu varian ini digunakan sebagai bahasa pengantar di
wilayah Kesultanan Melaka. Pada periode selanjutnya, bahasa Melayu
varian ini disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaannya terbatas
di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung
Malaya. Tome Pires, seorang pedagang asal Portugis menyebutkan adanya
bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan
Jawa. Pada masa itu, bahasa Melayu Tinggi banyak dipengaruhi oleh kosa
kata bahasa Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama
Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti
masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti
anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada
periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga
sekarang.
Selanjutnya, para pedagang dari Portugis, Belanda, Spanyol, dan
Inggris mulai berdatangan. Mereka kemudian banyak mempengaruhi
perkembangan bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-
kata yang diambil dari kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari.
Bahasa Melayu kemudian mengenal kosa kata baru, seperti gereja, sepatu,
sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda memperkaya kosa
kata bahasa Melayu di bidang administrasi dan kegiatan resmi (misalnya
dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi. Kata-kata seperti asbak,
polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa itu.
Para pedagang dari Cina juga ikut memperkaya kosa kata bahasa
Melayu, terutama yang berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-
hari. Kata-kata seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong
berasal dari kosa kata bahasa Cina. Jan Huyghen van Linschoten pada
abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan
bahwa bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling
penting di “dunia timur”. Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini
melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan
menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur
dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat.
6
Tonggak penting bagi bahasa Melayu terjadi ketika pada
pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan
Kesultanan Melaka) menulis kamus bahasa Melayu. Sejak saat itu
kedudukan bahasa Melayu menjadi setara dengan bahasa-bahasa lain di
dunia, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi
dengan jelas. Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling
sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara:
bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu
Tinggi yang terbatas pemakaiannya, tetapi memiliki standar. Bahasa ini
dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai
bahasa kedua atau ketiga.
Dengan mengamati perkembangannya, pemerintah kolonial Hindia-
Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu
administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa
Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri
pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan)
sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa.
Pengenalan bahasa Melayu pun dilakukan di sejumlah institusi pemerintah,
seperti sekolah-sekolah dan lembaga pemerintahan. Sastrawan juga mulai
menulis karyanya dalam bahasa Melayu. Sebagai dampaknya, terbentuklah
cikal-bakal bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari asal-
usulnya, yaitu bahasa Melayu Riau.
Menyadari akan pentingnya kedudukan bahasa Melayu, campur
tangan pemerintah semakin kuat. Pada tahun 1908 pemerintah kolonial
membentuk Commissie voor de Volkslectuur atau “Komisi Bacaan
Rakyat” (KBR). Lembaga ini merupakan embrio Balai Poestaka. Di bawah
pimpinan D.A. Rinkes, pada tahun 1910 KBR melancarkan program
Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai
sekolah pribumi dan beberapa instansi pemerintah. Perkembangan
program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700
perpustakaan. Cara ini ditempuh oleh pemerintah kolonial Belanda karena
melihat kelenturan bahasa Melayu Pasar yang dapat mengancam eksistensi
jajahanannya. Pemerintah kolonial Belanda berusaha meredamnya dengan
mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, di antaranya dengan penerbitan
karya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Namun,
bahasa Melayu Pasar sudah telanjur berkembang dan digunakan oleh
banyak pedagang dalam berkomunikasi. Pada tahun 1917 pemerintah
kolonial belanda mengubah KBR menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit
ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-
buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang
7
tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan
masyarakat luas.
1.2.1 Sebelum Kemerdekaan
Bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek bahasa Melayu.
Sudah berabad-abad lamanya bahasa Melayu digunakan sebagai alat
perhubungan atau lingua franca bukan saja di kepulauan Nusantara,
melainkan juga di hampir seluruh Asia Tenggara yang mempunyai bahasa
yang berbeda-beda. Bangsa asing pun yang datang di Indonesia juga
menggunakan bahasa Melayu untuk berkomunikasi dengan penduduk
setempat. Kenyataan itu dapat dilihat dari berbagai batu bertulis (prasasti)
kuno yang ditemukan seperti: (1) prasasti Kedukan Bukit di Palembang
tahun 683; (2) prasasti Talang Tuo di Palembang tahun 684; (3) prasasti
Kota Kapur di Bangka Barat tahun 686; dan (4) prasasti Karang Brahi di
antara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688. Prasasti-prasasti tersebut
bertuliskan Prae-Nagari dan bahasanya bahasa Melayu Kuno. Hal itu
memberi petunjuk kepada kita bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa
Melayu Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman
Sriwijaya (Halim, 1979:6–7). Prasasti-prasasti yang juga tertulis di dalam
bahasa Melayu Kuno terdapat di Jawa Tengah yaitu pada Prasasti
Gandasuli, tahun 832 dan di Bogor pada Prasasti Bogor, tahun 942. Kedua
Prasasti di pulau Jawa ini lebih memperkuat dugaan bahwa bahasa Melayu
Kuno bukan saja dipakai di Pulau Sumatra, melainkan juga di Pulau Jawa
(Arifin, 1988:3).
Pada zaman kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu berfungsi sebagai:
(1) bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku-buku yang berisi aturan-aturan
hidup dan sastra; (2) bahasa perhubungan (lingua franca) antarsuku di
Indonesia; (3) bahasa perdagangan, terutama di tepi-tepi pantai baik antar-
suku yang ada di Indonesia maupun terhadap pedagang-pedagang yang
datang dari luar Indonesia; dan (4) sebagai bahasa resmi kerajaan (Arifin,
1988:4).
Huruf-huruf yang digunakan untuk menuliskan bahasa Melayu
antara lain huruf Pallawa, yang digunakan untuk menulis pada prasasti
tertua yang berasal dari abad ke-7, dan setelah masuknya Islam ke
Indonesia sekitar abad ke-13, digunakan huruf Arab yang dikenal dengan
tulisan Jawi. Penggunaan huruf Arab berlangsung sampai abad ke-19.
Pada masa penjajahan Belanda, bahasa Melayu tetap digunakan
sebagai bahasa perhubungan di antara bangsa Indonesia. Pemerintah
Belanda tidak mau menyebarkan penggunaan bahasa Balanda pada
penduduk pribumi. Oleh karena itu, hanya sekelompok kecil orang
8
Indonesia yang dapat berbahasa Belanda. Mereka itu pada umumnya
adalah orang-orang yang terpelajar saja sehingga komunikasi di antara
Pemerintah dan penduduk Indonesia serta di antara penduduk Indonesia
yang berbeda-beda bahasanya, sebagian besar dilakukan dengan
menggunakan bahasa Melayu. Selama masa penjajahan Belanda, banyak
surat kabar yang diterbitkan dan ditulis dengan bahasa Melayu.
Pada tanggal 28 Oktober 1928 diadakan Kongres Pemuda yang
dihadiri oleh aktivis dari berbagai daerah di Indonesia. Pada kesempatan
itulah bahasa Melayu diubah namanya menjadi bahasa Indonesia dan
diikrarkan dalam Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan atau bahasa
nasional. Naskah Putusan Kongres Pemuda Indonesia Tahun 1928 berisi
tiga butir kebulatan tekad, yaitu: (1) kami putra dan putri Indonesia
mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; (2) kami putra dan
putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonsia; dan (3)
kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.
Pernyataan yang pertama adalah pengakuan bahwa pulau-pulau
yang bertebaran dan lautan yang menghubungkan pulau-pulau yang
merupakan wilayah Republik Indonesia sekarang, adalah satu kesatuan
tumpah darah, yang disebut tanah air Indonesia. Pernyataan yang kedua
adalah pengakuan bahwa manusia–manusia yang menempati wilayah
Indonesia itu juga merupakan satu kesatuan, yang disebut bangsa
Indonesia. Pernyataan yang ketiga tidak merupakan pengakuan “berbahasa
satu”, tetapi merupakan pernyataan tekad kebahasaan yang menyatakan
bahwa kita, bangsa Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu
bahasa Indonesia (Halim, 1983:2–3). Pengakuan bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan merupakan peristiwa penting dalam perjuangan bangsa
Indonesia, karena dengan adanya bahasa persatuan, rasa persatuan bangsa
menjadi semakin kuat.
Sungguh mengagumkan semangat pemuda-pemudia kala itu.
Mereka mengikrarkan bangsa, tanah air, dan bahasa Indonesia sebagai alat
pemerdekaan bangsa Indonesia. Pada saat itu, tahun 1928, Indonesia
belum merdeka dan belum bernama negara “Indonesia”.
Kata “Indonesia” sendiri sebenarnya telah terdengar jauh sebelum
itu. Kata “Indonesia” pertama kali diusulkan oleh George Windsor Earl
(1813-1865) pada tulisannya yang termuat pada majalah ilmiah tahunan di
Singapura yakni Journal of The Indian Archipelago and Eastern Asia
(JIAEA). Ia berpendapat bahwa area di bawah administrasi Hindia Belanda
harus memiliki nama yang khas. Ketika itu, ia mengajukan dua pilihan
nama yakni Indunesia atau Malayunesia. Indus berarti India, nesia atau
9
nesos berarti kepulauan, dan malayu berarti Malaya. Pada
perkembangannya, kata “Indunesia” diucapkan “Indonesia” akibat maksim
kemudahan pada tataran fonologis.
Di era kebangkitan nasional, istilah Indonesia mulai dikenal secara
luas dan digunakan. Organisasi yang pertama mempopulerkan kata
Indonesia ialah Indonesische Studie Club (1924) oleh Dr. Sutomo,
Perserikatan Komunis Hindia berubah nama menjadi Partai Komunis
Indonesia (1924), Nationaal Indonesische Padvinderij (1925) oleh Jong
Islamieten Bond, dan Tan Malaka yang menulis buku dengan judul Naar
de Republiek Indonesia (1925).
“Bahasa Indonesia” yang dimaksud dalam Sumpah Pemuda,
secara teknis ketika itu adalah bahasa Melayu modern. Namun dalam
diskusi kongres, penamaan dengan “bahasa Melayu” dianggap
kurang sejalan dengan visi pemersatuan nasional. Oleh karena itu,
digunakanlah nama “bahasa Indonesia”.
Ada empat faktor yang menjadi penyebab bahasa Melayu diangkat
menjadi bahasa Indonesia, yaitu: (1) bahasa Melayu sudah merupakan
lingua franca di Indonesia, yaitu sebagai bahasa perhubungan dan bahasa
perdagangan; (2) sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari
karena pada bahasa Melayu tidak dikenal adanya tingkatan bahasa seperti
pada bahasa Jawa (ngoko, kromo) atau perbedaan bahasa kasar dan halus
seperti pada bahasa Sunda (kasar, lemes); (3) suku Jawa, suku Sunda dan
suku-suku yang lain dengan suka rela menerima bahasa Melayu menjadi
bahasa Nasional Indonesia; dan (4) bahasa Melayu mempunyai
kesanggupan untuk digunakan sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang
luas (Arifin, 1988:5–6).
Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah Jepang
memberlakukan larangan penggunaan bahasa Belanda. Larangan ini
berdampak positif terhadap bahasa Indonesia, karena bahasa Indonesia
digunakan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk kehidupan politik
dan pemerintahan yang sebelumnya lebih banyak dilakukan dengan
menggunakan bahasa Belanda.
Peristiwa-peristiwa penting yang sangat menentukan dalam
perkembangan bahasa Melayu sebelum masa kemerdekaan antara lain :
a. Pada tahun 1901 disusun ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. van
Ophuysen dan dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
b. Pada tahun 1908 Pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku-
buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur
(Taman bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah
menjadi Balai Pustaka. Balai Pustaka menerbitkan buku-buku novel,
10
seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, dan buku-buku penuntun
bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit
membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
c. Tanggal 28 Oktober 1928 merupakan saat-saat yang paling
menentukan dalam perkembangan bahasa Indonesia karena pada
tanggal itulah para pemuda pilihan memancangkan tonggak yang
kokoh untuk perjalanan bahasa Indonesia.
d. Pada tahun 1933 resmi berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang
menamakan dirinya Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir
Alisyahbana dan kawan-kawan.
e. Pada tanggal 25 s.d. 28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa
Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres di Solo ini dapat disimpulkan
bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah
dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan kita saat itu.
f. Masa pendudukan Jepang (1942–1945) juga merupakan suatu masa
penting. Jepang memilih bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
resmi antara pemerintah Jepang dan rakyat Indonesia karena niat
menggunakan bahasa Jepang sebagai pengganti bahasa Belanda untuk
alat komunikasi tidak terlaksana. Bahasa Indonesia juga dipakai
sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan dan untuk
keperluan ilmu pengetahuan.
1.2.2 Sesudah Kemerdekaan
Sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan yaitu pada tanggal 18
Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-Undang Dasar 1945 yang di
dalamnya terdapat salah satu pasal yaitu pasal 36 menyatakan bahwa
“Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.” Dengan demikian, selain
berkedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia juga
berkedudukan sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa negara, bahasa
Indonesia digunakan dalam semua urusan yang berkaitan dengan
pemerintahan dan kenegaraan.
Setelah kemerdekaan, bahasa Indonesia mengalami perkembangan
yang pesat. Setiap tahun jumlah pemakai bahasa Indonesia bertambah.
Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara
juga semakin kuat. Perhatian terhadap bahasa Indonesia baik dari pihak
pemerintah maupun dari masyarakat sangat besar. Pemerintah Orde Lama
dan Orde Baru menaruh perhatian yang besar terhadap perkembangan
bahasa Indonesia di antaranya melalui pembentukan lembaga yang
mengurus masalah kebahasaan yang sekarang menjadi Pusat Bahasa dan
pusat penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia. Perubahan ejaan bahasa
11
Indonesia dari ejaan van Ophuijsen ke ejaan Soewandi hingga Ejaan Yang
Disempurnakan selalu mendapat tanggapan yang baik dari masyarakat.
Beberapa peristiwa penting yang sangat menentukan dalam
perkembangan bahasa Indonesia setelah masa kemerdekaan antara lain:
a. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang
Dasar 1945, yang dalam Pasal 36 “menetapkan bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara”.
b. Pada tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan Ejaan Republik
(Ejaan Soewandi) sebagai pengganti Ejaan van Ophuysen yang
berlaku sebelumnya.
c. Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I
di Solo. Kongres Bahasa Indonesia adalah pertemuan rutin 5 tahunan
yang diadakan oleh pemerintah dan praktisi bahasa dan sastra
Indonesia untuk membahas bahasa Indonesia dan perkembangannya.
Pada mulanya, kongres diadakan untuk memperingati hari Sumpah
Pemuda yang terjadi pada tahun 1928, selanjutnya kegiatan ini tidak
hanya dilaksanakan untuk memperingati Sumpah Pemuda, melainkan
pula untuk membahas perkembangan bahasa dan sastra Indonesia
serta rencana pengembangannya.
d. Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada 28 Oktober sampai
dengan 2 November 1954 juga merupakan salah satu perwujudan
tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa
Indonesia yang diangkat sebagai bahasa nasional dan ditetapkan
sebagai bahasa negara.
e. Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia
meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan melalui pidato kenegaraan di depan sidang DPR yang
dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
f. Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi
berlaku di seluruh Indonesia.
g. Kongres Bahasa Indonesia III yang diselenggarakan di Jakarta pada
28 Oktober sampai dengan 2 November 1978 merupakan peristiwa
penting bagi bahasa Indonesia. Kongres yang diadakan dalam rangka
peringatan hari Sumpah Pemuda yang kelima puluh ini, selain
memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa
Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan
dan fungsi bahasa Indonesia (Badudu, 1975 : 8–10).
12
h. Kongres Bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta pada 21–26
November 1983. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka
peringatan hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya
disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara yang mewajibkan kepada semua
warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan
baik dan benar dapat tercapai semaksimal mungkin. Selain itu,
kongres menugasi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk
memantau hasil-hasil kongres dan melaporkannya kepada kongres
berikutnya.
i. Kongres Bahasa Indonesia V juga diadakan di Jakarta pada tanggal 28
Oktober sampai dengan 3 November 1988. Kongres ini merupakan
kongres yang terbesar dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia
karena selain dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa
Indonesia dari seluruh Nusantara, kongres ini juga diikuti oleh peserta
tamu dari negara sahabat, seperti Malaysia, Singapura, Brunai
Darussalam, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres ke-5 ini dibuka
oleh Presiden Soeharto di Istana Negara Jakarta. Kongres ini ditandai
dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa kepada seluruh pencinta bahasa di Nusantara,
yakni berupa: (1) Kamus Besar Bahasa Indonesia; (2) Tata Bahasa
Baku Bahasa Indonesia; dan (3) buku-buku bahan penyuluhan bahasa
Indonesia.
j. Tanggal 28 Oktober sampai dengan 2 November 1993
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Kongres
Bahasa Indonesia VI diikuti oleh peserta sebanyak 770 pakar bahasa
dari Indonesia dan 53 peserta mancanegara yakni Australia,
Singapura, Brunei Darussalam, Jepang, Korea Selatan, India,
Hongkong, Rusia, Italia, Jerman, dan Amerika Serikat. Kongres
mengusulkan penyusunan Undang-Undang Bahasa Indonesia dan
agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan
statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia.
k. Tanggal 26–30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Pada kongres tersebut
diusulkan pembentukan Badan Pertimbangan Bahasa.
l. Kongres Bahasa Indonesia VIII diselenggarakan Oktober tahun 2003.
Berdasarkan Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada bulan Oktober
tahun 1928 yang menyatakan bahwa para pemuda memiliki satu
bahasa yakni Bahasa Indonesia, maka bulan Oktober setiap tahun
13
dijadikan bulan bahasa. Pada setiap bulan bahasa berlangsung seminar
bahasa Indonesia di berbagai lembaga yang memperhatikan bahasa
Indonesia.
m. Kongres Bahasa Indonesia IX pada 28 Oktober–1 November 2008 di
Jakarta dalam rangka peringatan 100 tahun kebangkitan nasional, 80
tahun Sumpah Pemuda, dan 60 tahun berdirinya Pusat Bahasa dan
dicanangkan sebagai Tahun Bahasa 2008. Lima hal utama yang
dibahas pada kongres tersebut ialah bahaa Indonesia, bahasa daerah,
penggunaan bahasa asing, pengajaran bahasa dan sastra, serta bahasa
media massa.
n. Kongres Bahasa Indonesia X pada 28–31 Oktober 2013 di Hotel
Grand Sahid Jaya, Jakarta diputuskan sembilan subtema yang menjadi
landasan perumusan rekomendasi kongres:
1) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
2) Pengutamaan Bahasa Indonesia di Ruang Publik
3) Bahasa, Sastra, dan Teknologi Informasi;
4) Ragam Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Ranah Kehidupan;
5) Pemetaan dan Kajian Bahasa dan Sastra Daerah;
6) Pengelolaan Bahasa dan Sastra Daerah;
7) Bahasa, Sastra, dan Kekuatan Kultural Bangsa Indonesia;
8) Bahasa dan Sastra untuk Strategi dan DiplomasI
9) Politik dan Perencanaan Bahasa dan Sastra.
o. Kongres Bahasa Indonesia XI di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta,
pada 28–30 Oktober 2018. Isi rekomendasi tersebut Sebanyak 22
rekomendasi disepakati dan disampaikan oleh Ketua Tim Perumus,
Prof. Djoko Saryono, M.Pd. sebagai berikut.
1) Pemerintah perlu meningkatkan sinergi, baik di dalam maupun
luar negeri, untuk pengembangan strategi dan diplomasi
kebahasaan guna memperluas penggunaan bahasa Indonesia ke
ranah internasional.
2) Pemerintah harus menertibkan penggunaan bahasa asing sebagai
bahasa pengantar dalam pendidikan di sekolah.
3) Pemerintah harus memperluas penerapan Uji Kemahiran Bahasa
Indonesia (UKBI) di berbagai lembaga pemerintah dan swasta.
4) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPPB) harus
meningkatkan pemasyarakatan kamus bidang ilmu dan
teknologi.
5) Pemerintah harus memperkuat pembelajaran sastra di sekolah
untuk meningkatkan mutu pendidikan karakter dan literasi
14
dengan memanfaatkan berbagai perangkat digital dan
memaksimalkan teknologi informasi.
6) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) harus
menetapkan jumlah karya sastra yang wajib dibaca oleh siswa
pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
7) Pemerintah melalui lembaga terkait harus mendorong kebijakan
pengembangan publikasi ilmiah yang berbahasa Indonesia dan
bereputasi internasional.
8) Kemdikbud harus melakukan penguatan pemebelajaran bahasa
dan sastra Indonesia yang berkenaan dengan model, metode,
bahan ajar, media, dan penilaian yang memantik keterampilan
bernalar aras tinggi.
9) Pemerintah harus mendaringkan produk kebahasaan dan
kesastraan untuk dimanfaatkan seluruh masyarakat Indonesia.
10) Pemerintah harus menegakkan peraturan perundang-undangan
kebahasaan dengan mendorong penertiban peraturan daerah yang
memuat sanksi atas pelanggaran.
11) Kemdikbud harus menerbitkan ketentuan dan pedoman kegiatan
mendongeng dan membacakan cerita pada anak-anak usia dini.
12) Pemerintah harus meningkatkan dan memperluas revitalisasi
tradisi lisan untuk mencegah kepunahan.
13) Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mengintensifkan
pendokumentasian bahasa dan sastra daerah secara digital dalam
rangka pengembangan dan pelindungan bahasa dan sastra.
14) Pemerintah daerah harus mengembangkan sarana kebahasaan
dan kesastraan bagi penyandang disabilitas.
15) Pemerintah bersama seluruh komponen masyarakat harus
meningkatkan kebanggaan berbahasa Indonesia dalam berbagai
ranah kehidupan seiring dengan peningkatan penguasaan bahasa
daerah dan bahasa asing.
16) Perencanaan bahasa daerah, khususnya di Papua harus dilakukan
dengan tepat oleh pemerintah pusat dan daerah.
17) Pemerintah daerah harus berkomitmen dalam pengutamaan
penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara di ruang
publik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dengan melibatkan lembaga-lembaga pengawasan terhadap
kinerja penyelenggaraan layanan publik.
18) Pemerintah harus mengelola bahasa dan sastra daerah dalam
upaya pelestarian dan penyusunan data dasar melalui penguatan
15
kerja sama Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dengan
pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan media.
19) Pemerintah bersama organisasi profesi harus meningkatkan
profesionalisme Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA),
program studi S2 BIPA, dan pendirian lembaga sertifikasi profesi
pengajar BIPA.
20) Pemerintah harus mengembangkan sikap dan kesantunan
berbahasa bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia, terutama
tokoh publik.
21) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa harus bekerja
sama dengan berbagai pihak untuk menuntaskan penelitian
pemetaan dan melakukan penelitian kekerabatan bahasa daerah
di seluruh Indonesia.
22) Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa harus
memutakhirkan kebijakan politik bahasa dan sastra serta
memperkuat kelembagaannya sesuai dengan perkembangan
zaman.
Di era revolusi industri 4.0 yang berdampak pada penggunaan
bahasa asing dalam perdagangan global, bahasa Indonesia mendapatkan
tantangan yang luar biasa besar untuk mempertahankan eksistensinya di
masyarakat. Walaupun, hal tersebut juga diimbangi oleh perkembangan
yang cukup pesat di dunia internasional. Saat ini, bahasa Indonesia telah
menjadi bahasa internasional ke-2 di Asia Tenggara dan bahasa
internasional ke-5 di Asia. Masyarakat telah memiliki ketertarikan untuk
mempelajari bahasa Indonesia di antaranya disebabkan oleh terbukanya
investasi dan hubungan kerja Indonesia dengan nega-negara Asia. Hal
tersebut merupakan kesempatan emas bagi masyarakat Indonesia untuk
mengangkat dan mengembangkan bahasa Indonesia menjadi bahasa
internasional. Melalui bahasa, masyarakat Indonesia dapat menguatkan
identitasnya di mata dunia.
1.3 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia
Pada bagian ini, dipaparkan bahasan tentang bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional dan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara
1.3.1 Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Bersumber dari salah satu bunyi irkrar Sumpah Pemuda tahun
1928, yaitu “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia”, dapat diketahui bahwa bahasa Indonesia
berkedudukan sebagai bahasa nasional. Kedudukan bahasa Indonesia di
atas bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia.
16
Sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (1)
lambang kebanggaan kebangsaan; (2) lambang identitas nasional; (3) alat
pemersatu berbagai suku bangsa yang mempunyai latar belakang sosial
budaya dan bahasa sendiri-sendiri dalam kesatuan kebangsaan; dan (4)
alat perhubungan antardaerah, antarwarga dan antarbudaya.
a. Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan kebangsaan
Tidak semua bangsa di dunia ini mempunyai sebuah bahasa
nasional yang digunakan secara luas dan dijunjung tinggi oleh
pemakainya. Adanya sebuah bahasa yang dapat menyatukan berbagai
suku bangsa yang berbeda merupakan suatu kebanggaan bagi bangsa
Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sanggup
mengatasi berbagai perbedaan yang ada.
Sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, bahasa Indonesia
mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa
kebangsaan kita. Atas dasar rasa kebanggaan inilah bahasa Indonesia
kita pelihara dan kita kembangkan, serta rasa bangga memakainya
senantiasa kita bina.
b. Bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional
Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang budaya dan
bahasanya berbeda-beda. Untuk membangun kepercayaan diri yang
kuat, sebuah bangsa memerlukan identitas. Identitas sebuah bangsa
dapat diwujudkan antara lain melalui bahasanya. Dengan adanya
sebuah bahasa yang dapat mengatasi berbagai bahasa yang berbeda,
suku-suku bangsa yang berbeda, dapat mengidentikkan diri sebagai
satu bangsa melalui bahasa tersebut.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia kita
junjung tinggi di samping bendera dan lambang negara kita. Di dalam
melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentu harus memiliki
identitas tersendiri sehingga dapat serasi dengan lambang kebangsaan
kita yang lain.
Bahasa Indonesia dapat memiliki identitas sendiri jika
masyarakat pemakainya mau membina dan mengembangkannya
sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain
terutama bahasa asing yang tidak benar-benar diperlukan.
c. Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu berbagai suku bangsa
Sebuah bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa yang
budaya dan bahasanya berbeda-beda akan mengalami masalah besar
dalam melangsungkan kehidupannya. Perbedaan dapat memecah-
belah bangsa tersebut. Dengan adanya bahasa Indonesia yang diakui
sebagai bahasa nasional oleh semua suku bangsa yang ada,
17
perpecahan itu dapat dihindari karena suku-suku bangsa tersebut
merasa satu. Jika tidak ada sebuah bahasa, seperti bahasa Indonesia,
yang dapat menyatukan suku-suku bangsa yang berbeda, akan banyak
muncul masalah perpecahan bangsa.
Sebagai alat pemersatu berbagai suku bangsa, bahasa Indonesia
memungkinkan berbagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup
sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu meninggalkan
identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta
latar belakang bahasa daerahnya. Lebih dari itu, dengan bahasa
nasional, kita dapat menempatkan kepentingan nasional di atas
kepentingan daerah atau golongan.
d. Bahasa Indonesia sebagai Alat Perhubungan Antardaerah,
Antarwarga, dan Antarbudaya
Masalah yang dihadapi bangsa yang terdiri atas berbagai suku
bangsa dengan budaya dan bahasa yang berbeda-beda, adalah
komunikasi. Dalam hal ini diperlukan sebuah bahasa yang dapat
digunakan oleh suku-suku bangsa yang berbeda bahasanya sehingga
mereka dapat saling berhubungan. Bahasa Indonesia sudah lama
memenuhi kebutuhan tersebut. Sudah berabad-abad lamanya bahasa
Indonesia menjadi lingua franca di wilayah Indonesia.
Berkat adanya bahasa nasional, kita dapat berhubungan satu
dengan yang lain sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman sebagai
akibat dari perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa tidak
perlu dikhawatirkan. Kita dapat bepergian dari satu pelosok daerah ke
pelosok daerah yang lain di tanah air ini dengan memanfaatkan
bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi.
1.3.2 Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara
Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai: (1)
bahasa resmi kenegaraan; (2) bahasa pengantar dalam dunia pendidikan;
(3) alat perhubungan di tingkat nasional untuk kepentingan pembangunan
dan pemerintahan; dan (4) alat pengembang kebudayaan, ilmu
pengetahuan dan teknologi.
a. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Resmi Kenegaraan
Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia digunakan untuk
urusan-urusan kenbegaraan. Dalam hal ini, pidato-pidato resmi
kenegaraan, dokumen dan surat-surat resmi harus ditulis dalam
bahasa Indonesia. Upacara-upacara kenegaraan juga dilangsungkan
dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa
Indonesia pada acara-acara kenegaraan sesuai dengan UUD 1945
18
mutlak diharuskan. Tidak digunakannya bahasa Indonesia dalam hal
seperti itu dapat mengurangi kewibawaan negara karena merupakan
pelanggaran terhadap UUD 1945.
b. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pengantar dalam Dunia Pendidikan
Dunia pendidikan di suatu negara memerlukan sebuah bahasa
yang seragam sehingga kelangsungan pendidikan tidak terganggu.
Penggunaan lebih dari satu bahasa dalam dunia pendidikan akan
mengganggu keefektivan pendidikan. Dengan satu bahasa, peserta
didik dari tempat yang berbeda dapat saling berhungan. Bahasa
Indonesia merupakan satu-satunya bahasa yang dapat memenuhi
kebutuhan akan bahasa yang seragam dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Bahasa Indonesia telah berkembang pesat dan
penggunanya sudah tersebar luas. Penggunaan bahasa Indonesia pada
dunia pendidikan tidak hanya terbatas pada bahasa pengantar,
melainkan juga digunakan pada penulisan bahan-bahan ajar.
c. Bahasa Indonesia sebagai Alat Perhubungan di Tingkat Nasional
untuk Kepentingan Pembangunan dan Pemerintahan
Untuk kepentingan pembangunan dan pemerintahan di tingkat
nasioanl diperlukan sebuah bahasa sebagai alat perhubungan sehingga
komunikasi tidak terhambat. Jika terdapat lebih dari satu bahasa yang
digunakan sebagai alat perhubungan, keefiektifan pembangunan dan
pemerintahan akan terganggu karena akan diperlukan waktu yang
lebih lama dalam berkomunikasi. Dalam hal ini bahasa Indonesia juga
dapat mengatasinya.
d. Bahasa Indonesia sebagai Alat Pengembangan Kebudayaan, Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
Untuk mengembangkan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan
teknologi diperlukan bahasa yang dapat digunakan untuk keperluan
tersebut dan bahasa tersebut dapat dimengerti oleh masyarakat luas.
Tanpa bahasa seperti itu, pengembangan kebudayaan, ilmu
pengetahuan, dan teknologi akan mengalami hambatan karena proses
pengembangannya akan memerlukan waktu yang lama dan hasilnya
pun tidak akan tersebar secara luas. Dalam hal ini, bahasa Indonesia
merupakan satu-satunya bahasa di Indonesia yang memenuhi syarat
sebagai alat pengembang kebudayaan, ilmu pemgetahuan, dan
teknologi karena bahasa Indonesia telah dikembangkan untuk
keperluan tersebut.
Dalam hubungan ini, bahasa Indonesia juga merupakan satu-
satunya alat yang memungkinkan kita membina dan mengembangkan
kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciri-ciri
19
dan identitas sendiri, yang dapat membedakannya dari kebudayaan
daerah. Selain itu, bahasa Indonesia juga dapat digunakan sebagai alat
untuk menyatakan nilai-nilai sosial budaya nasional kita (Halim,
1979:49-56 ; Moeliono, 1980:15-31).
1.4 Rangkuman
Bahasa Indonesia yang semula hanya sebagai salah satu dialek dari
bahasa Melayu telah lama menjadi alat perhubungan atau lingua franca di
kepulauan Nusantara dan di beberapa wilayah Asia Tenggara. Hal itu
terbukti dari ditemukannya beberapa prasasti yang menggunakan bahasa
Melayu Kuno baik di pulau Sumatera maupun di pulau Jawa.
Dengan latar belakang seperti itulah maka bahasa Indonesia
diangkat menjadi bahasa nasional, seperti salah satu bunyi ikrar Sumpah
Pemuda tahun 1928. Bahasa Indonesia dijadikan bahasa persatuan di
wilayah negara Republik Indonesia. Ada empat faktor yang menyebabkan
bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa nasional, yaitu (1) bahasa Melayu
sudah merupakan lingua franca di Indonesia; (2) sistem bahasa Melayu
sederhana; (3) suku-suku bangsa di Indonesia dengan suka reka menerima
bahasa Melayu menjadi bahasa Nasional Indonesia; dan (4) bahasa Melayu
mempunyai kesanggupan untuk digunakan sebagai bahasa kebudayaan
dalam arti yang luas.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, bahasa Indonesia
ditetapkan sebagai bahasa negara. Dalam hal ini, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai: (1) bahasa resmi kenegaraan; (2) bahasa pengantar
dalam dunia pendidikan; (3) alat perhubungan di tingkat nasional untuk
kepentingan pembangunan dan pemerintahan; dan (4) alat pengembang
kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitu pentingnya bahasa
Indonesia, sudah seharusnyalah bahasa Indonesia digunakan sesuai fungsi
dan kedudukannya.
1.5 Bahan Diskusi
Bahasa Indonesia lahir justru jauh sebelum adanya negara
Indonesia. Bahasa Indonesia secara politik ada untuk mempersatukan
rakyat Indonesia. Bahasa Indonesia bukan sekedar bahasa komunikasi
sehari-hari bagi rakyat Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan identitas
dan atribut kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui
bahasa Indonesia, negara Indonesia mencapai persatuan dan kesatuan
bangsa. Mari diskusikan peran bahasa, nasionalisme, dan keutuhan NKRI.
20
1.6 Daftar Rujukan
Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai. 1988. Cakrawala Bahasa Indonesia.
Jakarta : Gramedia.
Browne, A. 1996. Developing Language and Literacy. London: Paul
Chapman.
Direktorat Ketenagaan. 2006. “Acuan Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan kepribadian Bahasa Indonesia” (Naskah belum
diterbitkan). Disamapaikan pada Pelatihan Nasional Dosen bahasa
Indonesia kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi.
Folley, W.A. 1997. A. Anthroplogical Linguistics: An Introduction.
Massachussetts: Blackwell Publisher Inc.
Halim, Amran. 1979. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Moeliono, Anton M. 1980. “Bahasa Indonesia dan Ragam-ragamnya:
Sebuah Pengajaran” dalam majalah Pembinaan Bahasa Indonesia
Jilid I No. 1. Jakarta: Bratara.
Susanti. 2014. Modul Pembelajaran MPK Bahasa Indonesia. Jambi:
Universitas Jambi Pers.
Tim. 2011. Kumpulan Putusan Kongres Bahasa I-XI Tahun 1938-2008.
Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. (E-Book)
http://kbi.kemdikbud.go.id/kbi_back/file/foto_media/media_detail_1
540919688.pdf diakses pada tanggal 25 September 2019.
Tim. 2018. Putusan Kongres Bahasa Indonesia XI Jakarta, 28—31
Oktober 2018 (On Line)
http://kbi.kemdikbud.go.id/kbi_back/file/foto_media/media_detail_1
540919077.pdf diakses pada tanggal 25 September 2019.
21
1.7 Latihan Soal
Kerjakanlah soal-soal berikut untuk mengukur pemahaman Saudara
mengenai Bab Sejarah, Kedudukan, dan Fungsi Bahasa Indonesia!
1. Apakah yang dimaksud dengan lingua franca?
2. Bagaimana rasionalitas diangkatnya bahasa Melayu menjadi embrio
bahasa Indonesia?
3. Paparkanlah hubungan antara bahasa dan nasionalisme! Jelaskan
dengan contoh!
4. Bahasa Indonesia memiliki kedudukan sebagai bahasa nasional dan
bahasa negara. Jelaskan perbedaan dari kedua istilah tersebut !
5. Bagaimana padangan Saudara tentang bahasa Indonesia merupakan
alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa di
Indonesia ?
6. Bahasa Indonesia berfungsi sebagai alat pengembang kebudayaan
nasional, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Berilah contoh
perwujudan dari pernyataan tersebut!
7. Bagaimana tanggapan Saudara bila di suatu kantor, seseorang asyik
berbicara dengan teman sesama pemakai bahasa daerah tertentu
dengan menggunakan bahasa daerahnya? Padahal, di kantor tersebut
banyak karyawan yang berasal dari suku bangsa lain turut
mendengarkan pembicaraannya!
8. Sebutkan dan jelaskan fungsi bahasa Indonesia terkait dengan
kedudukannya baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa
negara!
22
BAB 2. BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR
2.1 Pengantar
Dalam pergaulan sehari-hari, seringkali kita mendengar istilah
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Idealnya, kita wajib menggunakan
bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam kehidupan sehari-hari,
terlebih untuk kepentingan nasionalisme. Lantas, apakah sebenarnya yang
dimaksud bahasa Indonesia yang baik itu? Apa pula yang dimaksud
dengan bahasa Indonesia yang benar? Bagaimana menerapkannya dalam
pergaulan sehari-hari? Berikut materi tersebut diuraikan secara jelas.
2.2 Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar
Pada umumnya bahasa merupakan sarana komunikasi. Manusia
tidak pernah terlepas dari bahasa karena setiap hari manusia selalu
melakukan aktivitas komunikasi. Berdasarkan proses komunikasi, terdapat
tiga aspek penting, yakni pembicara (komunikator), pendengar
(komunikan), dan pesan yang ingin disampaikan komunikator kepada
komunikan. Sebagai sarana komunikasi, bahasa digunakan dalam berbagai
lingkungan, tingkatan, dan kepentingan yang beraneka ragam. Secara
khusus, pengertian bahasa menurut Harimurti Kridalaksana (2014:32)
adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh para anggota
klompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi
diri.
Berkaitan dengan pengertian tersebut, ada beberapa hal penting
yang menunjukkan sifat dan ciri bahasa yang hakiki. Sifat dan ciri tersebut
yaitu: (1) bahasa adalah sebuah sistem, artinya ada unsur-unsur tertentu
yang saling berkaitan untuk membentuk totalitas bahasa; (2) bahasa itu
berwujud lambang, artinya, kata-kata sebagai penyusun bahasa sebagai
lambang atau simbol; (3) bahasa itu berupa bunyi, artinya hakikat bahasa
adalah bunyi karena pada awalnya bahasa adalah bunyi yang keluar dari
alat ucap manusia sehingga bahasa primer adalah bahasa lisan; (4) bahasa
Kemampuan Akhir yang Diharapkan (KAD)
Mahasiswa mampu memahami dan membandingkan bahasa
Indonesia yang baik dan benar serta mampu menerapkan prinsip-
prinsip tersebut berdasarkan kesantunan dengan berbagai ragam
bahasa Indonesia baik secara lisan maupun secara tulis.
23
bersifat arbitrer, artinya bahasa itu sewenang-wenang, manasuka, tidak ada
hubungan antara lambang bahasa dengan maknanya; (5) bahasa itu
bermakna, artinya jika tidak mempunyai makna/arti itu bukan bahasa; (6)
bahasa itu bersifat konvensional, artinya hal ini tidak terlepas dari sifat
bahasa yang arbitrer karena walaupun semena-mena, tetapi bahasa harus
tetap konvensional artinya bahasa itu merupakan kesepakatan bersama
dari masyarakat pengguna bahasa untuk menggunakan bahasa yang sama;
(7) bahasa itu bersiaft unik, artinya bahasa itu mempunyai ciri-ciri khas
tersendiri yang, tidak sama dengan bahasa yang lain; (8) bahasa itu
bersifat universal, artinya tidak hanya mempunyai ciri-ciri khusus yang
khas, tetapi juga mempunyai ciri-ciri yang sama dengan bahasa-bahasa di
dunia; (9) bahasa itu bervariasi, artinya masyarakat bahasa terdiri atas
berbagai status yang berbeda-beda dan beragam, hal ini yang
memunculkan bahasa yang beragam atau bervariasi, misalnya idiolek,
dialek dan ragam bahasa; (10) bahasa itu bersifat dinamis, artinya bahasa
itu terus-menerus mengalami perkembangan; (11) bahasa berfungsi
sebagai alat interaksi sosial, artinya fungsi penting bahasa sebagai alat
komunikasi, dengan memanfaatkan bahasa kita dapat melakukan aktivitas
sehari-hari; (12) bahasa merupakan identitas penutur, artinya dengan
menggunakan bahasa, dapat diketahui identitas dari pengguna bahasa
tersebut, antara lain latar belakang, asal, dan identitasnya.
Sifat dan ciri-ciri tersebut menjadi dasar tentang pemahaman bahasa
secara fundamental yang akan memberikan landasan penggunaan bahasa,
dalam konteks ini ialah bahasa Indonesia. Pola pikir seseorang akan
terlihat dari bahasa yang ia gunakan. Mempelajari bahasa memiliki nilai
praktis sesuai dengan keperluan dan tujuan mempelajari bahasa.
Proses pembelajaran bahasa Indonesia yang berlandaskan pada sifat
dan ciri-ciri tersebut, tidak pernah terlepas dari kedudukan dan fungsi
bahasa Indonesia. Berdasarkan kedudukannya bahasa Indonesia sebagai
bahasa persatuan (bahasa nasional) dan sebagai bahasa resmi negara yang
masing-masing mempunyai fungsi. Berdasarkan kedudukan dan fungsi-
fungsi tersebut dan karena begitu luasnya wilayah pemakaian bahasa serta
berbagai macam latar belakang penuturnya, muncullah berbagai ragam
bahasa. Pada pokoknya, ragam bahasa berdasarkan medianya dibagi ke
dalam dua bagian, yaitu ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis.
Bahasa Indonesia ragam lisan dan ragam tulis sangat berbeda. Di
satu sisi, ragam bahasa tulis adalah pengalihan ragam lisan ke dalam
ragam tulis (huruf). Namun, dalam sisi yang lain tidak semua ragam lisan
dapat dituliskan, sebaliknya tidak semua ragam tulis dapat dilisankan.
Kaidah yang berlaku bagi ragam lisan belum tentu berlaku bagi ragam
24
tulis. Dengan demikian, jelas bahwa ada perbedaan antara bahasa ragam
lisan dan bahasa ragam tulis. Perbedaan ragam lisan dan ragam tulis, yaitu
(1) ragam lisan mengharuskan adanya orang kedua atau lawan bicara,
sedangkan ragam tulis tidak mengharuskan adanya lawan bicara (secara
langsung);(2) pada ragam lisan, unsur-unsur gramatikal seperti subjek,
predikat, objek, keterangan tidak selalu dinyatakan karena didukung oleh
gerak, ekspresi, dan pandangan/mata, sedangkan ragam tulis unsur-unsur
gramatikal harus nyata dan lengkap paling tidak subjek dan predikat (bisa
ditambah objek dan keterangan) termasuk di dalamnya makna/arti dari
struktur kalimatnya; (3) ragam lisan terikat oleh situasi, kondisi, ruang,
dan waktu, sedangkan ragam tulis tidak terikat oleh situasi, kondisi, ruang,
dan waktu, tetapi terikat oleh kelengkapan unsur-unsurnya; (4) ragam lisan
dipengaruhi oleh tinggi dan rendahnya nada dan panjang pendeknya suara,
sedangkan ragam tulis terikat oleh tanda baca, huruf besar, huruf kecil,
huruf miring, dan sebagainya (lihat PUEBI).
Selain terdapat ragam lisan dan tulis, bahasa Indonesia juga
mempunyai ragam baku dan ragam tidak baku. Ragam baku adalah ragam
yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar masyarakat
pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma
bahasa dalam penggunaannya. Ragam tidak baku adalah ragam yang tidak
dilembagakan dan ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma
ragam baku (Arifin dan Tasai, 1991). Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa ragam baku dipergunakan dalam situasi resmi sehingga bisa disebut
sebagai bahasa resmi, sebaliknya bahasa yang tidak baku dipergunakan
dalam situasi yang tidak resmi atau santai. Namun, penggunaannya
disesuaikan atau didasarkan pada kontekstual dan situasional.
Dengan adanya ragam bahasa Indonesia, kita sebagai warga negara
Indonesia dituntut mampu menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan
situsi dan kondisi selaras dengan kaidah struktur bahasa sehingga akan
menghasilkan bahasa yang baik dan benar. Lalu, muncullah pertanyaan”
Apakah yang dimaksud dengan bahasa yang baik dan benar?”
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui bahwa kata
kunci pada pertanyaan tersebut adalah kata baik dan benar yang dua kata
tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri. Artinya, dalam berbahasa kita
dituntut tidak hanya baik, tetapi harus benar dan tidak hanya benar, tetapi
juga harus baik. Berbahasa yang baik artinya sesuai dengan konteks
situasi. Dalam kehidupan sehari-hari ada bermacam-macam konteks dan
situasi, misalnya ada situasi resmi dan ada situasi tidak resmi, ada situasi
formal dan ada situasi yang tidak formal atau santai. Pada situasi seperti
itu bahasa yang kita gunakan harus sesuai dengan konteksnya, misalnya
25
pada saat berada pada situasi resmi, kita harus menggunakan bahasa resmi
yang formal, sedangkan pada saat berada pada situasi tidak resmi atau
tidak formal, kita harus menggunakan bahasa yang tidak resmi/tidak
formal yang disebut bahasa pergaulan atau bahasa santai. Perbedaan
konteks dan situasi tersebut tidak hanya pada konteks bahasa lisan, tetapi
juga pada bahasa tulis. Namun, dalam penggunaannya kadang-kadang ada
perbedaannya, khususnya dalam konteks bahasa tulis. Artinya, pada
konteks bahasa lisan dalam situasi resmi ada kemungkinan muncul
bahasa-bahasa yang tidak baku/bahasa santai/bahasa pergaulan. Hal ini
bisa terjadi karena bahasa pergaulan/santai/tidak baku itu dipakai untuk
mencairkan suasana supaya tidak terlalu tegang. Sementara itu, pada
ragam tulis dalam konteks resmi dan formal harus menggunakan bahasa
yang formal/resmi/baku yaitu bahasa yang strukturnya sesuai dengan
kaidah tata bahasa baku.
Berbahasa Indonesia yang benar artinya dalam penggunaan bahasa
Indonesia dalam konteks resmi harus menggunakan bahasa
baku/resmi/sesuai dengan kaidah tata bahasa baku. Tata bahasa baku
tersebut menyangkut EYD, kata dan diksi, kalimat dan kalimat efektif,
paragraf, dan wacana. Dengan demikian, yang dimaksud dengan bahasa
Indonesia yang baik dan benar adalah bahasa Indonesia yang sesuai
dengan situasi dan kondisi serta sesuai dengan kaidah tata bahasa
Indonesia. Pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah
pemakaian bahasa yang tepat sesuai konteks dan sasaran dengan
mempertimbangkan kaidah bahasa (memenuhi persyaratan kebaikan dan
kebenaran).
Contoh:
1. Bahasa yang tidak benar
a. Masalah daripada lumpur Lapindo semakin berat.
b. Mahasiswa-mahasiswa ikip PGRI masih ragu-ragu
menunjukkan kemampuannya.
2. Bahasa yang benar
a. Masalah lumpur Lapindo semakin berat.
b. Mahasiswa-mahasiswa IKIP PGRI masih ragu untuk
menunjukkan kemampuannya.
(Komunikasi tulis, kaidahnya benar sesuai dengan kaidah tata
bahasa serta situasinya formal sehingga bahasanya baik dan
benar.)
3. Bahasa yang baik dan benar
Seorang Ibu : “Cak, Pasar Tanjung berapa?”
Tukang becak: “sepuluh ribu”
26
(Komunikasi lisan; sesuai dengan situasi dan kondisi/tidak resmi;
komunikasi berjalan lancar dan saling memahami. Akhirnya seorang
ibu tersebut diantar oleh tukang becak ke Pasar Tanjung’ dengan
biaya sepuluh ribu rupiah. Dari percakapan tersebut dapat diketahui
komunikasi yang terjadi sangat komunikatif.)
2.3 Kesantunan Berbahasa
Salah satu ciri bahasa Indonesia yang baik dan benar adalah adanya
kesesuaian antara pilihan ekspresi, baik kata maupun kalimat, dengan
konteks terjadinya komunikasi. Bahasa Indonesia yang baik dan benar
adalah bahasa yang sesuai dengan kondisi atau situasi dan sesuai pula
dengan kaidah yang berlaku untuk situasi atau kondisinya. Ketika
berkomunikasi, tentunya kita perlu menyesuaikan dengan situasi yang kita
hadapi. Pengguna bahasa yang baik akan menyesuaikan bahasanya dengan
situasi yang dihadapi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemakaian bahasa
dalam interaksi masyarakat dipengaruhi oleh faktor sosial dan situasional.
Nababan (1986) memaparkan rincian faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor
sosial yang memengaruhi pemakaian bahasa adalah jenis kelamin
(gender), umur, status sosial, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi, dan
sebagainya. Faktor situasional meliputi siapa yang berbicara, kepada siapa,
kapan, di mana, mengenai apa, dalam bahasa apa, dalam situasi yang
bagaimana, apa media yang digunakan, ragam bahasa apa yang
melatarbelakangi, dan tujuan pembicaraan tersebut.
Kepekaan dalam memahami faktor sosial dan faktor situasional akan
menentukan kelancaran atau kesuksesan berkomunikasi. Sebagai penutur
bahasa Indonesia, kita harus mampu menunjukkan sikap positif untuk
menjunjung tinggi karakteristik bahasa Indonesia yang kita banggakan
sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Pada dasarnya, keunggulan
suatu bahasa tidak terletak pada sosok bahasa tersebut, tetapi bergantung
pada kemampuan penutur bahasa tersebut menggali potensi bahasa itu
lebih dari penutur bahasa lain. Dengan demikian, yang menjadi tolok ukur
bukan bahasanya, tetapi penuturnya. Ungkapan bahasa menunjukkan
bangsa bukan persoalan ada bahasa yang lebih baik dari bahasa lain atau
bahasa suatu bangsa lebih baik dari bahasa suatu bangsa yang lain,
melainkan bahasa menunjukkan karakter penutur yang mampu menggali
potensi bahasa tersebut untuk menggunakannya secara baik dan benar
untuk mencerminkan kepribadian pemakainya. Dalam hal tersebut kita
bisa mengacu hipotesis Sapir dan Worf, dua orang peneliti antropologi
dunia. Hipotesis tersebut menyatakan bahwa bahasa menunjukkan perilaku
budaya manusia. Hal tersebut sangat tepat. Penutur yang mampu
27
menggunakan pilihan kata dengan tepat, santun dan beretika ketika
berkomunikasi, struktur kalimat yang dipilih baik dengan menunjukkan
makna yang tepat menunjukkan kepribadian yang baik pula. Demikian
pula sebaliknya, penutur yang tidak santun menggunakan bahasa secara
serampangan, tidak menghargai kaidah bahasa, dan biasanya menunjukkan
karakter atau kepribadian yang negatif.
Di masa kini, penggunaan bahasa sebagai sarana interaksi sosial
tidak hanya dalam komunikasi secara langsung, tetapi juga tidak langsung,
contohnya media sosial. Suatu persoalan dalam media sosial akan
mengundang penutur untuk bersikap dengan ekspresi yang dipilihnya. Kita
harus berhati-hati terhadap komentar atau pernyataan dalam media sosial.
Harus kita ingat, bahasa menunjukkan kepribadian kita. Komentar yang
relatif kasar, tidak menghargai orang lain, menyinggung SARA,
mencampuri urusan pribadi orang lain, penyebaran berita palsu (hoax)
merupakan hal yang harus kita hindari. Hal tersebut tentu berkaitan dengan
upaya kita sebagai pengguna bahasa Indonesia, menjunjung harkat dan
martabat bangsa Indonesia. Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat
kontrol sosial. penggunaan bahasa merupakan kunci memperbaiki etika
berinteraksi. Bahasa harus mampu menjadi media pengontrol
permasalahan sosial. Namun, penggunaan bahasa yang tidak sesuai dengan
etika di media sosial, dewasa ini, justru akan menyebabkan kerusuhan dan
perpecahan dalam masyarakat. Oleh karena itu, sebagai pengguna bahasa
yang baik, terutama sebagai kaum intelektual, kita harus mampu
menggunakan bahasa dengan memperhatikan kesantunan berbahasa.
Perilaku berbahasa dari aspek kebahasaan dan etika sosial
merupakan konsep kesantunan berbahasa. Kesantunan merupakan kaidah
atau perilaku etika sosial yang disepakati bersama. Kesantunan disebut
tata krama: tata ‘berkaitan dengan aturan atau penataan dan karama yang
berarti ‘baik atau kebaikan’. Kemampuan kita dalam mengatasi persoalan
sosial menunjukkan kecerdasan sosial kita. Kemampuan kita ber-tata
krama merupakan bentuk kecerdasan sosial. Dalam era kini, kecerdasan
sosial merupakan pertimbangan besar untuk menilai kapabilitas seseorang,
mengalahkan kecerdasan intelektual. Seorang yang cerdas secara
intelektual dan sosial akan lebih dipilih karena mampu melaksanakan tugas
dan memimpin orang lain dengan lebih baik.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi
yang ditunjukkan dengan tanda verbal atau tata cara berbahasa. Berbahasa
bukan hanya persoalan kemampuan menyampaikan ide atau informasi
dengan baik, tetapi juga menyangkut persoalan mampu merealisasikan
norma atau aturan budaya yang berlaku. Kita harus berusaha memiliki
28
catatan postif dalam berbahasa. Artinya, kita harus mampu menunjukkan
kemampuan kita secara linguistis dan etis dalam berinteraksi dan berusaha
menunjukkan citra diri positif. Hal tersebut berbeda dengan sikap yang
kini dikenal dengan jaim atau ‘jaga image’ atau menjaga citra diri dengan
berpura-pura baik. Kecerdasan adalah kemampuan menghadapi dan
memecahkan masalah. Kemampuan kita menghadapi, beradaptasi, dan
menyelesaikan masalah sosial perlu dipelajari dan diupayakan.
2.3.1 Konsep Kesantunan Berbahasa
Setiap bahasa memiliki etika kesantunan. Sebagai pengguna
bahasa, kita dihadapkan pada kaidah linguistik dan kaidah kesantunan.
Kaidah linguistik berkaitan dengan kaidah tata bunyi (fonologi), tata kata
(morfologi), tata kalimat (sintaksis), tata makna (semantik). Kaidah
kesantunan berkaitan dengan rambu-rambu berkomunikasi yang secara
santun dapat diindentifikasi. Fraser dalam Rahardi (2005) menyebutkan
terdapat empat pandangan dalam memahami kesantunan berbahasa: (1)
kesantunan berkaitan dengan norma, (2) kesantunan yang sesuai dengan
maksim percakapan atau prinsip percakapan sebagai upaya
menyelamatkan muka atau tidak mempermalukan orang lain, (3)
kesantunan sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan terpenuhinya
sebuah kontrak percakapan (conversational contract), (4) kesantunan
berkaitan dengan penelitian sosiolinguistik yang berhubungan pandangan
masyarakat (social reference), honorifik (honorific), dan gaya bicara (style
of speaking).
Dalam konsep berkomunikasi, Chaer (2010: 10) mengemukakan
kaidah atau norma yang harus dipenuhi agar tuturan kita menjadi santun,
yaitu kaidah (1) formalitas (formality), (2) ketidaktegasan (hesistancy),
dan (3) kesamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Pandangan
tersebut menunjukkan bahwa tuturan disebut santun bila tidak terdengar
memaksa atau angkuh. Tuturan santun tidak menggerakkan atau
mengarahkan orang lain untuk mengikuti keinginananya. Tuturan yang
santun memberikan peluang untuk orang lain melakukan sesuai dengan
kesadaran dirinya. Dalam dunia perdagangan, tuturan yang santun
ditunjukkan dengan paparan manfaat secara ilmiah bukan dengan paksaan
dan penuh agitasi secara langsung yang menunjukkan keegoisan. Tuturan
yang santun memberikan pilihan kepada orang lain untuk melakukan atau
memilih tindakan sesuai yang diyakininya. Tuturan yang santun
memberikan rasa senang kepada lawan tutur dengan memberikan rasa
nyaman dan penghormatan. Kesantunan ditandai dengan norma budaya
yang membuat kita tidak hanya patuh pada norma komunikasi, tetapi juga
norma-norma kemanusiaan yang secara eksplisit dapat diamati dari norma
29
budaya. Leech (1993) menyatakan maksim-maksim atau prinsip
kebahasaan yang mengatur kesantunan, yaitu maksim kebijaksanaan,
maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaan,
maksim kemufakatan, maksim kesimpatisan.
a. Maksim Kebijaksanaan (Maksim Kearifan)
Peserta tutur hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu
mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan
keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Tuturan yang santun
mengindikasikan pemberian kemudahan kepada mitra tutur, bukan
sebaliknya. Sikap bijaksana ditunjukkan dengan tidak merepotkan
mitra tutur untuk terlibat dalam pertuturan, merespon, dan beraktivitas
sesuai materi yang dibahas. Contohnya pada percakapan berikut.
A : “Silakan ambil dulu, saya nanti memilih setelah yang kamu
saja.”
B : “Terima kasih, jadi tidak enak ini.”
Pada tuturan, A mempersilakan B memilih barang sesuai dengan
seleranya; B khawatir bila barang yang dipilihnya nanti akan disukai
B. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mempersilakan orang lain
untuk mengambil dulu makanan, memberikan jalan, dan berhenti saat
lawan tutur berbicara atau berkomentar. Hal itu merupakan cermin
kesantunan.
b. Maksim Kedermawanan
Maksim kedermawanan memegang prinsip “Berikan keuntungan
diri sendiri sekecil-kecilnya dan berikan keuntungan untuk orang lain
sebesar-besarnya.” Dalam maksim tersebut kita diajarkan untuk tidak
mementingkan diri sendiri. Dengan demikian, sifat egois merupakan
sikap yang melanggar maksim kedermawanan. Jika seseorang
meminjam barang milik kita, misalnya alat tulis, berikanlah
keuntungan untuk tidak membuatnya menghampiri kita, tetapi kita
antar barang tersebut. Dalam konteks budaya Indonesia, sikap tersebut
adalah sikap menguntungkan orang lain. Misalnya, saat ada orang
ingin menolong kita atau membutuhkan bantuan kita, kita merespon
dengan baik. Tuturan santun ditunjukkan dengan meberikan
penawaran yang lebih menguntungkan orang lain.
c. Maksim Penghargaan
Maksim penghargaan mengacu pada tuturan memuji atau
menunjukkan sikap menghargai orang lain atas sekecil apa pun yang
dilakukan atau upayanya dalam melibatkan diri. Peserta pertuturan
untuk memaksimalkan rasa hormat dan menghargai kepada orang lain
30
dalam eksprsi konatif menunjukkan penghargaan dan meminimalkan
rasa tidak hormat. Hal tersebut dapat diamati pada pertuturan berikut.
A: “Skripsimu tentang apa?”
B: “Penerapan sistem ketahanan pangan.”
A: “Wah, bagus itu, itu sangat penting untuk diteliti.”
Dari tuturan tersebut A memberikan penghargaan dengan
mendukung apa yang dilakukan oleh B. Dalam kehidupa sehari-hari,
kita harus menunjukkan dukungan yang merupakan indikator simpati
dan empati. Hal tersebut menunjukkan nilai rasa kita terhadap sesama.
d. Maksim Kesederhanaan (Maksim Kerendahan Hati)
Mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Maksim
kesederhanaan dan kerendahan hati merupakan parameter kesantunan
dalam budaya Indonesia. Dalam maksim ini, kita diajarkan untuk
mengurangi pujian untuk diri sendiri. Maksim ini mengatur sikap
untuk diri sendiri, sejalan dengan maksim penghargaan. Dengan
demikian, kita harus memaksimalkan pujian untuk orang lain dan
meminimalkan pujian untuk diri sendiri. Kita dapat menunjukkan
bahwa kita kurang baik dalam beberapa hal.
e. Maksim Pemufakatan
Dalam maksim ini kita diajarkan untuk memberikan
kemufakatan kepada orang lain. Dengan sikap yang menunjukkan
kecocokan atau kemufakatan pada yang dirasakan orang lain,
pembicara dan lawan bicara menunjukkan sikap saling menghormati.
Misalnya, ada seseorang yang merasa udara sedang panas lalu berkata
kepada teman di sebelahnya, “Kok panas sekali.” Lalu sikap santun
ditunjukkan dengan menyetujui, “Ya, memang panas, panas sekali.”
Hal tersebut menunjukkan adanya kemufakatan atau persetujuan yang
dapat membuat pembicara merasa didukung untuk nyaman dalam
interaksi.
f. Maksim Kesimpatisan
Para peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara
pihak yang satu dengan pihak lainnya. Sikap antipati terhadap salah
seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun.
Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan sikap menunjukkan simpati
atau empati. Misalnya, dosen sedang tidak bisa hadir karena sakit, kita
dapat menunjukkan menyatakan, “Semoga lekas sehat, Pak.” Ketika
ada Saudara teman atau orang tua teman yang meninggal, kita bisa
ucapkan pernyataan sesuai agama kita atau pernyataan untuk
menumbuhkan rasa ikut berbela sungkawa atau berduka.
31
Kesantunan berbahasa menunjukkan karakter pribadi seseorang. Yang
perlu dipahami, santun merupakan indikator nilai karakter positif yang
dapat dilatihkan dengan pembiasaan menggunakan bahasa secara santun.
Pranowo (2009) mendeskribsikan beberapa indikator tuturan santun, yakni
sebagai berikut:
1) menggunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan pada orang lain;
2) menggunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan akan
menyinggung perasaan lain;
3) menggunakan kata “terima kasih” sebagai penghormatan atas
kebaikan orang lain;
4) menggunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain
melakukan sesuatu;
5) menggunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang
dihormati; dan
6) menggunakan kata “Bapak/Ibu” untuk menyapa orang ketiga.
Berdasarkan situasi atau konteks tuturan, kita dapat menambahkan
indikator kesantunan yang terdapat pada tuturan kita. Hal tersebut menjadi
sangat penting di era digital dan media sosial dewasa ini. Bahasa paa
nitizen (orang yang bermedia sosial) tidak lagi menunjukkan etika dan
menggunakan bahasa santu. Dalam media sosial tersebut, perlu kita sadari
bahwa ragam bahasa yang digunakan adalah nonformal. Kesantunan tidak
berkaitan dengan ragam bahasa, tetapi dengan sikap berbahasa. Dalam
situasi santai pun, dalam komunikasi di media sosial, kita dapat
mengontrol diri dengan sikap santun, misalnya hal-hal berikut:
a) tidak menyebarkan berita palsu atau hoax;
b) tidak menyinggung SARA dalam mengunggah informasi atau status
dan berkomentar terhadap orang lain;
c) tidak mencampuri urusan orang lain dengan pertanyaan yang sifatnya
pribadi;
d) tidak bersikap seolah-olah tahu (sok tahu) terhadap sebuah kasus
tanpa berpikir objektif dengan mengomentari kasus sesuai dengan
pandangan pribadi; dan
e) tidak memberitakan atau berkomentar tentang sesuatu yang
berdampak pada kerugian orang lain.
Dalam media sosial dan dalam kehidupan sehari-hari, bahasa
merupakan alat kontrol sosial yang dapat mengarahkan situasi pada
suasana nyaman dan tenteram dengan meredam persoalan. Pada masi kini,
ada kalanya bahasa tidak lagi diperankan sebagai alat kontrol sosial karena
pernyataan beberapa pihak yang justru menimbulkan kerusuhan,
meningkatkan emosi, menggugah rasa marah, dan tidak dihargai. Oleh
32
sebab itu, sikap santun diperlukan dalam berbagai ragam. Kesantunan
adalah sikap berbahasa yang akan menunjukkan kecerdasan sosial kita.
2.3.2 Kesantunan di Lingkungan Kampus
Mahasiswa merupakan generai penerus yang akan menjadi
pemimpin masa depan. Mahasiswa merupakan cerminan karakter bangsa
yang dapat memengaruhi beragam situsi di sebuah negara. Mahasiswa
merupakan kekuatan yang dapat membuat negara menjadi lebih maju.
Sikap santun perlu dipahami sebagai indikator kecerdasan sosial dan
emosionalnya. Kesantunan di lingkungan kampus sangat diperlukan untuk
memperlancar interksi sosial untuk keperluan akademik, misalnya saat
berkomunikasi dengan dosen, dengan teman pada saat diskusi atau
kegiatan lain, atau dengan staf akademik atau tenaga kependidikan yang
mengatur keperluan pelayanan kampus.
Ketika berkomunikasi dengan dosen, seperti membuat janji untuk
bertemu, meminta persetujuan untuk keperluan pelayanan daring, dan
keperluan perkuliahan sehari-hari, mahasiswa dihadapkan pada situasi
formal baik secara lisan maupun tulis. Namun, komunikasi secara lisan
ataupun secara langsung, tampaknya terkalahkan dengan intensitas
komunikasi secara lisan dan tulis melalui media teknologi. Untuk
memperlancar kegiatan, kita menggunakan media teknologi berupa pesan
singkat (SMS), percakapan (chat) lewat beberapa aplikasi misalnya
whatsapp, telegram, messeger, dan aplikasi lainnya. Pada dasarnya,
komunikasi melalui media tersebut merupakan ragam lisan yang ditulis.
Oleh karena itu, tersedia berbagai simbol emoticon untuk mempertegas
tulisan agar lebih ekspresif. Namun, dalam situasi formal, komunikasi
mahasiswa-dosen seharusnya menunjukkan komunikasi tulis yang formal
dengan mengurangi penggunaan singkatan, emoticon, dan ditandai dengan
struktur kalimat baku. Mahasiswa memerlukan keterampilan
berkomunikasi pada jalur tersebut untuk menunjukkan kesantunan dan
memperjelas isi pesan. Dalam mengirimkan pesan kepada dosen, terdapat
beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai berikut:
(1) perhatikan waktu pengiriman pesan. Upayakan pesan tersebut tidak
mengganggu aktivitas dosen saat beristirahat, misalnya di atas pukul 9
malam atau terlalui dini hari, kecuali ada pesan dari dosen tersebut
untuk mengirimkan pesan lebih pagi pada aktivitas selanjutnya,
misalnya sebelum pukul 6;
(2) ucapkan salam sesuai kondisi, misalnya selamat pagi, selamat siang,
selamat sore. Saudara dapat pula menggantinya dengan menggunakan
kalimat salam secara Islam (atau agama yang lain) untuk
33
menunjukkan nilai lebih religius. Perlu diperhatikan; hindari
penyingkatan kalimat salam karena dapat menimbulkan makna
kurang sopan, seperti as, ass, askum, assamu, samlekum, mikum dan
bentuk tidak formal lain. Saudara bisa menggunakan
Assalamualaikum warahamtullahi wabarakatuh, Assalamualaikum
warahamtullah, atau Assalamualaikum saja;
(3) perkenalkan diri Saudara dahulu, minimal angkatan, nama, dan prodi
atau jurusan;
(4) sampaikan keperluan secara jelas, tidak berbelit-belit dan gunakan
bahasa ragam formal yang menunjukkan ketepatan struktur dan
pilihan kata baku;
(5) tunjukkan sikap empati dan kerendahan hati dengan meminta maaf
pada awal penyampaian pesan dan ucapa terima kasih pada akhir
pesan.
Contohnya: Assalamualaikum, Bapak. Saya Bayu Setiawan, angkatan
2016, Prodi Pendidikan Geografi. Mohon maaf sebelumnya,
saya ingin berkonsultasi tentang Bab I skripsi saya. Kapan
saya bisa menemui Bapak? Terima kasih, Pak.
Dalam contoh tersebut mahasiswa hendak membuat janji untuk
berkonsultasi. Pesan tersebut telah memenuhi syarat ketepatan dan
kesantunan pesan. Lalu, mahasiswa tersebut dapat menunggu balasan
pesan dari dosen. Bila dalam beberapa hari pesan tersebut tidak dibalas,
akan lebih baik Saudara mengirimkan pesan kembali atau menemui
dosen tersebut secara langsung.
Tidak hanya dalam mengirimkan pesan, dalam berdiskusi pun,
diperlukan sikap santun. Dalam berdiskusi kita berpendapat, bertanya,
menyanggah, atau memberikan masukan lain. Maksim atau prinsip
kesantunan perlu kita perhatikan, terutama dengan tidak membuat orang
lain merasa tidak nyaman. Oleh sebab itu, kaidah kesantunan perlu
diterapkan. Pada saat berdiskusi, perhatikanlah hal-hal berikut ketika
Saudara hendak berpendapat atau bertanya:
(a) mengucap salam;
(b) menyebutkan nama atau bila perlu NIM;
(c) menyatakan tujuan pertanyaan atau pendapat; Jika ada beberapa
pemateri atau nara sumber, maka sebutkan dengan jelas kepada
siapa pertanyaan atau tanggapan Saudara tujukan. Gunakan kata
sapaan Bapak atau Ibu atau Saudara sebelum menyebut nama
penyaji atau nara sumber;
(d) nyatakanlah pendapat atau pertanyaan dengan singkat dan jelas;
(e) akhiri dengan ucapan terima kasih dan salam.
34
Dari segi konteks, pertanyaan atau pendapat dari audiens diberikan
pada sesi pertanyaan atau pendapat. Saudara harus mematuhinya dengan
tidak melakukan interupsi sebelum sesi tersebut atau saat audien lain
sedang mendapat gilir menanggapi. Bertanyalah setelah Saudara
dipersilakan, hindari sikap memaksa untuk mendapatkan giliran,
menggerutu karena tidak puas dengan keputusan moderator, dan sikap
kurang etis lain. Dengan sikap santun, diskusi akan berjalan lancar.
Saudara harus mematuhi kaidah diskusi yang telah disampaikan moderator
sebagai pemimpin diskusi. Sebagai moderator, sikap santun diindikasikan
dengan objektif dalam memberikan giliran. Moderator perlu menyatakan
kalimat persilaan dengan ramah dan cermat.
2.3.3 Kesantunan Ilmiah
Dalam bidang ilmiah, kecerdasan atau kemampuan intelektual saja
tidak cukup. Kita perlu bersikap positif yang menunjukkan kecerdasan
sosial dan emosional. Kesantunan bahasa ilmiah mengarah pada pilihan
sikap untuk menghargai pendapat orang lain. Dalam ragam tulis ilmiah,
sikap santun secara ilmiah dilakukan dengan memberikan penghargaan
dan mengakui karya orang lain. Hal tersebut perlu ditunjukkan dengan
menyebutkan sumber kutipan jika kita mengutip karya orang lain dengan
menuliskannya pada daftar pustaka atau referensi. Secara lisan, kita pun
perlu menyebut sumber informasi yang kita sampaikan. Jika itu berasal
dari buku, maka sebutkan pengarang atau bukunya dengan jelas. Hal
tersebut menunjukkan sikap menghargai karya orang lain. Jika pendapat
tersebut Saudara peroleh dari rekan bincang Saudara, mintalah izin untuk
menyampaikan dan sebutkan sumber tersebut pada saat Saudara
menyampaikannya. Hindari sikap menyerobot dengan mengemukakan
hasil diskusi atau pendapat teman lalu menunjukkan atau mengklaim
bahwa pendapat tersebut adalah pemikiran sendiri. Hal tersebut tidak
santun dan menimbulkan kekecewaan. Oleh sebab itu, sikap demikian
dapat disebut tidak mematuhi kaidah dan maksim kesantunan.
Dalam berpendapat terdapat beberapa hal yang perlu kita hindari
untuk menunjukkan sikap santun secara ilmiah. Pranowo (dalam Chaer,
2010) menyebutnya sebagai penyebab ketidaksantunan. Hal-hal tersebut,
sebagai berikut.
a. Kritik secara Langsung dengan Kata-kata Kasar
Kritik secara langsung dan kasar ditandai dengan penyebutan
sasaran atau objek secara langsung, diksi yang menunjukkan
sarkasme, umpatan, atau pun makian. Kritikan harus bersifat
35
membangun dan tetap mengontrol kondisi sosial agar tetap stabil.
Bandingkan kritikan berikut.
Tabel 2.1 Kritikan secara Langsung dengan Kata-kata Kasar
Kritikan A Krtikan B
Kementerian pertanian pada
kabinet gotong royong bekerja
dengan amburadul dan bodoh
dalam menentukan kebijakan. Hal
tersebut tidak bisa dibiarkan,
sebaiknya segera dibubarkan saja
karena sudah banyak informasi
yang tidak sesuai kenyataan.
Tampaknya ada upaya membodohi
petani dan kondisi pasar.
Di berbagai kondisi, pertanian
Indonesia menunjukkan kestabilan.
Namun, terdapat kondisi yang
mungkin perlu kita cermati.
Kementerian pertanian
mengumumkan kemandirian dan
bahkan kedaulatan pangan pada
pidato laporan kerja Kabinet 2018,
tetapi seminggu setelahnya
Indonesia mengimpor beras, bawang
putih, dan garam. Ini menunjukkan
tidak sejalannya laporan kerja
dengan kenyataan di lapangan,
kondisi tersebut mengakibatkan
pasar tidak stabil. Sebaiknya segera
ada upaya pemulihan dengan
kesejalanan kinerja dan informasi.
Kritikan A tersebut tidak layak diucapkan karena menggunakan
sarkasme amburadul dan bodoh. Kritik yang baik harus dinyatakan
dengan label sesuai bidang pekerjaannya (terdapat istilah teknis yang
mengindikasikan keadaan secara spesifik), misalnya kritikan B
menjelaskan tentang peristiwa laporan kinerja kementerian dengan
label ketahanan dan kedaulatan pangan disertai bukti yang autentntik.
Kritikan dilakukan jika terdapat kesenjangan, ketidaksesuaian, dan
keruguian. Pada kritikan B, penulis kritik menggunakan aspek
kesenjangan antara laporan kinerja dengan kebijakan impor yang
menunjukkan dua hal yang ironis. Dengan demikian, kritikan
dinyatakan secara lugas, tetapi memberikan dukungan dengan kalimat
penghargaan di awal, penggunaan pernytaan mungkin perlu kita
cermati yang menunjukkan ketidaktegasan, tetapi menunjukkan
kerendahan hati. Dengan demikian, tuturan kritik tetap santun.
36
b. Dorongan Emosi Penutur
Kesantunan berkaitan dengan kemampuan menggunakan bahasa
sebagai alat kontrol sosial. Peran bahasa sebagai alat kontrol sosial
bermakna kemampuan bahasa untuk mengondisikan keadaan menjadi
lebih baik. Di satu sisi, bahasa memiliki fungsi ekspresif yang
berperan menunjukkan eksistensi diri, nilai rasa, dan mewakili emosi.
Dalam kesantunan terdapat pagar untuk mengontrol keluasan
deskripsi mewakili emosi tersebut dengan peran kontrol sosial. Chaer
(2010) menyatakan, dorongan emosi merupakan penyebab
ketidaksantunan karena biasanya dorongan emosi melahirkan
kemarahan yang ditunjukkan dengan kata-kata bernada tinggi dan
pilihan kata yang menyinggung mitra tutur. Hal tersebut dapat diamati
pada kalimat, “Di mana datanya, kapan, bagaimana penelitian yang
disebut-disebut baik itu, kenyataannya kan peneliti tidak punya
kecerdasan menjelaskan. Pernyataan tersebut menunjukkan emosi dan
tidak menghargai pendapat orang lain. Setelah mendapatkan
penjelasan yang tidak sejalan dengan pemikiran atau pandangan kita,
sebaiknya kita menyatakan pandangan kita bukan menunjukkan emosi
dan menunjukkan keburukan pendapat orang lain. Sikap demikian
akan mengancam muka mitra tutur kita dan membuat orang-orang di
sekitar kita juga tidak nyaman.
c. Protektif terhadap Pendapat
Sikap ini bersifat agitatif atau membujuk orang lain untuk tidak
meyakini pendapat orang lain. Dalam sebuah diskusi atau forum
ilmiah, kadang terdapat sikap selalu egois dan ingin pendapatnya
dianggap paling benar. Sikap tersebut ditunjukkan dengan
menunjukkan kebaikan-kebaikan pendapatnya secara berlebihan dan
menunjukkan keburukan pendapat orang lain. Pernyataan yang
menunjukkan sikap tersebut misalnya, “Lihat saja, rencana itu pasti
gagal karena jelas merugikan banyak pihak. Bandingkan dengan
rencana saya yang praktis dan memakan biaya sedikit. Ini sudah
paling tepat.” Pendapat tersebut menunjukkan ketegasan yang kaku
dan merasa bahwa pendapatnya paling benar. Sikap tersebut bukan
sikap yang santun karena menunjukkan sikap tinggi hati dan tidak
memberikan kebebasan pada pemikiran orang lain.
d. Sengaja Menuduh Lawan Tutur
Bersikap curiga pada orang lain karena adanya indikasi yang kita
tangkap merupakan hal yang wajar. Dalam berkomunikasi, kita perlu
mengupayakan agar tuturan kita tidak mengarah pada tuduhan. Hal
tersebut didasarkan pada: (1) data yang kita dapat belum tentu benar,
37
(2) mengancam muka orang lain, (3) mengaburkan peristiwa yang
sesungguhnya, (4) tidak menghormati orang lain, misalnya
pernyataan, “Penelitian semacam ini relatif subjektif, beberapa
hasilnya tampak ada penambahan data. Mengapa seperti ini?”
Kalimat tersebut menunjukkan bahwa penutur meyakini melihat
adanya penambahan data. Pertnyaan selanjutnya justru mengarahkan
mitra tutur untuk menerima tuduhan. Hal tersebut tidak santun, tidak
layak kita lakukan dalam menyatakan ketidakpercayaan. Bila kita
kurang meyakini, yang perlu dilakukan adalah menanyakan dengan
pertanyaan eksploratif atau menggali informasi secara ilmiah untuk
memahamkan pada mitra tutur dan diri kita tentang hal yang terjadi.
Dengan demikian, jika terdapat ketidakjujuran atau pemikiran kita
benar, mitra tutur akan menyadarinya secara mendalam sebagai
proses belajar.
e. Sengaja Memojokkan Lawan Tutur
Memojokkan lawan tutur ditunjukkan dengan rangkaian
pernyataan yang mengarahkan pada pembuktian kesalahan sesorang
atau membuat orang lain tidak mempunyai pilihan. Memojokkan
dilakukan untuk membenarkan tuduhan dengan mengintimidasi
secara tidak langsung. Tindakan memojokkan dilakukan untuk
menunjukkan kelemahan-kelemahan secara langsung, misalnya
“Kalau tujuannya menyejahterakan anggota, mengapa masih banyak
yang belum sejahtera, kalau memang serius ingin membantu kok
tidak segera bertindak malah sibuk mengurus administrasi. Anggota
kita ini kelaparan, jangan sibuk di administrasi saja.” Pernyataan
tersebut tidak santun karena menunjukkan ketidakberhasilan kinerja
seseorang secara langsung. Di samping itu, juga ada klaim yang
menunjukkan bahwa mitra tutur tidak serius dalam bekerja disertai
kata-kata hiperbolik yang menunjukkan emosi atau kemarahan. Hal
tersebut tidak tepat digunakan dalam situasi diskusi ilmiah atau forum
resmi. Dalam forum tidak resmi pun tuturan memojokkan kurang
layak dinyatakan karena membuat orang lain tidak nyaman dan
merasa tidak dihargai.
2.4 Ragam Bahasa Indonesia
Setelah Saudara memahami hal-hal yang perlu diperhatikan terkait
kesantunan berbahasa di atas, selanjutnya kita akan membicarakan ragam
bahasa beserta macam-macamnya. Pada bagian ini juga dipaparkan
karakteristik situasional dan fungsi bahasa sesuai ragamnya. Secara rinci
dijelaskan sebagai berikut.
38
2.4.1 Pengertian Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian, yang
berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan
pembicara, lawan bicara, dan orang yang dibicarakan, serta menurut
medium pembicaraan. Ragam bahasa dapat juga diartikan sebagai
jenis/macam bahasa berdasarkan pemakaiannya; lebih spesifikasi lagi
ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaiannya
Pengertian lebih lengkap dari ragam bahasa menunjuk pada
pengertian tentang penggunaan bahasa yang dibedakan atas dua
karakteristik, yaitu karasteristik situasional seperti tujuan, saluran, situai
keformalan; dan karakteristik pelaku, yaitu: pembicara, pendengar,
penulis, pembaca, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2014:119). Hubungannya
dengan situasi pemakaian, akan memunculkan berbagai ragam bahasa.
Misalnya, dalam situasi formal, ragam bahasa yang dipakai juga formal;
sebaliknya dalam situasi santai, ragam bahasa yang dipakai juga santai.
Munculnya berbagai ragam bahasa dapat didasarkan pada
beberapa hal. Menurut Wijono (2005), beberapa hal tersebut yaitu ragam
bahasa berdasarkan media, ragam bahasa berdasarkan waktu, dan ragam
bahasa berdasarkan pesan komunikasi. Menurut Ratri (2019), munculnya
berbagai ragam bahasa didasarkan pada beberapa hal, yaitu: media/sarana
yang digunakan untuk menghasilkan bunyi, karakteristik situasional, dan
fungsinya. Berdasarkan berbagai hal tersebut, terdapat macam-macam
ragam bahasa yang akan diuraikan/dijelaskan sebagai berikut.
2.4.2 Macam-macam Ragam Bahasa
Berikut ragam bahasa berdasarkan media atau sarana, karakteristik
situasional, fungsi bahasanya, dan aspek penuturnya.
a. Berdasarkan Media atau Sarana yang Digunakan untuk Menghasilkan
Bahasa
Ragam bahasa berdasarkan media dibedakan atas bahasa lisan
dan bahasa tulis. Ragam bahasa lisan ditandai dengan penggunaan
lafal atau pengucapan, intonasi, kosakata, penggunaan tata bahasa
dalam pembentukan kata, dan penyusunan kalimat. Ragam bahasa
lisan terdiri atas ragam bahasa lisan baku, ragam bahasa lisan tidak
baku (santai/pergaulan). Ragam bahasa tulis ditandai dengan
kecermatan menggunakan ejaan dan tanda baca, kosa kata,
penggunaan tata bahasa dalam pembentukan kata, penyusunan
kalimat, paragraf, dan wacana.
39
b. Berdasarkan Karakteristik Situasional
Ragam bahasa berdasarkan karakteristik situasional terdapat dua
ragam bahasa, yaitu (a) ragam formal/resmi/baku, adalah
ragam/variasi bahasa yang digunakan dalam situasi resmi sehingga
bahasa yang harus digunakannya harus bahasa yang baku; dan (2)
ragam nonformal/tidak resmi/tidak baku, adalah ragam/variasi bahasa
yang digunakan dalam situasi tidak resmi sehingga bahasa yang
digunakannya tidak baku/santai.
c. Berdasarkan Fungsi dari bahasa itu
Ragam bahasa berdasarkan fungsinya, terdapat lima macam ragam
bahasa, yaitu ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa populer, ragam
bahasa sastra, ragam bahasa jurnalistik, dan ragam bahasa profesi.
1) Ragam bahasa ilmiah adalah ragam/variasi bahasa yang
digunakan dalam penulisan karya-karya ilmiah sehingga sering
disebut sebagai ragam bahasa baku (ragam bahasa yang sesuai
dengan kaidah bahasa baku).
2) Ragam bahasa populer adalah ragam/variasi bahasa yang
digunakan pada situasi-situasi tidak formal (tidak baku) atau
pada karangan-karangan yang berifat personal dan akrab.
3) Ragam bahasa sastra adalah ragam/variasi bahasa yang
digunakan dalam bidang sastra.
4) Ragam bahasa jurnalistik : ragam/variasi bahas yang digunakan
dalam dunia jurnalistik.
5) Ragam bahasa sesuai dengan profesi adalah ragam/variasi
bahasa yang digunakan sesuai dengan profesi, misal : ragam
kedokteran, ragam keagamaan, ragam hukum, dll
d. Berdasarkan aspek/segi penutur
Ragam bahasa berdasarkan aspek penutur terdapat beberapa ragam
bahasa, yaitu idiolek, dialek, kronolek/dialek temporal, dan
sosiolek/dialek sosial.
1) Idiolek adalah ragam bahasa yang bersifat perseorangan atau ciri
bahasa perseorangan.
2) Dialek adalah ragam bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlanya relatif yang berada pada satu tempat, wilayah, atau
area tertentu (dialek areal, dialek regional, dialek geografi).
3) Kronolek atau dialek temporal adalah ragam bahasa yang
digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu, misalnya
ragam bahasa pada masa tahun tiga puluhan.
40
4) Sosiolek/dialek sosial adalah ragam bahasa yang berkenaan
dengan status, golongan dan kelas sosial para penuturnya:
akrolek, basilek, kolokial, jargon.
Contoh beberapa ragam bahasa
Ragam dialek : “Gue udah baca itu buku ”
Ragam terpelajar : “Saya sudah membaca buku itu”
Ragam resmi : “Saya sudah mmbaca buku itu”
Ragam tak resmi : “Sudah saya baca buku itu”
Ragam hukum : Dia dihukum karena melakukan tindak pidana.
Ragam bisnis : Setiap pembelian di atas nilai tertentu akan
diberikan diskon.
Ragam sastra : Cerita itu menggunakan flashback.
Ragam kedokteran : Anak itu menderita penyakit kuorsior.
2.5 Rangkuman
Dengan adanya berbagai ragam bahasa dalam bahasa Indonesia, kita
sebagai bangsa Indonesia dituntut harus mampu menggunakan bahasa
Indonesia sesuai dengan situsi dan kondisi beriringan dengan selarasnya
kaidah struktur bahasa itu sehingga akan menghasilkan bahasa yang baik
dan benar. Bahasa yang baik artinya sesuai dengan konteks situasi dan
bahasa yang benar artinya sesuai dengan tata bahasa/kaidah bahasa baku.
Berkaitan dengan itu, dalam penggunaan bahasa tidak pernah terlepas dari
kesantunan bahasa karena dari bahasa yang digunakan, seseorang dapat
dilihat kepribadiannya dan kemampuannya.
2.6 Bahan Diskusi
Diskusikan hal-hal berikut ini. Setujukah Saudara dengan pernyataan-
pernyataan berikut.
a. Keberhasilan proses komunikasi yaitu ketika pembicara/komunikator
mampu menyampaikan pesan kepada komunikan yang dipahaminya
secara tepat dan benar. Salah satu faktor keberhasilan proses
komunikasi tersebut adalah bahasa.
1) Diskusikan mengapa aspek bahasa menjadi penentu keberhasilan
komunikasi!
2) Hal-hal apakah yang perlu diperhatikan agar bahasa mampu
menyampaikan pesan dengan tepat dan benar?
b. Diskusikan apakah kiat-kiat yang bisa dilakukan seseorang untuk
meningkatkan kemampuan berbahasa?
41
2.7 Daftar Rujukan
Arifin, E. Zaenal dan Tasai, S. Amran. 2010. Cermat Berbahasa Indonesia
untuk Perguruan Tinggi. Sebagai Matakuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK). Jakarta: Akademika Pressindo.
Damayanti, Rini dan Indrayanti, Tri. 2015. Bahasa Indonesia untuk
Perguruan Tinggi. Surabaya: Victory Inti Cipta.
Leech, G. 1989. Principle of Pragmatics. London : Longman.
Nababan, PWJ.1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT
Gramedia.
Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahardi, K. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Setyawati, Nanik. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia: Teori
dan Praktik. Surakarta: Yuma Pustaka.
Tim. 2016. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Edisi Keempat.
Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
2.8 Latihan Soal
Kerjakanlah soal-soal berikut dengan pemaparan yang jelas dan tepat!
1. Jelaskan bagaimanakah bahasa Indonesia yang baik dan benar?
2. Sejauhmanakah peran kesantunan berbahasa dalam proses
komunikasi seseorang?
3. Ada pepatah mengatakan bahwa “Bahasa menunjukkan bangsa”.
Apakah maksud pepatah tersebut? Jelaskan pendapat Saudara!
4. Apakah yang dimaksud dengan ragam bahasa?
5. Apakah faktor yang mnyebabkan munculnya beraneka ragam bahasa?
Sebutkan dan jelaskan pendapat Saudara!
42
BAB 3. BAHASA INDONESIA RAGAM ILMIAH
3.1 Pengantar
Bahasa yang baik dan benar ialah bahasa yang sesuai dengan
konteks penggunaannya dan tetap menjunjung tinggi kaidah kebahasaan.
Dalam ragam ilmiah, bahasa yang digunakan harus mengikuti karakteristik
keilmiahan. Hal itu mengakibatkan bahasa yang digunakan dalam konteks-
konteks ilmiah memiliki karakteristik atau ciri-ciri yang berbeda bila
dibandingkan dengan ragam bahasa lainnya.
3.2 Pengertian Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah
Salah satu ragam yang terdapat dalam bahasa Indonesia adalah
ragam bahasa ilmiah. Ragam bahasa ilmiah merupakan ragam bahasa yang
digunakan untuk kegiatan yang bersifat ilmiah. Bahasa ragam ilmiah yang
digunakan dalam penulisan karya ilmiah harus benar-benar mengikuti
kaidah tata bahasa sehingga ragam bahasa ilmiah disebut juga dengan
ragam bahasa baku. Selain itu, ragam bahasa ilmiah harus singkat, padat,
jelas, dan logis karena bahasa ragam ilmiah digunakan sebagai sarana
untuk mengungkapkan pola pikir atau gagasan secara ilmiah melalui
tulisan sehingga dapat diterima oleh orang lain atau pembaca dengan
benar. Dengan demikian, bahasa Indonesia ragam ilmiah adalah sarana
verbal yang digunakan untuk mengkomunikasikan proses kegiatan dan
hasil penalaran yang bersifat ilmiah sesuai dengan kaidah tata bahasa
Indonesia.
3.3 Ranah Penggunaan Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah
Bahasa Indonesia ragam ilmiah digunakan dalam penulisan yang
mencakup segala kegiatan yang bersifat ilmiah. Dengan demikian, ranah
penggunaan bahasa Indonesia ragam ilmiah mencakup penulisan berikut.
Kemampuan Akhir yang Diharapkan (KAD)
Mahasiswa mampu memahami pengertian bahasa Indonesia
ragam ilmiah, ranah-ranah penggunaannya, ciri-cirinya, dan
struktur dalam bahasa Indonesia ragam ilmiah yang mencakup
diksi, struktur kalimat dan paragraf sehingga mahasiswa akan
terampil menulis karya ilmiah dengan bahasa Indonesia ragam
ilmiah secara tepat.
43
a. Laporan yang berbentuk naskah, seperti: artikel, makalah, laporan
hasil penelitian, dan laporan yang berbentuk surat, seperti surat-surat
resmi.
b. Skripsi, tesis, dan disertasi.
c. Laporan pekerjaan yang berbentuk surat, atau naskah.
d. Laporan pertanggungjawaban seperti: laporan kegiatan, laporan
keuangan, dan laporan pemegang saham.
3.4 Ciri-ciri Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah
Ciri-ciri bahasa Indonesia ragam ilmiah pada dasarnya ada dua,
yaitu ciri umum dan ciri khusus. Ciri umumnya adalah bahasa yang
digunakan harus bersifat ilmiah, artinya sesuai dengan kaidah tata bahasa
baku bahasa Indonesia. Ciri-ciri khususnya, yaitu (a) cendekia, (b) lugas
dan logis, (c) jelas, (d) ringkas dan padat, (e) formal dan objektif, (f)
gagasan sebagai pangkal tolak, (g) penggunaan istilah teknis, dan (h)
konsisten. Untuk lebih jelas ikuti uraian berikut.
a. Cendekia
Ciri cendekia yang dimaksud adalah bahasa Indonesia yang
digunakan dalam penulisan karya ilmiah mampu mengungkapkan
hasil berpikir logis secara tepat. Hal itu diwujudkan dalam
penyusunan atau pengorganisasian bahasa secara sistematis, artinya
teratur dan runtut sehingga menunjukkan kelogisan berpikir seseorang
atau penulis
Contoh
1) Kemajuan informasi pada era globalisasi ini dikhawatirkan akan
terjadi pergeseran nilai-nilai moral bangsa Indonesia terutama
pengaruh budaya barat yang masuk ke Negara Indonesia yang
dimungkinkan tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan moral
bangsa Indonesia.
Bandingkan
2) Pergeseran nilai-nilai budaya bangsa terjadi karena masuknya
pengaruh budaya barat ke Indonesia.
b. Lugas dan Logis
Ciri lugas yang dimaksud adalah bahasa Indonesia yang
digunakan dalam penulisan karya ilmiah harus bermakna harafiah dan
tidak bermakna ganda, sedangkan ciri logis adalah bahasa Indonesia
yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah sesuai dengan logika
atau dapat diterima oleh akal sehat. Hal itu membantu penulis dalam
mengungkapkan pola pikir atau gagasannya dan membantu pembaca
dalam memahami gagasan atau pola pikir penulis.
44
Contoh
1) Kalau pada zaman Sunan Kalijaga dalam kesenian wayang
termasuk ceritanya digunakan sebagai media penyebaran agama.
Maka di masa sekarang lebih tepat apabila penanaman budi
pekerti dalam cerita wayang melalui pengajaran apresiasi.
2) Saat terjadi kekacauan di pasar, pencuri berhasil ditangkap sama
polisi.
3) Dari data yang berhasil dikumpulkan, peneliti ternyata dapat
dideskripsikan bahwa bahasa yang digunakan dalam ucapan
Selamat Hari Raya Idul Fitri dan Ramadan menggunakan pilihan
kata yang khas yang digunakan dalam ucapan Selamat Hari Raya
Idul Fitri.
Bandingkan:
1) Kalau pada zaman Sunan Kalijaga, kesenian wayang, termasuk
ceritanya, digunakan sebagai media penyebaran agama;
sekarang, kesenian wayang digunakan sebagai media penanaman
budi pekerti melalui apresiasi.
2) Saat terjadi kekacauan di pasar, polisi berhasil menangkap
pencuri.
3) Dari data yang ada, dapat dikatakan bahwa bahasa yang
digunakan dalam ucapan Selamat Idul Fitri dan Ramadan
menggunakan pilihan kata yang khas.
c. Jelas
Ciri jelas yang dimaksud adalah bahasa Indonesia yang
digunakan dalam penulisan karya ilmiah jelas struktur kalimat dan
maknanya. Hal itu sangat membantu penulis dalam memaparkan
gagasan atau pola pikirnya dan mempermudah pembaca untuk
memahami makna yang dimaksudkan.
Contoh
1) Untuk mengetahui apakah baik dan buruknya pribadi seseorang
dari tingkah dan lakunya dalam sehari-hari.
2) Perkara diajukan kemeja hijau berjumlah lima puluh satu.
Sedangkan perkara disidangkan berjumlah dua puluh satu.
Bandingkan
1) Baik buruknya pribadi seseorang dapat dilihat dari tingkah
lakunya sehari-hari.
2) Perkara yang diajukan ke meja hijau berjumlah 51 buah,
sedangkan perkara yang telah disidangkan berjumlah 21 buah.
45
d. Padat dan Ringkas
Padat yang dimaksud adalah gagasan atau pola pikir yang akan
diungkapkan tidak tercampur unsur-unsur lain yang tidak ada
hubungannya atau tidak diperlukan. Ciri ringkas yang dimaksud
adalah bahasa Indonesia yang digunakan dalam penulisan karya
ilmiah harus singkat, tidak menggunakan kata-kata yang tidak
diperlukan atau kata-kata yang berlebihan (mubazir). Karya tulis
ilmiah harus menunjukkan gagasan atau pola pikir yang padat dan
tertuang dalam kalimat yang ringkas.
Contoh
1) Pendidikan agama di Sekolah Dasar harus dan perlu dibantu serta
didukung oleh wali murid agar mengarahkan masa depan
anaknya secara baik dan religius.
Bandingkan
2) Pendidikan agama di SD tidak akan terlaksana dengan baik tanpa
dukungan orang tua.
e. Formal dan Objektif
Formal yang dimaksud mengacu pada pandangan bahwa
komunikasi ilmiah melalui tulisan ilmiah merupakan komunikasi
formal atau resmi sehingga bahasa Indonesia yang digunakannya
harus bahasa Indonesia formal, artinya bahasa Indonesia yang
digunakan harus bahasa yang berlaku dalam situasi formal atau resmi
pada struktur bahasa yang mencakup seluruh tataran struktur
kebahasaan. Penggunaan bahasa seperti itulah yang menunjukkan ciri
objektif, yaitu dapat diukur kebenaranya secara terbuka oleh umum.
Contoh
1) Menurut Moeliono mengatakan bahwa bahasa ilmiah itu lugas,
eksak, dan menghindari kesamaran dan ketaksaan dalam
pengungkapan. (1989)
Bandingkan
2) Menurut Moeliono (1989), bahasa ilmiah itu lugas, eksak, dan
menghindari kesamaran dan ketaksaan dalam pengungkapan.
3) Moeliono (1989) mengatakan bahwa bahasa ilmiah itu lugas,
eksak, dan menghindari kesamaran dan ketaksaan dalam
pengungkapan.
Contoh yang lain
a) Metoda penelitian ini mencakup baik metoda kwantitatif dan
kwalitatif.
b) Kekacauan sosial diberbagai tempat disebabkan karena tidak
meratanya keadilan dan kemakmuran.
46
c) Dalam sidang memutuskan bahwa terdakwa dikenai hukuman
penjara selama 4 tahun.
Bandingkan
a) Metode penelitian ini mencakup metode kuantitatif dan kualitatif.
b) Kekacauan di berbagai tempat disebabkan oleh tidak meratanya
keadilan dan kemakmuran.
c) Dalam sidang diputuskan bahwa terdakwa dikenai hukuman
penjara selama empat tahun.
d) Sidang memutuskan bahwa terdakwa dikenai hukuman penjara
selama empat tahun.
f. Gagasan sebagai Pangkal Tolak
Gagasan sebagai pangkal tolak yang dimaksud adalah bahasa
yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah harus berorientasi pada
gagasan atau pola pikir bukan pada penulis. Gagasan sebagai pangkal
tolak terkait dengan objektivitas penulis, artinya penggunaan bahasa
tersebut secara dominan harus bertolak pada objek yang dibicarakan
dan bukan pada penulis secara pribadi. Oleh karena itu, objektivitas
harus ditandai dengan upaya penulis untuk menghindari penggunaan
kata saya, kami, dan kita.
Contoh
1) Kita semua tahu bahwa pendidikan itu di lingkungan keluarga
sangat penting dalam menanamkan moral Pancasila.
Bandingkan
2) Perlu dikatahui bahwa pendidikan di lingkungan keluarga sangat
penting dalam penanaman moral Pancasila.
g. Penggunaan Istilah Teknis
Ciri penggunaan istilah teknis yang dimaksud adalah bahasa
Indonesia yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah harus
berfungsi sebagai wacana teknis, artinya sesuai dengan bidang
keilmuannya yang dilengkapi dengan peristilahan teknis yang
meliputi penulisan angka, lambang, dan istilah sesuai dengan bidang
ilmu.
Contoh
1) Hazard Analysis Critical Control Point/HACCP adalah sistem
penjaminan mutu dan keamanan pangan yang sangat dianjurkan
oleh badan keamanan pangan internasional Codex Alimentarius
Commission untuk diterapkan di industri pangan.
Bandingkan
2) Hazard Anaylisis Critical Control Point (HACCP) adalah sistem
penjaminan mutu dan keamanan pangan yang sangat dianjurkan
47
oleh badan keamanan pangan internasional Codex Alimentarius
Commission (CAC) untuk diterapkan di industri pangan.
h. Konsisten
Ciri konsisten yang dimaksud adalah bahasa Indonesia yang
digunakan dalam penulisan karya ilmiah mulai dari tataran terkecil
sampai dengan tataran terbesar dan terluas (keseluruhan struktur
bahasa) harus ajeg. Arti ajeg adalah taat asas atau selalu
menggunakan bentuk-bentuk atau unsur-unsur tersebut dari awal
tulisan sampai akhir tulisan.
Contoh
Dalam penulisan skripsi, mahasiswa harus melakukan langkah-
langkah:
• pertemuan dengan penasihat akademik,
• mengajukan topik,
• melapor kepada ketua jurusan, dan
• bertemu pembimbing.
Bandingkan
Dalam penulisan skripsi, mahasiswa harus melakukan langkah-
langkah sebagai berikut:
1) menemui penasihat akademik,
2) mengajukan topik,
3) melaporkan rencana skripsi kepada ketua jurusan, dan
4) menemui pembimbing.
3.5 Diksi
Selain memperhatikan ciri-ciri bahasa Indonesia ragam ilmiah,
dalam penulisan karya ilmiah juga harus memperhatikan pemilihan kata
yang tepat (diksi), struktur kalimat, dan paragraf. Diksi atau pemilihan
kata adalah proses atau tindakan memilih kata yang dapat mengungkapkan
gagasan secara tepat, hasil dari proses atau tindakan pemilihan kata disebut
pilihan kata (Mustakim, 1995). Pilihan kata merupakan aspek yang sangat
penting dalam kegiatan berbahasa karena bila pilihan kata tidak tepat,
bahasa yang digunakan menjadi tidak efektif dan informasi yang
disampaikan menjadi tidak jelas. Untuk itulah, dalam proses penulisan
karya ilmiah, diksi atau pemilihan kata merupakan hal yang sangat penting
dan harus dilakukan agar dapat menunjukkan pola pikir penulis secara
tepat.
Pilihan kata dalam penulisan karya ilmiah harus mengutamakan
kata-kata bahasa Indonesia. Penggunaan kata-kata bahasa asing, bahasa
daerah, dan kata-kata yang berupa dialek harus dihindarkan apabila kata-
48
kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Jika tidak ada
atau belum memasyarakat, teknik penulisannya adalah setelah kata atau
istilah tersebut kemudian diikuti kata atau istilah bahasa asing, bahasa
daerah, atau dialek sebagai padanan dan penulisannya dicetak miring.
Untuk uraian selanjutnya cukup digunakan padanannya.
Dalam pemilihan kata, hal yang perlu diperhatikan adalah ketepatan,
kecermatan, dan keserasian. Ketepatan berkaitan dengan kemampuan
memilih kata untuk mengungkap gagasan secara tepat dan diterima juga
oleh pembaca atau pendengar secara tepat. Kecermatan berkaitan dengan
kemampuan memilih kata dengan cermat, artinya mampu memahami kata-
kata yang mubazir atau kata-kata yang kehadirannya tidak diperlukan.
Keserasian berkaitan dengan kemampuan menggunakan kata-kata yang
sesuai dengan konteks dan lazim dalam pemakaian bahasa itu.
Berikut ini akan disampaikan teknik pemilihan kata yang tepat
dengan cara membandingkan antara contoh yang salah (tidak baku) dan
contoh yang benar (baku), serta contoh yang tidak tepat dan contoh yang
tepat. Teknik pemilihan kata tersebut sebagai berikut.
3.5.1 Memilih kata-kata baku
Contoh:
Tabel 3.1 Kata Tidak Baku dan Baku
tidak baku baku
membikin membuat
ketimbang
lantas
cuma
methode, metoda
technik, tehnik
system, sistim
prosen, prosentase
kwalitas, kwitansi, questioner
jadual
effektif, effisien
analisa, diagnosa, hipotesa
aktifitas, produktifitas
Pebruari, Nopember
Jum’at, Rebo, Rabo
obyek, subyek
daripada
lalu, kemudian
hanya
metode
teknik
sistem
persen, persentase
kualitas, kuitansi, kuesioner
jadwal
efektif, efisien
analisis, diagnosis, hipotesis
aktivitas, produktivitas
Februari, November
Jumat, Rabu
objek, subjek
49
3.5.2 Menghindari kata-kata yang termasuk jargon/prokem/slang karena
kata-kata tersebut tidak termasuk kata-kata baku, kecuali sebagai
data
Contoh:
Tabel 3.2 Kata Tidak Baku dan Baku
tidak baku baku
Beli ipok utas gelas (jargon) Beli kopi satu gelas
3.5.3 Menghindari pemakaian kata-kata di mana, yang mana, yang
digunakan sebagai kata penghubung
Contoh:
Tabel 3.3 Kata Tidak Baku dan Baku
tidak baku baku
Kota Jember merupakan kota di
mana saya dilahirkan.
Masalah yang mana sudah saya
jelaskan tidak perlu ditanyakan lagi.
Kota Jember merupakan kota
tempat saya dilahirkan.
Masalah yang sudah saya
jelaskan tidak perlu ditanyakan
lagi.
3.5.4 Memilih kata-kata yang lugas, berekamakna, dan bermakna
denotatif bukan makna konotatif atau kias atau metaforis
Contoh:
Tabel 3.4 Kata Konotatif dan Denotatif
konotatif denotatif
Dalam pertengkaran itu, ia dijadikan
kambing hitam.
Kambing hitam itu dijual karena
sangat diminati banyak orang.
3.5.5 Memilih kata-kata bersinonim yang paling tepat, yang
memungkinkan satu tafsiran makna yang paling sesuai dengan
konteks dan maksud penulis
Contoh:
Tabel 3.5 Kata Tidak Tepat dan Tepat
tidak tepat tepat
Roni melihat pertunjukan wayang. Roni menonton pertunjukan
wayang
50
3.5.6 Memilih kata-kata yang tidak berkonotasi emotif
Contoh:
Tabel 3.6 Kata Emotif dan Tidak Emotif
Emotif tidak emotif
Itu semua menunjukkan kepicikan
atau ketololan masyarakat setempat.
Itu semua menunjukkan
kurangnya pengetahuan
masyarakat setempat.
3.5.7 Memilih kata dengan tepat, terutama kata ganti, kata kebijakan
dan kebijaksanaan, dan kata dari dan daripada.
a. Kata Ganti
Pemakaian kata saya, kita, dan kami seringkali tidak tepat dan
seringkali dikacaukan. Pemakaian kata ganti yang tepat adalah saya
untuk orang pertama tunggal, kami untuk orang pertama jamak, dan
kita untuk orang pertama dan kedua jamak. Pemakaian kata ganti
yang tidak tepat adalah kata kami diganti kata kita, di lain pihak kata
saya diganti kata kami.
Contoh:
Tabel 3.7 Kata Ganti
tidak tepat tepat
Kemarin sewaktu kita datang,
dia sudah berada di sini.
Dengan ini kami sebagai
penulis ingin mengucapkan
terima kasih.
Kemarin sewaktu kami datang,
dia sudah berada di sini.
Dengan ini saya sebagai
penulis ingin mengucapkan
terima kasih.
b. Kata kebijakan dan kebijaksanaan
Sebenarnya kedua kata tersebut merupakan kata yang benar dan
baku. Akan tetapi, pemakaiannya berbeda sehingga sering tidak tepat.
Kata kebijakan digunakan untuk menyatakan hal yang menyangkut
politik atau strategi, sedangkan kebijaksanaan berkaitan dengan
kearifan atau kepandaian seseorang dalam menggunakan akal
budinya.
Contoh:
Tabel 3.8 Kata Kebijakan dan Kebijaksanaan
tidak tepat tepat
Berdasarkan kebijaksanaan
pim-pinan, penempatan
pegawai harus sesuai dengan
bidang keahlian masing-
masing.
Berdasarkan kebijakan
pimpinan, penempatan pegawai
harus sesuai dengan bidang
keahlian masing-masing.
Berkat kebijaksanaan orang
51
Berkat kebijakan orang tua,
anak itu akhirnya tumbuh dan
berkem-bang menjadi anak
yang baik.
tua, anak itu akhirnya tumbuh
dan ber-kembang menjadi anak
yang baik.
c. Pemakaian kata dari dan daripada
Sebenarnya kedua kata tersebut pemakaiannya berbeda karena
maknanya juga berbeda. Kata dari digunakan untuk menyatakan
makna asal (asal tempat dan asal bahan), sedangkan kata daripada
untuk menyatakan perbandingan.
Contoh:
Tabel 3.9 Kata dari dan daripada
tidak tepat tepat
Bangunan yang megah itu
terbuat daripada bahan-bahan
yang ber-kualitas tinggi.
Nilai ekspor Indonesia pada
tahun 1989 lebih besar dari
nilai ekspor tahun-tahun
sebelumnya.
Bangunan yang megah itu
terbuat dari bahan-bahan yang
berkualitas tinggi.
Nilai ekspor Indonesia pada
tahun 1989 lebih besar
daripada nilai ekspor tahun-
tahun sebelumnya.
3.5.8 Memilih kata dalam bentuk frasa dengan tepat.
Contoh:
Tabel 3.10 Kata Bentuk Frasa
tidak tepat tepat
terdiri dari
tergantung pada, tergantung daripada
bertujuan untuk
berdasarkan kepada
membicarakan tentang
antara ... dengan ...
dalam menyusun
dibanding
walau/meskipun ......., tetapi
terdiri atas
bergantung pada
bertujuan
untuk
berdasarkan
berdasar pada
berbicara tentang
membicarakan ...
antara ... dan ...
dalam penyusunan
dibandingkan dengan
walau/meskipun …… (tanpa
tetapi)
52
3.5.9 Menghindari penggunaan frasa yang bersinonim secara bersamaan.
Contoh:
Tabel 3.11 Kata Frasa Tidak Tepat dan Tepat
tidak tepat tepat
disebabkan karena
agar supaya
dalam rangka untuk
setelah … kemudian …
contoh jenis batuan misalnya …
baik … ataupun …
disebabkan oleh
karena
agar
supaya
dalam rangka …
untuk …
setelah …
contoh batuan ialah …
misalnya …
baik … maupun …
3.6 Kalimat
Pembentukan kalimat dalam ragam bahasa ilmiah sangatlah penting.
Kalimat yang baik akan mudak dipahami dengan baik pula oleh pembaca.
Dalam membuat kalimat yang baik, terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yakni sebagai berikut.
3.6.1 Pengertian Kalimat
Kalimat adalah suatu bagian yang selesai dan menunjukkan pikiran
yang lengkap. Yang dimaksud dengan suatu bagian yang selesai adalah
kalimat itu diawali dan diakhiri dengan kesenyapan untuk bahasa lisan dan
kalimat itu diawali atau dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
tanda titik, tanda seru, dan tanda tanya untuk bahasa tulis, sedangkan yang
dimaksud dengan menunjukkan pikiran yang lengkap adalah informasi
yang diberikan merupakan pikiran yang utuh. Kalimat dapat juga disrtikan
sebagai rangkaian dari kata-kata yang berfungsi sebagai subjek dan
predikat, maksudnya sekurang-kurangnya kalimat itu memiliki subjek atau
pokok kalimat dan predikat atau sebutan dan dapat ditambah dengan objek
dan atau keterangan. Jika tidak memiliki unsur-unsur subjek dan predikat,
maka pernyataan itu bukanlah sebuah kalimat, namun hanya sebagai frasa.
Contoh:
a. Adik menangis. (kalimat)
S P
b. Ruangan itu memerlukan kursi. (kalimat)
S P O
c. adik saya (frasa)
d. tiga buah kursi (frasa)
53
3.6.2 Unsur-unsur Kalimat
Kalimat disusun berdasarkan unsur-unsur yang berupa kata, frasa,
dan atau klausa. Unsur-unsur kalimat itu adalah subjek, predikat, objek,
dan keterangan.Untuk lebih jelasnya akan diuraikan satu per satu berikut
ini.
a. Subjek
Subjek sering disebut pokok kalimat, adalah unsur utama
kalimat. Subjek menentukan kejelasan makna kalimat. Penempatan
subjek yang tidak jelas atau tidak tepat dapat mengaburkan makna
kalimat. Keberadaan subjek dalam kalimat berfungsi: a) membentuk
kalimat dasar, luas, tunggal, dan majemuk; b) memperjelas makna; c)
menjadi pokok pikiran; d) menegaskan atau memfokuskan makna; e)
memperjelas ungkapan pikiran, dan f) membentuk kesatuan pikiran.
Untuk mencari subjek dalam kalimat, ada beberapa hal yang
perlu diketahui, antara lain:
1) subjek pasti kata benda atau kata yang dibendakan;
2) subjek merupakan jawaban dari pertanyaan kata apa yang…
atau siapa yang …
3) subjek berupa kata atau frasa benda
4) subjek disertai kata ini atau itu dan tidak didahului preposisi di,
dalam, pada, kepada, bagi, untuk, dari menurut, berdasarkan,
dll.
5) subjek tidak dapat diingkarkan dengan kata tidak, tetapi dapat
dengan kata bukan.
Contoh:
1) Saya / pergi ke Surabaya
S=KB
2) Saya / pergi ke Surabaya. (buat pertanyaan siapa yang pergi ke
Surabaya? jawabannya saya sehingga subjeknya adalah saya)
3) Ayah / bekerja. (subjek berupa kata)
S P
Ayah saya / bekerja (subjek berupa frasa)
S P
4) Air sungai kecil itu / terus mengericik (subjek disertai kata itu)
S P
5) *Bagi mahasiswa harus mengikuti kegiatan ekstrakurikuler (tidak
tepat)
Mahasiswa / harus mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. (tepat)
S P
54
6) Petani / mengerjakan sawah itu.
S P
Jika subjek diingkarkan:
Bukan petani yang mengerjakan sawah itu, melainkan saya. (tepat)
*Tidak petani yang mengerjakan sawah itu, tetapi saya (tidak
tepat)
b. Predikat
Predikat sering disebut sebutan, adalah unsur penjelas dalam
kalimat yang muncul secara eksplisit. Keberadaan predikat dalam
kalimat berfungsi: a) membentuk kalimat dasar, kalimat tunggal,
kalimat luas, dan kalimat majemuk; b) menjadi unsure penjelas yaitu
memperjelas pikirtan atau gagasan yang diungkapkan dan
menentukan kejelasan makna kalimat; c) menegaskan makna, dan d)
membentuk kesatuan pikiran.
Untuk mencari atau menentukan predikat dalam kalimat, ada
beberapa hal yang harus diketahui antara lain:
1) predikat dapat berupa kata benda, kata kerja, kata sifat, atau kata
bilangan;
2) predikat dapat berupa kata atau frasa;
3) predikat merupakan jawaban dari pertanyaan mengapa dan
bagaimana;
4) predikat dapat diingkarkan dengan kata tidak atau bukan;
5) predikat dapat didahului keterangan modalitas sebaiknya,
seharusnya, seyogyanya, mesti, selayaknya, dll.;
6) predikat tidak didahului kata yang, jika didahului yang, predikat
berubah fungsi menjadi perluasan subjek;
7) predikat dapat didahului keterangan aspek: akan, sudah, sedang,
selalu, hampir;
8) predikat didahului kata adalah, ialah, yaitu, yakni.
Contoh:
1) Ibu / sangat ramah
S P = Kata Sifat = frasa = jawaban atas pertanyaan
bagaimana
2) Ibu / ramah.
S P = dapat diingkarkan dengan kata tidak atau bukan,
menjadi :
Ibu / tidak ramah.
Ibu / bukan ramah.
55
3) Ibu / ramah. (predikat dapat didahului keterangan modalitas
sebaiknya,)
S P
Ibu / sebaiknya ramah.
4) Ibu / sangat ramah.
S P
predikat tidak bisa didahului kata yang , misalnya kalimatnya
menjadi *Ibu yang sangat ramah ……( kalimat ini tidak
mempunyai predikat, karena predikat semula sangat ramah
menjadi keterangan subjek ibu sehingga predikatnya hilang)
5) Presiden / adalah pemimpin suatu negara.(kata adalah sebagai
kata keterangan aspek)
S P
Presiden / akan memimpin suatu Negara. ( kata akan sebagai
kata keterangan aspek)
S P
c. Objek
Objek merupakan pelengkap yang membentuk kesatuan dalam
kalimat. Jika subjek dan predikat dalam kalimat cenderung muncul
secara eksplisit, objek dalam kalimat tidak demikian, artinya
kehadiran objek bergantung pada jenis predikat kalimat dan ciri khas
dari objek tersebut. Kalimat yang predikatnya transitif berarti
predikatnya memerlukan objek, sebaliknya kalimat yang predikatnya
intransitif berarti predikatnya tidak memerlukan objek. Predikat yang
memerlukan objek biasanya berupa kata kerja berkonfiks me-kan,
atau me-i, misalnya: mengambilkan, mengumpulkan, mengambili,
melempari, mendekati, dsb. Dalam kalimat, objek berfungsi: (1)
membentuk kalimat dasar pada kalimat berpredikat transitif, (2)
memperjelas makna kalimat, dan (3) membentuk kesatuan atau
kelengkapan pikiran.
Untuk mencari atau menentukan objek kalimat, perlu
diperhatikan hal-hal berikut:
1) objek berupa kata benda;
2) objek selalu terletak atau melekat setelah predikat (tidak dapat
disisipi unsur kalimat yang lain);
3) objek tidak didahului kata depan;
4) objek merupakan jawaban atas pertanyaan apa atau siapa yang
terletak langsung di belakang predikat transitif;
5) objek dapat menduduki fungsi subjek apabila kalimat tersebut
dipasifkan;
56
6) objek dapat dilengkapi dengan pelengkap yang mengkhususkan
objek yang fungsinya melengkapi informasi dan melengkapi
struktur kalimat.
Contoh:
1) Mahasiswa / mendiskusikan / antikorupsi.
S P O = Kata Benda = jawaban apa
setelah predikat =
melekat setelah
predikat = tidak
didahului kata depan.
2) Antikorupsi / didiskusikan / mahasiswa.
S P (pasif) O
3) Negara Republik Indonesia / berdasarkan / Pancasila.
S P Pelengkap
4) Ibu / membawakan / saya / oleh-oleh.
S P O Pelengkap
d. Keterangan
Keterangan berfungsi menjelaskan atau melengkapi informasi
pesan-pesan kalimat Apabila kalimat tidak ada keterangannya,
informasi menjadi tidak atau kurang jelas. Untuk mengetahui atau
menentukan keterangan kalimat perlu diketahui hal-hal berikut.
1) Keterangan bukan unsur utama kalimat, namun kalimat tanpa
keterangan,pesan menjadi tidak atau kurang jelas dan tidak
lengkap, misalnya surat undangan, apabila tanpa keterangan
tidak komunikatif;
2) Letak keterangan kalimat tidak terikat posisi, maksudnya dapat
di awal, di tengah, atau di belakang kalimat;
3) Keterangan dapat berupa: keterangan waktu, tujuan, tempat,
sebab, akibat, syarat, cara, posesif (posesif ditandai kata
meskipun, walaupun, atau biarpun) dan pengganti nomina (
menggunakan kata bahwa);
4) Keterangan dapat berupa keterangan tambahan yang berupa
aposisi yang dapat menggantikan subjek.
Contoh:
1) Sekarang / saya / berangkat / ke Surabaya. ( di awal)
Ket. S P K.Tuj.
Saya / sekarang / berangkat / ke Surabaya. (di tengah)
S Ket P K.Tuj.
Saya / berangkat / ke Surabaya / sekarang. (di akhir)
S P . K.Tuj. Ket.
57
2) Saya tetap berangkat ke Surabaya meskipun cuaca tidak
mendukung. (posesif)
3) Mahasiswa berpendapat bahwa sekarang ini sulit untuk mencari
pekerjaan. (pengganti nomina)
4) Megawati, Presiden RI 2001–2004, adalah presiden pertama
wanita Indonesia. (aposisi)
e. Konjungsi
Konjungsi adalah bagian kalimat yang berfungsi
menghubungkan atau merangkai unsur-unsur kalimat. Unsur-unsur
kalimat itu adalah: (1) dalam sebuah kalimat yaitu subjek, predikat,
objek, pelengkap, dan keterangan; (2) sebuah kalimat dengan kalimat
yang lain; dan atau (3) sebuah paragrap dengan paragrap yang lain.
Konjungsi terdiri atas dua, yakni perangkai intrakalimat dan
perangkai antarkalimat. Perangkai intrakalimat berfungsi
menghubungkan unsur atau bagian kalimat dengan unsur atau bagian
kalimat yang lain dalam sebuah kalimat. Perangkai antarkalimat
berfungsi menghubungkan kalimat atau paragraph yang satu degan
kalimat atau paragraph yang lain. Bagian perangkai antarkalimat
disebut dengan istilah kata transisi. Kata-kata transisi sangat
membantu dalam menghubungksn gagasan sebelum dan sesudahnya
baik antarkalimat maupun antarparagrap.
Kata sebagai bentuk perangkai yang terdapat dalam karangan,
antara lain: adalah, andaikata, apabila, atau, bahwa, bilamana,
daripada, di samping itu, sehingga, ialah, jika, kalau, kemudian,
melainkan, meskipun, misalnya, padahal, seandainya, sedangkan,
seolah-olah, supaya, umpamanya, bahkan, tetapi, karena itu, oleh
sebab itu, jadi, maka, lagipula, sebaliknya, sementara itu, selanjutnya.
Contoh penggunaan konjungsi (yang dicetak miring).
1) Rektor beserta Pembantu Rektor segera menghadiri upacara
bendera
2) Di samping menghormati orang tua, Saudara juga harus
menghormati bangsa dan Negara.
3) Saudara telah berhasil meraih gelar sarjana. Dengan demikian,
harapan untuk mendapatkan pekerjaan semakin terbuka.
4) Saya senang bekerja di kantor, sedangkan adik senang bekerja di
kebun.
5) Andaikata kita telah mempersiapkan diri dalam menghadapi
hujan, tentu kita saat ini tidak kebanjiran.
58
f. Modalitas
Modalitas dalam sebuah kalimat sering disebut keterangan
predikat. Modalitas dapat mengubah keseluruhan makna sebuah
kalimat. Dengan modalitas tertentu, makna kalimat dapat berubah
menjadi sebuah pernyataan yang tegas, ragu, lembut, dan pasti.
Modalitas dalam kalimat mempunyai beberapa fungsi, antara
lain: (1) mengubah nada, artinya dari nada tegas menjadi ragu-ragu
atau sebaliknya, dari nada keras menjadi lembut atau sebaliknya;
kata-kata yang sering digunakan adalah : barangkali, tentu, mungkin,
sering, harus, sungguh; (2) menyatakan sikap, artinya dalam
mengungkapkan kalimat digunakan kata-kata pasti, pernah, tentu,
sering, jarang
Contoh penggunaan modalitas (yang dicetak miring)
1) Adik saya kemungkinan besar sebagai seniman.
2) Dia sebetulnya seorang pelukis.
3) Mereka rupa-rupanya kurang setuju terhadap pendapat saya.
4) Dia jangan-jangan dianggap sebagai pencuri karena tingkah
lakunya mencurigakan.
5) Anda sebaiknya menerima hadiah itu dengan senang hati
3.6.3 Struktur Kalimat
Dalam berkomunikasi, kalimat merupakan sarana untuk
menyampaikan pikiran atau gagasan kepada orang lain agar dapat
dipahami dengan mudah dan jelas. Untuk itu, perlu digunakan kalimat
yang baik dan benar agar komunikasi juga berlangsung dengan baik dan
benar. Kalimat yang benar artinya adalah kalimat yang dapat
mengekspresikan gagasan secara benar, artinya jelas dan tidak
menimbulkan keraguan pembaca dan pendengarnya, sedangkan kalimat
yang baik adalah kalimat yang dapat mengekspresikan atau
mengungkapkan gagasan itu secara baik, artinya singkat, cermat, tepat,
jelas maknanya, dan santun atau sesuai dengan situasi dan kondisi.
Kalimat yang benar dapat juga diartikan kalimat yang mempunyai
struktur yang benar. Struktur yang benar artinya: (a) sebuah kalimat
minimal harus mempunyai subjek dan predikat; (b) harus lengkap; (c)
tidak berupa anak kalimat atau penggabungan anak kalimat; (d) urutan
kata harus tepat; dan (e) hubungan antarkalimat juga harus tepat. Hal ini
dapat dilihat pada contoh berikut.
a. Dalam sidang memutuskan bahwa terdakwa dikenahi hukuman
penjara selama empat tahun. (SALAH)
59
Kalimat ini salah karena predikatnya berbentuk aktif, tetapi tidak
mempunyai subjek karena subjeknya didahului oleh kata dalam.
Agar kalimat tersebut menjadi benar, perbaikannya sebagai berikut.
1) Sidang memutuskan bahwa terdakwa dikenai hukuman penjara
selama empat tahun.
(Kata dalam dihilangkan sehingga kalimat ini mempunyai
subjek)
2) Dalam sidang diputuskan bahwa terdakwa dikenai hukuman
penjara selama empat tahun.
(Kata dalam tetap digunakan, tetapi predikat diubah menjadi
bentuk pasif)
b. Sidang yang memutuskan bahwa terdakwa dikenai hukuman penjara
selama empat tahun. (SALAH)
Kalimat tersebut salah karena di depan predikat menggunakan kata
yang. Hal ini berarti kalimat tersebut tidak mempunyai predikat, tetapi
hanya mempunyai subjek dan perluasan subjek. Agar menjadi kalimat
yang benar, perbaikannya sebagai berikut.
Sidang memutuskan bahwa terdakwa dikenai hukuman penjara
selama empat tahun. (BENAR)
Kata yang dihilangkan sehingga kalimat tersebut mempunyai
predikat.
c. Meskipun ia tidak pandai, tetapi ia suka membaca buku-buku untuk
menambah pengetahuannya. (SALAH)
Kalimat tersebut salah karena merupakan gabungan dari anak kalimat.
Hal ini dapat dilihat dari masing-masing kalimat diawali kata
penghubung meskipun dan tetapi yang menjadi dasar penentuan
bahwa kalimat itu merupakan anak kalimat. Agar menjadi kalimat
yang benar, perbaikannya sebagai berikut.
1) Ia tidak pandai. Ia suka membaca buku-buku untuk menambah
pengetahuannya.
(dua kalimat)
2) Meskipun tidak pandai, ia suka membaca buku-buku untuk
menambah pengetahuannya. (satu kalimat dengan susunan anak
kalimat dan induk kalimat)
3) Ia suka membaca buku-buku untuk menambah pengetahuannya
meskipun tidak pandai. (satu kalimat dengan susunan induk
kalimat dan anak kalimat)
4) Ia tidak pandai, tetapi suka membaca buku-buku untuk
menambah pengetahuannya.
(satu kalimat dengan susunan induk kalimat dan anak kalimat)
60
d. Dalam kerjanya mereka menyusun laporan kegiatan, mengerjakan
perencanaan, kemudian melaksanakannya kegiatan. (SALAH)
Kalimat tersebut salah karena prosesnya tidak urut dan tidak logis.
Agar menjadi kalimat yang benar, perbaikannya sebagai berikut.
1) Mereka menyusun rencana kerja, melaksanakan, dan melaporkan
hasil pelaksanaannya.
2) Setelah menyusun dan melaksanakan rencana kerjanya, mereka
melaporkan hasilnya.
3) Mereka melaporkan hasilnya setelah menyusun dan
melaksanakan rencana kerjanya.
e. Orang itu sangat kaya, apalagi dia sangat gagah dan berwibawa.
(SALAH)
Kalimat di atas salah karena tidak cermat/tidak ada hubungan antara
kaya dengan gagah dan berwibawa. Agar menjadi kalimat yang
benar, perbaikannya sebagai berikut.
Orang itu sangat kaya, apalagi dia suka berderma kepada orang
miskin. (BENAR)
Berdasarkan strukturnya, kalimat dapat berupa kalimat tunggal dan
dapat pula berupa kalimat majemuk. Kalimat tunggal adalah kalimat yang
terdiri atas satu pola, artinya hanya terdiri atas satu subjek dan satu
predikat (dapat ditambah atau diperluas dengan objek dan keterangan).
Sementara itu, kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua pola
atau lebih. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan berikut.
1) Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu subjek dan
satu predikat (dapat ditambah atau diperluas dengan objek dan
keterangan). Pada dasarnya, apabila dilihat dari unsur-unsurnya,
sepanjang apapun kalimat-kalimat bahasa Indonesia dapat
dikembalikan pada kalimat-kalimat dasar yang sederhana, artinya
kalimat yang terdiri atas satu subjek dan satu predikat, dan dapat
ditelusuri pola-pola pembentukannya sehingga kalimat tunggal dapat
juga dikatakan kalimat yang mempunyai pola dasar
Contoh:
1) Adik / menangis.
S:KB P:KK
2) Ibunya / sangat ramah.
S:KB P:KS
3) Harga buku itu / lima belas ribu rupiah.
S : KB P : K Bil
61
4) Ayah saya / di Bandung.
S : KB P: (KD+KB)
5) Mereka / menonton / sandiwara.
S:KB P:KK O:KB
6) Ayah / mencarikan / saya / pekerjaan.
S:KB P:KK O1:KB O2:KB
7) Efendi / pedagang.
S :KB P :KB
Dari contoh di atas dapat dikatakan bahwa kalimat-kalimat
tersebut terdiri atas satu kalimat tunggal dan berpola dasar dengan
struktur subjek (selalu kata kata benda) dan predikat (dapat berupa
kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan, dan kata keterangan).
Kalimat tunggal dan berpola dasar dapat diperluas dengan
menambahkan kata-kata pada masing-masing unsurnya sehingga
kalimat itu menjadi panjang (lebih panjang daripada kalimat asalnya)
namun masih dapat dikenali unsure utamanya (subjek dan
predikatnya). Perluasan itu dapat dilihat pada contoh berikut
1) Adik / menangis.
S P
1a) Adik bungsuku / sedang menangis di pangkuan ibu.
S P K
2) Mereka / menonton / sandiwara.
S P O
2a) Mereka beserta rombongannya / menonton / sandiwara
tradisional.
S P O
2) Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua pola atau
lebih. Kalimat majemuk dapat juga dikatakan sebagai kalimat luas,
artinya perluasan itu membentuk atau menambah pola baru atau
gabungan dari kalimat tunggal. Penggabungan tersebut dapat setara,
tidak setara atau campuran sehingga menghasilkan kalimat majemuk
setara koordinatif), kalimat majemuk bertingkat subordinatif), dan
kalimat majemuk campuran koordinatif-subordinatif)
a) Kalimat Majemuk Setara
Kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yberupa
penggabungan dua kalimat tunggal yang masing-masing
mempunyai kedudukan yang sama. Penggabungan tersebut
ditandai dengan kata penghubung. Kalimat majemuk setara
62
berdasarkan kata penghubung yang digunakan mempunyai
empat jenis, antara lain: (1) kalimat majemuk setara
penjumlahan yang ditandai dengan kata penghubung dan,
sedang atau serta: (2) kalimat majemuk setara pertentangan
yang ditandai dengan kata penghubung tetapi, namun,
sedangkan, atau melainkan: (3) kalimat majemuk setara
perurutan yang ditandai dengan kata penghubung lalu dan
kemudian: dan (4) kalimat majemuk setara pemilihan yang
ditandai dengan kata penghubung atau.
Contoh:
(1) Saya membaca.
Mereka menulis.
(a) Saya membaca dan mereka menulis
Direktur tenang.
Karyawan duduk teratur.
sabah tertib.
(b) Direktur tenang dan karyawan duduk teratur serta
nasabah tertib.
(c) Direktur tenang, karyawan duduk teratur, dan nasabah
tertib.
(2) Adiknya tinggi.
Kakaknya pendek
(a) Adiknya tinggi, tetapi kakaknya pendek
(b) Adiknya tinggi, sedangkan kakaknya pendek.
(c) Adiknya tinggi, namun kakaknya pendek.
(3) Upacara serah terima jabatan pengurus koperasi sudah
selesai.
Bapak Ustaz membacakan doa selamat.
(a) Upacara serah terima jabatan pengurus koperasi sudah
selesai, lalu Bapak Ustaz membacakan doa selamat.
(b) Mula-mula upacara serah terima jabatan pengurus
koperasi, kemudian pembacaan doa selamat.
(4) Para pemilik televisi membayar iuran televisinya di kantor
pos terdekat.
Para petugas menagihnya ke rumah pemilik televisi.
(a) Para pemilik televisi membayar iuran televisinya di
kantor pos terdekat, atau para petugas menagihnya
ke rumah pemilik televisi langsung.
63
Kalimat majemuk setara, apabila unsur-unsurnya ada
yang sama, maka unsur-unsur itu dapat dipakai satu saja
atau dirapatkan sehingga akan menghasilkan kalimat
majemuk setara rapatan
Contoh:
Kami mengambil data.
Kami menganalisis data
Kami menyusun laporan
(b) Kami mengambil dan menganalisis data, kemudian
menyusun laporan.
b) Kalimat Majemuk Tidak Setara atau Bertingkat
Kalimat majemuk tidak setara atau bertingkat adalah
kalimat majemuk yang mempunyai kedudukan yang berbeda,
artinya salah satu kalimatnya mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi dan bebas, sementara itu kalimat yang lainnya
mempunyai kedudukan yang lebih rendah dan tidak bebas.
Kalimat yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dan bebas
disebut dengan induk kalimat yang biasanya merupakan inti
kalimat, sedangkan kalimat yang mempunyai kedudukan yang
lebih rendah dan tidak bebas disebut anak kalimat karena tidak
mungkin ada tanpa adanya induk kalimat. Biasanya anak
kalimat ditandai dengan pertaliannya dari sudut pandang waktu,
sebab, akibat, tujuan, syarat, dsb. yang merupakan aspek
gagasan yang lain dari induk kalimat dan ditandai oleh kata
penghubung. Kata penghubung yang menandai anak kalimat
antara lain: walaupun, meskipun, sungguhpun, karena, apabila,
jika, kalau, sebab, agar, supaya, ketika, sehingga, dan
sebagainya.
Contoh:
(1) Komputer itu dilengkapi dengan alat-alat modern.
Mereka dapat mengacaukan data-data komputer
(a) Walaupun komputer itu dilengkapi dengan alat-alat
modern, mereka masih dapat mengacaukan data-data
komputer itu.
(b) Mereka masih dapat mengacaukan data-data
komputer itu walaupun komputer itu dilengkapi
dengan alat-alat modern.
(2) Engkau ingin meneliti dampak terjadinya gempa bumi.
Saya akan membawamu ke daerah Bantul Yogyakarta.
64
(a) Apabila emgkau ingin meneliti dampak terjadinya
gempa bumi, saya akan membawamu ke daerah
Bantul Yogyakarta.
(b) Saya akan membawamu ke daerah Bantul Yogyakarta
apabila engkau ingin meneliti dampak terjadinya
gempa bumi.
Dua contoh di atas (kalimat 2a dan 2b) induk kalimatnya
adalah Saya akan membawamu ke daerah Bantul Yogyakarta.
dan anak kalimatnya adalah Apabila engkau ingin meneliti
dampak terjadinya gempa bumi. Dengan demikian, perlu
diperhatikan ciri dari induk kalimat dan anak kalimat, antara
lain: (a) induk kalimat dapat berdiri sendiri sebagai kalimat
yang utuh; (b) anak kalimat didahului oleh kata penghubung
sehingga tidak dapat berdiri sendiri; (c) apabila anak kalimat di
awal kalimat, setelah anak kalimat harus diberi tanda koma (,);
dan (d) apabila anak kalimat berada setelah induk kalimat tidak
perlu diberi tanda koma (,).
Seperti juga kalimat majemuk setara, kalimat majemuk
bertingkat apabila ada unsur-unsurnya yang sama, maka perlu
dirapatkan sehingga menjadi kalimat majemuk bertingkat
rapatan.
Contoh:
(3) Kami sudah mengambil data.
Kami sudah menganalisis data.
Kami ingin menyusun laporan.
(a) Karena sudah mengambil dan menganalisis data,
kami ingin menyusun laporan.
(b) Kami ingin menyusun laporan karena sudah
mengambil dan menganalisis data.
Jika unsurnya tidak sama atau yang sama itu berbeda
jabatannya, tidak dapat dirapatkan karena akan terjadi
penalaran makna yang salah.
Contoh:
(4) Usul itu tidak melanggar hukum.
Ia menyetujui usul itu.
(a) Karena tidak melanggar hukum, ia menyetujui usul
itu. (SALAH)
(b) Karena usul itu tidak melanggar hukum, ia
menyetujui usul itu.
65
Kalimat (a). dinyatakan salah karena seolah-olah yang
melanggar hukum adalah ia padahal yang melanggar hukum
adalah usul itu. Agar kalimat tersebut benar, tidak perlu
dirapatkan; seperti contoh kalimat (b).
c) Kalimat Majemuk Campuran
Kalimat majemuk campuran adalah kalimat majemuk yang
terjadi akibat adanya penggabungan kalimat majemuk
bertingkat dengan kalimat majemuk setara, artinya kalimat ini
sekurang-kurangnya terdiri atas tiga pola kalimat sehingga
strukturnya terdiri atas dua induk kalimat dan satu anak
kalimat, atau dua anak kalimat dan satu induk kalimat.
Contoh:
(1) Hari sudah malam.
Kami berhenti bekerja
Kami langsung pulang
(a) Kami berhenti bekerja dan langsung pulang / karena
hari sudah malam.
Induk kalimat (setara: dua) Anak kalimat (satu)
(b) Hari sudah malam, / oleh karena itu kami berhenti
bekerja dan langsung pulang.
Induk kalimat (satu) Anak kalimat (setara: dua)
3.7 Kalimat Efektif
Pembentukan kalimat efektif mempengaruhi tingkat keterbacaan ragam
ilmiah. Dalam membuat kalimat efektif, perlu memahami hal-hal berikut.
3.7.1 Pengertian Kalimat Efektif
Kalimat efektif adalah kalimat yang memiliki kemampuan untuk
menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau
pembaca seperti yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis. Kalimat
efektif dapat mengkomunikasikan pikiran atau perasaan pembicara atau
penulis kepada pendengar atau pembaca secara tepat dan jelas sehingga
tidak akan terjadi keraguan, kesalahan komunikasi dan/atau informasi, dan
kesalahan pengertian. Oleh karena itu, kalimat efektif harus singkat, padat,
jelas, lengkap, dan dapat menyampaikan informasi secara tepat. Singkat,
maksudnya adalah hanya menggunakan unsure yang diperlukan saja dan
setiap unsur kalimat benar-benar berfungsi. Padat, maksudnya adalah
mengandung makna yang sarat dengan informasi yang terkandung di
dalamnya sehingga harus menghindarkan pengulangan-pengulangan yang
tidak diperlukan. Jelas, maksudnya ditandai oleh kejelasan struktur
kalimat dan makna yang terkandung di dalamnya dengan benar. Lengkap,
66
maksudnya mengandung makna kelengkapan struktur kalimat secara
gramatikal dan kelengkapan konsep atau gagasan yang terkandung di
dalam kalimat tersebut.
3.7.2 Ciri-ciri Kalimat Efektif
Ciri-ciri kalimat efektif: (a) kesepadanan struktur, (b) keparalelan, (c)
ketegasan, (d) kehematan, (e) kecermatan, (f) kepaduan, dan (g) kelogisan.
Secara lengkap dijelaskan sebagai berikut.
a. Kesepadanan Struktur
Kesepadanan struktur adalah kesepadanan atau keseimbangan
antara pikiran/gagasan dan struktur bahasa yang dipakai.
Kesepadanan struktur ini ditunjukkan oleh adanya kesatuan gagasan
yang kompak dan kepaduan pikiran yang baik. Kesepadanan struktur
mempunyai cirri-ciri sebagai berikut.
1) Kalimat itu mempunyai subjek dan predikat yang jelas.
Maksudnya, apabila subjek dan predikat tidak jelas, kalimat itu
tidak efektif. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan subjek yang
di depannya diikuti oleh kata depan di, dalam, bagi, untuk, pada,
dan sebagainya. Kalimat yang dihasilkannya salah karena tidak
mempunyai subjek. Agar menjadi kalimat yang benar, kata depan
tersebut harus dihilangkan.
Contoh:
a) Bagi semua mahasiswa universitas ini harus membayar uang
kuliah. (SALAH)
Semua mahasiswa universitas ini harus membayar uang
kuliah. (BENAR)
b) Pada penelitian ini membahas dampak-dampak terjadinya
gempa bumi di Bantul Yogyakarta. (SALAH)
Penelitian ini membahas dampak-dampak terjadinya gempa
bumi di Bantul Yogyakarta. (BENAR)
2) Tidak terdapat subjek yang ganda/rangkap.
Contoh:
a) Penyusunan laporan itu saya dibantu oleh para dosen
(SALAH)
Dalam menyusun laporan itu, saya dibantu oleh para dosen.
BENAR)
b) Hasil penelitian saya kurang puas. (SALAH)
Hasil penelitian itu bagi saya kurang puas. (BENAR)
3) Kata penghubung intrakalimat tidak dipakai pada kalimat tunggal
67
Contoh:
a) Kami datang agak terlambat. Sehingga kami tidak dapat
mengikuti acara pertama. (SALAH)
Kami datang agak terlambat sehingga kami tidak dapat
mengikuti acara pertama. (BENAR)
Kami datang agak terlambat. Oleh karena itu, kami tidak
dapat mengikuti acara pertama. (BENAR)
b) Kakaknya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di kampus.
Sedangkan adiknya mengikuti kegiatan karang taruna di
rumah. (SALAH)
Kakaknya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di kampus,
sedangkan adiknya mengikuti kegiatan karang taruna di
rumah. (BENAR)
Kakaknya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di kampus.
Sementara itu, adiknya mengikuti kegiatan karang taruna di
rumah. (BENAR)
4) Predikat kalimat tidak didahului kata yang
Contoh:
a) Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu.
(SALAH)
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. (BENAR)
b) Kampus kami yang terletak di Jalan Kalimantan Jember.
(SALAH)
Kampus kami terletak di Jalan Karimata Jember. (BENAR)
b. Keparalelan
Keparalelan adalah kesamaan bentuk kata yang digunakan dalam
kalimat itu. Artinya, apabila bentuk kata pertama menggunakan
nomina, bentuk kedua, ketiga, dan seterusnya juga harus
menggunakan nomina. Demikian juga apabila kata pertama
menggunakan verba, kata kedua, ketiga, dan seterusnya juga harus
menggunakan verba. Keparalelan ini sering disebut dengan konsisten.
Contoh:
1) Harga beras dibekukan atau kenaikan secara luwes. (SALAH)
a1) Harga beras dibekukan atau dinaikkan secara luwes.
(BENAR)
2) Tahap terakhir penyelesaian gedung itu adalah kegiatan
pengecatan tembok, memasang penerangan, menguji sistem
pembagian air, dan pengaturan tata ruang. (SALAH)
68
b1) Tahap terakhir penyelesaian gedung itu adalah kegiatan
pengecatan tembok, pemasangan penerangan, pengujian sistem
pembagian air, dan pengaturan tata ruang. (BENAR)
c. Ketegasan
Ketegasan disebut juga penekanan adalah suatu perlakuan
penonjolan pada ide pokok kalimat. Pada dasarnya dalam sebuah
kalimat ada ide yang perlu ditonjolkan yang tertuang dalam kalimat
dengan memberi penegasan atau penekanan. Ada beberapa cara untuk
membentuk penekanan atau penegasan dalam kalimat.
1) Meletakkan kata yang ditonjolkan itu di depan kalimat (di awal
kalimat)
Contoh:
a) Presiden mengharapkan agar rakyat Indonesia mau
menyadari bahwa musibah saat ini sebagai introspeksi dari
apa yang telah kita lakukan selama ini.
b) Berdasarkan peraturan, mahasiswa yang masa studinya
melebihi target harus dikeluarkan.
2) Membuat urutan kata yang logis
Contoh :
Tidak hanya seribu, sejuta, seratus, sepuluh, tetapi berjuta-juta
penduduk Indonesia saat ini tertimpa musibah. (SALAH)
Tidak hanya sepuluh, seratus, seribu, sejuta, tetapi berjuta-juta
penduduk Indonesia saat ini tertimpa musibah (BENAR)
3) Melakukan pengulangan kata (repetisi)
Contoh :
Saya bangga akan kepandaiannya, saya suka akan tingkah
lakunya, dan saya hormat akan prestasinya.
4) Melakukan pertentangan terhadap ide yang ditonjolkan
Contoh :
Mahasiswa itu tidak nakal dan malas, tetapi tanggung jawab dan
rajin.
d. Kehematan
Kehematan adalah hemat dalam menggunakan kata, frasa, atau
bentuk lain yang dianggap tidak perlu. Kehematan bukan berarti harus
menghilangkan kata-kata atau frasa yang dapat menambah kejelasan
kalimat melainkan menghilangkan kata-kata atau frasa yang tidak
diperlukan sejauh tidak menyalahi kaidah tata bahasa. Ada beberapa
kriteria untuk melakukan penghematan.
1) Dilakukan dengan cara menghilangkan pengulangan subjek
Contoh:
69
a) Karena ia tidak diundang, ia tidak datang pada rapat penting
itu. (SALAH)
Karena tidak diundang, ia tidak datang pada rapat penting
itu. (BENAR)
b) Masyarakat segera berlari setelah masyarakat mengetahui
banjir telah datang. (SALAH)
Masyarakat segera berlari setelah mengetahui banjir telah
datang. (BENAR)
2) Menghindarkan pemakaian superordinat pada hiponimi kata.
Contoh :
a) Bendera Indonesia berwarna merah putih. (SALAH)
Bendera Indonesia merah putih. (BENAR)
b) Saya suka makan buah jeruk, mangga, dan salak. (SALAH)
Saya suka makan jeruk, mangga, dan salak. (BENAR)
3) Menghindarkan kesinoniman dalam kalimat
Contoh:
a) Saya hanya meneliti masalah dampak terjadinya gempa
bumi di Bantul Yogyakarta saja. (SALAH)
Saya hanya meneliti dampak terjadinya gempa bumi di
Bantul Yogyakarta. (BENAR)
b) Sejak dari pengumpulan data, penganalisisan data, dan
pemaparan hasil analisis data, saya dibantu oleh beberapa
teman-teman. (SALAH)
Sejak pengumpulan , penganalisisan, dan pemaparan hasil
analisis data, saya dbantu oleh beberapa teman. (BENAR)
e. Kecermatan
Kecermatan adalah cermat dalam membuat kalimat dengan pilihan
kata yang tepat sehingga tidak menimbulkan tafsiran ganda atau
salah.
Contoh:
Mahasiswa perguruan tinggi yang terkenal itu menerima hadiah.
(MAKNA GANDA)
Perbaikan:
Mahasiswa yang terkenal dari perguruan tinggi itu menerima hadiah.
(BENAR)
Mahasiswa dari perguruan tinggi yang terkenal itu menerima hadiah.
(BENAR)
f. Kepaduan
Kepaduan adalah kepaduan pernyataan dalam kalimat sehingga
informasi yang disampaikan tidak terpecah-pecah. Kalimat yang padu
70
adalah kalimat yang tidak bertele-tele dan tidak mencerminkan cara
berpikir yang tidak sistematis. Untuk itu, harus dihindari kalimat yang
terpalu panjang dan bertele-tele. Ada pola untuk membuat kalimat
yang padu, yaitu dengan memperhatikan pola aspek = agen = verbal
secara tertib khususnya kalimat yang berpredikat persona.
Contoh:
a) Saran yang telah disampaikan kami akan pertimbangkan.
(SALAH)
Saran yang telah disampaikan akan kami pertimbangkan.
(BENAR)
b) Presiden sedang membicarakan daripada kehendak rakyat.
(SALAH)
Presiden sedang membicarakan kehendak rakyat. (BENAR)
g. Kelogisan
Kelogisan adalah ide kalimat itu dapat diterima oleh akal sehat dan
sesuai dengan ejaan atau kaidah tata bahasa yang berlaku.
Contoh :
a. Pencuri berhasil ditangkap polisi. (TIDAK LOGIS)
Polisi berhasil menangkap pencuri. (LOGIS)
b. Waktu dan tempat kami persilahkan. (TIDAK LOGIS)
Bapak Pimpinan kami persilakan. (LOGIS)
Bapak Pimpinan dipersilakan. (LOGIS)
3.8 Paragraf
3.8.1 Pengertian Paragraf
Paragraf mempunyai empat pengertian, yaitu:
a. paragraf adalah karangan mini;
b. paragraf adalah satuan bahasa tulis yang terdiri atas beberapa kalimat
yang tersusun secara runtut, logis, dalam satu kesatuan ide yang
tersusun secara lengkap, utuh, dan padu;
c. paragraf adalah bagian dari suatu karangan yang terdiri atas sejumlah
kalimat yang mengungkapkan satuan informasi dengan pikiran utama
sebagai pengendalinya dan pikiran penjelas sebagai pendukungnya;
d. paragraf adalah rangkaian dari beberapa kalimat yang saling
berhubungan dan terkait dalam satu kesatuan serta hanya mempunyai
satu pokok pikiran atau gagasan.
71
3.8.2 Ciri-ciri Paragraf
Ciri-ciri paragraf adalah sebagai berikut.
a. Kalimat pertama bertakuk atau menjorok ke dalam lima ketukan spasi
untuk jenis karangan biasa, misalnya: makalah, skripsi, tesis, dan
desertasi. Karangan berbentuk lurus yang tidak bertakuk (block style)
ditandai dengan jarak spasi merenggang, satu spasi lebih banyak
daripada jarak antarbaris lainnya.
b. Paragraf menggunakan pikiran utama (gagasan utama) yang
dinyatakan dalam kalimat topik.
c. Setiap paragraf menggunakan sebuah kalimat topik dan selebihnya
merupakan kalimat pengembang yang berfungsi menjelaskan,
menguraikan, atau menerangkan pikiran utama yang ada dalam
kalimat topik.
d. Paragraf menggunakan pikiran penjelas (gagasan penjelas) yang
dinyatakan dalam kalimat penjelas. Kalimat itu berisi detail-detail
kalimat topik. Paragraf hanya berisi satu kalimat topik dan beberapa
kalimat penjelas. Setiap kalimat penjelas berisi detail yang sangat
spesifik dan tidak mengulang pikiran penjelas lainnya.
3.8.3 Fungsi Paragraf
Paragraf mempunyai fungsi yang penting dalam karangan yang
panjang. Dengan paragraf pengarang dapat mengekspresikan keseluruhan
gagasan secara utuh, runtut, lengkap, menyatu, dan sempurna sehingga
bermakna dan dapat dipahami oleh pembaca sesuai dengan keinginan
penulisnya. Paragraf dapat mendinamiskan sebuah karangan menjadi lebih
hidup dan energik sehingga pembaca menjadi bersemangat. Artinya,
paragraf mempunyai fungsi strategis dalam menjembatani gagasan penulis
dan pembacanya.
Fungsi paragraf adalah:
a. mengespresikan gagasan tertulis dengan memberi bentuk suatu
pikiran dan perasaan ke dalam serangkaian kalimat yang tersusun
secara logis dalam suatu kesatuan;
b. menandai peralihan (pergantian) gagasan baru bagi karangan yang
terdiri atas beberapa paragraf, ganti paragraf berarti ganti pikiran;
c. memudahkan perorganisasian gagasan bagi penulis, dan
memudahkan pemahaman bagi pembaca;
d. memudahkan pengembangan topik karangan ke dalam saruan-satuan
unit pikiran yang lebih kecil; dan
e. memudahkan pengendalian variabel, terutama karangan yang terdiri
atas beberapa variabel.
72
Karangan yang terdiri beberapa paragraf, masing-masing berisi
pikiran-pikiran utama dan diikuti oleh sub-subpikiran penjelas. Sebuah
paragraf belum cukup untuk mewujudkan keseluruhan karangan, namun
sebuah paragraf sudah perupakan sajian informasi yang utuh. Ada kalanya,
sebuah karangan terdiri hanya satu paragraf karena karangan itu hanya
berisi satu pikiran.
Untuk mewujudkan suatu kesatuan pikiran, sebuah paragraf yang
terdiri satu pikiran utama dan beberapa pikiran pengembang (penjelas)
dapat dipolakan sebagai berikut: pikiran utama, beberapa pikiran
pengembang, pikiran penjelas, atau pikiran pendukung.
Pikiran-pikiran pengembang dapat dibedakan kedudukannya sebagai
pikiran pendukung dan pikiran penjelas. Sebuah pikiran utama dapat
dikembangkan dengan beberapa pikiran pendukung, dan tiap pikiran
pendukung dapat dikembangkan dengan beberapa pikiran penjelas.
Salah satu cara untuk merangkai kalimat-kalimat yang membangun
paragraf ialah menempatkan kalimat utama pada awal paragraf (sebagai
kalimat pertama) yang kemudian disusul kalimat-kalimat pengembangnya
(pendukung dan penjelas), dan ditutup dengan kalimat kesimpulan.
3.8.4 Pikiran Utama dan Kalimat Utama/Topik
Pikiran utama yaitu topik yang dikembangkan menjadi paragraf.
Pikiran utama dinyatakan dalam kalimat topik. Dalam paragraf, pikiran
utama berfungsi sebagai pengendali keseluruhan paragraf. Setelah penulis
menentukan pikiran utama dan mengekspresikannya dalam kalimat topik
maka dia terikat oleh pikiran tersebut sampai akhir paragraf. Paragraf yang
berisi analisis, klasifikasi, deduktif, atau induktif sebaiknya menggunakan
kalimat topik. Paragraf narasi atau dekripsi menggunakan kalimat yang
sama kedudukannya, tidak ada yang lebih utama. Oleh karena itu, paragraf
yang demikian tidak diharuskan menggunakan kalimat utama.
a. Paragraf Tanpa Kalimat Topik
Paragraf yang terdiri beberapa kalimat kadang-kadang
menyajikan pikiran-pikiran yang setara, tidak ada pikiran yang lebih
utama dari kalimat lainnya. Paragraf yang demikian menyajikan
kalimat-kalimat yang sama kedudukannya. Paragraf itu tidak
memiliki pikiran utama dan pikiran penjelas, juga tidak memiliki
kalimat utama dan kalimat penjelas. Semua pikiran dan kalimat sama
kedudukannya.
Contoh:
Pada hari Senin Ahmad mengikuti kuliah Bahasa Indonesia. Ia duduk
di kursi paling depan sambil membuka-buka bukunya. Dia dalam
73
keadaan tenang. Tidak lama kemudian ia disuruh oleh dosennya
untuk membaca buku. Teman-temannya mendengarkan dengan
saksama. Tidak lama kemudian dosennya menyuruh mendiskusikan
apa yang dibacanya dengan teman-temannya. Mereka berdiskusi
dengan semangat berapi-api. Kemudian mereka tenang kembali
sambil menuliskan hasilnya. Setelah itu dikumpulkannya kepada
dosennya. Mereka pun tenang kembali sambil mendengarkan
penjelasan dosen.
Paragraf tersebut tidak menunjukkan adanya kalimat topik,
walaupun keberadaan gagasan utama dapat dirasakan oleh pembaca,
yaitu tentang keadaan kelas Ahmad pada hari Senin ketika ada kuliah
Bahasa Indonesia.
b. Kalimat Topik dalam Paragraf
Penempatan kalimat topik dalam karangan yang terdiri beberapa
paragraf dapat dilakukan secara bervariasi, pada awal, pada akhir,
atau tengah paragraf. Hal itu dimaksudkan agar pembaca dapat
mengikuti alur penalaran sambil menikmati karangan yang tidak
monoton dan bersifat alami.
1) Kalimat topik pada awal paragraf
Kalimat topik pada awal paragraf pada umumnya berisi
pikiran utama yang bersifat umum. Kalimat selanjutnya berisi
pikiran penjelas yang bersifat khusus, disebut kalimat penjelas.
Isi kalimat itu berupa: penjelas, uraian, analisis, contoh-contoh,
keterangan, atau rincian kalimat topik.
Contoh:
(1)Jalan Kasablanka selalu padat. (2) Pada pukul 05.30,
jalan itu mulai dipadati oleh kendaraan sepeda motor, mobil
pribadi, dan kendaraan umum. (3) Kendaraan tersebut sebagian
besar dari arah Pondok Kopi melintas ke arah Jalan Jenderal
Sudirman. (4) Para pengendara di antaranya pedagang yang akan
berjualan di Pasar Tanah Abang, pemakai jalan yang
menghindari three in one, karyawan yang bekerja di Tangerang,
Grogol, atau ke tempat lain yang searah, dan siswa sekolah yang
berupaya menghindar kemacetan. (5) Pada pukul 07.00 s.d.
10.00, jalan itu dipadati oleh mahasiswa dan karyawan yang akan
bekerja, orang yang akan berjualan atau berbelanja, dan sebagian
orang yang berpergian dengan kepentingan lain-lain. (6) Pada
pukul 11.00 s.d. pukul 15.00 jalan itu tidak begitu padat. Namun,
pukul 15.00 s.d. 21.00 kendaraan ke arah Pondok Kopi kembali
memadati jalan tersebut.
74
Paragraf tersebut diawali kalimat topik (no.1) berisi pikiran
utama. Selebihnya (kalimat 2 s.d.6) merupakan kalimat penjelas.
Dengan demikian, paragraf ini menggunakan penalaran deduktif.
Pikiran utama : Jalan Kasablanka padat.
Pikiran : 1) pagi dipadati kendaraan ke arah Jenderal
Sudirman
2) menghindari kemacetan
3) menghindari three in one
4) tengah hari kendaraan berkurang
5) sore jalan dipadati kendaraan ke arah
Pondok Kopi
Penalaran : deduktif
2) Kalimat topik dan akhir paragraf
Paragraf diakhiri kalimat topik dan diawali dengan kalimat
penjelas. Artinya, paragraf menyajikan kasus khusus, contoh,
penjelasan, keterangan, atau analisis lebih dahulu, barulah
ditutup dengan kalimat topik. Dengan demikian paragraf ut
menggunakan penalaran induktif.
Contoh:
(1) PT Genting Pazola pada awal tahun 2004 ini semakin
sulit mendapatkan konsumen. (2) Produknya mulai berkurang,
karyawan semakin banyak yang pindah kerja, dan beberapa
karyawan mengeluh gaji yang tidak pernah naik, padahal harga
barang konsumsi terus melambung. (3) Hal ini bisa dimaklumi
oleh pimpinan perusahaan dan sebagian besar karyawan. (4)
Bahkan, dokumen yang menyatakan bahwa pajak perusahaan
yang belum dibayar pun sudah sampai kepada karyawan. (5)
Pemilik perusahaan menyadari bahwa desain produk sudah mulai
usang, peralatan teknis sudah ketinggalan teknologi, dan
kreativitas baru karyawan yang mendukung kinerja bisnis sudah
mengering. (6) Direksi dan seluruh karyawan berkesimpulan
sama, PT Genting Pazola telah bangkrut.
Paragraf tersebut diawali kalimat penjelas dan diakhiri kalimat
utama.
Susunan pikiran paragraf tersebut:
Pikiran penjelas : 1) kesulitan mendapatkan konsumen
2) kesejahteraan karyawan menurun
3) pajak tidak terbayar
4) kualitas produk menurun
75
Pikiran utama : PT Genting Pazola bangkrut
Penalaran : induktif
3) Kalimat topik di awal dan akhir paragraf
Kalimat topik dalam sebuah paragraf pada hakikatnya hanya
satu. Penempatan kalimat topik yang kedua berfungsi untuk
menegaskan kembali pikiran utama paragraf tersebut. Namun
demikian, penempatan kalimat topik pada awal dan akhir
berpengaruh pada penalaran. Kalimat topik pada awal paragraf
menimbulkan sifat deduktif, pada akhir menjadikan paragraf
bersifat induktif, pada awal dan akhir menjadikan paragraf
bersifat deduktif-induktif.
Contoh:
(1) Selain merinci corak keragaman paradigma sosiologi, Ritzer
mengemukakan alasan perlunya paradigma yang lebih bersifat
terintegrasi dalam sosiologi. (2) Meski ada alasan untuk
mempertahankan paradigma yang ada, dirasakan adanya
kebutuhan paradigma yang makin terintegrasi. (3) Ritzer
berharap adanya keanekaragaman yang lebih besar melalui
sebuah pengembangan paradigma baru yang terintegrasi untuk
melengkapi paradigma yang ada, dan tidak dimaksudkan untuk
menciptakan posisi hegemoni baru. (4) Paradigma yang lebih
bersifat terintegrasi diperlukan kehadirannya dalam sosiologi
modern (Ritzer and Goodman, 2004; A-15).
Paragraf tersebut diawali kalimat topik dan diakhiri dengan
kalimat topik. Kedua kalimat topik tersebut berisi pikiran utama
yang sama.
Pikiran utama : perlunya paradigma terintegrasi dalam
sosiologi
Pikiran penjelas : 1) fungsi paradigma terintegrasi
2) paradigma terintegrasi tidak menciptakan
hegemoni
Pikiran utama : paradigma terintegrasi diperlukan
Penalaran : deduktif-induktif
4) Kalimat topik di tengah paragraf
Paragraf dengan kalimat topik di tengah paragraf, berarti
diawali dengan kalimat penjelas dan diakhiri pula dengan kalimat
penjelas. Paragraf ini menggunakan pola penalaran induktif-
deduktif.
Contoh:
76
(1) Pasar Tanah Abang mulai dibanjiri pedagang yang hendak
mempersiapkan dagangannya sejak pukul 05.00. (2) Aktivitas
jual beli di pasar ini dimulai sekitar pukul 08.00. (3) Barang
dagangan sebagian besar berupa produk tekstil, dari yang paling
murah dengan satuan harga berdasarkan timbangan sampai
dengan tekstil berkualitas impor dan ekspor. (4) Pasar ini
memperdagangkan berbagai jenis tekstil yang dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat ekonomi tinggi, menengah, maupun lapis
bawah. (5) Pasar Tanah Abang merupakan puat perdagangan
yang tidak pernah sepi oleh penjual maupun pembeli. (6) Para
pembeli mulai berdatangan pukul 08.00. (7) Jumlah pembeli ini
meningkat sampai pukul 11.30. (8) Pada tengah hari, jumlah
pembeli menurun. (9) Namun, jumlah tersebut memuncak
kembali pada pukul 14.00 sampai dengan 16.30.
Paragraf tersebut disusun dengan urutan kalimat 1 sampai
dengan 5 menuju penalaran induktif (dari khusus ke umum) dan
dari 5 sampai dengan 9 menuju penalaran deduktif (dari umum
ke khusus). Penalaran keseluruhannya induktif-deduktif.
Gagasan yang disajikan dalam paragraf tersebut, adalah:
Pikiran penjelas : 1) Pasar Tanah Abang dibanjiri pedagang
2) aktifitas jual-beli
3) barang yang diperdagangkan
4) tekstil kebutuhan masyarakat
Pikiran utama : Pasar Tanah Abang tidak pernah sepi
Pikiran penjelas : 5) kedatangan pembeli
6) puncak kedatangan pembeli
Penalaran : induktif-deduktif
3.8.5 Syarat-syarat Paragraf yang Baik
Paragraf yang baik harus memenuhi syarat kesatuan, kepaduan,
ketuntasan, keruntutan, dan konsistensi penggunaan sudut pandang.
a. Kesatuan Paragraf (Kesatuan Pikiran)
Untuk menjamin adanya kesatuan paragraf, setiap paragraf hanya
berisi satu pikiran. Paragraf dapat berupa beberapa kalimat. Akan
tetapi, seluruhnya harus merupakan kesatuan, tidak satu kalimat pun
yang sumbang, yang tidak mendukung kesatuan paragraf. Jika
terdapat kalimat yang sumbang maka kesatuan paragraf rusak.
Contoh:
(1) Kebebasan berekspresi berdampak pada pengembangan kreativitas
baru.. (2) Dengan kebebasan ini, para guru dapat dengan leluasa
77
mengajar siswanya sesuai dengan basis kompetensi siswa dan
lingkungannya. (3) Kondisi kebebasan tersebut menjadikan
pembelajaran berlangsung secara alami, penuh gairah, dan siswa
termotivasi untuk berkembang. (4) Siswa belajar dengan suasana
gembira, aktif, kreatif, dan produktif. (5) Dampak kebebasan ini,
setiap saat siswa dapat melakukan beberapa eksperimen dengan
menyinergikan bahan ajar di sekolah dan lingkungannya. (6)
Kreativitasnya menjadi tidak terbendung.
Paragraf (6-2) dikembangkan dengan kesatuan pikiran. Seluruh
kalimat membahas pikiran yang sama yaitu kebebasan berekspresi
(kalimat 1). Kalimat 2 membahas dampak pikiran pada kalimat 1
siswa dapat belajar sesuai dengan basis kompetensinya. Kalimat 3
siswa belajar penuh gairah sebagai dampak pikiran kalimat 2. Kalimat
4 berisi siswa menjadi kreatif sebagai dampak pikiran kalimat 4.
Kalimat 5 siswa belajar secara sinergi teori dan praktik sebagai
dampak pikiran pada kalimat 4. Kalimat 6 kreativitas siswa tidak
terbendung sebagai dampak pikiran kalimat 5.
b. Kepaduan Paragraf
Paragraf dinyatakan padu jika dibangun dengan kalimat-kalimat
yang berhubungan logis. Hubungan pikiran-pikiran yang ada dalam
paragraf menghasilkan kejelasan struktur dan makna paragraf.
Hubungan kalimat tersebut menghasilkan paragraf menjadi satu padu,
utuh, dan kompak. Kepaduan ini dapat dibangun melalui repetisi
(pengulangan) kata kunci atau sinonim, kata ganti, kata transisi, dan
bentuk parallel.
1) Pengulangan kata kunci
Semua kalimat dalam paragraf dihubungkan dengan kata
kunci atau sinonimnya. Kata kunci (sinonimnya) yang telah
disebutkan dalam kalimat pertama diulang pada kalimat kedua,
ketiga, dan seterusnya. Dengan pengulangan itu, paragraf
menjadi padu, utuh, dan kompak.
Contoh:
(1) Budaya merupakan sumber kreativitas baru. (2) Budaya
baik yang berupa sistem ideal, sistem sosial, maupun sistem
teknologi, ketiganya dapat dijadikan sumber kreativitas baru. (3)
Budaya yang bersumber pada sistem ideal dapat mengarahkan
kreativitas konsep-konsep pemikiran filsafat, dan ilmu
pengetahuan. (4) Budaya yang bersumber sistem sosial dapat
mengendalikan perilaku sosial atau masyarakat termasuk para
pemimpinnya. (5) Budaya yang bersumber pada sistem teknologi
78
dapat mengendalikan kreativitas baru berdasarkan geografis
bangsa, misalnya sebagai negara pertanian harus memproduksi
teknologi pertanian, sebagai negara kelautan harus
mengembangkan teknologi kelautan. (6) Sinergi dari ketiga
sistem budaya dapat menghasilkan kreativitas yang lebih
sempurna. (7) Misalnya, produk teknologi pertanian yang sesuai
dengan tuntutan masyarakat, kondisi alam, dan daya pikir
masyarakat akan menghasilkan budaya yang lebih disukai.
Kata kunci paragraf di atas yaitu budaya. Kata itu diulang
pada setiap kalimat. Dalam paragraf kata kunci berfungsi untuk
mengikat makna sehingga menghasilkan paragraf yang jelas
makna dan strukturnya.
2) Pengulangan kata ganti
Kepaduan dapat dijalin dengan kata ganti, pronominal, atau
padanan. Sebuah kata yang telah disebutkan pada kalimat
pertama (terdahulu) dapat disebutkan kembali pada kalimat
berikutnya dengan kata gantinya. Kata ganti (padanan) dapat
pula menggantikan kalimat, paragraf, dan dapat pula
menggantikan bab.
Misalnya: ia, mereka, kami, kita, hal itu, masalah itu,
paragraf tersebut.
Contoh:
(1) Pengusaha Indonesia kini mulai mandiri. (2) Mereka
tidak lagi mengharapkan perlindungan sepenuhnya dari
pemerintah. (3) Namun, dalam kaitannya dengan persaingan
global, mereka berharap agar pemerintah melindungi produk
pertanian dengan cara membatasi impor. (4) Mereka juga
berharap agar pemerintah menegakkan hukum dan membrantas
KKN tanpa pandang bulu. (5) Sebab, dengan KKN, mereka harus
mengeluarkan biaya produksi yang sangat besar sehingga tidak
mampu bersaing di pasar internasional.
3) Kata Transisi
Kata transisi yaitu kata penghubung, konjungsi, perangkai
yang menyatakan adanya hubungan, baik intrakalimat maupun
antarkalimat. Penggunaan kata transisi yang tepat dapat
memadukan paragraf sehingga keseluruhan kalimat menjadi
padu, menyatu, dan utuh. Kata transisi menyatakan hubungan
sebab akibat, hasil, pertentangan, waktu, syarat, cara, penegasan,
tambahan informasi, gabungan, atau urutan.
Penulisan kata transisi harus diikuti koma.
79
Contoh:
Setelah berhasil membawa pulang medali emas bulu tangkis
Olimpiade 2004, Taufik Hidayat pantas menikmati penghargaan
yang terus mengalir kepadanya. Mula-mula, ia menerima sebuah
rumah mewah seharga 2 miliar dari Gubernur DKI Jakarta, yang
sekaligus menjabat Ketua Koni. Kedua, ia menerima hadiah dari
PBSI. Ketiga, ia juga menerima hadiah dari para sponsor.
Akhirnya, sampai dengan 29 Agustus 2004, ia menerima total
haidah sebesar 3,3 miliar rupiah.
4) Struktur Paralel
Struktur parallel (kesejajaran) yaitu bentuk-bentuk sejajar:
bentuk kata yang sama, struktur kalimat yang sama, repetisi atau
pengulangan bentuk kata (kalimat) yang sama.
Contoh:
Sejak 1998, pelaksanaan reformasi hukum belum
menunjukkan tanda-tanda yang serius. Menurut Presiden
Megawati (Kompas, Agustus 2004), pelaksanaan tersebut justru
terhambat oleh para penegak hokum di lapangan. Jika
kelambanan berlarut-larut, publik menduga bahwa oknum
penegak hokum belum sungguh-sungguh melaksanakan
tanggung jawabnya. Sementara itu, para investor dan pengusaha
berharap agar penegakan hokum tersebut dipercepat. Jika
berhasil, pencapaian keadilan dan kemakmuran masyarakat
segera terwujud. Ini berarti, peningkatan pertumbuhan ekonomi
dan iklim bisnis juga terangkat.
Kata yang dicetak miring merupakan bentuk sejajar
(pararel). Seluruhnya menggunakan imbuhan pe-an. Kesejajaran
bentuk ini berfungsi untuk mengikat makna sehingga membentuk
kepaduan paragraf. Selain itu, kepaduan paragraf tersebut juga
dibarengi dengan kesejajaran struktur kalimat. Perhatikan,
hampir setiap kalimat menggunakan struktur yang sama, dimulai
dengan anak kalimat, kata keterangan, atau kata transisi.
c. Ketuntasan Paragraf
Ketuntasan paragraf ialah kesempurnaan paragraf. Hal itu dapat
diwujudkan dengan cara sebagai berikut.
1) Klasifikasi, yaitu mengelompokkan objek secara lengkap dan
menyeluruh. Ketuntasan klasifikasi tidak memungkinkan adanya
bagian yang tidak masuk kelompok klasifikasi. Klasifikasi ada 2
jenis, yaitu sederhana dan kompleks. Klasifikasi sederhana
membagi sesuatu ke dalam dua kelompok, misalnya: pria dan
80
wanita, besar dan kecil, baik dan buruk, sedangkan klasifikasi
kompleks membagi sesuatu menjadi lebih dari dua kelompok,
misalnya: besar-sedang-kecil, pengusaha besar-menengah-kecil,
negara maju, negara berkembang, negara terbelakang.
2) Ketuntasan bahasan yaitu kesempurnaan membahas materi
secara menyeluruh dan utuh. Hal itu harus dilakukan karena
pembahasan yang tidak tuntas akan menghasilkan simpulan yang
salah, tidak sahih, dan tidak valid.
Contoh:
Mahasiswa di kelas itu terdiri atas 15 orang perempuan dan
13 orang laki-laki. Prestasi perempuan mencapai IPK 4 sebanyak
3 orang. IPK 3 sebanyak 10 orang, dan IPK 2,7 sebanyak dua
orang, sedangkan prestasi laki-laki mencapai IPK 4 sebanyak 2
orang. IPK 3 sebanyak 10 orang. Mereka yang belum mencapai
IPK 4 berupaya meningkatkan dengan menulis skripsi
sesempurna mungkin sehingga dapat mengangkat IPK lebih
tinggi, sedangkan mereka yang sudah mencapai IPK 4 juga
berupaya mendapatkan nilai skripsi A dengan harapan dapat
memper-tahankan IPK akhir tetap 4.
Klasifikasi objek pada contoh tersebut menunjukkan ketuntasan:
(1) seluruh objek (mahasiswa) diklasifikasi. Tidak seorang pun
mahasiswa dalam kelas itu tidak masuk ke dalam kelompok. (2)
Klasifikasi pembahasan gagasan juga tuntas. Pengelompokan IPK
yang dicapai oleh mahasiswa (IPK4,3,dan 2,7) di kelas itu dibahas
seluruhnya, tidak ada gagasan dan fakta yang tertinggal.
d. Konsistensi Sudut Pandang dalam Paragraf
Sudut pandang adalah cara penulis menempatkan diri dalam
karangannya. Dalam cerita, pengarang sering menggunakan sudut
pandang aku seolah-olah menceritakan dirinya sendiri. Selain itu,
pengarang dapat menggunakan sudut pandang dia atau ia seolah-olah
menceritakan dia. Dalam karya ilmiah, pengarang menggunakan
penulis. Sekali menggunakan sudut pandang tersebut harus
menggunakan secara konsisten dan tidak boleh berganti sejak awal
sampai akhir karya ilmiah.
Contoh:
Penulis membatasi kajian ini sebatas pada konsep kebahasan
dalam penulisan ilmiah bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Untuk
memudahkan pemahaman konsep dan aplikasinya, penulis
mengidentifikasi konsep-konsep tersebut dengan definisi dan
81
pengertian. Untuk memudahkan aplikasinya, penulis berikan contoh-
contoh yang relevan dengan teorinya
e. Keruntutan Paragraf
Keruntutan paragraf adalah penyusunan urutan gagasan dalam
karangan. Gagasan demi gagasan disajikan secara runtut bagaikan air
mengalir yang tidak pernah putus. Karangan yang runtut enak dibaca,
dapat dipahami dengan mudah, dan menyenangkan pembacanya.
Keruntutan dapat dilakukan dengan beberapa cara atau secara
bersamaan dari berbagai cara: (1) penalaran, (2) kejelasan gagasan,
makna, dan struktur, (3) kata transisi yang tepat, (4) kata ganti yang
tepat, (5) ikatan makna yang jelas, (6) penggunaan idiomatic yang
tepat, (7) komunikasi yang efektif (terpahami, merangsang
kreativitas), (8) membangun suasana (ilmiah, onjektivitas,
menyenangkan), dan (9) hubungan antargagasan, antarkata, dan
antarkalimat yang tidak terputus.
Menulis yang runtut menuntut pengendalian pikiran, emosi, dan
kemauan. Oleh karena itu, penulis memerlukan: (1) kesabaran
(konsistensi) sehingga tidak melewatkan pikiran penting dan
menyajikannya dengan cara-cara tersebut. (2) Berketelitian tinggi
dalam menghimpun gagasan, data, dan fakta yang tersebar menjadi
satu sajian tulisan yang utuh, lengkap, dan menarik. (3) Ketekunan
dalam menjaring (menyisir) pikiran yang perlu ditulis dan yang harus
dibuang, serta menyinergikan dengan himpunan kata, kalimat, tanda
baca, paragraf, dan penalaran menjadi sajian yang sempurna. (4)
Gigih yaitu menulis secara berkelanjutan sampai tuntas, dan tidak
mengenal lelah. (5) Membaca dan menulis kembali menjadi naskah
yang siap dikonsumsi oleh pembaca.
Contoh:
Agamawan organik. Agamawan organik adalah orang yang bisa
mengartikulasikan dan menemukan “suara-suara agama” (religious
voices) menjadi kritik social dan counter hegemony terhadap sistem
yang menindas. Agamawan organik memiliki kepekaan dalam
membaca situasi sosial-politik yang ada di sekitarnya: diskriminasi,
marjinalisasi, perenggutan hak asasi, ketidakadilan, dan lain-lain.
Kepekaan itu juga mendorong agamawan organik untuk merespon
dan menyuarakan realitas sosial politik tersebut. Ketidakadilan bukan
hanya membuat agamawan organik mengetahui dan menyadari
adanya realitas semacam itu, melainkan juga menggerakkannya untuk
merespon dan mengkritik ketidakadilan tersebut. Keberadaan
agamawan organik tidak sebatas membimbing ritualitas dan
82
spiritualitas unat, tetapi menumbuhkan kesadaran kolektif agar umat
memiliki kesadaran tentang asal-usul atau sumber penindasan dan
bagaimana menyikapinya (M.Hialy Basya “Agamawan
Organik,”Kompas,27 Agustus 2004).
3.8.6 Jenis Paragraf
Kita dapat berbicara tentang paragaraf dari tiga sudut pandang: (1)
sudut pandang isi atau pikiran yang dikemukakan (paragaraf narasi,
paragraf deskripsi, paragraf ekspositoris, paragraf argumentasi), atau (2)
sudut pandang penalaran (pragraf induksi, paragraf deduksi, paragraf
induksi-deduksi), atau (3) sudut pandang tempat dan fungsinya di dalam
karangan (paragraf pengantar, paragraf pengembang, paragrtaf penutup).
Seluruh jenis paragraf tersebut harus dikuasai dengan baik. Jenis paragraf
menurut fungsinya dalam karangan.
a. Paragraf Pengantar
Tamu harus mengetuk pintu rumah agar tuan rumah
membukakan pintu baginya. Pengarang ingin “bertamu” ke “rumah”
pembaca. Pengarang harus mengetuk pintu hati pembaca agar dapat
dibukakan pintu hatinya. Mengetuk pintu dan mengucapkan sepada
bila akan bertemu kepada pembaca berfungsi sebagai pengantar. Anda
mengadakan pameran. Anda ingin para tamu dapat menikmati
sepenuhnya pameran itu. Anda akan mengantar para tamu, entah
dengan menggunakan panduan entah menggunakan pengantar.
Pengantar itu berfungsi untuk memberitahu latar belakang, masalah
tujuan, anggapan dasar. Pengantar yang baik dapat mengetuk hati dan
memperoleh simpati, menggugah minat dan gairah orang lain untuk
mengetahui lebih banyak.
Fungsi paragraf pengantar sebagai berikut.
1) Menunjukkan pokok persoalan yang mendasari masalah,
2) Menarik minat pembaca dengan mengungkapkan latar belakang,
pentingnya pemecahan masalah,
3) Menyatakan tesis yaitu ide sentral karangan yang akan dibahas,
4) Menyatakan pendirian (pernyataan maksud) sebagai persiapan ke
arah pendirian selengkapnya sampai dengan akhir karangan.
Untuk menarik minat pembaca, penulis dapat melakukan
berbagai upaya yang dapat dipilih dan dirasa tepat:
(1) menyampaikan berita hangat,
(2) menyampaikan anekdot,
(3) memberikan latar belakang, suasana, atau karakter,
83
(4) memberikan contoh konkret berkenan dengan pokok
pembicaraan,
(5) mengawali karangan dengan suatu pernyataan yang tegas,
(6) menyentak pembaca dengan suatu pernyataan tajam,
(7) menyentak dengan perbandingan, analogi, kesenjangan kontras,
(8) mengungkapkan isu misteri yang belum terungkap (bukan
masalah gaib),
(9) mengungkapkan peristiwa yang luar biasa,
(10) mendebarkan hati pembaca dengan suatu suspensi.
Paragraf pengantar juga disebut paragraf topik, berfungsi sebagai
pengikat makna bagi semua paragraf lain. Paragraf menentukan arah
karangan selanjutnya. Oleh karena itu, paragraf pertama harus dibuat
sebaik dan semenarik mungkin.
Contoh:
Buku yang berjudul Bahasa Indonesia. Materi Ajar Matakuliah
Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi merupakan materi
ajar yang dikumpulkan sejak awal penulis menjadi dosen pada tahun
1981 hingga 2004. Setiap materi disusun dalam bentuk satuan acara
perkuliahan dan diwujudkan dalam bentuk transparan untuk setiap
tatap muka. Kumpulan pengalaman itu kiranya diperlukan oleh
mahasiswa.
b. Paragraf Pengembang
Paragraf pengembang yaitu paragraf yang berfungsi
menerangkan atau menguraikan gagasan pokok karangan. Fungsi
paragraf pengembang sebagai berikut:
1) menguraikan, mendeskripsikan, memBandingkan,
menghubungkan, menjelaskan, atau menerangkan.
Kata-kata yang lazim digunakan: mengidentifikasikan,
menganalisis, detail, menguraikan arti, fungsi, mengklasifikasi,
menbandingkan, dengan demikian, atau membahas.
2) menolak konsep: alasan, argumentasi (pembuktiaan), contoh,
alasan, fakta, rincian, menyajikan dukungan.
Kata-kata yang lazim digunakan: bertentangan dengan, berbeda
dengan, tetapi, meskipun demikian, tidak sama halnya dengan,
bertolak belakang dengan, tidak sejalan dengan, dan kontroversi.
3) mendukung konsep: argumen, argumentasi, contoh, alasan, fakta,
rincian.
Kata-kata yang lazim digunakan: tambahan pula, lebih jauh, sejalan
dengan hal itu, sesungguhnya, sesuai dengan, seimbang dengan,
pertimbangan lain.
84
Contoh:
Kurikulum dikembangkan dengan pendekatan berbasis
kompetensi agar lulusan pendidikan nasional memiliki keunggulan
kompetitif. Pertimbangan lainnya adalah agar sistem pendidikan
nasional dapat merespon secara proaktif berbagai perkembangan
informasi, ilmu pengetahuan, tekonologi, seni, dan pemenuhan
tuntutan masyarakatnya. Dengan demikian, lembaga pendidikan tidak
akan kehilangan relevansi program pembelajarannya terhadap
kepantingan masyarakat dan karakteristik peserta didik dan tetap
memiliki fleksibilitas dalam melaksanakan kurikulum yang
berdiversifikasi (Suwandi, 2003:3)
c. Paragraf Peralihan
Paragraf peralihan yaitu paragraf penghubung yang terletak di
antara dua paragraf utama. Paragraf ini relatif pendek. Fungsinya
sebagai penghubung antar-paragraf utama, memudahkan pikiran
pembaca beralih ke gagasan lain.
d. Paragraf Penutup
Selesai berkomunikasi dan menyampaikan gagasan, kita perlu
meninggalkan kesan kuat dan mendalam. Diharapkan pembaca
mengenang kesan tersebut. Dalam berkomunikasi dengan pembaca,
penulis berharap agar komunikasi tidak sebatas dengan pembaca,
tetapi daya guna yang besar dan kesan yang kuat pula. Oleh karena
itu, paragraf pengantar dan paragraf penutup perlu diperhatikan
sungguh-sungguh oleh penulis karena kerapkali pembaca terlebih
dahulu hanya membaca kedua jenis paragraf itu untuk mencari dan
mengetahui sesuatu.
Fungsi paragraf penutup:
1) sebagai penutup, menyatakan bahwa karangan sudah selesai.
Komunikasi melalui karangan yang dibacanya telah ditutup,
namun semangat yang besar dan segar diharapkan terus
berlanjut;
2) mengingatkan (menegaskan) kepada pembaca akan pentingnya
pokok pembahasan;
3) memuaskan pembaca untuk mendapatkan pandangan baru; dan
4) menyajikan kesimpulan.
Upaya penutup karangan dengan kesan yang kuat:
(1) menegaskan kembali tesis atau ide pokok karangan dengan kata-
kata lain;
(2) meringkas atau merangkum gagasan-gagasan penting yang telah
disampaikan ;
85
(3) memberikan kesimpulan, saran, dan/ atau proyeksi ke masa
depan;
(4) memberikan pernyataan yang tegas, dan kesan mendalam.
Contoh:
Pembelajaran yang berkualitas atau pembelajaran yang efektif
tersebut akan sangat ditentukan oleh: (1) ketersediaan guru yang
kompeten dan profesional, guru yang memiliki kemampuan reflektif,
(2) keorganisasian sekolah yang dapat memfasilitasi keterlaksanaan
belajar dan mengajar (di ruang sekolah, dan masyarakat), (3)
partisipasi masyarakat dalam penyediaan sumber-sumber dorongan,
termasuk penciptaan lingkungan belajar yang disebut kondusif.
Dengan perkataan lain, implementasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi dapat berhasil dengan baik jika dijiwai oleh penerapan
kebijakan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (Suwandi,
2003:13-14).
3.8.7 Hubungan Antarparagraf
Sebuah karangan menuntut kepaduan keseluruhan paragraf. Paragraf
pembuka, peralihan, pengembang, dan penutup harus menghasilkan
kepaduan karangan. Hal itu dapat dihasilkan dengan menjalin hubungan
logis, keruntutan, dan kepaduan karangan. Oleh karena itu, masing-masing
paragraf harus terkait dengan topik karangan.
3.8.8 Pengembangan Paragraf
Paragraf yang baik, selain harus memenuhi syarat, paragraf harus
ditulis secara logis dan memenuhi standar nalar. Hal itu dimaksudkan agar
paragraf dapat mencapai target penulisan. Misalnya, efektivitas jangkauan
komunikasi agar gagasan sampai kepada pembaca, kebenaran gagasan
yang dapat diukur secara empirik, terpahami dengan mudah, dan
menghasilkan efek psikologis (kepuasan) pembaca. Oleh karena itu,
penulis memerlukan strategi menulis paragraf, yaitu cara dan upaya yang
dapat memikat pembaca.
Pengembangan paragraf, misalnya: berdasarkan jenis, berdasarkan
nalar (secara alami, klimaks, antiklimaks, deduktif, induktif, deduktif-
induktif, induksi-deduksi, sebab-akibat, kronologis), berdasarkan fungsi
(contoh, analogi, ilustrasi, analisis, pembuktian, perbandingan, dan definisi
luas).
a. Secara Alamiah
Pengembangan paragraf secara alamiah didasarkan pada urutan
ruang dan waktu (kronologis). Urutan ruang merupakan urutan yang
86
akan membawa pembaca dari satu titik ke titik berikutnya dalam suatu
ruang. Adapun urutan waktu adalah urutan yang menggambarkan
urutan terjadinya peristiwa, perbuatan, atau tindakan.
Contoh:
Legenda kerajaan Mycenae membuat bulu kuduk tegak karena
penuh peristiwa berdarah. Istri Astreus digoda oleh saudara laki-
lakinya, Thyestes. Sebagai pembalasan, Atreus membunuh kedua
anak laki-laki Thyestes, merebusnya, dan menghidangkannya dalam
makan malam bagi Thyestes. Atreus kemudian sengaja
memperlihatkan kepada Thyestes sisa-sisa tubuh kedua anaknya agar
Thyestes tahu apa yang telah dimakannya. Sejak saat itu Atreus dan
keturunannya, termasuk Agamemnon. Minelaus, Orestes, dikutuk
para dewa. Mereka mati di tangan orang-orang terdekatnya (Myrna
Ratna, “Kutukan Tujuh Turunan di Mycenae, “Kompas, 14 agustus
2004)
b. Klimaks–antiklimaks
Paragraf jenis ini lazim digunakan untuk menyajikan sebuah
cerita atau konflik. Penulisan diawali dengan pengenalan tokoh,
dilanjutkan dengan konflik, mencapai puncak konflik, dan menurun
menuju solusi (antiklimaks). Jenis paragraf ini dapat digunakan untuk
menulis sejarah, cerita fiksi (roman, novel, cerita pendek), kisah
permusuhan, atau peperangan.
c. Deduksi dan Induksi
Deduksi adalah proses penalaran dengan menyebutkan gagasan
utama yang bersifat umum dan dilanjutkan dengan gagasan-gagasan
yang bersifat khusus.
Contoh:
Pelaku bisnis sering dihadapkan pada risiko, yaitu risiko bersifat
strategis dan risiko bersifat operasioanl. (1) Risiko strategi
merupakan pengeluaran yang mengharuskan perusahaan untuk
berpikir pada skala strategis. Risiko jenis ini harus dipecahkan oleh
pemimpin dan memerlukan perencanaan strategis. (2) Risiko
operasional mengharuskan keterlibatan pimpinan sekaligus pada
tingkat yang lebih rendah. Risiko operasional dapat terjadi pada
pemasok, yang dapat pula terjadi pada aspek produksi, yang
berpengaruh kepada unit distribusi, atau pada saat barang dipakai. (3)
Risiko strategi dan operasional terjadi secara bertumpang tindih,
misalnya, kebakaran dapat berdampak kepada pemasok dan
distributor (Husen Umar, Manajemen Risiko Bisnis, Jakarta:
Gramedia, 1998, hlm.14–15).
87
Paragraf tersebut menggunakan deduksi-analisis. Paragraf
tersebut diawali kalimat yang bersifat umum dilanjutkan dengan
pembahasan klasifikasi. Masing-masing kelompok diuraikan dengan
rincian.
3.8.9 Paragraf Berdasarkan Fungsi
Bentuk paragraf selain ditentukan oleh teknik pengembangannya,
juga ditentukan oleh fungsi tersebut dalam suatu karangan, misalnya,
membandingkan, mempertentangkan, menggambarkan, memperdebatkan,
contoh, definisi luas.
a. Perbandingan dan Pertentangan
1) Perbandingan
Paragraf perbandingan dan pertentangan adalah paragraf yang
berusaha memperjelas paparannya dengan jalan membandingkan
dan mempertentangkan hal-hal yang dibicarakan. Dalam
perbandingan tersebut dikemukakan persamaan dan perbedaan
antara dua hal itu. Yang dapat dibandingkan dan dipertentangkan
adalah dua hal yang tingkatannya sama dan kedua hal itu
memiliki perbedaan dan persamaan.
Contoh:
Suasana lebaran biasanya begitu semarak di negeri kita ini,
dapat dibandingkan dengan Thanks Giving Day di Amerika
Serikat, saat negara itu bersukaria bersyukur kepada Tuhan
bersama seluruh keluarganya. Gerak mudik rakyat Indonesia juga
mirip sekali dengan yang tejadi pada orang-orang Amerika
menjelang Thanks Giving Day itu. Semuanya merasakan
dorongan amat kuat untuk bertemu ayah-ibu dan sanak
saudaranya karena justru dalam suasana keakraban keluarga
itulah hikmah Idul Fitri dan Thanks Giving Day dapat dirasakan
sepenuhnya (Nurcholish Madjis, Cendekiawan & Religiusitas
Masyarakat, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 38).
2) Pertentangan
Pertentangan merupakan proses argumentasi dengan melakukan
penolakan. Oleh karena itu, pertentangan ditargetkan menolak
eksistensinya dan disertai pembuktian.
Contoh:
Pertentangan XYZ menimbulkan pencemaran air minum
masyarakat di sekitarnya. Warga setempat yang menjadi kurban
menderita penyakit kulit yang kronis. Perusahaan itu diserang
dan dinilai sebagai antisosial dan tidak peduli lingkungan.
88
Perusahaan jenis ini bertentangan dengan keinginan masyarakat
peduli lingkungan san social. Atas penilaian itu, beberapa
perusahaan mendapat citra buruk sebagai akibat laporan media
masa, serta unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat yang terus-
menerus mengenai maslah lingkungan yang ditimbulkannya.
Kelompok yang mempunyai kepentingan tertentu dan para
jurnalis sering bergabung untuk menyerang perusahaan itu, yang
berakibat pasa konsumen beralih kepada pesaing. Selain itu,
perusahaan tersebut kesulitan modal karena bank tidak mau
berisiko.
b. Analogi
Paragraf yang merupakan analogi biasanya digunakan oleh
penulis untuk membandingkan sesuatu yang dikenal oleh umum
dengan yang kurang dikenal itu. Perhatikan contoh paragraf berikut.
Contoh:
Budaya sebagai sumber kreativitas. Orang yang cerdas akan
mampu mengolah kekayaan budaya Indonesia yang luar biasa besar.
Produk makanan, misalnya, dari Sabang sampai Merauke terdapat
ratusan ribu diolah secara kreatif, moderen, dikemas yang sempurna,
jelaskan kandungan gizinya dalam berbagai bahasa di dunia,
disesuaikan selera (rasa) menurut negara tujuan, produk makanan
tersebut dapat dipastikan akan membanjiri pasar dunia. Selain itu, kita
memiliki budaya yang berupa cerita tradisional. Setiap daerah
memiliki cerita yang unik. Cerita ini dapat dijadikan sumber
kreativitas film, cerita petualangan, cerita yang bernilai edukatif, dan
sebagainya. Cerita ini dapat dikemas menjadi cerita kartun modern.
Jika dikemas sesuai dengan selera masyarakat dunia dalam CD,
produk ini pasti dapat mendatangkan manfaat yang besar. Selain
bernilai komersial, produk ini dapat berfungsi sebagai pengenalan
budaya bangsa.
c. Sebab - Akibat
Dalam paragraf sebab akibat, sebab dapat berfungsi sebagai
pikiran utama dan akibat sebagai pikiran penjelas. Atau sebaliknya,
yaitu akibat sebagai pikiran utama dan sebab sebagai rincian
penjelasnya.
Contoh:
Proses pemilihan capres dan cawapres 2004 berdampak positif
bagi masyarakat. Mereka semakin sadar akan hak-haknya. Mereka
bukan hanya menyadari hak politiknya melainkan juga hak
mendapatkan kesejahteraan. Meresak merasakan bahwa penderitaan
89
dan kesulitan hidupnya merupakan akibat semakin meluasnya pejabat
yang korupsi. Untuk menjamin tidak korupsi, para calon legislative,
eksekutif, dan yudikatif itu diminta kesediaannya menandatangani
kontrak politik.
3.9 Rangkuman
Materi Bahasa Indonesia ragam ilmiah menyajikan pengertian,
ranah penggunaan dan ciri-cirinya. Selain itu juga disertai diksi atau
pilihan kata yaitu proses memilih kata yang dapat mengungkapkan
gagasan secara tepat. Kalimat adalah rangkaian darikata-kata yang
menunjukkan pikiran yang lengkap atau utuh dan bermakna. Dari segi
struktur kalimat mempunyai dua macam yaitu kalimat tunggal dan kalimat
majemuk. Jika kalimat-kalimat tersebut dirangkai menjadi satu dan
menunjukkan satu topik atau satu pokok pikiran secara lengkap disebut
paragraf. Paragraf harus dibuat dengan menggunakan kalimat yang efektif,
artinya kalimat itu harus sesuai dengan kaidah dan menunjukkan struktur
yang jelas, singkat, padat, dan logis.
3.10 Bahan Diskusi
Carilah beberapa paragraf yang berbeda jenisnya, kemudian
analisislah dari aspek teori tentang paragraf, struktur kalimatnya, ejaannya,
dan diksinya. Kemudian hasilnya diskusikan.
3.11 Daftar Rujukan
Arifin, E. Zaenal dan Tasai, S. Amran. 2010. Cermat Berbahasa Indonesia
untuk Perguruan Tinggi. Sebagai Matakuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK). Jakarta: Akademika Pressindo.
Damayanti, Rini dan Indrayanti, Tri. 2015. Bahasa Indonesia untuk
Perguruan Tinggi. Surabaya: Victory Inti Cipta.
Ratri, Rose Kusumaning. 2019. Cakap Berbahasa Indonesia Panduan
Lengkap Belajar Berbahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Sleman
Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA
Setyawati, Nanik. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia: Teori
dan Praktik. Surakarta: Yuma Pustaka.
Tim. 2016. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Edisi Keempat.
Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
90
3.12 Latihan Soal
Kerjakanlah soal-soal berikut untuk mengukur pemahaman kalian terkait
materi Bab 3 Bahasa Indonesia Ragam Ilmiah!
1. Susunlah sebuah paragraf secara alamiah, yang merupakan hasil
pengamatan Anda terhadap suatu objek!
2. Susunlah sebuah paragraf dengan ketentuan sebagai berikut:
a) bentuk : perbandingan atau pertentangan
pikiran utama : perbedaan budaya barat dan timur
b) bentuk : analogi
pikiran utama : rentenir merusak ekonomi
c) bentuk : contoh-contoh
pikiran utama : pembinaan musik tradisional!
3. Buatlah karangan terdiri atas 4-6 paragraf dengan ketentuan sebagai
berikut.
a) Paragraf pertama berisi sari tema atau pernyataan maksud
b) Paragraf kedua berisi deskripsi masalah
c) Paragraf ketiga berisi tujuan pembahasan
d) Paragraf keempat berisi cara mencapai tujuan
e) Paragraf kelima berisi alternatif pemecahan masalah
f) Paragraf keenam kesimpulan/jawaban masalah!
4. Buatkan contoh paragraf (argumentasi) tentang suatu sikap dengan
pola: pendirian, dukungan 1, dukungan 2, penegasan (kesimpulan)!
5. Buatkan contoh karangan empat paragraf tentang pembuktian sesuatu
dengan pola (1) pendapat, (2) sanggahan, (3) dukungan, (4)
pendirian/kesimpulan!
6. Buatkan contoh paragraf ilmiah dengan pola (induktif): tesis, variabel
x dan variabel y, analisis hubungan, hasil, kesimpulan!
7. Buatkan paragraf ilmiah (deduktif) dengan pola deskripsi umum-
khusus!
8. Buatlah sebuah karangan yang terdiri atas beberapa paragraf! Topik
sesuai dengan bidang studi Saudara. Perhatikan penulisan paragraf
pembuka, penghubung, penutup, serta penggunaan unsur kepaduan
paragraf!
91
BAB 4. ANALISIS BAHASA RAGAM ILMIAH
4.1 Pengantar
Analisis kesalahan berbahasa merupakan sebuah metode prosedural
yang digunakan untuk menganalisis dan menyunting serta menemukan
penyebab kesalahan berbahasa tersebut terjadi. Secara lebih lanjut, analisis
kesalahan berbahasa juga sampai pada langkah tindak lanjut untuk
mengatasi kesalahan-kesalahan tersebut agar tidak terjadi lagi. Melalui
analisis kesalahan berbahasa, seseorang dapat mencermati bahwa
kesalahan dalam berbahasa adalah sebuah fenomena yang menarik untuk
diteliti karena di dalamnya mungkin terdapat pola-pola kesalahan yang
dapat dijadikan materi pembelajaran bahasa.
Dalam praktiknya, kesalahan berbahasa terjadi dalam penggunaan
bahasa di berbagai tataran kebahasaan berdasarkan kaidah berbahasa yang
baik dan benar. Kesalahan berbagai tataran kebahasan tersebut meliputi:
ejaan dan tanda baca, fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, wacana,
pragmatik, dan lain-lain. Analisis kesalahan berbahasa dalam dilakukan
secara metodologis melalui prosedur yang ilmiah. Parera (1993:7)
berpendapat bahwa analisis merupakan proses menjelaskan gejala-gejala
alam dengan cara: (1) membedakan, (2) mengelompokkan, (3)
menghubung-hubungkan, (4) mengendalikan, dan (5) meramalkan.
Ellis (dalam Tarigan dan Djago, 1990:170) mengungkapkan bahwa
analisis kesalahan berbahasa ialah suatu prosedur yang digunakan oleh
para peneliti dan para guru, yang meliputi pengumpulan sampel,
pengidentifikasian kesalahan yang terdapat dalam sampel, penjelasan
kesalahan tersebut, pengklasifikasian kesalahan itu berdasarkan
penyebabnya, serta pengevaluasian atau penilaian taraf keseriusan
kesalahan. Analisis kesalahan berbahasa adalah suatu proses yang
sistematis berupa pengumpulan data, pengidentifikasian penyebab
kesalahan, serta pengevaluasian taraf keseriusan kesalahan tersebut.
Kemampuan Akhir yang Diharapkan (KAD)
Mahasiswa mampu menganalisis bahasa ilmiah dengan
memperhatikan Ejaan Bahasa Indonesia, diksi, kalimat efektif,
dan paragraph dalam karya tulis ilmiah.
92
4.2 Kesalahan Berbahasa Tataran Fonologi
Fonologi adalah cabang ilmu linguistik yang secara khusus
mempelajari tentang bunyi-bunyi bahasa. Menurut Chaer (1994:104),
fonologi ialah bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan
membahas bunyi-bunyi bahasa. Secara etimologi terbentuk dari kata fon
yaitu bunyi dan logi yaitu ilmu. Bunyi bahasa dalam kajian fonologi
adalah bunyi ujaran dihasilkan oleh alat ucap manusia dan memiliki
makna.
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat bentuk kesalahan-kesalahan
berbahasa pada tataran fonologi pada fenomena-fenomena kebahasaan.
Penelitian yang dilakukan Syukron (2012) yang berjudul
“Ketidakkonsistenan Fonologis Bahasa Indonesia dalam Persidangan di
Pengadilan Tipikor” membuktikan bahwa ada 2 kategori utama kesalahan
berbahasa dalam tataran fonologi yakni: perubahan fonem dan
penghilangan fonem. Kesalahan berbahasa berupa perubahan fonem terdiri
atas: perubahan fonem vokal, perubahan fonem konsonan, dan perubahan
fonem pada singkatan. Sementara itu, kesalahan berbahasa berupa
penghilangan fonem terjadi dalam bentuk penghilangan fonem vokal dan
penghilangan fonem konsonan. Berikut ini adalah paparan rinci dari hal
tersebut.
4.2.1 Perubahan Fonem
Perubahan bunyi fonem pada bahasa disebabkan oleh banyak faktor.
Kontaminasi dari bahasa daerah dan bahasa asing juga dapat memengaruhi
perubahan pelafalan fonem yang dituturkan oleh penutur. Pada konteks
tertentu hal ini dapat menyebabkan perubahan makna. Merah bila
dilafalkan [merah] maka artinya warna, namun jika dilafalkan [mərah]
bermakna peras.
a. Perubahan Fonem Vokal
Lafal Baku Lafal Tidak Baku
penasihat [pənasihat] penasehat [pənasehat]
kemarin [kəmarin] kemaren [kəmarεn]
atlet [atlet] atlit [atlit]
benar [bənar] bener [bənər]
tetap [tətap] tetep [tətəp]
kesempatan [kəsəmpatan] kesempatan [kəsεmpatan]
Penasihat [pənasihat] menjadi penasehat [pənasehat]
disebabkan oleh pengaruh dari bahasa jawa, karena pada jawa vokal
[i] diucapkan menjadi [e] dalam keadaan tertutup . Pelafalan ini dapat
dilihat pada kata kuning, dalam bahasa jawa kuning dilafalkan dengan
93
[kuneng], namun kunci dilafalkan [kunci] bukan [kunce]. Hal ini yang
menjadi sebab lafal [i] menjadi [e] pada kata penasihat dan kemarin.
Atlet dan atletik sebenarnya adalah hasil adaptasi dari bahasa
Yunani yaitu atlhos yang berarti kontes. Dalam bahasa Indonesia
atletik bermakna kontes beberapa jenis olahraga, dan atlet adalah
orang yang mengikuti kontes tersebut. Lafal baku dari atlet adalah
[atlet], namun karena masyarakat tutur Indonesia juga mengenal kata
atletik, banyak yang salah kaprah melafalkan atlet menjadi [atlit]. Jadi
pelafalan atlet [atlet] menjadi [atlit] disebabkan oleh bentuk atletik,
dengan pertimbangan keselarasan pelafalan dan kedua bentuk ini
menjadi dua bentuk bersaing dalam masyarakat tutur Indonesia.
Bentuk pengubahan lafal [a] menjadi [e] pada kata benar dan
tetap merupakan pengaruh dari sistem fonologi bahasa Indonesia
dialek Jakarta. Dialek Jakarta ini merupakan salah satu bentuk ragam
atau variasi bahasa di Indonesia. Dalam konteks resmi, masuknya
unsur-unsur dialek seperti ini harus dihindari.
Perubahan pelafalan kata kesempatan [kəsəmpatan] menjadi
[kəsεmpatan] disebabkan pengaruh sistem fonologi dari bahasa Batak.
Dalam bahasa Batak, fonem /e/ banyak dilafalkan [ε]. Seperti [səpərti]
dalam bahasa batak dilafalkan [sεpεrti].
b. Perubahan Fonem Konsonan
Lafal Baku Lafal Tidak Baku
miliar [miliar] milyat [milyat]
izin [izin] ijin [ijin]
Terjadi dua kali ketidakbakuan pada kata milyat. Pertama,
miliar menjadi bentuk milyar, kemudian milyar menjadi milyat.
Tidak terlalu jelas penyebab terjadinya perubahan pelafalan [r]
menjadi [t]. Namun, dapat dimungkinkan karena adanya 2 bentuk
bersaing yaitu milioner dan miliarder. Dalam bahasa Indonesia, kedua
kata tersebut bermakna sama yaitu orang yang mempunyai harta
miliaran. Namun bentuk bakunya adalah miliarder, karena berasal dari
bentuk baku miliar. Bentuk milyat muncul dimungkinkan karena
masyarakat tutur Indonesia salah mengadopsi dari bentuk miliarder
menjadi milyat.
Pelafalan kata izin [izin] menjadi [ijin] disebabkan oleh
pengaruh sistem fonologi bahasa Jawa. Bahasa jawa tidak mengenal
fonem /z/ [zet], namun mengenal fonem /j/ [je]. Jadi, orang jawa
banyak melafalkan kata yang mengandung fonem /z/ menjadi fonem
/j/. Contoh lain dapat dilihat pada kata zaman [zaman], banyak yang
melafalkannya menjadi [jaman].
94
c. Perubahan Fonem pada Singkatan
Lafal Baku Lafal Tidak Baku
BBM [be be em] BBM [bi bi em]
Sistem fonologi bahasa Inggris juga ikut memengaruhi sistem
fonologi bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia fonem b
dilafalkan [be], dalam bahasa Inggris fonem /b/ dilafalkan [bi]. Inilah
yang menjadi penyebab ketidakbakuan pelafalan singkatan BBM di
atas. BBM yang seharusnya dilafalkan secara Indonesia yaitu [be be
em], karena pengaruh bahasa Inggris pelafalannya menjadi [bi bi em].
4.2.2 Penghilangan Fonem
Penghilangan fonem merupakan wujud dari penghematan bahasa
secara fonologis. Dalam semua bahasa di dunia, penutur-penutur berusaha
untuk ‘menghemat’ tenaga dalam pemakaian bahasa dan memperpendek
tuturan-tuturannya, sejauh hal itu tidak menghambat komunikasi, dan tidak
bertentangan dengan budaya tempat bahasa tersebut dipakai. Sifat “hemat”
itu dalam bahasa lazim disebut “ekonomi bahasa” (Verhaar, 2006:85).
Muslich (2008:123) menyebut “ekonomi bahasa” dengan istilah zeroisasi.
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya
penghematan atau ekonomisasi pengucapan. Meskipun penghematan
bahasa ini tidak menghambat komunikasi antar penutur, dalam konteks
resmi bentuk penghematan ini harus dihindari karena tidak baku.
a. Penghilangan Fonem Vokal
Lafal Baku Lafal Tidak Baku
majelis [majəlis] majlis [majlis]
karena [karəna] karna [karna]
Zeroisasi pada kata majelis dan karena di atas termasuk pada
zeroisasi jenis sinkop. Sinkop adalah proses penghilangan atau
penanggalan satu atau lebih fonem pada tengah kata (Masnur
Muslich, 2008:124). Majelis [majəlis] kehilangan fonem /e/ sehingga
menjadi [majlis]. Begitu juga pada kata karena [karəna], kehilangan
fonem /e/ sehingga menjadi [karna].
b. Penghilangan Fonem Konsonan Lafal Baku Lafal Tidak Baku tahun [tahun] taun [taun]
tahu [tahu] tau [tau]
lihat [lihat] liat [liat]
kasih [kasih] kasi [kasi]
Zeroisasi jenis sinkop juga terjadi pada kata tahun, tahu, dan
lihat. Kata tahun [tahun] kehilangan fonem /h/ sehingga menjadi
95
[taun]. Kata tahu [tahu] juga kehilangan fonem /h/ sehingga menjadi
[tau]. Hal ini juga terjadi pada kata lihat [lihat], kata lihat [lihat]
kehilangan fonem /h/ sehingga menjadi [liat].
Pada kata kasih, zeroisasi yang terjadi adalah jenis apokop.
Apokop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih
fonem pada akhir kata (Muslich, 2008:124). Kata kasih [kasih]
kehilangan fonem /h/ sehingga menjadi [kasi].
4.3 Kesalahan Berbahasa Tataran Morfologi
Morfologi adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari tentang
bentuk-bentuk bahasa terkecil (morfem dan kata) serta proses
pembentukannya. Dalam morfologi, morfem adalah satuan kajian terkecil
dan kata menjadi satuan kajian terbesar (Ramlan, 1980; Sutarna, 1998:14).
Morfem adalah satuan kebahasaan terkecil yang dibentuk dari deretan
fonem yang dapat membangun struktur dan makna gramatikal tertentu.
Sementara itu, kata disikapi sebagai bentukan dari morfem yang sudah
miliki makna.
Proses pembentukan morfem dapat ditempuh dengan tiga cara yaitu:
(1) afiksasi atau pengimbuhan, (2) reduplikasi atau pengulangan, dan (3)
komposisi atau penggabungan (Verhaar, 2006). Dalam ketiga proses
pembentukan morfem itulah biasanya ditemukan fenomena kesalahan
berbahasa (tataran morfologi). Selain itu, kesalahan berbahasa dalam
tataran morfologi juga dapat terjadi dalam bidang kata (kategori kata).
4.3.1 Kesalahan Berbahasa dalam Afiksasi
Kesalahan berbahasa dalam tataran afiksasi dapat disebabkan
oleh berbagai hal. Afiksasi adalah proses pengimbuhan kata dasar untuk
membentuk kata baru dengan makna dan maksud yang berbeda. Dalam
proses tersebut, sering terjadi kesalahan berbahasa. Berikut ini paparannya.
a. Kesalahan Berbahasa Karena Salah Menentukan Bentuk Dasar
Kesalahan pada kategori ini terjadi karena penulis atau penutur
salah dalam menentukan bentuk dasar karena tidak memahami
bentuk-bentuk dasar bahasa yang membentuknya.
Contoh
Ia bertugas untuk bertanggung jawab pada unit
produksi yang ia kelola.
Pada contoh di atas, terdapat kata kelola. Orang yang tidak
memahami bentuk dasar dari kata tersebut, dapat beranggapan bahwa
kelola berasal dari kara lola yang mendapatkan prefiks ke-. Padahal,
96
kelola adalah sebuah bentuk dasar. Kelola berarti kegiatan mengatur,
menata, dan menjaga.
b. Fonem yang Seharusnya Luluh dalam Proses Afiksasi Tidak
Diluluhkan
Di dalam proses afiksasi, perlu diketahui bahwa kata dasar
yang diawali fonem (k), (p), (t), (s) akan luluh ketika mendapatkan
afiks nasal (N).
Contoh
Bu Guru memperintahkan siswanya untuk
mensapu kelas setiap pagi sebelum pelajaran
dimulai.
Pada contoh di atas, terdapat kesalahan berbahasa karena tidak
luluhnya kata dasar yang diawali fonem (k), (p), (t), (s) setelah
mendapatkan imbuhan nasal (N), yaitu kata memperintahkan dan
mensapu. Kata memperintahkan berasal dari kata dasar perintah yang
mendapatkan imbuhan meN-kan. Sementara itu, kata mensapu
berasal dari kata dasar sapu yang mendapatkan awalan meN. Jadi,
perbaikan dari bentuk tersebut adalah sebagai berikut.
Perbaikan
Bu Guru memerintahkan siswanya untuk menyapu
kelas setiap pagi sebelum pelajaran dimulai.
Sebagai catatan, hanya kata dasar yang fonem (k), (p), (t), (s)
yang luluh dan tidak berlaku untuk kluster yang diawali fonem (k),
(p), (t), (s). Contoh kluster yang diawali fonem (k), (p), (t), (s)
misalnya: klasifikasi, produksi, transmigrasi, dan stiker.
c. Fonem yang Seharusnya Tidak Luluh dalam Proses Afiksasi
Justru Diluluhkan
Dalam kasus lain, terdapat pula kesalahan berbahasa karena
meluluhkan fonem dalam kata dasar yang seharusnya tidak luluh.
Seperti yang terdapat contoh berikut.
Contoh
Kasus tersebut terjadi karena menurut pelaku,
korban sering memitnahnya.
Pada contoh di atas, terdapat kesalahan pada kata memitnahnya.
Hal ini disebabkan oleh terjadinya peluluhan pada kata dasar yang
seharusnya tidak luluh. Perbaikannya adalahl sebagai berikut.
Perbaikan
Kasus tersebut terjadi karena menurut pelaku,
korban sering memfitnahnya.
97
Kategori ini biasa juga sering terjadi pada afiksasi yang
dilakukan pada kata dasar yang berawalan fonem (c).
Contoh
Hampir setiap hari istrinya menyucikan pakaian
milik suami dan anak-anaknya. Inilah bukti bahwa
ia sangat menyintai keluarganya.
Pada contoh di atas, terdapat kesalahan pada kata menyucikan
dan menyintai. Hal ini terjadi karena seharusnya kata dasar yang
diawali fonem (c) tidak luluh.
Perbaikan
Hampir setiap hari istrinya mencucikan pakaian
milik suami dan anak-anaknya. Inilah bukti bahwa
ia sangat mencintai keluarganya.
4.3.2 Kesalahan Berbahasa dalam Reduplikasi
Reduplikasi adalah proses pengulangan kata. Kesalahan dalam
reduplikasi masuk tataran morfologi karena berkaitan dengan
pembentukan kata ulang. Berikut ini paparan rincinya.
a. Kesalahan Berbahasa Disebabkan Kesalahan dalam Menentukan
Bentuk Dasar yang Diulang.
Kesalahan ini terjadi karena penulis/penutur tidak memahami
kaidah pembentukan kata ulang. Secara spesifik, hal ini berkaitan
dengan kesalahan dalam menentukan bentuk dasar yang diulang.
Contoh
Dalam kasus perampok di rumah tuan tanah itu,
polisi mengorek-korek barang bukti.
Pada contoh di atas terdapat kata ulang yang mengalami
kesalahan dalam menentukan bentuk dasar yang diulang, yaitu kata
ulang mengorek-korek. Berikut ini perbaikannya.
Dalam kasus perampok di rumah tuan tanah itu,
polisi mengorek-ngorek barang bukti.
b. Kesalahan Pengulangan Kata Karena Bentuk Dasar yang Tidak Tepat.
Dalam kesalahan ini, penulis atau penutur melakukan
pengulangan yang salah karena bentuk dasar yang dipilih tidak tepat.
Perhatikan contoh berikut ini.
Contoh
Setelah kejadian itu, tangan-tangan kanan mafia
yang tersohor itu juga ikut menjadi tersangka.
Pada contoh tersebut, terdapat kata ulang tangan-tangan kanan
dibentuk dari bentuk dasar yang tidak tepat. Sebenarnya, bentuk
98
dasarnya adalah tangan kanan. Jadi, perbaikannya adalah sebagai
berikut.
Perbaikan
Setelah kejadian itu, tangan kanan-tangan kanan
mafia yang tersohor itu juga ikut menjadi
tersangka.
c. Kesalahan Berbahasa Terjadi Karena Menghindari Pengulangan yang
Terlalu Panjang.
Kadangkala, dalam penbentukan kata ulang, penulis atau
penutur ingin menghindari pengulangan kata yang terlalu panjang dan
justru mengalami kesalahan berbahasa. Untuk menghindari
pengulangan yang terlalu panjang, penulis/penutur hanya mengulang
sebagian bentuk dasarnya.
Contoh
Wanita karir-karir perlu memikirkan bagaimana
memenuhi tugasnya sebagai ibu.
Pada contoh di atas, terdapat kata ulang Wanita karir-karir
yang bentuknya salah. Hal ini karena bentuk dasarnya hanya diulang
sebagian. Berikut ini perbaikannya.
Perbaikan
Wanita karir-wanita karir perlu memikirkan
bagaimana memenuhi tugasnya sebagai ibu.
4.3.3 Kesalahan Berbahasa dalam Komposisi
Komposisi adalah penggabungan kata atau proses pembentukan
kata majemuk. Dalam penggabungan kata, terdapat kaidah-kaidah yang
perlu diperhatikan. Berikut ini bentuk-bentuk kesalahan dalam komposisi.
a. Kata Majemuk yang Seharusnya Serangkai, Tidak Ditulis Serangkai
Kata majemuk ada yang harus ditulis serangkai dan ada pula
yang tidak perlu ditulis serangkai. Terdapat beberapa kaidah
penggabungan kata yang seharusnya ditulis serangkai (diatur di dalam
PUEBI). Berikut ini paparannya.
Contoh
Di semester ini, ia tidak lulus dalam dua mata
kuliah.
Pada contoh tersebut, terdapat kata majemuk matakuliah yang
seharusnya ditulis serangkai justru ditulis terpisah. Berikut ini
pembenarannya.
Perbaikan
99
Di semester ini, ia tidak lulus dalam dua
matakuliah.
b. Kata majemuk yang seharusnya ditulis terpisah justru dirangkai
Berbeda dengan kategori sebelumnya, pada kategori ini, justru
yang terjadi sebaliknya. kata majemuk yang seharusnya ditulis
terpisah justru dirangkai.
Contoh
Banyak tetangganya yang terjakit hepatitis dan
harus opname di rumahsakit.
Pada contoh tersebut, terdapat kata majemuk rumahsakit yang
ditulis serangkai. Padahal, seharusnya kata majemuk tersebut ditulis
terpisah.
Perbaikan
Banyak tetangganya yang terjakit hepatitis dan
harus opname di rumah sakit.
c. Kesalahan Berbahasa Terjadi Karena Kata Majemuk yang Sudah
Berpadu Tidak Seluruhnya Diulang.
Kesalahan ini terjadi karena pengulangan (reduplikasi) kata
majemuk yang sudah padu hanya diulang sebagian. Hal ini
menyebabkan kepaduannya menjadi hilang.
Contoh
Segi-segitiga tersebut harus dibuat dengan ukuran
yang presisi.
Pada contoh tersebut, terdapat kata Segi-segitiga yang
sebenarnya merupakan kata majemuk yang sudah padu. Ketika
direduplikasi dengan tidak tepat membuat kepaduannya menmjadi
hilang. Berikut ini perbaikannya.
Perbaikan
Segitiga-segitiga tersebut harus dibuat dengan
ukuran yang presisi.
d. Kesalahan Berbahasa Karena Afiksasi Dianggap Menyatukan
Penulisan Kata Majemuk yang Belum Padu.
Kesalahan ini terjadi karena penulis tidak paham bahwa afiksi
yang dilakukan pada kata majemuk yang belum padu ditulis
serangkai. Perhatikan contoh berikut ini.
Contoh
Belum ada yang bertanggungjawab dalam
kejadian itu.
Pada contoh tersebut, terdapat kesalahan pembentukan kata
majemuk bertanggungjawab yang ditulis serangkai karena afiksasi
100
padahal kata majemuknya belum padu. Jadi, seharusnya ditulis
terpisah.
Perbaikan
Belum ada yang bertanggung jawab dalam
kejadian itu.
Sebagai tambahan, proses afiksasi dalam kata majemuk ditulis
serangkai apabila kata majemuknya yang dibentuk sudah padu,
misalnya mempertanggungjawabkan, melatarbelakangi, dan lain-lain.
4.3.4 Kesalahan Berbahasa dalam Bidang Kata
Dalam penelitian yang dilakukan Pramala (2017) dengan judul
“Kesalahan Penggunaan Preposisi dan Konjungsi pada Teks Cerita Ulang
Biografi Karya Siswa Kelas XI SMKN 5 Jember”, ditemukan bahwa siswa
melakukan kesalahan berbahasa dalam penggunaan preposisi (kata depan)
dan konjungsi (kata hubung). Kesalahan penggunaan preposisi dan
konjungsi meliputi kesalahan penempatan dan pemilihan. Kesalahan
penempatan mencakup kesalahan posisi penempatan dan penghilangan.
Kesalahan pemilihan berupa pilihan penggunaan preposisi maupun
konjungsi yang kurang tepat. Kesalahan penggunaan preposisi terjadi pada
preposisi tunggal dan majemuk. Kesalahan dalam aspek konjungsi berupa
konjungsi intrakalimat dan antar kalimat.
a. Kesalahan Penggunaan Preposisi
Terdapat beberapa jenis kesalahan penggunaan preposisi. Hal
tersebut sesuai jenis preposisi yang digunakan dalam kalimat.
Kesalahan-kesalahan tersebut diuraikan sebagai berikut.
1) Kesalahan Penggunaan Preposisi Tunggal
Kesalahan penggunaan preposisi tunggal dibagi menjadi kesalahan
penempatan dan kesalahan pemilihan, berikut pemaparan bagian-
bagian tersebut.
a) Kesalahan Penempatan Preposisi Tunggal
Kesalahan berbahasa dalam kategori kesalahan penempatan
preposisi tunggal apabila terdapat kesalahan tempat preposisi
sehingga harus berpindah tempat.
Contoh (1)
...sampai akhirnya di usia 18 ikut bergabung
bersama rekan-rekannya mendirikan production
house dan menjadi prosedur pelaksana untuk
sebuah film pendek, memimpin perusahaan jasa....
101
Contoh (2)
Pada saat itu Kartini dilarang untuk keluar hingga
dia menikah demi menghilangkan rasa bosan
Kartini terus menghabiskan waktunya untuk
membaca buku ilmu pengetahuan.
Pada kedua contoh tersebut ditemukan kesalahan
penempatan preposisi tunggal untuk. Contoh (1) dan (2)
penempatan preposisi untuk diikuti dengan keterangan penjelas
dan tidak menunjukkan adanya perbuatan untuk pihak lain. Hal
ini dibuktikan dengan kata ganti yang masih merujuk pada
subjek. Kata ganti yang dimaksud pada contoh (1) adalah kata –
nya dan pada contoh (2) dia. Oleh karena itu, preposisi tunggal
untuk pada contoh a1 harus berpindah posisi dan pada contoh (2)
harus dihilangkan. Perbaikan kalimat yang benar sebagai berikut
Perbaikan (1)
...sampai akhirnya di usia 18 ikut bergabung
bersama rekan-rekannya untuk mendirikan
production house dan menjadi prosedur pelaksana
sebuah film pendek, memimpin perusahaan jasa....
Perbaikan (2)
Pada saat itu Kartini dilarang keluar hingga dia
menikah demi menghilangkan rasa bosan Kartini
terus menghabiskan waktunya untuk membaca
buku ilmu pengetahuan.
b) Kesalahan Pemilihan Preposisi Tunggal
Kesalahan pemilihan preposisi tunggal terjadi apabila terdapat
preposisi yang tidak sesuai sehingga harus digantikan dengan
preposisi yang tepat.
Contoh (1)
Zulham mengawali karirnya bersama tim
kampung halamannya yaitu di Persiter Ternate
pada tahun 2006.
Contoh (2)
Ia justru menyelesaikan kuliahnya dibidang
akuntansi yaitu di sekolah tinggi akuntansi negara.
Pada kedua contoh tersebut ditemukan dua penggunaan
preposisi yang berdampingan dalam satu kalimat. Penggunaan
dua preposisi yang berdampingan tidak dianjurkan dalam kalimat
tersebut. Pemilihan preposisi yaitu kurang tepat digunakan pada
contoh (1) dan (2), karena preposisi yaitu tidak dapat digunakan
102
di depan keterangan tempat. Contoh (1) keterangan tempatnya
adalah Persiter Ternate dan contoh (2) sekolah tinggi akuntansi
negara. Oleh karena itu, preposisi yaitu harus dihilangkan karena
pemilihannya kurang tepat dan hanya menggunakan preposisi di.
Kalimat yang benar sebagai berikut.
Perbaikan (1)
Zulham mengawali karirnya bersama tim
kampung halamannya di Persiter Ternate pada
tahun 2006.
Perbaikan (2)
Ia justru menyelesaikan kuliahnya dibidang
akuntansi di sekolah tinggi akuntansi negara.
2) Kesalahan Penggunaan Preposisi Majemuk
Berdasarkan analisis kesalahan penggunaan preposisi majemuk
terdapat pada kesalahan pemilihan preposisi majemuk. Dikategorikan
sebagai kesalahan pemilihan preposisi majemuk apabila terdapat
preposisi yang tidak sesuai sehingga harus digantikan dengan
preposisi yang tepat. Kesalahan pemilihan preposisi majemuk
ditemukan pada kedua contoh berikut.
Contoh a)
Dalam profil lengkap Tri Rismaharini dapat dilihat
bahwa pada awal tahun 1997 hingga tahun 2000
Risma telah menjabat sebagai kepala seksi tata
ruang dan tata ruangan tanah Bappeta Surabaya.
Contoh b)
Penelitian tersebut dimulai pada tahun 1934 dan
35 tahun setelah penelitiannya, insulin berhasil
diungkapkan.
Pada contoh a) dan b) ditemukan adanya kesalahan pemilihan
preposisi majemuk. Penggunaan preposisi majemuk pada...hingga
dan preposisi majemuk pada...dan kurang tepat digunakan karena
preposisi pada digunakan untuk menyatakan waktu tertentu bukan
awal dari suatu masa. Contoh a) dan b) menyatakan mulainya masa
yang harusnya ditandai dengan preposisi majemuk dari dan harus
diikuti dengan preposisi majemuk sampai untuk menyatakan akhir
dari suatu masa. Perbaikan kalimat majemuk yang benar sebagai
berikut.
Perbaikan a)
Dalam profil lengkap Tri Rismaharini dapat dilihat
bahwa dari awal tahun 1997 sampai tahun 2000
103
Risma telah menjabat sebagai kepala seksi tata
ruang dan tata ruangan tanah Bappeta Surabaya.
Perbaikan b)
Penelitian tersebut dimulai dari tahun 1934
sampai 35 tahun setelah penelitiannya, insulin
berhasil diungkapkan.
b. Kesalahan Penggunaan Konjungsi
Kesalahan penggunaan konjungsi terdiri atas kesalahan
penggunaan konjungsi intrakalimat dan antarkalimat. Kesalahan
berbahasa ini terkait dengan penggunaan dan penempatan konjungsi
intrakalimat dan antarkalimat. Kesalahan penggunaan konjungsi
dibagi menjadi kesalahan penempatan konjungsi intrakalimat dan
kesalahan pemilihan konjungsi intrakalimat, berikut pemaparan
kesalahan berbahasa tersebut.
1) Kesalahan Penempatan Konjungsi Intrakalimat
Kesalahan penempatan konjungsi intrakalimat terjadi apabila
terdapat kesalahan posisi konjungsi sehingga harus berpindah tempat.
Paparan analisis contoh berikut ini menunjukkan kesalahan
penempatan konjungsi intrakalimat dengan.
Contoh a)
Dengan gayanya di lapangan hijau membuat
dirinya dijuluki Messinya Indonesia.
Contoh b)
Dengan cepat Rooney bergabung dengan tim
Everton.
Kedua contoh tersebut menunjukkan adanya kesalahan
penempatan konjungsi intrakalimat dengan. Konjungsi intrakalimat
dengan digunakan untuk menghubungkan kesertaan, alat dan
perbuatan. Pada contoh a) dan b) konjungsi dengan tidak dapat
diletakkan pada awal kalimat karena tidak terdapat unsur yang harus
dihubungkan sehingga konjungsi dengan dapat dihilangkan.
Konjungsi dengan juga tidak dapat diletakkan di depan kata kerja.
Perbaikan konjungsi intrakalimat dengan sebagai berikut.
Perbaikan a)
Gayanya di lapangan hijau membuat dirinya
dijuluki Messinya Indonesia.
Perbaikan b)
Rooney dengan cepat bergabung dengan tim
Everton.
104
2) Kesalahan Penggunaan Konjungsi Antarkalimat
Berdasarkan analisis kesalahan penggunaan konjungsi
antarkalimat, terdapat kesalahan berbahasa berupa kesalahan
penempatan konjungsi. Kesalahan penempatan konjungsi
antarkalimat adalah kesalahan letak konjungsi antarkalimat sehingga
harus berpindah tempat atau melakukan penghilangan. Kesalahan
tersebut ditunjukkan contoh berikut.
Contoh
Sebelum kemudian memeranginya dengan
membawa lari senjata dan perlengkapan perang
lain.
Terdapat kesalahan konjungsi antarkalimat sebelum pada
contoh di atas. Penggunaan konjungsi antarkalimat sebelum kurang
tepat karena konjungsi tersebut tidak dianjurkan digunakan
berdampingan dengan konjungsi kemudian. Oleh karena itu, salah
satu konjungsi antarkalimat harus dihilangkan. Konjungsi
antarkalimat sebelum digunakan untuk menghubungkan pernyataan
peristiwa yang terjadi sebelum klausa keterangan waktu. Konjungsi
antarkalimat kemudian digunakan untuk menghubungkan keterangan
waktu dan urutan peristiwa setelah klausa. Pada contoh tersebut
keterangan waktu dinyatakan secara berurutan sehingga konjungsi
antarkalimat sebelum harus dihilangkan. Perbaikan konjungsi
antarkalimat sebagai berikut.
Perbaikan
Kemudian memeranginya dengan membawa lari
senjata dan perlengkapan perang lain.
4.4 Kesalahan Berbahasa Tataran Sintaksis
Sintaksis adalah cabang ilmu linguistik yang objek bahasannya
aspek gramatika bahasa terkait frasa, klausa, dan kalimat. Ramlan (1987)
menjelaskan bahwa sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang
membicarakan struktur frasa dan kalimat. Secara spesifik, sintaksis juga
membahas tentang fungsi, kategori, dan peran unsur-unsur pembentuk
kalimat. Selain itu, dalam tataran sintaksis kesalahan berbahasa juga
berkaitan dengan kaidah-kaidah kalimat efektif.
Menurut Tarigan (1990:199), Kesalahan sistaksis adalah kesalahan
atau penyimpangan struktur frasa, klausa, kalimat, serta ketidaktepatan
pemakaian partikel. Dalam penelitian Diana (2015) berjudul “Kesalahan
Berbahasa pada Proposal Kegiatan Ormawa Periode 2014 Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember”, kategori kesalahan
105
sintaksis dikelompokkan menjadi dua yaitu kesalahan pada frasa dan
kalimat. Berikut ini paparannya.
4.4.1 Kesalahan dalam Frasa
Kategori kesalahan frasa dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu:
penggunaan preposisi yang tidak tepat, penggunaan unsur yang berlebihan
(mubazir), bentuk resiprokal yang salah, dan penjamakan yang ganda.
a. Penggunaan Preposisi yang Tidak Tepat
Kesalahan berbahasa tataran frasa dapat disebabkan oleh
pengunaan preposisi yang tidak tepat dalam frasa berkata depan. Hal
ini biasanya terjadi pada frasa preposisional yang menyatakan tempat,
waktu, dan tujuan. Kesalahan berbahasa tataran frasa yang disebabkan
oleh penggunaan preposisi yang tidak tepat juga ditemukan dalam
proposal kegiatan. Berikut adalah contoh yang mengalami kesalahan
penggunaan preposisi.
Contoh 1)
Kegiatan ini memiliki tujuan, antara lain:
Mengenalkan Himpunan Mahasiswa Prodi
“Golden Age” pada mahasiswa baru
Pada contoh tersebut, preposisi pada digunakan di depan kata
mahasiswa untuk menyatakan predikat yang dituju. Preposisi pada
berfungsi sebagai (1) menyatakan tempat dan (2) menyatakan tempat
keberadaan. Preposisi ini sebaiknya tidak digunakan di depan objek
dalam predikatnya mengandung pengertian “tertuju terhadap sesuatu”.
Kalimat tersebut dapat direvisi sebagai berikut.
Perbaikan 1)
Kegiatan ini memiliki tujuan, antara lain:
1. mengenalkan Himpunan Mahasiswa Prodi
“Golden Age” kepada mahasiswa baru;
2. dst.
Contoh 2)
Perubahan pola pikir serta perilaku manusia dalam
memperlakukan diri sendiri dan lingkungan telah
jauh berbeda dengan era-era sebelumnya.
Pada contoh di atas, preposisi dengan kurang tepat digunakan
pada kalimat tersebut. Preposisi dengan berfungsi sebagai a) untuk
menyatakan alat, b) menyatakan beserta, c) menyatakan cara atau sifat
perbuatan, dan d) menyatakan ungkapan tetap. Frasa telah jauh
berbeda menyatakan perbandingan antara era sebelum dan
sesudahnya menyebabkan preposisi dengan kurang tepat digunakan
106
pada kalimat tersebut. Selain itu, preposisi serta diganti dengan dan.
Preposisi serta dapat digunakan apabila dalam satu kalimat preposisi
dan telah digunakan sebelumnya. Kalimat tersebut dapat direvisi
sebagai berikut.
Perbaikan 2)
Perubahan pola pikir dan perilaku manusia dalam
memperlakukan diri sendiri dan lingkungan telah
jauh berbeda dari era-era sebelumnya.
b. Penggunaan Unsur yang Berlebihan atau Mubazir
Kesalahan berbahasa dalam bidang frasa dapat juga disebabkan
oleh penggunaan kata yang berlebihan. Jika diperhatikan dari segi
efisiensi bahasa, kesalahan berbahasa seperti ini tidak efektif dan
mubadzir. Pada proposal kegiatan, penggunaan unsur yang berlebihan
terjadi karena pemakai bahasa menggunakan dua kata atau frasa yang
maknanya sama atau hampir bersamaan dalam satu konstruksi frasa.
Berikut adalah contoh kesalahan berbahasa tataran frasa yang
disebabkan penggunaan unsur yang berlebihan.
Contoh 1)
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal,
dijadikan tempat yang mempunyai peran penting
dan strategis untuk melaksanakan tugas tersebut.
Pada contoh di atas, frasa sebagai lembaga pendidikan formal
tidak perlu digunakan karena sudah jelas bahwa sekolah adalah
lembaga pendidikan formal. Selain itu, frasa tersebut mengkaburkan
fungsi predikat pada kalimat. Kalimat tersebut dapat direvisi sebagai
berikut.
Perbaikan 1)
Sekolah menjadi tempat yang mempunyai peran
penting dan strategis untuk melaksanakan tugas
tersebut.
Contoh 2)
Oleh karenanya, mata pelajaran bahasa
Indonesia dijadikan mata pelajaran pokok yang
wajib diikuti dan dimasukkan ke dalam syarat
kelulusan ujian disetiap jenjang pendidikan.
Pada contoh tersebut, kata mata pelajaran sebelum kata bahasa
Indonesia tidak perlu digunakan karena sudah dijelaskan pada frasa
mata pelajaran pokok. Penggalan frasa yang wajib diikuti tidak perlu
digunakan karena frasa pelajaran pokok sudah dapat menjelaskan
bahwa pelajaran bahasa Indonesia wajib diikuti. Selain itu, frasa
107
dimasukkan ke dalam tidak perlu digunakan karena sudah dijelaskan
pada frasa syarat kelulusan ujian. Kalimat tersebut dapat direvisi
sebagai berikut.
Perbaikan 2)
Oleh karena itu, bahasa Indonesia menjadi mata
pelajaran pokok dan syarat kelulusan ujian di
setiap jenjang pendidikan.
c. Kesalahan Bentuk Resiprokal
Kesalahan bentuk resiprokal terjadi pada proposal kegiatan.
Bentuk resiprokal dapat dihasilkan dengan cara menggunakan kata
saling atau dengan kata ulang berimbuhan. Akan tetapi jika ada
bentuk yang berarti ‘berbalasan’ itu dengan cara pengulangan kata,
digunakan sekaligus dengan kata saling, akan terjadi bentuk
resiprokal yang salah. Berikut adalah contoh kesalahan bentuk
resiprokal.
Contoh
Salah satu tujuan utama ESA adalah agar setiap
anggota dapat saling mengena dan saling bertukar
pengalaman.
Penggalan frasa saling bertukar pengalaman pada contoh di atas
mengalami kesalahan resiprokal. Menurut KBBI, bertukar adalah
seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain yang memberikan
sesuatu. Berdasarkan pengertian tersebut, kata bertukar merupakan
bentuk yang berarti ‘berbalasan’ sehingga kata saling tidak perlu
digunakan. Kalimat tersebut dapat direvisi sebagai berikut.
Perbaikan
Salah satu tujuan utama ESA adalah agar setiap
anggota dapat saling mengenal dan bertukar
pengalaman.
d. Kesalahan penjamakan yang ganda
Menurut kaidah, bentuk jamak bahasa Indonesia dapat dilakukan
dengan cara pengulangan, menambahkan kata bilangan,
menambahkan kata bantu jamak, dan kata ganti orang. kalimat
menjadi tidak baku apabila menggunakan dua bentuk penjamakan
sekaligus. Contoh di bawah ini adalah bentuk kesalahan penjamakan
yang ganda.
Contoh
Diharapkan dengan memahami dan mengerti
tentang kebudayaan dari negara-negara yang sudah
dipilih, mahasiswa mengerti dan memahami
108
bahwa banyak sekali subjek-subjek kebudayan
yang bisa kita persentasikan sebagai bahan ajar
kita kepada anak-anak didik kita di masa depan.
Pada contoh di atas, frasa banyak sekali subjek-subjek
mengalami kesalahan penajamakan. Contoh tersebut akan menjadi
baku bila memilih salah satu cara penjamakan antara menambahkan
kata bantu jamak (banyak) dan pengulangan (subjek-subjek). Kalimat
tersebut dapat direvisi sebagai berikut.
Perbaikan
Diharapkan dengan memahami dan mengerti
kebudayaan dari negara-negara yang sudah dipilih,
mahasiswa mengerti dan memahami bahwa
banyak subjek kebudayan yang bisa
dipresentasikan sebagai bahan ajar kepada anak-
anak didik di masa depan.
4.4.2 Kesalahan dalam Kalimat
Kategori kesalahan kalimat dapat dikelompokkan menjadi tujuh
yaitu: (a) kalimat tidak bersubjek, (b) kalimat buntung, (c) penggunaan
kata tanya yang tidak perlu, (d) kalimat ambigu, (e) kalimat tidak logis,
dan (f) penggunaan konjungsi yang berlebihan dan penghilangan
konjungsi. Berikut ini paparannya.
a. Kesalahan Kalimat Tidak Bersubjek
Suatu kalimat paling sedikit harus terdiri atas subjek dan
predikat, kecuali kalimat perintah atau ujaran yang merupakan
jawaban pertanyaan. Kalimat yang subjeknya tidak jelas terdapat
dalam kalimat rancu, yaitu kalimat yang berpredikat verba aktif
transitif di depan subjek terdapat preposisi. Berikut adalah contoh
kesalahan kalimat tidak bersubjek pada proposal kegiatan.
Contoh
Sebagai mahasiswa FKIP UNIVERSITAS
JEMBER yang berkompeten tidak hanya
berkompeten dalam bidang akademik.
Pada contoh di atas, kesalahan kalimat tidak bersubjek terdapat
pada proposisi sebagai. Kalimat aktif yang diawali dengan proposisi
menjadikan kalimat tersebut tidak bersubjek atau kabur. Perbaikan
kalimat tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu (a) apabila
ingin tetap mempertahankan proposisi yang mendahului subjek, maka
predikat diubah menjadi bentuk pasif dan (b) apabila menghendakai
predikat tetap dalam bentuk aktif, maka proposisi yang mendahului
109
subjek harus dihilangkan. Kalimat tersebut dapat direvisi sebagai
berikut.
Perbaikan
Mahasiswa FKIP Universitas Jember tidak hanya
berkompeten dalam bidang akademik.
b. Kesalahan Kalimat Tidak Bersubjek dan Tidak Berpredikat (Kalimat
Buntung)
Kalimat tidak bersubjek dan berperdikat ditemukan dalam
proposal kegiatan. Sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, kalimat
tunggal tidak boleh diawali oleh kata-kata karena, sehingga, apabila,
agar, seperti, kalau, walaupun, jika, dan konjungsi yang lain. Berikut
adalah contoh kesalahan kalimat buntung.
Contoh
Apabila tujuan ini diterapkan dengan baik maka
akan berguna bagi masyarakat, bangsa, dan
negara. Serta dapat memperkaya kebudayaan
nasional.
Kalimat yang dipenggal tersebut masih mempunyai hubungan
gantung dengan kalimat sebelumnya. Kalimat yang memiliki
hubungan gantung tersebut disebut anak kalimat, sedangkan kalimat
tempat bergantung anak kalimat tadi disebut induk kalimat. Kalimat
tersebut bukan kalimat baku karena tidak ada fungsi subjek dan
predikat. Kalimat tersebut dapat direvisi sebagai berikut.
Perbaikan
Apabila tujuan ini diterapkan dengan baik maka
akan berguna bagi masyarakat, bangsa, dan negara
serta dapat memperkaya kebudayaan nasional.
c. Penggunaan Kata Tanya yang Tidak Perlu
Penggunaan bentuk-bentuk kata tanya dalam kalimat berita
(bukan kalimat tanya) menyebabkan kalimat tidak baku. Berikut
adalah kesalahan penggunaan kata tanya.
Contoh
...dengan harapan agar senantiasa mendapat
dukungan dari berbagai pihak sehingga apa yang
menjadi maksud dan tujuan diselenggarakan acara
ini dapat tercapai dengan baik dan sukses....
Kata tanya apa tidak perlu digunakan. Kalimat tersebut bukan
kalimat tanya sehingga bentuk-bentuk kata di mana, yang mana, hal
mana, dari mana, apa dan bentuk kata tanya lain tidak perlu
digunakan pada kalimat pernyataan. Selain itu, penggalan frasa
110
dengan harapan agar senantiasa kurang tepat digunakan karena
membuat kalimtat menjadi kabur. Kalimat tersebut dapat direvisi
sebagai berikut.
Perbaikan
...dengan harapan agar senantiasa mendapat
dukungan dari berbagai pihak sehingga maksud
dan tujuan diselenggarakan acara ini dapat tercapai
dengan baik dan sukses....
d. Kalimat yang Ambigu
Ambigu adalah kegandaan arti kalimat sehingga meragukan atau
sama sekali tidak dipahami orang lain. Ambiguitas dapat disebabkan
beberapa hal, di antaranya intonasi yang tidak tepat, pemakaian kata
yang bersifat polisemi, struktur kalimat yang tidak tepat. Berikut
contoh kalimat ambigu dalam proposal kegiatan.
Contoh
Bentuk kegiatan antara lain:
Pameran foto kegiatan Earth Day Action yang
telah dilaksanakan oleh Himpunan Mahasiswa
Pendidikan Biologi pada tanggal 22 April 2014
dan pemberian tempat sampah di lingkungan
Gedung III FKIP Universitas Jember.
Penempatan preposisi dan kurang tepat sehingga membuat kalimat
tersebut ambigu. Kalimat tersebut memiliki dua persepsi yaitu 1) kegiatan
pameran foto kegiatan Earth Day telah dilaksanakan pada 22 April
dilanjutkan dengan kegiatan pemberian tempat sampah di tanggal yang
berbeda, 2) kedua kegiatan tersebut dilaksanakan pada 22 April. Kalimat
tersebut dapat direvisi sebagai berikut.
Perbaikan
Pameran foto kegiatan Earth Day Action dan
pemberian tempat sampah telah dilaksanakan oleh
Himpunan Mahasiswa Pendidikan Biologi pada 22
April 2014 di lingkungan Gedung III FKIP
Universitas Jember.
e. Kalimat Tidak Logis
Kalimat tidak logis adalah kalimat yang tidak masuk akal. Hal itu
terjadi karena penulis kurang berhati-hati dalam memilih kata. Berikut
contoh kalimat tidak logis.
Contoh
Berusaha memperbanyak pasokan ilmu dan
pengalaman adalah salah satu cara manusia untuk
111
mengembangkan kualitas fisiknya. Cara ini tidak
akan berhenti hingga manusia sampai di tepi
ajalnya.
Frasa Kualitas fisik tidak ada hubungannya dengan
memperbanyak ilmu sehingga kalimat tersebut tidak logis.
Ketidaklogisan kalimat berikutnya terdapat pada penggalan frasa di
tepi ajalnya. Ajal manusia tidak berada pada suatu tempat. Selain itu,
kata pasokan kurang tepat digunakan karena kata tersebut biasa
dihubungkan pada kata benda seperti beras, BBM, gabah dan lain-
lain. Kalimat tersebut dapat direvisi sebagai berikut.
Perbaikan
Berusaha memperbanyak ilmu dan pengalaman
adalah salah satu cara untuk mengembangkan
potensi diri. Cara ini tidak akan berhenti hingga
akhir hayat.
f. Penggunaan Konjungsi yang Berlebihan
Kekurangcermatan pemakai bahasa dapat mengakibatkan
penggunaan konjungsi yang berlebihan. Hal itu tejadi karena dua
kaidah bahasa bersilang dan bergabung dalam sebuah kalimat. Berikut
contoh penggunaan konjungsi yang berlebihan.
Contoh
Namun, bila dibandingkan dengan negara-negara
yang lain, maka pendidikan Indonesia masih perlu
ditingkatkan, khususnya dalam peningkatan daya
saing bangsa.
Penggunaan dua konjungsi sekaligus kurang tepat digunakan
pada kalimat tersebut. Bentuk konjungsi namun dan maka tidak serasi
digunakan pada satu kalimat. Selain itu, preposisi yang tidak perlu
digunakan. Anatara kata pendidikan dan Indonesia seharusnya
diberikan preposisi di agar kalimat tersebut jelas. Kalimat tersebut
dapat direvisi sebagai berikut.
Perbaikan
Namun, bila dibandingkan dengan negara-negara
lain, pendidikan di Indonesia masih perlu
ditingkatkan, khususnya dalam peningkatan daya
saing bangsa.
g. Penghilangan konjungsi
Pada proposal kegiatan terdapat gejala penghilangan konjungsi
pada anak kalimat. Penghilangan konjungsi itu menjadikan kalimat
112
tersebut tidak efektif (tidak baku). Berikut adalah contoh kesalahan
penghilangan konjungsi pada proposal kegiatan.
Contoh
Melihat kondisi perahu karet GEMAPITA
FKIP UNIVERSITAS JEMBER yang kurang
memadai di antaranya tidak adanya identitas pada
perahu karet serta peralatan pendukung yang
kurang, maka kami selaku pengurus GEMAPITA
FKIP Universitas Jember bermaksud mengajukan
perlengkapan rescue guna mendukung
pelaksanaan kegiatan rutin dan SAR, serta sebagai
media publikasi.
Penghilangan konjungsi terjadi pada penggalan kalimat melihat
kondisi perahu karet sehingga kalimat tersebut tidak baku. Penggalan
frasa tersebut berfungsi sebagai keterangan namun penghilangan
konjungsi membuat frasa tersebut kabur. Fungsi keterangan akan
lebih jelas apaila menggunakan konjungsi setelah sebelum penggalan
frasa melihat kondisi perahu karet. Penggalan frasa selaku pengurus
GEMAPITA FKIP Universitas Jember tidak perlu digunakan karena
sudah jelas yang mengajukan proposal adalah pengurus. Kalimat
tersebut dapat direvisi sebagai berikut..
Perbaikan
Setelah melihat kondisi perahu karet GEMAPITA
FKIP Universitas Jember yang kurang memadai di
antaranya tidak ada identitas pada perahu karet dan
peralatan pendukung yang kurang, kami
bermaksud mengajukan perlengkapan rescue guna
mendukung pelaksanaan kegiatan rutin dan SAR
serta sebagai media publikasi.
4.5 Kesalahan Berbahasa Tataran Semantik
Semantik adalah ilmu tentang makna. Chaer (2002) mengungkapkan
bahwa semantik mengkaji makna yang berkaitan dengan bahasa sebagai
alat komunikasi. Dalam tataran semantik, kesalahan berbahasa dapat
terjadi pada beberapa hal seperti: (a) diksi (pemilihan kata), (b) hiperkorek,
(c) ambiguitas, dan (d) pleonasme (Setyo, 2017). Berikut ini paparannya.
4.5.1 Pleonasme
Pleonasme adalah praktik penggunaan unsur-unsur kebahasaan secara
berlebihan.
113
Contoh 1
Cabai mahal diakibatkan karena musim hujan
yang berkepanjangan. Karena itu petani-petani
cabai ada yang merugi.
Kalimat yang bercetak tebal pada contoh di atas termasuk kesalahan
pleonasme. Terdapat penggunaan dua kata yang searti yang tidak perlu
karena menggunakan salah satu di antara kedua kata itu sudah cukup yaitu
pada kata diakibatkan dan karena. Penggunaan kata akibat memiliki makna
hasil suatu peristiwa, sedangkan kata “karena” merupakan kata
penghubung yang menandai sebab atau alasan. Kata hubung “karena”
sebenarnya tidak perlu digunakan, karena pengertian yang terkandung
pada kata itu sudah terkandung pada kata yang mendahuluinya. Dilihat
dari kesesuaian kalimatnya, seharusnya penulis cukup menggunakan kata
“akibat” sebab makna yang ditunjukkan sudah sangat jelas. Kalimat yang
tepat adalah sebagai berikut.
Perbaikan 1)
Cabai mahal diakibatkan musim hujan yang
berkepanjangan. Karena itu petani-petani
cabai ada yang merugi.
Contoh 2)
Tetapi masih banyak orang-orang yang suka
membuat ulah dengan alam kita. Seperti menebang
pohon sembarangan, membuang sampah ke sungai
dan masih banyak yang lainnya.
Pada kalimat tersebut, terdapat kesalahan pleonasme karena terdapat
bentuk jamak yang dinyatakan dua kali. Kata “banyak” mengandung
makna jamak, sebaiknya kata benda yang mengikutinya tidak perlu
dijamakkan dengan perulangan sehingga makna yang disampaikan tidak
berlebihan. Jadi kalimat tersebut cukup dikatakan sebagai berikut.
Perbaikan 2)
Tetapi masih banyak orang yang suka membuat
ulah dengan alam kita. Seperti menebang
pohon sembarangan, membuang sampah ke
sungai, dan masih banyak yang lainnya.
Contoh 3)
Proses penularannya biasanya penularannya
dari penyakit ini berada di tempat umum yang
ramai orang-orangnya. Contoh sekolah,
perumahan, pasar.
114
Pada contoh kalimat tersebut, ada penggunaan kata yang berlebihan
yaitu pengulangan kalimat “proses penularannya” yang sebenarnya tidak
perlu digunakan. Hal ini menyebabkan makna yang terdapat dalam kalimat
tersebut tidak tersampaikan dengan jelas dan sulit dipahami. Seharusnya
penulisannya cukup satu kali saja agar makna dalam kalimat tersebut tidak
berlebihan. Jadi penulisan kalimat yang tepat adalah sebagai berikut.
Perbaikan 3
Proses penularannya biasanya dari penyakit ini
berada di tempat umum yang ramai orang-
orangnya. Contoh sekolah, perumahan, pasar.
Selanjutnya perhatikan contoh berikut.
Contoh 4)
Para hadirin yang saya hormati yang saya hormati.
Pada contoh tersebut, terdapat penggunaan kata yang berlebihan yaitu
pengulangan kalimat “yang saya hormati”. Seharusnya penulisannya
cukup satu kali saja agar makna yang disampaikan tidak berlebihan. Selain
itu, penggunaan kata “para” tidak perlu digunakan karena kata para
memiliki makna jamak yaitu kata penyerta yang menyatakan pengacuan ke
kelompok, sedangkan kata “hadirin” sudah memiliki makna semua orang
yang hadir dalam pertemuan itu. Jadi penulisan kalimat yang benar adalah
sebagai berikut.
Perbaikan 4)
Hadirin yang saya hormati.
Berikutnya, contoh 5)
Narkoba adalah obat-obatan berbahaya yang dapat
merusak tubuh. Narkoba terdiri atas beberapa
macam dan jenis.
Pada kalimat tersebut terdapat kesalahan pleonasme karena kata
beberapa mengandung pengertian jamak, begitu pula kata macam dan jenis
memiliki arti yang sama. Karena itu dalam sebuah kalimat cukup
digunakan salah satu saja agar maknanya tidak berlebihan. Maka kalimat
yang tepat adalah sebagai berikut.
Perbaikan 5)
Narkoba adalah obat-obatan berbahaya yang dapat
merusak tubuh. Narkoba terdiri atas beberapa
macam dan jenis.
Perhatikan contoh 6) berikut ini.
Narkoba adalah penyebab utama melemahnya
pemikiran dan kesehatan yang dimiliki semua
siswa di SMAN darussholah singojuruh ini,
115
banyak sekali macam-macam narkoba dan cara
penyebarannya....
Pada kutipan tersebut, termasuk kesalahan gejala pleonasme yaitu
pada kalimat yang digarisbawahi. Pada kalimat tersebut mengandung
unsur yang berlebihan yaitu pada kalimat “banyak sekali macam-macam”,
kata “banyak” memiliki makna besar jumlahnya/tidak sedikit, sedangkan
kata “macam-macam” memiliki makna jenis/ aneh-aneh. Jadi dalam
kalimat tersebut kurang efisien karena mengandung unsur yang berlebihan.
Sebaiknya penulis menggunakan kalimat “banyak macam” atau
“bermacam-macam” untuk menggantikan penggunaan kata yang salah
tersebut. Karena maknanya tetap sama yaitu banyak jenisnya. Jadi
penulisan kalimat yang benar adalah sebagai berikut.
Perbaikan 6)
Narkoba adalah penyebab utama melemahnya
pemikiran dan kesehatan yang dimiliki semua
siswa di SMAN Darussholah Singojuruh ini,
banyak macam narkoba dan cara
penyebarannya....
Perhatikan contoh 7)
Selanjutnya adalah masalah kesehatan, istirahat yang
cukup dapat memulihkan stamina tubuh kita yang letih,
istirahat juga bagi untuk kesehatan.
Kutipan tersebut termasuk kesalahan gejala pleonasme yaitu
penggunaan unsur yang berlebihan. Pada kalimat tersebut terdapat
beberapa kata yang tidak perlu digunakan namun tetap digunakan oleh
penulis sehingga terkesan berlebihan. Pada kata yang bergaris bawah, kata
“bagi” memiliki makna kata depan untuk menyatakan tujuan, sedangkan
kata “untuk” memiliki makna kata depan menyatakan bagi. Dari kedua
kata tersebut makna yang dimiliki hampir sama, namun dilihat dari
konteks kalimat lebih cocok menggunakan kata “untuk”. Jadi penulisan
kalimat yang benar adalah sebagai berikut.
Perbaikan 7)
Selanjutnya adalah masalah kesehatan, istirahat
yang cukup dapat memulihkan stamina tubuh kita
yang letih, istirahat juga untuk kesehatan.
Contoh 8)
Progam kerja yang lebih baik dan membuat
Indonesia semakin jaya, dan mari kita optimalkan
anak-anak kita yang sebagai penerus bangsa yang
bisa membanggakan bangsa kita. Para-para
116
anak-anak kita dalam berkembang dalam hal
apapun sesuai bakat dan minat masing-masing.
Pada kalimat tersebut termasuk kesalahan gejala pleonasme yaitu
penggunaan kata yang berlebihan. Pada kalimat tersebut terdapat beberapa
kata yang tidak perlu digunakan namun tetap digunakan oleh penulis
sehingga membuat maknanya berlebihan. Pada kata “yang” memiliki
makna menyatakan bahwa bagian kalimat berikutnya menjelaskan kata
yang di depan, penggunaan kata “yang” di bagian awal tidak menjelaskan
kata yang ada sebelumnya, sedangkan kata “yang” di bagian akhir
menjelaskan kata sebelumnya. Jadi penggunaan kata “yang” di awal tidak
diperlukan. Selanjutnya pada kalimat “para-para anak-anak” seharusnya
cukup “para anak” atau “anak-anak” karena maknanya sama yaitu bersifat
jamak. Penulisan kalimat yang benar adalah sebagai berikut.
Perbaikan 8)
Progam kerja yang lebih baik dan membuat
Indonesia semakin jaya, dan mari kita optimalkan
anak-anak kita sebagai penerus bangsa yang bisa
membanggakan bangsa kita”. Anak-anak kita
berkembang dalam hal apapun sesuai dengan
bakat dan minat masing-masing.
Perhatikan contoh 9 berikut ini.
Dengan adanya banjir karena luapan sungai yang
tidak mampu menghadang derasnya air yang
datang sehingga menyebabkan jebolnya sistem
perairan di suatu perairan.
Pada contoh tersebut terdapat penggunaan kata yang berlebihan yaitu
pada kalimat yang bercetak tebal sehingga menimbulkan makna yang
berlebihan. Kalimat yang bercetak tebal sebaiknya tidak perlu digunakan,
karena kalimat sebelumnya sudah menjelaskan apa yang disampaikan.
Maka kalimat yang tepat adalah sebagai berikut.
Perbaikan
Dengan adanya banjir karena luapan sungai yang
tidak mampu menghadang derasnya air yang
datang sehingga menyebabkan jebolnya sistem
perairan.
Perhatikan contoh 10)
Bencana alam tersebut mempunyai berbagai
macam jenis bencana, seperti banjir, tanah
longsor, kebakaran hutan liar dan lain sebagainya.
117
Pada contoh tersebut terdapat penggunaan penanda jamak diikuti kata
benda bentuk jamak. Kata berbagai artinya sama dengan kata macam dan
jenis. Kata berbagai menunjukkan makna jamak. Sebaiknya dalam kalimat
tersebut cukup menggunakan kata “berbagai macam” saja, karena makna
yang dimunculkan sudah sangat jelas. Maka kalimat yang tepat adalah
sebagai berikut.
Perbaikan
Bencana alam tersebut mempunyai berbagai
macam bencana, seperti banjir, tanah longsor,
kebakaran hutan liar dan lain sebagainya”.
4.5.2 Ambiguitas
Ambiguitas adalah menduanya makna. Ambiguitas makna dapat
terjadi karena makna yang tepat bisa didapatkan ketika konteks yang
melingkupinya dibangun dengan baik. Djajasudarma (2012:99)
mengatakan bahwa setiap kata dapat bermakna lebih dari satu, dapat
mengacu pada benda yang berbeda, sesuai dengan lingkungan
pemakaiannya. Kesalahan berbahasa dalam aspek ambiguitas terjadi
karena penggunaan bentuk bahasa yang dapat memnyebabkan multitafsir.
Berikut ini paparannya.
Contoh 1)
Keadaan di sana sangat minim sekali, contohnya
seperti bangunannya, atap yang bocor sana-sini,
lantainya masih tanah sehingga pada musim hujan
tanahnya becek dan itu sangat mengganggu proses
pembelajaran. Bangku di kelas juga sangat
sedikit ada yang keropos.
Pada contoh di atas termasuk kesalahan ambiguitas yang
menimbulkan makna ambigu. Kalimat yang bercetak tebal tersebut tidak
jelas merujuk ke mana. Kalimat tersebut menimbulkan penafsiran ganda
yaitu yang pertama bangku di kelas sangat sedikit ada yang keropos (lebih
banyak yang tidak keropos) makna tersebut berlainan dengan konteks
kalimat yang menunjukkan kurangnya fasilitas sekolah. Kedua penafsiran
lain yaitu bangku di kelas sangat sedikit dan juga keropos. Maka kalimat
yang tepat adalah sebagai berikut.
Perbaikan 1)
Keadaan di sana sangat minim sekali, contohnya
seperti bangunannya, atap yang bocor sana-sini,
antainya masih tanah sehingga pada musim hujan
tanahnya becek dan itu sangat mengganggu proses
118
pembelajaran. Bangku di kelas sangat sedikit dan
ada yang keropos.
Contoh 2)
Hadiahnya bukan itu saja pemenang pertama akan
mengikuti lomba di antar provinsi yang
hadiahnya lebih besar dan mendapatkan bantuan
siswa dalam pendidikan yang lebih tinggi.
Pada contoh di atas mengandung makna yang ambigu. Kata yang
bergaris bawah menimbulkan penafsiran makna ganda, yaitu provinsi yang
mengantar saat perlombaan atau lomba antarprovinsi. Agar kalimat
tersebut tidak ambigu atau rancu, kata “diantar” diganti dengan kata
“antar” yang memiliki makna yang jelas dan mudah dipahami dalam
kalimat tersebut. Jadi kalimat yang tepat adalah sebagai berikut.
Perbaikan 2)
Hadiahnya bukan itu saja pemenang pertama akan
mengikuti lomba antarprovinsi yang hadiahnya
lebih besar dan mendapatkan bantuan siswa dalam
pendidikan yang lebih tinggi.
Contoh 3)
Hadirin semua anggota bisa semangat lagi untuk
meraih hadiah-hadiah yang bisa membanggakan
negara dan orang tua hadirin dan para pelatih-
pelatih bisa memberikan semangat dan
memperhatikan fisiknya siswa-siswi....
Pada contoh di atas termasuk kesalahan ambiguitas yang
menimbulkan makna yang ambigu. Kalimat yang bercetak tebal tersebut
tidak jelas merujuk kemana. Pertama, pada kalimat “Hadirin semua
anggota” menimbulkan makna semua anggota hadir atau hanya sebagian.
Kedua, pada kalimat “fisiknya siswa siswi”. Akhiran –nya merupakan kata
ganti yang menyatakan kepemilikan yang digabungkan dengan kata dasar.
Selain sebagai kata ganti yang menyatakan kepemilikan, satuan –nya dapat
memiliki fungsi untuk menunjukkan sesuatu. Dalam kalimat tersebut, kata
“fisiknya” dapat menimbulkan dua penafsiran yaitu menunjukkan fisiknya
pelatih atau fisik siswa-siswi, karena sebelum kata fisik merujuk pada
pelatih sehingga maknanya sulit dipahami. Jadi kalimat yang tepat adalah
sebagai berikut
Perbaikan 3)
Hadirin bisa semangat lagi untuk meraih hadiah-
hadiah yang bisa membanggakan negara dan orang
119
tua hadirin dan para pelatih-pelatih bisa
memberikan semangat dan memperhatikan fisik
siswa-siswi....
Selanjutnya perhatikan contoh 4 berikut ini
Di samping itu hidupnya pemuda haruslah dengan
berbagai ilmu....
Pada contoh di atas terdapat kesalahan ambiguitas yang menimbulkan
makna ambigu. Pada kata “hidupnya” memiliki dua makna yaitu yang
pertama dapat berarti bangkitnya pemuda, atau berarti hidup keseharian
pemuda tersebut. Akhiran –nya membuat makna kata tersebut menjadi
ambigu, sebaiknya cukup menggunakan kata “hidup” saja sehingga makna
kata tersebut menjadi jelas. Maka kalimat yang tepat adalah sebagai
berikut.
Perbaikan 4)
Di samping itu hidup pemuda haruslah dengan
berbagai ilmu....
Contoh 5)
Melalui kegiatan ini, marilah kita bersama-sama
melakukan beberapa upaya untuk mengatasi
bencana alam yang melanda yaitu dengan upaya
reboisasi dan membuang sampah sembarangan.
Pada kalimat di atas terdapat kesalahan penulisan yang menyebabkan
kalimat tersebut ambigu, yaitu pertama pada kata “melanda” menimbulkan
makna bahwa peristiwa itu sudah terjadi saat itu sedangkan dalam konteks
dalam teks pidato yang disampaikan hanya berupa wacana/upaya. Hal ini
menyebabkan ketidaksesuaian. Kedua, penggunaan kalimat “dan
membuang sampah sembarangan” tidak sesuai dengan konteks kalimat
sebelumnya yang menjelaskan tentang upaya mengatasi bencana alam,
sedangkan kalimat yang digaris bawahi tersebut salah satu faktor
terjadinya bencana tersebut. Karena ketidaktelitian tersebut maka makna
yang disampaikan tidak sesuai. Seharusnya kalimat tersebut diperbaiki
menjadi
Perbaikan 5)
Melalui kegiatan ini, marilah kita bersama-sama
melakukan beberapa upaya untuk mengatasi
bencana alam yaitu dengan upaya reboisasi dan
tidak membuang sampah sembarangan” agar tidak
menimbulkan penafsiran lain pula.
Contoh 6)
120
...dan saya mengucapkan terima kasih kepada
seluruh anggota Pecinta Alam yang telah hadir
untuk mendiskusikan tentang bagaimana cara
menghindari Bencana Alam pada siang hari ini.
Pada kalimat yang bercetak tebal menimbulkan makna yang ambigu,
yang pertama menimbulkan makna bagaimana acara menghindari bencana
alam yang terjadi pada saat itu, dan makna yang kedua pada siang hari itu
membahas tentang bagaimana cara menghindari bencana alam. Hal itu
menyebabkan makna yang disampaikan sulit dipahami. Maka, penulisan
kalimat yang tepat adalah sebagai berikut.
Perbaikan 6)
...dan saya mengucapkan terima kasih kepada
seluruh anggota Pecinta Alam yang telah hadir
pada siang hari ini untuk mendiskusikan tentang
bagaimana cara menghindari Bencana Alam.
4.5.3 Pemilihan Diksi
Salah satu pertimbangan penting ketika berkomunikasi adalah
pemilihan diksi. Pemilihan diksi adalah proses pemilihan bentuk
kebahasaan yang tepat untuk mengungkapkan ide yang dimaksud. Keraf
(2010:22—23) berpendapat bahwa istilah pilihan kata atau diksi
sebenarnya bukan saja dipergunakan untuk masyarakat kata-kata mana
yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga
meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Berikut ini
sajian rinci kesalahan berbahasa dalam bidang diksi/pemilihan kata.
Contoh
Kali ini saya akan membicarakan tentang
diesnatalis.
Contoh di atas termasuk kesalahan kecermatan pemilihan makna
kata yaitu pada kata “membicarakan” kurang sesuai untuk
menyampaikan gagasan pada sebuah teks pidato formal. Menurut
KBBI “membicarakan” memiliki makna mempercakapkan dan
memperkatakan. Agar menjadi kalimat yang baik dan sesuai konteks
kalimat sebaiknya menggunakan kata “membahas” yang memiliki
makna membicarakan, karena dilihat dari kesesuaian dengan kalimat
yang disampaikan. Maka kalimat yang tepat adalah
Perbaikan
Kali ini saya akan membahas tentang diesnatalis.
121
4.6 Kesalahan Berbahasa Tataran Wacana
Kesalahan berbahasa pada tataran wacana dapat ditemukan pada
paragraf. Paragraf adalah rangkaian kalimat yang memaparkan satu ide
pokok yang disusun secara koheren dan kohesif. Kesalahan berbahasa
pada tataran ini, dapat dicermati dalam kalimat-kalimat penyusunnya
tersebut. Artinya, rangkaian kalimat dalam paragraf menjadi satu kesatuan
yang harus padu untuk mendukung penyapaian ide pokoknya. Berikut ini
paparan rinci mengenai kesalahan-kesalahan dalam tataran wacana.
4.6.1 Ketidakefektivan Paragraf karena Tidak Ada Pelesapan
Dalam menulis paragraf, penulis harus membangun keefektivan
paragraf dengan melakukan pelesapan-pelesapan untuk membangun
kepaduan paragraf. Dengan melakukan pelesapan, paragraf akan efektif
karena tidak mengulang-ulang kata pada kalimat-kalimat penyusunnya.
Perhatikan paragraf berikut.
Kami telah melakukan berbagai inovasi
dalam bidang Green Industry. Kami menerapkan
teknologi atap hijau dengan memanfaatkan
tanaman sebagai atap rumah. Kami berpikir
bahwa teknologi atap hijau dapat mengurangi
polusi udara. Kami juga beranggapan bahwa atap
hijau mampu mengurangi dampak pemanasan
global.
Kata yang bercetak tebal pada paragraf di atas tidak efektif karena
seharusnya bisa dilesapkan. Untuk membangun keefektivan kalimat, perlu
keekonomisan penggunaan bahasa untuk mencapai kepaduan paragraf.
Berikut ini perbaikan dari paragraf tersebut.
Perbaikan
Kami telah melakukan berbagai inovasi
dalam bidang Green Industry. Penerapan teknologi
atap hijau merupakan salah satu bentuk inovasi
tersebut dengan memanfaatkan tanaman sebagai
atap rumah. Kami berpikir bahwa teknologi
tersebut dapat mengurangi polusi udara. Selain
itu, atap hijau dianggap mampu mengurangi
dampak pemanasan global.
4.6.2 Kesalahan karena Terdapat Kalimat Sumbang
Paragraf terdiri atas satu kalimat utama yang berisi ide pokok dan
didukung oleh beberapa kalimat penjelas atau kalimat pendukung. Kalimat
penjelas/kalimat pendukung adalah kalimat yang berisi penjelasan atau
122
gagasan yang mendukung ide pokok. Ketika terdapat kalimat yang tidak
mendukung kalimat utama di dalam sebuah paragraf, kalimat tersebut
diistilahkan dengan kalimat sumbang. Perhatikan paragraf berikut.
Error adalah jenis kesalahan berbahasa yang
dikarenakan penutur/penulis mengalami
ketidakpahaman terhadap kaidah bahasa yang
digunakannya (1). Kesalahan berbahasa terjadi
karena penulis/penutur hanya menguasai
bahasa daerah atau bahasa pertamanya saja
(2). Dalam konteks ini, kesalahan berbahasa
dilakukan oleh penutur/penulis dengan sengaja dan
tanpa disadari karena penutur/penulis tidak
memahami kaidah bahasa yang benar (3).Biasanya
ditandai dengan bentuk-bentuk kesalahan
berbahasa yang konsisten dan berpola (4).
Pada paragraf di atas, terdapat kalimat sumbang yaitu kalimat (2).
Ide pokok pada paragraf tersebut sebenarnya menjelaskan tentang
kesalahan berbahasa karena error atau kesalahan berbahasa karena tidak
memahami kaidah bahasa yang digunakan. Pada kalimat (2), paparannya
terlalu jauh membahas tentang bahasa kedua berupa bahasa daerah. Untuk
itu, perlu cermat dalam menyusun kalimat penjelas/kalimat pendukung.
Sebaiknya, kalimat penjelas/kalimat pendukung tersebut dihilangkan atau
direvisi.
Perbaikan
Error adalah jenis kesalahan berbahasa yang
dikarenakan penutur/penulis mengalami
ketidakpahaman terhadap kaidah bahasa yang
digunakannya. Dalam konteks ini, kesalahan
berbahasa dilakukan oleh penutur/penulis dengan
sengaja dan tanpa disadari karena penutur/penulis
tidak memahami kaidah bahasa yang benar.
Biasanya ditandai dengan bentuk-bentuk
kesalahan berbahasa yang konsisten dan berpola.
4.7 Kesalahan Berbahasa Tataran Ejaan dan Tanda Baca
Ejaan dan tanda baca adalah aspek teknis terkait kaidah atau
tatatertib dalam bahasa Indonesaia. Bahasa Indonesia telah melewati
perjalanan yang cukup panjang dalam sejarah pengaturan ejaan dan tanda
bacanya. Hingga saat ini, tercatat terdapat 6 kali pergantian kaidah ejaan
dan tanda baca bahasa Indonesia, yaitu: Ejaan Van Ophuysen (1901),
123
Ejaan Republik/Ejaan Soewandi (1947), Ejaan Baru/Ejaan LBK (1967),
Ejaan yang Disempurnakan (1975), Penyempurnaan Ejaan yang
Disempurnakan (1987), Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia/PUEBI
(2015).
4.7.1 Kesalahan Berbahasa tataran Ejaan Bahasa Indonesia
Dalam penelitian Diana (2015) berjudul “Kesalahan Berbahasa pada
Proposal Kegiatan Ormawa Periode 2014 Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Jember”, ditemukan dan dipetakan kategori
kesalahan berbahasa tataran ejaan dan tanda baca dalam tiga jenis yaitu:
penggunaan huruf kapital, penulisan huruf miring, dan penulisan kata.
Berikut paparannya.
a. Kesalahan Penggunaan Huruf Kapital
Kategori kesalahan penggunaan huruf kapital ditemukan pada
proposal kegiatan di antaranya adalah kesalahan penggunaan huruf
kapital pada nama instansi, nama geografi, kata yang bukan diawal
kalimat, nama peristiwa sejarah, nama orang, dan agama. Kesalahan
penggunaan huruf tersebut dominan terjadi pada latar belakang,
tujuan, dan waktu pelaksanaan proposal kegiatan. Kesalahan tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
Contoh (1a) dan (2a) kesalahan penggunaan huruf kapital pada nama
instansi
1a) ...selaku pengurus GEMAPITA FKIP
UNIVERSITAS JEMBER menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
pihak FKIP Universitas Jember.
2a) Melihat kondisi perahu karet GEMAPITA
FKIP UNIVERSITAS JEMBER yang
kurang memadai di antaranya tidak adanya
identitas pada perahu karet....
Pada contoh (1a) dan (2a), penulisan nama instansi
“UNIVERSITAS JEMBER” mengalami kesalahan ejaan. Frasa
UNIVERSITAS JEMBER tidak ditulis huruf kapital semua karena
bukan singkatan. Contoh tersebut dapat direvisi sebagai berikut.
Perbaikan
1a) ...selaku pengurus GEMAPITA FKIP
Universitas Jember menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak
FKIP Universitas Jember.
124
2a) Melihat kondisi perahu karet GEMAPITA
FKIP Universitas Jember yang kurang
memadai di antaranya tidak adanya identitas
pada perahu karet....
Contoh (3a) dan (4a) kesalahan penggunaan huruf kapital pada nama
geografi
3a) Bencana banjir di daerah kecamatan kencong
kabupaten jember, pada tanggal 19 April
2013
Bencana banjir di desa kraton Kecamatan
kencong Kabupaten Jember, pada tanggal 21-
24 Desember 2013
Pencarian korban tenggelan di sungai desa
kedung suko kecamatan Bangsalsari
Kabupaten Jember, pada tanggal 12
Desember 2013
Pencarian koraban tenggelam di kali mayang
daerah kali mayang desa Sruni kecamatan
Jenggawah kabupaten Jember, pada tanggal
22 April 2013
4a) ...suatu wadah kegiatan demi
terselenggaranya olimpiade Matematika dan
IPA tingkat SD se-kabupaten jember...
Huruf kapital digunakan pada huruf pertama nama geografi. Pada
contoh 3a dan 4a, penulisan nama geografi mengalami kesalahan di
antaranya pada nama geografi kecamatan kencong, kabupaten jember,
desa kraton, desa kedung suko, kali mayang, dan se-kabupaten
jember. Contoh tersebut dapat direvisi sebagai berikut.
Perbaikan
3a) Bencana banjir di daerah Kecamatan
Kencong Kabupaten Jember, pada tanggal 19
April 2013
Bencana banjir di Desa Kraton Kecamatan
Kencong Kabupaten Jember, pada tanggal 21-
24 Desember 2013
Pencarian korban tenggelan di sungai Desa
Kedung Suko Kecamatan Bangsalsari
Kabupaten Jember, pada tanggal 12
Desember 2013
125
Pencarian korban tenggelam di Kali Mayang
daerah Kali Mayang Desa Sruni Kecamatan
Jenggawah kabupaten Jember, pada tanggal
22 April 2013
4a) ...suatu wadah kegiatan demi
terselenggaranya olimpiade Matematika dan
IPA tingkat SD se-Kabupaten Jember...
Contoh (5a) kesalahan penggunaan huruf kapital pada awal kalimat
5a) Adapun tujuan kegiatan tersebut adalah :
(1) Turut berpartisipasi membantu program kerja
pemerintah khususnya Mendiknas.
(2) Menumbuhkembangkan sikap menghargai dan
melestarikan nilai-nilai bahasa Indonesia.
(3) Mengembangkan kemampuan berbahasa
Indonesia.
(4) Menanamkan rasa saling memiliki dan mencintai
terhadap bahasa Indonesia.
(5) Implementasi program kerja Ikatan Mahasiswa
Bahasa Indonesia (IMABINA).
(6) Memperkenalkan Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember pada
masyarakat. (OBIT-TU.H3)
Pada contoh (5a), terdapat kesalahan penulisan huruf kapital di
antaranya huruf “T” pada kata “turut”, huruf “M” pada kata
menumbuhkembangkan, huruf “M” pada kata mengembangkan, huruf
“M” pada kata menanamkan, huruf “I” pada kata implementasi, dan
huruf “M” pada kata memperkenalkan seharusnya ditulis
menggunakan huruf kecil. Kata-kata tersebut merupakan kelanjutan
dari kalimat sebelumnya. Contoh tersebut dapat direvisi sebagai
berikut.
Perbaikan
5a) Adapun tujuan kegiatan tersebut adalah :
(1) turut berpartisipasi membantu program kerja
pemerintah khususnya Mendiknas.
(2) menumbuhkembangkan sikap menghargai dan
melestarikan nilai-nilai bahasa Indonesia.
(3) mengembangkan kemampuan berbahasa
Indonesia.
126
(4) menanamkan rasa saling memiliki dan mencintai
terhadap bahasa Indonesia.
(5) implementasi program kerja Ikatan Mahasiswa
Bahasa Indonesia (IMABINA).
(6) memperkenalkan Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Jember pada
masyarakat.
Contoh 6a)
Kegiatan Pelatihan Dasar Manejemen Organisasi tahun
akademik 2014/2015 ini dilakasakan pada :
Hari : Jumat – Minggu
Tanggal : 31 Oktober – 2 November 2014
Pukul : 12.30 WIB – 22.00 WIB
Tempat : Gedung 1 FKIP Universitas Jember
Pada contoh 6a, huruf yang ditebalkan merupakan kesalahan
penggunaan huruf kapital. Kata-kata tersebut merupakan kelanjutan dari
kalimat sebelumnya sehingga huruf yang ditebalkan seharusnya ditulis
huruf kecil. Contoh tersebut dapat direvisi sebagai berikut.
Perbaikan 6a
Kegiatan Pelatihan Dasar Manejemen Organisasi tahun
akademik 2014/2015 ini dilakasakan pada :
hari : Jumat – Minggu
tanggal : 31 Oktober – 2 November 2014
pukul : 12.30 WIB – 22.00 WIB
tempat : Gedung 1 FKIP Universitas Jember
Contoh (7a) dan (8a) kesalahan penggunaan huruf kapital pada
nama tahun, bulan, hari, hari raya dan peristiwa sejarah
6a) ...kegiatan ini bertepatan dengan peringatan
hari pendidikan nasional agar adik-adik kita
yang berada di PAUD dapat mengetahui hari
bersejarah ini....
7a) Pada tanggal 22 April dunia internasional
telah memutuskan sebagai peringatan hari
bumi internasional.
Huruf kapital digunakan pada huruf pertama peristiwa sejarah.
Huruf yang ditebalkan pada contoh atas merupakan kesalahan penulisan
huruf kapital. Huruf tersebut seharusnya ditulis dengan huruf kapital
karena merupakan peristiwa sejarah. Contoh tersebut dapat direvisi
sebagai berikut.
127
Perbaikan
6a) ...kegiatan ini bertepatan dengan peringatan
hari Pendidikan Nasional agar adik-adik kita
yang berada di PAUD dapat mengetahui hari
bersejarah ini....
7a) Pada tanggal 22 April dunia internasional
telah memutuskan sebagai peringatan hari
Bumi Internasional.
Contoh (8a) kesalahan penggunaan huruf kapital pada agama, kitab
suci dan nama Tuhan termasuk kata gantinya
8a) ...tali silaturahmi serta perilaku yang sesuai
dengan syariat islam yang diawali dari
lingkungan terkecil....
9a) Media syiar islam dan mempererat ukhuwah
islamiah antar umat beragama muslim.
Huruf kapital digunakan pada huruf pertama nama agama. Huruf “i”
pada kata “Islam” seharusnya ditulis huruf kapital karena merupakan
nama agama. Contoh tersebut dapat direvisi sebagai berikut.
8a) ... tali silaturahmi serta perilaku yang sesuai
dengan syariat Islam yang diawali dari
lingkungan terkecil....
9a) Media syiar Islam dan mempererat ukhuwah
islamiah antar umat beragama muslim
b. Kesalahan Penggunaan Huruf Miring
Huruf miring digunakan dalam cetakan. Dalam tulis tangan atau
ketikan, huruf yang akan dicetak miring diberi garis bawah tunggal.
Kategori kesalahan penggunaan huruf miring ditemukan pada
proposal kegiatan di antaranya adalah penulisan istilah atau ungkapan
asing. Kesalahan penggunaan huruf tersebut dominan terjadi pada
latar belakang. Di bawah ini adalah contoh kesalahan tersebut.
1) ...mengajukan perlengkapan rescue guna
mendukung pelaksanaan kegiatan rutin dan
SAR, serta sebagai media publikasi.
2) pameran foto kegiatan Earth Day Action
yang telah dilaksanakan oleh Himpunan
Mahasiswa Pendidikan Biologi....
128
3) ...memiliki tiga tugas utama yaitu sebagai
akademisi, agent of change dan pengemban
amanat leluhur.
4) ...membongkar muatan yang mengandung
nilai stereotype dan mitos yang selalu
direproduksi oleh manusia.
Sesuai dengan PUEBI, istilah atau ungkapan asing harus ditulis
dengan huruf miring. Pada contoh di atas terdapat kesalahan ejaan di
antaranya adalah kata rescue, Earth Day Action, agent of change, dan
stereotype yang tidak ditulis dengan huruf miring. Contoh tersebut
dapat direvisi sebagai berikut.
Perbaikan
1) ...mengajukan perlengkapan rescue guna
mendukung pelaksanaan kegiatan rutin dan
SAR, serta sebagai media publikasi.
2) Pameran foto kegiatan Earth Day Action yang
telah dilaksanakan oleh Himpunan
Mahasiswa Pendidikan Biologi....
3) ...memiliki tiga tugas utama yaitu sebagai
akademisi, agent of change dan pengemban
amanat leluhur.
4) ...membongkar muatan yang mengandung
nilai stereotype dan mitos yang selalu
direproduksi oleh manusia
c. Kesalahan Penulisan Singkatan
Pada proposal kegiatan, kategori kesalahan penulisan kata terdiri
atas penulisan singkatan, penulisan kata depan dan penulisan
imbuhan. Kesalahan penggunaan huruf tersebut dominan terjadi pada
latar belakang. Di bawah ini adalah contoh kesalahan tersebut.
Contoh (1c) dan (2c) Kesalahan penulisan singkatan kata
1c) Segala puji bagi Allah swt, Rabb Yang Maha
Suci yang telah menunjukan....
2c) Tempat: Ruang 15 dan 16 (Biologi) Gedung 3
Fkip Universitas Jember
Pada contoh di atas terdapat kesalahan penulisan singkatan kata.
Kata-kata yang disingkat dengan menuliskan huruf depannya saja
penulisannya harus mengunakan huruf kapital. Contoh tersebut dapat
direvisi sebagai berikut.
Perbaikan (1c) dan (2c) berikut.
129
1c) Segala puji bagi Allah SWT, Rabb Yang
Maha Suci yang telah menunjukkan...
2c) tempat : Ruang 15 dan 16 (Biologi)
Gedung 3 FKIP Universitas Jember
d. Kesalahan penulisan kata depan (preposisi)
Contoh (1d) dan (2d) berikut ini.
1d) ...akan menyumbangkan kontribusi demi
kemajuan PGSD Universitas Jember kearah
yang lebih baik.
2d) ...bagi mahasiswa Pendidikan Fisikan kearah
perluasan wawasan dan kecakapan pribadi
siswa.
Pada contoh di atas terdapat kesalahan penulisan preposisi.
Penulisan kata depan (preposisi) ditulis terpisah dari kata yang
mengikutinya. Pada kata kearah, preposisi ke- seharusnya ditulis
terpisah karena bukan imbuhan. Contoh tersebut dapat direvisi
sebagai berikut.
Perbaikan (1d) dan (2d)
1d) ...akan menyumbangkan kontribusi demi
kemajuan PGSD Universitas Jember ke arah
yang lebih baik.
2d) ...bagi mahasiswa Pendidikan Fisikan ke arah
perluasan wawasan dan kecakapan pribadi
siswa.
e. Kesalahan penulisan kata berimbuhan
Beerikut contoh (1e) dan (2e).
1e) Maka dari itu di perlukan sarana dan
prasarana yang memadai sebagai penunjang
kegiatan operasi SAR.
2e) ...sehingga sarana ORAD dapat di gunakan
sebagaimana mestinya dalam waktu dekat.
Pada contoh di atas terdapat kesalahan penulisan kata
berimbuhan. Penulisan kata berimbuhan ditulis serangkai dengan kata
dasarnya. Bila bentuk dasar berupa gabungan kata, awalan atau
akhiran ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau
mendahuluinya. Jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata
mendapat awalan dan akhiran segaligus, maka unsur gabungan kata
ini ditulis serangkai. Imbuhan di- - kan ditulis serangkai dengan kata
dasarnya. Berikut adalah pembetulan contoh tersebut.
Perbaikan (1e) dan (2e)
130
1e) Maka dari itu diperlukan sarana dan prasarana
yang memadai sebagai penunjang kegiatan
operasi SAR.
2e) Besar harapan kami agar proposal kami dapat
ditindak lanjuti sebagaimana mestinya
sehingga sarana ORAD dapat digunakan
sebagaimana mestinya dalam waktu dekat.
4.7.2 Kesalahan Berbahasa Tataran Tanda Baca
Di dalam bahasa tulis, bahasa Indonesia memanfaatkan tanda baca
untuk memperjelas fungsi maupun maksud dari satuan bahasa yang
dituliskan. Dengan memanfaatkan tanda baca, penulis dipermudah untuk
mengungkapkan maksud dan mengatur tulisan. Berikut ini beberapa
bentuk kesalahan berbahasa dalam penggunaan tanda baca.
a. Tanda (:) digunakan untuk pemerian lebih dari dua
Contoh
Akhirnya, karena sudah capek memilih barang di
sepanjang Malioboro, kami hanya membeli dua
barang yakni: kemeja batik dan kaos.
Pada contoh tersebut, terdapat kesalahan penggunaan tanda (:).
Pada contoh tersebut ada dua pemerian dan tidak perlu menggunakan
tanda (:). Jadi, perbaikan dari kesalahan tersebut adalah sebagai
berikut.
Perbaikan
Akhirnya, karena sudah capek memilih barang di
sepanjang Malioboro, kami hanya membeli dua
barang yakni kemeja batik dan kaos.
b. Penggunaan tanda hubung (-) untuk makna “sampai dengan” atau
“sampai ke”
Contoh
Perjalanan Jember-Bali cukup lama karena libur
panjang meningkatkan animo masyarakat.
Pada contoh tersebut, terdapat penggunaan tanda baca yang
salah. Tanda hubung (-) bukanlah tanda untuk menyatakan “sampai
dengan” atau “sampai ke”. Apabila ingin menyatakan “sampai
dengan” atau “sampai ke”, penulis dapat menggunakan tanda pisah
(—). Perbaikannya menjadi sebagai berikut.
Perbaikan
Perjalanan Jember—Bali cukup lama karena libur
panjang meningkatkan animo masyarakat.
131
c. Ketidaktepatan penggunaan tanda Penyingkat atau Apostrof (‘)
Tanda penyingkat atau apostrof (‘) digunakan untuk penanda
penghilangan salah satu bagian kata/angka tahun. Contoh: Dia lahir di
tahun ’91. Perhatikan kesalahan yang terdapat dalam contoh berikut
ini.
Dia akan pergi ke luar kota bersama keluarganya
pada Jum’at depan.
Pada contoh di atas, terdapat penggunaan tanda apostrof (‘) yang
salah. Penggunaan dalam tanda apostrof (‘) dalam kata bercetak tebal
tersebut justru membuat penulisannya tidak baku karena fungsi
apostrof (‘) adalah untuk menandai bagian yang dihilangkan.
Seharusnya, ditulis sebagai berikut.
Perbaikan
Dia akan pergi ke luar kota bersama keluarganya
pada Jumat depan.
4.8 Rangkuman
Analisis kesalahan berbahasa merupakan sebuah metode prosedural
yang digunakan untuk menganalisis dan menyunting serta menemukan
penyebab kesalahan berbahasa tersebut terjadi. Dalam praktiknya,
kesalahan berbahasa terjadi dalam penggunaan bahasa di berbagai tataran
kebahasaan berdasarkan kaidah berbahasa yang baik dan benar. Kesalahan
berbagai tataran kebahasan tersebut meliputi: ejaan dan tanda baca,
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, wacana, pragmatik, dan lain-lain.
Analisis kesalahan berbahasa dalam dilakukan secara metodologis melalui
prosedur yang ilmiah. Parera (1993:7) berpendapat bahwa analisis
merupakan proses menjelaskan gejala-gejala alam dengan cara: (1)
membedakan, (2) mengelompokkan, (3) menghubung-hubungkan, (4)
mengendalikan, dan (5) meramalkan.
Ellis (dalam Tarigan dan Djago, 1990:170) mengungkapkan bahwa
analisis kesalahan berbahasa ialah suatu prosedur yang digunakan oleh
para peneliti dan para guru, yang meliputi pengumpulan sampel,
pengidentifikasian kesalahan yang terdapat dalam sampel, penjelasan
kesalahan tersebut, pengklasifikasian kesalahan itu berdasarkan
penyebabnya, serta pengevaluasian atau penilaian taraf keseriusan
kesalahan. Analisis kesalahan berbahasa adalah suatu proses yang
sistematis berupa pengumpulan data, pengidentifikasian penyebab
kesalahan, serta pengevaluasian taraf keseriusan kesalahan tersebut.
Analisis kesalahan berbahasa merupakan sebuah metode prosedural yang
digunakan untuk menganalisis dan menyunting serta menemukan
132
penyebab kesalahan berbahasa tersebut terjadi. Dalam praktiknya,
kesalahan berbahasa terjadi dalam penggunaan bahasa di berbagai tataran
kebahasaan berdasarkan kaidah berbahasa yang baik dan benar. Kesalahan
berbagai tataran kebahasan tersebut meliputi: ejaan dan tanda baca,
fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, wacana, pragmatik, dan lain-lain.
Analisis kesalahan berbahasa dalam dilakukan secara metodologis melalui
prosedur yang ilmiah. Parera (1993:7) berpendapat bahwa analisis
merupakan proses menjelaskan gejala-gejala alam dengan cara: (1)
membedakan, (2) mengelompokkan, (3) menghubung-hubungkan, (4)
mengendalikan, dan (5) meramalkan.
Ellis (dalam Tarigan dan Djago, 1990:170) mengungkapkan bahwa
analisis kesalahan berbahasa ialah suatu prosedur yang digunakan oleh
para peneliti dan para guru, yang meliputi pengumpulan sampel,
pengidentifikasian kesalahan yang terdapat dalam sampel, penjelasan
kesalahan tersebut, pengklasifikasian kesalahan itu berdasarkan
penyebabnya, serta pengevaluasian atau penilaian taraf keseriusan
kesalahan. Analisis kesalahan berbahasa adalah suatu proses yang
sistematis berupa pengumpulan data, pengidentifikasian penyebab
kesalahan, serta pengevaluasian taraf keseriusan kesalahan tersebut.
4.9 Bahan Diskusi
Berdasarkan berbagai bentuk kesalahan berbahasa yang telah
Saudara pelajari, coba cermati factor-faktor apakah yang secara signifikan
menyebabkan kesalahan tersebut terjadi? Bagaimana pandangan solutif
Saudara untuk meminimalisasi kesalahan berbahasa!
4.10 Daftar Rujukan
Ayuningtyas, Setyo. 2017. Kesalahan Semantis Pada Teks Pidato Karya
Siswa Kelas X SMA Negeri Darus Sholah Singojuruh. (Skripsi) tidak
diterbitkan. Universitas Jember
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta
Diana, Rara Diyah Ayu Candra. 2015. Kesalahan Berbahasa pada
Proposal Kegiatan Ormawa Periode 2014 Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Jember. (Skripsi) tidak diterbitkan.
Universitas Jember.
133
Djajasudarma, Fatimah. 2012. Semantik 1: Makna Leksikal dan
Gramatikal. Bandung: PT Refika Aditama.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta. Gramedia.
Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif
Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Parera, Jos Daniel. 1993. Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa. Jakarta:
Gramedia.
Pramala, Yemima Sana. 2017. Kesalahan Penggunaan Preposisi dan
Konjungsi pada Teks Cerita Ulang Biografi Karya Siswa Kelas XI
SMKN 5 Jember. (Skripsi) tidak diterbitkan. Universitas Jember
Ramlan, M. 1985. Morfologi:Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CW
Karyono.
Ramlan, M. 1985. Tata Bahasa Indonesia: Penggolongan Kata.
Yogyakarta: Andi Offset.
Ramlan, M. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: C.V.
Karyono
Setyawati, Nanik. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia.
Surakarta: Yuma Pustaka
Sutarna, dkk. 1998. Morfologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Syukron, Ahmad. 2012. Ketidakkonsistenan Fonologis Bahasa Indonesia
dalam Persidangan di Pengadilan Tipikor. (Makalah) tidak
diterbitkan. Universitas Jember.
Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. 1990. Pengantar Analisis
Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa
Tarigan, Henry Guntur H. 1997. Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta:
Depdikbud.
134
Weinreich. 1993. Pengantar Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
Verhaar, J.W.M. 2006. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
4.11 Latihan Soal
Kerjakanlah latihan soal berikut dengan seksama!
1. Amatilah penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik dan
analisislah penggunaan aspek ejaan dan tanda baca, diksi, kalimat
efektif, paragraf, dan wacana dalam ruang publik tersebut!
2. Pilih salah satu tugas kuliah kalian (makalah, esai, artikel, dan lain-
lain) untuk dianalisis dari penggunaan aspek ejaan dan tanda baca,
diksi, kalimat efektif, paragraf, dan wacana dalam tugas-tugas
tersebut!
135
BAB 5. MENULIS KARYA ILMIAH
5.1 Pengantar
Menulis karya ilmiah sering kali menjadi momok bagi mahasiswa.
Masalah waktu, banyaknya agenda perkuliahan dan organisasi, kendala
sarana dan prasarana teknis menjadi alasan rendahnya produktivitas
mahasiswa khususnya karya tulis ilmiah. Begitu pula bagi mahasiswa
pasca seminar proposal. Dalam penyelesaian laporan penelitiannya,
mahasiswa acap kali membutuhkan waktu yang relatif lama. Hal itu
disebabkan oleh minimnya keterampilan menulis mahasiswa.
Menulis merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa,
di antaranya menyimak, membaca, dan berbicara. Menulis merupakan
keterampilan produktif lanjutan dan biasanya merupakan bentuk ekspresi
dari kegiatan menyimak dan/atau membaca. Hingga kini, keterampilan
menulis masih menjadi masalah di Indonesia.
Keterampilan menulis, terlebih menulis karya ilmiah perlu
dilatihkan secara terus menerus dan bertahap kepada mahasiswa hingga
menjadi sebuah budaya akademis yang bergengsi tinggi. Semakin tinggi
kuantitas keterampilan, maka semakin berpotensi keterampilan tersebut
memiliki kualitas yang tinggi pula. Sebagai sebuah keterampilan berbahasa
mahasiswa—dalam hal ini menulis—perlu diasah dan dikembangkan.
Dalam proses pembelajaran, praktik-praktik menulis niscaya untuk
diabaikan. Sangat mustahil bagi mahasiswa untuk mampu menulis dengan
baik bila dalam proses belajarnya tidak diikuti oleh aktivitas-aktivitas
menulis.
Dalam bab ini, mahasiswa akan mempelajari hakikat menulis dan
hakikat karya tulis ilmiah, membaca dalam intelektualisasi pikiran dan
karya kaitannya dalam menyiapkan bahan tulisan, tiga pilar keilmuan
dalam karya tulis ilmiah, sistematika karya tulis ilmiah, teknik pengutipan,
serta tips menghindari plagiarisme. Menurut Peterson (1980), “Seperti
halnya dengan sebuah percobaan, tulisan harus didasarkan atas organisasi
Kemampuan Akhir yang Diharapkan (KAD)
Mahasiswa mampu menerapkan bahasa ilmiah dengan
memperhatikan tiga pilar keilmuan karya tulis ilmiah, sistematika
karya tulis ilmiah, dan teknik pengutipan sumber referensi dalam
praktik menulis karya ilmiah.
136
yang mantap dan rapih: Organisasi yang baik merupakan kunci tulisan
yang baik”. Materi-materi berikut dibutuhkan dalam pengorganisasian ide
karya tulis ilmiah sehingga tulisan memenuhi sifat-sifat keilmiahan, jelas,
tepat, rasional dan mudah dibaca atau ditafsirkan oleh pembaca.
5.2 Hakikat Menulis
Menulis merupakan sebuah aktivitas yang kompleks yang
melibatkan aktivitas kognitif-kreatif. Dalam subbab ini akan dibahas
hakikat menulis sebagai produk dan proses kreatif serta proses dalam
menulis karya tulis ilmiah. Agar terhindar dari aktivitas menulis yang tidak
terarah, Saudara perlu memperhatikan hal-hal berikut ini.
5.2.1 Menulis sebagai Produk
Menulis sebagai produk bermakna hasil dari aktivitas menulis itu
sendiri yang berupa tulisan (teks). Tulisan ialah sebuah ungkapan ide,
gagasan, pemikiran melalui proses berpikir kritis-kreatif dengan kaidah-
kaidah gramatika. Teks lebih diperhatikan dalam hal tata bahasa dan
kalimat sebagai pembentuk wacana. Menulis sebagai produk berfokus
pada hasil akhir yakni teks yang jauh dari kekeliruan dan kesalahan.
Bahasa tulis relatif lebih mudah diatur dan memungkinkan adanya
pengecekan dan perbaikan bila terjadi kekeliruan. Hal tersebut
mengakibatkan penyampaian informasi dalam bahasa tulis dapat lebih
sistematis dibandingkan bahasa lisan.
Tulisan yang baik ialah tulisan yang mudah dibaca dan dipahami.
Kemudahan tersebut diperoleh dari baiknya pengorganisasian ide tulisan
dan kesederhanaan bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, penulis
dituntut kreatif dalam mengolah ide dan bahasa dalam menyajikan
masalah, merencanakan dan mengembangkan tulisan, serta
menyempurnakan tulisannya.
5.2.2 Menulis sebagai Proses Kreatif
Menulis sebagai proses kreatif memiliki makna bahwa menulis
merupakan sebuah aktivitas berpikir (bernalar). Penulis yang mampu
mengorganisir daya nalarnya dengan baik, pastilah mampu menulis dengan
baik. Begitu pula sebaliknya. Tchudy mengemukakan bahwa “bernalar
merupakan dasar dalam kegiatan menulis. Siswa harus menyeleksi dan
mengorganisasikan informasi untuk kemudian merepresentasikannya
kembali dalam urutan yang logis” (Crawley, 1988:200).
Menulis merupakan aktivitas produktif sekaligus kreatif. Melalui
aktivitas produktif kreatif kalimat-kalimat diciptakan dan dirangkai hingga
mencerminkan sebuah gagasan yang utuh. Penulis mengembangkan
137
tulisannya berdasarkan daya pikirnya untuk menciptakan kalimat-kalimat
yang sesuai dengan pemikirannya. Akan tetapi, melalui aktivitas menulis
pula, keterampilan berpikir dan bernalar terus berkembang karena
skemata-skemata pengetahuan penulis mengalami aktualisasi dan revisi-
revisi. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Hadis (1995) bahwa
“belajar berpikir dapat dilakukan melalui kegiatan menulis atau
mengarang. Menulis karangan mendorong anak untuk berpikir terlebih
dahulu sebelum menuliskan karangannya.”
Nunan (dalam Tim, 2007:125) selanjutnya memaparkan tahap-tahap
menulis yakni tahap prapenulisan, tahan penulisan dan tahap
penyempurnaan. Pada tahap prapenulisan terdapat kegiatan
mengembangkan pengetahuan awal, memilih topik yang tepat,
mempertimbangkan jenis pembaca, memutuskan teknik yang akan
digunakan, menemukan gagasan-gagasan terkait topik, melakukan
penelitian, dan mengorganisasikan pikiran (nalar). Pada tahap penulisan
terdapat kegiatan menuangkan ide ke dalam tulisan tanpa kekhawatiran
adanya kesalahan tata bahasa, ejaan, dan sebagainya untuk selanjutnya
dibacakan kepada orang lain untuk memberikan masukan-masukan. Tentu
pada tahap ini, format yang digunakan ialah sistematika yang jelas dan
memudahkan orang lain dalam memberikan masukan. Pada tahap
penyempurnaan terdapat kegiatan perbaikan hal-hal atau bagian-bagian
yang mendapatkan masukan. Pada tahap ini draf tulisan harus dibaca
berulang-ulang untuk menemukan hal-hal atau bagian-bagian yang
memang dirasa perlu dan masukan yang diperoleh memanglah tepat.
Terakhir ialah menulis kembali draf tulisan dengan mempertimbangkan
masukan yang diperoleh.
5.2.3 Proses Menulis Karya Ilmiah
Menulis sebagai proses berpikir (kognitif) dalam penulisan karya
tulis ilmiah ketidaknya dilakukan dengan empat tahapan berikut (Tim,
2007:124).
a. Tahap persiapan (prapenulisan)
Penulis merencanakan, menyiapkan diri, mengumpulkan dan
mencari informasi, merumuskan masalah, menentukan arah dan fokus
tulisan, mengolah informasi, menafsirkan dan inferensi terhadap
realitas, mendiskusi topik, membaca, mengamati, melakukan survei,
dan lain-lain yang akan memperkaya kognitifnya untuk diproses pada
tahap selanjutnya.
138
b. Tahap inkubasi
Penulis memproses informasi sedemikian rupa dalam upaya
pemecahan masalah dan pencarian solusi secara kognitif sebagai
implikasi dari perluasan pikiran. Tahap ini dapat berlangsung sekian
detik atau bertahun-tahun bergantung kemampuan penulis dalam
mengolah segala informasi yang dimilikinya. Tak jarang pada tahap
ini penulis merasa frustasi akibat kebingungan dalam memaknai dan
mensintesiskan segala informasi yang diperoleh. Pada tahap ini,
sangat disarankan penulis berdiskusi atau meminta pandangan orang
lain untuk menjaga motivasinya dalam menulis karena pada dasarnya-
-di alam bawah sadar penulis--data-data yang diinkubasikannya telah
siap untuk dituliskan.
c. Tahap iluminasi
Pada tahap ini, penulis mendapatkan inspirasi (insight) berupa
gagasan yang muncul secara tiba-tiba layaknya eureka. Eureka ialah
suatu keadaan penemuan, penyadaran, pemahaman secara kognitif
seperti keadaan ketika kita berkata “Aha!”, “Oh, aku tahu!”, “Oh,
ya!”, “Itu dia”, dan sebagainya. Ketika iluminasi ini terjadi, penulis
harus segera mencatat atau menuliskannya agar tidak hilang dan
menguap begitu saja karena biasanya datang begitu cepat, tanpa sadar,
dan tak terduga. Keadaan ini merupakan peristiwa kognitif alam
bawah sadar manusia yang akhirnya muncul dalam alam sadar
sebagai titik temu dari berbagai data dan upaya nalar kognitif.
d. Tahap verifikasi (evaluasi)
Pada tahap ini penulis memeriksa kembali apa-apa yang terjadi
pada tahap sebelumnya (tahap inkubasi dan iluminasi) untuk
kemudian menyusunnya sesuai tujuan dan fokus karya tulis ilmiah
yang diinginkan. Penulis juga dapat menghilangkan hal-hal yang
dianggap tidak perlu atau tidak penting; menambah hal-hal yang
belum terpikirkan sebelumnya atau hal yang belum ada; memeriksa
diksi dan istilah-istilah agar lebih tepat, memeriksa kalimat serta
konsep-konsep yang disajikan. Penulis juga harus membandingkan
ulang hal yang ditulisnya dengan realitas yang ada secara kontekstual
seperti sosial, budaya, nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Di
sinilah penulis dituntut memiliki keterampilan, kepiawaian, ketelitian,
dan kreativitasnya dalam menulis.
139
5.3 Keterampilan Membaca dalam Intelektualisasi Pikiran dan
Karya
Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa reseptif
setelah keterampilan menyimak. Membaca merupakan suatu kegiatan fisik
dan psikologis (kognitif) dalam mengidentifikasi lambang atau simbol
bahasa (grafologi) untuk menemukan makna atau informasi dalam sebuah
teks atau tulisan. Sebagai aktivitas psikologis, membaca dapat dijadikan
jalan dalam mengembangkan daya nalar seseorang. Melalui membaca,
seseorang dapat mengambil informasi-informasi atau pesan sehingga
menambah perbendaharaan skemata pengetahuannya. Tampubolon
(1987:6) menyatakan bahwa “membaca adalah seuatu kegiatan atau cara
dalam mengupayakan pembinaan daya nalar”.
Berdasarkan uraian di atas, membaca merupakan aktivitas aktif-
interaktif. Dengan membaca, pembaca berusaha memaknai kata demi kata
dan mengaitkan maksudnya hingga menemukan dan menyimpulkan hal
yang dibacanya. Pembaca tidak hanya berusaha mengikuti jalan pikiran
penulis teks, melainkan juga untuk merespon (menyetujui-tidak
menyetujui) hal yang dikemukakan penulis (Tim, 2007:194).
5.3.1 Membaca dan Proses Berpikir
“Teori Schema menyatakan bahwa pengetahuan manusia tentang
dunia terhimpun atau tersusun dalam suatu struktur yang saling
berhubungan yang disebut skemata (schemata)” (Rumelhart dalam
Massofa, 2012). Pembaca akan menggunakan skematanya dalam
memaknai teks yang dibacanya berdasarkan pengetahuan dan
pengalamannya dengan realitas. Pada proses tersebut terjadi penyesuaian,
pemeriksaan, dan perubahan-perubahan skemata sesuai proses kognitifnya
saat memahami teks yang dibaca. Misalnya, ketika kita membaca teks
dengan topik kebangsaan, skemata kita akan menghubungkan teks dengan
pemahaman dan realitas kebangsaan masyarakat dan relasinya dengan
negara dan sebagainya yang telah ada sebelumnya dalam kognitif
pembaca.
Melalui proses membaca, pembaca akan mengambil informasi baru
dan menempatkannya pada jaringan skemata sebagai bangunan skemata
yang permanen. Dengan demikian, ruang pengetahuan pembaca (skemata)
akan termodifikasi sesuai kebutuhan dan kapasitas bernalar pembaca. Saat
itulah proses akomodasi dan asimilasi yang dimaksud oleh Piaget terjadi.
Oleh karena itu, bila dosen meminta mahasiswa untuk pramembaca di
awal perkuliahan, hal itu semata-mata agar mahasiswa dapat menata
sumber referensi, mengukur kesenjangan pengetahuan, dan
140
mempersiapkan proses akomodasi (penyesuaian) skemata pengetahuan
mahasiswa.
5.3.2 Teknik Membaca
Secara umum, seorang mahasiswa harus menguasai dua teknik
membaca yakni membaca cepat dan membaca kritis. Membaca cepat ialah
kegiatan membaca untuk memperoleh informasi atau pesan penulis secara
cepat. Membaca kritis ialah kegiatan membaca secara kritis dalam
menyerap dan memahami informasi sekaligus memberikan tanggapan
terhadap teks yang dibacanya baik secara lisan maupun tertulis (Tim,
2007:194). Dalam membaca cepat terdapat dua teknik yang dapat
digunakan oleh mahasiswa yakni skimming dan scanning, sedangkan
teknik yang dapat digunakan dalam membaca kritis ialah teknik KWHL
dan SQ3R.
a. Teknik membaca skimming
“Teknik membaca skimming adalah proses membaca cepat dalam
mencari fakta” (Wiener dan Bazerman, 1978:65). Pembaca yang
menggunakan teknik skimming harus dapat memilih kalimat yang
memungkinkan tersedianya nformasi yang dibutuhkan. Teknik ini
sangat sesuai bagi pembaca yang memiliki sedikit waktu, tetapi ingin
mengetahui secara cepat informasi umum teks. Oleh karena itu,
Mikulecky (1990) menyatakan “skimming...memerlukan kemampuan
memproses teks secara tepat...”. skimming membutuhkan pengetahuan
tentang organisasi teks, kata kunci (key word), kemampuan
menentukan kalimat utama, dan menemukan kalimat-kalimat teoritis
atau prior.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam membaca skimming ialah
sebagai berikut.
1) Pembaca harus menentukan informasi-informasi yang harus
ditemukan dalam teks.
2) Pembaca perlu membaca abstrak beserta kata kunci untuk
mendapatkan pengetahuan awal tentang teks yang akan
dibacanya.
3) Pembaca harus membaca kata per kata dan kalimat-kalimat
secara cepat. Tinggalkan kalimat dan paragraf yang pembaca
anggap tidak bersesuaian dengan tujuan membaca.
4) Pembaca memusatkan perhatian kepada frasa-frasa atau kalimat
yang mengandung kata kunci untuk mendapatkan gagasan utama
teks.
141
5) Pembaca harus mengingat kebutuhan informasi yang harus
ditemukan dalam proses skimming.
6) Jika pembaca menemukan kalimat-kalimat yang memungkinkan
adanya informasi yang dibutuhkan, maka pembaca perlu
memperlambat proses skimming.
7) Pembaca wajib membaca penutup yang biasanya berisi simpulan
dari topik yang dituliskan.
b. Teknik membaca scanning
Scanning merupakan teknik membaca cepat yang bertujuan
untuk menemukan informasi-informasi atas konsep yang bersifat
khusus. Contohnya mencari tanggal lahir pada buku biografi; mencari
nomer telepon , mencari arti kata di kamus, mencari nama jalan di
peta, dan sebagainya. Membaca teknik scanning dapat dilakukan
dengan memusatkan diri untuk hanya membaca sesuai kebutuhan
dengan memperhatikan bagian yang dianggap penting. Teknik ini
dapat dilakukan lebih cepat dibanding skimming, tetapi skimming
lebih komprehensif dibanding scanning.
Teknik skimming dan scanning dapat dilakukan secara
bersamaan disesuaikan kebutuhan pembaca. Kedua teknik ini sangat
cocok digunakan ketika mahasiswa dituntuk membuat
ringkasan/sinopsis buku. Mahasiswa dapat menggunakan teknik
skimming ketika mencari masalah, topik, dan uraian yang diperlukan,
sedangkan scanning dapat digunakan untuk menemukan kata khusus.
c. Teknik membaca KWLH
Teknik membaca KWLH diperkenalkan oleh Florence (1997)
sebagai singkatan dari kata Know (apa yang telah diketahui?), Want
(apa yang hendak diketahui?), Learn (apa yang telah
dipelajari/diketahui?), dan How (bagaimana cara mendapatkan pesan
baru yang diperlukan?). Dalam teknik ini, pembaca harus terlebih
dahulu mengingat pengetahuan awal yang telah diketahui sebelumnya
(know), kemudian membayangkan atau menentukan apa yang ingin
diketahui (want), membaca, lalu mengetahui apa yang telah diperoleh
dari aktivitas membaca tersebut (learn), dan menentukan hal-hal yang
masih perlu diketahui lebih lanjut (how).
d. Teknik membaca SQ3R
Teknik membaca SQ3R diperkenalkan oleh Robinson (1961)
sebagai singkatan dari Survey (meninjau), Question (menanya), Read
(membaca), Recite (menyatakan kembali secara lisan, dan Review
(membaca ulang). Survey (meninjau) dilakukan dengan cara membaca
untuk mendapatkan gambaran keseluruhan tentang hal yang
142
terkandung dalam bahan bacaan. Pada tahap ini, pembaca perlu
memperhatikan judul utama tulisan, sub-sub judul bacaan, gambar
atau ilustrasi, grafik, pendahuluan, isi, dan bagian akhir buku.
Question (menanya) dilakukan dengan membuat beberapa pertanyaan
terkait informasi yang ingin diperoleh pembaca dari bahan.
Pertanyaan-pertanyaan yang disusun tersebut nantinya akan menjadi
panduan hal-hal yang harus diperoleh dari proses membaca bahan.
Read (membaca) ialah kegiatan aktif menemukan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuat pembaca sebelumnya pada
tahap question. Pada tahap ini, pembaca perlu mengembangkan
pemahaman-pemahamannya terhadap persoalan-persoalan tambahan
yang muncul sebagai konsekuensi akomodasi pengetahuan dalam
skematanya. Recite (menyatakan kembali secara lisan) ialah aktivitas
mengingat kembali informasi-informasi yang terdapat pada bacaan.
Pembaca harus mampu mengidentifikasi dan menjawab persoalan-
persoalan yang dicoba dijawab dengan membaca bahan tanpa melihat
kembali bahan yang dibacanya. Pada tahap ini, skemata yang baru
dimantapkan. Review (membaca ulang), dilakukan untuk membentuk
sikap berpikir kritis terhadap apa yang dibaca pembaca. Pada tahap
ini, pembaca membaca bagian-bagian tertentu untuk mencocokkan
jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dibuat pada tahap
sebelumnya (Tim, 2007:197-198).
5.3.3 Membaca Karya Ilmiah
Membaca karya ilmiah sedikit berbeda dengan membaca bahan
bacaan nonilmiah. Membaca karya ilmiah menuntut ketelitian,
perbendaharaan istilah-istilah teknis, dan penalaran yang lebih dalam. Hal
tersebut disebabkan oleh jenis informasi yang ada dalam karya ilmiah
biasanya berupa informasi yang berhubungan dengan penelitian dari
berbagai bidang ilmu.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membaca karya ilmiah ialah
sebagai berikut:
a. membaca abstrak terlebih dahulu untuk mengembangkan pengetahuan
umum pembaca;
b. mengidentifikasi struktur karya tulis ilmiah. Dalam artikel jurnal,
biasanya memiliki struktur IMRD yaitu abstrak diikuti pendahuluan
(Introduction), metode (Method), hasil (Result), dan diskusi
(Discussion). Masing-masing struktur tersebut memiliki ciri yang
mudah dikenali. Misalnya, pendahuluan selalu mengangkat masalah,
pentingnya masalah diselesaikan, dan kebaruan (state of the art) dari
143
penelitian yang dilakukan. Metode membahas cara kerja dan teknis
penelitian. Hasil ialah uraian data. Diskusi merupakan paparan
pembahasan data melalui sebuah pendekatan dan teori tertentu hingga
simpulan;
c. membaca secara antisipatif ciri-ciri konvensional tersebut untuk
mencapai pemahaman dengan lebih cepat; dan
d. berpindah kepada data-data visual yang lebih lengkap dalam karya
ilmiah.
5.4 Hakikat Karya Tulis Ilmiah
Pengertian karya ilmiah/karya tulis ilmiah (KTI) adalah tulisan yang
mengungkapkan buah pikir penelitian dan pengamatan suatu objek yang
memiliki sifat-sifat keilmiahan yakni sistematis, objektif, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Karya tulis ilmiah dapat berupa artikel, makalah,
proposal/laporan penelitian, dan esai. Penulisan karya ilmiah ditujukan
untuk perluasan ilmu (disseminasi) hasil penelitian atau kajian agar
diketahui oleh khalayak luas (masyarakat) khususnya peneliti dan
akademisi yang memiliki persamaan fokus bidang kajian untuk pengkajian
ulang, penelaahan lebih lanjut, dan pengujian teori. Oleh karena itu,
implikasi dari penulisan karya ilmiah biasanya berupa seminar atau diskusi
atau dapat pula lokakarya. Dalam hal ini, semakin multiinterdisipiner ilmu
yang digunakan dalam kajian, semakin tinggilah potensi dan
kebermanfaatannya bagi perkembangan ilmu masyarakat.
Karya tulis ilmiah ialah karya yang disusun berdasarkan hasil
penelitian dengan disertai data-data dan pengkajian teoritis. Karya tulis
ilmiah bukanlah karya imajinatif dan kreasi kata-kata seperti halnya karya
sastra. Ciri-ciri karya tulis ilmiah yang baik, memiliki aspek2 sebagai
berikut.
a. Bahasa yang digunakan merupakan bahasa ilmiah (Periksa Bab 3).
b. Karya tulis memiliki aspek ontologis, epistimologis, dan aksiologis
yang jelas (akan diuraikan pada subbab selanjutnya).
c. Karya tulis memiliki otentisitas dan orisinalitas (keaslian).
d. Karya tulis emenuhi aspek kebaruan atau kemutakhiran ilmu (state of
art). State of the art dapat berada dalam metodologi penelitian, topik
dan objek penelitian, teori yang digunakan, dan kontribusi penelitian
yang baru (novelty) bagi ilmu pengetahuan secara luas. State of the
art selain memberikan nilai unggul bagi karya tulis ilmiah, tetapi juga
strategi agar terhindar dari plagiarisme ide dan redundansi penelitian.
e. Karya tulis memiliki kebermanfaatan yang tinggi (penting) bagi
khalayak luas dan perkembangan ilmu pengetahuan.
144
f. Karya tulis disusun secara sistematis artinya ada keruntutan antara
bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
g. Bahasa atau istilah yang digunakan dalam karya tulis ilmiah harus
konsisten atau ajeg, artinya tidak menggunakan diksi yang berbeda-
beda atau beragam, misalnya intelek, intelektual, intelektualitas
karena masing-masing kata memiliki makna yang berbeda konteks
penggunaannya. Penggunakan kata yang tidak konsisten akan
mengakibatkan biasnya pemahaman pembaca dan gagalnya
pemahaman pembaca karya tulis ilmiah.
5.4.1 Bagian-bagian Karya Tulis Ilmiah
Karya tulis ilmiah memiliki bagian-bagian yakni abstrak atau
ringkasan, masalah penelitian, tujuan penelitian, objek penelitian, tinjauan
teoritis, metode penelitian, hasil penelitian, dan manfaat penelitian. Berikut
dijelaskan bagian-bagian yang dimaksud.
a. Abstrak dan Ringkasan
Abstrak merupakan hasil pengabstraksian (esensi) penelitian atau
kajian yang sedang dibicarakan dalam karya tulis ilmiah. Abstrak
biasanya terdapat pada artikel jurnal dan menjadi syarat formal
diterimanya naskah untuk publikasi. Abstrak dalam artikel ilmiah
yang berbahasa Indonesia ditulis dalam bahasa Inggris, sedangkan
abstrak yang artikel ilmiahnya berbahasa Inggris ditulis menggunakan
bahasa Indonesia. Kebijakan ini dilakukan untuk kebermanfaatan,
penyebarluasan ilmu, dan penyetaraan bahasa. Bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris harus mampu dipahami dan didudukkan secara bijak
dan arif. Dalam konteks penulisan karya tulis ilmiah, bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris sama-sama memiliki peran sebagai
penghela ilmu pengetahuan (setara). Abstrak artikel berbahasa Inggris
yang menggunakan bahasa Indonesia secara politis dilakukan agar
masyarakat dunia mengetahui bahasa Indonesia secara internasional.
Bahasa abstrak harus mampu menjembatani bahasa atau objek-
objek ilmiah dengan masyarakat ilmiahnya. Abstrak yang merupakan
abstraksi penelitian harus menggunakan kosakata-kosakata yang
formal dan teknis. Informasi-informasi dalam penelitian harus dapat
dikemukakan secara menarik dan jelas. “Abstraksi merupakan
manifestasi dari “obyektifikasi,” yaitu representasi dari aksi, peristiwa
dan kualitas, seolah itu semuanya adalah obyek atau benda ...
Abstraksi bukan hanya sekedar menjadi bentuk-bentuk alternatif dari
makna-makna yang sama, melainkan juga “membangun pengalaman
145
yang berbeda di mana di dalamnya terjalin hubungan-hubungan
antarmakna” (Halliday dan Martin dalam Mirahayuni 2018:1).
Setidaknya pada abstrak memuat secara singkat tujuan dan
pemikiran dasar penelitian (mengapa penelitian tersebut diakukan?),
metode (bagaimana peneliti melakukan penelitian tersebut?), hasil
penelitian (temuan), dan simpulan (makna penelitian tersebut). Dalam
abstrak tidak boleh mengulang kata-kata dalam judul, informasi, dan
simpulan di luar artikel yang telah ditulis, merek dagang, dan
singkatan kecuali nanti akan disebutkan penjelasannya, serta tidak
boleh menyebut merek dagang. Dalam abstrak tidak perlu ada
pengacuan pada pustaka, gambar, dan tabel.
Penyajian abstrak diletakkan sebelum pendahuluan setelah judul
dan identitas penulis. Penulisan abstraksi dapat dilakukan secara
kualitatif (abstrak indikatif) atau informatif (abstrak informatif).
Abstrak ditulis dalam jarak satu spasi dan hanya satu paragraf rata kiri
dan kanan. Kata abstrak ditulis dalam huruf kapital tebal
(ABSTRAK/ABSTRACT) diletakkan di posisi tengah secara
horizontal. Panjang abstrak maksimal 250 kata dan tidak lebih dari
satu halaman. Pada bagian akhir abstrak terdapat kata kunci (key
words) terdiri atas 3 sampai 5 kata atau frasa yang menjadi objek atau
visualisasi (isyarat) masalah pokok dan hal yang dibahas dalam
artikel. Kata kunci diperlukan untuk komputerisasi sistem informasi
ilmiah. Dengan kata kunci dapat ditemukan dengan mudah judul-
judul artikel ilmiah, skripsi, tesis, atau disertasi beserta abstraknya.
Ringkasan (summary) adalah penyajian secara singkat bagian-
bagian dari substansi karya ilmiah. Karya ilmiah yang memuat
ringkasan adalah laporan penelitian; laporan kegiatan mahasiswa; dan
laporan tugas akhir mahasiswa program diploma, skripsi, tesis, dan
disertasi. Ringkasan umumnya mengurai latar belakang secara
singkat, tujuan penelitian, metode penelitian, hasil penelitian, dan
simpulan. Ringkasan ditulis dalam bahasa Indonesia dan dapat
diterjemahkan dalam bahasa Inggris tidak lebih dari 600 kata atau
setara dengan 2 halaman ukuran kuarto dengan jarak antarbaris 1,5
spasi.
b. Pendahuluan
Bagian pendahuluan, pertama, memuat latar belakang masalah
yang menjelaskan bukti data dan fakta empiris yang merupakan
pengalaman peneliti dan/atau pengalaman (penelitian) orang lain.
Biasanya masalah yang diangkat merupakan masalah yang dihadapi
oleh khalayak luas atau menjadi topik terkini yang menarik untuk
146
dicari jawabnnya melalui sebuah penelitian. Masalah biasanya muncul
akibat adanya perbedaan antara apa yang seharusnya ada (pandangan
dunia yang ideal) dan apa yang ada dalam kenyataan (data), antara
yang dibutuhkan dengan yang tersedia, atau antara harapan dan
kenyataan. Untuk itu, latar belakang sebaiknya memberikan tantangan
riset atau penelitian yang dapat menjawab masalah. Argumen-
argumen dan data-data penelitian pendukung sangat perlu diajukan
guna mendukung rumusan masalah penelitian. Kedua, tujuan
penelitian yang menjelaskan target atau capaian penelitian. Ketiga,
manfaat penelitian yang mampu menyentuh ranah teoritis dan praktis.
Antara latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan manfaat
haruslah memiliki konsistensi dan kerunutan. Kerunutan dan
konsistensi penelitian dapat dilihat pada matrik penelitian. Contoh
Tabel 5.1 Matrik Penelitian
Judul
Penelitian
Rumusan
Masalah
Tujuan Penellitian Manfaat
Penelitian
Metodologi
Penelitian
Hasil dan
Pembahasan
Simpulan Pustaka
Nilai
Kebangsaan
dalam Karya
Sastra
Hamka
(1930-1962)
1) Bagaimanakah
lapis objek,
lapis, arti, dan
lapis metafisis
yang terdapat
dalam karya-
karya Hamka?
2) Bagaimanakah
analisis nilai
kebangsaan
karya sastra
Hamka
1) untuk
mendeskripsikan
lapis objek, lapis,
arti, dan lapis
metafisis yang
terdapat dalam
karya-karya
Hamka?
2) untuk
mendeskripsikan
nilai-nilai
kebangsaan karya
sastra Hamka
1) bagi dosen
dan
mahasiswa
2) bagi
peneliti
3) bagi
perkemban
gan teori
sastra
Jenis dan
rancangan
penelitian:
deskriptif-
kualitatif
menggunakan
pendekatan
struktural
1) deskripsi lapis
objek, lapis,
arti, dan lapis
metafisis yang
terdapat dalam
karya-karya
Hamka?
2) deskripsi nilai-
nilai
kebangsaan
karya sastra
Hamka
Karya
sastra
Hamka
(1930-
1962) sarat
akan nilai-
nilai
kebangsaan
(referensi
yang
mampu
menjawab
rumusan
masalah)
147
148
Perhatikan contoh matrik penelitian di atas. Bacalah baik-baik
dan temukan linieritas, konsistensi, dan kerunutan fokus
penelitiannya. Semakin jelas arah dan logika pemikiran suatu
penelitian, maka semakin mudah penellitian tersebut dipahami oleh
pembaca. Karya tulis ilmiah harus disusun secara baik, apik, jelas, dan
terperinci agar pembaca mampu mengikuti alur dan mengambil
informasi penelitian.
c. Tinjauan Teoritis
Tinjauan teoritis atau yang disebut pula dengan tinjauan pustaka
atau kajian pustaka atau telaah pustaka atau juga landasan teori adalah
bagian karya tulis ilmiah yang khusus menerangkan teori-teori yang
digunakan dan mendukung penelitian. Bagian ini adalah bagian yang
amat penting dan menjadi penentu kejelasan penelitian. Perumusan
definisi operasional juga tidak dapat terlepas dari bagian ini.
Karya tulis ilmiah yang merupakanuraian atau laporan deskriptif
terkait kegiatan-kegiatan ilmiah (identifikasi, klasifikasi, analisis, dan
penyimpulan) harus bertitik pangkal pada khasanah ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, penelitian harus berangkat dari
pengkajian teoritis berdasarkan fakta dan data, dikembangkan secara
toritis sistematis melalui metode-metode yang tepat, dan harus
berpotensi memperkaya teori-teori yang ada. Semakin banyak teori
relevan yang digunakan sebagai dasar berpijak, semakin mantap
penelitian tersebut dilakukan.
d. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian adalah serangkaian langkah-langkah atau
tahapan terkait proses atau cara yang digunakan untuk mendapatkan
data-data penelitian sekaligus menganalisis secara teoritis data
penelitian. Metodologi penelitian harus mampu mencerminkan
pendekatan yang digunakan dalam penelitian. Pendekatan dapat
ditulis baik secara eksplisit, maupun implisit. Dalam bagian ini,
setidaknya mencakup (1) rancangan penelitian, (2) ruang
lingkup/sasaran/objek penelitian, (3) data dan sumber, (4) prosedur
pengumpulan data, (5) teknis analisis data, dan (6) instrument
penelitian. Dalam bagian ini sudah tidak perlu lagi menjelaskan secara
teoritis jenis atau teknik-teknik tertentu, melainkan langsung
memaparkan secara teknis langkah-langkah atau tahapan dalam
penelitian. Untuk itu, penulis harus menghindari adanya kutipan
dalam bagian metodologi penelitian.
149
Perlu diperhatikan pula bahwa jenis dan rancangan penelitian
akan mempengaruhi istilah yang akan digunakan oleh peneliti.
Misalnya dalam penelitian kualitatif, istilah yang digunakan ialah
ruang lingkup penelitian atau objek penelitian, sedangkan dalam
penelitian kuantitatif istilah yang digunakan ialah sasaran dan
populasi. Begitu pula dengan istilah informan, nara sumber, dan
responden digunakan sesuai dengan rancangan penelitiannya.
Perbedaan penggunaan istilah tersebut berimplikasi logis terhadap
posisinya dalam penelitian.
e. Hasil dan Pembahasan
Hasil merupakan bagian karya tulis ilmiah yang menyajikan data
dari permasalahan yang diangkat, sedangkan pembahasan
merupakan bagian yang menyajikan hasil kajian dan analisis data.
Terdapat dua model yang dapat dipilih oleh peneliti dalam
menyajikan hasil penelitiannya. Pertama, bagian hasil ditulis terpisah
denganp pembahasan; menjadi bagian (bab) tersendiri sehingga ada
Bab Hasil dan Bab Pembahasan. Kedua, bagian hasil menjadi satu
dengan pembahasan; menjadi satu bab yaitu Bab Hasil dan
Pembahasan. Model pertama biasanya dipilih oleh peneliti-peneliti
bidang sains atau peneliti yang menggunakan rancangan penelitian
kuantitatif. Model kedua biasanya dipilih oleh peneliti-peneliti bidang
humaniora atau yang memilih rancangan penelitian kualitatif. Pada
model pertama, data dengan pembahasannya dibedakan, sedangkan
pada model kedua penyajian data-data penelitian langsung dianalisis
dan dikupas (diskusi) secara bersamaan. Penggunaan model-model
tersebut bergantung pada kebutuhan penulis akan penyajian hasil
penelitiannya. Dalam artikel konseptual, hal ini sedikit berbeda. Pada
artikel konseptual, hasil dan pembahasan berisi konsep-konsep dan
bahasan masalah serta hasil analitis pikiran kritis penulis.
f. Simpulan Penelitian
Selama ini penggunaan kata simpulan dan kesimpulan masih
sering kali membuat bingung. Kadang kali ditemukan karya tulis
ilmiah yang menggunakan kata simpulan, tetapi ada juga yang
menggunakan bentukan kata kesimpulan. Perhatikan pembentukan
kata dengan afiksasi dan akhiran berikut ...peng-an
Simpulan merupakan jawaban dari rumusan masalah dan
memenuhi harapan yang tertera dalam tujuan. Keempat bagian ini
harus menunjukkan adanya sambungan yang harmonis, runtut, dan
benar. Apabila belum runtut, peneliti harus meninjau kembali pada
data yang terkumpul dan pada proses analisisnya. Dengan kata lain,
150
terdapat korelasi di antara berbagai kata kerja yang berawalan meng-
dapat dibentuk menjadi kata benda yang bermakna proses yang
berimbuhan peng-…-an, dan dapat pula dibentuk menjadi kata benda
yang bermakna hasil yang berimbuhan –an. Perhatikan keteraturan
pembentukan kata berikut: simpul – menyimpulkan – penyimpul –
penyimpulan – simpulan. Oleh karena itu, bentukan yang tepat ialah
simpulan yang berarti hasil menyimpulkan, bukanlah kesimpulan.
Simpulan merupakan pendapat atau tesis terakhir dari seorang
peneliti dari sebuah uraian data-data, fakta-fakta, pikiran kritis,
alasan-alasan teoritis terkait suatu masalah atau objek penelitian.
Simpulan dapat dibuat berdasarkan metode berpikir baik secara
induktif, maupun deduktif. Secara induktif, simpulan ditarik dari
informasi-informasi dalam penelitian yang bersifat khusus ke umum
(generalisasi, anologi, dan akibat-sebab), sedangkan secara deduktif
berangkat dari informasi-informasi dalam penelitian yang bersifat
umum ditarik ke hal yang lebih khusus (silogisme, akibat-sebab-
sebab, dan sebab-akibat).
Simpulan berbeda dengan ringkasan. Simpulan adalah hasil dari
aktivitas menyimpulkan atau yang disimpulkan, sedangkan ringkasan
adalah penyajian karangan dalam bentuk yang lebih singkat dengan
tetap mempertahankan diksi dan bagian-bagian karangan. Oleh karena
itu, hindari pengulangan pernyataan-pernyataan pada bagian
sebelumnya (pernyataan yang terletak di pendahuluan, tinjauan
pustaka, dan pembahasan) pada bagian Simpulan.
g. Daftar Rujukan
Daftar rujukan atau sering disebut juga daftar pustaka atau daftar
referensi merupakan bagian akhir dari karya tulis ilmiah yang menjadi
bukti atas aktivitas keilmiahan penulis. Daftar rujukan merupakan
daftar buku, artikel, jurnal, catatan ilmiah, makalah, dan sebagainya
yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian, apabila dalam
karya tulis ilmiah tersebut mengutip sepuluh rujukan (misalnya:
sepuluh nama pengarang atau judul referensi), maka pada bagian
daftar rujukan haruslah ada sepuluh nama pengarang atau judul
referensi. Referensi yang dikutip dan identitas kutipannya pada bagian
daftar rujukan haruslah sama dan cocok. Bahan kajian yang hanya
menjadi bahan bacaan tanpa adanya aktivitas pengutipan (tidak
dirujuk), tidak perlu dituliskan pada bagian daftar rujukan.
151
5.4.2 Tiga Pilar Ilmu: Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis
Terdapat tiga pilar keilmuan yang harus ada dalam karya tulis ilmiah
yaitu: ontologis, epistimologis, dan aksiologis. Ontologi, menurut Muchsin
(dalam Hidayat, 2015):
... Ontologi adalah hakikat yang ada (being, sein) yang
merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai
kenyataan dan kebenaran. dalam perspektif ilmu, (sic!)
ontologi ilmu dapat dimaknai sebagai teori tentang
wujud dalam perspektif objek materil ke-Ilmuan (sic!),
konsep-konsep penting yang diasumsikan oleh ilmu
ditelaah secara kritis dalam ontologi ilmu. ...
epistomologis (cara mendapatkan pengetahuan).
Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat
episteme, pengetahuan dan logos, theory. Epistemologi
adalah cabang ilmu filasafat (sic!) yang menenggarai
(sic!) masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori
ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, epistemologi adalah
bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar,
sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan ...
aksiologis (manfaat pengetahuan). Aksiologis (teori
tentang nilai) sebagai filsafat yang membahas apa
kegunaan ilmu pengetahuan manusia. Aksiologi
menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu
dipergunakan? Bagaimana kaitan antar acara (sic!)
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
(Sumarto, 2017:18)
Hidayat memiliki pengertian yang lebih sederhana terkait ontologis,
epistimologi, dan aksiologi. “Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi
tentang yang ada” (Hidayat, 2015: 46). “Epistimologi yaitu masalah
bagaimana mendapatkan ilmu itu. Dan (sic!) untuk mendapatkannya
apakah sesuai atau malah menyimpang dari metode ilmiah.” ... Aksiologi.
(sic!) ini menyangkut masalah nilai kegunaan ilmu itu sendiri (Hidayat,
2015:91-92).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ontologi dalam sebuah
karya tulis ilmiah berbicara tentang objek penelitian, masalah yang
diangkat dan dicari pemecahannya dalam penelitian, dan tujuan penelitian.
Epistimologi ialah bagian yang membicarakan cara/metode/teknis kegiatan
penelitian (pemecahan penelitian) temasuk alat teoritis yang digunakan
dalam penelitian. Aksiologi ialah bagian membicarakan kebermanfaatan
152
dan kegunaan penelitian tersebut dalam menjawab atau memecahkan
masalah yang diangkat.
Antara ketiga pilar ilmu tersebut yakni ontologi, epistimologi, dan
aksiologi harus memiliki konsistensi yang berujung pada kejelasan
penelitian. Ketiga hal tersebut saling berhubungan guna menggiring
peneliti kepada keberhasilan penelitian. Ketiganya harus sesuai dan
memiliki linieritas teoritis. Misalnya, antara judul-masalah-metode harus
linier. Tidak bisa penelitian pengembangan dilakukan dengan metode
kualitatif atau metode analisis wacana kritis digunakan untuk masalah atau
objek penelitian terkait teknik permesinan. Oleh karena itu, ontologi,
epistimologi, dan aksiologi memiliki satu bahasa yakni inti penelitian.
Bagan dimensi filsafat keilmuan dalam penulisan karya ilmiah.
5.5 Tahapan Menulis Karya Ilmiah
Dalam penulisan karya ilmiah, penulis tidak dapat seenaknya
menuangkan pikiran dalam bentuk-bentuk tulisan tanpa memperhatikan
kaidah-kaidah penulisan dan data-data atau fakta dan dipaparkan secara
teoritis dengan jelas. Karya tulis ilmiah haruslah mengandung unsur-unsur
keilmiahan, salah satunya pengkajian atau penelitian terkait objek atau
masalah yang akan disampaikan melalui bahasa tulis. Untuk itu, terdapat
Judul
Ontologis
rumusan masalah
tujuan
Epistimologis
kajian teoritis
metodologi
Aksiologis
hasil
simpulan
manfaat
153
tahap-tahap yang harus dilakukan penulis menyusun sebuah karya tulis
ilmiah.
5.5.1 Perencanaan Penulisan Karya Ilmiah
Pada tahap ini, hal-hal yang harus dilakukan oleh penulis ialah
sebagai berikut:
a. menentukan topik. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam pemilihan topik oleh peneliti yakni visibilitas (kemungkinan
terlesainya pengkajian/penelitian topik), ketertarikan penulis (minat)
untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah tersebut, dan kapabilitas
(pengetahuan yang mumpuni yang dimiliki ole penulis);
b. mengkaji masalah yang akan diteliti atau dibahas dalam karya tulis
ilmiah sebagai upaya menemukan hipotesis nol (hipotesis penelitian
awal);
c. mengkaji teori-teori yang mampu mendukung atau digunakan dalam
penelitian atau pembahasan masalah dalam karya tulis ilmiah;
d. menemukan kebermanfaatan penelitian dalam hal teoritis dan praktis
yang nantinya harus disampaikan dalam karya tulis ilmiah;
e. mempelajari atau menguasai teknik penulisan karya tulis ilmiah; dan
f. menguasai kaidah-kaidah kebahasaan, khususnya ragam bahasa
ilmiah.
5.5.2 Penyusunan Kerangka Karangan
Setelah tahap perencanaan dilakukan, penulis harus menyusun
kerangka karangan agar karya tulis yang dibuat memenuhi aspek
sistematika dan penalaran ilmiah yang baik dan jelas. Kerangka (outline)
mutlak diperlukan sebagai panduan dalam memaparkan isi tulisan.
Kedudukan kerangka dalam penulisan karya tulis ilmiah sama halnya
dengan topik (Tim, 2007:128). Tim (2007:129) lebih lanjut menjelaskan
tiga alasan penulis harus membuat kerangka:
“Pertama, pembuatan kerangka membantu penulis
mengorganisasikan idenya.Kerangka terutama dapat
meyakinkan penulis bahwa ia tidak akan memasukkan hal-
hal yang tidak relevan...;melewatkan butir-butir yang
penting; dan ... akan dapat menyusun ide-ide pendukung
yang logis. Kedua, ... mempercepat proses penulisan. ...
Terakhir (sic!) adanya kualitas bahasa yang tinggi...”
Selesainya penyusunan kerangka karangan, dapat dikatakan telah
menyelesaikan 75% tulisan yang akan dibuat. Penulis tidak akan khawatir
lagi akan keberlangsungan tulisannya. Kerangka karangan harus sudah
penulis pikirkan secara matang dan perlu peninjauan berulang kali untuk
154
memperkaya materi tulisan. Kerangka karangan berfungsi sebai peta
konseptual untuk mengantisipasi kemacetan pikiran, ambiguitas teoritis,
pengumpulan dan anlisis yang biasanya membutuhkan waktu lama, dan
sebagainya. Hal tersebut dapat diminimalisir karena penulis akan lebih
terfokus pada pengembangan penalaran dan perbaikan naskah.
Kerangka karangan dapat merujuk pada matrik penelitian yang telah
dibuat sebelumnya guna pengecekan hal-hal yang perlu disampaikan
dalam karya tulis ilmiah. Oleh karena itu, matrik penelitian yang mewakili
desain penelitian harus diikuti secara konsisten hingga akhir penelitian,
bahkan dalam penulisan luaran penelitian yang berupa karya tulis ilmiah.
Berikut contoh kerangka penelitian yang merujuk pada contoh matrik
penelitian sebelumnya (periksa tabel 5.1). Berikut contoh kerangka
karangan (outline) makalah. Kerangka berikut ini dapat dibuat lebih detil
lagi sesuai kebutuhan dan keluasan pikiran (pengetahuan) peneliti.
Judul: Nilai Kebangsaan dalam Karya Sastra Hamka (1930-1962)
1. Pendahuluan
- masalah
- tujuan
2. Isi
- apresiasi sastra
- sastra sebagai ekspresi manusia
- sastra sebagai retorika
- metode struktural dalam apresiasi sastra
- deskripsi lapis objek, lapis, arti, dan lapis metafisis secara teoritis
- deskripsi lapis objek, lapis, arti, dan lapis metafisis yang terdapat
dalam karya-karya Hamka (data dan analisis data)
- deskripsi nilai-nilai kebangsaan dalam karya sastra Hamka
3. Penutup
- simpulan
- saran
4. Daftar Rujukan
Selain cara di atas, kerangka karangan dapat pula dibuat dengan
mempertimbangkan prinsip persamaan nilai dan prinsip keparalelan.
a. Prinsip Persamaan Nilai
Dalam penulisan kerangka karangan, gagasan-gagasan yang
sederajat diberi kodifikasi yang sederajat. Untuk itu, akan ada
kodifikasi A, B, C dan seterusnya dengan derajat yang sama;
kodifikasi 1, 2, 3 dan seterusnya; dan kodifikasi a, b, c dan seterusnya
yang sama pula derajatnya (Tim, 2007:129).
155
Agar lebih jelas perhatikan contoh kerangka karangan berjudul
Esai “Masyarakat Gegar Bahasa” berikut.
Tabel 5.1 Kerangka Karangan
Kerangka Karangan Sesuai Prinsip
Persamaan Nilai
Kerangka Karangan yang
Tidak Sesuai Prinsip
Persamaan Nilai
A. Pengantar
1. Lemahnya kemampuan
masyarakat dalam hal berbahasa
Indonesia
2. Pengaruh pesatnya
perkembangan informasi dan
teknologi
B. Fenomena Gegar Bahasa Indonesia
1. Data kesalahan tataran fonologis
dan perbaikannya
a. “konci”
b. “veleg”
c. “blutut”
d. “kifet macet”
2. Data kesalahan tataran
morfologis dan perbaikannya
a. “di jual”
b. “dikontrakan”
3. Data kesalahan tataran sintaksis
dan perbaikannya
a. “Anda Perlu Bantuan Polisi?
Hub. Emergency Call
xxxxxxx”
b. “Service: HP, soft ware, haft
ware, no sinyal mati total,
blaank LCD, mic mati,
spiker mati,kifet macet,
hank”
4. Data kesalahan tataran kata baku
dan perbaikannya
a. “apotek”
b. dst.
5. Data kesalahan kata serapan dan
perbaikannya
1. Pengantar
2. Lemahnya kemampuan
masyarakat dalam hal
berbahasa Indonesia
3. Pengaruh pesatnya
perkembangan informasi
dan teknologi
4. Fenomena Gegar Bahasa
Indonesia
5. Data kesalahan tataran
fonologis dan perbaikannya
6. “konci”
7. “veleg”
8. “blutut”
9. “kifet macet”
10. Data kesalahan tataran
morfologis dan
perbaikannya
11. “di jual”
12. “dikontrakan”
13. Data kesalahan tataran
sintaksis dan perbaikannya
14. “Anda Perlu Bantuan
Polisi? Hub. Emergency
Call xxxxxxx”
15. “Service: HP, soft ware,
haft ware, no sinyal mati
total, blaank LCD, mic
mati, spiker mati,kifet
macet, hank”
16. Data kesalahan tataran kata
baku dan perbaikannya
17. “apotek”
18. Data kesalahan kata
156
a. “Holan Bakeri”
b. dst.
C. Landasan Berbahasa Indonesia
1. Sumpah Pemuda
2. Landasan Hukum Bahasa
Indonesia
a. UUD 1945, Pasal 36; UU
No 24 2009, dan
penjelasannya
b. UU RI Nomor 24 Tahun
2009 dan penjelasannya
c. Tap MPR 1978 dan 1983
dan penjelasannya
d. Peraturan Menteri No.
20/1991 dan penjelasannya
e. Peraturan Presiden No 63
2019 dan penjelasannya
3. Aturan Pusat Pembinaan Bahasa
1995 dan penjelasannya
D. Masalah Interferensi
1. Difusi kebudayaan
2. Gegar bahasa diawali dengan
gegar budaya
3. Politik bahasa asing dalam dunia
teknologi dan informasi
E. Solusi
1. Sosialisasi
2. Sikap positif terhadap bahasa
Indonesia
3. Sanksi terhadap pelanggaran
4. Pembelajaran di sekolah
F. Simpulan
G. Daftar Referensi
serapan dan perbaikannya
19. “Holan Bakeri”
20. Landasan Berbahasa
Indonesia
21. Sumpah Pemuda
22. Landasan Hukum Bahasa
Indonesia
23. UUD 1945, Pasal 36; UU
No 24 2009, dan
penjelasannya
24. UU RI Nomor 24 Tahun
2009 dan penjelasannya
25. Tap MPR 1978 dan 1983
dan penjelasannya
26. Peraturan Menteri No.
20/1991 dan penjelasannya
27. Peraturan Presiden No 63
2019 dan penjelasannya
28. Aturan Pusat Pembinaan
Bahasa 1995 dan
penjelasannya
29. Masalah Interferensi
30. Difusi kebudayaan
31. Gegar bahasa diawali
dengan gegar budaya
32. Politik bahasa asing dalam
dunia teknologi dan
informasi
33. Solusi
34. Sosialisasi
35. Sikap positif terhadap
bahasa Indonesia
36. Sanksi terhadap
pelanggaran
37. Pembelajaran di sekolah
38. Simpulan
39. Daftar Referensi
157
Setelah membaca secara detil contoh tabel kerangka karangan di
atas, kerangka karangan yang tidak memenuhi prinsip persamaan nilai
(kolom kanan) cukup membingungkan karena tidak diorganisasikan
berdasarkan derajat-derajat ide yang sama. Kerangka karangan yang
memenuhi prinsip persamaan nilai (kolom kiri), disusun berdasarkan
derajat persamaan nilainya sehingga terbaca secara jelas. Kerangka
karangan seperti tersebut akan memudahkan peneliti dalam menulis
karangan.
Dalam menulis kerangka karangan, penulis perlu memusatkan
pikiran dan terlebih dahulu memperkaya bahan referensinya.
Pembuatan kerangka karangan sering kali tidak sekali jadi. Penulis
perlu mengecek kerangka karangan untuk mengetahui hal yang belum
tercantum yang mungkin sangat penting untuk dibahas. Penulis juga
mungkin menemukan ide-ide tambahan di tengah jalan yang dapat
mengubah struktur kerangka karangan. Jika demikian, maka penulis
cukup mencari ruang dalam kerangka karangan.
b. Prinsip Keparalelan
Bagian kerangka karangan harus ditulis secara paralel.
Maksudnya, semua gagasan yang telah diberi kodifikasi yang
sederajat ditulis dalam ungkapan gramatikal (kalimat, frasa, atau kata)
(Tim, 2007:131). Perhatikan contoh berikut.
A. Pengantar
1. Lemahnya kemampuan masyarakat dalam hal berbahasa
Indonesia
2. Pengaruh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
B. Fenomena Gegar Bahasa Indonesia
1. Data kesalahan tataran fonologis dan perbaikannya
a. “konci”
b. “veleg”
c. “blutut”
d. “kifet macet”
2. Data kesalahan tataran morfologis dan perbaikannya
a. “di jual”
b. “dikontrakan”
3. Data kesalahan tataran sintaksis dan perbaikannya
a. “Anda Perlu Bantuan Polisi? Hub. Emergency Call
xxxxxxx”
b. “Service: HP, soft ware, haft ware, no sinyal mati total,
blaank LCD, mic mati, spiker mati,kifet macet, hank”
4. Data kesalahan tataran kata baku dan perbaikannya
158
a. “apotek”
b. dst.
5. Data kesalahan kata serapan dan perbaikannya
a. “Holan Bakeri”
b. dst.
C. Landasan Berbahasa Indonesia
1. Sumpah Pemuda
2. Landasan Hukum Bahasa Indonesia
a. UUD 1945, Pasal 36; UU No 24 2009, dan penjelasannya
b. UU RI Nomor 24 Tahun 2009 dan penjelasannya
c. Tap MPR 1978 dan 1983 dan penjelasannya
d. Peraturan Menteri No. 20/1991 dan penjelasannya
e. Peraturan Presiden No 63 2019 dan penjelasannya
3. Aturan Pusat Pembinaan Bahasa 1995 dan penjelasannya
D. Masalah Interferensi
1. Difusi kebudayaan
2. Gegar bahasa diawali dengan gegar budaya
3. Politik bahasa asing dalam dunia teknologi dan informasi
E. Solusi
1. Sosialisasi
2. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia
3. Sanksi terhadap pelanggaran
4. Pembelajaran di sekolah
F. Simpulan
G. Daftar Referensi
Perhatikanlah secara seksama, kerangka karangan tidak sama
dengan sistematika karya tulis ilmiah. Sistematika karya tulis ilmiah
memuat bagian-bagian karangan, sedangkan kerangka karangan
merupakan peta penulis untuk mengembangkan penalaran paragraf
guna membangun wacana karangan. Kerangka karangan dibuat
dengan tanpa mengabaikan sistematika karya tulis ilmiah.
5.5.3 Pengembangan Tulisan
Kegiatan pengembangan tulisan ialah kegiatan lanjutan setelah
menyusun atau membuat kerangka karangan. Jika kerangka karangan
berfokus pada organisasi ide atau gagasan dan penyajian konsep-konsep
tulisan atau karangan, maka kegiatan pengembangan tulisan berfokus pada
penyusunan atau pengembangan ide atau gagasan tersebut dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pengembangan paragraf. Oleh karena itu,
penulis harus menguasai kaidah-kaidah penulisan kata, kalimat, ejaan dan
159
lain sebagainya sesuai yang telah dibahas pada bab sebelumnya yakni
Ragam Bahasa Ilmiah (periksa kembali Bab 3).
Pengembangan tulisan perlu dilakukan secara teliti, serius, dan
sistematis guna memastikan tulisan atau karangan tetap pada koridor
ilmiah. Untuk itu, penulis sering kali harus mengecek tulisannya, baik pada
tataran morfologis, sintaksis, semantik, peristilahan atau terminologi,
logika penalaran, kata hubung, hingga ejaan yang digunakan untuk
menemukan hal-hal yang perlu diperbaiki (revisi). Perbaikan akan
mengarahkan penulis untuk menghasilkan tulisan yang baik, jelas, dan
mudah dibaca. Oleh karena itu, perlu juga kiranya, penulis membaca
secara berulang-ulang dan bersungguh-sungguh demi penyempurnaan
tulisannya.
5.6 Sistematika Karya Tulis Ilmiah
Sistematikan karya tulis ilmiah meliputi sistematika makalah, proposal,
laporan penelitian, dan artikel. Sistematika karya tulis ilmiah atau disebut
juga gaya selingkung berbeda-beda antarlembaga. Penulis perlu
memastikan sistematika atau gaya selingkung yang berlaku pada lembaga
atau penyelenggara. Berikut sistematika umum yang biasa digunakan di
lingkungan Universitas Jember.
5.6.1 Makalah
“Makalah merupakan salah satu bentuk tulisan ilmiah yang berisi
gagasan penulis tentang suatu topik bahasan ilmiah” (Tim, 2007:136).
Terdapat dua jenis makalah yaitu makalah yang dipresentasikan pada
forum ilmiah dan makalah untuk kepentingan perkuliahan. Sistematika
makalah ialah sebagai berikut.
a. Halaman Sampul
Hal-hal yang harus ada pada bagian sampul adalah logo (bila
makalah ditulis di bawah asosiasi atau lembaga), judul makalah,
keperluan atau maksud ditulisnya makalah, nama penulis makalah,
dan tempat serta waktu penulisan makalah. Keperluan atau maksud
penulisan makalah dapat berupa, misalnya, untuk memenuhi tugas
matakuliah yang dibina dosen X. Tempat dan waktu yang dimaksud
dapat berisi nama lembaga (universitas, institut, fakultas, jurusan,
program studi), nama kota, serta bulan dan tahun.
1. Logo Universitas
Logo dapat diletakkan pada posisi paling atas atau pada posisi
tengah (vertikal setelah judul). Penempatan logo dengan kedua posisi
tersebut mempunyai argumentasi yang berbeda. Argumentasi
penempatan logo pada posisi paling atas karena logo merupakan
160
identitas, kebanggaan, dan simbol kepercayaan diri, sedangkan
argumentasi penempatan logo pada posisi tengah karena dekat di hati
dan tidak terkesan menyombongkan diri.
2. Judul
Judul tidak boleh diawali dengan kata kerja dan menggunakan
bentuk bahasa yang terdiri atas subjek dan predikat (berupa kalimat).
Hendaknya penulis menghindari penggunaan kata-kata klise pada
judul, misalnya: beberapa, sekelumit, studi, studi pendahuluan, dan
penelaahan. Judul harus berbentuk frasa (kelompok kata) yang
menerangkan atau penjelas kata atau unsur yang lainnya dan mampu
memberikan pengertian yang utuh. Judul juga tidak boleh
mengandung pembenaran (justifikasi).
Tabel 5.2 Judul
Judul Salah
Mahasiswa Memanfaatkan Ekstrak
Daun Kelor untuk Mengembangkan
Produk Masker dengan Konten
Lokal
Studi Pendahuluan Efek Membaca
Sastra terhadap Perkembangan Janin
Ibu Hamil
Problem Based Learning (PBL)
Mampu Meningkatkan Kemampuan
Menulis Karya Ilmiah Mahasiswa”
Judul Benar
Pemanfaatan Ekstrak Daun Kelor
dalam Pengembangan Masker
Tradisional
Dampak Pembacaan Sastra
terhadap Perkembangan Janin Ibu
Hamil
Pengaruh Problem Based Learning
(PBL) dalam Pembelajaran
Menulis Karya Ilmiah Mahasiswa
Penulisan judul menggunakan sistem simetris berbentuk segitiga
terbalik dengan jarak ketik satu spasi. Judul sebaiknya tidak lebih dari
15 kata (tidak termasuk kata sambung dan kata depan), kecuali pada
buku. Untuk penulisan judul yang panjang, antara judul dan anak
judul dipisahkan oleh tanda titik dua (:) atau tanda kurung ((...))
menggunakan ukuran yang sama. Judul dan anak judul ditulis dengan
huruf kapital, termasuk penulisan kata tugas yaitu kata depan dan kata
sambung. Penulisan judul tidak diakhiri dengan tanda titik.
3. Daftar Isi
Daftar isi ini berfungsi memberikan panduan dan gambaran
tentang garis besar isi makalah. Melalui daftar isi, pembaca dapat
161
dengan mudah menemukan bagian-bagian yang membangun makalah.
Sselain itu, melalui daftar isi dapat diketahui sistematika penulisan
makalah. Daftar isi dipandang perlu jika panjang makalah lebih dari
20 halaman. Penulisan daftar isi dilakukan dengan ketentuan (1) judul
bagian makalah ditulis dengan menggunakan huruf kecil (kecuali
awal kata selain kata tugas ditulis dengan huruf besar), (2) penulisan
judul bagian dan judul subbagian dilengkapi dengan nomor halaman
tempat pemuatannya dalam makalah, dan (3) penulisan daftar isi
dilakukan dengan menggunakan spasi tunggal dengan antarbagian dua
spasi.
4. Daftar Tabel dan Gambar (Jika Ada)
Penulisan daftar tabel dan gambar juga dimaksudkan untuk
memudahkan pembaca menemukan tabel atau gambar yang tedapat
dalam makalah. Identitas tabel dan gambar (yang berupa nomor dan
nama) dituliskan secara lengkap. Jika tabel dan gambar lebih dari satu
buah, sebaiknya penulisan daftar tabel dan tabel dilakukan terpisah.
Jika hanya terdapat sebuah tabel atau gambar, maka sebaiknya daftar
tabel atau gambar disatukan dengan daftar isi makalah.
5. Pendahuluan
Bagian ini berisi latar belakang penulisan makalah, masalah atau
topik bahasan beserta batasannya, dan tujuan penulisan makalah.
a) Latar Belakang Penulisan Makalah
Latar belakang harus mampu memaparkan hal-hal yang bersifat
praktis dan teoretis tentang masalah. Dalam latar belakang penulis
harus menghindari alasan-alasan subjektif dan harus mampu
menggiring pembaca untuk melihat pentingnya masalah tersebut
dibahas.
b) Masalah atau Topik Pembahasan
Masalah atau topik bahasan tidak terbatas pada persoalan yang
memerlukan pemecahan, tetapi juga mencakupi persoalan yang
memerlukan deskripsi atau penegasan lebih lanjut. Masalah dalam
makalah seringkali dianggap sama degan topik walaupun keduanya
tidak selalu memiliki pengertian yang sama.
c) Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan penulisan makalah bukanlah untuk memenuhi tugas X
seperti pada apa yang terdapat pada judul, melainkan dua tujuan, yaitu
bagi penulis makalah dan bagi pembaca makalah. Bagi penulis
makalah, rumusan tujuan penulisan makalah dapat mengarahkan
kegiatan yang harus dilakukan selanjutnya dalam menulis makalah,
khususnya dalam pengumpulan bahan-bahan penulisan. Bagi
162
pembaca makalah, tujuan penulisan memberikan informasi tentang
apa yang disampaikan dalam makalah tersbut. Dengan demikian,
tujuan dapat pula berfungsi sebagai batasan ruang lingkup makalah.
Rumusan tujuan dapat berupa kalimat kompleks atau dalam bentuk
perincian. Contoh: Makalah ini dimaksudkan untuk membahas
sejumlah kesalahan yang seringkali dilakukan oleh mahasiswa ketika
menulis karya tulis ilmiah.
6. Isi atau Pembahasan
Bagian isi ditulis berdasarkan toipk-topik yang diangkat dalam
makalah. Jika dalam makalah diangkat tiga topik, maka terdapat tiga
pembahasan dalam bagian isi. Pada bagian ini, penulis harus mampu
membahas topik secara tuntas, jelas, dan mencerminkan kualitas
makalah. Oleh sebab itu, penulis harus menghindari bahasa yang
berbelit-belit, panjang, dan kurang efektif. Pada bagian ini, gagasan-
gagasan teoritis dan praktis dipadukan dengan bukti-bukti empiris dan
disajikan menggunakan bahasa ilmiah yang memenuhi aspek
kejelasan, kepaduan, dan keorisinilan.
7. Penutup
Bagian penutup berisi simpulan atau rangkuman pembahasan. Saran
dapat ditambahkan bila dipandang perlu.
8. Daftar Rujukan
Daftar rujukan berisi daftar buku, artikel, makalah lain yang
dirujuk dalam makalah. Daftar rujukan ditulis urut mengikuti abjad a-
z dan berdasarkan aturan nama, tahun, judul, kota, dan penerbit
(natajukop). Bagian ini, secara rinci akan dijelaskan pada subbab
selanjutnya.
9. Lampiran
Bagian ini berisi hal-hal yang bersifat pelengkap untuk
mendukung kualitas makalah. Hal-hal yang dimaksud dapat berupa
data (kuantitatif atau kualitatif). Lampiran tetap diberi nomor
halaman.
5.6.2 Artikel
Secara umum, artikel merupakan salah satu bentuk tulisan ilmiah
yang berisi gagasan penulis tentang suatu fenomena faktual yang ditulis
untuk memaparkan, meyakinkan, mendidik, bahkan pula menghibur.
Terdapat dua jenis artikel yakni artikel ilmiah dan artikel populer. Artikel
ilmiah hampir mirip dengan makalah yaitu menyajikan gagasan-gagasan
teoritis-praktis tentang suatu bahasan ilmiah. Akibat kemiripan sifat ini,
makalah yang dipresentasikan di ruang-ruang ilmiah, misalkan seminar
163
dan dipublikasikan dalam jurnal ilmiah dapat dikatakan pula sebagai
artikel ilmiah. Artikel ilmiah dibedakan pula berdasarkan isinya. Artikel
ilmiah yang menjadi hasil atau luaran dari penelitian dan artikel ilmiah
yang ditulis berdasarkan pemikiran-pemikiran kritis mengenai suatu hal
(konseptual). Perbedaannya artikel dan makalah ada pada sistematika
penulisannya. Artikel populer lebih bersifat luwes, menggunakan bahasa
yang tidak ketat, mengangkat topik-topik nonilmiah, dan biasanya
dipublikasikan di media massa seperti koran, buletin, majalah (bukan
jurnal ilmiah). Berikut sistematika yang umum digunakan dalam penulisan
artikel.
a. Judul Artikel
Judul artikel hendaknya dibatasi sepuluh sampai lima belas kata,
tetapi dapat memberikan kesan utuh tentang keseluruhan isi artikel
yang dibahas. Susunan kata yang dipakai pada judul artikel memiliki
daya tarik dan bersifat provokatif, tetapi efektif, spesifik, dan tidak
berlebihan. Judul artikel ilmiah harus bermakna lugas (denotatif),
sedangkan artikel populer diperbolehkan menggunakan bahasa-bahasa
yang figuratif (konotatif).
b. Nama Penulis
Nama penulis dituliskan di bawah judul tanpa menggunakan
gelar. Semua penulis yang terlibat dalam penulisan artikel ilmiah
dicantumkan dan disertai dengan nama lembaga atau instansi asal
(afiliasi). Biasanya, artikel ilmiah menyebutkan penulis yang
berwenang untuk melakukan korespondensi dengan penerbit jurnal
dan pihak lain. Penulis ini disebut dengan coresponding author (co-
author). Nama co-author harus ditandai dan disertai dengan alamat e-
mail.
c. Abstrak dan Kata Kunci
Abstrak adalah esensi dari artikel ilmiah mulai dari latar
belakang, permasalahan, metode, hasil dan pembahasan serta
simpulan. Penulisan abstrak dibatasi dengan jumlah kata yang
berkisar 200-250 kata, tetapi mampu memberikan informasi secara
utuh kepada pembaca tentang isi dari artikel yang disajikan. Abstrak
diikuti dengan 3 sampai 5 kata kunci yang merupakan kata-kata
penting untuk mengarahkan pembaca memahami artikel.
Pada penulisan artikel hasil tugas akhir studi (skripsi, tesis,
disertasi), kata abstrak ditulis di bagian tengah halaman dengan huruf
kapital, simetris di batas atas bidang pengetikan dan tanpa tanda titik.
Nama penulis diketik dengan jarak 2 spasi dari kata abstrak, di tepi
kiri dengan urutan: nama diakhiri titik, tahun lulus diakhiri dengan
164
titik, judul dicetak miring dan diketik dengan huruf kecil (kecuali
huruf-huruf pertama dari setiap kata) dan diakhiri dengan titik.
Kemudian diikuti kata skripsi, tesis, atau disertasi diakhiri dengan
koma, diikuti nama jurusan, nama fakultas, nama
universitas/institute/sekolah tinggi, dikhiri dengan titik. Setelah itu
dicantukan nama dosen Pembimbing Utama dan Pembimbing
Anggota (ada yang lengkap dengan gelar akademiknya).
d. Bagian Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi latar belakang pentingnya penelitian
dilakukan. Pada bagian pendahuluan ini juga dibahas tentang
kebaruan penelitian (state of the art) yang dilakukan dibandingkan
dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Kebaruan ini bisa dalam
bentuk kontroversial dengan penelitian sebelumnya, bisa melanjutkan
penelitian sebelumnya yang belum tuntas, ataukebaruan ilmu dan
teknologi yang diterapkan dalam penelitian. Pada bagian pendahuluan
ini juga dicantumkan rumusan singkat tentang pokok bahasan dalam
artikel tersebut.
e. Bagian Inti
Pada artikel ilmiah, bagian inti mencakup landasan teori,
metodologi (umumnya secara eksplisit), dan hasil serta pembahasan.
Landasan teori berisi teori-teori atau konsep-konsep dasar yang
dipergunakan dalam membahas masalah. Metodologi berisi
pendekatan metode penelitian, populasi dan sampel, serta langkah-
langkah analisis data. Hasil dan pembahasan berisi hasil dan analisis
dari penelitian yang dilakukan. Hal ini sedikit berbeda pada artikel
konseptual. Hasil dan pembahasan pada artikel ilmiah konseptual
berisi konsep-konsep dan bahasan masalah serta hasil analisis dan
pikiran kritis penulis.
f. Penutup atau Simpulan
Bagian ini memiliki perbedaan yang menonjol antara artikel
penelitian dan artikel konseptual. Pada artikel ilmiah penelitian, penutup
atau simpulan berisi simpulan dari hasil penelitian dan saran untuk
penelitian selanjutnya. Pada artikel ilmiah konseptual, penutup atau
simpulan berisi simpulan atau penekanan dari hasil pemikiran kritis
penulis.
g. Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih pada artikel ilmiah dituliskan dengan
menggunakan bahasa baku yang disampaikan kepada pihak yang telah
membantu proses penelitian dan kepada sponsor penyedia dana penelitian.
165
h. Daftar Referensi
Bagian ini berisi daftar referensi yang dirujuk dalam artikel
ilmiah. Bahan bacaan yang tidak dirujuk dalam artikel tidak perlu
dituliskan dalam daftar referensi.
5.6.3 Proposal dan Laporan Penelitian
Sistematika proposal dan laporan penelitian sebagai berikut.
a. Proposal penelitian
Proposal merupakan salah satu bentuk karya tulis ilmiah yang
berbentuk renca kerja penelitian. Sebelum melakukan sebuah
penelitian, peneliti perlu menyusul proposal demi kepentingan
pedoman penelitian atau bahkan menggalangan dana penelitian.
Sistematika proposal ialah sebagai berikut.
1) Halaman Sampul
Halaman sampul biasanya berisi judul, kata skripsi, tesis, atau
disertasi (sebagai identitas jenjang), nama dan nomor induk
mahasiswa (NIM), lambang perguruan tinggi (logo), nama
universitas, fakultas, jurusan, dan waktu (bulan, tahun) disusunnya
proposal. Semua huruf dicetak dengan huruf kapital, dengan
komposisi dan tata telak tiap-tiap bagian diatur secara simetris, rapi,
dan serasi. Ukuran huruf (font size) yang digunakan antara 12-16 pt,
jenis huruf konsisten (Times New Romans atau Arial).
2) Halaman Judul
Halaman judul pada proposal ditulis sama dengan halaman
sampul. Akan tetapi, pada laporan penelitian, halaman judul terdiri
atas dua halaman. Halaman pertama, berisi dan berformat sama
dengan halaman sampul. Halaman judul lembar kedua memuat (1)
judul skripsi, atau tesis, atau disertasi secara lengkap diketik dengan
huruf kapital, (2) teks Skripsi diajukan kepada
Universitas/Institut/Sekolah Tinggi untuk memenuhi untuk memenuhi
salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program
Sarjana/Magister/Doktor, (3) nama dan nomor induk mahasiswa
(NIM), (4) nama lengkap universitas/institute/sekolah tinggi, fakultas,
dan jurusan, diketik dengan huruf kapital, dan (5) bulan dan tahun
lulus ujian.
3) Lembar Persetujuan
Ada dua lembar persetujuan. Lembar persetujuan pertama adalah
lembar persetujuan yang memuat persetujuan dari (para) pembimbing.
Hal-hal yang dicantumkan pada lembar persetujuan lembar
166
pembimbing adalah (1) teks Skripsi/Tesis/Disertasi oleh ….. ini telah
disetujui untuk diuji; dan (2) nama lengkap dan nomor induk pegawai
(NIP) Pembimbing Utama dan Pembimbing Anggota.
Lembar persetujuan kedua adalah lembar persetujuan yang berisi
pengesahan skripsi oleh para penguji, ketua jurusan, dan dekan.
Pengesahan ini baru diberikan setelah mahasiswa yang bersangkutan
melakukan perbaikan sesuai saran-saran yang diberikan oleh para
penguji saat berlangsungnya ujian. Dalam lembar persetujuan dosen
penguji, dicantumkan tanggal, bulan, dan tahun dilaksanakannya
ujian, tanda tangan, nama lengkap dan NIP dari tiap-tiap dosen
penguji dan dekan/ /ketua jurusan/ketua program studi (untuk skripsi)
atau direktur Program Pascasarjana (untuk tesis dan disertasi).
4) Ringkasan
Ringkasan disajikan dalam sistematika sebagai berikut.
Judul, Nama Penulis, dan Identitas Kelembagaan
a) Judul ditulis secara Title Case.
b) Nama lengkap peneliti (tanpa gelar).
c) Nomor dan identitas peneliti (NIP atau NIM).
d) Tahun penulisan dan jumlah halaman (tidak termasuk lampiran).
e) Nama program studi, jurusan, fakultas, dan perguruan tinggi
ditulis lengkap.
f) Nomor dan tanggal kontrak jika menggunakan dana sponsor.
Substansi ringkasan memuat permasalahan, tujuan penelitian,
metodologi penelitian (desain penelitian, data, sumber data, metode
pengambilan data, analisis data), hasil, dan simpulan.
5) Prakata
Prakata memuat ucapan terima kasih penulis yang ditujukan
kepada orang-orang, lembaga, organisasi, dan pihak-pihak lain yang
telah membantu dalam mempersiapkan, melaksanakan, dan
menyelesaikan penelitian (skripsi, tesis, atau disertasi). Tulisan
prakata diketik dengan huruf kapital, simetris di batas atas bidang
pengetikan dan tanpa tanda titik. Teks prakata diketik dengan jarak
dua spasi. Panjang teks tidak lebih dari dua halaman kertas ukuran
kuarto (A4). Pada bagian akhir teks (pojok kanan bawah)
dicantumkan kota, bulan, tahun, dan penulis (tanpa menyebutkan
nama terang).
6) Daftar Isi
Dalam halaman daftar isi dimuat judul bab, subbab, dan judul
subsubbab yang disertai dengan nomor halaman tempat pemuatannya
dalam teks. Semua judul bab diketik dengan huruf kapital, judul
167
subbab dan subsubbab diketik dengan huruf kecil kecuali huruf-huruf
pertama kata utama.
7) Daftar Tabel
Secara umum, halaman daftar tabel memuat nomor tabel, judul
tabel, dan nomor halaman pemuatannya di dalam proposal. Judul
tabel harus sama dengan judul tabel yang terdapat dalam proposal.
Jarak antarbaris judul tabel diketik dengan spasi ganda, sedangkan
judul tabel yang memerlukan lebih dari satu baris, jarak antarbaris
diketik dengan spasi tunggal.
8) Daftar Gambar atau Daftar Ilustrasi
Pada halaman daftar gambar atau daftar ilustrasi dicantumkan
nomor gambar, judul gambar, dan nomor halaman tempat
pemuatannya di dalam teks. Judul gambar harus sama dengan judul
gambar yang terdapat di dalam proposal. Jarak antarbaris judul
gambar diketik dengan spasi ganda, sedangkan judul gambar yang
memerlukan lebih dari satu baris, jarak antarbaris diketik dengan spasi
tunggal.
9) Daftar Lampiran
Secara umum, halaman daftar lampiran memuat nomor lampiran,
judul lampiran, dan nomor halaman pemuatannya. Judul lampiran
harus sama dengan judul lampiran yang terdapat di dalam proposal.
Jarak antarbaris judul lampiran diketik dengan spasi ganda, sedangkan
judul lampiran yang memerlukan lebih dari satu baris, jarak antarbaris
diketik dengan spasi tunggal.
10) Daftar Lain
Jika dalam proposal penelitian banyak digunakan tanda-tanda
lain yang mempunyai makna esensial, misalnya singkatan atau
lambang-lambang yang digunakan dalam matematika, ilmu eksakata,
teknik, bahasa (semiotik), simbol budaya, dan sebagainya, perlu ada
daftar khusus mengenai tanda-tanda, singkatan, atau lambang-
lambang tersebut.
11) Bab I Pendahuluan
Pendahuluan ialah bab pertama dalam proposal yang
mengantarkan pembaca untuk dapat menjawab pertanyaan terkait
ontologi penelitian (apa yang diteliti? untuk apa?) dan mengapa
penelitian itu dilakukan. Oleh sebab itu, bab pendahuluan ini memuat
(1) latar belakang masalah, (2) identifikasi masalah, (3) pembatasan
masalah, (4) rumusan masalah, (5) tujuan penelitian, (6) hipotesis
penelitian (jika ada), (7) manfaat penelitian, dan (8) definisi
operasional. Definisi operasional bukanlah definisi leksikon yang
168
terdapat dalam kamus, melainkan definisi praktis yang digunakan
peneliti dalam penelitiannya.
12) Bab II Kerangka Teoretis
Kerangka Teoretis disebut pula dengan Kajian Pustaka, atau
Kajian Teoretis, Studi Pustaka, atau Tinjauan Pustaka. Tujuan
kerangka teoretis adalah untuk membatasi teori (hukum, dalil,
hipotesis) yang digunakan atau mendukung kegiatan penelitian dan
menemukan metodologi yang sesuai dengan penelitian yang akan
dilakukan. Kerangka teoretis juga diperlukan untuk membandingkan
temuan hasil penelitian (data) dengan teori, atau hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh peneliti lain. Karena itu, kerangka teoretis
dilakukan baik sebelum maupun sesudah data dikumpulkan. Dalam
penyusunan kerangka teoritis, peneliti harus memiliki sikap jujur
untuk menyertakan identitas sumber kutipan.
13) Bab III Metodologi Penelitian
Pada bab metodologi penelitian sekurang-kurangnya mencakupi
(1) rancangan penelitian, (2) ruang lingkup penelitian, (3) data dan
sumber data (penelitian kualitatif); populasi, sampel, dan besaran
sampel (penelitian kuantitatif dan tindakan), (4) instrumen penelitian,
(5) prosedur pengumpulan data, dan (6) teknis analisis data.
14) Daftar Rujukan atau Daftar Pustaka
Bagian ini berisi daftar rujukan atau daftar pustaka yang dirujuk
dalam artikel ilmiah. Bahan pustaka yang dimasukkan ke dalam daftar
rujukan (pustaka) harus sudah disebutkan dalam teks. Bahan bacaan
yang tidak dirujuk dalam artikel tidak perlu dituliskan dalam daftar
rujukan atau daftar pustaka.
15) Pernyataan Keaslian Tulisan
Pernyataan keaslian tulisan berisi ungkapan penulis bahwa
proposal penelitian bukan plagiasi dan hasil pemikirannya sendiri.
16) Lampiran
Berisi hal-hal yang dipandang penting untuk mendukung
proposal. Lampiran dapat berupa instrument penelitian, data mentah
hasil penelitian, rumus-rumus statistik yang digunakan (jika
diperlukan), hasil perhitungan statistik, surat izin tanda bukti telah
melaksanakan pengumpuan data, dan lampiran lain yang dianggap
perlu. Lampiran harus diberi nomor lampiran serta halaman.
17) Riwayat Hidup
Riwayat hidup disajikan secara naratif dan menggunakan sudut
pandang orang ketiga (bukan menggunakan kata saya atau kami). Hal-
hal yang perlu dimuat dalam riwayat hidup adalah nama lengkap
169
penulis, tempat dan tanggal lahir, riwayat pendidikan, pengalaman
berorganisasi yang relevan, dan informasi tentang prestasi yang
pernah diraih selama belajar di perguruan tinggi atau pun pada waktu
duduk di SD hingga SMA.
b. Laporan Penelitian
Sistematika laporan pada bagian awal mengikuti sistematika
proposal karena sejatinya laporan adalah hasil kerja dari yang telah
direncanakan pada laporan. Dalam laporan ditambahkan bab hasil,
pembahasan dan penutup setelah bab metodologi penelitian dan
sebelum daftar pustaka. Dalam laporan bahasa yang digunakan
peneliti tidak lagi “akan” melainkan “telah” yang bermaksud
melaporkan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan. Sistematika
laporan penelitian secara singkat sebagai berikut (periksa kembali
penjelasan sistematika proposal).
1) Halaman Sampul
2) Halaman Judul
3) Lembar Persetujuan
4) Ringkasan
5) Prakata
6) Daftar Isi
7) Daftar Tabel
8) Daftar Gambar atau Daftar Ilustrasi
9) Daftar Lampiran
10)Daftar Lain
11)Bab I Pendahuluan
12)Bab II Kerangka Teoretis
13)Bab III Metodologi Penelitian
14)Bab IV Hasil Penelitian
Dalam penelitian yang mengandung bagian pengujian hipotesis,
laporan mengenai hasil-hasil yang diperoleh (data) sebaiknya dibagi
antara karakteristik tiap-tiap variable dan hasil pengujian hipotesis
(Chaer, 2011).
a) Bab V Pembahasan
Pembahasan dari data penelitian yang dikemukakan pada Bab IV
mengarah pada narasi temuan penelitian yang mempunyai arti penting
bagi keseluruhan kegiatan penelitian. Tujuan pembahasan adalah (1)
menjawab masalah penelitian dicapai, (2) menafsirkan temuan
penelitian, (3) mengintegrasikan temuan penelitian ke dalam
kumpulan pengetahuan yang telah mapan, (4) memodifikasi teori
170
yang ada atau menyusun teori baru, dan (5) menjelaskan implikasi
lain dari hasil penelitian, termasuk keterbatasan temuan penelitian
(Chaer, 2011).
b) Bab VI Penutup
Pada bagian ini, terdapat dua hal yang penting untuk
disampaikan yakni simpulan dan saran. Simpulan merupakan
pernyataan yang jelas, tidak menimbulkan multitafsir, dan merupakan
pernyataan akhir penalaran deduktif-induktif sebagai jawaban atas
kegiatan penelitian. Kesimpulan deduktif adalah pernyataan ulang
hasil kajian yang diperoleh penulis dari beberapa asumsi melalui
aturan silogistik (perbandingan antara dua premis yang menghasilkan
suatu kesimpulan sebagai keputusan). Kesimpulan induktif adalah
pernyataan ulang hasil kajian yang diperoleh dari interpretasi terhadap
hasil-hasil data empiris (Chaer, 2011).
Simpulan harus dibuat berdasarkan fakta yang tersurat bukan
yang tersirat, dirumuskan singkat dan jelas, serta mengandung semua
informasi yang merupakan jawaban dari tujuan yang sudah
ditentukan. Simpulan bukan merupakan ringkasan hasil, atau
pengulangan pernyataan yang sudah dikemukakan pada bab
sebelumnya, artinya informasi yang sama harus dikemukakan dengan
ungkapan yang berbeda (Calderon & Gonzales dalam DIKTI, 2005).
Saran adalah rekomendasi yang didasarkan atas hasil
pelaksanaan kegiatan yang ditujukan untuk mengatasi atau membantu
dalam menyelesaikan masalah yang ada. Saran dapat berupa usulan
perbaikan sistem atau praktik dan harus bersifat logis, sahih, dan
praktis (Chaer, 2011).
c) Daftar Rujukan atau Daftar Pustaka
d) Pernyataan Keaslian Tulisan
e) Lampiran
f) Riwayat Hidup
5.7 Teknik Pengutipan dan Sumber Rujukan
Terdapat beberapa jenis kutipan yang umum digunakan dalam
menulis sebuah karya ilmiah yaitu (1) kutipan langsung dan (2) kutipan
tidak langsung. Cara penulisan nama pengarang dan tahun harus mengikuti
aturan pengutipan, sedangkan penulisan nomor halaman teks yang dikutip
boleh diikutkan pada tulisan, tetapi harus dilakukan secara konsisten pada
seluruh kutipan. Adapun format umum penulisan nama penulis, tahun
terbitan dan atau nomor halaman sumber kutipan adalah sebagai berikut
(Tim, 2016).
171
Nama belakang penulis (tahun terbitan:nomor halaman sumber
kutipan) atau (Nama belakang penulis, tahun terbitan:nomor halaman
sumber kutipan).
Pengarang hanya satu orang, dengan formula umum sebagai berikut:
a. ([nama akhir pengarang], [tahun terbitan]:[dapat diikuti
halaman yang dikutip]), atau
b. ([nama akhir pengarang], [tahun terbitan]:[dapat diikuti
halaman yang dikutip])
Contoh:
Siswoyo (2018) atau Siswoyo (2018:154)
.....(Siswoyo, 2018) atau .....(Siswoyo, 2018:154).
Pengarang berjumlah dua orang dengan formula umum sebagai
berikut:
a. [nama akhir pengarang pertama] dan [nama akhir pengarang
kedua] ([tahun terbitan]:[dapat diikuti halaman yang dikutip]),
atau
b. ([nama akhir pengarang pertama] dan [nama akhir pengarang
kedua], [tahun terbitan]:[dapat diikuti halaman yang dikutip])
Catatan: kata “dan” pada formula penulisan dapat diganti dengan
“&” secara konsisten pada keseluruhan tulisan referensi.
Contoh:
Dewi dan Suyati (2017) atau Dewi dan Suyati (2017:16)
Dewi & Suyati (2017) atau Dewi & Suyati (2017:16)
.....(Dewi dan Suyati, 2017) atau .....(Dewi dan Suyati, 2017:16)
.....(Dewi & Suyati, 2017) atau .....(Dewi & Suyati, 2017:16)
Pengarang berjumlah lebih dari dua orang dengan formula umum
sebagai berikut:
a. [nama akhir pengarang pertama] dkk ([tahun terbitan]:[dapat
diikuti halaman yang diutip]), atau
b. ([nama akhir pengarang pertama] dkk, [tahun terbitan]:[dapat
diikuti halaman yang diutip])
Catatan: kata “dkk” pada formula penulisan dapat diganti dengan “et
al.” dengan format tulisan cetak miring (italic) ataupun tegak secara
konsisten pada keseluruhan tulisan referensi.
Contoh:
Murti dkk. (2015) atau Murti dkk. (2015:218)
Murti et al. (2015) atau Murti et al. (2015:218)
(Murti dkk., 2015) atau (Murti dkk., 2015:218)
(Murti et al., 2015) atau (Murti et al., 2015:218)
Berikut dipaparkan teknik pengutipan langsung dan tidak langsung.
172
a. Kutipan Langsung
Kutipan langsung merupakan jenis kutipan dibuat tanpa
sedikitpun merubah teks dari sumber yang dikutip yang umumnya
berupa sebuah kalimat atau alinea. Ada beberapa teknik yang umum
digunakan untuk membuat sebuah kutipan langsung sebagai berikut:
1) Kutipan langsung yang ditulis tanpa tanda kutip (“) dan
diletakkan terpisah dari teks yang mendahului. Kutipan seperti
ini dibuat menjorok ke dalam baris baik dari tepi kanan maupun
dari tepi kiri halaman dengan spasi tunggal. Kutipan seperti ini
dibuat jika teks yang dikutip lebih dari 4 baris.
Contoh:
Murti (2019) menjelaskan bahwa:
Reformasi tahun 1998 telah mengubah paradigma
tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dari tatanan kehidupan yang serba
sentralistik ke desentralistik. Masyarakat bawah
yang menjadi sasaran kini didorong untuk menjadi
pelaku dalam proses pembangunan bangsa. Sejak
itu, bangsa kita mengalami apa yang kita kenal
dengan “gegar budaya”. Rupanya rakyat
Indonesia belum siap untuk mereformasi diri,
mengubah diri dari negara agraris menjadi negara
industri. Mau tidak mau, nilai konvensional sedikit
demi sedikit berubah. Masyarakat merasa
terdorong melakukan pemodernan (sesuai
anggapan mereka masing-masing), pembaruan,
tetapi lambat laun meninggalkan tatanan lama
bahkan tanpa mereka sadari juga melanggar aturan
lama.
2) Kutipan langsung ditulis di antara tanda kutip (“) dan terpadu
dengan teks. Pada pengutipan ini, nama pengarang dan tahun
terbitan dapat diletakkan pada awal kalimat maupun di akhir
kalimat.
Contoh: (nama pengarang diletakkan di awal kalimat)
Murti (2019) menyimpulkan, “Ritual merupakan
serangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara
simbolis berdasarkan tradisi suatu komunitas
tertentu yang sudah diatur atau ditentukan dan
dilaksanakan secara ketat”.
atau:
173
Murti (2019:1) menyimpulkan, “Ritual merupakan
serangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara
simbolis berdasarkan tradisi suatu komunitas
tertentu yang sudah diatur atau ditentukan dan
dilaksanakan secara ketat”.
Contoh: (nama pengarang diletakkan di akhir kalimat)
Pada tulisan yang lain disimpulkan “Ritual
merupakan serangkaian kegiatan yang
dilaksanakan secara simbolis berdasarkan tradisi
suatu komunitas tertentu yang sudah diatur atau
ditentukan dan dilaksanakan secara ketat” Murti
(2019:1).
atau:
Pada tulisan yang lain disimpulkan “Ritual
merupakan serangkaian kegiatan yang
dilaksanakan secara simbolis berdasarkan tradisi
suatu komunitas tertentu yang sudah diatur atau
ditentukan dan dilaksanakan secara ketat” (Murti,
2019:1).
Pada kutipan langsung, terdapat tiga prinsip yang harus
diperhatikan yaitu:
a) tidak boleh mengubah naskah asli (sumber rujukan) meskipun
pada naskah tersebut terjadi kesalahan penulisan;
b) memberikan tanda pada kutipan yang salah menggunakan [sic!]
yang diletakkan setelah tiap kata yang salah; dan
c) memberi tanda pada bagian kutipan yang dihilangkan.
Contoh:
“Diplomasi dapat diartikan sebagai proses
komunukasi [sic!] antar pelaku hubungan
internasional untuk mencapai tujuan bersama atau
kesepakatan tertentu” (Jayadi, 2012).
atau:
“Diplomasi dapat diartikan sebagai proses
komunukasi [sic!] antarpelaku hubungan
internasional untuk mencapai tujuan bersama atau
kesepakatan tertentu” (Jayadi, 2012:12).
Pada contoh tersebut terjadi kesalahan ketik pada naskah asli,
yaitu kata komunukasi yang seharusnya komunikasi. Kesalahan
tersebut tetap dikutip sesuai aslinya dan diberi tanda [sic!] yang
berarti “demikian adanya”. Tanda [sic!] menggunakan kata “sic!”
174
yang merupakan singkatan dari bahasa latin “sic erat scriptum” atau
dalam bahasa Inggris adalah “thus was it written”.
Selain itu, terkadang ada beberapa teks yang dibaca hanya
sebagian kalimat saja yang dianggap relevan dengan informasi yang
akan dikutip namun dianggap penting untuk ditampilkan. Penulis
tetap dapat mengutip bagian yang dianggap relevan dengan
menghilangkan bagian teks yang dianggap kurang relevan tersebut.
Berikut adalah contoh cara pengutipan yang menghilangkan sebagian
teks karena dianggap kurang relevan.
Contoh:
“Indonesia sebagai bangsa besar dengan
keanekaragaman suku dan budaya, memiliki ribuan
ekspresi kebudayaan, termasuk keanekaragaman
tradisi lisan dan bahasa ... Praktik-praktik
kebudayaan, sebut saja tradisi lisan yang
menggunakan sastra dan bahasa sebagai media,
seringkali mengalami tumpang tindih secara
intertekstualitas akibat daya kreativitas. Maka tidak
mengherankan bentuk-bentuk tradisi lisan begitu
variatif akibat praktik-praktik transkreasi (Murti,
2016:3).
atau
Murti (2016) mengatakan, “Indonesia sebagai
bangsa besar dengan keanekaragaman suku dan
budaya, memiliki ribuan ekspresi kebudayaan,
termasuk keanekaragaman tradisi lisan dan bahasa
... Praktik-praktik kebudayaan, sebut saja tradisi
lisan yang menggunakan sastra dan bahasa sebagai
media, seringkali mengalami tumpang tindih secara
intertekstualitas akibat daya kreativitas ...
Pada contoh tersebut, terdapat tanda ... (3 tanda titik) ditengah
kutipan yang menunjukkan bagian teks yang dihilangkan berada di
tengah naskah. Jika bagian teks yang dihilangkan berada di bagian
akhir, maka ditandai dengan .... (4 tanda titik).
b. Kutipan Tidak Langsung
Jenis kutipan ini merupakan kutipan yang ditulis berdasarkan
penerjemahan atau interpretasi sebuah sumber bacaan yang
selanjutnya ditulis dengan bahasa dan gaya penulis. Tidak seperti
kutipan langsung, penulisan kutipan tidak langsung hanya dapat
dibuat dengan satu pola yaitu terpadu dengan teks tanpa tanda kutip.
175
Pada kutipan ini, nama pengarang dan tahun terbitan dan atau nomor
terbitan dapat diletakkan pada awal, di tengah maupun di akhir
kalimat.
1) Jika nama pengarang ditulis sebelum kutipan,
Contoh:
Menurut Saryono (2006) bahwa yang disebut
“tanah air” Indonesia sudah terisi dan ditumbuhi
oleh beratus-ratus budaya dan bahasa lokal yang
dipangku oleh komunitas-komunitas lokal
setempat.
atau:
Menurut Saryono (2006:75) bahwa yang disebut
“tanah air” Indonesia sudah terisi dan ditumbuhi
oleh beratus-ratus budaya dan bahasa lokal yang
dipangku oleh komunitas-komunitas lokal
setempat.
2) Jika nama pengarang ditempatkan setelah kutipan,
Contoh:
“Tanah air” Indonesia sudah terisi dan ditumbuhi
oleh beratus-ratus budaya dan bahasa lokal yang
dipangku oleh komunitas-komunitas lokal
setempat (Saryono, 2006).
atau:
“Tanah air” Indonesia sudah terisi dan ditumbuhi
oleh beratus-ratus budaya dan bahasa lokal yang
dipangku oleh komunitas-komunitas lokal
setempat (Saryono, 2006:75).
3) Jika kutipan diambil dari dua sumber rujukan atau lebih maka di
antara sumber rujukan ditulis tanda titik koma (;).
Contoh:
Penggunaan antibiotik dalam bidang mikrobiologi
dapat berdampak negatif bagi penggunanya jika
penggunaannya tidak dilakukan dengan tepat
(Razak, 1982; Santoso dan Indriati, 1995; Pratiwi
dkk., 2012).
atau:
Penggunaan antibiotik dalam bidang mikrobiologi
dapat berdampak negatif bagi penggunanya jika
penggunaannya tidak dilakukan dengan tepat
176
(Razak, 1982:112; Santoso dan Indriati, 1995:231;
Pratiwi dkk., 2012:12).
5.8 Tips Menghindari Plagiarism
Plagiarisme adalah cara pandang melegalkan penjiplakan,
pengambilan karya, tulisan, pandangan orang lain. Aktivitas plagiarisme
dikenal dengan plagiat. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan
RI No. 17 Tahun 2010, telah menjelaskan dalam pasal 1 ayat (1) bahwa
“Plagiat adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh
atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah,
dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak
lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara
tepat dan memadai.” Menurut Soelistyo (2011) ada beberapa tipe
plagiarisme, yakni sebagai berikut.
a. Plagiarisme kata demi kata (word for word plagiarism). Penulis
menggunakan kata-kata penulis lain (persis) tanpa menyebutkan
sumbernya.
b. Plagiarisme atas sumber (plagiarism of source). Penulis
menggunakan gagasan orang lain tanpa memberikan pengakuan yang
cukup (tanpa menyebutkan sumbernya secara jelas).
c. Plagiarisme Kepengarangan (plagiarism of authorship). Penulis
mengakui sebagai pengarang karya tulis karya orang lain.
d. Self Plagiarism. Termasuk dalam tipe ini adalah penulis
mempublikasikan satu artikel pada lebih dari satu redaksi publikasi
dan mendaur ulang karya tulis ilmiah. Seharusnya ketika mengutip
karya sendiri, maka ciptaan karya baru yang dihasilkan harus
memiliki perubahan yang berarti. Dengan demikian, karya lama
merupakan bagian kecil dari karya baru yang dihasilkan sehingga
pembaca akan memperoleh hal baru.
Sebagai akademisi dan peneliti, sudah seharusnya menjunjung tinggi
hasil pemikiran dan penelitian orang lain. Justru akan lebih baik lagi bila
hasil pemikiran atau penelitian kita dapat mendukung atau menguji hasil
pemikiran dan penelitian orang lain. Dengan begitu, ilmu pengetahuan
akan berkembang, Beberapa hal dapat dilakukan untuk menghindari
aktivitas plagiarisme sebagai berikut.
1) Penulis hendaknya menguasai keterampilan berbahasa (khususnya
membaca dan menulis) dengan baik sehingga memiliki rasa percaya
diri yang tinggi terhadap hal yang ditulisnya.
2) Penulis harus menguasai tekni pengutipan dengan baik, baik teknik
pengutipan secara langsung, maupun tidak langsung.
177
3) Penulis perlu memperkaya bahan bacaan yang mutakhir bila perlu
bahan yang berasal dari artikel jurnal internasional setidaknya 70%
agar topik yang dibahas mengikuti perkembangan dan menjawab
kebutuhan zaman.
4) Peneliti harus memiliki sikap jujur dan bertanggung jawab atas hal
yang ditulisnya.
5) Peneliti dapat tetap menggunakan teknik parafrase dengan wajib
menuliskan sumber rujukan.
6) Sebelum mengirimkan karya tulis ilmiahnya, peneliti dapat mengecek
tingkat plagirismenya menggunakan alat pendeteksi plagiarisme,
seperti Turnitin, Wcopyfind, dan sebagainya.
7) Penggunaan aplikasi Zotero, Endnote dan aplikasi sejenis untuk
pengelolaan sitiran dan daftar pustaka.
5.9 Rangkuman
Praktik menulis karya ilmiah, membutuhkan persiapan yang matang
terkait penyediaan bahan bacaan (eksplorasi) guna memperkaya pemikiran
dan tulisan, pengembangan tulisan, dan perbaikan tulisan untuk mencapai
kesempurnaan. Pada tahap menyiapkan bahan tulisan, penulis harus
melakukan aktivitas membaca bahan-bahan terkait topik. Keterampilan
membaca kritis dapat dilatih melalui teknik membaca skimming, scanning,
KWLH, dan SQ3R. Selain itu, penulis harus terlebih dahulu memahami
tiga pilar ilmu yang wajib ada dalam karya tulis ilmiah, yaitu ontologi,
epistimologi, dan aksiologi. Ketiga dimensi ilmu tersebut harus dinyatakan
secara jelas agar pembaca mudah mengambil informasi dan manfaat karya
tulis ilmiah.
Tahapan menulis karya ilmiah meliputi tahap perencanaan,
pengembangan tulisan, dan perbaikan. Masing-masing tahapan harus
dilakukan secara sungguh-sungguh, objektif, konsisten, dan sistematis
mengikuti sistematika karya tulis ilmiah. Sikap jujur dan bertanggung
jawab harus dijunjung tinggi oleh peneliti agar terbebas dari aktivitas-
aktivitas plagiarisme.
5.10 Bahan Diskusi
Setelah mempelajari materi tentang penulisan karya tulis ilmiah,
Saudara memahami pentingnya proses menulis dan karya tulis ilmiah
untuk mendukung perkembangan ilmu dan teknologi. Untuk itu, kiranya
sangat besar harapan bangsa kepada generasi muda untuk turut berkiprah
dalam kegiatan-kegiatan akademis (ilmiah) guna mendukung pemajuan
bangsa dan negara.
178
5.11 Daftar Rujukan
Chaer, A. (2011). Ragam Bahasa Ilmiah. Jakarta: Rineka Cipta.
Dwiloka, B. (2005). Teknik Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Rineka Cipta.
Hidayat, Ade. 2015. Persoalan Filsafat Ilmu. (Ebook)
https://www.researchgate.net/publication/284442954 diaksses pada
tanggal 28 September 2019.
Jahja, A. S. 2017. Perbedaan Skripsi, Thesis, dan Disertasi. (On Line)
https://dosen.perbanas.id: https://dosen.perbanas.id/perbedaan-
skripsi-thesis-dan-disertasi/ diakses pada tanggal 12 April 2019.
Mirahayuni, Ni Ketut. 2018. Abstraksi dalam Bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia Ilmiah dan Implikasinya bagi Penulisan Artikel
Berbahasa Inggris (Abstraction in English and Indonesian Scientific
Language and its Implication on English Article Writing). Mozaik
Humaniora Vol. 18 (2): 214-224. (On Line) https://e-
journal.unair.ac.id/MOZAIK/article/download/10936/6212 diakses
pada tanggal 18 September 2019.
Mussofa. 2012. Proses Membaca dan Hubungannya dengan Proses
Berpikir. (On Line)
https://massofa.wordpress.com/2012/01/02/proses-membaca-dan-
hubungannya-dengan-proses-berpikir/ diakses pada tanggal 20 Juni
2019.
Patiung, Dahlia. 2016. Membaca sebagai Sumber Pengembangan
Intelektual. Artikel. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin
Makassar. (On Line) http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/viewFile/4854/4346
diakses pada tanggal 18 September 2019.
Soelistyo, H. (2011). Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan
Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sumarto. 2017. Filsafat Ilmu. Jambi: Pustaka Ma’arif Press. (Ebook).
https://staimaarif-jambi.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/BUKU-
FILSAFAT-ILMU.pdf diakses pada tanggal 27 Juli 2019.
179
Syarifuddin, d. 2013. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi. Makassar:
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin.
Tampubolon, DP. 1987. Kemampuan Membaca: Teknik Membaca Efektif
dan Efisien. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tim. 2007. Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa. Universitas Jember.
Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Tim. 2016. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jember: UPT Penerbitan
Universitas Jember.
5.12 Latihan Soal
Kerjakanlah soal-soal berikut untuk menguji pemahaman Saudara terkait
materi penulisan karya tulis ilmiah!
1. Jelaskan menurut pemahaman Saudara yang dimaksud dengan karya
tulis ilmiah dan sebutkan ciri-cirinya!
2. Cobalah Saudara paparkan kembali tiga pilar ilmu dalam karya tulis
ilmiah yakni ontologis, epistimologis, dan aksiologis!
3. Menurut Saudara samakah abstrak dan ringkasan? Bila berbeda,
jelaskan perbedaan antara keduanya!
4. Apa tanggapan Saudara bila dikatakan penulis yang baik adalah
pembaca yang baik?
5. Buatlah karya tulis ilmiah sesuai bidang akademik Saudara dengan
terlebih dahulu membuat kerangka karangan. Tulislah dengan
memperhatikan sistematika dan logika penalaran yang tepat! Ketik
dalam format kertas A4 menggunakan font Times New Roman 12
spasi 1,5 maksimal 8-10 halaman.
180
BAB 6. KETERAMPILAN BERBICARA DALAM FORUM ILMIAH
(PRESENTASI)
6.1 Pengantar
Seseorang dapat saja memiliki keterampilan menulis dengan baik,
tetapi belum tentu dalam hal berbicara. Terlebih dalam hal
mempertahankan pandangan teoritis terhadap suatu masalah. Hal yang
dipaparkan hendaklah memenuhi aspek kejelasan, penalaran yang baik,
kelogisan, sekaligus kesantunan yang mencerminkan budaya. Dalam
presentasi karya tulis ilmiah, penyampaian gagasan, teori, dan hasil diskusi
disampaikan secara lisan (berbicara). Presentasi ilmiah merupakan
aktivitas penyebaran hasil telaah teori, kajian ilmu, makalah, dan/atau hasil
penelitian (disseminasi) melalui penyajian materi oleh presentator dalam
suatu forum ilmiah yang melipatkan peserta sebidang. Presentasi ilmiah
lazim dilakukan dalam seminar-seminar nasional dan internasional. Dalam
kegiatan presentasi, seringkali menuntut adanya diskusi aktif antara peserta
dan presentator. Untuk menciptakan suasana yang kondusif dan
mendukung jalannya presentasi, presentator perlu memperhatikan aspek
kebahasaan dan nonkebahasaan. Berikut beberapa hal terkait keterampilan
berbicara dalam forum ilmiah (presentasi).
6.2 Berbicara sebagai Kapabilitas Berbahasa
Pembahasan bahasa dapat difokuskan pada segi keilmuannya yang
berhubungan dengan teori-teori bahasa dan pada aspek praktis atau
aplikatif. Aspek praktis atau aplikatif berkaitan dengan pengetahuan
menggunakan bahasa. Dalam bidang pembelajaran bahasa, pembelajaran
keterampilan berbahasa merupakan realisasi dari pendekatan komunikatif.
Dalam pendekatan tersebut, kita belajar bagaimana menggunakan dan
menerapkan pengetahuan bahasa dalam berkomunikasi. Keterampilan
berbahasa tersebut secara urut dalam proses pemerolehannya dimulai dari
menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.
Kemampuan Akhir yang Diharapkan (KAD)
Mahasiswa mampu mempresentasikan hasil karya tulis ilmiah
yang dibuat menggunakan bahasa yang baik dan benar serta
santun.
181
Berbicara merupakan proses yang melibatkan beberapa sistem
fungsi tubuh. Seseorang yang berkomunikasi dengan bahasa oral (mulut)
membutuhkan kombinasi yang serasi antara sistem neuromuskular untuk
mengeluarkan fonasi dan artikulasi suara (Wahyuni, 2008). Definisi
tersebut merupakan definisi fonetis yang berfokus pada cara menghasilkan
suara dalam berkomunikasi. Berbicara dalam pembelajaran di perguruan
tinggi tidak didefinisikan secara sempit, dibatasi pada kemampuan
merealisasinya bunyi bahasa untuk memyampaikan maksud, tetapi
didefinisikan pada kemampuan dalam menyampaikan pengetahuan dengan
proses berpikir tingkat tinggi. Berbicara dalam konteks pembelajaran di
pergurua tinggi merupakan wujud kapabilitas berbahasa atau kemampuan
berbahasa yang mencerminkan kedalaman pengetahuan, kemampuan
bernalar, dan kemampuan menyajikan dalam tuturan yang memahamkan
mitra tutur.
Pringgawidagdo (2002) menyatakan bahwa bahasa merupakan
sarana berkomunikasi secara individual dan sosial. Demikian pula halnya
dengan berbicara. Saat kita berbicara dengan Tuhan dalam berdoa, secara
individual, kita mengatur diri kita, perasaan dan keyakinan diri, kepada
Tuhan. Sejatinya, tuturan tersebut dari diri kita dan untuk diri kita yang
kita nyatakan kepada Tuhan. Dalam kehidupan sosial, kita pun berbicara
untuk mencapai tujuan kita. Secara fungsional, manusia dapat berbicara
untuk keperluan mengekspresikan diri (fungsi ekspresif/emotif), untuk
menginformasikan (fungsi referensial), dan untuk meraih tujuan atas
tindakan mitra tutur (fungsi konatif). Bühler (2011) menyatakan ketiga
fungsi tersebut berdasarkan fokus berbahasa kita. Jika berfokus pada diri
kita maka kita sedang menerapkan fungsi ekspresif, jika berfokus pada isi
pesan maka yang kita terapkan adalah fungsi referensial, dan jika berfokus
pada mitra tutur maka kita sedang menerapkan fungsi konatif. Dari
ketiganya dapat disimpulkan bahwa ketika kita berbicara atau pun
berbahasa kita sedang dihadapkan pada tujuan berbicara: menyatakan diri,
memberikan informasi, dan membujuk atau menghibur. Sejalan dengan hal
tersebut, tujuan utama berbicara adalah menyampaikan pikiran secara
efektif, kemudian mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap
pendengarnya. Menurut Och dan Winker, pada dasarnya berbicara
mencakup tiga tujuan, yaitu memberi tahu, melaporkan (to inform),
menjamu, menghibur (to entertain), dan membujuk, mengajak, mendesak,
meyakinkan (to persuade). Pada tujuan pertama, pembicara akan berupaya
memperjelas objek yang dibicarakan dalam bahasa yang sederhana dengan
bantuan ilustrasi yang memperjelas objek. Pada tujuan kedua dan ketiga,
182
pembicara berfokus pada penyimak (mitra tuturnya), memahami mitra
tutur dalam memperhatikan objek atau tindakan yang dibawanya.
Sebagai bagian interaksi, kita membutuhkan respon dari apa yang
dibicarakan. Bahasa lisan atau berbicara adalah alat komunikasi berupa
simbol yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, berupa lambang-lambang
bunyi dan gerak yang diterima oleh komunikan sehingga dapat dimengerti
pesan yang ingin disampaikan oleh komunikan. Dari kegiatan itu, akan
timbul sebuah reaksi berupa jawaban ataupun tindakan lain (Wahyuni,
2008). Dari aspek kemampuan berpikir atau bernalar, Musaba (2012)
menyatakan bahwa kemampuan berbicara merupakan kemampuan
mengemukakan ide atau buah pikirannya serta perasaannya dengan jelas
kepada orang lain. Dengan demikian, berbicara kemampuan berbicara
diindikasikan oleh pahamnya seseorang terhadap apa yang kita bicarakan.
Pembicara yang baik mampu memahamkan pengetahuan dan maksud
dengan baik, meyakinkan orang lain tentang apa yang dikatakannya.
Namun, pengertian tersebut bukan pengertian mutlak yang perlu
ditekankan pada hasil. Mengapa demikian? Itu semua perlu kita pandang
dari aspek strategi. Di samping mampu memahamkan dan mengubah
pandangan dengan meyakinkan orang lain, pembicara yang baik pun
menerapkan aspek ketepatan proses dalam mengemukaan pengetahuan dan
maksudnya.
Kapabilitas berbahasa, khususnya berbicara, mengarah pada dua hal
yaitu ketercapaian tujuan dan realisasi strategi tutur yang baik dan santun.
Dengan kata lain, kapabilitas berbahasa merupakan gambaran kecerdasan
dan karakter yang baik. Seseorang yang mampu menyampaikan
pengetahuan, tetapi membuat mitra tutur terancam mukanya, tidak
nyaman, dan membuat situasi semakin tidak baik, tentu tidak bisa
dikatakan memiliki kapabilitas berbicara yang baik. Seorang pemimpin
yang berhasil mengelola pekerjaannya belum bisa dikatakan sukses jika
belum mampu menjadi penggunan bahasa yang baik. Bahasa seorang
pemimpin mencerminkan kewibawaan. Ketepatan pandangan dan cara
berpikir akan semakin baik dan menunjukkan jati diri positif jika
dinyatakan dalam kalimat yang baik dan benar yang di dalamnya
mencerminkan kesantunan.
6.3 Hubungan Keterampilan Berbicara dengan Keterampilan
Berbahasa Lain
Keterampilan berbicara berkaitan dengan komponen bahasa lainnya.
Keterampilan berbicara ditunjang oleh keterampilan berbahasa lain dan
keterampilan berbicara pun menunjang keterampilan berbahasa lainya.
183
Keterampilan berbahasa dibagi menjadi dua berdasarkan unsur
tindakannya, yaitu reseptif dan produktif. Keterampilan berbahasa yang
bersifat reseptif yaitu, menyimak dan membaca, sedangkan yang bersifat
produktif yaitu berbicara dan menulis. Reseptif berarti menerima produk
yang dilakukan orang lain, sedangkan produktif memproduksi bahasa
untuk orang lain. Jika terdapat pengertian keterampilan berbahasa
berbahasa reseptif bersifat pasif, tidak melakukan apa-apa, merupakan
pernyataan yang kurang tepat. Pada umumnya semua keterampilan
berbahasa bersifat produktif karena meskipun diam tidak memproduksi
bahasa, orang yang membaca atau menyimak berpikir dan berupaya
memahami apa yang dibaca atau disimaknya dengan bernalar,
membandingkan, mengevaluasi, atau menganalisis. Pembagian reseptif
dan pasif berdasarkan ada tidaknya produksi bahasa pada saat aktivitas
berlangsung. Terlebih lagi, setelah beraktivitas secara reseptif, pembaca
dan penyimak harus memproduksi kembali bahan simakannya. Secara
otomatis, hal tersebut menunjukkan adanya kinerja yang telah diproses
sebelumnya.
Dari segi wujudnya, keterampilan berbahasa dibagi menjadi
keterampilan lisan dan tulis. Keterampilan lisan merupakan keterampilan
yang memerlukan unsur kelisanan (tuturan), yaitu menyimak dan
berbicara. Keterampilan tulis berobjek bahasa tulis berupa wacana.
Keterampilan tulis meliputi membaca dan menulis. Secara utuh, kita
menggunakan keempat keterampilan tersebut untuk beraktivitas sehari-
hari. Keempat keterampilan tersebut saling memengaruhi dan
berhubungan.
6.3.1 Hubungan Berbicara dengan Menyimak
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa kemampuan
berbahasa seseorang diperoleh dengan pola yang teratur dan tetap.
Kemampuan berbicara dimulai dengan proses menyimak. Hal yang
didengarnya atau disimaknya merupakan bahan untuk berbicara dari aspek
kebahasaan dan nonkebahasaan. Aspek non kebahasaan berkaitan dengan
cara bertutur, pilihan kata, kecenderungan pola kalimat, penekanan-
penekanan kata tertentu dan sebagainya. Oleh karena itu, cara berbicara
kita dipengaruhi oleh lingkungan tempat kita menyimak berbagai hal. Ada
benarnya pula ketika terdapat pemikiran bahasa anak merupakan cerminan
bahasa orang tuanya. Aspek nonverbal berkaitan dengan cara berpikir,
kecenderungan pemahaman, dan ideologi yang muncul dari pemikiran dan
kekritisan pembicara di sekelilingnya. Dengan demikian, apa yang disimak
akan menentukan cara bertutur dan cara berpikir. Hal tersebut akan
mengembangkan keterampilan berbicarnya.
184
Kemampuan berbicara dijadikan tolok ukur kemampuan menyimak.
Dalam kehidupan kampus, mahasiswa berbicara sebagai hasil kegiatan
menyimak secara komprehensif dan kritis. Oleh karena itu, untuk
memaksimalkan kemampuan kita dalam berbicara, kita pun harus menjadi
penyimak yang baik. Seperti apakah penyimak yang baik itu?
Wuryaningrum (2019) menyatakan bahwa menyimak melibatkan syaraf
kognitif yang berproses dalam sistem auditori: penyimak memerlukan
kemampuan untuk memiliki sikap yang baik agar menjadi penyimak yang
baik. Penyimak yang baik memiliki kemampuan kognitif dengan cepat dan
tepat memahami, mengevaluasi, dan menganalisis bahan simakan juga
bersikap baik dan tenang secara psikologis. Penyimak yang baik tidak
terpengaruh oleh hal-hal yang akan mengganggu konsentrasinya.
Lebih rinci, Anderson & Lynch (1988) dalam Wuryaningrum (2019)
menyatakan ciri-ciri penyimak yang baik sebagai berikut.
a. Mempersiapkan Sikap fisik dan Mental
Penyimak yang baik ialah penyimak yang betul-betul mempersiapkan
diri untuk tidak menyimak. Ia memiliki kesiapan fisik dan mental
misalnya, dalam kondisi yang sehat, lelah, mental stabil, dan pikiran
jernih.
b. Berkonsentrasi
Penyimak yang baik dapat memusatkan perhatian dan pikirannya
terhadap apa yang disimak. Bahkan ia dapat menghubungkan bahan
yang disimak dengan apa yang sudah diketahui.
c. Bermotivasi
Penyimak yang baik mempunyai motivasi atau mempunyai tujuan
tertentu. Misalnya; ingin menambah pengetahuan, ingin mempelajari
sesuatu. Ada tujuan atau motivasi ini tentunya untuk memotivasi
penyimak untuk sungguh-sungguh menyimak.
d. Objektif
Penyimak yang baik adalah penyimak yang selalu tahu tentang apa
yang sedang dibicarakan dan sebaiknya penyimak selalu menghargai
pembicara, walaupun pembicara kurang menarik penampilannya atau
sudah dikenal oleh penyimak.
e. Menyimak secara utuh (menyeluruh)
Penyimak yang baik akan menyimak secara utuh atau keseluruhan. Si
penyimak tidak hanya menyimak yang disukai, tetapi menyimak
secara keseluruhan.
f. Selektif
185
Penyimak yang baik dapat memilih bagian-bagian yang dianggap
penting dari bahan simakan. Tidak semua bahan simakan diterima
begitu saja, tetapi ia dapat menentukan bagian yang dianggap penting.
g. Tidak mudah terganggu
Penyimak yang baik tidak mudah terganggu oleh suara-suara yang
lain di luar bunyi yang disimaknya. Andaikata ada gangguan yang
membedakan perhatiannya, dengan cepat ia kembali kepada bahan
yang disimaknya.
h. Menghargai pembicara
Penyimak yang baik adalah penyimak yang menghargai pembicara.
Penyimak tidak boleh menganggap remeh terhadap pembicara.
i. Cepat menyesuaiakan diri dan kenal arah pembicaraan
Penyimak yang baik dapat dengan cepat menduga ke arah mana
pembicaraan bahkan mungkin ia dapat menduga garis besar isi
pembicaraan.
j. Tidak emosional
Penyimak yang baik dapat menyimak dengan baik terhadap pokok
pembicaraan serta dapat mengendalikan emosinya dan tidak mencela
pembicara.
k. Kontak dengan pembicara
Penyimak yang baik mencoba mengadakan kontak dengan pembicara.
Misalnya dengan memperhatikan pembicara, memberikan dukungan
kepada pembicara melalui mimik, gerak atau ucapan tertentu.
l. Merangkum
Penyimak yang baik dapat menangkap isi pembicaraan atau bahan
simakan. Misalnya dengan membuat rangkuman dan menyajikan atau
menyampaikannya sesudah selesai menyimak. Namun perlu diingat,
selama menyimak jangan hanya asyik membuat catatan-catatan.
Apabila mencatat semua yang diucapkan atau semua yang
disampaikan pembicara, sehingga pesan pembicara tidak lagi dapat
dipahami.
m. Menilai
Penyimak yang baik ialah proses penilaian terhadap materi yang
disampaikan. Pada saat ini penyimak mulai menimbang, memeriksa,
membandingkan apakah pokok-pokok pikiran yang dikemukakan si
pembicara dikaitkan atau dihubungkan dengan pengalaman atau
pengetahuan si penyimak, sehingga ia dapat menilai kekuatan bahan
simakan tersebut.
n. Mendengarkan tanggapan
186
Bagian terakhir dari proses menyimak ialah mengevaluasi bahan
simakan. Penyimak mengemukakan tanggapan atau reaksi misalnya,
dengan mengemukakan komentar. Reaksi akan terlihat dalam bentuk
bahasa dan terpancar dari ucapan-ucapan yang pendek seperti; wah,
menarik sekali, bagus, setuju, sependapat dan sebagainya.
6.3.2 Hubungan Berbicara dengan Membaca
Kemampuan berbahasa lainnya yang erat kaitannya dengan
berbicara adalah membaca. Membaca merupakan keterampilan berbahasa
yang bersifat pemahaman. Untuk memahami bacaan dan menunjukkan
pemahaman dari kegiatan membaca, berbicara dijadikan metode dalam
melakukan asesmen. Setelah membaca, mahasiswa harus mampu
memroduksi apa yang dibacanya dalam kegiatan berpresentasi atau
berdiskusi. Beberapa kegiatan perkuliahan pun menunjukkan hubungan
berbicara dengan membaca melalui kemampuan bertanya. Setelah
membaca, mahasiwa diminta untuk bertanya secara kritis yang
menunjukkan pemahaman dengan pertanyaan yang berkualitas.
Kemampuan berbicara sebagai kemampuan produktif memerlukan
bahan yang diolah secara kognitif untuk diproduksi dalam kegiatan
berbicara. Bahan tersebut dapat diperoleh dari kegiatan membaca.
Membaca sesuai bidang yang akan kita bahas atau kita sajikan akan
meningkatnya kualitas pembicaraan kita. Dengan demikian, membaca
akan memandu atau menuntun kita memperluas pemahaman untuk
memperkaya konten pembicaraan kita.
6.3.3 Hubungan Berbicara dengan Menulis
Keterampilan menulis merupakan keterampilan berbahasa tingkat
tinggi. Menulis merupakan keterampilan bahasa yang bersifat produktif
seperti keterampilan berbicara. Kemampuan menulis merupakan saran
pendukung kemampuan berbicara. Pada saat tertentu, kemampuan
berbicara memerlukan naskah atau makalah (Mulyati, 2010). Di situlah
peran penulis yang baik diperlukan. Kemampuan menulis makalah akan
menjadi jalan untuk mengabstraksi dan memaparkan pembicaraan kita.
Tulisan yang baik akan mudah dimengerti dan mudah disajikan oleh
pembicara. Di samping itu, banyak jenis kegiatan berbicara yang
memerlukan naskah-naskah tertulis. Dalam kegiatan seminar, pemakalah
diminta untuk menulis artikel atau makalah lalu mempresentasikan artikel
tersebut. Artikel yang berkualitas akan menghasilkan materi pembicaraan
yang berkualitas pula. Secara langsung, keterampilan menulis menentukan
keberhasilan presentasi. Adakalanya, terdapat kesenjangan. Penulis yang
187
baik bukan pembicara yang baik dan sebaliknya. Oleh karena itu, perlu
kesdaran bahwa keterampilan dapat dilatihkan. Dengan berfokus dan
berlatih, kita pasti bisa melakukannya.
Di samping itu, menulis sangat diperlukan dalam kegiatan berbicara
dialog (Mulyati, 2010). Pendapat tersebut sangat tepat. Ketika kita sedang
mewawancarai seseorang, pewawancara menyampaikan pertanyaan dan
narasumber memberikan respon berupa jawaban. Jawaban atau respon
tersebut harus sesuai dengang pertanyaan atau informasi yang dibutuhkan.
Dalam hal ini, kita tidak bisa mengandalkan kemampua menyimak. Kita
perlu menuliskan hasil wawancara tersebut untuk menjaga dan melakukan
kroscek kesesuaian antara pertanyaan dengan respon atau jawaban.
Keterampilan menulis sangat diperlukan untuk menelaah hasil
pembicaraan saat wawancara atau dialog. Oleh karena itu, keterampilan
menulis diperlukan untuk meningkatkan kualitas hasil pembicaraan kita.
6.4 Berbicara pada Forum Ilmiah
Berbicara pada forum ilmiah memiliki etika atau kaidah yang harus
kita penuhi agar membawa kesuksesan dalam menyampaikan informasi,
meningkatkan kualitas pengetahuan, atau memecahkan masalah. Sebelum
berfokus pada kaidah berbicara pada forum ilmiah secara spesifik,
misalnya diskusi, debat, atau bentuk komunikasi lain. Perlu kita perhatikan
teknik berbicara secara umum dan teknik berbicara di depan umum.
Dalam kehidupan kita sehari-hari di kampus, penampilan
merupakan hal yang perlu diperhatikan. Penampilan yang bersih dan rapi
menunjang kualitas kita dalam dunia akademik. Tidak hanya penampilan
yang baik, seorang juga harus mempunyai kemampuan berbicara dengan
baik. Musaba (2012) menyatakan bahwa kemampuan berbicara bermanfaat
untuk (1) memperlancar komunikasi antarsesama, (2) mempermudah
pemberian informasi, (3) meningkatkan kepercayaan diri, (4)
meningkatkan kewibawaan diri, (5) mempertinggi dukungan publik, (6)
menjadi penunjang meraih prodesi atau pejerjaan, dan (8) meningkatkan
mutu profesi atau pekerjaan. Keterampilan berbicara tersebut berkaitan
erat dengan kehidupan sosial dan kehidupan ilmiah. Keduanya merupakan
cerminan pengetahuan dan kepribadian (etika) kita. Sebelum berfokus
pada kegiatan berbicara dalam forum ilmiah, perlu kita perhatikan teknik
berbicara yang baik secara umum.
6.4.1 Teknik Berbicara yang Baik
Terdapat beberapa hal yang perlu kita perhatikan dalam berbicara agar
memenuhi kaidah berbicara yang baik.
188
a. Bicaralah ramah pada setiap orang. Keramahan menunjukkan
kerendahan hati dan upaya membuat orang lain nyaman. Keramhan
ditunjukkan dengan senyum dan kemampuan untuk memperhatikan
tuturan orang-orang di sekitar kita. Dengan kata lain kita tidak
bersikap angkuh dan tak acuh pada orang lain.
b. Artikulasi atau pelafalan harus jelas untuk menghindari
kesalahpahaman. Bersikap disiplin dalam berbicara dengan membuat
orang lain memahami apa yang kita bicarakan dapat diwujudkan
dengan mematuhi kaidah pelafalan dan mengupayakan pelafalan yang
jelas.
c. Perhatikan pemilihan kata atau diksi. Pilihan kata yang kurang tepat
dapat menimbulkan permasalahan. Misalnya, kata menyarankan tidak
sepenuhnya bisa diganti dengan kata memerintahkan, misalnya pada
kalimat, Bendahara menyarakan agar kita melakukan rapat di luar
kampus dengan kalimat Bendahara memerintahkan agar kita
melakukan rapat di luar kampus. Meskipun hasilnya sama: membuat
orang lain melakukan seperti yang dikatakan, tetapi memiliki nilai dan
makna yang berbeda. Kata menyarankan bernilai lebih halus dan
santun karena adanya ketidaktegasan (hesistancy) yang memberikan
pilihan kepada mitra tutur dan tidak menunjukkan adanya jarak sosial.
Berbeda halnya dengan kata memerintahkan yang menunjukkan
keharusan dan menunjukkan bahwa penutur adalah orang memiliki
kuasa lebih.
d. Fokuslah pada apa yang kita bicarakan dengan menyatakan dalam
kailmat yang efektif, berkaidah sesuai dengan situasi yang kita hadapi
baik formal maupun nonformal. Fokus pada pembicaraan kita ditandai
pula dengan pernyataan yang tidak berbelit-belit.
6.4.2 Teknik Berbicara di Depan Umum
Berbicara di depan umum bukanlah soal bakat atau keterampilan
yang diwariskan secara genetik. Ada kecenderungan orang tua yang
menjadi pembicara yang baik akan memiliki anak yang memiliki
kemampuan yang baik pula. Hal tersebut lebih mengarah pada adanya
pembiasaan anak memgamati orang tuanya atau dilatih pula oleh orang
tuanya. Oleh karena itu, belum ada penelitian yang menunjukkan adanya
hubungan secara genetis kpada kemampuan berbicara. Simpulannya,
kemampuan berbicara bisa dilatihkan. Keterampilan tersebut akan
meningkat sejalan dengan intensitas kita dalam berlatih dan keberanian
kita membawakan diri dalam forum. Kepercayaan diri perlu dipupuk sejak
189
dini dengan melatih diri bicara di depan publik dan bersosialisasi dengan
lingkungan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan ialah sebagai berikut:
a. tunjukkan antusias terhadap situasi dan pendengar. Kita harus
berupaya menunjukkan antusiasme dengan memperhatikan audien
dan menunjukkan sikap ramah dan bersahaja;
b. lakukan kontak mata 5-15 detik, dan tatapan kita pun harus bekeliling
bukan pada satu orang saja. Jadi, semua orang merasa diajak
berbicara;
c. perlihatkan senyuman agar lawan bicara fokus pada kita. Senyuman
sewajarnya untuk kita tunjukkan kepada orang lain dan memberikan
suasana tenang dan santai;
d. sisipkanlah humor, karena humor akan menghilangkan kejenuhan.
Perlu diketahui, humor yang berbau porno dan menyinggung SARA
perlu dihindari. Gurauan tersebut justru akan merendahkan diri kita di
mata orang lain. Banyak humor yang justru mencerdaskan. Kita bisa
belajar dari video dan buku-buku yang berkualitas;
e. fokus pada pembicaraan. Tidak perlu memperlihatkan semua
wawasan kita. Hal tersebut akan menunjukkan bahwa kita sedang
memamerkan diri dan tampak membuat hadiri tidak lebih tahu dari
kita. Posisikam diri kita sebagai orang yang menyampaikan informasi
dan hadiri adalah orang yang dapat memahaminya; dan
f. berikan pujian yang jujur pada orang lain, tanpa menyimpang dari
maksud. Pujian yang berlebihan pun akan mengundang rasa tidak
nyaman dan justru merendahkan karena dinilai memberikan nilai
ironi.
6.4.3 Teknik Membuka dan Menutup Pembicaraan
Pembicaraan akan terkesan menarik jika kita berhasil membuka dan
menutup dengan kesan yang baik. Dalam pembelajaran bahasa dikenal
tuturan ringan atau small talk, seperti ucapan salam, misalnya selamat
pagi, siang, sore atau malam. Dapat pula ucapan salam sesuai agama,
misalnya Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh atau
singkatannya. Untuk memancing perhatian, gunakanlah sambutan
berkaitan dengan rasa syukur, rasa bahagia, dan hal-hal positif lain. Akhir
pembicaraan memerlukan sedikit pembahasan dari apa yang dibicarakan.
Pembicara atau biasanya moderator harus mampu menyimpulkan hasil
pembicaraan untuk membantu pendengar mengabstraksi apa yang
dikatakan oleh pembicara. Sangat penting dalam kegiatan pembicaraan,
kita gunakan ilustrasi yang mendukung untuk membuat pendengar
memahami isi pembicaraan dan mudah mengingat materi.
190
Berbicara atau berkomunikasi secara profesional menuntut kesiapan
tiga hal. Pertama wawasan atau materi yang disampaikan, kedua cara
penyampaian yang meliputi gerak, intonasi suara, dan penekanannya,
ketiga penampilan. Semua hal tersebut dapat dipelajari asalkan siswa
memiliki kemauan. Yang sangat diperlukan adalah motivasi. Motivasi
merupakan komponen afektif yang akan membuat kita berhasil. Banyak
orang yang memiliki kemampuan intelektual bagus, tetapi kurang sukses
karena motivasinya yang rendah. Banyak pula orang yang di awal kurang
berkembang kognitifnya, tetapi memiliki motivasi yang tinggi. Golongan
yang kedua ini lebih mudah untuk sukses dan terdorong untuk belajar dan
berlatih lebih baik.
6.4.4 Diskusi Ilmiah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Diskusi bermakna
pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah. Dalam
pengertian tersebut, diskusi selalu bersifat ilmiah. Dengan demikian, jika
berbicara untuk menyelesaikan masalah yang tidak dilakukan dalam forum
ilmiah bukan termasuk diskusi. Istilah yang lebih tepat adalah berembug.
Dalam bahasa aslinya, bahasa Latin, discutio atau discusum bermakna
bertukar pikiran. Dalam bahasa Inggris, disccussion bermakna
perundngan. Dengan demikian, diskusi merupakan perundingan atau
pertukaran pikiran yang dilakukan oleh lebih dari satu orang untuk
memahami, menemukan masalah dan penyebabnya lalu mencari jalan
keluar atau solusinya. Jumlah peserta diskusi harus lebih dari dua orang.
Beberapa diskusi kelompok besar bahkan terdiri atas ratusan orang.
Diskusi merupakan cerminan kebudayaan bermusyawarah dalam budaya
Indonesia. Diskusi juga menunjukkan budaya gotong royong.
Kata ilmiah pada diskusi ilmiah memberikan makna khusus.
Diskusi tersebut mempunyai cara-cara yang lebih khusus dan kesimpulan
yang dihasilkan oleh diskusi tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu
(Sulistyo, 2016) disebut ilmiah karena, (1) materinya menyangkut
keilmuan, (2) memiliki asas moral yang melatarbelakangi ilmu tersebut.
Asas moral tersebut sangat mempengaruhi teknik berdiskusi dan hasil
diskusi. Dengan asas moral seperti itu, semua proses dalam pelaksanaan
diskusi dari persiapan diskusi sampai penyebarluasan simpulan harus
memenuhi etika keilmuan.
Sulistyo (2016) memaparkan beberapa teknik diskusi yang dapat
digunakan secara ilmiah maupun nonilmiah.
191
a. Diskusi Meja Bundar
Jika jumlah diskusi tidak terlalu banyak ( 5--15 orang), diskusi meja
bundar dapat dilakukan. Seorang ketua ditunjuk untuk memimpin
diskusi.
b. Diskusi berkelompok (buzz groups)
Jika peserta banyak dan yang didiskusikan bermacam-macam,
diskusi dapat dilaksanakan dalam kelompok-kelompok. Tiap
kelompok dipimpin oleh seorang ketua (kelompok). Demikian juga,
diskusi antar kelompok dipimpin oleh seorang ketua.
c. Diskusi panel
Diskusi panel merupakan forum pertukaran pikiran yang
dilakukan oleh sekelompok orang di hadapan sekelompk pendengar
mengenai suatu masalah tertentu yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Diskusi dipimpin oleh seorang moderator. Pada saat diskusi, para
anggota panel duduk berjejer menghadap ke arah para pendengar.
Moderator duduk di tengah para anggota panel. Urutan diskusi panel
diraikan sebagai berikut.
1) Tahap pertama, ketua mengumumkan pokok pembicaraan dan
menjelaskan berbagai istilah yang harus didefinisikan.
Selanjutnya, ketua memperkenalkan para anggota panel dan
mengemukakan tahap khusus pokok pembicaraan yang akan
diutarakan setiap anggota panel.
2) Tahap kedua, pembicaraan prasaran oleh para anggota panel.
Setelah diperkenalkan, anggota panel secara bergiliran
menyampaikan prasaran mereka.
3) Tahap ketiga, berdiskusi bebas. Setelah para anggota panel
selesai mengemukakan prasaran, anggota panel dipersilakan
untuk memberikan komentar terhadap gagasan lain,
menerangkan berbagai hal yang memerlukan penyelesaian yang
lebih rinci, dan mempertahankan pernyataan yang ditentang.
4) Tahap keempat, peran serta pendengar. Kalau diskusi
antarpanelis telah dianggap cukup, ketua/moderator
mempersilakan para pendengar untuk mengemukakan pendapat
atau pertanyaan mereka kepada anggota panel.
5) Tahap kelima, merangkum. Pada akhir diskusi, ketua merangkum
hasil diskusi dengan jalan menyatakan butir – butir yang sama-
sama disepakati, yang masih menimbulkan perbedaan pendapat,
dan butir-butir yang tidak disepakati anggota panel dan
pendengar.
192
d. Seminar
Seminar sudah lazim dilakukan dalam kehidupan kampus.
Seminar dilakukan untuk membahas suatu tema tertentu yang
memerlukan respon pakar sebagai narasumber. Kata seminar berasal
dari kata Latin semin yang berarti “benih”. Jadi, seminar berarti “
tempat benih-benih kebijaksanaan”. Seminar merupakan pertemuan
ilmiah yang dengan sistematis mempelajari suatu topik khusus di
bawah pimpinan seorang ahli dan berwenang dalam bidang tersebut.
Ketua duduk di depan bersama pembicara dan (para) penyanggah.
etelah ketua memberikan pengantar, pembicara membawakan
makalah, kemudian secara bergiliran penyanggah melancarkan
sanggahannya. Setelah berbagai komentar dan sanggahan ditanggapi
pembicara, audien diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat
dan pertanyaan.
e. Konferensi
Konferensi sebagai suatu bentuk diskusi kadang-kadang
mengacu kepada diskusi untuk pengambilan tindakan. Konferensi
berusaha membuat suatu keputusan yang akan diikuti dengan
tindakan berdasarkan keputusan itu. Dari berbagai ensiklopedia,
konferensi diartikan sebagai pembicaraan, permusyawaratan, rapat
yang terutama dipakai untuk pertemuan antara wakil-wakil dari
berbagai negara untuk membicarakan kepentingan-kepentingan
bersama. Konferensi sering dipertukargunakan dengan kongres.
Kongres didefinisikan sebagai, (1) rapat yang diselenggarakan oleh
suatu partai dan dihadiri oleh wakilwakil dari semua cabang partai
tersebut. Kongres biasanya dilakukan sekali setahun untuk
menentukan garis besar aktivitas partai; (2) Pertemuan antarwakil
berbagai negara. Biasanya lebih penting daripada konfrensi biasa.
f. Lokakarya (Workshop)
Lokakarya merupakan pertemuan yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan dan keterampilan peserta dengan
menggunakan berbagai jenis metode pertemuan. Lokakarya dimulai
dengan pandangan umum tentang masalah yang akan dipecahkan.
Sesudah itu, peserta dibagi dalam kelompok-kelompok. Setiap
kelompok didampingi oleh penasehat ahli. Dalam lokakarya, masalah
yang dibahas spesifik, diskusi dan pengkajian sangat terarah dan
mendalam secara teknis, dan kesimpulan/keputusan diambil sebagai
hasil lokakarya.
193
g. Rapat kerja
Rapat kerja adalah suatu pertemuan wakil-wakil eselon suatu
badan atau instansi untuk membahas suatu masalah sesuai dengan
tugas atau fungsi. Badan atau instansi yang bersangkutan untuk
mendapatkan keputusan mengenai masalah yang sedang dihadapi.
Rapat kerja membahas masalah yang jelas/spesifik, dilakukan dengan
terarah dan terpimpin, menghasilkan keputusan, dan dipimpin oleh
pimpinan badan/instansi yang bersangkutan.
h. Simposium
Simposium merupakan pertemuan terbuka dengan beberapa
pembicara yang menyampaikan ceramah pendek mengenai aspek
yang berbeda, tetapi saling berkaitan tentang suatu masalah.
Simposium dipimpin oleh seorang ketua yang bertugas mengatur
jalannya diskusi. Pendengar bertanya dan para ahli menjawab.
Beberapa ahli diundang untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan
yang diajukan pendengar mengenai topik yang ditentukan.
i. Kolokium
Kolokium sama dengan simposium. Bedanya, pada kolokium
para ahli tidak mengajukan (makalah). Mereka menyampaikan
pemikiran dan hasil kerja yang mereka lakukan. Prosedur yang
dilakukan sama dengan simposium.
j. Debat
Debat berarti berbicara kepada lawan untuk membela
pendirian/pendapatnya atau menyerang pendirian/pendapat lawannya.
Debat dapat juga dilakukan antar kelompok. Debat dipimpin oleh
seorang ketua. Panitia menyediakan kursi dalam bentuk setengah
lingkaran. Ketua duduk pada kursi yang di tengah menghadap kepada
pendengar. Kursi-kursi di sebelah ketua diduduki oleh para ahli dan
yang di sebelah kanan kosong. Setelah ketua memberi penjelasan,
mereka yang ingin bertanya maju dan duduk pada kursi kosong dan
mengajukan pertanyaan yang akan dijawab oleh para ahli. Para
penanya bergantian maju dan menduduki kursi yang kosong.
k. Curah Pendapat (Brainstorming)
Dalam metode ini, suatu persoalan diajukan dan peserta diminta
mengemukakan saran secara cepat dan spontan. Semua dicatat di
papan tulis atau pada kertas. Pada dasarnya, semua masukan diterima.
Kemudian, seluruh kelompok mengevaluasi masukan-masukan
tersebut.
194
l. Diskusi Kelompok Terpumpun (Focus Group Discussion)
Istilah kelompok diskusi terarah atau dikenal sebagai Focus
Group Discussion (FGD). Pada dasarnya FGD adalah sebuah metode
penelitian untuk mencari atau mengumpulkan data. Saat ini sangat
populer dan banyak digunakan sebagai metode pengumpulan data
dalam penelitian sosial. Pengambilan data kualitatif melalui FGD
dikenal luas karena kelebihannya dalam memberikan kemudahan dan
peluang bagi peneliti untuk menjalin keterbukaan, kepercayaan, dan
memahami persepsi, sikap, serta pengalaman yang dimiliki oleh
responden atau pesertanya. FGD adalah suatu diskusi yang dilakukan
secara sistematis dan terarah mengenai suatu isu atau masalah
tertentu. Irwanto (2006) mendefinisikan FGD adalah suatu proses
pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu
permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok.
People Innovation Excelent (2014) menyatakan bahwa FGD secara
sederhana dapat didefinisikan sebagai sebuah metode penelitian, maka
FGD adalah sebuah upaya yang sistematis dalam pengumpulan data dan
informasi. Sebagaimana maknanya dalam Focused Group Discussion,
terdapapat tiga kata kunci, yaitu Diskusi (bukan wawancara atau
obrolan), kelompok (bukan individual), terfokus (bukan bebas). FGD
dilakukan dengan cara berdiskusi dengan para nara sumber di suatu
tempat dan dibantu dengan seseorang yang memfasilitatorkan
pembahasan mengenai suatu masalah dalam diskusi tersebut. Orang
tersebut disebut dengan moderator. Permasalahan yang dibahas dalam
FGD sangat spesifik karena untuk memenuhi tujuan yang sudah jelas.
Oleh karena itu, pertanyaan yang disusun dan diajukan kepada para
peserta FGD jelas dan spesifik.Banyak orang berpendapat bahwa FGD
dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Artinya, diskusi yang dilakukan
ditujukan untuk mencapai suatu kesepakatan tertentu mengenai suatu
permasalahan yang dihadapi oleh para peserta. Hasil FGD tidak bisa
dipakai untuk melakukan generalisasi karena FGD memang tidak
bertujuan menggambarkan (representasi) suara masyarakat. Meski
demikian, arti penting FGD bukan terletak pada hasil representasi
populasi, tetapi pada kedalaman informasinya. Lewat FGD, peneliti bisa
mengetahui alasan, motivasi, argumentasi atau dasar dari pendapat
seseorang atau kelompok.
195
6.5 Etika Diskusi
Selama ini kita mengenal aturan berdiskusi untuk menghasilkan
kemanfaatan secara ilmiah. Kesuksesan sebuah diskusi bergantung pada
komponen yang terlibat di dalamnya. Diskusi seperti seminar, kolokium,
FGD, dan diskusi lain yang merupakan sebuah event membutuhkan
panitia. Penitia sangat berpengaruh pada kelancaran diskusi. Berikut ini
etika yang perlu diketahui saat melakukan diskusi sebagaimana diungkap
oleh Sulistyo (2016).
Dalam penyelengaraan suatu diskusi, kepanitiaan biasanya terdiri
atas ketua umum, panitia pengarah, dan panitia pelaksana. Sebaiknya ketua
umum juga merangkap keanggotaan panitia pengarah agar pelaksanaan
diskusi sesuai dengan permasalahan yang ingin diatasi. Panitia Pengarah
bertugas:
a. menerjemahkan tujuan diskusi secara jelas dan rinci,
b. menerjemahkan tujuan diskusi ke dalam topik-topik diskusi (yang
sesuai),
c. menentukan pemakalah yang akan diminta menulis dan membawakan
topik diskusi,
d. menyusun jadwal kegiatan diskusi,
e. menyusun tim perumus jika diperlukan suatu tim perumus,
f. menulis laporan hasil diskusi,
g. menyunting makalah baik sebelum maupun sesudah presentasi,
h. menyunting rumusan diskusi,
i. menyusun proseding hasil diskusi.
Tugas pelaksana adalah menyukseskan diskusi dengan menyiapkan
sarana diskusi. Hal yang kurang layak dalam diskusi karena kinerja
panitia pelaksana yang kurang baik adalah, panitia masih belum siap
dengan media penyampaian materi seperti LCD atau pengeras suara. Hal-
hal penting bagi petugas pelaksana dalam kesekretariatan.
1) Semua kelengkapan diskusi harus sudah dicek sehari sebelum diskusi
dimulai. suku cadang berbagai peralatan harus disiapkan.
2) Nama peserta, atau siapa pun yang terlibat dalam diskusitidak
sebaiknya jangan diubah diubah.
3) Redaksi makalah, baik ejaan maupun lebih lebih isinya jangan diubah.
4) Orang yang diundang untuk menyajikan suatu makalah hendaknya
tahu betul apa yang diharapkan darinya. Term of reference (TOR)
diskusi dan judul hendaknya disertakan dalam surat permintaan untuk
dapat menyiapkan sesuai dengan tujuan diskusi.
5) Makalah yang telah disunting panitia pengarah hendaknya segera
disampaikan kepada pemakalah untuk mendapat persetujuan.
196
6) Setelah selesai diskusi, segera menulis laporan pelaksanaan dan
meggabungkan dengan laporan panitia pengarah.
7) Mengirimkan proseding hasil diskusi kepada individu/instansi yang
terkait dengan diskusi.
Setiap jenis diskusi mempunyai ketua atau moderator yang
didampingi oleh seorang para penulis (notula) agar hasil diskusi dicatat
secara sistematis. Seorang moderator yang baik tidak bertindak sebagai
pengatur yang berkuasa. Tugas seorang moderator adalah mengatur lalu
lintas pembicaraan dalam diskusi. Moderator harus memberikan arah yang
jelas dan selalu mendorong peserta diskusi. Hal-hal yang harus dilakukan
oleh seorang ketua:
a) menyiapkan diskusi secara matang. Membaca, membuat catatan, dan
berpikir tentang masalah yang didiskusikan.
b) mengumumkan judul atau masalah dan mengemukakan tujuan
diskusi.
c) menyediakan serta menetapkan waktu. Moderator harus menyediakan
waktu untuk mengucapkan kata-kata pendahuluan, diskusi, dan suatu
rangkuman singkat
d) menjaga keteraturan diskusi. Ketua diskusi harus bertindak tegas dan
bijaksana. Pada saat yang sama, ketua hanya mengizinkan seorang
saja yang berbicara. Setiap penanya harus mendaftarkan diri untuk
bertanya misalnya dengan tunjuk tangan.
e) memberi kesempatan kepada setiap orang yang ingin mengemukakan
pendapat. Prioritas hendaknya diberikan kepada oarng yang belum
mendapat kesempatan bertanya.
f) menjaga agar minat para peserta tetap besar.
g) menjaga agar diskusi tetap bergerak maju. Ketua harus mengarahkan
diskusi untuk mencapai tujuan diskusi.
h) mencatat hal-hal yang penting selama diskusi berlangsung; dan
i) membuat rangkuman singkat pada akhir diskusi.
Berikut ini contoh sikap moderator yang perlu diterapkan:
(1) mengajukan pertanyaan yang “provokatif” agar dapat membuat
suasanamenjadi hidup,
(2) menjadi pendengar yang baik,
(3) berpikiran terbuka,
(4) menjamin peran serta yang merata,
(5) memimpin dengan kemahiran memimpin,
(6) menangkap makna pembicaraan pembicara,
(7) berpikir mendahului kelompok,
(8) mendorong peserta diskusi untuk berpikir,
197
(9) menumbuhkan suasana saling membantu,
(10) berusaha sensitif,
(11) berlaku jujur tentang hal yang tidak dikuasai, dan
(12) bersikap bersahabat.
Berikut ini sejumlah sikap moderator yang perlu dihindari:
(a) memaksakan pendirian sendiri,
(b) berselisih,
(c) bersilat lidah,
(d) mencemooh,
(e) berbicara terlalu banyak,
(f) bertingkah berlebihan,
(g) lupa diri,
(h) mengalami kehilangan kesabaran,
(i) terlambat memulai diskusi,
(j) terlambat menutup diskusi,
(k) bersikap angkuh,
(l) bersikap terlalu serius,
(m) menggunakan kata-kata yang tidak dimengerti peserta, dan
(n) mencela diskusi.
Hal-hal yang harus dilakukan oleh pemakalah yang baik ialah
berikut.
i. Pemakalah harus menulis/berdiskusi sesuai dengan topik yang
diminta atau dengan tujuan diadakannya diskusi. Untuk keperluan
ini. Pemakalah harus membaca dengan cermat apa yang diminta dan
apa yang tercantum dalam term of reference.
ii. Sekiranya tidak setuju dengan topik yang diminta, pemakalah harus
segera menghubungi panitia pengarah guna merundingkan
perubahan ini supaya tidak menyimpang dari tujuan diskusi.
iii. Pemakalah datang tepat pada waktunya.
iv. Waktu berbicara, pemakalah menjaga kontak mata dengan hadirin
dan . tidak hanya melihat ke layar tayangan.
v. Pemakalah mengakui argumentasi yang lebih kuat (tidak berdebat
kusir).
vi. Pemakalah mengakui jika tidak mengetahui sesuatu yang ditanyakan
peserta.
vii. Pemakalah mengakui jika tidak mengetahui sesuatu yang
ditanyakan.
viii. Pembicara tidak menganggap adanya pertanyaan yang tolol.
Pembicara harus menghargai audien.
ix. Pembicara tidak melebihi waktu yang disediakan untuknya.
198
x. Pembicara menggunakan alat bantu secara efektif.
Tidak hanya pada panitia dan pemakalah, peserta diskusi yang
sopan dan etis sangat memengaruhi hasil diskusi. Peserta perlu
memperhatikan hal-hal berikut ini:
1. turut mengambil bagian dalam diskusi.
2. berbicara hanya kalau sudah diizinkan moderator,
3. berbicara dengan tepat, tegas, lugas, dan jelas. Hal tersebut ditandai
dengan sikap:
(i) jangan menjadi pemakalah tandingan;
(ii) hindarkan menggunakan kata-kata”pendahuluan” yang terlalu
banyak (kita harus ingat bahwa orang lain menunggu giliran
untuk berbicara);
(iii) hindarkan kata-kata gagah yang maknanya kurang dikuasai;
(iv) menunjang pertanyaan/pernyataan dengan fakta-fakta, contoh-
contoh, pendapat para ahli yang sesuai / relevan;
(v) mengikuti diskusi dengan penuh saksama. Jika anda tidak
berminat terhadap topik diskusi, maka tiidak perlu memenuhi
undangan yang diberikan kepada anda;
(vi) mendengarkan dengan penuh perhatian;
(vii) mendengarkan dengan penuh perhatian;
(viii) bertindak sopan dan bijaksana; dan
(ix) mencoba memahami pendapat orang lain.
6.6 Kesantunan Berdiskusi
Dalam kegiatan berdiskusi diperlukan cara dan pemakaian bahasa
yang santun agar terjalin komunikasi yang baik antara penutur dan lawan
tutur. Pemakaian bahasa yang santun yang diungkapkan Pranowo (2009).
6.6.1 Penutur berbicara wajar dengan akal sehat
Bertutur secara santun tidak perlu dibuat-buat. Berbicara secara
wajar dengan akal sehat akan membuat tuturan terasa santun. Tuturan yang
sederhana menunjukkan sikap bahwa penutur memiliki anggapan mitra
tuturnya memhamai maksud dan memiliki pengetahuan yang memadai.
6.6.2 Penutur mengedepankan pokok masalah yang diungkapkan
Penutur hendaknya selalu mengedepankan pokok masalah yang
diungkapkan, penutur mengarahkan tuturannya secara langsung pada apa
yang hendak dikatakan terkait masalah. Kalimat tidak perlu berputar-putar
untuk menghindari kebingungan.
199
6.6.3 Penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur
Penutur selalu berprasangka baik kepada mitra tutur yang
ditunjukkan dengan pandangan bahwa mitra tutur memiliki pengetahuan
untuk memahami apa yang dikatakannya. Jika penutur berprasangka buruk
pada mitra tutur, tidak akan terjadi kecocokan pendapat dan komunikasi
menjadi tidak menyenangkan. Prasangka buruk memandang mitra tutur
lebih rendah dan kurang berpengetahuan atau tidak akan paham apa yang
dikatakan akan membuat suasana diskusi menjadi kurang menyenangkan.
6.6.4 Penutur bersikap terbuka dan menyampaikan kritik secara umum
Komunikasi akan terasa santun jika penutur berbicara secara terbuka
dan seandainya menyampaikan kritik disampaikan secara umum, tidak
ditujukan secara khusus pada person tertentu. Kritikan dalam diskusi
diperlukan untuk membangun bukan melakukan pengancaman muka
terhadap seseorang. Hindarilah mengkritik secara personal dengan
menyebut nama dan langsung pada seseorang dalam diskusi.
6.6.5 Penutur menggunakan bentuk lugas, atau bentuk pembelaan diri
secara lugas
Komunikasi dapat dinyatakan secara santun jika penutur
menggunakan bentuk tuturan yang lugas, tidak perlu ditutup-tutupi,
meskipun kadang-kadang mengandung sindiran. Kritikan yang
diungkapkan dalam bentuk lugas, apa adanya, akan terasa lebih santun
dibandingkan dengan menyindir secara kasar.
6.6.6 Penutur mampu membedakan situasi bercanda dengan situasi serius
Komunikasi masih akan terasa santun jika penutur mampu
membedakan tuturan sesuai dengan situasinya. Pemahaman konteks
tuturan yang mendukung situasi diksusi. Perlu dibedakan suasana yang
memerlukan pembicaraan secara resmi dan ada beberapa waktu terdapat
candaan yang menurunkan keformalannya. Penutur tidak bersikap kaku
agar tuturan mengalir sesuai dengan kondisi yang sesuai. Dalam candaan
pun tetap diperlukan sikap santun dan tidak berlebihan.
Peran moderator sangat menentukan berhasil tidaknya sebuah
diskusi. Dalam diskusi, moderator yang bersikap baik akan menunjang
keberhasilan diskusi. Berikut ini adalah panduan sikap yang baik sebagai
moderator.
a. Seorang moderator tidak boleh memihak dan harus bertindak adil
pada setiap peserta. Hal tersebut ditunjukkan dengan secara objektif
menunjuk siapa yang mendapatkan kesempatan bertanya.
200
b. Seorang moderator tidak boleh menguasai seluruh jalannya diskusi
dan harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
peserta. Fokus moderator adalah mengatur agar peserta terlayani
dengan baik. Oleh karena itu, hindarilah sikap mendominasi dengan
terus menampilkan diri.
Sebagai peserta diskusi, sikap santun dapat ditunjukkan dengan
sikap berikut:
1) menghargai peserta lain
Hal tersebut ditunjukkan dengan tidak memotong pembicaraan,
sekalipun kurang sependapat dengan pendapat yang dikemukakan
peserta lain
2) setiap peserta harus mematuhi tata tertib diskusi
Peserta perlu mengendalikan pembicaraannya agar selalu relevan
dengan topik yang didiskusikan dan tidak melenceng dari tema atau
tujuan diskusi.
3) setiap peserta diskusi harus patuh pada moderator
sikap tersebut ditunjukkan dengan berbicara setelah diizinkan oleh
moderator
4) menyanggah diskusi dengan etika yang baik, tidak berkata kasar
meskipun ada keberatan.
5) setiap peserta harus berlapang dada dalam menerima hasil diskusi.
Kegiatan diskusi akan berjalan baik dan lancar jika peserta diskusi
mengetahui tata cara diskusi dan tugas-tugasnya sebagai peserta. Tarigan
(2009: 46) menguraikan tugas-tugas peserta diskusi sebagai berikut:
a) turut mengambil bagian dalam diskusi,
b) berbicaralah hanya kalau ketua mempersilakan kita,
c) berbicaralah dengan tepat dan tegas,
d) kita harus dapat menunjang pernyataan-pernyataan kita dengan fakta-
fakta, contoh-contoh, atau pendapat-pendapat ahli,
e) ikutilah dengan seksama dan penuh perhatian terhadap diskusi yang
sedang berlangsung,
f) dengarkanlah dengan penuh perhatian,
g) bertindaklah dengan sopan santun, dan bijaksana.
Sikap-sikap tidak santun yang dapat menghambat diskusi menurut Parera
(1988):
(1) sikap agresif dan reaksioner. Sikap ini dapat ditandai dengan mudah
tersulut emosi, mudah marah dan selalu merespon segala sesuatu yang
tidak disetujui atau berbeda pendapat dengannya,
201
(2) sikap menutup diri, takut mengeluarkan pendapat. Hal tersebut
menunjukkan sikap tidak mau membangunjalannya diskusi dan
membuat diskusi berjalan stagnan dan relatif kurang hidup dan
bahkan tidak mencapai tujuan,
(3) terlalu banyak bicara, bicara berbelit-belit atau bicara berbisik-bisik
dengan teman di samping. Ketdakterusterangan akan membuat
susasana menjadi tidak nyaman dengan rasa curiga pada sikap orang
yang berbisik-bisik. Sikap terlalu banyak berkomentar pun akan
menggangu jalannya diskusi karena menghabiskan waktu untuk hal
yang tidak perlu.
(4) menunjukkan sikap tak acuh merupakan sikap tidak peduli. Dalam
diskusi, orang yang tak acuh tidak menyimak dengan baik dan
menunjukkan sikap kurang menghargai.
Dipodjoyo dalam Hariyadi (1997) mengungkap hal-hal yang perlu
dijalin dapam diksui, yaitu sikap kooperatif, semangat berinteraksi,
kesadaran berkelompok, penggunaan bahasa yang komunikatif atau
efektif, dan kemampuan memahami persoalan. Pada saat berdiskusi,
hendaknya peserta bersikap menunjukkan sikap santun dengan
mendengarkan uraian dengan penuh perhatian, menghilangkan sikap
emosional dan prasangka, menangkap gagasan utama dan gagasan
penjelas.
Pertanyaan dan sanggahan dalam diskusi harus dinyatakan secara
tepat dari aspek etika dan kebahasaan, Mulyati (2010) menyatakan peserta
diskusi perlu menyampaikannya secara santun dengan cara:
(a) mengajukan pertanyaan dan sanggahan secara jelas dan tidak
berbelit-belit,
(b) mengemukakan pertanyaan dan sanggahan secara santun dan tidak
berbelit-belit, menghindari pernyataan, permintaan, dan perintah
langsung,
(c) mengupayakan agar pertanyaan dan sanggahan tidak mengarah pada
bantahan atu pun debat.
Dalam menanggapi dikusi, Mulyati (2010) menyatakan beberapa hal
yang perlu dipahami sebagai cara untuk memperlancar dan menunjukkan
etika diskusi sebagai berikut:
(i) jawaban atau tanggapan harus sesuai dengan pertanyaan,
(ii) jawaban harus objektif dan memuaskan berbagai pihak,
(iii) menghindari prasangka dan emosi,
(iv) bersikap jujur dan terus terang manakala tidak bisa menjawab
Pada forum ilmiah diskusi merupakan komunikasi dalam
menemukan argumen. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan memahami
202
masalah, kritis dalam mengaitkan dengan pengetahuan yang dimiliki,
evaluatif, dan menganalisis dengan baik. Argumen merupakan
menyampaian alasan yang didukung dengan fakta. Alasan tersebut
merupakan alasan ilmiah karena didasarkan pada fakta berupa data dan
konsep atau teori yang memadai. Dengan demikian, sikap ilmiah
merupakan jalan untuk mengarahkan diskusi pada kelancaran.
Dalam menyajikan makalah, pembicara perlu berpresentasi untuk
mengungkap hal yang dituangkan dalam makalah. Dalam uraian di atas,
dipaparkan bahwa berbicara berhubungan dengan menulis, salah satunya
adalah menuangkan gagasan dalam lembar salindia (slide). Berikut ciri-ciri
salindia yang baik,
1. Sederhana
Salindia sederhana mudah dipahami audiens dalam beberapa detik.
Buatlah salindia sederhana yang efektif, mudah dipahami dengan
memperhatikan pilihan kata dan tanda atau simbol yang menunjukkan
hubungan antarkata. Dapat pula didukung oleh ilustrasi gambar yang ada
hubungannya dengan makna salindia. Beberapa orang sering berpikir
untuk menyajikan gambar yang menarik dan lucu dalam salindia, tetapi
tidak mendukung isinya. Hal tersebut perlu dihindari karena mengganggu
proses komunikasi visual. Ironisnya, terdapat pembicara yang tidak bisa
menjelaskan salindia yang disusunnya sendiri. Hal tersebut menunjukkan
ketidakcermatannya dalam menyusun. Perhatikan pula paduan warna
salindia gunakan paduan warna yang tidak mengganggu isi tulisan. Warna
mencolok mata perlu dihindari. Upayakan tulisan atau ilustrasi salindia
tampak menonjol dan menyajikan kepraktisan.
2. Satu salindia, satu pesan
Salindia yang baik hanya terfokus pada satu pesan. Tiap satu
salindia sebaiknya mewakili sebuah ide yang ingin dijelaskan. Jangan
mencampur beberapa ide berbeda ke dalam satu salindia. Jika hal tersebut
terjadi maka audien akan kesulitan memhami maksud dan hubungan antar
komponen materi yang dipaparkan. Salindia yang terfokus pada satu pesan
akan lebih kuat, lebih mudah diingat sekaligus mampu menjadi alat
komunikasi visual.
3. Gunakan teks dengan ringkas
Salindia yang baik harus bisa terbaca oleh audiens terjauh yang
menyaksikan presentasi. Jika tidak bisa terlihat, artinya itu percuma
ditampilkan. Beberapa ahli presentasi menyarankan maksimum lima baris
teks. Dengan demikian seandainya Anda harus menampilkan teks dalam
bentuk daftar, pastikan tidak lebih dari lima baris.
203
Desain slide presentasi yang amazing harus mampu berbicara.
Dengan image yang tajam, font yang berpengaruh dan warna yang
memanjakan. Usahakan teks yang ditampilkan cukup besar sehingga
mampu terbaca dengan baik. Jika teks cukup besar, maka tentu jumlah
kalimat dalam tiap slide tidaklah terlalu panjang.
4. Hindari bullet point
Banyak cara menyampaikan gagasan selain dengan bullet point.
Gunakan kreativitas Saudara. Seandainya Saudara masih perlu
menggunakan bullet point, pastikan hanya melakukannya sesekali saja.
Jika tidak, bersiaplah untuk dianggap membosankan.
Bullet point adalah titik atau dots yang tersedia di template
powerpoint untuk menempatkan teks. Keberadaan bullet point
dimaksudkan membantu pemateri membuat alur presentasinya dengan baik
secara berurutan dan terstruktur. Namun ternyata sebagian besar pemateri
menggunakan bullet point sebagai sarana copy paste tulisan paragraf ke
dalam slide presentasi yang membuat pemateri atau penyaji bergantung
pada bullet point dan presentasi kita tidak akan optimal.
Bullet point perlu diminimalkan karena pertama, menghambat
kreativitas dalam menyusun salindia presentasi. Anda akan terpaku pada
template, yang akhirnya masing-masing slide tidak memiliki kekuatan
untuk menggerakkan audiens. Kedua, bullet point menjadikan presentasi
menjemukan. Jika dalam satu slide terdiri atas 10 bullet point dan
seterusnya dan seterusnya. Tentu audien akan jenuh dan tak konsentrasi
dalam menikmati salindia karena salindia berupa tampilan visual akan
memuaskan visual audiens, dan bullet point sebaliknya. Ketiga, penyaji
tidak mampu membedakan mana pernyataan yang penting di antara bullet
point yang tersampai karena semua tampak sama dan tak memiliki
keunggulan satu dengan yang lain. Keempat, semakin banyak bullet point,
makin banyak pesan yang tidak diingat oleh audiens. Hal tersebut tidak
menyederhanakan presentasi, tetapi merumitkan presentasi karena konten
presntasi tidak diingat dengan baik.
Salindia yang optimal minim bullet point. Supaya mudah diingat,
sampaikan pesan Saudara satu per satu. Mengutip perkataan Steve Jobs,
salindia akan banyak jika satu pesan satu salindia. Banyak atau tidak itu
relatif. Perlu diingat, presentasi bukan iklan yang diulang-ulang. Dalam
presentasi, kita punya satu kali kesempatan. Oleh sebab itu, perlu kita
optimalkan. Sebagai penutup, coba renungi perkataan Nancy Duarte,
“Jangan hitung salindia Saudara, tapi pastikan isi slide-slide Saudara
diperhitungkan.”
204
5. Alur yang teratur
Salindia yang baik memiliki alur teratur, dari pembukaan, penjelasan,
sampai penutup. Audien akan melihatnya sebagai satu kesatuan yang
harmonis dan sinergis. Salindia yang isinya melompat-lompat dari satu
topik ke topik yang lain tanpa alur yang jelas akan menyulitkan audien
untuk memahaminya.
6.7 Rangkuman
Kapabilitas berbahasa, khususnya berbicara, mengarah pada dua hal
yaitu ketercapaian tujuan dan realisasi strategi tutur yang baik dan santun.
Dengan kata lain kapabilitas berbahasa merupakan gambaran kecerdasan
dan karakter yang baik. Keterampilan berbicara berkaitan dengan
komponen bahasa lainnya. Keterampilan berbicara ditunjang oleh
keterampilan berbahasa lain dan keterampilan berbicara pun menunjang
keterampilan berbahasa lainya. Dalam diskusi ilmiah diperlukan
pemahaman etika dalam menyampaikan pertanyaan, sanggahan, dan
tanggapan. Dalam diskusi diperlukan kemampuan memahami masalah,
kritis dalam mengaitkan dengan pengetahuan yang dimiliki, evaluatif, dan
menganalisis dengan baik. Argumen merupakan menyampaian alasan yang
didukung dengan fakta. Alasan tersebut merupakan alasan ilmiah karena
didasarkan pada fakta berupa data dan konsep atau teori yang memadai.
Dengan demikian, sikap ilmiah merupakan jalan untuk mengarahkan
diskusi pada kelancaran.
6.8 Bahan Diskusi
Keterampilan berbicara mencerminkan tata pikir, tata bahasa, dan
cara bernalar kit. Pernyataan apapun yang dikeluarkan oleh seorang
akademisi harus mencerminkan kelogisan, kesistematisan pikiran yang
jelas, dan kearifan. Terutama generasi muda (mahasiswa) yang
mengemban tugas besar sebagai agent of change, harus turut berperan aktif
dalam euforia keilmuan dan perkembangan teknologi masa depan.
6.9 Daftar Rujukan
Binus University. 2014, August 28. Focus Group Discussion. Retrieved
August 8, 2019, from People Innovation Excelent:
https://qmc.binus.ac.id.
Bühler, K. 2011. Theory of Language. Amsterdam/ Philadelphia: John
Benjamins Publishing Company.
205
Mulyati. Y, et al. 2010. Keterampilan Berbahasa Indonesia. Jakarta:
Universitas Terbuka
Musaba, Z. 2012. Terampil Beribicara: Teori dan Pedoman
Penerapannya. Yogyakarta: Aswaja Pressindo
Parera. J.D. 1988. Belajar Mengemukakan Pendapat. Jakarta: Erlangga
Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pringgowidagdo, S. 2002. Strategi Penguasan Berbahasa. Yogyakarta:
Adicita.
Sulistyo, B. 2016, Januari 12. Teknik dan Etika Diskusi Ilmiah. Retrieved
Oktober 10, 2019, from Universitas Nergeri Yogyakarta:
http://staff.uny.ac.id
Sri Wahyuni, et al. 2008. Bahasa Indonesia 1. Surabaya: Surabaya:
Lapis– PGMI , 2008), paket 5, hal: digilib.uinsby.ac.id.
Tarigan, Dj. 1998. Pengembangan Keterampilan Berbicarai. Jakarta:
Deparetemen Pendidikan dan kebudayaan.
Wuryaningrum, R. 2019. Pembelajaran Menyimak. Jember: Prodi Bahasa
Indonesia, Universitas Jember
6.10 Latihan Soal
Kerjakanlah soal-soal berikut dengan cermat!
1. Menurut Saudara, apakah etika diskusi berkaitan dengan penggunaan
bahasa efektif? Jelaskan pendapat Saudara!
2. Kapabilitas bahasa dalam berbicara bisa dioptimalkan. Menurut
Saudara cara apa yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkannya?
3. Seorang pemimpin yang baik harus mampu menjadi pembicara yang
baik. Menurut Saudara, bagaimana kapabilitas bahasa seorang
pemimpin ketika beribicara?
206
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai. 1988. Cakrawala Bahasa Indonesia.
Jakarta : Gramedia.
Arifin, E. Zaenal dan Tasai, S. Amran. 2010. Cermat Berbahasa Indonesia
untuk Perguruan Tinggi. Sebagai Matakuliah Pengembangan
Kepribadian (MPK). Jakarta: Akademika Pressindo.
Ayuningtyas, Setyo. 2017. Kesalahan Semantis Pada Teks Pidato Karya
Siswa Kelas X SMA Negeri Darus Sholah Singojuruh. (Skripsi) tidak
diterbitkan. Universitas Jember
Binus University. 2014, August 28. Focus Group Discussion. Retrieved
August 8, 2019, from People Innovation Excelent:
https://qmc.binus.ac.id.
Browne, A. 1996. Developing Language and Literacy. London: Paul
Chapman.
Bühler, K. 2011. Theory of Language. Amsterdam/Philadelphia: John
Benjamins Publishing Company.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta
Chaer, A. 2011. Ragam Bahasa Ilmiah. Jakarta: Rineka Cipta.
Damayanti, Rini dan Indrayanti, Tri. 2015. Bahasa Indonesia untuk
Perguruan Tinggi. Surabaya: Victory Inti Cipta.
Diana, Rara Diyah Ayu Candra. 2015. Kesalahan Berbahasa pada
Proposal Kegiatan Ormawa Periode 2014. Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Jember. (Skripsi) tidak diterbitkan.
Universitas Jember.
Direktorat Ketenagaan. 2006. “Acuan Pembelajaran Matakuliah
Pengembangan kepribadian Bahasa Indonesia” (Naskah belum
diterbitkan). Disampaikan pada Pelatihan Nasional Dosen bahasa
207
Indonesia kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi.
Djajasudarma, Fatimah. 2012. Semantik 1: Makna Leksikal dan
Gramatikal. Bandung: PT Refika Aditama.
Dwiloka, B. 2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Rineka Cipta.
Folley, W.A. 1997. A. Anthroplogical Linguistics: An Introduction.
Massachussetts: Blackwell Publisher Inc.
Halim, Amran. 1979. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hidayat, Ade. 2015. Persoalan Filsafat Ilmu. (E-book)
https://www.researchgate.net/publication/284442954 diakses pada
tanggal 28 September 2019.
Jahja, A. S. 2017. Perbedaan Skripsi, Thesis, dan Disertasi. (On Line)
https://dosen.perbanas.id: https://dosen.perbanas.id/perbedaan-
skripsi-thesis-dan-disertasi/ diakses pada tanggal 12 April 2019.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta. Gramedia.
Leech, G. 1989. Principle of Pragmatics. London : Longman.
Mirahayuni, Ni Ketut. 2018. Abstraksi dalam Bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia Ilmiah dan Implikasinya bagi Penulisan Artikel
Berbahasa Inggris (Abstraction in English and Indonesian Scientific
Language and its Implication on English Article Writing). Mozaik
Humaniora Vol. 18 (2): 214-224. (On Line) https://e-
journal.unair.ac.id/MOZAIK/article/download/10936/6212 diakses
pada tanggal 18 September 2019.
Moeliono, Anton M. 1980. “Bahasa Indonesia dan Ragam-ragamnya:
Sebuah Pengajaran” dalam majalah Pembinaan Bahasa Indonesia
Jilid I No. 1. Jakarta: Bratara.
208
Mulyati. Y, et al. 2010. Keterampilan Berbahasa Indonesia. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Musaba, Z. 2012. Terampil Beribicara: Teori dan Pedoman
Penerapannya. Yogyakarta: Aswaja Pressindo
Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia: Tinjauan Deskriptif
Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Mussofa. 2012. Proses Membaca dan Hubungannya dengan Proses
Berpikir. (On Line)
https://massofa.wordpress.com/2012/01/02/proses-membaca-dan-
hubungannya-dengan-proses-berpikir/ diakses pada tanggal 20 Juni
2019.
Nababan, PWJ.1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT
Gramedia.
Parera, Jos Daniel. 1993. Leksikon Istilah Pembelajaran Bahasa. Jakarta:
Gramedia.
Parera, Jos Daniel. 1988. Belajar Mengemukakan Pendapat. Jakarta:
Erlangga
Patiung, Dahlia. 2016. Membaca sebagai Sumber Pengembangan
Intelektual. Artikel. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin
Makassar. 2016. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/al_daulah/article/viewFile/4854/4346
diakses pada tanggal 18 September 2019.
Pramala, Yemima Sana. 2017. Kesalahan Penggunaan Preposisi dan
Konjungsi pada Teks Cerita Ulang Biografi Karya Siswa Kelas XI
SMKN 5 Jember. (Skripsi) tidak diterbitkan. Universitas Jember
Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pringgowidagdo, S. 2002. Strategi Penguasan Berbahasa. Yogyakarta:
Adicita.
209
Rahardi, K. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Ramlan, M. 1985. Morfologi:Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: CW
Karyono.
Ramlan, M. 1985. Tata Bahasa Indonesia: Penggolongan Kata.
Yogyakarta: Andi Offset.
Ramlan, M. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: C.V.
Karyono
Ratri, Rose Kusumaning. 2019. Cakap Berbahasa Indonesia Panduan
Lengkap Belajar Berbahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Sleman
Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA
Setyawati, Nanik. 2010. Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia: Teori
dan Praktik. Surakarta: Yuma Pustaka.
Soelistyo, H. 2011. Plagiarisme: Pelanggaran Hak Cipta dan
Etika. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sulistyo, B. 2016, Januari 12. Teknik dan Etika Diskusi Ilmiah. Retrieved
Oktober 10, 2019, from Universitas Nergeri Yogyakarta:
http://staff.uny.ac.id
Sumarto. 2017. Filsafat Ilmu. Jambi: Pustaka Ma’arif Press. Ebook.
https://staimaarif-jambi.ac.id/wp-content/uploads/2018/02/BUKU-
FILSAFAT-ILMU.pdf diakses pada tanggal 27 Juli 2019.
Sri Wahyuni, et al. 2008. Bahasa Indonesia 1. Surabaya: Surabaya :
Lapis – PGMI , 2008), paket 5, hal: digilib.uinsby.ac.id.
Susanti. 2014. Modul Pembelajaran MPK Bahasa Indonesia. Jambi:
Universitas Jambi Pers.
Sutarna, dkk. 1998. Morfologi Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Syarifuddin, d. 2013. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi. Makassar:
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin.
210
Syukron, Ahmad. 2012. Ketidakkonsistenan Fonologis Bahasa Indonesia
dalam Persidangan di Pengadilan Tipikor. (Makalah) tidak
diterbitkan. Universitas Jember.
Tampubolon, DP. 1987. Kemampuan Membaca: Teknik Membaca Efektif
dan Efisien. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. 1990. Pengantar Analisis
Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa
Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. 1990. Pengajaran Analisis
Kesalahan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1984. Membaca Sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1997. Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta:
Depdikbud.
Tarigan, Dj. (1998). Pengembangan Keterampilan Berbicarai. Jakarta:
Deparetemen Pendidikan dan kebudayaan.
Tim. 2011. Kumpulan Putusan Kongres Bahasa I-XI Tahun 1938-2008.
Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. (E-Book)
http://kbi.kemdikbud.go.id/kbi_back/file/foto_media/media_detail_1
540919688.pdf diakses pada tanggal 25 September 2019.
Tim. 2016. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Edisi Keempat.
Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Tim. 2018. Putusan Kongres Bahasa Indonesia XI Jakarta, 28—31
Oktober 2018 (On Line)
http://kbi.kemdikbud.go.id/kbi_back/file/foto_media/media_detail_1
540919077.pdf diakses pada tanggal 25 September 2019.
Tim. 2007. Bahasa Indonesia untuk Mahasiswa. Universitas Jember.
Yogyakarta: Penerbit ANDI.
211
Tim. 2016. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jember: UPT Penerbitan
Universitas Jember.
Verhaar, J.W.M. 2006. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Weinreich. 1993. Pengantar Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung:
Angkasa.
Wuryaningrum, R. 2019. Pembelajaran Menyimak. Jember: Prodi Bahasa
Indonesia, Universitas Jember
212
DAFTAR ISTILAH (GLOSARIUM)
bullet point : titik tempat penulisan unsur salindia dalam ragangan
ekspresif : menyatakan diri, menunjukkan perasaan
fonetis : berkaitan dengan penghasilan bunyi
kapabilitas : kemampuan atau kecakapan yang mengacu pada
pengetahuan dan keterampilan
mengabstraksi : membuat intisari sebagai bentuk pemahaman
mitra tutur : lawan bicara; teman yanng menyimak pertuturan
salindia : tayangan presentasi, slide
213
TIM PENYUSUN
Dra. A. Erna Rochiyati S., M.Hum
• Lahir di Blitar, 7 November 1960
• Alumni Fakultas Sastra Unej 1986 (S1)
Alumni Pascasarjana Universitas Gajah Mada 1996 (S2)
• Sejak tahun 1987 hingga sekarang, tercatat telah 31 tahun sebagai
dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember
• Saat buku ini diterbitkan, menjabat sebagai Ketua Jurusan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember
• Spesialisasi pada bidang Linguistik yang mengampu matakuliah: (1)
Bahasa Indonesia, (2) Fonologi Bahasa Indonesia, (3) Metode
Penelitian Bahasa, (4) Sosiolinguistik, dan (5) Karya Tulis Ilmiah.
• Narahubung: [email protected]
Dr. Ali Badrudin, S.S., M.A.
• Lahir di Pati, 9 Maret 1977
• Alumni Fakultas Sastra Unej 2000 (S1)
Alumni Pascasarjana Universitas Gajah Mada 2008 (S2) dan 2017
(S3)
• Spesialisasi pada bidang Linguistik
• Mengajar di Fakultas Ilmu Budaya sejak 2003 mengampu
matakuliah: (1) Bahasa Indonesia, (2) Logika Bahasa, (3) Fonologi
Bahasa Indonesia, (4) Etnografi Komunikasi, dan (5) Etnolinguistik.
• Lahir di Banyuwangi, 6 Mei 1978
• Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FBS, Unesa 2001
(S1)
• Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra, Unesa 2004 (S2)
• Alumni Pendidikan Bahasa Indonesia, UM 2019 (S3)
• Spesialisasi pada bidang bahasa dan pembelajarannya
• Mengajar di FKIP sejak 2003
• Mengampu matakuliah: (1) Bahasa Indonesia, (2) Menyimak, (3)
Berbicara, (4) Teori Belajar Bahasa, (5) Aliran Linguistik, dan (6)
Pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA).
• Narahubung: [email protected]
• Narahubung: [email protected]
Dr. Rusdhianti Wuryaningrum, M.Pd.
214
Fitri Nura Murti, S.Pd., M.Pd.
• Lahir di Bondowoso, 2 Juni 1987
• Alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2010 (S1)
Alumni Pascasarjana Universitas Negeri Malang, Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia 2015 (S2)
• Saat buku ini diterbitkan tercatat menjadi anggota Pusat
Pengembangan Pendidikan Karakter dan Ideologi Kebangsaan
(P3KIK) LP3M, Universitas Jember sebagai Koordinator Mata
Kuliah Wajib Umum Bahasa Indonesia di lingkungan Universitas
Jember.
• Spesialisasi pada bidang sastra dan pembelajarannya
• Mengajar di FKIP sejak 2016 mengampu matakuliah: (1) Bahasa
Indonesia, (2) Membaca, (3) Menulis, (4) Psikologi Sastra, dan (5)
Tradisi Lisan.
• Narahubung: [email protected]
Ahmad Syukron, S.Pd., M.Pd.
• Lahir di Jember, 28 Oktober 1991
• Alumni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2013 (S1)
Alumni Pascasarjana Universitas Negeri Malang, Program Studi
Pendidikan Bahasa Indonesia 2015 (S2)
• Spesialisasi pada bidang bahasa dan pembelajarannya
• Mengajar di FKIP sejak 2016 mengampu matakuliah: (1) Bahasa
Indonesia, (2) Menulis, (3) Penulisan Buku Ajar, (4) Psikolinguistik,
dan (5) Penulisan Karya Ilmiah.
• Narahubung: [email protected]