bahasa mempengaruhi budaya
DESCRIPTION
Bahasa Mempengaruhi BudayaTRANSCRIPT
1
BAHASA MEMPENGARUHI BUDAYA ATAU SEBALIKNYA OLEH:
Dra. Hodidjah, M.Pd. WIDYAISWARA
ABSTRAK
Karya tulis ini berjudul “Bahasa Mempengaruhi Budaya atau Sebaliknya” yang berisi pembahasan tentang bahasa merupakan suatu produk budaya suatu bangsa, suatu bangsa tercermin dari budayanya dalam hal kosa kata, kata, paragraph, wacana atau retorika. Juga membahas tentang Fungsi bahasa secara umum, hakekat kebudayaan yang sangat kompleks, kebudayaan juga selalu dipandang sebagai suatu yang khas dari manusia karena dihubungkan dengan keindahan, kebebasan dan keluhuran. Selain itu Bahasa dan budaya mempunyai hubungan yang koordinatif yakni hubungan yang sederajat yang kedudukannya sangat tinggi. Bahasa dapat juga diwujudkan sebagai refleksi diri, artinya bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat adalah suatu refleksi atau cermin keseluruhan kebudayaan masyarakat tersebut. Bahasa juga sebagai fenomena bahasa, artinya puluhan bahasa daerah punah dan lainnya berpotensi punah juga. Bahasa mempengaruhi budaya karena apa ang diungkapkan pengguna bahasa mencerminkan kebiasaan s penutur. Budaya pengaruhi Bahasa karena dalam pembentuan bahasa juga lahir dari pola piker manusia.
Kata Kunci: Bahasa, Budaya, Refleksi,
1. Pendahuluan
Komuikasi selalu diasosiasikan dengan proses berbahasa. Realitanya apabila
berbicara tentang bahasa kita selalu mengaitkannya dengan komunikasi. Seperti ditegaskan
Lyons dalam Siberani (1992:90) bahwa bahasa berperan sebagai alat komunikasi dan
merupakan kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi, selain itu sulit membayangkan
batasan istilah yang memuaskan tanpa menghbungkannya dengan pengertian komunikasi.
Bahasa merupakan suatu produk budaya suatu bangsa. Bahkan dengan bahasa kita
bias mengetahui budaya orang lain. Lebih jauh lagi ada yang mengatakan suatu bangsa
tercermin dari budayanya. Cerminan bahasa dan budaya tidak hanya dalam kosa kata kata,
pararaf, wacana atau retorika.
Hubungan antara bahasa dan kebudayaan adalah hal yang menarik untuk
dibicarakan, sehingga membuat masyarakat luas dengan berbagai latar belakang tertarik
untuk membicarakannya.
2
Ditinjau dari sudut kebudayaan, bahasa adalah wujud dari kebudayaan. Bahasa sebagai
wadah dan refleksi kebudayaan masyarakat pemiliknya dan dari bahasa kita dapat
mengetahu seberapa tinggi tingkat kebudayaan suatu bangsa. Koentjoroningrat dalam
Chaer (1995:217) menyatakan kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama
berkembangnya masyarakat manusia.
Permasalahannya adalah beberapa ahli linguistic bersepakat bahwa mempengaruhi
budaya seseorang. Pendapat ini dipopulerkan oleh dua pakar linguistic bernama Edward
Sapir dan Benjamin Whorf, sehingga teori mereka terkenal dengan sebutan ‘Teori Sapir-‐
Whort. Teorinya menyebutkan bahwa bahasa mempengaruhi pikiran manusia dank arena
itu mempengaruhi juga tingkah lakunya, diungkapkan Herman
(http://id.scehinstitute.org/index.php?option=com-‐contens&view=arti, diunduh tanggal 2
Desember 2009).
2. Bahasa dan Kebudayaan
2.1 Bahasa
Batasan bahasa ditegaskan Widjono (2007:15) adalah system lambing bunyi ujaran
yang digunakan untuk berkomuniksi oleh masyarakat pemakainya. Digunakan dalam
berbagai lingkungan, tingkatan dan kepentingn yang beraneka ragam, misalnya komunikasi
ilmiah, bisnis, kerja, sosial dan budaya.
Sejalan dengan definisi mengenai bahasa, Kridalaksana dalam Chaer (2003:32)
bahasa adalah sstem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh kelompok social
untuk bekerjasama, berkomunikasi dan mengidentifikasi diri.
Sebagai suatu system bahasa sekaligus bersifat sistematis. Artinya bahasa tersusun
menurut suatu pola, tidak tersusun secara acak, dengan kata lain, bahasa itu bukan
merupakan suatu system yang tunggal, tetapi dari subsistem, seperti fonologi, morfologi,
sintaksisi dan semantic.
Sedangkan arbitrer di sini artinya tidak ada hubungan wajib antara lambing bahasa
(yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud lambing tersebut.
3
Secara umum fungsi bahasa, yaitu alat komunikasi antar anggota masyarakat.
Dijelaskan Nababan (1993:38), jika dikaji dalam kaitannya dengan masyarakat dapat
dibedakan menjadi empat golongan fungsi, (1) kebudayaan, (2) kemasyarakatan, (3)
perorangan, dan (4) pendidikan. Keempat fungsi tersebut berkaitan, sebab ‘perorangan’
adalah ‘anggota masyarakat’ yang hidup dalam masyarakat itu sesuai dengan pla-‐pola
‘kebudayaan yang diwariskan dan dikembangkan melalui ‘pendidikan”.
Sebagai makhluk social, manusia tidak dapat hidup seorang diri. Dalam memenuhi
kebutuhannya setiap orang memerlukan kerjasama dengan orang lain, terlebih lagi
kebutuhan manusia banyak dan beragam. Mereka perlu berkomuikasi dalam berbagai
lingkungan di tempat mereka berada.
2.2 Kebudayaan
Hakikat kebudayaan sangat kompleks sehingga para ahli selalu memberikan
pengertian, pemahaman dan batasan yang bervariasi. Wilson dalam Siberani (1992:99),
mengatakan bahwa kebudayaan adalah pegetahuan yang ditransmisi dan disebarkan secara
social, baik bersifat eksistensi, normative maupun simbolis yang tercermin dalam tingka laku
dan benda-‐benda hasil karya manusia.
Sementara Koentjoroningrat merumuskan kerangka kebudayaan memiliki dua aspek,
yaitu (1) wujud kebudayaan yang berupa gagasan, prilaku dan kebudayaan fisik yang
bersifat kongkret, (2) isi kebudayaan yang terdiri dari bahasa, system teknologi, system
mata pencaharia atau ekonomi, organisasi social, system pengetahuan, system teligi dan
sistem kesenian.
Dari beberapa define mengenai kebudayaan dapat kita temukan dasar pijakan yang
sama yaitu manusia dengan segala macam kelebihannya disbanding dengan makhluk lain.
Kebudayaan selalu dipandang sebagai suatu yang khas manusia dan karena itu selalu
dihubungkan dengan keindahan, kebebasan dan keluhuran.
4
3. Bahasa Dalam Kebudayaan
Bahasa dan Kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan
sederajat yang keduduknnya sangat tinggi. Masinambouw dalam Chaer (1995:217)
menyebutkan bahwa kebudayaan dan bahasa merupakan suatu system yang melekat pada
manusia. Atau dengan kata lain kebudayaan adalah suatu sistem yang melekat pada
manusiamengatur interaksi manusia di dalam bermasyarakat, maka bahasa adalah suatu
system yang berfungsi sebagai sarana berlangsung interaksi tersebut.
Tentang hubungan bahasa dan kebudayaan ini juga pernah dibahas oleh: D.
Bloomfield, harris dan Voegeli dalam Oka (1974:113) Menurut mereka bahasa jika ditinjau
dari luar dirinya adalah sebagai alat dan wadah kebudayaan dalam wujud kegiatan
berbahasa baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk lisan.
Hubungan bahasa dengan kebudayaan memang erat sekali, bahkan sering sulit
mengidentifikasi hubungan antarkeduanya karena mereka saling mempengaruhi, saling
mengisi dan berjalan berdampingan. Menurut Nababan (1993:82) ada dua macam
hubungan bahasa dan kebudayaan, yakni (1) bahasa adalah bagian dari kebudayaan
(filogenetik), dan (2) seseorang belajar kebudayaan melalui bahasanya (ontogenetik).
Sedangkan fungsi bahasa dalam kebudayaan diperinci Sibrani (1992:101) menjadi
tiga, yaitu (1) sarana perkembangan kebidayaan (2) jalur penerus kebudayaan (3) inventaris
cirri-‐ciri kebudayaan.
Sebagai sarana kebudayaan, dilihat dari pemerkayaan kebudayaan Indonesia melalui
daerah dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Seperti dimaklumi penerima
kebudayaan hanya bisa terwujud apabila budaya itu dimengerti, dipahami, dan dijunjung
masyarakat pemakai bahasa itu. Bahkan sering dinyatakan bahwa kebudayan dapat terjadi
apabila ada bahasa, karena bahasalah yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan.
Di sisi lain pola hidup, tingkah laku, adat istiadat, dan cara berpakaian dan unsure
budaya lain juga bisa disampaikan atau ditransmisi melalui bahasa. Bahkan kebudayaan
nenek moyang dapat diterima dan kita wariskan kepada anak cucu kita melalui bahasa.
Kebudayaan nenek moyang yang terkandung dalam naskah-‐naskah lama, yang mungkin
ditulis berates-‐ratus tahun lalu, bisa kita nikmati sekarang ini hanya karena ditulis dalam
5
bahasa. Pengetahuan sebagai unsure budaya dapat kita sampaikan pada murid dan anak
cucu kita hanya karena diutarakan dengan bahasa.
Selanjutnya suatu kebudayaan baru dapat disampaikan dan dimengerti apabila
unsure kebudayaan itu mempunyai nama atau istilah. Penamaan atau pengistilahan itu ialah
bahasa. Setiap unsure kebudayaan, mulai dari yang terkecil sampai terbesar diberi nama
atau istilah. Dalam proses pembelajaran dan pengajaran kebudayaan, nama atau istilah
itulah yang paling diperlukan. Pemberian nama pada unsur kebudayaan sekaligus untuk
menginventarisasi kebudayaan tersebut. Hasil inventaris kebudayaan dapat bermanfaat bagi
perkembangan kebudayaan khususnya menyangkut penyebarluasan, pengajaran dan
pembelajaran kebudayaan.
3.1 Bahasa Refleksi Diri
Levi-‐Strauss dalam Siberani (1992:104) menyatakan bahwa bahasa adalah hasl
kebudayaan. Artinya bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat adalah suatu refleksi atau
cermin keseluruhan kebudayaan masyarakat tersebut.
Contoh:
Bahasa Sunda Bahasa Jawa
Amis : manis amis : amis
Gedang: papaya gedhang: pisang
Raos : enak raos : rasa
Atos : sudah atos : keras
Cokot : ambil cokot : gigit
Dari uraian di atas, jelas bahasa mempunyai latar makna dalam latar kebudayaan
yang menjadi wadahnya. Bentuk bahasa yang sama mempunyai makna yang berbeda sesuai
dengan kebudayaan yang menjadi wadahnya.
Jika dikaitkan dengan budi bahasa dalam bahasa Indonesia dapat dirtikan dengan
perilaku, karena dalam bahasa itu tercermin perilaku penuturnya. Keeratan ini
6
mengakibatkan kesulitan penerjemahan kata-‐kata atau ungkapan dari bahasa yang satu ke
dalam bahasa yang lain karena yang diterjemahkan atau yang dialihkan bukan saja kata-‐kata
atau ungkapan-‐ungkapan tersebut, melainkan juga konsep budaya yang mendasari mereka.
Contoh:
Bahasa Sunda Bahasa Jawa
Putu : cucu (halus) putu : cucu (netral)
Incu : cucu (kasar) wayah : cucu (halus)
Lambe : bibir (halus) lambe : bibir (netral)
Bibir : (kasar) lathi : (netral)
Jika dibandingkan antara bahasa Sunda dan jawa, meskipun beberapa kata kadang-‐
kadang mengacu pada objek yang sama, maka kata-‐kata tersebut sering berbeda apabila
ditinjau dari segi tutur (undak-‐undak) sesuai dengan budaya yang mendasarinya.
Tata cara berbahasa seseorang sangat dipengaruhi norma-‐norma budaya suku
bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Tata cara berbahasa orang sunda juga berbeda
dengan tata cara berbahasa orang Jawa meskipun mereka sama-‐sama berbahasa Indonesia.
Hal ini menunjukkan kebudayaan yang sudah mendarah daging sangat berpengaruh pada
bahasa seseorang. Itulah sebabnya kita perlu memahami norma-‐norma kebudayaan
sebelum atau selain mempelajari bahasa.
3.2 Fenomena Bahasa
Dari kacamata social, memang bahasa dan budaya bagai dua sisi mata uang,
hubungan bahasa dan budaya bisa dirunut dari pandangan yang berbeda. Pertama menace
pada kesemestaan budaya yang menyatakan bahwa bahasa seperti halnya kepercayaan dan
mata pencaharian adalah komponen penting budaya. Menurut Koentjoroningrat, dalam
Mustafa (2008), jika budaya didefinisikan sebagai totalitas pola perilaku seni, kepercayaan,
hsil karya dan buah pemikiran manusia signifikansi bahasa terletak pada kenyataan bahwa
bahasa memegng peranan penting sebagai alat transmisi budaya dari satu generasi ke
generasi selanjutnya.
7
Para ahli budaya menilai bahasa sebagai cermin budaya member pengaruh signifikan
pada kemajuan sebuah bangsa. Penelitian Arief Rahman Hakim dalam Mukhamad
(http://suara pembaca.detik.com/read/2009/10/29/175539/1231296/47, diunduh tanggal 2
Desember 2009), menyebutkan di Kalimantan satu dari 50 bahasa tak lagi digunakan. Di
Sumatera dari 13 bahasa dua diantaranya kritis dan satu punah. Di Sulawesi, satu dari 110
bahasa telah lenyap dan 36 dalam kondisi terancam. Di Timor flores dan Samba tercatat 50
bahasa masih bertahan, tapi delapan diantaranya hamper punah.
Hal tersebut menunjukkan bangsa Indonesia saat ini dihadapkan pada fenomena
bahasa yang mempeihatinkan. Puluhan bahasa daerah punah dan lainnya berpotensi punah
juga. Kenyataan ini pelu dicermati karena denan melemahnya bahasa daerah, membuat
bahasa Indonesia akan seakin terpuruk. Apalagi saat ini hanya sebagian kecil saja kosa kata
bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa daerah. Selebihnya adalah bahasa asing. Ini
mengidentifikasikan bahasa daerah sebagai sumber kekayaan bahasa (budaya) Indonesia
keberadaannya terabaikan. Karena itu kalau tidak segera diantisipasi serbub bahasa asing
akan semakin mendomonasi perbendaharaan kosa kata bahasa Indonesia.
4. Bahasa Pengaruhi Budaya
4.1 Teori Sapir-‐Whort
Banyak ahli bahasa dan budaya dua hal yang saling terkait dan dalam teori Sapir-‐
Whorf dinyatakan bahwa bahasa mempengaruhi budaya. Mereka mengatakan demikian
karena apa yang diungkapkan pengguna bahasa mencerminkan kebiasaan si penutur.
Contoh, untuk menyatakan waktu, Indonesia terkenal dengan ‘jam karet’ karena bahasa
Indonesia tidak menunjukkan ‘batas waktu’ yang jelas. Selanjutnya kata ‘nanti’ di sini juga
tidak jelas batas waktunya. Makanya bisa untuk pada hari yang sama atau hari berikutnya
atau hari berikutnya lagi yang tak jelas kapan. Beda dengan bahasa Inggris, misalnya ada
kalimat I bought a book dan I buy abook. Kedua kata tersebut memiliki makna yang sama
dalam bahasa Indonesia ‘membeli’ , namun kedua kata tersebut diletakkan dalam konteks
waktu yang berbeda. Bought digunakan untuk waktu yang berlalu, sedangkan buy
digunakan untuk waktu sekarang.
8
Dalam teori sapir-‐Whorf, kebiasaan tersebut timbul dari bahasa sehingga ia
menegaskan bahwa bahasa mempenagruhi budaya (kebiasaan). Dalam masyarakat Inggris
yang tidak terbiasa (budaya) makan nasi, mereka tidak memiliki kosa kata yang lengkap
untuk menyatakan beras, padi, dan nasi. Dalam bahasa Inggris hanya ada satu kata untuk itu
semua, yakni rice. Contoh lain pada masyarakat Eksimo karena sudah berbudaya hidup
dalam salju, sedangkan dalam ahasa Indonesia hanya ada satu kata ‘salju untuk menyatakan
salju dengan beragam jenisnya.
Kita juga sering kesulitan dalam dalam menerjemahkan kata-‐kata atau ungkapan dari
suatu bahasa ke bahasa lain. Contoh, perkataan village dalam bahasa Inggris tidaklah sama
dengan ‘desa’ dalam bahasa Indonesia. Sebab konsep village dalam kebudayaan Inggris atau
Amerika sangat berbeda dari konsep ‘desa’ dalam ebudayaan Indonesia. Karena itu
ungkapan yang pernah dikeluarkan penulis asing menyebutkan kota Jakarta sebagai suatu
big village akan hilang artinya jika diterjemahkan dengan ‘desa yang besar’.
4.2 Budaya Pengaruhi Bahasa
Jika menunjuk teori sapir-‐Whorf, dalam pembentukan bahasa juga lahir dari pola
piker manusia, teori tersebut dapat dibenarkan. Lantas, apa sih dapat disebutkan bahasa
mempengaruhi budaya, sedangkan ketiadaan budaya di suatu daerah telah menyebabkan
ketiadaan kosa kata untuk mengutarakan budaya atau yang mewakili budaya tersebut.
Hal ini jelas memperlihatan bahwa tidak selamanya bahasa itu mempengaruhi
budaya. Namun ada kalanya budaya mempengaruhi bahasa. Menjadi wajar, manakala teori
sapir-‐Whorf masih dipertanyakan saat ini. Bahkan dalam tindakan sehari-‐hari, kebanyakan
budaya lebih dahulu ada disbanding bahasa. Misal dalam masyarakat Aceh, alat yang
digunakan untuk membajak sawah disebut langlai. Benda itu (langlai) semula tidak ada
nama, namun setelah bendanya tercipta dan menjadi kebiasaan manusia membajak sawah
dengan benda tersebut, barulah kemudian muncul nama (bahasa) untuk menyebutkan
benda tersebut.
Contoh lain suatu kata, ungkapan atau konsep yang ada dalam dalam bahasa suatu
kebudayaan belum tentu mempunyai padanan yang sesuai dengan bahasa kebudayaan lain.
9
Karena tu Jika ingin membicarakan suatu konsep dari kebudayaan lain. Kita sering
menggunakan istilah dalam bahasa aslinya untk mengungkapkan konsp tersebut, sebab jika
kata itu diterjemahkan sering artinya terlalu jauh dari apa yang diungkapkan. Inilah
mengapa kadang-‐kadang bahasa memakai suatu kata atau istilah bahasa lain dalam
menyatakan sesuatu.
Ada juga yang berpendapat cara berfikir mempengaruhi cara bahasa atau dengan
kata lain pikiran yang masuk kebudayaan mempengaruhi bahasa. Wardhaugh dalam
Sibarani (1992:109), menyatakan pikiran (kebudayaan mental) mengarahkan bahasa
menjadi bahasa yang berisi, bermakna dan bermanfaat. Jikalau terjadi keruskan dalam
pikiran seseorang , maka akan mempengaruhi bahasanya. Mungkin bahasa orang yang
mengalami kerusakan pikiran ini masih dapat dimengerti, tetapi makna, manfaat dan tujuan
tidak dapat dipahami. Padahal bahasa sebagai system komunikasi harus dapat dipahami
makna dan tujuannya terutama bagi penyapa dan pesapa.
Hubungan lain yang perlu diperhatikan dalam komunikasi, tata cara berbahasa harus
sesuai dengan norma-‐norma kebudayaan. Apabila tidak sesuai dengan norma-‐norma
kebudayaan, tak jarang dituduh orang yang aneh, egois, sombong, acuh, tidak beradat dan
berbudaya. Menurut Nababan (1993:53) tata cara berbahasa ini mengatur, (1) apa yang
sebaiknya kita katakana pada waktu dan eadaan tertentu, (2) ragam bahasa apa yang
sewajarnya kit pakai dalam situasi sosiolingistik tertentu, (3) kapn dan bagaimana kita
menggunakan giliran berbicara dan menyela pembicaraan orang lain, dan (4) kapan kita dian
dan jangan berbicara.
Tata cara berbahasa selalu dikaitkan dengan penggunaan bahasa sebagai system
komunikasi. Suara keras yang menyertai tanda verbal seorang ketika berkomunkasi dengan
atasannya mungkin dianggap kurang sopan. Akan tetapi mungkin hal itu dimaklumi apabila
yang berbicara itu orang dari suku Batak. Sebaiknya kalau kita menyapa atasan kita pagi-‐
pagi di kantor, adalah wajar kalau kita menapa, “Selamat Pagi, Pak/Bu”, dan tidak wajar
mengatakan Apa kabar Pak/Bu”, karena kata-‐kata itu lebih tepat dipakai kepada orang yang
setingkat dengan pembicara dan bernada ragam santai.
Artinya tata cara berbahasa seseorang dipengaruhi norma-‐norma budaya suku
bangsa atau kelompok masyarakat tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan yang
10
sudah mendarah daging sangat berpenagruh pada bahasa seseorang. Itulah sebabnya kita
perlu mempelajari atau memahami norma-‐norma kebudayaan sebelum atau selain
mempelajari bahasa.
5. Kesimpulan
Dari paparan di atas memperhatikan bahwa tidak selamanya bahasa itu
mempenagruhi budaya. Ada kalanya budaya yang mempengaruhi bahasa. Wajar jika teori
Sapir-‐Whorf masih dipertanyakan.
11
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul, 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta:Rineka Cipta.
Chaer, Abdul.2003. Linguitik Umum. Jakarta: Rineka Cipta
Herman 2009. Bahasa Mempengaruhi Budaya? Tunggu Dulu (http://id.acehinstite.otg/index.php?option=com-‐content&view=arti, diunduh tanggal 2 Desember 2009 Nababan, PWJ, 1993. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Najib, Mukhamad, 2009. Karena Bahasa Cerminan Budaya Bangsa. (http://suara Pembaca.detik.com/read/2009/10/29/175539/1231296/47 Diunduh tanggal 2 Desember 2009). Oka, I Gusti Ngurah, 1974. Problematika Bahasa dan Pengajaran Bahasa Indonesia.
Surabaya: Usaha Nasional Sibarani, Robert, 1992. Hakikat Bahasa Bandung: Citra Adtya Bakti Widjono.2007. Bahasa Indonesia. Jakarta:Grasindo