bambapuang

Upload: andi-laksamana-adliansyah

Post on 02-Mar-2016

36 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

buku menceritakan tentang asl usul nenek moyang orang enrekang

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Penelitian

    Keberadaan manusia yang ada pada tempatnya sekarang merupakan proses migrasi

    yang sangat panjang dan sudah dilakukan nenek moyang mereka sejak ribuan bahkan

    jutaan tahun silam. Begitu pula orang-orang yang mendiami Asia Tenggara daratan dan

    kepulauan, pulau-pulau di sekitar lautan Hindia dan Pasifik Selatan yang tidak lain mereka

    adalah bangsa Austronesia1, dengan kemampuan navigasi yang baik tidak mengherankan

    bagian belahan dunia dihuni oleh mereka. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang

    ditemukan, menunjukkan bahwa bangsa Austronesia berasal dari Tiongkok bagian pesisir

    tenggara (Devin, 2009:1-2).

    Salah satu jalur migrasi yang dilalui bangsa Austronesia ialah Kepulauan Nusantara,

    Menurut Bridsell, ada dua jalur persebaran bangsa Austronesia di Nusantara, yaitu jalur

    utara melewati Paparan Sunda di Kalimantan menuju Sulawesi lalu ke Pulau Sula, dari sini

    terbagi lagi dalam dua jalur, pertama melewati Halmahera, Waigeo dan masuk ke Pulau

    Irian/Paparan Sahul dan kedua melalui Pulau Buru, Pulau Seram terus masuk ke Paparan

    Sahul dan terus menyebar ke Australia. Sedangkan jalur selatan melewati bagian timur

    paparan sunda di Bali, melewati pulau Lombok, Sumbawa, Flores, Timor-Timor, Tanibar

    dan terus ke Paparan Sahul.

    1 Istilah Austronesia pertama kali diberikan oleh ahli linguistik untuk menyebut suatu rumpun bahasa yang

    hampir secara mayoritas dituturkan di Asia Tenggara, kepulauan Micronesia, Melanesia kepulauan dan

    Polinesia. Tapi pada perkembangan selanjutnya istilah Austronesia juga digunakan untuk menyebut suatu

    komunitas yang berbudaya Austronesia serta menuturkan bahasa Austronesia. Austronesia sendiri berasal

    dari kata yunani austr artinya selatan dan nesos artinya pulau.

  • 2

    Foto 1.1: Peta sebaran Bangsa Austronesia, mulai dari barat di Madagaskar hingga timur di Pulau Paskah dan utara

    di Taiwan hingga di selatan New zealand (http://ilovecassava.multiply.com)

    Tinggalan budaya bangsa Austronesia yang cukup banyak ditemukan di Nusantara

    berkaitan dengan kematian yaitu wadah kubur dari kayu, yang ditemukan di beberapa

    daerah dan salah satunya berada di kepulauan Sulawesi, khususnya dalam wilayah budaya

    Toraja2 yang termasuk dalam ras Proto Melayu. Seperti Kabupaten Enrekang misalnya,

    memiliki tinggalan wadah kubur kayu, dalam masyarakat setempat disebut Duni3 dan

    Mandu4

    tetapi benda yang dimaksud pada dasarnya sama, namun dalam tulisan ini

    menggunakan istilah duni mengingat istilah ini lebih populer.

    2 Suku toraja yang dalam hal ini bukan secara wilayah administratif tetapi wilayah budaya toraja, yang

    masuk didalamnya kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Enrekang, Kabupaten Mamasa, Kabupaten Mamuju

    di daerah Kalumpang, Kabupaten Pinrang di Suppirang, Kabupaten Sidrap di Lombok, dan daerah-daerah

    pegunungan di Kabupaten Luwu (Larompang, Suli, Belopa, Bajo, Padang sappa, Ulu Salu, Kanna,

    Pantilang, Bua, Lamasi, Batu Sitanduk, Palopo, Seko dan Rongkong) (Fatmawati,2003:5-6). 3 Duni: ialah wadah penguburan orang meninggal, istilah ini digunakan di daerah Kaluppini.

    4 Mandu: dapat diartikan sebagai gua, akan tetapi tidak semua gua diartikan sebagai mandu. Gua yang dapat

    diartikan sebagai mandu adalah gua yang dijadikan sebagai tempat untuk menyimpan mayat pada masa

    lampau, namun dalam perkembangan belakangan pengertian mandu mulai mengalami perubahan menjadi

    sebuah peti kayu yang difungsikan sebagai wadah kubur atau tempat penyimpanan mayat, Istilah ini

    dikenal hanya di Enrekang pada situs Tonton I dan II, Situs Tumpang di anggeraja, situs To Mila, Situs Liang Galotok, Situs Liang To Jolo.

  • 3

    Beberapa situs yang ditemukan memiliki duni antara lain di Situs Liang Datu atau yang

    biasa disingkat Situs Landatu5, Situs Tonton 1 & Tonton 2, Situs Leoran, Situs yang ada di

    Kaluppini dan beberapa situs lainnya. Dari hasil penelitian yang dilakukan diketahui, duni

    merupakan wadah yang digunakaan sebagai tempat menyimpan mayat dan ditempatkan

    pada ceruk atau tebing pada bukit karst. Bentuk duni yang banyak ditemukan yaitu bentuk

    yang menyerupai perahu6, serta hampir semua situs di Enrekang bentuk wadahnya persegi

    empat panjang dengan berbagai varian penutup wadah.

    Melihat gejala arkeologis yang disebutkan dan jika dikaitkan dengan wilayah budaya7

    ini merupakan sesuatu yang unik, seperti yang diketahui di Tana Toraja (Tondok

    Lempongan Bulan Matari Allo) memiliki banyak tinggalan wadah kubur yang disebut

    erong seperti pada Situs Ketekesu, bentuknya menyerupai perahu, rumah adat Toraja

    bahkan ada beberapa erong yang ditemukan berbentuk anatomi binatang seperti Kerbau

    dan Babi, jika dilihat dari wadahnya mempunyai bentuk segiempat panjang, bulat lonjong

    atau oval. Di Mamasa pada Situs Buntu Balla dan Paladan, bentuk wadah kuburnya

    berbentuk persegi empat dan ada juga wadah kubur yang bentuknya hampir dikatakan

    bulat, besar-besar dan menyerupai anatomi binatang Kerbau serta ada juga wadah yang

    memadukan bentuk kepala Kerbau dengan kepala Kuda.

    Perbedaan-perbedaaan di atas membuat penulis untuk, pertama ingin mengetahui apa

    yang melatar belakangi perbedaan tersebut dengan mengambil Situs Liang Datu

    (Enrekang) sebagai example utama dan mengambil Situs Ketekesu (Toraja) dan Situs

    Paladan dan Buntu Balla (Mamasa) sebagai contoh pembanding, untuk itulah akan

    dilakukan perbandingan/studi komparasi, pengambilan contoh pada ketiga situs tersebut

    didasarkan pada jumlah dan jenis temuannya yang cukup refresentatif, kondisi temuanya

    5 Situs Landatu akan di jadikan situs pembanding mengingat temuannya yang cukup representatife.

    6 hal ini berkaitan dengan kedatangan nenek moyang mereka

    7 Wilayah budaya yang di maksud Enrekang, Toraja dan Mamasa.

  • 4

    yang masih dapat diidentifikasi, kondisi medan yang dapat dijangkau oleh penulis dan

    adanya kedekatan wilayah dari ketiga situs tersebut. Kedua penulis menggunakan studi

    komparasi singkronik mengingat ketiga tempat tersebut mempunyai latar belakang

    kebudayaan yang sama serta berada dalam satu wilayah yang sama (Koentjaraningrat,

    2007:4), disamping itu manfaat yang didapat dari penelitian ini ialah kita dapat melihat

    proses perubahan tinggalan budaya serta sebagai penanda/pelacak penyebaran akan

    keberadaan suatu ras/bangsa tertentu. Ketiga, diharapkan penelitian semacam ini akan

    menambah minat para peneliti muda untuk melakukan studi komparasi, dan tidak hanya

    berkutat pada penelitian deskripsi analitik. Keempat perlu adanya penelitian yang lebih

    mendalam tentang Situs Landatu mengingat duni yang ada di situs tersebut sebagian sudah

    dalam keadaan lapuk sehingga perlu dilakukan penyelamatan data dan sekiranya Situs

    Liang Datu mendapat perhatian, sama halnya seperti situs-situs yang lain.

    1.2 Permasalahan dan Pertanyaan Penelitian

    Peranan Kabupaten Enrekang dalam proses migrasi Suku Toraja memang memegang

    peranan penting, menurut Albert C. Kruyt dan Adriani mengatakan bahwa Enrekang

    merupakan daerah yang dilalui dalam jalur imigrasi Suku Toraja dan tempat bermukim

    pertama kali, serta tempat berkembangnya budaya Toraja yang berada di daerah Rura dan

    Bambapuang yang termasuk dalam Kabupaten Enrekang sekarang. Tidak mengherankan

    bila di kabupaten tersebut banyak tinggalan arkeologi ditemukan khususnya yang

    menyangkut dengan wadah kubur yaitu duni, yang juga memiliki kesamaan dengan bentuk

    wadah kubur di Toraja dan Mamasa, walaupun begitu jika diamati secara cermat terdapat

    beberapa perbedaannya seperti yang dijelaskan di atas.

  • 5

    Hal inilah yang menjadi pertanyaan bagi penulis, mengapa dalam suatu kebudayaan

    yang sama tetapi dalam hal tinggalan budayanya berbeda dan apa yang menyebabkan hal

    tersebut, maka penulis kemudian merumuskannya dalam bentuk pertanyaan penelitian.

    Adapun pertanyaan penelitiannya sebagai berikut:

    1. Apa persamaan dan perbedaan duni pada Situs Liang Datu (Enrekang) dengan wadah

    kubur di Toraja dan Mamasa?

    2. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi perbedaan dan persamaan bentuk-bentuk

    duni pada Situs Liang Datu dengan wadah kubur di Toraja dan Mamasa?

    1.3 Kerangka Hipotesis

    Nama Toraja digunakan pertama kali dalam penelitian Albert C. kruyt dan Adriani

    untuk mengganti nama Arfuru, nama Toraja sendiri diambil dari nama yang biasa

    digunakan orang Luwu untuk menyebut orang-orang yang bermukim di sebelah barat ke

    arah pedalam yang pada umumnya menempati daerah ketinggian di jazirah Sulawesi,

    dengan sebutan riaja atau raja (darat atau atas) yang kemudian dikenal menjadi nama

    suatu etnis, yaitu Toraja.

    Ada dua gelombang migrasi yang masuk ke wilayah budaya Toraja, migrasi pertama

    adalah kelompok pendukung kebudayaan megalitik yang disebut Steenhouwers (kelompok

    pemecah batu). Mereka diperkirakan datang dari dua arah, pertama (dari utara) diduga

    berasal dari kepulauan Jepang, memasuki Sulawesi Utara, terus ke Sulawesi Tengah dan

    masuk ke Sulawesi Selatan. Kedua, melalui sungai Sadan yang dimulai dari muara hingga

    ke hulu dengan menggunakan perahu, dan tiba di suatu tempat bernama Bambapuang yang

    sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Enrekang dan menyebar lagi ke jazirah

    Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.

  • 6

    Migrasi kedua adalah kelompok pendukung kebudayaan tembikar yang disebut De

    Pottenbakkers (pembuat tembikar), diperkirakan masuk melalui arah timur antara daerah

    Malili dan Wotu di pantai Teluk Bone dan terus menyebar ke Sulawesi Selatan dan

    Sulawesi Tengah. Migrasi kedua ini turut serta membawa kebudayaan baru, terutama

    dalam kehidupan religi yang mengenal sejumlah dewa dan upacara keagamaan, kehidupan

    sosial mulai mengenal sistem pelapisan sosial dan sejumlah aturan-aturan hidup, dan

    kehidupan ekonomi yang memperkenalkan teknik irigasi dan penanaman padi.

    Awalnya Enrekang dan Tana Toraja hanyalah satu daerah, pada waktu itu penduduk

    mula-mula bertempat tinggal di suatu kampung bernama Bambapuang yang dikenal

    sekarang sebagai Kampung Rura dan disitu juga diperkirakan berkembangnya budaya

    Toraja, setelah berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun lamanya tinggal di

    Bambapuang, akhirnya sebagian besar penduduk meninggalkan tempat tersebut yang

    dibagi dalam tujuh kelompok yang menyebar ke arah utara Sulawesi Selatan dan sebagian

    lagi tetap tinggal di Bambapuang. Baik penduduk yang berimigrasi maupun yang tetap

    tinggal di Bambapuang kemudian melanjutkan kebudayaan Toraja yang lebih kompleks.

    Budaya Toraja sama halnya dengan budaya yang ada di seluruh dunia, yang pada

    umumnya memiliki tujuh unsur kebudayaan yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi

    sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem religi dan

    kesenian (Koentjaraningrat;218: 1980). Salah satu unsur yang paling menonjol dalam

    budaya Toraja yaitu sistem religi, masyarakat Toraja sejak zaman dulu mengenal adanya

    kepercayaan yang disebut Aluk Todolo, hal ini juga terdapat dibeberapa tempat yang masih

    masuk dalam kesatuan wilayah budaya Toraja, namun dalam hal penyebutannya berbeda-

    beda seperti di Kabupaten Enrekang disebut Aluk Tojolo dan di Mamasa lebih dikenal

    dengan Aluk Tumatua, tapi pada dasarnya kepercayaan tersebut adalah sama yakni

  • 7

    berorientasi tentang adanya kehidupan sesudah kematian dan mengatur segala aspek

    kehidupan manusia pendukungnya. Menurut L.T.Tangdilintin dalam bukunya yang

    berjudul Upacara Pemakaman Adat Toraja (1981:1), ia berpendapat bahwa:

    Penamaan Aluk Todolo adalah berdasarkan pada perinsip pelaksanaan

    dalam segala hal terutama kegiatan yang menyangkut pemujaan dan

    upacara, yang harus mendahulukan acara atau upacara kurban

    persembahan sajian kepada Tomembali Puang yang dinamakan pula

    todolo yaitu leluhur orang toraja

    Falsafah Aluk Todolo merupakan konsep tentang hidup dan mati serta kesinambungan

    proses kehidupan, orang mati dianggap hanya mengalami perubahan wujud dan

    perpindahan dari alam fana ke alam puya, sehingga hidup dan mati tidak terdapat batas

    yang jelas, kehidupan manusia di dunia fana dianggap sama dengan kehidupan di alam

    arwah, dan untuk mencapai alam arwah dan menjadi setengah dewa diperlukan syarat-

    syarat seperti bekal kubur dan rangkaian upacara serta pengorbanan oleh para kerabat yang

    ditinggalkan sesuai dengan status sosial semasa hidupnya, dipihak lain pemenuhan syarat-

    syarat tersebut akan mendatangkan kesejahteraan bagi kerabat yang ditinggalkan (Akin

    duli,2002:3, Paranoan,M.1994. Tangdilintin,L.T.2009).

    Aluk Todolo mengandung ketentuan-ketentuan bahwa manusia dan segala isi bumi

    harus menyembah, memuja dan memuliakan Puang Matua (sang pencipta) yang dilakukan

    dalam bentuk sajian persembahan. Ajaran Aluk Todolo mengenal tiga oknum yang harus

    dipuja yaitu:

    1. Puang Matua (Sang Pencipta)

    2. Deata-Deata (Sang Pemelihara) sebagai pemelihara serta menguasai isi bumi supaya

    seluruh isi bumi ini dapat dipergunakan oleh manusia untuk memuja dan menyembah

    kepada Puang Matua.

  • 8

    3. Tomembali Puang (arwah leluhur) yang mempunyai tugas memperhatikan perbuatan

    serta memberikan berkat bagi manusia turunannya.

    Ajaran Aluk Todolo juga mengenal dua macam dasar dan aturan upacara sebagai

    upacara yang berpasangan atau berlawanan yang dikenal dengan nama Aluk Simuane

    Tallang yang masing-masing:

    1. Aluk Rambu Tuka atau Aluk Rampe Matallo, berkaitan dengan upacara syukuran yang

    dilaksanakan pada pagi hari sampai tengah hari di sebelah timur dan utara rumah

    tongkonan.

    2. Aluk Rambu Solo atau Aluk Rampe Matampu adalah upacara yang ditujukan pada

    arwah. Upacara rambu solo dilakukan pada sore hari di sebelah barat dan selatan

    rumah tongkonan.

    Wujud budaya Toraja yang erat kaitanya dengan rambu solo ialah wadah kubur.

    Penamaan terhadap wadah kubur dibeberapa tempat berbeda-beda seperti, Toraja yang

    disebut Erong, Mamasa yang biasa mereka sebut dengan Tedong-Tedong, bangka-bangka

    dan batutu. dan Enrekang disebut Mandu atau Duni. yang pada dasarnya menggunakan

    bahan kayu sebagai bahan utama dalam pembuatan wadah kubur tersebut. Setiap wadah

    kubur memiliki makna tertentu hal ini didasarkan pada tingkat status sosial mereka

    didalam masyarakat, yang dapat dilihat pada ukiran, mulai dari yang sederhana sampai

    memiliki nilai seni ukir yang tinggi yang terdapat pada wadah tersebut, bentuk dan tata

    letaknya juga sangat mempengaruhi.

  • 9

    1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

    1.4.1. Tujuan penelitian

    Para pakar arkeologi sepakat bahwa dalam disiplin ilmu arkeologi memiliki tiga tujuan

    yaitu 1). Merekonstruksi sejarah budaya, 2). Merekonstruksi tingkah laku/cara-cara hidup

    manusia masa lampau, dan 3). Menjelaskan proses-proses budaya. Dengan melihat ketiga

    tujuan arkeologi tersebut maka tujuan umum yang ingin dicapai penulis dalam penelitian

    ini yaitu merekonstruksi tingkah laku/cara-cara hidup manusia masa lampau, namun secara

    khusus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

    1. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan duni di Situs Liang Datu dengan wadah

    kubur lainnya di daerah pembanding.

    2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatar belakangi bentuk-bentuk duni pada

    Situs Liang Datu berbeda dengan bentuk Erong di Toraja dan Tedong-tedong di

    Mamasa.

    1.4.2. Manfaat Penelitian

    1. Menjadi masukan bagi instansi terkait untuk lebih memberi perhatian dan

    pemanfaatan pada Situs Liang Datu.

    2. Kiranya hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan data tambahan untuk

    penelitian selanjutnya.

    1.5 Metode Penelitian

    Penelitian yang berbasis karya ilmiah tentunya tidak lepas dari tujuan yang ingin

    dicapai, untuk mencapai hasil yang maksimal dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh

    karena itu diperlukan suatu sistem kerja yang sistematik yang terangkum dalam sebuah

  • 10

    metodologi. Metode yang digunakan tentu tidak lepas dari metode keilmuan yang

    mendasarinya yang dalam hal ini menggunakan metode arkeologi.

    Adapun tahap-tahap dalam pelaksanaannya dimulai dari tahap Metode pengumpulan

    data, metode pengolahan data dan metode penafsiran data. Berikut penjabaran masing-

    masing tahap.

    1.5.1 Metode Pengumpulan Data

    1. Studi Pustaka

    Studi pustaka merupakan metode awal yang digunakan untuk mencari data-data yang

    berkaitan dengan penelitian di Situs Liang Datu, Situs Ketekesu, Situs Buntu Balla, dan

    Situs Paladan yang berasal dari referensi buku-buku, makalah, artikel, hasil penelitian

    mahasiswa arkeologi yang dituangkan dalam bentuk skripsi, ditambah laporan penelitian

    dari instansi-instansi yang mempunyai hubungan dengan obyek penelitian, serta data-data

    geografis pada masing-masing daerah penelitian.

    2. Survei lapangan

    Survei dilakukan dengan cara survei permukaan, dengan mengamati bentuk-bentuk

    wadah duni pada Situs Liang Datu, pola hias maupun ada tidaknya bekal kubur

    didalamnya, kemudian dilakukan pendeskripsian pada tiap-tiap duni yang sudah dibuat

    dalam satu form isian yang memuat segala hal. Begitu pun pada Situs Ketekesu dilakukan

    hal yang sama seperti yang dilakukan di Situs Liang Datu, tetapi pada Situs Paladan dan

    Situs Buntu Balla tidak dilakukan pengamatan secara langsung melainkan dilakukan studi

    pustaka saja, karena data kedua situs sudah ada.

  • 11

    1. Deskripsi

    Deskripsi yang dimaksud disini terbagi atas dua yaitu, deskripsi lingkungan yang

    memuat hal-hal yang berkaitan dengan kondisi di dalam dan di luar Situs Liang Datu

    serta jenis-jenis vegetasi yang berada di sekitarnya (arah hadap gua, orientasi,

    ketinggian dan sebagainya), dan yang kedua deskripsi temuan yang meliputi,

    bentuk/jenis temuan, ragam hias, ukuran (cm), bekal kubur/temuan lain, teknik

    pembuatan, letak wadah kubur, bahan yang digunakan, arah hadap, fungsi dan

    penggunaan warna. Kesepuluh kategori di atas kemudian dikelompokkan lagi dalam

    atribut-atribut terkecil.

    2. Dokumentasi

    Hal yang tidak kalah pentingnya ialah melakukan pendokumentasian yang terdiri

    dari pemotretan, penggambaran dan penentuan titik koordinat. Pemotretan dilakukan

    dengan menggunakan kamera digital, dengan mengambil foto lingkungan yang berada

    di sekitar situs baik di dalam situs maupun di luar situs, foto temuan duni dengan

    mengambil dari semua sudut (tampak depan-belakang, samping kiri dan kanan, serta

    tampak atas).

    Penggambaran dilakukan dengan cara manual pada duni dan pembuatan peta situs.

    Penggambaran dilakukan guna mengetahui hal-hal yang detail yang terdapat pada duni

    seperti pola hias dan bentuk duni yang memiliki keunikan. sedangkan pembuatan peta

    situs dilakukan dengan menggunakan sistem polygon tertutup dengan tingkat

    ketelitian atau grade 4 yaitu pengukuran menggunakan kompas, klinometer, rol meter,

    milimeterblok, hal ini dilakukan guna melihat pola sebaran duni pada situs Liang

    Datu. Mengingat kondisi Situs Liang Datu yang tidak terlalu besar dan jarak antara

    duni yang satu dengan duni yang lain tidak terlalu jauh, maka tidak dilakukan

  • 12

    pembagian grid melainkan hanya dilakukan pembagian wilayah berdasarkan

    ruang/chamber yang ada.

    Menentukan titik koordinat (ploting) lokasi situs, dengan menggunakan GPS

    Garmin Etrex dengan menggunakan sistem UTM (Universal Transverse Mercator).

    Sistem ini digunakan secara umum dalam sistem pemetaan, selain tingkat akurasi yang

    baik, sistem UTM ini juga memproyeksikan bidang bumi yang dapat digunakan

    hampir disemua tempat.

    1.5.2 Metode Pengelolaan Data

    Tahap pengelolaan data dilakukan setelah diperoleh data pada tahap pengumpulan data,

    baik data primer maupun data sekunder, tahapan ini bersifat induktif. Mengingat data yang

    akan diambil secara kualitatif dan kuantitafik yang cukup banyak, maka pada tahap

    pengelolaannya digunakan statistik sederhana yang biasa digunakan dalam sebuah

    penelitian yaitu distribusi frekuensi dan korelasi. Distribusi frekuensi salah satu cara untuk

    mengatur atau menyusun data dengan mengelompokkan data-data berdasarkan ciri-ciri

    penting dari sejumlah besar data, ke dalam beberapa kelas dan kemudian disusun dalam

    bentuk tabel dan diagram. Distribusi frekuensi yang digunakan ialah distribusi kategori.

    Setelah dilakukan tahap di atas, kemudian dilakukan korelasi atau mencari hubungan

    antara satu data dengan data yang lain. tahapan selanjutnya adalah perbandingan atau studi

    komparasi, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, hal ini bertujuan untuk menarik

    kesimpulan secara umum.

  • 13

    1.5.3 Metode Penafsiran Data

    Metode penafsiran data bersifat memberikan penjelasan, terutama menjawab

    persoalan-persoalan yang disesuaikan dengan tujuan serta permasalahan yang dirumuskan

    yang kemudian dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan secara umum yang didasarkan

    pada pengumpulan data berupa tinjauan pustaka, survei lapangan, dan tahap pengelolaan

    data dari hasil analisis yang telah dilakukan.

    Metode yang dimaksud disini adalah usaha penulis dalam memberikan gambaran

    secara deskriptif dari uraian yang dianalisis terhadap tinggalan duni pada Situs Liang Datu

    yang akan dikaji. Hasil analisis yang telah dilakukan diharapkan akan menghasilkan data

    pembanding yang nantinya akan menghasilkan persamaan dan perbedaan dari setiap wadah

    kubur yang dimaksud, serta mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi penyebab

    terjadinya perbedaan tersebut.

  • 14

    1.6 Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan adalah untuk memberikan uraian dari masing-masing bab per

    bab maka dari itu penulis membagi ke dalam 5 (lima), adapun penjabaran masing-masing

    bab dapat dilihat pada uraian di bawah ini:

    1. BAB I Pendahuluan, latar belakang masalah, permasalahan dan pertanyaan penelitian,

    kerangka hipotesis, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, sistematika

    penulisan.

    2. BAB II Gambaran Wilayah, meliputi kondisi geografis, sistem kepercayaan dan

    sistem sosial masyarakat disekitar situs di kabupaten Enrekang, Toraja dan Mamasa.

    3. BAB III Deskripsi Objek Penelitian, yang dimaksud dalam bab ini adalah deskripsi

    temuan yang ada di Situs Liang datu, di Situs Ketekesu dan Situs Buntu Balla dan

    Situs Paladan. dan istilah-istilah yang digunakan dalam tahapan analisis.

    4. BAB IV Analisis Wadah Kubur, berisi analisis terhadap masing-masing temuan yang

    ada ditiap-tiap situs, beserta penjelasan-penjelasannya.

    5. BAB V Penutup berisi tentang kesimpulan dari penelitian ini, yaitu untuk mengetahui

    persamaan dan perbedaan serta faktor-faktor yang melatarbelakanginya.