bekal jurnalis pengawal transparansi anggaran
DESCRIPTION
Materi ini disampaikan jurnalis senior Bisnis Indonesia, Hasudungan Sirait dalam Training Transparansi Anggaran Pemerintah yang digelar AJI Yogyakarta 23 Juni 2012.TRANSCRIPT
BEKAL JURNALIS PENGAWAL TRANSPARANSI ANGGARAN
OLEH P. HASUDUNGAN SIRAIT
Anggaran perjalanan dinas
Media mewartakan, sepekan lebih, pertengahan Mei lalu: 40% anggaran ini bocor
Wacana cepat terbentuk di tengah masyarakat
Berita sebenarnya bukan hasil penelusuran pers melainkan pengumuman BPK (Ihtisar Pemeriksaan Semester I/2010)
Masyarakat segera lupa
Stamina Pers kita cekak. Meminjam istilah dr. Naek Tobing atau dr. Boyke, begitu bernafsu di awal sehingga lekas ejakulasi dini.
[akibatnya] Isu yang satu segera dibenam oleh isu yang lain. Kisah biaya perjalanan dinas juga berumur pendek. Cerita Hambalang dan yang lain menenggelamkannya.
Pendalaman kasus korupsi anggaran tidak terjadi sehingga realitas di lapangan tak banyak berubah
Anggur lama dalam botol baru
Sesungguhnya kisah manipulasi anggaran tidak baru di negeri kita. Lebih dari 20 tahun silam, misalnya, ekonom terkemuka Prof. Sumitro Djojohadikusumo, sudah berbicara kepada pers bahwa anggaran untuk pengadaan barang dan jasa menguap sekitar 30%.
Praktis tak banyak yang berubah di Indonesia dalam hal penyelahgunaan anggaran, sejak ucapan sang begawan.
Sasaran empuk
Penilapan anggaran negara [total APBN kini sekitar Rp 1.300 triliun] terus berlanjut walau rezim silih-berganti
Sasaran empuk para penilap adalah dana untuk belanja pemerintah pusat (barang, modal, hibah, bantuan sosial, belanja lain-lain) serta dana untuk daerah (khususnya perimbangan)
Penerimaan (migas, luar migas: pajak, bea masuk, cukai dan penerimaan pembangunan (bantuan program dan bantuan proyek) pun sebenarnya dicolong juga; hanya saja kurang diekspos media massa
Ilmu lama
Modus penilap masih sama: penggelembungan angka, penurunan mutu (spek), pengeluaran fiktif, penunjukan langsung, insider trading
Kalau ada yang berubah itu hanyalah wajah para pelaku [hasil regenerasi] dan jumlah mereka
Perubahan peta kekuasaan
Transformasi kekuasaan setelah Presiden Soeharto tumbang: Kebangkitan parlemen [DPR/DPRD: hasil
pemilihan langsung] Otonomi daerah dan geliat para kepala daerah
[hasil pemilihan langsung] Berakhirnya hegemoni Bappenas
Di masa Orde Baru
Parlemen hanya tukang stempel pemerintah [sebutan: datang, duduk, diam, duit = 4D)
Kepala daerah hanya menjadi operator Jakarta [perpanjangan tangan kepala negara]
Dalam konteks pembangunan, mereka sepenuhnya hanya menjalankan konsep Bappenas. Soal anggaran pun mereka tak bisa apa-apa
Masa kini
Kepala daerah berjaya sebagai konsekuensi dari otonomi daerah
Parlemen digdaya [‘rezim perlementer’] Bersama pengusaha dan para pejabat
lain, mereka cenderung menjadi sekutu dalam penilapan uang negara
Masalah sejak fase awal
Persekongkolan sejak tahap awal Musrembang
Musrembang tingkat desa didominasi elit desa
Musrembang kecamatan dan kabupaten menjadi ajang permainan para kepala daerah
Wajar saja bila hasil Musrembang yang digodok Bappenas tidak mencerminkan kehendak rakyat
Transaksional
Hasil Musrembang menjadi rujukan pemerintah saat menyusun APBN
Departemen Keuangan memeriksa kelayakan anggaran yang diajukan kementerian dan lembaga negara [kini Depkeu jauh lebih bersih].
RAPBN diproses parlemen. Dalam praktik DPR tak hanya menerapkan hak bujet. Transaksional proses di sana. Fee partai politik selalu mereka minta. Kalau tidak dikasih proses mereka hambat.
Manipulasi berjamaah
Parlemen minta jatah, eksekutif ambil bagian. Pengusaha tak mau rugi [no free lunch!]
Manipulasi berjamaah: Hampir 2.000 anggota DPRD tersangkut kasus
korupsi 173 kepala daerah diperiksa sebagai saksi,
tersangka atau terdakwa. Dari jumlah ini 70% divonis dan menjadi terpidana.
Ada 495 kabupaten/kota dan 33 provinsi. Jadi 1/3 kepala daerah (173 orang) tersangkut kasus korupsi!
Disunat
Alhasil anggaran negara tersunat. Padahal anggaran lebih banyak terpakai untuk pengeluaran rutin (gaji, tunjangan, perjalanan dinas, dsb).
Pembangunan dikorbankan. Hakekat anggaran dilencengkan
Hakekat anggaran
The founding fathers: anggaran negara untuk kemaslahatan seluruh rakyat (lihat Pasal 23 UUD Tahun 1945 dan penjelasannya)
Korban
Rakyat sejak lama diperdaya komplotan penilap anggaran.
Rakyat bisa merasakan apa yang terjadi tapi tak bisa berbuat banyak.
Dalam kondisi seperti sepantasnyalah pers turun tangan dengan menjalankan mandatnya
Pers sebagai penyuara dan watch dog
Pers = media massa Artinya media milik masyarakat luas
karena mandatnya dari mereka Dengan mandat di tangan yang bisa
dilakukan pers adalah menjadi penyambung lidah dan penyadar masyarakat luas sekaligus pengawas kekuasaan (watch dog).
Dalam konteks anggaran negara, pers menjadi penjaga transparansi.
Penjaga transparansi
Agar bisa menjalankan mandat dengan baik jurnalis harus membekali diri.
Apa saja bekal itu?
Pengetahuan ihwal anggaran
Cara membaca anggaran Hakekat, fungsi, siklus [perencanaan,
penjalanan, pengawasan, evaluasi] anggaran
Celah-celah yang bisa dimanfaatkan kaum menipulator serta modus mereka
Kompetensi jurnalis
Pengetahuan tentang standar jurnalistik: apa itu berita, the do dan the don’t, kode etik dan hukum pers
Kemampuan reportase lapangan yang baik [wawancara, riset data, observasi = news gathering]
Kemampuan melakukan liputan mendalam (indepth reporting) dan investigasi
Kemampuan menulis dan mewartakan