bentuk -bentuk counter -hegemoni dalam novel … · 5. sel uruh staf dan karyawan perpustakaan...
TRANSCRIPT
BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI
DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT
KARYA SENO JOKO SUYONO: PERSPEKTIF ANTONIO GRAMSCI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Carlos Venansius Homba
NIM 124114020
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
JULI 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI
DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT
KARYA SENO JOKO SUYONO: PERSPEKTIF ANTONIO GRAMSCI
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Carlos Venansius Homba
NIM 124114020
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
JULI 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERSEMBAHAN
Hidup itu mukjizat
Sekali pun gunung terlampau tinggi membendung hasrat
Kita tetap dapat menaklukkannya dengan mendaki
Karya ini kupersembahkan kepada orangtuaku Albertus Homba dan Florence Bani
Saudara terkasihku Alfrida Natalia Homba dan Barnabas Homba
P. Jack,C.Ss.R. dan P. Rano, C.Ss.R.
Serta semua orang yang saya cintai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
MOTTO
“Biarlah perkara kemarin menjadi alasan untuk tidak kembali berputus asa”
Kemerdekaan sejati terletak pada pilihan yang sejati pula.
Dengan menyerah kepada Tuhan,
manusia menjadi merdeka sejati.
(Driyarkara, 1966)
Janganlah mengira kita sudah cukup berjasa dengan segitiga warna.
Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai,
berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyaknya keringat.
(Ir. Soekarno)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Saya sungguh yakin bahwa penyelesaian skripsi yang berjudul Bentuk-bentuk
Counter-Hegemoni dalam Novel Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono:
Perspektif Antonio Gramsci ini atas perkenanan Tuhan yang Mahakuasa. Ia hadir
dalam hati semua orang yang selama ini telah mendukung saya dengan berbagai
bentuk dan cara masing-masing.
Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dan bantuan dari banyak pihak,
skripsi ini tidak akan selesai pada waktunya. Oleh karena itu, dari hati yang paling
dalam, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. yang telah bersedia menjadi pembimbing I
dan memberikan banyak masukan berharga. Penulis menyadari bahwa
semangat beliau juga banyak mempengaruhi arah penulisan skripsi ini.
2. Drs. B. Rahmanto, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah menyempatkan
diri untuk menilik dan mengarahkan penyusunan skripsi ini.
3. Dr. Ari Subagyo, M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik dan
sekaligus merangkap sebagai Dekan Fakultas Sastra yang juga ikut
mendorong dan menyemangati penulis.
4. Seluruh jajaran pejabat dan dosen Program Studi (Prodi) Sastra Indonesia, S.E
Peni Adji, M.Hum. selaku Kaprodi; Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum.; Drs. Hery
Antono, M.Hum. sebagai Wakaprodi yang juga telah banyak memberikan
dukungan dan sokongan berharga; Prof. Dr. Praptomo Baryadi Isodorus,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
M.Hum. yang telah memberikan banyak petuah kepada penulis; Dra.
Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum.; Sony Christian Sudarsono, M.Hum. yang
juga turut memberikan semangat kepada penulis.
5. Seluruh staf dan karyawan Perpustakaan Sanata Dharma yang telah membantu
penulis memperoleh referensi yang dibutuhkan.
6. Kedua orangtuaku, Bapak Albertus Homba dan Ibu Florence Bani yang telah
memberikan dukungan doa, motivasi, dan materiil.
7. Kedua kakakku, Alfrida Natalia Homba dan Barnabas Homba yang telah
memberikan perhatian dan dukungan kepada penulis.
8. P. Jackobus Umbu Warata, C.Ss.R. dan P. Bartolomeus Farano Loja Nedy,
C.Ss.R. dan para donatur yang telah memberikan pilihan, motivasi, dan
dukungan, baik secara moril maupun materiil kepada penulis.
9. Teman terbaikku Desy Crissie Radja bersama ibunya Dra. Clara E.M.
Talahatu yang secara langsung ataupun tidak langsung telah mendukung dan
memberikan banyak kesempatan untuk belajar bersama.
10. Seluruh teman Prodi Sastra Indonesia dan secara khusus Angkatan 2012 dan
teman baikku, Roby, Bella, Patrick, Santi, Willy, Venta, Lina, Dorce, Mei,
Peng, Novia, Ovi, Reta, Gaby, Silvy, dan Ria Puji Utami.
11. Seluruh keluarga besar Bengkel Sastra yang telah memberikan banyak
kesempatan kepada saya untuk mengembangkan kemampuan berorganisasi
dan bersastra di luar kelas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
12. Keluarga besar Komuniatas Studi Kebangsaan (KSK) Universitas Sanata
Dharma yang telah banyak menyemangati penulis dalam pengerjaan skripsi
ini. Bersama KSK, penulis diberi kesempatan untuk belajar mengenai
organisasi, ilmu kepemimpinan, dan kepekaan sosial.
13. Keluarga besar Komunitas Belajar Anak Omah Pohon yang telah
memberikan penyadaran kepada penulis akan pentingnya perhatian kepada
perkembangan anak melalui pendidikan yang menyenangkan dan kreatif.
Penulis menyadari bahwa banyak lagi yang belum sempat disebukan. Semoga
semua orang atas jasa baik mereka diberkati oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis berharap kiranya skripsi ini
memberikan manfaat, khususnya bagi perkembangan pendidikan Sastra Indonesia.
Penulis
Carlos Venansius Homba
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
ABSTRAK
Homba, Carlos Venansius. 2016. Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel
Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: Perspektif Antonio
Gramsci. Skripsi Strata Satu (S-1). Yogyakarta: Sastra Indonesia.
Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengangkat topik bentuk-bentuk counter-hegemoni dalam
novel Kuil di Dasar Laut karya Seno Joko Suyono. Tujuan penelitian ini (1)
mendeskripsikan struktur cerita yang meliputi tokoh dan penokohan serta latar tempat
dan waktu, (2) mendeskripsikan formasi intelektual berdasarkan perspektif Antonio
Gramsci, dan (3) mendeskripsikan bentuk-bentuk counter-hegemoni. Penelitian ini
menggunakan dua pendekatan. 1) Pendekatan stuktural digunakan untuk
menganalisis struktur novel dan memberi gambaran mengenai isi novel Kuil di Dasar
Laut. 2) Pendekatan Sosiologi Sastra dengan teori Hegemoni Antonio Gramsci
digunakan untuk melihat relasi kekuasaan pemerintah dengan masyarakat sipil dan
peran kaum intelektual sebagai penghubung antara dua entitas tersebut. Metode yang
dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan
data menggunakan teknik baca catat dan teknik studi pustaka.
Hasil kajian ini dibagi menjadi tiga, yaitu analisis struktur cerita dalam novel,
formasi intelektual, dan bentuk-bentuk counter-hegemoni. Tokoh utama dalam novel
ini adalah Jeanne dan Suryo. Sedangkan tokoh tambahan terdiri dari anggota dan
simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih, Phu Tram, Mualim Satu, Souvvana, dan
Phhoung. Latar terbagi menjadi dua. Pertama, latar tempat yang terdiri dari Jakarta,
Jogja, Ngawi, Cilacap, Gunung Sapto Renggo, Situ Panjalu, Laut Cina Selatan, Kuil
di Dasar Laut, Laos, Kamboja, dan Vietnam. Kedua, latar waktu yang terdiri dari
tahun 1961, 1991, 1996, 1998, dan 2012. Tokoh-tokoh di atas dikategorikan dalam
formasi intelektual yang terdiri dari Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik.
Intelektual yang kedua masih dapat dibagi lagi menjadi Intelektual Hegemonic dan
Intelektual Counter-Hegemonic. Tidak satu pun tokoh yang masuk dalam kategori
Intelektual Tradisional. Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono,
Setyarso, Soedjono Hoemardani, Souvvana, dan Phhoung masuk dalam Intelektual
Hegemonic. Anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih, Pak Sawito
Kartowibowo dan rekannya Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu, dan MdDSSG
masuk dalam kategori Intelektual Counter-Hegemonic.
Ada empat bentuk counter-hegemoni yang ditemukan dalam penelitian ini,
yaitu 1) Perlawanan Keras yang dilakukan dengan cara menerbitkan petisi dan aksi
demonstrasi, 2) Perlawanan Pasif yang dilakukan melalui cara tapak tilas dan tirakat,
menantang maut, dan mencari ketenangan di luar negeri. 3) Perlawanan Humanistik
yang dilakukan melalui negosiasi dengan penguasa, 4) Perlawanan Metafisik yang
dilaksanakan melalui perjalanan spiritual ke pepunden-pepunden untuk mencari
wahyu tandingan melawan Soeharto.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
ABSTRACT
Homba, Carlos Venansius. 2016. The Forms of Counter-Hegemony in Kuil di
Dasar Laut Novel By Seno Joko Suyono: Antonio Gramsci’s Hegemony
Perspective. Bachelor of Science Essay. Yogyakarta: Indonesian Literature.
Faculty of Literature. Sanata Dharma University.
This research raises the forms of counter-hegemony in Kuil di Dasar Laut
novel. Research purposes are 1) describing the structure of Kuil di Dasar Laut novel
including characters and characterizations and setting of place and time, 2) describing
the formation of intellectual with perspective of Antonio Gramsci, 3) describing the
forms of counter-hegemony. This research using two main approaches, i.e. 1)
Structural approach is used to analyze the structure of the novel and give illustration
about the content of Kuil di Dasar Laut novel. 2) Sociology of Literature approach
with Hegemony of Antonio Gramsci theory is used to analyzing the power relation of
government with civil society and the role of intellectual as connector between the
two entities. The method used in this research is description qualitative method. The
data collecting technique are note-reading technique and library research technique .
The result of the study is divided into three parts, analyzing of story structure
of the novel, formation of intellectual, and forms of counter-hegemony. The main
character in this novel are Jeanne and Suryo. While the additional character consists
of members and sympathisesrs of Paguyuban Anggoro Kasih, Phu Tram, Mualim
Satu, Souvvana, and Phhoung. The setting is devided into two parts. First, setting of
place consist of Jakarta, Jogja, Ngawi, Cilacap, Sapto Renggo Mountain, Situ
Panjalu, South China Sea, Kuil di Dasar Laut, Laos, Kamboja, and Vietnam. Second,
setting of time consist of 1961, 1991, 1996, 1998, and 2012. The characters above
categorized in the formation of intellectual consist of Traditional Intellectual and
Organic Intelectual. The second intellectual can be divided into Hegemonic
Intellectual and Counter-Hegemonic Intellectual. None of the character that come in
Traditional Intellectual category. Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi,
Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoermardani, Souvvana, and Phhoung come in
Hegemonic Intellectual. Members and sympathisers of Paguyuban Anggoro Kasih,
Sir Sawito Kartowibowo, and his colleague Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu,
and MdDSSG in the category of Counter-Hegemonic Intellectual.
There are four forms of counter-hegemony was found in this research, that are
1) Strong Resistance that done by publish the petition and demonstration, 2) Passive
Resistance that done by tapak tilas and tirakat, challenging death, and seeking solace
in aboard, 3) Humanistic Resistance that done by negotiations with the authority, 4)
Metaphysically Resistance that done by spiritual journey to the objects of shrine to
seek match relevation against Soeharto.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ............................................................ iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................................. iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................................. v
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vi
MOTTO ............................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii
ABSTRAK ........................................................................................................... xi
ABSTRACT ......................................................................................................... xii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 6
1.4 Manfaat Hasil Penelitian ................................................................. 7
1.4.1 Manfaat Teoretis ................................................................. 7
1.4.2 Manfaat Praktis ................................................................... 7
1.5 Tinjauan Pustaka ............................................................................. 8
1.6 Landasan Teori ................................................................................ 12
1.6.1 Analisis Struktural .............................................................. 12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan .......................................... 13
1.6.1.2 Latar ..................................................................... 18
1.6.1.2.1 Latar Tempat .................................... 19
1.6.1.2.2 Latar Waktu ...................................... 19
1.6.2 Sosiologi Sastra ................................................................... 20
1.6.2.1 Analisis Hegemoni:
Perspektif Antonio Gramsci .................................. 21
1.6.2.1.1 Formasi Kaum Intelektual ................... 24
1.6.2.1.2 Counter-Hegemoni .............................. 30
1.7 Metodologi Penelitian ..................................................................... 36
1.7.1 Pendekatan .......................................................................... 36
1.7.2 Metode Penelitian ............................................................... 37
1.7.3 Teknik Penelitian ................................................................ 38
1.7.3.1 Teknik Pengumpulan Data ................................... 38
1.7.3.2 Teknik Analisis Data ............................................ 38
1.7.3.3 Teknik Penyajian Data ......................................... 39
1.8 Sumber Data .................................................................................... 39
1.8.1 Sumber Data Primer ............................................................ 39
1.8.2 Sumber Data Sekunder ....................................................... 40
1.9 Sistimatika Penyajian ...................................................................... 40
BAB II ANALISIS STRUKTUR CERITA
NOVEL KUIL DI DASAR LAUT ........................................................ 42
2.1 Pengantar .......................................................................................... 42
2.2 Tokoh dan Penokohan ...................................................................... 45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
2.2.1 Tokoh Utama ....................................................................... 45
2.2.2 Tokoh Tambahan ................................................................. 62
2.3 Latar ................................................................................................. 91
2.3.1 Latar Tempat ........................................................................ 92
2.3.2 Latar Waktu ......................................................................... 117
2.4 Rangkuman ....................................................................................... 121
BAB III FORMASI INTELEKTUAL
DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT ..................................... 126
3.1 Pengantar .......................................................................................... 126
3.2 Formasi Intelektual ........................................................................... 129
3.2.1 Intelektual Tradisional ............................................................ 129
3.2.2 Intelektual Organik ................................................................. 130
3.2.2.1 Intelektual Hegemonic ............................................. 133
3.2.2.2 Intelektual Counter-Hegemoni ................................ 143
3.3 Rangkuman ....................................................................................... 156
BAB IV BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI
DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT ...................................... 158
4.1 Pengantar .......................................................................................... 158
4.2 Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni .................................................. 163
4.2.1 Perlawanan Keras ................................................................... 163
4.2.1.1 Menerbitkan Petisi ................................................... 164
4.2.1.2 Aksi Demonstrasi .................................................... 165
4.2.2 Perlawanan Pasif .................................................................... 167
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
4.2.2.1 Tapak Tilas dan Tirakat ........................................... 168
4.2.2.2 Menantang Maut ...................................................... 169
4.2.2.3 Mencari Ketenangan di Luar Negeri ....................... 176
4.2.3 Perlawanan Humanistik .......................................................... 178
4.2.3.1 Negosiasi dengan Penguasa ..................................... 178
4.2.4 Perlawanan Metafisik ............................................................. 179
4.2.4.1 Bentuk Perlawanan Metafisik ................................. 181
4.3 Rangkuman ....................................................................................... 192
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 196
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 196
5.2 Saran ................................................................................................. 203
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 204
LAMPIRAN ........................................................................................................ 207
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
DAFTAR DIAGRAM DAN TABEL
Diagram Rangkuman Struktur Cerita Novel KdDL.............................................. 124
Tabel 1 Rangkuman Formasi Intelektual dalam Novel KdDL ............................ 157
Tabel 2 Rangkuman Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel KdDL .... 195
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Karya sastra diciptakan oleh seorang sastrawan untuk dinikmati, dipahami,
dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota
masyarakat; ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial
yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa itu sendiri merupakan ciptaan
sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah
suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan
antar-masyarakat, antara masyarakat dengan orang-perorang, antar-manusia, dan
antar-peristiwa yang terjadi di dalam batin seseorang. Bagaimana pun juga,
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang – yang sering menjadi
bahan sastra – adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau
masyarakat (Damono, 1978: 1). Dalam konteks ini, sastra bukanlah sesuatu yang
otonom, berdiri sendiri, melainkan sesuatu yang terikat erat dengan situasi dan
kondisi lingkungan tempat karya itu dilahirkan (Jabrohim, 2015: 215).
Sebagai entitas yang memuat dimensi kehidupan masyarakat, karya sastra
bukan hanya sekadar dinikmati. Karya sastra juga dapat diteliti dan dianalisis
lebih jauh untuk menemukan gejala-gejala kehidupan masyarakat yang terkadung
di dalamnya.
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Kisah mengenai kegelisahan masyarakat pada masa Orde Baru1 selalu
layak untuk dilihat kembali. Ada banyak karya sastra (salah satunya novel) yang
menggambarkan bentuk pergolakan batin dan perlawanan masyarakat pada rezim
ataupun situasi kehidupan yang mengekang kebebasannya sebagai manusia.
Kuil di Dasar Laut (selanjutnya disingkat “KdDL”) merupakan novel
karya Seno Joko Suyono yang juga membahas persoalan rezim otoriter Orde
Baru. Akan tetapi, karya ini tidak membahas secara spesifik seperti apa saja
bentuk otoriter yang ditunjukkan oleh rezim dan persoalan sosial politik yang
melilit kehidupan masyarakat Indonesia di akhir periode Orde Lama hingga
menyongsong Reformasi tersebut. Seno Joko Suyono justru membahas lebih jauh
mengenai sosok Soeharto; pimpinan rezim Orde Baru dengan segala kekuatan
mistik yang membentenginya. Kekuatan tersebut yang menopang Soeharto selama
puluhan tahun berkuasa.
Banyak massa dan simpatisan yang sebelumnya mendukung Soeharto,
kemudian berbalik melawannya karena kecewa dengan model kepemimpinan
Seoharto. Hal tersebut dapat ditunjukkan dalam kutipan (1).
(1) Pada mulanya mereka mendukung Soeharto, namun kemudian
muncul kekecewaan besar terhadap jenderal itu. Mereka
menganggap Soeharto salah jalan. Mereka menyesal telah
memberikan sokongan moral kepadanya. Bapak-bapak itu adalah
orang-orang yang merasa bersalah mendiamkan pengganyangan-
pengganyangan yang dilakukan Soeharto (Suyono, 2014: 353).
1 Salah satu kritik tajam yang dilontarkan kaum cendekiawan/intelektual terhadap Orde
Baru pimpinan Presiden Soeharto adalah sifat otoritarian dan militeristik yang sangat kuat
dan secara berlebihan mengutamakan ketunggalan ideologi daripada kebhinekaan bangsa
(Taum, 2015: 163).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Diskursus politik Orde Baru sebelumnya memang bertahan cukup lama.
Masyarakat berada di bawah sebuah kepatuhan buta. Tidak ada perlawanan
seolah-olah rezim Orde Baru begitu perkasa. Dalam kasus perlawanan di atas,
hegemoni integral (lih. Patria, 1999: 128) yang ditanamkan oleh Soeharto melalui
aparat hegemoninya (salah satunya ABRI) tidak dapat berjalan dengan baik.
Mulai muncul perlawanan di mana-mana meskipun tidak secara terbuka.
Beberapa perlawanan di antaranya justru dipilih lewat jalur metafisik, yaitu
dengan melakukan tirakat dan menyiksa diri berpuasa berhari-hari. Judul Kuil di
Dasar Laut rupanya memberikan gambaran yang kaya makna sekaligus merujuk
pada model perlawanan bawah tanah para anggota paguyuban. Tidak banyak yang
tahu mengenai perang tidak kasatmata ini, tetapi cukup menggerogoti emosional
Soeharto.
Kutipan (2) berikut ini menunjukkan bentuk perlawanan metafisik yang
dilakukan oleh salah satu tokoh dalam novel KdDL.
(2) Pak Sewaka semenjak 1996 “bersembunyi” di Solo..tak tahan. Ia
keluar dari tempat pelariannya. Petilasan Banglampir adalah
bekas tempat bermeditasi KiAgeng Pamanahan. Suryo
mendengar ternyata sesampaian Pak Sewaka di sana, sudah
banyak peziarah yang tidak dikenal. Mereka duduk mengambil
posisi di pojok-pojok tertentu, juga di bangsal Prabayaksa.
Mereka memperebutkan tusuk konde (Suyono, 2014: 361-362).
Tindakan yang diambil di atas merupakan bentuk yang dalam istilah
Gramsci disebut sebagai strategi alternatif (Patria, 1999: 170). Topik seputar
strategi alternatif serupa cukup banyak dinarasikan oleh Seno Joko Suyono
disertai dengan data-data yang detail dan mempesona. Model perlawanan seperti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
di atas memang belum pernah diteliti atau dideskripsikan dalam berbagai karya
sastra maupun risalah ilmiah lainnya.
KdDL dipilih karena beberapa alasan. Pertama, sebagai novel yang belum
lama beredar, masih sedikit yang meneliti KdDL. Sejauh ini, KdDL baru sebatas
menjadi bahan resensi sastra oleh beberapa orang seperti Dr. Yoseph Yapi Taum,
M.Hum. dalam kolom resensi Kompas Minggu, edisi 26 April 2015, Is Mujiarso –
kontributor portal berita online “detik.com” – dalam kolom seni detik.com
terbitan Rabu, 24 Juni 2015, dan beberapa orang lainnya. Dengan demikian, nilai
novelty-nya bisa dipertanggungjawabkan.
Kedua, peneliti cukup tertarik dengan model pendekatan Hegemoni
Gramsci dan KdDL sangat cocok dianalisis dengan menggunakan pendekatan
tersebut. Ada sekian banyak persoalan hegemonik yang terajut dalam alur cerita
novel KdDL. Persoalan tersebut turut berkembang hingga melahirkan berbagai
aksi perlawanan. Aksi perlawanan tersebut muncul oleh karena berbagai alasan.
Kutipan (3) berikut menunjukkan salah satu aksi perlawanan masyarakat dalam
novel KdDL dengan penyebabnya.
(3) “Tahun 1935 di daerah tambak Merang, Wonogiri, terjadi
kerusuhan petani. Petani-petani itu melawan pejabat-pejabat desa
karena masalah tanah (Suyono, 2014: 205).
Tindakan menantang penguasa sebagaimana digambarkan dalam kutipan
(3) di atas akan menjadi fokus dari penelitian ini. Tindakan tersebut akan
diistilahkan dengan sebutan counter-hegemoni. Secara khusus persoalan ini akan
dibahas pada bab IV.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Ketiga, KdDL sarat dengan data-data yang detail dan menarik mengenai
bentuk-bentuk counter-hegemoni2. Keberadaan data tersebut kemudian menjadi
penting bagi peneliti untuk menyimpulkan sebuah hipotesis mengenai bentuk-
bentuk counter-hegemoni dalam suatu klasifikasi tertentu.
Keempat, analisis mengenai bentuk-bentuk counter-hegemoni ini
kemudian menjadi penting karena turut mengungkap bentuk perlawanan yang
sejauh ini tidak banyak diketahui orang. Selama ini, ketika membahas mengenai
kejatuhan rezim Orde Baru, pasti masyarakat hanya akan teringat mengenai aksi
heroik perlawanan fisik ribuan mahasiswa yang turun ke jalan-jalan. Akan tetapi,
ada juga bentuk perlawanan lain yang sebenarnya cukup digelisahkan Soeharto
saat itu.
Pembahasan penelitian ini dimulai dengan analisis struktur tokoh dan
penokohan serta latar, deskripsi formasi intelektual, lalu kemudian bentuk-bentuk
counter-hegemoni. Ketiga pokok bahasan di atas tentunya memiliki keterkaitan
satu dengan lainnya. Penelitian dimulai dengan menemukan struktur tokoh dan
penokohan serta latar3 agar dapat menunjukkan secara logis latar belakang
pemikiran dan karakter tokoh yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk
perlawanan mereka. Data mengenai tokoh dan penokohan juga akan membantu-
2 Untuk menghindari kekeliruan, pada pembahasan selanjutnya akan sering disebutkan
frasa (Intelektual) Counter-Hegemonic dan (Bentuk-bentuk) counter-hegemoni. Counter-
Hegemonic merujuk pada kategori intelektual tertentu dan counter-hegemoni merujuk
pada gerakan perlawanan.
3 Model penelitian ini merupakan penelitian struktural yang memegang peranan penting
untuk membantu pembaca memahami struktur cerita sebuah karya (Nurgiyantoro, 1995:
32).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
peneliti mengklasifikasikan tokoh ke dalam formasi kaum intelektual pada bab III.
Selanjutnya, pada bab IV, peneliti akan mendeskripsikan bentuk-bentuk counter-
hegemoni yang dilakukan oleh kaum intelektual. Penelitian akan diakhiri dengan
bab V yang berisi mengenai kesimpulan dan saran.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, ditemukan tiga masalah yang perlu dibahas
dalam penelitian ini. Masalah tersebut adalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah struktur cerita dalam novel KdDL?
1.2.2 Bagaimanakah formasi intelektual dalam novel KdDL?
1.2.3 Bagaimanakah bentuk-bentuk counter-hegemoni yang terdapat dalam
novel KdDL?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, ada tiga tujuan dalam penelitian
ini, yaitu:
1.3.1 Mendeskripsikan struktur cerita novel KdDL. Struktur cerita yang
dimaksudkan berkenaan dengan tokoh dan penokohan serta latar (tempat
dan waktu). Pokok masalah ini akan dibahas pada bab II.
1.3.2 Mendeskripsikan formasi intelektual dalam novel KdDL. Pokok masalah
ini akan dibahas pada bab III.
1.3.3 Menemukan dan mendeskripsikan bentuk-bentuk counter-hegemoni yang
terdapat dalam novel KdDL. Hal ini akan dibahas pada bab IV.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Hasil dari penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan
manfaat praktis. Manfaat teoretis adalah manfaat penelitian bagi ilmu
pengetahuan dan manfaaat praktis adalah menfaat penelitian untuk profesi atau
pekerjaan tertentu.
1.4.1 Manfaat Teoretis
1.4.1.1 Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai model
pendekatan Hegemoni Antonio Gramsci, khususnya mengenai upaya
untuk melahirkan wacana/ideologi tandingan sebagai bentuk perang
posisi terhadap kelas dominan yang dalam penelitian ini diwakilkan oleh
rezim pemerintahan. Istilah perang posisi tersebut dalam penelitian ini
disebut dengan counter-hegemoni.
1.4.1.2 Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai
bentuk-bentuk counter-hegemoni yang dilakukan masyarakat terhadap
rezim Orde Baru sehingga dapat ditumbangkan setelah kurang lebih 32
tahun berkuasa.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi siapa
pun yang berprofesi dalam bidang sastra dan pendidikan untuk mengenal lebih
jauh mengenai karya-karya yang memuat persoalan hegemonik. Guru bidang studi
ilmu Sejarah juga dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk menambah
wawasan bagi para siswa mengenai kehadiran dunia metafisik yang menyokong
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
kekuasaan Soeharto dan bentuk-bentuk perlawanan metafisik terhadapnya.
Memang di masa post-modernisme sekarang ini, hal-hal yang berkaitan dengan
mistis sudah dianggap sebagai persoalan yang musyrik. Akan tetapi, paling tidak
wawasan ini menjadi penting sebagai sebuah pemahaman sejarah para siswa.
1.5 Tinjauan Pustaka
Perbincangan mengenai counter-hegemoni dan persoalan rezim otoriter
Soeharto telah banyak dituliskan, baik dalam bentuk risalah ilmiah, maupun karya
sastra. Karya-karya tersebut antara lain, Sastra dan Politik (Taum, 2015),
Membangun Kesadaran Kritis Masyarakat Sebuah Gagasan Politik Gramsci
Menentang Hegemoni Negara (Yody, 2003), Antonio Gramsci: Negara dan
Hegemoni (Patria, 1999), dan Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde
Baru (Dhakidae, 2003).
Buku Sastra dan Politik (2015) merupakan transformasi dari disertasi
doktoral Yoseph Yapi Taum yang banyak memberikan perhatian pada persoalan
Tragedi 1965 dan representasinya dalam karya-karya sastra, sinematografi, hingga
program-program indoktrinasi pemerintah Orde Baru. Secara mendalam, Taum
membongkar topik yang banyak dihindari oleh banyak orang pada masa Orde
Baru. Uraian-uraian yang dipaparkan cukup lancar dan meyakinkan. Dalam
membahas Tragedi 1965 itu, teks-teks yang dianalisis dibagi ke dalam 3 periode.
Dalam setiap periode itu, pemerintah Orde Baru memiliki watak yang berbeda-
beda. Buku inilah yang menunjukkan bahwa sebenarnya sastra bukan merupakan
abstraksi dunia alternatif, tetapi terlibat dalam kehidupan konkret masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Hegemoni Antonio Gramsci menjadi salah satu perspektif yang digunakan
oleh Taum. Tiga lokus pemikiran Gramsci, seperti hegemoni, ideologi, dan
peranan intelektual banyak dibahas dalam buku ini. Studi ini berfokus pada posisi
kaum intelektual dan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan mereka. Buku
Sosial dan Politik cukup membantu peneliti sebagai salah satu referensi analisis
topik permasalahan rezim Orde Baru dengan pendekatan Hegemoni Gramsci.
Membangun Kesadaran Kritis Masyarakat Sebuah Gagasan Politik
Gramsci Menentang Hegemoni Negara (2003) merupakan sebuah artikel karya
Wilfridus P. N. Yody yang dimuat di Majalah Ilmiah Mahasiswa Rajawali. Dalam
karya ini, Yody menilai proses penyebaran nilai-nilai oleh pemerintah tidak hanya
melulu melalui kekerasan, tetapi dapat juga melalui hegemoni negara. Secara
ringkas, Yody mengisahkan perjalanan Gramsci dan buah-buah pemikirannya
yang mencuat selama perjalanan intelektualnya. Pokok-pokok pemikiran Gramsci
yang ikut dibahas, yaitu hegemoni, negara (sebagai masyarakat sipil dan sebagai
masyarakat politik), hegemoni negara, peran kaum intelektual, dan perang
gerakan serta peran perang posisi. Semua pokok bahasan tersebut berkaitan erat
dengan pokok penelitian ini.
Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni (1999) merupakan buku yang
cukup banyak membahas mengenai Antonio Gramsci. Dalam kalangan peneliti,
karangan ini mengemukakan cetusan gagasan yang radikal dan tajam. Gramsci
menjadi tema sentral dalam kaitannya dengan teori Hegemoni. Melalui buku ini,
secara baik Patria menjabarkan saran yang diberikan oleh Gramsci bagi kalangan
intelektual agar melebur dan mendorong wacana tanding. Buku ini menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
penting untuk menentukan di pihak mana tokoh dan ideologi apa yang mereka
perjuangkan.
Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) merupakan
buku serius yang banyak membicarakan cendekiawan Indonesia dalam
hubungannya dengan Orde Baru. Kata cendekiawan ini merupakan istilah yang
dipakai oleh Daniel Dhakidae yang juga merujuk pada istilah intelektual. Sebelum
membicarakan lebih jauh mengenai relasi cendekiwan dengan kekuasaan Orde
baru, Dhakidae memulai bukunya dengan menyoal pendefenisian istilah
cendekiawan tersebut. Setiap orang dapat saja menyebut dirinya sebagai
intelektual, tetapi semua akan kembali pada penilaian masyarakat atas peran dan
sumbangsinya terhadap kehidupan masyarakat luas. Pada pembahasan
selanjutnya, Dhakidae membahas cukup rinci berbagai strategi politik Orde Baru
dan kekuatan-kekuatan yang bermain di belakangnya. Dengan data-data yang
cukup lengkap, semua hal diungkapkan dengan pertimbangan akademis yang
sangat matang.
Novel KdDL menjadi salah satu karya yang turut mengangkat persoalan
rezim Orde baru. Namun, persoalan yang diangkat bukan semata-mata berkenaan
dengan bentuk-bentuk kekerasan dan penindasan yang dilakukan rezim penguasa.
Novel KdDL menyinggung lebih jauh mengenai aktor utama dari kaos yang
terjadi di masa Orde Baru tersebut. Dengan tokoh sentral seperti Jeanne dan
Suryo, KdDL mengungkapkan banyak hal mengenai lingkar spiritual Soeharto
beserta orang-orang di belakangnya, perlawanan yang dilakukan paguyuban
spiritual Jawa, hingga kemegahan candi-candi di Kamboja, Laos, dan Vietnam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Secara mendalam, KdDL mengeksplorasi berbagai perjalanan perlawanan
orang-orang yang telah jenuh dengan model kepemimpinan Soeharto. Mereka
muncul sebagai gerakan yang berani menantang dengan berbagai cara. Sekian
karya di atas membahas mengenai polemik selama kekuasaan Orde Baru
berlangsung. Pendekatan Hegemoni Gramsci yang dikerucutkan pada topik
seputar hegemoni, negara, dan peranan intelektual, berbagai gejala yang memicu
perlawanan hingga bentuk-bentuk perlawanan (counter-hegemoni) yang
dilakukan oleh kaum intelektual, baik melalui perlawanan keras, pasif, maupun
humanis. Namun, novel KdDL membahas sisi lain kehidupan Soeharto dan
bentuk perlawanan yang berbeda atasnya. Perlawanan tersebut ialah perlawanan
kebatinan. Itulah sebabnya dalam penelitian ini kemudian muncul istilah
metafisik. Perlawanan tersebut bukanlah melalui perlawanan fisik yang kasatmata,
tetapi perlawanan tidak kasatmata yang hanya dimengerti dan dilihat oleh orang-
orang aliran kebatinan.
Selain itu, dalam novel KdDL juga ada bentuk counter-hegemoni lainnya.
Model counter-hegemoni tersebut bukanlah perlawanan politis yang secara jelas
menampilkan kontradiksi yang khas bahwa ada yang menyerang dan ada yang
diserang. Perlawanan tersebut berbentuk sebuah “pelarian diri” dari berbagai
kondisi yang menekan dengan mencari ketenangan di luar negeri, sebagaimana
dilakukan oleh Suryo dan Jeanne. Mereka berlari dari dampak aksi perlawanan
mereka yang sebenarnya secara periodik tidak lagi berdampak pada mereka.
Perlawanan terdahulu dilakukan selama masa kekuasaan Soeharto. Dampak dari
perlawanan tersebut - berupa teluh - masih mengejar mereka meskipun telah 14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
tahun Reformasi berlangsung. Dengan berada di luar negeri, Jeanne dan Suryo
yakin bisa terhindar dari teluh tersebut, meskipun sebenarnya tidak. Mereka masih
tetap melawan.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Analisis Struktural
Pada tahap awal, penelitian ini menggunakan model objektif yang
memberi perhatian khusus kepada karya sastra sebagai sebuah struktur. Metode
ini menjadi penting karena sebuah karya sastra merupakan keseluruhan, kesatuan
makna yang bulat, mempunyai koherensi intrinsik; dalam keseluruhan itu; setiap
bagian dan unsur memainkan peranan yang hakiki, sebaliknya unsur dan bagian
mendapat makna seluruhnya dari makna keseluruhan teks: lingkaran hermeneutik
(Teeuw dalam Sukada, 1987: 25). Untuk mengenal dan menganalisis karya sastra,
maka pendekatan ini menjadi penting agar peneliti dapat memahami secara
komprehensif “bangunan” karya sastra yang diteliti.
Salah satu konsep dasar yang menjadi ciri khas teori struktur adalah
adanya anggapan bahwa dalam dirinya sendiri, karya sastra merupakan suatu
struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang bulat
dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo, dkk dalam
Jabrohim, 2015: 69).
Dalam kesatuan hubungan itu, setiap unsur atau anasirnya tidak memiliki
makna sendiri-sendiri, kecuali dalam hubungannya dengan anasir lain sesuai
dengan posisinya dalam keseluruhan struktur. Dengan demikian, struktur
merupakan sebuah sistem yang terdiri atas sejumlah anasir yang di antaranya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
tidak satu pun dapat mengalami perubahan tanpa menghasilkan perubahan dalam
semua anasir lain (Strauss dalam Teeuw, 1984: 140-141).
Dalam lingkup karya fiksi, Stanton mengungkapkan dalam Jabrohim
(2015: 72) perihal deskripsi unsur-unsur karya sastra. Unsur-unsur pembangun
struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita itu
sendiri terdiri atas tokoh, alur, dan latar. Sedangkan sarana sastra biasanya terdiri
atas sudut pandang, gaya bahasa, suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan juga
cara pemilihan judul. Di dalam karya sastra, fungsi sarana sastra adalah
memadukan fakta sastra dengan tema sehingga makna karya sastra itu dapat
dipahami dengan jelas.
Dalam studi ini, peneliti hanya membatasi struktur penceritaan pada tokoh
dan penokohan serta latar tempat dan waktu. Hal ini dikarenakan pertama, peneliti
berupaya untuk melakukan studi yang efisien dan efektif maka perlu ada batasan-
batasan yang tegas dari peneliti sesuai kebutuhan studi. Kedua, tokoh, latar tempat
dan waktu yang terdapat dalam penelitian ini terbilang cukup kompleks sehingga
perlu untuk dipilah dan disederhanakan. Ketiga, hasil dari analisis tokoh dan
penokohan tersebut membantu peneliti untuk merumuskan formasi intelektual
yang kemudian terlibat dalam counter-hegemoni. Kemudian latar tempat dan
waktu melengkapi konteks perlawanan itu terjadi.
1.6.1.1 Tokoh dan Penokohan
Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah
seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan
karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Istilah-istilah tersebut sebenarnya tidak menyaran pada pengertian yang persis
sama atau paling tidak dalam konteks ini akan digunakan pengertian yang
berbeda, walau memang ada di antaranya yang sinonim. Ada istilah yang
pengertiannya menyaran pada tokoh cerita dan atau “teknik” pengembangannya
dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro, 1995: 164-166).
Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya atau pelaku cerita, misalnya
sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?” atau
“Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”, atau “Siapakah tokoh protagonis
dan antagonis dalam novel itu?”, dan sebagainya. Watak, perwatakan, dan
karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh
pembaca lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan
karakterisasi – karakterisasi juga sering disamakan artinya dengan karakter dan
perwatakan - menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak(-
watak) tertentu dalam sebuah cerita. Atau seperti dikatakan oleh Jones (1968: 33),
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita (ibid., 165).
Penggunaan istilah “karakter” (character) sendiri dalam berbagai literatur
bahasa Inggris menyarankan pada dua pengertian berbeda, yaitu sebagai tokoh-
tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi,
dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut (Stanton dalam
Nurgiyantoro, 1995: 165). Dengan demikian, character dapat berarti „pelaku
cerita‟ dan dapat pula berarti „perwatakan‟. Antara seorang tokoh dan perwatakan
yang dimilikinya memang merupakan sebuah kepaduan yang utuh (ibid., 165).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Tokoh cerita (character) menurut Abrams (1981: 20) adalah orang(-orang)
yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan
tersebut juga dapat diketahui bahwa antara seorang tokoh dengan kualitas
pribadinya erat berkaitan dalam penerimaan pembaca. Dalam hal ini, khususnya
dari pandangan teori resepsi, pembacalah sebenarnya yang memberi arti
semuanya. Berkaitan dengan kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu
dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku lain (nonverbal).
Pembedaan antara tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas
pribadi daripada dilihat secara fisik (Nurgoyantoro, 1995: 165-166).
Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada
“tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh
cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya
dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada
pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan
pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Jika kita kembali ke pembagian
dikotomis bentuk dan isi, tokoh, watak, dan segala emosi yang dikandungnya itu
adalah aspek isi, sedangkan teknik perwujudannya dalam karya fiksi adalah
bentuk. Jadi, dalam istilah penokohan itu sekaligus terkandung dua aspek, yaitu isi
dan bentuk. Sebenarnya, apa dan siapa tokoh cerita itu tidak begitu penting selama
pembaca dapat mengidentifikasi diri pada tokoh(-tokoh) tersebut (Jones dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Nurgiyantoro, 1995: 167) atau pembaca dapat memahami dan menafsirkan tokoh-
tokoh itu sesuai dengan logika cerita dan persepsinya (ibid.,167).
Teknik pelukisan tokoh yang digunakan oleh Seno dalam novel KdDL
sebagaimana yang dijelaskan oleh Nurgiyantoro (1995: 198-211) ialah teknik
dramatik. Penampilan tokoh cerita dalam teknik dramatik artinya mirip dengan
yang ditampilkan pada drama, dilakukan secara tidak langsung. Artinya,
pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta tingkah
laku tokoh. Pengarang membiarkan para tokoh cerita menunjukkan kediriannya
sendiri melalui berbagai aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata,
maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa
yang terjadi.
Berhubungan dengan sifat kedirian tokoh tidak dideskripsikan secara jelas
dan lengkap, ia akan hadir kepada pembaca secara sepotong-potong dan tidak
sekaligus. Ia baru menjadi “lengkap” setelah pembaca menyelesaikan sebagian
besar cerita. Untuk memahami kedirian seorang tokoh, apalagi tergolong sebagai
tokoh kompleks, pembaca dituntut untuk dapat menafsirkannya sendiri.
Penampilan tokoh dramatik dapat dilakukan dengan sejumlah teknik.
Mungkin sekali ada satu dua teknik yang lebih sering digunakan daripada teknik-
teknik yang lain tergantung pada selera atau kesukaan masing-masing pengarang.
Tentu saja hal itu terlepas dari tujuan estetis dan keutuhan cerita secara
keseluruhan. Berbagai teknik tersebut, yaitu melalui teknik cakapan, tingkah laku,
pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan
latar, dan pelukisan fisik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa
jenis penamaan berdasarkan dari sudut pandang mana itu dilakukan. Berdasarkan
sudut pandang dan tinjauan, seorang tokoh dapat dikategorikan ke dalam beberapa
jenis penamaan sekaligus, seperti tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh
protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, dan terakhir
tokoh statis dan tokoh berkembang (ibid., 176-194). Pada studi ini, digunakan
pembedaan tokoh utama dan tokoh tambahan saja. Pemilihan pembedaan tokoh
tersebut digunakan karena dalam KdDL terdapat banyak sekali tokoh yang
terlibat. Akan tetapi, ada dua tokoh utama yang menjadi pusat cerita dan sekaligus
penggerak alur cerita secara keseluruhan.
1.6.1.1.1 Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel
bersangkutan. Ia merupakan tokoh paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian (ibid., 176-177). Oleh karena tokoh utama
selalu disebutkan dalam cerita dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain,
ia/mereka sangat menentukan perkembangan alur. Tokoh utama dalam sebuah
novel bisa lebih dari satu orang (ibid., 177). Di samping itu, tokoh tambahan
hanya merupakan pelengkap dari suatu cerita. Tokoh tambahan selalu berada di
sekitar tokoh utama.
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pembedaan antara
tokoh utama dan tokoh tambahan tidak dapat dilakukan secara eksak. Pembedaan
itu lebih bersifat gradasi, kadar keutamaan tokoh-tokoh itu bertingkat: tokoh
utama (yang) utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama, tambahan (yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
memang) tambahan. Peneliti hanya menggunakan dua kategori besar, yaitu tokoh
utama dan tokoh tambahan. Dalam studi ini, penelitian hanya dibatasi pada tokoh-
tokoh yang terlibat pada kegiatan counter-hegemoni maupun tokoh-tokoh yang
memiliki pengaruh besar kepada tokoh utama. Pembatasan ini dilakukan dengan
maksud untuk membatasi kompleksitas tokoh dan penokohan dalam novel KdDL.
1.6.1.2 Latar
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat,
waktu, dan sosial. Ketiga unsur ini walaupun masing-masing menawarkan
permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada
kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya (ibid.,227).
Dalam studi ini, peneliti membatasi pada latar tempat dan waktu saja
dengan alasan yang telah disebutkan pada butir 6.1 tentang analisis struktural.
Selain itu, latar sosial tidak diteliti secara terpisah karena dalam studi ini,
diupayakan untuk sekaligus dibahas pada analisis latar tempat. Gambaran
mengenai latar sosial juga akan ditambahkan dalam pembahasan bab IV. Tempat
dan waktu yang dianalisis pun dibatasi pada lokasi dan waktu terjadinya counter-
hegemoni guna membatasi dan mengefisiensikan penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
1.6.1.2.1 Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat dipergunakan mungkin berupa tempat-
tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama
yang jelas (ibid., 227).
Latar tempat dalam sebuah novel biasanya meliputi berbagai lokasi. Ia
akan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain sejalan dengan
perkembangan plot dan tokoh. Dari sekian banyak tempat yang disebutkan, tentu
saja tidak semuanya fungsional dan sama pentingnya (ibid., 229).
1.6.1.2.2 Latar Waktu
Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-
peristiwa yang diceritakan di dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut
biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya, atau
dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah (ibid., 230).
Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika
digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Namun,
hal itu membawa juga sebuah konsekuensi, yaitu sesuatu yang diceritakan harus
sesuai dengan perkembangan sejarah. Segala sesuatu yang menyangkut hubungan
waktu, langsung atau tidak langsung, harus sesuai dengan waktu sejarah yang
menjadi acuannya. Jika terjadi ketidaksesuaian waktu peristiwa antara yang terjadi
di dunia nyata dengan yang terjadi di dalam karya fiksi, dapat menyebabkan cerita
menjadi tidak wajar, tidak masuk akal, dan pembaca akan merasa dibohongi. Hal
inilah yang dikenal dalam karya fiksi sebagai anakronisme, tidak cocok dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
urutan (perkembangan) waktu (sejarah). Dengan demikian, anakronisme lebih
menyaran pada hal-hal yang bersifat negatif (ibid., 231).
1.6.2 Sosiologi Sastra
Pragmatika adalah studi sastra yang menekankan aspek manfaat. Sastra
ditulis tentu ada manfaatnya. Sastra dilisankan, ada manfaatnya bagi audien.
Begitu pula sosiologi sebagai ilmu bantu sastra, sering berupaya memanfaatkan
sastra secara sosial. Sosiologi Sastra merupakan wilayah studi sastra yang
menekankan aspek-aspek pragmatik sosial sastra. Aspek pragmatik itu perlu
ditafsirkan, hingga memperoleh makna yang hakiki (Endraswara, 2013: 1). Esensi
Sosiologi Sastra sebenarnya terletak pada sebuah cara pandang bahwa karya sastra
merupakan produk sosial budaya dan bukan hanya hasil dari dari estetika semata.
Ruang sosial selalu ada kaitannya dengan sejarah. Sejarah terjadinya apa
saja, menjadi ruang penting dalam sastra. Ruang dan sejarah hanya ada dalam
kesadaran yang dibangkitkan oleh permainan estetika. Seperti banyak bidang
Sosiologi Sastra memiliki perbedaan dengan sejarah. Namun, keduanya saling
membutuhkan (Endraswara, 2013: 28).
Tekanan sosial dan politik yang terjadi di dalam masyarakat dapat menjadi
bahan bagi sastrawan. Bahan tanggapan evaluatif merupakan sumber utama
penciptaan karya sastra adalah tentu saja menyangkut berbagai masalah politik.
Dalam skala besar, perubahan yang terjadi selama di antara budaya. Berbagai
peristiwa yang terjadi di Indonesia seperti pada masa Orde Baru hingga Reformasi
telah menimbulkan masalah yang kemudian ditanggapi dan dievaluasi oleh
pengarang. Masing-masing zaman mengalami perubahan sosial yang khas dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
mendapat tanggapan dan penelitian yang khas pula. Penelitian jenis ini
memerlukan data yang tidak hanya dari buku yang merupakan sumber utama,
tetapi juga informasi mengenai perubahan sosial yang ada pada zaman itu – yang
perlu diintegrasikan dalam analisis.
Untuk melihat fenomena yang terjadi pada zaman dalam konteks novel
KdDL, peneliti menggunakan teori Hegemoni Antonio Gramsci untuk
menganalisis bebagai gejala zaman yang terjadi semasa Orde Baru, khususnya
mengenai peran kekuasaan pemerintahan Soeharto dan dampak perlawanan atas
kekuasaannya.
1.6.2.1 Analisis Hegemoni: Perspektif Antonio Gramsci
Secara etimologi kata hegemoni berasal dari bahasa Yunani “egemonia”
atau “egemon”, yang berarti „pemimpin atau penguasa dalam konotasi yang
berhubungan dengan konteks kenegaraan (Yody, 2003: 111). Berdasarkan Mish
(1993:538), kata “hegemoni‟ didefinisikan sebagai „preponderant influence or
authority over others’. Dalam bahasa Indonesia, defenisi tersebut dapat dimaknai
bahwa hegemoni merupakan sebuah kebijaksanaan atau pengaruh besar yang
dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu terhadap seseorang atau kelompok
lain. Akar pemikiran Hegemoni menurut Gramsci sebenarnya diambil secara
dialektis lewat dikotomi tradisional karakteristik pemikiran politik Italia dari
Machiavelli sampai Pareto dan beberapa bagian lainnya diambil dari Lenin
(Patria, 1999: 119). Konsepsi yang diambil tersebut berkaitan dengan kekuatan
(force) dan persetujuan (consent). Selanjutnya, Gramsci mengatakan bahwa kelas
sosial akan mendapatkan supremasi melalui dua cara, yaitu melalui dominasi atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
melalui peran kepemimpinan intelektual dan moral. Cara yang terakhir ini yang
kemudian disebut sebagai hegemoni.
Hegemoni yang dikembangkan Gramsci tidak sebatas pada bidang politik.
Hegemoni menyangkut persoalan ideologi dan kebudayaan. Hegemoni sebagai
konsep yang dikembangkan oleh Gramsci menggambarkan bahwa dominasi suatu
kelas (dominan) atas kelas lainnya (subordinat) terjadi karena aspek ideologi-
politis. Meskipun paksaan politis selalu berperan, tetapi ideologi lebih signifikan
mendapatkan persetujuan secara sadar dari kelas subordinat (Abercrombie dalam
Kurniawan, 2012: 72). Namun demikian, persetujuan sadar ini lebih penting
dalam suatu pemerintahan. Hegemoni inilah yang menjadikan kekuasaan suatu
kelas terhadap kelas lainnya bisa berlangsung. Di sini, Gramsci lebih condong
mengembangkan model dominasi kekerasan, seperti yang dikemukakan oleh
Marx dan Lenin tentang kesadaran kelas sebagai basis revolusi kelas proletar
terhadap kekuasaan pemerintahan yang dipimpin oleh kaum borjuis (Kurniawan,
2012: 72).
Kesadaran kelas proletariat di atas sebenarnya menjadi titik awal
pemikiran hegemoni Gramsci yang mempertanyakan ramalan Marx-Engels.
Dalam Thucer, (1978:483) sebagaimana dikutip oleh Gramsci (Patria, 1999: 114)
menyebutkan ramalan tersebut.
(4) Kemajuan industri yang secara tidak langsung dimotori oleh
borjuis menggantikan isolasi kelas pekerja, karena kompetisi,
serta kombinasi revolusionernya, karena perkumpulannya.
Perkembangan industri modern, oleh sebab itu, menggeser
kedudukan dasar-dasar berproduksi borjuis dan dasar-dasar
kepemilikan produknya. Oleh sebab itu, apa yang dihasilkan oleh
borjuis adalah menjadi penggali liang kuburnya sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Kejatuhan borjuis dan kemenangan proletar adalah hal yang
sama sekali tidak bisa dihindari.
Akan tetapi, dalam kondisi masyarakat Gramsci waktu itu - mayoritas
berprofesi sebagai buruh tidak muncul adanya indikasi revolusi. Mereka justru
dengan tenang menerima dominasi kaum borjuis. Ia mempertanyakan bagaimana
kaum borjuis mampu mempertahankan dan mengontrol dominasinya atas kaum
proletar waktu itu.
Pada akhirnya, Gramsci menyadari bahwa kaum pemilik modal saat itu
menjalankan dan mempertahankan kekuasaannya dengan cara hegemoni.
Hegemoni menjadi asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang membentuk makna dan
mendefenisikan realitas bagi mayoritas masyarakat dalam kebudayaan tertentu.
Karena kaum borjuis yang menguasai basis ekonomi dan menetapkan elemen-
elemen suprastruktur seperti musik, sastra, seni, dan sebagainya, maka mereka
mendapat dukungan spontan dari kelas pekerja (Taum, 2015: 37). Kaum proletar
akhirnya tidak lagi menyadari bentuk-bentuk kekuasaan yang meliputi kehidupan
mereka. Segala kebijakan dan sikap pemilik modal diterima sebagai common
sense.
Titik tolak pemikiran Gramsci yang digunakan sebagai sebuah analisis
sebenarnya bertolak dari adanya niat untuk menantang hegemoni
negara/penguasa. Dalam studi ini, penelitian dipusatkan pada berbagai upaya yang
digunakan oleh kaum intelektual untuk membangun kesadaran kritis masyarakat
atas dasar ketidakpuasannya terhadap penguasa. Kesadaran kritis tersebut yang
menggerakkan perlawanan-perlawanan (counter) terhadap hegemoni kekuasaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Dalam penelitian ini, bentuk-bentuk counter-hegemoni tersebut akan
diklasifikasikan sesuai dengan yang terdapat dalam novel KdDL.
1.6.2.1.1 Formasi Intelektual
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke IV, kata “formasi”
mengandung pengertian „susunan (pegawai, pengurus, kabinet, pesawat terbang,
dsb)‟ (Sugono, 2008: 396). Sedangkan kata “intelektual” mengandung arti „(a)
cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan, (b) (yang)
mempunyai kecerdasan tinggi; cendekiawan, (c) totalitas pengertian atau
kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman‟ (Sugono,
2008: 541). Berdasarkan pengertian kedua kata tersebut, maka “formasi
intelektual” dapat diartikan sebagai suatu susunan atau struktur orang-orang yang
memiliki kecerdasan dan pemikiran yang jernih atas ilmu pengetahuan.
Diskursus mengenai formasi intelektual menjadi bagian yang tak
terpisahkan dari konsep pemikiran Gramsci. Prison Notebooks yang telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Catatan-catatan Penjara Antonio
Gramsci (Utomo, 2013) membahas secara khusus formasi intelektual di bagian
awal buku tersebut. Gramsci memang tidak mendefenisikan secara khusus
mengenai formasi intelektual. Akan tetapi, ia menjabarkan bagaimana kemudian
intelektual-intelektual terbagi ke dalam dua kategori intelektual berdasarkan
hubungan seorang intelektual dengan kelompok sosial tertentu. Gramsci membagi
kaum intelektual menjadi dua kategori, yaitu Intelektual Tradisional dan
Intelektual Organik. Ketika membagi formasi intelektual, Gramsci menyadari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
bahwa gagasannya ini akan berhadapan dengan bahaya skematisasi dan kebutuhan
akan analisis historis yang konkret (Patria, 1999: 159).
Formasi intelektual kemudian menjadi sedikit kompleks karena kata
“intelektual” sendiri memiliki makna yang cukup luas untuk dijelaskan dalam
sebuah defenisi yang sederhana. Menurut Gramsci, semua manusia adalah
intelektual, sehingga seseorang dapat mengatakan bahwa: namun tidak semua
orang dalam masyarakat mempunyai fungsi intelektual (Utomo, 2003: 12-13).
Permasalahannya ialah seperti apa batasan-batasan yang jelas sehingga seorang
masyarakat dikatakan sebagai intelektual, dan indikator apa yang menunjukkan
bahwa seorang masyarakat telah menjalankan fungsi intelektualnya.
Kesulitan memaknai intelektual juga dipersoalkan oleh Dhakidae (ia
mengistilahkan intelektual dengan kata cendikiawan). Untuk memisahkan
cendekiawan dengan bukan cendekiawan demikian cairnya sehingga menorehkan
garis pemisah yang mustahil, bagaikan menggores garis di atas air yang mengalir.
Siapa pun yang pernah duduk di bangku sekolah dengan sendirinya
menghidupkan khayalan tentang dirinya sebagai bagian dari kaum cerdik-
cendekia (Dhakidae, 2003: 1). Namun, tidak semua cendekiawan adalah lulusan
universitas atau sebuah lembaga pendidikan tertentu4.
4 Sharif Shaary, dramawan terkenal Malaysia pernah mengungkapkan sebagaimana
dikutip dari Wikipedia (dikutip pada 22 Juni 2016 ) bahwa "Belajar di universitas bukan
jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan... seorang cendekiawan adalah pemikir
yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk
kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan
ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam
kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat
global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu,
seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani
memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama
sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat."
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Kesulitan pemisahan tersebut rupanya tidak melulu berakhir pada sebuah
kebuntuhan. Dhakidae menyebutkan bahwa sebenarnya pemaknaan mengenai
kecendekiaan seseorang berkenaan dengan suatu pola hubungan. Seorang
cendekiawan ditentukan oleh suatu subjektivitas yang keras terutama dalam
persepsi yang baik tentangnya, tetapi juga persepsi tersebut mendapatkan
pengaruh dari posisi seseorang dalam medan sosial (Social Field). Seorang
cendekiawan harus terlibat dalam sebuah diskursus publik. Kesepian dari seorang
mistikus di puncak Gunung Merbabu tidak serta-merta memasukkannya ke dalam
sebuah komunitas kaum cendekiawan sampai dia turun gunung dan melibatkan
dirinya dalam diskursus publik. Keterlibatannya dalam mengolah modal sosial,
modal simbolik, dan juga tidak kurang dalam model ekonomis memegang peran
menentukan.
Gramsci juga memberi batasan yang jelas berkaitan dengan pemaknaan
atas kata intelektual. Kata “intelektual” di sini harus dipahami tidak dalam
pengertian yang biasa, melainkan suatu strata sosial yang menyeluruh
menjalankan suatu fungsi organisasional dalam pengertian luas – entah dalam
lapangan produksi, kebudayaan, ataupun dalam administrasi politik. Mereka
meliputi kelompok-kelompok, misalnya dari pegawai junior dalam ketentaraan
sampai pegawai yang lebih tinggi (Faruk, 2010: 150).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Dalam pengertian Gramsci, konteks intelektual berbeda dengan
pemahaman intelektual yang dianut oleh filsuf-filsuf idealis5. Gramsci
berpendapat bahwa intelektual berbeda dan muncul dari luar hubungan-hubungan
produksi. Intelektual terlepas dari pemahaman yang melulu berdasarkan
penafsiran ekonomistik dari realitas atas peran politik dari kaum intelektual.
Mereka juga hadir dalam bidang sosial politik. Intelektualitas menurut Gramsci
tidak selalu mengacu pada aktivitas berpikir. Istilah ini lebih merujuk pada sebuah
defenisi yang lebih luas, yakni mencakup mereka yang memiliki kemampuan
teknis atau mereka yang menjalankan kuasa dalam masyarakat. Istilah „organik‟
menurut Gramsci, sebenarnya mengartikulasikan pandangan dunia, kepentingan,
tujuan, dan kemampuan kelas tertentu.
Oleh karena itu, formasi intelektual berkenaan dengan pembagian
intelektual ke dalam kategori intelektual berdasarkan indikator tertentu. Menurut
Gramci, intelektual yang dimaksud bukan saja mereka terdidik dan mengacu pada
aktivitas berpikir melulu. Namun, mereka juga memiliki kemampuan tertentu dan
menyandang tugas-tugas kepemimpinan intelektual dalam suatu given society.
Dhakidae kemudian menambahkan bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai
seorang intelektual apabila ia telah memiliki pola hubungan dalam suatu medan-
5 Patria (199: 155-156) menyebutkan beberapa filsuf-filsuf idealis yang masih berpegang
teguh pada konsep mistifikasi pengerian intelektual. Mis, Croce hanya melanjutkan
pendapat dalam jalur tradisi Plato yang memaknai intelektual bertanggung jawab untuk
menghadirkan jenis baru dari “Negara Aristokrat”. Intelektual – dalam hal ini filsuf-
harus berperan penuh untuk menegakkan moral atas individu-individu kelompok
intelektualnya sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
sosial. Menurut Gramsci, pola hubungan yang dibangun oleh para intelektual
tidak melulu berdasarkan pernafsiran ekonomistik sebagaimana pemahaman
gerakan sosialis. Bagaimana pun terlibatnya mereka dalam dunia produksi,
hubungan mereka tidak seperti kelas kapitalis dan proletar, selalu ditunjukkan ada
yang lebih besar atau kecil keterlibatannya. Dalam dunia superstruktur, kaum
intelektual menampilkan fungsi “organisasional dan konektif” baik di dalam
wilayah masyarakat sipil atau hegemoni dan wilayah masyarakat politik atau
negera (Gramsci dalam Patria, 1999: 157-158).
A. Intelektual Tradisional
Intelektual tradisional adalah mereka yang menyandang tugas-tugas
kepemimpinan intelektual dalam suatu given society (Patria: 163). Golongan ini
merasa sebagai “kelompok penyemangat” terhadap kontiunitas historis dan
kualifikasi khusus mereka. Karenanya, mereka menempatkan diri sebagai
kelompok otonomis dan independen dari kelas sosial dominan (Utomo, 2013: 11).
Golongan ini meliputi senua orang yang menunjukkan aktivitas intelektualnya.
Mereka yang masuk dalam kelompok ini adalah rohaniwan, pengacara,
notaris, dan dokter. Kelompok ini melakukan gerakan terbatas pada lingkungan
kaum buruh dan borjuis kota yang kecil dan belum masuk kapitalisme. Di dunia
modern, edukasi teknologis yang bahkan juga dikaitkan kerja industrial yang
paling primitif dan tak terkualifikasi harus membentuk basis bagi tipe baru
intelektual. Melihat posisinya yang demikian, menurut Gramsci, tugas intelektual
tradisional segera memutuskan ketidakmenentuan sikap dan bergabung dengan
kelas-kelas revolusioner. Kaum intelektual ini harus secara organis menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
bagian dari kelas buruh mengingat mereka memiliki kualifikasi untuk
membangkitkan kesadaran masyarakat untuk menantang ideologi penguasa.
B. Intelektual Organik
Intelektual Organik adalah intelektual yang berasal dari kelas borjuis
ataupun kelas proletar. Mereka terbentuk secara organis dan berpenetrasi sampai
ke massa. Mereka memberikan sebuah pandangan yang menghubungkan antara
kelas atas (borjuis/penguasa) dan kelas bawah (proletar/masyarakat) (Patria, 1999:
163). Intelektual Organik yang dimaksudkan Gramsci adalah kaum intelektual
kelas buruh atau kelas pekerja yang disebut dengan nama kaum intelektual “elit”.
Kelompok ini memiliki bekal pendidikan dan ketrampilan khusus yang
berhubungan dengan fungsi mereka dalam masyarakat, yakni sebagai pemikir dan
pengorganisasi dari sebuah kelas sosial fundamental tertentu. Aktivitas
intelektualnya diarahkan untuk memproduksi dan menyebarkan filsafat, teori
politik, maupun teori ekonomi sebagai sebuah pandangan dunia yang koheren
untuk mencapai hegemoni tandingan dengan penguasa.
Dalam kelompok intelektual organik, Taum (2015: 40) menambahkan dua
istilah kelompok intelektual berkaitan dengan fungsi dan relasinya. Pertama,
Intelektual Hegemonic. Kaum intelektual yang pertama ini bertanggung jawab
untuk menjamin padangan dunia massa konsisten dengan nilai-nilai kapitalisme
yang telah diterima oleh semua kelas masyarakat. Kedua, Intelektual Counter-
Hegemonic. Kategori yang kedua ini bertanggung jawab memisahkan massa dari
kapitalisme dan membangun pandangan dunia sesuai perspektif sosialis. Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
penelitian ini, peneliti memusatkan perhatian pada kaum Intelektual Counter-
Hegemonic.
1.6.2.1.2 Counter-Hegemoni
Berdasarkan Mish (993: 264), kata “counter” didefenisikan sebagai „to act
in opposition: in a opposite: opposite direction.’ Apabila dimaknai dalam bahasa
Indonesia, kata counter mengandung pengertian tindakan untuk berseberangan:
dalam posisi berseberangan: atau perintah yang berseberangan. Oleh karena itu,
apabila disandingkan dengan kata hegemoni, maka counter-hegemoni dapat
diartikan sebagai perlawan terhadap hegemoni.
Dalam tulisan Gramsci mengenai hegemoni, tidak disebutkan secara jelas
seperti apa bentuk-bentuk counter-hegemoni. Bentuk-bentuk counter-hegemoni
yang terdapat di dalam penelitian ini berlandaskan pada beberapa literatur yang
juga menggunakan perspektif Antonio Gramsci. Perspektif tersebut menjadi titik
tolak peneliti untuk menggali lebih jauh perihal bentuk-bentuk counter-hegemoni
yang terdapat dalam KdDL.
Pada periode tertentu, Gramsci mengatakan bahwa dapat terjadi krisis atas
hegemoni. Ketika banyak solusi kekerasan dipakai sebagai alat kekuasaan Orde
Baru untuk menjaga hegemoninya sebagaimana dipraktekkan dalam kasus Santa
Cruz. Kondisi ini disebutkan oleh Gramsci dengan istilah “krisis hegemoni”.
Dalam kondisi demikian, pemegang kekuasaan akan merespon ini dengan
berbagai cara, dengan tujuan agar tetap menjaga kekuasaanya melalui aparatus
hegemoni. Kegagalan dalam hal ini akan memacu aktivitas revolusioner yang
meluas. Novel KdDL tidak menyebutkan secara jelas apa yang mengakibatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
anggota Paguyuban Anggoro Kasih kemudian melakukan aktivitas perlawanan
kepada Soeharto. Mereka hanya digambarkan sebagai orang tua pensiunan yang
telah jenuh dengan model kepemimpinan Soeharto dan kemudian berniat untuk
menjatuhkannya dari kursi kekuasaan. Pada akhirnya, mereka pun melakukan
sebuah tindakan counter-hegemoni.
Menurut Gramsci, kesadaran adalah hal yang utama untuk membangkitkan
perjuangan menentang kelas dominan (counter-hegemoni) (Patria, 1999: 167).
Agar revolusi terwujud maka masyarakat seharusnya bertindak. Sebelum mereka
bertindak, mereka harus mampu memahami hakikat dan situasi keberadaan
mereka dalam suatu sistem yang sedang dijalani. Gramsci mengakui arti penting
faktor struktural, khususnya ekonomi, tetapi ia tidak percaya hanya faktor-faktor
inilah yang mengakibatkan masyarakat melakukan perlawanan. Gramsci
mengatakan perlu ada ide revolusioner yang mampu menggerakkan massa. Ide
revolusioner ini tidak hanya muncul dari masyarakat, tetapi harus ada yang
mengembangkan dan menyebarkannya. Inilah peran yang diemban oleh kaum
intelektual. Kaum intelektual bukan hanya berada di menara gading, elitis,
melainkan harus menyatu dan berada di sisi kaum buruh.
Dengan berlatarbelakangkan konteks kepribadian, latar, dan motivasi
tokoh, memungkinkan counter-hegemoni termanifestasikan ke dalam beragam
bentuk. Masing-masing bentuk tersebut muncul dari kesadaran para tokoh
perlawanan terhadap kekuasaan dan dominasi yang mereka hadapi. Kesadaran
tersebut digerakkan dan dilakukan oleh kaum Intelektual Counter-Hegemonic
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
untuk menemukan tujuan dan motivasi masyarakat yang terhegemoni. Berikut ini
merupakan penjelasan dari bentuk-bentuk counter-hegemoni.
A. Perlawanan Keras
Perlawanan keras merupakan perlawanan „berhadap-hadapan‟ dengan
kekuasaan dan mengambil sikap atau tindakan yang bertentangan dengan
kehendak kekuasaan. Bentuk perlawanan yang paling keras antara lain dengan
mempertanyakan dan meminta aparat militer maupun sipil, atau melakukan
tindakan yang jelas-jelas bertentangan dengan mainstream atau „pendapat umum‟
yang berlaku pada waktu itu (Taum, 2015: 98). Contoh perlawanan keras dapat
dilihat dalam contoh (3) di atas. Secara fisik, para petani melakukan perlawanan
secara berhadap-hadapan dengan pejabat-pejabat desa. Perlawanan tersebut
sampai terjadi karena masalah tanah. Petani-petani tersebut masuk dalam gerakan
komunis yang menantang.
B. Perlawanan Pasif
Perlawanan pasif merupakan perlawanan dengan cara tidak melaksanakan
kehendak mainstream atau melakukan tindakan negatif terhadap diri sendiri
sebagai bentuk protes tehadap kekuasaan dan mainstream itu (Taum, 2015: 102).
Berikut contoh bentuk perlawanan pasif dalam novel KdDL dalam kutipan (5).
(5) “Saya siap. Saya akan menemani Pak Djayeng. Saya ingin
menghirup harum bunga itu di tempat asalnya. Saya ingin
mencium kelopaknya. Kalaupun bunga itu belum mekar, saya
ingin sujud di tanahnya. Saya ingin bunga itu tak jatuh ke
tangan-tangan orang serakah kekuasaan. Demi kebaikan negara
ini, saya bersedia menunaikan misi ini. Saya bersedia
menyeberangi bukit ini dengan perahu sekecil apapun (Suyono,
2014: 288).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Dalam kutipan di atas, Pak Darsono bersama Pak Djayeng bersedia untuk
melawan ketakutan mereka sendiri terhadap bahaya yang akan dihadapi. Mereka
tidak peduli dengan resiko tersapu gelombang besar, atau pun ditelan pusaran air.
Mereka mengorbankan diri untuk disiksa oleh ketakutan mereka sendiri dan
bahaya yang mungkin akan menimpa mereka. Hal tersebut diambil demi kebaikan
banyak orang. Dipercaya bunga tersebut memiliki kekuatan untuk
mempertahankan kekuasaan siapa pun, termasuk Soeharto. Oleh karena itu,
mereka mengambil keputusan yang berat agar jangan sampai bunga
wijayakusuma jatuh di tangan orang suruhan Soeharto.
C. Perlawanan Humanistik
Perlawanan humanistik merupakan perlawanan terhadap kekuasaan tanpa
kekerasan tetapi dengan memberikan renungan alternatif, apakah sikap dan
tindakan mainstream sudah dipandang tepat (Taum, 2015: 104). Berikut ini
contoh perlawanan humanis yang dilakukan oleh Romo Dijat terhadap Soeharto
dalam kutipan (6).
(6) Romo Dijat sebetulnya sudah memperingatkan Soeharto. Tahun
1982, sebelum Soeharto menjabat presiden untuk periode yang
ketiga, Romo Dijat sudah menyarankan Soeharto agar
mengurungkan niatnya. Romo Dijat menerima wisik dari roh
leluhur bahwa Soeharto ngotot. Ia tidak mau mendengar suara
roh itu. Ia memohon kepada Romo Dijat agar merestuinya
menjadi presiden lagi. Soeharto meminta Romo Dijat agar
bersiarah dari petilasan ke petilasan leluhur lain untuk meminta
restu. Bila perlu, sampai leluhur-leluhur di Bali dan Sumatera,”
kata Pak Sungkono, diikuti anggukan dari rombongan Yogya
(Suyono, 2014: 235).
Romo Dijat sebenarnya merupakan salah satu orang kepercayaan
Soeharto. Ialah yang membantu Soeharto dalam banyak hal yang berkaitan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
dengan spiritual. Akan tetapi, dalam konteks ini, Romo Dijat telah melakukan
sebuah perlawanan terhadap Soeharto dengan cara meminta Soeharto agar tidak
lagi melanjutkan kepemimpinannya. Tindakan Romo Dijat tersebut dikatakan
sebagai sebuah perlawanan karena menentang keinginan Soeharto yang masih
ingin menduduki kursi pemerintahan. Memang dalam perlawanan tersebut, pada
akhirnya Romo Dijat kalah karena tetap mengikuti keinginan Soeharto, tetapi
paling tidak telah ada sebuah pertentangan yang terjadi antara keinginan Romo
Dijat dan Soeharto.
D. Perlawanan Metafisik
Landasan pemikiran dari perlawanan spiritual sebenarnya bertolak dari
konsep metafisika. Pada mulanya metafisika hanya dipahami sebagai salah satu
cabang filsafat yang mempelajari asal atau hakekat objek di dunia. Cabang utama
metafisika adalah ontologi – studi mengenai kategorisasi benda-benda alam dan
hubungan antara satu dengan lainnya (Bagus, 1991: 28). Penggunaan istilah
metafisika telah berkembang untuk merujuk pada hal-hal yang berada di luar fisik.
Salah satu tafsiran dalam metafisika berkenaan dengan hal-hal gaib (supranatural)
dan hal-hal yang lebih kuasa dari alam nyata (Metafisik dalam Wikipedia, 18
April 2016). Konsep mengenai metafisika dalam hubungannya dengan dunia
kebatinan juga ditambahkan oleh Clifford Geertz. Ia mengatakan bahwa mistik
kebatinan yang berkembang di Jawa adalah metafisika terapan, serangkaian aturan
praktis untuk memperkaya kehidupan batin yang didasarkan pada analisis
intelektual atau pengalaman. Meskipun setiap orang atau sekte mempunyai posisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
yang agak berbeda dari analisis yang sama, tidak satu pun yang mempersoalkan
premis-premis dasar dari analisis itu (lih. Susetya, 2007: 35).
Pada periode Orde Baru khususnya dalam rentang waktu 1981-1998,
kebebasan berpendapat, berorganisasi, dan berbicara sangat dibatasi. Berbagai
tindakan represif yang melanggar HAM semakin banyak terjadi, kebebasan pers
semakin dibatasi, penangkapan dan penghilangan para aktivis dan kaum
intelektual semakin banyak dilakukan (Taum, 2015: 163). Tidak ada perlawanan
fisik yang terjadi karena banyak orang yang takut diburu oleh para penembak
misterius. Oleh karena itu, sangat mungkin terjadi berbagai perlawanan alternatif
yang tidak banyak orang lakukan. Perlawanan tersebut ialah perlawanan melalui
jalur metafisik seperti yang dilakukan oleh Paguyuban Anggor Kasih. Aktivitas
paguyuban ini memang berlangsung di rentang waktu tahun 1981-1998. Berikut
ini merupakan contoh perlawanan metafisik yang terdapat dalam kutipan (7).
(7) Ia mencari semacam sisa-sisa wahyu penerus Mahapahit yang
dipercayainya belum turun. Wahyu itu satu-satunya kekuatan
yang menurut dia bisa menjatuhkan Soeharto (Suyono, 2014:
208).
Perlawanan metafisik di atas dilakukan oleh Sawito, orang yang paling
ditakuti oleh Soeharto. Bentuk perlawanan di atas memang tidak termasuk dalam
kategori perlawanan keras, pasif, maupun humanis, melainkan perlawanan yang
dilakukan melalui jalan metafisik. Sawito mempercayai bahwa salah satu cara
yang bisa dilakukan untuk menentang lapisan spiritual Soeharto ialah dengan
mendapat wahyu penerus Mahapahit. Siapa pun yang dipercayakan menjadi
penerus Majapahit, dipercaya memiliki kekuasaan spiritual yang besar untuk
menentang Soeharto.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
1.7 Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian mencakup pendekatan, metode, dan teknik
penelitian.
1.7.1 Pendekatan
Pendekatan merupakan cara-cara menghadapi objek yang dikaji (Ratna,
2004: 53). Studi ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan struktural
dan pendekatan sosiologi sastra. Studi ini akan dimulai dengan analisis stuktural
terlebih dahulu. Pendekatan struktural dilakukan untuk mengidentifikasi,
mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antar-unsur intrinsik fisik
yang bersangkutan. Mula-mula diidentifikasi dan dideskripsikan, misalnya
bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut
pandang, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 1995: 37). Dalam studi ini, kajian dengan
pendekatan struktural dibatasi pada kajian tentang tokoh dan penokohan serta latar
tempat dan latar waktu saja.
Pendekatan Sosiologi Sastra ini dilakukan untuk melihat posisi karya
sastra di tengah masyarakat. Teori yang dipakai untuk ini ialah Hegemoni Antonio
Gramsci merupakan pendekatan yang menelaah mengenai sejauh mana pemegang
kekuasaan/kelas dominan menjalankan pengaruhnya terhadap kelas di bawahnya.
Pengaruh tersebut secara spontan diterima oleh kelas bawah karena sisi kesadaran
dan ideologi mereka telah dikuasai oleh nilai-nilai kelas penguasa melalui kaum
intelektualnya. Kaum intelektual di sini berperan sebagai penghubung antara kelas
penguasa dengan kelas di bawahnya untuk membahasakan dengan cara-cara yang
bisa diterima kelas bawah tentang semua kehendak dan keyakinan kelas penguasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Dalam studi ini, peneliti melihat gejala yang timbul setelah hegemoni
kelas penguasa tersebut mengalami sebuah krisis. Kondisi ini memicu kesadaran
baru orang-orang yang sebelumnya tunduk di bawah pengaruh hegemoni kelas
penguasa untuk kemudian menciptakan sebuah wacana tandingan.
Memperjuangkan wacana tandingan berarti melakukan sebuah counter atas
hegemoni yang sedang berlangsung. Terjadi sebuah perang posisi yang kemudian
menentukan apakah kelas penguasa tersebut kemudian tumbang atau pelaksana
counter-hegemoni yang takluk dalam perjuagannya. Bentuk-bentuk counter-
hegemoni itulah yang menjadi fokus studi ini.
1.7.2 Metode Penelitian
Metode penelitian sastra adalah sebuah metode yang dipilih oleh peneliti
untuk membantu memudahkan jalannya penelitian dengan memperhatikan bentuk,
isi, dan sifat sastra sebagai subjek kajian (Endraswara, 2006: 08). Sesuai dengan
model pendekatan di atas, metode studi ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Metode kualitatif adalah metode yang secara keseluruhan memanfaatkan cara-cara
penafsiran dengan menyajikan dalam bentuk deskripsi yang dikaitkan dengan
hakikat penafsiran. Metode yang memberi perhatian terhadap data ilmiah, data
dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Cara-cara inilah yang
dianggap sebagai multimetode sebab penelitian pada gilirannya melibatkan
sejumlah besar gejala sosial yang relevan. Dalam penelitian karya sastra, akan
dilibatkan keberadaan pengarang, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada
umumnya (Ratna, 2004: 46-47).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
1.7.3 Teknik Penelitian
Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (i) pengumpulan data,
(ii) analisis data, (iii) dan penyajian hasil analisis data. Berikut ini akan diuraikan
masing-masing tahap dalam penelitian ini.
1.7.3 .1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan proses pengambilan data, sehingga
data yang banyak diambil mampu mewakili subjek penelitian dan memudahkan
proses analisis pada sebuah penelitian (Endraswara, 2003: 8). Teknik yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi dua hal, yaitu teknik baca dan teknik
studi pustaka. Teknik baca catat digunakan oleh peneliti untuk membaca isi novel
KdDL dan semua teori yang berkaitan dengan penelitian kemudian dicatat untuk
mendapatkan data. Catatan tersebut merupakan poin-poin yang berkenaan dengan
tokoh dan penokohan serta latar, formasi intelektual, dan bentuk-bentuk counter-
hegemoni perspektif Antonio Gramsci.
Teknik studi pustaka guna mendapatkan data serta referensi yang akurat
untuk analisis teks sesuai dengan teori yang digunakan. Pelaksanaan teknik ini,
yaitu dengan menelaah pustaka yang ada kaitannya dengan objek penelitian, yakni
bentuk-bentuk counter-hegemoni dalam novel Kuil di Dasar Laut.
1.7.3.2 Teknik Analisis Data
Data yang dianalisis berupa deskripsi tokoh, penokohan, latar, dan bentuk-
bentuk perlawanan. Data berkaitan tokoh dan penokohan tersebut dirumuskan ke
dalam formasi intelektual. Setelah data terklasifikasi, kemudian data tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
dirumuskan dalam hubungan antara kaum intelaktual dan bentuk-bentuk counter-
hegemoni. Analisis mengenai latar tempat dan waktu penting untuk membantu
mengaitkan bentuk perlawanan yang ada dengan konteks tempat dan waktu.
1.7.3.3 Teknik Penyajian Data
Setelah metode analisis data, tahap berikutnya adalah penyajian hasil
analisis data. Hasil analisis data berupa deskripsi tokoh dan penokohan serta latar,
formasi kaum intelektual, dan gambaran bentuk-bentuk counter-hegemoni yang
dilakukan oleh kaum intelektual dalam KdDL.
1.8 Sumber Data
Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini adalah semua sumber
tertulis yang memuat infotmasi berkatian dengan topik penelitian. Sumber data
yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari sumber data primer dan sekunder.
1.8.1 Sumber Data Primer
Oleh karena penelitian ini merupakan penelitian sastra, maka sumber
datanya berupa karya sastra (novel). Berikut ini rincian sumber data primer.
Judul Novel : Kuil di Dasar Laut
Pengarang : Seno Joko Suyono
Penerbit : Lamalera
Tahun Terbit : 2014
Tebal Buku : 612 halaman
Cetakan : Pertama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
1.8.2 Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini meliputi jurnal, majalah sastra,
dan karangan ilmiah akademis baik yang dipublikasikan dalam bentuk buku
maupun daring. Semua data sekunder tersebut berkaitan dan mendukung topik
penelitian ini.
1.9 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini disusun dalam tiga bab. Bab I adalah
pendahuluan. Dalam bab I ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode
penelitian, dan sistimatika penyajian.
Latar belakang berisi pernyataan tentang gambaran secara umum
mengenai kedudukan sastra dan masyarakat. Masalah yang terdapat dalam
masyarakat itu yang kemudian menjadi bahan munculnya sebuah karya sastra.
Dalam konteks ini, masalah dalam masyarakat yang diambil adalah perihal
penerimaan masyarakat terhadap hegemoni kekuasaan yang melingkupi berbagai
aspek kehidupan mereka. Selanjutnya penerimaan tersebut berubah menjadi
sebuah perlawanan karena ada rasa tidak percaya lagi terhadap para penguasa dan
situasi yang melingkupi kehidupannya. Rumusan masalah berisi paparan masalah-
masalah terkait topik penelitian ini. Tujuan penelitian memuat deskrpsi tentang
tujuan diadakan penelitian ini. Manfaat hasil penelitian berisi mengenai uraian
tentang hasil penelitian, manfaat teoretis, dan manfaat praktis. Tinjauan pustaka
berisi paparan tentang hasil kajian pustaka yang berkenaan dengan topik
penelitian ini. Landasan teori berisi kerangka berpikir yang digunakan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
memecahkan masalah. Metodologi penelitian memaparkan pendekatan, metode
dan teknik penelitian pada tahap pengumpulan data, tahap analisis data, dan tahap
penyajian hasil analisis data. Sistimatika penyajian berisi tentang bab beserta
bagian-baiannya, urutan bab, dan penejelasan secara garis besar mengenai isi
penelitian ini.
Bab II berisi mengenai deskripsi tokoh dan penokohan, latar (tempat dan
waktu) KdDL. Bab III berisi mengenai formasi kaum intelektual. Formasi
intelektual berkaitan dengan pembagian kelompok intelektual oleh Antonio
Gramsci ke dalam dua kelompok, yaitu Intelektual Tradisional dan Intelektual
Organik. Kategori Intelektual Organik dibagi lagi menjadi dua subkategori berupa
Intelektual Hegemonic dan Intelektual Counter-Hegemonic. Bab IV berkaitan
pembagian bentuk-bentuk couter-hegemoni yang terdapat dalam KdDL. Bentuk-
bentuk tersebut berupa Perlawanan Keras, Perlawanan Pasif, Perlawanan
Humanistik, dan Perlawanan Metafisik. Bab V berupa penutup yang terdiri dari
kesimpulan dan saran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
BAB II
ANALISIS STRUKTUR CERITA NOVEL KUIL DI DASAR LAUT
2.1 Pengantar
Pada bab ini, akan dikaji tokoh dan penokohan serta latar. Dalam analisis
tokoh dan penokohan pada novel KdDL, ditemukan beberapa tokoh utama dan tokoh
tambahan yang terlibat dalam kegiatan counter-hegemoni. Tokoh utama dalam novel
KdDL terdiri dari dua orang, yaitu Jeanne dan Suryo. Mereka dikategorikan sebagai
tokoh utama oleh karena intensitas kemunculan mereka cukup banyak dibanding
dengan tokoh-tokoh lainnya. Selain itu, dengan mengacu pada pengertian tokoh
utama pada poin 1.6.1.1.1, mereka menjadi penggerak keseluruhan alur cerita dalam
novel KdDL.
Di samping tokoh utama, beberapa tokoh lainnya masuk dalam kategori tokoh
tambahan. Tokoh tambahan ini diisi oleh anggota dan simpatisan Paguyuban
Anggoro Kasih – paguyuban yang dalam novel KdDL melakukan banyak perlawanan
terhadap legitimasi Soeharto. Mereka adalah Pak Sinaga, Pak Burhan, Abah
Moertopo, Pak Darsono, Pak Koentono, Pak Radjiman, Pak Priyambodo, Pak
Djayeng Koesoemo, Pak Sewaka, Pak Begja, Bante Purnomo, Gus Mutaqqin, dan
Meneer Widjinarko. Di luar anggota dan simpatisan paguyuban, ada pula tokoh yang
menjadi kiblat paguyuban melakukan aksi metafisik, yaitu Pak Sawito dan Mr.
Soedjono. Juga ada pula dua tokoh yang berjasa terhadap Jeanne dan Suryo selama
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
perjalanan mereka di luar negeri. Mereka adalah Phu Tram, Mualim Satu, Souvanna,
dan Phhoung.
Tokoh tambahan dalam novel KdDL terbilang cukup banyak. Dalam analisis
ini, tidak akan diteliti semua tokoh tambahan. Tokoh tambahan yang dianalisis adalah
tokoh-tokoh yang terlibat dan mempunyai peranan dalam berbagai tindakan counter-
hegemoni. Sebagian besar dilakukan oleh anggota dan simpatisan paguyuban, Pak
Sewaka, dan Mr. Soedjono. Selain itu, Phu Tram, Mualim Satu, dan Phhoung ikut
dianalisis karena mereka berpengaruh secara penuh terhadap berbagai peristiwa yang
dialami oleh Jeanne dan Suryo selama di luar negeri. Phu Tram yang mengajak
Jeanne melihat situs-situs kebudayaan di Vietnam dan menceritakan perjalanan
hidupnya memperjuangkan hak kebebasan suku Champa. Mualim Satu menjadi orang
yang menawarkan bubuk pembayang untuk masuk dalam kuil ketiga. Selanjutnya,
Phhoung merupakan pemandu wisata Suryo yang membawa Suryo mengelilingi
situs-situs kebudayaan dan bekas kebengisan Khemer Merah di Kamboja. Mahasiswa
dan demonstrasi simpatisan Sebastiao Gomes (MdDSSG) di Timor-Timur juga akan
dianalisis karena turut melakukan perlawanan terhadap Soeharto.
Di samping tokoh-tokoh yang melakukan counter-hegemoni, pada bab ini
juga akan ikut dianalisis tokoh-tokoh yang menjadi bagian organik dari Soeharto.
Mereka adalah Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, dan
Soedjono Hoemardani.
Selain analisis tokoh dan penokohan, pada bab ini juga akan dianalisis latar.
Latar yang dianalisis oleh peneliti hanyalah latar tempat dan latar waktu. Hasil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
analisis yang dibatasi tersebut memang sesuai kebutuhan peneliti untuk melengkapi
data pada penelitian dua rumusan masalah selanjutnya. Berkaitan dengan latar
tempat, peneliti membatasi pada latar tempat yang dilalui oleh anggota paguyuban,
tempat terjadinya kerusuhan masa Orde Baru, dan tepat pelarian Jeanne dan Suryo
selepas tidak lagi aktif dalam paguyuban. Latar tempat tersebut, Jakarta (Glodok,
Klender, Matraman, Taman Mini Indonesia Indah, Jalan Marga Satwa Ragunan, dan
Kawasan Cipete), Cilacap (Jambe Lima dan Jambe Pitu), Gunung Sapto Renggo, Situ
Panjalu, Yogyakarta (Telaga Titis), Padang Lawas (Bairo Bahal), Ngawi (Alas
Ketonggo), Kamboja (Angkor Wat, Pnom Bakheng, Preah Khan, Banteay Srey,
Bayon, Siem Reap, Cafe Red Piano), Vietnam (Hoi An, Café Champa, Da Nang, My
Son, dan Nha Trang), Laos (Luang Prabang dan Kafé Pastri), Samudra Laut Cina
Selatan, dan Kuil di Dasar Laut.
Selain latar tempat, dalam studi ini juga dianalisis latar waktu. Hasil analisis
dari latar waktu menjadi penting dalam penelitian ini untuk mengaitkan berbagai
kejadian perlawanan terhadap penguasa dengan konteks waktu. Latar waktu yang
dimaksudkan, yaitu tahun 1961 (waktu bertemunya Soeharto dengan guru
spiritualnya yang kemudian hari menyokong sisi metafisik Soeharto), tahun 1991
(berkaitan dengan perlawan para simpatisan Sebastiao Gomez terhadap para tentara
di Santa Cruz, Timor Timur), tahun 1996 (waktu Romo Dijat mendengarkan nasihat
dari roh-roh yang diundang kepada Soeharto, 28 April Ibu Tien meninggal, 27 Juli
terjadi penyerangan Markas Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro), dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
tahun 1998 (penjarahan besar-besaran di Jakarta pada 13 Mei dan tahun lengsernya
Soeharto).
2.2 Tokoh dan Penokohan
Secara umum, teknik pelukisan tokoh yang dihadirkan oleh Seno
menggunakan teknik dramatik. Hal tersebut terjadi karena sebagaian besar gambaran
sifat, sikap, dan perilaku para tokoh digambarkan tidak secara langsung. Pembaca
diberikan kesempatan untuk menemukan dan merumuskan sendiri seperti apa
gambaran seorang tokoh. Gambaran mengenai para tokoh dalam KdDL dijelaskan
dengan berbagai teknik yang tersedia. Baik menggunakan teknik pelukisan fisik
seperti yang terjadi pada penjelasan menganai ciri-ciri Souvvana, teknik pelukisan
latar untuk menjelaskan karakter Mualim Satu yang hobi mengoleksi barang-barang
Champa, ataupun dengan teknik tingkah laku untuk menjelaskan karakter Phu Tram
yang tidak mudah menyerah pada keadaan. Tokoh-tokoh yang dihadirkan tersebut
selanjutnya dapat dikategorikan berdasarkan pembedaan sudut pandang atau tinjauan
ke dalam dua bentuk, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan.
2.2.1 Tokoh Utama
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada poin 1.6.1.1.1 bahwa tokoh utama
merupakan tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel bersangkutan.
Ia/mereka merupakan tokoh paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian
maupun yang dikenai kejadian. Dalam novel KdDL, tokoh utama terdiri dari 2 orang,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
yaitu Jeanne dan Suryo. Mereka dikategorikan sebagai tokoh utama karena sering
muncul dalam alur cerita.
Dalam studi ini, tidak ditinjau lebih jauh mengenai alur/plot, maka
pembuktian mengenai frekuensi kehadiran tokoh utama dapat dijelaskan secara
sederhana. Dalam KdDL, penceritaan dibagi menjadi 4 bagian. Pertama, penceritaan
yang berlatarkan Siem Reap dan Hoi An di tahun 2012. Kedua, berlatarkan Jakarta di
tahun 1994 sampai 1998. Ketiga, berlatarkan Luang Prabang dan Siem Reap di tahun
2012. Keempat, berlatarkan Hoi An dan Siem Reap di tahun 2012. Dari keempat
pembagian waktu tersebut, Jeanne dan Suryo sebagai tokoh utama hadir secara
intens. Mereka menjadi bagian dari cerita dan sekaligus menjadi penggerak alur.
Berikut ini penjelasan lebih jauh mengenai siapa Jeanne dan Suryo dan seperti apa
karakter yang dimiliki oleh mereka.
2.2.1.1 Jeanne
Jeanne merupakan salah satu tokoh utama dalam novel KdDL. Hal tersebut
didasari oleh frekuensi juga intensitas keterlibatannya kemunculannya yang cukup
banyak dalam cerita. Jeanne menjadi salah satu penggerak alur, yang menentukan
arah penceritaan.
Jeanne merupakan wanita kelahiran Malang yang tumbuh dan besar dalam
lingkungan dan disiplin militer. Ayah Jeanne, Sunuwarsono (almarhum) adalah
seorang kolonel Angkatan Darat. Pamannya yang bernama Witono menjadi dokter
Angkatan Darat. Itulah sebabnya, Jeanne telah dibiasakan oleh ayahnya untuk disiplin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
dan bertanggung jawab sejak kecil. Sikap disiplin tersebut dituntut oleh ayahnya
sedetail-detailnya, sehingga sebagian besar aktivitas Jeanne saat kecil selalu diawasi
oleh ayahnya. Berikut ini adalah gambarannya pada kutipan (8).
(8) Amarah sang ayah bisa meledak bila menyaksikan sampah bau
yang berjejal-jejal di tong halaman depan terlambat setengah
hari saja diangkut petugas. Papanya jarang bicara. Tapi sangat
memperhatikan hal-hal kecil. Ke mana saja Jeanne pergi seolah
mata ayahnya mengikutinya. Telinga ayahnya mendengar apa
saja. Bahkan saat saat sakit lantaran agak terlambat mens,
ayahnya pun dirasa Jeanne menguping detik demi detik,
mengawasi gerak-gerik diri Jeanne seteliti-telitinya (Suyono,
2014: 61).
Berbeda dengan Ayahnya, ibu Jeanne yang bernama Selvi Arum justru
mewarisi sikap yang lebih rileks dan lembut. Ia menjadi salah satu anggota keluarga
Jeanne yang mengerti masa perkembangan Jeanne. Mengerti bahwa Jeanne yang
masih dalam masa pertumbuhan perlu untuk belajar menemukan dirinya sendiri tanpa
di bawah tekanan dan tuntutan perfeksi. Warisan karakter ibunya ini yang menbentuk
kecintaan Jeanne di kemudian hari terhadap alam dan sebuah kebebasan diri. Hal
tersebut ditunjukkan dalam kutipan (9) dan (10).
(9) Ibunda Jeanne mewarisi sikap lebih rileks. Sang ibu, Selvi Arum
adalah wanita Banten. Ia lembut. Ia tenggang rasa. Ia seolah
mengerti dunia remaja Jeanne, anak semata wayangnya, tengah
tumbuh. Dari ibundanyalah mungkin Jeanne mewarisi sifat
menyukai kehidupan alam terbuka. Jeanne melewati masa SD
sampai SMP di Serang, kota kelahiran ibunya. Tahun-tahun itu
sang ibunda sering membawa Jeanne ke reruntuhan istana
Kaibon. Membiarkan Jeanne kecil berlarian, mencabuti
rerumputan, memetik bunga-bunga (Suyono, 2014: 62).
(10) Bila begitu, ibunya akan menunggu dengan sabar di bawah
beringin. Sang mama duduk menggelar tikar sembari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
menyiapkan roti selai, apel, dan susu bila Jeanne lapar. Oh ya,
saat itu, Jeanne selalu melihat ibunya merokok (Suyono, 2014:
62).
Jeanne kecil itu kemudian tumbuh dengan berbagai karakter yang melekat
pada dirinya. Tumbuh dalam lingkungan militer juga membentuk karakter ambisius
Jeanne. Sejak kecil, karakter tersebut telah terbiasa dituntut lebih oleh ayahnya
sehingga wajar apabila Jeanne terbiasa untuk selalu mendahului orang lain. Ia pernah
sekali punya persaingan dengan mantan kekasihnya bernama Suryo untuk mengenal
lebih banyak situs kebudayaan ketika berada di luar negeri. Berikut dalam kutipan
(11).
(11) Jeanne gelisah. Tiba-tiba ingin mengetahui sebanyak mungkin
cerita mengenai kapal karam harta karun Champa serta kuil
kudus di dasar laut tersebut. Ia ingin masuk ke labirin kuil-kuil
tersebut. Ia bertekad bisa membantu si buntung untuk
membayangkan lapis-lapis denah kuil tersebut. Ia bertekad
menembus sampai kuil besar kedua, bahkan kuil besar ketiga. Ia
tak mau kuil yang dimiliki imajinasinya tersebut direbut oleh
Suryo (Suyono, 2014: 133).
Karakter bebas menemukan jati diri yang ia dapatkan dari ibunya sangat
berseberangan dengan apa yang dituntut oleh ayahnya. Itulah sebabnya jika ada
beberapa sifat Jeanne yang dikemudian hari tidak menggambarkan bahwa ia adalah
seorang anak militer yang biasanya lebih disiplin dan wawas diri. Ia tumbuh ke arah
kebebasan yang liar dan binal. Ia tidak peduli dengan hal-hal yang dianggap oleh
masyarakat sebagai sesuatu yang tabu. Jeanne nyaman dengan apa yang diinginkan
dan diperbuat olehnya. Meskipun harus telanjang ataupun mengisap bubuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
pembayang – sejenis sabu-sabu. Itu merupakan ekspresi dirinya yang paling alami.
Berikut gambaran mengenai keliaran Jeanne dalam kutipan (12), (13), dan (14).
(12) Dan terjadi-terjadilah. Tatkala berjalan di atas meja bar, tanpa
sehelai benang pun. Jeanne ingat ia begitu deg-degan (Suyono,
2014: 83).
(13) Bukan sekali itu Jeanne mau dipotret telanjang. Sebelumnya saat
di Ratu Boko, Candi Ijo, dan Candi Arjuna Dieng, Jeanne juga
melakukan tindakan berani demikian. Jeanne tak tahu apakah
Suryo masih menyimpan ratusan foto telanjangnya atau sudah
dibuangnya semua. Satu yang menurutnya paling mengesankan
dan paling nekat adalah tatkala ia berjalan di Candi Ijo. Jeanne
muncul dari belakang candi, melangkah di antara candi induk
dan candi perwara, tanpa sehelai benang pun. Kemunculan
Jeanne membuat terperangah satu-dua wisatawan di halaman
depan candi. Tangan kiri Jeanne mengucel-ucel rambut
panjangnya. Jemari panjangnya memegang Marlboro dan ia
mengisapnya, mengepul-ngepulkan asap. Sungguh jalang. Amat
binal (Suyono, 2014: 593).
(14) Jeanne menggeleng.
“Terima kasih.”
“Coba sekali saja, Jeanne.”
“Tidak, terima kasih.”
“Sekali saja, kamu pasti suka.”
Jeanne ragu-ragu. Tapi kemudian ia mengulurkan tangan,
menyambut lintingan itu (Suyono, 2014: 559).
Jeanne memiliki seorang kekasih bernama Suryo. Mereka saling mencintai.
Jeanne dan Suryo saling memanjakan diri satu dengan yang lain bahkan tidak jarang
mereka tak sungkan untuk bercinta, entah di kamar kos Suryo atau pun di kawasan
candi-candi. Kehidupan percintaan mereka cukup “liar”. Hampir tak ada sekat di
antara mereka. Mengenal dengan detail lekak-lekuk tubuh adalah hal yang biasa bagi
mereka mereka. Berikut digambarkan dalam kutipan (15).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
(15) Dan bila melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok dusun seperti
itu, Jeanne dan Suryo dulu menjadi sepasang kekasih yang liar.
Di candi mana pun, bila ada kesempatan, mereka selalu bercium-
ciuman. Suryo menggelinjangkan lidahnya ke lidah Jeanne.
Jeanne menyambut dengan kuluman-kuluman bibir yang
mematikan. Sering saat di perjalanan, entah naik carteran mobil
entah membawa trail sendiri, Jeanne mengajak turun sebentar
dari kendaraan dan mencari rerimbunan. Mereka bergelut di
semak, bahkan bila sungguh-sungguh sepi, mereka berani
bergulung-gulung. Keterlaluan memang (Suyono, 2014: 191).
Kedekatan Jeanne dan Suryo yang demikian intim itulah yang menjadi alasan
mengapa kemudian ia masuk ke dalam Paguyuban Anggoro Kasih yang berniat untuk
melawan kekuatan spiritual di balik kekuasaan Soeharto. Sebagai anak tentara,
tentunya Jeanne juga sedikit memiliki simpati dengan kekuasaan Soeharto. Itulah
mengapa kemudian Jeanne merasa gelisah dan takut bila terus terlibat lebih dalam
dengan berbagai aktivitas penumbangan legitimasi Soeharto. Jeanne menyadari
mengenai bahayanya paguyuban ini setelah beberapa kali mendengarkan topik
pembicaraan para anggota paguyuban yang menurutnya sudah mengarah pada makar.
Akibat kekuatiran Jeanne tersebut, beberapa kali ia mengajak Suryo untuk keluar dari
aktivitas paguyuban tersebut. Dengan berbagai alasan yang tidak dimengerti sendiri
oleh Jeanne, ia akhirnya tetap terlibat dalam perjalanan spiritual paguyuban untuk
menentang Soeharto. Berikut ini beberapa kutipan (16), (17) dan (18) yang
menggambarkan kekuatiran Jeanne.
(16) “Sur, kelompok bapak-bapak ini berbahaya.”
Jeanne akhirnya merasa pertemuan paguyuban tersebut semakin
mengarah ke makar. Diskusi yang bergilir dan penuh camilan itu
bukan lagi sekadar forum obrolan pensiunan biasa, namun sudah
menjurus menyusun sebuah agenda aksi (Suyono, 2014: 223).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
(17) Jeanne gundah. Sebenarnya ia tak mau lagi terlibat acara-acara
Suryo. Ia takut melihat perkembangan terakhir. Sudah terbaca
bahwa perkumpulan ini memiliki itikad yang tak baik. Mereka
adalah orang yang benci kepada Pak Harto. Mereka berniat
menggulingkan Soeharto dengan cara-cara animis. Jeanne
sebenarnya ingin menceritakan semua ini kepada papanya. Ia
bisa membayangkan tentu papanya marah besar. Papanya tentu
akan segera menghubungi teman-temannya di Markas Besar
Jakarta. Bukan mustahil apabila papanya datang sendiri dan
membawa seregu tukang pukul atau ajudan-ajudan untuk
membubarkan pertemuan. Jeanne takut dianggap pengkhianat. Ia
merasa sudah telanjur menjadi bagian dari paguyuban (Suyono,
2014: 230).
(18) Ia ingin meninggalkan rumah Pak Danisworo, tapi tatkala
melangkah ia seolah berputar-putar saja di ruang tamu.
Menghambur ke teras pun tak mampu. Ia malah mau duduk
dalam meja rapat. Biasanya dalam pertemuan-pertemuan ia
bersembunyi di dapur, menyiapkan serabi, sekoteng, sepiring
wajik, atau apa, kini bapak-bapak itu menyuruhnya duduk
semeja. Hari itu seolah-olah secara resmi Jeanne diterima
sebagian inti keluarga paguyuban. Ia menjadi satu-satu anggota
perempuan. Ia orang yang memiliki hak mengajukan usul di
sidang paguyuban (Suyono, 2014: 247-248).
Kesetiaan cinta Jeanne pada Suryo memang ada batas. Melalui berbagai
pengalamannya dengan kegiatan-kegiatan paguyuban, membawa Jeanne pada sebuah
kekecewaan yang mendalam terlebih pada saat kematian Bu Tien. Ia menghubungkan
kematian Bu Tien dengan aktivitas paguyuban. Kekecewaannya terhadap paguyuban
juga sama melekat pada Suryo. Ia terus membenci Suryo karena kekasihnya itu selalu
ringan hati untuk melayani permintaan para bapak-bapak paguyuban. Seringkali
memang Jeanne terpaksa diabaikan oleh Suryo. Jeanne akhirnya berpisah dengan
Suryo setelah peristiwa Sabtu Kelabu di Jakarta pada 27 Juli 1996. Semenjak itu,
mereka tidak bertemu lagi hingga belasan tahun kemudian. Berikut ini gambaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
amarah Jeanne pada Suryo yang masih melekat pada perasaannya pada kutipan (19)
dan (20).
(19) Suryo sialan!
Sudah tiga kali mantan kekasihnya tersebut mengirim pesan
pendek. Betul-betul mengganggu. Lebih dari 16 tahun mereka
tak bertemu. Entah mengapa bisa berjumpa dengan Suryo di
Kamboja… Jeanne berusaha dingin… Berkali-kali Suryo
mengirimkan SMS menanyakan ada di mana dirinya dan
mengajaknya bertemu lagi. Tak satu pun dibalasnya (Suyono,
2014: 8-9).
(20) Jeanne saat itu menyesal terlibat dalam paguyuban. Ia menyesal
terbujuk Suryo ikut dalam perjalanan yang dipimpin Pak Sinaga
dan Pak Djayeng. Ia memaki-maki Suryo. Jeanne sadar saat itu
ia berada dalam komunitas yang salah. Ia ketakutan. Bisa saja
satu persatu anggota paguyuban diciduk, termasuk dirinya. Ia
melihat Suryo juga panik (Suyono, 2014: 295).
Setelah Jeanne tidak lagi dengan Suryo, Jeanne kembali ke Malang, di rumah
orangtuanya. Ia kembali ke Malang untuk keluar dari kondisi karut-marut di Jakarta
dan juga lari dari Suryo. Di Malang, Jeanne diperkenalkan dengan seorang pria
bernama Tubagus Zulkifli. Jeanne pun merasa sosok Tubagus adalah sosok yang bisa
melindunginya saat itu, meskipun mesti menjadi istri kedua. Dan setahun setelah
kepulangannya ke Malang, ia kembali lagi ke Jakarta. Berikut ini kutipan (21) yang
menggambarkan pertemuan Jeanne dengan sosok Tubagus.
(21) Saat bertemu, Jeanne merasa sosok Tubagus adalah sosok yang
bisa melindunginya. Ia keturunan pendekar-pendekar Banten.
Jeanne langsung ingin bersandar di bahu sang jawara. Ia merasa
aman dalam naungan Tubagus. Tubagus Zulkifli katanya
memiliki istri. Tapi Jeanne tidak peduli. Ia menerima pinangan
Tubagus. Ia rela menjadi istri kedua. Dan kemudian pada 1997 ia
ikut pindah ke Jakarta lagi, ke rumah yang baru di Cipinang yang
dibelikan Tubagus (Suyono, 2014: 295-296).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Pertemuan dan keputusan Jeanne untuk hidup bersama dengan Tubagus
membawa banyak perubahan pada sifat Jeanne. Terbatasnya ruang gerak Jeanne
semenjak di Jakarta, menjadikannya orang rumahan. Ia pun berubah drastis menjadi
gadis yang lebih agamais setelah dulu berkarakter liar dan binal. Kutipan (22) berikut
ini menggambarkan perubahan karakter Jeanne.
(22) Semenjak itu, ia jadi orang rumahan. Ia mengubah penampilan.
Ia memutuskan berhijab. Ia aktif mengikuti pengajian-pengajian.
Bahkan pengajian di Serang. Ia sering bolak-balik Serang-
Jakarta (Suyono, 2014: 296).
Hubungan Jeanne dan Tubagus dikaruniai satu orang anak bernama Meyra.
Akan tetapi, hubungan Jeanne dan Tubagus Zulkifli juga tidak berlangsung lama.
Rumah tangga mereka akhirnya harus kandas di tengah jalan. Di tengah
kegalauannya, Jeanne ditawari oleh ibunya untuk berlibur sekaligus mengunjungi
sepupunya yang di Vietnam. Dalam perjalanannya ini, Jeanne mengunjungi banyak
tempat. Sebelum ke Vietnam, ia berniat untuk mengunjugi Kamboja dulu. Banyak hal
yang ia temukan, Suryo kekasihnya juga pengalaman menakutkan yang masih ada
hubungannya dengan para bapak paguyuban. Jeanne masih tetap dikejar dengan
ketakutan masa lalunya itu. Berikut ini kutipan (23) yang menggambarkan ketakutan
Jeanne bertemu bayangan para bapak Paguyuban Anggoro Kasih.
(23) Jeanne ketakutan dengan penglihatannya. Adakah bapak-bapak
itu disiksa? Dianiaya oleh orang-orang tak dikenal? Kuatkah
bapak-bapak itu menahan gebukan dan sayatan? Ataukah bapak-
bapak itu mati kemudian? Ia langsung meninggalkan Angkor
(Suyono, 2014: 10).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
2.2.1.2 Suryo
Suryo merupakan salah satu tokoh utama selain Jeanne. Intensitas
kehadirannya dalam keseluruan cerita juga cukup banyak. Pengalamannya bersama
kekasihnya, Jeanne, menjadi poros penceritaan.
Suryo adalah anak dari Yohanes Liem Hardjosusilo dan Yohana Kurniasih
Marsudirini. Masa kecil Suryo dihabiskan di Semarang. Hidup mereka pada awalnya
bahagia dalam kesederhanaan. Bapaknya adalah seorang Katolik Cina yang tidak
memiliki pekerjaan tetap. Ibunya adalah seorang penyulam bertalenta yang bekerja di
sebuah perusahaan konfeksi. Sebagai anak tunggal, Suryo sangat disayangi oleh
kedua orang tuanya. Terkadang Suryo kecil selalu diajak jalan oleh ayahnya untuk
diperkenalkan berbagai kebudayaan Cina. Berikut ini kutipan (24) dan (25) yang
menggambarkan profesi orangtua Suryo dan kehidupannya saat kecil.
(24) Suryo ingat masa kecilnya di Semarang bersama bapaknya,
Yohanes Liem Hardjosusilo, adalah seorang Katolik Cina. Sang
ayah sering membawa Suryo ke klenteng untuk menonton
latihan silat atau pementasan wayang potehi. Ayahnya itu
sebenarnya jebolan Seminari Mertoyudan. Namun, ia tak ingin
menjadi seorang pastor (Suyono, 2014: 400).
(25) Sosok Yohanes Liem Hardjosusilo seingat Suryo adalah sosok
serius. Ia suka mengenakan kaus singlet putih dan celana
pantolan hitam. Bapaknya itu terlambat kawin. Ia menikahi
ibunya, Yohana Kurniasih Marsudirin, saat umurnya sudah 50
tahun, sementara ibunya berumur 30-an. Ibunya juga terlambat
menikah bagi orang Jawa. Ibunya asli Semarang. Ibunya adalah
seorang penjahit yang bekerja di sebuah perusahaan konfeksi.
Suryo adalah anak tunggal. Suryo ingat di masa kecil ia suka
sekali bila melihat ibunya pulang naik becak membawa dua-tiga
karung berisi perca-perca kain. Suryo pasti akan menyongsong
karung itu, menyeretnya masuk rumah dan mengaduk-aduk,
mengudal-udal isinya, melihat warna-warna potongan-potongan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
kain bekas itu. Ia tahu pasti perca-perca itu akan dijahit ibunya
menjadi selimut atau syal-syal yang lucu (Suyono, 2014: 401).
Semenjak dewasa, Suryo merantau dan bekerja di Jakarta. Suryo memang
dikenal sangat ringan tangan dan mau melakukan pekerjaan apa pun yang baik demi
mendapatkan uang. Dalam bekerja, Suryo memang seringkali bersama-sama dengan
kekasihnya, Jeanne. Itulah mengapa, Suryo kemudian menjadi orang kepercayaan di
Paguyuban Anggoro Kasih. Ia dipercaya sebagai pengurus paling muda di paguyuban
tersebut. Jeanne juga ikut kena cipratannya. Memang terlalu sering Suryo dimintai
tolong oleh bapak-bapak anggota paguyuban – salah satunya Pak Sinaga. Itulah awal
dari keterlibatan mereka di paguyuban yang kemudian hari merencanakan dan
melawan kekuasaan Soeharto. Berikut ini kutipan (26) dan (27) yang
menggambarkan sikap ringan tangan Suryo untuk mengerjakan banyak hal demi
mendapatkan uang.
(26) Palugada. Apa lu mau, gue ada. Itulah ungkapan yang tepat dari
zaman sekarang untuk menyebut profesi Suryo. Seingat Jeanne,
saat Suryo masih menjadi kekasihnya, ia tak memiliki pekerjaan
tetap. Loncat sana loncat sini. Apa saja pekerjaan yang bisa
menghasilkan uang, meski sekadarnya, diterima Suryo.
Penghasilan Suryo setahu Jeanne terutama didapat dari komisi
mengantar penjualan barang-barang antik (Suyono, 2014: 139).
(27) Jeanne pernah ikut membantu Suryo membungkus pedang
samurai. Pedang itu sepasang….
Pedang tersebut milik seorang perwira Angkatan Laut Jepang
yang pada tahun 1942 memimpin pendudukan ladang minyak
Tarakan. Jeanne tahu Suryo diminta Pak Sinaga, seorang kenalan
Suryo, mengurus pembelian pedang. Berkali-kali sebelumnya
Pak Sinaga bertemu dengan keluarga polisi di Tarakan.
Membujuk agar keluarga tersebut mau melepas samurai. Dan
akhirnya setelah harga disepakati, ia mengutus Suryo menjemput
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
pedang. Suryo dibekali sebuah tas berisi uang tunai sekitar 20
juta rupiah (Suyono, 2014: 139-140).
Suryo selain dikenal sebagai pemuda yang sangat dinamis, mampu
mengerjakan banyak hal, ia juga terkadang menjadi orang yang misterius. Barangkali
karena sibuk, ia seringkali hilang dari rutinatasnya dengan orang-orang terdekat
seperti teman atau rekan kerja. Perginya Suryo tersebut bukan berarti Suryo
ketinggalan informasi atau perkembangan. Ia malah masuk kembali ke dalam
kelompok yang ia tinggalkan dan terlibat dalam pembicaraan seolah ia tidak
melewatkan satu pun. Berikut ini kutipan (28) yang menggambarkan sosok misterius
Suryo.
(28) Mantan pacarnya itu adalah orang yang tidak bisa diduga. Suryo
itu misterius. Ia bisa hilang tanpa kabar. Ia bisa muncul
sekonyong-konyong. Dan begitu berkumpul lagi dengan sahabat-
sahabatnya, ia ternyata langsung bisa ikut membahas materi
yang dibicarakan para sehabatnya dengan sedemikian dalam.
Bahkan apabila materi itu sebelumnya disembunyikan darinya
(Suyono, 2014: 132).
Selama di Jakarta, selain bekerja, Suryo juga pernah mencoba untuk studi di
beberapa perguruan tinggi. Bukan hanya satu, tapi lebih dari satu. Tak satu pun yang
pernah diselesaikannya. Pekerjaan dan keterlibatannya di paguyuban bisa menjadi
alasan yang paling masuk akal dari sekian kegagalan studi Suryo. Di bawah ini,
kutipan (29) mengenai kegagalan studi Suryo.
(29) Gara-gara sering menjadi mayat tersebut, Suryo cabut kuliah di
tengah jalan. Suryo sepengetahuan Jeanne pernah kuliah macam-
macam. Konon, pacarnya itu pernah mengambil diploma
komputer. Pernah mencoba-coba kursus paket teologi dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
filsafat. Semuanya itu putus. Tak ada yang tamat. Saat
berpacaran dengan dirinya, Suryo mengaku mengambil studi di
akademi farmasi. Mau menjadi apoteker, katanya. Namun, sejak
jadi mayat itu, entah kenapa, dia elergi bau obat tertentu dan
karbol. Ia pernah mual-mual waktu di laboratorium praktek
meracik puyer (Suyono, 2014: 183).
Sebagai pemuda yang paling dipercaya di paguyuban, Suryo telah memiliki
ikatan yang begitu erat dengan bapak-bapak paguyuban. Selain itu pula, Suryo
memang telah menerima banyak perhatian dan kebaikan yang besar sehingga Suryo
seolah memiliki banyak utang budi kepada mereka. Tak sungkan, Suryo bahkan rela
menjadi mayat dan menikmati aktivitas anggota paguyuban yang terkesan cukup
aneh. Bahkan ia rela meninggalkan Jeanne di kamar kosnya saat istirahat untuk
mengantarkan Pak Sinaga di Kawitan. Jeanne ditinggal sekitar 8 hari di Jakarta.
Pilihan Suryo tersebut bahkan mengorbankan kebersamaan dengan kekasihnya.
Berikut gambarannya dalam kutipan (30) dan (31) di bawah ini.
(30) Suryo manut saja disuruh berbaring terbujur seolah dia jenazah.
Ya, Allah, Suryo kok mau. Goblok banget (Suyono, 2014: 162).
(31) Jeanne ingat malam itu 28 April 1996. Besoknya Idul Adha.
Malam itu Suryo seperti orang yang tersepak-sepak. Kekasihnya
itu sempat cuci muka. Jeanne ingat ia duduk terpekur di
kasurnya hanya berbelit selimut. Ia melihat Suryo mengepak-
ngepak pakaian seadanya ke dalam ransel. Jeanne hanya
mengingatkan agar Suryo tak lupa membawa sikat gigi.
Selanjutnya ngungun. Matanya mulai sembap. Ajudan Pak
Sinaga menunggu di luar pintu, seolah tahu tak elok melongok
ke dalam karena Jeanne masih dalam keadaan tanpa busana.
Jeanne merasa seluruh tubuhnya gugup. Saat Suryo pamit, air
matanya berurai. Suryo mengelus-elus rambutnya dan mencium
keningnya (Suyono, 2014: 242-243).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Kebiasaan Suryo yang bersedia mengerjakan banyak hal bukan berarti ia
melewatkan banyak hal. Itulah nilai tambah dari Suryo yang menjadikannya orang
kepercayaan anggota paguyuban. Suryo dikenal sebagai orang yang detail dalam
menilai dan mengerjakan sesuatu. Selain detail, Suryo memang memiliki banyak
pengetahuan mengenai situs-situs candi dan selalu melayangkan ide dengan sudut
pandang yang berbeda dan mengejutkan. Hal tersebut disadari oleh Jeanne dalam
perjalanan bersama Suryo saat mengunjungi candi-candi. Berikut ini bukti kutipannya
(32).
(32) Harus diakui, Suryo selalu memiliki perspektif sendiri bila
memahami candi. Jeanne ingat, Suryo peka terhadap hal-hal
kecil. Ia bisa menjelaskan sesuatu yang sepele dan tampak
remeh-temeh (Suyono, 2014: 461).
Kebiasaan Suryo bergaul dengan banyak orang, berkerja dengan banyak
orang, menuntut Suryo untuk memiliki sikap luwes dengan banyak orang. Itulah
mengapa Suryo cukup mudah untuk mendapatkan banyak teman dan banyak
kepercayaannya. Para bapak-bapak paguyuban pun senang pada Suryo bukan saja
karena ringan tangan dan selalu siap dimintai bantuan, tetapi juga karena mereka
merasa nyaman dan percaya dengan keberadaan Suryo. Berikut ini kutipan (33) yang
menggambarkan sikap luwes Suryo dengan orang-orang.
(33) Meskipun baru bertemu, Suryo cepat akrab dengan murid-murid
Romo Dijat dan Romo Marto (Suyono, 2014: 225).
Barangkali akibat sering bergaul dengan para bapak paguyuban, selera Suryo
menurut hemat Jeanne buruk sekali. Bagaimana tidak, Suryo mengumpulkan dan
senang melantunkan lagu-lagu lawas. Apalagi koleksi Suryo terbilang cukup lengkap.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Sesekali lagu tersebut disetel besar sehingga membuat Jeanne gusar. Padahal Jeanne
telah lama berkiblat pada musik-musik Eropa. Itulah perbedaan yang paling
mencolok antara Jeanne dan Suryo. Berikut ini kutipan (34) tentang hobi Suryo yang
tidak biasa tersebut.
(34) Dari sekian banyak barang yang paling dibenci Jeanne adalah
koleksi kaset Suryo. Suryo memiliki banyak kaset Indonesia
lawas terbitan Remaco, Musika Studio, Purnama Record, Sky
Record, dan sebagainya.Heran sungguh mengherankan. Ternyata
pacarnya itu penyuka Lilis Suryani, Dara Puspita, Ernie Djohan,
Djatu Parmawati, Grace Simon, Iin Parlina, Ajie Bandy, Sam
Saimun, Mochtar Embut, dan semua penyanyi baheula lainnya
(Suyono, 2014: 184-185).
Setelah Pak Sinaga mengistruksikan kelompok paguyuban memencar dulu
agar tidak tertangkap orang-orang Soeharto, paguyuban tersebut tidak lagi hidup.
Mereka pergi dan melaksanakan pekerjaannya masing-masing dengan tujuan yang
masih bulat, yaitu menggulingkan Soeharto. Melawan Soeharto secara metafisik
memang sulit juga karena ia memiliki orang-orang terlipilih di balik kekuatannya.
Seluruh anggota paguyuban yang telah diketahui melawan Soeharto dari sisi
metafisik, kembali diserang dan dikejar teluh. Satu persatu anggota paguyuban
meninggal secara tidak wajar – kecuali Pak Priyambodo. Suryo pun selalu dibayang-
bayangi akan teluh tersebut. Ia tambah ketakutan saat mendengar ayahnya kembali
kerasukan. Suryo menduga itu adalah teluh yang harusnya ia terima tapi ternyata
salah sasaran kena ayahnya. Berikut itu kutipan (35) dan (36) yang menggambarkan
kegelisahan Suryo.
(35) Suryo tak ingin menghubungkan kematian ayahnya dengan
kematian Pak Sinaga dan kawan-kawan. Tapi Suryo selama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
bertahun-tahun didera perasaan bersalah. Ia diburu-buru suatu
bisikan bahwa sesungguhnya dialah pembunuh ayahnya.
Ayahnya yang mantan guru agama Katolik itu di hari-hari
terakhir hidupnya, entah karena teluh entah karena apa, sering
kesurupan. Yohanes Liem Hardjosusilo merasa menjadi
inkarnasi seorang pemberontak di Keraton Kartosuro (Suyono,
2014: 304).
(36) Di tengah kecemasan ada frekuensi-frekuensi tertentu memasuki
ruangan kamarnya, pada tahun 1998 itu ia menerima kabar agar
segera pulang. Ayahnya kerasukan. Sesampai di rumah, ia
melihat kerasukan ayahnya menjadi-jadi. Ayahnya bahkan tak
mengenal dia. Ayahnya menceracau luar biasa dan memiliki
tenaga “iblis” sampai-sampai seluruh perabot rumah porak-
poranda. Ayahnya merasa dipendam di sebuah alun-alun dan
disepak-sepak kaki kuda. Ayahnya akhirnya meninggal memeluk
sebuah patung yang dicampakkan di Borobudur (Suyono, 2014:
310).
Dalam paguyuban, Suryo memang dianggap anak bawang. Ia terlibat di dalam
paguyuban karena berawal dari sering membantu Pak Sinaga menjual barang antik.
Itulah mengapa pada awalnya Suryo memang tidak berniat untuk masuk lebih dalam
ke paguyuban. Ada banyak rahasia paguyuban yang ia tidak ketahui. Suryo hanyalah
orang yang terlibat di permukaan. Akan tetapi, karena ia telah beberapa kali
mengikuti perjalanan spiritual dengan para anggota paguyuban, maka Suryo ikut
dikejar teluh, sama seperti bapak-bapak paguyuban. Berikut ini kutipannya (37).
(37) Suryo ketakutan sendiri setelah satu demi satu bapak-bapak
paguyuban meninggal, ia yang dicari-cari. Keterlibatannya di
paguyuban sesungguhnya hanyalah sebagai anak bawang. Masih
banyak rahasia lain yang tak diketahuinya dari perkumpulan itu.
Bapak-bapak itu telah puluhan tahun saling mengenal dan
melakukan perjalanan mistis bersama sebelum ia bertemu
dengan mereka. Suryo sesungguhnya hanyalah orang
kepercayaan Pak Sinaga untuk membantu menjual-beli barang
antik. Tetapi ia telanjur dicap sebagai bagian dari paguyuban
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
karena turut mengikuti beberapa perjalanan terakhir mereka
(Suyono, 2014: 413-414).
Merasa sering dikejar teluh, Suryo berusaha untuk kembali berdoa dan aktif di
berbagai kegiatan kerohanian. Ia memang telah lama meninggalkan gereja. Ia
berupaya aktif pada kegiatan-kegiatan gereja agar ia benar-benar terhindar dari
ketakutannya itu. Meskipun masuk dengan nama yang berbeda, Suryo terlihat terbuka
dan cukup dekat dengan bapak-bapak paroki. Berikut ini kutipannya (38).
(38) Di lingkungan gereja, Suryo memperkenalkan diri dengan nama
Bartolo. Itu dari nama baptisnya Bartolomeus. Sudah lama ia tak
mencantumkan nama itu. Hanya disingkat B. Sedikit-sedikit ia
mulai membuka dirinya, bergaul dengan orang-orang gereja. Di
tengah bapak-bapak Paroki ia merasa tenteram. Bapak-bapak dan
ibu-ibu Paroki memanggilnya Bartolo. Suryo mulai aktif
membantu-bantu kegiatan jemaat. Ia menyerahkan diri pada
kegiatan karismatik. Ia setiap hari meminta perlindungan Maria.
Hampir setiap hari ia menggumamkan doa:…..(Suyono, 2014:
311).
Ia akhirnya keluar negeri atas sebuah tugas yang diberikan kepadanya atas
mandat Kementrian Pariwisata, Suryo berangkat untuk mengambil berbagai foto
mengenai candi-candi yang ada di sekitaran Asia Tenggara. Perjalanannya keluar
negeri tersebut bukan berarti Suryo terhindar dari teluh yang telah megejarnya sejak
lama. Sampai di sana pun ia mengalami hal yang serupa dengan Jeanne, ia kembali
dihantui. Berikut ini kutipannya (39) dan (40).
(39) Kedatangannya ke Luang Prabang dan Siem Reap ini atas biaya
Kementrian Pariwisata. Percetakannya mendapat job dari
Kementrian membuat buku mengenai candi-candi di Asia
Tenggara (Suyono, 2014: 312).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
(40) Suryo tentu tak bisa menceritakan kepada Phhoung bahwa
dirinya didera kekhawatiran dikejar-kejar teluh. Ia bisa
ditertawai jika mengatakan ada teluh dari Jawa yang
menyeberang sampai ke Kamboja memburunya. Ia tak bisa
menceritakan bahwa kawan paguyubannya satu persatu hilang.
Mungkin tewas karena sambetan teluh. Dan kini teluh yang
mematikan sahabat-sahabatnya mencari-carinya. Energi teluh itu
berputar-putar di antara arca-arca Budha lepra dan terus
memburunya ke Bayon. Badannya sangat lemas. Badannya
menggigil (Suyono, 2014: 521-522).
2.2.2 Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan merupakan tokoh-tokoh yang berada di lingkaran tokoh
utama. Secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan tokoh utama.
Berikut ini pemaparan beberapa tokoh tambahan dalam novel KdDL.
2.2.2.1 Pak Sinaga
Pak Sinaga merupakan tokoh tambahan yang cukup dekat dengan Suryo dan
Jeanne di paguyuban. Pak Sinaga adalah orang Batak kelahiran Madiun. Rambutnya
kelabu. Logat Bataknya masih belum hilang. Pak Sinaga lama bekerja di Jepang
sebagai staff Kedutaan Besar Indonesia. Bahasa Jepangnya masih fasih. Setelah
pensiun, ia memiliki sebuah lembaga persahabatan Indonesia-Jepang. Di Tokyo, Pak
Sinaga bergaul dengan perwira-perwira Jepang yang pernah bertugas di Jawa. Ia
adalah seorang duda. Dia tinggal di sebuah rumah besar di kawasan Cibubur. Ia
tinggal sendiri ditemani dua orang jongos, seorang pembantu, dan seekor bulldog
besar. Sebagai salah satu orang yang paling tua di paguyuban, Pak Sinaga memiliki
karakter kebapaan yang membuat Jeanne dan Suryo merasanya nyaman bersamanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Ia pula yang kemudian dipercaya untuk memimpin gerakan melawan legitimasi
Soeharto lewat jalan metafisik. Karakternya yang kuat, membakar semangat
perjuangan semua anggota paguyuban. Berikut ini kutipan (41) dan (42) yang
menggambarkan karakter Pak Sinaga.
(41) Pak Sinaga adalah orang yang sangat baik. Jika berada di dekat
Pak Sinaga, Jeanne selalu merasa ada energi
hangat…Kepribadiannya lembut, penuh perhatian (Suyono,
2014: 140).
(42) Sejak hari itu, Pak Sinaga seperti dipercaya resmi bapak-bapak
memimpin gerakan. Pak Sinaga terlihat siap menerima tanggung
jawab. Masa-masa diskusi yang panjang dan dan melelahkan
telah selesai. Masa-masa aksi sudah saatnya dimulai. Pak Sinaga
adalah anggota paguyuban yang paling sepuh. Ia bekas seorang
manajer. Ia juga banyak bergaul dengan kalangan tentara. Ia
mengetahui banyak tempat petilasan (Suyono, 2014: 247).
Sebagai orang yang paling kuat di paguyuban, Pak Sinaga merupakan salah
satu orang yang ikut kena teluh dari orang-orang Soeharto. Selepas seluruh anggota
paguyuban sengaja berpencar untuk menghindari penyergapan orang-orang Soeharto.
Pak Sinaga juga tewas tak wajar kerena ditusuk menggunakan belati oleh juru makam
saat berziarah ke Candi Sawentar, Desa Kanigoro.
(43) “Pak Sinaga ditusuk di Blitar. Pak Sinaga mengunjungi Desa
Sanan Wetan, desa kelahiran Pak Sawito. Pak Sinaga berusaha
mencari pusaka-pusaka yang masih disimpan oleh keluarga Pak
Sawito, tapi agaknya diikuti…”
Suryo syok.
“Ia ditikam juru makam saat berziarah ke Candi Sawentar, di
Desa Konigoro (Suyono, 2014: 308-309).”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
2.2.2.2 Pak Darsono
Pak Darsono merupakan salah satu anggota paguyuban. Ia merupakan mantan
orang kuat di Dinas Pekerjaan Umum. Ia yang pernah menangani waduk di seluruh
Jawa. Rumah Pak Darsono di Pamulang. Rumahnya mewah bergaya mediteranian.
Marmer-marmernya terlihat masih baru. Istrinya berdarah Manado, tampak muda dan
cantik, namun terlihat sungkan bergaul dengan sahabat-sahabat Pak Darsono. Salah
satu karakter Pak Darsono yang cukup berkesan bagi Jeanne adalah sifat
kebapaannya. Tidak sungkan dalam suatu pertemuan, ia memeluk dan mencium
Jeanne seperti anak sendiri. Berikut ini tergambar dalam kutipan (44).
(44) Pak Darsono tak seperti biasanya. Melihat Jeanne datang,
langsung ia memeluk dan mencium keningnya. Napasnya bau
rokok (Suyono, 2014: 248).
Sebagai anggota paguyuban, Pak Darsono merupakan salah satu orang berani.
Dalam suatu kali perjalanan ke Jambe Pitu. Anggota paguyuban mendapat dawuh
bahwa mereka harus memetik bunga wijayakusuma di Pulau Biru Majeti. Bunga
tersebut merupakan salah satu sumber kekuatan dari kekuasaan Soeharto. Apabila
bunga tersebut jatuh ke tangan orang-orang Soeharto, maka kekuasaan Soeharto
dipercaya akan tetap bertahan. Namun, apabila bunga tersebut jatuh ke tangan
anggota paguyuban, maka kekuasaan Soeharto bisa ditumbangkan. Mengambil
bunga wijayakusuma memang tidak mudah. Saat bunga tersebut mekar, laut akan
menjadi ganas, seolah melarang siapa pun untuk menyeberang ke Pulau Biru Majeti
dan mengambil bunga itu. Pak Djayeng sebagai salah seorang yang pernah ke Jambe
Pitu mengambil inisiatif untuk tetap mengambil bunga tersebut entah apa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
terjadi. Saat itu, Pak Darsono pun berinisiatif untuk menemani Pak Djayeng. Berikut
ini tergambar dalam kutipan (45).
(45) “Saya siap. Saya akan menemani Pak Djayeng. Saya ingin
menghirup aroma bunga itu di tempat asalnya. Saya ingin
mencium kelopaknya. Kalaupun bunga itu belum mekar, saya
ingin sujud di tanahnya. Saya ingin bunga itu tak jatuh ke
tangan-tangan orang serakah kekuasaan. Demi kebaikan negera
ini, saya siap menunaikan misi ini. Saya siap menyeberangi bukit
ini dengan perahu sekecil apa pun. Saya hanya meminta agar Pak
Notodirodjo dan Pak Soetomo jangan memberitahukan rencana
kami kepada perewangan-perewangan Pak Harto. Kalaupun
mereka tahu, biar mereka tahu dengan sendiri. Kami bukan takut
terbunuh. Kami tak ingin saling santet-menyantet,” kata Pak
Dasono dari depan pintu (Suyono, 2014: 288).
2.2.2.3 Pak Djayeng
Pak Djayeng Koesoemo merupakan pengusaha ekspor-impor yang pernah
menguasai peti-peti kemas di pelabuhan. Pak Djayeng tinggal di Tebet. Ia memiliki
kebiasaan untuk mengoleksi kayu-kayu bertuah. Ia menyimpan berbagai macam kayu
langkah seperti kayu cendana, kayu drini sentigi, kayu kelor, kayu pamrih, bambu
buntet, asam jawa, kayu nagasari, kayu timaha, kayu walikukun, kayu krangeyan.
Semua jenis-jenis kayu tersebut memiliki khasiatnya masing-masing. Sama seperti
Pak Darsono, ia pula tidak kalah berani dengan Bapak-bapak yang lain.
Keberanian tersebut nampak dalam perjalanan memburu bunga
wijayakusuma. Saat ditanya oleh Pak Sinaga bahwa siapa yang bersedia bertolak ke
Pulau Biru Majeti, dengan tanpa ragu, Pak Djayeng langsung menawarkan diri.
Memang lokasi Jambe Pitu ini pernah dikunjungi dan dimengeri oleh Pak Djayeng,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
sehingga ia telah terbiasa dengan deburan ombak laut di tempat tersebut. Berikut
kutipan (46) yang menggambarkan keberanian Pak Djayeng.
(46) “Saya akan berangkat!” dengan tegas Pak Djayeng menawarkan
diri menjadi sukarelawan. “Kalaupun bunga itu belum muncul,
saya akan berdoa di depan pohonnya. Saya akan memohon
kepada Tuhan agar tak ada bala yang menyerang kita. Pak
Darsono bilang kepada saya, dia akan ikut. Saya tak ingin
menunggu ombak tenang. Saya yakin kalau niat kita baik kita
akan selamat. Ombak seganas apa pun akan luluh karena tekad
kita.Bagaimana Pak Darsono?” (Suyono, 2014: 287)
Kematian Pak Djayeng bersama rekannyaa Pak Darsono diawali oleh sumpah
mereka berdua untuk mengambil bunga wijayakusuma. Mereka berdua memang
keras kepala. Meskipun telah diperingatkan bahwa menjelang bunga wijayakusuma
mekar, laut di sekitaran pulau tempat ia tumbuh akan sangat ganas, tidak dihiraukan
oleh mereka. Pada perjalanan mereka yang pertama, perahu mereka tidak bertahan
hingga 20 menit. Mereka terseret ombak, mengalami sesak napas, dan di rawat di
rumah sakit di Cilacap.
(47) Seluruh peritiwa menyedihkan ini dimulai dengan kematian Pak
Djayeng dan Pak Darsono. Masih hangat dalam benak Suryo saat
akhir April 1996 ia dan Jeanne setelah kemarian Bu Tien,
mengikuti paguyuban ke Jambe Pitu di Pantai Cilacap. Di situ
Pak Djayeng dan Pak Darsono bersumpah memetik bunga
wijayakusuma di Pulau Biru Majeti. Seminggu kemudian, di
awal Mei, mereka melaksanakan niat tersebut. Menurut kabar,
mereka tak peduli ombak ganas. Baru 20 menit melaju, ombak
membalikkan perahu mereka. Tubuh mereka terlempar-lempar.
Susah payah mereka berenang ke pantai (Suyono, 2014: 305).
Kegagalan di perjalanan yang pertama tidak sedikit pun menggetarkan hati
Pak Djayeng dan Pak Darsono. Sepuluh hari kemudian, mereka kembali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
melaksanakan keinganan mereka tersebut. Kembali dengan motivasi yang sama,
mereka tidak ingin bunga itu jatuh di tangan yang salah. Mereka ingin untuk
mengamankan bunga tersebut sebelum didahului utusan Soeharto.
Pada perjalanan mereka yang kedua tersebut, cuaca cukup cerah dan ombak
pun tenang. Mereka berdua di lepas oleh Pak Sinaga dari atas bukit. Akan tetapi,
perjalanan kedua ini memang betul merenggut nyawa mereka. Niat untuk mengambil
bunga wijayakusuma pupus tanpa hasil. Berikut ini gambaran kecelakaan yang
dialami Pak Djayeng dan Pak Darsono dalam kutipan (48).
(48) Ombak kali ini tenang. Dari atas bukit, Pak Sinaga melepas
mereka. Mulanya perahu mereka berjalan lancar. Tapi begitu
perahu hampir mencapai pantai sabrang, muncul pusaran
gelombang seperti angin lesus berputar-putar kencang
memontang-mantingkan perahu. Mereka terlempar ke arah yang
berbeda. Mayat mereka tak ditemukan. Hanya pecahan lambung
perahu yang dilihat penduduk pantai (Suyono, 2014: 306).
2.2.2.4 Pak Sewaka
Pak Sewaka merupakan pensiunan ahli radar. Pak Sewaka tinggal di kawasan
Cibubur. Dia salah satu anggota paguyuban yang memiliki cukup banyak wawasan
mengenai latar belakang kekuatan Soeharto. Kecerdasannya ini yang mewarnai
sekian banyak diskusi mengenai Soeharto. Dari dialah muncul wacana bahwa
kekuatan Soeharto sebenarnya juga disokong wahyu Bu Tien. Letak kekuatan Bu
Tien terletak pada tusuk kondenya. Gambarannya mengenai masa kecil Bu Tien dan
hubungan dengan Soeharto digambarkan cukup detail. Gambaran cerita Pak Sewaka
ini terdapat pada halaman 197-206 (Suyono, 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Pengetahuan Pak Sewaka mengenai wahyu Bu Tien yang tersimpan di tusuk
konde, membawanya untuk ikut terlibat dalam perburuan tusuk konde tersebut.
Bersaing dengan banyak orang di petilasan pertapaan Banglampir, Desa Giri Sekar,
Panggang, Gunung Kidul. Dalam perburuan tusuk konde tersebut, Pak Sewaka
menjadi salah satu yang tidak pernah menyerah untuk bertahan. Ia bahkan menyewa
sebuah tenda milik warga untuk tetap bertahan di sana. Perburuannya ini yang
kemudian merebut nyawa Pak Sewaka. Berikut ini kutipannya (49).
(49) Pak Sewaka tak pantang menyerah. Ia bahkan sampai menyewa
sebuah bilik milik warga di sekitar Banglampir. Tiap hari sampai
menjelang subuh, ia keluar dan memilih tempat konsentrasi di
dekat patung-patung yang ada di situ. Tapi, suatu hari, setelah
dua minggu berturut-turut bersemadi, ia ditemukan meninggal di
antara pepunden-pepunden batu. Sama sekali tidak ada tanda-
tanda ia dianiaya. Tubuhnya bersih, tak ada darah atau torehan
luka. Dokter yang memeriksanya menyatakan ia meninggal
seperti sesak napas karena kehabisan oksigen (Suyono, 2014:
362).
2.2.2.5 Pak Radjiman
Pak Radjiman adalah ahli kartografi, pernah bekerja di Jawatan Topografi
TNI AD. Sebagai mantan pegawai topografi, ia dikenal sebagai kolektor peta tua dan
litografi Nusantara. Ia mengumpulkan peta dan gambar saring cetak dari pasar-pasar
loakan dan balai lelang di Eropa. Rumahnya yang di Kelapa Gading seperti museum.
Ia memigura peta-peta itu dan memasangnya di hampir setiap sudut rumah, dari lantai
pertama hingga lantai kedua. Sebagai seorang kolektor, Pak Radjiman memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
banyak koleksi-koleksi langkah. Berikut kutipan (50) yang menggambarkan koleksi
Pak Radjiman.
(50) Pak Radjiman juga secara spesial memiliki 50-an litografi
kutrano yang menggambarkan sudut-sudut Jembatan Besar,
Glodok, Taman Falatehan, sehingga bila dideretkan orang bisa
utuh membayangkan bagaimana kawasan Kota di masa lalu
(Suyono, 2014: 146).
Suatu ketika, Pak Radjiman berniat untuk menapak tilas di Situ Panjalu, salah
satu lokasi yang belum pernah dikunjungi paguyuban selama masih aktif melakukan
perlawanan secara bersama-sama. Situ Panjalu merupakan pulau yang lembab dan
dingin, banyak dihuni oleh harimau, ular, dan babi hutan, baik yang asli maupun yang
jadi-jadian. Tempat ini memang banyak dikunjungi oleh banyak pertapa akan tetapi
jarang yang bertahan hingga seminggu. Pak Radjiman memang bertahan di hutan
tersebut selama seminggu, meskipakun pada akhirnya ia hilang tak berbekas. Berikut
gambaran Situ Panjalu pada kutipan (51).
(51) Udara di dalam Situ Panjalu sangat lembap dan dingin. Di situ
teradapat ratusan cungkup makam tua. Para peziarah yang berani
bermalam di hutan biasanya akan bertapa di cungkup-cungkup.
Di dalam hutan masih ada berseliweran harimau, ular, dan babi
hutan, baik asli maupun jadi-jadian. Suara nafas geram harimau
yang mendekati tubuh dan seringainya yang seolah-olah
digoreskan ke leher bukan hal yang asing bagi peziarah. Mereka
tahu itu harimau jadi-jadian. Mereka yang nyalinya tinggi bisa
bertahan berhari-hari. Namun biasanya tak lebih dari seminggu.
Mereka berharap di antara waktu itu menemukan jimat di celah-
celah cungkup (Suyono, 2014: 363).
Sebagai salah satu anggota paguyuban, Pak Radjiman juga tidak luput dari
teluh, seperti teman-temannya. Saat paguyuban cooling down, Pak Radjiman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
berinisiatif untuk menapaktilasi Situ Panjalu. Kebetulan tempat tersebut memang
belum pernah dikunjungi oleh kelompok paguyuban, maka niat Pak Radjiman untuk
mengunjungi Situ Panjalu semakin kuat. Perjalanannya kali ini juga merenggut
nyawanya. Berikut gambaran kematian Pak Radjiman dalam kutipan (52).
(52) Pak Radjiman bertahan seminggu. Beberapa tukang sampan
menyatakan, setelah seminggu berada di dalam pulau, Pak
Radjiman keluar, minta diseberangkan. Di tepi danau, ia
membeli rokok, mengisapnya, menyesap kopi, dan bercakap-
cakap dengan para penyampan. Wajahnya tampak riang. Letih
tapi bersinar-sinar. Ia kemudian membungkus makanan dan
diminta diantar kembali ke Situ Panjalu. Namun, setelah
seminggu, ia tak keluar-keluar. Ia hilang di dalam hutan Panjalu.
Tak ada yang berani mencarinya. Beberapa peziarah sempat
menyaksikan ada cahaya kemamang atau blorong panas bergerak
di atas cungkup tempat Pak Radjiman biasa menggelar tikar
(Suyono, 2014: 363).
2.2.2.6 Pak Priyambodo
Pak Priyambodo adalah bekas Direktur Departemen Pajak. Pak Priyambodo
tinggal di daerah Taman Margasatwa, Ragunan. Nasib Pak Priyambodo sama seperti
Pak Sinaga, ia juga duda. Meskipun demikian, penggambaran karakter Pak
Priyambodo dalam novel KdDL tidak begitu banyak. Ia juga melakukan banyak
perjalanan spiritual dengan para anggota paguyuban lainnya. Sebagai anggota
paguyuban, Pak Priyambodo juga tidak luput dari kejaran teluh. Berbeda dengan
teman-temannya, nasib Pak Priyambodo tidak berakhir tragis dengan kematian, tetapi
cacat mental. Ia dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa Porong, meski sebelumnya ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
telah dirawat di Penang, Malaysia. Kondisi Pak Priyambodo amat parah. Berikut ini
gambaran mengenai nasib Pak Priyambodo pada kutipan (53).
(53) Tiap hari pasien tersebut ingin masuk ke dalam tong. Suster-
suster di situ terpaksa membawa sebuah tong besar ke kamarnya.
Pasien bernama Priyambodo itu mengurung diri di dalam tong.
Meringkuk sendirian. Bahkan kencing dalam tong. Bila lapar
baru ia menyembulkan kepalanya dari dalam tong. Dan
kemudian perawat-perawat itu menyuapinya. Tim dokter
mengira kebiasaan itu akan lenyap bisa ia menelan pil-pil
penenang. Namun keliru. Ia makin menjadi-jadi. Saat perawat-
perawat memaksa dia berbaring di tempat tidur, dia meronta-
ronta, berteriak-teriak keras kepada para pasien lain, mengajak
mereka memberontak. Semua pasien sakit ingatan yang
mendengar kalimat-kalimat Pak Priyambodo bertepuk tangan,
bersorak-sorak, menari kegirangan (Suyono, 2014: 368-369).
2.2.2.7 Pak Sawito Kartowibowo dan Mr. Soedjono
Sawito Kartowibowo adalah pegawai Departemen Pertanian di Bogor.
Iamerupakan orang di luar paguyuban. Meskipun demikian, Sawito sangat ditakuti
oleh Soeharto. Itulah mengapa kemudian anggota paguyuban ikut menapaktilasi
semua tempat yang pernah didatangi oleh Sawito agar mendapat wahyu sepertinya
untuk menandingi Soeharto. Ia adalah sahabat seperguruan dengan Meneer
Widjanarko – salah satu orang yang juga sangat dihormati para bapak paguyuban.
Sawito sebenarnya bukan tentara, bukan juga anggota partai politik. Ia
sebenarnya hanyalah seorang pegawai negeri biasa asal Blitar. Ketakutan Soeharto
semakin menjadi-jadi setelah mengetahui bahwa Pak Sawito merupakan murid dari
R.M. Panji Trisirah, putra dari Pakubuwono X di Solo – R.M. Panji Trisirah juga
teman baik dari T.H. Sumoharmoyo, bapak tiri Soeharto. Pak Sawito bahkan satu kali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
pernah ditahan atas perintah Jaksa Agung Ali Said dan Menteri Sekretaris Negara
Sudharmono dengan alasan melakukan perencanaan kudeta terhadap Soeharto.
Berikut ini kutipan (54) dan (55) yang menunjukkan mengapa sampai Soeharto
begitu menakutinya.
(54) Ia mencari semacam sisa-sisa wahyu penerus Majapahit yang
dipercayainya belum turun.Wahyu itu satu-satunya kekuatan
yang menurut dia bisa menjatuhkan Soeharto. Hutan dan gunung
yang didatangi Sawito bahkan jauh lebih banyak daripada yang
pernah dikunjungi Soeharto semasa muda. Soeharto ketakutan.
Pada tahun 1976, atas perintah Jaksa Agung Ali Said dan
Menteri Sekretaris Negera Sudharmono, Sawito diambil dari
rumahnya, disel dengan tuduhan merencanakan penggulingan
Soeharto (Suyono, 2014: 208).
(55) “Soeharto menjadi tambah ketakutan, apalagi saat mengetahui
bahwa Sawito adalah murid dari R.M. Panji Trisirah, putra dari
Pakubuwono X di Solo (Suyono, 2014: 210).”
Keberanian Sawito terhadap Soeharto justru dilakukan secara terang-terangan.
Ia membuat cukup banyak petisi yang mengkritik kebijakan-kebijakan Soeharto.
Tidak sedikit pula yang mendukung petisinya, termasuk Bung Hatta dan pemuka-
pemuka agama, Kardinal Yustinus Darmoyuwono, Buya Hamka, T.B. Simantupang.
Berbagai bentuk perlawanan berani Sawito akan dipaparkan lebih lanjut pada bab IV
penelitian ini.
Mr. Soedjono adalah sahabat dekat Pak Sawito. Sebagai sahabat, Mr.
Soedjono banyak menemani perjalanan spiritual Pak Sawito. Ia adalah orang yang
jujur. Ketika bersaksi di pengadilan dalam gelar sidang perkara Pak Sawito, Mr.
Soedjono dengan yakin bersaksi menepis semua dugaan orang yang salah tentang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
bahwa Pak Sawito berbohong. Berikut ini kutipan (56) yang menggambarkan
pendapat Pak Priyambodo tentang kejujuran Mr. Soedjono.
(56) ”Tidak, Meneer! Mr. Soedjono bukan penipu! Saya saat itu juga ada
di persidangan!” tiba-tiba menyeruak dari paling pojok suara Pak
Pariyambodo (Suyono, 2014: 212).
Mr. Soedjono memiliki pengalaman akademis dan karier yang cukup mapan.
Itulah mengapa banyak orang yang tidak meragukan sosok Mr. Soedjono.
Kesaksiannya di pengadilan meyakinkan banyak orang bahwa peristiwa metafisik
yang dialami Pak Sawito bukan persoalan naïf belaka. Seorang intelektual sekelas
Mr. Soedjono pun mempercayainya. Kutipan (57) berikut ini menggambarkan jejak
pendidikan Mr. Soedjono.
(57) ”Terima kasih, Pak Priyambodo. Mr. Soedjono itu memang orang
yang sangat berpendidikan. Mustahil ia mengatakan hal yang ngawur.
Ia menempuh sekolah hukum di Universitas Leiden. Bahasa
Belandanya fasih. Dia menyandang gelar meester inde rechten. Dia
pernah berpraktik sebagai advokad bersama tokoh pergerakan Mr.
Sunario.” (Suyono, 2014: 213).
2.2.2.8 Meneer Widjinarko
Meneer Widjinarko merupakan salah satu simpatisan paguyuban. Secara
keanggotaan ia memang bukan seperti Pak Sinaga atau Pak Djayeng. Akan tetapi, ia
merupakan orang yang sangat disegani oleh para anggota paguyuban. Ciri fisiknya
masih tegap walaupun sudah berusia lanjut. Meneer Widjinarko adalah saudara
seperguruan Sawito. Ia seseorang yang membimbing Sawito. Ia tinggal di kawasan
Cipete. Tanahnya sangat luas. Rumah gedong bergaya kolonial terlindung oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
rerimbunan pohon angsana. Berikut ini kutipan yang menggambarkan rasa hormat
anggota paguyuban kepada Meneer Widjinarko (58).
(58) “Pada hormat banget ya sama Meneer Widjinarko?” kata Jeanne
heran mula-mula saat melihat bagaimana bahkan Pak Sinaga dan
Pak Djayeng, tokoh yang dituakan di paguyuban juga langsung
sungkem saat sang Meneer datang (Suyono, 2014: 207).
Meneer Widjinarko terbilang cukup tua dibanding dengan semua anggota
paguyuban. Namun, usianya bukan menjadi penghalangnya untuk ikut memikirkan
berbagai cara yang bisa dilakukan untuk melawan Soeharto. Ia bersama semua
anggota paguyuban bahkan tidak kelelahan berdiskusi hingga pukul 2 pagi. Meneer
justru yang paling kuat dan ketegasannya tidak berkurang bersama dengan waktu
yang kian pagi. Berikut gambarannya dalam kutipan (59).
(59) Acara berlanjut. Di atas kursi Meneer Widjinarko mengedarkan
pandangannya ke seluruh ruangan. Ia mengajak yang hadir
beradu mata satu persatu. Ia juga menyodorkan matanya ke
Suryo, sang anak ingusan. Ia seakan mengadakan tes kejujuran
bahwa di antara bapak-bapak tidak ada penyusup atau mata-mata
yang melaporkan pertemuan kepada aparat. Pandangan mata
Meneer Widjinarko pada pukul 2 malam tersebut seolah ingin
menegaskan bahwa barang siapa yang matanya mengkeret saat ia
tatap lebih baik keluar sekarang juga. Sorot mata Meneer
Widjinarko pasti mengoyak-ngoyak ulu jantung informan, andai
ia ada (Suyono, 2014: 219).
Dalam diskusi yang panjang hingga pagi tersebut, Meneer Widjinarko
menceritakan menganai perjalanan spiritual dan perjalanan hidup sahabatnya Pak
Sawito dalam menentang kekuatan metafisik Soeharto. Dalam pertemuan tersebut
juga ia memberikan sebuah petunjuk yang semakin meyakinkan anggota paguyuban
untuk tetap berada pada garis oposisi dengan pemerintah. Meneer Widjinarko
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
menjadi orang yang paling penting saat itu. Kutipan (60) berikut ini merupakan inti
dari perbincangan mereka yang berlangsung hingga pagi tersebut.
(60) “Bapak bilang, ia melihat kekuasaan Soeharto tidak akan
berlangsung lama. Ia melihat Soeharto jatuh oleh demo yang
kasar (Suyono, 2014: 221).
2.2.2.9 Pak Koentono
Pak Koentono merupakan bagian dari paguyuban yang beberapa kali hadir
untuk membicarakan banyak hal mengenai filosofi Ganesha. Ia adalah seorang
Sukarnois yang pernah aktif terlibat dalam Partai Nasional Indonesia. Pernah
beberapa kali masuk tahanan karena aktivitas politiknya. Dalam beberapa pertemuan
dengan anggota paguyuban, ia bahkan tidak sungkan untuk membicarakan mengenai
kejelekan Soeharto yang waktu itu terbilang cukup berbahaya. Berikut ini kutipan
(61) mengenai siapa itu Pak Koentono.
(61) Suatu malam misalnya datang seseorang bernama Pak Koentono.
Umurnya 60-an. Ia di masa lalu aktif sebagai anggota PNI: Partai
Nasional Indonesia. Ia seorang Sukarnois. Ia pernah masuk tahanan
karena aktivitas politiknya. Pembawaannya tenang. Pak Koentono,
Selasa Kliwon itu mengisahkan pengalamannya yang bagi Jeanne
sangat aneh. Pak Koentono membeberkan kisah nyata hidupnya
berpuluh-puluh tahun melakukan perjalanan mengurapi arca-arca
Ganesha (Suyono, 2014: 148).
2.2.2.10 Pak Burhan dan Pak Begja
Pak Burhan adalah salah satu anggota paguyuban. Dalam novel KdDL tidak
banyak dikisahkan mengenai siapa Pak Burhan sebenarnya. Pak Burhan juga ikut
dalam berbagai aktivitas paguyuban, baik itu kegiatan pertemuan dikusi maupun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
perjalanan spiritual. Berikut ini kutipan (62) yang menggambarkan kehadiran Pak
Burhan dalam suatu pertemuan paguyuban.
(62) ….Pak Djayeng menambahi keterangan Pak Radjiman dengan
panjang lebar.
Ucapannya disambung Pak Burhan:
”Di pengadilan, Mr. Sudjono masuk dengan gagah. Ia bagai seorang
perwira yang menginspeksi barisan. Tampak betul lelaki yang sudah
banyak makan asam garam. Saya percaya yang diucapkannya benar.
Saya waktu itu terharu sekali mendengarnya. Ia orang jujur.” (Suyono,
2014: 215).
Sama seperti Pak Burhan, Pak Begja juga tidak digambarkan secara jelas
latarbelakangnya. Namun, ia juga merupakan bagian dari setiap aktivitas paguyuban.
Kehadirannya juga memberikan sumbangan yang berharga bagi paguyuban saat
menentukan rute perjalanan spiritual. Berikut ini kutipan (63) yang menggambarkan
peran Pak Begja bagi paguyuban.
(63) ”Pak Sinaga, apakah kita perlu menapaktilasi rute Pak Sawito
menerima wahyu? Saya kira kita perlu. Meski Pak Sawito tidak
mungkin menjadi kepala negara, kita perlu mendapatkan petunjuk-
petunjuk di tempat tersebut mengenai siapa pemimpin-pemimpin
masa depan. Kita perlu wahyu tandingan. Di sana kita bisa memohon
turunnya wahyu tandingan. Wahyu tandingan siapa saja ratu Adil
kelak,Pak Bagja meneluarkan pendapatnya (Suyono, 2014: 251).
2.2.2.11 Abah Moertopo, Bante Poernomo, dan Gus Mutaqqin
Abah Moertopo, Bante Poernomo, dang Gus Mutaqqin merupakan tiga guru
yang didatangkan oleh Paguyuban Anggoro Kasih untuk mengajari kitab-kitab
tentang kematian. Masing-masing dari mereka akan mengajarkan satu kitab.
Pengetahuan mereka mengenai kitab-kitab tersebut berasal dari pengalaman mereka
ketika masih muda.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Abah Moertopo merupakan tokoh tambahan dalam novel KdDL. Ia pernah
hidup di Kathmandu, Nepal dan bertemu dengan kaum hippie asal San Fransisco.
Selama di Nepal, Abah Moertopo pernah mempelajari berbagai yoga dan berbagai
rahasia agama Syiwa dan Mahayana Budhisme. Raut wajah Abah Moertopo memang
keindia-indiaan padahal ia tidak sedikitpun memiliki darah Gujarat ataupun Tamil.
Berikut kutipan (64) yang menggambarkan seperti apa Abah Moertopo.
(64) Raut wajah Abah Moertopo memang tidak keindia-indiaan, apalagi
bila kacamatanya dibuka. Padahal menurut dia sama sekali taka da
setetes darah Gujarat atau Tamil mengalir di tubuhnya. Asalnya
Sragen. Ia kelahiran desa yang masih kawasan purbakala Sangiran.
Jeanne agak kaget karena di awal perkenalan, Abah Moertopo
menyebut-nyebut kaum bohemian San Fransisco tahun 1970-an. Ia
mengaku berkawan dengan para pengikut band Grateful Dead dan
Jerry Garcia (Suyono, 2014: 163).
Abah Moertopo memiliki jiwa “liar” sama seperti kaum hippie dari San
Fransisco. Karakter tersebut yang mendorong Abah Moertopo dengan spontan
mengikuti gerombolan kaum hippie yang sdang mencari jalan ke Kathmandu dan
rela keluar dari tempat kerjanya di kapal pariwisata. Ia tertarik karena di Kathmandu
juga mereka bisa bertemu dengan guru-guru yang dapat mengajarkan perjalanan
astral. Keputusannya saat itu yang menyebabkan Abah Moertopo menguasai Kitab
Bardo Thodol. Berikut ini kutipan (65) yang menggambarkan sebagian perjalanan
Abah Moertopo bertemu dengan kaum hippie.
(65) Jeanne ingat acara pertemuan tersebut dimulai dengan Abah Moertopo
menceritakan bagaimana ia bisa sampai ke Kathmandu. Ia ternyata
orang kapal. Kerja sebagai bartender di kapal pariwisata. Saat
kapalnya menyandar di Pelabuhan New Delhi, ia bertemu dengan
rombongan hippie asal San Fransisco. Anak-anak muda berjanggut
tebal dan berambut pelintir-pelintir panjang itu sehari-hari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
menggelandang dan bermain musik di sepanjang jalan Haight-
Ashbury, pusat bohemian San Fransisco. Abah Moertopo berkenalan
dengan mereka. Ternyata mereka mencari jalan ke Kathmandu.
Menurut mereka, Kathmandu lebih eksotis daripada India. Mereka
ingin sekali sampai ke Kathmandu karena mereka mendengar di sana
ada guru-guru yang mau mengajarkan perjalanan astral. Perjalanan
jiwa keluar dari tubuh. Abah Moertopo tertarik. Ia langsung
memutuskan keluar kerja dari kapal dan bergabung dengan para
hippie itu (Suyono, 2014: 163).
Bante Purnomo memiliki latar belakang sebagai pengurus sebuah wihara
Theravada di daerah Pare. Ia memang bukan seorang bante, tetapi orang
memanggilnya dengan gelar tersebut karena karena pernah tinggal di wihara.
Perawakannya tinggi, wajahnya cerah. Berbekal pengalaman tinggal di wihara
tersebut, ia mendapatkan banyak pengetahuan tentang rahasia ajaran Budhis, salah
satunya kitab yang ia ajarkan kepada anggota paguyuban, yaitu Kitab
Satthapanita.Berikut ini kutipan (66) yang menggambarkan siapa Bante Poernomo.
(66) Pada pertemuan itu datang seseorang bernama Pak Poernomo.
Orangnya tinggi bersih. Parasnya cerah bagaikan baru saja digurah.
Rambutnya disisir ke samping. Umurnya 60-an. Ia mengenakan
kemeja putih lengan pendek bagai seorang guru. Ia bukan seorang
bante, namun anggota memanggilnya bante karena ia pernah tinggal di
sebuah wihara di Sri Lanka.
Pak Poernomo memiliki latar belakang pengurus sebuah wihara
Theravada di daerah Pare. Dalam pertemua itu, ia akan membabar
kitab Budha Satthapanita (Suyono, 2014: 173).
Sebagai seorang pengajar Kitab Budha Satthapanita, Bante Poernomo harus
memiliki daya imajinasi yang baik juga dapat menuntun orang untuk berimajinasi.
Oleh karena Kitab Budha Satthapanita bertolak dari refleksi pembusukan mayat,
maka Bante Poernomo harus dapat menghidupkan imajinasi tentang pembusukan
mayat. Kemampuannya tersebut mengakibatkan anggota paguyuban terbawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
imajinasi dan kewalahan mengatasinya. Kutipan (67) berikut menggambarkan
bagaimana Pak Sinaga menghentikan tuntunan pengimajinasian tentang proses
pembusukan mayat karena tidak mampu lagi melanjutkannya lagi.
(67) ”Stop, stop Bante, stop semua…,” akhirnya Pak Sinaga
memerintahkan Bante Poernomo menyetop latihan malam itu
(Suyono, 201: 176).
Gus Mutaqqin merupakan simpatisan paguyuban yang tinggal di lereng
Merapi-Merbabu. Ialah yang akan mengurai kitab asli Jawa dari zaman Sultan
Agung bernama Kitab Pangrucutan. Ia adalah seorang kiai dengan penampilan
klimis. Berikut kutipan (68) yang menggambarkan Gus Mutaqqin.
(68) Ia adalah seorang kiai yang katanya memiliki sebuah pesantren kecil
di lereng Gunung Merapi-Merbabu. Orangnya sih menurut Jeanne
tidak seperti sosok kiai. Dalam bayangan Jeanne, Gus Mutaqqin
orangnya agak sepuh, berpeci, berjanggut. Tapi ternyata wajahnya
klimis. Rapi. Ia tampak sebagai seorang petugas pelelangan atau
seorang analis kredit. Ia mengenakan hem abu-abu berbalut jas hitam
desa yang necis. Walaupun begitu, pengetahunannya tentang kitab
Pangrucutan cukup luas (Suyono, 2014: 178-179).
Dalam konteks tertentu, Gus Mutaqqin dapat dikatakan polos atau lebih
tepatnya lugas. Ketika melakukan praktik kitab Pangrucutan, dibutuhkan seorang
volounteer untuk menjadi mayat. Salah satu syaratnya ialah zakar dari orang yang
bersedia menjadi mayat tidak boleh dijepit oleh kedua paha, tetapi dihadapkan ke
atas. Saat itu yang menjadi mayat adalah Suryo. Terlambat memperbaiki posisi
zakarnya, Gus Mutaqqin tidak sungkan merogoh sarung Suryo dan membetulkan
sesuai yang diinginkan. Berikut kutipan (69) yang menggambarkan kejadian tersebut.
(69) Yang membuat penglihatan Jeanne tak percaya, Saat Suryo bingung-
dan juga dirinya serta bapak-bapak itu-mengenai apa yang dimaui Gus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Mutaqqin, kiai itu langsung spontan merogoh sarung Suryo dan
tampak memegang kemaluan Suryo. Ia membenarkan posisi titit
Suryo supaya tidak menggelantung terjepit paha (Suyono, 2014: 180-
181).
2.2.2.12 Romo Dijat, Romo Marto, dan Romo Budi
Romo Dijat, Romo Marto, dan Romo Budi merupakan tiga guru Soeharto.
Mereka saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Soeharto biasanya banyak
berkonsultasi dengan mereka jika akan mengambil keputusan-keputusan penting baik
menyangkut kenegaraan, masyarakat, hingga urusan pribadi.
Romo Dijat memiliki karakter yang misterius sekaligus sangat berwibawa.
Itulah mengapa ia sangat dikagumi oleh Soeharto. Sebagai seseorang yang menekuni
aliran kebatinan, Romo Dijat sering melakukan tirakat di pepunden-pepunden
leluhur. Soeharto melihat Romo Dijat untuk yang pertama kali saat melakukan ziarah
di makam Trowulan. Berikut ini kutipan (70) yang menggambarkan mengenai
perangai Romo Dijat.
(70) Pada tahun 1961, saat Soeharto belum menjadi presiden, Romo Marto
menganjurkannya tirakat di Trowulan. Tatkala Soeharto memasuki
sebuah makan di Trowulan, ia melihat seorang lelaku setengah baya
tengah melakukan meditasi dan terlihat berhasil melakukan
komunikasi dengan alam gaib. Lelaki itu sangat karismatik. Aura
menenangkan keluar dari tubuhnya. Soeharto mendadak merasa
tenteram berada di dekat lelaki itu. Seusai melakukan meditasi, lelaki
tersebut meninggalkan Trowulan. Soeharto kagum, terkesan, dan
penasaran dengan lelaki itu (Suyono, 2014: 227).
Romo Marto menjadi guru pertama Soeharto sebelum bertemu dengan Romo
Dijat. Sebagai seorang guru, ia tidak berhenti melatih Soeharto agar semakin peka
dengan suara hatinya. Model pelatihan yang diberikan oleh Romo Marto pun sesuai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
dengan metode latihan aliran kebatinan seperti kungkum ataupun puasa. Telaga Titis
di Jogja menjadi salah satu tempat Romo Marto melatih Soeharto.
Romo Budi merupakan guru ketiga Soeharto. Memang dalam novel KdDL,
tidak banyak disebutkan seperti apa karakter dan perawakan dari Romo Budi.
Perannya membantu Soeharto terutama berkaitan dengan persoalan-persoalan
keluarga Cendana.
2.2.2.13 Sunuwarsono dan Setyarso
Sunuwarsono merupakan ayah Jeanne. Sebagai seorang militer, ia sangat
ketat mendisiplinkan rumah tangganya, termasuk dalam mendidik Jeanne. Kutiapan
(8) di atas menggambarkan seperti apa model kedisiplinan yang ia terapkan ketika
membesarkan Jeanne. Sunuwarsono memiliki seorang ajudan yang bernama
Setyarso.
Tidak heran jika Setyarso menjadi ajudan dari Pak Sunuwarsono. Badannya
cukup kekar. Banyak orang bahkan preman di sekitar tempat tinggalnya yang takut
padanya. Bersama dengan Pak Sunuwarsono, Setyarso pernah bertugas di Timor-
Timur untuk menahan amukan pasukan Fretilin. Berikut ini gambaran mengenai
Setyarso pada kutipan (71).
(71) Setyarso adalah sersan, ajudan ayah Jeanne. Setyarso adalah tentara
yang paling ditakuti kalangan preman seputar Rampal, kawasan
tempat tinggal perwira-perwira dan barak-barak militer Angkatan
Darat-tempat Jeanne tinggal. Setyarso baru keluar dari hutan-hutan
Timor-Timur. Ia lima tahun ditanam di pegunungan untuk mengintai
gerak gerilyawan kiri. Rambutnya cepak. Badannya tinggi kekar.
Kulitnya cokelat gosong. Otot biseps dan triseps pada lenagan atas
dan lengan bawahnya menonjol. Raut mukanya sebenarnya tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
tampak ganas. Namun rahangnya keras. Itu yang membuat
karakternya tampak tegas. Setyarso tampak lebih dewasa dari usia
sebenarnya. Banyak orang yang salah menyangka usianya mendekati
40 (Suyono, 2014: 68-69).
2.2.2.14 Soedjono Hoemardani
Seodjono Hoemardani merupakan sahabat seperguruan Pak Harto. Keduanya
ditabiskan sebagai saudara kebatinan oleh Romo Marto. Selama bersama Soeharto, ia
menjaga Soeharto dan keluarganya. Gambaran mengenai siapa Soedjono
Hoemardani akan disampaikan pada bab III.
2.2.2.15 Phu Tram
Phu Tram bukanlah bagian dari paguyuban. Ia adalah orang yang dikenal oleh
Jeanne saat berkunjung ke Vietnam. Phu Tram adalah seorang penyelam
berpengalaman bersuku bangsa Champa. Sudah sejak lama ia bekerja untuk
pemerintahan Vietnam mengumpulkan barang-barang antik yang tenggelam di
perairan Vietnam seperti Hon Cau, Hon Dam, Cu Lao Cham, Ca Mau, dan Binh
Thuan. Dengan bermodalkan sertifikat resmi penyelam harta karun negara, Phu Tram
telah melakukan banyak ekspedisi ke banyak negera untuk mengumpulkan harta
karun kapal-kapal yang karam. Berbekal kepeduliannya terhadap arca Prajnaparamita
ia mendapat permata yang digunakan untuk membangun kafe Champa; tempat ia dan
Jeanne kemudian bertemu. Berikut digambarkan dalam kutipan (72).
(72) “Manik-manik ini kujual. Lalu uangnya untuk mendirikan kafe
ini, Jeanne,” kata Phu Tram (Suyono, 2014: 107).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Di awal perkenalan Jeanne dengannya, Phu Tram memang sedikit dinilai
Jeanne kurang sopan. Sikap ini yang pada awalnya menjadikan Jeanne sedikit kurang
nyaman dengan upaya Phu Tram untuk memulai percakapan dengan Jeanne. Sikap
kurang sopan tersebut ditunjukkan dalam kutipan (73).
(73) Jeanne bertanya-tanya mengapa lelaki di kursi roda itu (Phu
Tram) mengemukakan hal yang menjijikan kepadanya. Bahasa
Inggrisnya bagus. Namun sungguh kurang sopan santunnya
(Suyono, 2014: 35).
Di balik sikap Phu Tram yang menurut Jeanne itu kurang sopan, sebenarnya
ia adalah pemeluk agama yang taat. Karena ia merupakan keturunan Champa asli,
Phu Tram merupakan pemeluk Islam yang taat. Dalam setiap aktivitas, Phu Tram
selalu memulai dengan mengucapkan bismillah. Menurutnya, semua aktivitas
menyelamnya tidak akan pernah berhasil kalau tidak dimulai dengan doa. Berikut ini
kutipan yang menggambarkan sikap agamais Phu Tram dalam kutipan (74) dan (75).
(74) “Aku selalu mengucapkan bismillah sebelum mengambil barang-
barang di laut itu. (Suyono, 2014: 104)”
(75) Phu Tram mengaku selalu berbekal doa. Ia yakin arwah-arwah
itu tak akan mengganggunya bila ia tak lancang. Mereka
bagaimanapun, tetap makluk Tuhan (Suyono, 2014: 105).
Dalam suatu kali pengalaman pertama Phu Tram menemukan Kuil di Dasar
Laut, ia menunjukkan sikapnya yang ambisius dan penasaran. Dalam penyelaman
yang pertama, ia tidak berhasil untuk memasuki kuil induk. Oleh karena itu, ia
memutuskan untuk melanjutkan di penyelaman yang kedua. Dalam penyelaman yang
kedua tersebut, Phu Tram justru tidak menemukan apa yang ia cari. Kegagalan di
penyelaman kedua ini tidak memupuskan harapan Phu Tram. Ia kembali melakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
penyelaman hingga lima kali. Pada penyelaman tersebut, Phu Tram menemukan kuil
itu lagi. Keahlian Phu Tram sepertinya menjadi alasan mengapa ia kemudian menjadi
nyaman dengan lingkungan bawah laut. Itulah sebabnya sehingga melakukan
eksplorasi bawah laut menjadi hal yang menyenangkan bagi Phu Tram, apalagi dalam
misi mencari sesuatu yang tidak pernah ia temukan sebelumnya – Kuil di Dasar Laut.
Berikut ini kutipan (76) dan (77) yang menggambarkan karakter Phu Tram yang
ambisius dan pantang menyerah.
(76) Ia mengatakan dalam dirinya sendiri bahwa ia harus mampu
berjalan sampai kuil induk. Ia harus bisa memasuki bagian
paling inti dari kuil. Ia telah sampai ke jaba awal. Besok harus
mampu menuju jaba tengah, lalu jaba dalam. Yang ia capai baru
tanah bhurloka. Ibarat tubuh, masih kaki. Belum sampai dada
dan otak. Ia ingin menembus sampai dada dan otak kuil.
Bhuwarloka dan swarloka (Suyono, 2014: 116-117).
(77) Ia mencoba tak menyerah. Baru ketika sampai kelima kali ia
meloncat ke dasar laut, pandangannya menatap kembali stupa
itu. Alhamdulillah! Hatinya bersorak gembira. Seperti tak mau
kehilangan waktu, ia langsung menyusuri trek stupa tersebut.
Kori agung itu tetap berdiri tegak. Baru tiga langkah
memasukinya, ia sudah merasa dari bilik-bilik serambi berbagai
mata menyorot dia. Ia tak peduli (Suyono, 2014: 117-118).
Setelah sekian eksplorasi mencari harta karun dari kapal karam di dasar laut,
pemerintah Vietnam melarang agar penyelam tidak boleh menyelamatkan harta-harta
yang berasal dari kebudayaan Champa. Hal tersebut terjadi karena suku Champa
menjadi musuh Vietnam dan pemerintah Vietnam tidak ingin kebudayaan Champa
menyaingi kebudayaan mereka. Phu Tram sebagai salah satu penyelam yang berasal
dari suku Champa diawasi secara berlebihan agar tidak melanggar peraturan tersebut.
Merasa tidak nyaman dengan perlakuan itu, Phu Tram pun memutuskan untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
melakukan penyelaman ilegal. Ia pula memiliki ambisi untuk menyelamatkan harta
karun suku Champa yang terbenam di dasar laut. Memutuskan untuk melakukan
penyelaman ilegal, Phu Tram pun nekat untuk menyelam dengan peralatan seadanya.
Ia tidak peduli terhadap resiko buruk yang mungkin akan diterimanya. Ia hanya tahu
bahwa tidak ada orang yang dapat menghambat tekadnya untuk menyelam bebas dan
menyelamatkan harta suku Champa. Berikut ini gambaran pada kutipan (78) tentang
sikap nekat Phu Tram untuk tetap menyelam.
(78) Yang gila, ia juga tidak menggunakan peralatan menyelam
standar. Ia sama sekali tak membawa tabung oksigen. Ia hanya
membawa kompresor dengan selang panjang. Sahabat-
sahabatnya dari atas yacht akan menjaga kompresor tersebut dan
mengulurkan selang panjang yang akan menjadi alat
bernapasnya di dasar laut. Sungguh nekat. Ia percaya Allah turut
ambil bagian dalam usaha penyelamatan harta karun Champa
(Suyono, 2014: 99).
Phu Tram juga memiliki wawasan yang luas tentang situs-situs kebudayaan di
Vietnam. Itulah mengapa, Phu Tram memiliki pengaruh yang positif bagi Jeanne
untuk mengenal berbagai tempat kebudayaan yang eksotis di Vietnam. Bukan hanya
menceritakan, Phu Tram bahkan mengajak Jeanne untuk berkeliling ke beberapa
candi. Wawasan Phu Tram tersebut didokumentasikan dalam sebuah daftar candi.
Berikut ini tergambar dalam kutipan (79).
(79) Silahkan baca. Ini daftar candi di Vietnam yang saya buat.”
Jeanne termenung. Ia membolak-balik buku sederhana tersebut.
Tertera berbagai candi yang ada di Vietnam. Tiap uraian
dilengkapi foto hitam-putih. My Son, Dong Doung, Tra Kieu,
Bang An, Chien Dan, Khuong My, Thoc Loc, Huang Thanh, Po
Dam, Phu Hai, Po Nagar…. (Suyono, 2014: 41).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
2.2.2.16 Mualim Satu
Mualim Satu merupakan sahabat Phu Tram yang hobi mengumpulkan benda-
benda spesialis sekaligus ahli terhadap artefak-artefak Champa. Menurut Phu Tram,
lelaki ini seolah merasa bertanggung jawab atas segala harta kekayaan Champa di
dasar laut. Itulah mengapa ia bekerja sama dengan Phu Tram untuk mencari harta
Champa. Phu Tram pun banyak belajar darinya. Di rumah Mualim Satu, banyak
terdapat barang-barang Champa yang ditata layaknya pajangan museum. Benda-
benda tersebut didapatkan dari perairan Vietnam maupun dari berbagai lokasi
punggung bukit Vietnam. Beberapa barang yang diperoleh oleh Phu Tram di dasar
laut dijual kepada sahabatnya ini.
Mualim Satu merupakan orang yang lebih luwes dan cerdas daripada Phu
Tram. Kedatangan Jeanne di rumahnya pun disambut dengan sangat ramah, meskipun
baru pertama kalinya mereka bertemu. Keluwesan Mualim tersebut membuat Jeanne
tidak sungkan dan keberatan untuk bercerita dan berbagi banyak hal. Pada mulanya,
sosok Mualim di dalam pikiran Jeanne adalah pria bertubuh kekar dengan tampak
menyeramkan. Bagaimana tidak, dari cerita Phu Tram, sang Mualim bahkan pernah
mengisap abu pembakaran layaknya mengisap bubuk-bubuk madat. Berikut ini
gambaran mengenai sosok Mualim Satu dan tempat tinggalnya dalam kutipan (80)
dan (81).
(80) Bersamaan dengan itu, muncul sesosok laki-laki dari dalam,
melangkah gesit, melintasi taman menghampiri mereka. Dialah
Mualim Satu. Sang penghisap arwah. Laki-laki yang pernah
mencimeng abu pembakaran tubuh ayahnya itu ternyata
bukanlah seorang pria kekar seperti yang ada dalam bayangan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
Jeanne. Tampangnya sama sekali tak angker. Ia jangkung.
Kurus. Umurnya 60-an. Ia menyongsong mereka (Suyono, 2014:
564).
(81) Orangnya ramah. Jauh lebih luwes daripada Phu Tram. Ia
menuangkan teh dari poci ke cangkir-cangkir. Ia membuka
beberapa stoples camilan dan membujuk Jeanne agar tak
sungkan mencicipi kudapan. Jeanne mengedarkan pandangan.
Seluruh ruangan berdinding kayu papan-papan cokelat. Ia
merasa berada di dalam relung sebuah gua atau di dalam kabin
kapal pinisi. Atau di dalam sebuah tong kosong brendi raksasa
atau perut ikan. Papan-papan kayu itu adalah sirip-sirip dan duri-
duri ikan. Entah kenapa, ruangan terasa cembung. Ia tertarik
dengan seorang wanita berkerudung yang dipasang dengan
pigura indah. Sang Mualim mengenakan sarung. Di satu foto ia
mengenakan destar. Di foto lain songok (Suyono, 2014: 565).
Kehidupan Mualim ternyata tidak sebaik dan sematang dalam gambaran
Jeanne. Ia juga memiliki pengalaman menyedihkan yang banyak merubah
kehidupannya. Istri dan kedua anaknya mengalami peritistiwa yang tragis dalam
perjalanan liburan ke Kamboja. Kala itu, Pol Pot sedang gencar-gencar menjalankan
misinya. Keluarga Mualim tersebut menjadi bagian dari kekejaman yang dilakukan
Khemer Merah. Kejadian tersebut sangat memukul Mualim. Ia turut merasa bersalah
karena mengizinkan istri dan kedua anaknya berlibur pada masa-masa kondisi
Kamboja sedang tidak kondusif tanpa mengantarkan mereka. Berikut ini tergambar
dalam kutipan (82) mengenai kekejaman yang diterima istri dan kedua anak Maulim.
(82) Istri saya saat tiba di kampungnya ketahuan masih berambut
panjang. Ia menolak rambutnya dipotong. Rambutnya katanya
dijambak. Kerudungnya diempaskan. Dia diseret di balai desa
dan kemudian perutnya ditusuk bayonet. Dua anak saya yang tak
bersalah disuruh menggunakan serban, lalu katanya disuruh
meneriakkan kata “Allahu Akbar”, kemudain ditembak, padahal
mereka masih sangat kecil, tak mengerti apa-apa (Suyono, 2014:
571).”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Tidak digambarkan secara jelas apakah kebiasaan madat Mualim terjadi
sebagai pelarian dari kesedihannya. Akan tetapi, bisa dianalisis bahwa kesedihannya
menjadi alasan Mualim untuk terus menerus mengisap bubuk penenang. Jeanne pun
menduga demikian karena dadanya yang sesak mendengar cerita pilu Mualim sejenak
tenang setelah mengisap bubuk yang sama. Sebuah sedotan meringankan segalanya.
(83) Jeanne sendiri juga merasa sebuah sedotan akan melegakannya.
Sebab, setiap kali ia menoleh ke foto wanita berkerudung itu,
dadanya sesak. Air matanya mau meleleh. Baru kali ini ia
mendengar sejarah sedih muslim Champa. Selama ini hanya
penderitaan muslim Palestina yang ia tahu. Sebuah sedotan akan
meringankan segalanya (Suyono, 2014: 572).
Bubuk tersebut berbentuk serbuk cokelat kekuningan dan disimpan dalam
sebuah kotak. Dengan bubuk tersebut Mualim pernah menyaksikan penampakan Kuil
di Dasar Laut seperti yang pernah dilihat oleh Phu Tram dan Jeanne. Bedanya, Phu
Tram hanya bisa memasuki kuil pertama sedangkan Mualim dan Jeanne telah
memasuki kuil kedua. Untuk mencapai kuil ketiga, mereka banyak mengalami
tantangan. Oleh karena itu, Mualim Satu percaya bahwa hanya Jeanne saja yang bisa
memasuki kuil ketiga dan bisa menjawab rasa penasaran Phu Tram dan Mualim Satu.
Bubuk pembayang akan sangat ampuh membantu Jeanne.
(84) Aku yakin, bila kamu mengisap bubuk ini, kamu bisa
menyaksikan lilin yang aku lihat. Juga mampu masuk lebih jauh
daripada aku, sampai ke kuil ketiga. Aku ingin sekali sampai ke
kuil ketiga, Jeanne. Sudah berkali-kali kuisap, tapi tetap
bayanganku tumpul. Aku sadar, memang aku hanya
diperbolehkan sampai ke ruangan kuil kedua. Lalu kudengar dari
Phu Tram ada kamu, Jeanne, yang tanpa mengisap apa-apa bisa
sampai melongok ke kuil kedua. Alhamdulillah, aku tak
menghabiskan bubuk ini. Aku merasa ada orang lain yang tepat
untuk menyedot bubuk ini, Jeanne (Suyono, 2014: 576).”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
2.2.2.17 Souvvana
Souvvana merupakan orang yang dikenal oleh Suryo suatu ketika Suryo
sedang beristirahat di sebuah kafe pastri. Lelaki ini telah tiga hari terus menerus
mengamati keberadaan Suryo. Tidak disangka oleh Suryo, ternyata lelaki tersebut
merupakan orang asli Laos yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap beberapa
tradisi kebudayaan Laos. Berikut ini tergambar dalam kutipan (85) mengenai ciri fisik
Souvvana.
(85) Suryo menaksir umurnya mendekati 60. Sosoknya lebih mirip
hippie Eropa. Melihatnya, Suryo sepintas ingat foto penyair
Bengal Amerika bernama Allen Ginsberg. Seperti Ginsberg
rambut dan janggut putih lelaki itu awut-awutan, pakaiannya
acak-acakan, dan tampangnya selalu terlihat mabuk.
Tampangnya juga mirip tokoh utama, seorang penyelundup, di
film lawas Anjing-anjing Geladak-Suryo lupa namanya (Suyono,
20014: 322-323).
Pada pertemuan pertama dengan Souvvana, mereka berdua dengan cepat
akrab dan saling mempercayai. Tidak sungkan, Souvvana mengajak Suryo untuk
bertandang ke tempat tinggalnya untuk menceritakan banyak rahasia yang belum
pernah diceritakan Souvvana kepada orang lain bahkan kepada orang sebangsanya.
Keterbukaan Souvvana inilah yang membuat Suryo tahu banyak mengenai rahasia
patung Prabang bangsa Laos dan berbagai rahasia lainnya. Suryo diberikan oleh
Souvvana sebuah Prabang Budha yang melindungi Suryo dari kejaran teluh. Berikut
ini tergambar dalam kutipan (86) mengenai sikap kepercayaan Souvvana kepada
Suryo.
(86) Datang ke rumah saya besok. Jangan dibicarakan di sini. Banyak
rahasia yang tidak bisa saya ceritakan di sini.” Janggut putih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
pemilik kedai roti itu bergoyang-goyang saat ia menghela napas
panjang (Suyono, 2014: 334).
2.2.2.18 Phhoung
Phhoung adalah seorang pegawai lepas di Museum 1000 Buddha - museum
milik pemerintah Kamboja di Siem Reap. Phhoung dikenal Suryo dari seorang
temannya, karyawan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta yang
memberi banyak proyek pembuatan buku mengenai candi-candi di Jawa. Phhoung-
lah yang menjadi pemandu wisata bagi Suryo selama mengadakan riset di Kamboja.
Penampilan Phhoung yang menarik menjadikan Suryo merasa puas didampingi oleh
Phhoung. Bukan hanya itu saja, Phhoung bahkan bersedia menjadi quide di luar
museum. Berikut ini gambaran mengenai ciri fisik dan sebab ketertarikan Suryo pada
Phhoung dalam kutipan (87).
(87) Mereka bertemu di Museum 1000 Buddha. Begitu bersua, Suryo
segera manangkap kemandirian Phhoung. Perempuan itu
berambut pendek, hampir cepak malah, namun sangat feminis
auranya. Ia gesit dan cekatan meladeni semua rasa ingin tahu
Suryo. Ia fasih benar isi perut Museum 1000 Buddha. Ia
menjelaskan kepada Suryo seluruh koleksi museum secara detail.
Ia mengatakan, sebelum terjun ke lapangan memang lebih baik
memahami dulu isi museum. Yang membuat Suryo senang,
perempuan yang selalu menggunakan rok ini menyediakan diri
menjadi guide di luar museum (Suyono, 2014: 523-524).
Tinggal di Kamboja, Phhoung juga keluarganya pernah mengalami masa-
masa berat ketika Pol Pot berkuasa. Bapaknya terlibat dalam misi besar Pol Pot
sebelum misi tersebut berubah menjadi misi berdarah. Ayah Phhoung bertugas
sebagai fotografer para calon korban pembantaian orang-orang Pol Pot. Awal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
keterlibatan tersebut memang murni karena kagum kepada Saloth Sar (nama asli Pol
Pot), tetapi ayah Phhoung jadi tak bisa berbuat apa-apa setelah kekejaman Khemer
Merah mulai merajalela. Berikut ini dibuktikan dalam penggalan ungkapan Phhoung
dalam kutipan (88).
(88) “Aku tak suka! Soalnya, Bapakku pernah bekerja di Tuol Sleng
(Killing Field), Sur!” (Suyono, 2014: 526).
2.2.2.19 MdDSSG
Mahasiswa dan demonstrasi simpatisan Sebastiao Gomes merupakan
masyarakat Timor-Timor yang melakukan aksi demostrasi di pemakaman Santa
Cruz. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang telah jenuh dan marah
atas kematian rekan mereka Sebastiao Gomes. Gambaran mengenai mereka dan aksi
demonstrasi yang dilakukan oleh mereka akan dibahas pada bab III.
2.3 Latar
Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu,
dan sosial. Ketiga unsur ini walau masing-masing menawarkan permasalahan yang
berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan
saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Sebagaimana dipaparkan dalam poin
1.6.1.2, penelitian ini hanya menganalisis latar tempat dan waktu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
2.3.1 Latar Tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan
dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat
dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.
Tempat yang dianalisis dalam novel KdDL ialah lokasi-lokasi yang dilalui
oleh anggota paguyuban dan tokoh-tokoh lain yang melakukan counter-hegemoni.
Selain itu, dianalisis tempat-tempat yang dikunjungi oleh Jeanne dan Suryo selama di
luar negeri seperti Kamboja (Angkor Wat, Pnom Bakheng, Preah Khan, Banteay
Srey, Bayon, Siem Reap, dan Café Red Piano), Vietnam (Hoi An, Da Nang, My Son,
Nha Trang, dan Café Champa) , Laos (Luang Prabang dan Kafe Pastri). Tempat-
tempat di luar negeri juga ikut dianalisis meskipun di lokasi tersebut tidak terjadi
counter-hegemoni (secara politis) karena menjadi tempat pelarian. Pelarian tersebut
dimaknai oleh peneliti sebagai bentuk perlawanan lain (apolitis)6 yang dilakukan-
Jeanne dan Suryo. Di lokasi tersebut, mereka masih dihantui oleh konsekuensi pernah
terlibat dalam perjalanan spiritual paguyuban melawan Soeharto. Tempat-tempat
yang dianalisis dalam penelitian ini, yaitu, Timor Timur (Santa Cruz), Jakarta
(Glodok, Klender, Matraman, Taman Mini Indonesia Indah, Jalan Margasatwa
Ragunan, dan Kawasan Cipete), Cirebon (Jambe Lima, Jambe Pitu), Ngawi (Alas
6 Dalam penelitian ini, peneliti berusaha juga untuk mengungkapkan bentuk perlawanan yang
apolitis. Bahwa sebuah perlawanan tidak semestinya ada kontradiksi yang nampak kasat mata
lewat tindakan perlawanan dan pertantangan. Perlawanan dapat pula dilakukan dengan
menjauh/berlari dari permasalahan yang ada untuk menncari jalan keluar dan menghidar dari
segala dampak dari permasalahan yang telah dihadapi sebelumnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Ketonggo), Perbatasan Kudus-Jepara (Gunung Sapto Renggo), Pulau Situ Panjalu,
Padang Lawas, Yogyakarta, Samudra Laut Cina Selatan (Kuil di Dasar Laut),
Kamboja (Angkor Wat, Pnom Bakheng, Preah Khan, Banteay Srey, Bayon, Siem
Reap, dan Café Red Piano), Vietnam (Hoi An, Da Nang, My Son, Nha Trang, Café
Champa) , Laos (Luang Prabang dan Kafe Pastri).
2.3.1.1 Santa Cruz, Timor-Timur
Santa Cruz merupakan salah satu kawasan pemakaman di Timor Timur.
Nama tempat ini memang tidak banyak ditemukan di buku sejarah karena memang
kejadian di tempat ini sejak masa Orde Baru sengaja disembunyikan oleh pemerintah.
Di tempat ini pernah terjadi perlawan keras yang dilakukan oleh simpatisan Sebastiao
Gomes. Mereka tidak gentar menghadapi pihak militer yang waktu itu bersenjata.
Cukup banyak korban yang berjatuhan di tempat ini saat hari kejadiannya. Berikut ini
kutipan (89) dan (90) yang menggambarkan Santa Cruz sebagai tempat berdarah di
tahun 1991.
(89) Benar ternyata Santa Cruz adalah nama pemakaman yang
disembunyikan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 1991, tentara
Indonesia membantai ratusan warga Dili di situ. Peritiwa itu
diawalai rombongan mahasiswa Timor Timur yang menyekar
nisan Sebastiao Gomes, rekan mereka yang sebulan sebelumnya
ditembak oleh tentara. Warga ikut berduyun. Para mahasiswa
menggelar spanduk protes. Mereka mengangkat-angkat foto
Xanana Gusmao. Simpati mengalir. Mereka bersama warga
meneriakkan yel-yel referendum (Suyono, 2014: 81).
(90) Tentara Indonesia datang. Mereka membubarkan secara paksa
demonstrasi. Mahasiswa melawan. Tentara Indonesia tanpa
ampun memberondongkan peluru. Mahasiswa tunggang
langgang, meloncati nisan-nisan kuburan. Namun, tentara kalap,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
peluru mereka menerjang, sampai puluhan korban terkelungkup
berdarah di nisan-nisan orang lain. Mereka menjadi mayat di atas
mayat yang telah berada lama di bawah tanah (Suyono, 2014:
81).
2.3.1.2 Jakarta
Sebagai pusat pemerintahan, Jakarta sangat gencar terjadi peristiwa-peritiwa
yang menggelisahkan masyarakat. Berikut ini beberapa lokasi di Jakarta yang
dianalisis peneliti menjadi tempat terjadinya tindak kekerasan aparat dan tempat
bangkitnya kelompok penentang pemerintah.
A. Glodok, Klender, Matraman
Klender merupakan lokasi yang meninggalkan mimpi buruk bagi Jeanne. Ia
dengan mata kepala sendiri menyaksikan berbagai kerusuhan dan pembakaran
gedung-gedung. Toserba Yogya menjadi salah satu bangunan terbakar yang hampir
dikunjungi Jeanne sebelum kejadian. Peristiwa saat itu di tempat ini menyisahkan
banyak hal mengerikan. Selain itu, terjadi juga di kawasan lain seperti di Matraman
juga terjadi hal yang mengerikan. Toko-toko kamera direngsek dan barang-barang
mahalnya dijarah massa. Berikut ini kutipan (91) dan (92) yang menggambarkan
kengerian peristiwa tersebut.
(91) Klender, Jakarta Timur, 1998, Toserba Yogya. Hanya logo
merahnya yang masih terlihat jelas terbaca. Seluruh dindingnya
gosong. Seberapa banyak mayat yang hangus terbakar masih
misterius orang yang hilang mencapai ratusan. Dan korban
terbanyak adalah ibu-ibu dan anak-anak yang tengah berbelanja.
Mereka hangus bertumpuk-tumpuk, saling lengket. Mereka
terjebak api, tersetrum sana-sini. Ibu-ibu dan anak-anak itu
menjadi arang. Bau anyir sampai tercium jauh keluar Sore
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
menjadi sangat menakutkan. Malam katanya ada sayup-sayup
suara tangisan menyayat dari dalam reruntuhan toserba yang
terdengar sampai trotoar (Suyono, 2014: 137).
(92) Tanggal 13 Mei 1998. Hari itu Jakarta demikian tak menentu.
Penjarahan di mana-mana. Di berbagai showroom, mobil-mobil
dikeluarkan oleh amuk massa dan rame-rame disiram bensin.
Kaca-kaca toko dipecahkan, televisi-televisinya digondol.
Tentara hanya berdiri membiarkan massa yang beringas. Di
kawasan Matraman, massa merengsek masuk ke Gedung Fuji
Film. Mereka memecahkan kaca, berebutan masuk, menggondol
kamera-kamera dan lensa-lensa Canon, Nikon, Yashica, dan
handycam-handycam Sony yang termahal. Glodok mengerikan.
Salah satu bagian terparah adalah Toserba Yogya di kawasan
Klender. Dengan mata kepala sendiri, Jeanne melihat toserba ini
dijilat api (Suyono, 2014: 138).
B. Taman Mini Indonesia Indah
Taman Mini Indonesia Indah merupakan lokasi yang digunakan oleh
paguyuban untuk melaksanakan pertemuan Anggoro Kasih. Anggoro Kasih adalah
malam penuh rahmat yang biasanya jatuh di malam Selasa Kliwon. Oleh karena itu,
Taman Mini Indonesia Indah menjadi salah satu yang penting bagi paguyuban.
Berikut digambarkan dalam kutipan (93).
(93) … Para bapak itu anggota paguyuban pertemuan Anggoro Kasih
yang sebulan sekali acaranya diselenggarakan di Taman Mini
Indonesia Indah (Suyono, 2014: 144).
C. Jalan Marga Satwa, Ragunan
Jalan Marga Satwa, Ragunan merupakan lokasi rumah Pak Danisworo. Di
tempat ini juga terjadi sebuah pertemuan yang berkesan karena mempertemukan
murid-murid Romo Dijat, Meneer Widjanarko, dan lingkaran Jalan Diponegoro.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
Mereka adalah kaloborasi yang kuat untuk menentang kekuatan spiritual Soeharto.
Dalam pertemuan di tempat ini, mereka membahas banyak hal penting, termasuk
ramalan bahwa Soeharto akan turun oleh demo yang kasar dan juga perencanaan rute
perjalanan spiritual anggota paguyuban. Berikut ini tergambar dalam kutipan (94).
(94) Jalan Taman Margasatwa, Ragunan. Rumah Pak Danisworo.
Sore itu semua anggota paguyuban berkumpul. Mereka kembali
lagi seperti sedia kala, tanpa murid-murid Romo Dijat, Meneer
Widjanarko, atau lingkaran Jalan Diponegoro. Wajah Pak
Djayeng, Pak Burhan, Pak Sewaka, Pak Radjiman, Pak
Priyambodo, Pak Koentono, Pak Sinaga. Muka bapak-bapak itu
kuyu. Tampak belum tidur. Pak Darsono yang biasanya klimis
kini awut-awutan. Bahkan ia mengenakan kemeja yang terlihat
ada bekas-bekas tersundut rokok (Suyono, 2014: 246).
D. Kawasan Cipete
Kawasan Cipete, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan merupakan lokasi rumah
dari Meneer Widjanarko. Di tempat ini untuk pertama kalinya dipertemukan tiga
kelompok yang sebelumnya tak saling mengenal. Pertama, kelompoknya sendiri,
pengikut Sawito Kartowibowo. Kedua, paguyuban lingkaran Pak Sinaga, Pak
Burhan, Pak Djayeng, dan lain-lain. Ketiga, adalah kelompok bekas murid Romo
Dijat dan Romo Marto. Dalam pertemuan di tempat ini, mereka banyak membahas
mengenai perjalan spiritual Soeharto. Berikut ini kutipan (95) bukti yang
menunjukkan keberadaan rumah Meneer Widjanarko.
(95) Rumah sang Meneer Widjanarko di Kawasan Cipete. Tanahnya
sangat luas. Rmuah gedong bergaya colonial itu terlindungi oleh
rerimbunan pohon angsana (Suyono, 2014: 223).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
2.3.1.3 Yogyakarta
Yogyakarta merupakan salah satu tujuan dari perjalan spiritual paguyuban.
Tempat di Yogyakarta yang mereka cari adalah sebuah telaga yang bernama Telaga
Titis. Dalam bahasa Jawa, kata “titis” adalah „tepat sasaran‟. Tempat tersebut
merupakan tempat Soeharto dilatih oleh Romo Marto untuk mengindra dan
mencermati gerak-gerik hatinya sendiri. Tempat inilah yang kemudian dituju oleh
anggota paguyuban untuk melakukan hal yang sama dengan Soeharto kungkum
sepanjang malam. Berikut ini kutipan (96) yang menggambarkan Yogyakarta sebagai
salah satu tempat tujuan perjalanan spiritual paguyuban.
(96) Siang itu Yogya panas sekali. Kawasan berbukit kapur itu begitu
gerah. Badang lengket semua. Begitu duduk, lehernya terseka
angin semilir. Tadi ia pikir kawasan ini jauh dari hotel. Ternyata
sekitar 40 menit dari Prawirotaman. Jalannya berkelok-kelok
melalui Pabrik Gula Madukismo dan kalau tidak salah desa
perajin guci-guci Kasongan. Kata sopir yang mengantar tadi,
kawasan ini dekat padepokan Bagong Kussudiardja. Mana
padepokannya, Jeanne tak tahu (Suyono, 2014: 261).
2.3.1.4 Bhairo Bahal, Padang Lawas
Bahiro Bahal merupakan lokasi pemujaan kepercayaan Heruka atau
Bhairawa. Letaknya di Padang dekat Medan. Perjalan ke tempat ini dilakukan oleh
Pak Sinaga dan beberapa anggota paguyuban termasuk Suryo. Misi perjalan mereka
ini ialah untuk berdoa di kawasan Bairo Bahal agar pada masa penumbangan
Soeharto, tidak terjadi pertumpahan darah yang banyak. Mereka ke lokasi untuk
karena ada hubungan Padang Lawas dengan kepercayaan Heruka dan kepercayaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Bhairawa – Bhairawa merupakan perwujudan Syiwa tatkala mengamuk menjadi
raksasa. Penganut kepercayaan ini melakukan praktik kanibalisme. Kepercayan
Heruka atau Bhairawa ini dipercaya masih bergolak dalam bawah sadar masyarakat
kita (lih. Suyono, 2014: 254). Kepercayaan ini bisa saja muncul spontan saat terjadi
kerusuhan. Berikut ini kutipan (97) yang menggambarkan Bhairo Bahal.
(97) Pak Sinaga lalu menguraikan betapa sampai sekarang masih
susah mencapai Bairo Bahal. Daerahnya sangat tandus, tapi
sangat luas, berhektar-hektar. Pak Sinaga mengenang, saat ia
masih kecil, Bairo Bahal sama sekali belum dijamah arkeolog.
Di padang gersang Bairo Bahal, di sana-sini, ia menyaksikan
puing-puing candi batu bata. Betapapun candi-candi itu sekarang
sudah sedikit-sedikit direkonstruksi, masih banyak yang masih
reruntuhan atau bekas-bekas (Suyono, 2014: 255).
2.3.1.5 Jambe Lima dan Jambe Pitu, Cilacap
Jamber Lima merupakan lokasi tujuan anggota paguyuban setelah melakukan
perjalanan ke Medan dan Yogyakarta. Tujuan kedatangan mereka ke sini sebenarnya
untuk melanjutkan perjalanan ke seberang pulang bernama Pulau Biru Majeti. Di
tempat tersebut tumbuh bunga wijayakusuma yang dipercaya sebagai simbol
kekuasaan Soeharto. Berikut ini kutipan (98) yang menyebutkan Jambe Lima sebagai
salah satu persinggahan anggota paguyuban.
(98) Tiga puluh menit. Begitu sampai, bapak-bapak itu langsung
menyelonjorkan kaki di bawah pohon. Pak Sinaga mengedarkan
cangkir-cangkir jahe hangat yang disedu dari termos yang
dibawa lelaki penjemput. Jeanne mengedarkan matanya
mengitari tempat bernama Jambe Lima atau Cemara Seta ini.
Jeanne mencari lima pohon pinang yang katanya menjadi
penanda lokasi ini, tapi tak ketemu.Tempat ini kotor sekali. Daun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
yang berjatuhan tak pernah disapu, menumpuk. Ia melihat ada
beberapa bilik kecil tak jauh dari mereka (Suyono, 2014: 277).
Setelah dari Jambe Lima, anggota paguyuban bertolak ke Jambe Pitu. Letak
Jambe Pitu dari Jambe Lima menanjak. Oleh sebab itu mereka dijemput oleh 6 motor
khusus untuk diangkut ke Jambe Pitu. Berikut ini gambaran Jambe Pitu di mata
Jeanne dalam kutipan (99).
(99) Jambe Pitu dalam amatan Jeanne lebih kotor daripada Jambe
Lima. Setelah Romo Dijat berpulang, tempat itu menurut Pak
Burhan tak terawat. Pak Harto sendiri sudah lama tak lagi pernah
datang ke tempat ini (Suyono, 2014: 281).
2.3.1.6 Gunung Sapto Renggo
Gunung Sabto Renggo merupakan tujuan perjalanan anggota paguyuban
setelah dari Cilacap. Gunung Sapto Renggo terletak di perbatasan Kudus-Jepara.
Perjalanan ke tempat ini sebenarnya menapaktilasi perjalanan Pak Sawito untuk
menemukan batang kayu hutan langkah yang menurut R.M.Panji Trisirah diberikan
oleh Tuhan sebagai bahan tongkat komando. Berikut ini kutipan (100) yang
menggambarkan persiapan anggota paguyuban menuju Sapto Renggo.
(100) Jeanne melihat, untuk ke Sapto Renggo, persiapan anggota
paguyuban lebih sibuk. Di Kudus itu, Gus Mutaqqin menyewa
sebuah sebuah tenda hijau sangat besar. Tenda besar yang
biasanya digunakan untuk latihan-latihan tentara. Tenda yang
biasa menampung lebih dari 20 orang. Tenda itu dibutuhkan
lantaran di Sapto Renggo tidak ada bangunan atau bilik
sebagaimana di Jambe Pitu, Cilacap. Sapto Renggo memang
masih hutan (Suyono, 2014: 289).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
2.3.1.7 Alas Ketonggo, Ngawi
Alas Ketonggo menjadi tujuan perjalanan selanjutnya anggota paguyuban.
Alas Ketonggo terletak sekitaran lereng Gunung Lawu dekat anak sungai Bengawan
Madiun. Menurut cerita, di Alas Ketonggo ini Pak Sawito mendapatkan sebuah
kerajaan. Kerajaan tersebut memang tidak terlihat oleh mata awam. Perjalanan
anggota paguyuban menuju ke sana sebenarnya dengan harapan agar mereka juga
bisa mendapatkan takhta kerajaan tersebut. Berikut ini merupakan gambaran
menganai Alas Ketonggo pada kutipan (101).
(101) Alas Ketonggo memang lebih mengerikan daripada Sapto
Renggo. Hutannya pekat. Masih sore sudah gelap. Di Alas
Ketonggo itu, rombongan dijemput oleh seorang juru kunci
bernama Saleh Pandan. Ini mengejutkan Pak Sinaga dan bapak-
bapak lain karena kedatangan mereka sesungguhnya diam-diam.
Saleh Pandan mengatakan 40 hari sebelumnya ia menerima
bisakan bahwa akan ada rombongan dari Jakarta datang. Jeanne
ingat bagaimana Pak Sinaga dan Pak Djayeng girang bukan
kepalang mendengar pernyataan Saleh Pandan tersebut (Suyono,
2014: 292).
2.3.1.8 Situ Panjalu
Situ Panjalu merupakan pulau yang pernah dinapaktilasi oleh Pak Radjiman.
Di tempat ini pulalah Pak Radjiman hilang dan tidak ditemukan lagi. Kondisi di Situ
Panjalu memang menyeramkan. Tidak banyak orang yang bertahan lebih dari
seminggu di sana. Berikut ini gambaran mengenai Situ Panjalu dalam kutipan (102).
(102) Udara di dalam Situ Panjalu sangat lembab dan dingin. Di situ
teradapat ratusan cungkup makam tua. Para peziarah yang berani
bermalam di hutan biasanya akan bertapa di cungkup-cungkup.
Di dalam hutan masih ada berseliweran harimau, ular, dan babi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
hutan, baik asli maupun jadi-jadian. Suara nafas geram harimau
yang mendekati tubuh dan seringainya yang seolah-olah
digoreskan ke leher bukan hal yang asing bagi peziarah. Mereka
tahu itu harimau jadi-jadian. Mereka yang nyalinya tinggi bisa
bertahan berhari-hari. Namun biasanya tak lebih dari seminggu.
Mereka berharap di antara waktu itu menemukan jimat di celah-
celah cungkup (Suyono, 2014: 363).
2.3.1.9 Laut Cina Selatan
Laut Cina Selatan merupakan wilayah yang biasa dituju oleh Phu Tram untuk
melakukan penyelaman ilegal. Penyelaman ini dilakukan sebagai bentuk
perlawanannya pada pemerintah Vietnam cukup memberi diskriminasi dan
pembatasan kepadanya. Dengan menyelam di tempat ini, ia mengumpulkan berbagai
benda-benda antik suku Champa secara bebas meskipun tanpa alat yang memadai. Di
salah satu titik penyelaman di wilayah Laut Cina Selatan inilah Phu Tram
menemukan Kuil di Dasar Laut. Phu Tram akhirnya melakukan beberapa kali
penyelaman di tempat tersebut untuk mengetahui lebih jauh mengenai kuil itu.
Berikut ini kutipan (103) yang menunjukkan Laut Cina Selatan sebagai salah satu
wilayah penyelaman ilegal yang dilakukan oleh Phu Tram.
(103) Ia ingat hari nahas itu hari Kamis. Ia kembali ke Samudra Laut
Cina Selatan. Tak ada tanda-tanda cuaca buruk. Ia
mempersiapkan selang sepanjang hampir 80 meter. Ia
mengucapkan bismillah sebelum melompat ke air (Suyono,
2014: 111).
2.3.1.10 Kuil di Dasar Laut
Kuil di Dasar Laut merupakan sebuah tempat bangunan yang ditemukan oleh
Phu Tram dalam beberapa kali penyelaman di Laut Cina Selatan, Mualim Satu dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
pengaruh bubuk pembayang, dan Jeanne dalam mimpi-mimpinyanya. Dalam
gambaran mereka, Kuil di Dasar Laut itu begitu indah dan belum pernah melihat kuil
yang sebagus itu. Berikut ini penuturan Phu Tram mengenai gambaran Kuil di Dasar
Laut sebagaimana ia saksikan saat menyelam.
(104) “Aku melihat sosok sebuah kuil di kejauhan. Kuil itu berjenjang-
jenjang ke atas. Apakah itu fatamorgana? Kuil itu lebih indah
dari kuil mana pun yang pernah aku datangi. Jenjang di
belakangnya membentuk lapis-lapis perpaduan blenduk-blenduk
kubah. Aku sudah ke mana-mana. Ke Kamboja, ke Thailand, Sri
Lanka, Laos, Burma, menyusuri candi-candi. Namun, kurasa
lebih elok kuil ini, Jeanne.” (Suyono, 2014: 113)
Kuil tersebut terdiri dari tiga bagian. Kuil pertama, kedua, dan ketiga. Dalam
beberapa kali upaya yang dilakukan mereka bertiga, tidak satu orang pun yang
berhasil mencapai kuil ketiga. Itulah mengapa, Mualim Satu meyakini bahwa yang
dapat memasuki kuil ketiga hanyalah para pandita yang telah memiliki ilmu tinggi.
Dalam upaya memasuki setiap sudut kuil, Mualim Satu biasanya menggunakan
bubuk pembayang. Dengan kadar dosis tertentu, Mualim Satu dapat masuk hingga
kuil kedua. Meskipun menggunakan dosis yang tinggi, kuil ketiga tetap sukar dicapai.
Itulah mengapa, Mualim Satu sangat meyakini hanya Jeanne-lah yang dapat
memasuki kuil ketiga. Keyakinannya muncul karena pengalaman Jeanne sebelumnya
bisa membayangkan penampakkan kuil satu dan dua tanpa mengkonsumsi bubuk
pembayang, apalagi jika Jeanne sampai menggunakannya. Berikut ini kutipan (105)
yang menggambarkan pemahaman Mualim Satu mengenai kuil ketiga – kuil yang
sukar mereka capai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
(105) “Kuil ketiga itu terlarang bahkan untuk sesama pandita. Para
sulinggih yang belum mencapai taraf tertentu tak diperbolehkan
masuk. Kuil tersebut tempat para pandita senior melakukan
latihan-latihan menerbangkan roh seperti yang pernah mereka
lihat di Jawa (Suyono, 2014: 573).
Perbincangan mengenai Kuil di Dasar Laut dalam novel ini cukup serius.
Meskipun sebenarnya, penampakkan kuil tersebut hanya merupakan fatamorgana dari
imajinasi Phu Tram, Jeanne, dan Mualim Satu. Hanya saja ada sedikit keunikan yang
terjadi di antara mereka bertiga. Mereka melihat penampakkan kuil dengan bentuk
yang sama persis. Mualim menceritakan mengenai apa yang dilihatnya saat terlintas
dalam penglihatan membuat Jeanne kaget. Itu karena apa yang disaksikan oleh
Mualim persis sama dengan apa yang disaksikan oleh Jeanne. Jika kuil tersebut hanya
merupakan hasil dari fantasi mereka masing-masing maka tentu bayangan tentang
kuil tersebut akan berbeda-beda. Itulah sebabnya, dapat digambarkan bahwa
sebenarnya Kuil di Dasar Laut merupakan representasi sesuatu yang kadar
pemahamannya sama di antara Jeanne, Phu Tram, maupun Mualim Satu. Berikut ini
gambaran dalam kutipan (106) mengenai kesamaan penampakkan Kuil di Dasar Laut
dalam penglihatan Jeanne dan Mualim Satu.
(106) Jeanne terkesima. Apa yang dilaluinya juga dilalui oleh Mualim
Satu. Bagaimana bisa? Ia mulai percaya bahwa memang kuil itu
benar-benar ada. Kuil itu tak hanya ada dalam benak, tapi
memang karam di dasar laut. Phu Tram, dirinya, dan Mualim
Satu menyaksikan melalui jalan yang berbeda. Dan kini jalan
yang mereka tempuh sendiri-sendiri mulai hendak disamakan.
Jeanne mulai yakin dengan khasiat bubuk yang diisap Mualim
Satu (Suyono, 2014: 575).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Baik Phu Tram, Jeanne, maupun Mualim Satu memiliki pengalaman yang
pahit dalam kehidupan mereka. Phu Tram memiliki pengalaman didiskriminasi oleh
orang-orang Vietnam dalam setiap upayanya untuk menyelamatkan harta bangsanya.
Ia diperlakukan tidak wajar dan nyaris dibunuh suatu ketika saat menyelam oleh
orang-orang Vietnam. Kenyataan direpresi oleh pemerintah Vietnam yang
membuatnya untuk melakukan perlawanan dengan cara keluar dari kelompok
penyelaman negara dan melakukan penyelaman ilegal. Mualim Satu mengalami nasib
buruk ditinggal oleh istri dan kedua anaknya secara tidak wajar. Selama hidupnya ia
menyesal karena mengizinkan istrinya untuk liburan ke Kamboja hingga mereka
terbunuh dengan kejam oleh tangan orang Khemer Merah. Ia melawan kesedihannya
dengan madat. Jeanne mengalami nasib buruk karena dikejar oleh teluh sejak
melakukan perlawanan terhadap dunia metafisik Soeharto. Nasib rumah tangganya
dengan mas Tubagus juga hancur di tengah jalan. Ia “melawan” masalah
kehidupannya dengan melakukan perjalanan ke luar negeri.
Kuil di Dasar Laut - secara khusus kuil lapisan yang ketiga – dapat
digambarkan semacam representasi keagungan zat tertinggi yang bisa menjawab
berbagai persoalan orang-orang dengan serangkaian tantangan dalam hidup. Untuk
mencapainya, diperlukan berbagai upaya yang tidak mudah. Tidak sembarang orang
pula yang dapat melihatnya. Kuil lapisan ketiga menjadi kuil teragung. Di sana
bersemayam hal yang tidak dapat dimengerti oleh siapa pun sebelum mencapainya.
Dalam novel KdDL, penampakan Kuil di Dasar Laut hanya dilihat oleh Jeanne,
Mualim Satu, dan Phu Tram, tokoh-tokoh yang memiliki serangkaian persoalan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
hidup. Itulah mengapa mencapai kuil ketiga merupakan kerinduan dari mereka.
Dengan segala upaya, mereka bertekad untuk mengetahui isi kuil ketiga.
(107) Semoga engkau bisa masuk ke kuil ketiga. Semoga engkau bisa
mencapai alam tantrayana itu. Kalau bisa masuk, jangan lupa
doakan kami, Jeanne (Suyono, 2014: 606).”
Untuk mencapai representasi keagungan tertinggi itu memang tidaklah
mudah. Banyak hal yang harus ditinggalkan. Bahkan orang-orang yang dicintai.
Dalam novel KdDL, digambarkan bagaimana Jeanne dikejutkan dengan kehadiran
ayah, suami, dan anaknya bernama Meyra. Mereka jelas menentang Jeanne agar tidak
terus berupaya memasuki kuil ketiga. Secara manusiawi, tentunya nasehat orang tua
dan larangan orang-orang yang dicintai menjadi hal yang paling sulit untuk
diabaikan, demikian juga Jeanne. Namun, kehadiran keluarganya tersebut justru tidak
menggetarkan hari Jeanne. Ia tetap menjalankan niatnya yang selama ini terus
menggerogoti hatinya. Dengan mengabaikan kehadiran dan nasihat orang-orang
terdekatnya, Jeanne tetap memasuki kuil ketiga. Berikut tergambar dalam kutipan
(108) dan (109) godaan yang menghambat niat Jeanne memasuki kuil ketiga.
(108) “Jeanne, jangan masuk ke kuil Champa itu. Nduk, jangan
menjadi pelacur kuil….” Sang Ayah menatap tajam dirinya
(Suyono, 2014: 607).
(109) “Ya, Itu sebuah sekte dari Syiwa-Budhis yang menganggap jalan
pencerahan bisa dilakukan pada saat ini juga. Tak perlu
reinkarnasi berkali-kali. Aku percaya bubuk yang diisap atau
dihirup oleh pandita yang tubuh dan jiwa mereka telah
dipersiapkan memotong kelairan kembali yang berulang-ulang.
Bubuk ini disedot menggunakan pipa panjang atau dihirup
langsung dari hidung. Aku yakin kuil ketiga yang belum kita
lihat itu adalah kuil terinti tempat pendeta melakukan ritual
mengisap bubuk semacam ini..(Suyono, 2014: 573).”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Sebagaimana digambarkan dalam kutipan (108), Kuil di Dasar Laut
merupakan kuil milik bangsa Champa, milik bangsa Phu Tram dan Mualim Satu.
Kuil di Dasar Laut menjadi semacam pengingat bahwa pemberontakkan yang
dilakukan oleh pasukan Sabil, Demak dibantu oleh Suku Champa, suku yang
kononnya bersahabat dekat dengan orang-orang Champa untuk menjatuhkan kerajaan
Majapahit. Dapat dikatakan bahwa suku Champa rupanya berpura-pura bersahabat
dengan orang-orang Jawa zaman dulu untuk merebut hati orang Jawa sebelum
akhirnya menyerang. Itulah mengapa Jeanne sebagai salah satu orang Jawa yang
dikenal oleh Mualim Satu dan Phu Tram menjadi satu-satunya yang bisa mencapai
kuil ketiga. Untuk melihat peristiwa di masa lalu yang belum banyak diketahui orang
hingga saat ini. Di akhir cerita, kuil ketiga ternyata merupakan bangunan kerajaan
yang dulu tidak dapat disaksikan oleh Jeanne dengan kasatmata. Inilah yang
menghubungkan peran suku Champa dengan kejatuhan kerajaan Majapahit7 di masa
lalu.
(110)Astaga, bukankah itu Alas Ketonggo di Ngawi, dekat Madiun?
Jeanne tak percaya. Bagaimana mungkin hutan ini bisa
menyambung dengan kuil ketiga? Ia mengucek-ngucek matanya.
Mirip ya mirip. Ya, tidak salah lagi. Ia ingat betul bagaimana
juru kunci bernama Saleh Pandan membimbing rombogan Pak
Sinaga menapaktilasi perjalanan Sawito Kartowibowo memasuki
7 Alas Ketonggo ini dikatakan memiliki hubungan dengan kejatuhan kerajaan Majapahit oleh
karena di tempat ini, Prabu Brawijaya V – raja terakhir kerajaan Majapahit melepas semua
atribut kebesarannya sebelum melanjutkan perjalan ke Gunung Lawu. Atribut kebesaran
tersebut kemudian menghilang di tempat itu. Kala itu ia sedang dalam pelarian dari kejaran
para pasukan Sabil, Demak (Junaidi, 2015). Atribut kebesaran inilah yang direpresentasikan
dalam novel KdDL sebagai takhta kerajaan tak kasatmata yang dicari oleh Pak Sinaga dan
kawan-kawan. Di Alas Ketonggo ini pula dikatakan terdapat sebuah pintu gerbang gaib dan
kerajaan gaib.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Hutan Ketonggo. Rombongan mencari lokasi pendapa istana tak
terlihat bernama Manik Kumolo. Lokasi itu dipercaya menjadi
tempat penyimpanan takhta istana (Suyono, 2014: 609).
Novel KdDL sebenarnya banyak menggambarkan sebuah perang kekuatan
spiritual antara mistikus Soeharto dan anggota paguyuban. Perang tersebut dalam
studi ini selanjutnya akan disebut dengan perlawanan metafisik. Bentuk perlawanan
ini tidak kasatmata. Tidak banyak orang yang tahu kalau sebenarnya ada sebuah
pertempuran sengit di udara yang menggempur satu dengan yang lainnya. Dengan
demikian, perlawanan ini dapat dikatakan sebagai sebuah perlawanan bawah tanah
atas benteng metafisik Soeharto. Frasa Kuil di Dasar Laut sebenarnya juga sekaligus
dapat dikatakan merujuk pada perjuagan tersebut. Frasa dasar laut memiliki konotasi
yang sama dengan bawah tanah.
Pada pemaknaan sebelumnya, Kuil di Dasar Laut merepresentasikan sebuah
keagungan dan kesempurnaan. Kesempurnaan dan keagungan tersebut menjadi
sebuah cita-cita yang juga diharapkan oleh anggota paguyuban atas pemerintahaan
dan kondisi sosial-politik Indonesia.
Mereka telah mencapai titik kulminasi untuk mendiamkan pengganyangan-
pengganyangan yang dilakukan oleh Soeharto. Sudah saatnya mereka
menumbangkannya dan memberikan kesempatan kepada orang lain agar dapat
menciptakan sebuah kondisi sosial dan politik Indonesia yang lebih baik atau
mungkin mendekati yang sempurna. Kuil di Dasar Laut menjadi sebuah cita-cita
sekaligus jiwa dari keseluruhan cerita novel KdDL.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
2.3.1.11 Laos
Laos merupakan negara tujuan Suryo dalam perjalanannya melakukan riset
pembuatan buku atas biaya Kementrian Pariwisata. Percetakannya mendapat job dari
Kementrian membuat buku mengenai candi-candi di Asia Tenggara. Ia mengunjungi
beberapa tempat di Laos, salah satunya Luang Prabang. Di Laos ini pula, Suryo
bertemu dengan seseorang bernama Souvvana.
(111) Cerita patung Budha emas yang penuh diisi oleh roh-roh hutan
itu diperoleh Suryo secara tak sengaja dari seorang “bangsawan”
Laos. Selama tiga hari berturut-turut, selepas menguntit iring-
iringan biksu mengemis yang berjalan dari Wat Xieng Thong,
Suryo selalu beristirahat di sebuah kafe pastri di Jalan
Sakkharine. Pagi sekali, pukul 5 – saat langit masih gelap – kafe
itu sudah buka. Kafe dengan cita rasa kolonial Perancis itu
menyajikan menu-menu kue croissant dan baguette yang baru
keluar dari oven. Suryo suka duduk di situ memesan kaa feh nom
hawn atau kopi susu panas dan croissant hangat yang disusupi
keju. Pagi sekitar pukul 7, Luang Prabang demikian tenang.
Udara pagi segar dan bersih. Suryo menyeruputnya kopinya
sembari mengudap makanan manis menyaksikan biksu anak-
anak di seberang jalan menyapu halaman (Suyono, 2014: 322).
A. Luang Prabang
Luang Prabang merupakan salah satu tempat yang dikunjungi oleh Suryo saat
di Laos. Di tempat inilah ia mengerti mengenai cerita patung Prabang Budha dari
temannya Souvvana. Tempat ini menjadi salah satu tempat di Laos yang melihat
perpaduan paham komunisme dan Budha.
(112) Di Luang Prabang inilah Suryo sempat berpikir bahwa
komunisme dan Buddha sejatinya adalah dua pemikiran yang
cocok (Suyono, 2014: 327).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
B. Kafe Pastri
Kafe ini merupakan tempat beristirahat Suryo selepas menguntit iring-iringan
biksu mengemis yang berjalan dari Wat Xieng Thong. Lokasi kafe ini di jalan
Sakkharine, Luang Prabang. Setiap pagi pukul 5, kafe ini sudah buka. Kafe dengan
cita rasa kolonial Perancis itu menyajikan menu-menu kue croissant dan baguette
yang baru keluar dari oven. Di tempat inilah Suryo bertemu dengan pemiliki kafe
yang kemudian dikenal Suryo sebagai Souvvana. Berikut ini digambarkan dalam
kutipan (113) mengenai kejadian selama Suryo berada di kafe pastri.
(113) Tak dinyana selama tiga hari ia mampir di kafe itu ada seseorang
yang terus-menerus mengamati keberadaannya (Suyono, 2014:
322).
2.3.1.12 Kamboja
Kamboja merupakan tujuan perjalanan Jeanne setelah ia mengalami masalah
rumah tangganya dengan mas Tubagus. Ia sebenarnya ingin bertemu dengan
saudarinya bernama Linda di Vietnam. Namun, sebelum bertemu dengan sahabat
masa kecilnya itu, ia masih bersantai-santai dengan mengunjungi beberapa tempat di
Kamboja, salah satunya Siem Reap.
A. Siem Reap
Siem Reap menjadi salah satu tempat yang dikunjungi oleh Jeanne di
Kamboja. Di tempat ini juga ia bertemu dengan Suryo mantan kekasihnya setelah
sekian tahun berpisah. Kedatangan Suryo ke Siem Reap juga merupakan agenda
perjalanannya setelah dari Laos. Di Siem Reap, Suryo menginap di Banyan Leaf
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Hotel. Tujuan kedatangan Suryo di Siem Reap sebenarnya untuk mendokumentasikan
phalus-phalus purba. Namun, pikirannya berubah setelah melihat paras batu
Jayawarman VII. Di Siem Reap, Jeanne mengunjungi situs Angkor Wat yang di
dalam sekaligus terdapat beberapa candi.
(114) Sepuluh hari ia tinggal di Siem Reap. Ia ingin bermalas-malasan
di kota candi ini. Namun keputusannya berleha-leha di Siem
Reap ternyata membuat dia berpapasan dengan Suryo, mantan
kekasihnya yang aneh sebelum ia menikah dengan Mas Tubagus
(Suyono, 2014: 16-17).
B. Angkor Wat
Angkor Wat menjadi salah satu tempat rekomended yang perlu dikunjungi
orang saat berkunjung di Kamboja. Dalam perjalanannya, Jeanne juga mengunjungi
tempat ini. Tempat ini membuat Jeanne kagum sekaligus takut. Ia kembali bertemu
dengan jiwa-jiwa para bapak paguyuban.
(115) Dan di saat berada di ruang. tengah Angkor, ia
terkesima……Kota kawasan candi –candi Siem Riep ini di
mana-mana diresapi kisah pencarian amrita (Suyono,2014: 6).
(116) Jeanne ketakutan dengan penglihatannya. Adakah bapak-bapak
itu disiksa? Dianiaya oleh orang-orang tak dikenal? Kuatkah
bapak-bapak itu menahan gebukan dan sayatan? Ataukah bapak-
bapak itu mati kemudian? Ia langsung meninggalkan Angkor
(Suyono, 2014: 10).
C. Pnom Bakheng
Pnom Bakheng merupakan sebuah candi besar berbentuk piramida terpancung
tempat banyak pengamen-pengamen tak berkaki bersimpuh di setapak keluar-masuk
candi. Tempat ini menjadi tujuan kedua Jeanne setelah dari Angkor. Jikalau Angkor
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
cocok dikunjungi saat pagi untuk melihat keindahan sunrise, maka Pnom Bakheng
cocok dikunjungi saat senja untuk melihat keindahan sunset.
(117) Puncak Pnom Bakheng ternyata berupa hamparan datarang batu
yang cukup luas (Suyono, 2014: 11).
D. Preah Khan
Tempat ini dikunjungi oleh Jeanne di hari ketujuh berada di Siem Reap.
Kondisi di tempat ini sangat sepi. Di tempat inilah Jeanne waswas bertemu dengan
mantan kekasihnya. Berikut ini gambaran mengenai Preah Khan dalam kutipan (118).
(118) Hari itu hari ketujuh di Siem Reap. Ia mengunjungi Preah Khan.
Preah Khan sangat sepi. Inilah candi yang membuat perasaan
Jeanne waswas kembali dihantui pertemuan dengan Suryo. Masa
lalunya yang aneh dengan Suryo menyeruak lagi. Sesungguhnya
dulu Preah Khan bukan sekadar candi, tapi sebuah ashram
Budhis. Dari prasasti diketahui bangunan ini berdiri tahun 1191.
Buku panduan yang dipegang Jeanne menerangkan, situs ini
pada zamannya konon dihuni lebih dari 1.000 guru Budha
(Suyono, 2014: 17).
E. Banteay Srey
Banteay Srey merupakan salah satu candi di Siem Reap. Candi ini sering
disebut sebagai candi perempuan. Candi ini bisa disebut kuil paling mungil di
kompleks “kota” Angkor Wat. Skalanya bukan apa-apa dibanding candi lain. Betapa
pun kecil, candi ini memiliki kekhasan. Gapura-gapura dan dinding-dindingnya
dipenuhi ukir-ukiran yang rumit. Pintu masuknya seperti dihampari karpet penuh
ornamen. Candi ini merupakan salah satu candi favorit Suryo karena tepat ini pernah
disinggahi oleh intelektual kenamaan Perancis bernama Andre Malraux. Tempat ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
juga sekaligus menjadi lokasi latihan dan tempat mempersiapkan diri para perempuan
pilihan untuk menari bagi raja Jayawarman dulu.
(119) Informasi Phhoung membuat Suryo teliti memperhatikan
Banteay Srey. Di Banteay Srey, ia berhenti cukup lama di depan
sebuah pagar pembatas yang dipasang petugas candi.
Pengunjung dilarang masuk ke dua bilik yang berada di tengah
candi. Suryo berusaha mengira-ngira apakah hiasan dari bilik itu
tempat relief-rilief dewata yang di tahun 1923 pernah dicongkel
Andre Malraux. Suryo membayangkan di situlah sesungguhnya
para penari berkumpul Malraux tahu Banteay Srey adalah kuil
para penari. Dari berbagai penjuru, perempuan-perempuan
pilihan akan disatukan di situ. Mereka dilatih menari, dilatih
bersolek. Tempat relief dicongkel adalah paling inti (Suyono,
2014: 380).
F. Bayon
Bayon juga meruapakan salah satu situs di Siem Reap. Di tempat ini terdapat
patung Jayawarman VII. Di dekat sosok Jayawarman, juga terpahat relief-relief
wanita penari. Menurut cerita, tempat ini menjadi wilayah para penari menghibur
Jayawarman. Di Bayon ada bekas ruangan yang di sebut Hall of Apsara. Ruangan ini
dipenuhi dengan pilar-pilar batu yang ditorehkan gambar-gambar apsara. Untuk
sampai ke Bayon, Suryo berjalan kaki dari Banteay Srey menyusuri jalanan yang juga
pernah ditempuh para penari kuil.
(120) Peluh Suryo bercucuran begitu tiba di Bayon. Sudah lama ia tak
berjalan kaki sejauh itu. Jantungnya lumayan berdekup cepat.
Suryo beristirahat sebentar di kaki Bayon. Matanya agak
berkunang-kunang. Begitu kekuatannya pulih, ia naik ke atas
Bayon. Hari itu Suryo tak bergerak di depan wajah-wajah
Jayawarman VII (Suyono, 2014: 382).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
G. Café Red Piano
Café Red Piano merupakan lokasi tempat bertemunya Suryo dan Jeanne
setelah sekian tahun berpisah. Pertemuan itu terjadi pagi-pagi sekitar pukul 10.00 saat
Suryo sedang menunggu Phhoung. Café Red Piano menjadi saksi dari pertemuan
mereka begitu berkesan tetapi masih menjadi image masing-masing. Berikut ini
digambarkan dalam kutipan (121).
(121) Dengan tubuh masih sedikit demam, Suryo menyesap kopi
hangat. Lantai dua Café Red Piano jam 10 pagi itu masih sepi. Ia
meneguk pelan-pelan kopi di cangkir. Ia berharap kopi kental
tersebut bisa membuat tubuhnya makin mendingan. Phhoung
mengatakan bahwa ia agak terlambat datang satu jam. Suryo rela
menunggu. Ia butuh Phhoung. Tapi yang tak terduga di Café Red
Piano itu ia bertemu dengan Jeanne, mantan pacarnya (Suyono,
2014: 437).
H. Gunung Kulen
Gunung Kulen merupakan tempat yang disinggahi oleh Suryo dan Phhoung
untuk membuang Prabang Budha tiruan. Benda tersebut memang telah
menyelamatkan Suryo dari berbagai ancaman teluh yang selama ini mengejarnya.
Gunung Kulen merupakan tempat yang disarankan sebagai lokasi pelepasan Prabang
Budha. Gunung Kulen bagi masyarakat Kamboja kuno adalah sebuah gunung kudus.
Kulen artinya „leci‟. Berikut kutipan (122) menggambarkan kondisi Gunung Kulen.
(122) Suryo belum bisa membayangkan seperti apa Gunung Kulen.
Ternyata gunung itu bukan dalam pengertian gunung
sebenarnya. Gunung tersebut seperti kawasan perbukitan yang
rindang-dengan beberapa air terjun, sungai, dan reruntuhan
candi. Sebuah kawasan cagar alam national park seperti kaki
Merapi. Lebih terjal jalan menuju Gunung Sapto Renggo di
Kudus atau Gunung Selok di Cilacap daripada ke Gunung Kulen.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
Mobil bisa sampai ke tempat parkir yang landai di atas (Suyono,
2014: 541).
2.3.1.13 Vietnam
Vietnam merupakan salah satu negara yang dikunjungi Jeanne selain
Kamboja. Di tempat ini, ia mengunjungi beberapa tempat yang mengagumkan seperti
Hoi An, Da Nang, situs My Son, dan situs Po Nagar di Nha Trang. Di Vietnam-lah
Jeanne bertemu dengan Phu Tram dan Mualim Satu yang membantunya
membayangkan Kuil di Dasar Laut.
A. Hoi An
Hoi An merupakan kota tua yang berada di Vietnam. Kota ini memiliki
sebuah sungai panjang. Umur kota ini sudah lebih dari 500 tahun. Banyak terdapat
rumah kuno milik warga yang terbuat dari kayu berdempet-dempet. Masing-masing
rumah-rumah tersebut berjejer membentuk ruas jalan yang mengagumkan. Banyak
penduduknya yang berprofesi sebagai tukang jahit. Berikut gambaran mengenai Hoi
An dalam kutipan (123).
(123) Hari pertama berada di Hoi An, Jeanne langsung terpana. Kota
tua bekas pelabuhan di Vietnam tengah itu dibelah sebuah sungai
panjang. Jeanne kaget ada kota seperti ini di Vietnam. Kota ini
baginya kota vintage. Kota yang membaurkan pasar kelontong,
distro barang antik, kios jamu, losmen, resotran, rumah-rumah
lampion Vietnam, Cina, Jepang, dengan bungalo-bungalo koloni
Eropa (Suyono, 2014: 25).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
B. Café Champa
Café Champa merupakan salah satu kafe yang berada di Hoi An. Kafe ini
terletak di tepi sungai keruh berwarna cokelat. Kafe ini sering menyetel lagu-lagu
slow rock tahun 1070-an sehingga Jeanne lumayan betah di tempat ini. Meskipun
demikian, beberapa kali ia diganggu oleh seorang lelaki buntung yang kemudian
dikenal oleh Jeanne sebagai Phu Tram sekaligus pemilik kafe tersebut. Kutipan (124)
berikut menunjukkan keberadaan Jeanne di Café Champa.
(124) Dan di sebuah kafé bernama Champa, selagi duduk terpekur
menatap mulut sungai itu, ia disapa oleh seorang buntung
(Suyono, 2014: 26).
C. Da Nang
Da Nang merupakan salah satu tempat perhentian kereta api ketika Jeanne
menuju Hoi An. Ia kembali ke tempat ini bersama dengan Phu Tram setelah delapan
hari berada di Hoi An. Da Nang merupakan bekas ibu kota pertama Champa bernama
Singhapura. Tempat ini terdapat sebuah desa bernama Tra Kieu. Dulu kawasan Istana
Champa di duga berada di Tra Kieu. Situs My Son juga terdapat di tempat ini.
(125) Memasuki jantung Da Nang, benar, isi kota ini cuma deretan
ruko biasa, bengkel-bengkel sepeda motor, supermarket-
supermarket, kelas kabupaten, dan, ya, sebuah jalan tol antarkota
yang baru saja dibangun (Suyono, 2014: 455).
D. My Son
My Son merupakan salah satu situs yang berada di Nha Trang. Pembangunan
situs ini diawali oleh raja Badrawarman pada abad ke-4 Masehi sebagai situs hindu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Champa. Kondisi tempat ini rusak seperti bekas lokasi pengeboman. Tampak sisa-
sisa bongkahan candi kecil-kecil yang tergerogoti lumut, rusak, dan terbengkalai.
Kawasan ini terbagi menjadi A sampai G. Arkeolog Henri Parmentier yang
menamakannya setelah melakukan penggalian tempat ini tahun 1902.
(126) Dengan semangat, Phu Tram menyuruh sang sopir agak cepat
mendorong kursi rodanya. Jeanne sampai kewalahan mengikuti
kursi roda yang meliuk-liuk menyusuri setapak-setapak yang
dulu bisa membuat jemaah datang dari berbagai arah (Suyono,
2014: 476).
E. Nha Trang
Nha Trang merupakan salah satu tempat di Vietnam yang banyak
menyelenggarakan festival. Kota ini juga pernah menjadi salah satu wilayah bangsa
Champa yang bernama Kauthara. Kemudian menjadi milik Vietnam setelah terjadi
perang yang cukup besar. Kota ini memang kota scuba. Resor tempat istirahat. Nha
Trang seolah terbelah menjadi dua. Di ujung satu, kawasan perkotaan padat. Di ujung
lain, kawasan perbukitan. Di tempat inilah terdapat situs Po Nagar – ibu dari segala
suku Champa yang disamakan dengan Dewi Uma atau Parwati atau Durga.
Representasi ibu welas asih. Jeanne ke tempat ini untuk berdoa kepada Po Nagar agar
mendapat penglihatan kuil ketiga. Jeanne sekaligus juga berdoa agar Po Nagar
memaafkan kelakuan orang Jawa berabad-abad lalu yang mencuri “kemaluan”
suaminya.
(127) “Di Nha Trang ini banyak festival. Datang kemari lagi akhir
April, Jeanne. Dari kaki Po Nagar aka nada ribuan lampion
dibawa turun ke sungai, kemudian dilarungkan,” Mualim Satu
memberi tahu Jeanne ketika ia bangun (Suyono, 2014: 586).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
2.3.2 Latar Waktu
Selain latar tempat, peneliti juga menganalisis latar waktu. Latar waktu
berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan di dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya, atau dapat dikaitkan
dengan peristiwa sejarah.
Latar waktu yang terdapat di dalam Novel KdDL cukup banyak. Oleh karena
itu, peneliti hanya membatasi penelitian pada latar waktu luas terjadinya peristiwa-
peristiwa besar seperti masa terjadinya pergolakan perlawan terhadap pihak
kekuasaan atau masa terjadinya peristiwa yang menimbulkan counter-hegemoni.
Latar waktu yang dianalisis peneliti, yaitu tahun 1961, 1991, 1996, 1998.
2.3.2.1 Tahun 1961
Tahun ini merupakan tahun yang cukup menentukan masa depan Soeharto
dengan sokongan energi metafisiknya. Di tahun ini, ia bertemu dengan salah satu
gurunya yang memiliki banyak pengaruh pada dunia kebatinan Soeharto. Ialah Romo
Dijat. Romo Dijat merupakan satu-satunya guru Soeharto yang memperingatkan
Soeharto agar turun dari kursi presiden. Ia juga yang rela menapaktilasi banyak situs
spiritual untuk meminta roh-roh leluhur mendukung Soeharto kembali naik takhta.
Berikut ini gambaran peristiwa pertemua Pak Harto dengan Romo Dijat di tahun ini
pada kutipan (128).
(128) Pada tahun 1961, saat Soeharto belum menjadi presiden, Romo
Marto menganjurkan tirakat di Trowulan. Tatkala Soeharto
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
memasuki sebuah makam di Trowulan, ia melihat seoerang
lelaki setengah baya tengah melakukan meditasi dan terlihat
berhasil melakukan komunikasi dengan alam gaib. Lelaki itu
sangat karismatik. Aura menenangkan keluar dari tubuhnya.
Soeharto mendadak merasa tenteram berada di dekat lelaki itu.
Seusai melakukan meditasi, lelaki tersebut meninggalkan
Trowulan. Soeharto kagum, terkesan, dan penasaran terhadap
lelaki itu (Suyono, 2014: 227).
2.3.2.2 Tahun 1991
Di tahun ini, terjadi sebuah peristiwa yang hingga hari ini diperingati oleh
masyarakat Timor Timur sebagai Peristiwa 12 November. Dalam peristiwa ini, terjadi
sebuah aksi protes dan seruan referendum. Kejadian ini berlangsung di kompleks
pemakaman Santa Cruz ibu kota Dili, tepatnya saat penguburan rekan mereka yang
bernama Sebastiao Gomes yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan
sebelumnya (lih. Wikipedia, 30 Juni 2016). Memang di tahun tersebut, kekuasaan
Soeharto masih kuat. Itulah mengapa kejadian pembubaran massa yang berujung
pembunuhan oleh tentara Indonesia tidak sampai terpublikasikan. Berikut ini kutipan
(129) peristiwa yang terjadi di Santa Cruz pada tahun 1991.
(129) Benar ternyata Santa Cruz adalah nama pemakaman yang
disembunyikan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 1991, tentara
Indonesia membantai ratusan warga Dili di situ. Peritiwa itu
diawalai rombongan mahasiswa Timor Timur yang menyekar
nisan Sebastiao Gomes, rekan mereka yang sebulan sebelumnya
ditembak oleh tentara. Warga ikut berduyun. Para mahasiswa
menggelar spanduk protes. Mereka mengangkat-angkat foto
Xanana Gusmao. Simpati mengalir. Mereka bersama warga
meneriakkan yel-yel referendum (Suyono, 2014: 81).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
2.3.2.3 Tahun 1996
Dalam tahun ini, terjadi sekian peristiwa yang besar dan parah. Peristiwa
pertama ialah kematian Bu Tien tepatnya pada 28 April 1996. Di tahun ini pula
terjadi penyerangan markas PDI di Jalan Diponegoro oleh Soerjadi –Ketua Umum
PDI versi Kongres Medan dengan dibantu polisi. Tentara banyak menciduk
pendukung Mega dan orang-orang yang mereka curigai. Berikut ini gambaran
rangkaian kejadian di tahun 1996 lewat kutipan (130) dan (131).
(130) “Ibu Tien meninggal! Mas Suryo diminta Bapak Sinaga
langsung ke Kawitan. Ikut menyemayamkan jenazahnya!”
Jeanne ingat malam itu 28 April 1996. Besoknya Idul Adha.
Malam itu Suryo seperti orang yang tersepak-sepak. Kekasinya
itu sempat cuci muka. Jeanne ingat ia duduk terpekur di
kasurnya hanya berbelit selimut (Suyono, 2014: 242).
(131) Dan kemudian tanggal 27 Juli 1996 terjadilah penyerangan
markas PDI Jakarta. Suryo ingat saat itu dirinya tengah berada di
tempat kos Matraman,, yang dekat dengan Megaria. Ia lari ke
Megaria. Ia melihat di sepanjang Jalan Proklamasi sudah banyak
tentara. Di depan bioskop Megaria, truk-truk polisi menutup
jalan (Suyono, 2014: 307).
2.3.2.4 Tahun 1998
Lamanya rezim Soeharto berkuasa mengakibatkan terjadinya krisis politik dan
ekonomi yang berkepanjangan. Kondisi yang merosot tersebut mengakibatkan
semakin banyaknya gelombang demonstrasi. Sejak awal Februari 1998, mulai
muncul berbagai aksi demonstrasi mahasiswa yang intinya ialah menuntut suksesi
kepemimpinan nasional. Pada bulan Maret 1998 kondisi perpolitikan Indonesia
semakin memanas, masyarakat berduyun-duyun menolak hasil pemilu 1997. Aksi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
protes tersebut ditanggapi oleh pemerintah dengan sangat keras. Banyak mahasiswa
dan aktivis yang diculik dan dibunuh. Banyaknya korban dari kalangan sipil
mengakibatkan amarah masyarakat semakin meningkat. Demonstrasi yang
dilancarkan semakin deras dan anarkis. Aksi tersebut memang muncul akibat banyak
faktor. Tepat pada Kamis, 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB, di Istana Merdeka
berlangsung acara serah terima jabatan presiden. Pada acara itu Presiden Soeharto
membacakan pernyataan untuk berhenti dari jabatannya sebagai presiden Republik
Indonesia. Berikut ini gambaran rangkaian kekacauan yang terjadi di tahun 1998
dalam kutipan (132), (133), dan (134).
(132) Tanggal 13 Mei 1998. Hari itu Jakarta demikian tak menentu.
Penjarahan di mana-mana. Di berbagai showroom, mobil-mobil
dikeluarkan oleh amuk massa dan rame-rame disiram bensin.
Kaca-kaca took dipecahkan, televisi-televisinya digondol.
Tentara hanya berdiri membiarkan massa yang beringas. Di
kawasan Matraman, massa merengsek masuk ke Gedung Fuji
Film. Mereka memecahkan kaca, berebutan masuk, menggondol
kamera-kamera dan lensa-lensa canon, Nikon, Yashica, dan
handycam-handycam Sony yang termahal. Glodok mengerikan.
Salah satu bagian terparah adalah Toserba Yogya di kawasan
Klender. Dengan mata kepala sendiri, Jeanne melihat toserba ini
dijilat api (Suyono, 2014: 138).
(133) Tiga tahun kemudian, saat di Jakarta – Jeanne dan Linda sudah
jarang bertemu – Jeanne baru ngeh apa yang terjadi di Santa
Cruz. Waktu itu tahun 1998. Soeharto Jatuh. Saat itu televisi
gencar menayangkan detik-detik demo mahasiswa dan protes
peralihan kekuasaan. Jeanne, yang di rumah berlangganan
parabola, menonton dari sebuah TV Australia, sebuah siaran
yang mengungkap kekejian Seoharto selama Orde baru,
termasuk peristiwa Santa Cruz (Suyono, 2014: 81).
(134) Klender, Jakarta Timur, 1998, Toserba Yogya. Hanya logo
merahnya yang masih terlihat jelas terbaca. Seluruh dindingnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
gosong. Seberapa banyak mayat yang hangus terbakar masih
misterius (Suyono, 2014: 137).
2.3.2.5 Tahun 2012
Latar waktu tahun 2012 tidak disebutkan secara eksplisit dalam alur
penceritaan novel KdDL. Akan tetapi, penyebutan latar tahun 2012 disebutkan dalam
sub bagian cerita. Latar waktu ini berlaku selama Jeanne maupun Suryo berada di
luar negeri, baik ketika di Vietnam, Kamboja, ataupun Laos.
2.4 Rangkuman
Dalam bab ini, secara rinci telah dipaparkan seperti apa struktur cerita novel
KdDL. Struktur cerita yang dimaksud berkaitan dengan tokoh dan penokohan serta
latar (tempat dan waktu). Teknik pelukisan tokoh yang digunakan oleh Seno Joko
Suyono adalah teknik dramatik. Dari model penokohan tersebut hadir sekian banyak
tokoh yang kemudian dikategorikan ke dalam dua kelompok berdasarkan sudut
pandang penceritaan, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama terdiri
dari Jeanne dan Suryo. Sedangkan tokoh tambahan terdiri dari Pak Sinaga, Pak
Darsono, Pak Djayeng, Pak Sewaka, Pak Radjiman, Pak Priyambodo, Pak Sawito,
Meneer Widjinarko, Pak Koentono, Abah Moertopo, Bante Purnomo, Pak Burhan,
Pak Begja, Gus Mutaqqin, Mr. Soedjono, Phu Tram, Mualim Satu, Phhoung,
Souvvana, Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono
Hoemardani, dan MdDSSG. Mereka semua merupakan tokoh tambahan yang hadir di
sekitar tokoh utama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
Latar tempat dalam novel KdDL terbilang cukup banyak. Baik yang ada di
dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan demikian, penelitian dibatasi hanya pada
latar tempat yang berkenaan dengan tempat yang dilalui oleh anggota paguyuban,
tempat terjadinya kerusuhan masa Orde Baru, dan tepat pelarian Jeanne dan Suryo
selepas tidak lagi aktif dalam paguyuban. Latar tempat tersebut, Jakarta (Glodok,
Klender, Matraman, Taman Mini Indonesia Indah, Jalan Marga Satwa Ragunan, dan
Kawasan Cipete), Cirebon (Jambe Lima dan Jambe Pitu), Gunung Sapto Renggo,
Situ Panjalu, Yogyakarta (Telaga Titis), Padang Lawas (Bairo Bahal), Ngawi (Alas
Ketonggo), Kamboja (Angkor Wat, Pnom Bakheng, Preah Khan, Banteay Srey,
Bayon, Siem Reap, Cafe Red Piano), Vietnam (Hoi An, Café Champa, Da Nang, My
Son, dan Nha Trang), Laos (Luang Prabang dan Kafé Pastri), Samudra Laut Cina
Selatan, dan Kuil di Dasar Laut. Selain latar tempat, penelitian juga dilakukan pada
latar waktu. Terdapat beberapa latar waktu, yaitu tahun 1961 (waktu bertemunya
Soeharto dengan guru spiritualnya yang kemudian hari menyokong sisi metafisik
Soeharto), tahun 1991 (berkaitan dengan perlawan para simpatisan Sebastiao Gomez
terhadap para tentara di Santa Cruz, Timor Timur), tahun 1996 (waktu Romo Dijat
mendengarkan nasihat dari roh-roh yang diundang kepada Soeharto, 28 April Ibu
Tien meninggal, 27 Juli terjadi penyerangan Markas Partai Demokrasi Indonesia di
Jalan Diponegoro), dan tahun 1998 (penjarahan besar-besaran di Jakarta pada 13 Mei
dan tahun lengsernya Soeharto). Analisis mengenai latar tempat dan waktu dilakukan
guna kepentingan mencocokkan ruang lingkup pergerakan semua tokoh dalam
konteks tempat dan waktu tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Berdasarkan hasil analisis bab II ini, sudah mulai terlihat formulasi kaum
intelektual yang terbentuk dari tokoh-tokoh di atas. Berdasarkan konsep pemikiran
Antonio Gramsci, kaum intelektual dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu kaum
intelektual tradisional dan kaum intelektual organik. Intelektual Organik masih dapat
dibagi ke dalam dua bentuk, yaitu Intelektual Hegemonic dan Intelektual Counter-
Hegemonic. Semua kelompok dan simpatisan paguyuban yang diisi oleh Pak Sinaga
dan kawan-kawan, Phu Tram dan Mualim Satu, dan MdDSSG terkategori ke dalam
Intelektual Counter-Hegemonic. Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi,
Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoemardani masuk dalam kategori Intelektual
Hegemonic
Pembahasan mengenai posisi dan peran intelektual akan dibahas lagi secara
lebih lengkap pada bab III. Akan hadir beberapa tokoh yang tidak disebutkan di atas.
Mereka tidak ikut dianalisis karena tidak terlibat secara aktif dan terlibat dalam
pergerakan alur. Mereka hanya menjadi cerita dari para tokoh novel KdDL. Namun,
demi kepentingan perumusan bentuk-bentuk perlawanan yang terjadi di dalam
penceritaan novel KdDL maka mereka pun turut dihadirkan sebagai bagian dari pihak
yang dilawan.
Secara singkat hasil penelitian bab I di atas akan dirangkum dalam tabel 1
berikut ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Diagram
Rangkuman Struktur Cerita Novel KdDL
Jeanne
(Tokoh Utama)
Suryo
(Tokoh Utama)
Sunuwarsono
dan Setyarso
(Tanpa Keterangan
Latar)*
Phu Tram
dan Mualim Satu
(Laut Cina Selatan**
Kuil di Dasar Laut,
2012 dan Vietnam,
2012)
Souvvana
(Laos, 2012)
Phhoung
(Kamboja, 2012)
Pak Sinaga,
Pak Darsono,
Pak Djayeng,
Pak Sewaka,
Pak Radjiman,
Pak Priyambodo,
Meneer Widjinarko,
Pak Koentono,
Bante Poernomo,
Gus Mutaqqin,
Pak Burhan,
Pak Begja,
di Jakarta,
Yogyakarta,
Bhairo Bahal-
Padang Lawas***,
Jambe Lima dan
Jambe Pitu-CIlacap,
Gunung Sapto
Renggo,
Alas Ketonggo-
Ngawi,
Situ Panjalu****
(1991-1998),
Kamboja
(2012)
Romo Dijat, Romo Marto, dan
Romo Budi
(Tanpa Keterangan Latar)
MdDSSG
(Santa Cruz-Timor-Timur, 1991)
Pak Sawito Kartowibowo
dan Mr. Soedjono,
Soedjono Hoemardani
(Tanpa Keterangan Latar)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Keterangan:
* Tidak ada keterangan latar yang dimaksudkan bukan dalam novel KdDL, tetapi
dalam analisis struktur cerita pada skripsi ini.
** Latar tempat ini hanya didatangi oleh Phu Tram saja.
*** Perjalanan menuju ke lokasi ini hanya dilakukan oleh Pak Sinaga, Pak
Koentono, dan Suryo.
**** Perjalanan ke tempat ini dilakukan oleh Pak Radjiman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
BAB III
ANALISIS FORMASI INTELEKTUAL
DALAM NOVEL KUIL DI DASAR LAUT
3.1 Pengantar
Pada bab ini, akan dideskripsikan lebih lanjut perihal posisi dan peran tokoh-
tokoh yang telah dianalisis pada bab II ke dalam formasi intelektual sesuai perspektif
Gramsci. Kepentingan penelitian ini sebagai prasyarat untuk mengetahui akar
permasalahan, motivasi, dan siapa saja yang terlibat dalam counter-hegemoni
terhadap penguasa.
Dalam tingkat abstraksi, Gramsci membagi kaum intelektual menjadi dua
kategori, yaitu Intelektual Tradisional dan Intelektual Organik. Dengan pengertiannya
masing-masing, pendekatan secara multi-dimensional menjadikan gambaran kedua
kategori tersebut sedikit kompleks. Golongan Intelektual Tradisional ini merasa
sebagai “kelompok penyemangat” terhadap kontiunitas historis dan kualifikasi
khusus mereka. Karenanya, mereka menempatkan diri sebagai kelompok otonomis
dan independen dari kelas sosial dominan (Utomo, 2013: 11). Intelektual Tradisional
adalah mereka yang menyandang tugas-tugas kepemimpinan intelektual dalam suatu
given society. Mereka yang masuk dalam kategori ini adalah golongan rohaniwan,
manusia literer (jurnalis), filsuf, dan artis. Di dunia modern, edukasi teknologis yang
bahkan juga dikaitkan kerja industrial yang paling primitif dan tak terkualifikasi
harus membentuk basis bagi tipe baru intelektual. Melihat posisinya yang demikian,
126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
menurut Gramsci, tugas Intelektual Tradisional segera memutuskan
ketidakmenentuan sikap dan bergabung dengan kelas-kelas revolusioner. Kaum
intelektual ini harus secara organis menjadi bagian dari kelas buruh mengingat
mereka memiliki kualifikasi untuk membangkitkan kesadaran masyarakat untuk
menantang ideologi penguasa.
Dalam melanggengkan kekuasaan, banyak Intelektual Tradisional diasimilasi
menjadi Intelektual Organiknya pihak penguasa. Kelas penguasa mengandalkan
kaum intelektualnya untuk menjaga kekuasaannya melalui penyebaran nilai-nilai
kepada masyarakat. Intelektual Organik akan menjalankan peran mereka untuk
menyebar nilai-nilai kelas penguasa untuk menguasai berbagai unsur paling mendasar
masyarakat seperti pandangan hidup atau ideologi mereka.
Intelektual Organik bukan hanya milik penguasa. Intelektual Organik dapat
pula berasal dari kelas tertindas. Intelektual ini adalah mereka yang mampu
merasakan emosi, semangat, dan apa yang dirasakan kaum tertindas, memihak
kepada mereka dan mengungkapkan apa yang dialami dan kecenderungan-
kecenderungan objektif masyarakat. Hal tersebut memiliki makna bahwa kaum
Intelektual Organik akan menghadirkan suara-suara kepentingan masyarakat bawah
dengan bahasa budaya tinggi sehingga pandangan dunia, nilai-nilai, dan kepercayaan-
kepercayaan kelas bawah meluas ke seluruh masyarakat dan menjadi bahasa
universal. Bila tahap ini berhasil, maka jalan semakin lebar bagi kelas bawah untuk
melakukan perubahan revolusioner, yakni merebut ataupun menumbangkan
kekuasaan politik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Sebenarnya ada dua unsur yang kemudian memberi batasan secara tegas
bahwa kelompok tertentu dari intelektual adalah organik. Pertama. Mereka menjadi
suatu kategori pada waktu sejarah yang sama sebagai suatu kelas baru yang
menciptakan dan mengembangkan dirinya, menjadi organ dari sebuah sistem secara
utuh dan bertugas menjalankan fungsi mereka masing-masing. Kedua, intelektual ini
memberikan kelas sosial homogenitas dan suatu kesadaran akan fungsinya sendiri
bukan cuma pada ekonomi, namun juga pada lapangan sosial dan politik (Gramsci
dalam Patria, 1999: 160-161).
Menurut Gramsci, kesadaran adalah hal yang utama untuk membangkitkan
perjuangan menentang kelas dominan (Patria, 1999: 167). Agar revolusi terwujud
maka masyarakat seharusnya bertindak. Sebelum mereka bertindak, mereka harus
mampu memahami hakikat dan situasi keberadaan mereka dalam suatu sistem yang
sedang dijalani. Gramsci mengakui arti penting faktor struktural, khususnya ekonomi,
tetapi ia tidak percaya hanya faktor-faktor inilah yang mengakibatkan masyarakat
melakukan perlawanan. Gramsci mengatakan perlu ada ide revolusioner yang mampu
menggerakkan massa. Ide revolusioner ini tidak hanya muncul dari masyarakat, tetapi
harus ada yang mengembangkan dan menyebarkannya. Inilah peran yang diemban
oleh kaum intelektual. Kaum intelektual bukan hanya berada di menara gading, elitis,
melainkan harus menyatu dan berada di sisi kaum buruh.
Persoalan yang terjadi dalam novel KdDL ialah reaksi kesadaran baru
masyarakat atas kejenuhan mereka terhadap rezim otoriter Soeharto. Rekasi
perlawanan ini dilakukan oleh orang-orang yang sebelumnya menjadi bagian organik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
dari sistem pemerintahan Orde Baru. Mereka muak dan ingin menebus dosa karena
telah terlibat dalam lingkungan pemerintahan Soeharto. Di sini, sosok Soeharto
merupakan gambaran kelompok penguasa dominan yang telah melakukan banyak
tindakan hegemoni terhadap masyarakat melalui Intelektual Organiknya.
Dalam sebuah kajian memperlihatkan bahwa kekuasaan Orde Baru yang
didukung oleh kaum Intelektual Organiknya memainkan peranan penting dan
menentukan dalam politik ingatan tentang Tragedi 1965. Kekuatan kekuasaan itu
sangat dominan dalam mengatur apa yang harus diingat dan apa yang perlu dilupakan
tentang Tragedi 1965 (Taum, 2015: 263). Soeharto menggunakan intelektual yang
direkrut dari berbagai bagian masyarakat, seperti ABRI, birokrat, politisi partai
(Golkar), akademisi, maupun kaum spiritualis Jawa. Dengan demikian, Soeharto
duduk di kursi jabatannya cukup lama. Dalam penjelasan selanjutnya, akan
dideskripsikan mengenai pelibat masing-masing kategori intelektual di atas dan
seperti apa posisi dan peran mereka.
3.2 Formasi Intelektual
3.2.1 Intelektual Tradisional
Intelektual Tradisional merupakan kategori intelektual yang otonomis dan
independen. Mereka tidak masuk dalam ikatan sistem dan mengakui hubungan
mereka dengan sistem sosial tertentu. Setelah dilakukan analisis atas tokoh-tokoh
dalam novel KdDL, tidak satu pun tokoh yang masuk dalam kategori Intelektual
Tradisional. Hal tersebut disebabkan dua gejala. Pertama, tokoh-tokoh dalam novel
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
KdDL tidak semuanya dapat dikatakan sebagai intelektual. Dalam poin 1.6.2.1 telah
disampaikan indikator-indikator seseorang kemudian dapat disebut sebagai seorang
intelektual atau cendekiawan. Persyaratan tersebut ialah paling tidak tokoh tersebut
menjalankan fungsi kepemimpinan tertentu dalam suatu given society, memiliki
fungsi „koneksi‟ antara kebutuhan pemeritah atau kelas dominan dengan
masyarakatnya atau kelas bawah, dan selanjutnya mereka pun juga harus terlibat
dalam mengolah modal sosial, modal simbolik, dan juga tidak kurang dalam model
ekonomis. Kedua, kalau pun tokoh-tokoh dalam novel KdDL termasuk dalam
kalangan intelektual, mereka telah terkategori dalam golongan Intelektual Organik.
Baik itu menjadi bagian organik dari sistem pemerintahan, maupun masyarakatnya.
3.2.2 Intelektual Organik
Intelektual Organik menjadi bagian utuh dari pihak penguasa maupun pihak
tertindas. Untuk itu, agar tercipta sebuah dikotomi yang lebih tegas maka
digunakanlah istilah Intelektual Hegemonic dan Intelektual Counter-Hegemonic.
Intelektual Hegemonic memiliki tanggung jawab untuk menjamin pandangan massa
sesuai dan konsisten dengan nilai-nilai yang telah disebar oleh pihak penguasa dan
diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat. Kategori ini menjadi bagian
organik dari pihak penguasa. Sementara itu, Intelektual Couter-Hegemonic
mempunyai tugas untuk memisahkan massa dari pengaruh nilai-nilai penguasa dan
membangun sebuah pandangan dunia sesuai perspektif sosialis. Kategori ini menjadi
bagian dari pihak tertindas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
Perlu dijelaskan bahwa yang terkategori sebagai kaum penguasa dalam novel
KdDL bukan saja rezim otoriter Soeharto, tetapi juga pemerintahan Laos dan
Kamboja. Ini terjadi karena setting dalam novel KdDL bukan saja di Indonesia tetapi
juga di beberapa negera lain, seperti Laos dan Kamboja. Dengan demikian, akan
dijelaskan pula setiap intelektual yang menjadi bagian organik dari sistem kaum
dominan di atas.
Tokoh-tokoh yang menjadi bagian organik dari rezim Orde Baru (Intelektual
Hegemonic) adalah Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, ABRI (Angkatan Darat)
seperti Ayah Jeanne bernama Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoemardani, dan
semua kalangan spiritual simpatisan Soeharto. Keberadaan mereka dalam lingkungan
kekuasaan Soeharto membawa pengaruh yang positif bagi keberlangsungan rezim
Orde Baru. Mereka menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan sosial,
politik, dan metafisik Soeharto. Untuk itu, Soeharto menjadikan mereka sebagai
panutan dan kekuatannya. Tokoh yang menjadi bagian organik dari pemerintahan
Kamboja adalah Phhoung. Ia bekerja pada sebuah Museum 1000 Budha dan menjadi
bagian dari sistem museum tersebut yang juga adalah dimiliki pemerintah. Di
samping itu, tokoh yang menjadi bagian dari bangsa Laos adalah Souvvana. Ia
merasa memiliki tanggung jawab terhadap kebudayaan Laos. Dengan demikian, ia
menjadi bagian organik dari bangsa dan pemerintahan Laos.
Intelektual Counter-Hegemonic dalam novel KdDL diwakili oleh kelompok
Paguyuban Anggoro Kasih dan simpatisannya. Sebagian besar dari antara mereka
merupakan sekelompok orang yang tidak lagi menginginkan kekuasaan Soeharto.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Meskipun demikian, mereka justru tidak menjalankan fungsi untuk menyebar sebuah
penyadaran baru kepada anggota masyarakat untuk sama-sama berjuang. Mereka
menjadi semacam perwakilan untuk menentang sisi metafisik Soeharto yang
notabene tidak banyak diketahui masyarakat. Mereka bergerak secara diam-diam dan
siap menanggung risiko dari tindakan perlawanan mereka. Orang-orang yang menjadi
anggota dan simpatisan paguyuban ialah Pak Sinaga, Pak Darsono, Pak Djayeng, Pak
Sewaka, Pak Radjiman, Pak Priyambodo, Pak Koentono, Suryo, Jeanne, Abah
Moertopo, Bante Purnomo, Meneer Widjinarko, Pak Burhan, Pak Begja, Gus
Mutaqqin. Di samping itu, ada juga orang-orang dari luar paguyuban, namun menjadi
penyokong semangat paguyuban dan menjadi rujukan paguyuban, yaitu Pak Sawito
Kartowibowo dan Mr. Soedjono. Di luar anggota, simpatisan, paguyuban, ada pula
para mahasiswa dan demonstran simpatisan Sebastiao Gomes (MdDSSG) yang
melawan keras Soeharto di Timor-Timur.
Selain wacana mengenai gerakan counter-hegemoni terhadap rezim Soeharto,
dalam penelitian ini juga diangkat gerakan perlawanan terhadap pemerintahan
Vietnam. Gerakan perlawanan ini terjadi akibat ketidakpuasan atas sikap diskriminasi
yang berlebihan atas kiprah kaum tertindas. Tokoh-tokoh yang tergolong dalam
kelompok ini adalah Phu Tram dan Mualim Satu. Mereka menjadi perwakilan dari
suku Champa untuk mempertahankan kebudayaan Champa di bawah represi
pemerintahan Vietnam.
Guna menjelaskan dasar dari pengelompokkan setiap tokoh dalam setiap
kategori di atas, maka berikut ini akan dideskripsikan gambaran lebih lanjut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
mengenai latar belakang setiap tokoh. Latar belakang tersebut yang kemudian
menjadi dasar/alasan mereka terkategorikan dalam intelektual tertentu.
3.2.2.1 Intelektual Hegemonic
Tokoh-tokoh yang termasuk dalam formasi intelektual ini adalah Romo Dijat,
Romo Marto, Romo Budi, ABRI (Angkatan Darat), seperti Ayah Jeanne bernama
Sunuwarsono, Setyarso, Soedjono Hoemardani. Berikut gambaran mengenai latar
belakang mereka.
3.2.2.1.1 Romo Dijat
Romo Dijat merupakan salah satu guru spiritual Soeharto. Sebelum bertemu
dengan Soeharto, Romo Dijat adalah seorang pegiat karismatik yang sering
melakukan meditasi dan tirakat. Beliau memiliki karisma yang menggugah Soeharto.
Itulah mengapa, Soeharto kemudian kagum kepada Romo Dijat dan bertekat
menjadikan beliau sebagai gurunya. Dari sudut pandang Gramsci, Romo Dijat
merupakan golongan dari kaum Intelektual Tradisional yang dalam hal ini merupakan
kaum rohaniwan kebatinan Jawa. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa Intelektual
Tradisional dapat diasimilasi oleh pihak penguasa untuk menjadi bagian organiknya.
Soeharto rela melakukan banyak perjalanan jauh untuk bertemu dengan Romo Dijat.
Berikut ini gambaran dalam kutipan (135) mengenai upaya Soeharto untuk bertemu,
merekrut, dan belajar pada Romo Dijat.
(135) Pada tahun 1963, Soeharto mengunjungi rumah Romo Dijat di
rumah orang tua Romo Dijat yang bernama Prawiro Dinamono
di Dukuh Gopetan, Desa Gemblengan Kalipotes, Klaten.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
Soeharto kaget ternyata yang disebut Romo Dijat itu adalah
lelaki misterius yang mempesonanya saat melakukan ziarah di
makam leluhur raja-raja Majapahit di Trowulan. Soeharto
merasa Tuhan menuntun dirinya untuk bertemu dengan lelaki
yang pernah membuatnya penasaran. Soeharto langsung
menyatakan diri menjadi murid Romo Dijat. Romo Dijat sendiri
saat itu tinggal di Semarang. Soeharto kemudian hampir tidak
pernah absen mengikuti sarasehan di rumah Romo Dijat di Jalan
Sriwijaya, Semarang, setiap selapan pada Selasa Pahing malam.
Tak hanya di acara selapan, Soeharto akhirnya sering
berkonsultasi di Semarang (Suyono, 2014: 228).
Kehadiran Romo Dijat begitu berarti bagi Soeharto. Sebagian besar dari
berbagai keputusan politik yang diambil Seoharto turut melibatkan Romo Dijat. Ia
merasa ragu dan belum lengkap jika persoalannya belum dikonsultasikan dengan
Romo Dijat. Inilah peran Romo Dijat dalam menjaga wibawa politik Soeharto.
Dengan demikian, Romo Dijat menjadi bagian organik dari Soeharto. Meskipun ia
tidak secara fisik hadir di samping Soeharto berhadapan dengan masyarakat sipil,
namun pengaruhnya telah menaikkan kepercayaan masyarakat kepada Soeharto.
Berikut ini gambaran dalam kutipan (136) tentang kebiasaan Soeharto untuk
berkonsultasi dengan Romo Dijat sebelum mengambil keputusan-keputusan penting.
(136) Bila Pak Harto ingin berkonsultasi masalah politik dan
kenegaraan, ia memanggil Romo Dijat (Suyono, 2014: 228).
Sebagai penganut kebatinan Jawa, Romo Dijat memiliki cara yang unik untuk
memberikan setiap nasihat kepada Soeharto. Romo Dijat menjadikan tubuhnya
sebagai mediasi untuk diisi oleh roh leluhur. Roh tersebut yang kemudian
berkomunikasi dengan Soeharto. Nasihat tersebut kemudian diikuti dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
keyakinan. Berikut gambaran dalam kutipan (137) mengenai cara unik Romo Dijat
untuk memberikan petunjuk kepada Soeharto.
(137) “Katanya suara berat. Masing-masing leluhur yang masuk ke
tubuh Romo Dijat dan Romo Marto karakter suaranya berbeda-
beda, Jeanne. Katanya, roh leluhur yang memasuki badan Romo
Dijat selalu didahului suara terbahak-bahak yang berat…”
“Katanya dalam bahasa Jawa halus, yang sering enggak
dimengerti. Kamu tahu Jeanne, kata Pak Djayeng, saat Pak Harto
mau menduduki Timor Timur, dia berkonsultasi dulu dengan roh
leluhur yang masuk ke dalam tubuh Romo Dijat. Setelah roh itu
menyetujui, baru ia memerintahkan pasukan berangkat…”
(Suyono, 2014: 229)
Pengabdian dan rasa hormat Romo Dijat kepada Soeharto benar-benar tulus.
Ia bahkan rela melakukan sebuah perjalanan panjang dan serangkaian puasa-mutih
untuk tetap mempertahankan Soeharto. Pada suatu waktu, Romo Dijat mendapat
petunjuk bahwa Soeharto harus segera mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden.
Namun, Soeharto tetap kerasan dengan jabatannya dengan memberikan berbagai
alasan. Romo Dijat pun masygul dan menuruti kehendak Soeharto. Untuk itu, Romo
Dijat perlu melakukan napak tilas ke pemakaman-pemakaman wali dan tempat-
tempat suci di berbagai belahan Nusantara untuk meminta dukungan dari roh-roh
leluhur – padahal napak tilas tersebut harusnya dilakukan sendiri oleh Soeharto.
Perjalanan tersebut sekitar setahun lamanya. Romo Dijat begitu lelah melakukan
perjalanan tersebut. Pilihan Romo Dijat ini merupakan sikapnya sebagai bagian dari
kekuasaan Soeharto. Tidak melalui penyebaran nilai-nilai tetapi melalui jalur
spiritual. Soeharto tetap memiliki kekuasaan hingga belasan tahun selanjutnya.
Berikut ini kutipan (138) yang menggambarkan pengorbanan Romo Dijat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
(138) Menurut dia, Romo masygul dengan permintaan Soeharto. Ia
sesungguhnya enggan menyanggupinya, namun tak ingin
Soeharto tersinggung. Romo gundah. Keinginan Soeharto sudah
menyalahi hati kecilnya. Namun, alasan Soeharto bahwa ia harus
merampungkan program-programnya sebelum ia mundur
melunakkan hatinya. Romo kemudian melakukan napak tilas ke
pemakaman-pemakaman wali dan tempat-tempat suci di
berbagai sudut Nusantara. Perjalanan itu sampai memakan waktu
setahun (Suyono, 2014: 235-236).
Pada tahun 1984, Romo Dijat akhirnya meninggal. Perjalanan Romo selama
setahun telah banyak menguras tenaganya. Kondisi Romo Dijat sebelum meninggal
diperparah oleh indikasi Soeharto mengkhianati janjinya untuk tidak lagi
mencalonkan diri sebagai presiden di periode selanjutnya. Kematian Romo Dijat
cukup memukul Soeharto. Ia merasa kehilangan kekuatannya sendiri. Tidak ada lagi
guru yang bisa melindunginya dan diajak konsultasi. Sosok Soeharto yang nampak
tegas, sekonyong-konyong menjadi rapuh. Orang-orang pendukungnya, telah pergi
meninggalkannya. Berikut ini kutipan (139) dan (140) yang menggambarkan sebab
kematian Romo Dijat dan dampaknya bagi Soeharto.
(139) “Romo Dijat meninggal tahun 1984. Perjalanan Romo keliling
Nusantara menurut saya menyebabkan kesehatan Romo ambruk.
Penyakit dalam yang dimiliki Romo kumat. Apalagi di tahun
1983 Romo melihat tanda-tanda Soeharto tak mau menepati
janjinya. Soeharto masih mau berambisi tahun-tahun depannya
mencalonkan diri lagi dalam pemilu. Romo Dijat sangat kecewa.
Saya pribadi melihat kekecewaan itu sangat mempengaruhi
keseimbangan dirinya.” (Suyono, 2014: 237).
(140) “Di pemakaman saya melihat Pak Harto untuk pertama kalinya
menangis,” kata Pak Adityawarman. Ia berusaha menenangkan
suasana yang bergejolak (Suyono, 2014: 238).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
3.2.2.1.2 Romo Marto
Selain Romo Dijat, Soeharto juga memiliki guru yang lain bernama Romo
Marto. Nama lengkap dari Romo Marto adalah Romo Martopangroso. Romo ini
dikenal Soeharto di Yogyakarta. Soeharto biasanya bertemu dengan Romo Marto
untuk mengkonsultasikan persoalan mengenai kemasyarakatan. Banyak masukan
dari Romo Marto yang diikuti oleh Soeharto. Termasuk saran untuk melakukan
tirakat di Trowulan yang kemudian mempertemukan untuk pertama kali Soeharto dan
Romo Dijat. Itulah mengapa Romo Marto masuk dalam kategori Intelektual Organik
karena Soeharto tetap dapat mengambil sebuah keputusan yang baik di balik
kebijaksanaan Romo Marto.
Romo Dijat dan Romo Marto sering melakukan banyak tirakat dan ziarah di
petilasan-petilasan. Dalam dunia kebatinan Jawa, mereka memiliki kemampuan
khusus yang tidak dimiliki banyak orang. Kemampuan inilah yang kemudian banyak
membantu Soeharto dalam mempertimbangkan dan memutuskan banyak perkara.
Berikut ini kutipan (141) yang menggambakan kemampuan khusus Romo Marto
sehingga Soeharto menjadi tergantung padanya.
(141) Mereka seringmengikuti kedua guru tersebut ziarah dan tirakat di
petilasan-petilasan. Romo Dijat dan Romo Marto dalam dunia
kebatinan Jawa dikenal memiliki kemampuan njarwa atau orang
bisa berhubungan dengan roh leluhur. Kedua guru tersebut biasa
memanggil arwah-arwah untuk masuk ke dalam tubuh mereka.
Mereka adalah medium. Setelah roh itu merasuk ke tubuh, suara
mereka akan berubah. Dan orang bisa bertanya-jawab-meminta
nasihat atau pesan-pesan kepada roh-roh tersebut (Suyono, 2014:
226).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
Sebagai guru dari Soeharto, Romo Marto sering melakukan berbagai latihan
dan anjuran untuk mempertebal kepekaan hati dalam melihat sebuah persoalan dan
sekaligus menemukan solusinya. Salah satu latihan yang diajarkan oleh Romo Marto
ialah dengan menangkap gerak hatinya sendiri sambil kungkum di sebuah telaga
bernama Telaga Titis di wilayah Yogyakarta pada malam hari. Berikut kutipan (142)
yang menggambarkan model pengajaran yang diberikan oleh Romo Marto kepada
Soeharto.
(142) Di telaga itu, menurut Suryo, pernah Pak Harto duduk
bermenung diri. Umurnya saat itu 300-an akhir. Ia tengah di
tantang oleh Romo Marto. Disuruh mengindra mencermati
gerak-gerik hatinya sendiri. Jeanne membayangkan Pak Harto di
usia muda itu duduk menajamkan hati. Telaga itu disebut Telaga
Titis. Ia tahu dalam bahasa Jawa, titis artinya tepat sasaran.
Menurut Suryo, di situ Pak Harto dilatih Romo Marto mengasah
hati agar bisa meraba masa depan. Menjelang pukul 12 malam,
Pak Harto diminta turun ke telaga. Dan berendam berjam-jam
sampai parak pagi tiba. Di dalam air itu Pak Harto ditempa untuk
memantapkan hatinya agar segala tindakannya tits seperti
seorang pemanah mampu mengarahkan anak panahnya ke titik
pusat lingkaran, Jeanne membayangkan Pak Harto berhari-hari
kungkum di telaga (Suyono, 2014: 262).
3.2.2.1.3 Romo Budi
Romo Budi merupakan satu dari tiga orang guru Pak Harto di atas. Mereka
memang seperti triumvirat yang selalu menjaga Pak Harto. Kalau Romo Dijat diajak
konsultasi oleh Pak Harto berkaitan dengn persoalan politik dan kenegaraan, Romo
Marto berkaitan dengan persoalan kemasyarakat, sedangkan Romo Budi berkaitan
dengan urusan pribadi dan rumah tangga. Akan tetapi, bedanya Romo Budi dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
kedua guru yang lain, ia tidak melakukan pemanggilan roh untuk masuk ke dalam
tubuhnya. Hal di atas ditunjukkan dalam kutipan (143).
(143) “…Menurut Pak Djayeng, kemudian guru Pak Harto bertambah
satu lagi, yaitu Romo Budi. Mereka bertiga ini seperti triumvirat
yang selalu menjaga Pak Harto. Mereka memiliki keahlian
masing-masing. Bila Pak Harto ingin berkonsultasi masalah
politik dan kenegaraan, ia memanggil Romo Dijat. Untuk soal
kemasyarakatan, ia ingin tahu pendapat Romo Marto. Soal
urusan pribadi dan rumah tangga, Romo Budi.” (Suyono, 2014:
228).
3.2.2.1.4 Sunuwarsono
Sunuwarsono merupakan ayah Jeanne. Ia adalah seorang kolonel Angkatan
Darat yang menerapkan secara total disiplin kemiliteran dalam keluarga. Sebagai
bagian dari Angkatan Darat, Sunuwarsono juga menjadi bagian dari Intelektual
Organiknya Soeharto yang juga berasal dari lingkungan Angkatan Darat ABRI8.
(144) Ayah Jeanne, Sunuwarsono (almarhum) adalah seorang kolonel
Angkatan Darat (Suyono, 2014: 61).
3.2.2.1.5 Setyarso
Setyarso adalah pria bertubuh kekar yang memiliki pangkat sersan. Ia juga
menjadi ajudan ayah Jeanne. Keberanian dan sosok kuatnya,ia menjadi tentara yang
paling ditakuti kalangan preman seputar Rampal, kawasan tempat tinggal perwira-
8 Pada masa kekuasaan Soeharto, ada tiga elemen yang membantu Soeharto untuk
menyukseskan kerja Orde Baru. Mereka adalah dari kalangan ABG (ABRI, Birokrat, dan
Golkar). Ketiga elemen tersebut memiliki hak istimewa untuk bertemu Soeharto. Mereka
menjadi bagian organik dari pemerintahan Orde Baru (Pratama, 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
perwira dan barak-barak militer Angkatan Darat. Ia juga pernah bertugas di wilayah
Timor-Timur untuk mengintai gerak-gerak gerilyawan kiri. Dalam hal ini, juga
menjadi bagian dari rezim Orde Baru.
(145) Setyarso adalah sersan,ajudan ayah Jeanne. Setyarso adalah
tentara yang paling ditakuti preman seputar Rampal, kawasan
tempat tinggal perwira-perwira dan barak-barak militer
Angkatan Darat. Ia juga pernah bertugas di wilayah Timor-
Timur untuk mengintai gerak-gerak gerilyawan kiri (Suyono,
2014: 68).
3.2.2.1.6 Soedjono Hoemardani
Soedjono Hoermadani9 adalah militer asisten pribadi Soeharto. Mereka
berdua dibaptis oleh Romo Marto sebagai saudara kebatinan. Romo Dijat pernah
berpesan agar Soedjono tetap menjaga keluarga Soeharto. Rumah Soedjono pun
sering digunakan sebagai tempat Romo Dijat dan Romo Marto mengundang roh-roh.
Mereka berdua kenal sejak Soedjono masih berpangkat kolonel di Semarang.
(146) ”…Soedjono ini juga pejabat terkenal. Dia ini tentara sama
seperti bapakmu. Dia dulu asisten pribadi Pak Harto. Pak Harto
dan Soedjono bersahabat sejak Pak Harto masih berpangkat
colonel di Semarang. Mereka berdua itu saudara kebatinan.”
(Suyono, 2014: 229-230)
3.2.2.1.7 Phhoung
Phhoung bukan menjadi bagian dari pemerintahan Soeharto, namun ia
menjadi bagian dari pemerintahan Kamboja. Dalam deskripsi mengenai Phhoung, ia
9 Soedjono Hoermadani memiliki pangkat mayor jenderal. Ia menjadi staff pribadi Soeharto
urusan keuangan dan ekonomi. Selama memegang masa jabatan, ia diberi gelar oleh
masyarakat sebagai “menteri urusan mistis” (Radiawati, 2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
bekerja di sebuah musem bernama Museum 1000 Buddha. Museum ini merupakan
milik pemerintahan Vietnam. Oleh karena itu, ia menjadi bagian organik dari
pemerintahan Vietnam untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Ia menjadi bagian
organik dari museum dan juga negaranya.
Sebagai quide dalam museum 1000 Budha, tentunya ia memiliki wawasan
yang cukup luas mengenai seluk-beluk museum yang cukup luas dengan berbagai
benda kebudayaan di bawahnya. Dengan pengetahuan tersebut, Phhoung dapat
memberikan keterangan dan penjelasan kepada setiap pengunjung yang datang ke
tempat tersebut. Tugas ini tentunya menunjukkan bahwa Phhoung menjalankan tugas
intelektualnya sebagai penghubung antara masyarakat dengan kebudayaan Kamboja.
Kehadiran Phhoung juga memberikan pengaruh yang baik kepada Suryo untuk
memahami kebudayaan Kamboja.
3.2.2.1.7 Souvvana
Souvvana merupakan pria yang berkenalan dengan Suryo saat Suryo
mengunjungi sebuah kafe pastri di Laos. Dalam deskripsi mengenai dirinya di bab II,
ia digambarkan sebagai pria yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap
keberlangsungan kebudayaan Laos sebagaimana digambarkan dalam kutipan (84).
Suryo menaksir umurnya mendekati 60. Sosoknya lebih mirip hippie
Eropa. Melihatnya, Suryo sepintas ingat foto penyair Bengal Amerika
bernama Allen Ginsberg. Seperti Ginsberg rambut dan janggut putih
lelaki itu awut-awutan, pakaiannya acak-acakan, dan tampangnya
selalu terlihat mabuk. Tampangnya juga mirip tokoh utama, seorang
penyelundup, di film lawas Anjing-anjing Geladak-Suryo lupa
namanya (Suyono, 20014: 322-323).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
Dalam pertemuannya dengan Suryo, ia mengungkapkan banyak hal yang
selama ini ia rahasiakan termasuk kenapa kemudian ia dikategorikan oleh peneliti
sebagai bagian organik dari bangsa dan kebudayaan Laos. Di Laos, ada sebuah ikon
yang berusia lebih dari 2000 tahun dan dipercaya sebagai sebagai simbol kota di
Laos. Bangsa Laos menamainya Prabang Budha – Budha kecil yang dibuat di Sri
Lanka pada masa pemeritahan raja besar India Ashoka di abad ke-3 sebelum Masehi.
Beberapa kali Prabang Budha tersebut mau diambil oleh bangsa lain termasuk saat
paham komunis masuk di Laos.
Untuk mengatasi agar Prabang Budha tidak dicuri atau diambil oleh tangan
yang salah, maka dibuatlah Prabang-Prabang palsu dan kemudian menyembunyikan
yang aslinya. Souvvana adalah salah satu orang yang menyimpan Prabang tiruan
buatan kakeknya termasuk rahasia akan keberadaan Prabang asli. Souvvana menjadi
semacam kunci terakhir yang menjaga pintu rahasia bangsa Laos agar tidak dimasuki
oleh orang-orang komunis. Hilangnya Prabang Budha yang asli sama dengan
hilangnya identitas bangsa Laos.
(147) “Saya menyimpan Prabang-Prabang palsu buatan kakek. Ya, saat
perang kakek saya berusaha agar Prabang tak jatuh ke tangan
komunis. Ia membuat beberapa Prabang untuk mengelabui
orang-orang komunis.” (Suyono, 2014: 334).
Souvvana dikategorikan sebagai Intelektual Hegemonic dari bangsa lain
karena ia memiliki wawasan yang cukup luas mengenai kebudayaan bangsa Laos.
Wawasan tersebut juga sekaligus menjadi identitas dan rahasia keberlangsungan
kebudayaan Laos. Ia menjadi orang yang terlibat dalam pengolahan modal simbolik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
dan kebudayaannya agar kerahasiaan bangsanya tidak sampai bocor ke telinga para
komunis.
3.2.2.2 Intelektual Counter-Hegemonic
Inteletual Counter-Hegemonic diisi oleh tokoh-tokoh yang menjadi anggota
dan simpatisan paguyuban seperti Pak Sinaga, Pak Darsono, Pak Djayeng, Pak
Sewaka, Pak Radjiman, Pak Priyambodo, Pak Koentono, Suryo, Jeanne, Abah
Moertopo, Bante Purnomo, Meneer Widjinarko, Pak Burhan, Pak Begja, dan Gus
Mutaqqin. Paguyuban tersebut menjadi seperti sebuah kelas sosial yang mengikat
semua anggota dan simpatisan ke dalam sistem yang mereka bangun bersama.
Dengan demikian, semua anggota dan simpatisan dikategorikan sebagai Intelektual
Organik dari paguyuban tersebut. Mereka semua memiliki latar belakang dan
wawasan masing-masing untuk saling melengkapi. Di dalam paguyuban inilah,
mereka mengembangkan sebuah ideologi guna menantang ideologi yang telah
disebarkan oleh semua Intelektual Organik Soeharto. Berikut ini kutipan (148) yang
sekilas gambaran mengenai paguyuban dan aktivitas orang-orang di dalamnya.
(148) Suryo melihat paguyuban itu sesungguhnya adalah suatu
perhimpunan balas dosa. Mereka berkumpul dan melakukan
tirakat-tirakat untuk mengakui kekhilafan bersama. Mereka
berkelana dari makam ke makam melakukan ziarah. Bertemu
dengan para suciwan yang bertapa di gua-gua gunung. Mereka
berusaha keras menggalang jaringan kebatinan yang masih
memiliki nurani. Dalam sisa umur, mereka ingin bertobat dan
melakukan yang terbaik untuk bangsa. Mereka ingin membalas
kekeliruan-kekeliruan yang mereka perbuat di awal Orde Baru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
Perjuangan yang mereka jalani banyak terinspirasi dari apa yang telah
dilakukan oleh Pak Sawito Kartowibowo dan sahabatnya Mr, Soedjono. Selain semua
tokoh di atas, ada pula Phu Tram dan Mualim Satu. Kedua tokoh inilah yang
melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Vietnam yang banyak
mendiskriminasikan kebudayaan bangsa mereka-bangsa Champa. Selain itu ada juga
MdDSSG yang menjadi bagian dari masyarakat Timor-Timor dalam menuntut
keadilan kepada Orde Baru. Berikut ini gambaran mengenai latar belakang mereka.
3.2.2.2.1 Pak Sinaga
Pak Sinaga merupakan pemimpin pergerakan paguyuban dalam aksi
menantang lapiran metafisik Soeharto. Sebagaimana yang digambarkan dalam
kutipan (42), Pak Sinaga telah dipercaya oleh seluruh anggota paguyuban sejak
mereka merencanakan sebuah aksi setelah selama ini hanya melakukan dialog dan
diskusi dengan berbagai kalangan mengenai keadaan dan strategi menantang
legitimasi Soeharto.
Sejak hari itu, Pak Sinaga seperti dipercaya resmi bapak-bapak
memimpin gerakan. Pak Sinaga terlihat siap menerima tanggung
jawab. Masa-masa diskusi yang panjang dan dan melelahkan telah
selesai. Masa-masa aksi sudah saatnya dimulai. Pak Sinaga adalah
anggota paguyuban yang paling sepuh. Ia bekas seorang manajer. Ia
juga banyak bergaul dengan kalangan tentara. Ia mengetahui banyak
tempat petilasan (Suyono, 2014: 247)-Kutipan (42).
3.2.2.2.2 Pak Darsono
Pak Darsono merupakan mantan orang kuat di dinas pekerjaan umum. Ia
pernah menangani pembangunan waduk di seluruh Jawa. Untuk itu, Pak Darsono
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
juga pernah menjadi bagian organik dari pemerintahan Soeharto. Ia memutuskan
untuk tergabung dengan paguyuban setelah pensiun dari jabatannya. Di dalam
paguyuban, ia dan yang lainnya melakukan rencana melawan Soeharto. Dalam
sebuah perjalanan mengambil bunga wijayakusuma di Pulau Biru Majeti, Cilacap,
Pak Darsono menjadi salah satu orang yang paling berani mengambil tanggung
jawab. Kutipan (45) mengambarkan keberanian Pak Darsono untuk melawan
Soeharto meskipun mesti menggorbankan nyawanya.
“Saya siap. Saya akan menemani Pak Djayeng. Saya ingin menghirup
aroma bunga itu di tempat asalnya. Saya ingin mencium kelopaknya.
Kalaupun bunga itu belum mekar, saya ingin sujud di tanahnya. Saya
ingin bunga itu tak jatuh ke tangan-tangan orang serakah kekuasaan.
Demi kebaikan negera ini, saya siap menunaikan misi ini. Saya siap
menyeberangi bukit ini dengan perahu sekecil apa pun. Saya hanya
meminta agar Pak Notodirodjo dan Pak Soetomo jangan
memberitahukan rencana kami kepada perewangan-perewangan Pak
Harto. Kalaupun mereka tahu, biar mereka tahu dengan sendiri. Kami
bukan takut terbunuh. Kami tak ingin saling santet-menyantet,” kata
Pak Dasono dari depan pintu (Suyono, 2014: 288)-Kutipan (45).
3.2.2.2.3 Pak Djayeng
Pak Djayeng pernah menguasai peti-peti kemas di pelabuhan. Dari profesinya
ini, Pak Djayeng masuk dalam sebuah sistem perekonomian besar. Urusan
perekonomian tersebut tentunya akan selalu berhubungan dengan berbagai regulasi
yang ditetapkan oleh pemerintah. Ia pun menjadi bagian dari pemerintah yang terikat
oleh sebuah sistem yang dibangun. Setelah bergabung di paguyuban, Pak Djayeng
juga menjadi salah satu orang yang paling berani. Bersama temannya Pak Darsono, ia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
berani menjalani sebuah tanggung jawab yang taruhannya adalah nyawanya sendiri.
Keberanian Pak Djayeng dapat dilihat pada kutipan (46).
“Saya akan berangkat!” dengan tegas Pak Djayeng menawarkan diri
menjadi sukarelawan. “Kalaupun bunga itu belum muncul, saya akan
berdoa di depan pohonnya. Saya akan memohon kepada Tuhan agar
tak ada bala yang menyerang kita. Pak Darsono bilang kepada saya,
dia akan ikut. Saya tak ingin menunggu ombak tenang. Saya yakin
kalau niat kita baik kita akan selamat. Ombak seganas apa pun akan
luluh karena tekad kita.Bagaimana Pak Darsono?” (Suyono, 2014:
287)-Kutipan (46).
3.2.2.2.4 Pak Sewaka
Pak Sewaka merupakan pensiunan ahli radar. Kehadirannya di dalam
paguyuban memberikan wawasan yang positif untuk menantang Soeharto. Dialah
yang memberikan pandangan bahwa salah satu wahyu yang menyokong kekuatan
metafisik Soeharto adalah tusuk konde Bu Tien. Menjelang akhir masa hidupnya pun,
ia berburu tusuk konde petilasan pertapaan Banglampir, Desa Giri Sekar, Panggang,
Gunung Kidul. Dengan mendapatkan tusuk konde tersebut, Pak Sewaka percaya
bahwa Soeharto dapat dikalahkan dengan mudah.
3.2.2.2.5 Pak Radjiman
Pak Radjiman pernah menjadi ahli kartografi yang bekerja di Jawatan
Topografi TNI AD. Ia tentunya menjadi bagian organik dari pemerintahan Soeharto
saat masih mengemban tanggung jawab tersebut. Perlawanan yang pernah dilakukan
oleh Pak Radjiman adalah melakukan napak tilas di Situ Panjalu, lokasi yang belum
pernah dikunjungi oleh anggota paguyuban lainnya. Pak Sewaka tewas dalam napak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
tilas tersebut. Kutipan (52) menggambarkan bentuk perlawanan yang dilakukan oleh
Pak Radjiman.
Pak Radjiman bertahan seminggu. Beberapa tukang sampan
menyatakan, setelah seminggu berada di dalam pulau, Pak Radjiman
keluar, minta diseberangkan. Di tepi danau, ia membeli rokok,
mengisapnya, menyesap kopi, dan bercakap-cakap dengan para
penyampan. Wajahnya tampak riang. Letih tapi bersinar-sinar. Ia
kemudian membungkus makanan dan diminta diantar kembali ke Situ
Panjalu. Namun, setelah seminggu, ia tak keluar-keluar. Ia hilang di
dalam hutan Panjalu. Tak ada yang berani mencarinya. Beberapa
peziarah sempat menyaksikan ada cahaya kemamang atau blorong
panas bergerak di atas cungkup tempat Pak Radjiman biasa menggelar
tikar (Suyono, 2014: 363)-Kutipan (52).
3.2.2.2.6 Pak Priyambodo
Pak Priyambodo pernah menjadi direktur Departemen Pajak. Dengan
demikian, ia pernah menjadi bagian organik dari rezim Orde Baru. Saat bergabung
dengan paguyuban, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan perlawanan lapisan
metafisik Soeharto. Setelah melakukan perlawanan, banyak anggota paguyuban yang
tewas secara tidak wajar akibat teluh yang dilepaskan oleh para spiritual simpatisan
Soeharto. Pak Priyambodo justru tidak wafat, tetapi mengalami sakit jiwa.
3.2.2.2.7 Pak Koentono
Pak Koentono merupakan seorang Sukarnois yang aktif sebagai anggota
Partani Nasional Indoneisa (PNI). Ia pernah masuk tahanan karena aktivitas
politiknya. Wawasannya mengenai filosofi Ganesha memberikan banyak wawasan
baru bagi anggota paguyuban. Saat membicarakan mengenai Ganesha, Pak Koentono
tidak gentar untuk mengeritik dan mengoceh pemerintahan Soeharto. Pembicaraan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
tersebut tentunya sangat sensitif dan berpengaruh fatal saat itu. Berikut kutipan (149)
membuktikan sikap berani Pak Koentono di atas.
(149) Awalnya ia heran mengapa saat Pak Koentono membicarakan
Ganesha, ia berani sekali mengeritik pemerintah Soeharto.
Mengapa bapak-bapak itu membiarkan Pak Koentono mengoceh
seenaknya tentang Pak Harto. Bukankah itu berisiko sekali?
(Suyono, 2014: 195)
3.2.2.2.8 Suryo
Suryo merupakan bagian dari paguyuban. Bergabungnya ke paguyuban
memang tanpa niatan sejak awal. Ia sampai masuk ke dalam paguyuban karena sering
dimintai oleh Pak Sinaga dan bapak-bapak anggota paguyuban lainnya untuk
berurusan dengan benda-benda antik (lih. kutipan 27). Relasinya dengan bapak-bapak
tersebut yang kemudian memosisikan Suryo untuk ikut bergabung dalam paguyuban
dan menjadi bagian organik dari kelompok tersebut.
Jeanne pernah ikut membantu Suryo membungkus pedang
samurai. Pedang itu sepasang….
Pedang tersebut milik seorang perwira Angkatan Laut Jepang
yang pada tahun 1942 memimpin pendudukan ladang minyak
Tarakan. Jeanne tahu Suryo diminta Pak Sinaga, seorang kenalan
Suryo, mengurus pembelian pedang. Berkali-kali sebelumnya
Pak Sinaga bertemu dengan keluarga polisi di Tarakan.
Membujuk agar keluarga tersebut mau melepas samurai. Dan
akhirnya setelah harga disepakati, ia mengutus Suryo menjemput
pedang. Suryo dibekali sebuah tas berisi uang tunai sekitar 20
juta rupiah (Suyono, 2014: 139-140)-Kutipan (27).
3.2.2.2.9 Jeanne
Jeanne sebenarnya ikut keciprat kebiasaan Suryo untuk berelasi dengan
bapak-bapak paguyubandan akhirnya juga ikut bergabung dengan paguyuban.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
Sebagai anak tentara, Jeanne telah terbiasa hidup dengan didikan bapaknya yang
militer. Dampak dari pendidikan ini bisa jadi kemudian ikut membentuk pandangan
Jeanne terhadap Soeharto. Ia menjadi iba bahkan takut saat anggota paguyuban
membicarakan tentang Soeharto seperti yang tertuang dalam kutipan (17). Namun,
bergabungnya Jeanne dengan anggota paguyuban telah mengikat hatinya di sana. Ia
tidak dapat keluar dari kelompok ini meskipun telah teguh niatnya sebelum itu
sebagaimana tergambar dalam kutipan (18). Jeanne dan Suryo pun memiliki wawasan
arkeologis yang cukup luas.
Jeanne gundah. Sebenarnya ia tak mau lagi terlibat acara-acara
Suryo. Ia takut melihat perkembangan terakhir. Sudah terbaca
bahwa perkumpulan ini memiliki itikad yang tak baik. Mereka
adalah orang yang benci kepada Pak Harto. Mereka berniat
menggulingkan Soeharto dengan cara-cara animis. Jeanne
sebenarnya ingin menceritakan semua ini kepada papanya. Ia
bisa membayangkan tentu papanya marah besar. Papanya tentu
akan segera menghubungi teman-temannya di Markas Besar
Jakarta. Bukan mustahil apabila papanya datang sendiri dan
membawa seregu tukang pukul atau ajudan-ajudan untuk
membubarkan pertemuan. Jeanne takut dianggap pengkhianat. Ia
merasa sudah telanjur menjadi bagian dari paguyuban (Suyono,
2014: 230)-Kutipan (17).
Ia ingin meninggalkan rumah Pak Danisworo, tapi tatkala
melangkah ia seolah berputar-putar saja di ruang tamu.
Menghambur ke teras pun tak mampu. Ia malah mau duduk
dalam meja rapat. Biasanya dalam pertemuan-pertemuan ia
bersembunyi di dapur, menyiapkan serabi, sekoteng, sepiring
wajik, atau apa, kini bapak-bapak itu menyuruhnya duduk
semeja. Hari itu seolah-olah secara resmi Jeanne diterima
sebagian inti keluarga paguyuban. Ia menjadi satu-satu anggota
perempuan. Ia orang yang memiliki hak mengajukan usul di
sidang paguyuban (Suyono, 2014: 247-248)-Kutipan (18).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
3.2.2.2.10 Abah Moertopo
Abah Moertopo merupakan simpatisan paguyuban. Dengan demikian, ia
menjadi bagian dari paguyuban juga. Kehadirannya dalam paguyuban memberikan
sumbangsi wawasan mengenai kitab Bardo Thodol. Kitab itu semacam bekal bagi
jenazah agar dalam kematiannya tak terombang-ambing dalam halusinasi dan mampu
menggerakkan dirinya masuk ke dalam Rahim seorang ibu dan dilahirkan kembali.
Pengetahuan mengenai Bardo Thodol ini semacam bekal bagi anggota paguyuban
untuk siap mati kapan pun saat melakukan penyerangan terhadap sisi metafisik
Soeharto. Dalam perjalan ke Jogja untuk menapaktilasi tempat Soeharto melakukan
kungkum, Abah Moertopo juga ikut bergabung dalam perjalanan tersebut.
(150) Dengan suara yang membuat orang seperti tersirap masuk ke
sebuah pelataran punden yang suwung, Abah Moertopo
menerangkan bahwa orang yang telah mempelajari Bardo
Thodol harus sadar sedari sekarat kematian hanyalah sebuah daur
yang beruntun. Bahwa tiap orang telah mengalami ribuan
kematian dan kelahiran kembali (Suyono, 2014 165).
3.2.2.2.11 Bante Purnomo
Bante Purnomo juga merupakan salah satu simpatisan paguyuban.
Kehadirannya di paguyuban memberikan wawasan mengenai kitab Buddha
Satthapanita, kitab dari zaman Sultan Agung. Wawasan ini ia peroleh sebab pernah
menjadi pengurus di sebuah wihara Theravada di daerah Pare. Istilah bante
sebenarnya muncul karena pengalamannya pernah di wihara tersebut. Kitab
Satthapanita adalah kitab teknik meditasi yang bertolak dari refleksi pembusukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
mayat yang pernah dilakukan oleh Buddha. Semua anggota peguyuban dalam
pertemuan tersebut diajar agar dapat melepas keterikatan dengan tubuh mereka.
(151) Pak Purnomo memiliki latar belakang pengurus sebuah wihara
Theravada di daerah Pare. Dalam pertemuan itu, ia akan membabar
kitab Budha Satthapanita (Suyono, 2014: 173).
3.2.2.2.12 Meneer Widjinarko
Meneer Widjinarko merupakan salah satu simpatisan paguyuban yang sangat
dihormati. Kehadirannya di dalam paguyuban seperti sebagai saksi atas sekian
banyak peristiwa yang terjadi di masa lalu dalam cerita mengenai orang-orang yang
pernah menantang Soeharto. Meneer merupakan saudara seperguan Sawito, orang
yang sangat ditakuti Soeharto. Pertemuannya dengan anggota paguyuban pada suatu
malam cukup banyak berkisah mengenai perjalanan Sawito dalam upaya
menaklukkan Soeharto. Perbincangannya dengan anggota paguyuban kemudian
menentukan arah perjuagan/perlawanan paguyuban atas Soeharto.
3.2.2.2.13 Pak Burhan
Pak Burhan adalah salah satu anggota paguyuban. Dalam novel KdDL tidak
banyak mengisahkan mengenai siapa Pak Burhan sebenarnya. Meskipun demikian, ia
cukup mempunyai wawasan mendalam mengenai siapa Mr. Soedjono, sahabat Pak
Sawito. Dalam persidangan atas kasus Pak Sawito, juga hadir Pak Burhan. Ia
menjadi salah satu saksi dari peristiwa peradilan orang yang dianggap Soeharto
sebagai penantang terbesarnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
(152) ”Di pengadilan, Mr. Sudjono masuk dengan gagah. Ia bagai
seorang perwira yang menginspeksi barisan. Tampak betul lelaki
yang sudah banyak makan asam garam. Saya percaya yang
diucapkannya benar. Saya waktu itu terharu sekali
mendengarnya. Ia orang jujur.” (Suyono, 2014: 215).
3.2.2.2.14 Pak Begja
Pak Begja memang tidak banyak digambarkan di dalam novel KdDL. Namun,
tentunya ia adalah anggota tetap paguyuban. Meskipun demikian, ia memberikan
sumbangsi yang sangat bermanfaat bagi paguyuban. Dialah yang mengusulkan agar
paguyuban mengikuti rute yang sudah dilalui Pak Sawito untuk mencari wahyu
tandingan (lih. kutipan 63)
”Pak Sinaga, apakah kita perlu menapaktilasi rute Pak Sawito
menerima wahyu? Saya kira kita perlu. Meski Pak Sawito tidak
mungkin menjadi kepala negara, kita perlu mendapatkan
petunjuk-petunjuk di tempat tersebut mengenai siapa pemimpin-
pemimpin masa depan. Kita perlu wahyu tandingan. Di sana kita
bisa memohon turunnya wahyu tandingan. Wahyu tandingan
siapa saja ratu Adil kelak,Pak Bagja meneluarkan pendapatnya
(Suyono, 2014: 251)-Kutipan (63).
3.2.2.2.15 Gus Mutaqqin
Gus Mutaqqin merupakan seorang kiai yang katanya memiliki sebuah
pesantren kecil di lereng Gunung Merapi-Merbabu. Kehadirannya di paguyuban
untuk memberikan wawasan bagi para anggota paguyuban mengenai kitab
Pangrucutan-karangan Sultan Agung. Sama seperti kedua guru paguyuban
sebelumnya, Gus Mutaqqin juga memberikan wawasan mengenai kondisi tubuh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
setelah menjadi mayat bagi anggota paguyuban. Dalam perjalanan paguyuban ke
Jogja, beliau juga ikut.
(153) ”Bapak-bapak, kitab ini karangan Sultan Agung. Kitab ini
menguraikan bagaimana jenazah bisa racut,lepas, menghilang-
lenyap mengecil…Kitab ini mendeskripsikan berbagai kondisi
jenazah yang tak normal sampai kondisi yang paling baik
sehingga tubuh bisa lenyap, hilang,” Gus Mutaqqin memulai
uraian (Suyono, 2014: 179).
3.2.2.2.16 Pak Sawito Kartowibowo
Pak Sawito Kartowibowo memang bukanlah anggota paguyuban. Namun,
dialah salah satu penyemangat paguyuban untuk terus melakukan perlawanan kepada
Soeharto dengan keyakinan dan keberanian. Ia pernah membuat banyak petisi yang
mendeskritkan Soeharto. Ketakutan lain Soeharto kepada Pak Sawito karena Pak
Sawito merupakan murid dari R.M. Panji Trisirah, guru dari ayah tiri Soeharto (lih.
kutipan 55). Pak Sawito menapaktilasi banyak pepunden-pepunden leluhur untuk
mencari sisa-sisa wahyu penerus Majapahit. Tempat-tempat napak tilas Pak Sawito
lebih banyak daripada Pak Harto seperti yang digambar kan kutipan (54).
“Soeharto menjadi tambah ketakutan, apalagi saat mengetahui bahwa
Sawito adalah murid dari R.M. Panji Trisirah, putra dari Pakubuwono
X di Solo (Suyono, 2014: 210).”-Kutipan (55).
Ia mencari semacam sisa-sisa wahyu penerus Majapahit yang
dipercayainya belum turun.Wahyu itu satu-satunya kekuatan yang
menurut dia bisa menjatuhkan Soeharto. Hutan dan gunung yang
didatangi Sawito bahkan jauh lebih banyak daripada yang pernah
dikunjungi Soeharto semasa muda. Soeharto ketakutan. Pada tahun
1976, atas perintah Jaksa Agung Ali Said dan Menteri Sekretaris
Negera Sudharmono, Sawito diambil dari rumahnya, disel dengan
tuduhan merencanakan penggulingan Soeharto (Suyono, 2014: 208)-
Kutipan (54).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
3.2.2.2.17 Mr. Soedjono
Mr. Soedjono merupakan teman seperjuangan Pak Sawito. Dari sepak
terjangnya, Mr. Soedjono memiliki banyak sekali pengalaman dan prestasi yang luar
biasa. Ia pernah menepuh sekolah hukum di Universitas Leiden, Belanda. Bahasa
Belandanya fasih. Dia menyandang gelar meester in de rechten (Suyono, 2014: 213).
Selain itu dia pernah bekerja untuk Jepang dan terlibat dalam perang Asia – Pasifik.
Dalam persidangan temannya, Pak Sawito, ia juga hadir dan menjadi saksi. Sekian
perjalanan spiritual Pak Sawito, banyak diikuti oleh Mr. Soedjono. Mr. Soedjono
menjadi bagian dari perlawanan Pak Sawito menantang Soeharto.
(154) ”Di pengadilan, Mr. Sudjono masuk dengan gagah. Ia bagai seorang
perwira yang mengispeksi barisan. Tampak betul ia lelaki yang sudah
banyak makan asam garam. Saya percaya yang diucapkannya benar.
Saya waktu itu terharu sekali mendengarkannya. Ia orang jujur.”
(Suyono, 2014:215).
3.2.2.2.18 Phu Tram
Phu Tram bukan menjadi bagian dari paguyuban. Ia merupakan salah satu
suku Champa yang pernah tergabung dalam kelompok penyelam negara yang
bertugas mengangkut harta karun yang karam di dasar laut. Pada masa bertugas
tersebut, Phu Tram menjadi bagian dari pemerintahan Vietnam. Kemudian hari, ia
memutuskan untuk berhenti dan melakukan penyelaman ilegal karena tidak puas
dengan sikap pemerintah Vietnam yang mendikriminasinya. Berbekal kemampuan
menyelamnya, ia pun tetap mengadakan penyelaman ilegal. Penyelaman ini
dipandang sebagai bentuk perlawanan Phu Tram terhadap pemerintah Vietnam. Phu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
Tram juga memiliki wawasan arkeologis yang cukup baik. Pengetahuannya
tersebutkan didokumentasikan dalam sebuah buku kecil yang cocok dipakai oleh
siapa pun untun mengenai situs-situs kebudayaan di Vietnam - sebagian besar
merupakan situs kebudayaan suku Champa (lih. kutipan 79).
“Silahkan baca. Ini daftar candi di Vietnam yang saya buat.”
Jeanne termenung. Ia membolak-balik buku sederhana tersebut.
Tertera berbagai candi yang ada di Vietnam. Tiap uraian
dilengkapi foto hitam-putih. My Son, Dong Doung, Tra Kieu,
Bang An, Chien Dan, Khuong My, Thoc Loc, Huang Thanh, Po
Dam, Phu Hai, Po Nagar…. (Suyono, 2014: 41)-Kutipan (79).
3.2.2.2.19 Mualim Satu
Mualim Satu adalah sahabat dari Phu Tram. Sebagian besar penyelaman Phu
Tram dibiayai oleh Mualim Satu. Mereka berkerja sama karena merasa memiliki
tanggung jawab untuk menyelamatkan harta kekayaan suku Champa. Mereka terikat
satu sama lain dalam perasaan senasib dan sepenanggungan atas nama masyarakat
Champa. Mualim Satu mengumpulkan banyak harta karun suku Champa yang tidak
diinginkan oleh pemerintah Vietnam.
(155) ”Tidak, Jeanne. Aku tidak bisa menyebut dia demikian. Dia bekas
pelaut. Aku memanggilnya Mualim Satu. Namun, dia pelaut yang lain
dari pada yang lain. Dia merasa bertanggung jawab atas kekayaan
Champa di dasar laut. Ia kemudian mengikuti perburuan mencari dan
membeli barang-barang dari kapal karam. Dia bukan penyelam seperti
aku. Dia mirip kolektor. Dia ingin menyelamatkan harta Champa yang
karam di perairan Vietnam (Suyono, 2014: 507).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
3.2.2.2.20 MdDSSG
Mahasiswa dan Demonstran Simpatisan Sebastiao Gomes (MdDSSG)
merupakan kelompok yang atelah muak dengan kekejaman dan ketidakadilan
pemerintah Orde Baru. Tertembak matinya rekan mereka, Sebastiao Gomes menjadi
pemicu keluarnya amarah dan ketidakpuasan mereka. Dengan berani, Mereka
memprotes secara langsung di depan militer Orde Baru dengan membawa spanduk
dan yel-yel referendum.
3.3 Rangkuman
Berdasarkan uraian dan deskripsi di atas. Kita telah melihat dengan jelas
seperti apa formasi dan peran intelektual dalam novel KdDL. Dalam studi ini, tidak
ditemukan tokoh-tokoh yang terkategori ke dalam Intelektual Tradisional. Hal
tersebut terjadi karena dua sebab. Pertama, tidak semua tokoh-tokoh dalam novel
KdDL dapat disebut sebagai intelektual. Kedua, jika tokoh-tokoh tersebut dapat
disebut sebagai intelektual, mereka pasti memenuhi indikator sebagai Intelektual
Organik dari suatu sistem. Baik itu sistem pemerintahan, bangsa, maupun paguyuban.
Kemudian yang terkategorikan sebagai Intelektual Organik dibagi dalam dua
tipe Intelektual Organik, yaitu Intelektual Hegemonic dan Intelektual Counter-
Hegemonic. Tokoh-tokoh yang masuk dalam kategori Intelektual Hegemonic adalah
Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, dan Soedjono
Hoemardani, Phhoung, dan Souvvana. Tokoh-tokoh yang masuk kategori Intelektual
Counter-Hegemonic dibagi menjadi dua kelompok lagi berdasarkan objek yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
dilawan. Pertama, rezim otoriter Soeharto dilakukan oleh anggota dan simpatisan
paguyuban, Sawito Kartowibowo, Mr. Soedjono, dan MdDSSG. Kedua terhadap
pemerintahan Vietnam dilakukan oleh Phu Tram dan Mualim Satu.
Pada bab selanjutnya, yaitu bab IV, akan dibahas secara khusus mengenai
bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh Intelektual Counter-Hegemonic
terhadap rezim otoriter Soeharto, maupun pemeritahan Vietnam. Untuk itu, hasil
penelitian ini, khususnya yang berkaitan dengan Intelektual Counter-Hegemonic telah
memberikan sedikit kemudahan untuk pembahasan bab IV.
Secara garis besar, formasi intelektual dalam novel kdDL dapat
disederhanakan dalam tabel 2 berikut ini:
Tabel 1
Rangkuman Formasi Intelektual dalam Novel KdDL
Intelektual
Tradisional
Intelektual Organik
Intelektual Hegemonic Intelektual Counter-
Hegemonic Kepada
Rezim
Otoriter
Soeharto
Pemerintahan
Kamboja
Bangsa
Laos
Rezim
Otoriter
Soeharto
Pemerinta
-han
Vietnam
-
Romo Dijat
Phhoung Souvvana
Anggotan dan
Simpatisan
Paguyuban
Phu Tram
Romo Marto Sawito
Kartowibowo
Mualim
Satu
Romo Budi
Mr. Soedjono Sunuwarsono
Setyarso
Soedjono
Hoemardani MdDSSG
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
BAB IV
BENTUK-BENTUK COUNTER-HEGEMONI DALAM
NOVEL KUIL DI DASAR LAUT
4.1 Pengantar
Pembahasan mengenai formasi intelektual pada bab III telah memberikan
gambaran mengenai posisi dan peran masing-masing kelompok intelektual tersebut.
Mereka berhadapan dengan pemerintah sekaligus masyarakat untuk menjadi
penghubung dengan membahasakan nilai-nilai maupun ideologi pemerintah dengan
bahasa-bahasa universal untuk dipahami semua kalangan. Berdasarkan hasil
penelitian di bab sebelumnya, tidak satu pun tokoh dalam novel KdDL masuk dalam
kategori Intelektual Tradisional. Dengan demikian, pembahasan pada bab ini akan
difokuskan pada fungsi dan peran serta Intelektual Organik saja.
Berdasarkan poin 3.2.2, Intelektual Organik dapat dikategorikan lagi ke dalam
dua kelompok. Pertama, Intelektual Hegemonic yang berperan untuk menjamin
pandangan massa sesuai dan konsisten dengan nilai-nilai yang telah disebar oleh
pihak penguasa dan diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat. Kedua,
Intelektual Counter-Hegemonic yang memiliki tanggung jawab untuk memisahkan
massa dari pengaruh nilai-nilai penguasa dan membangun sebuah pandangan dunia
sesuai perspektif sosialis (Taum, 2015: 40). Apabila dikaitkan dengan konteks novel
KdDL, yang temasuk dalam golongan Intelektual Hegemonic adalah para simpatisan
dan bawahan pemeritahan rezim otoriter Orde Baru, pemerintahan Kamboja, dan
158
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
bangsa Laos. Mereka bertugas untuk menjaga pandangan massa agar tunduk di
bawah nilai-nilai penguasa dan menganggap semua model kepemimpinan penguasa
sebagai sebuah status quo. Golongan intelektual ini tidak menghadapi banyak
persoalan karena tidak muncul banyak perlawanan yang berarti atas mereka.
Sedangkan tokoh yang masuk dalam ketegori Intelektual Counter-Hegemonic adalah
anggota dan simpatisan paguyuban, Sawito Kartowibowo dan Mr. Soedjono, Phu
Tram dan Mualim Satu. Tugas mereka ialah memisahkan pandangan masyarakat dan
membangun sebuah kesadaran baru dengan menyerang common sense10
agar tercipta
revolusi intelektual. Persoalan yang mereka hadapi ialah cengkraman hegemoni
pemerintah Orde Baru juga pemerintahan Vietnam.
Rezim Orde Baru, menjadi rezim yang bertahan cukup lama. Lamanya
Soeharto berada di tampuk kekuasaan sebenarnya terjadi karena beberapa hal. Sejak
awal berkuasa, Soeharto telah meletakkan fondasi jabatan kepresidenannya yang
kokoh. Dengan jatuhnya Soekarno, Angkatan Darat bangkit sebagai satu-satunya
kekuatan politik yang efektif. Soeharto segera menyusun birokrasi yang mendukung
dan responsif atas kebijakannya. Diciptakannya angkatan bersenjata yang loyal dan
terintegrasi di bawah komandonya; lembaga legislatif dan yudikatif yang tunduk pada
lembaga eksekutif yang dipimpinnya; sistem kepartaian yang disederhanakan dan
yang pucuk pimpinannya ditentukan atas dasar loyalitas kepadanya; lembaga -
10 Common Sense menjadi seperti kumpulan gagasan yang diterima sebagai sebuah
kebenaran (alamiah, wajar, natural) tanpa dipertanyakan secara kritis, tempat ide-ide
dianggap sebagai bagian dari tatanan alamiah. Common sense menjadi tempat dibangunnya
ideologi dan juga menjadi tempat perlawanan terhadap ideologi tersebut (Taum, 2015: 39).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
kepresidenan yang luar biasa kuatnya; serta pers yang terkendali (Haris, 1996: 24-
25).
Ada kecenderungan bahwa masyarakat Orde Baru berada di bawah kepatuhan
selama beberapa dasawarsa. Gejala ini pula yang dihadapi oleh Gramsci saat
mempertanyakan belum adanya sebuah revolusi kaum proletar sebagaimana
diramalkan oleh Marx. Persoalannya bukan pada satunya berpijak pada perspektif
ekonomi dan satunya lagi pada perspektif sosial-politik. Namun, masalahnya ialah
tidak adanya sebuah kesadaran baru untuk menantang penguasa meskipun telah
sewenang-wenang mengganyang banyak warganya. Indikasi tersebut merupakan
gejala yang disebut oleh Gramsci sebagai hegemoni.
Pemerintahan Soeharto telah menjadikan masyarakat tidak dapat berbuat
banyak untuk melawannya. Selama berkuasa, Soeharto menerapkan ideologi
militerisme. Ketika militer berkuasa, maka negara akan selalu ada dalam keadaan
darurat. Pembantaian dan pengganyangan dilakukan bebas dengan alasan menjaga
keamanan dan ketertiban. Prinsip militerisme di jalankan secara penuh dalam
kehidupan masyarakat sipil11
. Semua tindakan kekerasan itu dipandang sebagai
sarana sahih (legitimate means) untuk menyelesaikan masalah. Orang-orang yang
dipandang „bermasalah‟ itu secara sosiologis dikonstruksi sebagai outsiders dan -
11 Militerisme di masa Orde Baru adalah puncak dari ambisi kaum militer yang sejak revolusi
1945 ingin ikut berkuasa. Sejak percobaan kudeta militer tahun 1946; kemudian tahun 1952;
lalu sejak darurat militer tahun 1957 yang memperkuat kekuasaan militer di politik dan
bisnis, serta lahirnya dwi-fungsi; dan sejak berkuasanya Jenderal Suharto tahun 1966 yang
praktis merupakan pemerintahan militer selama 32 tahun. Reformasi militer sejak reformasi
tahun 1998 nampaknya masih mendapat banyak tentangan di dalam tubuh militer sendiri,
sehingga dapat dikatakan mengalami kemandegan (Setiawan, 2016).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
diberi berbagai stigma seperti pengkhianat pancasila, mata-mata musuh, manikebuis,
anti-revolusi, ateis, gabungan anak liar, gerakan pengacau keamanan, penjual
kehormatan bangsa, dan lain-lain. Mereka secara „sahih‟ boleh dihabisi oleh negara
dan kelompok masyarakat „insiders’.’ Kekerasan sah dilakukan kepada kelompok di
luar kita. Kelompok di luar ini kita pandang bukan sebagai makluk manusia yang
dilindungi hukum. Hukum tidak berlaku bagi mereka (Taum, 2015: 165).
Militer dalam pemerintahan Orde baru menjadi aparatus negara yang represif
dengan menggunakan cara-cara kekerasan tanpa memperhitungkan aspek-aspek
kemanusiaan. Budaya kekerasan diterima dan bahkan didogmakan sebagai jalan
keluar terbaik sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Negara
dengan aparatus militernya itu memaksa civil society untuk mempunyai
penghormatan serta perasaan takut dan dengan menerapkan metode kekerasan yang
melahirkan ketakutan yang mencekam. Militer sengaja menciptakan secara sistematis
pandangan bahwa negara haruslah ditakuti, tidak hanya sekadar disegani atau
dihormati (Taum, 2015: 117). Memang masih banyak problema lain yang terjadi
semasa Orde Baru dan cukup banyak jika diurai satu per satu. Akan tetapi, semua
peristiwa itu mengarahkan masyarakat kepada suatu kepatuhan.
Phu Tram dan Mualim Satu pun mengalami represi dari pemerintahan
Vietnam. Khususnya Phu Tram, ia tidak diperbolehkan oleh pemerintah Vietnam
untuk mengambil harta karun suku Champa yang ia temukan saat menyelam.
Aktivitasnya diawasi dengan ketat oleh anggota keamanan Vietnam. Harta kekayaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
suku Champa telah cukup banyak dimiliki oleh Vietnam sehingga pencarian hanya
difokuskan pada benda-benda peninggalan Vietnam.
Sejarah antara Vietnam dan suku Champa sebenarnya telah lama terjadi.
Keduanya seperti menjadi musuh abadi yang telah membunuh banyak orang dan
meruntuhkan cukup banyak situ-situs kebudayaan. Suku Champa pada mulanya
berdiri sebagai sebuah kerajaan yang menguasai Vietnam Tengah dan Selatan sejak
abad ke-7 hingga tahun 1832. Dalam perkembangannya, terjadi peperangan untuk
saling memperbutkan wilayah dan juga kebudayaan. Terjadi upaya penguasaan
wilayah Champa seperti Indrapura – dekat dengan Da Nang tempat Jeanne
mengunjungi situs Po Nagar, Amaravati – sekarang masuk dalam Provinsi Quang
Nam, Vijaya – sekarang masuk Provinsi Bình Định, Kauthara – saat ini bernama kota
Nha Trang tempat situs Pho Nagar, dan terakhir Panduranga – sekarang Provinsi
Ninh Thuận. Vietnam membutuhkan waktu sekitar 9 abad untuk menaklukkan
kerajaan Champa (Musa, 2009).
Pada masa itu, terjadi tindakan kekerasan terhadap orang Champa yang makin
lemah. Banyak warisan kebudayaan kebanggaan Champa seperti Tra Kieu, My Son,
Dong Duong, Kawasan Vijaya, Kauthara, dan Panduranga direbut oleh Vietnam,
termasuk harta benda dan kebabasan suku Champa. Peristiwa masa lalu tersebut yang
membentuk sikap pemerintah Vietnam untuk tidak memberikan kebebasan secara
penuh terhadap orang-orang keturunan Champa. Phu Tram mendapat pekerjaan
sebagai penyelam negara hanya untuk kepentingan Vietnam. Barang-barang suku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
Champa yang ditemukan di dasar laut pun banyak yang diperdagangkan ke luar
negeri untuk menambah keuangan negara.
Berbagai gejolak yang telah dijelaskan di atas sebenarnya menjadi situasi
yang menyebabkan muncul sebuah tindakan perlawanan. Posisi pihak pemerintah
memang memiliki kedudukan yang cukup kuat, apalagi dibantu oleh aparatus dan
intelektual-intelektual organiknya. Pada pembahasan selanjutnya, akan dideskripsikan
bagaimana kemudian muncul berbagai tindakan perlawanan terhadap hegemoni dan
kekuasaan pihak pemerintah.
4.2 Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni
Berikut ini merupakan model perlawanan yang dilakukan oleh berbagai pihak
terhadap dua pihak pemerintah yang telah disebutkan di atas. Model perlawanan
tersebut terdiri dari perlawanan keras, pasif, humanistik, dan metafisik. Memang
novel KdDL cukup banyak membahas mengenai perlawanan metafisik, sehingga
ketiga bentuk perlawanan lainnya tidak banyak disebutkan.
4.2.1 Perlawanan Keras
Perlawanan Keras berkaitan dengan tindakan perlawanan dengan cara
berhadap-hadapan dengan pihak kekuasaan dan mengambil sikap atau tindakan yang
bertentangan dengan kehendak kekuasaan. Bentuk perlawanan tersebut antara lain
dengan mempertanyakan dan meminta aparat militer maupun sipil, atau melakukan
tindakan yang jelas-jelas bertantangan dengan mainstream atau „pendapat umum‟
yang berlaku pada waktu itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
4.2.1.1 Menerbitkan Petisi
Perlawanan dengan menerbitkan petisi ini dilakukan oleh Sawito
Kartowibowo. Keinginan untuk melawan Soeharto melalui petisi ini sebenarnya
dilakukan setelah ia mendapatkan wangsit. Konon, menurut wangsit yang
diterimanya, Sawito mendapat mandat untuk menyampaikan pesan kepada Presiden
Soeharto agar menyerahkan kekuasaannya secara damai demi menyelamatkan
Indonesia.
(156) Sepulang melakukan perjalanan dengan Mr. Soedjono, Pak
Sawito menulis beberapa petisi. Di antaranya berjudul
“Dokumen Menuju Keselamatan”, “Mundur untuk Maju Lebih
Sempurna”, dan “Pernyataan Pemberian Maaf kepada Bung
Karno”. Isinya menganggap Soeharto gagal total. Kepemimpinan
Soeharto harus segera dilimpahkan. Melalui anggota orhiba, ia
mengedarkan petisi-petisi tersebut ke pemuka-pemuka
masyarakat. Tanpa dinyana, petisi Sawito mendapat sambutan
tokoh-tokoh12
(Suyono, 2014: 209).
Untuk itu, ia mendekati sejumlah tokoh penting di dunia politik maupun
agama, seperti Mohammad Hatta, Hamka (Ketua MUI), Kardinal Yustinus
Darmoyuwono (Ketua MAWI), T.B. Simatupang (Ketua PGI), R.S. Soekanto
Tjokrodiatmodjo, mantan Kapolri pertama Indonesia yang juga adalah mertua Sawito
sendiri, dll., dan meminta dukungan mereka dengan menandatangani lima pernyataan
12 Kasus Sawito membangkitkan banyak pertanyaan. Banyak orang yang heran mengapa
banyak tokoh nasional yang dengan naifnya mempercayai Sawito. Menurut orang-orang yang
dekat dengan Bung Hatta, Bapak Bangsa dan Proklamator itu kabarnya merasa tertipu oleh
Sawito. Begitu pula para penandatangan yang lainnya sehingga mereka kemudian
mengeluarkan pernyataan yang isinya mencabut tanda tangan mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
yang telah dipersiapkannya terlebih dulu. Sementara semua tokoh itu hanya
menandatangani satu pernyataan, Bung Hatta menandatangani tiga di antaranya.
Oleh karena hal tersebut, Sawito lalu dianggap melakukan gerakan politik
untuk menggoyahkan kepemimpinan Presiden Soeharto dan bahkan
menggulingkannya dari kekuasaannya pada waktu itu, sehingga ia dikenai tuduhan
subversif. Akibatnya, Sawito diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman penjara 8
tahun yang belakangan dikurangi menjadi 7 tahun. Dalam kasus ini, Sawito dibela
oleh pengacara terkenal Yap Thiam Hien, Abdul Rachman Saleh (yang belakangan
menjadi jaksa agung, dan beberapa pengacara lainnya).
Petisi-petisi yang diterbitkan oleh Pak Sawito tergolong sebagai bentuk
perlawanan yang cukup keras pada masa pemerintahan Orde Baru13
. Tulisan-tulisan
kritikan ataupun protes dianggap sebagai suatu kejahatan kelas berat. Itu karena
tulisan dapat menciptakan propaganda yang efektif bagi masyarakat luas.
4.2.1.2 Aksi Demonstrasi
Aksi demonstrasi merupakan perlawanan keras karena berhadap-hadapan
langsung dengan pihak yang diprotes. Selama masa Orde Baru, cukup banyak aksi-
13 Berbahasa sebagai bertindak mendapatkan referensi penuh di dalam politik Orde Baru.
Yang paling ditakuti Orde Baru,..bukan senjata-dalam hal senjata Orde Baru tidak pernah
berkekurangan karena didukung bala-tentara yang terampil dalam memanggul senjata-akan
tetapi, kata-kata. Yang paling ditakuti adalah kesusastraan, baik itu prosa maupun puisi
(tulisan) (Dhakidae, 2003: 54). Itulah sebabnya sehingga beberapa surat kabar yang
memberitakan tentang tindakan tidak terpuji pemerintah pada masa Orde Baru dibredel.
Penyair-penyair seperti Wiji Tukul dibunuh karena sajak-sajaknya yang tajam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
demonstrasi yang terjadi. Misalnya, dalam tahun 1972, mahasiswa terus saja
melakukan aksi protes dan demonstrasi menantang pembangunan Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) yang dinilai tidak mendesak. Puncak demonstrasi mahasiswa
terjadi pada saat PM Jepang Kakuei Tanaka mengunjungi Indonesia pada tanggal 15
Januari 1974, dan dikenal sebagai Peristiwa Malapetaka 15 Januari (disingkat
Peristiwa Malari). Demonstrasi itu disertai dengan pembakaran-pembakaran dan
menyebabkan korban tewas sebanyak 11 orang, 300 luka-luka, dan 775 orang
ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan
rusak. Di tahun 1977 juga terjadi sebuah aksi demonstrasi untuk menuntut
diadakannya sidang MPR untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto yang
berujung pada aksi mogok kuliah mahasiswa ITB (lih. Taum, 2015: 199).
Demonstrasi besar-besaran juga mewarnai lengsernya Soeharto di tahun 1998.
Salah satu demonstrasi juga yang dilakukan pada masa Orde Baru adalah
demonstrasi MdDSSG. Perlawanan itu disebut sebagai perlawanan keras, karena para
MdDSSG tersebut berhadapan dan menuntut keadilan kepada pemerintah Orde Baru
melalui ABRI - aparat/Intelektual Organik Orde Baru. Aksi yang mereka perjuangkan
jelas bertentangan dan menggangu stabilitas umum pada masa itu –paling tidak
menurut pendapat aparat keamanan yang ada di Santa Cruz.
(157) Benar ternyata Santa Cruz adalah nama pemakaman yang
disembunyikan oleh pemerintah Indonesia. Tahun 1991, tentara
Indonesia membantai ratusan warga Dili di situ. Peritiwa itu
diawalai rombongan mahasiswa Timor Timur yang menyekar
nisan Sebastiao Gomes, rekan mereka yang sebulan sebelumnya
ditembak oleh tentara. Warga ikut berduyun. Para mahasiswa
menggelar spanduk protes. Mereka mengangkat-angkat foto
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
Xanana Gusmao. Simpati mengalir. Mereka bersama warga
meneriakkan yel-yel referendum (Suyono, 2014:81).
Para mahasiswa dan demonstran tersebut sebenarnya menuntut keadilan atas
pembunuhan rekan mereka Sebastiao Gomes sebulan sebelum demonstrasi tersebut.
Konflik berkepanjangan dan ketidakadilan serta kekerasan yang terjadi memicu
gelombang demonstrasi yang besar kepada pemerintah Orde Baru. Kematian
Sebastiao Gomes menjadi batas kesabaran masyarakat untuk tetap tunduk di bawah
kekuasaan Orde Baru. Mereka berkumpul dengan membawa spanduk sambil
meneriakkan yel-yel referendum. Aksi tersebut memicu amarah aparat keamanan
yang kemudian memberondongi para demonstran dengan peluru secara brutal.
Berdasarkan data dari Wikipedia tentang Insiden Dili, disebutkan bahwa dari orang-
orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang.
Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru bernama Kamal
Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
4.2.2 Perlawanan Pasif
Perlawanan Pasif merupakan perlawanan dengan cara tidak melaksanakan
kehendak mainstream atau melakukan tindakan negatif terhadap diri sendiri sebagai
bentuk protes tehadap kekuasaan dan mainstream itu. Dalam penelitian ini, juga
ditemukan sebuah bentuk perlawanan apolitis dengan cara pergi dari medan
perlawanan ke tempat yang jauh. Berikut ini akan dideskripsikan bentuk-bentuk
perlawanan pasif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
4.2.2.1 Tapak Tilas dan Tirakat
Aksi tapak tilas dan tirakat ini dilakukan oleh para anggota paguyuban.
Sebenarnyanya bentuk perlawanan ini masuk dalam kategori Perlawanan Metafisik
karena melibatkan sisi spiritual dan motivasi mistis. Namun, bentuk perlawanan ini
juga masuk sebagai salah satu bentuk Perlawanan Pasif karena mengarah pada upaya
untuk menahan nafsu, kelelahan, dan rasa lapar. Tindakan tersebut tentunya
membawa dampak negatif pada tubuh. Pada bagian ini hanya akan dibahas bentuk
tapak tilas dan tirakat yang dilakukan oleh anggota paguyuban.
Salah satu tokoh yang melakukan aksi tapak tilas dan tirakat adalah Pak
Radjiman. Ia menapaktilasi sebuah lokasi yang belum pernah dikunjungi oleh
anggota paguyuban lain. Lokasi tersebut bernama Situ Panjalu. Tempat ini
merupakan sebuah pulau yang memiliki hutan dengan ratusan cungkup makam tua
(lih. poin 2.3.1.8). Tempat ini sangat menyeramkan bagi banyak orang. Dianggap
sebagai lokasi angker, banyak peziarah yang datang ke tempat ini untuk bertapa
selama berhari-hari. Pak Radjiman juga ikut bertapa di tempat ini. Ia bertahan selama
seminggu (lih. kutipan 52).
Pak Radjiman bertahan seminggu. Beberapa tukang sampan
menyatakan, setelah seminggu berada di dalam pulau, Pak
Radjiman keluar, minta diseberangkan. Di tepi danau, ia
membeli rokok, mengisapnya, menyesap kopi, dan bercakap-
cakap dengan para penyampan. Wajahnya tampak riang. Letih
tapi bersinar-sinar. Ia kemudian membungkus makanan dan
diminta diantar kembali ke Situ Panjalu. Namun, setelah
seminggu, ia tak keluar-keluar. Ia hilang di dalam hutan Panjalu.
Tak ada yang berani mencarinya. Beberapa peziarah sempat
menyaksikan ada cahaya kemamang atau blorong panas bergerak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
di atas cungkup tempat Pak Radjiman biasa menggelar tikar
(Suyono, 2014: 363)-Kutipan (52).
Bertahan selama seminggu berarti duduk dalam posisi samadi dan berpuasa
dengan tidak makan dan tidak minum. Aksi ini tentunya tidak dapat dilakukan oleh
banyak orang. Dalam pikiran rasional, dengan tidak makan dan minum selama
seminggu berarti mengakibatkan rasa lapar dan haus yang sangat menyiksa. Tidak
makan dan minum juga mengakibatkan tubuh lemah dan kekurangan cairan
(dehidrasi). Selain itu, Pak Radjiman juga mesti menahan godaan dan ketakutan yang
menyelimuti hutan Situ Panjalu. Apalagi hutan ini banyak terdapat harimau, ular,
babi hutan baik yang asli maupun yang jadi-jadian.
Motivasi Pak Radjiman melakukan tapak tilas dan tirakat ini ialah untuk
mendapatkan wahyu ataupun pusaka. Ia melanjutkan misi paguyuban untuk
menemukan wahyu tandingan menantang Soeharto. Meskipun sendirian, semangat
perlawanan Pak Radjiman masih tetap ada di dalam hatinya.
4.2.2.2 Menantang Maut
Menantang maut berarti siap untuk menanggung sekian risiko berat bahkan
kehilangan nyawa sekali pun. Dalam novel KdDL, terdapat beberapa tokoh yang
melakukan aksi ini. Mereka itu ialah Pak Darsono dan Pak Djayeng serta Phu Tram.
Mereka dinilai berani untuk mengambil risiko besar dengan motivasi untuk
memperjuangkan suatu keinginan yang besar. Pak Darsono dan Pak Djayeng ialah
untuk memotong pengaruh bunga wijayakusuma bagi keberlangsungan kekuasaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
Soeharto. Sedangkan Phu Tram, berjuang untuk menyelamatkan benda-benda
kebudayaannya di dasar laut.
Dalam rangkaian perjalanan spiritual melawan Soeharto, anggota paguyuban
pergi ke tempat bernama Jambe Pitu, Cilacap. Perjalanan ini sebenarnya dengan
maksud untuk melihat dari jauh Pulau Biru Majeti tempat bunga wijayakusuma
tumbuh dan merencanakan perjalanan ke tempat tersebut. Berdasarkan orang-orang
yang telah lama tinggal di sana bernama Pak Notodirojo dan Pak Soetomo, Pulau
Biru Majeti dilindungi oleh alam dan laut. Siapa pun yang menuju ke sana pasti akan
diserang oleh keganasan laut – gelombang di perairan ini memang dikenal cukup
besar. Siapa pun pasti akan takut untuk mengemban tugas menyeberang ke Pulau
Biru Majeti. Keperkasaan laut dan samudera akan menakutkan bagi siapa pun bahkan
pelaut sekali pun.
Tugas berat tersebut dengan berani diambil oleh Pak Darsono dan Pak
Djayeng. Mereka bahkan bersumpah untuk berusaha sekuat mungkin mendapatkan
bunga tersebut. Ketakutan mereka sebenarnya cuma satu, yaitu orang-orang suruhan
Soeharto sampai lebih dahulu mengambil bunga tersebut. Pilihan tegas mereka
berdua tentunya menantang rasa takut mereka sendiri termasuk kekhawatiran akan
keganasan laut yang bisa kapan saja membalikkan perahu mereka dan menelan
mereka sekaligus (lih. kutipan 45 dan 46).
“Saya siap. Saya akan menemani Pak Djayeng. Saya ingin
menghirup aroma bunga itu di tempat asalnya. Saya ingin
mencium kelopaknya. Kalaupun bunga itu belum mekar, saya
ingin sujud di tanahnya. Saya ingin bunga itu tak jatuh ke
tangan-tangan orang serakah kekuasaan. Demi kebaikan negera
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
ini, saya siap menunaikan misi ini. Saya siap menyeberangi bukit
ini dengan perahu sekecil apa pun. Saya hanya meminta agar Pak
Notodirodjo dan Pak Soetomo jangan memberitahukan rencana
kami kepada perewangan-perewangan Pak Harto. Kalaupun
mereka tahu, biar mereka tahu dengan sendiri. Kami bukan takut
terbunuh. Kami tak ingin saling santet-menyantet,” kata Pak
Dasono dari depan pintu (Suyono, 2014: 288)-Kutipan (45).
“Saya akan berangkat!” dengan tegas Pak Djayeng menawarkan
diri menjadi sukarelawan. “Kalaupun bunga itu belum muncul,
saya akan berdoa di depan pohonnya. Saya akan memohon
kepada Tuhan agar tak ada bala yang menyerang kita. Pak
Darsono bilang kepada saya, dia akan ikut. Saya tak ingin
menunggu ombak tenang. Saya yakin kalau niat kita baik kita
akan selamat. Ombak seganas apa pun akan luluh karena tekad
kita.Bagaimana Pak Darsono?” (Suyono, 2014: 287)-Kutipan
(46).
Seminggu setelah melakukan sumpah mengambil bunga wijayakusuma. Pak
Darsono dan Pak Djayeng bertolak ke Pulau Biru Majeti. Gelombang ganas memang
menyerang mereka bertubi-tubi. Akan tetapi, mereka tidak peduli dan gentar sedikit
pun. Perjalanan tetap dilakukan hingga kemudian setelah 20 menit melaju, sebuah
gelombang besar membalikkan perahu mereka. Pak Darsono dan Pak Djayeng
bersusah payah berenang kembali ke pantai meskipun tubuh mereka dihempaskan ke
sana kemari oleh ombak besar. Mereka mengalami sesak nafas, sesaat dirawat di
Cilacap, namun setelah itu dibawa ke Jogja dan dirawat di RS. Panti Rapih. Kejadian
di perjalan pertama ini tidak membuat mereka kapok dan takut. Mereka bahkan lebih
semangat dari sebelumnya.
Pada perjalanan yang kedua, kondisi laut cukup tenang dan juga cuaca cukup
cerah. Pak Sinaga melepas mereka dari atas bukit dan mereka pun kembali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
melakukan perjalan berbahaya tersebut. Berikut kutipan (158) yang mengambarkan
perjalan laut kedua Pak Darsono dan Pak Djayeng.
(158) Ombak kali ini tenang. Dari atas bukit, Pak Sinaga melepas
mereka. Mulanya perahu mereka meluncur lancar. Tetapi begitu
hampir mencapai pantai sabrang, muncul pusaran kencang
memontang-mantingkan perahu. Mereka terlempar ke arah yang
berbeda. Mayat mereka tidak ditemukan. Hanya pecahan perahu
yang dilihat penduduk pantai (Suyono, 2014: 306).
Aksi menantang maut yang dilakukan Pak Darsono dan Pak Djayeng menjadi
sebuah aksi Perlawanan Pasif karena mereka dengan berani melawan/bersaing dengan
Soeharto untuk bersaing mendapatkan bunga wijayakusuma. Apabila bunga tersebut
jatuh ke tangan Soeharto maka kekuasaannya masih dapat bertahan. Untuk itu, tanpa
mempedulikan risiko besar yang menanti di depan, Pak Darsono dan Pak Djayeng
bahkan menjalankan aksi yang bisa berdampak maut bagi mereka demi menantang
Soeharto.
Aksi menantang maut juga sama dilakukan oleh Phu Tram. Bedanya,
perlawanan tersebut bukan ditujukan kepada rezim Soeharto, tetapi kepada
pemerintahan Vietnam. Sebelum menantang pemerintahan Vietnam secara tidak
langsung, Phu Tram bekerja sebagai penyelam dengan sertifikat resmi. Ia sering
menyelam di berbagai perairan untuk mengambil barang-barang antik di dasar laut.
Namun, profesinya itu seringkali diawasi secara ketat oleh aparat keamanan. Memang
telah ada aturan kepada para penyelam agar tidak ikut mengangkut barang-barang
peninggalan suku Champa dari dasar laut. Jika ada yang ikut terbawa, maka barang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
tersebut harus dibuang kembali ke laut. Pemerintah Vietnam tidak ingin kebudayaan
Champa kemudian bangkit lagi dan mengalahkan kebudayaan Vietnam.
(159) Jeanne mendengar dari mulut lelaki buntung itu, pemerintah
Vietnam tak begitu suka dengan temuan-temuan barang Champa
dari dasar laut. Pemerintah Vietnam merasa cukup banyak
memiliki barang Champa. Pada masa penjajahan Prancis, banyak
arkeolog Prancis yang berminat khusus mengumpulkan artefak
Champa. Dan peninggalan mereka kini disimpan di museum.
Menurut Phu Tram, pemerintah tak mau lagi menambah koleksi
barang Champa (Suyono, 2014: 91).
Sebagai satu-satunya penyelam berdarah Champa, tentunya Phu Tram
mendapat pengawasan yang lebih ketat dibandingkan penyelam-penyelam lainnya.
Tidak jarang Phu Tram mengalami diskriminasi dari para aparat hegemoni seperti
polisi dan Jawatan Kelautan Vietnam. Memang di kapal pengangkut barang-barang
antik ada nakhoda, pembersih keramik, koki, dan para penyelam lainnya. Namun, ia
merasa dirinya paling banyak diawasi. Diskriminasi itu juga muncul dalam hal
pembagian tabung menyelam. Tabung selam milik Phu Tram dibedakan dengan
tabung selam milik penyelam lainnya.
Bukan hanya sekadar mengalami diskriminasi, Phu Tram juga bahkan pernah
mengalami percobaan pembunuhan. Itu terjadi saat ia sedang menyelam. Belum lama
ketika mencapai dasar lautan, tabung oksigen Phu Tram mendadak habis, sementara
teman-teman penyelam lainnya masih hilir-mudik menggali harta karun. Pada
akhirnya, ia sadar bahwa tabung oksigennya ternyata telah dirusak oleh para polisi
agar ia mati ketika di dasar laut. Phu Tram pun berhenti dari kegiatan penyelaman
setelah peristiwa tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
Setelah kembali pulih, Phu Tram kembali diterima dalam suatu ekspedisi
menyelamatkan harta karam di perairan Binh Thuan. Inilah awal dari kekecewaan
Phu Tram kepada pemerintahan Vietnam. Dalam misi tersebut Phu Tram dan teman-
teman penyelamnya menyelamatkan lebih dari 60 ribu keramik di kedalaman 40
meter. Ia kemudian merasa dikhianati karena keramik-keramik hasil pengangkatan
tersebut diunduh ke tempat lelang Amerika dan Eropa. Padahal benda-benda tersebut
bisa diselamatkan dengan membangun museum khusus dan benda-benda sejarah Asia
Tenggara tersebut bisa disimpan dan dirawat dengan baik.
Kekecewaan atas perlakuan pemerintahan Vietnam tersebut menjadikan Phu
Tram memutuskan untuk tidak lagi tergabung dalam kelompok penyelaman negara.
Ia merasa bahwa dengan mengambil benda kebudayaan Champa untuk pemerintahan
Vietnam berarti sama dengan menjual kebudayaannya sendiri. Keluar dari kelompok
penyelaman bukan berarti Phu Tram berhenti menyelam. Ia memutuskan untuk tetap
menyelam meskipun dengan peralatan yang sangat sederhana (lih. kutipan 78).
Yang gila, ia juga tidak menggunakan peralatan menyelam
standar. Ia sama sekali tak membawa tabung oksigen. Ia hanya
membawa kompresor dengan selang panjang. Sahabat-
sahabatnya dari atas yacht akan menjaga kompresor tersebut dan
mengulurkan selang panjang yang akan menjadi alat
bernapasnya di dasar laut. Sungguh nekat. Ia percaya Allah turut
ambil bagian dalam usaha penyelamatan harta karun Champa
(Suyono, 2014: 99)-Kutipan (65).
Berdasarkan kutipan tersebut, peralatan yang digunakan Phu Tram memiliki
risiko yang cukup besar atas dirinya. Selang yang digunakannya sebagai satu-satu
sumber oksigen bisa saja terlilit karang ataupun bangkai kapal lalu pasokan oksigen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
pun bisa saja berhenti. Kedalaman lokasi penyelaman Phu Tram juga memungkinkan
ia tidak memiliki cukup waktu untuk kembali naik ke atas. Dalam kondisi tanpa
oksigen, bisa menyebabkan seorang penyelam akan gelisah dan energinya bisa saja
habis dalam upaya keras untuk kembali berenang ke atas. Itu pun jika tidak
mengalami kram. Risiko tersebut tidak mengkhawatir Phu Tram. Ia tetap berani
mengambil risiko yang sewaktu-waktu bisa saja merenggut nyawanya.
Aktivitas penyelaman ilegal Phu Tram sebenarnya dibantu oleh rekan sesama
suku Champa bernama Mualim Satu. Dari Mualim Satu-lah Phu Tram banyak belajar
sekaligus mendapatkan bantuan dana. Sebagian besar benda-benda suku Champa
yang ditemukan oleh Phu Tram di dasar laut di bawa ke rumah Mualim Satu. Di
rumah Mualim Satu itulah, semua barang temuan Phu Tram dan penyelam lainnya
dikumpulkan dan diamankan.
Tindakan mengoleksi benda-benda kebudayaan suku Champa yang dilakukan
oleh Phu Tram dan Mualim Satu juga bisa dikatakan sebagai bentuk perlawanan
terhadap pemerintahan Vietnam. Barang-barang yang secara jelas dilarang oleh
pemerintahan Vietnam, dikumpulkan oleh Mualim Satu. Rumahnya seolah-olah
menjadi sebuah museum yang kemudian hari semakin bertambah banyak dan dapat
menyaingi kebudayaan Vietnam. Mengumpulkan barang-barang dari dasar laut
tersebut seperti menumbukan kembali kejayaan suku Champa di masa lalu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
4.2.2.3 Mencari Ketenangan di Luar Negeri
Kata “melawan” dalam pemahaman umum diartikan sebagai kontradiksi
frontal antara seseorang atau sekelompok orang dengan seseorang atau sekelompok
orang lain. Akan tetapi, tidak demikian dengan yang dilakukan oleh Jeanne dan
Suryo. Kepergian mereka ke luar negeri sebenarnya dapat juga diartikan sebagai
sebuah perlawanan. Dalam pemahaman Perlawanan Pasif di atas, perlawanan dapat
dilakukan dengan tidak melaksanakan kehendak mainstream atau kehendak umum
sebagai bentuk protes. Sehingga jelas bahwa perlawanan tidak selalu ada kontak fisik
maupun perang gagasan. Apa yang dilakukan oleh Jeanne dan Suryo adalah tindakan
yang tidak dimengerti oleh banyak orang sebagai tindakan “melawan”. Itu berarti
bahwa mereka tidak melaksanakan sikap dan tindakan mainstream.
Jeanne dan Suryo setelah terlepas dari aktivitas paguyuban – tepatnya saat
terjadi penyerangan Markas Besar PDI pada 27 Juli 1996, tidak lagi tergabung dalam
perlawanan metafisik bersama anggota paguyuban. Mereka masuk dalam kesibukan
mereka masing-masing tanpa terikat lagi dengan paguyuban. Jeanne kembali ke
Malang dan akhirnya mendapatkan pengganti Suryo, sedangkan Suryo hidup tidak
jelas dengan pindah dari satu tempat ke tempat lainnya sampai ia aktif di kegiatan-
kegiatan kharismatik sebuah gereja dan bekerja suatu kantor penerbitan.
Kepergian Suryo ke luar negeri atas dasar tugas dari tempat kerjanya atas
mandat Kementerian Pariwisata untuk mendokumentasikan foto-foto candi yang ada
di Asia Tenggara. Ia ke sana juga sebenarnya untuk melupakan rasa bersalahnya
selama ini atas kematian ayahnya. Kepergian Jeanne ke luar negeri juga sebenarnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
atas permintaan ibunya karena melihat Jeanne mengalami kekecewaan atas kandanya
pernikahan Jeanne dan Mas Tubagus. Untuk itu, ia berencana ke Hoi An untuk
mengunjungi sepupunya Linda. Ketakutan tentang teluh dan pengalaman mistik di
masa lalunya juga masih melanda perasaan Jeanne. Dengan tetap berada di Indonesia,
kegelisahan dan kenangan dengan paguyuban bisa saja masih terbawa.
Ketika di luar negeri, Jeanne dan Suryo masih tetap dikejar oleh teluh dari
mistikus Soeharto, bahkan hingga masa Reformasi. Keberadaan mereka di luar negeri
bukan berarti terhindar dari kenangan menakutkan masa lalu dan teluh. Jeanne saat
mengunjungi Angkor masih dihantui oleh bayangan bapak-bapak paguyuban. Saat itu
Jeanne sedang masuk ke dalam sebuah kolam kering Angkor. Tiba-tiba ia melihat
sebuah kolam air imajiner yang sebelumnya berupa susu berubah menjadi keruh
kecokelatan bercampur darah.
(160) Dan dari air yang pekat menyembul tujuh kepala orang sepuh.
Wajah bapak-bapak yang sekali waktu pernah dikenalnya. Ya,
mereka sahabat-sahabat Suryo. Jeanne masih ingat nama bapak-
bapak itu. Pak Sinaga, Pak Djayeng, Pak Priyambodo, Pak
Danisworo, Pak Sewaka, Pak Radjiman. Ia merasa bapak-bapak
itu juga mengenalnya (Suyono, 2014: 9).
Menyaksikan pemandangan mengerikan itu, Jeanne memutuskan untuk pergi
meninggalkan kolam kering Angkor dan melanjutkan perjalanan ke Pnom Bakheng.
Berdasarkan latar waktu kejadian di atas, bapak-bapak itu sudah 14 tahun tidak lagi
dilihat oleh Jeanne bukan karena mereka menyepi di suatu tempat yang tidak
diketahui oleh Jeanne, tetapi karena mereka sudah lama tewas secara tidak wajar oleh
teluh mistikus Soeharto. Jeanne pergi meninggalkan Angkor bukan karena menyerah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
pada bayangan ketakutannya, tapi ia melawan dengan pergi meninggalkannya.
Selama di luar negeri pun Suryo masih dibayangi perasaan bersalah atas sakit jiwa
yang diderita oleh ayahnya. Menurutnya, apa yang dialami oleh ayahnya sebenarnya
merupakan teluh mistikus Soeharto yang sebenarnya kena kepada dirinya.
4.2.3 Perlawanan Humanistik
Perlawanan humanistik merupakan perlawanan terhadap kekuasaan tanpa
kekerasan tetapi dengan memberikan renungan alternatif, apakah sikap dan tindakan
mainstream sudah dipandang tepat atau belum. Perlawanan ini dilakukan oleh Romo
Dijat.
4.2.3.1 Negosiasi dengan Penguasa
Negosiasi dengan penguasa berarti melibatkan orang yang dilawan untuk
mencapai kesepakatan tertentu. Dengan kehadiran penguasa atau pihak yang dilawan
bukan berarti intensitas perlawanan tersebut menjadi berkurang atau bahkan tidak
membawa pengaruh apa-apa. Negosiasi berarti melakukan proses tawar-menawar
untuk mencapai kesepatakan tertentu. Entah itu meloloskan keinginan kelas penguasa
ataupun orang yang melawan. Itu berarti terjadi perang gagasan untuk memenangkan
kepentingan para penegosiasi melalui cara musyawarah dan tawar-menawar.
Dalam konteks novel KdDL, Romo Dijat merupakan orang yang melakukan
negosiasi kepada Soeharto. Kepentingan Romo Dijat saat itu adalah untuk
menawarkan Soeharto agar tidak lagi melanjutkan kekuasaannya. Alasan Romo Dijat
saat itu ialah tawaran tersebut merupakan petunjuk yang ia terima dari para leluhur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
Kepentingan Soeharto saat itu ialah meminta Romo Dijat agar tetap mendukungnya
kembali berkuasa (lih. kutipan 6).
Romo Dijat sebetulnya sudah memperingatkan Soeharto. Tahun
1982, sebelum Soeharto menjabat presiden untuk periode yang
ketiga, Romo Dijat sudah menyarankan Soeharto agar
mengurungkan niatnya. Romo Dijat menerima wisik dari roh leluhur
bahwa Soeharto ngotot. Ia tidak mau mendengar suara roh itu. Ia
memohon kepada Romo Dijat agar merestuinya menjadi presiden
lagi. Soeharto meminta Romo Dijat agar bersiarah dari petilasan ke
petilasan leluhur lain untuk meminta restu. Bila perlu, sampai
leluhur-leluhur di Bali dan Sumatera,” kata Pak Sungkono, diikuti
anggukan dari rombongan Yogya (Suyono, 2014: 235)-Kutipan (6).
Dalam proses negosiasi tersebut, Romo Dijat tidak memenangkan proses
negosiasi. Proses negosiasi tersebut bisa saja berdampak sangat menguntungkan para
oposisi Orde Baru jika seandainya Soeharto benar-benar melaksanakan petunjuk
Romo Dijat. Dalam kasus ini, meskipun Romo Dijat merupakan bagian organik dari
Soeharto. Namun, saat negosiasi dia menjadi senada dengan perjuagan para
Intelektual Counter-Hegemoni, meskipun maksud negosiasi tersebut sebenarnya
untuk menjaga Soeharto agar tidak berada di luar kendali dan semakin sewenang-
wenang.
4.2.4 Perlawanan Metafisik
Perlawanan Metafisik merupakan perlawanan tidak kasatmata yang dilakukan
melalui cara-cara spiritual kebatinan (gaib) oleh para mistikus atau pegiat kebatinan.
Perlawanan ini dilakukan oleh dua pihak. Pihak pertama ialah anggota dan simpatisan
Paguyuban Anggoro Kasih. Kedua, Pak Sawito Kartowibowo dan Mr. Soedjono
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
rekannya. Dalam novel KdDL, pembahasan mengenai jenis perlawanan ini cukup
banyak dan runtut.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Soeharto telah menimbukan banyak
penantangan dan protes. Cukup banyak aksi demostrasi kasar dan penyebaran petisi-
petisi seperti yang dilakukan oleh Pak Sawito mulai banyak bermuculan. Gerakan
tersebut tentu dengan cepat direspon oleh para aparat pemerintah. Banyak terjadi
gesekan fisik di banyak tempat.
(161) Saya lihat di sana-sini mulai ada gerakan buruh. Gerakan
mahasiswa juga makin membesar. Sekuat-kuatnya gerakan
mahasiswa menurut saya masih bakalan tak menggoyahkan Pak
Harto. Jutaan orang berkumpul di lapangan Monas dikerahkan
menuju istana, menurut saya, malah akan mengundang
pertempuran dengan para loyalis Pak Harto. Katakanlah ada
anggota MPR yang mengundurkan diri, membiokot, lalu ada
divisi-divisi kepolisian dan tentara yang membelot, pasti itu
menimbulkan counter dari orang-orang Pak Harto (Suyono,
2014: 248-249).
Namun, menyerang secara fisik saja sepertinya tidak mungkin. Legitimasi
Soeharto juga ditopang oleh dunia kebatinan. Loyalisnya bukan hanya dari birokrasi,
kalangan ABRI, dan partai politik saja, tetapi juga dari para mistikus kebatinan.
Untuk itu, perlu sebuah aksi perlawanan terhadap dunia batin Pak Harto. Melalui cara
inilah, Pak Sawito maupun anggota paguyuban yakin bisa menjatuhkan Soeharto.
Dengan memutuskan untuk melawan secara metafisik, maka aksi mereka dilakukan
secara diam-diam dengan menapaktilasi pepunden-pepunden yang pernah dikunjungi
Pak Harto untuk mencari wahyu tandingan dan menggeser kekuatan wahyu yang
menopang Pak Harto.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
(162) Bapak-bapak, semua gerakan di atas adalah gerakan permukaan.
Gerakan itu tidak akan berhasil bila tidak didukung gerakan
spiritual. Itulah peran kita. Kita semua berkumpul di sini karena
tahu bahwa kita akan melakukan perjalanan berat. Kita akan
melakukan perjalanan ziarah dari pepunden ke pepunden,
memohon kepada para leluhur untuk memuluskan lengsernya
Pak Harto. Kita melakukan gerilya kebatinan. Pak Haro tak
gentar dengan demonstrasi-demonstrasi. Segala macam
demonstrasi sesungguhnya mudah dihancurkan. Tapi dia takut
dengan gerakan semacam ini. Apalagi kalau kita bersatu dengan
murid-murid Romo Dijat, lingkaran Jalan Diponegoro, dan
teman-teman Pak Sawito Kartowibowo. Tanpa gerakan kita ini,
menurut saya, gerakan-gerakan massa akan gagal dan bisa
menjadi boomerang. Bapak-bapak siap?” (Suyono, 2014: 249).
(163) Bapak-bapak tersebut memantau dan mendukung segala aksi
yang menginginkan Soeharto meletakkan jabatan. Mereka
menempatkan diri dalam barisan besar gelombang perlawanan
terhadap Soeharto, namun mereka ingin melakukan dengan cara
sendiri. Mereka berkeyakinan, selamanya Soeharto tidak
tumbang apabila hanya dilawan secara fisik. Tentara di belakang
lelaki asal Kemusuk itu sangat kuat. Mustahil buruh, mahasiswa,
ataupun kelompok-kelompok diskusi pensiunan jenderal bisa
menggulingkannya. Bapak-bapak itu melihat semua perlawanan
fisik bisa berhasil apabila sendi-sendi metafisik yang
mengukuhkan Soeharto sebagai Raja Jawa bisa dirongrong atau
disabotase (Suyono, 2014: 353-354).
4.2.4.1 Bentuk Perlawanan Metafisik
Dalam novel KdDL, Perlawanan Metafisik dilakukan dengan cara
melaksanakan perjalanan spiritual. Cara ini dilakukan pertama kali oleh Pak Sawito
dan rekannya, Mr. Seodjono. Jejak Pak Sawito tersebut kemudian diikuti oleh
anggota Paguyuban Anggoro Kasih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
4.2.4.1.1 Perjalanan Spiritual Pak Sawito
Seperti yang digambarkan dalam poin 2.2.2.7, Pak Sawito menjadi orang yang
paling ditakuti oleh Soeharto. Ketakutan Soeharto karena dua hal. Pertama, Pak
Sawito merupakan murid dari R.M. Panji Trisirah, orang yang menjadi sahabat dan
guru dari ayah tiri Soeharto, T.H. Sumoharmoyo. Kedua, Pak Sawito juga sering
melakukan Perjalanan Spiritual ke tempat yang biasa didatangi oleh Pak Harto,
bahkan lebih banyak dari Pak Harto. Dari kebiasaan tapak tilas itulah, Pak Sawito
mendapatkan wangsit untuk menggeser Soeharto.
Ketika menapaktilasi banyak tempat, Pak Sawito ditemani oleh Mr. Soedjono
sahabatnya. Dari mulut Mr. Soedjono-lah, keluar banyak kesaksian tentang keajaiban
perjalanan sahabatnya. Saat ditangkap karena dituduh bersikap subversif terhadap
pemerintah, Pak Sawito dibela oleh Mr. Soedjono yang bersaksi dengan berani di
depan pengadilan. Saat itu, banyak pihak yang tidak percaya dengan wangsit yang
dikatakan oleh Pak Sawito. Orang-orang menganggap bahwa Pak Sawito terlalu naïf
dan gila. Pembelaan Mr. Soedjono dapat meyakinkan banyak orang. Jika Pak Sawito
memang gila, tentunya seorang Mr. Soedjono yang memiliki riwayat intelektual dan
pengalaman kerja yang mengagumkan tentu tidak ikut larut dalam kegilaan Pak
Sawito (lih. poin 3.2.2.2.17).
Pak Sawito mendapat wisik pertama kali saat di Mancingan. Tempat ini
merupakan lokasi semadi Panembahan Senopati saat akan mendirikan Kerajaan
Mataram. Di tempat ini, saat tirakat, Pak sawito dapat melihat sosok Ki Ageng
Arisboyo, tokoh pelarian zaman Majapahit, tatkala Islam masuk menguasai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
Majapahit. Saat itu, juga hadir Meneer, namun Meneer tidak dapat melihat sosok
tersebut.
(164) ”Tidak. Hanya mata Pak Sawito yang melihat. Mata saya pun
belum sanggup. Ki Arisboyo menurut Pak Sawito badannya
kekar, berwibawa, mengenakan pakaian hitam-hitam seperti
warok Ponorogo.” (Suyono, 2014: 216)
Ki Arisboyo menitahkan Pak Sawito untuk pergi ke Masjid Demak. Ketika
sampai di sana, Pak Sawito segera mencari makam Syek Siti Jenar dan sholat sunnah
dua kali. Setelah itu, ia melanjutkan perjalan ke Kudus dan dari Kudus ke puncak
Gunung Rahwatu bernama Puncak Songolikur. Berikut kutipan (165) menunjukkan
mengapa Gunung Rahwatu menjadi salah satu tempat yang dituju Pak Sawito.
(165) ”Gunung Rahwatu itu perlu didatangi karena di sana banyak
petilasan. Orang Jawa percaya Sunan Kalijaga saat masih
menjadi berandal Lokajoyo pernah bertapa di situ. Bahkan tokoh
pewayangan seperti Abiyasa, Pandu, dan Bambang Sakri
sesungguhnya dari India pernah beberapa kali singgah di situ.
Lereng-lereng Gunung Rahwatu penuh sap-sap pertapaan. Paling
puncak adalah tempat pertapaan Sang Hyang Wenang. Penduduk
percaya Sukarno pernah bertapa di puncak itu. R.M. Panji
Trisirah, mertua Pak Sawito, 30 tahun sebelumnya pernah
bertapa di situ. Beliau menemukan keris Pulang Geni. Keris
itulah yang oleh Pak Sawito dari Kudus dibawa. Dan setelah
sampai di sana ditancapkan di dekat sebuah pohon beringin tua.
Di situlah saat bermeditasi, Sawito mendengarkan bisikan
gaib…” (Suyono, 2014: 218)
Pak Sawito memang sejak awal dipercaya akan memegang kekuasaan sebagai
Raja Jawa. Bisikan gaib yang ia terima di atas sebenarnya berisi pesan bahwa ia akan
memegang tampuk kekuasaan sebagai Raja Jawa. Sebelum ia dinobatkan, posisi Raja
Jawa dipegang oleh Pak Harto. Dengan demikian, dipercaya apabila posisi Raja Jawa
tersebut dapat direbut dari Pak Harto, maka Pak Sawito dengan mudah dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
menggesernya. Menjadi Raja Jawa berarti seluruh Nusantara sejak itu secara batiniah
sah di bawah kekuasaan Pak Sawito.
Proses penobatan Pak Sawito dilakukan dua kali. Pertama, pada tanggal 10
September 1972. Kedua, pada 16 September1972. Syarat penahbisan tersebut ialah
harus dihadiri oleh titisan Prabu Brawijaya I hingga V. Prosesi penobatan yang
pertama gagal karena dilangsungkan tanpa kehadiran R.M. Panji Trisirah. Oleh
karena itu, prosesi ditunda 6 hari kemudian. Pada prosesi kedua inilah hadir semua
titisan Prabu Brawijaya I hingga V.
(166) Penobatan Sawito akhirnya diulang. Dipilih tanggal 16
September 1972. Lokasinya di tempat yang sama, rumah Mr.
Soedjono di Ciawi. Kali ini yang hadir lengkap. Di halaman
belakang rumah Mr. Soedjono, di bawah pohon cemara, ditata
kursi-kursi berderet. Di depan deretan kursi itu ada dua kursi
penobatan. Sawito dan istrinya, Nuning Srinugrahaningsih,
duduk di kursi penahbisan. Di deretan kursi, duduk berjejer
titisan para Brawijaya. Mulai dari Panji Trisirah yang merupakan
inkarnasi Brawijaya I, kemudian Albert Van Gennep sebagai
Brawijaya II dan Francien, istri Van Gennep, titisan Tri Buana
Tungga Dewi, yang kemudian dikenal sebagai Brawijaya III.
Lalu ada Profesor Suyono Hadinoto, mantan Duta Besar
Argentina, sebagai Brawijaya IV. Seterusnya Mr. Sudjono
sebagai Brawijaya V dengan istrinya. Dan kemudian mantan
Kapolri, Raden Said Soekanto, yang sesungguhnya adalah tokoh
Freemasonry dan pemimpin Loji Indonesia Purwa Daksina. Ia
dianggap sebagai titisan Amangkurat. Semua lalu berpegangan
tangan, mempersatukan tenaga. Setelah energi mereka
tersalurkan, muncullah Jalono (Suyono, 2014: 366).
Ternyata dalam prosesi waktu itu, Jalono tidak memberikan mahkota
Majapahit kepada Pak Sawito. Diduga, Pak Sawito masih kurang melakukan tirakat.
Kabar tersebut terdengar sampai ke telinga Pak Harto. Ia ketakutan sekali, sehingga
Pak Harto menangkap dan memenjarakan Pak Sawito. Jabatan Raja Jawa gagal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
direbut oleh Pak Sawito dari Soeharto. Itulah sebabnya, dalam Perjalanan Spiritual
yang dilakukan sendiri oleh Meneer, ia sering tirakat di makam Panji Trisirah,
gurunya. Meneer ingin meminta petunjuk untuk bertemu Jalono. Mahkota itu masih
ada di tangan Jalono.
Pak Sawito mengalamai kegagalan dalam niat spiritualnya tersebut.
Kehadiran Paguyuban Anggoro Kasih yang kemudian melanjutkan perjalanan Pak
Sawito untuk mencari wahyu tandingan itu. Meneer pun turut memberi masukan bagi
aksi metafisik paguyuban.
4.2.4.1.2 Perjalanan Spiritual Paguyuban Anggoro Kasih
Paguyuban Anggoro Kasih menjadi kelompok orang-orang usia lanjut yang
ingin melakukan balas dosa atas kesalahan mereka di masa lalu. Mereka kecewa
pernah mendiamkan pengganyangan-pengganyangan yang dilakukan oleh Soeharto.
Mereka kecewa karena saat berkuasa, Soeharto banyak melakukan kekeliruan. Aksi
balas dosa tersebut dilakukan dengan cara melawan legitimasi Soeharto.
Paguyuban akhirnya melaksanakan aksi perlawanan metafisik. Pak Sinaga
pun mengambil alih sebagai komando perjalanan gerilya kebatinan tersebut. Mereka
pun mulai merencanakan rute-rute perjalanan yang harus dilalui. Berdasarkan
keputusan anggota paguyuban, ada tiga rute yang akan dilalui mereka. Pertama, rute
yang pernah dilalui oleh Pak Sawito Kartowibowo saat mencari wahyu tandingan
melawan Soeharto. Kedua, rute yang pernah dilalui oleh Pak Harto. Ketiga, menuju
Padang Lawas, Tapanuli Selatan, Medan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
Perjalanan menuju ke Padang Lawas dilakukan oleh Pak Sinaga, Pak
Koentono, dan Suryo. Tempat yang akan mereka pergi adalah Bhairo Bahal. Tempat
tersebut merupakan lokasi pemujaan kepercayaan Heruka (lih. kutipan 97). Maksud
kedatangan mereka ke tempat tersebut ialah untuk memohon kepada leluhur-leluhur
di sana agar tidak terjadi pertumpahan darah saat masa transisi kekuasaan Soeharto.
Mereka takut terjadi pertumpahan darah dan penjarahan hebat seperti peristiwa Muso
Madiun atau peristiwa pembantaian bengis di tahun 1966.
Pak Sinaga lalu menguraikan betapa sampai sekarang masih susah
mencapai Bairo Bahal. Daerahnya sangat tandus, tapi sangat luas,
berhektar-hektar. Pak Sinaga mengenang, saat ia masih kecil, Bairo
Bahal sama sekali belum dijamah arkeolog. Di padang gersang Bairo
Bahal, di sana-sini, ia menyaksikan puing-puing candi batu bata.
Betapapun candi-candi itu sekarang sudah sedikit-sedikit
direkonstruksi, masih banyak yang masih reruntuhan atau bekas-bekas
(Suyono, 2014: 255)-Kutipan (97).
Hubungan antara kepercayaan Heruka dengan ketakutan akan pertumpahan
darah sebenarnya terletak pada model ritual-ritual Heruka yang selalu menggunakan
manusia sebagai sesaji-sesaji. Para penganut agama Heruka percaya bahwa dengan
melakukan meditasi di kuburan dan memakan daging manusia, serta meminum darah
merupakan jalan singkat atau metode cepat untuk mencapai tingkatan tinggi
spiritualitas. Model kepercayaan ini juga tumbuh subur di Jawa dan berkembang
hingga saat ini. Berikut kutipan (167) yang mencontohkan kebiasaan kepecayaan
Heruka yang dipraktikkan saat pembantaian warga PKI di tahun 1966.
(167) ”Saudara-saudara,tanpa kita sadari,agama Bhairo Bahal meresap
sampai jauh ke zaman kita. Saudara-saudara ingat bukan di Jawa
Timur, tatkala geger tahun 1966, banyak anggota BTI dan
organisasi-organisasi pemuda onderbouw PKI diburu oleh massa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
dan pendekar-pendekar pesantren. Mereka ditangkapi dan para
pemimpinnya sering digorok oleh masyarakat. Saya
menyaksikan sendiri bagaimana ada pendekar yang meraup
darah anggota PKI itu dan meminumnya. Itu dikatakan agar roh
gentayangan anggota PKI tidak mengejar-ngejarnya. Tapi saya
melihat, perbuatan mereguk dan meminum darah itu sebenarnya
sisa-sisa dari tradisi ritual agama Heruka, Padang Lawas. Agama
Heruka dan Bhairawa itu masih bergolak dalam alam bawah
sadar masyarakat kita. Dan yang bahaya, itu bisa muncul spontan
saat terjadi kerusuhan…,” (Suyono, 2014: 254).
Anggota paguyuban percaya, dengan memandikan arca Heruka dan Bhairawa
dan meruwat, tidak akan terjadi pertumpahan darah. Bila tidak, leluhur-leluhur
penganutnya masih akan bergentayangan meminta korban. Pak Sinaga akan berdoa di
tempat itu agar jatuhnya Pak Harto tidak akan menimbulkan kekacauan panjang.
Selain arca Heruka, ada pula arca Bhairawa. Arca Bhaiwara ternyata bukan
saja ada di Bhairo Bahal, tetapi juga ada di Museum Nasional dan di Rijksmuseum
voor Volkenkunde Leiden. Pak Koentono menugasi Suryo untuk mengurusi arca
Bhairawa di Museum Nasional dan teman Pak Koentono bernama Van Mollen yang
mengurusi arca Bhairawa di Belanda. Arca Bhairawa tersebut nanti akan diberikan
sesajen pada bagian kakinya dan mengurapi seluruh bagian tubuhnya hingga
wajahnya.
Setelah melakukan perjalanan ke Bhairo Bahal, paguyuban melanjutkan
perjalanan ke Jogja. Tempat yang dituju di Jogja adalah Telaga Titis, tempat Soeharto
dilatih oleh Romo Marto (lih. poin 2.3.1.3). Perjalanan ke tempat ini dilakukan oleh
Pak Sinaga, Jeanne, Suryo, Pak Djayeng, Pak Darsono, Pak Priyambodo, Pak
Danisworo, Pak Radjiman, Pak Sewaka, Abah Moertono, Bante Purnomo, Gus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
Mutaqqin, dan Pak Burhan. Di tempat ini mereka juga melakukan kungkum, seperti
yang pernah dilakukan oleh Soeharto. Harapan dari aksi ini adalah agar ketika Pak
Harto turun nanti, tidak terjadi huru-hara.
Setelah dari Jogja, rombongan melanjutkan perjalanan ke pertapaan Jambe
Pitu, Cilacap. Perjalanan tersebut dimulai pada pukul 12 malam. Jambe Pitu
merupakan lokasi yang biasa dikunjungi Pak Harto untuk menerima wisik dan
menguatkan batin. Pada perjalanan kali ini, mereka ditemani oleh murid Romo Dijat.
Di tempat ini, mereka bisa melihat Pulau Biru Majeti. Pulau ini ditumbuhi bunga
wijayakusuma. Dalam upaya mengambil bunga ke pulau tersebutlah Pak Darsono dan
Pak Djayeng tewas diterjang gelombang laut. Perjalanan ke Jambe Pitu memang
sebenarnya untuk membahas mengenai bunga wijayakusuma.
Dari Jogja, anggota paguyuban melanjutkan perjalanan ke perbatasan Kudus-
Jepara, tepatnya di Gunung Sapto Renggo. Tempat ini dipercaya oleh anggota
paguyuban sebagai lokasi Pak Sawito memperoleh wangsit berhubungan dengan
susunan kabinet dan pembantu-pembantu presiden. Saat tiba di sana, anggota
paguyuban langsung menanam sejumlah obor berbentuk lingkaran dan mereka duduk
di samping obor-obor tersebut. Mereka bermeditasi sambil berharap bahwa akan
mendapatkan tongkat pemberian Tuhan, sama seperti yang pernah diberikan oleh
R.M. Panji Trisirah kepada Pak Sawito. Tongkat tersebut dipakai oleh Pak Sawito
sebagai tongkat komando. Di tengah meditasi, beberapa bapak paguyuban mencoba
mencari tongkat tersebut di rerumputan sekitar tempat mereka bersemadi. Mereka
akhirnya betul-betul mendapatkan tongkat tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
(168) Obor-obor kecil kemudian ditancapkan membentuk lingkaran.
Mereka semua duduk di samping obor-obor. Anggota
rombongan memperoleh informasi bahwa tatkala Pak Sawito
selesai mendapat cahaya itu, R.M. Panji Trisirah yang
mendapingi Pak Sawito menemukan sebatang kayu hutan
langka. R.M. Panji Trisirah percaya kayu tersebut disediakan
Tuhan sebagai bahan tongkat komando bagi Sawito (Suyono,
2014: 289-290).
Menemukan tongkat tersebut bukan berarti Perjalanan Spiritual tersebut
berakhir. Anggota paguyuban masih melanjutkan perjalan ke Alas Ketonggo. Kalau
di Gunung Sapto Renggo, anggota paguyuban mencari tongkat komando, maka
perjalanan ke Alas Ketonggo tersebut untuk mencari tahta Kerajaan Majapahit yang
pernah ditinggal oleh Prabu Brawijaya V (lih. kutipan 110). Dalam upaya mencari
tahta di Alas Ketonggo ini, anggota paguyuban tidak berhasil mendapatkan apa yang
mereka cari. Rangkaian perjalanan ke Alas Ketonggo ini juga merupakan rute
perjalanan yang juga pernah dilakukan oleh Pak Sawito sebelumnya.
Astaga, bukankah itu Alas Ketonggo di Ngawi, dekat Madiun?
Jeanne tak percaya. Bagaimana mungkin hutan ini bisa
menyambung dengan kuil ketiga? Ia mengucek-ngucek matanya.
Mirip ya mirip. Ya, tidak salah lagi. Ia ingat betul bagaimana
juru kunci bernama Saleh Pandan membimbing rombogan Pak
Sinaga menapaktilasi perjalanan Sawito Kartowibowo memasuki
Hutan Ketonggo. Rombongan mencari lokasi pendapa istana tak
terlihat bernama Manik Kumolo. Lokasi itu dipercaya menjadi
tempat penyimpanan takhta istana (Suyono, 2014: 609)-Kutipan
(110).
Pada 27 Juli 1996, tepat pada saat peristiwa Sabtu Kelabu, Pak Sinaga
menganjurkan kepada semua anggota paguyuban agar memencar. Ia menyadari
bahwa aktivitas metafisik mereka mulai tercium oleh mistikus Soeharto. Lagi pula
kondisi Jakarta saat itu sedang tidak aman. Pak Sinaga khawatir jika anggota
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
190
paguyuban yang lain tertangkap oleh aparat. Sejak saat itu aktivitas paguyuban
berhenti. Beberapa bapak-bapak melanjutkan perjalanan spiritual sendiri-sendiri.
Pak Sinaga melanjutkan perjalanan spiritual sendiri ke Desa Sanan Wetan,
desa kelahiran Pak Sawito. Perjalanan ke tempat ini adalah untuk mencari sisa-sisa
pusaka keluarga Pak Sawito. Setelah dari desa tersebut, Pak Sinaga melanjutkan
perjalan ke Candi Sawetar, Desa Kanigoro. Di situlah Pak Sinaga dibunuh oleh juru
makam jadi-jadian (lih. kutipan 43). Pak Djayeng dan Pak Darsono sebelumnya juga
sudah melaksanakan sumpah mereka mengambil bunga wijayakusuma yang
kemudian merenggut nyawa mereka. Pak Sewaka melanjutkan perjalanan ke
petilasan pertapaan Banglampir, Desa Giri Sekar, Panggang, Gunung Kidul. Ia
memang sejak awal percaya bahwa Soeharto juga disokong oleh wahyu Bu Tien.
Wahyu tersebut terdapat pada tusuk konde Bu Tien. Semenjak kematian Bu Tien,
tusuk konde tersebut menghilang. Pak Sawito ke Banglampir untuk mencari tusuk
konde tersebut. Sedangkan Pak Radjiman melanjutkan perjalan ke Situ Panjalu untuk
menemukan pusaka di kuncup-kuncup kuburan (lih. poin 4.2.2.1). Meneer
Widjinarko pun tetap melakukan perjalanan mandiri. Ia berupaya untuk bertemu
dengan Jalono, sosok gaib, sosok yang dipercaya memegang mahkota kerajaan
Majapahit. Upaya Meneer tersebut juga gagal. Perjalanan tersebut merenggut nyawa
Meneer Widjinarko. Meneer meninggal tanpa memberi informasi kepada siapa
sebenarnya mahkota Majapahit tersebut akan diberikan.
“Pak Sinaga ditusuk di Blitar. Pak Sinaga mengunjungi Desa
Sanan Wetan, desa kelahiran Pak Sawito. Pak Sinaga berusaha
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
191
mencari pusaka-pusaka yang masih disimpan oleh keluarga Pak
Sawito, tapi agaknya diikuti…”
Suryo syok.
“Ia ditikam juru makam saat berziarah ke Candi Sawentar, di
Desa Konigoro (Suyono, 2014: 308-309).”-Kutipan (43).
(169) Meneer Widjinarko kemudian berulang kali nyekar Trowulan. Ia
melakukan tirakat di pepunden-pepunden hutan pakis tempat
kompleks pemakaman kuno. Ia manekung di Candi Waringin
Lawang sampai Gua Anggar Besi. November 1997, dikabarkan
Meneer Widjinarko melakukan tirakat di Siti Inggil, tempat yang
dipercaya sebagai makam Raden Wijaya. Mendadak napasnya
tersenggal-senggal. Dari mulutnya keluar buih-buih. Juru kunci
melarikannya ke Rumah Sakit Mojokerto. Ia sempat dirawat di
rumah sakit. Di sela-sela infus yang menancap di hidungnya,
suster mendengar sepatah-patah ia menceritakan Jalono datang
(Suyono, 2014: 367-368).
Paguyuban Anggoro Kasih dan aktivitasnya perlahan hilang seiring dengan
tewasnya satu per satu anggota paguyuban. Jeanne dan Suryo juga masih mengalami
teror dari teluh para mistikus Soeharto bahkan hingga zaman Reformasi. Soeharto
memang pada akhirnya jatuh karena sedikit demi sedikit wahyu yang menopangnya
terkikis habis oleh sisa-sisa perlawanan metafisik atasnya. Orang-orang kepercayaan
Soeharto pun satu-persatu pergi meninggalkannya karena pemimpin rezim tersebut
semakin sewenang-wenang. Ia akhirnya jatuh atas nama aksi fisik mahasiswa dan
demonstran yang keras. Tidak banyak yang tahu bahwa perlawanan metafisik
paguyuban dan Pak Sawito juga berperan menggeser Pak Harto dari tahtanya.
Kejatuhan Soeharto bukan berarti menghilangkan bayang-bayang Pak Harto.
Teluh yang masih mengejar Jeanne dan Suryo sebenarnya menggambarkan bahwa
musuh Orde Baru tersebut masih hidup hingga saat ini. Ia masih mengisi berbagai
posisi dan kepemimpinan di jajaran-jajaran kursi pemerintahan. Kemiskinan yang di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
192
atasi di masa Orde Baru muncul di masa kini. Kebijakan Soeharto di masanya seperti
bom waktu. Reformasi menanggung hutang dan kerusakan alam yang disebabkan
oleh Orde Baru.
4.3 Rangkuman
Bab IV secara khusus membahas mengenai bentuk-bentuk counter-hegemoni
yang terdapat di dalam novel KdDL. Perlawanan tersebut dilakukan oleh Intelektual
Counter-Hegemonic. Mereka adalah orang-orang yang telah mencapai batas
kesabaran untuk mendiamkan kesewenang-wenangan pemerintah. Objek dari
perlawanan tersebut adalah pemerintahan Orde Baru dan pemerintahan Vietnam.
Pemerintahan Orde Baru telah menjadi pemerintahan kuat sekaligus represif
kepada masyarakat Indonesia melalui aparat militernya. Banyak terjadi
pengganyangan-pengganyangan yang tidak berperikemanusaian. Suhu perpolitikan
dan perekonomian pun tidak stabil. Banyak pihak akhirnya kecewa lalu melakukan
aksi protes bahkan upaya menjatuhkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya.
Pemerintahan Vietnam dilawan karena melakukan diskriminasi dan represi
melalui aparatnya kepada suku dan kebudayaan Champa. Phu Tram sebagai salah
satu tokoh yang mengalami perlakuan pemerintahan Vietnam tersebut merasa
kecewa. Ia pernah nyaris terbunuh karena tabung oksigennya dirusak polisi Vietnam.
Dengan demikian, muncullah berbagai perlawanan kepada dua pemerintahan
tersebut. Dalam bab ini, perlawanan dibagi menjadi empat bentuk perlawanan.
Pertama, Perlawanan Keras. Perlawanan ini dilakukan oleh Pak Sawito dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
193
MdDSSG. MdDSSG melawan dengan cara demonstrasi untuk memprotes kekejaman
tentara yang membunuh rekan mereka Sebatiao Gomes sebulan sebelum menggelar
aksi demonstrasi. Pak Sawito melakukan perlawanan kepada Soeharto dengan cara
menerbitkan petisi protes atas model kepemimpinan Pak Harto. Akibat penerbitan
petisi tersebut, Pak Sawito ditangkap oleh aparat dengan alasan melakukan tindakan
subversi kepada pemerintah.
Kedua, Perlawanan Pasif. Perlawanan pasif ini dilakukan dengan tiga cara,
yaitu melalui tapak tilas, menantang maut, dan mencari ketenangan di luar negeri.
Perlawanan Pasif dengan cara tapak tilas dilakukan oleh anggota paguyuban, tetapi
dalam contoh di atas, diwakili oleh Pak Radjiman. Perlawanan yang ia lakukan
dengan cara tapak tilas - secara logis bisa berdampak buruk bagi tubuh. Dengan tapak
tilas, Pak Radjiman percaya bisa memperoleh pusaka untuk melawan Soeharto.
Perlawanan Pasif dengan menantang maut dilakukan oleh Phu Tram dan Pak Darsono
serta Pak Djayeng. Mereka berani mempertaruhkan nyawa mereka sendiri untuk
mendapat suatu hal sebagai cara untuk melawan pemerintah. Risiko maut tidak
menggetarkan hati mereka. Perlawanan Pasif dengan cara mencari ketenangan di luar
negeri dilakukan oleh Jeanne dan Suryo. Perlawanan mereka ini merupakan
perlawanan di luar kebiasaan pada umumnya. Jika arti kata “melawan” berarti ada
sebuah kontradiksi, mereka justru menantang kontradiksi tersebut melalui cara tidak
berhadapan dengan sebuah pertantangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
194
Ketiga, Perlawanan Humanistik. Perlawanan ini dilakukan melalui cara
negosiasi dengan penguasa. Romo Dijat merupakan tokoh yang melakukan negosiasi
dengan Soeharto. Negosiasi tersebut pada akhirnya dimenangkan oleh Soeharto.
Keempat, Perlawanan Metafisik. Perlawanan ini dilakukan melalui sebuah
perjalanan spiritual. Perjalan tersebut dilakukan oleh Pak Sawito dan Mr. Soedjono,
serta para anggota dan simpatisan Paguyuban Anggoro Kasih. Perjalanan Spiritual
yang dilakukan oleh Pak Sawito dan Mr. Soedjono ialah untuk mencari wangsit
tentang kelanjutan gelar Raja Jawa yang diramalkan jatuh ke tangan Pak Sawito.
Sedangkan Perjalanan Spiritual yang dilakukan oleh anggota paguyuban ialah untuk
melanjutkan pencarian Pak Sawito yang gagal dan memohon kepada leluhur-leluhur
agar proses pelengseran Soeharto tidak terjadi huru-hara dan pertumpahan darah.
Berbagai aksi perlawanan di atas berhasil menggeser Soeharto dari kursi
kekuasaannya, meskipun tahta dan mahkota Kerajaan Mahapahit tidak didapatkan
oleh Pak Sawito maupun anggota dan simpatisan paguyuban. Pak Harto memang
sudah turun jabatan, tetapi teluh yang ia lepaskan sudah telanjur menjalar ke mana-
mana. Menembus masa dan generasi. Teluh tersebut bisa saja diinterpretasikan
sebagai kegagalan maupun pengambilan kebijakan yang salah oleh Pak Harto dan
pengaruhnya masih dirasakan hingga masa Reformasi ini.
Berikut ini merupakan tabel 3 yang berisi rangkuman bentuk-bentuk counter-
hegemoni yang terdapat dalam novel KdDL.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
195
Tabel 2
Rangkuman Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam Novel KdDL
Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni
Perlawanan Keras Perlawanan Pasif Perlawanan
Humanistik
Perlawanan
Metafisik
Menerbitkan
Petisi
Aksi
Demonstrasi
Tapak
Tilas dan
Tirakat
Menantang
Maut
Mencari
Ketenangan
di Luar
Negeri
Negosiasi
dengan
Penguasa
Perjalanan
Spiritual
Pak Sawito
Kartowibowo MdDSSG
Pak
Radjiman
Pak
Darsono,
Pak
Djayeng,
dan Phu
Tram
Jeanne dan
Suryo
Romo
Dijat
Anggota dan
Simpatisan
Paguyuban
Anggoro
Kasih, Pak
Sawito
Kartowibowo
dan Mr.
Soedjono
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
196
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Penelitian ini mengangkat judul “Bentuk-bentuk Counter-Hegemoni dalam
Novel Kuil di Dasar Laut Karya Seno Joko Suyono: Perspektif Antonio Gramsci”.
Metode yang dipakai adalah metode deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan
dua teori, yaitu teori Struktural dan teori Hegemoni Antonio Gramsci.
Analisis struktur cerita dalam novel KdDL dilakukan terlebih dahulu untuk
memahami sekaligus memberi gambaran secara singkat mengenai tokoh dan
penokohan serta latar tempat dan latar waktu. Gambaran mengenai tokoh dan
penokohan digunakan oleh peneliti untuk mendukung pembahasan mengenai masalah
formasi intelektual di bab selanjutnya. Penelitian mengenai latar tempat dan waktu
digunakan untuk mendukung bahasan formasi intelektual dan bentuk-bentuk counter-
hegemoni.
Analisis mengenai struktur cerita dalam novel KdDL menunjukkan bahwa
novel ini memiliki tokoh dan penokohan serta latar tempat dan waktu yang cukup
kompleks. Ada sekian banyak tokoh yang bertalian satu sama lain dalam konteks
tempat dan waktu, dari Jakarta, Yogyakarta, Cilacap, Ngawi, Padang Lawas, hingga
keluar negeri dalam periode 1961 hingga tahun 2012. Untuk itu, penelitian hanya
dibatasi pada tokoh dan penokohan serta latar tempat dan waktu yang mendukung
pembahasan-pembahasan selanjutnya.
196
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
197
Berdasarkan hasil analisis struktur cerita, ditemukan beberapa tokoh yang laik
dikategorikan dalam formasi intelekual. Formasi tersebut terdiri dari Intelektual
Tradisional dan Intelektual Organik. Intelektual Organik masih diurai lagi menjadi
Intelektual Hegemonic dan Intelektual Counter-Hegemonic. Pengkategorian tokoh-
tokoh di atas ke dalam formasi intelektual tertentu berdasar berbagai indikator, baik
yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci maupun Daniel Dhakidae.
Pembahasan mengenai formasi intelektual di atas sebenarnya sudah masuk ke
dalam konteks pemikiran Antonio Gramsci. Kaum intelektual itulah yang kemudian
membawa pengaruh ke dalam masyarakat melalui fungsi konektornya untuk
membahasakan nilai-nilai maupun ideologi pemerintah/kelas dominan menjadi
bahasa universal. Merekalah yang berperan untuk mempertahankan status quo
pemerintah dengan menjaga intensitas hegemoni yang sedang berlangsung, ataupun
memisahkan masyarakat dari hegemoni pemerintah dengan menciptakan sebuah
kesadaran baru dan ideologi tandingan. Kesadaran masyarakat akan posisi dan
keberadaan mereka di tengah situasi yang sebenarnya salah yang kemudian
menimbulkan perlawanan atau dalam istilah Antonio Gramsci disebut dengan
counter-hegemoni.
Setelah disaring melalui indikator formasi intelektual, tidak satu pun tokoh
yang masuk dalam kategori Intelektual Tradisional. Tokoh yang disebut sebagai
intelektual, semuanya tergolong sebagai Intelektual Organik, baik itu Intelektual
Hegemonic maupun Intelektual Counter-Hegemonic.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
198
Romo Dijat, Romo Marto, Romo Budi, Sunuwarsono, Setyarso, dan Soedjono
Hoemardanai disebut sebagai Intelektual Hegemonic karena mereka merupakan
bagian organik dari rezim otoriter Soeharto. Keberadaan mereka memberikan
sumbangsih yang bermanfaat untuk melanggengkan kekuasaan Pak Harto, baik
sebagai tembok metafisik, maupun sebagai barisan kekuatan militer. Selain itu, ada
pula tokoh menjadi bagian organik dari pemerintahan Kamboja, yaitu Phhoung dan
bagian organik dari bangsa dan kebudayaan Laos, yaitu Souvvana. Pada dasarnya,
fungsi tokoh-tokoh yang masuk dalam kategori Intelektual Hegemonic di atas karena
menjalankan fungsi mereka untuk menjaga agar ideologi dan nilai-nilai dari
pemerintah tetap diterima oleh masyarakat umum.
Anggota dan simpatisan paguyuban, Pak Sawito Kartowibowo dan rekannya
Mr. Soedjono disebut sebagai Intelektual Counter-Hegemonic. Merekalah yang
melakukan perlawanan kepada Soeharto dan barisan-barisan intelektualnya. Sebagian
besar dari mereka adalah orang-orang yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan
Soeharto lalu kemudian menyesal dan ingin menebus dosa mereka. Anggota
paguyuban bahkan sudah menyiapkan diri untuk mati dengan mempelajari Kitab
Bardo Thodol, Kitab Satthapanita, dan Kitab Pangrucutan. Mereka siap mati kapan
pun dalam misi tersebut. Di samping itu ada pula Phu Tram dan Mualim Satu. Pihak
yang mereka lawan adalah pemerintahan Vietnam. Mereka tidak nyaman karena
aktivitas mereka dibatasi oleh pemerintahan Vietnam. Sebagai orang berdarah
Champa, mereka sering kali menerima perlakukan diskriminasi dan bahkan
percobaan pembunuhan. Pada dasarnya, semua tokoh yang masuk dalam kategori
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
199
Intelektual Counter-Hegemonic adalah tokoh yang melakukan berbagai macam
perlawanan kepada pemerintah sebagai bentuk ketidaksetujuan mereka. Banyak
konsekuensi yang dihadapi mereka bahkan risiko maut. Namun, semua tokoh
diceritakan tidak gentar sedikit pun dan tetap melakukan perlawanan mereka.
Beberapa tewas dalam misi tersebut.
Bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan Intelektual Counter-Hegemonic
pun bermacam-macam, baik itu perlawanan Keras, Pasif, Humanistik, maupun
Metafisik. Beragam bentuk perlawanan tersebut dilakukan dengan maksud untuk
menumbangkan pemerintahan maupun mempertahankan kelangsungan kebudayaan.
Tentunya, semua perlawanan tersebut memiliki risikonya masing-masing.
Perlawanan Keras dalam novel KdDL dilakukan oleh MdDSSG. Mereka
berhadapan langsung dengan aparat pemerintah Orde Baru untuk menuntut keadilan
atas tindakan penembakan yang dilakukan oleh militer terhadap teman mereka,
Sebastiao Gomes sebulan sebelum melangsungkan demonstrasi. Risiko yang dihadapi
oleh para demonstran tersebut ialah penembakan brutal aparat militer yang berujung
pada muculnya banyak korban luka dan jiwa. Selain itu, juga ada beberapa
demonstran yang hilang dalam aksi tersebut.
Perlawanan Pasif dilakukan dengan berbagai cara. Pak Darsono dan Pak
Djayeng serta Phu Tram melakukan perlawanan dengan cara menantang maut. Aksi
ini memiliki risiko kematian. Namun, hasrat mereka mengalahkan ketakutan itu
sendiri. Anggota paguyuban yang dalam hal ini diwakili oleh Pak Radjiman
melakukan perlawanan dengan cara tapak tilas dan tirakat. Dengan cara perlawanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
200
ini, ia siap menanggung risiko kelaparan dan kelelahan yang sangat luar biasa. Pak
Radjiman juga diselimuti oleh risiko bahaya dalam hutan Situ Panjalu. Sedangkan
Jeanne dan Suryo, melakukan perlawanan apolitis. Mereka melawan dengan
meninggalkan situasi kontradiktif atau dengan kata lain melawan kontradiktif itu
sendiri.
Perlawanan Humanistik dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui negosiasi
dengan pemerintah dan menerbitkan petisi protes. Perlawanan dengan cara negosasi
dilakukan oleh Romo Dijat. Ia menawarkan agar Soeharto tidak lagi mencalonkan
diri di pemilu yang ketiga. Ia mengatakan bahwa tawaran tersebut merupakan
petunjuk dari para leluhur yang selama ini menopangnya. Dalam proses negosiasi
tersebut Romo Dijat tidak dapat membujuk Soeharto. Pak Harto masih tetapi
berambisi untuk tetap berkuasa. Perlawanan dengan menerbitkan petisi dilakukan
oleh Pak Sawito. Ia melakukan itu setelah mendapat wangsit untuk menggeser
kekuasaan Soeharto. Petisi tersebut ditandatangani oleh banyak tokoh nasional.
Meskipun mendapat banyak dukungan, Pak Sawito akhirnya ditangkap dan
dipenjarakan dengan tuduhan melakukan tindakan subversif.
Perlawanan yang terakhir ialah Perlawanan Metafisik. Perlawanan ini
dilakukan dalam bentuk perjalanan spiritual untuk mencari wahyu tandingan
Soeharto. Perjalanan spiritual dilakukan oleh Pak Sawito. Tujuan perjalanan tersebut
ialah untuk mencari petunjuk mengenai pewaris tahta dan mahkota Kerajaan
Majapahit setelah Soeharto. Ia memang telah lama diramalkan akan menjadi Raja
Jawa. Usaha Pak Sawito pada akhirnya tidak berhasil. Tahta dan mahkkota
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
201
Mahapahit tidak ia dapatkan. Perjalanan pun dilanjutkan oleh anggota dan simpatisan
Paguyuban Anggoro Kasih. Maksud perjalanan mereka lebih dari sekadar mencari
tahu mengenai siapa sebenarnya pewaris tahta Majapahit. Akan tetapi, mereka pula
berdoa di Arca Heruka dan Bhairawa Padang Lawas untuk mengantisipasi agar dalam
upaya pelengseran Soeharto yang sudah mulai banyak dilakukan mahasiswa tidak
berujung pada huru-hara dan pertumpahan darah. Upaya paguyuban juga tidak
berhasil mendapatkan tahta dan mahkota Majapahit untuk menggeser kedudukan
Soeharto.
Dari semua bentuk perlawanan di atas, di tahun 1998 akhirnya Soeharto juga
turun dari jabatan. Itulah yang menjadi cita-cita dari paguyuban karena Soeharto
sudah cukup lama berkuasa. Dengan demikian, perlawanan yang dilakukan di atas
tidak sia-sia. Phu Tram dan Mualim Satu pun masih tetap melangsungkan upaya
penyelamatan kebudayaan mereka. Cita-cita mereka untuk mengetahui bentuk Kuil di
Dasar Laut lapisan ketiga pun turut dibantu oleh Jeanne.
Ternyata kuil ketiga di dasar laut yang selama ini ingin diketahui oleh Phu
Tram, Mualim Satu dan Jeanne adalah Kerajaan Majapahit yang dulu pernah berjaya
di bumi Nusantara. Tahtanya pernah gagal diperoleh oleh oleh anggota paguyuban
sekian tahun yang lalu dalam rangkaian perjalanan spiritual mereka. Tidak ada yang
dapat memperolehnya hingga saat ini. Perjuangan memperoleh tahta tersebut bisa
dimaknai sebagai perjuangan mengejar kemerdekaan dan kemenangan yang
sesungguhnya. Kuil di Dasar Laut bisa dimaknai sebagai gambaran impian Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
202
Impian tersebut masih tetap diperjuangkan hingga saat ini melalui usaha dan kerja
keras semua pihak untuk membangkitkan kembali kejayaan Majapahit.
Perlawanan di atas ternyata tidak dapat mengatasi konsekuensinya sendiri.
Pada saat terjadi kontak metafisik, para mistikus Soeharto telah melepas cukup
banyak teluh untuk menyerang banyak orang. Bapak-bapak paguyuban tewas secara
tidak wajar akibat teluh tersebut. Dapat dikatakan bahwa Soeharto memang telah
turun dari kursi kekuasaannya, tetapi teluh-nya telanjur melayang ke udara. Bahkan
masih meneror Jeanne dan Suryo di luar negeri saat Reformasi sudah berjalan 14
tahun lamanya. Teluh Pak Harto telah menembus masa dan generasi. Teluh tersebut
dapat diinterpretasikan sebagai kegagalan maupun pengambilan kebijakan yang salah
pada masa Soeharto. Dampaknya seperti sebuah bom waktu yang meneror
masyarakat Reformasi. Utang negara dan kerusakan lingkungan dari perusahaan
tambang yang diizinkan pada masa Soeharto membebani pemerintahan selanjutnya.
Masyarakat juga turut mengalami dampak buruk. Kemiskinan dan kebodohan historis
akibat propaganda Orde Baru masih tetap menguasai alam pemikiran dan kondisi
fisik bangsa Indonesia kini. Ungkapan “Piye penak zamanku tow?” hanya menjadi
ungkapan ironi sekaligus tantangan bagi pemerintah saat ini agar memperjuangkan
kemerdekaan yang sesungguhnya melalui cara-cara yang tidak merugikan bangsa
Indonesia di masa sekarang maupun masa depan. Perlawanan masih akan terus
berlangsung, hingga bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan sejatinya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
203
5.2 Saran
Novel Kuil di Dasar Laut mangangkat cerita tentang kesewenang-wenangan
penguasa yang akhirnya dilawan oleh sejumlah orang. Cukup banyak data yang
mengagumkan dan lengkap dalam novel ini. Novel KdDL juga bisa dikatakan sebagai
sebuah novel sejarah karena sebagian besar data mengenai tokoh dan penokohan,
latar tempat dan waktu serta sosial sesuai dengan kenyataan sejarah. Namun, karena
ini bukan buku Sejarah maka fakta sejarah tersebut masih disisipi oleh imajinasi-
imajinasi Seno.
Dalam studi ini, peneliti kurang memperhatikan aspek sosial dan kebudayaan
yang tumbuh dalam novel KdDL. Untuk itu, penulis menyarankan agar jika ada
peneliti yang ingin melanjutkan penelitian ini, bisa membahas lebih banyak aspek
sosial dan budaya tersebut dengan pendekatan budaya dan kebatinan Jawa.
Bagaimana akar kemunculan gerakan kebatinan di tanah Jawa, seberapa besar
pengaruh gerakan kebatinan di bumi Nusantara, dan sebagainya bisa menjadi pokok
permasalahan yang dibahas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
204
Daftar Pustaka
Dhakidae, Daniel. 2013. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta
Pusat: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Widyatama.
Endraswara, Suwardi. 2013. Sosiologi Sastra Studi, Teori, dan Intepretasi.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Escarpit, Robert.2008. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post-
Modernisme (Edisi Revisi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haris, Syamsuddin (Eds). 1996. Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Jabrohim. 2015. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurniawan, Heru. 2012. Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Lorens, Bagus. 1991. Metafisika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Merriam Webster. 1993. Merriam Webster’s Collegiate Dictionary Tenth Edition.
USA: Merriam-Webster, Inc.
Nanang, Martono. 2014. Sosiologi Pendidikan Micahel Foucault Pengetahuan,
Kekuasaan, Disiplin, Hukuman, dan Seksualitas. Depok: PT. Raja Grafindo
Persada.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadja Mada
University Press.
Patria, Nezar dan Andi Arief.1999. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
205
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik.
Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Sugono, Dendy (Eds). 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi IV. Yogyakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Sukada, Made. 1987. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia Masalah Sistimatika
Analisis Struktur Fisik. Bandung: Penerbit Angkasa.
Susetya, Wawan. 2007. Kontroversi Ajaran Kebatinan. Tanggerang: Penerbit Narasi.
Suyono, Seno Joko. 2014. Kuil di Dasar Laut. Yogyakarta: Lamalera.
Taum, Yoseph Yapi. 2015. Sastra dan Politik Representasi Tragedi 1965 dalam
Negara Orde Baru. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma.
Teeuw. A. 1984. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Utomo, Teguh Wahyu. 2013. Prison Notebooks Catatan-catatan dari Penjara
Antonio Gramsci (terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yody, Wilfridus P.N., 2003. “Membangun Kesadaran Kritis Masyarakat: Sebuah
Gagasan Politik Gramsci Menentang Hegemoni Negara”. Dalam Majalah
Ilmiah Mahasiswa Rajawali, Tahun I, No. 02 Juni 2003, hlm. 110-126.
Sumber Daring:
Junaidi. 2015. “Sebelum Menghilang, Prabu Brawijaya V Tanggalkan Baju di Alas
Ketonggo?”. Stable URL: http://www.jurnaltimes.com/2015/10/sebelum-
menghilang-prabu-brawijaya-v.html. Diakses: 18 Juni pkl 01.12 WIB.
Musa, Mohamad Zain Bin. 2009. “Kerajaan Champa – Hubungannya dengan
Vietnam”. Stable URL: http://www.kesturi.net/?p=910. Diakases: 30 Juni
2016 pkl 23.04 WIB.
Pratama, Sandy Indra. 2014. “Jalan Tol Golkar di Jalur A-B-G”. Stable
URL:www.cnnindonesia.com/politik/20141020140023-32-6981/jalan-tol-
golkar-di-jalur-a-b-g/. Diakses: 18 Juni 2016 pkl 00.12 WIB.
Radiawati, Ririn. 2015. “Kisah 'Dukun yang Jadi Menteri Urusan Mistis' di Erra
Soeharto”. Stable URL: http://www.merdeka.com/peristiwa/kisah-dukun-
yang-jadi-menteri-urusan-mistis-di-era-soeharto.html. Diakses: 18 Juni
2016 pkl 00.16 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
206
Setiawan, Bonnie. 2016. “Militerisme dan Histeria Anti-Komunis”. Stable URL:
http://indoprogress.com/2016/06/militerisme-dan-histeria-anti-komunis/.
Diakses: 29 Juni 2016 pkl 01.25 WIB
Wikipedia. “Cendekiawan”. Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Cendekiawan.
Diakses: 22 Juni 2016 pkl 14.05WIB.
Wikipedia. “Insiden Dili”. Stable URL: https://id.wikipedia.org/wiki/Insiden_Dili.
Diakses: 30 Juni 2016 pkl. 16.51 WIB.
Wikipedia. “Kerajaan Champa”. Stable URL: :
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Champa. Diakses pada 30 Juni 2016,
pkl 23.00 WIB.
Wikipedia. “Metafisika”, Stable URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Metafisika.
Diakses: 18 April 2016 pkl 18.00 WIB.
Wikipedia. “Sawito Kartowibowo”. Stable URL:
https://id.wikipedia.org/wiki/Sawito_Kartowibowo. Diakses pada tanggal 20
Juni 2016 pkl 13.29 WIB.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
207
Lampiran
Sinopsis Novel KdDL
Novel ini diceritakan dengan alur campuran rentetan pengalaman yang
dialami oleh Suryo dan Jeanne sebagai tokoh utama, tepatnya 17 tahun setelah
mereka lepas dari paguyuban kebatinan Anggoro Kasih. Paguyuban tersebut
menantang dan melawan legitimasi Soeharto melalui jalan matafisik. Mereka bahkan
diikuti oleh halusinasi dan trauma dari pengalaman perlawanan metafisik hingga ke
luar negeri.
Di Vietnam, Jeanne berkenalan dengan dengan seorang mantan penyelam
berkaki buntung bernama Phu Tram. Bersama kenalan baru inilah, Jeanne dibawa ke
berbagai situs kebudayaan Vietnam. Phu Tram juga menceritakan banyak cerita pilu
kekejaman bangsa Vietnam atas suku Champa yang mengingatkan Jeanne pada
kejahatan genosida yang pernah terjadi di Indonesia. Di Kamboja, Suryo bertemu
dengan Phhoung yang juga mengenalkan Suryo pada berbagai situs kebudayaan
Kamboja. Di Laos, Suryo juga ditemani oleh Souvvana, pria asli Laos yang kemudian
membocorkan rahasia kebudayaannya.
Kisah demi kisah terjalin dengan rapi selama di luar negeri, mulai dari kisah
menyusuri berbagai candi, mulai dari Siem Reap (Kamboja), Luang Prabang (Laos),
sampai Da Nang (Vietnam). Sekian kejadian janggal yang terjadi selama berada di
luar negeri yang dialami Jeanne dan Suryo ternyata memiliki keterkaitan dengan
peristiwa sejarah Bangsa Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
208
Jeanne dan Suryo sebenarnya telah mengikuti sebuah paguyuban kebatinan
Jawa bernama Paguyuban Anggoro Kasih. Paguyuban tersebut pernah melakukan
perlawanan kepada Soeharto dengan cara metafisik. Mereka melakukan banyak
perjalanan spitual di berbagai pepunden di beberapa wilayah di Pulau Jawa maupun
Sumatera. Perlawanan mereka tersebut bubar setelah terjadi penyerangan markas PDI
di Jalan Diponegoro di tahun 1996. Semenjak itu, sebagian besar anggota paguyuban
tewas secara misterius. Diduga, kematian tersebut diakibatkan oleh teluh yang dilepas
oleh para mistikus simpatisan Soeharto. Jeanne dan Suryo masih tetap diburu oleh
teluh tersebut.
Makin beringasnya teluh yang mengejar-ngejar mereka juga berdampak pada
rusaknya hubungan asmara Jeanne dan Suryo. Mereka berdua sebelumnya adalah
sepasang kekasih . Jeanne meninggalkan Suryo dengan semua kenangan mereka.
Jeanne menikah lagi dengan mas Tubagus. Sementara itu, Suryo masih tetap
berlanglang buana dengan terus dihantui oleh rasa bersalah atas kematian ayahnya.
Mereka berdua bertemu lagi secara tidak sengaja saat di Café Red Piano, Kamboja.
Selama berada di Vietnam, selain bertemu dengan Phu Tram, ia juga bertemu
dengan Mualim Satu. Pertemuan Jeanne dengan kedua orang keturunan Champa
inilah yang melibatkannya dalam membongkar misteri Kuil di Dasar Laut. Berbagai
usaha dilakukan oleh Jeanne untuk mencapai kuil ketiga. Namun, usaha kerasnya itu
selalu berujung pada kegagalan. Setelah meminta restu pada Po Nagar; ibu dari
segala ibu Champa dan menyesap madat yang ditinggal Mualim Satu dan Phu Tram,
misteri tentang kuil ketiga itu pun terungkap. Ternyata, kuil ketiga tersebut adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
209
lokasi yang pernah dikunjungi oleh Jeanne saat melakukan perjalanan spiritual
dengan anggota paguyuban belasan tahun yang lalu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI