berpikir lebih luas lagi dan jangan terlalu cepat ... · berenang” fitri memegang tangan dede...
TRANSCRIPT
Bagi Dede yang membaca cerita ini Kakak Feli harap agar kamu bisa
berpikir lebih luas lagi dan jangan terlalu cepat mengambil keputusan
karena semua itu bisa berubah kapan saja dan kamu bisa lebih baik ataupun
jadi yang terbaik. Kalau kamu memang ingin merasa berarti dimata orang
buatlah hal-hal yang berarti dan yang paling penting adalah hidup penuh
perjuangan. “Masa depan adalah milik mereka yang percaya pada indahnya
mimpi-mimpi mereka” (Eleanor Roosevelt)
Prolog
Seberkas cahaya adalah tanda sebuah kehidupan dan harapan,
semua itu bermula pada seorang perempuan cilik yang berkeinginan untuk
menjadi guru dan melakukan hal-hal yang bisa membuat orang bahagia dan
tentunya bermanfaat bagi orang lain. Sungguh impian yang mulia.
“Cita-cita adalah impian, cita-cita adalah sebuah jalan terang, cita-
cita adalah tujuan hidup dan cita-citalah yang membuat kita bersemangat,
Apakah kalian mempunyai cita-cita?” Tanya Ibu Dede.
“Beta punya.” jawab seorang murid.
“Kalau begitu apa cita-citamu?”
“Beta ingin menjadi guru seperti kau, Bu!” ujarnya dengan semangat.
“Hidup itu masih panjang kita bisa merencanakannya tetapi kita tidak bisa
menentukannya, cita-cita sebagai arah hidup kita, bagus sekali cita-citamu!”
semua tersenyum manis dihadapan Ibu Dede.
Setelah kelas usai beberapa guru menghampiri Ibu Dede, “Terima
kasih atas kebaikanmu untuk datang dan mengajar di tempat yang kumuh
ini, jika anda tidak keberatan bisakah anda melatih kami? kami juga ingin
menjadi guru seperti anda.” Tanya seorang guru muda, Dede hanya
tersenyum dan mengajak mereka duduk melingkar dibawah pohon
Eucalyptus yang sudah tua dan mulai menggugurkan daun-daunnya yang
panjang di musim kemarau ini, lalu Dede-pun mulai bertanya “Bagaimana
rasanya duduk di pohon yang serindang ini?” mereka menjawab “Tentu kita
merasa nyaman dan sejuk” Dede-pun hanya tersenyum melihat mereka
“Apakah kalian tahu pohon ini butuh berapa tahun untuk dapat sebesar ini
dan serindang ini sehingga banyak orang yang singgah di tempat ini dan bisa
menikmmati kerindangannya?” mereka hanya menggeleng mendengar
perkataan Dede, lalu Dede menjawab “Semuanya adalah proses, saya yakin
pohon ini sudah mengalami berbagai rintangan seperti angin ribut ataupun
badai agar pohon ini dapat bertahan Ia harus memiliki penopang yang kokoh
dan hati kalianlah penopang itu agar kuat melawati rintangan setelah kalian
berhasil melawan rintangan kalian akan menjadi benteng yang tak
tergoyangkan seperti pohon yang sangat kokoh nan indah ini.” Mereka
tersenyum dengan ramah setelah mendengar kata-kata mutiara yang keluar
dari mulut Ibu Dede. Sore itu adalah sore yang paling menyenangkan.
Sore berganti malam, Ibu Dede mulai berpikir dan berbicara pada
hati kecilnya “Aku tidak dapat melanjutkan mengajar anak-anak itu karena
keterbatasan biaya, Bagaimana caranya agar aku bisa mendapatkan uang?
aku masih ingin tinggal dan mengajar disini.” Ia-pun berpikir keras untuk
mencari jawabannya, ia tidak ingin merepotkan guru-guru lain. Setelah
berpikir cukup keras ia mencoba untuk membuat buku dan menjualnya demi
sekolah yang Ia cintai. Dan pada malam itu juga Ia mulai menulis sebuah
cerpen masa kecilnya.
Dunia di Dalam Kacamata
Sekelopak bunga mawar mulai berjatuhan satu persatu ke tanah dan
semua ini adalah ulah seorang gadis manis dengan rambut panjang hitamnya
berkilau dibawah sinar matahari yang terik, Ia merasa bersalah karena
telah menghilangkan baju renang kesayangannya, Ia merasa sangat bosan
karena biasaya Ia diajak Ibunya untuk berenang di Griya bersama teman-
temannya yang lain. Hari ini adalah Hari Minggu yang paling membosankan.
Waktu itu terasa sangat cepat tidak terasa sekarang sudah hari
Senin. Wajah Dede masih terlihat sayu dan tidak bersemangat. Amel, Wika
dan Fitri-pun mulai menghampirinya. “Hai Dede! Kenapa mukamu begitu
murung? Disini ada kita yang akan menghibur kamu” sahut Amel dengan
girangnya “Iya De, janganlah kamu terus murung seperti itu” sahut Wika
sedangkan Fitri hanya mengangguk-angguk “Aku menghilangkan baju
renangku.” Dengan wajah yang tertunduk Dede-pun mengungkapkannya
“Tidak apa-apa kamu bisa pinjam yang aku, aku juga sudah lama tidak
berenang” Fitri memegang tangan Dede dengan lembut berharap Dede bisa
kembali riang, mereka tahu bahwa Dede benar-benar menyukai olah raga
renang. Tetapi kata-kata itu tidak cukup membuat hatinya pulih.
“Baiklah kita akhiri pelajaran sampai disini, mari kita akhiri dengan
doa” kata Ibu guru. Siang yang terik dan panas ini membuat air keringat
mengujur diseluruh tubuh mungilnya dan membasahi baju seragam batiknya
yang indah. Ia berlari-lari menuju seorang wanita yang terlihat sedang
menunggu dengan baju daster yang dihiasi dengan batik cokelat. Ia
memandangnya dengan mata yang berbinar-binar dan memegang tangannya
dengan lembut dan mulai menariknya untuk segera pulang. Dede berusaha
untuk melupakan baju renangnya dengan membaca komik. “Dede, ayo bantu
Ibu sebentar!” Ibu berteriak dari dalam dapur “Iya, Bu. Aku segera
datang.” Saat ia menhampiri Ibunya di dapur ia melihat Ibunya sedang
menyiapkan sesuatu “Kejutan!” Ternyata ia telah menyiapkan sebuah baju
renang berwarna merah muda yang indah “Dede, bisakah kita berbincang-
bincang sebentar tentang masa depanmu?” Muka Ibunya terlihat sangat
lembut “Terima kasih Ibu, tentu Ibu, Apa yang ingin Ibu tanyakan?” tanya
Dede polos “Kalau kamu sudah besar kamu ingin menjadi apa?” Dede
berpikir keras karena ia masih bingung tetapi ia ingat dengan guru bahasa
Indonesia idolanya dan ia mulai menjawab “Aku ingin menjadi guru Bahasa
Indonesia!” jawabnya dengan semangat “Bagus! Tetapi apakah kamu tahu
menjadi guru adalah pekerjaan yang sangat mulia dan sangat menolong
karena pekerjaannya adalah menolong dan mengajari yang benar dan jangan
lupa jika kau sudah menjadi guru kamu harus benar-benar mendalami
pekerjaanmu, Ibu akan sangat bangga kepadamu dan Ibu akan selalu
menolongmu.” Dede terlihat sangat terkejut dan matanya mulai berbinar-
binar mendengar perkataan Ibunya ia tidak pernah menyangka kalau
pekerjaan seorang guru adalah pekerjaan yang sangat mulia dan ia mulai
terlihat sangat ambisius dengan cita-citanya dan juga ia pasti bisa
membanggakan orang tuanya dan ia sadar bahwa idola yang sebenarnya
adalah ibunya sendiri.
Besok adalah hari yang paling berharga untuk Devita yang akrab
dipanggil Dede karena jam pertama adalah pelajaran Bahasa Indonesia,
menurutnya tidak ada yang lebih mulia daripada menjadi seorang guru
Bahasa Indonesia. Ia sangat mengagumi guru-guru karena mereka berani
dan juga berkharisma mereka adalah yang terbaik baginya. Ia ingin
mengepakkan sayapnya lebih lebar lagi biarpun ia adalah seorang murid dari
kelas 4 SD Babakan Madang 5 dan biarpun umurnya masih 9 tahun ia ingin
melakukan hal-hal yang mulia seperti para guru. Ia berharap suatu saat
nanti ia bisa menjadi guru. Bagaikan cacing yang hendak menjadi naga tapi
Dede akan menjadi lebih dari naga
Waktu terus berjalan, Dede tumbuh menjadi perempuan yang
cekatan dan terampil, sekarang Dede sudah mau memasuki jenjang SMP.
Orang tua Dede mempunyai rencana untuk menyekolahkan Dede ke
Yogyakarta “Dede kita merencanakan agar kamu dapat melanjutkan sekolah
di Yogyakarta, apakah kamu ingin bersekolah disana?” Dede terdiam sesaat
“Kalau itu kemauan Ibu, saya akan pergi.” Ibu membalasnya dengan
memegang pundak Dede “Ibu melakukan ini demi kebaikanmu, untuk
menempuh jalan yang kebih baik.” Ibunya tahu ini adalah keputusan yang
susah tetapi badai pasti berlalu. Dibalik semua itu Dede juga merasa sedih
karena ia akan meniggalkan semua teman-temannya termasuk orangtuanya,
ia akan tinggal di Yogyakarta bersama paman dan bibinya ini semua
dilakukan demi cita-cita Dede dan orangtuanya mendukung Dede
sepenuhnya, tetapi semua kesuksesan pasti mempunyai resiko dan peristiwa
pahit seperti perpisahan dan masalah yang akan menghampirinya. Bibi dan
Paman Dede berpesan “Semuanya akan baik-baik saja, jika kamu
menjalankannya dengan benar.”
Musim pun terus berganti, akhirnya tibalah saat Dede harus
berangkat ke Yogyakarta, ia di jemput oleh Pamannya. Setelah di bus ia
mengingat semua perkataan orangtuanya, kakaknya dan juga teman-teman
yang dicintainya dan tak lupa juga dari guru Idolanya. Tetapi kata-kata yang
paling Ia ingat adalah kata mutiara Ibunya “Setiap orang pasti pernah
berbuat kesalahan, jika akhirnya kamu tidak berhasil disana, janganlah
menyerah!”
Tahun demi tahun sudah berlalu, ini saatnya Dede untuk masuk
kuliah dan menentukan jalan hidupnya dengan mandiri selain itu dia harus
bisa mengatur hidupnya sendiri, selama ia di Yogyakarta setiap minggu
Dede selalu menyempatkan diri untuk mengirim surat kepada orangtua dan
juga teman-teman dekatnya. Setelah mempertimbangkan masalah keuangan
dan juga waktu. Dede memlilih Universitas Chokroaminoto di Yogyakarta
dan mengambil Kesastraan karena Dede ingin menjadi guru Bahasa
Indonesia.
Singkat cerita ia berhasil masuk dengan nilai yang cukup baik. Dede
pun telah merencanakan semuanya dari awal sehingga semua pun berjalan
dengan mulus tetapi semulus apapun hidup pasti ada kerikil-kerikil kecil,
Dede memulai kehidupannya bukan lagi seperti dulu tapi sebagai wanita
dewasa yang cermat dan cekatan sehingga dengan keuletannya banyak
teman sekuliahnya iri padanya, tetapi Dede bisa melawatinya dengan lapang
dada dan Dede tetap ingin menolong mereka walaupun temannya acuh
padanya. Ia sadar ia harus bisa beradaptasi dengan lingkungan luar. Bagai
pungguk merindukan bulan, bagi Dede tidak ada yang tidak mungkin.
Setelah empat tahun ia berhasil lulus dan menjadi Sarjana Sastra
Indonesia. Beberapa teman Dede kagum melihat kepandaian dan
kecermatannya “Maaf, mungkin aku bukan teman yang baik bagi kamu, tapi
aku mendoakanmu untuk sukses.” Itulah pesan yang diberikan oleh teman-
teman Dede, lalu Dede membalasnya “Terima kasih aku juga akan medoakan
kalian agar sukses di masa yang akan datang.”
Dede lulus dengan nilai baik dan inilah saat yang paling bersinar dan
membara-bara dalam hidupnya seperti orang yang berhasil menghitung
bintang dengan jarinya sendiri. Tetapi sebelum Ia mencari pekerjaan, Ia
pulang ke rumahnya di Banceuy, biarpun Yogyakarta adalah tempat yang
indah, biarpun itu adalah kota besar dan terdapat banyak kesempatan untuk
mencari pekerjaan tetapi tetap Bancuey yang akan selalu dihatinya, Dede
tidak ingin menjadi kacang yang lupa kulitnya. Dede sudah tidak sabar untuk
pulang dan membawa sertifikat yang telah ia genggam seerat mungkin untuk
Ia tunjukan kepada orangtua dan keluarga tercintanya. Ia tidak pernah
merasa serindu dan seriang ini sebelumnya, seperti seluruh pecahan dari
dari hatinya bersatu kembali. Hatinya sudah berteriak-teriak “Aku sayang
kalian semua!”
Deg, deg, deg jantungnya berdetak sangat keras sampai ia pun
dapat mendengarnya. Setelah ia melihat rumah tercintanya, tempat ia
merasa kehangatan dan cinta kasih yang tak terbatas. Tidak ada yang bisa
mengalahkan cinta orangtua kepada anak, terlihat dari jauh keluarganya
sudah melambai kepadanya lalu Dede berlari sekencangnya, ia hanya
terfokus melihat keluarganya. Butiran-butiran keringat dari wajah Dede
jatuh menebus lapisan tanah setelah itu ia langsung melompat dan memeluk
Ibunya sekuat mungkin “Ibu! Betapa rindunya aku padamu!” kata-kata nan
puitis itupun keluar dari mulut Dede yang diiringi suara ngos-ngosan.
“Hari semakin cerah disini.” kata Dede, padahal awan gelap sudah
mulai menutupi matahari, lalu ibunya hanya tersenyum dan membalas “Iya,
secerah hatimu sampai-sampai kamu mengalahkan sinar matahari.” Mereka
hanya tertawa bersama, ayahpun tidak ingin ketinggalan ia menghampiri
mereka sambil membawa nampan yang berisi tiga cangkir teh hangat “Hari
ini gelap sekali padahal kamu baru saja tiba disini sebentar lagi pasti
hujan.” Ujar Ayah “Tidak apa-apa yang penting saya sudah tiba disini
dengan selamat.” Sambil meminum teh yang hangat “Apakah kamu masih
ingat bahwa dulu kamu sangat menyukai hujan? Kamu seperti pecinta air
apapun yang berhubungan dengan air pasti kamu menyukainya.” Ungkap ayah
sambil tersenyum “Iya, kamu sangat suka berenang, jika kamu tidak
berenang pada Hari Minggu pasti kamu akan merengek padaku.” Balas ibu
sambil melihat ke arah ayah merekapun tertawa bersama. Tawaan mereka
mengalahkan suara hujan dan kebersamaan keluarga mereka telah mencuri
hangatnya matahari. Pelangi akan muncul sesudah hujan, kesuksesan akan
muncul setelah kerja keras.
Keesokan harinya, Ia ingin mencoba untuk mengelilingi daerah
Banceuy dan daerah sekitar Banceuy. Saat ia sedang berjalan ia melihat
banyak anak kecil yang bermain di lapangan padahal sekarang adalah jam
sekolah, ia memberanikan diri untuk bertanya lalu ia mengahampiri mereka
“Maaf menganggu kalian, bolehkah saya ikut bermain?” kata Dede, Ia tahu
bahwa anak kecil perlu pendekatan terlebih dahulu sehingga mereka baru
mau berbaur “Silakan Kak, mari kita bermain.” ujar mereka dengan senang.
Matahari sudah hampir tenggelam, mereka sudah lelah bermain lalu mereka
duduk dibawah pohon yang rindang untuk beristirahat, Dede pun mulai
bertanya “Kalau aku boleh tahu, dimana sekolah kalian? Lain kali aku ingin
bermain ke sekolah kalian.” Tetapi mereka terlihat begitu senang dengan
pertanyaan itu dan Dede kira mereka bersekolah “Kami hanya sekolah kalau
ada guru baik yang datang dan mengajari kami tanpa kami harus membayar.”
ujar seorang anak kecil dengan tubuh yang kurus “Iya, kami sangat
menyukai mereka aku harap aku bisa menjadi guru seperti itu.” Dede sangat
terkejut mendengarnya dan hatinya mulai tergerak mendengar perkataan
mereka dan hal terpenting adalah ia menemukan sesuatu yang luar biasa,
anak sekecil mereka telah berpikir hal-hal yang benar-benar mulia, memang
benar dunia tidak hanya ada disekitar kita saja dan bukan hanya di dalam
kacamata yang ruang lingkupnya kecil. Dede seperti menemukan hidup yang
baru dibalik sebuah pelangi.
Setelah satu minggu kemudian, ia bertekad untuk masuk kedalam
sebuah komunitas guru untuk mengajar dengan sukarela bagi mereka yang
tidak mampu dan buta huruf. Dede telah menceritakan semua impiannya
yang baru ini kepada orangtuanya dan orangtuanya sangat mendukung. Ia
pun pergi, sebelum ia berpisah ia berjanji kepada orangtuanya “Aku akan
membanggakan dan aku akan pulang dengan ilmu yang banyak, ini janjiku
pada kalian.” Dede pun pergi ke Nusa Tenggara Timur karena setelah masuk
dalam komunitas guru-guru ia ditugaskan untuk pergi ke Nusa Tenggara
Timur untuk mengajar tanpa bayaran. Ia melakukan pekerjaannya dengan
senang hati dan ia akan melakukan apapun demi melanjutkan proses
mengajar di sekolah dan agar anak-anak bisa mendapatkan pendidikan yang
sepadan. Pahlawan tanpa tanda jasa itulah Devita Sandra yang akrab
dipanggil Dede.
Cita-cita adalah hal yang luar biasa yang bisa mengubah arah tujuan
kita dan membuat kita melakukan apapun demi cita-cita itu. Tetapi cita-cita
itu juga harus diiringi dengan kemauan dan pikiran positif dan terpenting
adalah cita-cita kita bisa membanggakan orangtua, menolong sesama dan
pastinya bermanfaat bagi sesama. Sama halnya yang di lakukan oleh Dede
sebelumnya ia hanya ingin menjadi guru Bahasa Indonesia tetapi setelah ia
melewati dan membuka mata dan telinganya lebar-lebar ia mendapatkan
suatu motivasi yang benar-benar indah Ia benar-benar menjadi pahlawan.
Pesan Moral dari cerita ini adalah biarpun kita sudah merencanakan
tetapi kita tidak bisa menentukan, semua perlu perjuangan dan
pengorbanan. Hidup masih panjang banyak yang mesti kita perhitungkan dan
gunakan waktumu sebijak mungkin. Sebuah pohon yang tumbuh melengkung
tidak akan pernah mampu menegakkan dahannya.