beruang kutubphoto.goodreads.com/documents/1331130009books/13515695.pdf · baik yang masih hidup...
TRANSCRIPT
BERUANG KUTUB
Diterbitkan oleh:
dufix Publishing
Buku ini merupakan karya fiksi. Nama, karakter, tempat dan kejadian merupakan rekayasa dari khayalan penulis. Kesamaan kejadian atau tempat atau nama seseorang,
baik yang masih hidup atau sudah mati, merupakan bentuk ketidaksengajaan.
Hak Cipta © oleh Ali Reza
Hak cipta dilindungi undang-undang
Kunjungi kami di:
http://neowerewolf.blogspot.com
Beruang Kutub
Hanya cedera ringan, sakitnya tidak bisa mengalahkan kecemasan seperti nafas yang tertahan
udara dingin. Matahari tidak menghangatkan, tidak ada burung atau rerumputan hijau. Tidak
menyenangkan memang, tapi Steve berusaha untuk tenang. Matanya masih terpejam, entah
sampai berapa lama, mungkin selama-lamanya atau hanya beberapa menit. Salju tidak
bertambah tinggi, sebagian masih menutupi wajah, membenam tubuhnya, angin sesekali
menyapunya.
“Oh, sial punggungku.”
Ia terlalu berlebihan mengucapkannya. Tidak ada tulang punggung yang patah atau luka
parah, kecuali emosi ketakutan pada kesepian yang membuatnya selalu mengeluh masalah
punggungnya. Ia memang terjatuh dari helikopter. Jatuh di ketinggian rendah dan mendarat di
landasan salju empuk dengan sedikit benturan pada punggungnya tepat di atas senapan. Satu
jam lalu ia bersama WWF memasang alat pemantau dan memberi nama pada salah satu
beruang kutub jantan: Bearie Polie.
Saat ini, beruang kutub bukanlah boneka besar lucu yang ingin ia peluk dan mengajaknya
bermain seperti yang selalu diimpikannya waktu kecil. Sebelum terjebak di tempat ini,
terkadang, ia merasa lucu mengingat masa kecilnya: menonton saluran Discovery dan tidak
pernah melewatkan saat ada tayangan tentang beruang kutub. Ayahnya membelikannya
sebuah boneka beruang kutub besar padahal sebelumn ia melarang semua anak laki-lakinya
bermain boneka. Tapi boneka beruang kutub adalah pengecualian buatnya.
“Lihat adikmu Jim. Dia ingin menjadi ahli beruang kutub,” ucap ayahnya saat melihatnya
serius menonton saluran Discovery tentang mencegah kepunahan beruang kutub sedangkan ia
membayangkan dirinya memeluk beruang kutub dan merasakan bulu-bulunya yang lembut.
“Steve akan bergabung dengan WWF, yah.”
Ayahnya dan Jim, mereka para peneliti, ahli biologi. Sedangkan dirinya adalah generasi
ketiga pelengkap keluarga pecinta hewan (kakeknya ahli burung, ayahnya ahli reptil dan Jim ahli
ikan). Ia memang pecinta hewan tapi bukan ahli beruang kutub atau hewan-hewan Arctic lain
melainkan seorang ahli keuangan perusahaan perangkat lunak komputer yang membiayai
ekspedisi perlindungan beruang kutub selama tiga tahun. Tahun ini adalah tahun keduanya dan
dia harus memastikan tidak ada lagi beruang kutub berkurang karena perburuan atau
kekurangan gizi. (Hei, siapa yang membuat laporan beruang kutub kekurangan gizi?)
WWF mengajarinya memakai peralatan canggih mereka, menyuntik dan menanam sinyal
pada beruang kutub. Sayangnya mereka belum mengajarinya bertahan sendirian di Arctic atau
bagaimana membuat beruang kutub tertawa. Perjalanan pertamanya ini boleh jadi akan
menjadi perjalanan terakhir hidupnya. Ia berharap hari ini bukanlah hari terakhirnya,
setidaknya bukan kelaparan yang akan membunuhnya mengingat ia jatuh bersama beberapa
makanan kaleng, senapan berburu dan beberapa alat mahal WWF.
Untuk beberapa lama ia merasa lebih baik. Angin bertiup lembut, matahari bersinar
langsung ke wajahnya, menghapus bayangan gelap kesengsaraan pikiran. Bunyi dari sebuah
kotak hitam digital di sampingnya terdengar nyaring. “Bip ... bip ... bip ...”
Suara itu? ia berkata dalam hati, masih memejamkan mata, memerhatikan lebih dalam dan
merasakan iramanya seperti sedang mendengar musik yang lama tidak terdengar. Itu adalah
bunyi PBIS (Polar Bear Position & Information Systems) buatan Jerman seharga lima belas ribu
dolar yang dilengkapi data-data terbaru termasuk suhu tubuh, berat badan, makanan terakhir
beruang kutub plus peta digital, GPS dan internet, hanya diproduksi sebanyak dua puluh unit
dan dimiliki WWF dan universitas ternama di dunia. Ia merasa ada harapan untuk kembali
menemukan rekan-rekannya. Ia bisa mengetahui posisi dirinya, kapalnya dan beruang kutub
dengan sinyal tertanam. Titik hijau di layar menandakan posisi beruang kutub pantauan dan
titik merah adalah posisi alat ini. Namun sayangnya titik hijau itu sedang bergerak ke titik merah
... ke arahnya!
“Sial!”
Steve memejamkan matanya, menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan hingga
dapat merasakan jantungnya bergerak normal. Ia membuka matanya dan menghitung aba-aba
dalam hati, 1 ... 2... 3 dan ia melompat bangkit secepat kilat, menyambar senapan, membidik
lurus ke arah datangnya beruang kutub, kaku seperti patung dengan hanya jari telunjuk yang
dibiarkan lemas agar tidak terlalu kaku saat menarik picu. Sesuatu yang ia pikirkan hanyalah
seekor beruang kutub yang sedang berlari empat puluh kilometer per jam menuju ke arahnya
dan ia akan mengejutkannya dengan sebuah tembakan tepat di kepalanya.
Ia memasang matanya lurus dan tajam, tangannya mantap membidik dan akan tetap
seperti ini sampai titik hijau menjauh dari posisinya. Lupakan sakit punggung. Lupakan coklat
panas. Lupakan piza dengan keju tebal di atasnya. Lupakan Pamela Arenstein, lupakan laporan
keuangan tahunan, lupakan bosnya, lupakan perjalanannya ke Hawaii bulan depan.
Kabut menyelimuti, uap dingin menutupi layar PBIS. Ia menurunkan senapannya perlahan,
melangkah dengan hati-hati mengambil PBIS, membuat gundukan salju dan meletakkan PBIS di
atasnya sehingga ia dapat melirik posisinya sambil membidik. Monster itu berjarak sepuluh
kilometer di depannya, bergerak menuju tempatnya.
Ia memutuskan berjalan memutar untuk memperpanjang jarak dari beruang kutub.
Oh Tuhan, seberapa jauh sih dua puluh kilometer itu di hamparan Arctic?
Ia menatap langit, mengeluh lagi tentang punggungnya yang sakit dan lehernya yang serasa
patah. Mungkin ia hanya akan bertahan hingga satu jam, dan empat jam kemudian beruang itu
menemukannya sudah menjadi daging beku.
“HELP ... !” ia berteriak sekeras-kerasnya. Suaranya termakan angin dan berharap angin
tidak membawanya ke telinga beruang kutub. Jika Arctic adalah tempat terakhir hidupnya,
mungkin ini adalah tempat yang tepat untuk buat pengakuan. Ia bukan seorang yang religius.
Tapi ia mencoba jujur dengan menyalahkan dirinya. Sedikit pengakuan mungkin akan
membuatnya lebih baik. Mungkin Tuhan akan menolongnya.
“JEEE ... NYYY! .... M’AFKAN AKU!” Teriaknya. Kedengarannya sih konyol. “AKU BOHONG
PADAMU!”
Jenny adalah istrinya dan tidak akan mungkin mendengarnya. Namun ia meragukannya
karena Jenny percaya pada tahayul dan telepati. Beberapa kali indra keenam istrinya berfungsi
baik, beberapa kali mendekati kenyataan dan hanya sedikit yang salah. Selingkuh termasuk
yang mendekati kenyataan. Sebenarnya ia tidak selingkuh. Waktu itu ia hanya mengajak Pam
makan malam, sedikit diskusi masalah pembiayaan ekspedisi dan masa depan Arctic, lalu pergi
ke apartemen Pam, sedikit bicara penelitian dengan sedikit ciuman di bibir dan pelukan seorang
teman dengan tiga kancing baju Pam terbuka (hanya sedikit ciuman dan baru tiga kancing
terbuka karena selularnya bernyanyi dan menemukan nama Jenny Sayang di layarnya). Jenny
mendengar desahan Pam, tapi Steve menyangkalnya dan mengatakan suara itu datang dari
televisi.
“Aku bersama Jim. Lihatlah saluran 88,” ujar Steve. Di rumahnya belum ada saluran
delapan-puluh delapan. Tapi siapa peduli? Lagi pula istrinya tidak akan menemukannya.
Jadi, ia tidak bercinta dengan Pam? Tentu tidak (karena Jenny menelponnya). Jauh di dalam
hatinya ia tidak akan mengkhianati Jenny. Ia mencintai istri dan anak laki-lakinya, dan ia akan
bicara jujur dan minta ma’af padanya walau ia akan mendapatkan istrinya berdiri di depan
pintu dengan tongkat bisbol, mengucapkan selamat tinggal lalu membawa Dennis pergi. Itu pun
kalau ia selamat.
Angin tenang, hanya berupa hembusan-hembusan kecil, kabut tipis masih menyelimuti.
Tidak ada yang berbeda, hanya hamparan putih, bahkan jejaknya pun sudah terhapus. Arctic
seharusnya menjadi tempat yang sangat dicintainya. Ia boleh mati di tempat ini karena dia
mencintainya. Orang-orang di seratus tahun ke depan mungkin tidak akan melihat tempat
indah ini. Semua orang tahu itu: polusi, efek rumah kaca, lapisan ozon menipis, suhu air laut
naik, es cepat mencair di musim semi.
***
Tidak ada bunyi “bip”, tidak juga titik hijau. Itu bisa berarti dirinya sudah berada jauh dari
beruang kutub. Titik hijau itu adalah milik Bearie Polie. Data menunjukkan beruang kutub
jantan ini ada banyak kemajuan: suhunya stabil, beratnya naik menjadi delapan ratus empat
puluh pound.
“Well temanku, sepertinya kau harus mengurangi berat badan.”
Sial! Teman? Bagaimana bisa aku mengatakan beruang kutub seorang teman pada saat
terdampar sendirian di Arctic?
Mendadak sebuah sapuan angin bertiup kencang menghempas debu-debu salju ke
wajahnya. Ia masih mencoba bertahan, menghindari pusing dengan apapun caranya.
Dan pada akhirnya keajaiban Arctic menciptakan ilusi: Sebuah kafe dan coklat panas.
Jaraknya tidak jauh dari tempatnya berdiri dilihat dari asap yang keluar dari cerobong asapnya.
Tapi ia berpikir kalau coklat panas akan membuatnya mengantuk. Ia butuh sedikit yang lebih
segar dan menyehatkan. Mungkin secangkir kopi buatan istrinya.
Oh Jenny sayang, ma’afkan aku. Aku tidak selingkuh kok. Aku hanya mencintai Pam. Pam
cinta Arctic, dia cinta beruang kutub. Mencintai Arctic dan beruang kutub berarti mencintai
Pam. Sebuah logika yang aneh bukan, sayang? Ngomong-ngomong apakah Dennis sudah tidur?
Sampaikan cium dariku.
Steve jatuh dan tertidur.
Tubuhnya setengah terkubur selama beberapa menit, kemudian angin menyapu salju-salju
tipis di wajahnya dan ia pun terbangun. Kondisinya tidak lebih baik dengan perut lapar. Ia ingat
masih menyimpan dua makanan kaleng yang tadinya bersumpah tidak akan memakannya. Ia
membuka dengan pisau lipatnya dan mencongkel makanan yang sudah mengeras.
Bisa kaubayangkan membidik monster putih lalu tiba-tiba senapannya macet? Itu pasti
akan benar-benar mengerikan.
Ia bersihkan senapan dari salju, mengujinya tanpa peluru dan memastikan semuanya
lancar.
Setelah itu ia menunggu. Menunggu orang-orang yang akan menjemputnya atau
menunggu beruang kutub yang akan memangsanya. Tapi ia meragukan yang pertama.
Menunggu adalah pekerjaan membosankan. Ia bisa mengerjakan hal lain sambil menunggu.
Mungkin PBIS menyimpan data-data lain, seperti gambar porno, MP3 atau game. Tapi
kengerian tetap menjadi kengerian meski banyak hal untuk mengalihkan perhatiannya.
Sial! Apa yang sedang kulakukan? Aku-kan harus waspada.
Ia berdiri lagi, memasang kuda-kuda lagi, lebih sigap, lebih waspada dan kaku. Jantungnya
serasa berdetak dua kali lebih cepat. Ia menunggu dengan penuh kemenangan. Ia pernah
menembak beberapa kali, hanya iseng-iseng latihan. Tetapi kali ini tembakannya akan lebih
istimewa. Ia berpikir tentang membantai seekor beruang kutub. Ia berpikir tentang
kemenangan.
Wajahnya mulai pucat. Bulu matanya menjadi putih. Angin dingin yang masuk melalui
celah-celah jaketnya membuatnya tangannya gemetar. Beberapa kali ia harus mengusap
wajahnya. Hidungnya mengeluarkan cairan yang langsung membeku di atas bibirnya. Tapi ia
tetap harus dalam posisi ini bahkan sampai mati sekalipun.
Samar-samar ia melihat sesosok bayangan besar dari balik kabut yang tersingkap. Ia belum
tahu pasti benda apa itu. Tapi apa lagi sesuatu besar dan berbulu di tengah Arctic kalau bukan
seekor beruang kutub. Mungkin gerakan perlahannya menipunya. Bisa jadi makhluk itu
menyerang tiba-tiba dan sangat cepat.
Sesaat kemudian angin membuka tirai kabut dengan lembut, sedangkan ia hanya
menemukan tempat kosong.
Tapi kenyataan itu belum mengusir rasa khawatirnya. ia masih merasakan makhluk besar
itu berada di dekatnya. Entah di depannya atau di belakangnya atau di samping kiri-kanannya.
Ia mundur beberapa langkah sambil mengarahkan senapannya ke kanan dan ke kiri. Tiap suara
atau tiap bayangan, bahkan gerakan dalam pikirannya memberikan refleks yang cukup kuat.
Steve seperti melihat sosok bayangan besar di sebelah kanannya.
Ia membidik ke arah kanannya.
Kosong.
Rasa khawatir itu terus menanjak. Degup jantungnya seperti tidak tertahankan saat
bayangan besar itu berada di sebelah kirinya.
Ia membidik ke sebelah kirinya.
Kosong.
Ia mencoba menenangkan tangannya yang gemetar, melirik ke sebelah kanannya, lalu ke
sebelah kirinya. Tetapi ia merasakan beruang itu malah berada di hadapannya.
Dan sekali lagi ia hanya menemukan tempat kosong di hadapannya.
Panik? Ya, ia sangat panik. Beruang kutub merupakan salah satu hewan cerdas. Tapi ia
mulai bisa membaca gerakannya. Kini, ia melihat monster itu di sebelah kanannya.
Ia melompat cepat ke samping kanannya.
Kosong.
Kemudian seluruh bagian dari pikiran dan jiwanya seperti terbelah. Masing-masing
berteriak melihat monster putih besar arctic. Ia membidik segala arah, tidak ingin kehilangan
buruannya. Atau kau boleh katakan kalau ia yang tidak ingin menjadi yang diburu.
Beruang itu di belakang! Siap menerkam ...
Tidak! Tapi di sebelah kiri!
Tidak!
Bukan!
Tapi di depan!
Ya! Di depan! Tepat di depan.
Tidak!
Sial! Apa-apaan ini!
“DOR!”
Burung-burung berterbangan, monyet-monyet melompat-lompat di pepohonan dan
sembunyi, harimau menyembunyikan wajahnya dibalik tangannya, dan tepat di hadapan Steve,
seekor beruang kutub jantan menggeliat kesakitan karena ia telah menembak jantungnya.
Oh Tuhan, aku terlalu waras berada di sini. Ini akibat psikologis yang menggelikan.
Steve mencoba menguasai situasi. Barangkali ia akan mati karena rasa takutnya sendiri.
Bukan karena kedinginan, kelaparan atau beruang kutub. Ia duduk di atas gundukan es dan
mulai berpikir. Ia masih memiliki tiga peluru dan sekaleng makanan. Jika tidak bertemu lebih
dari satu beruang kutub atau serigala mungkin ia dapat bertahan sepuluh jam. Dan jika ada
keberuntungan lain maka ia dapat mencapai kapal dalam enam jam. Tidak .. mungkin delapan
jam.
Tiba-tiba terdengar suara geraman. Entahlah, mungkin geraman beruang kutub. Tapi Steve
tidak ingin terkecoh lagi oleh pikirannya. Ia mengabaikan suara itu dan kembali memikirkan
jalan pulang.
Suara geraman itu pun menghilang.
Betulkan? suara geraman itu akhirnya hilang sendiri.
Ya, suara itu hanya imajinasinya. Bukankah sebuah keadaan dapat menciptakan fantasi
sendiri, disadari atau tidak disadari berasal dari dalam pikirannya yang paling jauh seperti yang
dialaminya tadi.
Tapi Steve salah. Suara geraman itu datang lagi. Kali ini suaranya terus terdengar dan
konstan. Bukan dari pikirannya, bukan halusinasinya. Suara itu keluar dari moncong seekor
beruang putih jantan yang sedang berdiri di hadapannya saat tirai kabut terkuak perlahan.
Sangat jelas dan sangat besar. Beruang itu melangkah anggun dengan moncong terangkat,
sesekali menunjukkan taringnya yang runcing. Kaki-kakinya besar dengan cakar tersembunyi
dalam timbunan salju. Kibasan cakarnya dapat membuat hidupmu berakhir seketika.
Steve berdiri dengan hati-hati. Ini yang ia khawatirkan. Ini yang ia takutkan. Ini nyata.
Jantungnya berdegup dua kali lebih cepat, atau mungkin tiga kali atau empat kali lebih cepat
sampai-sampai memecahkan stetoskop. Ia mencoba tenang dan tidak panik. Ia pernah begitu
dekat, sangat dekat dengan beruang kutub dan ia berharap beruang yang satu ini baru saja
berpesta anjing laut.
Steve mengangkat senapan dengan cepat, lalu membidik tepat ke kepala beruang itu.
Tangan, tubuh dan kakinya terpaku kecuali jari telunjuknya yang digerak-gerakkan sedikit
supaya tidak kaku.
Beruang kutub berhenti kurang dari sepuluh meter di depannya. Matanya hitam kecilnya
memelototi ujung senapan, moncongnya sedikit tertutup. Monster itu berdiri, lalu mengangkat
dua tangan besarnya perlahan seperti seorang penjahat tertangkap basah oleh polisi.
Steve sedang melihat sebuah pemandangan yang indah, menakutkan dan aneh. Beruang
kutub itu tidak dalam posisi menyerang, melainkan hanya diam, tenang dan kaku,
mengawasinya dengan sesekali mengeluarkan suara geraman kecil. Tidak ada bunyi “bip” dan
titik hijau. Beruang ini bukan Bearie Polie, mungkin dari kelompok lain.
Beruang itu melakukan sesuatu yang tidak bisa dipercaya oleh siapapun. Dia bicara.
“Kita sama-sama tahu keadaannya-kan?” kata beruang kutub. Suaranya tidak mirip
manusia, tapi lebih mirip beruang: serak dan berat.
Steve berpikir ada empat kemungkinan apa yang sedang terjadi di hadapannya: Pertama, ia
sedang berhalusinasi. Kedua, seseorang memakai kostum beruang kutub dan sedang menakut-
nakutinya. Ketiga, dia mengerti bahasa beruang kutub. Dan keempat, makhluk ini benar-benar
bisa bicara.
Baiklah, kalau memang demikian, lantas apa yang harus kukatakan? Meong?
“Ehm, bisa kau turunkan senjatamu?” Beruang kutub mencoba ramah dengan
menggerakkan kepalanya ke samping kiri dan menyipitkan dua matanya yang kecil.
Steve masih terpana pada keindahan yang mengerikan. Ia memastikan sedang melihat
seekor beruang jantan dengan dua mata hitam kecil, dua telinga kecil, satu hidung, taring-taring
yang tersembunyi, tangan dan kaki besarnya menyembunyikan cakar-cakar yang siap
menghujam. Ia sekali lagi memastikan jika di hadapannya benar-benar berdiri seekor beruang
kutub, ... beruang kutub yang bisa bicara.
Tidak! Ia tidak akan menurunkan senjatanya. Beruang kutub itu ... atau siapapun dibalik
kostum itu tidak bisa menipunya. Ia menguatkan genggamannya, terus fokus membidik dan
tidak akan lengah sedetik pun.
“Ayolah ...” beruang kutub mencoba membujuk dan menurunkan tangannya.
Steve memberi isyarat lewat senapan agar si beruang tetang mengangkat kedua
tangannya.
“OK .. OK ..,” beruang kutub mengangkat tangannya kembali dan tampaknya kecewa
padanya. “Kau mungkin mengira aku akan menyerangmu. Kalau begitu, mari kita buat
kesepakatan?”
Steve menggeleng kepala, senjatanya terus diarahkan ke wajah beruang.
Mereka terdiam. Suasana hening dan mencekam, angin membawa butiran-butiran salju.
Steve menatapnya tajam. Beruang kutub balas menatapnya; bukan hanya dari mata ke mata,
tapi dari pikiran ke pikiran, dan semakin lama keadaan tidak lebih menyenangkan. Dan terus
berlangsung hingga sepuluh menit ... lima belas menit .. tujuh belas menit. Antara Steve dan
beruang kutub seperti sedang adu daya tahan siapa yang lebih lama mengangkat tangan. Tapi
sialnya Steve merasakan gatal di kepalanya ... dan semakin gatal, dan kelihatannya beruang
kutub tidak akan menurunkan tangannya karena mengetahui jika ia bersungguh-sungguh akan
menembaknya
“Okay katakan!” kata Steve. Tapi ini bukan berarti ia akan menyerah.
“Bolehkan tanganku turun?”
Steve mengangguk sedikit, masih membidik dan mengatakan agar mundur tujuh langkah.
“Sepertinya aku memecahkan rekor beruang kutub terlama yang mengangkat tangan.”
kata beruang kutub, menurunkan tangannya, lalu mundur perlahan. Bulu-bulunya terbawa
angin bergerak lembut ke kanan dan ke kiri. Pandangannya terus mengawasi pergerakan
senapan seakan pernah merasakan dirinya tertembak.
“Duduk!” Steve melakukan ini agar beruang kutub tidak menyerangnya tiba-tiba.
Beruang kutub duduk dengan tenang.
“Sekarang katakan kesepakatannya.”
“Tidak ada kesepakatan,” beruang kutub berkata dengan santai dan tanpa rasa bersalah.
Steve menarik pelatuk dan terdengar bunyi ‘klik’.
“Aku bercanda ... aku bercanda kok”
“Brengsek. Sebenarnya siapa sih kau ini?”
“A-ku .. hanya .. seekor beruang kutub yang tersesat”
“Tersesat? Di daerahmu sendiri? Bohong!” Steve menggertak lebih untuk menghilangkan
dingin dan rasa takutnya
“Okay .. okay aku akan katakan yang sebenarnya,” matanya yang kecil membesar
menunjukkan kalau ia terpengaruh dengan gertakannya. Ia bersumpah jika monster berbulu
putih itu berbohong lagi maka dia sungguh-sungguh akan meledakkan kepalanya.
“Lihatlah aku. Seekor beruang kutub yang bicara. Tuhan mengutusku untuk
menyelamatkanmu. Namaku Donnie ... D-O-N-N-I-E,” ia berkata dengan cepat.
Steve sedang melihat seekor beruang kutub yang sedang ketakutan dibawah bidikannya
dan itu membuatnya lebih tenang
“Ok. Donnie, lanjutkan,” ucapnya dengan sedikit tenang
“Aku akan menyelamatkanmu dari beruang kutub lain. Aku akan membawamu ke kapal,
dan kau akan bertemu tim-mu, dan kau bisa menikmati coklat panasmu”
Steve mengarahkan senapan ke sebelah kaki kiri beruang kutub, dan ... DOR!
“Sialan kau! Aku sungguh-sungguh,” kata beruang kutub, ketakutan.
Masih ada dua peluru lagi dan Steve merasa sedang berada di atas angin.
“Beruang kutub bisa membunuhmu. Maksudku selain aku. Jika kau tidak percaya, baiklah.
Aku akan pergi meninggalkanmu. Kautahu, pelurumu tidak cukup untuk membunuh selusin
beruang kutub.”
Steve berpikir jika memang makhluk ini utusan Tuhan (walaupun kelihatannya konyol), tapi
siapa peduli? Mungkin beruang kutub bodoh ini harapan satu-satunya. Lagi pula toh dia yang
berkuasa sekarang.
“Lalu apa yang akan kita lakukan?”
“Kita berjalan ke utara. Kira-kira lima belas kilometer”
“Ok. Lalu?”
“Kau akan temukan kapalmu di sana. Hanya itu”
“Hanya itu?”
“Ya. Hanya itu.”
Mungkin tidak ada salahnya percaya pada makhluk yang ‘orang lain tidak akan percayai’
dan ia tidak perlu menghabiskan waktu berdebat dengannya.
“Kita bergerak. Kaujalan duluan”
Monster itu bangkit lalu berjalan memutar, matanya mengawasi senapan yang mengikuti
gerakannya. Setelah merasa berada di jarak aman, ia berjalan di belakangnya.
“Kau membuatku takut. Aku hanya ingin menolongmu,” kata Donnie.
O ya? Apakah kau akan menolongku jika aku tidak menodongkan senjata padamu?
Mereka berjalan seperti seorang polisi dan seorang tahanan. Donnie memiliki bulu putih
indah melambai-lambai tertiup angin, berjalan dengan bokong besar yang melenggak-lenggok
seakan sedang meledek Steve. Donnie berhenti sebentar, menoleh kebelakang, melihat posisi
Steve dan berjalan kembali.
“Seseorang pernah memberiku rokok. Namanya Max. Max Black dari WWF.”
Donnie kenal dengannya; tua dan pensiun. Orang-orang memanggilnya si gila Max, seperti
filmnya Mel Gibson. Tapi ia tidak menjawab. Beruang ini terlalu cerewet.
“Kautahu, tidak ada beruang yang merokok. Tapi aku pernah coba satu. Aku masih ingat ...
mereknya Marlboro. Keren.”
Tapi tidak ada suara dari Steve. Donnie menoleh ke belakang sebentar dan dapat
melihatnya masih menodongkan senjata padanya.
“Kamu nggak banyak ngomong ya?"
Salju semakin tebal, Steve kesulitan melangkah.
“Eh ... dimana belajar bicara?” tanya Steve “Siapa yang mengajarimu?”
“Entahlah. Bisa begitu aja. Hanya aku yang bisa bicara. Tapi Max pernah cerita padaku ada
seekor beruang yang bisa bicara. Sejenis beruang coklat, gizzy, grizzy ... grizly ... entahlah.
Jelmaan manusia ... seorang Indian dan menyukai madu.”
Steve harus mengangkat kakinya tinggi-tinggi untuk melangkah sambil mengawasi Donnie
dengan satu tangan memegang senapan.
“Hei kautahu madu? Enak-kah? Enakkah? Enakkah?”
Steve tertinggal beberapa meter cukup jauh dari Donnie, kakinya hampir terjebak salju
tebal.
“Donnie! Hei Donnie, berhenti!” teriaknya
Donnie berhenti dan menoleh ke belakang melihatnya.berlari melompat dengan hati-hati
“Jadi kau tidak mendengarku?”
“Jalan!” perintahnya. Donni mulai melangkah lagi “Kaubicara apa tadi?”
“Madu. Kautahu madu? Apakah enak?”
Steve tidak menjawab. Ia teringat terakhir kali berada di helikopter beberapa saat sebelum
terjatuh. Helikopter bergetar hebat, pilot berteriak ada badai sesaat dan bahan bakar terlalu
dingin. Ia berpegangan pada tali. Dr. Hughman mengingatkan seekor beruang kutub yang
terlewat dan mengatakan akan kembali besok. Saat itu dia masih mendengar suaranya namun
tidak terlalu jelas. Dirinya terdorong keluar dan terlempar jatuh. Dia bisa melihat beberapa
peralatan yang jatuh bersamanya.
Kabut turun lagi disertai angin yang membawa salju-salju, suaranya seperti siulan. Steve
memeriksa PBIS dan memastikan mereka berjalan ke arah yang tepat.
“Hei Don-...” ia tidak melihat Donnie, atau mungkin dia sudah tidak bisa membedakan
warna antara Donnie, kabut dan salju. “Hei Donnie!” teriaknya
Tidak ada jawaban. Tidak ada tanda-tanda dari Donnie.
“Sial!” ia merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi di sini. Ia melempar PBIS, mengawasi
keadaan di depannya lalu di belakangnya. Ia berputar, membidik ke segala arah.
Donnie menipunya dan ditipu beruang kutub benar-benar menyakitkan. Ia baru ingat
bahwa bulan ini adalah awal musim semi, saat es mencair dan anjing-anjing laut berenang ke
utara. Baruang kutub ikut pindah bersama-sama bongkahan es memburu anjing laut.
Steve mundur beberapa langkah dan berhenti, membidikkan senapannya ke segala arah.
Tidak berapa lama ia mendengar bunyi yang akan ia ingat selama-lamanya.
“WUFF!”
Awalnya ia tidak merasakan sakit, namun detik berikutnya ia merasakan perih yang
mendalam di punggungnya. Ia melihat langit, matahari dan seluruh Arctic berputar. Ia melihat
Donnie berdiri tidak jauh darinya dengan moncong terangkat, melolong dan siap mengakhiri
hidupnya. Ia terjatuh. Tapi ia tidak akan menyia-nyiakan hidupnya tanpa perlawanan. Ia
bergerak merayap, meraih senapannya.
Usahanya hampir sia-sia ketika tiba-tiba seekor beruang kutub lain muncul tidak jauh
darinya dan mengeluarkan suara yang mengerikan, lebih buas dari auman Donnie. Beruang
kutub itu adalah Bearie Polie. Ia bisa mengetahuinya dari bunyi PBIS yang semakin nyaring.
Bearie Polie, satu-satunya beruang kutub yang tertinggal dari kelompoknya. Kini ia
terperangkap diantara dua beruang.
Donnie dan Bearie Polie saling menatap seperti sedang memperebutkan Steve. Dua
monster itu berjalan berputar sambil mengeluarkan bahasa mengerikan yang hanya dimengerti
mereka. Donnie bergerak menjauhinya. Tapi Bearie Polie terus memburunya dan siap
menerkam. Donnie mundur beberapa langkah seperti sedang memperkirakan jangkauan
tangan lawannya. Sementara itu ia semakin jauh dari mereka. Bearie Polie mengangkat dua
tangannya dan melompat cepat ke arah Donnie. Donnie bersiap menghadapi serangan lainnya.
Ia tahu kalau serangan berikutnya akan mengenainya. Jadi ia memberikan perlawanan lebih
dulu. Tangan-tangan mereka saling berbenturan. Mereka bergumul dengan suara-suara yang
mengerikan, menyatu bersama salju-salju yang berhamburan.
Steve memegang senapan kuat-kuat dan menjadikannya sebagai penopang badannya yang
lemah. Ia kuatkan kakinya, mengangkat senapan dan berdiri membidik ke dua beruang kutub
bergantian. Ia mengarahkan senapan ke atas dan ...
“DOR!”
Bunyinya mengejutkan kedua monster itu dan seketika mereka berhenti bertarung. Bearie
Polie melangkah mundur. Donnie terpaku, melangkah menjauh dari Bearie Polie. Ia membidik
ke arah Donnie. Donnie mengangkat dua tangannya. Mata Steve sesekali mengawasi gerakan
Bearie Polie dan membidik ke arahnya. Ia membidik dua beruang itu bergantian. Namun ia
harus memutuskan beruang mana yang harus mati dengan satu peluru. Ia pernah bersama
keduanya. Bearie Polie bukanlah hewan yang agresif. Meski beruang kutub adalah hewan
pemalas namun Bearie Polie adalah yang paling malas. Dan Donnie? Makhluk aneh ini telah
menipunya.
Steve akhirnya melepaskan satu tembakan ke jantung Bearie Polie. Monster itu ambruk ke
belakang, menerbangkan salju-salju. Darah mengalir perlahan mewarnai salju. Bearie Polie
masih terlihat bernafas dengan terputus-putus dan akhirnya mati.
Steve menjatuhkan diri di atas lututnya, tubuhnya tertahan senapan dan saat kemudian
ambruk. Ia memandang langit, mencari tahu apakah dirinya akan hidup satu jam lagi.
Bayangan Donnie menutupi wajahnya saat sadar, memandangnya dengan senyum
menampilkan gigi-gigi yang mengerikan.
“Kamu baik-baik saja-kan?” tanya Donnie
Steve mencoba tersenyum, namun tidak langsung menjawab karena masih menahan sakit.
“Bagaimana kautahu bukan aku yang melakukannya?”
Sebenarnya bukan sebuah pilihan sulit ketika harus memutuskan untuk menembak Bearie
Polie karena beberapa saat setelah mendapat hantamannya, ia melihat robekan jaketnya di
cakar Bearie Polie.
“Kau benar-benar lucu saat aku menggertakmu,” Steve berkata disusul batu-batuk kecil.
“Kaupikir lucu ya?”
“Aku lihat kau ketakutan .. dan kelihatan lebih jujur.”
Mereka tertawa, tapi cara tertawa Donnie bisa menakutkan anak kecil.
“Kau nggak apa-apa?” tanya Donnie memastikan
“Ya, aku nggak apa-apa ... terima kasih,” kata Steve, sesaat kemudian pandangannya gelap
Bearie Polie mati, bangkainya akan dimakan kawanan srigala. Donnie membawa dan
menaruh Steve ke atas punggungnya. Steve memeluk lehernya, merasakan kehangatan bulu
beruang itu persis seperti yang ia inginkan saat kecil. Donnie benar, mereka memang
seharusnya menuju utara. Rekan-rekannya jatuh lima kilometer dari tempatnya jatuh dan
ditemukan sehari setelah ia tiba di kapal. Tidak ada yang selamat. Ia memang sungguh
beruntung.
“Aku mendengarmu berkata kalau kamu selingkuh,” kata Donnie
“Tapi aku tidak sungguh-sungguh mengatakannya,” Steve membisikkan di telinga
kanannya.
“Kau bohong. Namanya Pam. Pamela bukan?”
“Kau mau coklat panas nanti?”
“Ah tidak usah-lah. Tempat tinggalku di sini, aku-kan cuma ngantar kamu, Steve.”
***
Profil Penulis Ali Reza, dilahirkan di Subang, 25 Mei 1980 dan besar di Bekasi. Sudah menulis puluhan cerpen yang tersebar di berbagai media online. Ali Reza bisa dihubungi melalui: Email & google+ : [email protected] facebook: [email protected] twitter : @alirezabekasi