bilal bin rabbah

6
Bilal Bin Rabbah Terdapat kisah salah seorang sahabat (buda’) di zaman Rasullullah Saw, yang selalu merindukan rasulullah dan selalu ta’at menjalankan tugas sebagai mu’adzin yang baik yang dikenaal diseluuh penjuru dunia. Pada awalnya, untuk mengetahui jam shalat, umat Islam menjalankannya dengan terlebih dahulu menentukan waktu kemudian berkumpul untuk shalat. Namun karena menyulitkan, akhirnya Rasulullah SAW berpikir untuk memanggil umat menggunakan terompet. Namun Rasulullah SAW sendiri tidak menyukai ide ini karena orang Yahudi juga menggunakan cara yang sama. Akhirnya disepakati panggilan azan ketika memasuki jam shalat dilakukan dengan tepukan tangan. Tak berapa lama kemudian, salah seorang sahabat, Abdullah bin Zaid datang menemui Rasulullah. Ia berkata bahwa ia bermimpi bertemu seorang pria yang menggunakan dua helai kain berwarna hijau seraya membawa bel. Dalam mimpi itu, Abdullah lalu menawarkan diri untuk membeli bel tersebut. Ketika pria itu bertanya untuk tujuan apa ia gunakan bel tersebut, Abdullah menyatakan bahwa bel itu akan ia gunakan untuk memanggil orang-orang untuk sholat. Namun pria itu menawarkan panggilan shalat yang lebih baik yaitu menyebutkan empat kali seruan "Allahu Akbar" lalu dua kali seruan "asyhadualla ilaaha illallah", kemudian dua kali seruan "asyhadu Annamuhammadarrasulullah", lalu dua kali seruan "hayya 'alas sholah", dua kali seruan "hayya 'alal falah" lalu "Allahu Akbar, Allahu Akbar, laa ilaaha illallah". Dengan gembira, Rasulullah SAW menyatakan bahwa itu adalah sebuah penglihatan baik. Rasulullah SAW segera meminta Abdullah pergi menemui Bilal dan mengajarkan adzan tersebut padanya. Bilal dipilih sebagai muadzin karena ia memiliki suara indah dan keras, sehingga bisa menjangkau jarak yang jauh. Sejak saat itulah pertama kali adzan diperdengarkan di kota Madinah dan Bilal menjadi muadzinnya. Setiap usai melantunkan adzan, Bilal selalu berdiri di depan pintu rumah Rasulullah SAW dan berkata "Hayya alas-salah, hayya

Upload: alibaharun

Post on 30-Apr-2017

220 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bilal Bin Rabbah

Bilal Bin Rabbah

Terdapat kisah salah seorang sahabat (buda’) di zaman Rasullullah Saw, yang selalu merindukan rasulullah dan selalu ta’at menjalankan tugas sebagai mu’adzin yang baik yang dikenaal diseluuh penjuru dunia.

Pada awalnya, untuk mengetahui jam shalat, umat Islam menjalankannya dengan terlebih dahulu menentukan waktu kemudian berkumpul untuk shalat. Namun karena menyulitkan, akhirnya Rasulullah SAW berpikir untuk memanggil umat menggunakan terompet. Namun Rasulullah SAW sendiri tidak menyukai ide ini karena orang Yahudi juga menggunakan cara yang sama. Akhirnya disepakati panggilan azan ketika memasuki jam shalat dilakukan dengan tepukan tangan. Tak berapa lama kemudian, salah seorang sahabat, Abdullah bin Zaid datang menemui Rasulullah. Ia berkata bahwa ia bermimpi bertemu seorang pria yang menggunakan dua helai kain berwarna hijau seraya membawa bel.Dalam mimpi itu, Abdullah lalu menawarkan diri untuk membeli bel tersebut. Ketika pria itu bertanya untuk tujuan apa ia gunakan bel tersebut, Abdullah menyatakan bahwa bel itu akan ia gunakan untuk memanggil orang-orang untuk sholat. Namun pria itu menawarkan panggilan shalat yang lebih baik yaitu menyebutkan empat kali seruan "Allahu Akbar" lalu dua kali seruan "asyhadualla ilaaha illallah", kemudian dua kali seruan "asyhadu Annamuhammadarrasulullah", lalu dua kali seruan "hayya 'alas sholah", dua kali seruan "hayya 'alal falah" lalu "Allahu Akbar, Allahu Akbar, laa ilaaha illallah".Dengan gembira, Rasulullah SAW menyatakan bahwa itu adalah sebuah penglihatan baik. Rasulullah SAW segera meminta Abdullah pergi menemui Bilal dan mengajarkan adzan tersebut padanya. Bilal dipilih sebagai muadzin karena ia memiliki suara indah dan keras, sehingga bisa menjangkau jarak yang jauh. Sejak saat itulah pertama kali adzan diperdengarkan di kota Madinah dan Bilal menjadi muadzinnya.Setiap usai melantunkan adzan, Bilal selalu berdiri di depan pintu rumah Rasulullah SAW dan berkata "Hayya alas-salah, hayya 'alal-falaah (Mari kita Shalat, Mari dirikan kemenangan)." Ia berucap mengingatkan Rasulullah SAW bahwa telah masuk waktu shalat. Begitulah Bilal setiap kali ia usai melantunkan adzan. Bilal sangat menikmati perannya sebagai muadzin Rasul sampai kemudian Rasulullah SAW meninggal dunia. Meski semua umat Islam larut dalam kesedihan, mereka tidak melupakan kewajiban shalat. Karena itulah mereka meminta Bilal untuk kembali melantunkan adzan. Bilal pun bersiap mengumandangkan adzan pertamanya setelah wafatnya Rasul. Namun baru saja ia berucap "Allahu Akbar.." dan hendak mengucap nama Rasulullah SAW, ia tidak kuasa menahan kesedihan. Bilal menangis terisak-isak sehingga ia tidak meneruskan adzannya. Ia lalu berkata bahwa ia tidak akan pernah lagi mengumandangkan adzan. Bilal meminta Abu Bakar yang menjadi khalifah, untuk membiarkannya pergi Suriah. Bilal kemudian menetap di kota Damaskus hingga akhir hidupnya.

Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Bilal hanya melantunkan adzan dua kali. Pertama ketika Umar

Page 2: Bilal Bin Rabbah

bin Khattab datang ke Damaskus. Sementara yang kedua ketika ia mengunjungi makam Rasulullah SAW di Madinah. Mendengar suaranya, semua yang hadir menangis karena teringat masa Rasulullah masih ada.

A.Karakter bilal bin rabahkesetian

kejujuran

B.Keutamaan tokoh bilal bin rabah

Ketika shalat subuh usai, Nabi SAW menginterogasi Bilal r.a., “Katakan padaku amal terbaik apa telah kau lakukan? Sebab semalam kudengar bunyi terompahmu di surga.” Bilal menjawab, “Tak ada amal yang lebih baik yang telah aku kerjakan selain berwudhu siang malam aku gunakan untuk shalat.”

Dalam hadits lain diriwayatkan, “Tiada aku batal wudhu Kecuali aku perbarui lagi. Dan tiada aku berwudhu aku melainkan shalat dua rakaat aku tunaikan.” (Hadits dari Abu Hurairah)

Bilal bin Rabah (Bahasa Arab رباح بن adalah seorang budak berkulit hitam dari Habsyah (بالل(sekarang Ethiopia) yang masuk Islam ketika masih diperbudak. Setelah majikannya mengetahui bahwa Bilal masuk Islam, maka Bilal disiksa terus-menerus setiap harinya guna mengembalikannya agar tidak memeluk Islam. Tetapi Bilal tidak mau kembali kepada kekafirannya dan tetap melantunkan “Ahadun Ahad, Ahadun Ahad…!!!”

Pada akhirnya Bilal dimerdekakan oleh Abu Bakar dan menjadi sahabat setia Rasulullah SAW sampai-sampai Bilal dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Rasulullah saw pernah bermimpi mendengar suara terompah Bilal di surga. Ketika hukum syariat adzan diperintahkan oleh Allah orang yang pertama kali disuruh oleh Rasulullah SAW untuk mengumandangkannya adalah Bilal bin Rabah r.a., ia dipilih karena suara Bilal sangat merdu.

Bilal memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh sahabat lain, meskipun sepele. Namun, terkadang ada hal-hal sepele yang membuat seseorang masuk ke dalam surga. Contohnya apa yang dilakukan Bilal. Memang Bilal adalah termasuk sahabat besar yang keimanan dan keteguhan hatinya sudah teruji. Ketika Islam tengah menghadapi tekanan, tak terkecuali dengan Bilal yang waktu itu seorang budak. Ia tidak luput dari siksaan tuannya, orang kafir Quraisy hingga Abu Bakar ash-Shiddiq membebaskannya dari seorang budak.

Bilal adalah orang yang istiqamah dalam menjaga kesucian. Setiap kali batal wudhu, ia bersuci kembali dan melakukan shalat wudhu dua rakaat. Atas amalannya yang ’sederhana’ itu Allah memberikan keutamaan suara terompahnya sudah sampai ke surga lebih dahulu. Artinya, Bilal dijamin masuk surga.

Memang amal yang disukai Allah adalah amal yang istimrar (konsisten dan terus-menerus) meskipun kecil. Yang berat adalah konsistennya itu. Meskipun sekadar wudhu (apalagi di sini air

Page 3: Bilal Bin Rabbah

tidak susah) tapi tidak mudah menjalankannya. Untuk itu pantaslah Allah membuat terompah atau sandal Bilal mendahuluinya.

Khusus menjaga wudhu dari buang hajat atau menyentuh lawan jenis memang gampang-gampang susah. Apalagi yang punya penyakit beser. Namun kalau imannya sudah terpatri, kerepotan seperti itu tidak membuatnya mengeluh.

Dalam kitab Ta’limul Muta’alim, sebuah kitab bagaimana seharusnya sikap seorang pembelajar, seseorang yang ingin belajar agar ilmunya berkah dan nyantol di otak sebaiknya belajar dalam keadaan suci. Oleh karena itu, diceritakan ada seorang ulama yang dalam suatu malam harus wudhu 17 kali karena buang angin. Bayangkan, tujuh belas kali dilakukannya tanpa mengeluh. Mungkin kita ketika belajar, dan buang angin kita biarkan dulu. Terlebih jika tempat wudhunya jauh. Nanti saja kalau mau shalat atau mau tidur, pikir kita.

Hadits di atas mengandung pengertian pula bahwa jangan meremehkan amalan-amalan yang sederhana. Amalan apa pun, misalnya membersihkan jalan agar orang-orang tidak terkena duri, paku, atau pecahan kaca setiap hari bisa saja memasukkan seseorang ke dalam surga. Sekali lagi asal istiqamah dan ikhlas. Wallahu’alam bisshawab.

Hikmah dari kisah bilal bin rabah Jaga Lisan (Hifzhul Lisan)

Allah ketika memberikan kepada kita Nikmat kemampuan berbicara, memiliki 2 tujuan. Yaitu sebagai nikmat dan ujian kepada kita. Untuk itu hendaknya kita jaga nikmat tersebut dengan menggunakan sebaik-baiknya dengan cara berdzikir kepada Allah dengan cara membaca ayat ayatnya, baik qauliyah maupun kauniyah. Dan juga kita gunakan untuk berkata yang baik. Allah SWT sangat melarang kita untuk berkata yang tidak baik atau bahkan menggunakan lisan kita untuk menghina orang lain.Dalam surat Al Hujurat ayat 11 Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[1410] dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.Dalam cerita di atas, rasul pun juga keras mengingatkan Abu Dzar ketika tahu bahwa abu Dzar telah menghina Bilal dengan mengatakan “ Sesungguhnya di dalam dirimu ada sifat jahiliyah”. Mungkin maksud dari Abu Dzar untuk mengakrabkan diri dengan Bilal namun, kenyataannya bukanlah keakraban yang didapat tetapi sakit hati bilal yang didapat.Kita mungkin sering melakukan seperti yang dilakukan oleh Abu Dzar, kita mungkin sering menganggap apa yang kita lakukan untuk mengakrabkan diri dengan kawan kita. Memang kelihatan secara fisik kita akrab dengan kawan kita tetapi sengguhnya ikatan persahabatan yang didasari ikatan hati tidaklah terbentuk. Malah yang terbentuk adalah sebuah persahabatan yang

Page 4: Bilal Bin Rabbah

semu, yang kalau kita lagi senang dan berada di puncak kejayaan, teman kan sayang Tetapi kalau kita susah dan jatuh bangkrut, kita dibuang. Untuk itu mari kita renungi hadits berikut: ” Barang siapa yang beriman kepada hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam”.

Ketaatan kepada rasulDalam cerita tersebut ada ketaatan seorang Abu dzar yang bisa kita tiru. Ketaaatan tersebut bisa kita tiru dalam dialog antara Abu dzar dan Rasul. Dalam cerita tersebut Rasul bertanya:” Wahai Abu Dzar, apa benar engkau tadi bertemu dengan Bilal?, “Benar ya Rasul”, Kata Abu Dzar. “Apa Benar engkau memangginya denga Ibnul Aswad...?, “Benar Ya Rasul” kata Abu Dzar. Rasul pun lantas berkata “ Sesungguhnya di dalam dirimu masih ada sifat jahiliyah, dan sekarang minta maaflah kepada Bilal karena saat ini dia sedang sakit hati karena ucapanmu”.Mendengar ucapan dan perintah rasul, Abu Dzar tidak menjawab dengan memberikan alasan alasan klasik, tetapi yang dilakukan Abu dzar hanya Sami’na Wa Ato’na (mendengar dan taat). Inilah keistimewaan generasi para sahabat, mereka sangat taat kepada rasulnya. Karena ketaatan dan keimanan mereka, Allah sampai memuji mereka dengan menurunkan suatu ayat yaitu dalam surat Ali imron ayat 110:

KeikhlasanDalam cerita tersebut ada unsur keikhlasan, ikhlas untuk meminta maaf d an ikhlas untuk memberi maaf. Kedua hal tersebut merupakan perbuatan yang sangat sulit dilakukan ketika dua pihak berseteru. Hal ini dikarenakan ego yang ada dalam diri mereka. Dalam cerita tersebut bagaimana kita saksikan keikhlasan Abu Dzar untuk meminta maaf dan keikhlasan Bilal untuk memaafkan. Ikhlasnya Bilal terlihat dari ucapan bilal ketika dipersilahkan oleh abu dzar untukj menginjak kepalanya. Tetapi yang dilakukan Bilal hanya berkata: “Wahai sahabatku, mana mungkin aku berani menginjak kepala seorang hamba yang senantiasa bersujud kepada Tuhannya.”Subhanallah... seandainya bilal mau menginjak kepala Abu dzar, tentu dia bisa dengan mudah menginjaknya, tetapi yang dilakukan bilal tidak mau menginjak kepala Abu Dzar karena dia telah ikhlas memaafkan Abu Dzar.Kalau kita meminta maaf karena kesalahan kita, itu adalah wajar. Tetapi kalau memaafkan kesalahan orang lain itu butuh perjuangan yang luar biasa. Karena ego dalam diri kita akan ikut bermain untuk menolak memberi maaf.

Sumber: wikipedia.org dan kisahkisahislamiah.blogspot.com