bin taro

10
Analisa Kecelakaan Kereta Api Bintaro 1987 Menggunakan Swiss Cheese Model Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah faktor manusia dalam K3 Kelompok 4: Agin Darojatul Agnia Eka Ari Nuryanti Farras Putri Arianti  Nizar Fathul Khoir  Nurazizah Semester V Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2014

Upload: agin-darojatul-aghnia

Post on 09-Oct-2015

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Analisa Kecelakaan Kereta Api Bintaro 1987 Menggunakan Swiss Cheese ModelDisusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah faktor manusia dalam K3

Kelompok 4:Agin Darojatul AgniaEka Ari NuryantiFarras Putri AriantiNizar Fathul KhoirNurazizah

Semester VKeselamatan dan Kesehatan KerjaFakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan MasyarakatUniversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta2014

SWISS CHEESE MODELBanyak faktor yang mempengaruhi terjadinya suatu kecelakaan, seperti peristiwa terdahulu yang mengarah pada terjadinya suatu kecelakaan. Peristiwa tersebut terjadi secara bertahap namun masih dalam batas toleransi sehingga kecelakaan baru terjadi saat akumulasi peristiwa tersebut telah melebihi batas toleransi.Proses terjadinya kecelakaan yang dikembangkan oleh Reason sebagai model keju swiss (swiss cheese model) menjelaskan bahwa terdapat lubang-lubang pada tiap lapis keju yang menggambarkan kelemahan atau kekurangan pada pihak terkait dan berpotensi menimbulkan bahaya. Bila terjadi kelalaian, digambarkan sebagai bom yang meledak dan mengenai dinding-dinding keju. Serpihan ledakan yang melalui semua dinding keju melalui lubang yang ada maka akan mengakibatkan terjadinya kecelakaan. Sebaliknya, apabila ledakan itu tidak berhasil melewati semua lapisan keju maka kelalaian tersebut masih dalam batas toleransi dan tidak mengakibatkan kecelakaan.

Terdapat dua macam kesalahan dalam sebuah sistem yaitu aktif (active) dan terselubung (latent). Efek adanya active error dapat langsung diketahui dengan cepat, sedangkan tanda-tanda adanya latent error sulit diketahui. Selalu ada latent error pada semua sisrem namun karena proses berkembangnya secara bertahap dan tidak menimbulkan efek secara langsung maka sulit dideteksi. Adanya latent error lebih berbahaya dan harus lebih diwaspadai.Teori James Reason yaitu Swiss cheese model of Human Error yang menggambarkan kecelakaan karena kesalahan manusia terbagi dalam empat tingkatan yaitu :1. Organizational Influences (pengaruh organisasi)2. Unsafe Supervision (kurangnya pengawasan)3. Precondition For Unsafe Act (kondisi penyebab tindakan tidak aman)4. Unsafe Act (tindakan tidak aman)

Kecelakaan Kereta Api Bintaro Tahun 1987

Organizational InfluencesAspek yang dibahas adalah mengenai kebijakan manajemen tingkat atas, kondisi perusahaan secara umum seperti anggaran, penyediaan sumber daya, perencanaan dan target perusahaan. Kelemahan dalam sistem yang mendukung terjadinya suatu kecelakaan dimulai pada taraf organisasi yang lebih tinggi yaitu manajemen tingkat atas. Kelemahan pada manajemen tingkat atas memungkinkan timbulnya lubang-lubang kelemahan pada level organisasi yang lebih rendah. Faktor organizational influences yang memperngaruhi terjadinya kecelakaan kereta api di Bintaro tahun 1987 diantaranya adalah :

1. Tidak adanya budaya saling mengingatkan atau mengoreksi suatu kesalahan, cenderung membiarkan situasi tidak aman. Jika dilaksanakan sesuai prosedur, seharusnya untuk memindahkan persilangan ke Kebayoran, PPKA harus meminta ijin terlebih dahulu ke Kebayoran, setelah diijinkan PPKA harus membuat surat PTP (Pemindahan Tempat Persilangan) ke masinis KA 225. Namun, kenyataannya PPKA membuat PTP dan hanya memberikan ke masinis kemudian menelfon ke Kebayoran. Dan sangat disayangkan, PPKA Kebayoran waktu itu malah menjawab Gampang, nanti diatur!. Hal ini seharusnya tidak terjadi apabila terdapat pihak yang mau menegur saat mengetahui adanya kesalahan prosedur yang dijalankan.

2. Tidak adanya prosedur untuk melakukan reaksi terhadap hal emergency yang terjadi secara tiba-tiba. Pihak manajemen membuat prosedur yang harus dilakukan saat terjadinya suatu kondisi yang tidak aman seperti terdapat lebih dari satu rangkaian kereta api yang akan memasuki jalur yang sama.

3. Manajemen tidak memastikan bahwa seseorang kompeten melakukan suatu pekerjaan.Hal ini terlihat pada masinis KA 225 yang salah menerjemahkan kode. Masinis mendengar bunyi peluit Juru Langsir, namun ia tidak dapat memastikan apakah itu bunyi semboyan 46 atau semboyan 40 (tanda ketika petugas peron memberi sinyal hijau kepada kondektur KA, artinya jalur telah aman untuk dilalui).

4. Proses pelatihan tidak meliputi cara mengantisipasi keadaan darurat.Manajemen harus memberikan pelatihan terkait cara mengantisipasi keadaan darurat. Seharusnya manajemen menetapkan cara-cara yang harus dilakukan untuk memberhentikan kereta api yang tidak seharusnya melaju.

5. Tidak melakukan identifikasi bahaya dan penilaian risiko pekerjaan.Identifikasi bahaya dan penilaian risiko harus dilakukan untuk mencegah kejadian masuknya lebih dari satu rangkaian kereta di jalur yang sama. Karena identfikasi bahaya dan penilaian risiko dapat mencegah dan mengendalikan kejadian tersebut.

6. Komunikasi yang tidak berjalan dengan baik.Tidak adanya komunikasi dan koordinasi antara Kepala Stasiun Serpong kepada Kepala Stasiun Sudimara mengakibatkan kepala Stasiun Serpong memberangkatkan KA 225 Ekonomi (Rangkasbitung-Jakarta) ke Stasiun Sudimara, tanpa mengecek kepenuhan jalur KA di Stasiun Sudimara.

7. Lemahnya tindakan pendisiplinan sehingga masih ditemui pelanggaran yang berulang seperti pelanggaran prosedur kerja.Penetapan hukuman harus secara tegas diberikan oleh pihak manajemen untuk mencegah terjadinya pelanggaran secara terus-menerus, seperti kepala masinis yang dengan sengaja melanggar prosedur permohonan izin Pemindahan Tempat Persilangan dan menganggap remeh pelanggaran tersebut.Unsafe SupervisionMerupakan penyebab terjadinya precondition for unsafe act. Hal ini diakibatkan buruknya pengelolaan sumberdaya. 1. Dalam kasus kecelakaan kereta api bintaro 1987, terlihat kurangnya kompetensi masinis dalam membaca tanda yang dilontarkan oleh kepala stasiun kepada juru langsir apakah tanda 46 atau 40 yang mengakibatkan masinis ragu untuk menjalankan kereta api. 2. Selain kelalaian masinis, kurangnya kompetensi pada petugas palang pintu Pondok Betung yang tidak hafal akan semboyan bahaya Genta, dan menanggapinya sebagai semboyan Genta percobaan, sehingga laju kereta tidak dapat dihentikan yang mengakibatkan kecelakaan.Preconditions for Unsafe ActsKondisi sebelum terjadi tindakan yang tidak aman atau kondisi yang mendukung terjadinya unsafe act disebut juga preconditions for unsafe acts. Sumber ini meliputi kondisi pekerja yang dapat berdampak pada kinerja misalnya buruknya komunikasi dan koordinasi, kondisi mental pekerja (perhatian terganggu, cepat puas, melakukan selingan, kelelahan mental, dll), kondisi fisik (gangguan fisik, penyakit medis, secara fisik menerita cacat, fisik mengalami kecapaian), keterbatasan fisik/mental (kurang rekreasi, keterbatasan kemampuan intelektual, keterbatasan kemampuan fisik), dan keterampilan karyawan yang dapat berupa organisasi tidak menyediakan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhannya, atau karyawan tidak menyerap seluruh materi pelatihan atau karyawan enggan mengikuti pelatihan. Hal-hal tersebut berkaitan dengan pengelolaan sumber daya manusia.Preconditions for unsafe acts pada kasus kecelakaan Kereta Api Bintaro tahun 1987 ini adalah:1. Tidak mengetahui pentingnya komunikasi dan kordinasi antar Kepala KAPeristiwa ini bermula atas kesalahan kepala stasiun Serpong yang memberangkatkan KA 225 Ekonomi (Rangkasbitung-Jakarta) ke Stasiun Sudimara,tanpa mengecek kepenuhan jalur KA di Stasiun Sudimara.Dari sini sudah terlihat kesalahan prosedur kepala stasiun Serpong, karena tidak adanya komunikasi dan kordinasi dari Kepala Stasiun Serpong kepada Kepala Stasiun Sudimara.Sehingga ketika KRD no. KA 225 (Rangkas-Jakarta) itu diberangkatkan dari Serpong dan tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 6:45 WIB, ternyata stasiun Sudimara yang hanya punya 3 jalur saat itu penuh dengan dua KA. Penuhnya ketiga jalur tersebut menyebabkan tertutupnya semua jalur kereta di Stasiun Sudimara dan kereta lain tidak bisa lewat, serta kegiatan persilangan pun juga menjadi mustahil yang diperparah dengan keterlambatan KA 225. Untuk mengatasi hal ini maka dilakukanlah pemindahan stasiun untuk persilangan. Namun karena kesalahan prosedur kali inilah, kemudian terjadi rentetan kesalahan prosedur lainnya. 2. Adanya pergantian PPKA Kebayoran

3. Terjadinya pelanggaran pada prosedur untuk memindahkan persilangan kereta api.Prosedur seharusnya adalah untukmemindahkan persilangan ke Kebayoran, PPKA harus meminta izin dulu ke Kebayoran, dan setelah diizinkan, baru PPKA membuat surat PTP (Pemindahan Tempat Persilangan) ke masinis KA 225.Tetapi apa yang dilaksanakan berbeda dengan prosedur yang seharusnya, bahkan sebaliknya. PPKA malah membuat PTP dan memberikannya hanya ke masinis. Setelah itu baru menelpon dan meminta izin ke Kebayoran, dan jawaban dari PPKA Kebayoran waktu itu adalah Gampang, nanti diatur!.4. Kesalahan penafsiran bunyi semboyan dari Juru Langsir oleh masinis.Dari hasil laporan terhadap beberapa petugas, di Stasiun Sudimara, terdapat 3 jalur yang saat itu sedang penuh dengan KA. Mengetahui hal tersebut, kepala PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api) Stasiun Sudimara menghubungi Stasiun Kebayoran Lama untuk melakukan persilangan jalur di Stasiun Kebayoran Lama, namun Kepala PPKA Stasiun Kebayoran Lama, menolaknya dan tetap meminta persilangan dilakukan di Stasiun Sudimara.Akhirnya kepala PPKA Stasiun Sudimara kemudian mengosongkan jalur 2 (KA Indocement) untuk menampung KA 220 Patas yang telah berangkat dari Stasiun Kebayoran Lama setelah mendapat izin dari Kepala PPKA dengan memindahkan KA 225 ke jalur 1.Kepala PPKA Stasiun Sudimara kemudian memerintahkan Juru Langsir untuk memberi tahu masinis jika KA 225 hendak dipindah ke jalur 1. Juru Langsir kemudian memberi peringatan kepada masinis dan penumpang dengan mengibaskan Bendera Merah dan meniup peluit Semboyan 46(tanda kepada masinis dan penumpang jika kereta akan dilangsir) tanpa membatalkan perintah persilangan yang terlanjur diberikan kepada masinis KA 225.Masinis KA 225 mendengar bunyi peluit Juru Langsir, namun ia tidak dapat memastikan apakah itu bunyi semboyan 46 atau semboyan 40 (tanda ketika petugas peron memberi sinyal hijau kepada kondektur KA, artinya jalur telah aman untuk dilalui).Karena kondisi kereta yang penuh sesak, masinis pun menanyakan kepada penumpang yang berdiri di luar lokomotif, dan orang tersebut menjawab jika sudah waktunya kereta berangkat yaituSemboyan 40tanpa memastikan kembali.Maka masinis membalas membunyikanSemboyan 41(tanda yang dibunyikan oleh masinis dan kondektur sebagai respon atas dimengertinya semboyan 40 yang telah diisyaratkan oleh Kepala Stasiun), disusul kemudian dibunyikannya Semboyan 35 (masinis membuyikan klakson sebagai tanda kereta akan berangkat).Padahal sang Masinis tidak tahu jika Semboyan 40 belum diberikan oleh Kepala PPKA, yang diberikan hanyalah Semboyan 46 (kereta harus langsir) dan sang masinis KA 225 langsung memberangkatkan kereta, hanya karena jawaban seseorang yang mengatakan jika kereta telah siap untuk berangkat.Dengan adanya kejadian ini, dapat dikatakan bahwa masinis mengalami gangguan kondisi mental, karena tidak fokus akan instruksi yang diberikan oleh Juru Lingsir. Perhatian masinis juga terganggu karena jumlah penumpang dan kondisi kereta yang penuh sesak. Masinis juga melakukan kesalahan karena tidak memastikan kembali semboyan apa yang diberikan oleh Juru Lingsir. Kondisi ini dapat memicu terjadinya unsafe act pada swiss cheese di layer selanjutnya.Unsafe Act ( Perilaku Tidak Aman)Unsafe act atau tindakan tidak aman yang dilakukan dan berhubungan langsung dengan terjadinya accident. Unsafe act merupakan active failure, yaitu kesalahan yang efeknya langsung dirasakan. Active failure itu sendiri dapat disebabkan oleh komunikasi, kerusakan fisik, faktor psikologis, dan interaksi manusia dengan peralatan.

1. Kesalahana. Kesalahan yang disebabkan oleh lemahnya keterampilan : Tidak mampu memprioritaskan pekerjaan Mengabaikan sebagian atau seluruh tahapan prosedur Menghilangkan tahapan pekerjaan Kurang pengetahuan teknis Melakukan pekerjaan berlebihanb. Kesalahan pengambilan keputusan : Prosedur yang tidak benar Kesalahan mendiagnosa kondisi darurat Salah merespon kondisi darurat Pengambilan keputusan melebihi kemampuan Miskin keputusanc. Kesalahan persepsi2. Pelanggarana. Tidak mematuhi instruksib. Tidak menggunakan alat yang seharusnyac. Melakukan pekerjaan di luar kewenangannyad. Melanggar peraturan pelatihane. Melakukan pekerjaan berlebihanf. Tidak melakukan persiapan pekerjaang. Mendapatkan instruksi dari orang yang tidak berwenangh. Bekerja di luar lokasi yang seharusnya

Unsafe Act (Tindakan Tidak Aman) pada Kecelakaan Kereta Api Bintaro1. Kesalahana. Kesalahan yang disebabkan oleh lemahnya keterampilan. Mengabaikan sebagian atau seluruh tahapan prosedurMenurut peraturan, untuk memindahkan persilangan ke Kebayoran, PPKA harus meminta izin terlebih dahulu pada pihak Stasiun Kebayoran. Setelah diizinkan, PPKA membuat surat PTP (Pemindahan Tempat Persilangan) ke masinis KA 225. Akan tetapi, yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. PPKA malah membuat PTP dan memberikannya ke masinis, baru meminta ijin ke Kebayoran. Kurang pengetahuan teknisKetika para petugas KA kaget mendengar kereta KA 225 berangkat, maka petugas segera memberikan semboyan genta pada penjaga perlintasan Pondok Betung. Akan tetapi ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak hafal semboyan genta.

b. Kesalahan pengambilan keputusan : Prosedur yang tidak benar.PPKA malah membuat PTP (Pemindahan Tempat Persilangan) dan memberikannya ke masinis, baru meminta ijin ke Kebayoran. Padahal seharusnya PPKA meminta izin terebih dahulu lalu kemudian membuat surat PTP (Pemindahan Tempat Persilangan) ke masinis.2. Pelanggarana. Melakukan pekerjaan di luar kewenangannya Masinis menjalankan KA 220 dan langsung melesat ke stasiun Kebayoran tanpa izin dari PPKA. Bahkan, kondekturnya tidak sempat naik. Petugas Stasiun Sudimara memberikan sinyal aman bagi kereta api dari arah Rangkasbitung, padahal tidak ada pernyataan aman dari Stasiun Kebayoran.

b. Mendapatkan instruksi dari orang yang tidak berwenangMasinis menjalankan KA tidak berdasarkan semboyan yang diberikan. Hal tersebut dikarenakan masinis tidak dapat melihat karena penuhnya lokomotif saat itu. Masinis bertanya pada penumpang yang berada di lokomotif apakah sudah harus memberangkatkan kereta. Dan penumpang pun mengetakan untuk berangkat.

c. Bekerja di luar lokasi yang seharusnyaTerjadi pemindahan jalur KA 225 yang seharusnya berada di jalur dua ke jalur tiga, dimana jalur tiga bukanlah jalur yang seharusnya dilewati. Ketika hendak masuk ke jalur dua, sudah ada KA barang yang menunggu. Hal ini disebabkan keterlambatan keberangkatan KA 225 selama 5 menit ketika sampai di Stasiun Sudimara.