biodegradable film
DESCRIPTION
biodegradable filmTRANSCRIPT
ACARA II
BIODEGRADABLE FILM
A. Pendahuluan
1. Latar belakang
Pengemasan produk pangan merupakan suatu proses pembungkusan
dengan bahan pengemas yang sesuai untuk mempertahankan dan melindungi
makanan hingga ke tangan konsumen, sehingga kualitas dan keamanannya
dapat dipertahankan. Salah satu bahan pengemas yang sering digunakan adalah
plastik yang selain mengandung bahan kimia yang cukup berbahaya,
penggunaannya juga telah banyak menyumbangkan limbah yang sulit
diuraikan. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan masalah kesehatan dan
lingkungan memicu kenaikan permintaan kemasan biodegradable yang mampu
menjamin keamanan produk pangan. Edible film merupakan suatu lapis tipis
yang melapisi bahan pangan yang layak dikonsumsi, dan dapat terdegradasi
oleh alam secara biologis. Selain bersifat biodegradable, edible film dapat
dipadukan dengan komponen tertentu yang dapat menambah nilai fungsional
dari kemasan itu sendiri seperti edible film berantioksidan.
Perkembangan penelitian tentang edible film dan aplikasinya pada
produk pangan di Indonesia kini cukup baik. Berbagai macam penelitian
dilakukan untuk mendapatkan edible film dengan modifikasi untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik. Modifikasi juga dilakukan pada bahan
dasar, seperti protein atau pati hingga penambahan bahan lain atau dengan
perlakuan-perlakuan khusus. Edible film diaplikasikan pada makanan dengan
cara pembungkusan, pencelupan, penyikatan atau penyemprotan.
2. Tujuan praktikum
Tujuan dari praktikum acara II “Biodegradble film ” adalah membuat
biodegradble film dari berbagai jenis polimer.
B. Tinjauan Pustaka
Edible film merupakan salah satu alternatif kemasan sintetis. Berhubung
sifatnya yang dapat didegradasi yang berasal dari bahan alami seperti protein,
lipid, dan polisakarida, edible film telah mendapat perhatian yang besar.
Walaupun edible film tidak dapat secara sempurna menggantikan kemasan
sintetis, edible film dapat memperpanjang umur simpan produk pangan karena
sifat mekanisnya dan kemampuannya sebagai barrier. Edible film merupakan
kemasan pangan dalam bentuk lapisan tipis yang aman untuk dimakan. Edible
film adalah lapisan tipis dan kontinyu terbuat dari bahan-bahan yang dapat
dimakan, dibentuk untuk melapisi komponen makanan (coating) atau
diletakkan diantara komponen makanan (film), serta untuk mempermudah
penanganan makanan, dengan adanya persyaratan bahwa kemasan yang
digunakan harus ramah lingkungan, maka penggunaan edible film adalah
sesuatu yang sangat menjajikan, baik yang terbuat dari hidrokoloid, lipid,
protein maupun kombinasi ketiganya (Sudaryati, 2010).
Salah satu alternatif yang bisa dipilih pengemas yang ramah lingkungan
(biodegradable) adalah edible film. Keuntungan edible film antara lain dapat
dikonsumsi langsung bersama produk yang dikemas, tidak mencemari
lingkungan, memperbaiki sifat organoleptik produk yang dikemas, berfungsi
sebagai sumplemen penambah nutrisi, sebagai flavor, pewarna, zat
antimikroba, dan antioksidan. Edible film dapat dibuat dari berbagai bahan
baku yang memiliki komposisi pati yang cukup tinggi. Pembuatan edible film
dari pati tapioka memiliki karakteristik yang cukup baik walaupun laju
transmisi terhadap uap air cukup tinggi (Jorge, 2015).
Pati dan komponen utamanya, amilosa dan amilopektin, adalah
biopolimer yang bisa dimanfaatkan menjadi bahan baku sebagai penghalang
(barier) dalam bahan kemasan. Pati sering digunakan dalam industri makanan.
Pati biasa digunakan untuk memproduksi biodegradable film sebagai pelapis
atau menggantikan polimer plastik karena biaya yang murah dan terbarukan
dan lebih aman dibandingkan plastik biasa (Bourtoom, 2007).
Biodegradable film atau pelapis degradable memiliki sifat fungsional
sebagai penghalang untuk gas terlarut dan memperpanjang kualitas makanan,
dan menjaga umur simpan. Polimer biodegradable terbentuk dari polisakarida
alami, biasanya digunakan pati, yang memiliki kemampuan membentuk
matriks yang terus-menerus. Film pati dan film turunannya telah banyak
dipelajari mengenai properti pembentukan film, penghalang oksigen tinggi, dan
kekuatan mekanik yang bagus (Polnaya, 2012).
Edible film diaplikasikan pada makanan dengan cara pembungkusan,
pencelupan, penyikatan atau penyemprotan. Teknik pencelupan biasanya
digunakan pada produk daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran. Edible
packaging pada bahan pangan pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis bentuk,
yaitu: edible film, edible coating, dan enkapsulasi. Hal yang membedakan
edible coating dengan edible film adalah cara pengaplikasiannya. Edible
coating langsung dibentuk pada produk, sedangkan pada edible film
pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang akan
dilapisi/dikemas (Embuscado, 2000).
Edible film didefinisikan sebagai lapisan tipis yang dibuat dari bahan
yang dapat dimakan dan digunakan untuk melapisi makanna (coating) atau
menempatkannya diantara komponen bahan makanan dengan cara pencelupan,
penyemprotan, atau dengan pembungkusan. Penggunaan edible film ini
berperan untuk menghambat migrasi uap air, oksigen, karbondioksida, dan
lemak. Selain itu, edible film juga berfungsi sebagai pembawa komponen
bahan makanan seperti antimikrobia, antioksidan, flavor, pewarna, dan
suplemen gizi (Handajani, 2010).
Pengemasan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembuatan
produk makanan. Fungsi dari kemasan adalah mempercantik produk,
melindungi produk dari bahaya bakteri, meningkatkan mutu dan menjaga
kualitas produk. Karton atau kardus biasanya digunakan untuk mengemas
makanan untuk produk kering taua semi kering sperti keripik, cheese stik,
singkong rendang, dll (A. Yuyun, 2010).
Edible packaging dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu yang
berfungsi sebagai pelapis (edible coating) dan yang berbentuk lembaran (edible
film) dimakan dengan produk yang dikemas, sebagai penghambat transfer
massa (misalnya kelembaban, oksigen, lemak dan zat terlarut) dan atau sebagai
carrier bahan makanan atau aditif dan atau untuk meningkatkan penanganan
makanan. Edible film itu sendiri dapat dibuat dari tiga jenis bahan yakni
hidrokoloid (alginat, karaginan, pati), lipid (lilin/wax, asam lemak), dan
komposit dari keduanya. Bahan pelapis jenis ini memiliki sifat dapat langsung.
Film menjadi lebih elastis karena fungsi lipid selain untuk menahan laju uap air
adalah untuk menambah elastisitas film. Pembuatan larutan edible film pada
suhu tinggi tidak menambah elastis film namun justru menyebabkan film kaku
dan mudah patah (Prasetyaningrum dkk, 2010).
Edible film telah muncul sebagai alternatif untuk plastik sintetis untuk
aplikasi makanan, dan telah menerima banyak perhatian dalam beberapa tahun
ini karena keuntungannya dibandingkan plastik sintetis. Keuntungan utama
edible film dibandingkan dengan kemasan tradisional adalah edible film dapat
dikonsumsi dengan produk yang dibungkusnya. Tidak ada kemasan (dari
edible film) untuk dibuang, meskipun jika film tidak dikonsumsi, edible film
masih dapat berkontribusi untuk mengurangi kerusakan karena lingkungan.
Film diproduksi secara ekslusif dari yang terbarukan, bahan yang dapat
dimakan sehingga mampu didegradasi lebih mudah dari pada bahan polimer.
Edible film dapat meningkatkan sifat organoleptik makanan yang
dibungkusnya karena mengandung berbagai komponen seperti, perasa,
pewarna, dan pemanis (Dhanapal, 2012).
Untuk menunjang perannya sebagai pembungkus yang dapat mencegah
atau mengurangi terjadinya kerusakan pada bahan pangan, maka edible film
perlu dikembangkan menjadi kemasan aktif. Kemasan aktif adalah teknik
pengemas yang memiliki kemampuan aktif untuk menunjukkan mutu produk
yang dikemas. Pengemasan aktif biasanya mempunyai bahan penyerap O2,
penyerap atau penambah O2, ethanol emitters, penyerap etilen, penyerap air,
bahan antimikroba, bahan penyerap dan yang dapat mengeluarkan
aroma/flavor dan pelindung cahaya. Rempah-rempah telah banyak diteliti
mempunyai senyawa yang berpotensi sebagai antimikroba dan antioksidan.
Selain itu, juga telah banyak diteliti aplikasi rempah-rempah sebagai pengawet
alami produk pangan, baik dalam bentuk segar maupun yang telah diolah
menjadi oleoresin atau minyak atsiri (Utami, 2013).
Saat ini, penelitian mengenai edible film dengan penambahan
antimikroba mengalami peningkatan. Film-film ini bisa memperpanjang umur
simpan dan keamanan makanan dengan mencegah pertumbuhan patogen dan
mikroorganisme pembusuk sebagai akibat dari ekstensi lag fase mereka atau
pengurangan laju pertumbuhan mereka. Kemampuan edible film untuk
menghambat kelembaban, oksigen, aroma dan transportasi zat terlarut dapat
ditingkatkan dengan penambahan antioksidan, antimikroba, pewarna, rasa, dan
rempah-rempah dalam formulasi Film (Ponce, 2008).
C. Metodologi
1. Alat
a. Beker glass
b. Pengaduk kaca
c. Hotplate
d. Thermometer
e. Cabinet dryer
f. Timbangan analitik
g. Propipet
h. Pipet ukur
i. Nampan
2. Bahan
a. Tepung tapioka
b. Tepung maizena
c. Tepung komposit (tepung tapioka dan tepung maizena)
d. Aquades
e. Gliserol
Tepung (5 gr)
Dilarutkan dengan aquadest 100 ml
Dipanaskan hingga 70oC
Ditambahkan gliserol 2 ml pada suhu 60oC
Diaduk selama ± 30 menit pada suhu 60oC
Dituangkan ke dalam wadah
Ditunggu di suhu ruang
Dikeringkan di cabinet dryer pada suhu 75oC ± 5 jam
Diamati hasilnya
3. Cara Kerja
D. Hasil dan Pembahasan
Pengemasan produk pangan merupakan suatu proses pembungkusan
dengan bahan pengemas yang sesuai untuk mempertahankan dan melindungi
makanan hingga ke tangan konsumen, sehingga kualitas dan keamanannya
dapat dipertahankan. Salah satu bahan pengemas yang sering digunakan adalah
plastik yang selain mengandung bahan kimia yang cukup berbahaya,
penggunaannya juga telah banyak menyumbangkan limbah yang sulit
diuraikan. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan masalah kesehatan dan
lingkungan memicu kenaikan permintaan kemasan biodegradable yang mampu
menjamin keamanan produk pangan. Edible film merupakan suatu lapis tipis
yang melapisi bahan pangan yang layak dikonsumsi, dan dapat terdegradasi
oleh alam secara biologis. Selain bersifat biodegradable, edible film dapat
dipadukan dengan komponen tertentu yang dapat menambah nilai fungsional
dari kemasan itu sendiri seperti edible film berantioksidan (Kusumawati, 2013).
Perkembangan penelitian tentang edible film dan aplikasinya pada
produk pangan di Indonesia kini cukup baik. Berbagai macam penelitian
dilakukan untuk mendapatkan edible film dengan modifikasi untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik. Modifikasi juga dilakukan pada bahan
dasar, seperti protein atau pati hingga penambahan bahan lain atau dengan
perlakuan-perlakuan khusus (Utami, 2013).
Edible film diaplikasikan pada makanan dengan cara pembungkusan,
pencelupan, penyikatan atau penyemprotan. Teknik pencelupan biasanya
digunakan pada produk daging, ikan, produk ternak, buah dan sayuran (Naked
fisher, 2008 dalam Estiningtyas 2010). Merurut Arpah (1997) dikutip
Christsania (2008), edible packaging pada bahan pangan pada dasarnya dibagi
menjadi tiga jenis bentuk, yaitu: edible film, edible coating, dan enkapsulasi.
Hal yang membedakan edible coating dengan edible film adalah cara
pengaplikasiannya. Edible coating langsung dibentuk pada produk, sedangkan
pada edible film pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang akan
dilapisi/dikemas. Enkapsulasi adalah edible packaging yang berfungsi sebagai
pembawa zat flavor berbentuk serbuk. Edible film didefinisikan sebagai lapisan
yang dapat dimakan yang ditempatkan di atas atau di antara komponen
makanan (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006).
Menurut Wahyu (2009) Edible film berbasis pati singkong dapat
diaplikasikan untuk mengemas apel potong sehingga dapat mempertahan
kecerahan warna apel dan dapat mempertahankan umur simpan dodol durian
hingga 25-44 hari. Selain itu Li dan Barth 1998 (dalam Winarti, 2012)
menjelaskan bahwa edible coating/film dapat berfungsi sebagai pembawa
(carrier) aditif makanan, seperti bersifat sebagai agens antipencoklatan,
antimikroba, pewarna, pemberi flavor, nutrisi, dan bumbu.
Gelatinisasi adalah peristiwa perkembangan granula pati sehingga
granula pati tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula
(Winarno, 1947). Pengembangan granula pati pada mulanya bersifat dapat
balik, tetapi jika pemanasan mencapai suhu tertentu, pengembangan granula
pati menjadi bersifat tidak dapat balik dan akan terjadi perubahan struktur
granula. Suhu gelatinisasi adalah suhu pecahnya granula pati karena
pembengkakan granula setelah melewati titik maksimum (Palupi, 2011). Proses
gelatinisasi terjadi karena kerusakan ikatan hidrogen yang berfungsi untuk
mempertahankan struktur dan integritas granula pati. Kerusakan integritas pati
menyebabkan granula pati menyerap air, sehingga sebagian fraksi terpisah dan
masuk ke dalam medium (Greenwood, 1979) pati merupakan homopolimer
glukosa dengan ikatan-glikosidik. Setiap pati tidak sama sifatnya tergantung
dari rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya.
Menurut Matz (1984) gelatinisasi suhu berkisar antara 58,8°C-70ºC.
Mekanisme gelatinisasi pati secara ringkas dan skematis di uraikan oleh
Harper (1981). Tahap pertama granula pati masih dalam keadaan normal belum
berinteraksi dengan apapun. Ketika granula mulai berinteraksi dengan molekul
air disertai dengan peningkatan suhu suspensi terjadilah pemutusan sebagian
besar ikatan intermolecular pada kristal amilosa. Akibatnya granula akan
mengembang (Tahap2). Tahap berikutnya molekul-molekul amilosa mulai
berdifusi keluar granula akibat meningkatnya aplikasi panas dan air yang
berlebihan yang menyebabkan granula mengembang lebih lanjut (Tahap 3).
Proses gelatinisasi terus berlanjut sampai seluruh mol amilosa berdifusi keluar.
Hingga tinggal molekul amilopektin yang berada di dalam granula. Keadaan
ini pun tidak bertahan lama karena dinding granula akan segera pecah sehingga
akhirnya terbentuk matriks 3 dimensi yang tersusun oleh molekul-molekul
amilosa dan amilopektin (tahap 4).
Menurut Imaningsih (2012) tepung beras ketan tergelatinisasi pada suhu
yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung lainnya. Suhu terjadinya
gelatinisasi pada tepung ini adalah 67,470C. Sementara suhu terjadinya
gelatinisasi pada tepung tapioka, tepung terigu dan tepung beras berturut-turut
adalah pada 69,560C, 82,380C dan 85,390C. Sedangkan menurut Darwinda
(2010) suhu gelatinisasi tepung maizena adalah sekitar 60°C . Sifat-sifat edible
yang didapat pada praktikum shif 2 yaitu urutan yang paling tebal ke yang
paling tipis yaitu kelompok 9 (tapioka 3,75 gr + maizena 1,25 gr), kelompok
10 (tapioka 1,25 g + maizena 3,75 g), kelompok 8 (tapioka 2,5 g + maizena 2,5
g), kelompok 6 (tapioka 5 g), dan kelompok 7 (maizena 5 gram).
Menurut Utami (2013) bahan baku utama pembuatan edible film adalah
hidrokoloid, lipida dan komposit. Hidrokoloid yang cocok antara lain senyawa
protein, turunan selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakarida lainnya. Lipida
yang biasa digunakan waxes, asilgliserol, dan asam lemak. Sedangkan
komposit merupakan gabungan lipida dengan hidrokoloid (Dohowe dan
Fennema, 1994 dalam Krochta et. al., 1994). Edible film dan coating dapat
diklasifikasikan berdasarkan kemungkinan penggunaannya dan jenis film yang
sesuai, yang dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Kemungkinan penggunaan Edible film dan coating
Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah protein
atau karbohidrat. Film yang dibentuk dari karbohidrat dapat berupa pati, gum
(seperti contoh alginat, pektin, dan gum arab), dan pati yang dimodifikasi
secara kimia. Pembentukan film berbahan dasar protein antara lain dapat
menggunakan gelatin, kasein, protein kedelai, protein whey, gluten gandum,
dan protein jagung. Film yang terbuat dari hidrokoloid sangat baik sebagai
penghambat perpindahan oksigen, karbondioksida, dan lemak, serta memiliki
karakteristik mekanik yang sangat baik, sehinggga sangat baik digunakan
untuk memperbaiki struktur film agar tidak mudah hancur (Dohowe dan
Fennema, 1994 dalam Krochta et. al., 1994). Tapioka dan maizena merupakan
tepung yang berasal dari tanaman serealia yang mengandung karbohidrat dan
protein. Tapioka berasal dari umbi singkong, sedangkan maizena berasal dari
penepungan jagung. Jagung dan singkong memiliki banyak kandungan
karbohidrat, dan sedikit lemak sehingga dapat digunakan untuk membuat
edible film.
Film yang berasal dari lipida sering digunakan seagai penghambat uap
air, atau bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk-produk
kembang gula. Film yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas dikarenakan
menghasilkan kekuatan struktur film yang kurang baik (Dohowe dan Fennema,
1994 dalam Krochta et. al., 1994). Karakteristik film yang dibentuk oleh lemak
tergantung pada berat molekul dari fase hidrofilik dan fase hidrofobik, rantai
cabang, dan polaritas. Lipida yang sering digunkan sebagai edible film antara
lain lilin (wax) seperti parafin dan carnauba, kemudian asam lemak,
monogliserida, dan resin (Lee dan Wan, 2006 dalam Hui, 2006). Komposit film
terdiri dari komponen lipida dan hidrokoloid. Aplikasi dari komposit film dapat
dalam lapisan satu-satu (bilayer), di mana satu lapisan merupakan hidrokoloid
dan satu lapisan lain merupakan lipida, atau dapat berupa gabungan lipida dan
hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan dari hidrokolid dan lemak
digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen lipida dan
hidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap penguapan air dan
hidrokoloid dapat memberikan daya tahan. Film gabungan antara lipida dan
hidrokoloid ini dapat digunakan untuk melapisi buah-buahan dan sayuran yang
telah diolah minimal (Dohowe dan Fennema, 1994 dalam Krochta et. al.,
1994).
Edible film yang hanya menggunakan bahan tunggal seperti pati, masih
menyisakan beberapa kekurangan diantaranya adalah sifat rapuh dan
kaku.Oleh karena itu perlu ditambahkan bahan tambahan yaitu plasticizer.
Plasticizer merupakan salah satu bahan tambahan dalam pembuatan edible film
yang berfungsi untuk menambah sifat elastisitas. Salah satu jenis plasticizer
yang banyak digunakan selama ini adalah gliserol. Gliserol cukup efektif
digunakan untuk meningkatkan sifat plastis film karena memiliki berat molekul
yang kecil. Jadi funsi penambahan gliserol dalam pembuatan edible film ini
adalah sebagai plastisizer/ penambah elastisitas edible film (Huri, 2014).
Tapioka adalah pati yang diperoleh dari hasil ekstraksi ubi kayu, dimana
pati itu terdiri dari dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas.
Fraksi terlarut disebut amilosa dan yang tidak terlarut disebut amilopektin.
Tepung tapioka mengandung 17% amilosa dan 83% amilopektin. Kandungan
amilosa pada beberapa pati sumber bahan pangan yaitu tapioka 17%, kentang
21%, beras 28,60%, beras dengan kadar amilosa rendah 2,32%, gandum 28%,
barley 25,30%, barley kaya amilosa 44,10%, oat 29,40%, maizena 28,70%,
dan maizena kaya amilosa 67,80% (Eliasson 1996). Perbandingan amilosa dan
amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati.
Semakin kecil kandungan amilosa atau semakin tinggi kandungan
amilopektinnya, maka pati cenderung menyerap air lebih banyak
(Tjokroadikusoemo, 1986). Amilopektin berfungsi membentuk lapisan yang
transparan dengan viskositas tinggi dan berbentuk lapisan-lapisan seperti
untaian tali ketika dipanaskan. Pada amilopektin cenderung tidak terjadi
retrogradasi dan tidak membentuk gel, kecuali pada konsentrasi tinggi (Belitz
dan Grosch 1999). Menurut Matz (1984) pati yang memiliki kandungan
amilopektin tinggi akan membentuk gel yang tidak kaku, sedangkan pati yang
kandungan amilopektinnya rendah akan membentuk gel yang kaku.
E. Kesimpulan
Dari pembahasan acara II “Biodregable Film” dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Pengemasan produk pangan merupakan suatu proses pembungkusan dengan
bahan pengemas yang sesuai untuk mempertahankan dan melindungi
makanan hingga ke tangan konsumen, sehingga kualitas dan keamanannya
dapat dipertahankan.
2. Edible film merupakan suatu lapis tipis yang melapisi bahan pangan yang
layak dikonsumsi, dan dapat terdegradasi oleh alam secara biologis.
3. Gelatinisasi adalah peristiwa perkembangan granula pati sehingga granula
pati tersebut tidak dapat kembali pada kondisi semula.
4. Sifat-sifat edible yang didapat pada praktikum shif 2 yaitu urutan yang
paling tebal ke yang paling tipis yaitu kelompok 9 (tapioka 3,75 gr +
maizena 1,25 gr), kelompok 10 (tapioka 1,25 g + maizena 3,75 g),
kelompok 8 (tapioka 2,5 g + maizena 2,5 g), kelompok 6 (tapioka 5 g), dan
kelompok 7 (maizena 5 gram).
5. Bahan baku utama pembuatan edible film adalah hidrokoloid, lipida dan
komposit.
DAFTAR PUSTAKA
Bourtoom, Thawien. 2007. Plasticizer effect on the properties of Biodegradable blend film from rice starch-chitosan. Songklanakarin J. Sci. Technol. 30 (Suppl.1), 149-165.
Dhanapal, Aruna, Sasikala.P, Lavanya Rajamani, Kavitha.V, dan Yazhini.G, M.Shakila Banu. 2012. Edible films from Polysaccharides. Food Science and Quality Management ISSN 2224-6088 (Paper) ISSN 2225-0557 Vol 3.
Embuscado, Milda E., dan Kerry C.Hubber. 2000. Edible Film Coatings for Food Applications. Springer.New York.
Handajani, Sri., Endang Setyorini., dan Danar Praseptiangga. 2010. Pengolahan Hasil Pertanian. UNS Press. Surakarta.
Jorge, Manuel Fernando Coronado., Elisabete M. C. Alexandre., Christian Humberto Caicedo Flaker., AnaMônica Quinta Barbosa Bittante., dan Paulo José do Amaral Sobral. 2015. Biodegradable Films Based on Gelatin and Montmorillonite Produced by Spreading. International Journal of Polymer Science Volume 2015, Article ID 806791.
Polnaya,Febby J., Josefina Talahatu., Haryadi dan Djagal W. Marseno. Properties of biodegradable films from hydroxypropyl sago starches. As. J. Food Ag-Ind. 2012, 5(03), 183-192.
Ponce, Alejandra G., Sara I. Roura, Carlos E. del Valle, dan Marıa R. Moreira. 2008. Antimicrobial and Antioxidant Activities of Edible Coatings Enriched with Natural Plant Extracts: In Vitro and In Vivo Studies. Postharvest Biology and Technology 49 (2008) 294–300.
Prasetyaningrum, Aji ; Nur Rokhati; Deti Nitis Kinasih dan Fransiska Dita Novia Wardhani. 2010. Karakterisasi Bioactive Edible Film dari Komposit Alginat dan Lilin Lebah Sebagai Bahan Pengemas Makanan Biodegrdable. Jurnal Seminar Rekayasa Kimia dan Proses. ISSN : 1411-4216. Vol. 3 No. 7 Hal 1-4.
Sudaryati, H.P., Tri Mulyani S., dan Egha Rodhu Hansyah. 2010. Sifat Fisik dan Mekanis Edible Film dari Tepung Porang (Amorphopallus Oncophyllus) dan Karboksimetilselulosa. Jurnal Teknologi Pertanian Vol. 11 No. 3.
Utami, Rohula, Edhi Nurhartadi, dan Andre Yusuf Trisna Putra. 2013. Pengaruh Penambahan Minyak Atsiri Kunyit Putih (Kaempferia Rotunda) pada Edible Film Pati Tapioka terhadap Aktivitas Antimikroba dan Sensoris. Jurnal Teknosains Pangan Vol 2 No 2 April.