bioremediasi tanah tercemarlimbah minyak berat … · minyak bumi yang menimbulkan dampak negatif...
TRANSCRIPT
BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK
BERAT MENGGUNAKAN KONSORSIUM BAKTERI
CHARLENA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Bioremediasi Tanah Tercemar
Limbah Minyak Berat Menggunakan Konsorsium Bakteri adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir setiap bab disertasi ini.
Bogor, Agustus 2010
Charlena NRP P062040101
ABSTRACT CHARLENA. Bioremediation of Heavy Oil Waste-Contaminated Soil Using Bacterial Consortium. Under direction of ZAINAL ALIM MAS’UD, ISWANDI ANAS, YADI SETIADI and MOHAMAD YANI.
Waste treatment of crude oil in petroleum land mines needed to clean up the environment from crude oil waste. Waste treatment of crude oil can be done using bioremediation technique
employing hydrocarbon compound-degrading bacterial consortium. The aim of the present research was to carry out bioremediation of hydrocarbon compounds of soil contaminated with heavy oli waste using bacterial consortium. In order to achieve this aim, reseach was divided into several stages which incude stage one to analyze effect of anionic and nonionic surfactants addition to improve dispersion of heavy oil waste in water, stage two to carry out bioremediation of soil contaminated with heavy oil waste using bacterial consortium employing bioslurry and landfarming techniques. In order to elucidate the bacterial species involved in the degradation of hydrocarbon compounds present in the heavy oil waste, research stage three was carried out to isolate, screen, and characterize heavy oil degrading bacteria of bacterial consortium, and then research stage four was conducted to test the ability of single or mixed (consortium) of bacteria in degrading heavy oil waste. Results showed that addition of anionic surfactant in Linear Alkilbenzena Sulphonate (LAS) at concentration of 0.04% was better in dispersing heavy oil waste in water compared to addition of Sodium Dodecyl Sulphate (SDS) and nonionic surfactant. By employing bacterial consortium, bioremediation of heavy oil contaminated-soil using bioslurry technique was more effective compared to landfarming technique. Bioremediation using bioslurry technique decreased the concentration of Total Petroleum Hydrokarbon from 20.71% to 0.11% which was far below the threshhold set by the Decree of Environment Ministry no. 128 year 2003 i.e 10000 ppm or 1 %. Meanwhile landfarming technique during 4 months observation resulted in quite high TPH percentage i.e of 5.58%. For this reason, bacteria were isolated from bioslurry process and 11 isolates were found showing ability of degrading Polyaromatic Hydrocarbon (PAH). Out of 11 isolates 3 bacterial isolates were ahowing best performances in degrading hydrocarbon compounds. Following molecular characterization, the three bacterial isolates were Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, and Ochrobactrum anthropi showing ability to degrade PAH compunds such as phenantrene, dibenzotiophene and fluorene. Test of ability of single and mixed species in degrading hydrocarbon compounds present in heavy oil waste showed that Bacillus altitudinis has better performance in degrading hydrocarbon coumpounds present in the heavy oil waste compared to other species. Bacillus altitudinis showed degradation percentage of 54.11%. Compared to single bacterial species, mixed (consortium) of bacteria was better in degrading hydrocarbon compound. Mixture of the three bacterial species (Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi) decreased TPH with percent degradation of 81.52%.
Keywords: Bioremediation, heavy oil waste, bacterial consortium
RINGKASAN
Aktivitas penambangan minyak bumi berpotensi menghasilkan limbah minyak bumi yang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Salah satunya adalah limbah minyak berat yang mengandung fraksi berat minyak bumi yang bersifat toksik terhadap lingkungan disekitarnya. Bioremediasi merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan saat ini untuk mengatasi limbah minyak berat yang mencemari lingkungan. Bioremediasi dapat memanfaatkan bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon poliaromatik yang terdapat dalam limbah minyak berat menjadi senyawa yang lebih sederhana, kemudian dimanfaatkan sebagai sumber karbon dan sumber energi. Bakteri yang digunakan dalam mendegradasi limbah minyak bumi memiliki kemampuan yang lebih tinggi jika digunakan sebagai kultur konsorsium atau kultur campur. Bakteri ini bekerja secara sinergis dengan memotong senyawa hidrokarbon pada tempat yang berbeda, kemudian menggunakan senyawa sederhana hasil degradasi sebagai sumber hidrokarbon dan energinya untuk proses degradasi berikutnya.
Konsorsium bakteri yang digunakan untuk mendegradasi senyawa
hirokarbon selama proses bioremediasi, dapat dilakukan dengan teknik bioslurry dan landfarming. Bioremediasi dengan teknik landfarming telah dilakukan untuk mengatasi tanah tercemar limbah minyak berat pada industri minyak PT CPI. Menggunakan mikroba indigen dibutuhkan waktu ± 8 bulan untuk menurunkan TPH ≥ 4%, yang selanjutnya mikroba ini tidak mampu lagi untuk menurunkan TPH sampai 1%, sesuai Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan teknik bioremediasi yang efektif untuk mengatasi limbah minyak berat yang semakin lama semakin menumpuk dengan menggunakan konsorsium bakteri yang diperoleh dari limbah minyak berat dan kotoran hewan. Mencari spesies bakteri yang berperan aktif dalam mendegradasi senyawa poliaromatik yang terdapat pada limbah minyak berat dan menguji kemampuan spesies bakteri yang diperoleh dalam bentuk tunggal dan campurannya.
Penelitian dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu tahap pertama untuk
melihat pengaruh penambahan surfaktan anionik dan nonionik dalam meningkatkan dispersi limbah minyak berat ke dalam air, karena limbah minyak berat yang diperoleh dari lapangan minyak Duri memiliki tekstur yang liat menyebabkan sulit untuk terdispersi ke dalam air. Surfaktan yang digunakan adalah surfaktan anionik (Linear Alkilbenzena Sulfonat/LAS dan Natrium Dodesil Sulfat/NDS) dan nonionik (Tween 80 dan Brij 35). Tahap kedua melakukan bioremediasi tanah tercemar limbah minyak berat menggunakan konsorsium bakteri dengan teknik bioslurry dan landfarming. Konsorsium bakteri yang digunakan diperoleh dari limbah minyak berat yang dicampur dengan kotoran hewan. Limbah minyak berat diambil dari lapangan minyak Duri, PT CPI dan kotoran hewan (sapi dan kuda) diperoleh dari Fakultas Peternakan IPB. Konsorsium bakteri yang digunakan dalam mendegradasi limbah minyak berat dengan teknik bioslurry diuji juga kemampuannya dengan menggunakan teknik landfarming. Tahap ketiga yaitu melakukan isolasi, seleksi dan identifikasi
bakteri pendegradasi minyak bumi dari konsorsium bakteri. Isolasi dilakukan untuk mendapatkan isolat yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi senyawa Poliaromatik Hidrokarbon (PAH) yang terdapat dalam limbah minyak berat. Untuk mendapatkan 3 isolat yang terbaik, dilakukan proses seleksi dengan menghitung persen degradasi tertinggi selama 1 bulan pengamatan. Terhadap 3 isolat yang memiliki kinerja terbaik ini dilakukan identifikasi secara molekuler. Tahap keempat yaitu menguji kemampuan spesies bakteri dan campuran (konsorsium) bakteri dalam mendegradasi limbah minyak bumi fraksi berat.
Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil, bahwa penambahan
surfaktan dan pengaruh kecepatan pengadukan mampu meningkatkan dispersi limbah minyak bumi dalam media air. Penggunaan LAS pada konsentrasi 0.04% lebih baik meningkatkan dispersi limbah minyak bumi ke dalam air dibandingkan NDS, Tween 80 dan Brij 35 karena stabilitas emulsi LAS lebih tinggi (1.58%) dibandingkan NDS (0.45%), Tween 80 (0.24%) dan Brij 35 (0.22%). Bioremediasi tanah tercemar limbah minyak berat dengan teknik bioslurry lebih efektif dibandingkan dengan teknik landfarming. Pada teknik bioslurry, bakteri dapat tumbuh dengan baik dengan populasi mencapai 3.47 x 1010, pada kondisi pH yang berkisar diantara 7.5 sampai 8.5. Selama 1 bulan pengamatan persentasi TPH turun sampai mencapai 0.11% dari persentasi TPH awal sebesar 20.71%, berada jauh dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm atau 1 %. Dengan teknik landfarming pada 4 bulan pengamatan didapat persentase TPH yang masih cukup tinggi yaitu 5.58%, hal ini mengindikasikan bahwa proses biodegradasi berjalan lambat sejalan dengan perkembangan bakteri yang tidak tumbuh dengan baik, didukung juga dengan kadar pH yang tidak optimal serta kadar air yang rendah. Akan tetapi walaupun lambat, proses biodegradasi tetap berlangsung dengan adanya gas CO2 dan NH3
yang dihasilkan selama pengamatan. Keberlangsungan proses biodegradasi juga didukung oleh data GC-MS yang menunjukkan bahwa setelah 4 bulan proses bioremediasi, teridentifikasi senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-12 yang pada awalnya terdiri dari senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-35.
Pada tanah tercemar limbah minyak berat berhasil diisolasi 11 isolat bakteri yang mampu mendegradasi senyawa fenantrena, dibenzotiofena dan fluorena. Dari 11 isolat yang didapat, bakteri yang memiliki kinerja terbaik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat adalah isolat bakteri dengan kode MY7, MY12 dan MYFlr. Berdasarkan analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S rDNA menggunakan program BLAST, bakteri dengan kode isolat MY7 mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Salipiger sp. PR55-4 dengan persentase tingkat kesamaan 100%, bakteri dengan kode isolat MY12 mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Bacillus altituditis dengan persentase tingkat kesamaan 97%, dan bakteri dengan kode isolat MYFlr mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Ochrobactrum anthropi dengan persentase tingkat kesamaan 97%. Campuran atau konsorsium bakteri lebih baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat pada tanah tercemar limbah minyak berat. Bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi pada bioremediasi limbah minyak berat
selama 21 hari menunjukkan % degradasi sebesar 51.65%, 54.26%, dan 46.76% sedangkan spesies kombinasi memiliki % degradasi sebesar 60.13% untuk kombinasi Salipiger sp. PR55-4 dan Bacillus altitudinis, 57.00% untuk kombinasi Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi. dan untuk campuran bakteri Bacillus altitudinis dan Ochrobactrum anthropi memiliki persen degradasi sebesar 62.47%. Dibandingkan dengan spesies tunggal, spesies campuran memiliki % degradasi yang lebih baik. Kombinasi terbaik untuk mendegradasi limbah minyak berat adalah kombinasi bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi dengan % degradasi terbesar yaitu sebesar 81.52%.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK
BERAT MENGGUNAKAN KONSORSIUM BAKTERI
CHARLENA
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
Penguji Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS (Ketua Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana IPB) : Dr. Ir. Erliza Noer (Staf Pengajar Departemen TIP Fateta IPB) Penguji Ujian Terbuka : Dr. Ir. Anas Miftah Fauzi, M. Eng (Wakil Rektor IPB Bidang Riset dan Kerjasama)
: Dr. Dra. Yusni Yetti, M.Si (Asisten Staf Khusus Presiden RI Bidang Pangan dan Energi)
Judul Disertasi : Bioremediasi Tanah Tercemar Limbah Minyak Berat Menggunakan Konsorsium Bakteri
Nama : Charlena NRP : P062040101 Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Zainal Alim Mas’ud, DEA Prof.Dr.Ir. Iswandi Anas, M.ScKetua Anggota
Dr.Ir.Yadi Setiadi, M.Sc Anggota Anggota
Dr.Ir.Mohamad Yani, M.Eng
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof.Dr.Ir.Surjono H.Sutjahjo.MS Prof.Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro.MS
Tanggal Ujian : 24 Agustus 2010 Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang yang telah memberi petunjuk, rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis mendapat kemudahan dan kelancaran dalam menyelesaikan penulisan disertasi yang berjudul: BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT MENGGUNAKAN KONSORSIUM BAKTERI. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Zainal Alim Mas’ud, DEA, Bapak Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng selaku komisi pembimbing atas seluruh sumbangan pikiran, arahan, dan bimbingan yang telah diberikan dengan penuh kesabaran dan tidak mengenal lelah sejak awal rencana penelitian disusun hingga selesainya penulisan disertasi ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS selaku Ketua Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor atas segala perhatian, bantuan, motivasi, doa, kemudahan dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan S3. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (PSL-IPB). Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada suami dan anak-anak tercinta atas pengorbanan,doa dan curahan kasih sayang, serta dukungannya selama penulis menjalani program studi S3 ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan masukan bagi penulisan disertasi ini.
Ibarat membangun sebuah monumen, kesempurnaan dapat diwujudkan dari hasil polesan di setiap sisi yang mendapat berbagai komentar dan kritikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa disertasi ini masih sangat jauh dari sempurna. Namun demikian, harapan penulis semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi pemulihan lahan tambang limbah minyak bumi khususnya lahan tambang minyak bumi fraksi berat.
Bogor, Agustus 2010 Charlena
UCAPAN TERIMA KASIH
Selama penelitian dan penyusunan disertasi ini banyak sekali pihak yang memberikan bantuan moril, materiil serta dukungan doa. Disampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada:
1. Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor 2. Dirjen DIKTI Departemen Pendidikan Nasional Indonesia melalui Dana
Hibah Doktor 2009 3. Dr. Ir. Zainal Alim Mas’ud, DEA, ketua komisi pembimbing dan kepala
Laboratorium Lab Terpadu IPB 4. Prof. Dr. Ir. Iswandi Anas, M.Sc, anggota komisi pembimbing 5. Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc, anggota komisi pembimbing 6. Dr. Ir. Mohamad Yani, M.Eng, anggota komisi pembimbing 7. Dr. Drh. Hasim, DEA, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam IPB 8. Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS, ketua Departemen Kimia FMIPA IPB 9. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS, ketua Program Studi Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana IPB 10. Prof. Dr. Ir. M. Anwar Nur, M.Sc, Guru Besar Departemen Kimia FMIPA
IPB 11. PT Mandau Cipta Tenaga Nusantara Duri, melalui fasilitas dan dana yang
diberikan 12. Ir. Zaki, atas bantuan selama penelitian dan penulisan disertasi 13. Seluruh dosen dan civitas akademika Departemen Kimia FMIPA IPB 14. Seluruh staff dosen dan pegawai Laborattorium Kimia Anorganik FMIPA
IPB 15. Seluruh staff, pegawai dan laboran Laboratorium Terpadu IPB 16. Para mahasiswa bimbingan yang membantu penelitian ini 17. Teman-teman seperjuangan di Program Studi PSL IPB 18. Suami tercinta, Syafli SE dan anak-anak tersayang, Nadiah Chalisya,
M.Hafidz Charsyana, atas pengorbanan, cinta dan doanya 19. Orang tua, H. Chaidir dan Rohana (Alm), yang selalu memberikan kasih
sayang, doa, semangat dan senantiasa mengingatkan untuk selalu bersyukur kepada ALLAH SWT
20. Kakak-kakak dan adik-adik, atas doa dan kasih sayangnya 21. Bibi dirumah yang telah mengurus seluruh urusan di rumah dan anak-anak 22. Semua pihak yang telah membantu, memberikan dukungan dan kontribusi
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
Atas segala bantuan yang diberikan dengan penuh keikhlasan, penulis ucapkan terima kasih dan tiada balasan yang dapat disampaikan melainkan doa tulus semoga ALLAH SWT membalas amal baik yang telah diberikan agar senantiasa dalam lindungan-Nya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2010 Charlena
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lubuk Alung, Sumatera Barat pada tanggal 22
Desember 1967, anak ke enam dari sepuluh bersaudara dari Chaidir dan Rohana
(Alm). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, lulus pada tahun 1992. Pada tahun
yang sama, penulis diterima di Departemen Kimia Program Magister Institut
Teknologi Bandung dan menamatkannya pada tahun 1995.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar Kimia pada Jurusan Kimia Universitas
Sriwijaya pada tahun 1995 dan tahun 1996 menikah dengan Syafli dan dianugrahi
sepasang anak, Nadiah Chalisya (tahun 1997) dan Muhammad Hafidz Charsyana
(tahun 2002). Kemudian pada pertengahan tahun 2000 bekerja sebagai staf
pengajar Kimia pada Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor sampai
sekarang. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan pascasarjana
diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Repuplik Indonesia.
Selama mengikuti program S3, penulis telah menghasilkan karya ilmiah
yang berjudul Profil Kelarutan Limbah Minyak Bumi dalam Air akibat Pengaruh
Surfaktan Nonionik dan Laju Pengadukan yang diterbitkan pada Chemistry
Progress, Majalah Publikasi Ilmu Kimia, Volume 2 Nomor 2, November 2009.
Artikel lain yang berjudul Produksi Gas Karbondioksida Selama Proses
Bioremediasi Limbah Heavy Oil dengan Teknik Landfarming, juga telah
diterbitkan pada jurnal yang sama, Volume 3 Nomor 1, Mei 2010. Artikel yang
berjudul Profil Kelarutan Limbah Minyak Bumi dalam Air akibat Pengaruh
Surfaktan Anionik dan Laju Pengadukan akan diterbitkan pada Jurnal Ilmiah
Nasional Berita Biologi, LIPI pada akhir tahun 2010 ini. Karya-karya ilmiah
tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
i
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL.............................................................................................. iv DAFTAR GAMBAR......................................................................................... v DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... viii 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang.............................................................................................. 1 Permasalahan................................................................................................. 6 Perumusan Masalah....................................................................................... 8 Tujuan Penelitian........................................................................................... 9 Manfaat Penelitian......................................................................................... 9 Kebaruan Penelitian....................................................................................... 10 Ruang Lingkup Penelitian............................................................................. 12 Kerangka Pemikiran....................................................................................... 12 Daftar Pustaka............................................................................................... 14 2
PENINGKATAN DISPERSI LIMBAH MINYAK BERAT DALAM AIR DENGAN PENAMBAHAN SURFAKTAN
Abstrak…………………………………………………………………….. 17 Pendahuluan……………………………………………………………….. 19 Metodologi Penelitian……………………………………………………… Bahan dan Alat………………………………………………………… 20 Pengukuran Bobot Jenis Akuades dan Surfaktan……………………… 20 Pengukuran Tegangan Permukaan Surfaktan…………………………. 20 Pengukuran Busa Larutan Surfaktan ………………………………….. 21 Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Terhadap Stabilitas Emulsi................. 21 Pengaruh Laju Pengadukan Terhadap Dispersi Minyak dalam Air…… 22 Pengukuran TPH Fasa Padat ………………………………………….. 22 Pengukuran TPH Fasa Cair …………………………………………… 22 Pengukuran pH………………………………………………………… 23 Pengukuran COD ……………………………………………………… 23 Hasil dan Pembahasan Tegangan Permukaan Larutan Surfaktan……………………………… 24 Pengaruh Konsentrasi Surfaktan pada Stabilitas Emulsi......................... 27 Pengukuran Tinggi Busa………………………………………………. 28 Pengukuran pH pada Variasi Kecepatan Pengadukan............................ 30 Pengaruh Pengadukan Terhadap Nilai TPH…………………………… 31 Pengaruh Pengadukan Terhadap Nilai COD…………………………… 34 Simpulan……………………………………………………………………. 35 Daftar Pustaka……………………………………………………………… 35 Lampiran……………………………………………………………………. 37
ii
3 BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT MENGGUNAKAN KONSORSIUM BAKTERI DENGAN TEKNIK BIOSLURRY DAN LANDFARMING
Abstrak…………………………………………………………………….. 55 Pendahuluan……………………………………………………………….. 55 Metodologi Penelitian Bahan dan Alat………………………………………………………… 59 Pengembangan Konsorsium Bakteri…………………………………... 59 Bioremediasi dengan Teknik Bioslurry………………………………... 60 Bioremediasi dengan Teknik Landfarming……………………………. 60 Pencuplikan Gas CO2 dan NH3 Selama Proses Bioremediasi dengan
Teknik Landfarming…………………………………………………. 61 Analisa Gas CO2 62 …………………………………………………….. Analisa Gas NH3 62 …………………………………………………….. Hasil dan Pembahasan Bioremediasi dengan Teknik Bioslurry………………………………... 63 Pertumbuhan Bakteri………………………………………………… 65 Pengontrolan pH……………………………………………………… 65 Penurunan TPH………………………………………………………. 66 Bioremediasi dengan Teknik Landfarming……………………………. 68 Perubahan pH………………………………………………………… 68 Perubahan Kadar Air…………………………………………………. 69 Perubahan Suhu………………………………………………………. 70 Perubahan TPH……………………………………………………….. 71 Perubahan Senyawa Hidrokarbon……………………………………. 78 Analisis Gas Selama Proses Biodegradasi............................................ 82 Produksi Gas CO2 82 ................................................................................. Produksi Gas NH3 85 ……………………………………………………. Simpulan……………………………………………………………………. 87 Daftar Pustaka……………………………………………………………… 87 Lampiran…………………………………………………………………… 91 4
ISOLASI, SELEKSI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PENDEGRADASI SENYAWA HIDROKARBON PADA TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT
Abstrak…………………………………………………………………….. 107 Pendahuluan……………………………………………………………….. 109 Metodologi Penelitian……………………………………………………… 110 Bahan dan Alat………………………………………………………… 110 Pengambilan Sampel…………………………………………………… 110 Isolasi Bakteri Pendegradasi Hidrokarbon…………………………….. 111 Seleksi Isolat Bakteri………………………………………………….. 112 Identifikasi Biakan Murni Terseleksi Pendegradasi Hidrokarbon…….. 112 HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Bakteri Pendegradasi Senyawa Hidrokarbon............................... 114
Pengukuran Aktivitas Emulsifikasi Menggunakan Parafin Padat......... 118
iii
Seleksi Isolat Bakteri Pendegradasi Senyawa Hidrokarbon................... 118 Populasi Bakteri pada Seleksi Isolat................................................ 119 Perubahan pH pada Seleksi Isolat.................................................... 120 Nilai TPH pada Seleksi Isolat.......................................................... 121 Nilai COD pada Seleksi Isolat......................................................... 123 Identifikasi Isolat MY7, MY12 dan MFlr…………………………….. 123 Simpulan…………………………………………………………………… 126 Daftar Pustaka…………………………………………………………….. 126 Lampiran…………………………………………………………………… 128 5
KEMAMPUAN ISOLAT TUNGGAL DAN CAMPURAN DALAM MENDEGRADASI SENYAWA HIDROKARBON PADA LIMBAH MINYAK BERAT
Abstrak…………………………………………………………………….. 137 Pendahuluan……………………………………………………………….. 139 Metodologi Penelitian……………………………………………………… 140 Bahan dan Alat………………………………………………………… 140 Peremajaan Spesies Bakteri …………………………………………… 140 Preparasi Inokulum pada Media Kaya dan Media Minimal.................... 141 Pengujian Spesies Bakteri……………………………………………… 141 Aplikasi pada Tanah Tercemar dengan Penggunaan Spesies Tunggal.... 142 Aplikasi pada Tanah Tercemar dengan Penggunaan Kombinasi Spesies
Bakteri...................................................................................................... 142
Pengukuran pH………………………………………………………… 142 Pengukuran TPH Fasa Cair …………………………………………… 143 Pengukuran TPH Fasa Padat ………………………………………….. 143 Pengukuran Populasi Bakteri………………………………………….. 144 Pengukuran Kadar COD ………………………………………………………… 144 Hasil dan Pembahasan Pemeliharaan Spesies Bakteri…………………………………………. 145 Pengujian Spesies Bakteri…………………………………………….. 147 Proses Biodegradasi Limbah Minyak Berat…………………………… 151 Pertumbuhan Bakteri dari Spesies Tunggal dan Campuran Selama
Proses Biodegradasi………………………………………………… 151
Nilai pH Spesies Tunggal dan Campuran………………………….. 153 Nilai TPH Fasa Padat Spesies Tunggal dan Campuran…………….. 155 Nilai TPH Fasa Cair Spesies Tunggal dan Campuran……………… 157 Nilai COD Spesies Tunggal dan Campuran………………………… 158 Simpulan……………………………………………………………………. 159 Daftar Pustaka……………………………………………………………… 159 Lampiran…………………………………………………………………… 167 6
PEMBAHASAN UMUM………………………………………………….
169
Daftar Pustaka……………………………………………………………… 179 7
SIMPULAN DAN SARAN………………………………………………..
180
iv
DAFTAR TABEL Halaman
1.1 Perbandingan biaya berbagai teknologi remediasi tanah ……………….. 3 2.1 Tegangan permukaan maksimum dan minimum dari larutan surfaktan… 24 2.2 Nilai pH surfaktan anionik dan nonionik pada variasi kecepatan
pengadukan……………………………………………………………… 30
3.1 Komposisi bioremediasi dengan teknik landfarming................................ 61 3.2 Persamaan regresi penurunan TPH dari berbagai perlakuan dengan
Teknik landfarming.................................................................................... 73
3.3 Senyawa yang hilang pada akhir pengukuran selama proses
bioremediasi dengan teknik landfarming ……………………………….. 81
3.4 Perubahan luas puncak (%) senyawa yang terdeteksi dengan GCMS di
awal dan di akhir pengukuran pada perlakuan LMB dengan kompos….. 82
4.1 Uji konfirmasi isolat menggunakan senyawa model fenantrena,
dibenzotiofena, dan fluorena...................................................................... 117
4.2 Hasil uji aktifitas emulsifikasi dari supernatan isolat hasil isolasi............. 118 4.3 Hasil identifikasi molekuler 3 isolat unggul…………………………….. 125 5.1 Komposisi media kaya dan media minimal............................................... 141 5.2 Hasil pengujian daya hambat 3 spesies unggul terhadap berbagai jenis
minyak…………………………………………………………………… 148
5.3 Kemampuan degradasi hidrokarbon oleh Pseudomonas dan Enterobacter...............................................................................................
153
6.1 Beberapa hasil penelitian teknologi biormediasi........................................ 174 6.2 Perbandingan teknik landfarming dan bioslurry………………………… 178
v
DAFTAR GAMBAR Halaman
1.1 Diagram alir kerangka pikir penelitian.................................................. 13 2.1 Tegangan permukaan larutan surfaktan anionik………………..…….. 25 2.2 Tegangan permukaan larutan surfaktan nonionik……………………. 25 2.3 Struktur molekul surfaktan LAS, NDS, Tween 80 dan Brij 35………. 26 2.4 Stabilitas emulsi LAS dan NDS pada berbagai konsentrasi.................. 27 2.5 Stabilitas emulsi Tween 80 dan Brij 35 pada berbagai konsentrasi...... 28 2.6 Perubahan tinggi busa maksimum dan tinggi busa setelah 5 menit
pada perlakuan dengan LAS dan NDS………………………………. 29
2.7 Perubahan tinggi busa maksimum dan tinggi busa setelah 5 menit
pada perlakuan dengan Tween 80 dan Brij 35………………………. 29
2.8 Pengaruh penambahan LAS dan NDS dan kecepatan pengadukan
terhadap konsentrasi TPH fasa cair dan TPH fasa padat……………. 33
2.9 Pengaruh penambahan Tween 80 dan Brij 35 dan kecepatan
pengadukan terhadap konsentrasi TPH fasa cair dan TPH fasa padat 33
2.10
Perubahan nilai COD pada surfaktan anionik dan pada surfaktan anionik terhadap kecepatan pengadukan……………………………..
34
3.1 Pencuplikan gas CO2 dan NH3 selama proses bioremediasi dengan
teknik landfarming…………………………………………………..... 62 3.2 Proses bioremediasi dengan teknik bioslurry dari limbah minyak
berat pada hari ke-3................................................................................ 64
3.3 Pertumbuhan populasi bakteri selama proses bioremediasi dengan
teknik bioslurry...................................................................................... 65
3.4 Perubahan pH selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry…. 66 3.5 Perubahan nilai TPH fasa cair selama proses bioremediasi dengan
teknik bioslurry...................................................................................... 67
3.6 Penurunan TPH fasa padat selama proses bioremediasi dengan
teknik bioslurry……………………………………………………….. 68
vi
3.7 Perubahan pH selama proses bioremediasi teknik landfarming pada berbagai perlakuan…………………………………………………..
68
3.8 Perubahan kadar air selama proses bioremediasi teknik landfarming
pada berbagai perlakuan……………………………………………. 69
3.9 Perubahan suhu selama proses bioremediasi teknik landfarming
pada berbagai perlakuan……………………………………………. 70
3.10 Perubahan Nilai TPH selama proses bioremediasi pada berbagai
perlakuan............................................................................................. 72
3.11 Degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi terminal.................... 74 3.12 Degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi subterminal.............. 74 3.13 Degradasi benzena menjadi katekol melalui reaksi hidroksilasi
aromatik............................................................................................... 75
3.14 Degradasi senyawa aromatik dua cincin (naftalen) menjadi katekol 76 3.15 Degradasi senyawa aromatik 3 cincin (fenantren) menjadi katekol 76 3.16 Jalur pemecahan orto untuk katabolisme katekol…………………… 77 3.17 Jalur pemecahan meta untuk katabolisme katekol………………….. 77 3.18 Kromatogram GC-MS dari limbah minyak berat pada awal
perlakuan ............................................................................................ 79
3.19 Kromatogram GC-MS dari limbah minyak berat + kompos diakhir
perlakuan.............................................................................................. 80
3.20 Produksi gas CO2 dengan teknik landfarming selama proses
bioremediasi pada berbagai perlakuan…………………………….. 83 3.21 Produksi gas NH3 dengan teknik landfarming pada berbagai
perlakuan……………………………………………………………. 86 4 .1 Populasi mikroba pada campuran LMB dengan kotoran sapi dan kuda
dan colony library pada medium marine agar……..................................... 115
4.2 Uji konfirmasi isolat-isolat yang mampu mendegradasi senyawa
model dibenzotiofena.......................................................................... 116
4.3 Uji konfirmasi isolat-isolat yang mampu mendegradasi senyawa
model dibenzotiofena ............................................................................ 116
vii
4.4 Uji konfirmasi isolat-isolat yang mampu mendegradasi senyawa model dibenzotiofena fluorena..........................................................
116
4.5 Pemurnian isolat menggunakan metode gores pada senyawa
dibenzotiofena, fluorena, dan fenantrena …………………………… 117
4.6 Pertumbuhan isolat bakteri pada media LMB 5%........................... 119 4.7 Perubahan pH isolat bakteri pada media LMB 5% ............................. 120 4.8 Perubahan TPH fasa padat bakteri pada media LMB 5%................. 121 4.9 Persen degradasi isolat bakteri pada media LMB 5%....................... 122 4.10 Perubahan Nilai COD isolat bakteri pada media LMB 5%.............. 123 4.11 Hasil purifikasi 3 isolat unggul dengan PEG precipitation method 124 5.1 Pertumbuhan bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis
dan Ochrobactrum anthropi pada media minimal dengan menggunakan minyak diesel 5%.........................................................
145
5.2 Pengujian bakteri Ochrobactrum anthropi, Salipiger sp. PR55-4
dan Bacillus altitudinis pada berbagai minyak……………………… 147
5.3 Pengujian biodegradasi spesies bakteri dan campurannya pada
konsentrasi 5% minyak diesel………………………………………. 150
5.4 Populasi bakteri dari spesies tunggal dan campuran............................ 152 5.5 Perubahan pH media fermentasi dengan menggunakan spesies
tunggal dan campuran selama proses bioremediasi…………………. 154
5.6 Persen TPH fasa padat dari spesies tunggal dan campuran selama
21 hari……………………………………………………………….. 155
5.7 Persen degradasi dari spesies tunggal dan campuran selama 21 hari 156 5.8 Persen TPH fasa cair dari spesies tunggal dan campuran selama 21
hari....................................................................................................... 157
5.9 Perubahan nilai COD dari spesies tunggal dan campuran………….. 158
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
2.1 Penentuan densitas larutan LAS......................................................... 37 2.2 Penentuan densitas larutan NDS........................................................ 37 2.3 Penentuan densitas larutan Tween 80……………………………… 38 2.4 Penentuan densitas larutan Brij 35…………………………………. 38 2.5 Penentuan tegangan permukaan LAS dengan metode Du Noűy…… 39 2.6 Penentuan tegangan permukaan NDS dengan metode Du Noűy…… 39 2.7 Penentuan tegangan permukaan Tween 80 dengan metode Du Noűy 39 2.8 Penentuan tegangan permukaan Brij 35 dengan metode Du Noűy… 40 2.9 Pengukuran stabilitas emulsi LAS...................................................... 41 2.10 Pengukuran stabilitas emulsi NDS…………………………………. 41 2.11 Pengukuran stabilitas emulsi Tween 80……………………………. 41 2.12 Pengukuran stabilitas emulsi Brij 35……………………………….. 42 2.13 Standardisasi larutan FAS 0.5000 N dengan larutan K2Cr2O7 42
0.0250 N.............................................................................................. 2.14 Pengukuran busa LAS......................................................................... 43 2.15 Pengukuran busa NDS……………………………………………… 44 2.16 Pengukuran busa Tween 80................................................................ 45 2.17 Pengukuran busa Brij 35……………………………………………. 45 2.18 Pengukuran TPH fasa padat sampel awal........................................... 46 2.19 Pengukuran pH sebelum dan setelah pengadukan pada LAS dan
NDS………………………………………………………………… 46
2.20 Pengukuran pH sebelum dan setelah pengadukan pada Tween 80 dan Brij 35
46
2.21 Pengukuran TPH fasa cair dengan penambahan LAS 0.04%............ 47 2.22 Pengukuran TPH fasa cair dengan penambahan NDS 0.15%............ 47
ix
2.23 Pengukuran TPH fasa cair setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Brij 35.........................................................
48
2.24 Pengukuran TPH fasa padat dengan penambahan LAS 0.04%.......... 48 2.25 Pengukuran TPH fasa padat dengan penambahan NDS 0.15%.......... 49 2.26 Pengukuran TPH fasa padat dengan penambahan surfaktan Tween
80 dan Brij 35...................................................................................... 49
2.27 Pengukuran COD dengan penambahan LAS 0.04%.......................... 50 2.28 Pengukuran COD dengan penambahan NDS 0.15%.......................... 51 2.29 Pengukuran COD dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan
Brij 35................................................................................................. 52
2.30 Uji ANOVA nilai TPH fasa cair LAS dan NDS................................ 53 3.1 Nilai pH selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming…. 91 3.2 Nilai kadar air selama proses bioremediasi dengan teknik
landfarming…………………………………………………………. 92
3.3 Nilai suhu selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming 93 3.4 Nilai TPH selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming 94 3.5 Nilai persen degradasi selama proses bioremediasi dengan teknik
landfarming…………………………………………………………. 94
3.6 Data kromatogram GCMS dari berbagai perlakuan pada awal dan
akhir pengukuran………………………………………………….. 95
3.7 Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi pada awal pengukuran…….. 97 3.8 Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di akhir pengukuran pada
berbagai perlakuan………………………………………………….. 98
3.9 Perubahan area senyawa yang terdeteksi dengan GCMS selama
proses bioremediasi…………………………………………………. 100
3.10 Konsentrasi gas CO2 (mg/m3 ) selama proses bioremediasi dengan
landfarming………………………………………………………… 104 3.11 Konsentrasi Gas NH3 (μg/m3 ) selama proses bioremediasi dengan
landfarming………………………………………………………… 105
x
4.1 Komposisi media marine agar……………………………………… 128 4.2 Perubahan nilai TPC pada proses seleksi isolat.................................. 129 4.3 Perubahan nilai pH pada proses seleksi isolat……………………… 130 4.4 Perubahan nilai TPH fasa padat pada proses seleksi isolat................. 131 4.5 Perubahan persen degradasi pada proses seleksi isolat...................... 132 4.6 Perubahan nilai COD pada proses seleksi isolat……………………. 133 4.7 Pohon Filogenetik Bacillus altitudinis……………………………… 134 4.8 Pohon Filogenetik Ochobactrum anthropi…………………………. 134 4.9 Pohon Filogenetik Salipiger sp. PR55-4……………………………. 135 4.10 Pohon Filogenetik 3 Isolat Campuran………………………………. 136 5.1 Komposisi media marine broth…………………………………….. 162 5.2 Persen TPH fasa padat (%b/b) dari spesies tunggal dan campuran… 163 5.3 Persen TPH fasa cair (%b/v) dari spesies tunggal dan campuran….. 164 5.4 Persen degradasi TPH dari spesies tunggal dan campuran…………. 165 5.5 Nilai COD (mg/mL) dari spesies tunggal dan campuran…………… 166 5.6 Nilai TPC(CFUg/mL) dari spesies tunggal dan campuran…………. 167 5.7 Nilai pH dari spesies tunggal dan campuran……………………….. 167
BAB I
PENDAHULUAN Latar Belakang
Minyak bumi merupakan sumber energi utama untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat pada saat ini maupun pada masa yang akan datang.
Permintaan terhadap minyak bumi semakin besar sejalan dengan kebutuhan
manusia yang semakin meningkat yaitu sebesar 35000 juta ton per tahun. Untuk
memenuhi kebutuhan ini akan meningkatkan eksplorasi, eksploitasi, pengolahan,
pengangkutan serta penyimpanan. Indonesia sebagai salah satu negara penghasil
minyak bumi memproduksi 988000 barrel per hari pada tahun 2008 untuk
memenuhi permintaan minyak dunia (Priyono 2009). Semakin besar produksi
minyak bumi, semakin berpotensi untuk mencemari lingkungan bila minyak bumi
tumpah atau terbuang ke lingkungan. Minyak bumi tersebut akan menjadi limbah
yang dapat menjadi pencemar yang berbahaya dan beracun dan akan berpengaruh
terhadap kehidupan tanaman, hewan maupun manusia.
Limbah minyak bumi dapat berasal dari tumpahan, ceceran ataupun
buangan dari minyak bumi maupun produk-produk yang dihasilkan, minyak bekas
pakai, dan minyak yang terkandung dalam limbah dari suatu kegiatan industri.
Limbah tersebut akan menimbulkan masalah apabila memiliki kandungan TPH
lebih besar dari 1% dan total PAH lebih besar dari 10 ppm bila dibiarkan akan
mengganggu dan merusak ekosistem lingkungan, bila dibakar akan menimbulkan
pencemaran udara dan bila didaur ulang memerlukan teknologi dan biaya yang
tinggi. Oleh karena itu limbah minyak bumi bila terbuang ke lingkungan perlu
ditanggulangi semaksimal mungkin (MenLH 2003).
Apabila limbah tersebut tidak dikelola, maka akan menimbulkan masalah
lingkungan yang tidak saja mengganggu keindahan alam tetapi dapat
menimbulkan masalah yang lebih serius yaitu tercemarnya air, tanah dan udara.
Akibat selanjutnya adalah terganggunya kehidupan makhluk di muka bumi
bahkan dapat memusnahkan spesies atau komunitas tertentu (Anas 1998).
2
Problem pencemaran lingkungan akibat tingginya kegiatan produksi
minyak bumi dan konsumsi bahan bakar minyak semakin terasa dampaknya.
Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan produksi minyak bumi dan konsumsi
bahan bakar minyak terhadap lingkungan seperti emisi SO2, NOx, hidrogen
sulfida, hidrokarbon, CO, CO2
Upaya-upaya penanggulangan pencemaran secara konvensional yang
berdasarkan kepada proses mekanik, fisik, dan kimia, selama ini sering kurang
memuaskan dan tidak memadai lagi (Udiharto 1992). Penanggulangan tumpahan
minyak bumi secara fisika, biasanya digunakan pada awal penanganan. Pada
penanganan ini tumpahan minyak bumi diisolasi secara cepat sebelum minyak
bumi menyebar kemana-mana. Minyak bumi yang berkumpul di permukaan dapat
diambil kembali misalnya dengan oil skimmer, sedangkan yang mengendap sulit
diambil secara fisika. Pengambilan minyak di permukaan tidak dapat dilakukan
secara tuntas. Apabila minyak sudah menyebar kemana-mana cara ini akan sulit
dilakukan (Prince et al. 2003). Penanggulangan secara kimia dilakukan dengan
mencari bahan kimia yang mempunyai kemampuan mendispersi minyak. Tetapi
pemakaian senyawa kimia hanya bersifat memindahkan masalah, di satu pihak
perlakuan dispersan dapat mendispersi minyak bumi sehingga menurunkan
tingkat pencemaran, tetapi di lain pihak penggunaan dispersan telah dilaporkan
bersifat sangat toksik pada biota laut (Fahruddin 2004).
, gas metan, tumpahan minyak, efluen gas serta
efluen lumpur. Bahan dan gas tersebut dapat menyebabkan pemanasan global
secara makro dan degradasi sumberdaya serta kerusakan lingkungan hidup secara
mikro serta berdampak terhadap kesehatan manusia. Bahan dan gas-gas tersebut
tidak hanya menimbulkan pemanasan global, tetapi juga menyebabkan kenaikan
muka air laut (sea level rise) sebagai akibat meningkatnya suhu permukaan bumi,
yang disebabkan oleh efek rumah kaca (green house effect) dan penipisan ozon.
Selain itu juga dapat menimbulkan terjadinya hujan asam, dan dampaknya
menyebabkan terjadinya kerusakan dan kematian organisme hidup (Yetti 2008).
Bila hal ini tidak segera ditanggulangi, pada waktu singkat laju pencemaran akan
menjadi tidak terkendali.
3
Penanganan limbah minyak bumi secara fisika dan kimia tidak tuntas
karena masih meninggalkan residu. Untuk itu salah satu alternatif yang
dikembangkan saat ini adalah proses bioremediasi yang merupakan teknologi
ramah lingkungan, cukup efektif dan efisien serta ekonomis. Bioremediasi relatif
memiliki biaya penanganan yang lebih murah dibandingkan dengan teknologi
alternatif lainnya serta sangat aman dan tidak merusak lingkungan (Morgan dan
Watkinson 1994). Biaya remediasi tanah sangat tergantung pada teknologi yang
digunakan, kisaran biaya dan nilai tengah biaya dari berbagai teknologi remediasi
tanah berdasarkan Walter dan Crawford (1995) dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1 Perbandingan biaya berbagai teknologi remediasi tanah
Teknologi remediasi Kisaran biaya (US $/m3
Nilai tengah biaya ) (US $/m3)
Insinerasi 350-1600 975 Landfill 100-600 350 Thermal desorption 50-200 125 Pencucian tanah 125-350 237.5 Bioremediasi 40-150 95
Sumber : Walter dan Crawford (1995)
Berdasarkan laporan Cookson (1995) tentang perbandingan efektivitas
biaya terhadap metode-metode penanganan limbah yaitu insinerasi, landfill,
thermal desorption, pencucian tanah dan bioremediasi per tahun per kubik yard,
diketahui pada tahun pertama biaya yang bisa dihemat bila menggunakan
bioremediasi adalah sekitar 67 % bila dibandingkan dengan insenerasi atau sekitar
74% bila dibandingkan dengan landfill.
Selain biaya yang lebih murah, output yang dihasilkan tidak bersifat
toksik dan ramah lingkungan karena proses bioremediasi menggunakan
kemampuan mikroba untuk mendegradasi hidrokarbon yang terdapat dalam
limbah minyak bumi. Kemampuan suatu mikroba dalam mendegradasi suatu
senyawa kompleks, merupakan refleksi dari kemampuan metabolik dari mikroba
tersebut (Cookson 1995). Dalam sistem tanah-air, salah satu faktor penting yang
mempengaruhi kecepatan biodegradasi minyak bumi adalah tingkat kelarutan.
Untuk itu maka penggunaan senyawa seperti surfaktan atau biosurfaktan yang
4
dapat meningkatkan kelarutan hidrokarbon minyak bumi sangat diperlukan
(Jacobussi et al. 2001).
Wisjnuprapto et al. (2005) berhasil mengisolasi bakteri yang memiliki
lapisan ekskret yang dapat berfungsi sebagai biosurfaktan yaitu bakteri dari genus
Azotobacter. Azotobacter sp mampu mengeksresikan beberapa jenis asam
organik seperti asam pantotenat, asam glukoronat dan senyawa eksopolisakarida
(EPS) yang tersusun dari unit-unit glukosa, rhamnosa, galaktosa dan fruktosa.
Senyawa-senyawa ini dapat berfungsi sebagai biosurfaktan. Hasil penelitian
Gogoi et al. (2002) yang menunjukkan bahwa penggunaan biosurfaktan yang
diisolasi dari Pseudomonas sp akan memaksimalkan tingkat biodegradasi minyak
mentah dibandingkan dengan tanpa penambahan biosurfaktan. Penelitian serupa
yang dilakukan oleh Firdaus (2005) dengan menggunakan strain Pseudomonas
aeruginosa BLCC 11060, Bacillus alvei BLCC 11042 dan Micrococcus varians
BLCC 13044 terbukti toleran terhadap minyak bumi dan dapat memproduksi
biosurfaktan yang potensial untuk hidrokarbon minyak bumi dan dapat digunakan
untuk meningkatkan kinerja sistem. Penelitian yang dilakukan oleh Helmy (2006)
juga dapat membuktikan bahwa dengan penambahan surfaktan (Tween 80) dapat
meningkatkan proses biodegradasi sludge minyak bumi oleh konsorsium bakteri
petrofilik.
Hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan diatas menunjukkan
bahwa dengan penambahan surfaktan akan mempengaruhi kinerja dari
biodegradasi minyak bumi beserta turunannya oleh suatu bakteri. Hal tersebut
diatas mendasari dilakukan penelitian pendahuluan dengan menggunakan
surfaktan untuk meningkatkan dispersi limbah minyak bumi yang akan
mempengaruhi kemampuan mikroba dalam melakukan degradasi minyak bumi.
Kemampuan mikroba dalam mendegradasi hidrokarbon telah dieksploitasi
sejak tahun 70-an dan 80-an pada lahan pertanian tempat pembuangan minyak.
Mikroba yang digunakan dapat berupa kultur tunggal maupun kultur campuran
yang mampu mendegradasi minyak bumi. Mikroba yang digunakan dalam
mendegradasi limbah minyak biasanya memiliki kemampuan yang lebih tinggi
jika digunakan sebagai kultur konsorsium atau kultur campuran. Menurut
5
Mangkoedihardjo (2005) mikroba pengurai minyak tidak bekerja secara
individu/spesies tetapi berupa konsorsium multi spesies. Menurut Sanchez (2006),
konsorsium adalah kelompok mikroba yang saling menguntungkan satu dengan
lainnya dan melaksanakan proses dimana masing-masing organisme tidak dapat
melakukannya secara terpisah. Konsorsium mikroba sering disebut juga dengan
kultur campur (mixed culture). Konsorsium mikroba dibuat dengan
mempertimbangkan bahwa antara mikroba yang merupakan anggota konsorsium
tidak berkompetisi dalam melakukan suatu proses tertentu, melainkan diharapkan
antara anggota konsorsium akan mempunyai kerja yang sinergis.
Mikroba memanfaatkan bahan organik baik dalam bentuk limbah maupun
nutrien pendukung lainnya untuk dijadikan sumber karbon atau energi.
Keanekaragaman jenis mikroba memungkinkan untuk menguraikan ribuan jenis
senyawa organik yang berbeda-beda. Setiap mikroba melakukan reaksi oksidasi
dan reduksi dengan mekanisme yang spesifik. Kemampuan tiap-tiap mikroba
yang berbeda-beda ini, apabila digabung dalam suatu kultur campuran diharapkan
mempunyai kemampuan untuk mendegradasi senyawa organik yang sangat
komplek. Penelitian yang dilakukan Ghazali (2004), dengan menggunakan
konsorsium mikroba yang terdiri atas Pseudomonas aeruginosa, Bacillus sp.
Micrococcus sp. dapat mendegradasi limbah minyak bumi yang terdiri atas
senyawa hidrokarbon n-alkana dengan C10 hingga C28 selama 30 hari. Mikroba
ini bekerja secara sinergis dengan memotong senyawa hidrokarbon pada tempat
yang berbeda, kemudian menggunakan senyawa sederhana hasil degradasi sebagai
sumber hidrokarbon dan energinya untuk proses degradasi berikutnya.
Mikroba yang banyak hidup dan berperan di lingkungan hidrokarbon
sebagian besar adalah bakteri (Kadarwati et al. 1994) dan kapang (Yuliar 1995).
Bakteri yang dominan dalam mendegradasi hidrokarbon aromatik seperti fenol
adalah spesies Pseudomonas, Mycobacterium, Acinobacter, Arthobacter, Bacillus
(Alexander 1977). Menurut hasil penelitian dari lapangan minyak Cepu, Cirebon,
Rantau dan Prabumulih diperoleh isolat unggul yaitu Pseudomonas aeruginosa
dan Bacillus coagulans (Anonim 1995). Biodegradasi minyak bumi dipengaruhi
6
oleh nutrien, oksigen, pH, temperatur dan karakteristik tanah (Margesin dan
Schinner 1997).
Limbah minyak bumi yang dihasilkan dari industri minyak bumi dapat
berupa limbah minyak ringan (light oil) dan limbah minyak berat (heavy oil).
Chaerun et al. (2007) melaporkan bahwa limbah minyak berat dari tumpahan
minyak Nakhodka dapat didegradasi oleh konsorsium bakteri selama 429 hari.
Bakteri pendegradasi heavy oil ini bekerja pada pH basa-netral yaitu sekitar 7-7,8.
Komponen hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat dari tumpahan
minyak Nakhodka berada pada C16-C32. Selama proses bioremediasi dengan
menggunakan konsorsium bakteri indigen, bakteri ini mempunyai kemampuan
yang tinggi untuk mendegradasi C16-C21, dan kemampuan degradasinya menurun
untuk senyawa hidrokarbon C22-C32
Sebagai upaya pemulihan lingkungan khususnya tanah yang tercemar
limbah minyak berat, perlu diterapkan teknologi bioremediasi yang menggunakan
bakteri pendegradasi hidrokarbon indigen, karena teknologi bioremediasi
merupakan suatu teknologi yang ramah lingkungan, relatif murah, dan tidak
memiliki dampak negatif terhadap biota yang ada di lingkungannya. Potensi
kemampuan bakteri hidrokarbonoklastik (pendegradasi hidrokarbon) yang
diisolasi dari konsorsium bakteri yang berasal dari limbah minyak berat, dan
kotoran hewan perlu dipelajari melalui serangkaian penelitian sehingga dapat
digunakan sebagai agen bioremediasi untuk mengatasi pencemaran limbah
minyak berat pada lingkungan disekitarnya. Untuk itu perlu dilakukan studi
bioremediasi tanah tercemar limbah minyak berat menggunakan konsorsium
bakteri indigen untuk menanggulangi pencemaran lingkungan oleh limbah minyak
bumi.
.
Permasalahan
Limbah minyak bumi yang mengandung hidrokarbon dan beberapa unsur
lain seperti sulfur, nitrogen, oksigen dan logam-logam termasuk logam berat
diketahui bersifat racun terhadap makhluk hidup. Limbah minyak berat
mengandung komponen-komponen hidrokarbon aromatik seperti benzena,
7
toluene, xylene, naftalena, fenantrena, dibenzotiofena, fluorena, dan sebagainya
dapat menimbulkan permasalahan terhadap makhluk hidup, bila minyak bumi
fraksi berat ini tumpah akibat aktivitas industri petroleum. Lingkungan yang
tercemar oleh limbah minyak bumi terutama fraksi berat perlu mendapat
penanganan yang sangat serius.
Penanganan limbah minyak berat lebih rumit dan kompleks dibandingkan
dengan jenis limbah minyak bumi yang lain, karena minyak bumi fraksi berat
mengandung hidrokarbon aromatik dan hidrokarbon berantai panjang.
Hidrokarbon aromatik lebih sulit didegradasi oleh mikroba dibandingkan
hidrokarbon alifatik. Oleh karena itu harus dicari teknik bioremediasi yang tepat
agar degradasi hidrokarbon dapat berlangsung dalam waktu yang relatif singkat.
Demikian juga limbah minyak berat yang digunakan dalam penelitian merupakan
limbah minyak berat yang bercampur dengan tanah liat sehingga dalam teknik
bioremediasi yang digunakan memerlukan penanganan tersendiri. Tekstur limbah
minyak berat yang liat menyebabkan pencampuran air atau tanah sulit untuk
dilakukan, untuk itu dilakukan upaya meningkatkan kelarutan limbah minyak
bumi dalam air dan dalam tanah dengan menambahkan surfaktan.
Surfaktan merupakan senyawa yang memiliki kemampuan untuk
menurunkan tegangan permukaan. Lapisan antar-muka merupakan batas
permukaan antara dua fasa yang berbeda yang tidak dapat menyatu. Kehadiran
surfaktan dapat menurunkan energi antar permukaan sehingga antara kedua
lapisan tersebut dapat menyatu. Tujuan penggunaan surfaktan dalam teknologi
bioremediasi adalah untuk meningkatkan bio-availability senyawa polutan yang
memiliki kadar solid yang tinggi sehingga dapat menjadikannya lebih terlarut
dalam media.
Bakteri yang digunakan sangat berperan penting dalam proses biodegradasi.
Bakteri yang berperan dalam biodegradasi minyak bumi dan turunannya dapat
berupa bakteri indigen ataupun eksogen, juga dapat berupa isolat tunggal atau
konsorsium. Bakteri tunggal memiliki kemampuan yang terbatas dalam
mendegradasi senyawa hidrokarbon, sedangkan konsorsium bakteri memiliki
tingkat degradasi yang tinggi untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon baik
8
hidrokarbon alifatik maupun aromatik. Bakteri konsorsium bekerja secara sinergis
dalam mendegradasi senyawa hidrokabon yang kemudian dimanfaatkan sebagai
sumber karbon dan energi. Konsorsium bakteri yang digunakan untuk
mendegradasi senyawa hirokarbon selama proses bioremediasi, dapat dilakukan
dengan teknik teknik bioslurry dan landfarming. Bioremediasi dengan teknik
landfarming telah dilakukan untuk mengatasi tanah tercemar limbah minyak berat
pada industri minyak PT CPI. Menggunakan mikroba indigen dibutuhkan waktu
±8 bulan untuk menurunkan TPH ≈ 4%, yang selanjutnya mikroba ini tidak
mampu lagi untuk menurunkan TPH sampai 1%, sesuai Keputusan MenLH no.
128 Tahun 2003. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan
teknik bioremediasi yang efektif untuk mengatasi limbah minyak berat yang
semakin lama semakin menumpuk dengan menggunakan konsorsium bakteri yang
diperoleh dari limbah minyak berat dan kotoran hewan. Mencari spesies bakteri
yang berperan aktif dalam mendegradasi senyawa poliaromatik yang terdapat
pada limbah minyak berat dan menguji kemampuan spesies bakteri pendegradasi
senyawa hidrokarbon dalam bentuk tunggal dan campuran.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan permasalahannya sebagai
berikut:
1. Mencari surfaktan yang mampu meningkatkan dispersi limbah minyak berat
yang tercampur tanah liat, sehingga bakteri dapat efektif digunakan dalam
proses biodegradasi.
2. Menentukan teknik bioremediasi yang efektif untuk mendegradasi senyawa
hidrokarbon yang terdapat pada tanah tercemar limbah minyak berat.
3. Mencari spesies bakteri yang berperan dalam proses biodegradasi senyawa
hidrokabon yang terdapat pada tanah tercemar limbah minyak berat.
4. Menguji kemampuan spesies tunggal dan campuran (konsorsium bakteri)
dalam mendegradasi hidrokarbon dari limbah minyak berat.
9
Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian ini adalah melakukan bioremediasi tanah
tercemar limbah minyak berat dengan menggunakan konsorsium bakteri.
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mendapatkan surfaktan yang terbaik untuk meningkatkan dispersi limbah
minyak berat yang tercampur tanah liat kedalam fasa air agar proses
biodegradasi berlangsung secara efektif.
2. Mendapatkan teknik bioremediasi yang paling efektif (bioslurry/landfarming)
dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat pada tanah tercemar
limbah minyak berat.
3. Mengisolasi, seleksi dan identifikasi bakteri yang berperan aktif dalam
mendegradasi senyawa Poliaromatik Hidrokarbon (PAH) yang terdapat pada
tanah tercemar limbah minyak berat.
4. Menguji kemampuan isolat tunggal dan campuran bakteri dalam mendegradasi
senyawa hidrokarbon yang terdapat pada tanah tercemar limbah minyak berat .
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat memberikan alternatif pemecahan pengolahan limbah minyak berat
(minyak bumi fraksi berat) khususnya bagi dunia industri perminyakan dan
lahan tercemar limbah minyak berat secara umum.
2. Memberikan manfaat praktis di bidang pengelolaan lingkungan dengan metode
bioremediasi limbah minyak berat.
3. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang bioremediasi
limbah minyak berat.
4. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang mikrobiologi
lingkungan
10
Kebaruan Penelitian
Bakteri sangat berpotensi sebagai agen bioremediasi pada pencemaran
minyak bumi baik di tanah maupun di perairan. Penelitian mengenai potensi
bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon baik alifatik maupun aromatik
akibat tumpahan minyak bumi diperairan telah banyak dilakukan. Diantaranya
adalah potensi bakteri laut pendegradasi poliaromatik hidrokarbon yang diisolasi
dari air laut tercemar daerah pelabuhan Kumai. Uji tingkat biodegradasi terhadap
senyawa fenantren dari isolat terpilih Pseudomonas sp Kalp3b22 dapat
mendegradasi Fenantren sebesar 59,5% selama 29 hari kultivasi. Akan tetapi,
hingga hari ke-29, bakteri ini tidak mampu mendegradasi fenantren secara total.
Bakteri ini hanya mampu mendegradasi senyawa fenantren menjadi senyawa 1-
naftalenol (Murniasih et al. 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Supriyati (2009), mengatakan bahwa
mikroba laut Alkanivorax borkumensis M5 berperan dalam degradasi fenantren,
tumbuh optimum pada salinitas 3,3 % , suhu 30o
Silvia (2010) mengisolasi bakteri yang berasal dari ladang minyak Minas
PT Chevron Pacific Indonesia. Ditemukan tiga spesies bakteri yang memiliki
kemampuan mendegradasi hidrokarbon minyak bumi yaitu Alcaligenes sp,
Bacillus sp dan Corynebacterium sp. Biodegradasi hidrokarbon minyak bumi
selama tiga hari oleh masing-masing spesies bakteri yaitu bakteri Alcaligenes sp
sebesar 33.95%, Bacillus sp sebesar 44.02% dan Corynebacierium sp sebesar
44.54%. Minyak bumi yang dihasilkan dari ladang minyak Minas tergolong
C dan pH mendekati netral (7.8)
Kemungkinan isolat M5 mampu membentuk PHB (polyhydrxybutirate)
merupakan salah satu senyawa penting yang berperan sebagai elektron aseptor
pada proses anaerobik-aerobik. Tantowi (2008) melaporkan bahwa Genus
Alcanivorax dari kelas γ-proteobakteria yang berasal dari Pulau Pari, Kepulauan
Seribu memiliki kemampuan dalam mendegradasi senyawa alkana (parafin dan
pristan) serta poliaromatik hidrokarbon (fenantren, dibenzotipfen, fluoren,
fenotazin, piren dan fluoranten). Bakteri ini mampu mendegradasi parafin hingga
bersisa sekitar 1-6% selama 9 hari inkubasi dan mendegradasi pristan hingga
bersisa berkisar 40%.
11
minyak ringan (light oil) yang mengandung senyawa hidrokarbon alifatik
(parafin). Sedangkan limbah minyak bumi yang digunakan dalam penelitian
adalah limbah minyak bumi yang dihasilkan dari lapangan minyak Duri PT
Chevron Pacific Indonesia. Minyak bumi yang dihasilkan dari lapangan minyak
Duri PT Chevron Pacific Indonesia ini tergolong minyak berat (heavy oil).
Minyak berat mengandung senyawa aromatik yang sulit didegradasi oleh bakteri.
Hanya bakteri tertentu yang dapat mendegradasi senyawa hidrokarbon yang
terdapat dalam limbah minyak berat.
Penelitian Suardana et al. (2002) yang menggunakan limbah minyak Duri
menghasilkan biodegradasi limbah minyak bumi dengan cara bioremediasi
konvensional sebesar 11.6%. Hasil biodegradasi cara tersebut dapat ditingkatkan
menjadi maksimal sebesar 29% dengan penambahan konsentrasi surfaktan LAS
2.25% dan EM4 sebanyak 250 ml dalam waktu 31 hari. Penambahan surfaktan
LAS menyebabkan Iuas permukaan antara minyak dengan air semakin besar
sehingga mampu meningkatkan ketersediaan biologis kontaminan tersebut untuk
keperluan metabolisme mikroba yang diindikasikan dengan adanya penurunan
tegangan permukaan minyak bumi dan peningkatan persentase penurunan kadar
TPH. Chaerun et al. (2007) melaporkan bahwa limbah minyak berat dari
tumpahan minyak Nakhodka dapat didegradasi oleh konsorsium bakteri selama
429 hari. Hao dan Lu (2008) berhasil mengisolasi bakteri halofilik strain TM-1
dari ladang minyak Shengli (China). Bakteri halofilik strain TM-1 mampu
mendegradasi minyak berat yang dihasilkan dari ladang minyak Shengli.
Penelitian-penelitian diatas menghasilkan biodegradasi yang relatif masih
rendah dan dalam jangka waktu yang relatif lama. Untuk itu dilakukan penelitian
biodegradasi senyawa hidrokarbon pada tanah tercemar limbah minyak berat
menggunakan konsorsium bakteri ini untuk dapat memberikan informasi tentang:
12
1. Teknologi pretreatment tanah tercemar limbah minyak berat pada proses
biodegradasi dengan teknik bioslurry.
2. Penemuan 3 spesies bakteri yang mempunyai kemampuan yang tinggi dalam
merombak Poliaromatik Hidrokarbon (Salipiger sp. PR55-4, Bacillus
altitudinis, Ochrobactrum anthropi).
Ruang Lingkup Penelitian
Konsorsium bakteri yang diperoleh dari limbah minyak berat dan kotoran
hewan (sapi dan kuda) dikembangkan pada media yang mengandung senyawa
organik berupa minyak bumi mentah (minyak diesel). Konsorsium ini diterapkan
pada bioremediasi tanah terkontaminasi minyak fraksi berat pada skala lab dan
pilot. Pada skala lab dipelajari aspek biodegradasi polutan terhadap jenis
konsorsium bakteri. Pada skala pilot dikaji aspek teknik pengembangan
konsorsium bakteri, laju degradasi dengan pengaruh bioaugmentasi menggunakan
spesies bakteri yang didapat dari limbah minyak berat dan kotoran hewan, baik
dalam bentuk tunggal maupun campuran.
Kerangka Pemikiran
Salah satu dampak negatif akibat adanya ekplorasi minyak bumi adalah
limbah minyak bumi yang dapat merusak lingkungan di sekitarnya. Limbah
minyak bumi yang berupa limbah minyak berat mengandung senyawa aromatik
yang bersifat toksik dan karsinogenik. Tanah yang terkontaminasi minyak bumi
fraksi berat ini merupakan masalah yang cukup serius bagi industri yang
melakukan penambangan minyak. Untuk itu harus dilakukan upaya pengelolaan
sesuai dengan Kepmen LH No 128 Tahun 2003 yaitu pengelolaan limbah minyak
bumi dan tanah terkontaminasi minyak bumi secara biologis, sehingga TPH yang
terkandung dalam tanah terkontaminasi kurang dari 1%. Pengelolaan limbah
minyak bumi dan tanah terkontaminasi minyak bumi secara biologis dilakukan
karena cara ini lebih ekonomis dan ramah lingkungan dibandingkan dengan cara
kimia maupun fisika. Menurut Yetti (2008), dampak yang harus dikelola dan
dipantau dalam mencegah kerusakan lingkungan terdapat dalam RKL (Rencana
Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan
13
Hidup) yang disusun pada dokumen AMDAL (Analisa Mengenai Dampak
Lingkungan). Akan tetapi dalam dokumen tersebut tidak disebutkan teknologi
yang digunakan untuk membersihkan lingkungan dari tanah yang tercemar
limbah minyak bumi. Oleh karena itu pada penelitian ini, untuk meremediasi
tanah tercemar minyak bumi dilakukan melalui proses teknologi bioremediasi
dengan teknik bioslurry dan landfarming menggunakan konsorsium bakteri.
Limbah minyak bumi yang mengandung fraksi berat hidrokarbon ini lebih sulit
untuk didegradasi oleh bakteri, sehingga diperlukan konsorsium bakteri yang
memiliki kinerja tinggi dalam melakukan proses biodegradasi. Untuk itu
dilakukan pengembangan konsorsium bakteri yang mampu mendegradasi minyak
bumi fraksi berat dan mempelajari teknologi bioremediasi (landfarming dan
bioslurry) pengolahan tanah terkontaminasi minyak bumi fraksi berat. Untuk lebih
jelasnya kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 dibawah
ini.
Gambar 1.1 Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian
Limbah Minyak Bumi Fraksi Berat
Kelarutan Minyak Bumi Fraksi Berat
Bioremediasi dengan menggunakan mikroba
Pengelolaan
Kepmen LH No 128 Tahun 2003 tentang tata cara persyaratan teknis pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi minyak bumi secara biologis
Bioteknologi
Spesies bakteri
Konsorsium bakteri
Aktifitas Penambangan Minyak Bumi
Pengolahan Limbah Minyak Berat dengan
Teknologi Landfarming
Pengolahan Limbah Minyak Berat dengan Teknologi Bioslurry
Teknik Bioremediasi yang efektif
14
DAFTAR PUSTAKA
Alexander M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Willey and Sons. New York
Anas I. 1998. Bahan Kuliah Bioteknologi Tanah. Jurusan Ilmu Tanah. IPB. Bogor
Anonim 1995. Karakteristik beberapa mikroba lapangan minyak Indonesia dalam perspektif MEOR. Kumpulan makalah simposium III Lemigas. Jakarta
Chaerun SK, Asada R, Tazaki K. 2007. Biodegradation of heavy oil the Nakhodha
oil spill by indigenous microbial consortia. International journal of applied environmental sciences. Volume 2: 1 (pp 19-30)
Cookson JT. 1995. Bioremediation Engineering : Design and Application. New York. Mc. Graw-Hill.
Fahruddin. 2004. Dampak tumpahan minyak pada biota laut. www.kompas.co/kompas-cetak/0403/17/ilpeng/918248.html [20 mei 2008].
Firdaus M. 2005. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Pendegradasi Minyak Bumi. Institut Teknologi Bandung. (Tidak dipublikasikan)
Ghazali FM. 2004. Biodegradation of Petroleum Hydrocarbons by Microbial
Consortia. Faculty of Science and Environmental Studies. Universiti Putra Malaysia.
Gogoi BK, Dutta NN, Goswami P, Mohani TRK. 2002. Studi Kasus Bioremediasi
pada Tumpahan Minyak-Hidrokarbon yang Mencemari Suatu Lokasi Tumpahan Minyak Mentah. Regional Research Laboratory. Bangalore India.
Hao R, Lu A. 2008. Biodegradation of Heavy Oils by Halophilic Bacterium. Progress in Natural Science 19: 997-1001
Helmi Q. 2006. Pengaruh Penambahan Surfaktan terhadap Biodegradasi Sludge Minyak Bumi oleh Konsorsium Bakteri Petrofilik [Tesis]. Program Studi Teknologi Pengolahan Air dan Limbah. ITB.
Jacobucci DFC, Vasconcflos CK, Matsuura AB, Falconi FA, Durrant LR. 2001. Degradation of Diesel Oil by Biosurfactant-Producing Bacteria Strains. Campinas States University-Unicamp. Brazil.
Kadarwati S, Udiharto M, Legowo EH, Bagio E, Rahman M, Jasjfi E. 1994. Aktivitas Mikroba dalam Transformasi Substitusi di Lingkungan Hidrokarbon. Lembaran Publikasi Lemigas, Jakarta. 2:28-38.
15
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Limbah Minyak Bumi secara Biologis. Jakarta: Departemen Lingkungan Hidup.
Mangkoedihardjo S. 2005. Seleksi teknologi pemulihan untuk ekosistem laut
tercemar. Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan. Institut Teknologi 10 November Surabaya.
Margesin R, Schinner F. 2001. Bioremediation (Natural attenuation and
biostimulation) of diesel-oil-contaminated soil in an Alpine glacier skiing area. Appl. Environ. Microbiol. 67(7):3127-3133
Morgan P, Watkinson RJ. 1994. Biodegradation of Component Petroleum. C. Railedge (ed). Biochemistry of Microbial Degradation. Kluwer Academic Publishers, Belanda.
Murniasih T, Yopi, Budiawan. 2009. Biodegradasi Fenantren oleh Bakteri Laut Pseudomonas sp KalP3b22 Asal Kumai Kalimantan Tengah. Makara Sains. 13(1): 77-80
Prince RC, Clark JR, Lee K. 2003. Bioremediation Effectiveness: Removing Hydrocarbons While Minimizing Environmental Impact. 9th
Priyono R. 2008. Target 2008 tercapai, 202 sumur ekplorasi dibor tahun 2009. Buletin BPMIGAS No 54. Hal 3-5.
International Petroleum Environmental Conference, IPEC (Integrated Petroleum Environmental Consortium), Albuquerque, NM.
Sanchez O. 2006. A consortium of bacteria to degrade petrol. Departement de Genetica de Microbiologia, Universitat Autonoma de Barcelona.
Silvia S. 2010. Biodegradasi Hidrokarbon Minyak Bumi Menggunakan Isolat Bakteri dari Limbah Minyak Bumi PT Chevron Pacific Indonesia [Skripsi]. Teknik Lingkungan Universitas Andalas
Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta
Supriyati D. 2009. Biodegradasi Fenantren oleh Mikroba Laut M5 (Alcanivorax Borkumensis) yang diisolasi dari Teluk Jakarta. J. Biol. Indon. 6 (1):143-151
16
Thontowi A. 2008. Potensi Bakteri Pendegradasi Hidrokarbon Alkana sebagai Agen Bioremediasi Pencemaran Minyak di Laut Indonesia [Tesis]. Program Studi Bioteknologi IPB
Udiharto M. 1992. Aktivitas Mikroba dalam Degradasi Minyak Bumi. Diskusi Ilmiah VIII. Jakarta. PPPTMGB LEMIGAS.
Walter MV, Crawford RL. 1995. Overview : Biotransformation and Biodegradation. dalam Hurst CJ. Manual of Environmental Microbiology. ASM Press, Washington DC.
Wisjnuprapto, Kardena E, Suryaatmana P, Gladys S, Kristanti N. 2005.
Bioremediation of Petroleum Oil Contaminated Soils. Proceeding of the COE Joint Symposium on Environmental Engineering between Hokkaido University, Chungbuk National University and Bandung Institut of Technology. Sapporo. Japan
Yuliar G, Kartina, Sugiarto A. 1995. Inventarisasi kapang pendegradasi petroleum. Laporan teknik penelitian, pengembangan, dan pendayagunaan biota Indonesia Pusat penelitian dan pengembangan biologi. LIPI. Bogor.
Yetti Y. 2008. Pengembangan kebijakan AMDAL dalam mencegah kerusakan lingkungan pada kegiatan usaha MIGAS. [Disertasi]. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasajana IPB.
BAB II
PENINGKATAN DISPERSI LIMBAH MINYAK BERAT KE DALAM AIR DENGAN PENAMBAHAN SURFAKTAN
ABSTRAK
Proses degradasi limbah minyak berat oleh bakteri terjadi jika bakteri dapat memanfaatkan hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat sebagai sumber karbon. Untuk terjadinya degradasi harus ada kontak antara bakteri dan hidrokarbon itu sendiri. Penambahan surfaktan dapat meningkatkan dispersitas limbah minyak berat dalam matriks tanah kedalam air sehingga dapat memudahkan kontak antara bakteri dengan sumber karbon dari minyak bumi sebagai makanannya. Pada penelitian ini, surfaktan yang dikaji adalah surfaktan anionik (Linear Alkil Sulfonat (LAS) dan natrium dodesil sulfat (NDS)) dan surfaktan nonionik (Tween 80 dan Brij 35). Parameter yang diamati adalah konsentrasi surfaktan dan laju pengadukan. Konsentrasi surfaktan ditentukan dari nilai tegangan permukaan dan stabilitas emulsi. Stabilitas emulsi tertinggi yaitu sebesar 1.58% didapatkan dari penambahan surfaktan LAS pada konsentrasi 0.04%. Laju pengadukan yang digunakan adalah 100, 120, dan 140 rpm. Laju pengadukan optimum diperoleh pada kecepatan pengadukan 140 rpm, hal ini didasarkan pada nilai TPH pada fasa cair. Nilai TPH fasa cair pada laju 140 rpm untuk LAS dan NDS masing-masing adalah 1.33% dan 1.68%. Sedangkan untuk Tween 80 dan Brij 35 adalah 0.40% dan 0.74%. Nilai TPH fasa cair menggambarkan banyaknya minyak yang terdispersi ke dalam air. Parameter lain seperti TPH fasa padat dan chemical oxygen demand (COD) yang diperoleh untuk laju 140 rpm adalah 10.20% dan 33258 mg/L untuk LAS, sedangkan untuk NDS sebesar 9.12% dan 35909 mg/L. Untuk Tween 80 adalah 15.56% dan 41235 mg/L, sedangkan untuk Brij 35 sebesar 16.55% dan 41717 mg/L. Surfaktan LAS pada kosentrasi 0.04% dapat meningkatkan dispersi limbah minyak bumi lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya karena stabilitas emulsi LAS lebih tinggi (1.58%) dibandingkan dengan surfaktan NDS, Tween 80 dan Brij 35.
19
PENDAHULUAN
Biodegradasi limbah minyak bumi merupakan suatu proses yang
kompleks, dan tergantung kepada komunitas bakterinya, kondisi lingkungan dan
limbah minyak bumi yang akan didegradasi. Limbah minyak bumi yang
digunakan adalah limbah minyak berat (minyak bumi fraksi berat) yang
terdapat pada bongkahan-bongkahan tanah, sehingga dalam proses
biodegradasi menggunakan bakteri diperlukan penanganan khusus.
Biodegradasi limbah minyak bumi di lingkungan air terjadi pada bagian
antarmuka lapisan air dan minyak. Oleh karena itu, biodegradasi akan lebih cepat
terjadi bila limbah minyak tersebut dalam bentuk terdispersi dalam air. Kondisi ini
akan memudahkan penyediaan oksigen dan unsur-unsur makanan yang diperlukan
untuk pertumbuhan mikroba (Udiharto 1996). Bakteri dapat bekerja jika terdapat
kontak dengan senyawa hidrokabon. Dalam proses tersebut terjadi penguraian
hidrokarbon oleh bakteri yang telah teradaptasi dengan baik di lingkungan
tersebut.
Dispersi minyak bumi ke dalam medium air lebih mudah terjadi bila
ditambahkan surfaktan. Surfaktan adalah senyawa organik yang memiliki gugus
polar dan non-polar sekaligus dalam satu molekulnya. Surfaktan dapat mengikat
minyak yang bersifat non-polar dan di sisi lain surfaktan juga dapat mengikat air
yang bersifat polar, sehingga surfaktan dapat memudahkan kontak antara mikroba
dengan sumber karbon dari minyak bumi sebagai makanannya. Dalam penelitian
ini digunakan surfaktan anionik dan nonionik karena surfaktan anionik dan
nonionik umumnya bersifat biodegradabel, tidak bersifat toksik terhadap mikroba,
dan harganya relatif murah (Kosswig dan Marl 2003) jika dibandingkan dengan
surfaktan kationik yang bersifat toksik terhadap mikroba (Tharwat 2005). Oleh
karena itu dalam penelitian ini dilakukan penambahan surfaktan anionik dan
nonionik yang disertai pengadukan agar membantu kecepatan dispersi limbah
minyak bumi ke dalam air sehingga mempercepat proses degradasi.
Penelitian bertujuan menentukan konsentrasi optimum surfaktan anionik
dan nonionik sebagai pendispersi limbah minyak bumi dalam air serta laju
pengadukan optimum yang mendukung dipersi limbah minyak bumi dalam air.
20
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah surfaktan anionik, yaitu LAS dan
NDS, surfaktan nonionik, yaitu Tween 80 dan Brij 35, heksana, silika gel,
Na2SO4 anhidrat, 5% (b/v) limbah minyak berat yang berasal dari lapangan
minyak di Duri Riau, larutan K2Cr2O7, ferroamonium sulfat, H2SO4 pekat,
K2Cr2O7-HgSO4, Ag2SO4, dan H2SO4
. Alat-alat yang digunakan adalah alat-
alat gelas, hot plate, waterbath, ultrasonic homogenizer, oven, magnetic stirrer ,
turbidimeter, piknometer dan surface tensiometer Model 20.
Prosedur Analisis
Pengukuran Bobot Jenis Akuades dan Surfaktan
Piknometer kosong ditimbang, lalu diisi dengan akuades sampai penuh dan
ditimbang kembali. Bobot akuades merupakan selisih antara bobot piknometer
yang berisi akuades dengan bobot piknometer kosong. Untuk penentuan bobot
jenis surfaktan dilakukan dengan prosedur yang sama seperti bobot jenis akuades,
pada suhu yang sama.
Pengukuran Tegangan Permukaan Surfaktan (ASTM 2001)
Surfaktan LAS dilarutkan dalam akuades dengan ragam konsentrasi 0.01,
0.02, 0.03, 0.06, 0.13, 0.25, dan 0.50 (% b/v). Surfaktan NDS dilarutkan dalam
akuades dengan ragam konsentrasi 0.10, 0.15, 0.20, 0.25, 0.30, 0.35, dan 0.40
(% b/v). Surfaktan Tween 80 dan Brij 35 dilarutkan dalam akuades dengan ragam
konsentrasi 0.0025, 0.0050, 0.0075, 0.01, 0.0125, 0.015, 0.0175, 0.02,
0.0225, 0.025, 0.0275, 0.03, 0.035 dan 0.04 (% b/v). Cincin Pt-Ir yang bersih
dikaitkan pada kail. Sebanyak 40 mL dispersi dipindahkan ke dalam gelas
kimia dan ditempatkan pada meja sampel. Meja sampel digerakkan
sampai cairan ada di bawah cincin Pt-Ir. Cincin tercelup sekitar 1/8
inchi. Tangan torsi dilepaskan dan alat diatur ke posisi nol, posisi
diatur dengan tombol putar bagian kanan sampai garis dan jarum penunjuk
berimpit. Tombol putar di bawah skala depan diputar sampai skala vernier
pada skala luar dimulai dari nol. Meja sampel diturunkan sampai cincin berada
di permukaan cairan. Permukaan cairan akan menjadi gelembung, kemudian
21
dilanjutkan dengan dua pengaturan bersama sampai lapisan gelembung pada
permukaan cairan pecah. Skala yang terbaca pada titik pecah lapisan gelembung
adalah tegangan permukaan terukur.
Pengukuran Busa Larutan Surfaktan (ASTM 2002)
Dari stok surfaktan anionik (LAS dan NDS) dan surfaktan nonionik (Tween
80 dan Brij 35) dibuat lima konsentrasi yang memiliki nilai tegangan permukaan
mendekati konsentrasi misel kritis (KMK), kemudian 20 mL surfaktan dengan
masing-masing konsentrasi dimasukkan ke dalam botol khusus (volume 500 mL).
Botol tersebut ditempatkan pada waterbath (25 ± 1ºC) selama 1 jam. Suhu dalam
waterbath diukur dan diatur menjadi 25 ± 1ºC. Botol dikeluarkan dari penangas
dan ditandai tinggi cairan 1 mm di atas permukaan cairan (I). Tanda kedua dibuat
10 mm lebih tinggi dari tanda pertama. Botol tersebut dikocok dengan kuat
(minimal 40 kali) dalam waktu kurang dari 10 detik. Tinggi total busa ditandai (1
mm di atas permukaan busa), tinggi ini disebut dengan tinggi total busa pada
waktu nol (M). Pencatat waktu dinyalakan. Botol diletakkan di meja dan dicatat
waktu turunnya busa sampai tanda kedua. Jika tinggi busa melebihi tanda 10 mm
tersebut, tinggi busa dicatat sebagai tinggi total setelah 5 menit (R). Suhu
pengukuran dicatat. Tinggi busa maksimal (FM) dan tinggi busa setelah 5 menit
(FR
F
) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
M
F
= M-I
R
Pengaruh Konsentrasi Surfaktan Terhadap Stabilitas Emulsi
= R-I
Dari stok surfaktan anionik (LAS dan NDS) dan surfaktan nonionik (Tween
80 dan Brij 35) dibuat lima konsentrasi yang memiliki nilai tegangan permukaan
mendekati konsentrasi misel kritis (KMK), kemudian 50 mL surfaktan dengan
masing-masing konsentrasi tersebut dicampurkan dengan 14.7059 gram tanah
tercemar minyak bumi. Larutan tersebut dihomogenkan dengan menggunakan
ultrasonic homogenizer masing-masing selama 5 menit pada frekuensi 25 kHz,
kemudian diukur turbiditasnya dengan menggunakan turbidimeter. Setiap emulsi
yang sudah dibuat dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan disentrifus selama
22
awalsampelbobotyakbobot min
45 menit pada kecepatan 2000 rpm, kemudian diukur kembali turbiditasnya
dengan menggunakan turbidimeter. Stabilitas emulsi dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
% Stabilitas emulsi = emulsiawalturbiditasemulsiakhirturbiditas
X 100%
Pengaruh Laju Pengadukan Terhadap Dispersi Minyak dalam Air
Sebanyak 200 mL larutan surfaktan (LAS dan NDS) dan surfaktan nonionik
(Tween 80 dan Brij 35) dengan konsentrasi stabilitas emulsi paling tinggi
kemudian dicampur dengan 58.8235 gram tanah tercemar minyak bumi kemudian
diaduk dengan magnetic stirrer dan diatur kecepatan pengadukan dengan laju 100,
120, dan 140 (rpm) selama 1 jam. Masing-masing perlakuan dianalisis TPH fasa
padat, TPH fasa cair, pH, dan COD.
Pengukuran TPH Fasa Padat (US EPA Method 1998)
Tanah tercemar minyak bumi sebanyak 5 gram diekstraksi dengan Soxhlet
menggunakan 100 mL heksana. Kandungan air pada ekstrak dihilangkan dengan
menambahkan Na2SO4
%TPH (g/g) = x 100%
anhidrat, kemudian disaring. Pelarut diuapkan setelah itu
dipanaskan dalam oven selama 45 menit pada suhu 70°C. Sampel hasil
pengeringan dilarutkan kembali dengan 100 mL heksana dan ditambahkan silika
gel untuk menghilangkan senyawa-senyawa polar dan disaring. Pelarut diuapkan
kembali dan dipanaskan dalam oven selama 45 menit pada suhu 70°C, bobot yang
terukur merupakan residu minyak (nilai TPH). Nilai TPH dihitung dengan rumus
sebagai berikut:
Pengukuran TPH Fasa Cair (US EPA Method 1999)
Sebanyak 50 mL larutan surfaktan yang telah dicampur dengan tanah
tercemar minyak bumi disaring kemudian diekstrak dengan corong pisah
menggunakan 25 mL heksana sebanyak dua kali. Kandungan air pada ekstrak
dihilangkan dengan menambahkan Na2SO4 anhidrat, kemudian disaring. Pelarut
23
diuapkan setelah itu dipanaskan dalam oven selama 45 menit pada suhu 70°C.
Sampel hasil pengeringan dilarutkan kembali dengan 50 mL heksana dan
ditambahkan silika gel untuk menghilangkan senyawa-senyawa polar dan
disaring. Pelarut diuapkan kembali dan dipanaskan dalam oven selama 45 menit
pada suhu 70°C, bobot yang terukur merupakan residu minyak (nilai TPH). Nilai
TPH dihitung dengan rumus sebagai berikut
%TPH (g/mL) = sampelbobot
yakbobot min x 100%
Pengukuran pH
Sebanyak 50 mL larutan surfaktan yang telah dicampur dengan tanah
tercemar minyak bumi dimasukkan ke dalam gelas piala 100 mL kemudian
dilakukan pengukuran pH dengan menggunakan indikator pH universal.
Pengukuran pH dilakukan sebelum dan sesudah pengadukan.
Pengukuran COD (Clesceri et al. 2005)
Sebanyak 10 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung COD, ditambahkan 5
mL larutan campuran kalium dikromat-merkuri, ditambahkan 10 mL larutan
campuran asam sulfat-perak sulfat dan campuran diaduk kemudian ditutup. Tahap
diatas diulangi pada 10 mL air suling sebagai blanko. Setelah masing-masing unit
pengaman pada tutup dipasang, tabung dimasukkan ke dalam oven pada suhu
150°C. Setelah 2 jam, tabung COD dikeluarkan dari dalam oven dan dibiarkan
hingga dingin. Campuran dari tabung COD dipindahkan ke dalam labu
erlenmeyer 100 mL dan dibilas dengan 10 mL air suling. 2 mL asam sulfat pekat
dan 3 tetes larutan indikator feroin ditambahkan secara berturut-turut ke dalam
campuran. Campuran dititrasi dengan larutan baku fero amonium sulfat 0.05 N
yang telah distandardisasi sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi
merah coklat lalu dicatat volume pemakaian larutan baku fero amonium sulfat.
Nilai COD dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
COD (mg/L) = ( )( ) xfpmLsampelVolume
oksigenBExxNxBA 1000−
A = volume FAS yang terpakai (blanko) B = volume FAS yang terpakai (sampel)
24
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tegangan Permukaan Larutan Surfaktan
Pengukuran tegangan permukaan larutan surfaktan anionik dan nonionik ini
menggunakan metode cincin du Nouy. Prinsip metode cincin Du Noűy adalah
gaya yang diperlukan untuk menarik cincin sebanding dengan tegangan
permukaan. Nilai tegangan permukaan larutan surfaktan anionik dan nonionik
dikoreksi dengan hasil pengukuran bobot jenis atau densitas larutan surfaktan
yang dapat dilihat pada Lampiran 2.1 sampai Lampiran 2.4. Hasil pengukuran
tegangan permukaan yang terlampir pada Lampiran 2.5 sampai Lampiran 2.8
menunjukkan bahwa penurunan tegangan permukaan maksimum untuk LAS
diperoleh pada konsentrasi 0.06% dan untuk NDS diperoleh pada konsentrasi
0.20%, sedangkan untuk Tween 80 dan Brij 35 diperoleh pada konsentrasi
0.0175% (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Tegangan permukaan maksimum dan minimum dari larutan surfaktan
Surfaktan Konsentrasi(% b/v) Tegangan Permukaan(dyne/cm)
LAS 0.00 72.93 0.01 62.95 0.06 28.99
NDS 0.00 71.62 0.10 31.77 0.20 25.10
Tween 80 0.00 71.71 0.0025 71.34 0.0175 49.50
Brij 35 0.00 71.71 0.0025 49.77 0.0175 31.29
Dari grafik pada Gambar 2.1 dan 2.2 terlihat mula-mula terjadi penurunan
tegangan permukaan yang cukup besar. Hal ini disebabkan karena molekul-
molekul surfaktan teradsorpsi pada antar-muka sistem yang tidak saling campur
(air-minyak-tanah). Jika konsentrasi surfaktan ditingkatkan lagi, maka sebagian
molekul-molekul surfaktan akan membentuk misel, yaitu gerombol kecil molekul
yang bagian hidrofobiknya (nonpolar) berada di bagian tengah dan bagian
25
hidrofiliknya (polar) berada di bagian luar. Misel-misel itu tersolvasi oleh molekul
air. Oleh karena itu, kenaikan konsentrasi surfaktan akan meningkatkan jumlah
misel yang terbentuk, sehingga tegangan permukaan menjadi semakin rendah.
Gambar 2.1 Tegangan permukaan larutan LAS (■) dan NDS (♦)
Gambar 2.2 Tegangan permukaan larutan Tween 80 (●) dan Brij 35 (▲)
Konsentrasi surfaktan pada saat pertama kali terbentuk misel disebut
konsentrasi misel kritis (KMK). Pada saat KMK terjadi nilai tegangan permukaan
hampir mencapai jenuh. Pada konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi, hampir
semua molekul surfaktan membentuk misel dan hanya sedikit molekul yang
0
20
40
60
80
0,00 0,20 0,40 0,60
Tega
ngan
Per
muk
aan
(dyn
e/cm
)
Kosentrasi (%)
0
20
40
60
80
0 0,01 0,02 0,03 0,04
Tega
ngan
Per
muk
aan
(dyn
e/cm
)
Kosentrasi (%)
26
teradsorpsi pada antar-muka sistem air-minyak-tanah, sehingga hanya sedikit
terjadi penurunan tegangan permukaan.
Gambar 2.1 dan 2.2 menunjukkan bahwa tegangan permukaan tanpa
penambahan surfaktan adalah yang paling tinggi. Hal ini disebabkan karena air
memiliki tegangan permukaan yang lebih besar 72.75 dyne/cm (Atkins 1999)
dibandingkan larutan surfaktan dan kebanyakan cairan lain karena gaya kohesinya
yang lebih besar berdasarkan ikatan hidrogennya.
KMK LAS terjadi pada konsentrasi yang lebih rendah (0.06%)
dibandingkan dengan KMK NDS, Tween 80, dan Brij 35, disebabkan karena
perbedaan struktur LAS dengan struktur surfaktan yang lainnya (Gambar 2.3).
Struktur LAS mengandung benzena sedangkan NDS, Tween 80 dan Brij 35
strukturnya hanya berupa rantai alkil linier. Adanya benzena pada struktur LAS
akan menstabilkan muatan pada gugus polar sehingga LAS lebih mudah larut
pada sistem air-minyak-tanah.
S
O
O
O-
CH3
CH3
Na+
Linear alkilbenzena sulfonat (LAS) Tween 80
SO
O
O-OCH3 Na
+
Natrium dodesil sulfat (NDS) Brij 35 Gambar 2.3 Struktur molekul surfaktan LAS, NDS, Tween 80 dan Brij 35
27
Pengaruh Konsentrasi Surfaktan pada Stabilitas Emulsi
Konsentrasi surfaktan yang digunakan untuk melihat pengaruh stabilitas
emulsi didasarkan pada nilai tegangan permukaan yang terkecil, yaitu 28.99
dyne/cm untuk LAS pada konsentrasi 0.06% dan 25.10 dyne/cm untuk NDS
pada konsentrasi 0.20%. 49.58 dyne/cm untuk Tween 80 dan 31.29 dyne/cm
untuk Brij 35 pada konsentrasi 0.0175%. Hasil pengukuran stabilitas emulsi dari
dispersi limbah minyak berat yang dihomogenkan selama 5 menit pada frekuensi
25 kHz dan disentrifus selama 45 menit pada kecepatan 2000 rpm, kemudian
diukur nilai kekeruhannya hanya mengubah stabilitas emulsi sedikit saja
(Lampiran 2.9-2.12). Namun terlihat adanya kenaikan stabilitas emulsi sampai
suatu titik, kemudian stabilitas emulsi cenderung tetap. Untuk surfaktan anionik,
stabilitas emulsi maksimum pada LAS adalah 1.58% pada konsentrasi 0.04% dan
untuk NDS adalah 0.45% pada konsentrasi 0.15%. Sedangkan untuk surfaktan
nonionik, stabilitas emulsi maksimum untuk Tween 80 sebesar 0.24% pada
konsentrasi 0.0175% dan Brij 35 sebesar 0.22% pada konsentrasi 0.0150%. Jika
nilai ini dibandingkan dengan pengukuran tegangan permukaan sebelumnya, yaitu
nilai KMK untuk LAS sekitar 0.06%, sekitar 0.20% untuk NDS, dan sekitar
0.0175% untuk Tween 80 dan Brij 35 (Tabel 2.1), hasil yang diperoleh sesuai
dengan sifat surfaktan bahwa efektifitas surfaktan dalam menurunkan tegangan
permukaan tercapai di sekitar titik KMK.
Gambar 2.4 Stabilitas emulsi LAS (■) dan NDS (♦) pada berbagai kosentrasi
0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80
0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25
Stab
ilita
s Em
ulsi
(%)
Kosentrasi (%)
28
Gambar 2.4 dan 2.5 pada awalnya menunjukkan adanya kenaikan stabilitas
emulsi, hal ini disebabkan karena molekul-molekul surfaktan teradsorpsi pada
antarmuka air dan minyak. Adsorpsi ini terjadi berdasarkan pergerakan gugus
hidrofobik untuk mencegah kontak dengan air dan mengarah ke minyak karena
tarik-menarik antara minyak dan gugus hidrofobik, sedangkan gugus hidrofilik
dari molekul surfaktan tarik-menarik dengan air. Adsorpsi yang terjadi ini
menurunkan tegangan permukaan antarmuka minyak-air sehingga meningkatkan
kestabilan emulsi yang terbentuk. Pada saat misel terbentuk, tegangan antarmuka
minyak-air telah jenuh sehingga yang teradsorpsi pada antarmuka minyak-air juga
lebih sedikit. Akibatnya kemampuannya dalam menurunkan tegangan antarmuka
juga lebih kecil atau tidak mampu lagi menurunkan tegangan antarmuka sehingga
stabilitas emulsi tetap setelah mencapai maksimum.
Gambar 2.5 Stabilitas emulsi Tween 80 (●) dan Brij 35 (▲) pada berbagai kosentrasi
Dari ke-4 surfaktan yang digunakan pada penelitian ini, surfaktan LAS
memiliki stabilitas emulsi tertinggi yaitu sebesar 1.58% pada konsentrasi yang
lebih rendah dari NDS yaitu pada konsentrasi 0.04%.
Pengukuran Tinggi Busa
Untuk melihat pembentukan busa pada surfaktan ini digunakan metode shaker.
Konsentrasi surfaktan yang digunakan untuk pengukuran tinggi busa sama dengan
0
0,05
0,1
0,15
0,2
0,25
0,3
0 0,005 0,01 0,015 0,02 0,025
Stab
ilita
s Em
ulsi
(%)
Kosentrasi (%)
29
pengukuran stabilitas emulsi. Hasil pengukuran tinggi busa dari larutan surfaktan
dapat dilihat pada Gambar 2.6 dan 2.7. Dari hasil tersebut terlihat semakin tinggi
konsentrasi surfaktan, maka semakin tinggi busa yang terbentuk. Hal ini
disebabkan karena semakin rendah konsentrasi, maka nilai viskositas larutan akan
semakin kecil, faktor inilah yang menyebabkan pembentukan busa pada
konsentrasi rendah semakin sedikit. Nilai viskositas yang rendah akan
mempermudah tumbukan antar lapisan tipis yang berdekatan. Tinggi busa
maksimum untuk LAS yaitu 5.33 cm pada konsentrasi 0.10%, sedangkan untuk
NDS yaitu 11.80 cm pada konsentrasi 0.25%, dan secara keseluruhan, tinggi busa
Tween 80 lebih besar dibandingkan dengan Brij 35 (Lampiran 2.14-2.17).
Gambar 2.6 Perubahan tinggi busa maksimum (■) dan tinggi busa setelah 5 menit (■) pada perlakuan dengan LAS (a) dan NDS (b)
Gambar 2.7 Perubahan tinggi busa maksimum (■) dan tinggi busa setelah 5
menit (■) pada perlakuan dengan Tween 80 (a) dan Brij 35 (b)
02468
1012
0,02 0,04 0,06 0,08 0,10
Ting
gi B
usa
(cm
)
Konsentrasi LAS (%)
02468
1012
0,15 0,2 0,25
Ting
gi B
usa
(cm
)
Konsentrasi NDS (%)
0
5
10
15
20
25
0.0125 0.0150 0.0175 0.020 0.0225
Ting
gi b
usa
(mm
)
Konsentrasi Tween 80 (%)
0
5
10
15
20
25
0.0125 0.0150 0.0175 0.020 0.0225
Tinn
ggi b
usa
(mm
)
Konsentrasi Brij 35 (%)
(a) (b)
(a) (b)
30
Hal ini disebabkan perbedaan jumlah atom karbon pada kedua surfaktan.
Molekul LAS dan Tween 80 memiliki atom karbon lebih banyak dibandingkan
dengan NDS dan Brij 35. Jumlah atom karbon yang semakin banyak akan
menyebabkan semakin banyak jumlah lapisan tipis yang terbentuk dan hal ini
akan berakibat pula pada semakin banyaknya jumlah gas atau udara yang terjerap
dalam lapisan tipis tersebut, sehingga busa yang terbentuk akan semakin banyak.
Pengukuran pH pada Variasi Kecepatan Pengadukan
Nilai pH diukur pada kecepatan pengadukan 100 rpm, 120 rpm dan 140
rpm. Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah pengadukan, untuk mengamati
perubahan pH terhadap kecepatan pengadukan yang dilakukan.
Tabel 2.2 Nilai pH surfaktan anionik dan nonionik pada variasi kecepatan
pengadukan Kecepatan Pengadukan (rpm)
pH sebelum pengadukan Surfaktan Anionik Surfaktan Nonionik
Blanko LAS NDS Blanko T80 B35 100 6 5 5 4 4 4 120 5 6 6 4 4 4 140 5 6 6 4 4 4 Kecepatan Pengadukan (rpm)
pH setelah pengadukan Surfaktan Anionik Surfaktan Nonionik
Blanko LAS NDS Blanko T80 B35 100 6 5 5 4 3 3 120 5 5 5 4 4 4 140 5 5 5 4 4 4
Keterangan: B = blanko, L = 0.04% LAS, N = 0.15% NDS T80 = Tween 80 (0.0175%), B35 = Brij 35 (0.0150%)
Tabel 2.2 menunjukkan perubahan pH sebelum dan sesudah proses
pengadukan. Dari Tabel 2.2 terlihat bahwa pengadukan berpengaruh terhadap
nilai pH. Nilai setelah pengadukan lebih kecil dibandingkan sebelum
pengadukan. Kecepatan pengadukan diatas 140 rpm tidak berpengaruh terhadap
nilai pH (Lampiran 2.19-2.20).
Biodegradasi minyak bumi dipengaruhi oleh nilai pH yang terjadi pada
lingkungan tersebut (Zhu et al., 2001). Nilai pH berhubungan dengan jumlah
31
asam yang terkandung dalam tanah. Mayoritas mikrorganisme tanah akan tumbuh
dengan subur pada pH antara 6 sampai 8. Nilai pH pada semua tanah yang diberi
perlakuan tersebut hanya berkisar antara 6 - 5. Pada rentang pH ini, mikroba yang
berada pada tanah tetap dapat mendegradasi walaupun tidak menutup
kemungkinan ada beberapa jenis bakteri yang dapat mati pada pH 5.
Pengaruh Pengadukan Terhadap Nilai TPH
Parameter yang paling tepat untuk menggambarkan proses biodegradasi
limbah minyak bumi ialah TPH. TPH menggambarkan jumlah hidrokarbon
dengan berbagai macam panjang rantainya tanpa melihat jenisnya yaitu alisiklik,
aromatik atau alifatik.
Kandungan hidrokarbon pada tanah yang digunakan dalam penelitian ini
tergolong tinggi yaitu sekitar 17 % (Lampiran 2.18). Tingginya nilai TPH awal
proses biodegradasi ini membuat laju degradasi tidak optimum karena menurut
Vidali (2001) kondisi optimum biodegradasi terjadi pada total kontaminan (TPH)
sebesar 5 – 10 %. Untuk mengoptimalkan proses biodegradasi, maka minyak yang
ada pada tanah harus terdispersi ke dalam media air sehingga bakteri dapat
mendegradasi minyak tersebut. Salah satu caranya yaitu dengan menambahkan
surfaktan dan melakukan pengadukan.
Surfaktan yang ditambahkan dalam penelitian ini adalah LAS dan NDS
untuk surfaktan anionik dan untuk surfaktan nonionik digunakan Tween 80 dan
Brij 35, serta kecepatan pengadukan yang digunakan adalah 100, 120, dan 140
rpm. Hasil dari perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8a dan 2.9a. Hasil
tersebut memperlihatkan bahwa nilai TPH fasa cair yang ditambah NDS lebih
tinggi dibandingkan LAS. Kecepatan pengadukan juga mempengaruhi nilai TPH
fasa cair. Untuk surfaktan nonionik penambahan Brij 35 (0.0150%) memberikan
nilai TPH fasa cair lebih tinggi dibandingkan dengan Tween 80 dan blanko.
Nilai TPH fasa cair yang semakin besar menggambarkan proses dispersi
minyak ke dalam air semakin baik. NDS memiliki nilai TPH fasa cair yang lebih
besar dibandingkan LAS dan Brij 35 memiliki TPH fasa cair yang lebih besar
32
dibandingkan Tween 80, hal ini disebabkan karena konsentrasi NDS dan Brij 35
lebih tinggi dibandingkan konsentrasi LAS dan Tween 80 sehingga menyebabkan
semakin banyak minyak yang berinteraksi dengan NDS dan Brij 35.
Kecepatan pengadukan memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap nilai
TPH fasa cair, seperti terlihat pada Gambar 2.8a dan 2.9a. Semakin tinggi
kecepatan pengadukan, maka semakin banyak minyak yang terlepas dari tanah
dan terdispersi ke dalam air. TPH fasa cair blanko menunjukkan kenaikan dengan
semakin tingginya kecepatan pengadukan, namun kenaikan ini secara umum tidak
terlalu tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang ditambahkan surfaktan. Nilai
TPH fasa cair yang tertinggi pada surfaktan anionik yaitu pada perlakuan
penambahan 0.15% NDS dan kecepatan pengadukan 140 rpm sebesar 1.68%,
sedangkan untuk penambahan LAS 0.04% dan kecepatan pengadukan 140 rpm
hanya sebesar 1.33%. Nilai TPH fasa cair untuk penambahan LAS dan NDS
menghasilkan data yang tidak berbeda nyata berdasarkan uji analysis of variance
(ANOVA). Uji ANOVA dilakukan pada data perlakuan laju 140 rpm karena data
ini memiliki nilai TPH terbesar (Lampiran 2.30).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suardana et al. (2002),
biodegradasi limbah minyak bumi dengan cara bioremediasi konvensional
menghasilkan persen degradasi sebesar 11,6%. Hasil biodegradasi cara tersebut
dapat ditingkatkan menjadi maksimal sebesar 29% dengan penambahan
konsentrasi surfaktan LAS 2.25% dan EM4 sebanyak 250 ml dalam waktu 31
hari. Penambahan surfaktan LAS menyebabkan luas permukaan antara minyak
dengan air semakin besar sehingga mampu meningkatkan ketersediaan biologis
kontaminan tersebut untuk keperluan metabolisme mikroba yang diindikasikan
dengan adanya penurunan tegangan permukaan minyak bumi dan peningkatan
persentase penurunan kadar TPH.
Untuk surfaktan nonionik, TPH fasa cair tertinggi dengan penambahan Brij
35 (0.0150%) pada kecepatan 140 rpm, yaitu sebesar 0.70% dan penambahan
Tween 80 (0.0175%) pada kecepatan 140 rpm sebesar 0.40%. Penambahan Brij
35 dengan konsentrasi lebih rendah (0.0150%) daripada Tween 80 (0.0175%)
seperti yang terlihat pada Lampiran 2.23.
33
Gambar 2.8 Pengaruh penambahan LAS 0.04% (■), NDS 0.15% (■), blanko (■) dan kecepatan pengadukan terhadap kosentrasi TPH fasa cair (a) dan TPH fasa padat (b)
(a) (b)
Gambar 2.9 Pengaruh penambahan Tween 80 (0.0175%) (■) dan Brij 35 (0.0175%) (■), blanko (■) dan kecepatan pengadukan terhadap kosentrasi TPH fasa cair (a) dan TPH fasa padat (b)
Dari grafik pada Gambar 2.8b dan 2.9b serta pada Lampiran 2.24-2.26,
semakin tinggi kecepatan pengadukan, maka nilai TPH fasa padat akan semakin
kecil. Hal ini disebabkan karena pengadukan dan penambahan surfaktan
menyebabkan minyak dari limbah minyak bumi terdispersi ke dalam air sehingga
nilai TPH fasa padat berkurang dan nilai TPH fasa cair meningkat. Pada penelitian
ini, kecepatan 140 rpm belum dapat dikatakan sebagai kecepatan optimum, karena
nilai TPH fasa cair yang lebih besar masih mungkin diperoleh pada kecepatan
yang lebih tinggi.
0
0,5
1
1,5
2
100 120 140
TPH
fas
a ca
ir (%
)
Kecepatan Pengadukan (rpm)
0
5
10
15
100 120 140
TPH
fasa
pad
at (%
)
Kecepatan Pengadukan (rpm)
0
0,5
1
1,5
2
100 120 140
TPH
fas
a ca
ir (%
)
Kecepatan Pengadukan (rpm)
0
5
10
15
20
100 120 140
TPH
fasa
pad
at (%
)
Kecepatan Pengadukan (rpm)
(a) (b)
34
Pengaruh Pengadukan Terhadap Nilai COD
Pengukuran COD dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode refluks tertutup yang diikuti dengan metode titrimetri. Semakin tinggi
kecepatan pengadukan, maka nilai CODnya semakin besar pula. Hal ini
disebabkan semakin tinggi kecepatan pengadukan, maka semakin banyak senyawa
organik yang terkandung dalam limbah minyak masuk ke media air. Nilai ini
menunjukkan bahwa limbah minyak tersebut banyak mengandung senyawa
organik berupa hidrokarbon, nitrogen, sulfur, dan oksigen. Sehingga jumlah
oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi senyawa tersebut menjadi CO2 dan
H2
O semakin tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suardana et al.
(2002) penambahan surfaktan LAS yang diberikan ke petak sel penelitian ini mampu
meningkatkan hasil proses biodegradasi limbah minyak secara berbanding lurus.
Semakin tinggi konsentrasi surfaktan LAS yang digunakan didalam penelitian ini,
semakin besar efek pendispersian minyak bumi didalam air sehingga nilai COD akan
semakin tinggi.
(a) (b) Gambar 2.10 Perubahan nilai COD pada surfaktan anionik (a) yaitu dengan
penambahan LAS 0.04% (■), NDS 0.15% (■), blanko (■) dan pada surfaktan anionik (b) yaitu dengan penambahan Tween 80 (0.0175%) (■) dan Brij 35 (0.0175%) (■), blanko (■) terhadap kecepatan pengadukan
Gambar 2.10 menunjukkan nilai COD blanko lebih rendah dibandingkan
dengan penambahan surfaktan NDS, LAS, Tween 80 dan Brij 35. Hal ini
0
10000
20000
30000
40000
100 120 140
CO
D (m
g/m
L)
Kecepatan Pengadukan (rpm)
0
10000
20000
30000
40000
100 120 140
CO
D (m
g/m
L)
Kecepatan Pengadukan (rpm
35
memperlihatkan bahwa penambahan surfaktan mempunyai pengaruh yang cukup
besar terhadap nilai COD. Penambahan surfaktan akan menambah senyawa
organik yang harus dioksidasi, karena surfaktan sendiri adalah senyawa organik.
Penambahan NDS memiliki nilai COD yang lebih tinggi dibandingkan LAS, dan
penambahan Brij 35 memiliki nilai COD yang lebih tinggi dibandingkan Tween
80. Hal ini terkait dengan konsentrasi surfaktan yang ditambahkan, konsentrasi
NDS yaitu sebesar 0.15% sedangkan konsentrasi LAS sebesar 0.04%. Nilai COD
tertinggi terjadi pada kecepatan pengadukan 140 rpm, yaitu 20485 mg/L untuk
blanko, 33499 mg/L untuk 0.04% LAS, dan 35909 mg/L untuk 0.15% NDS.
Penambahan Brij 35 pada 140 rpm memberikan nilai COD terbesar (41717 mg/L)
dibandingkan dengan surfaktan Tween 80, LAS dan NDS (Lampiran 2.27-2.29).
SIMPULAN
Penambahan surfaktan dan pengaruh kecepatan pengadukan terbukti mampu
meningkatkan dispersi limbah minyak bumi dalam media air. Penggunaan LAS
lebih baik dibandingkan NDS, Tween 80 dan Brij 35 karena stabilitas emulsi
LAS lebih tinggi (1.58%) dibandingkan NDS (0.45%), Tween 80 (0.24%) dan
Brij 35 (0.22%).
DAFTAR PUSTAKA
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2001. D 1331-89. Standard Test Methods for Surface and Interfacial Tension of Solutions of Surface Active Agents. West Conshohocken, PA19428-2959, West Conshohocken: ASTM.
[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2002. D 3601-88. Standard Test Methods for Foam In Aqueous Media. West Conshohocken, PA19428-2959, West Conshohocken: ASTM.
Atkins PW. 1999. Kimia Fisik Edisi keempat Jilid 1. Irma I. Kartohadiprodjo, penerjemah. Jakarta : Erlangga. Terjemahan dari: Physical Chemistry.
Clesceri LC, Greenberg AE, Eaton AD. 2005. Standard Method for Examination of Water and Wastewater 21th .5220.C- Clossed Reflux, Titrimetri Method. APHA, AWWA, WEF.
36
Kosswig AG, Marl H. 2003. Surfactant. Di dalam: Ullmann’s. Encyclopedia of Industrial Chemistry. Volume ke-35. Ed ke-6. Jerman: Wiley-VCH. Hlm 2093-365.
Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta.
Tharwat FT. 2005. Applied Surfactants: Principles and Applications. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA.
[US EPA] United States Environmental Protection Agency. 1998. Method 1664, Revision A: n-Hexane Extractable Material (HEM; Oil and Grease) and Silica Gel Treated n-Hexane Extractable Material (SGT-HEM; Non-polar Material) by Extraction and Gravimetry. Washington DC: U.S.EPA.
[US EPA] United States Environmental Protection Agency. 1999. Method 9071B, n-Hexane Extractable Material (HEM) for Sludge, Sediment, and, Solid Samples. Washington DC: U.S.EPA.
Udiharto M. 1996. Bioremediasi Minyak Bumi. Di dalam: Prosiding Pelatihan dan Lokakarya “Peran Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan”; Cibinong, 24-28 Juni 1996. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi – Hans Seidel Foundation Jerman hlm: 24-39.
Vidali M. 2001. Bioremediation. An Overview. Department of Inorganic Chemical. University of Padova, Padova.
Zhu X, Venosa AD, Suidan MT, Lee K. 2001. Guidelines For The Bioremediation of Marine Shorelines and Freshwater Wetlands. U.S. Environmental Protection Agency, Cincinnati.
37
Lampiran 2.1 Penentuan densitas larutan LAS
[LAS] (% b/v)
Densitas larutan (g/mL) Rerata densitas (g/mL)
I II III 0.50 1.0079 1.0080 1.0080 1.0080 0.25 0.9736 0.9736 0.9736 0.9736 0.13 1.0083 1.0083 1.0084 1.0083 0.06 0.9741 0.9741 0.9741 0.9741 0.03 1.0072 1.0071 1.0072 1.0072 0.02 0.9734 0.9733 0.9735 0.9735 0.01 0.9727 0.9729 0.9728 0.9728 0.00 0.9738 0.9738 0.9739 0.9738
Lampiran 2.2 Penentuan densitas larutan NDS
[NDS] (% b/v)
Densitas larutan (g/mL) Rerata densitas (g/mL)
I II III 0.40 1.0078 1.0077 1.0077 1.0078 0.35 0.9733 0.9733 0.9733 0.9733 0.30 1.0077 1.0077 1.0077 1.0077 0.25 0.9732 0.9732 0.9731 0.9732 0.20 1.0072 1.0072 1.0072 1.0073 0.15 0.9732 0.9732 0.9731 0.9732 0.10 1.0072 1.0073 1.0073 1.0073 0.00 0.9727 0.9726 0.9727 0.9727
38
Lampiran 2.3 Penentuan densitas larutan Tween 80
[Tween 80] Densitas Tween 80 (g/mL) Densitas Tween 80 rerata
(% v/v) Ulangan
1 Ulangan
2 Ulangan
3 (g/mL) 0.0000 1.0241 1.0242 1.0242 1.0242 0.0025 1.0242 1.0243 1.0246 1.0244 0.0050 1.0234 1.0235 1.0235 1.0235 0.0075 1.0238 1.0242 1.0240 1.0240 0.0100 1.0243 1.0243 1.0244 1.0243 0.0125 1.0246 1.0245 1.0249 1.0247 0.0150 1.0246 1.0249 1.0246 1.0247 0.0175 1.0243 1.0243 1.0243 1.0243 0.0200 1.0233 1.0233 1.0235 1.0234 0.0225 1.0228 1.0232 1.0232 1.0230 0.0250 1.0228 1.0230 1.0231 1.0230 0.0275 1.0236 1.0236 1.0238 1.0237 0.0300 1.0239 1.0240 1.0240 1.0240 0.0350 1.0240 1.0241 1.0242 1.0241 0.0400 1.0240 1.0242 1.0239 1.0240
Lampiran 2.4 Penentuan densitas larutan Brij 35
[Brij 35] Densitas Brij 35 (g/mL) Densitas Brij 35 rerata
(% v/v) Ulangan
1 Ulangan
2 Ulangan
3 (g/mL) 0.0000 1.0241 1.0242 1.0242 1.0242 0.0025 1.0239 1.0237 1.0238 1.0238 0.0050 1.0236 1.0238 1.0237 1.0237 0.0075 1.0241 1.0242 1.0242 1.0242 0.0100 1.0237 1.0240 1.0238 1.0238 0.0125 1.0235 1.0237 1.0238 1.0237 0.0150 0.9720 0.9728 0.9721 0.9723 0.0175 1.0237 1.0238 1.0238 1.0238 0.0200 0.9719 0.9719 0.9718 0.9719 0.0225 1.0236 1.0238 1.0238 1.0237 0.0250 0.9714 0.9715 0.9716 0.9715 0.0275 1.0236 1.0237 1.0238 1.0237 0.0300 0.9720 0.9720 0.9723 0.9721 0.0350 1.0240 1.0239 1.0242 1.0240 0.0400 0.9716 0.9720 0.9717 0.9717
39
Lampiran 2.5 Penentuan tegangan permukaan LAS dengan metode Du Noűy
[LAS] (% b/v)
P (dyne/cm) P rerata (dyne/cm)
Fr γ = P x Fr (dyne/cm)
I II III IV V 0.50 34.5 34.5 34.3 34.7 34.6 34.52 0.8920 30.7918 0.25 34.8 34.9 34.9 35.0 35.1 34.94 0.8940 31.2364 0.13 32.3 32.8 32.3 32.9 32.8 32.62 0.8897 29.0220 0.06 32.3 32.7 32.6 32.8 32.3 32.54 0.8910 28.9931 0.03 39.9 39.1 39.9 39.9 39.6 39.68 0.8983 35.6445 0.02 60.3 60.7 60.6 60.4 60.5 60.50 0.9234 55.8657 0.01 67.5 67.5 67.9 67.3 67.9 67.62 0.9309 62.9475 0.00 77.5 77.6 77.6 77.4 77.5 77.52 0.9408 72.9308
Lampiran 2.6 Penentuan tegangan permukaan NDS dengan metode Du Noűy
Lampiran 2.7 Penentuan tegangan permukaan Tween 80 dengan metode cincin Du
Noűy [Tween 80] P (dyne/cm) P rerata Fr γ = P x Fr
(% v/v) I II III IV V (dyne/cm) (dyne/cm) 0.0000 76.70 76.70 76.70 76.20 76.70 76.60 0.9361 71.71 0.0025 76.00 76.60 76.10 76.10 76.40 76.24 0.9357 71.34 0.0050 69.50 69.60 69.40 69.10 69.80 69.48 0.9293 64.57 0.0075 68.20 68.00 68.30 68.60 68.40 68.30 0.9281 63.39 0.0100 63.40 63.40 63.40 63.60 63.50 63.46 0.9233 58.59 0.0125 62.90 62.30 62.20 62.50 62.10 62.40 0.9221 57.54 0.0150 61.10 61.60 61.70 61.60 61.70 61.54 0.9212 56.69 0.0175 54.30 54.60 54.20 53.70 54.50 54.26 0.9137 49.58 0.0200 55.30 55.60 55.50 55.70 55.70 55.56 0.9152 50.85 0.0225 62.80 62.60 62.70 62.30 62.40 62.56 0.9224 57.71 0.0250 61.60 61.90 61.70 61.80 61.60 61.72 0.9215 56.87 0.0275 62.40 62.20 62.40 62.40 62.60 62.40 0.9222 57.55 0.0300 60.00 59.80 59.70 60.00 59.60 59.82 0.9195 55.00 0.0350 57.00 57.50 57.30 57.30 57.40 57.30 0.9169 52.54 0.0400 59.40 59.40 59.20 59.30 59.60 59.38 0.9191 54.58
[NDS] (% b/v)
P (dyne/cm) P rerata (dyne/cm)
Fr γ = P x Fr (dyne/cm)
I II III IV V 0.40 33.1 33.8 33.8 33.3 33.4 33.48 0.8908 29.82 0.35 33.5 33.1 33.7 33.5 33.8 33.52 0.8923 29.91 0.30 31.5 31.5 31.3 31.1 31.6 31.40 0.8882 27.89 0.25 30.5 30.8 30.9 30.3 30.5 30.60 0.8885 27.19 0.20 28.1 28.0 28.8 28.9 28.1 28.38 0.8844 25.10 0.15 35.8 35.4 35.0 35.6 35.3 35.42 0.8947 31.69 0.10 35.9 35.4 35.3 35.7 35.5 35.56 0.8933 31.77 0.00 76.0 76.2 76.2 76.3 76.4 76.22 0.9396 71.62
40
Lampiran 2.8 Penentuan tegangan permukaan Brij 35 dengan metode cincin Du Noűy
[Brij 35] P (dyne/cm) P rerata Fr γ = P x Fr (% v/v) I II III IV V (dyne/cm) (dyne/cm) 0.0000 76.70 76.70 76.70 76.20 76.70 76.60 0.9361 71.71 0.0025 54.40 54.50 54.30 54.40 54.70 54.46 0.9139 49.77 0.0050 49.40 49.40 50.00 49.70 49.90 49.68 0.9088 45.15 0.0075 49.70 49.70 49.30 49.50 49.50 49.54 0.9086 45.01 0.0100 44.30 43.80 44.30 44.50 43.90 44.16 0.9026 39.86 0.0125 44.80 45.10 44.90 45.10 45.00 44.98 0.9036 40.64 0.0150 44.20 44.10 44.50 44.30 44.10 44.24 0.9054 40.05 0.0175 35.10 35.00 35.20 35.10 35.00 35.08 0.8921 31.29 0.0200 37.20 37.30 37.30 37.50 37.50 37.36 0.8971 33.52 0.0225 36.90 37.00 37.00 37.10 36.90 36.98 0.8943 33.07 0.0250 43.50 43.50 43.50 43.60 43.70 43.56 0.9046 39.40 0.0275 42.50 42.40 42.50 42.30 42.40 42.42 0.9007 38.21 0.0300 39.50 39.40 39.40 39.40 39.30 39.40 0.8996 35.44 0.0350 40.00 40.10 40.00 39.90 40.00 40.00 0.8979 35.91 0.0400 40.30 40.20 40.20 40.20 40.30 40.24 0.9006 36.24
Contoh perhitungan: Keliling cincin = 5.9450 r/R = 0.0187 Densitas udara = 0.0012 g/mL
( )
−+
−+=
Rr
dDCPFr 679.104534.001452.07250.0 2
( )
−+
−+= )0187.0679.1(04534.0
0012.00238.19450.546.5401452.07250.0
2xxFr
Fr = 0.9139 γ = P x Fr = 54.46 x 0.9139 = 49.77 dyne/cm
41
Lampiran 2.9 Pengukuran stabilitas emulsi LAS
Konsentrasi LAS
Kekeruhan Sebelum
Sentrifugasi
Kekeruhan Setelah Sentrifugasi
Stabilitas Emulsi
(%) (NTU) (NTU) (%) I II III Rerata I II III Rerata
0.00 663 668 661 664.0000 0.66 0.57 0.58 0.603333 0.09 0.02 758 759 754 757.0000 1.19 0.95 0.87 1.003333 0.13 0.04 836 832 837 835.0000 13.4 13.1 13.1 13.20000 1.58 0.06 923 922 918 921.0000 2.34 2.37 2.19 2.300000 0.25 0.08 963 967 953 961.0000 1.30 1.49 1.36 1.383333 0.14 0.10 931 922 919 924.0000 4.88 4.90 5.43 5.070000 0.55
Lampiran 2.10 Pengukuran stabilitas emulsi NDS
Konsentrasi NDS
Kekeruhan Sebelum
Sentrifugasi
Kekeruhan Setelah Sentrifugasi
Stabilitas Emulsi
(%) (NTU) (NTU) (%) I II III Rerata I II III Rerata
0.00 663 668 661 664.0000 0.66 0.57 0.58 0.603333 0.09 0.15 520 526 524 523.3333 2.29 2.36 2.34 2.330000 0.45 0.18 454 457 457 456.0000 0.62 0.69 0.73 0.680000 0.15 0.20 553 552 544 549.6667 0.69 0.64 0.67 0.666667 0.12 0.23 621 620 622 621.0000 0.7 0.72 0.67 0.696667 0.11 0.25 511 519 519 516.3333 0.56 0.55 0.53 0.546667 0.11
Lampiran 2.11 Pengukuran stabilitas emulsi Tween 80 [Tween 80] Kekeruhan sebelum Rerata Kekeruhan setelah Rerata Stabilitas
sentrifugasi (NTU) (NTU) sentrifugasi (NTU) (NTU) emulsi (% v/v) I II III I II III (%) 0.0000 488 489 481 486 0.11 0.10 0.12 0.11 0.02 0.0125 732 737 738 736 0.20 0.21 0.25 0.22 0.03 0.0150 555 534 558 549 0.79 0.74 0.75 0.76 0.14 0.0175 412 418 416 415 0.97 1.00 1.02 1.00 0.24 0.0200 622 624 625 624 0.56 0.56 0.56 0.56 0.09 0.0225 382 384 383 383 0.30 0.29 0.31 0.30 0.08
42
Lampiran 2.12 Pengukuran stabilitas emulsi Brij 35
[Brij 35] Kekeruhan sebelum Rerata Kekeruhan setelah Rerata Stabilitas sentrifugasi (NTU) (NTU) sentrifugasi (NTU) (NTU) emulsi
(% v/v) I II III I II III (%) 0.0000 488 489 481 486 0.11 0.10 0.12 0.11 0.02 0.0125 473 476 474 474 0.57 0.57 0.57 0.57 0.12 0.0150 674 674 672 673 1.48 1.44 1.50 1.47 0.22 0.0175 538 536 540 538 0.17 0.18 0.20 0.18 0.03 0.0200 507 505 510 507 0.21 0.18 0.20 0.20 0.04 0.0225 563 569 567 566 0.15 0.16 0.17 0.16 0.03
Contoh perhitungan:
% Stabilitas emulsi = emulsiawalturbiditasemulsiakhirturbiditas X 100%
% Stabilitas emulsi = 673
47.1 X 100%
% Stabilitas emulsi = 0.22 % Lampiran 2.13 Standardisasi larutan FAS 0.5000 N dengan larutan K2Cr2O7
0.0250 N
Ulangan Meniskus Awal (mL)
Meniskus Akhir (mL)
Volume Terpakai (mL)
Volume K2Cr2O7
Konsentrasi FAS (mL)
1 1.7 6.9 5.2 10 0.0485 2 6.9 12.1 5.2 10 0.0485 3 12.1 17.4 5.3 10 0.0475
0.0482
Contoh perhitungan:
VFAS x N FAS = VK2Cr2O7 x N
5.2 mL x N K2Cr2O7
FAS
= 10 mL x 0.0252 N
N FAS mL
NxmL2.5
0252.010 =
N FAS
= 0.0482 N
43
Lampiran 2.14 Pengukuran busa LAS
Konsentrasi LAS 0.10% t=26.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 11.4 11 6 5.4 5 2 11.3 10.7 6.2 5.1 4.5 3 11.4 11 5.9 5.5 5.1
5.3 4.9
Konsentrasi LAS 0.08% t=27.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 10.3 9.8 6.4 3.9 3.4 2 9.8 9.1 6.1 3.7 3 3 10.2 9.5 6.3 3.9 3.2
3.8 3.2
Konsentrasi LAS 0.06% t=27.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 9.7 9.3 6.2 3.5 3.1 2 9.6 9.1 6.4 3.2 2.7 3 9.4 8.8 6.3 3.1 2.5
3.3 2.8
Konsentrasi LAS 0.04%
t=27.0°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I
1 8.8 8.3 6.1 2.7 2.2 2 8.4 8.4 6 2.4 2.4 3 8.7 8.8 6.2 2.5 2.6
2.5 2.4
Konsentrasi LAS 0.02% t=26.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 7.5 7 6.1 1.4 0.9 2 7.6 7.2 6.3 1.3 0.9 3 7.2 6.9 6.2 1 0.7
1.2 0.8
44
Lampiran 2.15 Pengukuran busa NDS
Konsentrasi NDS 0.25% t=25.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 17.8 15.8 6 11.8 9.8 2 18.3 16.2 6 12.3 10.2 3 17.8 15.5 6.5 11.3 9
11.8 9.7
Konsentrasi NDS 0.23% t=25.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 14.1 13.2 6 8.1 7.2 2 14.4 12.8 6 8.4 6.8 3 14.7 13.4 6.5 8.2 6.9
8.2 7.0
Konsentrasi NDS 0.20% t=25.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 13.2 11.5 6.5 6.7 5 2 12.9 11.5 6 6.9 5.5 3 13.1 12.4 6.5 6.6 5.9
6.7 5.5
Konsentrasi NDS 0.18% t=26.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I 1 12.9 11 6.1 6.8 4.9 2 12.6 10.7 6.4 6.2 4.3 3 12.3 10.8 6.1 6.2 4.7
6.4 4.6
Konsentrasi NDS 0.15%
t=25.5°C
Ulangan M (cm) R (cm) I (cm) FM=M-I FR=R-I
1 11.7 10.8 6.4 5.3 4.4 2 11.3 10.7 6.1 5.2 4.6 3 10.8 10.4 6.3 4.5 4.1
5.0 4.4
45
Lampiran 2.16 Pengukuran busa Tween 80 [Tween 80] Ulangan I M R FM FM rerata FR FR rerata
(% v/v) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) 0.0125 1 57 80 77 23 23 20 20
2 57 79 76 22 19 3 57 80 77 23 20
0.0150 1 56 81 77 25 24 21 21 2 57 79 77 22 20 3 56 80 77 24 21
0.0175 1 57 82 78 25 25 21 21 2 57 82 78 25 21 3 57 81 77 24 20
0.0200 1 57 84 80 27 26 23 23 2 57 83 81 26 24 3 57 83 79 26 22
0.0225 1 57 85 80 28 27 23 23 2 57 84 79 27 22 3 56 83 79 27 23
Lampiran 2.17 Pengukuran busa Brij 35
[Brij 35] Ulangan I M R FM FM rerata FR FR rerata (% v/v) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) 0.0125 1 57 79 77 22 22 20 20
2 57 79 78 22 21 3 57 78 76 21 19
0.0150 1 56 78 76 22 22 20 20 2 56 78 76 22 20 3 56 78 76 22 20
0.0175 1 57 80 78 23 23 21 21 2 57 79 77 22 20 3 57 80 78 23 21
0.0200 1 56 79 76 23 24 20 21 2 56 80 77 24 21 3 56 80 77 24 21
0.0225 1 57 82 79 25 26 22 23 2 57 83 80 26 23 3 57 83 80 26 23
Keterangan: FM M : Tinggi total maksimum busa pada
: Tinggi busa maksimum
waktu nol I : Tinggi awal cairan FR R : Tinggi total busa setelah 5 menit
: Tinggi busa tersisa setelah 5 menit
T : 26 º C
46
Contoh perhitungan: FM F
= M - I M
F= (79 – 57) mm
M
= 22 mm
FR F
= R – I R
F= (77 – 57) mm
R
= 20 mm
Lampiran 2.18 Pengukuran TPH fasa padat pada sampel awal
Ulangan TPH (%)
1 17.45 2 16.99
17.22 Contoh perhitungan:
%TPH (g/g) = sampelbobot
yakbobot min X 100%
%TPH (g/g) = gramgram
2000.107799.1 X 100%
%TPH (g/g) = 17.45 %
Lampiran 2.19 Pengukuran pH sebelum dan setelah pengadukan pada LAS dan
NDS
Laju pH sebelum pengadukan pH setelah pengadukan Pengadukan
(rpm) Blanko 0.04%
LAS 0.15% NDS
Blanko 0.04% LAS
0.15% NDS
100 6 5 5 6 5 5 120 5 6 6 5 5 5 140 5 6 6 5 5 5
Lampiran 2.20 Pengukuran pH sebelum dan setelah pengadukan pada Tween 80 dan Brij 35
Laju pH sebelum Pengadukan pH sesudah Pengadukan pengadukan Blanko Tween 80 Brij 35 Blanko Tween 80 Brij 35
(rpm) 0.0175% 0.0150% 0.0175% 0.0150% 100 4 4 4 4 3 3 120 4 4 4 4 4 4 140 4 4 4 4 4 4
47
Lampiran 2.21 Pengukuran TPH fasa cair dengan penambahan LAS 0.04%
Laju Pengadukan
Ulangan TPH (%)
Rerata TPH (%)
Keterangan
(rpm)
100
1 0.5514 0.52 Blanko 2 0.4792
1 0.6708 0.68 Sampel 2 0.6848
120
1 0.5586 0.57 Blanko 2 0.5826
1 0.7138 0.72 Sampel 2 0.7178
140
1 0.7230 0.70 Blanko 2 0.6790
1 1.4940 1.33 Sampel 2 1.1590
Contoh perhitungan:
%TPH (g/mL) = sampelvolume
yakbobot min X 100%
%TPH (g/mL) = mLgram
502757.0
X 100%
%TPH (g/mL) = 0.55%
Lampiran 2.22 Pengukuran TPH fasa cair dengan penambahan NDS 0.15%
Laju Pengadukan
Ulangan TPH (%)
Rerata TPH (%)
Keterangan
(rpm)
100
1 0.5514 0.52 Blanko 2 0.4792
1 0.8556 0.80 Sampel 2 0.7404
120
1 0.5586 0.57 Blanko 2 0.5826
1 0.9604 1.00 Sampel 2 1.0524
140
1 0.7230 0.70 Blanko 2 0.6790
1 1.6514 1.68 Sampel 2 1.7110
48
Lampiran 2.23 Pengukuran TPH fasa cair setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Brij 35
Laju Sampel Ulangan TPH TPH rerata pengadukan (rpm) (% b/v) (% b/v)
100 Blanko 1 0.09 0.10 2 0.11 Tween 80 1 0.25 0.25 2 0.25 Brij 35 1 0.39 0.36 2 0.34
120 Blanko 1 0.19 0.17 2 0.15 Tween 80 1 0.35 0.32 2 0.29 Brij 35 1 0.63 0.55 2 0.47
140 Blanko 1 0.24 0.24 2 0.23 Tween 80 1 0.41 0.40 2 0.39 Brij 35 1 0.79 0.74 2 0.70
Lampiran 2.24 Pengukuran TPH fasa padat dengan penambahan LAS 0.04%
Laju Pengadukan
Ulangan TPH (%)
Rerata TPH
Keterangan
(rpm) (%)
100
1 13.20 13.18 Blanko 2 13.15
1 11.10 11.08 Sampel 2 11.05
120
1 13.11 13.11 Blanko 2 13.12
1 10.90 10.94 Sampel 2 10.97
140
1 12.51 12.49 Blanko 2 12.48
1 10.25 10.20 Sampel 2 10.15
49
Lampiran 2.25 Pengukuran TPH fasa padat dengan penambahan NDS 0.15%
Laju
Pengadukan Ulangan TPH
(%) Rerata TPH
Keterangan
(rpm) (%)
100
1 13.20 13.18 Blanko 2 13.15
1 10.98 11.00 Sampel 2 11.01
120
1 13.11 13.11 Blanko 2 13.12
1 10.83 10.80 Sampel 2 10.78
140
1 12.51 12.49 Blanko 2 12.48
1 9.08 9.12 Sampel 2 9.17
Lampiran 2.26 Pengukuran TPH fasa padat setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Brij 35
Laju pengadukan
(rpm)
Sampel Ulangan TPH
TPH rerata
(% b/b) (% b/b) 100 Blanko 1 16.68 16.29
2 15.89 Tween 80 1 13.32 13.13 2 12.94 Brij 35 1 16.71 16.91 2 17.11
120 Blanko 1 16.84 16.13 2 15.42 Tween 80 1 18.10 16.69 2 15.27 Brij 35 1 16.79 16.75 2 16.71
140 Blanko 1 16.14 16.10 2 16.05 Tween 80 1 15.84 15.56 2 15.29 Brij 35 1 16.04 16.55 2 17.05
27
50
Lampiran 2.27 Pengukuran COD dengan penambahan LAS 0.04%
Laju Pengadukan
Ulangan Volume FAS awal (mL)
Volume FAS akhir (mL)
Volume FAS terpakai (mL)
Volume Sampel
COD (mg/mL)
Rerata COD
Keterangan
(rpm) (mL) (mg/mL)
100
1 14.2 23.5 9.3 10 1928 2169 Blanko 2 23.5 32.7 9.2 10 2410
1 0.0 9.0 9.0 10 3374 3133 Sampel 2 9.0 18.1 9.1 10 2892
120
1 33.8 42.2 8.4 10 6266 6025 Blanko 2 17.1 25.6 8.5 10 5784
1 0.0 8.2 8.2 10 7230 6989 Sampel 2 8.2 16.5 8.3 10 6748
140
1 43.2 48.7 5.5 10 20244 20485 Blanko 2 25.6 31.0 5.4 10 20726
1 12.5 15.2 2.7 10 33740 33499 Sampel 2 31.0 33.8 2.8 10 33258
51
Lampiran 2.28 Pengukuran COD dengan penambahan NDS 0.15%
Contoh perhitungan:
Volume FAS (Ferro ammonium sulfat) untuk titrasi blanko (A) = 9.7 mL
Volume FAS untuk titrasi sampel (B) = 7.7 mL
Faktor pengenceran = 125 kali
COD (mg/mL) = ( )
( ) xfpmLSampelVolume
oksigenBExxNxBA 1000−
= ( ) 125
10810000482.07.77.9 x
mLxxx−
= 9640 mg/mL
Laju Pengadukan
Ulangan Volume FAS awal (mL)
Volume FAS akhir (mL)
Volume FAS terpakai (mL)
Volume Sampel
COD (mg/mL)
Rerata COD
Keterangan
(rpm) (mL) (mg/mL)
100
1 14.2 23.5 9.3 10 1928 2169 Blanko 2 23.5 32.7 9.2 10 2410
1 18.1 25.8 7.7 10 9640 9881 Sampel 2 25.8 33.4 7.6 10 10122
120
1 33.8 42.2 8.4 10 6266 6025 Blanko 2 17.1 25.6 8.5 10 5784
1 16.5 23.2 6.7 10 14460 14701 Sampel 2 23.2 29.8 6.6 10 14942
140
1 43.2 48.7 5.5 10 20244 20485 Blanko 2 25.6 31.0 5.4 10 20726
1 10.3 12.5 2.2 10 36150 35909 Sampel 2 14.5 16.8 2.3 10 35668
52
Lampiran 2.29 Pengukuran COD setelah pengadukan dengan penambahan surfaktan Tween 80 dan Brij 35
Laju pengadukan
(rpm)
Sampel Ulangan Volume FAS 0.05 N
Volume FAS 0.05 N
Volume FAS 0.05 N
Volume sampel COD
(mg/ml)
COD rerata
(mg/ml) awal (ml) akhir (ml) terpakai (ml) (ml) 100 Blanko 1 20.20 26.85 6.65 10 16292 16171
2 26.85 33.55 6.70 10 16051 Tween 80 1 12.20 18.70 6.50 10 17015 16774 2 18.70 25.30 6.60 10 16533 Brij 35 1 25.30 31.80 6.50 10 17015 17256 2 31.80 38.20 6.40 10 17497
120 Blanko 1 23.45 28.85 5.40 10 22317 24245 2 28.85 33.45 4.60 10 26173 Tween 80 1 24.20 28.25 4.05 10 28824 28342 2 28.25 32.50 4.25 10 27860 Brij 35 1 39.60 43.65 4.05 10 28824 28462 2 43.65 47.85 4.20 10 28101
140 Blanko 1 20.30 23.30 3.00 10 33885 33041 2 23.35 26.70 3.35 10 32198 Tween 80 1 11.90 13.35 1.45 10 41356 41235 2 13.35 14.85 1.50 10 41115 Brij 35 1 17.50 18.95 1.45 10 41356 41717 2 19.00 20.30 1.30 10 42079
Contoh perhitungan: Volume FAS (Ferro ammonium sulfat) untuk titrasi blanko (A) = 10.03 mL Volume FAS untuk titrasi sampel (B) = 5.40 mL Faktor pengenceran = 125 kali COD (mg/L) = ( )
( ) xfpmLsampelVolume
oksigenBExxNxBA 1000−
COD (mg/L) = ( ) 12510
810000482.040.503.10 xmL
xxx−
COD (mg/L) = 22317 mg/L
53
Lampiran 2.30 Uji ANOVA nilai TPH fasa cair LAS dan NDS
MTB > AOVOneway 'LAS' 'NDS'; SUBC> CIMean 99.0. One-way ANOVA: LAS, NDS Source DF SS MS F P Factor 1 0.1258 0.1258 4.35 0.172 Error 2 0.0579 0.0289 Total 3 0.1837 S = 0.1701 R-Sq = 68.49% R-Sq(adj) = 52.73% Individual 99% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev --------+---------+---------+---------+- LAS 2 1.3265 0.2369 (----------------*----------------) NDS 2 1.6812 0.0421 (----------------*----------------) --------+---------+---------+---------+- 0.70 1.40 2.10 2.80 Pooled StDev = 0.1701 Hipotesis: H0 : LAS = NDS H1 : LAS ≠ NDS α = 1% H0 diterima jika p value > α H1 diterima jika p value < α Nilai p value = 0.172 Nilai p value > α (0.172 > 0.01), sehingga H0 diterima. Simpulan: Nilai TPH fasa cair LAS dan NDS memberikan hasil yang tidak berbeda nyata.
BAB III
BIOREMEDIASI TANAH TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT MENGGUNAKAN KONSORSIUM BAKTERI
DENGAN TEKNIK BIOSLURRY DAN LANDFARMING
ABSTRAK
Bioremediasi limbah minyak berat telah dilakukan dengan menggunakan konsorsium bakteri dengan teknik bioslurry dan landfarming. Teknik bioslurry dilakukan dengan mencampurkan limbah minyak berat dan air pada perbandingan 4:25, ditambahkan starter konsorsium bakteri (bioaugmentasi) sebanyak 10% (v/v). Parameter yang diamati adalah pertumbuhan bakteri, pH, TPH pada fasa padat dan TPH pada fasa cair setiap 3 hari sekali selama 1 bulan. Teknik landfarming dilakukan dengan mencampurkan limbah minyak berat, tanah liat dan kompos dengan berbagai perbandingan dan menambahkan 10% (v/v) konsorsium bakteri. Setiap minggu selama 4 bulan dilakukan pengamatan kadar air, pH, populasi bakteri, TPH fasa padat dan cair serta produksi gas yang dihasilkan selama proses biodegradasi berlangsung. Komposisi hidrokarbon pada limbah minyak berat sebelum dan sesudah bioremediasi ditetapkan dengan menggunakan peralatan GC-MS. Dari hasil penelitian yang dilakukan dengan teknik bioslurry, bakteri dapat tumbuh dengan baik mencapai 3.47 x 1010 CFU/mL, pada kondisi pH yang berkisar diantara 7.5 sampai 8.5. Selama 1 bulan pengamatan persentasi TPH turun sampai mencapai 0.11% berada jauh dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm atau 1 %. Sebaliknya dengan teknik landfarming sampai 4 bulan pengamatan, persentase TPH masih cukup tinggi yaitu 5.58%. Hal ini mengindikasikan bahwa proses biodegradasi berjalan lambat sejalan dengan perkembangan bakteri yang tidak tumbuh dengan baik, pH yang tidak optimal serta kadar air yang rendah. Akan tetapi walaupun lambat, proses biodegradasi tetap berlangsung dengan ditunjukkan oleh produksi gas CO2 dan NH3
selama pengamatan. Keberlangsungan proses biodegradasi juga didukung oleh data GC-MS yang menunjukkan bahwa setelah 4 bulan proses bioremediasi, teridentifikasi senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-12 yang pada awalnya terdiri dari senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-35.
57
PENDAHULUAN
Teknik bioremediasi dapat dilaksanakan secara in-situ maupun cara ex-situ.
Teknik bioremediasi in-situ umumnya diaplikasikan pada lokasi tercemar ringan,
lokasi yang tidak dapat dipindahkan, atau karakteristik kontaminan yang volatil.
Bioremediasi ex-situ merupakan teknik bioremediasi dengan cara lahan atau air
yang terkontaminasi diangkat, kemudian diolah dan diproses pada lahan khusus
yang disiapkan untuk proses bioremediasi. Penanganan semacam ini lebih aman
terhadap lingkungan karena agen pendegradasi yang dipergunakan adalah
mikroba yang dapat terurai secara alami (Budianto 2008).
Bioremediasi secara ex-situ dapat dilakukan dengan teknik landfarming dan
bioslurry. Landfarming merupakan salah satu kategori jenis bioremediasi ex-situ
dimana dapat mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk pembersihan lahan
yang terkontaminasi dibandingkan dengan secara fisika, kimia, dan biologi.
Teknik landfarming ini membutuhkan penggalian dan penempatan pada
tumpukan-tumpukan. Tumpukan-tumpukan itu secara berkala dipindahkan untuk
dicampur dan diatur kelembabannya. Pengaturan pH tanah dan penambahan
nutrisi dibutuhkan untuk meningkatkan aktivitas biologi (Poon 1996). Menurut
Garcia et al. (2005), teknik landfarming merupakan metode yang seringkali
dipilih untuk tanah yang terkontaminasi hidrokarbon, karena relatif lebih murah,
dan berpotensi tinggi berhasil. Bioremediasi dengan teknik landfarming telah
dilakukan untuk mengatasi tanah tercemar limbah minyak berat pada industri
minyak PT CPI. Menggunakan mikroba indigen dibutuhkan waktu ± 8 bulan
untuk menurunkan TPH sampai sekitar 4%, yang selanjutnya mikroba ini tidak
mampu lagi untuk menurunkan TPH sampai 1%, sesuai Keputusan MenLH no.
128 Tahun 2003. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan
teknik bioremediasi yang efektif dengan modifikasi yang dilakukan untuk
mengatasi limbah minyak berat yang semakin lama semakin menumpuk dengan
menggunakan konsorsium bakteri yang diperoleh dari limbah minyak berat dan
kotoran hewan.
Kotoran hewan merupakan bahan aktif, yang banyak mengandung mikroba.
Selain kaya akan mikroba perombak, kotoran hewan juga memiliki kandungan
58
nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan mikroba. Secara umum, kotoran segar
hewan mengandung 70 – 80% air, 0.3 – 0.6% nitrogen, 0.1 – 0.4% fosfor dalam
bentuk P2O5, 0.3 – 1.0% kalium dalam bentuk K2
Teknik bioslurry menggunakan bioreaktor berupa bejana (container) atau
reaktor yang digunakan untuk perlakuan terhadap cairan atau bubur (slurry)
Slurry bioreaktor tidak hanya digunakan untuk mendegradasi limbah berbentuk
fase cairan dan slurry namun juga limbah padat/tanah. Menurut Banerji (1997)
fase slurry dapat diperoleh dari limbah padat/tanah yang dicampurkan air
sehingga slurry memiliki tingkat kepadatan 10-40%. Slurry ini kemudian
disimpan dalam bioreaktor. Dalam bioreaktor slurry akan diberikan nutrisi dalam
kondisi lingkungan yang terkontrol agar mikroba dapat melakukan proses
degradasi dengan baik. Selain penambahan nutrisi, ke dalam reaktor diberikan
suplai udara atau oksigen untuk menjaga agar kondisi aerobik pada bioreaktor
tetap terjaga. Selain itu juga dilakukan pengadukan secara mekanik atau
pneumatik. Keuntungan proses bioremediasi dengan menggunakan slurry
bioreaktor adalah mempercepat proses transfer massa antara fase padat dan cair;
kontrol lingkungan seperti nutrisi, pH, dan suhu dapat berlangsung dengan baik;
mudah dalam memelihara tingkat penerimaan elektron dalam reaktor; dan
berpotensial dalam mencegah kontaminasi oleh mikroba pengganggu.
O (Waksman 1957 dalam
Anggraeni 2003). Beberapa spesies bakteri yang terkandung dalam limbah
kotoran sapi (Bawono 1988 dalam Srimulyati 2000) antara lain Escherichia coli,
Citrobacter freundii, Pseudomonas putrefasciens, Enterobacter cloacae, Proteus
morganii, Salmonella spp, Enterobacter aerogenes, Flavobacterium,
Pseudomonas fluorescens, dan Providencia alcalifasciens. Menurut Norman
(1985), mikroba yang terkandung di dalam sekum, kolon, dan tinja ternak kuda
antara lain Entamoeba caprae, Calismatix equi, dan Entamoeba equi. Bahan
organik penting dalam meningkatkan produktivitas tanah dan merupakan sumber
kehidupan bagi bermacam-macam mikroba. Komposisi kimia kotoran kuda,
ditemukan kandungan protein dalam jumlah rendah namun kandungan selulosa
dan hemiselulosanya tinggi. Berbeda dengan kotoran sapi yang cenderung
memiliki komposisi kandungan hemiselulosa, selulosa, lignin, total protein, dan
kadar abu yang seimbang (Waksman 1957 dalam Anggraeni 2003).
59
Landfarming dan slurry bioreaktor merupakan salah satu teknologi
bioremediasi yang terus dikembangkan hingga saat ini. Metode landfarming
maupun slurry bioreaktor dapat mereduksi dampak pencemaran limbah minyak
bumi karena bioremediasi merupakan metode alternatif yang aman dimana
polutan (hidrokarbon) dapat diuraikan oleh mikroba menjadi bahan yang tidak
berbahaya seperti CO2 dan H2
O. Baik landfarming maupun slurry bioreaktor
memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Untuk itu perlu dikaji
metoda mana yang lebih efektif dalam menangani limbah minyak bumi ini.
Seberapa efektif bioremediasi dalam merombak hidrokarbon dari limbah minyak
bumi pada fase slurry dan fase padat merupakan permasalahan yang perlu
diketahui dan dikembangkan.
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tanah tercemar
limbah minyak berat yang diperoleh dari industri perminyakan, konsorsium
mikroba yang berasal dari limbah minyak berat dan kotoran hewan (sapi dan
kuda) yang diambil dari Fakultas Peternakan IPB, urea, SP36, glukosa, NaOH,
CaCO3 teknis, air laut, marine agar, nutrient broth, heksana, Na2SO4
Prosedur Analisis
, silika gel,
dan akuades. Peralatan yang digunakan meliputi rotary evaporator, seperangkat
alat Soxhlet, oven, sentrifus, autoclave, inkubator, cawan petri, mikropipet,
tabung ulir, erlemeyer 500 mL, spektrofotometer, GC-MS dan peralatan gelas
lainnya.
Pengembangan Konsorsium Bakteri
Pengembangan konsorsium bakteri menggunakan kotoran sapi dan kuda
(segar) dilakukan dalam media kaya dan media minimal. Sebanyak 400 g contoh
kotoran sapi dan kuda dilarutkan dalam 4 L air laut dalam ember dan ke dalamnya
ditambahkan 200 g gula, 20 g urea, 2 g SP36. Contoh disimpan di laboratorium
pada temperatur ruang (25-27 oC) dan diaerasi selama 1 minggu. Setiap hari
60
dilakukan pengukuran pH contoh, bila pH terlalu asam atau terlalu basa
ditambahkan H2SO4
Bioremediasi dengan teknik bioslurry
6 N atau NaOH 6 N sampai pH normal. Konsorsium segar
ini dimasukkan kedalam media minimal yang terdiri dari air laut sebanyak 4 liter
dan ditambahkan dengan solar 5 % (v/v), 8 g urea, 0.8 g SP36 dan diaerasi selama
3 minggu. Setiap hari diamati pH dan setiap minggu diamati TPC. Konsorsium
bakteri dari kotoran sapi dan kuda (stater) ini digunakan pada proses bioremediasi
dengan teknik bioslurry dan landfarming.
Bioremediasi dengan teknik bioslurry dilakukan dengan mencampurkan
limbah minyak berat dan air dengan perbandingan 4 : 25 pada bioreaktor yang
bervolume 50 liter. Sebanyak 10% konsorsium bakteri dan 0.04% surfaktan LAS
dimasukkan ke dalam reaktor dan dilakukan pengadukan (K5). Hal yang sama
juga dilakukan untuk kontrol (D5), tanpa penambahan konsorsium bakteri. Aerasi
diberikan dengan menggunakan aerator. Bahan lain yang turut dicampurkan pada
bioslurry tersebut yaitu urea dan SP 36. Setiap 3 hari selama 1 bulan dilakukan
penyamplingan dan dianalisa jumlah koloni (TPC), pH, TPH fasa padat dan TPH
fasa cair.
Bioremediasi dengan teknik landfarming
Konsorsium bakteri yang telah digunakan dalam mendegradasi limbah
minyak berat dengan teknik bioslurry diuji juga kemampuannya dengan
menggunakan teknik landfarming. Landfarming yang dilakukan adalah dengan
sistem tertutup menggunakan wadah plastik tertutup. Pengerjaan dilakukan secara
duplo dan waktu pengambilan sampel dilakukan sekali seminggu selama 4 bulan
pengamatan. Perlakuan penelitian dengan teknik landfarming bertujuan untuk
mendapat media pencampur yang efisien dengan komposisi yang terdapat pada
Tabel 3.1.
61
Tabel 3.1 Komposisi bioremediasi dengan teknik landfarming
Kode Komposisi (kg) Keterangan LMB Tanah Liat Kompos K 10 0 0 Tanpa penambahan bakteri A 10 0 0 Dengan penambahan bakteri B 5 0 5 Dengan penambahan bakteri C 5 5 0 Dengan penambahan bakteri D 5 2.5 2.5 Dengan penambahan bakteri
Keterangan: K = Kontrol B = LMB + Kompos LMB = Limbah Minyak Berat C = LMB + Tanah liat A = LMB D = LMB + Kompos +Tanah liat Tanah liat yang digunakan adalah tanah yang tidak tercemar limbah minyak
berat yang berasal dari sekitar ladang minyak Duri PT CPI. Sedangkan kompos
yang digunakan adalah kompos yang memiliki komposisi: pupuk kandang,
kotoran cacing, tanah humus, jerami, sekam, dan fermentasi EM4. Aerasi
dilakukan dengan menggunakan aerator. Sampling tanah (padatan) dan udara
dilakukan setiap minggu. Terhadap sampel tanah di analisa pH, kadar air, TPC,
TPH, dan komposisi senyawa hidrokarbon. Sedangkan sampel udara dilakukan
analisa kandungan CO2 dan NH3
.
Pencuplikan Gas
Peralatan pencuplikan disiapkan, tabung impinger diisi dengan larutan
penjerapnya masing-masing sebanyak 10 mL. Laju alirnya ditentukan dengan alat
flow meter sebesar 0.2 L/menit. Pencuplikan dilakukan selama 1 jam, dan setelah
itu larutan penjerap yang telah berisi gas dimasukkan ke dalam botol film, lalu
impinger dibilas dengan akuades. Pencuplikan gas seperti ditunjukkan pada
Gambar 3.1.
62
Gambar 3.1 Pencuplikan gas CO2 dan NH3 bioremediasi dengan teknik landfarming
selama proses
Analisis Gas CO2
Sampel yang berupa larutan penjerap berisi gas dimasukkan ke dalam
erlenmeyer dan ditambahkan indikator PP, kemudian dititrasi dengan HCl 0.025
N yang telah distandardisasi terlebih dahulu. Larutan penjerap CO
(Eaton et al. 2005)
2 diambil
sebanyak 10 mL dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan
indikator PP dan dititrasi dengan HCl 0.025 N. Larutan penjerap CO2 yaitu
larutan Na2CO3
Keterangan: A = mL HCl yang terpakai (blanko)
0,0245% (b/v) digunakan sebagai blanko.
B = mL HCl yang terpakai (sampel) V = Volume dalam liter [Laju alir x t (menit)]
= mg sampel yang didapat Analisis Gas NH3
Gas NH
(Lodge 1989)
3 ditentukan dengan metode indofenol, prinsipnya ialah
mereaksikan gas NH3 dengan senyawa fenol dan alkalin sitrat yang akan
memproduksi senyawa kompleks biru indofenol yang akan diukur serapannya
dengan spektrofotometer pada λ 635.5 nm. Deret standar dibuat dengan
memasukkan 0.05, 0.1, 0.2, 0.3, 0.4, 0.8, dan 1. 2 mL larutan induk standar
63
dengan konsentrasi 2 mg/L ke dalam labu takar 25 mL. Larutan penjerap NH3
(H2SO4 0.1N) ditambahkan sebanyak 5 mL, natrium fenolat sebanyak 1 mL,
larutan nitroprussida sebanyak 1 mL dan larutan pengoksidasi sebanyak 2.5 mL
kemudian ditera dengan akuades. Sampel dimasukkan ke dalam labu takar 25 mL
dan diperlakukan sama seperti standar. Larutan standar dan sampel dibiarkan
selama 1 jam dan dibaca nilai serapannya pada λ 635.5 nm dengan peralatan
spektrofotometer UV. Nilai NH3
dihitung dengan rumus:
Keterangan V = Volume dalam liter [laju alir x t (menit)] = µg sampel yang didapat dari kurva kalibrasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bioremediasi dengan Teknik Bioslurry
Aplikasi biodegradasi limbah minyak berat menggunakan metode bioslurry
dilakukan selama 1 (satu) bulan. Selama dalam jangka waktu 1 bulan setiap 3 hari
sekali dilakukan penyamplingan dan diamati : pH, pertumbuhan bakteri, dan TPH
(baik padat maupun cair). Penambahan LMB 5 % (b/v) pada K5 dan D5
didasarkan pada penelitian yang dilakukan Wulandari (2010). Penggunaan
Konsorsium mikroba kotoran sapi dan kuda pada penambahan LMB 5 % (b/v)
lebih baik dibandingkan dengan dengan 10%. Persen degradasi TPH pada
penambahan LMB 5% lebih tinggi dibandingkan dengan LMB 10%. Hal ini
karena toksisitas yang rendah pada LMB 5 %. Eris (2006) juga menyatakan bahwa
penambahan limbah minyak diesel yang optimum pada teknik bioslurry didapat
pada kandungan 9.09%, karena limbah minyak diesel mengandung minyak bumi
fraksi ringan.
Bioremediasi dengan teknik bioslurry dilakukan dengan mencampurkan
limbah minyak berat dan air dengan perbandingan 4 : 25. Banerji (1997)
menyatakan bahwa fase slurry dapat diperoleh dari limbah padat/tanah yang
dicampurkan air sehingga slurry memiliki tingkat kepadatan 10-40%. Degradasi
hidrokarbon pada persen padatan kurang dari 10% dan lebih dari 40% mengalami
penurunan, hal ini disebabkan karena pada persen padatan kurang dari 10% tidak
64
dapat dikatakan sebagai fase slurry namun berupa fase cair sedangkan persen
padatan lebih dari 40% sifatnya cenderung kental sehingga sulit untuk dilakukan
agitasi menggunakan shaker akibatnya kandungan oksigen pada keadaan ini
sangat rendah. Berikut ini merupakan aplikasi bioslurry setelah pencampuran
limbah minyak berat dengan air.
Gambar 3.2 Proses bioremediasi dengan teknik bioslurry dari limbah
minyak berat pada hari ke-3
Bioslurry yang telah ditambahkan konsorsium menampakkan butiran-
butiran minyak pada permukaan slurry sedangkan pada kontrol tidak terlihat
sama sekali minyak yang keluar dari limbah minyak berat (Gambar 3.2).
Keluarnya minyak dari limbah minyak berat merupakan kontribusi dari bakteri
yang telah dicampurkan sebelumnya. Bakteri menghasilkan biosurfaktan yang
dapat membuat minyak bumi fraksi berat yang terdapat dalam limbah terdispersi
ke dalam air, hal ini akan mempermudah kerja bakteri untuk mendegradasi
senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam minyak bumi fraksi berat tersebut.
Penambahan surfaktan mempercepat limbah minyak berat untuk terdispersi ke
dalam air. Rosenberg dan Ron (1996) mengemukakan bahwa biodegradasi
hidrokarbon minyak bumi terjadi bila mikroba menempel di permukaan butiran-
butiran minyak karena enzim oksigenase dibutuhkan untuk memecah rantai
karbon sifatnya terikat pada membran sel.
Keterangan : K5 = Bioslurry tanpa penambahan konsorsium bakteri (kontrol) D5 = Bioslurry dengan penambahan konsorsium bakteri
K5
minyak
D5
65
Pertumbuhan Bakteri
Bakteri merupakan faktor penting dalam proses biodegradasi, baik itu
bakteri indigen maupun bakteri yang telah dikembangkan sendiri. Konsorsium
bakteri yang berasal dari starter (bakteri yang dikembangkan sendiri) dan bakteri
indigen yang terdapat dalam limbah minyak berat sangat berperan dalam proses
biodegradasi. Pertumbuhan konsorsium bakteri lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol sebagaimana yang terlihat pada Gambar 3.3.
Gambar 3.3 Pertumbuhan populasi bakteri selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry.
Pada Gambar 3.3 populasi bakteri per ml menunjukkan peningkatan
pertumbuhan bakteri. Peningkatan jumlah sel ini merupakan indikasi bahwa
bakteri tumbuh dengan mengkonsumsi sumber karbon dari hidrokarbon.
Sedangkan adanya peningkatan jumlah sel bakteri pada kontrol dikarenakan
adanya bakteri yang dapat hidup namun tidak secara efektif menggunakan
hidrokarbon sebagai sumber makanannya.
Pengontrolan pH
Selama proses aplikasi bioslurry berlangsung, dilakukan pengontrolan pH
untuk mempertahankan kondisi optimum bakteri dalam mendegradasi
hidrokarbon. Bakteri dapat optimum mendegradasi senyawa hidrokarbon pada pH
6-8. Jika pH pada bioslurry bernilai di bawah 6 maka ditambahkan NaOH
sehingga pH naik menjadi 7 atau 8. Pada bioslurry dengan menggunakan
0
2
4
6
8
10
12
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
Popu
lai B
akte
ri (l
og C
FU/m
L)
Waktu (hari)
K5
D5
66
konsorsium bakteri, pH menunjukkan nilai yang relatif stabil yaitu sekitar 8.
Dari Gambar 3.4 yang disajikan terlihat bahwa bakteri pendegradasi hidrokarbon
pada aplikasi biodegradasi senyawa hidrokarbon dengan penambahan konsorsium
bakteri (D5) bekerja pada kondisi basa yaitu pada pH sekitar 7.5 sampai 8.5.
Gambar 3.4 Perubahan pH selama proses bioremediasi dengan teknik
bioslurry Penurunan TPH
Jumlah hidrokarbon yang ada pada cairan dan padatan dari slurry tersebut
dapat dilihat dari nilai TPH yang diukur pada jangka waktu tertentu dari aplikasi
bioslurry. Nilai TPH pada padatan dapat menunjukkan kecepatan degradasi
hidrokarbon pada limbah minyak berat. Pada Gambar 3.6, terlihat bahwa sampel
D5 mengalami penurunan sebanyak 99.46 % selama 1 bulan yaitu dari TPH
sebesar 207139.87 ppm atau 20.71% menjadi 1108.55 ppm atau 0.11% dan
kontrol (K5) sendiri mempunyai nilai TPH yang relatif stabil sampai hari ke 21.
Dengan waktu inkubasi yang semakin meningkat, nilai TPH pada kontrol
menunjukkan penurunan sampai pada nilai 60792.23 ppm atau 6.08%.
Nilai TPH pada hari ke 28 pada D5 yang disajikan mempunyai nilai
1108.55 ppm atau 0.11 % yang berarti jauh dibawah ambang batas yang
ditetapkan pada Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm
0123456789
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
pH
Waktu (hari)
K5
D5
67
atau 1 %. Untuk TPH pada fasa cair berada pada kisaran nilai yang kecil (kurang
dari 2100 ppm), hal ini diduga senyawa hidrokarbon yang berasal dari limbah
minyak berat tersebut langsung terdegradasi ketika senyawa hidrokarbon tersebut
lepas dari limbah minyak berat ke fasa cair.
Hasil penelitian Eris (2006) pada skala laboratorium dengan menggunakan
slurry bioreaktor 500 ml menunjukkan bahwa hidrokarbon pada limbah minyak
diesel dapat terdegradasi secara optimal hingga sebesar 85.29% pada kombinasi
perlakuan 9.09% tingkat cemaran dalam tanah dan 32.62% padatan. Perlakuan
optimal dari hasil penelitian skala laboratorium yang dikembangkan pada skala 16
liter diperoleh hasil bahwa dengan penambahan konsorsium bakteri Pseudomodas
pseudomallei dan Enterobacter agglomerans serta kotoran hewan, hidrokarbon
dalam limbah minyak diesel mampu terdegradasi hingga 91.6% (dari 13964 ppm
menjadi 1167 ppm) selama 20 hari.
Gambar 3.5 Perubahan nilai TPH fasa cair selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry
0
300
600
900
1200
1500
1800
2100
2400
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
TPH
Fas
a C
air (
ppm
)
Waktu (hari)
K5
D5
68
. Gambar 3.6 Penurunan TPH fasa padat selama proses bioremediasi dengan teknik bioslurry
Bioremediasi dengan Teknik Landfarming
Perubahan pH
Nilai pH mempengaruhi kemampuan bakteri dalam menjaga kelangsungan
aktivitas-aktivitas seluler, transpor membran sel, dan kesetimbangan reaksi yang
dikatalis enzim-enzimnya. Berdasarkan pengukuran pH yang dilakukan setiap
minggu, pH yang terukur berkisar antara 4 sampai 7 (Gambar 3.7).
Gambar 3.7 Perubahan pH selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming pada perlakuan LMB (o), LMB + Kompos (■), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●), dan Kontrol (♦)
0
5
10
15
20
25
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30
TPH
Fas
a Pa
dat (
%)
Waktu (hari)
K5
D5
012345678
0 2 4 6 8 10 12 14 16
pH
Waktu (minggu)
69
Menurut Cookson (1995) pH yang optimum bagi pertumbuhan bakteri
adalah 7 dan memiliki rentang pH antara 4 sampai 10 sedangkan untuk oksidasi
nitrogen berkisar antara 6 sampai 8. Degradasi hidrokarbon lebih cepat bila
dilakukan pada kondisi pH di atas 7 dibandingkan dengan pH di bawah 5. Dengan
demikian, apabila dalam larutan media terkandung bahan organik dengan
konsentrasi tinggi sehingga menurunkan alkalinitas larutan, maka ke dalam
larutan tersebut perlu ditambahkan CaCO3
Kecenderungan penurunan pH teramati pada setiap sampel dengan nilai
penurunan yang hampir sama. Penurunan tersebut menunjukkan bahwa akumulasi
asam-asam organik sebagai hasil akhir metabolisme meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu inkubasi. Nilai pH yang tinggi kemungkinan disebabkan
oleh pelepasan amonia dari substrat atau efek kation yang tersisa setelah
metabolisme asam-asam organik.
atau basa lainnya sampai pH larutan
kembali normal.
Perubahan Kadar Air
Kelembaban sangat penting untuk hidup, tumbuh dan aktivitas metabolik
mikroba. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan setiap minggu, kadar air yang
terukur berkisar antara 10.10–32.67% seperti yang tertera pada Gambar 3.8 dan
Lampiran 3.2.
Gambar 3.8 Perubahan kadar air selama proses bioremediasi teknik landfarming pada perlakuan LMB (o), LMB + Kompos (■), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●), dan Kontrol (♦)
05
10152025303540
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Kad
ar A
ir (%
)
Waktu (minggu)
70
Nilai yang bervariasi ini diakibatkan karena perbedaan perlakuan pada tiap
sampel. Setiap minggunya dilakukan penambahan air pada sampel secara teratur.
Menurut Fletcher (1992) selama bioremediasi, jika kandungan air terlalu tinggi
akan berakibat sulitnya oksigen untuk masuk kedalam tanah sedangkan tanpa air
mikroba tidak dapat hidup dalam limbah minyak. Menurut Dibble dan Bartha
(1979) kadar air yang dibutuhkan bakteri untuk metabolisme dalam mendegradasi
hidrokarbon berkisar antara 30–90%.
Perubahan Suhu
Suatu proses degradasi, temperatur akan berpengaruh terhadap sifat fisik
dan kimia komponen-komponen minyak, kecepatan degradasi oleh mikroba, dan
komposisi komunitas mikroba. Berdasarkan pengukuran suhu yang dilakukan
setiap minggu, suhu yang terukur berkisar antara 27–51°C (Gambar 3.9).
Gambar 3.9 Perubahan suhu selama proses bioremediasi dengan teknik
landfarming pada perlakuan LMB (o), LMB + Kompos (■), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●), dan Kontrol (♦)
Menurut Leahly dan Colwell (1990) temperatur yang optimal untuk
degradasi hidrokarbon adalah 30–40°C. Pada penelitian ini didapatkan suhu yang
berfluktuasi (Gambar 3.9 dan Lampiran 3.3), karena pada proses biodegradasi
terjadi pemutusan rantai hidrokarbon yang akan menghasilkan energi sehingga
0
10
20
30
40
50
60
0 2 4 6 8 10 12 14 16
SuhuoC
Waktu(minggu)
71
suhu menjadi naik, kemudian suhu kembali turun ke suhu ruang jika proses
biodegradasi terhenti atau berjalan sangat lambat. Pada temperatur rendah,
viskositas minyak akan meningkat mengakibatkan volatilitas alkana rantai
pendek yang bersifat toksik menurun dan kelarutannya di air akan meningkat
sehingga proses biodegradasi akan terhambat. Efek penghambatan tersebut juga
disebabkan oleh penurunan aktivitas enzim mikrobial.
Perubahan TPH
TPH merupakan parameter penting yang menunjukkan keberhasilan proses
biodegradasi hidrokarbon minyak bumi. Pengukuran dilakukan setiap 2 minggu
sekali selama 4 bulan pengamatan. Pada perlakuan penambahan konsorsium
bakteri terhadap limbah minyak berat (LMB), nilai TPH awal yang terukur adalah
sebesar 15.32% dan diakhir pengukuran sebesar 12.61%. Untuk perlakuan tanpa
penambahan konsorsium bakteri (kontrol), persen TPH awal yang terukur adalah
sebesar 15.84% dan diakhir pengukuran sebesar 13.43%.
Perlakuan limbah minyak berat dengan pencampuran kompos dan
penambahan konsorsium bakteri dapat menurunkan nilai TPH dari 11.96%
menjadi 5.58%. Adanya penambahan kompos dapat meningkatkan proses
biodegradasi. Sedangkan untuk perlakuan limbah minyak berat yang dicampur
dengan tanah liat dan penambahan konsorsium bakteri memiliki nilai TPH awal
sebesar 8.73% dan diakhir pengukuran sebesar 5.78%. Perlakuan limbah minyak
berat dengan pencampuran tanah liat dan penambahan konsorsium bakteri
menghasilkan persen TPH awal yang terukur sebesar 6.52% dan diakhir
pengukuran 4.87%. Hasil pengukuran TPH secara keseluruhan dapat dilihat pada
Gambar 3.10 dan Lampiran 3.4.
72
Gambar 3.10 Perubahan nilai TPH selama Proses bioremediasi pada perlakuan LMB (o), LMB + Kompos (■), LMB + Tanah liat (▲), LMB + Kompos + Tanah liat (●), dan Kontrol (♦)
TPH yang terukur pada semua perlakuan menunjukkan grafik turun naik.
Penurunan nilai TPH karena dalam proses biodegradasi menghasilkan senyawa
hidrokarbon rantai pendek yang bersifat volatil, sedangkan peningkatan nilai TPH
diduga terjadi karena adanya insersi O2 dan H2
O kedalam senyawa organik
sehingga dihasilkan senyawa organik yang memiliki berat molekul yang lebih
tinggi. Fluktuasi nilai TPH disebabkan oleh kerja mikroba yang berbeda-beda.
Biodegradasi minyak bumi oleh mikroba bisa terjadi di bawah kondisi aerobik
maupun anaerobik, dan aktivitas degradasi tersebut merupakan reaksi yang umum
terjadi di alam. Kondisi lingkungan yang berbeda akan mempengaruhi perbedaan
aktivitas mikroba dalam mendegradasi senyawa polutan. Terdapat perbedaan
antara hasil perlakuan dengan penambahan bakteri dan kontrol, hal ini dapat
ditunjukkan dengan slope yang dihasilkan pada persamaan regresi (Tabel 3.2).
Walaupun perbedaan tidak terlalu signifikan, tapi terbukti pada hasil akhir TPH
pada penambahan konsorsium bakteri lebih kecil dibandingkan dengan tanpa
penambahan konsorsium bakteri. Hal ini terjadi pada semua perlakuan, slope yang
dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini.
02468
1012141618
0 2 4 6 8 10 12 14 16
TPH (%)
Waktu (minggu)
73
Tabel 3.2 Persamaan regresi penurunan TPH dari berbagai perlakuan dengan teknik landfarming
Perlakuan Persamaan Regresi Slope Kontrol y= -0.124x + 15.21 -0.124
LMB y= -0.162x + 15.68 -0.162
LMB + Kompos y= -0.277x + 9.748 -0.277
LMB + Tanah liat y= -0.143x + 7.897 -0.143
LMB + Tanah liat + Kompos y= -0.179x + 6.773 -0.179
Dari slope yang dihasilkan, perlakuan campuran LMB dan kompos
memiliki kemiringan garis yang lebih curam dibandingkan dengan perlakuan
lainnya, hal ini mengindikasikan perubahan TPH diawal dan diakhir cukup besar
sehingga persen degradasi yang dihasilkan cukup tinggi.
Besarnya persen degradasi yang dihasilkan dari perlakuan campuran limbah
minyak berat dengan penambahan kompos yaitu sebesar 53.35%, disebabkan
kerja bakteri yang lebih baik. Pada perlakuan menggunakan campuran kompos,
kompos dapat dijadikan sebagai media yang baik untuk pertumbuhan bakteri
karena terdapat nutrien yang bisa digunakan sebagai bahan makanan oleh bakteri.
Hasil pengukuran menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan kompos
paling baik dalam menyimpan kadar air (Gambar 3.10).
Menurut Daubaras dan Chakrabarty (1992) menyatakan bahwa perubahan
kondisi lingkungan juga akan mempengaruhi aktivitas mikroba di dalamnya.
Aktivitas tersebut meningkat karena adanya ekspresi gen-gen tertentu untuk
memproduksi enzim-enzim yang sesuai. Dengan demikian, pada degradasi
minyak , di mana 90% komponennya tersusun atas hidrokarbon, maka enzim yang
banyak berperan adalah enzim-enzim oksigenase.
Terdapat 2 macam enzim oksigenase yaitu monooksigenase dan
dioksigenase. Enzim monooksigenase banyak berperan dalam degradasi
hidrokarbon alifatik sementara enzim dioksigenase pada hidrokarbon siklik.
Keduanya berfungsi pada tahap awal degradasi, yaitu pada saat insersi molekul
oksigen ke dalam struktur hidrokarbon. Pada n-alkana insersi molekul oksigen ke
1/2O2
CH3COOHasam asetat
CO2reaksi
-oksidasiβCH3(CH2)nCOOH
asam lemak
CH3(CH2)nCHO
aldehid
CH3(CH2)nCH2OH
alkohol primer
CH3(CH2)nCH3alkana
1/2O2
H2
+energi
74
dalam struktur hidrokarbon terjadi pada gugus metil terminal maupun
subterminal. n-alkana dioksigenasi menjadi alkohol kemudian menjadi asam
karboksilat, yang selanjutnya akan dilakukan pemisahan dua unit karbon secara
berkesinambungan dan dikenal dengan sekuen beta oksidasi (Cookson 1995)
seperti yang reaksi yang dijelaskan oleh Hurtig dan Wagner (1992) (Gambar 3.11
dan Gambar 3.12).
1/2O2
CH3COOHasam asetat
CO2reaksi
-oksidasiβCH3(CH2)nCOOH
asam lemak
CH3(CH2)nCHO
aldehid
CH3(CH2)nCH2OH
alkohol primer
CH3(CH2)nCH3alkana
1/2O2
H2
+energi
Gambar 3.11 Degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi Terminal (Hurtig dan Wagner 1992)
alkana
-2H+
+H2O
O2+2H+
-H2OR-CH2-O-C-CH3
O
asetil esterR-CH2-C-CH3
O
metil keton
-2H+
R-CH2-CH-CH3
OH
alkohol sekunder-H2O
O2+2H+R-CH2-CH2-CH3
-oksidasiβ
asam karboksilataldehidR-COOH
-2H+-H2O
R-CHO
R-CH2-OH + CH3-COOHalkohol primer asam asetat CO2
energi+
Gambar 3.12 Degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi Subterminal (Hurtig dan Wagner 1992)
75
Mekanisme degradasi hidrokarbon alkana melalui oksidasi terminal
akan mengalami tahapan perubahan berturut-turut menjadi alkohol primer,
aldehid, dan asam lemak. Pada tahapan terakhir asam lemak melalui reaksi β-
oksidasi diubah menjadi asam asetat (asam lemak dengan dua atom karbon) yang
akan didegradasi lebih lanjut di dalam sel menghasilkan karbon dioksida dan
energi. Oksidasi alkana subterminal akan mengalami tahapan perubahan berturut-
turut menjadi alkohol sekunder, metilketon, asetilester, alkohol primer, aldehid
dan asam lemak atau asam karboksilat. Asam lemak ini melalui reaksi β-oksidasi
akan didegradasi menghasilkan karbon dioksida dan energi (Atlas and Bartha,
1998). Rantai panjang dari asam lemak akan dikonversi oleh acyl coenzyme A
membentuk asetil-CoA dan rantai pendek asam lemak yang telah berkurang dua
unit gugus karbonnya sebagai CO2
Proses degradasi senyawa aromatik yang terdapat pada minyak bumi fraksi
berat sangat ditentukan oleh tipe, jumlah dan posisi gugus yang tersubtitusi pada
cincin aromatik tersebut. Gugus yang biasanya tersubtitusi pada cincin aromatik
seperti benzen adalah :-OH, -CH
melalui siklus tricarboxylic acid (TCA) secara
berulang-ulang (Atlas dan Bartha 1998; Bailey dan Ollis 1988).
3, -COOH, -CH2OH, -NH2, dan -SO3
H. Pada
proses degradasi senyawa aromatik akan dihasilkan senyawa antara, yang
jenisnya tergantung dari senyawa asal yang didegradasi. Namun demikian,
secara umum senyawa antara yang terbentuk dapat dikelompokan
menjadi tiga yaitu : katekol, asam protokatekuat , dan asam gentisat. Beberapa
reaksi degradasi senyawa aromatik dengan satu, dua dan tiga cincin, secara
berurutan benzen, naftalen, dan fenantren akan menghasilkan senyawa antara
berupa katekol (Alexander 1977). Mekanisme benzen, naftalen, dan fenantren
menjadi senyawa antara katekol dapat dilihat pada Gambar 3.13, 3.14 dan 3.15.
HOH
OHH
C
CH2O2OH
3,5 sikloheksadiena1,2 diolbenzena katekol
OH
Gambar 3.13 Degradasi benzen menjadi katekol melalui reaksi hidroksilasi aromatik (Alexander 1977) A
76
Katekol dikatabolisme melalui pemecahan cincin, yang menyebabkan cincin
aromatik pecah. Pemecahan cincin dapat terjadi melalui dua jalur, yaitu : jalur
pemecahan orto dimana cincin aromatik terbagi diantara dua atom karbon yang
menghasilkan kelompok hidroksil, jalur kedua adalah jalur pemecahan meta
dimana cincin benzena diputus diantara atom karbon terhidroksilasi dan atom
karbon yang berdekatan atau pembukaan cincin benzena terjadi pada posisi meta.
Gambar 3.15 Degradasi senyawa aromatik 3 cincin (fenantren) menjadi katekol (Alexander 1977)
Fe nantrena
OH
COOH
OH
OH
OH
OH
1- Hidroksi-2-asam naftoat 1,2-Dihidroksinaftalena
Ka te kol
COOH
OH
asam salisila t
Gambar 3.14 Degradasi senyawa aromatik dua cincin (naftalen) menjadi katekol (Alexander 1977)
naftalena
OH
OH
OH
OH
1,2-Dihidroksinaftalena
Katekol
COOH
OH
asam salisilat
77
Gambar 3.16 Jalur pemecahan orto untuk katabolisme katekol.
Gambar 3.16 Jalur pemecahan orto untuk katabolisme katekol (Doelle 1994)
Gambar 3.17 Jalur pemecahan meta untuk katabolisme katekol (Doelle 1994)
78
Masing-masing reaksi pemecahan cincin dikatalisis oleh enzim
dioksigenase. Jalur metabolik selanjutnya sangat berbeda tapi keduanya menuju
ke intermediat sklus TCA (asetat dan suksinat) atau ke subsrat yang dapat dengan
mudah dikonversi menjadi intermediat siklus TCA (piruvat dan asetaldehid). Jalur
pemecahan orto (juga disebut jalur ketoadipat) ditunjukkan pada Gambar 3.16
dan jalur pemecahan meta ditunjukkan pada Gambar 3.17. Higgins et al. (1984)
dalam Pritchard et al. (1993) menyatakan bahwa berbagai spesies bakteri yang
mengoksidasi hidrokarbon rantai pendek (metana, etana, propana, butana, etilen,
propilen, dan asetilen) tidak mengoksidasi alkana rantai panjang. Kondisi tersebut
terutama berlaku pada kelompok bakteri metanotrop. Degradasi hidrokarbon
rantai pendek lainnya bisa terlaksana melalui proses kometabolisme. Cookson
(1995) memberikan contoh mikroba yang mampu melakukan kometabolisme
hidrokarbon rantai pendek yaitu Pseudomonas methanic. Pseudomonas methanic
menggunakan metan sebagai substrat primer, di samping itu juga mengoksidasi
substrat-substrat sekunder seperti etana, propana, dan butana menjadi alkohol,
aldehid, dan asam.
Senyawa-senyawa nitrogen juga mengalami perubahan selama proses
pengayaan. Menurut Chayabutra dan Ju (2000), senyawa nitrogen yang berasal
dari sisa-sisa protein dan asam amino dalam kotoran hewan dan pupuk yang
ditambahkan, juga mengalami perubahan. Di mana reaksi berlangsung secara
anaerobik, ion amoniak akan dimanfaatkan oleh populasi anaerobik, namun bila
jumlah ion-ion amoniak tersebut terlalu banyak maka akan menghambat asam
organik, produksi asam lemak dan metanogenesis.
Walaupun variasi populasi mikroba dalam kotoran hewan relatif tinggi,
banyak diantara mikroba tersebut yang mati selama proses dekomposisi
berlangsung yang kemudian akan digantikan oleh mikroba lain yang lebih sesuai
dengan komposisi kimia yang ada pada lingkungan tersebut (Waksman 1957).
Perubahan Senyawa Hidrokarbon
Berdasarkan data kromatogram hasil GC-MS dapat dilihat perubahan
senyawa hidrokarbon dari luas area yang terukur. Penentuan senyawa hidrokarbon
berdasarkan data yang terdapat pada library menggunakan CAS Number. Hasil
79
identifikasi sampel senyawa dari library dipilih yang memiliki kemiripan lebih
dari 90. Perubahan senyawa hidrokarbon pada keseluruhan sampel dapat dilihat
pada Lampiran 3.8.
Gambar 3.18 Kromatogram GC-MS dari limbah minyak berat pada awal perlakuan
Kromatogram GCMS pada awal perlakuan (Gambar 3.18) memperlihatkan
banyaknya senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam limbah minyak berat,
baik senyawa hidrokarbon alifatik maupun aromatik. Menurut Lestari (2003),
minyak bumi mengandung ratusan komponen yang bervariasi bergantung daerah
asalnya: alifatik, alisiklik, aromatic dan senyawa non hidrokarbon seperti naftenat,
fenol, tiol dan senyawa sulfur. Suardana (2002) menyatakan bahwa fraksi minyak
berat Duri mengandung senyawa aromatik, paraffin, naftenik, dan aspaltena serta
senyawa non aromatik seperti Senyawa N, S dan O. Pada pengukuran awal
teridentifikasi senyawa hirdrokarbon dari C-6 sampai C-35. Pada semua sampel
proses biodegradasinya cukup beragam (Komatogram pada Lampiran 3.5).
Kromatogram GCMS pada diakhir perlakuan pada penambahan kompos (Gambar
3.19) memperlihatkan banyaknya senyawa hidrokarbon yang hilang dengan
berkurangnya peak yang dihasilkan. Adanya penambahan kompos akan
mempercepat proses biodegradasi.
80
Gambar 3.19 Kromatogram GCMS dari limbah minyak berat + kompos pada
akhir perlakuan
Setelah pengukuran pada minggu ke-16 atau akhir banyak senyawa yang
hilang. Pada data kromatogram Lampiran 34 dapat dilihat penurunan kelimpahan
atau abundance. Hal ini menunjukkan terjadinya proses degradasi senyawa
hidrokarbon. Pada degradasi n-alkana insersi molekul oksigen ke dalam struktur
hidrokarbon terjadi pada gugus metil terminal maupun subterminal. n-alkana
dioksigenasi menjadi alkohol kemudian menjadi asam karboksilat, yang
selanjutnya akan dilakukan pemisahan dua unit karbon secara berkesinambungan
dan dikenal dengan sekuen beta oksidasi (Cookson 1995). Rantai panjang dari
asam lemak akan dikonversi oleh acyl coenzyme A membentuk asetil-CoA dan
rantai pendek asam lemak yang telah berkurang dua unit gugus karbonnya sebagai
CO2
Perubahan senyawa hidrokarbon pada perlakuan penambahan konsorsium
terhadap limbah minyak berat (LMB) saja hampir sama dengan perlakuan
campuran LMB dengan tanah liat, begitu juga dengan perlakuan campuran LMB
dengan kompos mirip dengan perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan
kompos. Dari semua sampel yang paling rendah mengalami perubahan yaitu
perlakuan LMB tanpa campuran. Hal ini dapat dilihat dari hasil akhir pengukuran.
Pada Lampiran 3.8 masih terdapat hidrokarbon rantai panjang, contohnya
dokosana (C-22) dengan luas puncak 0.25%.
melalui siklus tricarboxylic acid (TCA) secara berulang-ulang (Atlas dan
Bartha 1998; Bailey dan Ollis 1988).
81
Tabel 3.3 Senyawa yang hilang pada akhir pengukuran selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming
LMB LMB + Kompos LMB + Tanah Liat LMB + Kompos + Tanah Liat
tetrahydro 2-5 dimetil furan
tetrahydro 2-5 dimetil furan
tetrahydro 2-5 dimetil furan
dodekametil sikloheksasiloksan
oktametil Siklotetra siloksan
oktametil siklotetra siloksan
dekametil siklopentasiloksan
tetradekana
pentatriacontana tetradekana tetradekana pentadekana metil heksadekanoat pentadekana pentadekana heksadekana heksadekana heksadekana heptadekana heptadekana pentatriacontana oktadekana oktadekana dokosana pentatriakontana pentatriakontana 1-nonadekana nonadekana nonadekana metil heksadekanoat metil heksadekanoat eikosana Eikosana heneikosana heneikosana dokosana dokosana
Pengukuran pada minggu akhir banyak senyawa yang hilang. Walaupun
pada perlakuan LMB tanpa campuran dan pada perlakuan campuran LMB
dengan tanah liat terjadi perubahan luas area, tetapi tidak terlalu signifikan.
Sedangkan pada perlakuan campuran LMB dengan kompos dan perlakuan
campuran LMB dengan tanah liat dan kompos terjadi perubahan luas area yang
signifikan (Lampiran 3.8). Hilangnya senyawa-senyawa pada akhir pengukuran
dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Hilangnya senyawa tersebut karena terjadi proses degradasi. Pada
perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap limbah minyak berat dan
penambahan konsorsium bakteri terhadap pencampuran LMB dan kompos tidak
terlalu banyak senyawa yang hilang. Pada perlakuan perlakuan penambahan
konsorsium bakteri terhadap LMB saja hanya 4 senyawa yang hilang dan 8
senyawa pada perlakuan LMB + Tanah liat. Pada perlakuan LMB + kompos yang
merupakan penurunan TPH paling baik ditemukan banyak senyawa yang hilang
(13 senyawa), hal ini disebabkan bakteri bekerja lebih baik dan bakteri yang ada
dalam kompos juga ikut mendegradasi hidrokarbon. Senyawa-senyawa yang
masih terdapat pada akhir pengukuran dapat dikatakan sebagai hidrokarbon yang
sulit didegradasi oleh bakteri. Sebagai contoh pada perlakuan LMB + kompos
82
senyawa hidrokarbon aromatik yaitu dodekametil sikloheksasiloksan dengan luas
puncak 0.20%, pada perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap LMB
saja dengan contoh senyawa yang sama masih memiliki luas puncak yang cukup
besar yaitu 1.61% (Tabel 3.3).
Tabel 3.4 Perubahan luas puncak (%) senyawa yang terdeteksi dengan GCMS di
awal dan di akhir pengukuran pada perlakuan campuan LMB dengan kompos
Senyawa hidrokarbon C ke-n Waktu retensi
Area (%)
LMB awal
LMB Akhir
LMB + Kompos
akhir Tetrahidro 2-5 dimetil furan C-6 7.585 0.39 td td Toluene C-7 8.716 td td 0.20 Heksametil siklotrisiloksana C-6 9.453 td 0.62 1.77 Oktametil siklotetrasiloksana C-8 12.565 0.15 td td Dekametil siklopentasiloksana C-10 15.165 0.33 0.25 0.18 Dodekana C-12 16.455 td 0.08 0.8 Dodekametil sikloheksasiloksana C-12 17.781 0.82 1.61 td Tetradekana C-14 19.438 0.57 0.04 td Pentadekana C-15 20.721 1.11 0.32 td Heksadekana C-16 21.964 1.28 0.26 td Heptadekana C-17 23.138 1.49 0.15 td Oktadekana C-18 24.249 0.43 0.34 td Pentatriakontana C-35 24.459 0.18 td td Nonadekana C-19 25.324 1.8 0.62 td Metil heksadekanoat C-16 25.764 0.32 td td Eikosana C-20 26.325 1.66 0.49 td Heneikosana C-21 27.493 1.83 0.59 td Dokosana C-22 28.217 0.56 0.25 td
Diakhir perlakuan (minggu ke-16) pada campuran LMB dan kompos
didapatkan 4 senyawa hidrokarbon dengan luas puncak berkisar antara 0.18% -
1.77%.
Analisa Gas Selama Proses Biodegradasi
Produksi Gas CO
Pembentukan gas CO
2
2 disebabkan terjadinya proses aerobik di dalam
biodegradasi limbah tanah yang tercemar minyak bumi ini. Proses ini terutama
dilakukan oleh bakteri aerob. Menurut Atlas dan Bartha (1987) dalam proses
biodegradasi rantai alkana dioksidasi membentuk alkohol, aldehida dan asam
83
lemak, setelah terbentuk asam lemak proses katabolisme terjadi secara β oksidasi.
Rantai panjang dari asam lemak dikonversi oleh asil koenzim A yang merupakan
enzim membentuk asetil koenzim A dan rantai pendek asam lemak yang telah
berkurang dua unit gugus karbonnya yang berlangsung secara berulang-ulang.
Asetil koenzim A diubah menjadi CO2
melalui siklus tricarboxylic acid.
Gambar 3.20 Produksi gas CO2
LMB + Tanah liat (C), LMB + Kompos + Tanah liat (D), dan
selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming pada perlakuan LMB (A), LMB + Kompos (B),
Kontrol (K) . Berdasarkan penelitian Eris (2006), terbentuknya gas CO2 ini merupakan
akibat adanya aktivitas bakteri dalam mendegradasi hidrokarbon. Gambar 3.20
menunjukkan hasil produksi gas CO2 dari minggu ke-0 sampai dengan minggu
ke-16. Dari hasil pengamatan, dapat dilihat pada Gambar 3.20 terjadi peningkatan
dan penurunan produksi gas CO2 dari setiap minggunya. Pada kontrol dan
perlakuan LMB tanpa campuran didapat kadar CO2 tidak begitu tinggi. Secara
umum dari setiap perlakuakn, tiga minggu pertama produksi gas CO2 mengalami
peningkatan, tetapi mulai menurun pada minggu ke-4, kemudian meningkat lagi
pada minggu ke-6 sampai minggu ke-9, dan minggu selanjutnya kembali
mengalami fluktuasi.
0500
10001500200025003000350040004500
K A B C D
CO
2 (m
g/m
3 )
Perlakuan
84
Penurunan produksi gas CO2 menunjukkan bahwa proses aerobik
mengalami penurunan. Pada perlakuan kontrol, terlihat bahwa setiap minggu
terjadi fluktuasi dari produksi CO2
Perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap limbah minyak berat
yang dicampur dengan kompos menghasilkan gas CO
, hampir sama dengan yang terjadi pada
perlakuan dengan penambahan konsorsium bakteri terhadap limbah minyak
minyak berat tanpa pencampur. Penelitian Ramos et al. (2009) menerangkan
bahwa adanya produksi gas pada tanah tercemar hidrokarbon yang mengandung
PAH, tidak mengalami peningkatan secara signifikan.
2
Gas CO
yang cukup tinggi, hal ini
dimungkinkan karena adanya penambahan kompos. Adanya kompos ini dapat
menjadi faktor yang sangat mendukung untuk berlangsungnya proses degradasi
oleh bakteri, karena pada kompos terdapat nutrien yang dapat dijadikan bahan
makanan bagi mikroba. Selain nutrien, pada kompos juga terdapat bakteri yang
dapat menambah populasi mikroba di dalamnya.
2 yang dihasilkan dari perlakuan campuran limbah minyak berat
dengan tanah liat tidak begitu tinggi, Hal ini dimungkinkan karena tanah liat
tingkat porositasnya lebih kecil daripada kompos, sehingga penyebaran nutrien
tidak dapat secara mudah terjadi. Perlakuan campuran limbah minyak berat
dengan tanah liat dan kompos tidak terlalu berbeda dengan perlakuan campuran
limbah minyak berat dengan tanah liat. Nilai rata-rata gas CO2
Dari keseluruhan data yang didapatkan, produksi gas CO
yang dihasilkan
tidak jauh berbeda untuk kedua perlakuan.
2 yang paling
tinggi terdapat pada perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap
campuran limbah minyak berat dan kompos yaitu sebesar 4156.3 mg/m3. Baptista
et al. (2005) menerangkan bahwa adanya produksi CO2 merupakan penunjuk dari
adanya tingkat respirasi pada mikroba, yang diproduksi selama proses
bioremediasi. Kao dan Wang (2000) juga mengungkapkan demikian, dan
menerangkan bahwa gas CO2 merupakan hasil dari semua proses bioremediasi
intrinsik. Tingginya produksi gas yang dihasilkan bisa menjadi petunjuk proses
bahwa proses bioremediasi intrinsik ini berlangsung. Peningkatan kelarutan CO2
pada air dalam tanah menunjukkan adanya proses biodegradasi. Degradasi pada
85
hidrokarbon berhubungan dengan respirasi dari mikroba dan hasilnya ditunjukkan
dengan terbentuknya gas CO2
Produksi Gas NH
ini.
Gas NH
3
3 dihasilkan dari adanya proses degradasi hidrokarbon yang
mengandung gugus N, karena seperti yang diketahui bahwa minyak bumi tidak
hanya mengandung unsur karbon dan hidrogen, tetapi juga mengandung unsur
nitrogen sekitar 0.11–1.70%. Terdeteksinya gas NH3 ini menunjukkan bahwa
terjadi proses anaerobik pada proses biodegradasi tersebut. Penelitian ini
sebenarnya berjalan secara aerobik, akan tetapi gas-gas yang dihasilkan melalui
proses anaerobik, seperti H2S dan NH3 ikut terdeteksi, dan hal ini
Gas NH
menunjukkan
terjadinya juga proses anaerobik. Diperlukan adanya inlet oksigen yang lebih
banyak untuk menjaga agar proses aerobik tetap berlangsung, karena oksigen juga
merupakan salah satu faktor yang mendukung proses biodegradasi ini.
3 yang dihasilkan mengalami fluktuasi dan secara umum grafik
yang dihasilkan berbentuk sinusoidal seperti halnya pada produksi gas CO2. Pada
kontrol, gas yang dihasilkan cukup tinggi dilihat dari kumulatifnya, yaitu sebesar
1.9404 mg/m3. Produksi gas yang cukup tinggi dapat menandakan bahwa pada
limbah minyak berat yang didegradasi mengandung jumlah N yang cukup tinggi.
Gambar 3.9 menunjukkan grafik dari produksi gas yang dihasilkan untuk gas NH3
Gas yang dihasilkan pada perlakuan penambahan konsorsium bakteri pada
limbah minyak berat tanpa pencampuran lebih tinggi dibandingkan dengan
kontrol yaitu sebesar 2.5658 mg/m
ini.
3. Sama seperti pada kontrol, kemungkinan
kandungan nitrogen pada limbah minyak berat cukup tinggi, kemudian juga
ditambah adanya aktivitas dari bakteri, yang menjadikan keluaran gas NH3 pada
perlakuan penambahan konsorsium bakteri pada limbah minyak berat tanpa
pencampuran menjadi lebih tinggi. Grafiknya disajikan pada Gambar 3.21.
86
Gambar 3.21 Produksi gas NH3
.
selama Proses bioremediasi pada perlakuan LMB (A), LMB + Kompos (B), LMB + Tanah liat (C), LMB + Kompos + Tanah liat (D), dan Kontrol (K)
Kumulatif gas NH3 yang dihasilkan pada perlakuan penambahan
konsorsium bakteri terhadap campuran limbah minyak berat dan kompos lebih
rendah dibandingkan dengan perlakuan lainnya yaitu dengan rerata sebesar 1426.8
μg/m3. Hal ini dapat dijelaskan karena adanya penambahan kompos, aerasi
berjalan dengan baik sehingga biodegradasi terjadi secara aerobik, ditunjukkan
dengan tingginya gas CO2 yang dihasilkan (Gambar 3.20), sehingga gas NH3
yang dihasilkan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan yang
lainnya. Grafik seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.21.
Produksi kumulatif gas NH3 pada perlakuan pencampuran limbah minyak
berat dengan kompos dan tanah liat adalah sebesar 1.7764 mg/m3, lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan campuran limbah minyak berat dan kompos.
Begitu juga dengan gas NH3 yang dihasilkan pada perlakuan pencampuran limbah
minyak berat dengan tanah liat, lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan
limbah minyak berat tanpa campuran yaitu sebesar 2.5824 mg/m3. Hal ini
disebabkan karena aerasi tidak sempurna, sehingga biodegradasi berjalan secara
anaerobik menyebabkan gas NH3
yang dihasilkan lebih tinggi.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
K A B C D
NH
3(m
g/m
3 )
Perlakuan
87
SIMPULAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan pada teknik bioslurry, bakteri dapat
tumbuh dengan baik dengan populasi mencapai 3.47 x 1010, pada kondisi pH yang
berkisar diantara 7.5 sampai 8.5. Selama 1 bulan pengamatan persentasi TPH
turun sampai mencapai 0.11% berada jauh dibawah ambang batas yang
ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm
atau 1 %. Teknik bioslurry lebih efektif dibandingkan dengan teknik landfarming.
Menggunakan teknik landfarming pada 4 bulan pengamatan didapat persentase
TPH yang masih cukup tinggi yaitu 5.58%, hal ini mengindikasikan bahwa proses
biodegradasi berjalan lambat sejalan dengan perkembangan bakteri yang tidak
tumbuh dengan baik, didukung juga dengan kadar pH yang tidak optimal serta
kadar air yang rendah. Akan tetapi walaupun lambat, proses biodegradasi tetap
berlangsung dengan adanya gas CO2 dan NH3
yang dihasilkan selama
pengamatan. Keberlangsungan proses biodegradasi juga didukung oleh data GC-
MS yang menunjukkan bahwa setelah 4 bulan proses bioremediasi, teridentifikasi
senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-12 yang pada awalnya terdiri dari
senyawa hidrokarbon dari C-6 sampai C-35.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Willey and Sons. New York
Angraeni D.2002. Isolasi dan Karakterisasi Mikroba Pendegradasi Diesel dari Kotoran Hewan. [Skripsi]. Fateta IPB.
Atlas MR, Bartha R. 1987. Transport and Transformation of Petroleum Biological
Processes. Washington DC: United States Enviromental Protection Agency.
Atlas MR, Bartha R. 1998. Microbial Ecology: Fundamentals And Applications. 4th
Baptista JS, Cammarota MC, Dias D. 2005. Production of CO
edition. Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
2
Bailey JE, Ollis DF. 1988. Dasar-Dasar Rekayasa Biokimia. (terjemahan). PAU IPB.
in crude oil bioremediation in clay soil. Braz Arch Biol Technol 48:249-255.
88
Banerji SK. 1997. Bioreactor for Soil and Sediment Remediation dalam Bajpai RK dan Zappi ME (Eds). Bioremediation of Surface and Subsurface Contamination. New York. The New York Academy of Sciences.
Budianto H. 2008. Perbaikan Lahan Terkontaminasi Minyak Bumi Secara Bioremediasi. Jakarta: Indonesia Environment Consultant.
Chayabutra C, Ju LK. 2000. Degradation of n-Hexadecane and Its Intermediates by Pseudomonas aeruginosa under Microaerobic and Anaerobic Denitrifying Condotion. Aplied and Environmental Microbiology. Feb 2000. P.493-498
Citroreksoko P. 1996. Pengantar Bioremediasi Prosiding Pelatihan dan Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Cibinong 24-28 Juni 1996. LIPI-BPPT-HSF.
Cookson JT. 1995. Bioremediation Engineering : Design and Application. USA :
McGraw-Hill Companies, Inc.
Daubaras D, Chakrabarty AM. 1992. The Environment, Microbes and Bioremediation: Microbial Activities Modulated by the Environment. J Biodegradation 3: 125-135. Kluwer Academic Publisher. Netherland.
Dibble JT, Bartha R. 1979. Effect of Environmental Parameters on The Biodegradation of Oil Sludge. Applied Environ. Microbiol. 37:729-739.
Doelle HW. 1994. Microbial Process Development. World Scientific. Hongkong. pp. 170 – 175.
Eaton AD, Aesceri LS, Rice EW, Greenberg AE. 2005. Standar Methods For the
Examination of Water and Wastewater. Washington DC: American Public Health Association.
Eris FR. 2006. Pengembangan Teknik Bioremediasi dengan Slurry Bioreaktor untuk Tanah Tercemar Minyak Diesel. Pascasarjana IPB
Fletcher RD. 1991. Practical Consideration During Bioremediation. dalam Wise DL, Trantolo DJ. 1992. Remediation of Hazardous Waste Contaminated Soils. Marcel Dekker, Inc. New York. Hong Kong
Garcia C, Marin JA, Hernandez T. 2005. Bioremediation of oil refinery sludge by landfarming in semiarid conditions: Influence on soil microbial activity. Environ Res 98:185–195.
Higgins IJ, Gilbert PD. 1978. The Biodegradation of Hydrocarbons. The Oil Industry and Microbial Ecosystem. Proceedings of the Meeting Organized
89
by the Institute of Petroleum and Held at the University of Warwick England. Hyden and Son Limited, London.
Hurtig RM, Wagner F. 1992. Microbial Degradation of Aliphatic Hydrocarbons
and its Environmental Importance. Dalam
Kao CM, Wang CC. 2000. Control of BTEX migration by intrinsic bioremediation at a gasoline spill site. Wat Res 34 (13):3413-3423.
R.K. Finn, P. Prave, M. Schlingmann, W. Crueger, K. Esser, R. Thauer dan F. Wagner (Eds.). Biotechnology Focus 3 Fundamentals Applications Information. Hanser Publisher. Barcelona. Hal. 318 – 327.
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi Limbah Minyak Bumi secara Biologis. Jakarta: Departemen Lingkungan Hidup.
Leahly JG, Colwell RR. 1990. Microbial Degradation of Hydrocarbon in The Environment. Microbiological Reviews. 54 (3): 305-315.
Lodge JP. 1989. Methods of Air Sampling and Analysis. New York: Lewis.
Poon CP. 1996. Completion Report : Landfarming Technology For On-Site Bioremediation Of Hydrocarbon-Contaminated Soils : Laboratory And Field-Scale Evaluation. University of Rhode Island : Water Resources Centre.
Lestari Y. 2003. Bioremediasi Lahan terkontaminasi Senyawa Hidrokarbon. Prosiding Seminar Bioremediasi dan Rehabilitasi Lahan Sekitar Perminyakan dan Pertambangan. Forum Bioremediasi IPB.
Pritchard PH, Muller JQ, Lantz SE, Santavy DL. 1993. The Potential Importance
of Biodiversity in Environmental Biotechnology Application: Bioremediation of PAH-Contaminated Soil and Sediments. Paper in Alsopp, D., R.R. Colwell dan D.C. Hawksworth (editor). 1993. Microbial Diversity and Ecosystem Function, CAB International in Association With UNEP, UK.
Ramos SM, Bernal DA, Molina JA, Cleemput OW, Dendooven L. 2009. Emission of nitrous oxide from hydrocarbon contaminated soil amended with waste water sludge and earthworms. Appl Soil Ecol 4:69-76.
90
Rosenberg E, Ron EZ. 1998. Bioremediation of Petroleum Contamination. dalam Crawford, R.L. and D.L. Crawford (ed.). Bioremediation Principles and Application. Cambridge University Press. Cambridge.
Saputra H. 2006. Penerapan biofilter untuk penghilangan NH3 dan H2
Saenz DR, Segura PBZ, Barajas CG, Pena EIG. 2009. H
S dengan menggunakan bakteri Nitrosomonas sp dan Thiobacillus sp. di pabrik lateks pekat [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
2
Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta.
S and volatile fatty acids elimination by biofiltration: Clean-up process for biogas potential use. J Hazardous Materials 163:1272–1281.
Takeshita T, Higuchi S, Hanashima M. 2008. Investigation of hydrogen sulfide generation and degradation properties using experimental landfill leachate. J Biol Sci 8:73-79.
Wulandari EN. 2010. Pengujian Konsorsium Mikroba dari Kotoran Sapi dan Kuda pada Proses Biodegradasi Limbah Minyak Berat (LMB). FMIPA IPB.
91
Lampiran 3.1 Nilai pH selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming
Minggu ke-
Kontrol LMB LMB +
Kompos LMB +
Tanah liat
LMB + Kompos + Tanah liat
0 5 5 6 5 5 1 5 5 6 5 5 2 4 4 6 4.75 5 3 4 4 6.5 4.5 5 4 4 4 6 5 5 5 4 4 6 4.5 5 6 4 4 6.5 5 5 7 4 4 7 4 5 8 4 4 5.5 4 5 9 6 6 6.5 6 6
10 6 6 7 6 6 11 7 6 6 6 6 12 6 6 7 6 6 13 6 6 7 6 6 14 5.5 5.5 6.5 6 5.5 15 5.5 5.5 6.5 6 5.5 16 5.5 5.5 6.5 6 5.5
Keterangan: LMB = Limbah Minyak Berat
92
Lampiran 3.2 Nilai kadar air selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming
Minggu ke- Kontrol
LMB LMB +
Kompos LMB +
Tanah liat
LMB + Kompos + Tanah liat
0 10.41 11.40 32.76 13.07 20.00 1 16.53 17.45 33.98 11.05 18.19 2 12.64 11.23 30.51 11.42 15.50 3 19.99 11.01 29.07 10.35 17.66 4 15.42 13.27 32.67 12.63 22.86 5 12.88 18.22 31.56 11.36 18.43 6 10.72 15.92 25.33 11.05 14.96 7 12.26 18.02 26.48 10.30 14.64 8 15.42 19.19 22.97 14.61 17.27 9 18.85 18.24 20.31 17.47 14.37
10 17.54 18.27 21.26 14.24 19.44 11 14.69 11.42 20.92 13.17 22.35 12 10.28 11.84 27.44 19.84 22.00 13 13.43 10.10 27.17 19.41 17.02 14 18.46 18.05 32.18 12.75 13.33 15 19.88 17.16 31.18 11.24 10.20 16 18.77 19.38 26.29 12.16 18.25
Keterangan: LMB = Limbah Minyak Berat
93
Lampiran 3.3 Nilai suhu (o
Minggu ke-
C) selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming
Kontrol LMB LMB + Kompos
LMB + Tanah Liat
LMB + Kompos + Tanah Liat
0 42 41.75 33.75 36.5 32.75 1 42 41.75 33.75 36.5 32.75 2 31.5 31.75 31.5 32 31 3 37 36.5 28.75 35.5 28.75 4 31.5 31.75 30 31.75 30.5 5 30 29.5 27.5 30.5 28.75 6 39 38.5 39 31.25 35.25 7 38 37.5 47.75 37.75 41.75 8 49.5 49.5 43.5 51.25 45.25 9 45 47.5 40.5 45.25 38
10 45.5 43.75 35 38.5 35.5 11 38 38 35.5 44.25 36 12 40.5 41 32.25 36.25 33.5 13 45.5 45.75 39.5 41 38.25 14 38.5 38.75 34.75 40.5 36 15 31.5 31.5 34.5 33.25 31.5 16 28 27.75 32 29.5 30.75
94
Lampiran 3.4 Nilai TPH selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming
Minggu ke- Kontrol LMB LMB +
Kompos LMB +
Tanah Liat
LMB + Kompos + Tanah Liat
0 15.84 15.32 11.96 8.73 6.52 1 16.72 13.31 8.43 7.28 7.94 2 13.47 15.14 9.59 7.47 7.61 3 14.20 15.25 8.77 6.59 7.84 4 13.87 15.25 7.96 6.60 6.45 6 11.91 13.16 6.79 4.65 5.55 8 15.26 14.60 7.53 5.21 5.54
10 14.69 14.12 9.04 7.46 6.38 12 16.55 15.16 6.59 5.48 4.43 14 13.02 13.70 6.22 4.01 5.93 16 13.43 12.62 5.58 5.78 4.87
Lampiran 3.5 Persen degradasi selama proses bioremediasi dengan teknik landfarming Minggu
ke- Kontrol LMB LMB + Kompos
LMB + Tanah Liat
LMB + Kompos + Tanah Liat
0 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1 0.00 13.07 29.55 16.66 0.00 2 14.96 1.12 19.80 14.39 0.00 3 10.39 0.45 26.65 24.55 0.00 4 12.46 0.43 33.49 24.46 1.01 6 24.82 14.09 43.26 46.69 14.81 8 3.70 4.66 37.05 40.33 14.99
10 7.31 7.79 24.42 14.59 2.09 12 0.00 1.02 44.87 37.17 32.08 14 17.80 10.55 48.00 54.06 9.05 16 15.23 17.60 53.35 33.81 25.26
95
Lampiran 3.6 Data kromatogram GCMS dari berbagai perlakuan pada awal dan akhir pengukuran
Data kromatogram perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap LMB tanpa pencampur pada minggu ke- 0
Data kromatogram perlakuan penambahan konsorsium bakteri terhadap LMB tanpa pencampur pada minggu ke-16
96
Data kromatogram perlakuan campuran LMB dengan kompos pada minggu ke-16
Data kromatogram perlakuan campuran LMB dengan tanah liat pada minggu ke-16
Data kromatogram perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan kompos pada minggu ke-16
97
Lampiran 3.7 Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi pada awal pengukuran
Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-0
Senyawa hidrokarbon Waktu retensi Area
Tetrahydro 2-5 dimetil furan 7.585 0.39 Oktametil siklotetra siloksan 12.565 0.15 Dekametil siklopentasiloksan 15.170 0.33 Dodekametil sikloheksasiloksan 17.781 0.82 Tetradekana 19.400 0.57 Pentadekana 20.721 1.11 Heksadekana 21.964 1.28 Heptadekana 23.138 1.49 Oktadekana 24.249 0.43 Pentatriakontana 24.459 0.18 Nonadekana 25.324 1.80 Metil heksadekanoat 25.764 0.32 Eikosana 26.325 1.66 Heneikosana 27.300 1.83 Dokosana 28.217 0.56 1-nonadekana 30.812 1.39
98
Lampiran 3.8 Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di akhir pengukuran pada berbagai perlakuan
Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-16 pada perlakuan LMB tanpa pencampur
Senyawa hidrokarbon Waktu
retensi Area(%)
heksametil siklotrisiloksan 9.446 0.62 dekametil siklopentasiloksan 15.165 0.25 dodekana 16.455 0.08 dodekametil sikloheksasiloksan 17.776 1.61 tetradekana 19.401 0.04 pentadekana 20.717 0.32 heksadekana 21.828 0.26 heptadekana 23.128 0.15 oktadekana 24.255 0.34 nonadekana 25.255 0.62 eikosana 26.331 0.49 heneikosana 27.295 0.59 dokosana 28.223 0.25 trikosana 29.104 0.42 1-nonadekana 29.261 0.30
Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-16 pada perlakuan campuran LMB dengan kompos
Senyawa hidrokarbon Waktu retensi Area(%)
toluene 8.709 0.20 heksametil siklotrisiloksan 9.453 1.77 dekametil siklopentasiloksan 15.377 0.18 dodekametil sikloheksasiloksan 17.966 0.20
99
Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-16 pada perlakuan campuran LMB dengan tanah liat
Senyawa hidrokarbon Waktu retensi Area(%)
heksametil siklotrisiloksan 9.460 1.08 oktametil siklotetrasiloksan 12.579 0.18 benzethiazole 17.470 0.10 dodekametil sikloheksasiloksan 17.973 0.66 heptadekana 23.341 0.10 oktadekana 24.457 0.06 nonadekana 25.516 0.07 metil heksadekanoat 25.763 0.14 eikosana 26.528 0.22 heneikosana 27.493 0.70 oktadecenoic acid, metil ester 27.519 0.54 1-oktadekana 28.468 1.30 2-etilheksiltrans-4-metoksinamat 29.616 0.12
Senyawa hidrokarbon yang terdeteksi di minggu ke-16 pada perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan kompos
Senyawa hidrokarbon Waktu retensi Area(%)
tetrahydro 2-5 dimetil furan 7.599 0.19 toluene 8.715 0.07 benzene, 1,3 dimetil 10.781 0.42 oktametil siklotetrasiloksan 12.568 0.19 dekametil siklopentasiloksan 15.378 0.11
100
Lampiran 3.9 Perubahan area senyawa yang terdeteksi dengan GCMS selama proses bioremediasi
Perubahan area pada perlakuan LMB tanpa pencampur
Senyawa hidrokarbon C ke-n Waktu retensi
Area minggu ke- 0 16
tetrahidro 2-5 dimetil furan C-6 7.585 0.39 td toluene C-7 8.716 td td heksametil siklotrisiloksan C-6 9.453 td 0.62 oktametil siklotetra siloksan C-8 12.565 0.15 td dekametil siklopentasiloksan C-10 15.165 0.33 0.25 dodekana C-12 16.455 td 0.08 benzethiazole C-7 17.47 td td dodekametil sikloheksasiloksan C-12 17.781 0.82 1.61 tetradekana C-14 19.4 0.57 0.04 pentadekana C-15 20.721 1.11 0.32 heksadekana C-16 21.964 1.28 0.26 heptadekana C-17 23.138 1.49 0.15 oktadekana C-18 24.249 0.43 0.34 pentatriacontana C-35 24.459 0.18 td nonadekana C-19 25.324 1.8 0.62 metil heksadekanoat C-16 25.764 0.32 td eikosana C-20 26.325 1.66 0.49 heneikosana C-21 27.493 1.83 0.59 metal oktadekanoat C-19 27.519 td td dokosana C-22 28.217 0.56 0.25 1-oktadekana C-18 28.468 td td 1-nonadekana C-19 30.812 1.39 0.30 heksakosana C-26 32.029 td td
101
Perubahan area pada perlakuan campuran LMB dengan kompos
Senyawa hidrokarbon C ke-n Waktu retensi
Area minggu ke- 0 16
tetrahidro 2-5 dimetil furan C-6 7.585 0.39 td toluene C-7 8.716 td 0.20 heksametil siklotrisiloksan C-6 9.453 td 1.77 oktametil siklotetra siloksan C-8 12.565 0.15 td dekametil siklopentasiloksan C-10 15.165 0.33 0.18 dodekana C-12 16.455 td td benzethiazole C-7 17.47 td td dodekametil sikloheksasiloksan C-12 17.781 0.82 0.20 tetradekana C-14 19.4 0.57 td pentadekana C-15 20.721 1.11 td heksadekana C-16 21.964 1.28 td heptadekana C-17 23.138 1.49 td oktadekana C-18 24.249 0.43 td pentatriakontana C-35 24.459 0.18 td nonadekana C-19 25.324 1.8 td metil heksadekanoat C-16 25.764 0.32 td eikosana C-20 26.325 1.66 td heneicosana C-21 27.493 1.83 td metal oktadekanoat C-19 27.519 td td Dokosana C-22 28.217 0.56 td 1-oktadekana C-18 28.468 td td 1-nonadekana C-19 30.812 1.39 td Heksakosana C-26 32.029 td td
Keterangan : td = tidak terdeteksi
102
Perubahan area pada perlakuan campuran LMB dengan tanah liat
Senyawa hidrokarbon C ke-n Waktu retensi
Area minggu ke- 0 16
tetrahidro 2-5 dimetil furan C-6 7.585 0.39 td toluene C-7 8.716 td td heksametil siklotrisiloksan C-6 9.453 td 1.08 oktametil siklotetra siloksan C-8 12.565 0.15 0.18 dekametil siklopentasiloksan C-10 15.165 0.33 td dodekana C-12 16.455 td td benzethiazole C-7 17.47 Td 0.10 dodekametil sikloheksasiloksan C-12 17.781 0.82 0.66 tetradekana C-14 19.4 0.57 td pentadekana C-15 20.721 1.11 td heksadekana C-16 21.964 1.28 td heptadekana C-17 23.138 1.49 0.10 oktadekana C-18 24.249 0.43 0.06 Pentatriacontana C-35 24.459 0.18 td nonadekana C-19 25.324 1.8 0.07 metil heksadekanoat C-16 25.764 0.32 0.14 eikosana C-20 26.325 1.66 0.22 heneikosana C-21 27.493 1.83 0.70 metal oktadekanoat C-19 27.519 td 0.54 dokosana C-22 28.217 0.56 td 1-oktadekana C-18 28.468 td 1.30 oktil metoksisinamat C-18 29.616 td 0.12 1-nonadekana C-19 30.812 1.39 td heksakosana C-26 32.029 Td td
Keterangan : td = tidak terdeteksi
103
Perubahan area pada perlakuan campuran LMB dengan tanah liat dan kompos
Senyawa hidrokarbon C ke-n Waktu retensi
Area minggu ke- 0 16
tetrahydro 2-5 dimetil furan C-6 7.585 0.39 0.19 heptana C-7 7.373 td 0.13 toluene C-7 8.716 td 0.07 1,3 dimetil benzene C-8 10.781 td 0.42 oktametil siklotetra siloksan C-8 12.565 0.15 0.19 dekametil siklopentasiloksan C-10 15.165 0.33 0.11 dodekana C-12 16.455 td td dodekametil sikloheksasiloksan C-12 17.781 0.82 td tetradekana C-14 19.4 0.57 td pentadekana C-15 20.721 1.11 td heksadekana C-16 21.964 1.28 td heptadekana C-17 23.138 1.49 td oktadekana C-18 24.249 0.43 td pentatriakontane C-35 24.459 0.18 td nonadekana C-19 25.324 1.8 td metil heksadekanoat C-16 25.764 0.32 td eikosana C-20 26.325 1.66 td heneikosana C-21 27.493 1.83 td metal oktadekanoat C-19 27.519 td td dokosana C-22 28.217 0.56 td 1-oktadekana C-18 28.468 td td 1-nonadekana C-19 30.812 1.39 td heksakosana C-26 32.029 td tTd
Keterangan : td = tidak terdeteksi
104
Lampiran 3.10 Konsentrasi gas CO2 (mg/m3
) selama proses bioremediasi dengan landfarming
Kode
Konsentrasi CO2 (mg/m3)
Minggu Ke-
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
K Ttd 184.1 229.5 228.9 18.7 340.3 86.4 124.4 59.5 225.0 161.7 177.0 28.9 220.5 254.0 140.5 92.6
A 14.5 152.5 147.6 214.3 290.8 195.5 153.3 157.8 161.3 212.0 121.5 165.1 140.1 103.1 175.1 107.7 62.5
B 297.4 339.8 208.5 102.2 169.3 259.0 348.0 276.7 391.9 317.9 367.2 306.3 98.6 173.2 239.0 129.9 131.4
C 85.0 252.2 321.4 30.7 360.9 158.7 175.5 169.6 129.7 102.8 153.4 129.3 135.6 115.9 103.8 70.4 324.9
D 366.9 336.3 313.3 Ttd 210.1 250.8 245.5 315.0 164.4 253.6 225.4 161.6 136.7 225.1 223.5 49.2 184.6 . Keterangan: ttd = tidak terdeteksi K = kontrol A = LMB B = LMB + kompos C = LMB + tanah liat D = LMB + kompos + tanah liat
105
Lampiran 3.11 Konsentrasi Gas NH3 (μg/m3
) selama proses bioremediasi dengan landfarming
Kode
Konsentrasi NH3 (µg/m3)
Minggu Ke-
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
K 240.1 247.0 46.1 99.1 97.4 46.6 35.5 197.6 170.3 201.7 91.9 221.5 153.7 ttd ttd 14.3 77.6
A 178.7 206.5 47.9 66.2 31.4 126.0 46.3 265.1 187.9 168.1 211.3 120.1 319.4 159.9 160.9 270.1 79.5
B Ttd 136.2 59.7 60.3 25.8 98.9 42.7 124.6 121.3 85.5 221.5 81.1 87.7 79.9 78.7 102.6 20.3
C 79.5 362.5 81.8 237.6 58.1 292.9 17.1 144.8 230.0 88.7 152.6 65.3 187.1 80.3 200.9 141.5 161.7
D 98.9 258.0 130.4 58.9 39.7 167.4 26.2 115.7 95.0 95.0 170.4 92.9 100.5 141.7 45.9 68.5 71.3 Keterangan: ttd = tidak terdeteksi K = kontrol A = LMB B = LMB + kompos C = LMB + tanah liat D = LMB + kompos + tanah liat
BAB IV
ISOLASI, SELEKSI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI PENDEGRADASI SENYAWA HIDROKARBON PADA TANAH
TERCEMAR LIMBAH MINYAK BERAT
ABSTRAK
Limbah minyak berat (LMB) terutama komponen hidrokarbon aromatiknya sulit didegradasi oleh bakteri, hanya bakteri tertentu yang dapat mendegradasinya. Untuk itu dilakukan isolasi dan identifikasi bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon aromatik pada tanah tercemar limbah minyak berat. Bakteri diisolasi dari limbah minyak berat yang berasal dari industri minyak bumi dan kotoran hewan. Isolasi dilakukan dalam medium minimum ONR7a. Pemurnian dilakukan dengan menggunakan metode gores pada medium marine agar. Isolat yang sudah murni, dilakukan uji konfirmasi untuk memastikan kemampuan biakan terseleksi dalam mendegradasi PAH dengan melakukan subkultur ke dalam medium cair ONR7a yang mengandung senyawa fenantrena, dibenzotiofena dan fluorena. Terhadap isolat yang sudah murni juga dilakukan pengukuran aktivitas emulsifikasi menggunakan parafin padat. Aktivitas emulsifikasi diukur dengan menggunakan metode Johnsons. Isolat yang diperoleh diseleksi berdasarkan kemampuan bertahan hidup dan tumbuh pada medium yang mengandung limbah minyak berat serta kemampuan untuk mendegradasi limbah minyak berat. Terhadap isolat mikroba yang didapat dilakukan identifikasi secara molekular dengan 16S rDNA. Dari hasil isolasi yang telah dilakukan didapat 11 isolat yang mampu mendegradasi senyawa fenantrena, dibenzotiofena dan fluorena. Dari 11 isolat yang didapat maka diperoleh 3 isolat yang memiliki kinerja terbaik dalam mendegredasi limbah minyak berat yaitu isolat dengan kode MY7, MY12 dan MYFlr. Berdasarkan analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S rDNA menggunakan program BLAST, bakteri dengan kode isolat MY7 mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Salipiger sp. PR55-4, bakteri MY12 dengan Bacillus altituditis, dan bakteri MYFlr dengan Ochrobactrum anthropi.
109
PENDAHULUAN
Penanganan limbah minyak berat dengan menggunakan konsorsium bakteri
pendegradasi senyawa hidrokabon dilakukan untuk mengatasi pencemaran
lingkungan oleh limbah minyak bumi. Banyaknya spesies bakteri yang mampu
mendegradasi hidrokarbon kemungkinan berhubungan dengan ketersediaan
hidrokarbon secara universal di alam sebagai hasil dekomposisi tumbuhan dan
pelepasan minyak bumi dari cadangan geologis (Pritchard 1993). Adanya
peningkatan produksi dan konsumsi minyak mentah dan turunannya serta
transportasi bahan tersebut ke berbagai lokasi yang jauh dalam jumlah besar,
membuat peran hidrokarbon sebagai substrat potensial bagi oksidasi mikrobial
menjadi semakin penting. Dengan demikian, wajar saja bila bakteri pendegradasi
hidrokarbon telah banyak ditemukan dari berbagai lokasi, baik lingkungan akuatik
maupun terestrial (Rosenberg dan Ron 1998).
Salah satu sumber mikroba pendegradasi minyak bumi yang telah banyak
dieksplorasi adalah lingkungan tercemar limbah minyak bumi. Isolat yang
mendominasi di lingkungan tersebut terdiri atas beberapa genera, yaitu
Alcaligenes, Arthrobacter, Acinetobacter, Nocardia, Achromobacter, Bacillus,
Flavobacterium, dan Pseudomonas. Di samping itu juga ditemukan sejumlah
jamur pendegradasi minyak bumi, yaitu dari genera Aureobacterium, Candida,
Rhodotorula, Sporobolomyces yang diisolasi dari laut serta Trichoderma dan
Mortierella yang diisolasi dari tanah. Penelitian pada isolat Aspergillus dan
Penicillium yang diisolasi dari laut dan tanah menunjukkan bahwa kedua mikroba
ternyata juga berperan dalam proses degradasi minyak bumi (Leahy dan Colwell
1990).
Menurut Waksman (1957), mikroba yang berperan dalam proses tersebut
berasal baik dari kotoran itu sendiri maupun dari tanah di sekitarnya. Mikroba-
mikroba tersebut dapat tumbuh dengan subur dengan memanfaatkan kandungan
karbohidrat dan protein dari kotoran hewan untuk keperluan sintesis sel mikrobial.
Kandungan hidrokarbon pada lingkungan yang tercemar minyak relatif lebih
tinggi dibandingkan lingkungan normal. Pada keadaan tersebut, mikroba yang
110
dapat bertahan adalah yang memiliki kemampuan untuk merubah proses biokimia
dan molekulernya sebagai respon adaptif terhadap perubahan lingkungan di
sekitarnya.
Pada penelitian ini digunakan limbah minyak berat yang mengandung
senyawa poliaromatik hidrokarbon sehingga lebih sulit didegradasi oleh bakteri.
Hanya bakteri tertentu yang dapat mendegradasi senyawa aromatik yang terdapat
dalam limbah minyak bumi fraksi berat. Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan
isolasi, seleksi dan identifikasi senyawa pendegradasi hidrokarbon tingkat tinggi
ini dari limbah minyak berat yang terdapat pada industri perminyakan.
Diharapkan isolat murni yang memiliki kinerja yang tinggi dalam mendegradasi
senyawa hidrokarbon aromatik dapat digunakan untuk mengatasi masalah
pencemaran yang yang disebabkan oleh limbah minyak berat.
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah kotoran segar sapi dan kuda dari
Fakultas Peternakan IPB Darmaga, limbah minyak berat diambil dari industri
minyak bumi di Riau, senyawa PAH (fenantrena, dibenzotiofena, dan fluorena)
dan bahan-bahan analisis seperti media mineral, media ONR7, minyak diesel, air
laut, marine agar (Lampiran 4.1), marine broth, gel agarose, tris-EDTA, heksana,
spiritus, Na2SO4 anhidrat, silika gel, NaCl, larutan baku ferroamoniumsulfat
(FAS), indikator ferroin, H2SO4, Ag2SO4, K2Cr2O7
, dan indikator universal.
Alat-alat yang digunakan adalah penggiling daging, rotary evaporator, shaker,
autoklaf, PCR, inkubator dan Spektrofotometer UV-VIS 1700 Shimadzu.
Pengambilan Sampel
Contoh kotoran segar sapi dan kuda diambil dari kandang (sapi dan kuda)
Fakultas Peternakan IPB, Darmaga. Kotoran sapi dan kuda yang masih segar
mempunyai kadar nitrogen (amonia, urin) yang tinggi yang dibutuhkan oleh
sejumlah mikroba untuk keperluan metabolismenya. Limbah minyak berat
111
diperoleh dari ladang minyak duri PT Chevron Pacific Indonesia. Limbah minyak
berat memiliki kandungan karbon yang cukup tinggi yang dibutuhkan oleh
sejumlah mikroba untuk hidup.
Sebanyak 200g berat basah masing-masing contoh kotoran sapi dan kuda
dilarutkan dalam 4L air (1:10) dalam toples plastik 8L dan kedalamnya
ditambahkan media mineral yang mengandung (mg/L): FeSO4.7H2O (200),
ZnSO4.7H2O (10), MnCl2.4H2O (3), CoCl2.6H2O (20), CuCl2.2H2O (1),
NiCl2.6H2O (2), Na2MoO4.2H2O (500), H3BO3 (30), dan 5 ml minyak diesel(%
v/v) sebagai sumber karbon. Penggunaan minyak diesel ini dilakukan untuk
adaptasi konsorsium mikroba sebelum digunakan limbah minyak berat. Contoh
disimpan di laboratorium pada temperatur ruang (25-27 oC) selama 2 minggu dan
diberi aerasi. Setelah 2 minggu ditambahkan 5% limbah minyak berat (b/b).
Setiap hari dilakukan pengukuran pH contoh, bila pH terlalu asam atau terlalu
basa ditambahkan H2SO4
Isolasi Bakteri Pendegradasi Hidrokarbon
8N atau NaOH 6N sampai pH normal.
Sebanyak 1 gram lumpur konsorsium diencerkan sebesar 105 kali dengan
larutan garam fisiologis (0.85% NaCl steril) kemudian diinokulasikan dengan
metode tuang pada cawan petri. Media yang digunakan adalah nutrien agar (NA)
dan marine agar (MA). Setiap cawan diberi label berdasarkan jenis media. Cawan
diinkubasikan secara terbalik pada suhu 30oC selama satu minggu. Pengamatan
dilakukan setiap hari terhadap koloni-koloni yang baru tumbuh. Setiap koloni
yang muncul diberi kode, diisolasi dengan menggunakan media minimum ONR7a
yang kemudian ditambahkan senyawa PAH (fenantrena, dibenzotiofena, dan
fluorena) dengan menggunakan teknik sublimasi. Teknik sublimasi dilakukan
dengan pemanasan senyawa fenantrena, dibenzotiofena, dan fluorena pada suhu
optimum tertentu, untuk menguapkan senyawa tersebut. Senyawa PAH yang
menguap tadi akan segera menyublim dan tertangkap pada media ONR7a yang
diberi pendingin es batu. Setelah menemukan zona bening di sekitar biakan
potensial yang telah terisolasi, secara aseptik diinokulasikan kembali ke medium
ONR7a. Inkubasi pada suhu normal selama 24-72 jam. Kemudian dimurnikan
dengan menggunakan metode gores pada medium marine agar. Isolat yang sudah
112
murni, dilakukan uji konfirmasi untuk memastikan kemampuan biakan terseleksi
dalam mendegradasi PAH dengan melakukan subkultur ke dalam 5 ml medium
cair ONR7a yang mengandung 5 mg kristal senyawa fenantrena, dibenzotiofena
dan fluorena. Terhadap isolat yang sudah murni juga dilakukan pengukuran
aktivitas emulsifikasi menggunakan parafin padat. Aktivitas emulsifikasi diukur
dengan menggunakan metode Johnsons et al.(1992). 4,5ml supernatan ditambah
dengan 0,5ml hidrokarbon uji (parafin padat). Setelah divorteks selama 1 menit,
campuran tersebut diukur kestabilan emulsinya dengan mengukur nilai OD
campuran setelah inkubasi selama 2 jam, pada panjang gelombang 610nm.
Kontrol terdiri dari air mineral dan hidrokarbon uji.
Seleksi Isolat Bakteri
Isolat yang diperoleh diseleksi berdasarkan kemampuan bertahan hidup dan
tumbuh pada medium yang mengandung limbah minyak berat serta kemampuan
untuk mendegradasi limbah minyak berat. Seleksi mikroba dilakukan berdasarkan
kemampuannya menurunkan pH, meningkatkan populasi mikroba dan persen
biodegradasi minyak pada media minimal dengan sumber karbon dari limbah
minyak berat. Isolat diinkubasi pada suhu 30o
Identifikasi Biakan Murni Terseleksi Pendegradasi Hidrokarbon
C selama 1 bulan. TPC, pH dan TPH
diamati pada hari ke 0, 3, 7, 14, 21 dan 28.
Terhadap isolat yang terseleksi dilakukan dentifikasi secara molekular (16s
rDNA) Analisis molekuler yang dilakukan berupa ekstraksi DNA dan PCR
amplifikasi, purifikasi PCR produk dan sekuensing.
1. Ekstraksi DNA dan Amplifikasi.
Ekstraksi DNA menggunakan intragene matrix kit (Biorad) dilanjutkan
dengan amplifikasi. Hasil optimasi PCR diperoleh komposisi per reaksi sebesar
25 µL menggunakan Primer 9 F (5`GAGTTTGATCCTGGCTCG) dan 1510 R (5`
GGCTACCTTGTTACGACTT) 20 pmol masing-masing sebesar 1.25 µL, DNA
templete 2.5 µL, Go Taq® master mix (Promega) sebesar 12.5 µL dan 7.5 µL air
deionisasi. Reaksi PCR dengan menggunakan Thermalcycler (Shuzo T) selama 35
siklus. Pemanasan pertama pada suhu 94 ºC selama 5 menit, kemudian dilanjutkan
113
dengan 35 siklus yang terdiri dari denaturasi 1 menit pada suhu 94 ºC, annealing 1
menit pada suhu 56 ºC dan 2 menit ekstensi pada suhu 72 ºC. Setelah 35 siklus
selesai, diikuti 4 menit pada suhu 72 ºC dan pendinginan pada suhu 4 ºC selama
30 menit. Hasil amplifikasi di fraksinasi secara elektroforesis menggunakan
Mupid Mini Cell (Exu) pada gel agarose 1% dalam buffer TEA (Tris-EDTA)
selama 20 menit pada 100 V. Gel hasil elektroforesis direndam dalam larutan
ethidium bromida dengan konsentrasi 1 µL/100 mL selama 15 menit. Hasil
pemisahan divisualisasi pada Gel Doc Printgraph (Bioinstrument, ATTO)
menggunakan UV transluminator dengan menggunakan standar 100 bp DNA
ladder (Promega) untuk mengetahui hasil dan ukuran pita DNA hasil amplifikasi.
2. Purifikasi Produk PCR
Purifikasi DNA produk PCR dilakukan dengan metode presipitasi. Produk
PCR ditambah dengan 0.1 dan 2 kali total volume dengan 3M Na-asetat pH 5.2
dan 95% etanol kemudian didinginkan pada suhu -20 ºC selama 1 jam. Tahap
selanjutnya adalah disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 xg selama 30 menit.
Supernatan hasil sentrifugasi dibuang dan dicuci dengan 85% ethanol untuk
kemudian disentrifugasi ulang 10.000 xg selama 45 menit. Supernatan dibuang
dan pelet dipresipitasi pada suhu ruang. Pelet DNA dilarutkan dengan 15 µL air
deionisasi.
3. Cycle Sekuensing
Tahap selanjutnya adalah cycle sekuensing dengan menggunakan primer
tunggal 9 F. Komposisi yang digunakan untuk tiap tabung adalah 1 µL primer 5
pmol, 150 ng DNA hasil purifikasi, 0.2 µL Big Dye Terminator sequen premix kit
(Applied Biosystems), 5 kali sequen bufer 2 µL dan air deionisasi sampai volume
10 µL. Selanjutnya dilakukan amplifikasi dengan PCR sebanyak 30 siklus.
Pemanasan pertama pada suhu 96 ºC selama 20 detik diikuti dengan siklus yang
terdiri dari denaturasi 10 detik pada suhu 96 ºC, annealing 5 detik pada suhu 50 ºC
dan 4 menit ekstensi pada suhu 60 ºC.
114
4. Preparasi dan Sekuensing
Preparasi dilakukan dengan mencampurkan 10 µL produk cycle sekuensing
dengan 1 µL 3M Na-asetat dan 25 µL etanol absolut kemudian di vortex dan
didiamkan selama 15 menit. Tahap berikutnya dilakuan sentrifugasi 16.000 xg
selama 20 menit pada temperatur ruang. Supernatan dibuang dan pelet dicuci
dengan 70% etanol untuk kemudian disentrifugasi ulang 16.000 xg selama 5
menit. Supernatan diuang dan pelet dipresipitasi selama 5 menit. Pelet DNA yang
sudah kering ditambah dengan 15 µL HiDi-Formamide (Applied Biosystems) dan
di vortex. Sampel kemudian dipanaskan 95 ºC selama 2 menit dan segera
didinginkan dalam es. Tahap selanjutnya sampel diinjeksi dengan sekuenser
model ABI 3130 (Applied Biosystems).
5. Analisis Filogenetik
Analisis DNA menggunakan program BioEdit dan dilakukan blast pada
Bank Gen NCBI dataLibrary. Filogenetik analisis menggunakan program multiple
aligment Clustal X versi 1.83. Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan jarak
kekerabatan genetik dengan metode Neighbor joining.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi Bakteri Pendegradasi Senyawa Hidrokarbon
Bakteri pendegradasi senyawa hidrokabon diisolasi dari konsorsium bakteri
yang berasal limbah minyak berat dan kotoran hewan (sapi dan kuda). Populasi
bakteri dari sampel dengan metode Total Plate Count (TPC) berjumlah 1.12 x
108 CFU/ml dengan representatif koloni yang tumbuh di representasikan pada
Gambar 4.1. Total bakteri yang aktif akan menentukan kemampuan bakteri untuk
mendegradasi polutan. Jumlah sel yang memungkinkannya untuk dapat
mendegradasi senyawa hidrokarbon yaitu 1 x 106 cfu/g sampai 1 x 108 cfu/g
(Trinidade et al. 2002). Populasi bakteri pada limbah minyak berat dapat optimal
115
mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam limbah karena
memiliki populasi bakteri sebesar 1.12 x 108
CFU/ml.
(A) (B)
Gambar 4 .1 Populasi mikroba pada campuran LMB dengan kotoran sapi dan kuda (A) dan Colony Library pada medium marine agar (B)
Bakteri yang terkandung dalam limbah minyak berat ini diduga potensial
sebagai pendegradasi senyawa PAH, untuk itu pada proses isolasi ditambahkan
PAH dengan menggunakan teknik sublimasi dengan menggunakan medium
minimum ONR7a. Teknik sublimasi dilakukan dengan pemanasan PAH pada
suhu optimum tertentu, hal ini dilakukan bertujuan untuk menguapkan senyawa
PAH tersebut. Senyawa PAH yang menguap tadi akan segera menyublim dan
tertangkap pada media ONR7a yang diberi pendingin es batu. Kemampuan bakteri
mendegradasi senyawa PAH ditunjukkan dengan adanya zona bening pada bakteri
pendegradasi senyawa fenantrena dan perubahan warna pada bakteri pendegradasi
senyawa dibenzotiofena.
Setelah menemukan zona bening dan adanya perubahan warna di sekitar
biakan potensial yang telah terisolasi, secara aseptik diinokulasikan kembali
biakan-biakan potensial tersebut ke medium ONR7a. Inkubasi pada suhu normal
selama 24-72 jam, kemudian dipindahkan bakteri potensial tersebut ke media
minimum ONR7a kembali. Uji kemurnian biakan dengan menanamnya di
medium kaya (medium marine agar). Isolat yang sudah murni, disubkultur ke
dalam 5 ml medium cair ONR7a yang mengandung 5 mg kristal senyawa
fenantrena, dibenzotiofena dan fluorena, kemudian dilakukan uji konfirmasi untuk
116
memastikan kemampuan biakan terseleksi dalam mendegradasi PAH fenantrena.
Uji konfirmasi yang pertama, dilakukan dengan menginokulasikan kembali biak
terseleksi pada medium ONR7a tersublimasi fenantrena, dan diamati zona bening
atau perubahan warna medium ONR7a.
Gambar 4.2 Uji konfirmasi isolat-isolat yang mampu mendegradasi senyawa model fenantrena
Gambar 4.3 Uji konfirmasi isolat-isolat yang mampu mendegradasi senyawa model dibenzotiofena
Gambar 4.4 Uji konfirmasi isolat-isolat yang mampu mendegradasi senyawa model fluorena
117
Hasil uji konfirmasi isolat menggunakan senyawa model ditampilkan pada Tabel
4.1.
Tabel 4.1 Uji konfirmasi isolat menggunakan senyawa model fenantrena, dibenzotiofena, dan fluorena
No Kode isolat Senyawa PAH yang dapat didegradasi 1 MY 1 Fenantrena 2 MY 3 Fenantrena 3 MY 5 Dibenzotiofena 4 MY 6 Dibenzotiofena + Fenantrena 5 MY 7 Dibenzotiofena + Fenantrena 6 MY 8 Dibenzotiofena + Fluorena 7 MY 9 Dibenzotiofena 8 MY10 Dibenzotiofena 9 MY11 Dibenzotiofena 10 MY12 Dibenzotiofena 11 MYFlr Fluorena
Setelah dilakukan uji konfirmasi, isolat-isolat yang mampu mendegradasi
senyawa-senyawa model kemudian dimurnikan pada medium kaya nutrien yaitu
marine agar. Gambar 4.5 menunjukkan proses pemurnian isolat dengan
menggunakan metoda gores.
Gambar 4.5 Pemurnian isolat menggunakan metode gores pada senyawa dibenzotiofena (a), fluorena (b), dan fenantrena (c)
a b
c
118
Pengukuran aktivitas emulsifikasi menggunakan parafin padat
Aktivitas emulsifikasi diukur dengan menggunakan metode Johnsons et
al.(1992). 4.5 ml supernatan ditambah dengan 0.5 ml hidrokarbon uji (parafin
padat, C=23). Setelah divorteks selama 1 menit, campuran tersebut diukur
kestabilan emulsinya dengan mengukur nilai OD campuran setelah inkubasi
selama 2 jam, pada panjang gelombang 610 nm. Kontrol terdiri dari air mineral
sintetis dan hidrokarbon uji. Hasil uji aktivitas emulsifikasi dari supernatan
ditampilkan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2 Hasil uji aktifitas emulsifikasi dari supernatan isolat hasil isolasi
No Kode isolat OD (610 nm) 1 MY1 0,463 2 MY3 0,592 3 MY5 0,465 4 MY6 0,427 5 MY7 0,662 6 MY8 0,437 7 MY9 0,150 8 MY10 0,286
9 MY11 0,421 10 MY12 0,189 11 MYFlr 0,318
Dari hasil spektrofotometri dengan panjang gelombang 610 nm, isolat
dengan kode MY7 memiliki kemampuan melarutkan parafin padat lebih besar
dibandingkan dengan isolat lainnya. Hal ini sejalan dengan kemampuan isolat
tersebut yang juga memiliki kemampuan dalam mendegradasi senyawa
hidrokarbon fenantrena dan dibenzotiofena.
Seleksi Isolat Bakteri Pendegradasi Senyawa Hidrokarbon
Kemampuan isolat bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang
terkandung dalam limbah minyak berat dilakukan untuk menyeleksi isolat yang
akan digunakan untuk proses selanjutnya dengan mengamati isolat yang memiliki
kinerja terbaik yang dapat dilihat dari TPH terkecil. Dari 11 isolat yang diperoleh,
dilakukan proses seleksi terhadap isolat yang memiliki kemampuan dalam
mendegradasi senyawa dibenzotiofena yaitu isolat dengan kode MY5, MY9,
119
MY10, MY11 dan MY12. Dari ke-5 isolat tersebut, isolat dengan kode MY12
memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon
dengan persen TPH sebesar 0.26%. Selanjutnya dilakukan seleksi terhadap 7
isolat lainnya yang memiliki kemampuan mendegradasi senyawa fenantrena,
dibenzotiofena dan fluorena. Dari seleksi isolat MY1, MY3, MY6, MY7, MY8,
MY12 dan MFlr akan didapat 3 isolat yang memiliki kinerja terbaik dengan
mengamati 5 parameter selama 1 bulan pengamatan yaitu populasi bakteri, pH,
TPH padat dan cair, dan COD.
Populasi Bakteri pada Seleksi Isolat
Pertumbuhan sel bakteri yang optimum akan meningkatkan tingkat
degradasi hidrokarbon atau semakin menurunnya nilai TPH dalam limbah minyak
berat. Besarnya populasi bakteri dipengaruhi oleh kondisi pH lingkungannya.
Apabila kondisi pH berada pada rentang normal atau netral, maka pertumbuhan
sel isolat akan tumbuh dengan baik. Pada hari ke-28 jumlah sel pada masing-
masing isolat masih menunjukkan nilai pertumbuhan sel yang baik.
Jumlah sel pada masing-masing isolat tunggal optimum pada waktu yang
berbeda-beda (Gambar 4.6 dan Lampiran 4.2). Isolat MY1 dan MY7 tumbuh
optimum pada hari ke-21. Sedangkan isolat lainnya tumbuh optimum pada hari
ke-14, kecuali MY8 tumbuh optimum pada hari ke-28.
Gambar 4.6 Pertumbuhan isolat bakteri MY1 (■), MY3 (□), MY6 (▲), MY7 (∆), MY8 (●), MY12 (♦), dan MYFlfr (ο) pada media LMB 5%
0
2
4
6
8
10
0 7 14 21 28
Popu
lasi
bak
teri
(log
CFU
/ml)
Waktu (hari)
120
Limbah minyak berat mengandung senyawa-senyawa toksik dengan
konsentrasi tinggi sehingga isolat membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
beradaptasi dengan kondisi lingkungannya (Cookson 1995). Isolat MY12
memiliki pertumbuhan sel paling baik karena populasi bakteri pada isolat MY12
lebih besar dibandingkan isolat lainnya. Hal ini menunjang visualisasi
pertumbuhan yang memperlihatkan bahwa isolat MY12 lebih mengalami
kekeruhan pada medianya dibandingkan isolat lainnya.
Perubahan pH pada Seleksi Isolat Bakteri
Kondisi pH yang normal atau netral membuat pertumbuhan sel isolat
optimum. Jumlah sel isolat yang optimum akan meningkatkan kemampuan isolat
dalam degradasi senyawa hidrokarbon. Peningkatan tingkat degradasi
diindikasikan dari penurunan nilai TPH setiap harinya. Pada hari ke-0 dan hari ke-
3 isolat tunggal cenderung belum menunjukkan kemampuannya dalam
menurunkan TPH. Hal ini dikarenakan nilai pH pada hari ke-0 dan ke-3 masih
rendah dengan nilai berkisar antara 4.5 dan 6.5 (Gambar 4.7 dan Lampiran 4.3).
Nilai pH yang rendah akan menyebabkan isolat terhambat pertumbuhannya. Hal
ini terlihat dari populasi bakteri hari ke-0 dan hari ke-3, pertumbuhan sel isolat
masih sangat rendah. Setelah hari ke-3, nilai pH mengalami peningkatan maupun
penurunan setelah sebelumnya nilai pH dinetralkan.
Gambar 4.7 Perubahan pH isolat bakteri MY1 (■), MY3 (□), MY6 (▲), MY7 (∆), MY8 (●), MY12 (♦), dan MYFlfr (ο) pada media LMB 5%
0123456789
0 7 14 21 28
pH
Waktu (hari)
121
Jika dalam proses biodegradasi terjadi kenaikan ataupun penurunan pH, pH
dikontrol dengan menambahkan NaOH atau HCl sampai menjadi pH normal atau
netral (pH 7).
Nilai TPH pada Seleksi Isolat
Nilai TPH menjadi acuan dalam menentukan tiga isolat pendegradasi
hidrokarbon terbaik yang dilakukan. Semakin besar penurunan TPH yang terjadi
maka kemampuan isolat dalam mendegradasi hidrokarbon dalam limbah minyak
berat semakin baik. Besarnya penurunan TPH terlihat dari besarnya tingkat
degradasi TPH. Berdasarkan penurunan nilai TPH atau besarnya tingkat degradasi
TPH, tiga isolat terbaik dalam proses biodegradasi adalah MY7, MY12, dan
MYFlr. Tingkat degradasi TPH MY12 terbesar pada hari ke-28 sebesar 65.42%,
dengan nilai TPH akhir sebesar 6.54% (b/b) dari TPH awal sebesar 18,91% (b/b)
(Gambar 4.8). Penurunan TPH yang paling drastis terjadi pada hari ke-14,
selanjutnya penurunan TPH berlangsung konstan. Hal ini terlihat dari jumlah sel
MY12 pada hari ke-14 paling besar yaitu sebesar 2.2 x 1010
cfu/ml. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin besar jumlah sel isolat maka semakin besar
penurunan TPH yang terjadi.
Gambar 4.8 Perubahan TPH fasa padat isolat bakteri MY1 (■), MY3 (□), MY6 (▲), MY7 (∆), MY8 (●), MY12 (♦), dan MYFlfr (ο) pada media LMB 5%
0
5
10
15
20
25
0 7 14 21 28
TPH
fasa
pad
at (%
)
Waktu (hari)
122
Gambar 4.9 Persen degradasi isolat bakteri MY1 (■), MY3 (□), MY6 (▲), MY7 (∆), MY8 (●), MY12 (♦), dan MYFlfr (ο) pada media LMB 5%
Isolat terbaik kedua adalah MYFlr dengan tingkat degradasi terbesar pada
hari ke-14, yaitu sebesar 47.16% (Gambar 4.9) dengan nilai TPH akhir sebesar
9.11% (b/b) dari TPH awal sebesar 19,34% (b/b) (Lampiran 4.4). Isolat terbaik
ketiga adalah MY17 dengan tingkat degradasi TPH sebesar 38.66 % (Lampiran
4.5) dengan nilai TPH akhir sebesar 15,71% dari TPH awal sebesar 24.43%.
Semakin besar penurunan dan tingkat degradasi TPH, maka semakin baik
kemampuan isolat tersebut dalam mendegradasi hidrokarbon minyak bumi.
Tingkat degradasi TPH optimum pada waktu yang berbeda-beda. Hal ini
disebabkan kemampuan adaptasi setiap isolat berbeda-beda.
Kemampuan adaptasi suatu isolat ditunjukkan dari populasi bakteri.
Kenaikan nilai TPH yang terjadi pada proses biodegradasi dikarenakan bakteri
telah melewati fase stasioner sehingga terjadi penurunan jumlah sel bakteri dan
kemampuan bakteri dalam degradasi hidrokarbon ikut menurun. Anomali tingkat
degradasi TPH yang terjadi pada MY1 dikarenakan kandungan hidrokarbon pada
LMB tidak merata sehingga terjadinya perbedaan total hidrokarbon yang
menyebabkan nilai negatif.
0
10
20
30
40
50
60
70
0 7 14 21 28
Pers
en D
egra
dasi
Waktu (hari)
123
Nilai COD pada Seleksi Isolat Bakteri
Isolat MY12 dan MYFlr memiliki nilai COD yang lebih rendah
dibandingkan dengan isolat tunggal lainnya (Lampiran 4.6). Nilai COD yang
rendah menunjukkan bahwa senyawa organik yang terdapat dalam sampel lebih
sedikit, hal ini sesuai dengan penurunan persen TPH yang dialami oleh isolat
MY12 dan MY Flr.
Gambar 4.10 Perubahan Nilai COD isolat MY1 (■), MY3 (□), MY6(▲), MY7 (∆), MY8 (●), MYFlr (○), dan MY12 (♦) pada media LMB 5%
Dari parameter yang diamati maka isolat MY7, MY12 dan MYFlr memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam mendegradasi limbah minyak berat. Untuk
selanjutnya ke-3 isolat ini diidentifikasi untuk mengetahui spesies bakteri yang
masing-masing terkandung dalam isolat tersebut.
Identifikasi Isolat MY7, MY12 dan MYFlr
Identifikasi bakteri dilakukan secara molekuler berdasarkan analisis
genetika secara parsial pada 16S ribosomal DNA bakteri. Isolasi DNA diawali
dengan menumbuhkan isolat bakteri dalam media Marine Agar dan diinkubasi
selama 72 jam. Ekstraksi DNA bakteri dilakukan dengan menggunakan GES
method (Pitcher et al, 1989).
0
20
40
60
80
100
0 7 14 21 28
CO
D (1
000m
g/l
Waktu (hari ke-)
124
Amplifikasi PCR menggunakan Primer 20 F (5’-GATTTTGATCCTGGC
TCAG–3’) dan 1500 R (5-GTTACCTTGTTACGACTT–3’).
Keterangan:
1. Marker
2. MY 12
3. MY Flr
4. MY 7
5. Marker
Gambar 4.11 Hasil purifikasi 3 isolat unggul dengan PEG precipitation method
Purifikasi hasil PCR dilakukan dengan PEG precipitation method (Hiraishi
et al., 1995) dan dilanjutkan dengan siklus sekuensing dengan primer 520 F (5’-
GTGCCAGCAGCCGCGG-3’), 920 R (5’-GTCAATTCCTTTGATTT-3’). Hasil
siklus sekuensing dipurifikasi kembali dengan etanol purification method.
Analisis pembacaan urutan basa nitrogen menggunakan automated DNA
sequencer (ABI PRISM 3130 Genetic Analyzer).
Data mentah hasil sekuensing selanjutnya di trimming dengan program
MEGA 4 dan assembling dengan program BioEdit dan selanjutnya dikonfersi
dalam bentuk fasta format. Hasil sekuensing DNA dalam bentuk fasta format
selanjutnya di blast untuk mencari homologi secara on line di pusat data base
DNA di DDBJ (http://www.ddbj.nig.ac.jp).
1 2 3 4 5
125
Tabel 4.3 Hasil identifikasi molekuler 3 isolat unggul
Kode Sampel Takson Bakteri Terdekat Hasil Homologi BLAST di DDBJ
MY7 Salipiger sp. PR 55-4 Homologi 100% MY12 Bacillus altitudinis Homologi 97%
MYFlr Ochrobactrum anthropi Homologi 97%
Ochrobactrum anthropi adalah bakteri gram negatif, aerobik, dan
merupakan bakteri oksidase (Yu et al. 2007). Ochrobacrum sp. mampu
memanfaatkan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAHs), seperti fenantrena, pyrene
dan fluoranthene sebagai sumber karbon dan sumber energi (Yirui et al. 2009).
Uji konfirmasi menunjukkan bahwa bakteri Ochrobactrum anthropi dapat
mendegradasi senyawa fluorena yang terdapat dalam limbah minyak berat.
Salipiger sp.PR55-4 adalah bakteri gram-negatif yang berbentuk batang dan
termasuk bakteri aerobik chemoheterotrophic (tidak dapat tumbuh dalam kondisi
anaerob). Menghasilkan enzim katalase dan fosfatase dan tidak menghasilkan
asam dari karbohidrat. Tidak dapat tumbuh dengan karbohidrat atau asam amino
sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi serta tumbuh terbaik pada 9-10 %
(b/v) NaCl dan membutuhkan keberadaan Na+
Tahap akhir adalah analisis kekerabatan dan pembuatan pohon filogenetik
dengan menggunakan program Clustal X dan NJ plot. Bacillus altitudinis yang
terdapat pada tanah tercemar minyak berat ini memiliki kekerabatan dengan
Bacillus aerophilus, Bacillus stratospericus dan Bacillus pumilus (Lampiran 4.7).
Bakteri Ochrobactrum anthropi memiliki kekerabatan dengan Ochrobactrum
tritici, Ochrobactrum intermedium, Ochrobactrumcytisi dan Ochrobactrum lupine
(Lampiran 4.8).
(Martinez 2004). Dari uji
konfirmasi yang dilakukan, bakteri Salipiger sp. PR55-4 ini dapat mendegradasi
dibenzotiofena dan fenantrena. Bacillus altitudinis adalah bakteri gram positif
yang berbentuk batang (Shivaji et al. 2006), yang hanya dapat mendegradasi
dibenzotiofena saja. Bacillus pumilus yang memiliki kekerabatan cukup dengan
dengan Bacillus altitudinis memiliki kemampuan mendegradasi senyawa
naftalena yang terdapat pada limbah minyak bumi (Calvo et al.2004)
126
SIMPULAN
Dari tanah tercemar limbah minyak berat berhasil diisolasi 11 isolat
bakteri yang mampu mendegradasi senyawa fenantrena, dibenzotiofena dan
fluorena. Dari 11 isolat yang didapat, bakteri yang memiliki kinerja terbaik dalam
mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat
adalah isolat bakteri dengan kode MY7, MY12 dan MYFlr. Berdasarkan analisis
penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S rDNA menggunakan
program BLAST, bakteri dengan kode isolat MY7 mempunyai tingkat kesamaan
tertinggi dengan Salipiger sp. PR55-4 dengan persentase tingkat kesamaan 100%,
bakteri dengan kode isolat MY12 mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan
Bacillus altituditis dengan persentase tingkat kesamaan 97%, dan bakteri dengan
kode isolat MYFlr mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Ochrobactrum
anthropi dengan persentase tingkat kesamaan 97%.
DAFTAR PUSTAKA
Erlich HA. 1989. PCR technology: Principle and applications for DNA amplification. Stockton Press, London: x + 246 p.
Davis LG, Kuehl WM, Battey JF. 1994. Basic methods in molecular biology. 2nd
ed. Prentice-Hall International Inc., USA: xiii + 777 p. Hiraishi A, Kamagata Y, Nakamura N. 1995. Polymerase chain reaction
amplification and restriction fragment length polymorphism analysis of 16S rRNA genes from methanogens. Journals of Fermentation Bioengineering. 79: 523--529.
Leahly JG, Colwell RR. 1990. Microbial Degradation of Hydrocarbon in The
Environment. Microbiological Reviews. 54 (3): 305-315. Moore D, Frazer LN. 2002. Essential fungal genetics. Springer-Verlag, New
York: vii + 357 p. Pritchard PH, Mueller JQ, Lantz SE, Santavy DL. 1993, The Potential Importance
od Biodiversity in EnvironmentalBiotechnology Apllication : Bioremediation of PAH-Contaminated Soil and Sediments. Paper in Alsopp, D., R.R. Colwell & D.C. Hawksworth (editor). 1993. Microbial Diversity and Ecosystem Function, CAB International in association with UNEP, UK.
127
Rosenberg E, Ron EZ. 1998. Bioremediation of Petroleum Contamination. dalam Crawford, R.L. and D.L. Crawford (ed.). Bioremediation Principles and Application. Cambridge University Press. Cambridge.
Sato H. 2007. Workshop on: Molecular Approaches for The Identification of
Microorganisms. NITE & Research Center for Biotechnology-LIPI, Cibinong: 11-13 July 2007.
Trinidade P, Sobral LG, Rizzo AC, Leite SGF, Lemos JLS, Milloilli VS, Soriano
AU. 2002. Evaluation of The Biostimulation and Bioaugmentation Techniques in The Bioremediation Process of Petroleum Hydrocarbon Contaminated Soils. 9th
International Petroleum Environmental Conference, IPEC (Integrated Petroleum Environmental Consortium), Albuquerque, NM.
Viljoen GJ, Nei LH, Crowther JR. 2005. Molecular diagnostic PCR handbook. Springer, The Netherlands: xviii + 307 p.
Yu MW, Sohn K, Rhee J, Oh WS, Peck KR, Lee NY, Song J. 2007. Spontaneous
Bacterial Peritonitis due to Ochrobactrum anthropi. University School of Medicine, Seoul.
Yirui WU, He T, Zhong M, Zhang Y, Li E, Huang T, Hu Z. 2009. Isolation of
marine benzo[a]pyrene-degrading Ochrobactrum sp. BAP5 and proteins characterization. Journal of Environmental Sciences. 21(10), 1446-1651.
Elsevier.
128
Lampiran 4.1 Komposisi media marine agar (Atlas 1995)
Keterangan : *) tidak ditambahkan pada marine broth
Bahan Komposisi (g/1000 ml) Yeast extract 1.0 Pepton 5.0 Besi sitrat 0.1 Natrium klorida 19.45 Magnesium klorida 8.8 Natrium sulfat 3.24 Kalsium klorida 1.88 Kalium klorida 0.55 Natrium Karbonat 0.16 Stronium klorida 0.034 Asam Borat 0.022 Natrium silikat 0.004 Natrium flourida 0.0024 Amonium nitrat 1.6 Natrium fosfat 0.008 Agar *) 15-20
129
Lampiran 4.2 Perubahan populasi bakteri pada proses seleksi isolat
Waktu (hari ke-)
TPC (cfu/ml) MY 1 MY 3 MY 6 MY 7 MY 8 MY Flr MY 12
0 1.0x10 1.0x105 1.0x105 1.0x105 1.7x105 1.0x105 1.0x105 5 1.0x10 1.0x105 1.0x105 1.0x105 8.0x105 1.0x107 1.0x105
Rerata
5 1.0x10 1.0x105 1.0x105 1.0x105 4.0x105 1.0x107 1.0x105 5
3 1.0x10 1.0x105 6.3x105 1.0x106 1.0x105 4.4x105 1.0x108 9 1.0x10 1.0x105 5.0x105 1.0x106 1.0x105 1.1x105 9.0x108
Rerata
8 1.0x10 1.0x105 5.7x105 1.0x106 1.0x105 2.8x105 9.5x108 8
7 4.3x10 3.5x107 5.3x107 1.2x106 2.5x107 9.4x109 1.0x108 9 5.7x10 3.3x107 3.4x107 7.7x107 2.1x107 8.1x109 3.5x108
Rerata
9 5.0x10 3.4x107 2.0x107 4.5x107 2.3x107 8.8x109 2.3x108 9
14 2.7x10 1.2x107 2.5x108 1.2x107 1.1x109 2.3x109 1.9x109 10 1.4x10 2.8x107 2.8x108 2.8x107 3.1x108 2.6x108 2.5x109
Rerata
10 2.1x10 2.0x107 2.7x108 7.4x107 7.1x108 2.5x108 2.2x109 10
21 1.5x10 1.7x108 2.6x108 2.2x107 2.4x108 1.7x109 9.3x109 9 8.8x10 1.5x108 2.7x108 6.4x107 1.1x109 1.7x109 8.7x109
Rerata
9 5.2x10 1.6x108 2.7x108 3.3x107 1.8x109 1.7x109 9.0x109 9
28 2.1x10 1.9x108 8.8x108 3.1x106 2.7x108 1.7x109 8.3x109 8 2.7x10 1.3x108 1.0x108 1.4x107 2.5x108 3.4x109 3.5x108
Rerata
8 2.4x10 1.6x108 9.4x108 2.3x106 2.6x108 1.0x109 5.9x109 8
130
Lampiran 4.3 Perubahan nilai pH pada proses seleksi isolat
Waktu (hari ke-)
pH MY 1 MY 3 MY 6 MY 7 MY 8 MY Flr MY 12
0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.5 5.5 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.5 5.5
Rerata 5.0 5.0 5.0 5.0 5.0 5.5 5.5
3 5.0 4.5 5.5 4.5 4.5 7.5 7.0 5.0 4.5 5.5 4.5 4.5 7.5 7.0
Rerata 5.0 4.5 5.5 4.5 4.5 7.5 7.0
7 7.0 7.5 6.5 7.5 7.5 7.5 8.0 7.0 7.0 7.0 7.5 7.5 7.5 8.0
Rerata 7.0 7.3 6.8 7.5 7.5 7.5 8.0
14 6.5 7.0 5.5 7.5 7.0 7.5 8.0 6.5 7.0 5.5 7.5 7.0 7.5 8.0
Rerata 6.5 7.0 5.5 7.5 7.0 7.5 8.0
21 5.5 6.0 6.5 6.5 7.0 8.0 8.0 5.5 6.0 5.5 6.5 7.0 8.0 8.0
Rerata 5.5 6.0 6.0 6.5 7.0 8.0 8.0
28 6.0 6.5 6.5 6.5 8.0 8.0 8.5 6.0 6.5 5.5 6.5 6.0 8.0 8.5
Rerata 6.0 6.5 6.0 6.5 7.0 8.0 8.5
131
Lampiran 4.4 Perubahan nilai TPH fasa padat pada proses seleksi isolat
Waktu (Hari ke-)
TPH (%b/b) MY 1 MY 3 MY 6 MY 7 MY 8 MY Flr MY 12
0 18.09 18.87 20.23 24.43 21.04 16.65 19.34 18.35 19.06 18.40 21.97 21.53 17.84 18.48
Rerata 18.19 18.96 19.32 23.2 21.28 17.24 18.91
3 17.79 21.10 21.81 24.17 22.42 14.62 17.73 19.65 21.78 22.22 22.35 20.79 17.30 17.29
Rerata 18.72 21.44 22.01 23.26 21.61 15.96 17.51
7 18.05 18.68 19.65 17.64 19.16 9.13 15.39 18.85 18.35 17.39 18.19 19.13 18.56 9.76
Rerata 18.45 18.52 18.52 17.91 19.14 13.84 12.58
14 19.46 16.43 16.52 15.38 17.54 8.10 8.17 21.32 20.18 17.05 17.24 16.55 10.13 7.40
Rerata 20.39 18.30 16.78 16.31 17.05 9.11 7.78
21 17.31 21.65 16.99 15.50 18.77 12.97 7.93 10.06 15.81 11.31 16.13 15.89 11.89 7.35
Rerata 13.69 18.73 14.15 15.81 17.33 12.43 7.64
28 18.28 15.52 14.99 14.23 16.11 12.64 9.26 14.08 16.93 13.38 17.20 19.07 7.79 6.54
Rerata 16.18 16.23 14.18 15.71 17.59 10.22 7.90
132
Lampiran 4.5 Perubahan persen degradasi pada proses seleksi isolat
Waktu (hari ke-)
TPH (%b/b) MY 1 MY 3 MY 6 MY 7 MY 8 MY Flr MY 12
3 - - - - - 7.42 7.40 7 - 2.32 4.14 22.80 10.06 19.72 33.47 14 - 3.48 13.15 29.70 19.88 47.16 58.86 21 4.84 13.34 26.76 33.19 18.56 27.90 59.60 28 11.05 14.40 26.60 38.66 24.30 40.72 65.42
133
Lampiran 4.6 Perubahan nilai COD pada proses seleksi isolat
Waktu (Hari ke-)
COD (mg/L) Blanko MY 1 MY 3 MY 6 MY 7 MY 8 MY Flr MY 12
0 6923 3728 1598 5326 3728 5712 9520
6923 2663 2663 5858 3195 8160 12240
Rerata 7989 6923 3196 2131 5592 3462 6936 10880
3 6528 11424 16320 8160 17952 8160 8160
14688 13056 17952 16320 1632 10608 9792
Rerata 8160 10608 12240 17136 12240 9792 9384 8976
7 11424 19584 19584 19584 8160 20400 32640
22848 29376 299376 21216 14688 18360 28560
Rerata 14688 17136 22032 24480 20400 11424 19380 30600
14 62560 59840 43520 48960 57120 28560 16320
57120 59840 54400. 43520 53040 28560 12240
Rerata 55760 59840 59840 48960 46240 55080 28560 14280
21 95880 95880 48960 38760 63240 16320 16320
83640 65280 34680 63240 59160 16320 20400
Rerata 69360 89760 80580 41820 51000 61200 16320 18360
28 95880 71400 59160 51000 51000 8160 8160
75480 67320 83640 71400 42840 8160 8160
Rerata 87720 85680 69360 71400 61200 46920 8160 8160
134
Lampiran 4.7 Pohon Filogenetik Bacillus altitudinis
Lampiran 4.8 Pohon Filogenetik Ochobactrum anthropi
AM 490622 1-1 Ochrobactrum intermedium EU999218 1-1 Ochrobactrum tritici MY Flr FJ873801 1-1 Ochrobactrum anthropi EU826069 1-1 Ochrobactrum cytici AY457038 1-1 Ochrobactrum lupini
FJ768457 1-1 Bacillus pumilus
AJ831841 1-1 Bacillus stratospericus
AJ831844 1-1 Bacillus aerophilus
MY 12
FM955870 1-1 Bacillus altitudinis
135
Lampiran 4.9 Pohon Filogenetik Salipiger sp. PR55-4
RMY-7 08110 EU440999 1-1 Salipiger sp.PR55-4 DO178660 1-1 Pelagibaca bermudensis AB302368 1-1 Alpha protecbacterium B33 EU69081 1-1 Rhodobactereaceae bacteriumF9 EU440958 1-1 Citrecella thiooxidana FJ752525 1-1 Marinovum algicola AM905330 1-1 Ruegeria soottomolicae
136
Lampiran 4.10 Pohon Filogenetik 3 Isolat Campuran
RMY-7 08110 EU440999 1-1 Salipiger sp.PR55-4 DO178660 1-1 Pelagibaca bermudensis AB302368 1-1 Alpha protecbacterium B33 EU697081 1-1 Rhodobactereaceae bacteriumF9 EU440958 1-1 Citrecella thiooxidana FJ752525 1-1 Marinovum algicola AM905330 1-1 Ruegeria soottomolicae AM 490622 1-1 Ochrobactrum intermedium AY457038 1-1 Ochrobactrum lupini EU999218 1-1 Ochrobactrum tritici EU826069 1-1 Ochrobactrum cytici MY Flr FJ873801 1-1 Ochrobactrum anthropi FJ768457 1-1 Bacillus pumilus AJ831841 1-1 Bacillus stratospericus AJ831844 1-1 Bacillus aerophilus FM955870 1-1 Bacillus altitudinis MY12
BAB V
KEMAMPUAN SPESIES TUNGGAL DAN CAMPURAN DALAM MENDEGRADASI SENYAWA HIDROKARBON
PADA LIMBAH MINYAK BERAT
ABSTRAK
Tiga spesies bakteri (Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi) yang diisolasi dari limbah minyak berat dapat mendegradasi senyawa PAH. Terhadap ke-3 spesies bakteri tersebut diuji kemampuan kinerja spesies bakteri baik dalam bentuk tunggal maupun dalam bentuk konsorsium (campuran). Kemampuan dari spesies tunggal dan campuran dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon dipantau melalui parameter %TPH pada fasa padat dan pada fasa cair, populasi bakteri, pH, dan COD selama proses biodegradasi. Analisa TPH dilakukan dengan metoda gravimetri, populasi bakteri (TPC) dengan metode cawan tuang, pH dengan kertas pH, serta COD dengan metode refluk. Dari hasil penelitian diketahui spesies tunggal Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi memiliki % degradasi sebesar 51.65% ; 54.26% ; dan 46.76%. Spesies campuran Salipiger sp. PR55-4 dan Bacillus altitudinis memiliki persen degradasi sebesar 60.13%, untuk campuran bakteri Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi memiliki persen degradasi sebesar 57.00%, dan untuk campuran bakteri Bacillus altitudinis dan Ochrobactrum anthropi memiliki persen degradasi sebesar 62.47%. Spesies campuran bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi memiliki persen degradasi sebesar 81.52%. Dibandingkan dengan spesies tunggal dan spesies campuran 2 jenis bakteri, spesies campuran dengan 3 jenis bakteri memiliki % degradasi terbesar sehingga kombinasi terbaik untuk mendegradasi limbah minyak berat adalah campuran bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi.
139
PENDAHULUAN
Kemampuan bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon berbeda-
beda sesuai dengan aktifitas enzim yang dihasilkan dan kondisi lingkungan yang
mendukung seperti temperatur, pH, nutrisi dan oksigen. Beberapa penelitian
menunjukkan kemampuan spesies bakteri dalam mendegradasi senyawa
hidrokarbon. Anggraeni (2003) melaporkan tiga jenis spesies tunggal, yaitu
Pseudomonas pseudomallei, Pseudomonas aeruginosa dan Enterobacter
agglomerans memiliki kemampuan mendegradasi minyak diesel. Menurut Lee et
al. (2002), Enterobacter agglomerans yang merupakan spesies pendegradasi
toluena, benzena, dan etilbenzena memiliki kemampuan untuk mendegradasi
campuran benzena, etilbenzena dan xilena (BTX). Menurut Citroreksoko (1996),
kemampuan biodegradasi mikroba terhadap beberapa senyawa berbeda-beda.
Beberapa kecenderungan yang terjadi pada degradasi hidrokarbon, yaitu
hidrokarbon alifatik pada umumnya mudah didegradasi dibandingkan dengan
senyawa aromatik, hidrokarbon alifatik rantai lurus pada umumnya lebih mudah
terdegradasi daripada hidrokarbon rantai bercabang, hidrokarbon jenuh lebih
mudah terdegradasi daripada hidrokarbon tak jenuh dan hidrokarbon rantai
panjang lebih mudah terdegradasi daripada rantai pendek. Hidrokarbon dengan
panjang rantai kurang dari sembilan karbon sukar didegradasi karena senyawa ini
bersifat toksik bagi mikroba.
Limbah minyak berat yang digunakan adalah limbah minyak bumi yang
berasal dari industri perminyakan yang berada di Duri dengan komposisi
hidrokarbon sebagai berikut: paraffin dan naftenik 37%, aromatik 12% dan
aspaltena 10%. Senyawa hidrokarbon aromatik dan aspaltena lebih sulit
didegradasi oleh bakteri dibandingkan dengan senyawa hidrokarbon paraffin
dan naftenik.
Pengujian kemampuan degradasi spesies tunggal terhadap limbah minyak
berat perlu dilakukan. Akan tetapi, kombinasi spesies bakteri lebih mampu
mendegradasi suatu hidrokarbon dari minyak bumi dibandingkan spesies tunggal.
Secara umum dipercaya bahwa konsorsium akan memiliki kemampuan degradasi
140
yang lebih baik karena gabungan mikroba memiliki profil enzimatik yang lebih
luas untuk degradasi. Konsorsium mikroba asli (indigen) yang diperoleh memiliki
kemampuan degradasi paling baik diantara semua kombinasi, campuran dua atau
tiga spesies memiliki kemampuan degradasi lebih baik dibanding spesies tunggal
(Kanaly et al. 2002). Oleh karena itu, kombinasi beberapa spesies tunggal perlu
diuji untuk mendapatkan kombinasi terbaik dalam mendegradasi hidrokarbon dari
limbah minyak berat yang terdapat pada lahan tambang minyak bumi.
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang akan digunakan adalah spesies yang telah diisolasi dari
tanah tercemar yang telah diberi kotoran sapi dan kuda, limbah minyak berat
(LMB) diperoleh dari industri minyak di Riau, solar, air laut, marine broth
(Lampiran 5.1), linier alkilbenzena sulfonat (LAS), heksana, spirtus, Na2SO4
anhidrat, silika gel, NaCl, larutan baku ferroammonium sulfat (FAS), indikator
feroin, H2SO4 pekat, Ag2SO4, K2Cr2O7
, indikator universal, akuades,
alumunium foil, dan kertas saring. Alat-alat yang digunakan adalah Erlenmeyer,
desikator, neraca analitik, penggiling, sarung tangan, masker, gelas ukur, labu
bulat, refluks, sumbat kapas, buret, pipet volumetrik, pipet mohr, pipet mikro,tip,
pemanas, radas uap putar, shaker inkubator, autoklaf, cawan petri, labu takar,
inkubator, tabung COD, dan kondensor tegak.
Peremajaan Spesies Bakteri (Hadioetomo 1998)
Bakteri yang digunakan sebanyak 3 spesies yang telah diisolasi dari tanah
tercemar dan diketahui memiliki kemampuan dalam mendegradasi senyawa
hidrokarbon tertentu. Peremajaan masing-masing spesies dilakukan pada media
miring marine agar (Lampiran 4.1). Sebanyak 100 ml marine agar disiapkan di
dalam erlenmeyer kemudian sebanyak 5 ml marine agar dipipet dan dimasukkan
ke dalam tabung biakan atau tabung reaksi. Tabung tersebut disumbat kapas dan
disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 °C selama 15 menit. Setelah
disterilisasi, tabung diletakkan pada papan miring dan dibiarkan menjadi dingin
141
dan padat. Secara aseptis masing-masing bakteri diinokulasikan pada agar miring
tersebut dan inkubasi pada suhu 30 °C selama 24 jam. Bakteri tersebut masing-
masing ditumbuhkan dalam agar miring sebagai stok.
Preparasi Inokulum pada Media Kaya dan Media Minimal
Sebelum diaplikasikan pada limbah minyak berat, masing-masing spesies
ditumbuhkan terlebih dahulu pada media kaya dan media minimal. Media kaya
dibuat dalam erlenmeyer 250 ml dan diberi sumbat kapas dengan komposisi pada
Tabel 5.1 dan disterilisasi pada suhu 121 °C selama 15 menit, kemudian secara
aseptis bakteri diinokulasikan dengan ose pada media kaya tersebut dan
diinkubasi goyang pada suhu kamar dengan kecepatan pengadukan 200 rpm
selama 3 hari.
Tabel 5.1 Komposisi media kaya dan media minimal
Bahan Komposisi (dalam 100 ml air laut)
Media kaya (g) Media minimal (g)
Yeast ekstrak 1,5 0,5
Pepton 0,3 0,1
Setelah ditumbuhkan selama 3 hari pada media kaya, kemudian bakteri
sebanyak 1 mL dipindahkan ke dalam media minimal yang telah disterilisasi.
Sebanyak 5 ml solar yang telah disterilisasi dengan sinar UV selama 15 menit
ditambahkan pada media minimal. Media minimal lalu diinkubasi goyang dengan
kecepatan 200 rpm pada suhu kamar selama 7 hari. Penumbuhan bakteri pada
media minimal dilakukan sebanyak 3 kali. Setelah ditumbuhkan pada media
minimal, bakteri siap digunakan untuk diaplikasikan pada tanah tercemar.
Pengujian Spesies Bakteri
Pengujian spesies tunggal dilakukan untuk mengetahui kemampuan spesies
untuk tumbuh pada beberapa substrat minyak bumi seperti minyak goreng,
pertamak, limbah minyak berat (LMB), oli, minyak tanah, solar, dan ekstrak
limbah minyak berat. Pengujian dilakukan pada cawan petri yang telah
ditumbuhkan spesies tunggal dengan media marine agar. Ke dalam cawan petri
142
tersebut ditempatkan bulatan kertas saring yang telah dicelupkan. pada beberapa
substrat minyak bumi seperti minyak goreng, pertamak, limbah minyak berat
(LMB), oli, minyak tanah, solar, dan ekstrak limbah minyak berat. Kemudian
diamati munculnya zona bening disekitar substrat minyak bumi tersebut.
Aplikasi pada Tanah Tercemar dengan Penggunaan Spesies Tunggal
Limbah tanah tercemar yang digunakan yaitu limbah minyak berat (LMB).
LMB yang telah digiling kemudian ditimbang sebanyak 25 gram dan dimasukkan
ke dalam erlenmeyer 250 ml yang diberi sumbat kapas. LMB tersebut kemudian
disterilisasi pada suhu 121 °C selama 15 menit. Media minimal baru tanpa solar
yang telah disterilisasi, secara aseptis dimasukkan dan spesies tunggal bakteri
hasil pemindahan pada media minimal sebanyak 3 kali diinokulasikan sebanyak
200 μl pada LMB tersebut. Campuran tersebut kemudian diinkubasi goyang
dengan kecepatan 200 rpm pada suhu kamar selama 21 hari. Setiap hari ke-0, 3, 7,
14, dan 21, aplikasi tersebut secara rutin dianalisis TPH fasa padat , TPH fasa cair,
TPC, COD, dan pH.
Aplikasi pada Tanah Tercemar dengan Penggunaan Kombinasi Spesies Bakteri
Sebanyak 3 spesies bakteri (Salipiger sp PR55-4, Bacillus altitudinis, dan
Ochrobactrum anthropi) dengan kinerja degradasi hidrokarbon terbaik kemudian
dikombinasikan untuk mengetahui kemampuannya dalam berinteraksi dengan
kombinasinya yaitu Salipiger sp. PR55-4 + Bacillus altitudinis, Salipiger sp.
PR55-4 + Ochrobactrum anthropi, Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi
dan Salipiger sp PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi. Tiga
spesies tersebut merupakan 3 spesies dengan daya degradasi terbaik dari 11
spesies yang telah di uji kemampuannya. Langkah pembuatan slurry sama seperti
aplikasi spesies tunggal. Setiap hari ke-0, 3, 7, 14, dan 21, aplikasi tersebut secara
rutin dianalisis TPH fasa cair dan padat, TPC, COD, dan pH.
Pengukuran pH
Nilai pH diukur dengan mengunakan indikator pH universal.
143
Pengukuran TPH Fasa Cair (EPA 1999)
Sebanyak 50 ml sampel yang telah dicampur dengan limbah minyak
disaring kemudian diekstrak dengan corong pisah menggunakan 25 ml heksana
sebanyak dua kali. Kandungan air pada ekstrak dihilangkan dengan menambahkan
Na2SO4
% TPH (g/ml) =
anhidrat, kemudian disaring. Pelarut diuapkan setelah itu dipanaskan
dalam oven selama 45 menit pada suhu 70°C. Sampel hasil pengeringan
dilarutkan kembali dengan heksana dan ditambahkan silika gel untuk
menghilangkan senyawa-senyawa polar dan disaring. Pelarut diuapkan kembali
dan dipanaskan dalam oven. Bobot yang terukur merupakan residu minyak (nilai
TPH). Nilai TPH dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Bobot Minyak x 100%
Volume sampel
Pengukuran TPH Fasa Padat (EPA 1998)
Nilai TPH diukur menggunakan metode gravimetri dan dilakukan setiap
minggu selama ± 2 bulan. Sebanyak 5 gram sampel ditimbang kemudian
dibungkus dengan kertas saring dan dibuat timbel. Timbel yang telah dibuat
tersebut dimasukan dalam Soxhlet dan diekstrak dengan pelarut n-heksana 125 ml
selama ± 4 jam. Ekstrak yang diperoleh dihilangkan airnya dengan Na2SO4
Kadar TPH (%) =
anhidrat dan disaring, kemudian dihilangkan hidrokarbon berantai panjang dan
bergugus fungsi (grease) dengan silika gel 60 dan disaring. Ekstrak yang
diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam labu bundar dan dipekatkan dengan
penguap putar (rotary evaporator) hingga pekat atau sudah terpisah dengan
pelarutnya. Kemudian labu bundar yang berisi sampel uang sudah terekstrak
dipanaskan dalam oven pada suhu 70 ºC selama 10 menit kemudian didinginkan
dalam desikator dan ditimbang. Kadar TPH dihitung sebagai:
mx 100 %
1
m2
dengan m1 m
= Bobot ekstrak (g) 2
= Bobot sampel awal (g)
144
Pengukuran Populasi Bakteri (Hadioetomo 1998)
Larutan fisiologis NaCl 0,85% dipipet ke dalam tabung ulir (dengan label
10-1 sampai 10-8) sebanyak 9 ml. Selanjutnya tabung ulir berisi larutan fisiologis
disterilisasi beserta cawan petri, marine agar yang telah disiapkan dan tip untuk
mikropipet pada suhu 121°C selama 15 menit. Setelah sterilisasi, tabung ulir
didinginkan. Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan kedalam tabung ulir dengan
label 10-1, lalu tabung ulir tersebut dikocok hingga homogen. Sebanyak 1 ml dari
tabung ulir berlabel 10-1 dimasukkan ke dalam tabung ulir yang berlabel 10-2.
Tabung ulir berlabel 10-2 tersebut dikocok lalu 1 ml dipipet dan dimasukkan ke
dalam tabung ulir yang berlabel 10-3. Pemipetan dan pengocokan ini dilakukan
pada setiap tabung ulir sampai pengenceran/tabung ulir berlabel 10-8. Dari semua
tabung ulir (10-1 – 10-8), masing-masing dipipet sebanyak 1 ml ke dalam cawan
petri steril terpisah yang telah dilabeli 10-1 – 10-8
Pengukuran Kadar COD (Clesceri et al. 2005)
, kemudian larutan marine agar
(MA) dituang. Setelah agar padat cawan diinkubasi terbalik pada suhu 30°C
selama 24-48 jam. Jumlah koloni yang tumbuh pada cawan petri tersebut
dihitung. Jumlah koloni yang dapat diterima antara 30-300.
Sampel diambil sebanyak 10 ml dan dimasukkan ke dalam tabung COD,
kemudian ditambahkan larutan campuran kalium dikromat-merkuri sulfat ke
dalam sampel. 10 ml larutan campuran asam sulfat-perak sulfat dan campuran
diaduk dimasukkan kedalam tabung COD kemudian ditutup. Tahap di atas
diulangi pada air suling sebagai blanko. Setelah masing-masing unit pengamat
pada tutup dipasang, tabung dimasukkan ke dalam oven pada suhu 150 °C.
Setelah 2 jam, tabung COD dikeluarkan dari oven dan dibiarkan dingin.
Campuran dari tabung COD dipindahkan ke dalam erlenmeyer 100 ml dan dibilas
dengan air suling. Sebanyak 2 ml asam sulfat pekat dan 3 tetes larutan indikator
feroin ditambahkan secara berturut-turut ke dalam campuran. Campuran dititrasi
dengan larutan baku fero amonium sulfat 0,05 N yang telah distandardisasi
sampai terjadi perubahan warna dari hijau menjadi merah coklat lalu dicatat
volume pemakaian larutan baku fero amonium sulfat.
145
COD = (Vb-Vs) x N x 8000 Vs
x fp
Keterangan: Vb = volume blanko Vs = volume sampel N = kosentrasi Ferroammonium sulfat Fp = faktor pengenceran
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pemeliharaan Spesies Bakteri
Pemeliharaan bakteri pendegradasi hidrokarbon dilakukan dengan
menumbuhkan kembali spesies bakteri menggunakan media minimal cair serta
ditambahkan 5% minyak diesel (v/v).
(a) Salipiger sp. PR55-4 (b) Bacillus altitudinis (c) Ochrobactrum anthropi
Pemeliharaan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dan jumlah
spesies bakteri tersebut. Pengamatan dilakukan terhadap kekeruhan setiap hari,
pada saat tingkat kekeruhan pada media lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol
maka memperlihatkan adanya pertumbuhan spesies. Spesies yang tumbuh tersebut
ditumbuhkan kembali pada media yang sama dengan jumlah minyak diesel yang
sama pula, kemudian ditumbuhkan juga pada media marine agar untuk
mengetahui secara pasti pertumbuhan spesies bakteri tersebut. Pertumbuhan
ketiga spesies bakteri pada media marine agar dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Pada pengamatan yang dilakukan terhadap perubahan kekeruhan, adanya
perubahan kekeruhan pada media minimal yang ditambah 5% minyak diesel
mengindikasikan adanya pertumbuhan bakteri. Walaupun dalam minyak diesel
banyak senyawa yang bersifat toksik seperti hidrokarbon rantai pendek
Gambar 5.1 Pertumbuhan (a) Salipiger sp. PR55-4 (b) Bacillus altitudinis (c) Ochrobactrum anthropi pada media minimal dengan menggunakan minyak diesel 5% (v/v)
146
(Citroreksoko 1996) dan BTEX (benzena, toluena, etilbenzenaa, xilena)
(Rosenberg dan Ron 1998; Goudar dan Strevett 1998). Ketiga spesies tersebut
terbukti mampu memanfaatkan minyak diesel sebagai sumber karbonnya dengan
cara memproduksi enzim oksidase.
Senyawa-senyawa toksik tersebut terkandung dalam konsentrasi relatif
tinggi, hal ini mengakibatkan spesies bakteri membutuhkan waktu yang relatif
lama untuk dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan disekitarnya. Daubaras
dan Chakrabarty (1992) menyatakan bahwa perubahan kondisi lingkungan juga
akan mempengaruhi aktivitas mikroba di dalamnya. Aktivitas tersebut meningkat
karena adanya ekspresi gen-gen tertentu untuk memproduksi enzim-enzim yang
sesuai. Dengan demikian, pada degradasi minyak bumi dimana 90 persen
komponennya tersusun atas hidrokarbon, maka enzim yang berperan adalah
enzim-enzim oksigenase.
Ada dua macam enzim oksigenase yaitu monooksigenase dan dioksigenase.
Monooksigenase sangat berperan dalam degradasi hidrokarbon alifatik,
sedangkan dioksigenase pada hidrokarbon alisiklik. Keduanya berfungsi pada
tahap awal degradasi, yaitu pada saat insersi molekul oksigen ke dalam struktur
hidrokarbon. Pada n-alkana, insersi tersebut bisa terjadi pada gugus metil terminal
maupun pada gugus metil subterminal. N-alkana dioksigenasi menjadi alkohol,
kemudian menjadi asam karboksilat. Apabila suatu senyawa organik telah
terdegradasi sampai ke bentuk asamnya, reaksi degradasi selanjutnya berlangsung
melalui pemisahan dua unit karbon secara berkesinambungan. Reaksi tersebut
merupakan reaksi yang umum pada metabolisme sel hidup dan dikenal dengan
sekuen beta oksidasi. Disebut demikian karena oksidasi terjadi pada gugus metil
beta dalam n-alkana menjadi keton. Reaksi degradasi senyawa hidrokarbon lain
seperti alkena, hidrokarbon dengan rantai bercabang, alisiklik dan aromatik pada
prinsipnya sama. Perbedaannya terletak pada preferensi mikroba selama proses
biodegradasi berlangsung begitu pula dengan jalur biokimia dan enzim-enzim
spesifik yang terlibat didalamnya (Cookson 1995).
Setelah pengamatan visual selama satu minggu terlihat adanya perubahan
warna pada larutan media. Larutan media minimal untuk minyak bumi yang
147
bening lama-kelamaan menjadi keruh. Sementara itu, minyak diesel yang semula
menyatu dan membentuk lapisan tersendiri dipermukaan larutan media lama-
kelamaan terpecah menjadi butiran-butiran yang lebih kecil. Terbentuknya
butiran-butiran kecil itu disebabkan oleh kerja surfaktan yang ditambahkan dan
biosurfaktan yang dihasilkan oleh bakteri. Pemeliharaan tersebut dilakukan secara
terus menerus dengan maksud untuk menjaga kemampuan spesies tersebut agar
tetap menghasilkan enzim oksigenase yang diperlukan untuk mendegradasi
minyak bumi
Pengujian Spesies Bakteri
Pada biodegradasi limbah minyak bumi spesies tersebut diuji dengan
ditumbuhkan pada beberapa substrat minyak bumi (diesel, crude oil, pelumas,
minyak tanah dan bensin) pada cawan petri. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan media marine agar (Gambar 5.2).
Gambar 5.2 Pengujian ketiga spesies (a) Ochrobactrum anthropi (b) Salipiger sp. PR55-4 (c) Bacillus altitudinis pada berbagai minyak (MG=minyak goreng; PX=pertamax; MT=minyak tanah; HOK=LMB kasar; O=oli;HOT=LMB hasil ekstrak S=solar)
(a) (b)
(c)
148
Hasil Pengujian Spesies bakteri terlihat pada Tabel 5.2 berikut ini.
Tabel 5.2 Hasil pengujian daya hambat 3 spesies unggul terhadap berbagai jenis minyak
Spesies MG PX MT HOK O HOT S
Salipiger sp. PR55-4 + - + - + + +
Ochrobactrum anthropi - - - - - + +
Bacillus altitudinis + - + - - + +
Keterangan : MG=minyak goreng; PX=pertamax; MT=minyak tanah; HOK=LMB kasar; O=oli; HOT= TPH dan S=solar
Pengamatan dilakukan pada daerah sekitar bulatan kertas saring yang berisi
substrat minyak. Apabila spesies bakteri dapat tumbuh di sekitar bulatan atau
bahkan dapat tumbuh di atas bulatan kertas saring menandakan bahwa bakteri
tersebut dapat menggunakan atau mendegradasi substrat minyak bumi.
Pertumbuhan spesies bakteri di sekitar bulatan tersebut dapat diartikan
sebagai perbesaran maupun perbanyakan bakteri. Dikatakan perbesaran apabila
terjadi perbesaran volume sel, sedangkan perbanyakan terjadi pada saat sel
membelah diri. Sejak diinokulasikan ketiga spesies bakteri tersebut tumbuh secara
cepat dengan mengkonsumsi sumber karbon yang dikandung oleh media tersebut
sebelum memanfaatkan sumber karbon berupa butiran-butiran kertas saring yang
mengandung minyak sampai hari ke tiga spesies bakteri tumbuh. Setelah sumber
karbon pada media berkurang maka ketiga spesies bakteri menggunakan substrat
minyak sebagai sumber karbonnya. Ketiga spesies bakteri tersebut mampu
tumbuh pada minyak bumi fraksi berat (HOT) dan solar (S).
Pada pengujian dengan mempergunakan media minimal spesies bakteri
ditumbuhkan dengan ditambahkan 5 persen minyak diesel, kemudian
dibandingkan dengan kontrol substrat tanpa bakteri, hal ini untuk mengetahui
pertumbuhan spesies dalam mendegradasi minyak diesel. Kecepatan pelarutan
minyak dalam media dan adanya oksidasi minyak oleh bakteri diamati secara
fisikokimia yaitu terlihat adanya perubahan pada kekeruhan media dan pH.
149
Dari hasil pengujian diketahui bahwa kelarutan minyak pada media cair
semakin meningkat setelah 72 jam terutama pada Bacillus altitudinis
dibandingkan dengan Salipiger sp PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi.
Peningkatan kelarutan tersebut diduga oleh enzim membrane-bound oxygenase
yang dikeluarkan oleh bakteri untuk meningkatkan kontak secara langsung antara
minyak dengan bakteri, sehingga bakteri dapat memanfaatkan minyak tersebut
sebagai sumber karbon.
Menurut Rosenberg dan Ron (1998) dua cara biologis yang dilakukan
bakteri untuk meningkatkan kontak antara minyak dengan bakteri yaitu melalui
mekanisme spesifik adhesi/adsorpsi yang disebabkan oleh interaksi hidrofobik
dan mengemulsi minyak. Dalam melakukan adhesi bakteri memiliki lapisan
hidrofobik pada bagian permukaan membran luar sel mengandung protein dan
lemak yang menyebabkan terjadinya interaksi hidrophobik antara sel dengan
minyak.
Minyak diesel yang mula-mula menyatu dan membentuk lapisan tersendiri
dipermukaan larutan media lama-kelamaan terpecah menjadi butiran-butiran yang
lebih kecil. Terbentuknya butiran-butiran minyak yang lebih kecil disebabkan
oleh adanya produksi biosurfaktan oleh bakteri. Secara umum struktur dari
biosurfaktan termasuk bagian dari hidrophilik yang terdiri dari asam amino atau
peptida, anion atau kation, mono, di, atau polisakarida. (Georgiou et al. 1992
dalam Banat, 1994). Struktur biosurfaktan juga terdiri dari amophilik atau
hidrophilik peptida (Morkes 1993 dalam Banat, 1994). Beberapa biosurfaktan
juga dapat memproduksi senyawa seperti glukosa, sukrosa , gliserol atau etanol
yang mampu larut dalam air (Banat 1994)
Menurut Udiharto (1996) minyak diesel terdiri atas hidrokarbon C12-C18
dari normal alkana (lebih ringan dari kerosin). Disamping itu juga mengandung
sikloalkana, olefin, dan campuran aromatik dengan olefin (seperti stirena) dan
BTEX (benzena, toluena, etilbenzena, dan xilena) (Rosenberg dan Ron 1998).
Kehadiran senyawa-senyawa tersebut membuat bakteri membutuhkan waktu yang
relatif lama untuk dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan sekitarnya.
150
Menurut Wubah et αl. (1994) dalam Oetomo (1997), untuk bisa beradaptasi
dengan kondisi lingkungan, mikroba memerlukan waktu untuk : (1) pertumbuhan
awal populasi yang mendegradasi sampai menjadi ukuran yang cukup besar untuk
mempengaruhi degradasi; (2) induksi, (3) perubahan genetik dalam populasi yang
mendegradasi; dan (4) penggunaan substrat pengganti oleh mikroba yang
mendegradasi.
Setelah dilakukan pengujian pada media cair minimal maka dilakukan
kombinasi antar ketiga spesies bakteri tersebut. Kombinasi yang diperoleh antara
lain adalah Salipiger sp. PR55-4 + Bacillus altitudinis (AB); Salipiger sp. PR55-
4 + Ochrobactrum anthropi (AC), Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi
(BC); Salipiger sp. PR55-4 + Bacillus altitudinis +Ochrobactrum anthropi
(ABC).
Gambar 5.3. Pengujian biodegradasi ketiga spesies serta campurannya pada konsentrasi 5 persen minyak diesel 1. Blanko 2. Salipiger sp. PR55-4; 3. Bacillus altitudini; 4. Ochrobactrum anthropi; 5. Salipiger sp. PR55-4 + Bacillus altitudinis; 6. Salipiger sp. PR55-4 + Ochrobactrum anthropi; 7. Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi; 8. Salipiger sp. PR55-4 + Bacillus altitudinis +Ochrobactrum anthropi
Adanya surfaktan dalam media terlihat dengan terjadinya perubahan pada
lapisan antara minyak dengan media. Minyak diesel yang mula-mula membentuk
lapisan tersendiri lama-kelamaan akan menyatu dengan media. Kemudian pada
lapisan antara minyak diesel dengan media terbentuk butiran-butiran kecil yang
disebabkan oleh adanya surfaktan (LAS) yang ditambahkan dan biosurfaktan yang
dihasilkan oleh bakteri (Gambar 5.3).
151
Proses Biodegradasi Limbah Minyak Berat
Untuk mengetahui proses biodegradasi limbah minyak berat oleh ke 3
spesies yang digunakan baik secara tunggal maupun campuran dapat dipantau
dengan beberapa parameter yaitu nilai dari TPH fasa padat, TPH fasa cair, COD,
dan TPC selama proses biodegradasi berlangsung.
Pertumbuhan Bakteri dari Spesies Tunggal dan Campuran Selama Proses Biodegradasi
Pertumbuhan bakteri dari spesies tunggal dan campuran selama proses
biodegradasi diamati dari populasi bakteri. TPC merupakan cara perhitungan
jumlah koloni bakteri yang terdapat dalam suatu produk yang tumbuh pada media
agar pada suhu dan waktu yang ditetapkan. Total mikroba yang aktif akan
menentukan kemampuan mikroba untuk dapat mendegradasi polutan. Tingkat
degradasi hidrokarbon dipengaruhi oleh jumlah populasi bakteri (MECHEA
1991).
Jumlah sel yang memungkinkannya untuk dapat mendegradasi senyawa
hidrokarbon yaitu 1 x 106 cfu/ml sampai 1 x 108 cfu/ml dan jumlah sel optimum
dalam mendegradasi hidrokarbon menurut Trinidade et al. (2002) adalah sebesar 1
x 108
Pada Gambar 5.4 terlihat bahwa dari ketiga spesies tunggal yang digunakan,
Bacillus altitudinis memiliki jumlah koloni yang lebih besar dibandingkan dengan
Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi. Pertumbuhan Bacillus
altitudinis lebih baik dibandingkan dengan 2 spesies lainnya, hal ini juga
ditunjukkan dari tingkat kekeruhan yang dihasilkan pada Gambar 5.3. Bakteri
Bacillus altitudinis lebih keruh dibandingkan dengan bakteri Salipiger sp. PR55-4
dan Ochrobactrum anthropi.
cfu/ml. Jumlah sel pada masing-masing spesies bakteri optimum pada waktu
yang berbeda-beda (Gambar 5.1). Setiap spesies bakteri mengalami penaikan
jumlah sel seiring dengan bertambahnya waktu. Baik spesies tunggal maupun
campuran memiliki jumlah sel optimal pada hari ke-14, dan mengalami penurunan
jumlah sel pada hari ke-21. Penurunan jumlah sel menandakan fase pertumbuhan
spesies telah melewati fase stasioner menuju fase kematiannya (MECHEA 1991).
152
Gambar 5.4 Populasi bakteri dari spesies tunggal dan campuran
Jumlah koloni Salipiger sp. PR55-4 paling sedikit diantara ke 3 spesies
tunggal, hal ini disebabkan sulitnya adaptasi diawal pertumbuhannya. Akan tetapi
setelah melewati fasa lag bakteri dapat tumbuh dengan baik, artinya bakteri telah
melewati masa adaptasi dan menggunakan hidrokarbon dari limbah minyak berat
sebagai sumber energinya.
Kombinasi ke-3 spesies memberikan populasi bakteri yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kombinasi 2 spesies dan spesies tunggal, Pertumbuhan
kombinasi spesies lebih cepat dibandingkan dengan spesies tunggal. Pada hari ke
15 terlihat kombinasi 3 spesies (Salipiger sp.PR55-4. Bacillus antitudinis dan
Achrobactrum anthropi) memiliki pertumbuhan tertinggi diantara spesies dan
kombinasi yang lain. Pada fase pertumbuhan, salah satu dari kedua spesies
memproduksi senyawa antara yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri lain
secara kometabolisme atau sinergisme (Yu et al.,2001). Asosiasi sinergis
memberikan kemampuan pada kombinasi populasi mikroba untuk melakukan
sintesa suatu produk yang tidak bisa dilakukan sendiri (Atlas dan Bartha 1998).
0
2
4
6
8
10
12
0 7 14 21
Popu
lasi
Bak
teri
(log
CFU
/ml)
Waktu (Hari)
Salipiger sp PR55-4Bacillus altitudinisOchrobactrum anthropiSalipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinisSalipiger sp PR55-4 + Ochrobactrum anthropiBacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropiSalipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi
153
Pertumbuhan ini menunjukkan bahwa kombinasi antara kedua spesies atau
lebih memiliki kemampuan mendegradasi yang lebih baik dibandingkan dengan
spesies tunggalnya. Seiring dengan tingginya persen degradasi yang dihasilkan
dari kombinasi 3 spesies bakteri ini. Hal ini dibuktikan dengan penelitian-
penelitian yang lain dimana Pseudomonas sp dan Arthrobacter sp dapat tumbuh
dengan baik pada crude oil dibandingkan dengan spesies tunggalnya yang
menunjukkan terjalinnya sinergisme (Yu et al. 2001). Kemampuan Degradasi
hidrokarbon oleh Pseudomonas dan Enterobacter dapat dilihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3. Kemampuan Degradasi hidrokarbon oleh Pseudomonas dan Enterobacter
Nilai pH Spesies Tunggal dan Campuran
Kondisi pH mempengaruhi pertumbuhan bakteri serta kemampuan bakteri
dalam mendegradasi hidrokarbon minyak bumi. Kondisi pH yang normal atau
netral membuat pertumbuhan sel spesies optimum. Jumlah sel spesies yang
optimum akan meningkatkan kemampuan spesies dalam degradasi senyawa
hidrokarbon. Peningkatan tingkat degradasi diindikasikan dari penurunan nilai
TPH setiap harinya. Kondisi optimum pH dalam tingkat degradasi TPH yang baik
adalah pH 7-7,5 (Aditiawati 2007; Zam 2006). pH berperan dalam transpor
Spesies Tipe hidrokarbon yang didegradasi Sumber
Pseudomonas aeruginosa LP602
Lelehan mentega dari susu hewan, minyak kastor, minyak kelapa, minyak zaitun, minyak kedelai, minyak ikan tuna, minyak beras.
Dharmsthiti dan Kuhasuntisuk, 1998
Pseudomonas putida F1 Benzen, toluen, xylen. Yu et αl., 2002 Pseudomonas putida B2 2-nitrofenol Folsom, 1997 Pseudomonas aeruginosa n-heksadekana dan metabolit
hidrokarbon Chayabutra dan Ju, 2000
Enterobacter agglomerans gliserol Barbarito et αl., 1996
Enterobacter cloaceae Nitrofuran, nitroamidazola, turunan nitrobenzen, dan quinon.
Bryant dan Deluca (1991) dalam Funk et αl. (1995)
Enterobacter aerogenes Diklorodifenil-trikloroetana (DDT)
Cookson, 1995
154
membran, fungsi sekuler, dan keseimbangan reaksi katalis di dalam sel (Zam
2006). Tingkat keasaman (pH) dapat berubah selama pertumbuhan mikroba. Oleh
karena itu, kondisi pH perlu dikontrol ketika proses biodegrasi berlangsung.
Jika dalam proses biodegradasi terjadi kenaikan ataupun penurunan pH, pH
dikontrol dengan menambahkan NaOH atau HCl sampai menjadi pH normal atau
netral (pH 7). Peningkatan pH dapat terjadi jika adanya proses reduksi nitrat
membentuk amonia atau gas nitrogen, sedangkan penurunan pH terjadi bila
terbentuknya asam-asam organik sebagai hasil proses fermentasi (Tanner 1997).
Nilai pH spesies tunggal dan campuran berada pada rentang 6-8, dimana
mayoritas mikrorganisme tanah akan tumbuh dengan subur pada pH antara 6
sampai 8. Selama proses biodegradasi berlangsung, nilai pH spesies tunggal dan
campuran turun. Hal ini menandakan adanya degradasi senyawa hidrokarbon
menghasilkan asam-asam organik sehingga terjadi penurunan pH. Adanya proses
0
2
4
6
8
10
0 7 14 21
pH
Waktu (hari)BlankoSalipiger sp PR55-4Bacillus altitudinisOchrobactrum anthropiSalipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinisSalipiger sp PR55-4 + Ochrobactrum anthropiBacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropiSalipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropi
Gambar 5.5 Perubahan pH media fermentasi dengan menggunakan spesies tunggal dan campuran selama proses bioremediasi
155
degradasi juga dapat dilihat dari penurunan TPH dan kenaikan persentase
degradasinya seperti yang disajikan pada Gambar 5.5.
Nilai TPH Fasa Padat Spesies Tunggal dan Campuran
TPH atau Total Petroleum Hydrocarbon merupakan salah satu
parameter keberhasilan proses bioremediasi limbah minyak bumi yang nilai
akhirnya harus sesuai dengan nilai yang diperkenankan dalam peraturan
perundang-undangan. TPH menggambarkan jumlah hidrokarbon dengan berbagai
macam panjang rantai tanpa melihat jenisnya, yaitu alisiklik, aromatik atau
alifatik.
Gambar 5.6 Persen TPH fasa padat dari spesies tunggal dan campuran selama 21 hari
Diantara 3 spesies tunggal yang digunakan, terlihat bahwa spesies bakteri
Salipiger sp. PR55-4 memiliki persen TPH fasa padat yang lebih rendah
dibandingkan dengan 2 spesies tunggal lainnya. Hal ini disebabkan karena persen
TPH awalnya juga lebih rendah, dan persen degradasinya sampai hari ke-21 juga
lebih rendah (51.65%) dibandingkan dengan dari bakteri Bacillus altirudinis yang
memiliki persen degradasi sebesar 54.26%. Pada Gambar 5.7 terlihat bahwa,
0
2
4
6
8
10
12
14
0 7 14 21
TPH
fas
a pa
dat (
%)
Waktu (Hari)Salipiger sp PR55-4Bacillus altitudinisOchrobactrum anthropiSalipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinisSalipiger sp PR55-4 + Ochrobactrum anthropiBacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropiSalipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropiBlanko
156
Bacillus altitudinis memiliki persen degradasi tertinggi diantara 2 spesies tunggal
lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa bakteri Bacillus altitudinis memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam mendegradasi hidrokarbon yang terdapat pada
limbah minyak berat dibandingkan Salipiger sp. PR55-4 dan Achrobactrum
anthropi. Kemampuan degradasi yang lebih baik dari Bacillus altitudinis
disebabkan oleh pertumbuhannya lebih baik dibandingkan dengan bakteri
Salipiger sp. PR55-4 dan Achrobactrum anthropi. Sesuai dengan uji konfirmasi
yang dilakukan, bakteri Bacillus altitudinis ini dapat mendegradasi PAH yaitu
phenanthrene. Walaupun Salipiger sp. PR55-4 dapat mendegradasi 2 senyawa
PAH yaitu dibenzotiofena dan fenantrena, akan tetapi karena jumlah koloninya
lebih sedikit maka kemampuan mendegradasi menjadi lebih kecil dibandingkan
dengan Bacillus antitudinis.
Gambar 5.7 Persen degradasi dari spesies tunggal dan campuran selama 21 hari
Spesies campuran 3 jenis bakteri yaitu Salipiger sp. PR55-4, Bacillus
antitudinis dan Achrobactrum anthropi memberikan persen degradasi tertinggi
dibandingkan dengan campuran 2 jenis bakteri dan spesies bakteri tunggal. Persen
degradasi yang dihasilkan oleh konsorsium 3 jenis bakteri (Salipiger sp. PR55-4,
0
20
40
60
80
100
0 7 14 21
Pers
en D
egra
dasi
Waktu (hari)Salipiger sp PR55-4Bacillus altitudinisOchrobactrum anthropiSalipiger sp PR55-4 + Bacillus anthropiSalipiger sp PR55-4 + Ochrobactrum anthropiBacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropiSalipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropiBlanko
157
Bacillus antitudinis dan Achrobactrum anthropi) mencapai 81.52% dengan TPH
akhir sebesar 2.33% (b/b) dari TPH awal sebesar 12.61%(b/b). Hal ini didukung
oleh Hikmatulloh (2004), menyatakan bahwa kombinasi spesies bakteri lebih
mampu mendegradasi suatu hidrokarbon dari minyak bumi dibandingkan spesies
tunggal. Bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus antitudinis dan Achrobactrum
anthropi bersinergis untuk mendegradasi dibenzotiofena, penantrena, dan
fluorena.
Nilai TPH Fasa Cair Spesies Tunggal dan Campuran
Nilai TPH fasa cair sangat kecil dan mengalami fluktuasi (Gambar 5.8).
Hal ini dikarenakan minyak yang terdispersi dari fase padat ke fase cair
jumlahnya sedikit atau minyak yang terdispersi pada fase cair telah didegradasi
oleh bakteri tersebut sehingga jumlah hidrokarbon pada fase cair sangatlah
rendah. Biosurfaktan yang dihasilkan oleh spesies dan surfaktan yang
ditambahkan akan membuat minyak yang terdapat pada padatan terdispersi ke
fase cairnya. Sesuai dengan penelitian sebelumnya adanya penambahan surfaktan
dapat meningkatkan kelarutan limbah minyak bumi dalam air.
Gambar 5.8 Persen TPH fasa cair dari spesies tunggal dan campuran selama 21 hari
0
1
2
3
4
5
6
0 7 14 21
TPH
fad
a ca
ir (%
)
Waktu (hari)Salipiger sp PR55-4Bacillus altitudinisOchrobactrum anthropiSalipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinisSalipiger sp PR55-4 + Ochrobactrum anthropiBacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropiSalipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropiBlanko
158
Nilai TPH fasa cair meningkat di hari ke-3 (Gambar 5.8) kemudian
mengalami penurunan hingga hari ke-21. Hal ini dikarenakan pada hari ke-3
terjadi peningkatan kontak antara spesies dan minyak sehingga jumlah senyawa
hidrokarbon mulai berkurang. Penurunan TPH fasa cair terbesar terjadi pada
kombinasi tiga spesies, yaitu sebesar 1.68% (b/b) di hari ke-21.
Nilai COD Spesies Tunggal dan Campuran
Waktu inkubasi mempengaruhi nilai COD pada proses biodegradasi.
Semakin lama waktu inkubasi dengan proses pengadukan maka nilai COD setiap
spesies mengalami peningkatan (Gambar 5.9).
Gambar 5.9 Perubahan nilai COD dari spesies tunggal dan campuran
Dalam kurun waktu 21 hari nilai COD mengalami peningkatan,
dikarenakan selama kurun waktu tersebut terjadi proses biodegradasi yang
menghasilkan asam-asam organik sehingga nilai COD meningkat. Hal ini juga
didukung oleh penurunan pH yang terjadi selama kurun waktu tersebut.
0
100000
200000
300000
400000
0 7 14 21
CO
D (p
pm)
Waktu (hari)
Salipiger sp PR55-4Bacillus altitudinisOchrobactrum anthropiSalipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinisSalipiger sp PR55-4 + Ochrobactrum anthropiBacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropiSalipiger sp PR55-4 + Bacillus altitudinis + Ochrobactrum anthropiBlanko
159
Kombinasi tiga spesies memiliki nilai COD yang paling rendah, yaitu
sebesar 246456 mg/L di hari ke-21. Nilai COD ini sebanding dengan nilai TPH
fasa cair kombinasi tiga spesies yang lebih rendah dari spesies tunggal dan
kombinasi dua spesies (Lampiran 5.3). Hal ini terjadi karena senyawa hidrokarbon
yang ada di dalam cairan didegradasi oleh spesies bakteri, terutama kombinasi
tiga spesies.
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan spesies tunggal Saipiger sp. PR55-4, Bacillus
altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi pada bioremediasi limbah minyak berat
selama 21 hari menunjukkan % degradasi sebesar 51.65%, 54.26%, dan 46.76%
sedangkan spesies kombinasi memiliki % degradasi sebesar 60.13% untuk
kombinasi Salipiger sp. PR55-4 dan Bacillus altitudinis, 57.00% untuk kombinasi
Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi. Dibandingkan dengan spesies
tunggal, spesies campuran memiliki % degradasi yang lebih baik. Kombinasi
terbaik untuk mendegradasi limbah minyak berat adalah kombinasi bakteri
Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan Ochrobactrum anthropi dengan %
degradasi terbesar yaitu sebesar 81.52% pada hari ke 21.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni D. 2003. Isolasi Bakteri dan Kapang Pendegradasi Hidrokarbon Minyak Diesel dari Kotoran Hewan. [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Atlas MR, Bartha R. 1998. Microbial Ecology: Fundamentals And Applications. 4th
Barbarito, Fabien, Soucaille P, Bories A. 1996. Physiologic Mechanisms Involved in Accumulation of 3-Hydroxypropionaldehyde during Fermentation of Glycerol by Enterobacter angglomerans. Aplied and Enviromental Microbiology. Dec. 1996. 12 (62): 4405-4409.
edition. Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Chayabutra C, Ju LK. 2000. Degradation of n-Hexadecane and Its Intermediates by Pseudomonas aeruginosa under Microaerobic and Anaerobic Denitrifying Condotion. Aplied and Environmental Microbiology. Feb 2000. P.493-498
160
Citroreksoko P. 1996. Pengantar Bioremediasi. Prosiding Pelatihan dan Lokakarya “Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan”. Cibinong 24-28 Juni 1996. LIPI-BPPT-HSF.
Clesceri LC, Greenberg AE, Eaton AD. 2005. Standard Method for Examination of Water and Wastewater 21th
Cookson JT. 1995. Bioremediatian Engineering design and Application. New York: McGraw-Hill, Inc.
.5220.C- Clossed Reflux, Titrimetri Method. APHA, AWWA, WEF.
Daubaras D, Chakrabarty AM. 1992. The Environment, Microbes and Bioremediation: Microbial Activities Modulated by the Environment. J Biodegradation 3: 125-135. Kluwer Academic Publisher.
Dharmsthiti S, Kuhasuntisuk B. 1998. Lipase from Pseudomonas aeruginosa LP602: biochemical properties and application for wastewater treatment. Journal of Industrial Microbiology & Biotechnology. 21: 75-80
Folsom BR. 1997. Characterization of 2-nitrophenol uptake systera of Pseudomonas putida B2. Journal of Industrial Microbiology & Biotechnology. 19: 123-129
Funk SB, Crawford DL. 1996. Bioremediation of Nitroaromatic Compounds. Ch.
6 in Bioremediation Principles and Aplications. Cambridge University Press. Cambridge.
Goudar CT, Strevett KA. 1998. Comparison of Relative Rates of BTEX
Biodegradation using Respirometry. Journal of Industrial Microbiology & Biotechnology .21:11-18.
Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Hikmatuloh YA. 2004. Kajian Kombinasi Bakteri Pada Proses Biodegradasi Minyak Diesel (Skripsi). FATETA-IPB.
Kanaly RA, Bartha R, Watanabe K, Harayama S. 2002. Rapid mineralization of
benzo[a]pyrene by microbial consortium growing on diesel fuel. Applied and Environmental Microbiology 66(10): 4205-4211.
Lee EY, Jun YS, Cho KS. 2002. Degradation Characteristics of Toluene, Benzene, Ethylbenzene, and Xylene by Stenotrophomonas maltophilia T3-c. J. Air & Waste Manage. Assoc. 52:400-406.
[MECHEA] Maxus Energy Corporation Health and Environmental Affairs. 1991. Alpha Environmental. Colorado. Alpha Environmental Midcontinent Inc.
Rosenberg E, Ron EZ. 1996. Bioremediation: Principles and Applications, Bioremediation of Petroleum Contaminant. UK: Cambridge University Press.
Trinidade P, Sobral LG, Rizzo AC, Leite SGF, Lemos JLS, Milloilli VS, Soriano AU. 2002. Evaluation of The Biostimulation and Bioaugmentation Techniques in The Bioremediation Process of Petroleum Hydrocarbon
161
Contaminated Soils. 9th
International Petroleum Environmental Conference, IPEC (Integrated Petroleum Environmental Consortium).
Yu H, Kimand BJ, Rittmann BE. 2001. A Two-Step Model for The Kinetics of BTX Degradation and Intermediate Formation by Pseudomonas putida F1. Biodegradation 12 : 455-463.
162
Lampiran 5.1 Komposisi media marine broth (Atlas 1995)
Bahan Komposisi (g/1000 ml)
Yeast extract 1
Pepton 5
Ferric citrate 0.1
NaCl 19.45
MgCl 8.8 2
Na2SO 3.24 4
CaCl 1.88 2
KCl 0.55
Na2CO 0.16 3
SrCl 0.034 2
Asam Borat 0.022
Natrium silikat 0.004
Natrium flourida 0.0024
Amonium nitrat 1.6
Na2PO 0.008 4
163
Lampiran 5.2 Persen TPH fasa padat (%b/b) dari spesies tunggal dan campuran
Sampel Hari ke- 0 3 7 14 21
Blanko 12.47 11.36 10.59 9.57 8.22 A 11.51 10.41 9.82 7.84 5.57 B 12.69 11.10 8.83 6.95 5.80 C 11.63 11.12 8.61 7.20 6.19
AB 12.53 11.23 8.53 6.13 4.99 AC 11.97 11.57 8.89 6.67 5.15 BC 12.74 10.60 7.72 6.19 4.78
ABC 12.61 10.34 8.61 5.72 2.33
Keterangan : A = Salipiger sp. PR55-4 B = Bacillus altitudinis C = Ochrobactrum anthropi Perhitungan :
TPH (%b/b) = sampelbobot
yakbobot min X 100%
164
Lampiran 5.3 Persen TPH fasa cair (%b/v) dari spesies tunggal dan campuran
Sampel Hari ke- 0 3 7 14 21
Blanko 1.79 3.86 4.77 5.33 5.08 A 2.45 4.26 5.44 4.85 4.41 B 1.63 3.72 3.43 2.88 2.24 C 1.58 3.46 4.20 3.67 3.87
AB 1.67 3.10 2.88 2.49 2.12 AC 1.53 3.68 3.35 3.16 2.67 BC 1.56 3.57 3.20 2.63 2.33
ABC 1.67 2.42 2.62 2.07 1.68
Keterangan : A = Salipiger sp. PR55-4 B = Bacillus altitudinis C = Ochrobactrum anthropi Perhitungan :
TPH (%b/v) = sampelvolume
yakbobot min X 100%
165
Lampiran 5.4 Persen degradasi TPH dari spesies tunggal dan campuran
Sampel Hari ke-
3 7 14 21
Blanko 8.92 15.08 23.26 34.09
A 9.63 14.75 31.90 51.65
B 12.49 30.38 45.24 54.26
C 4.45 25.99 38.08 46.76
AB 10.33 31.92 51.09 60.13
AC 3.34 25.71 44.26 57.00
BC 16.79 39.40 51.41 62.47
ABC 17.99 31.71 54.62 81.52
Keterangan : A = Salipiger sp. PR55-4 B = Bacillus altitudinis C = Ochrobactrum anthropi Perhitungan :
Persentase degradasi (%) = 0
0
H
HH
TPHTPHTPH
n−
X 100%
Ket : n adalah jumlah hari
166
Lampiran 5.5 Nilai COD (mg/mL) dari spesies tunggal dan campuran
Sampel Hari ke- 0 3 7 14 21
Blanko 114240 138720 242544 250368 258192 A 116280 187680 305136 367728 250368 B 153000 110160 226896 211248 277752 C 114240 146880 258192 281664 301224
AB 110160 134640 242544 273840 250368 AC 114240 175440 219072 258192 281664 BC 110160 177480 219072 234720 293400
ABC 112200 132600 219072 226896 246456 Keterangan : A = Salipiger sp. PR55-4 B = Bacillus altitudinis C = Ochrobactrum anthropi Perhitungan :
COD (mg/mL) = ( )
( ) xfpmLSampelVolume
oksigenBExxNxBA 1000−
167
Lampiran 5.6 Populasi bakteri(CFUg/mL) dari spesies tunggal dan campuran
Sampel Hari ke- 0 3 7 14 21
A 1.00x10 1.36x105 1.64x105 1.60x106 8.20x108 7 B 4.24x10 1.38x105 1.67x109 6.49x109 1.25x109 C
9 4.32x10 1.56x104 8.52x107 6.00x107 1.61x109
AB 9
2.61x10 1.15x105 1.34x109 6.04x108 2.46x109 AC
9 1.36x10 1.52x103 1.05x106 2.71x108 1.01x109
BC 9
2.88x10 5.28x105 7.30x108 6.42x109 3.79x109 ABC
9 2.65x10 6.90x106 9.80x108 7.10x109 4.07x1010 9
Keterangan : A = Salipiger sp. PR55-4 B = Bacillus altitudinis C = Ochrobactrum anthropi Lampiran 5.7 Nilai pH dari spesies tunggal dan campuran
Sampel Hari ke- 0 3 7 14 21
Blanko 6.5 7.0 7.0 6.5 6.0 A 7.0 7.5 7.5 7.5 7.0 B 7.0 7.5 7.5 7.5 7.0 C 7.0 7.5 7.5 7.5 6.0
AB 7.0 7.5 7.5 7.5 7.0 AC 7.0 7.5 8.0 75. 7.0 BC 7.5 8.0 7.5 75. 7.0
ABC 7.5. 8.0 7.5 7.5 7.0 Keterangan : A = Salipiger sp. PR55-4 B = Bacillus altitudinis C = Ochrobactrum anthropi
BAB VI
PEMBAHASAN UMUM
Aktivitas penambangan minyak bumi akan menghasilkan limbah minyak
bumi yang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Salah satunya adalah
limbah minyak berat yang mengandung fraksi berat minyak bumi yang bersifat
toksik terhadap lingkungan disekitarnya seperti tanah, air tanah, dan tanaman.
Tanah yang tercemar limbah minyak berat ini memiliki pH yang cukup rendah
yaitu 5, kandungan hidrokarbon yang tinggi yaitu 30.32%, dan teksturnya yang
liat menyebabkan sulit untuk diolah dengan sistem bioremediasi, dimana bakteri
yang yang bekerja sebagai pendegradasi hidrokarbon dalam sistem bioremediasi
dapat optimal bekerja pada pH 6-8 dan kandungan hidrokarbon tak lebih dari
15%.
Untuk menurunkan kandungan hidrokarbon minimal sampai 15% dilakukan
pengenceran dengan air dalam sistem bioslurry dan dengan tanah dalam sistem
landfarming. Karena tingginya kandungan hidrokarbon dan teksturnya yang liat
maka pencampuran air atau tanah sulit untuk dilakukan, untuk itu dilakukan upaya
meningkatkan dispersi limbah minyak bumi dalam air dan dalam tanah dengan
menambahkan surfaktan. Dispersi minyak bumi ke dalam medium air akan lebih
mudah bila ditambahkan surfaktan. Surfaktan adalah senyawa organik yang
memiliki gugus polar dan non-polar sekaligus dalam satu molekulnya.
Surfaktan dapat mengikat minyak yang bersifat non-polar dan di sisi lain
surfaktan juga dapat mengikat air yang bersifat polar, sehingga surfaktan dapat
memudahkan kontak antara mikroba dengan sumber karbon dari minyak bumi
sebagai makanannya. Dalam penelitian ini digunakan surfaktan anionik dan
nonionik karena surfaktan anionik dan nonionik umumnya bersifat biodegradabel,
tidak bersifat toksik terhadap mikroba, dan harganya relatif murah (Kosswig dan
Marl 2003) jika dibandingkan dengan surfaktan kationik yang bersifat toksik
terhadap mikroba (Tharwat 2005).
Surfaktan anionik yang digunakan adalah linear alkilbenzene sulphonate
LAS) dan natrium dodesil sulfat (NDS) dan surfaktan non ionik yang digunakan
adalah Tween 80 dan Brij 35. Dengan meningkatnya kelarutan limbah minyak
berat akan mempengaruhi kinerja bakteri dalam proses biodegradasi limbah
minyak berat. Biodegradasi akan lebih mudah dan cepat terjadi bila minyak dalam
bentuk terdispersi. Hasil penelitian Gogoi et al. (2002) yang menunjukkan bahwa
penggunaan biosurfaktan yang diisolasi dari Pseudomonas sp akan
memaksimalkan tingkat biodegradasi minyak mentah dibandingkan dengan tanpa
penambahan biosurfaktan. Helmy (2006) juga mengatakan bahwa penambahan
surfaktan (Tween 80) meningkatkan proses biodegradasi sludge minyak bumi oleh
konsorsium bakteri petrofilik. Parameter peningkatan dispersi limbah minyak
berat dilihat dari nilai COD, total petroleum hydrocarbon (TPH) padat dan cair
dalam berbagai laju pengadukan.
Hasil penelitian (Gambar 2.8 dan 2.9) memperlihatkan bahwa semakin
tinggi laju pengadukan, maka nilai TPH fasa padat semakin kecil dan nilai TPH
fasa cair semakin besar. Nilai TPH fasa padat dan fasa cair dari penambahan
surfaktan LAS pada pengadukan 140 rpm adalah 10.20% dan 1.33%, sedangkan
dengan penambahan surfaktan NDS adalah 9.12% dan 1.68%. TPH fasa cair dari
penambahan surfaktan NDS lebih tinggi dibandingkan dengan LAS, hal ini
berkorelasi dengan nilai COD yang dihasilkan (Gambar 2.10). Penambahan NDS
memiliki nilai COD yang lebih tinggi dibandingkan LAS. Nilai COD tertinggi
terjadi pada laju pengadukan 140 rpm, yaitu 33499 mg/L untuk 0.04% LAS, dan
35909 mg/L untuk 0.15% NDS. Semakin tinggi laju pengadukan, maka nilai COD
semakin besar pula. Hal ini disebabkan semakin tinggi laju pengadukan, maka
semakin banyak senyawa organik yang terkandung dalam limbah minyak bumi
masuk ke media air. Nilai ini menunjukkan bahwa limbah minyak bumi tersebut
banyak mengandung senyawa organik berupa hidrokarbon aromatik maupun
hidrokarbon alifatik. Sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi senyawa tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana semakin
tinggi.
Sedangkan untuk surfaktan nonionik penambahan Brij 35 (0.0150%)
memberikan nilai TPH fasa cair lebih tinggi dibandingkan dengan Tween 80 dan
blanko. Nilai TPH fasa cair yang semakin besar menggambarkan proses dispersi
minyak ke dalam air semakin baik. NDS memiliki nilai TPH fasa cair yang lebih
besar dibandingkan LAS dan Brij 35 memiliki TPH fasa cair yang lebih besar
172
dibandingkan Tween 80, hal ini disebabkan karena konsentrasi NDS dan Brij 35
lebih tinggi dibandingkan konsentrasi LAS dan Tween 80 sehingga menyebabkan
semakin banyak minyak yang berinteraksi dengan NDS dan Brij 35. Akan tetapi
kosentrasi yang tinggi dapat menghasilkan busa yang lebih banyak sehingga
mengganggu proses aerasi dan biodegradasi menjadi tidak optimal. Berdasarkan
uji ANOVA (analysis of variance) yang dilakukan pada data perlakuan laju 140
rpm, nilai TPH fasa cair untuk penambahan LAS dan NDS menghasilkan data
yang tidak berbeda nyata (Lampiran 2.30). Untuk itu dalam perlakuan selanjutnya
digunakan surfaktan LAS karena pada kosentrasi yang lebih kecil akan
menghasilkan busa yang lebih sedikit sehingga tidak menganggu dalam proses
aerasi. Surfaktan LAS pada konsentrasi 0.04% dapat meningkatkan dispersi
limbah minyak bumi lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya karena karena
stabilitas emulsi LAS lebih tinggi (1.58%) dibandingkan dengan surfaktan NDS,
Tween 80, dan Brij 35. Penelitian yang dilakukan oleh Suardana et al. (2002)
menunjukkan bahwa penambahan surfaktan LAS yang diberikan ke petak sel
penelitian ini mampu meningkatkan hasil proses biodegradasi limbah minyak
bumi secara berbanding lurus. Semakin tinggi konsentrasi surfaktan LAS yang
digunakan didalam penelitian ini, semakin besar efek pendispersian minyak bumi
didalam air sehingga akan memperluas kontak permukaan antara limbah minyak
bumi dengan nutrisi, air dan oksigen yang pada akhirnya mikroba di lingkungan
tersebut mampu untuk meningkatkan hasil proses biodegradasi yang terjadi. Akan
tetapi konsentrasi surfaktan yang tinggi akan membuat busa lebih banyak pada
saat pengadukan sehingga menghalangi proses aerasi dalam biodegradasi.
Tahap penelitian selanjutnya adalah melakukan bioremediasi tanah
tercemar limbah mimyak berat dengan teknik bioslurry dan teknik landfarming.
Bioremediasi dengan teknik landfarming telah dilakukan untuk mengatasi tanah
tercemar limbah minyak berat pada industri minyak PT CPI. Dengan
menggunakan mikroba indigen dibutuhkan waktu ± 8 bulan untuk menurunkan
TPH ≈ 4%, yang selanjutnya mikroba ini tidak mampu lagi untuk menurunkan
TPH sampai 1%, sesuai Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003. Untuk itu
dilakukan penelitian yang bertujuan mendapatkan teknik bioremediasi yang
efektif untuk mengatasi limbah minyak berat yang semakin lama semakin
menumpuk dengan menggunakan konsorsium bakteri yang diperoleh dari limbah
minyak berat dan kotoran hewan. Kotoran hewan merupakan bahan aktif, yang
banyak mengandung mikroba. Selain kaya akan mikroba perombak, kotoran
hewan juga memiliki kandungan nutrisi yang cukup bagi pertumbuhan mikroba.
Secara umum, kotoran segar hewan mengandung 70 – 80% air, 0.3 – 0.6%
nitrogen, 0.1 – 0.4% fosfor dalam bentuk P2O5, 0.3 – 1.0% kalium dalam bentuk
K2
Penelitian ini menggunakan teknik bioremediasi bioslurry dan lanfarming
dengan konsorsium bakteri yang berasal dari limbah minyak berat dan kotoran
hewan. Dalam penelitian ini bioremediasi dengan teknik bioslurry dapat
menurunkan persentasi TPH sampai mencapai 0.11% dari persentase TPH awal
sebesar 20.71% dalam waktu 1 bulan, berada
O (Waksman 1957 dalam Anggraeni 2003). Anggraeni (2003) mengisolasi
mikroba pendegradasi minyak bumi dari kotoran hewan dan mengidentifikasi 3
isolat yaitu Pseudomonas pseudomallei, Pseudomonas aeruginosa, dan
Enterobacter agglomerans. Hikmatulloh (2004) dan Zaky (2005) mengujicobakan
isolat pendegradasi tersebut pada minyak diesel. Kotoran sapi dan kuda
merupakan sumber isolat mikroba yang dapat dimaanfaatkan dalam mendegradasi
minyak bumi. Isolat-isolat ini dapat digunakan untuk mendegradasi senyawa
hidrokarbon secara spesifik, baik dalam keadaan tunggal maupun campuran.
jauh dibawah ambang batas yang
ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 10000 ppm
atau 1 %. Artinya dengan teknik bioslurry, selama 1 bulan pengamatan memiliki
persen degradasi sebesar 99.47%. Bioremediasi dengan teknik bioslurry lebih
cepat daripada teknik lanfarming. Banerji (1996) mengatakan bahwa proses
bioremediasi dengan menggunakan slurry bioreaktor memiliki keuntungan
sebagai berikut: mempercepat proses transfer massa antara fase padat dan cair:
kontrol lingkungan seperti nutrisi, pH, dan suhu dapat berlangsung dengan baik;
mudah dalam memelihara tingkat penerimaan elektron dalam reaktor; dan
berpotensi dalam mencegah kontaminasi oleh mikroba pengganggu. Akan tetapi
dengan teknik bioslurry ini dibutuhkan alat yang lebih kompleks, penanganannya
lebih rumit dan biaya operasional yang mahal, sehingga industri perminyakan
lebih memilih teknik landfarming yang membutuhkan alat yang lebih sederhana,
penanganan yang lebih mudah dan biaya operasionalnya jauh lebih murah. Teknik
174
landfarming yang digunakan diberi perlakuan untuk meningkatkan persen
degradasi dengan menambahkan tanah liat dan kompos pada berbagai variasi.
Selama 4 bulan pengamatan didapat persen degradasi dari limbah minyak berat
yang dicampur dengan tanah liat sebesar 33.79%. Ketika dicampur dengan
kompos, persen degradasi meningkat menjadi 53.34% dari konsentrasi TPH awal
sebesar 11.96% turun menjadi 5.58% (Lampiran 3.4). Penambahan kompos dapat
meningkat kemampuan bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon, selain
memiliki porositas yang cukup tinggi sehingga kelembaban terjaga, bakteri juga
memanfaat kompos yang mengandung nutrien yang dibutuhkan oleh bakteri.
Berdasarkan data kromatogram GCMS dapat dilihat perubahan senyawa
hidrokarbon. Pada pengukuran awal teridentifikasi senyawa hidrokarbon dari C-6
sampai C-35, setelah 4 bulan proses bioremediasi hanya teridentifikasi senyawa
hidrokarbon dari C-6 sampai C-12, ada 8 senyawa hidrokarbon yang tidak
terdeteksi lagi. Hilangnya senyawa pada akhir pengukuran dapat dilihat pada
Tabel 3.2. Hilangnya senyawa hidrokarbon tersebut karena terjadi proses
degradasi oleh bakteri menjadi senyawa hidrokarbon rantai pendek atau menjadi
senyawa yang lebih sederhana. Dari proses biodegradasi ini, senyawa hidrokarbon
yang memiliki rantai panjang dan bobot molekul yang tinggi dipecah menjadi
senyawa hidrokarbon dengan bobot molekul lebih rendah. Selama proses ini
dihasilkan gas CO2 dan NH3
Bioremediasi dengan konsorsium bakteri menggunakan teknik landfarming
hanya dapat menurunkan TPH sampai 5.58% dalam waktu 4 bulan. Akan tetapi
waktu yang dibutuhkan dalam mendegradasi limbah minyak berat dengan
konsorsium bakteri yang digunakan lebih cepat dibandingkan apabila
menggunakan bakteri indigen saja. Bioremediasi dengan teknik landfarming
menggunakan bakteri indigen (biostimulasi) membutuhkan waktu 8 bulan untuk
menurunkan konsentrasi TPH sampai 4% atau persen degradasi sebesar 11.60%
(Suardana 2002). Dibandingkan dengan teknik landfarming, teknik bioslurry jauh
lebih efektif dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon. Dengan teknik bioslurry,
persen degradasi TPH selama 1 bulan dapat mencapai 99.46%.
yang merupakan indikasi dari adanya proses
degradasi.
Beberapa hasil penelitian mengenai pemanfaatan teknologi bioremediasi
dalam mendegradasi bahan-bahan berbahaya disajikan pada Tabel 6.1. Dari Tabel
6.1 tampak bahwa dengan memanfaatan slurry bioreaktor proses degradasi dapat
berlangsung cepat dengan persentase bahan terdegradasi lebih tinggi dari
teknologi bioremediasi lainnya. Pada penelitian oleh Yerushalmi et al. (2003)
dengan memanfaatkan slurry bioreaktor tanpa perlakuan tingkat cemaran dalam
tanah dan perlakuan persen padatan TPH terdegradasi sebesar 70% selama 45
hari, sedangkan dengan memperbaiki kondisi tingkat cemaran dalam tanah dan
persen padatan seperti yang dilakukan pada penelitian ini, TPH mampu
terdegradasi hingga 85.29% dalam waktu empat hari.
Tabel 6.1. Beberapa hasil penelitian teknologi bioremediasi Jenis Polutan
Teknologi Bioremediasi Hasil Lamanya
waktu Skala Penelitian Referensi
Bahan peledak
Composting 98% 153 hari 14 kubik yard Craig et al., 1995
Landfarming 32% 235 hari 1 kubik yard Slurry Bioreaktor 99% 53 hari 400 gal
TPH
Bioaugmentasi pada Tanah 49% 60 hari 220 g
Yerushalmi et al., 2003 Slurry
Bioreaktor 70% 45 hari 120 ml volume kerja 45 ml
Jenis Polutan
Teknologi Bioremediasi Hasil Lamanya
waktu Skala Penelitian Referensi
BTEX Bioremediasi in situ 79% 300 hari 500 kubik yard Scalzi et al.,
2001
PAH Slurry Bioreaktor 96% 14 hari Pilot scale U.S. EPA,
2003
PAH Slurry Bioreaktor 30% 4 hari - Brown et al.,
1999
Untuk mengetahui spesies bakteri yang berperan aktif dalam proses
biodegradasi ini maka dilakukan isolasi, seleksi dan identifikasi bakteri
pendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat pada tanah tercemar limbah
minyak berat.
Tahap penelitian selanjutnya adalah melakukan isolasi, seleksi dan
karakterisasi bakteri pendegradasi senyawa hidrokarbon. Dari hasil isolasi
176
didapatkan 11 isolat yang kemudian diseleksi untuk mendapatkan isolat-isolat
yang memiliki kinerja yang baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon baik
hidrokarbon alipatik maupun aromatik yang terdapat dalam limbah minyak berat.
Dari 11 isolat yang diseleksi didapatkan 3 isolat yang dapat menurunkan persen
TPH yang paling rendah yaitu isolat dengan kode MY7, MY12 dan MYFlr. Pada
tahap seleksi ini isolat MY7 dapat menurunkan persen TPH dari 23.2% TPH awal
menjadi 15.71% TPH akhir, solat MY12 dapat menurunkan persen TPH dari
18.91% TPH awal menjadi 7.90% TPH akhir, dan isolat MYFlr dapat
menurunkan persen TPH dari 17.24% TPH awal menjadi 10.22% TPH akhir.
Semakin rendah persen TPH maka semakin banyak senyawa hidrokarbon yang
terdegradasi oleh isolat bakteri tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana.
Kemampuan untuk menurunkan persen TPH sejalan dengan jumlah koloni yang
dimiliki oleh ketiga isolat ini. Ketiga isolat ini memiliki pertumbuhan bakteri yang
lebih baik dibandingkan dengan yang lainnya (Gambar 4.8). Ketiga isolat ini
memiliki kemampuan dalam mendegradasi senyawa polyromatic hydrocarbon
(PAH) yang terdapat dalam limbah minyak bumi fraksi berat. Dari Uji konfirmasi
diketahui bahwa isolat dengan kode MY7 dapat mendegradasi senyawa
dibenzotiofena dan fenantrena, isolat dengan kode MY12 dapat mendegradasi
senyawa fenantrena, sedangkan isolat dengan kode MYFlr dapat mendegradasi
senyawa fluorena.
Identifikasi dilakukan secara molekular 16S rDNA. Analisis molekuler yang
dilakukan berupa ekstraksi DNA dan PCR amplifikasi, purifikasi PCR produk dan
sekunsing. Data mentah hasil sekuensing selanjutnya di-trimming dengan program
MEGA 4 dan assembling dengan program BioEdit dan selanjutnya dikonfersi
dalam bentuk FASTA format. Hasil sekuensing DNA dalam bentuk FASTA
format selanjutnya di-BLAST untuk mencari homologi secara on line di pusat
data base DNA di DDBJ atau di NCBI.
Berdasarkan analisis penjajaran urutan nukleotida parsial gen pengkode 16S
rDNA menggunakan program BLAST, bakteri dengan kode isolat MY7
mempunyai tingkat kesamaan tertinggi dengan Salipiger sp. PR55-4 dengan
persentase tingkat kesamaan 100%, bakteri dengan kode isolat MY12 mempunyai
tingkat kesamaan tertinggi dengan Bacillus altituditis dengan persentase tingkat
kesamaan 97%, dan bakteri dengan kode isolat MYFlr mempunyai tingkat
kesamaan tertinggi dengan Ochrobactrum anthropi dengan persentase tingkat
kesamaan 97%.
Salipiger sp. PR55-4 merupakan bakteri gram negatif yang berbentuk
batang dan termasuk bakteri aerobik chemoheterotrophic (tidak dapat tumbuh
dalam kondisi anaerob). Bacillus altitudinis merupakan bakteri gram positif yang
berbentuk batang dan Ochrobactrum anthropi adalah bakteri gram negatif yang
bersifat aerobik dan merupakan bakteri oksidase (Yu et al. 2007).
Ochrobactrum sp. mampu memanfaatkan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH)
seperti fenantrena, pyrene dan fluorantena sebagai sumber karbon dan sumber
energi (Yirui et al. 2009).
Kemampuan isolat bakteri dalam mendegradasi senyawa PAH berbeda
satu sama lain, sangat tergantung kepada aktivitas enzim yang dihasilkan oleh
bakteri . Oleh karena itu, bakteri yang berpotensi menghasilkan enzim
pendegradasi hidrokarbon perlu dioptimalkan aktivitasnya dengan pengaturan
kondisi dan penambahan suplemen yang sesuai. Kemampuan degradasi
hidrokarbon oleh mikroorganisme tergantung dari faktor-faktor lingkungan seperti
temperatur, nutrisi, dan oksigen (Eweis et al. 1998). Degradasi suatu senyawa
hidrokarbon berhubungan dengan populasi bakteri (Gambar 5.4). Pada tahap awal,
bakteri beradaptasi di lingkungan minyak, kemudian pada saat pertumbuhan sel
bakteri berada pada fase pertumbuhan logaritmik maka senyawa hidrokarbon yang
ada akan semakin berkurang akibat aktivitas bakteri dan pada saat bakteri tersebut
sudah tidak mampu mendegradasi senyawa hidrokarbon yang ada maka
pertumbuhannya akan terus menurun dan akhirnya sel bakteri tersebut akan
inaktif atau mati. Faktor yang mendukung proses bioremediasi minyak adalah
faktor fisik-kimia dan faktor biologi. Faktor fisik-kimia adalah komposisi kimia
minyak, kondisi fisik minyak, konsentrasi minyak, suhu, oksigen, nutrisi,
salinitas, tekanan, air aktivitas, dan pH, sedangkan faktor biologi adalah
kemampuan bakteri itu sendiri. Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan uji
kemampuan bakteri dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat
178
dalam limbah minyak berat baik dalam bentuk spesies tunggal maupun
campuran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus altitudinis memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang
terdapat dalam limbah minyak berat dibandingkan dengan Salipiger sp. PR55-4
dan Ochrobactrum anthropi. Bacillus altitudinis dapat menurunkan persen TPH
sampai 5.8% dari TPH awal 12.69% atau memiliki persen degradasi sebesar
54.26%. Bacillus altitudinis memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan
dengan Salipiger sp. PR55-4 dan Ochrobactrum anthropi. Pengamatan secara
visual pada Gambar 5.3 menunjukkan bahwa Bacillus altitudinis memiliki
kekeruhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Salipiger sp. PR55-4 dan
Ochrobactrum anthropi.
Dibandingkan dengan spesies tunggal, campuran spesies bakteri jauh lebih
baik dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah
minyak berat. Bacillus altitudinis bersinergis dengan Salipiger sp. PR55-4 untuk
mendegradasi senyawa hidrokarbon sehingga dapat menurunkan persen TPH
sampai 4.99% dari TPH awal 12.53% atau memiliki persen degradasi sebesar
60.13%. Akan tetapi Bacillus altitudinis bersinergis lebih baik dengan
Ochrobactrum anthropi untuk mendegradasi senyawa hidrokarbon, karena
dapat menurunkan persen TPH sampai 4.78% dari TPH awal 12.74% sehingga
memiliki persen degradasi lebih tinggi yaitu sebesar 62.47% (Lampiran 5.2 dan
5.4). Tabel 6.2 menyajikan perbandingan teknik landfarming dan bioslurry, teknik
bioslurry membutuhkan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan teknik
landfarming.
Tabel 6.2 Perbandingan teknik landfarming dan bioslurry
Teknik Bioremediasi
Bioaugmentasi/ Biostimulasi % Degradasi Waktu
Landfarming Biostimulasi Konsorsium Bakteri
11.60% 53.34%
8 bulan 4 bulan
Bioslurry 1 spesies bakteri 2 spesies bakteri 3 spesies bakteri Konsorsium Bakteri
54.26% 62.47% 81.52% 99.46%
1 bulan 1 bulan 1 bulan 1 bulan
Campuran 3 spesies bakteri ini memiliki kinerja yang paling tinggi
dibandingkan dengan campuran 2 spesies bakteri dan spesies tunggalnya.
Konsorsium bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis dan
Ochrobactrum anthropi memiliki persen degradasi yang lebih tinggi yaitu
sebesar 81.56%. Menurut Loser et al. (1998), bakteri tunggal memiliki
kemampuan yang terbatas dalam mendegradasi fraksi-fraksi dalam hidrokarbon.
Hasil penelitian Ward et al. (2003) juga menunjukkan bahwa konsorsium mikroba
memiliki tingkat degradasi yang tinggi dalam mendegradasi senyawa BTEX
(benzena, toluena, etilbenzena, dan xilena) yaitu sebesar >90%. Sedangkan
tingkat degradasi bakteri tunggal seperti Rhodococcus sp. dan Pseudomonas sp.
hanya sebesar 45% dan 55%. Hal ini disebabkan kemampuan ketiga bakteri ini
untuk bersinergis dalam mendegradasi senyawa hidrokabon. Dijelaskan oleh Atlas
dan Bartha (1998) bahwa proses biodegradasi senyawa hidrokarbon sampai terurai
sempurna (termineralisasi) tidak mungkin dilakukan oleh satu jenis bakteri, tetapi
selalu dilakukan oleh suatu konsorsium bakteri secara sinergistik. Banyak bakteri
yang mampu mendegradasi senyawa alifatik maupun aromatik, tetapi tidak dapat
menggunakan hasil degradasinya sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya.
Disinilah peran konsorsium bakteri dimana bakteri yang satu menggunakan hasil
degradasi dari bakteri yang lain sebagai sumber karbon dan begitu seterusnya.
Menurut Yani et al. (2003), limbah minyak bumi yang terdiri atas berbagai
jenis komponen mulai dari C4-C40, didegradasi oleh mikroba menjadi senyawa
sederhana seperti CO2, asam organik sederhana dan biomassa sel. Namun
demikian, selalu terdapat senyawa-senyawa yang tidak dapat didegradasi oleh
180
mikroba. Sekumpulan mikroba tertentu akan mendegradasi komponen minyak
bumi secara berurutan dan berantai.
DAFTAR PUSTAKA
Angraeni D.2002. Isolasi dan Karakterisasi Mikroorganisme Pendegradasi Diesel
dari Kotoran Hewan. [Skripsi]. Fateta IPB.
Atlas MR, Bartha R. 1998. Microbial Ecology: Fundamentals And Applications. 4th
Banerji SK. 1997. Bioreactor for Soil and Sediment Remediation dalam Bajpai RK dan Zappi ME (Eds). Bioremediation of Surface and Subsurface Contamination. New York. The New York Academy of Sciences.
edition. Benjamin Cummings Publishing Company, Inc.
Brown DG, Guha S, Jafee PR. 1999. Surfactant-Enhanced Biodegradation of PAH in Soil Slurry Reactors. Abstract. Bioremediation J., Vol. 3(3): 269-283. www.lehigh.edu/~dgb3/Research/SEB%20Project% 20Summary.pdf. (14 Juli 2005).
Craig HD, Sisk WE, Nelson MD, Dana WH. 1995. Bioremediation of Explosives Contaminated Soils: A Status Review. Proceedings of the 10th Annual Conference on Hazardous Waste Research. www.engg.ksu.edu/HSRC/95Proceed/craig.pdf. (14 Mei 2008).
Eweis JB, Sarina JE, Daniel PYC, Schroeder ED.1998. Bioremediation Principles. Mc Graw-Hill.
Gogoi BK, Dutta NN, Goswami P, Mohani TRK. 2002. Studi Kasus Bioremediasi pada Tumpahan Minyak-Hidrokarbon yang Mencemari Suatu Lokasi Tumpahan Minyak Mentah. Regional Research Laboratory. Bangalore India.
Helmy Q, 2006. Pengaruh Penambahan Surfaktan terhadap Biodegradasi Sludge Minyak Bumi oleh Konsorsium Bakteri Petrofilik (Tesis). Program Studi Teknologi Pengolahan Air dan Limbah. ITB.
Hikmatuloh YA. 2004. Kajian Kombinasi Bakteri Pada Proses Biodegradasi Minyak Diesel [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Kementrian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2003. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 128 Tahun 2003 tentang Tatacara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah
Terkontaminasi Limbah Minyak Bumi secara Biologis. Jakarta: Departemen Lingkungan Hidup.
Kosswig AG, Marl H. 2003. Surfactant. Di dalam: Ullmann’s. Encyclopedia of Industrial Chemistry. Volume ke-35. Ed ke-6. Jerman: Wiley-VCH. Hlm 2093-365.
Scalzi M, Xandra TPE, Eric A. 2001. A Systems’ Approach to In-Situ Bioremediation: Full Scale Application. Sixth Annual In-Situ and On-Site Bioremediation Conference, San Diego, CA. www.environmental-expert.com/articles/article1050/SCALZI%20TURNER%20and%20ANDREWS%20-%20B2001%20-%20Paper.pdf. [14 Mei 2008].
Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta.
Suardana P, Mulyono M, Setyo S, Supardi D, Santoso E. 2002. Pengaruh Surfaktan Alkilbenzena sulfonat linear dalam Mempercepat Bioremediasi Limbah Minyak Bumi. Simposium Nasional-IATMI, Jakarta.
Tharwat FT. 2005. Applied Surfactants: Principles and Applications. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA.
[U.S.EPA]. 2003. Site Technology Profile: Ecova Corporation (Bioslurry Reactor). www.epa.gov/ORD/NRMRL/pubs/540r03501/540R03501c-e.pdf. (14 Mei 2008).
Ward W, Singh A, Van Hamme J. 2003. Accelerated Biodegradation of Petroleum Hydrocarbon Waste. J. Ind. Microbiol. Biotechnol., 30, 260.
Yani M, Fauzi AM, Aribowo F. 2003. Bioremediasi Lahan terkontaminasi
Senyawa Hidrokarbon. Prosiding Seminar Bioremediasi dan Rehabilitasi Lahan Sekitar Perminyakan dan Pertambangan. Forum Bioremediasi IPB.
Yerushalmi L, Rocheleau S, Cimpoia R, Sarrazin M, Sunahara G, Peisajovich A, Leclair G, Guiot SR. 2003. Enhanced Biodegradation of Petroleum Hydrocarbons in Contaminated Soil. Bioremediation J., Vol. 7 (1), 2003. www.uttu.engr.wisc.edu/UT18n3.pdf. (14 Mei 2008).
Yirui WU, He T, Zhong M, Zhang Y, Li E, Huang T, Hu Z. 2009. Isolation of marine benzo[a]pyrene-degrading Ochrobactrum sp. BAP5 and proteins characterization. Journal of Environmental Sciences. 21(10), 1446-1651.
Elsevier.
182
Yu MW, Sohn K, Rhee J, Oh WS, Peck KR, Lee NY, Song J. 2007. Spontaneous Bacterial Peritonitis due to Ochrobactrum anthropi. University School of Medicine, Seoul.
Zaki M. 2005. Produksi dan Karakterisasi Inokulum Serta Aplikasinya dalam
Mendegradasi Senyawa Hidrokarbon Minyak Bumi [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Penambahan surfaktan anionik LAS dengan konsentrasi 0.04% lebih baik
dalam meningkat dispersi limbah minyak berat dalam air dibandingkan dengan
surfaktan NDS, Tween 80 dan Brij 35. Peningkatan dispersi limbah minyak berat
dalam air dapat meningkatkan persen degradasi hidrokarbon. Adanya surfaktan
dapat mempermudah kontak antara bakteri dengan hidrokarbon yang terdapat
dalam limbah minyak berat. Bakteri ini dapat mendegradasi limbah minyak berat
yang mengandung fraksi berat minyak bumi yang terdiri atas senyawa
polyaromatic hydrocarbon (PAH). Bioremediasi dengan teknik bioslurry dapat
menurunkan TPH dari 20.71% menjadi 0.11% berada
jauh dibawah ambang batas
yang ditetapkan oleh Keputusan MenLH no. 128 Tahun 2003 yaitu sebesar 1 %,
dengan degradasi sebesar 99.46%. Sedangkan dengan teknik landfarming pada 4
bulan pengamatan didapat TPH yang masih cukup rendah yaitu 5.58%. Hasil
isolasi, seleksi dan identifikasi bakteri pendegradasi minyak bumi dari konsorsium
bakteri didapat 3 spesies bakteri (Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan
Ochrobactrum anthropi) yang memberikan kinerja terbaik dalam mendegradasi
senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam limbah minyak berat. Diantara ketiga
spesies bakteri tersebut Bacillus altitudinis memiliki kinerja yang lebih baik
dalam mendegradasi senyawa hidrokabon yang terdapat dalam limbah minyak
berat dengan persen degradasi sebesar 54.26%. Dibandingkan dengan spesies
tunggalnya, campuran spesies bakteri lebih baik dalam mendegradasi senyawa
hidrokarbon. Campuran ketiga spesies bakteri ini dapat menurunkan TPH dengan
persen degradasi sebesar 81.52%.
Saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka disarankan:
1. Konsorsium bakteri Salipiger sp. PR55-4, Bacillus altitudinis, dan
Ochrobactrum anthropi dalam mendegradasi senyawa PAH yang terdapat
pada limbah minyak berat dapat diterapkan pada skala pilot maupun skala
184
lapangan
2. Menggunakan konsorsium bakteri dengan teknik bioslurry untuk
mendegradasi limbah minyak berat dari sumber lain
3. Memanfaatkan konsorsium bakteri ini untuk mendegradasi senyawa PAH yang
terdapat dalam limbah industri lain.
4. Penggunaan kompos untuk mempercepat proses biodegradasi limbah minyak
berat dengan teknik landfarming.
106