blok16 s4 gerd
TRANSCRIPT
Kebiasaan Minum Soft Drink dan Jamu Berlebihan
Disertai Muntah Asam Mengindikasikan GERD
Ellisa
102010164
Fakultas Kedokteran Ukrida
Jalan Terusan Arjuna No.6, Jakarta
Email: [email protected]
Pendahuluan
Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran penceranaan,
khususnya lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut bagian
tengah keatas. Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh. Dispepsia
umumnya diderita oleh kaum produktif dan kebanyakan penyebabnya adalah pola
atau gaya hiudup tidak sehat. Gejalanya pun bervariasi mulai dari nyeri ulu hati,
mual-muntah, rasa penuh di ulu hati, sendawa yang berlebihan bahkan bisa
menyebabkan diare dengan segala komplikasinya.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab timbulnya dispepsia, yaitu
pengeluaran asam lambung berlebih, pertahanan dinding lambung yang lemah, infeksi
Helicobacter pylori (sejenis bakteri yang hidup di dalam lambung dalam jumlah kecil,
gangguan gerakan saluran pencernaan, dan stress psikologis (Ariyanto, 2007).
Terkadang dispepsia dapat menjadi tanda dari masalah serius, contohnya
penyakit ulkus lambung yang parah. Tak jarang, dispepsia disebabkan karena kanker
lambung, sehingga harus diatasi dengan serius. Ada beberapa hal penting yang harus
diperhatikan bila terdapat salah satu dari tanda ini, yaitu:
1. Usia 50 tahun keatas
2. Kehilangan berat badan tanpa disengaja
3. Kesulitan menelan
4. Terkadang mual-muntah
5. Buang air besar tidak lancar
6. Merasa penuh di daerah perut (Bazaldua, et al, 1999)
1
Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia organik dan
dyspepsia nonorganik atau dispesia fungsional. Dispepsia organik jarang ditemukan
pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40 tahun (Richter cit
Hadi, 2002).
Dispepsia fungsional adalah dispepsia yang terjadi tanpa adanya kelainan organ
lambung, baik dari pemeriksaan klinis, biokimiawi hingga pemeriksaan penunjang
lainnya, seperti USG, Endoskopi, Rontgen hingga CT Scan. Dispepsia organik adalah
dispepsia yang disebabkan adanya kelainan struktur organ percernaan (perlukaan,
kanker)
Skenario
Ny. A, 50 tahun datang berobat ke poliklinik umum dengan keluhan bila
makan cepat kenyang dan perut terasa penuh disertai nyeri ulu hati kadang dan
kembung bila makan lebih dari 7 sendok makan. Bila tetap dipaksakan makan, perut
terasa penuh sekali sehingga terasa sesak disertai muntah berupa cairan asam.
Keluhan seperti ini sudah dirasakan kira-kira 4 bulan. Pasien memiliki kebiasaan
minum soft drink dan jamu 2 hari sekali.
Anamnesis1,2
Anamnesis adalah tanya jawab antara dokter dan pasien guna untuk
mendiagnosa penyakitnya. Anamnesis dibagi menjadi 2 macam yaitu alo anamnesis
dan auto anamnesis. Auto anamnesis adalah tanya jawab antara dokter dan pasien
sendiri guna mendapatkan informasi tentang penyakit pasien. Alo anamnesis adalah
tanya jawab antara dokter dengan keluarga pasien. Hal ini disebabkan karena pasien
tidak bisa ditanyai seputar penyakitnya karena berbagai alasan. Pada kasus ini
anamnesis yang dilakukan adalah berupa auto ananamnesis karena pasien sendiri
dapat menjawab seputar penyakit yang ia derita.
Anamnesa yang dijalankan melalui wawancara ini meliputi:
1. Menanyakan identitas pasien
Nama : Ny. A
Umur : 50 tahun
Jenis kelamin : wanita
2
2. Keluhan utama
Keluhan bila makan cepat kenyang dan perut terasa penuh disertai nyeri ulu
hati kadang dan kembung bila makan lebih dari 7 sendok makan. Keluhan
seperti ini sudah dirasakan kira-kira 4 bulan.
Keluhan penyerta
perut terasa penuh sekali sehingga terasa sesak disertai muntah berupa cairan
asam.
2. Riwayat penyakit sekarang3
Nyeri nya dimana (lokalisasi nyeri) dan seperti apa (deskripsikan:
ditusuk-tusuk, kram, terbakar dll) ?
Sejak kapan? Pencetusnya apa?
Apakah disertai rasa panas?
Berat badan menurun atau tidak?
Apakah disertai muntah/mual atau tidak? (warna?)
Apakah setelah makan kerongkongan terasa asam atau tidak ? (regurgitasi
GERD)
Apakah disertai perdarahan dan konstipasi? (ulkus peptikum)
Apakah nafsu makan terganggu atau tidak? (gastritis)
Hilang-timbul atau terus-menerus?
Menanyakan kepada pasien, bilamana ia sudah berobat ke dokter atau
belum? Sudah mengkonsumsi obat sebelumnya atau belum?
Bila sudah, obat (analgetik, antiemetic, antasida, antikolinergik, dll) apa?
Dan apakah keadaanya membaik atau memburuk?
Bila memburuk, efek sampingnya apa?
Apakah mempunyai kebiasaan tertentu yang memperberat sakit?
Pasien memiliki kebiasaan minum soft drink dan jamu 2 hari sekali.
3. Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah mengalami sakit yang seperti ini atau belum?
Jika pernah, berapa kali dalam setahun?
Adakah riwayat mengalami gangguan pencernaan sebelumnya?
Adakah riwayat melakukan tindakan operasi di daerah perut (abdomen)?
Adakah riwayat alergi?
Adakah riwayat penyakit serius lainnya?
3
Riwayat pekerjaan : apakah pekerjaan sosial sekarang merupakan dari
keluhan yang dialami?
4. Riwayat penyakit keluarga
Dengan menanyakan penyusunan silsilah keluarga bapak tersebut, maka perihal
hereditas dapat ditentukan.2
Adakah riwayat penyakit autoimun dalam keluarga?
Bagaimana pengaruh penyakit pada pekerjaan, keluarga, pasangan, dan anak?
Pemeriksaan
Beberapa pemeriksaan perlu dilakukan untuk mendiagnosis dyspepsia.
Pemeriksaan awal seperti anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat membantu dokter
dalam menetapkan masalah dan diagnosis awal yang kemudian dapat dibantu dengan
pemeriksaan lanjutan untuk menunjukkan diagnosis pasti.
Pemeriksaan Awal
Anamnesis
Anamnesis yang akurat diperlukan oleh seorang dokter untuk memperoleh gambaran
akan keluha yang terjadi, karakteristik dengan penyakit tertentu, keluhan bersifat local
atau manifestasi gangguan sistemik. Harus terjadi persepsi yang sama antara dokter
dan pasien dalam menginterpretasikan keluhan yang dialami pasien sehingga
diagnosis dapat lebih tepat dan terarah.
Pada anamnesis perlu ditanyakan:
1. Keluhan utama
2. Riwayat penyakit sekarang
3. Riwayat penyakit dahulu
4. Riwayat sosial
Berdasarkan lokasi nyeri, dapat dilakukan kemungkinan kelainan yang terjadi :
Tabel 1. Lokasi nyeri dan sumber nyeri pada sakit di daerah abdomen
Lokasi nyeri Dugaan sumber nyeri
Epigastrium gaster, pancreas, duodenum
Periumbilikus usus halus, duodenum
Kuadran kanan atas hati, duodenum, kantung empedu
4
Kuadran kiri atas pancreas, limpa, gaster, kolon, ginjal
Perlu diketahui kualitas nyeri yang dialami pasien. Namun hal ini tidak mudah karena
kadang kala ekspresi bahasa tidak sama untuk menggambarkan rasa nyeri. Pada
dasarnya harus dibedakan antara nyeri kolik seperti pada obstruksi intestinal dan
bilier, nyeri yang bersifat tumpul seperti pada batu ginjal, rasa seperti diremas pada
kolesistitis, rasa panas seperti pada esofagitis, dan nyeri tumpul yang menetap pada
apendisitis.
Intensitas nyeri juga dapat membantu dalam diagnosis penyakit. Pada keadaan akut,
intensitas nyeri dapat diurutkan dari yang paling hebat sampai nyeri yang cukup
ringan sesuai dengan ukuran penyakit berikut : perforasi ulkus, pancreatitis akut, kolik
ginjal, obstruksi ileus, kolesistitis, apendisitis, tukak peptic, gastroenteritis, dan
esofagitis. Pada nyeri kronik banyak faktor psikologis yang berperan sehingga lebih
sulit dalam menentukan diagnosis.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik digunakan untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau
intra lumen yang padat seperti tumor, organomegali, atau nyeri tekan yang sesuai
dengan adanya rangsang peritoneal atau peritonitis. Dari pemeriksaan fisik pada
pemicu didapatkan nyeri tekan pada epigastrium dan perut sekitar pusar. Hati dan
limpa tidak teraba.3
Dari anamnesis yang tepat dibantu pemeriksaan fisik yang baik, seorang dokter sudah
dapat menentukan etiologi dan diagnosis penyakit yang dialami pasien. Pada kasus
dyspepsia, etiologi yang mungkin adalah :
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna seperti tukak
gaster/duodenum, gastritis, tumor, atau infeksi bakteri Helicobacter pylori.
Obat-obatan anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa jenis antibiotic,
digitalis, teofilin, dll.
Penyakit pada hati, pancreas, dan sistem bilier seperti hepatitis, pancreatitis, dan
kolesistitis kronik.
5
Dyspepsia fungsional pada kasus yang tidak terbukti adanya gangguan pada
organic dan structural yang dapat menjelaskan gejala-gejala yang terjadi. Sering
juga disebut dyspepsia non ulkus.
PEMERIKSAAN FISIK ABDOMEN
Urutan teknik pemeriksaan pada abdomen ialah inspeksi, auskultasi, palpasi,
dan perkusi. Auskultasi dilakukan sebelum kita melakukan palpasi dan perkusi
dengan tujuan agar hasil pemeriksaan auskultasi lebih akurat karena kita belum
melakukan manipulasi terhadap abdomen.
TOPOGRAFI ANATOMI ABDOMEN
Ada dua macam cara pembagian topografi abdomen yang umum dipakai untuk
menentukan lokalisasi kelainan, yaitu:3
1. Pembagian atas empat kuadran, dengan membuat garis vertikal dan horizontal
melalui umbilicus, sehingga terdapat daerah kuadran kanan atas, kiri atas, kanan
bawah, dan kiri bawah.
2. Pembagian atas sembilan daerah, dengan membuat dua garis horizontal dan dua
garis vertikal.
Garis horizontal pertama dibuat melalui tepi bawah tulang rawan iga
kesepuluh dan yang kedua dibuat melalui titik spina iliaka anterior superior
(SIAS).
Garis vertikal dibuat masing-masing melalui titik pertengahan antara SIAS
dan mid-line abdomen.
Terbentuklah daerah hipokondrium kanan, epigastrium, hipokondrium kiri,
lumbal kanan, umbilical, lumbal kanan, iliaka kanan, hipogastrium/
suprapubik, dan iliaka kiri.
6
Gambar 1. Pembagian 4 kuadran abdomen3
Pada keadaan normal, di daerah umbilical pada orang yang agak kurus dapat terlihat
dan teraba pulsasi arteri iliaka. Beberapa organ dalam keadaan normal dapat teraba di
daerah tertentu, misalnya kolon sigmoid teraba agak kaku di daerah kuadaran kiri
bawah, kolon asendens dan saecum teraba lebih lunak di kuadran kanan bawah. Ginjal
yang merupakan organ retroperitoneal dalam keadaan normal tidak teraba. Kandung
kemih pada retensio urine dan uterus gravid teraba di daerah suprapubik.3
Gambar 2. Pembagian 9 regio abdomen3
7
INSPEKSI
Dilakukan pada pasien dengan posisi tidur terlentang dan diamati dengan
seksama dinding abdomen. Yang perlu diperhatikan adalah:3
Keadaan kulit; warnanya (ikterus, pucat, coklat, kehitaman), elastisitasnya
(menurun pada orang tua dan dehidrasi), kering (dehidrasi), lembab (asites), dan
adanya bekas-bekas garukan (penyakit ginjal kronik, ikterus obstruktif), jaringan
parut (tentukan lokasinya), striae (gravidarum/ cushing syndrome), pelebaran
pembuluh darah vena (obstruksi vena kava inferior & kolateral pada hipertensi
portal).
Besar dan bentuk abdomen; rata, menonjol, atau scaphoid (cekung).
Simetrisitas; perhatikan adanya benjolan local (hernia, hepatomegali,
splenomegali, kista ovarii, hidronefrosis).
Gerakan dinding abdomen pada peritonitis terbatas.
Pembesaran organ atau tumor, dilihat lokasinya dapat diperkirakan organ apa atau
tumor apa.
Peristaltik; gerakan peristaltik usus meningkat pada obstruksi ileus, tampak pada
dinding abdomen dan bentuk usus juga tampak (darm-contour).
Pulsasi; pembesaran ventrikel kanan dan aneurisma aorta sering memberikan
gambaran pulsasi di daerah epigastrium dan umbilical.
Perhatikan juga gerakan pasien:
Pasien sering merubah posisi adanya obstruksi usus.
Pasien sering menghindari gerakan iritasi peritoneum generalisata.
Pasien sering melipat lutut ke atas agar tegangan abdomen berkurang/ relaksasi
peritonitis.
Pasien melipat lutut sampai ke dada, berayun-ayun maju mundur pada saat nyeri
pankreatitis parah.
PALPASI
Beberapa pedoman untuk melakukan palpasi, ialah:3
Pasien diusahakan tenang dan santai dalam posisi berbaring terlentang. Sebaiknya
pemeriksaan dilakukan tidak buru-buru.
Palpasi dilakukan dengan menggunakan palmar jari dan telapak tangan.
Sedangkan untuk menentukan batas tepi organ, digunakan ujung jari. Diusahakan
8
agar tidak melakukan penekanan yang mendadak, agar tidak timbul tahanan pada
dinding abdomen.
Palpasi dimulai dari daerah superficial, lalu ke bagian dalam. Bila ada daerah yang
dikeluhkan nyeri, sebaiknya bagian ini diperiksa paling akhir.
Bila dinding abdomen tegang, untuk mempermudah palpasi maka pasien diminta
untuk menekuk lututnya. Bedakan spasme volunteer & spasme sejati; dengan
menekan daerah muskulus rectus, minta pasien menarik napas dalam, jika
muskulus rectus relaksasi, maka itu adalah spasme volunteer. Namun jika otot
kaku tegang selama siklus pernapasan, itu adalah spasme sejati.
Palpasi bimanual; palpasi dilakukan dengan kedua telapak tangan, dimana tangan
kiri berada di bagian pinggang kanan atau kiri pasien sedangkan tangan kanan di
bagian depan dinding abdomen.
Pemeriksaan ballottement; cara palpasi organ abdomen dimana terdapat asites.
Caranya dengan melakukan tekanan yang mendadak pada dinding abdomen &
dengan cepat tangan ditarik kembali. Cairan asites akan berpindah untuk sementara,
sehingga organ atau massa tumor yang membesar dalam rongga abdomen dapat
teraba saat memantul.
Teknik ballottement juga dipakai untuk memeriksa ginjal, dimana gerakan
penekanan pada organ oleh satu tangan akan dirasakan pantulannya pada tangan
lainnya.
Setiap ada perabaan massa, dicari ukuran/ besarnya, bentuknya, lokasinya,
konsistensinya, tepinya, permukaannya, fiksasi/ mobilitasnya, nyeri spontan/
tekan, dan warna kulit di atasnya. Sebaiknya digambarkan skematisnya.
Palpasi hati; dilakukan dengan satu tangan atau bimanual pada kuadran kanan
atas. Dilakukan palpasi dari bawah ke atas pada garis pertengahan antara mid-line
& SIAS. Bila perlu pasien diminta untuk menarik napas dalam, sehingga hati
dapat teraba. Pembesaran hati dinyatakan dengan berapa sentimeter di bawah
lengkung costa dan berapa sentimeter di bawah prosesus xiphoideus. Sebaiknya
digambar.3
9
Tabel 2. Anatomic Location of Organs by Quadrant
RIGHT UPPER QUADRANT (RUQ )
Liver
Gallbladder
Duodenum
Head of pancreas
Right kidney and adrenal
Hepatic flexure of colon
Part of ascending and transverse colon
LEFT UPPER QUADRANT (LUQ)
Stomach
Spleen
Left lobe of liver
Body of pancreas
Left kidney and adrenal
Splenic flexure of colon
Part of transverse and descending colon
RIGHT LOWER QUADRANT (RLQ)
Cecum
Appendix
Right ovary and tube
Right ureter
Right spermatic cord
LEFT LOWER QUADRANT (LLQ)
Part of descending colon
Sigmoid colon
Left ovary and tube
Left ureter
Left spermatic cord
MIDLINE
Aorta
Uterus (if enlarged)
Bladder (if distended)
PERKUSI
Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara
keseluruhan, menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa
padat atau massa berisi cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung
dan usus, serta adanya udara bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen
yang normal adalah timpani (organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah
hati (redup; organ yang padat).3
Orientasi abdomen secara umum.
Dilakukan perkusi ringan pada seluruh dinding abdomen secara sistematis
untuk mengetahui distribusi daerah timpani dan daerah redup (dullness). Pada
perforasi usus, pekak hati akan menghilang.
10
Cairan bebas dalam rongga abdomen
Adanya cairan bebas dalam rongga abdomen (asites) akan menimbulkan
suara perkusi timpani di bagian atas dan dullness dibagian samping atau suara
dullness dominant. Karena cairan itu bebas dalam rongga abdomen, maka bila
pasien dimiringkan akan terjadi perpindahan cairan ke sisi terendah. Cara
pemeriksaan asites:
o Pemeriksaan gelombang cairan (undulating fluid wave).
Teknik ini dipakai bila cairan asites cukup banyak. Prinsipnya adalah
ketukan pada satu sisi dinding abdomen akan menimbulkan gelombang cairan
yang akan diteruskan ke sisi yang lain.
Pasien tidur terlentang, pemeriksa meletakkan telapak tangan kiri pada
satu sisi abdomen dan tangan kanan melakukan ketukan berulang-ulang pada
dinding abdomen sisi yang lain. Tangan kiri kan merasakan adanya tekanan
gelombang.
o Pemeriksaan pekak alih (shifting dullness).
Prinsipnya cairan bebas akan berpindah ke bagian abdomen terendah.
Pasien tidur terlentang, lakukan perkusi dan tandai peralihan suara timpani ke
redup pada kedua sisi. Lalu pasien diminta tidur miring pada satu sisi, lakukan
perkusi lagi, tandai tempat peralihan suara timpani ke redup maka akan
tampak adanya peralihan suara redup.
11
Gambar 3. Perkusi pada abdomen3
AUSKULTASI
Kegunaan auskultasi ialah untuk mendengarkan suara peristaltic usus dan
bising pembuluh darah. Dilakukan selama 2-3 menit.3
Mendengarkan suara peristaltic usus.
Diafragma stetoskop diletakkan pada dinding abdomen, lalu dipindahkan ke
seluruh bagian abdomen. Suara peristaltic usus terjadi akibat adanya gerakan
cairan dan udara dalam usus. Frekuensi normal berkisar 5-34 kali/ menit.
Bila terdapat obstruksi usus, peristaltic meningkat disertai rasa sakit
(borborigmi). Bila obstruksi makin berat, abdomen tampak membesar dan tegang,
peristaltic lebih tinggi seperti dentingan keeping uang logam (metallic-sound).
Bila terjadi peritonitis, peristaltic usus akan melemah, frekuensinya lambat,
bahkan sampai hilang.
Mendengarkan suara pembuluh darah.
Bising dapat terdengar pada fase sistolik dan diastolic, atau kedua fase.
Misalnya pada aneurisma aorta, terdengar bising sistolik (systolic bruit). Pada
hipertensi portal, terdengar adanya bising vena (venous hum) di daerah
epigastrium.
12
Pemeriksaan Penunjang4
Pemeriksaan endoskopi
Endoskopi merupakan alat yang digunakan untuk memeriksa organ di dalam tubuh
manusia secara visual dengan cara mengintip melalui alat tersebut atau melalui layar
monitor sehingga kelainan yang ada pada organ dapat terlihat dengan jelas.
Pemeriksaan endoskopi adalah pemeriksaan penunjang yang memakai alat endoskopi
untuk mendiagnosis kelainan-kelainan organ dalam tubuh antara lain saluran cerna,
saluran kemih, rongga mulut, rongga abdomen, dll.
Gambar 4. Pemeriksaan Endoskopi
(Sumber:http://www.medhelp.org/adam/graphics/images/en/15849.jpg)
Untuk pemeriksaan endoskopi saluran pencernaan bagian atas, terdapat beberapa jenis
yaitu:
Esofagogastroduodenoskopi
Jejunoskopi
Enteroskopi
Kapsul endoskopi
Pada kasus dyspepsia, pemeriksaan endoskopi yang digunakan adalah
Esofagogastroduodenoskopi. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan bila
dyspepsia tersebut disertai oleh keadaan yang disebut symptomps yaitu adanya
13
penurunan berat badan, anemia, muntah hebat dengan dugaan adanya obstruksi,
muntah darah, melena, atau keluhan sudah berlangsung lama dan terjadi pada usia
diatas 45 tahun. Keadaan ini sangat mengarah pada gangguan organic, terutama
keganasan, sehingga memerlukan eksplorasi diagnosis secepatnya. Teknik
pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi dengan akurat adana kelainan
structural/organic intra lumen saluran cerna bagian atas seperti adana tukak/ulkus,
tumor, dll. Pemeriksaan dengan endoskopi juga dapat memiliki fungsi lain yaitu
biopsy/ pengambilan contoh jaringan yang dicurigai untuk didapatkan gambaran
histopatplogiknya atau mengidentifikasi adanya bakteri seperti Helicobacter pylori.4,5
Gambar 5. Esofagogastroduodenoskopi (Sumber: http://littleleakers.com/images/EGD.gif)
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku
untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis
refluks). Dengan endoskopi, dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa
14
esofagus, serta dapat menyingkirkan kelainan patologis lain yang dapat menimbulkan
gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada endoskopi pada pasien
dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai Non-erosive Reflux Disease
(NERD) (Makmun,2009).4
Klasifikasi Los Angeles untuk diagnosis dan grading dari esofagitis refluks
pertama sekali didiskusikan pada World Congress of Gastroenterology tahun 1994,
kemudian dipublikasikan pada tahun1999. Sampai sekarang, klasifikasi Los Angeles
ini adalah klasifikasi yang paling banyak digunakan oleh para endoskopis
dibandingkan dengan klasifikasi lainnya yang terlebih dulu ada (Savary-Miller,
Hetzel/Dent system, MUSE) (Dent, 2008).5
Tabel 3. Klasifikasi Los Angeles (Makmun, 2009)
Derajat Kerusakan Gambaran Endoskopi
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan diameter< 5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen )
Pemeriksaan Ultrasonografi
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengidentifikasi kelainan padat intra abdomen,
misalnya batu kandungan empedu, kolesistitis, sirosis hati,dll.5
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi kelainan struktural dinding/mukosa saluran
cerna bagian atas seperti adanya tukak atau tumor. Pemeriksaan ini terutama
bermanfaat pada kelainan yang bersifat penyempitan dan obstruktif yang tidak dapat
dilewati oleh skop endoskopi.5
Pada pemeriksaan radiologi untuk saluran cerna bagian atas, digunakan barium sulfat
yang merupakan medium kontras yang dapat dilihat oleh sinar X. Saat pasien menelan
suspense barium, suspensi itu akan melapisi esophagus dengan barium sehingga
imaging dapat diakukan.
15
Gambar 6. Pemeriksaan dengan Barium Enema (Sumber:
http://top.ucsf.edu/media/112124/barium%20swallow.jpg)
Rapid Urease Test
Tes rapid Urease atau tes CLO (Campylobacter like organism) merupakan tes untuk
mendiagnosis keberadaan Helicobacter pylori. Dasar dari tes ini adalah untuk
mendeteksi enzim urease yang dihasilkan oleh Helicobacter pylori ang mana akan
mengkatalisa konversi urea menjadi ammonia dan bikarbonat.4,5
Tes ini dilakukan bersamaan dengan gastrokopi. Biopsy dari mukosa akan diambil
dari antrum lambung, lalu dimasukkan ke dalam medium yang mengandung urea dan
indikator merah fenol. Urease yang akan dihasilkan Helicobacter pylori akan
menghidrolisis urea menjadi ammonia yang mana akan meningkatkan pH dar medium
sehingga warna specimen akan berubah dari kuning menjadi merah.
Urea Breath Test
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk deteksi infeksi Helicobacter pylori
secara non invasive. Cara kerjanya adalah dengan menyeluruh pasien menelan urea
yang mengandung isotop karbon. Bila ada aktivitas dari urease Helicobacter pylori
maka akan dihasilkan isotop karbondioksida yang diserap dan dikeluarkan melalui
pernapasan. Hasilnya dinilai dengan membandingkan kenaikan ekskresi isotop
dibandingkan dengan nilai dasar. Bila hasilnya positif maka terdapat infeksi
16
Helicobacter pylori. Penggunaan UBT memiliki kelebihan dibandingkan dengan tes
yang menggunakan biopsy karena tes ini dianggap mewakili seluruh permukaan
mukosa lambung.4,5
Gambar 7. Urea Breath Test (Sumber:http://www.helico.com/images/breathtest.gif;
http://www.ualberta.ca/~csps/JPPS3%282%29/D.Abrams/Figure1.jpg)
Polymerase Chain Reaction
PCR merupakan salah satu pilihan yang baik untuk tes keberadaan Helicobacter
pylori karena memiliki sensitivitas ang tinggi (94-100%) serta spesifisitas yang tinggi
(100%). Bahan ang digunakan adalah specimen biopsy baik yang sudah diparafin
maupun bekas tes urease seperti CLO. Keuntungannya adalah kemampuan untuk
mendeteksi infeksi dengan intensitas rendah bahkan ekspresi dari berbagai gen
bakteri. Selain biopsy mukosa lambung. PCR dapat pula mendeteksi infeksi
Helicobacter pylori dengan memeriksa cairan lambung yang perlu dijaga agar jangan
sampai terjadi kontaminasi baik dari skop endoskopi maupun rongga mulut atau plak
gigi karena dapat memberikan hasil positif palsu.
Diagnosis
a) Working diagnosis
Working diagnosis yang dijalankan adalah Gastro-oesophageal reflux disease
( GERD ).
17
Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang
sering dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak
buruk pada kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas
yang bermakna. Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal
definition and classification of gastroesophageal reflux disease : a global
evidence-based consensus), penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal
Reflux Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai
akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan
berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra-
esofagus dan/atau komplikasi (Vakil dkk, 2006). Komplikasi yang berat yang
dapat timbul adalah Barret’s esophagus, striktur, adenokarsinoma di kardia dan
esofagus (Vakil dkk, 2006), (Makmun, 2009).6-9
b) Differential diagnosis
Diagnosis banding adalah NERD (Non Erosive Reflux Disease).
Jika pada GERD ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran
cerna bagian atas pada pasien maka NERD tidak ditemukan kelainan tersebut.
Maka pemeriksaan histopatologi/biopsy juga tidak perlu dilakukan.
Etiologi
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan fisiologi
dan anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan esofagus.
Mekanisme patofisiologis meliputi relaksasi transien dan tonus Lower Esophageal
Sphincter (LES) yang menurun, gangguan clearance esofagus, resistensi mukosa
yang menurun dan jenis reluksat dari lambung dan duodenum, baik asam lambung
maupun bahan-bahan agresif lain seperti pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta
faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung merupakan salah satu faktor
utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung yang lama dapat
mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien GERD.
Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 7,10:
1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)
Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan penting
untuk mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir selalu disertai
18
GERD yang cukup berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada tekanan LES yang
normal, ini dinamakan inappropriate atau transient sphincter relaxation, yaitu
pengendoran sfingter yang terjadi di luar proses menelan. Akhir-akhir ini
dikemukakan bahwa radang kardia oleh infeksi kuman Helicobacter pylori
mempengaruhi faal LES denagn akibat memperberat keadaan.Faktor hormonal,
makanan berlemak, juga menyebabkan turunnya tonus LES.5,7
2. Mekanisme pembersihan esofagus
Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam mekanisme,
yaitu gaya gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan bikarbonat intrinsik oleh
esofagus. Proses membersihkan esofagus dari asam (esophageal acid clearance) ini
sesungguhnya berlangsung dalam 2 tahap. Mula-mula peristaltik esofagus primer
yang timbul pada waktu menelan dengan cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian
air liur yang alkalis dan dibentuk sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang
dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri, menetralisasi asam yang masih tersisa.
Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun kembali ke lambung oleh
karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada malam hari waktu
tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi tidak membantu,
salivasi dan proses menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh karena itu peristaltik
primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses pembersihan asam di esofagus.
Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga menggangu proses pembersihan tersebut.5,6
3. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks
mempunyai daya perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan tertentu
seperti air jeruk nipis, tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien GERD.5,6
4. Isi lambung dan pengosongannya
Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari pada
keadaan puasa, oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu terjadinya refluks.
Lebih banyak isi lambung lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya pengosongan
lambung yang lamban akan menambah kemungkinan refluks tadi.5,6
19
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat
terjadi sebagai akibat dari refluks gastroesofageal apabila6:
1. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan
mukosa esofagus
2. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak
antara bahan refluksat dengan esofagus tidak lama.
Epidemiologi
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah
dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada
populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan
peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun
2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan
6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak di seluruh
Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura
prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-
1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia
(Jung, 2009), (Goh dan Wong, 2006). Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkan kasus esofagitis
sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas dasar dispepsia
(Makmun, 2009).6,11
Patogenesis
Esofagus dan Gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada individu
normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad
yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrogard yang terjadi pada saat sendawa
atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila
tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg)12,13
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:6,12,13
1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES (Lower esophageal sphincter) yang
tidak adekuat
20
2. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
3. Meningkatnya tekanan intra abdomen
Terjadinya aliran balik/ refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan
motilitas / pergerakan esofagus bagian ujung bawah . Pada bagian ujung ini terdapat
otot pengatur ( sfingter ) disebut LES , yang fungsinya mengatur arah aliran
pergerakan isi saluran cerna dalam satu arah dari atas kebawah menuju usus besar.
Pada GERD akan terjadi relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot
tersebut, sehingga dapat terjadi arus balik atau refluks cairan/ asam lambung, dari
bawah keatas ataupun sebaliknya.6,14
Gambar 8. Patogenesis Terjadinya GERD (sumber: www.google.com)
Tabel 4. Faktor – faktor yang mempengaruhi LES 15
Menaikkan tekanan Menurunkan tekanan
Hormon Gastrin
Motilin
Substance P
Secretin
Colesistokinin
Somastotatin
Glukagon
Polipeptida
Progesteron
Makanan Protein Lemak
21
Coklat
Pepermint
Lain-lain Histamin
Antasida
Meticlopramid
Domperidone
Cisapride
Kafein
Rokok
Kehamilan
Prostaglandin
Morpin
Gastroesophageal reflux terjadi secara pasif karena “katup” antara lambung
dan esofagus tidak berfungsi baik, baik karena hipotonia sfingter esofagus bawah,
maupun karena posisi sambungan esofagus dan kardia tidak sebagaimana lazimnya
yang berfungsi sebagai katup. Kemungkinan terjadinya refluks juga dipermudah oleh
memanjangnya waktu pengosongan lambung.13
Jika sfingter esophagus bagian bawah tidak berfungsi baik, dapat timbul
refluks yang hebat dengan gejala yang menonjol. Meskipun dilaporkan bahwa
tekanan intraabdominal yang meninggi dapat menyebabkan refluks, tetapi mekanisme
yang lebih penting adalah peran tonus sfingter yang berkurang, baik dalam keadaan
akut maupun menahun.6,8
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) terjadi jika isi lambung refluks ke
esofafus atau orofaring dan menimbulkan gejala. Patogenesis GERD ini multifaktorial
dan kompleks, melibatkan frekuensi refluks, asiditas lambung, pengosongan lambung,
mekanisme klirens esofagus, barier mukosa esofagus, hipersensitivitas visceral, dan
respon jalan napas.12
Refluks paling sering terjadi saat relaksasi sementara dari sfingter esofagus
bawah tidak bersamaan dengan menelan, yang memungkinkan isi lambung mengalir
ke esofagus. Proporsi minor episode refluks terjadi ketika tekanan sfingter esofagus
bawah gagal meningkat saat peningkatan mendadak tekanan intraabdominal atau
ketika tekanan sfingter esofagus bawah saat istirahat berkurang secara kronis.
Perubahan pada beberapa mekanisme proteksi memungkinkan refluks fisiologis
menjadi Gastroesophageal Reflux Disease : klirens dan pertahanan refluks yang tidak
22
memadai, lambatnya pengosongan lambung, kelainan pada pemulihan dan perbaikan
epitel, dan menurunnya reflex protektif neural pada saluran aerodigestif.13
Gambaran klinis
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri / rasa tidak enak di epigastrium atau
retrosternal bagian bawah, rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar
(heart burn ), bercampur dengan gejala disfagia, mual atau regurgitasi dan rasa pahit
di lidah, gejala ini dapat lebih buruk pada malam hari.6,16
Heart burn kadang-kadang dijumpai pada orang sehat, namun bila terjadi
berulang-ulang, hal ini mempunyai nilai ramal diagnostik 60%. Yang dimaksud
dengan heart burn adalah rasa panas/ membakar yang dirasakan di daerah epigastrium
dan bergerak naik ke daerah retrosternal sampai ke tenggorok. Keluhan ini terutama
timbul malam hari pada waktu berbaring atau setelah makan. Keluhan bertambah
pada waktu membungkuk, atau setelah minum minuman beralkohol, sari buah, kopi,
minuman panas atau dingin. Sebaliknya antasida dapat mengurangi rasa sakit tadi.
Rasa tidak enak pada retrosternal ini mirip dengan keluhan pada serangan
angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan padat mungkin terjadi
karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett’s esophagus.
Odinofagia (rasa sakit saat menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi
esofagus yang berat.
GERD dapat juga menimbulkan manifestasi gejala ekstra esofageal yang
atipik dan sangat bervariasi mulai dari nyeri dada non-kardiak ( Non Cardiac
Chestpain) , suara serak ( hoarseness ) , mulut terasa asam , laringitis, batuk karena
aspirasi sampai timbulnya bronkiektasis atau asma. Gejala GERD biasanya berjalan
perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau keadaan yang bersifat
mengancam nyawa
23
Gambar 9. Heart burn (sumber: www.google.com)
Penatalaksanaan
1. Medika mentosa
a. Antasida. 6, 15,16
Tujuan pemberian antasida yang dapat menetralisir asam lambung adalah
untuk mengurangi paparan asam di esofagus, mengurangi gejala nyeri uluhati
dan memperingan esofagitis. Pengalaman pemakaian antasida pada bayi dan
anak belum banyak sehingga tidak direkomendasikan. Pemakaian antasida
terbatas hanya untuk jangka pendek saja.
b. Antagonis reseptor H2.6
Cara kerja golongan obat ini adalah menekan sekresi asam dengan
menghambat reseptor H2 pada sel parietal lambung. Ranitidin merupakan
jenis yang paling sering digunakan. Obat ini efektif untuk mengurangi gejala
esofagitis ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Tetapi efeknya
terhadap esofagitis berat belum banyak dilaporkan.
c. Obat-obatan prokinetik6
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini dianggap lebih condong kea rah gangguan motilitas. Namun pada
prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung kepada penekanan sekresi
asam. Contoh obat prokinetik : metoklopramid, domperidon, dan cisapride.
d. Proton pump Inhibitor. 6,8
24
Golongan obat ini mensupresi produksi asam lambung dengan menghambat
molekul di kelenjar lambung yang bertanggung jawab mensekresi asam
lambung, biasa disebut pompa asam lambung (gastric acid pump). Omeprazol
terbukti effektif pada esofagitis berat yang refrakter terhadap antagonis
reseptor H2. Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium
akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan
PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah
~18jam ; jadi, bisa dimakan antara 2 dan 5 hari supaya sekresi asid gastrik
kembali kepada ukuran normal. Supaya terjadi penghasilan maksimal,
digunakan sebelum makan yaitu sebelum sarapan pagi kecuali omeprazol.15
e. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori
Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada
sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti
amoxicillin (Amoxil), clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan
tetracycline (Sumycin).6 Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan
psikofarmakoterapi (obat anti- depresi dan cemas) pada pasien dengan
dispepsia fungsional, karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan
dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.2,6-12
2. Non medika mentosa
Sebagian besar pasien GERD dengan keluhan rasa panas di ulu hati dan
regurgitasi asam tanpa adanya kerusakan mukosa biasanya membaik dengan
mengubah gaya hidup.
Yang dapat dilakukan adalah6 :
a. Jangan berbaring setelah makan.
b. Hindari mengangkat barang berat.
c. Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang.
d. Tempat tidur bagian kepala ditinggikan.
e. Turunkan berat badan pada pasien yang gemuk.
f. Membiasakan tidur dengan lambung tidak terisi penuh.
g. Jangan makan terlalu kenyang.
h. Hindari makanan berlemak.
25
i. Kurangi atau hentikan pemakaian kopi, alkohol, coklat, dan makanan yang
dibubuhi rempah-rempah.
j. Jangan merokok.
k. Jangan menggunakan obat-obatan yang menurunkan sfingter esofagus bawah.
Nutrisi yang adekuat : diusahakan diberikan nutrisi yang bergizi tinggi dengan
kalori, protein lemak dan karbohidrat yang seimbang. Bila belum dapat makan (oral)
diberikan secara parenteral dan/atau enteral melalui selang flocare (selang nasogastrik
ukuran 7 french). Nutrisi parenteral diberikan sesuai kebutuhan kalori dan elektrolit,
seperti Triofusin, Triofusin E 1000, Aminofusin, Intrafusin, AAmiparen Panamin G,
Intralipid, Aminosteril, Kalbamin, dll. Nutrisi secara enteral dapat berupa susu
komersial (misal: Entrasol, Peptisol, Fresubin, Proten, Nutren) atau makanan cair
biasa.6
Vitamin dan zat besi : pada anemia defisiensi vitamin B12/ asam folat perlu
diberikan vitamin B12 atau asam folat. Pada anemia defisiensi besi perlu diberikan
obat zat besi misal ferrous fumarat, sulfat ferosus, feromia, dll. Pada anemia
defisiensi besi perlu juga diberikan vitamin C. Pada kekurangan vitamin A dapat
diberikan vitamin A.6
Untuk sebagian pasien dengan derajat penyakit yang lebih berat dan menunjukkan
kerusakan mukosa berupa peradangan dan ulserasi, dibutuhkan obat-obat untuk
menyembuhkannya.
3. Terapi terhadap komplikasi6
Terapi bedah. Beberapa keadaan dapat menyebabkan gagalnya
medikamentosa yaitu:
1) Diagnosis tidak benar
2) Pasien GERD sering disertai gejala-gejala lain seperti rasa kembung,
cepat kenyang dan mual-mual yang sering tidakmemperikan respon
dengan pengobatan PPI serta menutupi perbaikan gejalan refluksnya.
3) Pada beberapa pasien, diperlukan waktu yang lebih lama dalm
menyembuhkan esofagitisnya.
4) Kadang-kadangg beberapa kasus Barret’s esophagus tidak memberikan
respons terhadap terapi PPI. Begitu pula halna dengan
adenokarsinoma.
26
5) Terjadi striktur
6) Terdapat stasis lambung dan disfungsi LES.
Terapi bedah merupakan terapi alternative yang penting jika terpai
medikamentosa gagal, atau pada pasien GERD dengan striktur berulang. Umumya
pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi. Pembedahan antirefluks, yaitu
fundus lambung dibungkus mengelilingi esofagus ( fundoplikasi ), meningkatkan
tekanan sfingter bagian bawah dan sebaiknya dipertimbangkan pada kasus resisten
dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak secara penuh responsif
terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis jangka panjang yang tidak
menguntungkan dan gagal. Juga diindikasikan apabila terjadi striktur yang berulang.6
Gambar 10. Terapi pembedahan fundoplikasi (sumber: www.google.com)
Terapi endoskopi6
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam konteks penelitian,
akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terpai endoskopi pada pasien
GERD, yaitu
a. Penggunaan energy radio frekuensi
b. Plikasi gastric endoluminal
c. Implantasi endoskopis, yaitu dengan menuntikkan zat implandi bawah
mukosa esophagus bagian distal, sehingga lumen esophagus bagian
dital menjadi lebih kecil.
Komplikasi
27
Komplikasi yang sering ditumbulkan pada GERD, antara lain6 :
a. Esofagitis dan sekuelenya – striktur, Barret Esofagus, adenocarcinoma
Esofagitis bisa bermanifestasi sebagai irritabilitas, anak tidak mau makan, nyeri
pada dada atau epigastrium pada anak yang lebih tua, dan jarang terjadi
hematemesis, anemia, atau sindrom Sandifer. Esofagitis yang berkepanjangan dan
parah dapat menyebabkan pembentukan striktura, yang biasanya berlokasi di
distal esophagus, yang menhasilkan disfagia, dan membutuhkan dilatasi
esophagus yang berulang dan fundoplikasi. Esofagitis yang berlangsung lama juga
bisa menyebabkan perubahan metaplasia dari epitel skuamosa yang disebut
dengan Barret Esofagus, suatu precursor untuk terjadinya adenocarcinoma
esophagus.6
b. Nutrisi
Esofagitis dan regurgitasi bisa cukup parah untuk menimbulkan gagal tumbuh
karena deficit kalori. Pemberian makanan melalui enteral (nasogastrik atau
nasoyeyunal atau perkutaneus gastric atau yeyunal) atau pemberian melalui
parenteral terkadang dibutuhkan untuk mengatasi deficit tersebut.6
c. Extra esophagus
GERD dapat menimbulkan gejala pernapasan dengan kontak langsung terhadap
refluks dari isi lambung dengan saluran pernapasan (aspirasi atau mikroaspirasi).
Seringnya, terjadi interaksi antara GERD dan penyakit primer saluran pernapasan,
dan terciptalah lingkaran setan yang semakin memperburuk kedua kondisi
tersebut. Terapi untuk GERD harus lebih intens (biasanya melibatkan PPI) dan
lama (biasanya 3 sampai 6 bulan).6
Prognosis
Prognosis GERD sangat baik, sekitar 80-90% yang terkena dapat sembuh dengan
bantuan antasid. Beberapa lainnya butuh pengobatan lain, teapi tidak terlalu jelas
berapa lama untuk sembuh.6
Pencegahan
Pencegahan GERD melalui modifikasi gaya hidup6,12:
a. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum
tidur dengan tujuan meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah
refluks asam dari lambungke esofagus
28
Berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat
menurunkan tonus LESsehingga secara langsung memperngaruhi sel-sel epitel.
Mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan
karena dapatmenimbulkan distensi lambung.
Menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian
ketat sehinggadapat
Mengurangi tekanan intra abdomen.
Menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi, dan
minurnan bersodakarena dapat menstimulasi sekresi asam.
Menghindari obat-obat yang yang dapat menurunkan tonus LES seperti anti
kolinergik, teofilin, diazepam, opiat, antagonis kalsium, agonis beta-adrenergik,
progesteron.
Kesimpulan
Hipotesis diterima. Adanya kebiasaan minum soft drink dan jamu berlebihan
dapat menyebabkan perut terasa penuh, nyeri ulu hati dan kembung serta muntah
asam dapat menimbulkan GERD. Dengan pengobata yang adekuat serta perubahan
modifikasi gaya hidup diharapkan pasien tidak mengalami gejala kekambuhan lagi.
Daftar pustaka
1. Gleadle J. At A Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2007.h.162-7.
2. Prout BJ, Cooper JG. Pedoman praktis diagnosis klinik. Edisi ke-2. Jakarta:
Binarupa Aksara; 2002.h.228-31
3. Swartz HM. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: Penerbit EGC; 2005.h.239-56
4. Davey P. At A Glance Medicine. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.h.43
5. Ekayuda I. Radiologi diagnostic ”pencitraan diagnostic” jilid 2. Edisi 2. Jakarta:
Divisi Radiologi Departemen Radiologi FKUI; 2005.
6. Makmun D. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta: Interna
Publishing; 2009.h.480-7
7. Ruigómez A, Wallander M, Lundborg P, Johansson S, Rodriguez L.
Gastroesophageal reflux disease in children and adolescents in primary care.
Scandinavian Journal Of Gastroenterology. 2010; 45(2): 139-146. Available from:
MEDLINE with Full Text.
29
8. Wilson LM, Lindseth GN. Gangguan esofagus. Dalam: Price SA,Wilson LM.
Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta : EGC ;
2006. h. 404-16.
9. Guyton and Hall. Fisiologi Gangguan Gastrointestinal. Dalam: Buku Ajar
Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC; 2000. hal 1050-2
10. McPhee, Stephen, William FG. Pathophysiology. Gastrointestinal diseases. San
Fransisko: McGraw-Hill Companies; 2006.
11. McPhee, Stephen J, Maxine A, Papadakis. Dispepsia. San Fransisko: McGraw-
Hill Companies; 2009.
12. Sylvia AP, Lorraine M, Wilson. Patofisiologi volume 1. Dalam: Glenda NL,
penyunting. Gangguan lambung dan duodenum. Edisi ke-6 Jakarta : EGC; 2005.
P.417-22.
13. Bucher, Graham P, Laurence H. Dispepsia. Gastroenterology. China: Elsevier
Science Limited; 2003.p. 31- 2.
14. Pendit B, Hartanto H, Wulansari P, Maharani DA. Patofisiologi. Konsep klinis
proses-proses penyakit volume 2. Edisi ke-6. EGC: Jakarta; 2003.
15. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al.
Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th.Mc Graw-Hills; 2008.p.287
16. Katzung, Betram, Anthony JT, Susan M. Drug used in the treatment of
gastroenterintestinal diseases. 9th Edition. McGraw-Hill: Lange; 2004.p. 1469.
30
Differential diagnosis
Gastritis
A. Definisi
Gastritis adalah inflamasi pada
dinding gaster terutama pada
lapisan mukosa lambung dan
berkembang dipenuhi bakteri yang
terdapat pada gambar 2.2.3.
Gastritis dibagi menjadi 2 yaitu :6
1. Gastritis akut merupakan lesi mukosa akut berupa erosi dan perdarahan akibat faktor-
faktor agresik atau akibat gangguan sirkulasi akut mukosa lambung.
2. Gastritis kronis adalah suatu peradangan bagian permukaan mukosa lambung yang
berkepanjangan yang disebabkan baik oleh ulkus lambung jinak maupun ganas atau oleh
bakteri helicobacter pylori.
B. Etiologi
Penyebab terjadinya Gastritis tergantung dari tipenya :
1. Gastritis Akut
Alkohol, Obat-obatan : aspirin, digitalis, yodium, sulfas feros kortison, OAINS,
Gangguan mikrosirkulasi mukosa lambung seperti : trauma, luka bakar, sepsis, Jenis
bahan makanan rempah-rempah seperti : merica, cuka, asam dan Stress.
2. Gastritis Kronik
31
Penyebabnya belum pasti mungkin berhubungan dengan faktor ras, heriditas psikis dan
makanan.
C. Patofisiologi
Gastritis Peningkatan HCl di lambung luka mukosa lambung 1.Mual & Muntah
Gangguan keseimbangan 2. Nyeri Gangguan rasa nyaman 3. Cemas deficit
pengetahuan
D. Gejala klinis
1. Gastritis akut : Nyeri epigastrum, Nausea, muntah-muntah, anorexia. Cepat sembuh
bila penyebab cepat dihilangkan.
2. Gastritis kronik : Tampak pucat, Hb tidak normal, Perut terasa panas, Anorexia,
epigstrum terasa tegang, BAO/MAO (Basal acid output/maximal acid output) rendah
dapat diketahui dengan biopsi.
E. Komplikasi
1. Gastritis Akut
Terdapat perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) berupa hematemesis dan
melena, dapat berakhir sebagai syok hemoragik, khusus untuk perdarahan SCBA perlu
dibedakan dengan tukan peptik. Gambaran klinis yang diperlihatkan hampir sama,
namun pada tukak peptik penyebab utamanya adalah infeksi. Helicobakteri pulori
sebesar 100% pada tukak lambung. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan
endoskopi.
2. Gastritis Kronik
Perdarahan saluran cerna bagian atas, ulkus, periforasi, dan anemia karena gangguan
absorbsi vitamin B12.6
32