bp. zawawi bacaan basmalah

7
Bacaan Basmalah Dalam Al-Fatihah pada Saat Shalat Imam Asy- Syafi’i Membaca Basmallah adalah Fatihah waktu shalat hukumnya wajib. Apabila shalat itu termasuk shalat jahriyah (bacaan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suara keras) maka Basmallahnya harus dibaca keras, dan apabila termasuk shalat Sirriyah (bacaan pelan) maka Basmallahnya juga dibaca pelan). Menurut Asy-Syafi’i Basmallah itu merupakan salah satu ayat dari Surat Al-Fatihah, maka apabila tidak dibaca, maka Fatihahnya menjadi kurang sesuai hadits yang berbunyi : “Apabila kamu sekalian membaca Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, maka bacalah Bismillahirrahmanirrahim, sesungguhnya Fatihah itu induk Al- Qur’an, induk kitab Allah dan tujuh ayat yang diulang-ulang, dan Basmallah itu salah satu ayatnya” (HR. Imam Muslim dan Imma Ad-Daruqutni). Alasan nasional lainnya dari madzhab Syafi’i adalah bahwa semua mushaf sejak masa sahabat sampai sekarang, Basmallah selalu ditulis pada bagian pertama dari surat Fatihah, bahkan surat lain, kecuali surat Imam Hanafi dan Imam Hambali

Upload: ariezta-kautsar-rahman

Post on 08-Nov-2015

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dgv

TRANSCRIPT

Bacaan Basmalah Dalam Al-Fatihah pada Saat Shalat

Imam Asy-Syafii

Membaca Basmallah adalah Fatihah waktu shalat hukumnya wajib. Apabila shalat itu termasuk shalat jahriyah (bacaan ayat-ayat Al-Quran dengan suara keras) maka Basmallahnya harus dibaca keras, dan apabila termasuk shalat Sirriyah (bacaan pelan) maka Basmallahnya juga dibaca pelan).

Menurut Asy-Syafii Basmallah itu merupakan salah satu ayat dari Surat Al-Fatihah, maka apabila tidak dibaca, maka Fatihahnya menjadi kurang sesuai hadits yang berbunyi :

Apabila kamu sekalian membaca Alhamdulillahi rabbil alamin, maka bacalah Bismillahirrahmanirrahim, sesungguhnya Fatihah itu induk Al-Quran, induk kitab Allah dan tujuh ayat yang diulang-ulang, dan Basmallah itu salah satu ayatnya (HR. Imam Muslim dan Imma Ad-Daruqutni).

Alasan nasional lainnya dari madzhab Syafii adalah bahwa semua mushaf sejak masa sahabat sampai sekarang, Basmallah selalu ditulis pada bagian pertama dari surat Fatihah, bahkan surat lain, kecuali surat Baraah (At-Taubah). Padahal para sahabat dan tabiin sangat ketat menjaga orsinilitas (kemurnian) Al-Quran dari kemungkinan masuknya kata atau kalimat lain dari luar al-Quran.

Juga membaca Basmallah apabila membaca Fatihah, tetapi cara membacanya dengan pelan baik dalam shalat Jahriyah maupun dalam shalat Sirriyah.

Imam Hanafi dan Imam Hambali

Macam-macam Qunut

Basmallah itu bukan merupakan bagian dari surat Al-Fatihah atau surat-surat lain. Basmallah itu bagian dari ayat 30 Surat An Nahl ( ditulis minggu depan tanggal 20 des ditanyakan ). Oleh karenanya tidak perlu membaca Basmallah waktu sedang membaca surat Al-Fatihah, baik dalam keadaan shalat maupun diluar shalat, baik dengan cara keras maupun pelan.

Masing-masing madzhab tersebut juga mempunyai alasan dan dalil yang berasal dari sunnah Rasulullah SAW juga dalil dan alasan rasionalnya masing-masing.

Imam Maliky

1.Qunut dibaca pada saat rakaat kedua setiap shalat shubuh.

2.Qunut yang dibaca pada rakaat terakhir shalat witir, pada pertengahan kedua bulan Ramadhan.

3.Qunut Nazilah yang dibaca apabila terjadi musibah atau bencana besar menimpa umat Islam dimana saja atau menimpa kehidupan bangsa dan Negara.

Membaca Qunut Pada Shalat Shubuh

Qunut itu seharusnya dibaca pada rakaat kedua shalat shubuh. Disamping itu Qunut juga dibaca pada shalat witir rakaat terakhir pada setiap pertengahan bulan Ramadhan. Dan juga dianjurkan qunut pada setiap terjadi musibah yang menimpa umat Islam dimana saja.

Asy-Syafii

Qunut itu seharusnya dibaca pada rakaat kedua shalat shubuh. Yang utama dilakukan sebelum ruku. Selain itu hukumnya makruh.

Al-Maliky

Qunut itu hanya dianjurkan (sunat) dilakukan pada shalat witir saja, dan tidak ada diluar shalat witir. Menurut Hanafi dilakukan sebelum ruku' dan menurut Hambali dilakukan setelah ruku'.

Hanafi dan Hambali

Namun disamping sumber-sumber dalil tersebut, ada beberapa sumber yang masih diperselisihkan (Al-Muhtalaf Fiha) seperti : Al-Ikhtisan, Al- Maslahah, Al-Mursalah, Syaru Man Qablana, Al-Urf.

4.

Perbedaan qaidah-qaidah ushul fiqih seperti kalimat/kata umum yang mempunyai arti khusus, tidak dapat dijadikan dalil/hijjah.

5.

Ijtihad dengan dasar Qiyas

Masalah ini banyak membuka perbedaan dalam skala yang luas, mengingat Qiyas itu mempunyai prinsip-prinsip, syarat-syarat dan alasan-alasan (illat) yang banyak. Dan masing-masing illat mempunyai kwalifikasinya (persyaratan) dan cara penggunaannya yang ruwet. Disini membuka peluang terjadinya perbedaan diantara para ulama mujtahidin. Sebagai contoh: madzhab Syafii mengatakan bahwa tertib (urut-urutan) dalam melakukan wudhu sebagaimana tertera dalam ayat 6 surat Al-Maidah, yakni : membasuh muka, membasuh tangan, sampai dengan siku, mengusap kepala, kemudian membasuh kaki sampai dengan mata kaki, adalah fardhu (wajib) dan apabila hal tersebut diabaikan maka wudlunya tidak sah. Pendapat tersebut didasarkan dalil qiyas dalam melakukan tata cara ibadah yang lainnya, seperti ibadah sai yang dipaparkan dalam ayat 158 Surat Al-Baqarah, yakni ibadah sai itu dilaksanakan dari As-Shofa ke Al-Marwa, hal itu sebagai keharusan dan tidak boleh dibalik dari Al-Marqa ke As-Shofa, karena nabi bersabda : ( kuliah agama 13 des 2010 cukup sampai di sini )

Sumber perbedaan diantara Fuqaha' (ulama' ahli fiqih) pada dasarnya adalah karena :

a.Perbedaan tingkat penguasaan dan pemahaman nash/dalil.

b.Perbedaan metodologi yang dipakai dalam melakukan ijtihad yang meliputi :

1.

Perbedaan arti dari beberapa kata-kata Arab

Contoh : seperti kata Al-Quru yang mempunyai makna suci dan juga haidl.

Firman Allah :

Wanita-wanita yang ditalaq/dicerai hendaklah menunggu/menahan dirinya selama tiga quru'. Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal memberikan makna Al-Quru' adalah At-Khuruj. Sementara Imam Abu Hanifah memberikan makna Al-Quru adalah al-Haidlu.

2.

Perbedaan riwayat

Yang akhirnya memunculkan nilai hadist soheh, hasan dhoif dan lain sebagainya.

3.

Perbedaan sumber dalil.

Yaitu sumber-sumber dalil yang telah disepakati oleh para ulama Mujtahidin seperti Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma dan Al-Qiyas.

Adalah Ijma'al Sahabah sejak zaman Umar bin Khattab ra sampai pada masa berikutnya juga kesepakatan ulama-ulama Ahlul al Madinah, selama ini (sampai hari ini shalat tarawih di masjid Nabawi di Madinah dilakukan 20 rakaat, juga di masjidil Haram Makkah dan masjid Al-Aqsha, Al-Quds Yerussalem.

Syarah Tarawih

Menyebutkan jumlah rakaat shalat tarawih itu bukannya 20 rakaat tapi ada yang 8 rakaat, 12 rakaat, 36 rakaat, 40 rakaat dan 46 rakaat.

(Fathu al Bari oleh Al-Asqolami Syarahk Al-Zarqori oleh Sayyid Muhammad Al-Zarqoni).

Sumber-sumber lain

Shalat Tarawih, Tata Cara dan Jumlah Rakaatnya

1.Hukumnya shalat tarawih adalah sunah muakkadah, yang jumlah rakaatnya tidak dibatasi, tergantung kemampuan yang melakukannya.

2.Asy-Syafii memilih shalat tarawih 20 rakaat ditambah 3 rakaat witir.

Asy-Syafii

Bahwa Rasulullah SAW itu apabila mengangkat kepala beliau dari ruku' pada shalat shubuh dalam rakaat kedua, beliau dan berdo'a, Ya Allah berilah saya petunjuk di antara orang-orang yang Engkau beri petunjuk dan seterusnya. (HR. Hakim dari Abu Hurairah).

Dasar

Prof. Al-Zukhaili

Sebab-sebab Yang Menimbulkan Perbedaan

Prof. Al-Zukhaili

Dahulukan apa yang didahulukan oleh Allah

Demikian halnya dengan cara berwudlu. Tapi ada madzhab lain yang memandang tertib tersebut bukan merupakan keharusan.

6.

Kontradiksi dan pengunggulan dalil.

Sebenarnya dalil-dalil syara yang utama (Kitabullah dan sunnah Rasulullah yang soheh) itu tidak ada kontradiksinya, tetapi kontradiksi itu muncul dari batas kemampuan kita dalam memahaminya, atau tingkat penguasaan kita dalam menafsirkannya. Hal itu yang sebenarnya menjadi sebab timbulnya perbedaan di kalangan ulama dalam menetapkan fatwanya.

Contohnya : Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa orang yang sedang melakukan ihram, tidak boleh menikah atau menikahkan, dengan dasar hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Usman bin Affan r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda :

Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau menikahkan (H.R. Muslim). Juga ada hadits lain yang diriwayatkan oleh Yazid bin Al-Ashom dari Maimunah r.a, Bahwa Nabi SAW menikahinya setelah halal (selesai tahallul), dan kumpul dengan beliau dalam keadaan halal (bebas ihrom) (H.R. Imam Ahmad dan Imam Turmudzi).

Sedangkan Imam Abu Hanifah, membolehkan nikah dalam keadaan sedang melakukan ihrom, atas dasar hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a: Bahwa Nabi Muhammad SAW menikahi Maimunah ketika beliau ihrom (H.R. Imam Bukhari)

Dalam contoh tersebut di atas tampak adanya dua dalil yang terlihat kontradiktif dan ada perbedaan diantara ulama Mujtahidin dalam memilih mana dalil yang diunggulkan.

Prof. Al-Zukhaili