bse kekurangan

17
Ternyata Buku Sekolah Elektronik Masih Menjadi Mahluk Asing July 16, 2008 by djunaedird Hari pertama sekolah, Senin (14/7), siswa dan orangtua dikejutkan dengan biaya pembelian buku pelajaran yang sangat memberatkan. Biaya yang harus dikeluarkan di beberapa sekolah mencapai Rp 1 juta per semester. Program buku digital yang dicanangkan pemerintah dengan maksud menekan harga buku kenyataannya belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Selain sulit diunduh dari internet, hampir tidak ada sekolah yang menggunakan buku digital itu. Bahkan, banyak kepala sekolah dan guru yang belum mengetahui adanya buku digital itu……….. ”Ada 14 buku yang mesti dibeli. Harga semua buku yang dijual di sekolah hampir Rp 1 juta. Siswa yang mau beli pesan ke bagian Tata Usaha,” kata seorang siswa. Buku-buku teks yang dipakai di sekolah tersebut merupakan keluaran dari penerbit buku ternama yang umum dipakai di sekolah. Tidak ada satu buku pun yang direkomendasikan dari buku digital yang disediakan pemerintah di situs web Depdiknas. ( Biaya Buku Memberatkan , KOMPAS, 15/07/08 ) Lebih jauh KOMPAS menulis, seandainya buku teks pelajaran yang dipakai sekolah memanfaatkan buku digital yang telah dibeli hak ciptanya, satu buku teks sesuai harga eceren tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah seharga Rp 20.000. Biaya pembelian buku yang dikeluarkan masyarakat jauh lebih rendah, bisa mencapai 25 persen dari pengeluaran saat ini. Namun, keberadaan buku teks yang dibeli hak ciptanya oleh pemerintah dan diunggah (upload) di http://bse.depdiknas.go.id , http://www.depdiknas.go.id ,www.pusbuk.or.id , dan www. sibi.or.id masih belum dapat diunduh dengan cepat. Jika mencetak sendiri, biayanya justru lebih mahal.

Upload: nurryna-nisa-irtidyanti

Post on 25-Jun-2015

285 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BSE Kekurangan

Ternyata Buku Sekolah Elektronik Masih Menjadi Mahluk Asing

July 16, 2008 by djunaedird

Hari pertama sekolah, Senin (14/7), siswa dan

orangtua dikejutkan dengan biaya pembelian buku pelajaran yang sangat memberatkan. Biaya yang

harus dikeluarkan di beberapa sekolah mencapai Rp 1 juta per semester.

Program buku digital yang dicanangkan pemerintah dengan maksud menekan harga buku

kenyataannya belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Selain sulit diunduh dari internet,

hampir tidak ada sekolah yang menggunakan buku digital itu. Bahkan, banyak kepala sekolah dan

guru yang belum mengetahui adanya buku digital itu………..

”Ada 14 buku yang mesti dibeli. Harga semua buku yang dijual di sekolah hampir Rp 1 juta. Siswa

yang mau beli pesan ke bagian Tata Usaha,” kata seorang siswa.

Buku-buku teks yang dipakai di sekolah tersebut merupakan keluaran dari penerbit buku ternama

yang umum dipakai di sekolah. Tidak ada satu buku pun yang direkomendasikan dari buku digital yang

disediakan pemerintah di situs web Depdiknas. ( Biaya Buku Memberatkan, KOMPAS, 15/07/08 )

Lebih jauh KOMPAS menulis, seandainya buku teks pelajaran yang dipakai sekolah memanfaatkan

buku digital yang telah dibeli hak ciptanya, satu buku teks sesuai harga eceren tertinggi (HET) yang

ditetapkan pemerintah seharga Rp 20.000. Biaya pembelian buku yang dikeluarkan masyarakat jauh

lebih rendah, bisa mencapai 25 persen dari pengeluaran saat ini.

Namun, keberadaan buku teks yang dibeli hak ciptanya oleh pemerintah dan diunggah (upload)

di http://bse.depdiknas.go.id, http://www.depdiknas.go.id,www.pusbuk.or.id, dan www. sibi.or.id masih

belum dapat diunduh dengan cepat. Jika mencetak sendiri, biayanya justru lebih mahal.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan

Prasarana untuk SD-SMA, soal buku teks pelajaran ini termasuk prasarana yang wajib disediakan

sekolah sebagai syarat telah memenuhi salah satu standar nasional pendidikan.

Page 2: BSE Kekurangan

Pengadaan buku teks pelajaran yang ditetapkan satu eksemplar per mata pelajaran untuk setiap

peserta didik itu merupakan bagian dari perpustakaan sekolah…………

Manajer Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan,

berdasarkan penelitian ICW sejak tahun 2003 hingga 2007 di sekitar 10 kota di Pulau Jawa dan luar

Jawa, tren biaya pendidikan yang ditanggung orangtua cenderung meningkat. Orangtua masih

menanggung sekitar 80 biaya pendidikan. ”Peran negara masih kurang dan cenderung memburuk,”

ujarnya.

Wakil Education Forum Yanti Sriyulianti mengatakan, kebijakan buku elektronik itu sebetulnya dapat

sangat membantu jika infrastruktur telah memadai. Persoalannya, infrastruktur jaringan

teknologi informasi dan kepemilikan komputer masih terbatas. Biaya akses internet juga

masih terbilang mahal. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang terintegrasi untuk mengatasi

berbagai masalah tersebut.

Akan lebih bijaksana dan berdaya guna program BSE ini didukung sepenuhnya oleh para Kepala

Sekolah dalam bentuk menggandakan lewat media CD atau difotokopi. Sehingga para orang

tua bisa membeli CD atau fotokopi tersebut dengan harga murah.

Tanpa itu semua, program BSE hanya akan menjadi barang ‘baru’ nan ‘asing’ serta jauh dari

jangkauan. Belum lagi bila ada orang tua sudah berpayah-payah mendownload dan mencetaknya,

ternyata nggak dipakai di sekolah anaknya.

Jadi BSE akan menjadi program sia-sia yang penuh dengan kemubaziran saja.

Page 3: BSE Kekurangan

Apa Kabar Buku Sekolah Elektronik?

Heri Abi Burachman Hakim

Staf Perpustakaan FISIPOL, Alumni Jurusan Ilmu Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga

Pemerintah telah membeli hak cipta dari banyak pengarang buku pelajaran untuk dapat mengalih mediakan buku karya

mereka ke dalam format buku elektronik atau e-book. Selanjutnya buku elektronik ini disajikan dalam website milik

Depatemen Pendidikan Nasional dan semua orang dapat dengan bebas mengunduh atau mendistribusikan ulang e-book

yang disajikan tanpa dipungut biaya. Program mengalih mediakan buku pelajaran ke dalam format elektronik atau digital ini

dikenal dengan program buku sekolah elektronik (BSE)

Langkah yang diambil pemerintah ini merupakan usaha untuk mengatasi problematika buku pelajaran yang selama ini

membelit orang tua siswa. Bukan rahasia lagi bahwa buku pelajaran menjadi salah satu problematika yang dihadapi dunia

pendidikan di Tanah Air kerena biaya pengadaan buku pelajaran sering memberatkan orang tua siswa. Padahal buku

merupakan kebutuhan pokok dalam proses belajar mengajar sehingga walaupun harga buku pelajaran dirasa memberatkan

orang tua, orang tua terpaksa memaksa membeli buku pelajaran.

Namun eksistensi program BSE menuai pro dan kontra dari masyarakat. Ada golongan yang mendukung adanya program

BSE karena akan membantu orang tua dalam penyediaan buku pelajaran. Sedangkan golongan lain, seperti penerbit

menolak keras program ini karena dirasakan akan merugikan penerbit dan dapat menyebabkan matinya industri penerbitan

di Tanah Air.

Tulisan ini tidak bermaksud membahas tentang pro dan kontra terkait dengan masalah BSE. Akan tetapi yang ingin penulis

bahas disini adalah bagaimana mengoptimalkan keberadaan BSE. Jika melihat besarnya anggaran pemerintah yang telah

dikeluarkan untuk menggulirkan program ini serta melihat kebutuhan siswa akan buku pelajaran sudah selayaknya jika

keberadaan BSE dioptimalkan. Apakah optimalasi keberadaan BSE dilakukan dengan mengunduh buku-buku elektronik?

Kemudian setelah diunduh bagaimana mana cara pemanfaatan buku-buku tersebut agar keberadaannya tidak percuma?

Untuk itu melalui tulisan ini penulis ingin berbagi ide tentang pengelolaan BSE setelah diunduh dari website Departemen

Pendidikan Nasional agar keberadaanya dapat lebih optimal.

Pengelolaan Berbasis Perpustakaan

Pemanfaatkan BSE sangat bergantung pada ketersediaan komputer. Hal ini disebabkan karena format BSE adalah file

berektensi pdf yang untuk membacanya dibutuhkna komputer. Sayannya, tidak semua orang tua mampu menyediakan

komputer bagi putra-putri mereka. Dengan katalain siswa akan kesulitan untuk mengakses materi pelajaran yang ditersedia

di dalam BSE. Sebenarnya setelah diunduh selain dapat dibaca melalui komputer, BSE juga dapat dibaca dengan terlebih

Page 4: BSE Kekurangan

dahulu mencetaknya dalam lembaran-lembaran kertas. Akan tetapi karena jumlah halaman dari BSE ini cukup banyak

maka untuk mencetaknya juga diperlukan dana yang mungkin besarnya sama dengan harga buku pelajaran yang dijual

dipasarn.

Untuk mengatasi masalah ini penulis menawarkan pengelolaan BSE berbasis perpustakaan. Pada konsep pengelolaan ini,

perpustakaan berperan sebagai lembaga yang menjembatani siswa memanfaatkan eksistensi buku sekolah elektronik.

Dengan konsep pengelolaan ini orang tua tidak perlu khawatir bahwa anaknya tidak mampu mengakses buku sekolah

karena orang tua tidak mampu menyediakan komputer.

Untuk merealisasikan konsep pengelolaan BSE berbasis perpustakaan langkah-langkah yang perlu diambil antara

lain, pertama, BSE yang telah diunduh dicetak oleh perpustakaan dan dijadikan sabagai bagian dari koleksi perpustakaan.

Pengelola perpustakaan dapat mencetak BSE kemudian menjilidnya, mengolahnya sebagai koleksi perpustakaan dan

melayankan BSE kepada siswa baik dengan cara dipinjam ataupun dengan cara dibaca ditempat. Dengan cara pertama ini,

memungkinkan siswa meminjam atau membaca BSE melalui BSE yang dilayankan perpustakaan. Selain dapat membaca

atau meminjam BSE, cara pertama ini memungkinkan siswa memfoto copy BSE sehingga dapat menekan biaya yang

dikeluarkan dibandingkan dengan cara mencetak langsung BSE. Konsep ini sesuai jika digunakan oleh sekolah yang

perpustakaan atau siswanya belum memiliki komputer.

Kedua, pengadaan seperangkat komputer yang dilengkapi CD drive writer. Seperangkat komputer yang dilengkapi dengan

CD driver writer ini kemudian diletakkan di perpustakaan. Komputer difungsikan sebagai sarana untuk membaca file BSE

yang telah diunduh. Sedangkan CD driver writer difungsikan sebagai alat yang digunakan untuk menyalin file BSE ke dalam

CD-ROM jika siswa membutuhkan salinan file BSE. Konsep ini akan dimanfaatkan oleh siswa yang memiliki komputer untuk

membaca BSE.

Ketiga, mengelola BSE dengan konsep perpustakaan digital. Pengelolaan BSE dengan konsep perpustakaan digital

dilakukan dengan menggunakan aplikasi perpustakaan digital yang memungkinkan siswa atau guru menelusur BSE melalui

katalog on-line, kemudian setelah BSE yang ditelusur telah ditemukan siswa, guru atau pengguna perpustakaan lainnya

dapat melihat BSE secara full text(lengkap). Pengelolaan dengan konsep perpustakaan digital ini diperlukan karena dari hari

kehari jumlah BSE terus bertambah sehingga siswa atau pengguna perpustakaan lainnya akan kesulitan ketika mencari

BSE secara manual. Dengan konsep perpustakaan digital memungkinkan perpustakaan ditemukan dan digunakan secara

cepat dan massal. Konsep pengelolaan perpustakaan digital juga memungkinkan satu judul BSE diakses secara massal

pada waktu yang bersamaan. Berbeda jika BSE disajikan dalam format tercetak maka satu eksemplar BSE yang dapat

digunakan oleh satu orang.

Untuk merealisasikan pengelolaan BSE dengan konsep perpustakaan digital, selain seperangkat komputer perpustakaan

memerlukan aplikasi perpustakaan digital. Untuk memperoleh aplikasi perpustakaan digital, perpustakaan tidak perlu

mengeluarkan uang karena saat ini banyak tersedia aplikasi perpustakaan digital yang dapat diperoleh dan digunakan

secara gratis. Aplikasi yang dapat diperoleh dan digunakan secara gratis antara lain Ganesha Digital Libraray atau yang

lebih dikenal dengan GDL, Greenstone Digital Library serta Senayan. Berbagai aplikasi ini telah digunakan oleh banyak

perpustakaan di Tanah Air untuk melakukan pengelolaan serta pelayanan terhadap koleksi digital yang dimiliki. Contohnya

Page 5: BSE Kekurangan

adalah Perpustakaan ITB yang menggunakan GDL untuk membangun Perpustakaan digitalnya, Perpustakaan Universitas

Negeri Semarang yang menggunakan Greenstone Digital Library untuk mengelola koleksi digitalnya.

Ketiga langkah diatas merupakan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengoptimalkan keberadaan BSE yang telah

disediakan oleh pemerintah. Pihak sekolah dapat memilih langkah apa yang akan dilakukan guna mengoptimalkan

keberadaan BSE sesuai dengan kemampuan sekolah. Namun apabila sekolah telah memiliki kemampuan maka akan lebih

baik jika ketiga langkah diatas dilakukan sehingga keberadaan BSE benar-benar dapat dioptimalkan.

Page 6: BSE Kekurangan

Buku Sekolah Elektronik PendidikanJuly 1st, 2008

Request from my chief editor 

Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan buku sekolah elektronik yang dapat diakses melalui

situsnya di sini. Buku ajar ini telah dibeli hak ciptanya oleh Depdiknas. Dari surat kabar harian Kompas,

dikabarkan pemerintah telah menargetkan 295 judul buku sekolah elektronik pada Agustus 2008. Dan

saat ini  telah terdapat 49 judul buku  digital yang dapat diunduh masyarakat lewat internet secara

gratis. Dengan adanya buku sekolah elektronik maka siapapun berhak untuk mengunduh, mencetak,

memperbanyak dan menjualnya dengan ketepan harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Saya sudah melihat situsnya.  Buku-buku yang ada di sini masih terbatas. Buku-buku yang termasuk

ke dalam UN sepertinya lebih diutamakan.  Saya juga mencoba mengunduh satu buku. Filenya

lumayan besar.

Terobosan pemerintah untuk meluncurkan program bse ini memang layak kita dukung. Beberapa

komentar baik kritik dan saran diberikan. Nah, apa saran dan kritikan Anda? Walaupun sudah banyak

orang yang menuliskan dan memberi komentar mengenai bse ini, ndak pa-pa kan? 

Saya lebih ingin tahu, kira-kira bagaimana dengan industri perbukuan di Indonesia? (Termasuk penulis

dan penerbitnya, tentu).

Komentar saya? Hmm.. hmm.. nanti aja deh 

26 Responses to “Buku Sekolah Elektronik”

1. GiE  Says: July 2nd, 2008 at 00:00

BSE? Hm, sepertinya layak dikembangkan secara komprehensif nih…Langkah yang lumayan untuk memulai program pendidikan gratis…Gimana dengan perindustrian perbukuan? Waa.. komen deh.. ^^

2. GiE  Says: July 2nd, 2008 at 00:01

Eh, ralat, no komen gitu deh.. he.. 

3. Yudha P Sunandar  Says: July 2nd, 2008 at 04:57

lebih bagus lagi sih lisensinya di bawah FDL (free document license). jadi pemerintah nggak perlu buang2 uang buat beli lisensi buku.

4. scratchz  Says: July 2nd, 2008 at 08:26

Pertanyaan saya juga sama dengan bu Enggar.“Kira-kira bagaimana dengan industri perbukuan di Indonesia? (pengarang & penerbit)”saat saya mencoba mendownload terlihat peratuaran sebagai berikut :…………………Pengguna dapat mendownload dan/atau mencetak file BS-E serta menggandakan, memperdagangkan, dengan ketentuan:1. Pengganda dan/atau penjual berkewarganegaraan Indonesia atau berbadan hukum di wilayah

Page 7: BSE Kekurangan

Indonesia;…………………Berdasarkan peraturan tersebut dapat dilihat bahwa setiap orang (warga RI) dapat menggandakannya. Nah lho, terus nasibnya penerbit-penerbit yang sudah ada gimana? Mungkin hal itulah yang harus diperhatikan pemerintah untuk membuat suatu peraturan yang tidak merugikan siapapun.Pertanyaan selanjutnya :Apakah buku-buku yang sudah ada dan beredar di pasaran akan dilektronikan juga?

Hmm, ga tau deh.. btw, saya sudah mencoba fasilitas baca onlinenya dan kesan saya sungguh sangat lambat , tapi tampilannya sudah cukup interaktif dengan disajikan dengan menggunakan animasi page flipper. jadi mirip kita saat buka buku. nice!Maaf bu Enggar, numpang ngeJunk :p

5. sawali tuhusetya  Says: July 2nd, 2008 at 12:22

terobosan yang baru dan menarik, bu enggar. sayangnya, belum diimbangin dengan jaringan infrastruktur yang memadai sehingga belum semua masyarakat bisa mengaksesnya. dengan ol-nya BSE, itu bisa menjadi “pukulan” bagi penerbit, sehingga harus melalui fase bargaining yang alot sebelum resmi diluncurkan. semoga kehadiran BSE tak sampai “membunuh” penerbit dalam melahirkan buku2 berkualitas meski pemerintah juga sudah menentukan HET (Harga Eceran tertinggi)-nya.

6. bagas Says: July 8th, 2008 at 04:31

SEMUA DICIPTAKAN UNTUK MENGHADAPI PILPRES 2009. BICARA DENGAN HATI & LIHATLAH DENGAN HATI! DARIPADA BUANG DUIT UNTUK BUAT BUKU MURAH LEBIH BAIK DUITNYA UNTUK CUCI OTAK PEJABAT2 YANG SERING MINTA DISCOUNT. HARGA BUKU MAHAL KARENA PERMINTAAN DISCOUNT YANG TINGGI!

7. Joko Sutrisno Says: July 10th, 2008 at 02:36

Terpaksa kasih komentar nih…BSE dan Penerbit Buku bisa berjalan berdampingan kok, selama tidak ada “tekanan-tekanan” dari pemerintah di mana sekolah hanya diijinkan menggunakan BSE ini saja, tidak boleh menggunakan buku-buku lain yang diterbitkan penerbit buku (swasta). Toh dari dulu sebenarnya pemerintah sudah menyediakan buku paket lewat Balai Pustaka (yang saya ingat sih buku Energi, Gelombang, dan Medan), meskipun banyak guru yang merasa “tidak cukup” dengan buku-buku terbitan Balai Pustaka tersebut, sehingga membeli buku-buku dari penerbit swasta. Kalau sudah main Melarang ini itu, Mewajibkan ini itu…ya sudah bisa ditebak akan seperti apa dunia pendidikan di Indonesia. Semua sekolah akan menggunakan buku-buku yang relatif sama, tidak ada lagi “kompetisi” untuk menjadi lebih unggul dibanding yang lain. Ada juga sih yang komentar, BSE hanya dijadikan alat politik untuk memikat hati rakyat. Kalau menurut saya sih, BSE disebabkan pemerintah sudah kehabisan dana untuk disalurkan ke sekolah-2 melalui BOS Buku. Bayangkan saja, dengan BSE, pemerintah hanya mengeluarkan sedikit dana untuk membayar/membeli hak cipta buku, anggap saja 200 buku dikalikan 100 juta, hanya 20 M saja (nggak tahu berapa biaya untuk penyeleksian buku-2 ini..heheheh). Sedangkan kalau melalui BOS Buku, pemerintah harus mengeluarkan dana sekitar rp20.000 per buku, kalikan dengan jumlah siswa SD sebanyak 25 juta lebih…kalikan lagi dengan jumlah mata pelajarannya….wah…jauh sekali perbedaan dana yang harus dikeluarkan. Dengan adanya BSE ini, sebagian “tugas” pemerintah untuk menyediakan sarana pendidikan sudah dapat dianggap selesai…urusan penggandaannya di sekolah…ya urusan sekolah dan masyarakat sendiri…(????). Dapat diibaratkan, ngajak piknik ke Bali…tapi kumpulnya di Denpasar…! Atau “nelpon gratis”…tapi “syarat dan ketentuan berlaku”. Mirip dengan kasus UN-lah, sarana dan prasarananya belum distandarkan…tapi alat ujinya sudah distandarkan. Katanya KTSP, sekolah boleh membuat kurikulum sendiri-sendiri…tapi ujiannya sama. katanya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), tetapi dana yang dianggarkan oleh pemerintah per anak (BOS) dihitung hanya berdasarkan jumlah siswa, bukan pada kebutuhan siswa dan sekolah. Duh…ternyata carut marut sekali ya bangsa ini?

Page 8: BSE Kekurangan

8. Enggar Says: July 11th, 2008 at 02:39

Yudha:Maksudnya? Gie dan Ali: Thanks.Sawali: Setuju itu, Pak. Semoga bse dan penerbit buku dapat seiring sejalan.Pak Joko:

Kok terpaksa Pak?   . Betul juga, Pak. Saya jadi ingat koleksi bupel yang saya gunakan jaman sekolah dulu. Jadi, sebenarnya sama aja ya Pak namun sekarang lebih canggih, melalui versi digital walopun nanti dicetak juga. Memang seharusnya pemerintah tidak memberikan tekanan, toh kalau pakai acara tekan menekan sana sini yang namanya informasi bisa didapat dari manapun (jaman internet, gitu loh:)).Dan hak setiap sekolah juga untuk memilih buku-buku yang mereka ingin gunakan. Bukankah semakin bagus jika beraneka ragam? Bandingkan jika segala-galanya harus seragam? Wah, seram juga. Bukankah baik juga bagi guru jika dia mempunyai banyak sumber belajar? Tidak saja dari buku mata pelajaran tapi buku-buku non pelajaran yang mengaitkan dengan bidang ilmunya. Jadi, banyak yang bisa diceritakan ke muridnya, bukan begitu,Pak?Btw, tantangan bagi penulis dan penerbit untuk mendapatkan ide-ide baru yang kreatif dalam

mengemas buku-buku mereka. Tak mudah tentu saja. Tapi juga tidak ada yang tidak mungkin   .

9. Yudha P Sunandar  Says: July 11th, 2008 at 09:05

fdl tuh lisensi yang memperbolehkan setiap orang menyalin, mendistribusikan, dan lain2, dokumen yang udah dibuat ama penulis. mirip gpl di foss dan linux.jadi, kalo setiap buku pelajaran berlisensi fdl, pemerintah kan ngak usah harus buang2 duit buat beli lisensi buku. smuanya tersedia bebas untuk dipake.

10. Tri  Says: July 14th, 2008 at 05:18

Bagi yang merasa file bse dari diknas terlalu besar (contoh Matematika SD kelas 2 besarnya 398MB, saya kecilkan jadi 5 MB, tanpa mengurangi isi), bisa coba download dari homepage saya .. http://www.invir.com (Jumlah ebook akan ditambah terus … server diknas sering sibuk, dan ada beberapa file yang tidak bisa didownload) …Salam ..

11. syendi  Says: July 16th, 2008 at 08:08

bu enggar, kulanuwunberbagai reaksi ditimbulkan dari BSE ini, kebetulan saya salah satu penulis yang hak ciptanya dibeli oleh diknas, dalam hal ini pusbuk yang melakoninya…dari wira-wiri ke jakarta untuk mengurus dokumen pembelian hak cipta membuat saya jenuh..terlebih seluruh akomodasi ditanggung oleh penulis..nampaknya harga net yang ditawarkan tidak mau diganggu gugat..teman-teman penulis hanya bisa pasrah..terlepas dari semuanya, kami berharap hal ini sebagai salah satu langkah agar anak didik kita dapat mengakses lebih mudah sarana belajar, tapii betapa kecewanya saja begitu membuka situsnya, sangat lambat dan tidak mengakomodir kebutuhan penggunanya, sekali lagi mudah2an kesedian teman2 penulis untuk dibeli hak ciptanya menjadi amal jariah untuk kami, amien

12. hamim rosyidi Says: July 17th, 2008 at 01:12

upaya pemerintah untuk mencerdaskan bangsa harus kita dukung, termasuk fasilitas buku-buku. sebaliknya setiap upaya pihak-pihak tertentu untuk menghalangi kecerdasan bangsa harus kita bumi hanguskan. termasuk kepalas sekolah dan guru yang mestinya digugu dan ditiru, malah jual buku

13. Enggar Says: July 17th, 2008 at 03:44

Page 9: BSE Kekurangan

Syendi:Amin, Bu.Hamim:Tentu saja semua mendukung, Pak. Kritik dan saran itu tetap diperlukan dalam upaya mendapatkan yang terbaik. Dan tentang kepsek atau guru yang berjualan buku, itu tidak semua. Beberapa sekolah diberikan dana operasional dalam bentuk BOS. Dana tersebut sebagian dialokasikan untuk pembelian buku pelajaran. Buku-buku itu dipinjamkan dan akan dikembalikan ke sekolah.

14. ade putra Says: July 18th, 2008 at 11:40

Pada dasarnya saya setuju saja dengan BSE, tetapi soal HET, tunggu dulu. Kebijakan memang bisa menguntungkan tetapi juga bisa sangat merugikan. Bisa kita bayangkan nasib karyawan, sales dll dari penerbit, bagaimana?. Kembali ke HET, sungguh nggak masuk akal. Bayangkan saja, seandainya sekolah ingin menggandakan buku Matematika kelas 5 dengan fotocopy, berarti sekolah harus mengeluarkan biaya 293 lembar x 125 rupiah = 36.625, itu baru fotocopy, sudah melanggar HET, belum njilidnya, murahnya dimana???

15. Jusuf Padangpradapa Says: July 21st, 2008 at 01:11

Halo kawan-kawan,Langsung saja, saya coba download BSE di websitenya DEPDIKNAS langsung, hasilnya… kesal, kesal dan kesal.. sebenarnya sdh siap belum sih ? ada aja yang aneh, yang kode sekuritynya yang tidak cocoklah, yang setelah menyetujui pernyataan dan klik, langsung done lah?… maunya apa Sih? jadi tolong kalau ada diantara kawan-kawan yang berhasil tolong lah di sharing… bagaimana caranya kok bisa berhasil…. mungkin saya saja yang masih kurang faham… Tks

16. r88ney  Says: July 21st, 2008 at 15:53

@Jusuf PadangpradapaCoba download dari servernya kambing (kambing.ui.edu) dihttp://kambing.ui.edu/bse/pdf/Insya Allah berhasil.

17. aboh Says: July 22nd, 2008 at 03:10

saya setuju dengan pak ade putra, murahnya di mana……??18. Rakyat biasa Says: 

July 24th, 2008 at 07:37

thanks om r88ney, mudah2an ada orang2 yg berilmu dan baik memberikan link kepada kami2 semua sehingga BSE ini benar2 bisa didownload dan dimanfaatkan…

19. Wong Cilik , Wonogiri Says: July 28th, 2008 at 09:46

DEPDIKNAS pancen setengah hati , mau nolong apa mau nyusahkan ? download BSE susahnya setengah mati , bikin praktis dan mudah apa tidak bisa ? Tolong dong diperhatikan kami yang ada di desa terpencil ini. selain itu sekolah-sekolah juga di kendalikan agar jangan arogan ( asal ) menjual buku , yang tujuannya cari laba. Kami rakyat kecil sudah sulit tolong jangan malah dicekik.

20. Wong Cilik , Wonogiri Says: July 28th, 2008 at 10:31

…………. ya ya ya , ada download untuk teknologi tepat guna untuK alternatif BBM , APA TIDAK YA ?

21. Buku Sekolah Elektronik & Smart Classroom « SD NEGERI GAMBIRANOM Says: July 29th, 2008 at 15:58

Page 10: BSE Kekurangan

[...] memperbanyak dan menjualnya dengan ketepan harga yang telah ditetapkan oleh pemerintah. ” ( disadur dari sini ) [...]

22. Joko Sutrisno Says: August 12th, 2008 at 02:06

Hari Senin, 11 Agustus 2008 kemarin, harian kompas di halaman 12 (Humaniora) menurunkan tulisan berjudul “BSE Bukan untuk Murid”. Lho??? Terus untuk siapa? Begitu pertanyaan spontan saya. Dalam berita itu, Mendiknas menyebutkan: “Program BSE itu tidak ada. Itu hanya nama website Depdiknas yang isinya buku-buku pelajaran yang hak ciptanya sudah dibeli pemerintah. Namun yang terjadi pemerintah dikonyol-konyolkan karena banyak sekolah yang belum punya listrik tapi pemerintah sudah buat program BSE. Sekali lagi saya tegaskan, BSE itu program buku murah. Maksud utama pembuatan website itu bukan untuk murid, tapi perusahaan agar mencetak dan menjual buku dengan harga sepertiga dari harga buku teks di pasaran”. Saat ditanya mengapa pemerintah belum mengusahakan buku teks gratis, Bambang mengatakan, buku teks gratis harus disediakan sekolah dalam jumlah cukup, terutama untuk siswa yang tidak mampu. Yang mampu dianjurkan beli….Duh…ini bagaimana sih? Kok jadi kayaknya semakin tidak jelas arah kebijakan pendidikan di negeri ini. Waktu itu gencar diberitakan oleh Kompas juga bahwa karena adanya BSE ini maka sekolah dan guru dilarang melakukan jual beli buku di sekolah, malahan sampai ada kepala sekolah di Jakarta yang dipecat (?) karena kedapatan mengelola penjualan buku di sekolahnya. Sampai saat ini pun….setahu saya masih banyak sekolah yang menunggu-nunggu datangnya “buku ajaib” dari pemerintah itu, sehingga sementara ini siswa dan guru belajar tanpa ada buku teks. Maunya seperti apa sih?

23. Enggar Says: August 12th, 2008 at 04:10

Iya, pak. Keponakan saya beberapa minggu awal tahun ajaran itu sempat tidak menggunakan buku paket apapun. Belum dikasih tau dari sekolah katanya. Mungkin Pemerintah malu mengakui bahwa kebijakan yang mereka buat belum mereka pikirkan matang-matang sebelumnnya. namun setelah adanya banyak kritik mereka merasa disudutkan dan hasilnya ya tulisan di atas. Lucu juga. Kalau bse ditujukan untuk perusahaan, kenapa tidak langsung saja ke perusahaannya yang menerbitkan buku. Dan omong-omonglah dengan penerbit buku mengenai kesepakatan harga yang boleh ditetapkan. Aneh.

24. Didik Sadianto,S.Pd Says: September 8th, 2008 at 03:29

Za ide dasar peluncuran buku ini sudah bagus. Tapi bagaimana dengan sekolah yang letaknya terpencil apa mungkin mendownload buku ini??????????????????……Apa mungkin?

25. Candra  Says: September 8th, 2008 at 05:42

Menarik sekali fenomena bse itu. Saya juga sempat mempertanyakan, kalau memang pemerintah mau membuat program buku murah, ya harusnya program buku murah untuk murid. Lantas kenapa pemerintah tidak mencetak sekaligus disamping meluncurkan e-book yang bisa diunduh di website depdiknas. Dengan beragam pilihan, masyarakat pada akhirnya akan memilih mana yang lebih mungkin untuk bisa mendapatkan buku yang telah dinilai oleh BNSP itu. Karena memang kita harus bisa memastikan bahwa buku teks ajar itu memang sudah dinilai kualitasnya oleh BNSP. Sebagian besar buku yang digunakan sekarang oleh sekolah-sekolah belum dinilai kelayakannya oleh pemerintah. Oh ya, bagi yang berminat memiliki bse SD dan SMP lengkap, hubungi saya di 0227794027.

26. reasonable  Says: October 27th, 2008 at 02:49

nyoba ikut nimbrung ah …kebetulan sy bekerja di pershn penerbitan yang membuat buku pelajaran sekolah. kebijakan pemerintah ini berdampak besar buat perusahaan kami. (katanya) Perusahaan kami terpaksa melakukan pengurangan karyawan akibat adanya buku pelajaran gratis yang disediakan pemerintah

Page 11: BSE Kekurangan

ini. ini menurut manajemen di perushn kami. saya sendiri ngga begitu yakin dampaknya akan demikian besar buat penerbitan seperti kami. saya juga bertanya2 apa buku kami kalah bersaing dg buku gratis yg disediakan pemerintah. mungkin karena pemerintah mematok harga yg terlalu rendah shg sulit bagi penerbit mendapat keuntungan dan meningkatkan laba perushn. kondisi krisis ini benar2 sy alami di pershn saya.

Page 12: BSE Kekurangan

Beberapa Kelemahan Teknis Mendasar   BSE Posted on Juni 29, 2008 by rezaervani

Oleh : Reza Ervani

Untuk lebih dapat dimengerti mengapa ada buruk sangka tentang ketidakseriusan pemerintah menggarap program

Buku Sekolah elektronik, berikut beberapa point teknis yang diamati sekilas dari program yang sudah dipublikasikan

cukup gencar selama beberapa minggu terakhir.

1. Ukuran file yang sangat besar dalam format pdf.

Tampaknya ada miskonsepsi tentang e-book oleh penyelenggara program. (Coba

lihat http://rezaervani.wordpress.com/2008/06/23/e-book-tidak-sama-dengan-pdf/ ; untuk penjelasan lebih lanjut

tentang e-book). File yang terlalu besar ini tidak hanya menyusahkan klien ketika mengunduh, tapi juga berdampak

semakin tingginya beban server yang memuat e-book BSE. Dan ini tampaknya terbukti dari beberapa laporan yang

menyebutkan website tersebut tidak dapat diakses di warnet. Penulis sendiri berulang kali mencoba di kampung

dengan GPRS yang aksesnya jauh lebih lambat dan tentu dapat dipastikan kegagalannya.

2. Tidak tersedianya server mirror

Dengan publikasi gencar-gencaran tentang BSE, termasuk di televisi, seharusnya ada antisipasi mebludaknya beban

server. Untuk mempermudah proses pengunduhan, seharusnya disediakan server mirror di titik-titik krusial, misalnya

di Surabaya atau Makasar untuk Indonesia timur. Tapi tampaknya hal ini tidak masuk dalam perencanaan (atau tidak

direncanakan sama sekali)

3. Tidak Lengkap

Dari keterangan 250 buku gratis yang dibeli oleh pemerintah, ternyata tidak semuanya tersedia di BSE. Mudah-

mudahan ini cuma masalah waktu.

4. Redefinisi Konsep e-learning

Berulang kali dalam berbagai kesempatan mengisi pelatihan ICT untuk para guru, penulis menekankan bahwa e-

learning tidak identik dengan internet. Kalimat “computer network” tidak harus diterjemahkan secara fisik, apalagi

mengandalkan backbone jardiknas yang saat ini bandwidth-nya terus-menerus dikurangi, tapi dapat pula diartikan

sebagai jaringan sosial. Karenanya distribusi pengetahuan elektronik dalam bentuk CD atau Flash Disk USB dapat

jauh lebih efektif, tokh GRATIS kan ?

Anehnya pemerintah justru membuka peluang perbanyakan buku dalam bentuk cetak, dengan harga maksimal 14rb.

Terlepas dari ada atau tidak yang mau menerbitkan, ini justru jadi peluang penerbit nakal mengkomersilkan buku

yang dimaksud dengan merubah labelnya saja. Untuk di daerah-daerah hal ini sangat rawan, karena fungsi

kontrolnya sangat sulit. Hal ini bisa diminimalisir sesungguhnya dengan mengirimkan CD master 250 buku itu ke

dinas pendidikan setempat untuk kemudian bisa diperbanyak secara gratis.

5. Bukan Guru atau Siswa yang harus punya laptop, tapi perpustakaan sekolah.

Dengan sedikit bantuan, komputer di perpustakaan sekolah malah bisa difungsikan sebagai server mirror untuk

sekolah yang bersangkutan. Jadi optimasi fungsi e-reading di perpustakaan sekolah jauh lebih bermanfaat daripada

menunggu semua guru dan siswa punya laptop.

Tulisan ini sangat terbuka untuk diskusi. Atau diskusi dan konsultasi teknis pengembangan di perpustakaan sekolah

bisa japri ke penulis di [email protected]

Page 13: BSE Kekurangan

Menyikapi Pengadaan Buku Sekolah Elektronik (BSE)Author: Agus Waluyo

18SEP

Jujur saja, saya salut dengan usaha pemerintah memurahkan harga buku pelajaran melalui pengadaan BSE atau Buku Sekolah Elektronik. Tolong ya kalau anda adalah wartawan yang membaca tulisan saya tolong anda tulis juga kalau saya seorang pengajar fisika mendukung dengan sangat pengadaan BSE. Kenapa saya tulis seperti ini karena saya pernah membaca di JawaPos.com atau di detik.com ada seorang anak yang mengeluh karena lamanya download materi BSE. Bahkan ibu-ibu, saya baca disana melakukan demo karena tidak mengetahui bagaimana pemerintah dalam hal ini diknas mengambil kebijakan dengan pengadaan buku BSE dan bukan buku cetak.

Bayangkan saja, kadang wartawan itu seenak udelnya sendiri membikin berita. Seorang anak kesulitan download bahkan mengeluarkan biaya yang lebih besar ketimbang harga bukunya itu di tulis juga, sehingga menimbulkan opini kalau semua siswa kesulitan download. Juga seakan-akan menimbulkan opini kalau ibu-ibu se-Indonesia menolak pengadaan BSE.Bagi saya sebagai seorang guru, tentu berita pengadaan BSE yang lisensi bukunya telah dibeli pemerintah ini merupakan angin segar. Kenapa demikian, bayangkan saja, ketika saya membeli dua buah buku fisika karangan fisikawan terwahid di Indonesia, harganya sudah mencapai 80.000. Bukunya saya akui bagus banget, bahkan mudah untuk dicerna, dan ketika saya ajarkan pada anak-anak, anak-anak lebih ngeh menerima pelajarannya, karena penjelasannya tidak mbulet-mbulet. Tapi sayang di dalamnya ada tulisan seperti ini, “DILARANG MENGUTIP ATAU MEMPERBANYAK SEBAGIAN ATAU SELURUH ISI BUKU INI DALAM BENTUK APAPUN (seperti cetak, fotokopi, mikrofilm, CD-ROM, dan rekaman suara) TANPA IZIN TERTULIS DARI PENERBIT.” Terus buku ini mau tak gunakan untuk apa???? Karena tidak boleh mengutip.

Nah menyikapi adanya BSE itu tentu peran serta sekolah atau gurulah yang harus dominan. Adalah sebuah kesalahan kalau siswa diwajibkan download dan mencetak satu persatu. semestinya sekolah atau gurunyalah yang harus mencetak atau print, kemudian hasil print-nya itu diminta di fotocopy siswa. Sehingga biaya-nya lebih murah ketimbang membeli buku dari pernerbit yang rata-rata 30.000 rupiah-an per buku. Atau dengan adanya BSE tersebut sudah semestinya guru lebih kreatif dengan membuat modul yang sesuai dengan kurikulum sekolah, tinggal di copy paste dan disesuaikan dengan kebijakan sekolah, karena memang untuk mempermudah.

Walaupun BSE sendiri masih ada beberapa kelemahan yang harus diperbaiki bersama, contohnya dalam memberikan materi Tim BSE juga pelit banget, karena materi disediakan per-bab bukan per buku, sehingga memperlama proses download. Tidak tahu sekarang, karena untuk download harus login terelebih dahulu, dan saya lebih suka download dari link-nya invir karena ukurannya sudah di kecilkan dan semua materi sudah di jadikan satu.

Kelemahan yang kedua tidak semua sekolah mempunyai Tim IT dan biaya yang cukup. Kalau alasannya biaya tentu repot juga kan? Mungkin bisa dialokasikan dari dana BOS, atau menggandeng sekolah yang sudah siap. Tapi sebenarnya diknas daerah juga sudah memiliki softcopy dari BSE, jadi tidak usah download lagi. Bagaimana dengan daerah pedalaman, yang internet saja belum kenal? Ya mesti realistis juga lah, kalau daerah pedalaman itu jangan bicara BSE atau internet, mereka mau sekolah saja sudah Alhamdulillah, karena sering kali mereka diajak bekerja orang tuanya dari pada sekolah. Saya pernah mengetahui hal seperti ini ketika menjadi pengawas UAN di Rayon 17, ketua Rayon 17 ini adalah penyelenggara SMP Terbuka. SMP yang letaknya di sebuah kaki pegunungan.

Page 14: BSE Kekurangan

Untuk mencapai kesana tidak bisa dilakukan dengan mobil karena jalannya yang kecil dan berbatu. Beliau bercerita, kalau untuk sekolah saja mereka harus di jemput. Bahkan ketika UAN kemarin, dari 21 siswa yang terdaftar yang datang 9 anak. Itupun setelah dicari-cari ketemu di tempat pemulung mengais-ngais sampah, terus yang lain pada kemana? Sekolah sudah kalah dahulu dengan orang tua mereka, karena mereka ikut kerja bapaknya di luar kota. Ada yang satu hari sebelum ujian diajak bapaknya ke luar kota untuk membantu nguli bangunan, ada juga yang masih pagi-pagi buta diajak ibunya perginya ke pasar. Nah tuh kan? Makanya tidak mungkin mereka mikir BSE.

Sudah semestinyalah sebagai warga negara kita sokong dengan baik usaha pemerintah ini, dan bukannya di gembosi, karena kadang kita itu bisanya hanya mengkritik dan tidak punya solusi. Mari kita manfaatkan BSE ini sebaik-baiknya. Bagaimana dengan anda?

Page 15: BSE Kekurangan

Buku Sekolah Elektronik Masalah Bersama

Oleh: AnneAhira.com Content Team

1

2

3

4

5

  ( 0 )   |   Jumlah komentar: 0

SHARE :      Facebook         Twitter        Blogger       Wordpress

Artikel Terkait

Cermat Memanfaatkan Bantuan Operasional Sekolah Menilai Kelayakan Buku Sekolah

Revolusi Metode Belajar

Berkenalan dengan Komponen Elektronika, Yuk!

Melambungnya harga buku adalah hal yang banyak dikeluhkan pelajar. Seiring waktu bergulir, maka dilakukanlah kebijakan pemerintah yang menciptakanBuku Sekolah Elektronik (BSE) yang bisa diunduh dari situs resminya. Lalu, kehadiran buku ini direspons masyarakat.

Bagi sebagian masyarakat di perkotaan yang sudah melek internet bukanlah sebuah persoalan berarti. Akan tetapi, kebijakan ini dikeluhkan para guru dan pelajar di daerah yang masih buta internet. Mereka menilai kebijakan menciptakan BSE ini tidak efektif karena diduga terjadi lemahnya dalam hal persiapan di aneka sektor. 

Sektor Bermasalah

Memang Buku Sekolah Elektronik ini terkesannya untuk pelajar. Namun, bicara pelajar, berarti bicara tenaga pengajar, dalam hal ini adalah guru. Terlebih dengan guru-guru yang ada di daerah. Mereka berharap, pemerintah memberikan persiapan terlebih

Page 16: BSE Kekurangan

dahulu dalam hal pemberian pelatihan kepada guru tentang cara mengunduh buku tersebut. Sehingga, ketika murid bertanya, guru sudah siap membantu. 

Sektor lainnya adalah persoalan sarana dan prasarana. Sekolah di Indonesia belum sepenuhnya mempunyai komputer, apalagi yang bisa koneksi internet. Bahkan lebih ekstrem, tidak ada warnet. Meski dikeluhkan, mau tidak mau sekolah menyesuaikan. Yang terjadi adalah, sebuah kesibukan yang seharusnya tidak terjadi pada jalannya kegiatan belajar dan mengajar.

Problem Download

Anggap saja masalah melek internet dan sarana tadi sudah selesai. Sekarang, problem bagi mereka yang melek internet pun tetap menghadang. Situs resmi buku elektronik tersebut ibarat satu pintu yang dimasuki oleh banyak orang. Maka, otomatis akan terjadi kemacetan. Lebih parah jalur keluarnya pun hanya satu, ini juga masalah tersendiri ketika para pelajar atau guru yang sudah duduk di depan komputer siap men-download. Tentu ini juga menjadi masalah. Baik bagi pendidik, pelajar, mau pun pemerintah. 

Solusi Bersama

Buku Sekolah Elektronik (BSE) dari Depdiknas yang ada di situs resmi www.bse.depdiknas.go.id memang benar mempunyai lima server mirroryang disiapkan untuk mengatasi penumpukan para pengunduh dari seluruh Indonesia. Hanya saja, sekali lagi, pintu masuknya tetap saja melalui website BSE. Semuanya akan menumpuk di pintu masuk.

Ada beberapa langkah yang sebenarnya bisa ditempuh jika tidak ingin lagi tersendat dalam mengunduh buku elektronik sekolah tersebut. Ini adalah tips bersama karena memang masalahnya adalah masalah bersama. Pemerintah pun seharusnya belajar lebih matang lagi dalam menyiapkan kebijakan yang berkaitan dengan masyarakat.

Berikut solusi tersebut.

•    Perluas Jaringan Pustekom

Pustekom pemerintah tidak ada salahnya memperluas mirroring dan merangkul beberapa kampus dan sejumlah instansi di daerah untuk memudahkan. Lalu lintas pengunduh buku akan diatur bersama. Server utama tetap ada di Depdiknas yang terdapat pada jaringan Pendidikan Nasional.

•    Sediakan Fasilitas Offline

Fasilitas offline tidak ada salahnya ditempuh Depdiknas. Intinya, berbagai materi Buku Sekolah Elektronik kemudian diformat ke dalam bentuk kepingan compact disc (CD). Selanjutnya, didistribusikan di dinas-dinas pendidikan seluruh Indonesia. Jadi, sekolah yang merasa kesulitan, bisa meminta CD tersebut.

Page 17: BSE Kekurangan

Nah, semoga saja saran tersebut bisa menjadi masukan bersama. Semua bertujuan baik, hanya saja selalu ada hal-hal yang menuntut untuk lebih matang dibicarakan.