buku kajian ukm agribisnis
DESCRIPTION
IPTEKTRANSCRIPT
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis
UKM Berbasis Agribisnis
99
LAPORAN AKHIR
Sistem Agribisnis Sentra UKM
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis
UKM Berbasis Agribisnis
99
Dinamika UKM Dalam Sektor Agribisnis
4.1. Pendahuluan Sebagian pertanyaan yang ingin dijawab oleh bab ini adalah “Kenapa harus sektor
agribisnis yang dikembangkan?” Dalam kajian ini, komoditas agribisnis dipahami
sebagai komoditas yang dihasilkan oleh subsektor tanaman bahan makanan,
perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan, atau dalam khazanah ekonomi
yang disebut dengan sektor pertanian.
Tabel 8. Proporsi Sektor Pertanian Terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Nasional Tahun 2004 dan 2006
PERTANIAN 2004 2006 satuan Pertumbuhan per tahun
PDB non migas nasional 1,506,296,600 1,703,086,000 juta Rp 6.33%
PDB pertanian 247,163,600 261,296,900 juta Rp 2.82%
% PDB pertanian thd nasional 16.41% 15.34% % -3.30%
Jumlah investasi ADH konstan 2000 nasional 354,561,295 404,606,624 juta Rp 6.82%
Jumlah investasi sektor pertanian 16,276,312 17,682,377 juta Rp 4.23%
% investasi pertanian thd nasional 4.59% 4.37% % -2.43%
Ekspor non migas nasional 470,789,928 607,397,270 juta Rp 13.59%
Ekspor sektor Pertanian 9,597,200 13,741,476 Juta Rp 19.66%
% ekspor pertanian thd nasional 2.04% 2.26% % 5.35%
Jumlah Unit Usaha nasional 44,784,073 48,936,840 Unit 4.53%
Jumlah unit usaha sektor pertanian 25,799,864 26,209,399 Unit 0.79%
% Unit usaha pertanian thd nasional 57.61% 53.56% -3.58%
Jumlah Tenaga Kerja nasional 83,601,371 88,804,955 Orang 3.07%
Jumlah Tenaga Kerja pertanian 37,691,288 38,814,535 Orang 1.48%
% Tenaga Kerja pertanian thd nasional 45.08% 43.71% % -1.54%
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS, 2006 dan diolah
4
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
100 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
100
Secara umum, dalam perekonomian Indonesia, posisi sektor ini sebenarnya tidak
terlalu “bersinar”. Ini dapat dilihat dari posisi sektor terhadap beberapa indikator
ekonomi seperti tampak dalam tabel diatas. Tampak bahwa sumbangan sektor
pertanian terhadap pendapatan nasional, jumlah investasi, serta jumlah ekspor
yang dilakukan tidaklah terlalu fenomenal besarnya dan pertumbuhannya
cenderung menurun.
Gambar 25. Proporsi Sektor Pertanian Terhadap PDB dan Ekspor Nasional Tahun 2006
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS, 2006 dan diolah
Tetapi jika perhatikan proporsi jumlah unit usaha dan tenaga kerja yang ada di
sektor ini, yang nilainya hampir mencapai 50%, menunjukkan bahwa sektor ini
adalah sektor yang paling banyak digeluti dan pekerjaan yang paling banyak
dilakukan oleh rakyat Indonesia. Disamping itu, komoditas yang dihasilkan oleh
sektor ini merupakan komoditas strategis penunjang ketahanan pangan bagi
Indonesia secara keseluruhan. Dengan demikian tidaklah berlebihan jika pada
RPJM pemerintah mencantumkan sektor ini sebagai sektor yang perlu lebih dahulu
dikembangkan karena akan memberikan dampak pengali yang amat luas terhadap
perekonomian masyarakat.
Sektor ini umumnya bersifat padat karya dengan penerapan teknologi yang relatif
sederhana dan tepat guna, sehingga peran usaha kecil dan menengah pada sektor
ini cukup besar. Produk sektor ini merupakan kebutuhan pokok masyarakat
terutama sebagai produk yang dikonsumsi langsung dalam bentuk pangan oleh
rumah tangga maupun sebagai bahan baku dalam proses produksi sektor lainnya.
disamping itu produk pertanian ini juga menjadi komoditas ekspor, khususnya dari
Pertanian14%
Pertambangan9%
Pengolahan28%
Listrik, gas, air1%
Bangunan6%
Perdagangan, hotel, restoran
17%
Pengangkutan dan komunikasi
7%
Keuangan, persew aan dan Js pers
9%
Jasa-jasa9%
Pertanian2%
Pertambangan20%
Pengolahan78%
PDB Ekspor
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
101 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
101
subsektor perkebunan dan perikanan.
Pada tahun 2006, jumlah unit usaha pada sektor ini sebanyak 26.209.399 unit
usaha yang terdiri dari 99,99% berskala usaha kecil, 0.006% skala usaha
menengah dan 0.0002% berskala usaha besar. Jumlah unit usaha UKM
mengalami pertumbuhan yang relatif lambat yaitu sebesar 0,79% per tahun selama
periode tahun 2004-2006.
Gambar 26. Proporsi Sektor Pertanian Terhadap Unit Usaha dan Tenaga Kerja Nasional Tahun 2006
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS, 2006 dan diolah
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, UKM sektor pertanian mampu menyerap
sebesar 99.8% tenaga kerja di sektor pertanian, atau sebesar 43.66% dari
keseluruhan tenaga kerja nasional. Secara umum, jumlah tenaga kerja yang
terserap di sektor pertanian tumbuh sebesar 1,48% pertahun sejak periode 2004
hingga 2006.
Pada tahun 2006, kontribusi Usaha kecil dan menengah dalam pembentukan PDB
sektor pertanian adalah sebesar 95,74%, sedangkan kontribusi terhadap total PDB
nasional adalah sebesar 14.69%. Pertumbuhan PDB sektor pertanian,
perkebunan, perikanan dan perkebunan selama periode tahun 2004-2006 sebesar
2,82% per tahun. Angka pertumbuhan ini masih dibawah pertumbuhan PDB non
migas nasional periode yang sama yang sebesar 6.33%.
Dalam sektor pertanian ini, di tahun 2006 sub-sektor tanaman pangan memberikan
Pertanian53%
Perdagangan, hotel, restoran
27%
Jasa-jasa6%
Pengangkutan dan komunikasi
6%
Keuangan, persew aan dan Js pers
0%
Pengolahan7%
Pertambangan1%
Listrik, gas, air0%
Bangunan0%
Pertanian44%
Pertambangan1%
Pengolahan13%Listrik, gas, air
0%
Bangunan1%
Perdagangan, hotel, restoran
25%
Pengangkutan dan komunikasi
4%
Keuangan, persew aan dan Js pers
1%
Jasa-jasa11%
Unit Usaha Tenaga Kerja
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
102 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
102
kontribusi terbesar dalam pembentukan PDB sektor ini yaitu sebesar 49,45%
kemudian berturut-turut sub sekor perkebunan 15,72%, sub sektor perikanan
15,66%, sub sektor peternakan 12,75% dan sub sektor kehutanan 6,42%.
Tabel 9. Perkembangan Jumlah Unit Usaha, Penyerapan Tenaga Kerja, PDB, Investasi, Laju Indeks Harga Implisit dan Ekspor Sektor Pertanian
Menurut Skala Usaha Periode Tahun 2004-2006
Variabel Skala Usaha/ Sektor/Nasional
2004 2006 Tumbuh ’04-‘06
Jumlah Unit Usaha Usaha Kecil 25,798,155 26,207,670 0.79%
(Unit) Usaha Menengah 1,650 1,676 0.78%
Usaha Besar 59 53 -5.22%
Total 25,799,864 26,209,399 0.79%
Jumlah Tenaga Kerja Usaha Kecil 36,877,938 37,965,878 1.46%
(orang) Usaha Menengah 772,366 805,531 2.12%
Usaha Besar 40,984 43,126 2.58%
Total 37,691,288 38,814,535 1.48%
PDB ADH Konstan 2000 Usaha Kecil 213,528,700 226,756,900 3.05%
(Juta Rp) Usaha Menengah 22,663,700 23,415,500 1.65%
Usaha Besar 10,971,200 11,124,500 0.70%
Total 247,163,600 261,296,900 2.82%
Jumlah Investasi Usaha Kecil 5,437,785 5,894,212 4.11%
ADH Konstan 2000 Usaha Menengah 6,913,413 7,503,748 4.18%
(Juta Rp) Usaha Besar 3,925,116 4,284,417 4.48%
Total 16,276,314 17,682,377 4.23%
Ekspor Usaha Kecil 7,586,424 11,129,939 21.12%
(Juta Rp) Usaha Menengah 1,128,942 1,532,770 16.52%
Usaha Besar 881,834 1,078,767 10.60%
Total 9,597,200 13,741,476 19.66%
Laju Indeks Harga Usaha Kecil 4.38 14.06 79.17%
Implisit (%) Usaha Menengah 6.14 19.59 78.62%
Usaha Besar 7.98 21.94 65.81%
Total 4.68 14.86 78.19% Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS, 2006 dan diolah
Dari sisi PDB, secara umum sektor pertanian menyumbangkan 15.34% kepada
PDB nasional di tahun 2006. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2004 yang
16.41%. Penurunan terbesar terjadi pada subsektor peternakan, diikuti oleh
subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan, kehutanan dan perikanan. Jika
dilihat sub sektor pembentuknya, maka akan tampak bahwa sektor tanaman bahan
makanan memberikan sumbangan paling besar (49.45%) terhadap PDB sektor
pertanian secara keseluruhan diikuti subsektor perkebunan (15.72%), subsektor
perikanan (15.66%), peternakan (12.75%) dan kehutanan (6.42%).
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
103 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
103
Tabel 10. Beberapa Statistik Yang Berhubungan Dengan Unit Usaha, Tenaga Kerja, PDB, Jumlah Investasi, Ekspor dan Indeks Harga Implisit
Yang Dapat Diolahkan Tahun 2004-2006
2004 2006 satuan Tumbuh ’04-‘06
Jumlah Unit Usaha nasional 44,784,073 48,936,840 unit 4.53%
Jumlah unit usaha di sektor pertanian 25,799,864 26,209,399 unit 0.79%
Jumlah unit usaha UK+M pertanian 25,799,805 26,209,346 unit 0.79%
% Unit usaha UK+M thd sektor pertanian 99.9998% 99.9998% % 0.00001%
% Unit usaha UB thd sektor pertanian 0.0002% 0.0002% % -5.96%
Jumlah Tenaga Kerja nasional 83,601,371 88,804,955 orang 3.065%
Jumlah Tenaga Kerja di sektor pertanian 37,691,288 38,814,535 orang 1.479%
Jumlah TK UK+M sektor pertanian 37,650,304 38,771,409 orang 1.478%
% TK UK+M thd sektor pertanian 99.89% 99.89% % -0.001%
% TK UK+M thd nasional 45.04% 43.66% % -1.540%
PDB non migas ADH konstan 2000 nasional 1,506,296,600 1,703,086,000 juta Rp 6.33%
PDB ADH konstan 2000 pertanian 247,163,600 261,296,900 juta Rp 2.82%
PDB ADH konstan 2000 UK+UM pertanian 236,192,400 250,172,400 juta Rp 2.92%
% PDB UK+M thd sektor pertanian 95.56% 95.74% % 0.09%
% PDB UK+M thd nasional 15.68% 14.69% % -3.21%
% PDB pertanian thd nasional 16.41% 15.34% % -3.30%
% PDB subsektor pangan thd pertanian 49.61% 49.45% % -0.16%
% PDB subsektor perkebunan thd pertanian 15.72% 15.72% % 0.01%
% PDB subsektor peternakan thd pertanian 12.81% 12.75% % -0.26%
% PDB subsektor kehutanan thd pertanian 7.05% 6.42% % -4.57%
% PDB subsektor prikanan thd pertanian 14.81% 15.66% % 2.83%
Jumlah investasi ADH konstan 2000 nasional 354,561,295 404,606,624 juta Rp 6.82%
Jumlah investasi ADH konstan 2000 UK 70,902,434 na juta Rp na
Jumlah investasi ADH konstan 2000 UM 81,388,716 na juta Rp na
Jumlah investasi ADH konstan 2000 UB 202,270,145 na juta Rp na
Ekspor non migas nasional 470,789,928 607,397,270 juta Rp 13.59%
Ekspor sektor pertanian 9,597,200 13,741,476 juta Rp 19.66%
% ekspor sektor thd nasional 2.04% 2.26% % 5.35%
Laju indeks harga implisit nasional 6.79 13.3 % 39.96%
Laju indeks harga implisit UK nasional 5.15 12.96 % 58.63%
Laju indeks harga implisit UM nasional 5.69 14.37 % 58.92%
Laju indeks harga implisit UB nasional 9.21 13.68 % 21.87% Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS, 2006 dan diolah
Data jumlah investasi yang dilakukan secara umum menunjukkan angka kenaikan
dibandingkan tahun 2004 (kenaikan per tahunnya rata-rata 6%). Namun secara
jika diperhatikan sumbangan investasi subsektor pembentuknya terhadap investasi
nasional, tampak bahwa sumbangan subsektor mengalami penurunan
dibandingkan pertambahan investasi nasional. Hal ini menunjukkan minat
investasi di sektor ini tidak setinggi minat investasi di sektor lainnya. Jika
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
104 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
104
diperhatikan subsektor pembentuknya, tampak pada subsektor tanaman bahan
makanan, peternakan dan kehutanan sesungguhnya mengalami penurunan
investasi, sedangkan subsektor perkebunan dan perikanan tetap memunjukkan
angka kenaikan jumlah investasi, meskipun kecil.
Tabel 11. Beberapa Statistik Yang Berhubungan Dengan PDB, Jumlah Investasi, Ekspor dan Indeks Harga Implisit Yang Dapat Diolahkan
Tahun 2004-2006
Variabel Skala Usaha Tanaman Bahan Makanan
Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan
2006 Tumbuh 04-06
2006 Tumbuh 04-06
2006 Tumbuh 04-06
2006 Tumbuh 04-06
2006 Tumbuh 04-06
PDB ADH Konstan 2000
% Total Sub Sektor thd Sektor
49.45% -0.16% 15.72% 0.01% 12.75% -0.26% 6.42% -4.57% 15.66% 2.83%
% Total Sub Sektor thd Nasional
7.59% -3.46% 2.41% -3.29% 1.96% -3.55% 0.99% -7.72% 2.40% -0.57%
Investasi ADH Konstan 2000
% Total Sub Sektor thd Sektor
25.28% -0.07% 32.07% 0.08% 6.85% -0.11% 7.04% -0.09% 28.76% 0.02%
% Total Sub Sektor thd Nasional
1.10% -2.50% 1.40% -2.35% 0.30% -2.54% 0.31% -2.52% 1.26% -2.41%
Laju Indeks Harga Implisit (%)
Usaha Kecil 14.65 166.68% 7.79 13.47% 12.66 48.64% 35.77 112.92% 15.88 24.47%
Usaha Menengah 14.52 160.48% 7.79 35.87% 12.56 109.56% 36.93 109.30% 15.98 36.08%
Usaha Besar - - 6.53 9.76% 12.92 67.23% 35.44 89.68% 16.6 22.24%
Total Sub Sektor 14.65 166.68% 7.65 15.55% 12.65 55.08% 36.16 102.82% 15.9 25.47% Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS, 2006 dan diolah
Indeks harga implisit sektor pertanian secara umum tumbuh diatas pertumbuhan
indeks harga implisit nasional menunjukkan kenaikan harga komoditas di pasar
nasional dan dunia. Jika diperhatikan, tampak bahwa kenaikan harga dinikmati
oleh subsektor tanaman bahan makanan, kehutanan dan peternakan. Sedangkan
subsektor perikanan dan peternakan menunjukkan pertumbuhan indeks harga
implisit yang lebih rendah dibandingkan nasional, hal ini menunjukkan penurunan
harga komoditas ke dua subsektor ini di pasar domestik dan/atau ekspor.
Pada tahun 2006, peran usaha kecil dan menengah sangat besar pada empat sub
sektor yaitu sub sektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan.
Sedangkan pada sub sektor kehutanan, peran usaha kecil masih relatif kecil,
dimana peran ini di dominasi oleh HPH yang dimiliki oleh pengusaha besar dan
menengah.
4.1. Konsep Sistem Agribisnis Agribisnis merupakan suatu cara lain melihat pertanian sebagai suatu sistem yang
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
105 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
105
terdiri dari subsistem-subsistem yang terkait satu dengan yang lainnya. Keterkaitan
antar sub sistem ini bertujuan untuk memandang kegiatan pertanian sebagai suatu
kegiatan bisnis yang memiliki daya saing.
Agribisnis menurut Davis and Goldbergh, Sonka and Hudson, Farell and Funk
(dalam Saragih, 2000) dinyatakan sebagai suatu cara lain untuk melihat pertanian
sebagai suatu sistem bisnis yang terdiri dari subsistem-subsistem yang terkait satu
dengan yang lain. Subsistem-subsistem tersebut adalah subsistem agribisnis hulu
(up-stream agribusiness), subsistem agribisnis usahatani (on-farm agribusiness),
subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness) dan subsistem jasa
penunjang (supporting institution)
Gambar 27. Sistem Agribisnis
Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness). Meliputi semua kegiatan
untuk memproduksi dan menyalurkan input-input pertanian dalam arti luas, atau
pengadaan sarana produksi, antara lain: Pembibitan, Agro Kimia, dan Agro
Otomotif.
Subsistem agribisnis usahatani (on-farm agribusiness). Meliputi kegiatan
mengelola input-input berupa lahan, tenaga kerja, modal, teknologi dan
manajemen untuk menghasilkan produk pertanian, atau budidaya, antara lain :
Tanaman Pangan, Tanaman Holtikultura, Tanaman Obat-obatan, Perkebunan,
Up-stream Agribusiness
Pembibitan Agro Kimia Agro Otomotif
Up-stream Agribusiness
On-farm Agribusiness
Tanaman Pangan Tanaman Holtikultura Tanaman Obat- obatan Perkebunan Peternakan Perikanan Kehutanan
On-farm Agribusiness
Down-stream Agribusiness
Intermediate Product Finished Product Wholesaler Retailer Consumer
Down-stream Agribusiness
Supporting Institution
Agro Institution Agro Services
Supporting Institution
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
106 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
106
Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan
Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness). Disebut juga agroindustri,
aktivitasnya merupakan aktivitas industri dengan menjadikan hasil-hasil pertanian
sebagai bahan bakunya. Atau Kegiatannya pengolahan dan pemasaran, meliputi:
Intermediate Product, Finished Product Wholesaler, dan Retailer Consumer.
Subsistem jasa penunjang (supporting institution). Subsistem ini merupakan
kegiatan jasa dalam mendukung aktivitas pertanian seperti Agro Institution dan
Agro Services.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar 27:
Pembangunan sistem agribisnis merupakan pembangunan yang mengintegrasikan
pembangunan sektor pertanian dalam arti luas dengan pembangunan industri dan
jasa terkait dalam suatu klaster industri dengan keempat komponen subsistem
tersebut.
Gambar 28. Klaster UKM dalam Sistem Agribisnis
Keterkaitan UKM dengan sistem agribisnis terletak pada penekanan pada
hubungan dan integrasi vertikal antara beberapa subsistem agribisnis dalam satu
sistem komoditas. Koperasi sebagai bagian dari sistem agribisnis tersebut dalam
pengelolan klaster berperan besar untuk meningkatkan potensi pertanian dan
SDM
Perusahaan Besar (Subcontracting)
Konsumen
Pedagang Pemasok
Bahan Baku
Pemasok Mesin dan Alat Produksi
Koperasi
KLASTER UKM
Lembaga Pendukung :
� Pemerintah
� Universitas
� LSM
� Perusahaan Besar
� Dll
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
107 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
107
memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi produk-produk pertanian agar lebih
kompetitf serta dapat mendorong efisiensi usaha.
4.2. Dinamika UKM Dalam Sektor Agribisnis
Seperti pernah disampaikan di muka, ektor ini umumnya bersifat padat karya
dengan penerapan teknologi yang relatif sederhana dan tepat guna, sehingga
peran usaha kecil dan menengah pada sektor ini cukup besar. Pernyataan ini
kemudian tercermin dalam peran skala usaha Kecil dan Menegah yang tertangkap
dalam tabel I-O tahun 2000 dan data-data tambahan yang dikelurkan oleh
Kementerian Koperasi dan UKM serta BPS di tahun 2006.
Secara umum tampak bahwa hampir 90% sektor ini dibentuk oleh Usaha Kecil dan
Menengah.
Gambar 29. Proporsi Usaha Kecil, Menengah dan Besar Dalam Beberapa Indikator Ekonomi di Sektor Pertanian Tahun 2006
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS 2006, diolah
Sektor pertanian ini dibentuk oleh 5 sub-sektor, (1) Subsektor Tanaman Bahan
Makanan, (2) Subsektor Perkebunan, (3) Subsektor Peternakan, (4) Subsektor
Kehutanan dan (5) Subsektor Perikanan.
Secara sektoral, tampak bahwa subsektor tanaman bahan makanan, perikanan
dan perkebunan merupakan 3 subsektor terbesar dalam sekor pertanian. Berikut
99.99% 97.81%86.78%
33.33%
81.00%
0.01% 2.08%
8.96%
42.44%
11.15%
0.00% 0.11% 4.26%
24.23%
7.85%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Unit Usaha Tenaga Kerja PDB Investasi Ekspor
Usaha Kecil Usaha Menengah Usaha Besar
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
108 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
108
ini gambaran dinamika Usaha Kecil dan Menengah dalam masing-masing sub-
sektor tersebut.
Gambar 30. Proporsi Pembentukan PDB, Investasi dan Ekspor Masing-Masing Sub Sektor Pertanian Terhadap Sektor Pertanian Tahun 2006
Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS 2006, diolah
4.2.1. Dinamika UKM Dalam Sub Sektor Pertanian/ Tanaman Bahan Makanan
Pangan merupakan kebutuhan pokok utama yang tidak dapat dipisahkan dengan
kehidupan manusia yang sangat berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi, politik
dan keamanan nasional. Jumlah produksi pangan nasional pada tahun 2006
mencapai 89,8 juta ton (BPS, 2007). Selama periode tahun 2003-2006
pertumbuhan produksi pangan nasional mencapai 1,72%. Kontribusi terbesar
produksi pangan nasional bersumber dari tanaman padi mencapai 54,45 juta ton
atau 60,64% kemudian ubi kayu dan jagung masing-masing 22,26% dan 12,93%
serta lainnya sebesar 4,18%.
Dalam struktur permintaan pangan menurut skala usaha, seperti terlihat pada
Gambar diatas, menunjukkan bahwa permintaan pangan lebih di fokuskan kepada
pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri (90% untuk memenuhi permintaan
antara dan akhir dan hanya sekitar 1% untuk ekspor). Mengingat bahwa komoditi
pangan seperti beras, jagung dan kacang kedelai merupakan komodi yang
strategis sehingga orientasi permintaan pangan tidak mengarah kepada ekspor.
Jika dilihat struktur penyediaan tanaman bahan makanan nasional dari tabel I-O
tahun 2000 tampak bahwa sebanyak 78,12% berasal dari usaha kecil, impor
20,63% dan usaha menengah hanya 1,25%. Pada skala usaha kecil penyediaan
Tanaman Bahan Makanan
49%
Perkebunan16%
Peternakan13%
Kehutanan6%
Perikanan16%
Tanaman Bahan Makanan
25%
Perkebunan32%
Peternakan7%
Kehutanan7%
Perikanan29%
PDB Investasi
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
109 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
109
pangan terbesar dari komoditi padi yaitu 16%, tanaman umbi-umbian 15,6% dan
sayuran 15,16%. Usaha besar belum memberikan kontribusi dalam penyediaan
pangan nasoional. Hal ini menunjukkan sistem pertanian tanaman pangan di
Indonesia masih relatif bersifat padat karya.
Gambar 31. Struktur Permintaan Sub sektor Bahan Makanan Menurut Skala Usaha Tahun 2000
�
�
�
�
�
�
�
Sumber: BPS, 2000. Diolah
Pada tahun 2000 struktur penyediaan bahan pangan yang disediakan di dalam
negeri hanya 79,37% selebihnya berasal dari impor yaitu sebanyak 20,63%.
Sedangkan struktur permintaan pada sub sektor ini masih berorientasi pada
pemenuhan kebutuhan domestik baik untuk industri pengolahan maupun untuk
kebutuhan konsumsi langsung masyarakat. Mengingat komoditi pangan sebagai
komoditi strategis dan masih tingginya penyediaan yang bersumber dari impor
maka diharapkan kepada pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan melalui
program intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi pangan yang berkelanjutan.
Struktur permintaan pada sub sektor ini masih berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan domestik baik untuk industri pengolahan maupun untuk kebutuhan
konsumsi langsung masyarakat. Mengingat komoditi pangan sebagai komoditi
strategis dan masih tingginya penyediaan yang bersumber dari impor maka
diharapkan kepada pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan melalui
program intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi pangan yang berkelanjutan.
Peran sub sektor ini sangat strategis dalam mendukung sektor riil di Indonesia,
48.0758.90
48.21
0.55
1.37
0.09
51.3839.73
51.70
0%
10%
20%
30%
40%50%
60%
70%
80%90%
100%
Usaha Kecil UsahaMenengah
Usaha Besar
Permintaan Akhir Ekspor Permintaan Antara
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
110 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
110
terutama sebagai penyedia bahan konsumsi makanan langsung masyarakat serta
sebagai bahan baku industri pengolahan. Usaha menengah sub sektor ini
memiliki keterkaitan industri yang paling tinggi dengan indeks daya penyebaran
sebesar 6,0 sedangkan usaha kecil hanya 5,9 dan usaha besar 5,1. Indeks derajat
kepekaan usaha kecil paling tinggi yaitu 8,9 sedangkan usaha menengah dan
besar masing-masing 4,5 dan 5,1. Hal ini berarti, pada usaha kecil setiap kenaikan
satu unit permintaan akhir sub sektor pangan akan meningkatkan output sektor lain
secara keseluruhan sebesar 14,8 unit. Sedangkan untuk usaha menengah hanya
10,5 unit dan 10,2 untuk usaha besar. Indeks derajat kepekaan untuk usaha kecil
8,9 menunjukan bahwa sub sektor ini memiliki daya dorong yang tinggi untuk
meningkatkan 8,9 kali kapasitas produksi dan produktivitas industri yang
menggunakan bahan bakunya sebagai input dalam proses produksi industri
lainnya. Rasio permintaan antara sub sektor ini pada usaha kecil relatif tinggi
51,4% dari output sub sektor ini digunakan sebagai input dalam proses produksi
industri lainnya. Sedangkan usaha menengah dan usaha besar masing-masing
39,7% dan 51,7%.
Tabel 12. Perkembangan PDB, Indeks Harga Implisit dan Investasi Sub Sektor Tanaman Bahan Makanan Menurut Skala Usaha Periode 2004-
2006
Variabel Skala Usaha Tanaman Bahan Makanan
2004 2006 Tumbuh ’04-‘06
PDB ADH Konstan 2000 (Juta Rp)
Usaha Kecil 121,733,800 128,281,000 2.65%
Usaha Menengah 877,900 930,200 2.94%
Usaha Kecil + Menengah 122,611,700 129,211,200 2.66%
Usaha Besar - - -
Total Sub Sektor 122,611,700 129,211,200 2.66%
% Total Sub Sektor thd Sektor 49.61% 49.45% -0.16%
% Total Sub Sektor thd Nasional 8.14% 7.59% -3.46%
Jumlah Investasi ADH Konstan 2000 (Juta Rp)
Usaha Kecil 2,941,461 3,189,889 4.14%
Usaha Menengah 1,178,326 1,279,540 4.21%
Usaha Kecil + Menengah 4,119,787 4,469,429 4.16%
Usaha Besar - - -
Total Sub Sektor 4,119,787 4,469,429 4.16%
% Total Sub Sektor thd Sektor 25.31% 25.28% -0.07%
% Total Sub Sektor thd Nasional 1.16% 1.10% -2.50%
Laju Indeks Harga Implisit (%)
Usaha Kecil 2.06 14.65 166.68%
Usaha Menengah 2.14 14.52 160.48%
Usaha Besar - - -
Total Sub Sektor 2.06 14.65 166.68% Sumber : BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM 2006, diolah
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
111 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
111
Selama periode tahun 2004-2006 sub sektor ini hanya mengalami pertumbuhan
PDB sebesar 2.66% per tahun. Di tahun 2006, investasi sub sektor Tanaman
Bahan Makanan sekitar 25,28% dari total sektor pertanian atau sekitar 1,10% dari
total investasi nasional. Investasi pada skala usaha besar di sub sektor ini pada
tahun 2004 dan 2006 belum ada.
Laju indeks harga implisit sub sektor ini sebesar 166.68% dan berada di atas
indeks harga implisit secara nasional yang sebesar 39.96%. Tingginya
pertumbuhan laju indeks harga implisit selama periode 2004-2006 menunjukkan
naiknya harga-harga produk tanaman bahan makanan di pasar nasional.
Sub sektor tanaman bahan makanan memiliki rasio input antara 16,15%, yang
berarti 16,15% output yang dihasilkan digunakan untuk membeli input dari industri
lainnya dan mampu menghasilkan nilai tambah 83,85% dari output yang
dihasilkan. Usaha kecil memiliki rasio input yang lebih rendah yaitu 12,67%
sedangkan pada usaha menengah yaitu 23,48%.
Kebutuhan antara untuk sektor ini pada usaha kecil dipasok oleh usaha kecil
sebesar 60,45%, usaha besar 14,77% impor 14,22% dan usaha menengah
10,66%. Sedangkan kebutuhan antara untuk usaha menengah dipasok oleh usaha
kecil sebesar 45,24%, impor 30,01%, usaha besar 13,91% dan usaha menengah
10,83%. Dilihat dari kebutuhan antara yang dibutuhkan, baik bahan baku, bahan
bakar maupun bahan penolong lainnya maka ketersediaan input antara untuk
usaha menengah relatif lebih dipengaruhi oleh kondisi pasar global yang memiliki
kecenderungan harga input antara dari impor yang lebih tinggi sehingga skala
usaha ini relatif tidak stabil dibandingkan dengan usaha kecil. Sehingga surplus
usaha usaha kecil lebih besar dari pada usaha menengah.
Peran koperasi dan UKM di sektor ini cukup besar, mengingat sifat sub sektor ini
yang padat karya. Koperasi dan UKM berperan sebagai pelaku dalam kegiatan
budidaya, penyedia bahan baku, pemasaran maupun proses pengolahan. Banyak
koperasi yang berperan dalam proses kegiatan on-farm maupun off-farm, seperti
koperasi pertanian.
4.2.2. Perkembangan Kinerja KUKM Sub Sektor Tanaman Perkebunan
Berbeda dengan komoditas pertanian lainnya, neraca expor impor komoditi
perkebunan selalu mengalami surplus. Komoditi ini merupakan komoditi
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
112 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
112
perdagangan yang merupakan penyumbang devisa terbesar dari sektor non
migas. Surplus perdagangan tahun 2001 mencapai US$ 1.893.411.000. Akan
tetapi tidak seperti sebagian besar produk perkebunan yang ditujukan untuk
ekspor, potensi produksi gula, kapas dan cengkeh untuk memenuhi kebutuhan
industri dalam negeri masih harus didukung oleh impor. Pada tahun 2001 impor
gula naik 6% dan cengkeh naik 2,98%.
Permintaan produk perkebunan sebagian besar untuk kegiatan yang bersifat
produktif yaitu sebagai bahan baku industri pengolahan lainnya. Untuk kebutuhan
konsumsi komoditi tanaman perkebunan relatif lebih besar daripada produksi yang
dihasilkan. Seperti halnya gula dan cengkeh, kebutuhan yang dipenuhi dari impor
sebanyak 36,12% dan 10,08%.
Peran sub sektor perkebuan sangat strategis dalam mendukung perkembangan
sektor riil di Indonesia, sebagai penyedia bahan baku industri dalam negeri dalam
kegiatan produktif. Sub sektor perkebunan memiliki keterkaitan industri yang tinggi
dengan indeks daya penyebaran 23,2 yang terdiri dari usaha kecil 9,9 usaha
menengah 6,9 dan usaha besar 6,5. Indeks derajat kepekaan 21,8 yang berarti
setiap kenaikan satu unit permintaan akhir sub sektor perkebunan akan
meningkatkan output sektor lain secara keseluruhan sebesar 21,8 unit (BPS 2004).
Tabel 13. Struktur Permintaan Sub Sektor Perkebunan Menurut Skala Usaha Tahun 2000
Skala Usaha Permintaan Antara
Ekspor Permintaan Akhir
Total
Usaha Kecil 84.98 4.24 10.77 100.00
Usaha Menengah 87.68 3.09 9.23 100.00
Usaha Besar 92.70 0.49 6.81 100.00 Sumber : BPS, 2004 (diolah)
Dalam struktur permintaan tanaman perkebunan menurut skala usaha
menunjukkan bahwa permintaan tanaman perkebunan lebih di fokuskan kepada
pemenuhan bahan baku industri dalam negeri. Mengingat bahwa tanaman
perkebunan seperti tebu, karet, kapas dan cengkeh merupakan komoditas yang
strategis sehingga orientasi permintaan tanaman perkebunan tidak mengarah
kepada ekspor.
Struktur penyediaan tanaman perkebunan, bahwa sebanyak 65,96% berasal dari
usaha kecil, usaha besar 14,4%, usaha menengah 13,90% sedangkan impor
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
113 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
113
hanya 6,20%.
Indeks derajat kepekaan sebesar 21,8 menunjukkan bahwa sub sektor ini memiliki
daya dorong yang tinggi untuk meningkatkan 21,8 kali kapasitas produksi dan
produktivitas yang menggunakan komoditi perkebunan sebagai input dalam proses
produksinya. Rasio permintaan antara sub sektor ini pada usaha kecil relatif
tinggi 84,9% dari output subsektor perkebunan digunakan sebagai input dalam
proses produksi industri lainnya. Sedangkan usaha menengah dan usaha besar
masing-masing 78,7% dan 92,7% (BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM
2004).
Selama periode tahun 2004-2006 sub sektor perkebunan mengalami
pertumbuhan PDB sebesar 2,83%, nilai ini masih dibawah pertumbuhan PDB
nasional yang sebesar 6.33%. Sumbangan terbesar diberikan oleh Usaha Kecil
dengan persentase sebesar 74,91% dari total PDB subsektor Tanaman
Perkebunan, diikuti oleh Usaha Menengah (14,64%) dan Usaha Besar (10,43%).
Tabel 14. Perkembangan PDB, Investasi, dan Indeks Harga Implisit Sub Sektor Perkebunan Menurut Skala Usaha Periode 2000-2003
Variabel Skala Usaha Perkebunan
2004 2006 Grow/year
PDB ADH Konstan 2000 (Juta Rp)
Usaha Kecil 29,152,500 30,774,400 2.74%
Usaha Menengah 5,699,200 6,018,400 2.76%
Usaha Kecil + Menengah 34,851,700 36,792,800 2.75%
Usaha Besar 3,997,600 4,288,900 3.58%
Total Sub Sektor 38,849,300 41,081,700 2.83%
% Total Sub Sektor thd Sektor 15.72% 15.72% 0.01%
% Total Sub Sektor thd Nasional 2.58% 2.41% -3.29%
Jumlah Investasi ADH Konstan 2000 (Juta Rp)
Usaha Kecil 1,589,589 1,719,848 4.02%
Usaha Menengah 1,675,571 1,814,493 4.06%
Usaha Kecil + Menengah 3,265,160 3,534,341 4.04%
Usaha Besar 1,946,865 2,137,081 4.77%
Total Sub Sektor 5,212,025 5,671,422 4.31%
% Total Sub Sektor thd Sektor 32.02% 32.07% 0.08%
% Total Sub Sektor thd Nasional 1.47% 1.40% -2.35%
Laju Indeks Harga Implisit (%)
Usaha Kecil 6.05 7.79 13.47%
Usaha Menengah 4.22 7.79 35.87%
Usaha Besar 5.42 6.53 9.76%
Total Sub Sektor 5.73 7.65 15.55% Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM 2006, (diolah)
Investasi sub sektor ini sebesar 32,07% dari total investasi sektor pertanian atau
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
114 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
114
sebesar 1,40% dari total investasi di Indonesia pada tahun 2006.
Sub sektor perkebunan memiliki rasio input antara 25,96%, yang berarti 25,96%
output yang dihasilkan digunakan untuk membeli input dari industri lainnya dan
mampu menghasilkan nilai tambah 74,04% dari output yang dihasilkan. Usaha
menengah memiliki rasio input yang lebih rendah yaitu 24,46% dari pada usaha
kecil dan usaha besar yaitu masing-masing 25,82% dan 27,43% (BPS dan
Kementerian Koperasi dan UKM 2004).
Laju indeks harga implisit sub sektor perkebunan sebesar 15.55% berada jauh di
bawah indeks harga implisit secara nasional yang sebesar 39.96%. Rendahnya
pertumbuhan laju indeks harga implisit selama periode 2004-2006 terutama pada
skala usaha besar mengindikasikan adanya kemungkinan penurunan harga
komoditi perkebunan yang cukup signifikan di pasar domestik atau dunia.
Sub sektor perkebunan memiliki rasio input antara 25,96%, yang berarti 25,96%
output yang dihasilkan digunakan untuk membeli input dari industri lainnya dan
mampu menghasilkan nilai tambah 74,04% dari output yang dihasilkan. Usaha
menengah memiliki rasio input yang lebih rendah yaitu 24,46% dari pada usaha
kecil dan usaha besar yaitu masing-masing 25,82% dan 27,43%.
Kebutuhan antara untuk sektor ini pada usaha kecil dipasok oleh usaha kecil
sebesar 39,87%, usaha menengah 13,47%, usaha besar 33,00% dan impor
13,67%. Untuk kebutuhan antara untuk usaha menengah sebagian besar dipasok
dari usaha kecil yaitu 43,73% dan pasokan impor paling rendah, hanya 13,07%.
Sedangkan usaha besar pasokan input antara dari impor impor bila dibandingkan
dengan UKM. Dilihat dari kebutuhan antara yang dibutuhkan, baik bahan baku,
bahan bakar maupun bahan penolong lainnya maka ketersediaan input antara
untuk usaha besar dari impor yaitu 22,71% yang memiliki kecenderungan harga
input antara relatif tidak stabil dibandingkan dengan usaha kecil. Hal ini
merupakan faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya surplus usaha besar
dibandingkan dengan UKM .
Peran Koperasi dan UKM
Pengembangan Koperasi dan UKM dibidang agribisnis khususnya pada sub sektor
perkebunan diharapkan berperan besar dalam percepatan pemulihan ekonomi
nasional melalui perannya dalam menghasilkan devisa dan membuka lapangan
kerja baru. Jenis komoditi perkebunan yang dikembangkan adalah kelapa sawit,
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
115 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
115
kopi, gambir, nilam dan sabut kelapa. Bantuan perkuatan tersebut diberikan
dengan pola perguliran melalui Koperasi. Program percontohan pengembangan
usaha Koperasi di bidang agribisnis perkebunan meliputi:
�� Program pengembangan budidaya dan agroindustri serat rami (haramay)
melalui koperasi. Mulai tahun 2002 pengembangan usaha serat rami
dirintis di Kabupaten Wonosobo Jateng pada areal seluas 55 hektar dan di
Kabupaten Ogan Kemiring Ulu Sumsel pada areal seluas 35 hektar.
Rintisan pengembangan usaha agroindustri serat rami tersebut telah
dilengkapi dengan sarana prosesing. Program sentra turut memfasilitasi
agroindustri haramay di Jawa Barat.
�� Pengembangan Usaha Pengolahan Gambir. Kementerian Koperasi dan
UKM pada tahun 2002 dan 2003 telah memberikan dukungan perkuatan
bagi para petani gambir di Provinsi Sumatera Barat, berupa sarana
pengolahan gambir yang dikelola dengan pola perguliran melalui koperasi.
Program Sentra UKM juga turut bergerak dalam industri pengolahan
gambir ini.
�� Pengembangan Usaha Pengolahan Sabut Kelapa. Sebagai upaya untuk
mendorong peningkatan produktivitas usaha koperasi di sektor
perkebunan, juga telah difasilitasi dukungan perkuatan berupa sarana
pengolahan sabut kelapa, khususnya diperuntukkan bagi koperasi yang
berada di daerah yang potensial kelapa. Untuk itu telah di rintis
percontohan usaha pengolahan sabut kelapa di 4 daerah, yaitu Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Banten.
Komoditas serat rami, gambir dan sabut kelapa tersebut dapat dilaksanakan
dengan teknologi yang terjangkau oleh UKM dan memiliki pasar domestik dan
ekspor yang cukup luas. Hal ini menunjukkan potensi pengembangan UKM di
sektor perkebunan sangatlah besar. Dengan adanya program dan kebijakan
bantuan perkuatan dari Kementerian Koperasi dan UKM untuk mengembangkan
usaha Koperasi dan UKM dibidang agribisnis, seperti program bergulir untuk
sarana pengolahan kopi, gambir, sabut kelapa, pengembangan budidaya dan
agroindustri serat rami dan Pabrik Kelapa Sawit skala kecil, disamping menjadi
stimulan yang dapat memotivasi Pemerintah Daerah dalam memberikan
pembinaan dan bantuan dalam rangka pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan
menengah di masa mendatang, juga diharapkan akan menggerakkan kegiatan
produktif masayarakat setempat.
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
116 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
116
4.2.3. Perkembangan Kinerja KUKM Sub Sektor Peternakan
Peran sub sektor perkebuan sangat strategis dalam mendukung perkembangan
sektor riil di Indonesia, baik untuk dikonsumsi langsung maupun sebagai penyedia
bahan baku industri dalam negeri dalam kegiatan produktif.
Sub sektor peternakan memiliki keterkaitan industri yang tinggi dengan indeks
daya penyebaran 6,5 yang terdiri dari usaha kecil 2,1 usaha menengah 2,2 dan
usaha besar 2,2. Indeks derajat kepekaan 5,8 yang berarti setiap kenaikan satu
unit permintaan akhir subsektor perkebunan akan meningkatkan output sektor lain
secara keseluruhan sebesar 5,8 unit.
Dalam struktur permintaan sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya menurut
skalah usaha menunjukkan bahwa permintaan tersebut lebih di fokuskan kepada
pemenuhan bahan baku industri dalam negeri dan kebutuhan konsumsi langsung.
Struktur penyediaan sub sektor ini, sebanyak 78,19% berasal dari usaha kecil,
usaha menengah 15,39%, usaha besar 2,07%, sedangkan impor hanya 4,35%.
Indeks derajat kepekaan sebesar 5,8 menunjukkan bahwa sub sektor ini memiliki
daya dorong yang tinggi untuk meningkatkan 5,8 kali kapasitas produksi dan
produktivitas yang menggunakan sub sektor ini sebagai input dalam proses
produksinya. Rasio permintaan antara sub sektor ini pada usaha kecil relatif
tinggi 60,2% dari output subsektor peternakan digunakan sebagai input dalam
proses produksi industri lainnya. Sedangkan usaha menengah dan usaha besar
masing-masing 59,3% dan 67,9%.
Tabel 15. Struktur Permintaan Sub Sektor Peternakan Menurut Skala Usaha, tahun 2000-2003
Skala Usaha Permintaan antara
Ekspor Permintaan Akhir
Total
Usaha Kecil 60.21 1.23 38.56 100.00
Usaha Menengah 59.26 1.08 39.67 100.00
Usaha Besar 67.90 0.48 31.63 100.00 Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM 2004, (diolah)
Selama periode tahun 2004-2006 sub sektor ini mengalami pertumbuhan PDB
2,55% yang sebagian besar disumbangkan oleh Usaha Kecil. Investasi sub sektor
ini sekitar 0.3% dari total investasi nasional atau sekitar 6.85% dari total sektor
pertanian pada tahun 2006.
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
117 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
117
Laju indeks harga implisit sub sektor peternakan sebesar 55.08% berada di atas
indeks harga implisit secara nasional (39.96%). Tingginya pertumbuhan laju
indeks harga implisit selama periode 2004-2006 terutama pada usaha menegah
dan besar yang naik hampir 100% pada tahun 2006. Hal ini mengindikasikan
adanya kenaikan harga komoditi peternakan yang cukup signifikan di Indonesia.
Penyebabnya diduga dampak recovery dari berlalunya wabah penyakit flu burung,
penyakit kuku dan mulut sapi yang melanda Asia Tenggara termasuk Indonesia
pada tahun 2001-2004 yang lalu.
Tabel 16. Perkembangan PDB dan Investasi Sub Sektor Peternakan Menurut Skala Usaha Periode 2004-2006
Variabel Skala Usaha Peternakan
2004 2006 Grow/year
PDB ADH Konstan 2000 (Juta Rp)
Usaha Kecil 26,126,600 27,508,800 2.61%
Usaha Menengah 5,007,400 5,235,900 2.26%
Usaha Kecil + Menengah 31,134,000 32,744,700 2.55%
Usaha Besar 538,400 565,200 2.46%
Total Sub Sektor 31,672,400 33,309,900 2.55%
% Total Sub Sektor thd Sektor 12.81% 12.75% -0.26%
% Total Sub Sektor thd Nasional 2.10% 1.96% -3.55%
Jumlah Investasi ADH Konstan 2000 (Juta Rp)
Usaha Kecil 164,516 178,961 4.30%
Usaha Menengah 548,261 594,518 4.13%
Usaha Kecil + Menengah 712,777 773,479 4.17%
Usaha Besar 405,293 438,511 4.02%
Total Sub Sektor 1,118,070 1,211,990 4.12%
% Total Sub Sektor thd Sektor 6.87% 6.85% -0.11%
% Total Sub Sektor thd Nasional 0.32% 0.30% -2.54%
Laju Indeks Harga Implisit (%)
Usaha Kecil 5.73 12.66 48.64%
Usaha Menengah 2.86 12.56 109.56%
Usaha Besar 4.62 12.92 67.23%
Total Sub Sektor 5.26 12.65 55.08% Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM 2006, (diolah)
Sub sektor peternakan memiliki rasio input antara 43,33%, yang berarti 43,33%
output yang dihasilkan digunakan untuk membeli input dari industri lainnya dan
mampu menghasilkan nilai tambah 56,67% dari output yang dihasilkan. Usaha
kecil memiliki rasio input antara yang lebih rendah yaitu 40,64% dari pada usaha
menengah dan usaha besar yaitu masing-masing 43,87% dan 45,47%.
Kebutuhan antara untuk sektor ini pada usaha kecil dipasokan didominasi dari
usaha menengah sedangkan impor paling rendah pasokannya 6,53%. Hal yang
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
118 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
118
sama juga terjadi pada usaha menengah dan usaha besar juga mendapat
pasokan kebutuhan antara dari usaha menengah yaitu masing-masing 48,77% dan
45,79%. Dilihat dari kebutuhan antara yang dibutuhkan, baik bahan baku, bahan
bakar maupun bahan penolong lainnya maka ketersediaan input antara untuk
usaha UKM maupun usaha besar masih didominasi dari produksi domestik atau
dalam negeri.
4.2.4. Perkembangan Kinerja KUKM Sub Sektor Kehutanan
Peran sub sektor kehutanan sangat strategis dalam mendukung perkembangan
sektor riil di Indonesia, baik untuk digunakan langsung maupun sebagai penyedia
bahan baku industri dalam negeri dalam kegiatan ekonomi produktif.
Sub sektor ini memiliki keterkaitan industri yang tinggi dengan indeks daya
penyebaran 2,4 yang terdiri dari usaha kecil 0,8 usaha menengah 0,8 dan usaha
besar 0,8. Indeks derajat kepekaan 2,4 yang berarti setiap kenaikan satu unit
permintaan akhir subsektor kehutanan akan meningkatkan output sektor lain
secara keseluruhan sebesar 2,4 unit.
Dalam struktur permintaan sub sektor ini menurut skala usaha menunjukkan
bahwa usaha kecil dalam memenuhi permintaan ekspor lebih tinggi yaitu 7,32%
dari usaha menengah maupun besar. Permintaan tersebut lebih di fokuskan
kepada pemenuhan bahan baku industri dalam negeri.
Tabel 17. Struktur permintaan Sub Sektor Kehutanan Menurut Skala usaha, tahun 2000-2003
Skala Usaha Permintaan antara
Ekspor Permintaan Akhir
Total
Usaha Kecil 71.77 7.32 20.91 100.00
Usaha Menengah 87.19 1.44 11.37 100.00
Usaha Besar 88.09 0.91 11.00 100.00 Sumber : BPS 2004, diolah
Struktur penyediaan sub sektor ini, didominasi dari usaha menengah yaitu
43,55%, usaha besar 32,93% dan usaha kecil sebesar 21,71% sedangkan impor
hanya 1,81%.
Indeks derajat kepekaan sebesar 2,4 menunjukkan bahwa sub sektor ini memiliki
daya dorong yang relatif tinggi untuk meningkatkan 2,4 kali kapasitas produksi
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
119 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
119
dan produktivitas yang menggunakan komoditi kehutanan sebagai input dalam
proses produksinya. Rasio permintaan antara sub sektor ini pada usaha besar
relatif tinggi 88.1% dari output subsektor kehutanan digunakan sebagai input
dalam proses produksi industri lainnya. Sedangkan usaha menengah dan usaha
kecil masing-masing 87,2% dan 71,8%.
Selama periode tahun 2004-2006 PDB sub sektor kehutanan mengalami
penurunan rata-rata sebesar 1,88%. Investasi sub sektor ini sekitar 0,31% dari
total investasi nasional atau sekitar 7,04% dari total investasi sektor pertanian pada
tahun 2006.
Tabel 18. Perkembangan PDB dan Investasi Sub Sektor Kehutanan Menurut Skala Usaha Periode 2004-2006
Variabel Skala Usaha Kehutanan
2004 2006 Grow/year
PDB ADH Konstan 2000 (Juta Rp)
Usaha Kecil 3,934,800 3,795,100 -1.79%
Usaha Menengah 7,587,200 7,303,100 -1.89%
Usaha Kecil + Menengah 11,522,000 11,098,200 -1.86%
Usaha Besar 5,911,800 5,685,900 -1.93%
Total Sub Sektor 17,433,800 16,784,100 -1.88%
% Total Sub Sektor thd Sektor 7.05% 6.42% -4.57%
% Total Sub Sektor thd Nasional 1.16% 0.99% -7.72%
Jumlah Investasi ADH Konstan 2000 (Juta Rp)
Usaha Kecil 91,747 99,882 4.34%
Usaha Menengah 457,296 494,911 4.03%
Usaha Kecil + Menengah 549,043 594,793 4.08%
Usaha Besar 598,960 650,077 4.18%
Total Sub Sektor 1,148,003 1,244,870 4.13%
% Total Sub Sektor thd Sektor 7.05% 7.04% -0.09%
% Total Sub Sektor thd Nasional 0.32% 0.31% -2.52%
Laju Indeks Harga Implisit (%)
Usaha Kecil 7.89 35.77 112.92%
Usaha Menengah 8.43 36.93 109.30%
Usaha Besar 9.85 35.44 89.68%
Total Sub Sektor 8.79 36.16 102.82% Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM 2004, diolah
Kebutuhan antara untuk sektor ini, untuk usaha kecil pasokan didominasi dari
usaha kecil sebesar 45,69% dan pasokan impor, lebih sedikit dari usaha
menengah maupun usaha besar yaitu sebesar 10,97%. Sangat berbeda dengan
usaha menengah dimana kebutuhan antara sebagian besar dipasok dari impor
yaitu 36,70%. Sedangkan usaha besar pasokan input antaranya didominasi dari
UKM, hanya 15,43% berasal dari impor. Dilihat dari kebutuhan antara yang
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
120 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
120
dibutuhkan, baik bahan baku, bahan bakar maupun bahan penolong lainnya maka
usaha menengah diduga harga input antara relatif tidak stabil.
4.2.5. Perkembangan Kinerja KUKM Sub Sektor Perikanan
Peran sub sektor perikanan sangat strategis dalam mendukung perkembangan
sektor riil di Indonesia, baik untuk digunakan langsung maupun sebagai penyedia
bahan baku industri dalam negeri dalam kegiatan produktif.
Sub sektor ini memiliki keterkaitan industri yang tinggi dengan indeks daya
penyebaran 4,1 yang terdiri dari usaha kecil 1,4 usaha menengah 1,4 dan usaha
besar 1,3. Indeks derajat kepekaan 6,8 yang berarti setiap kenaikan satu unit
permintaan akhir subsektor kehutanan akan meningkatkan output sektor lain
secara keseluruhan sebesar 6,8 unit.
Dalam struktur permintaan sub sektor ini menurut skalah usaha menunjukkan
bahwa usaha besar dalam memenuhi permintaan ekspor lebih tinggi 6,50% dari
usaha menengah maupun besar. Berdasarkan Tabel 5.14 menunjukkan bahwa
permintaan pada sub sektor perikanan lebih besar untuk permintaan akhir
terutama untuk konsumsi rumah tangga secara langsung dari pada memenuhi
kebutuhan untuk bahan baku industri dan kegiatan produktif.
Struktur penyediaan sub sektor ini, didominasi dari usaha kecil yaitu 86,58%,
usaha menengah 12,07% dan usaha besar sebesar 1,25% sedangkan impor
hanya 0,12%.
Tabel 19. Struktur Permintaan Sub Sektor Perikanan Menurut Skala Usaha, tahun 2000-2003
Skala Usaha Permintaan antara
Ekspor Permintaan Akhir
Total
Usaha Kecil 22.85 3.14 74.01 100.00
Usaha Menengah 24.12 3.85 72.03 100.00
Usaha Besar 38.73 6.50 54.78 100.00 Sumber : BPS 2004, diolah
Indeks derajat kepekaan sebesar 6,8 menunjukkan bahwa sub sektor ini memiliki
daya dorong yang relatif tinggi untuk meningkatkan 6,8 kali kapasitas produksi
dan produktivitas yang menggunakan komoditi perikanan sebagai input dalam
proses produksinya. Rasio permintaan antara sub sektor ini pada usaha besar
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
121 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
121
relatif tinggi yaitu 38.7% dari output subsektor perikanan digunakan sebagai input
dalam proses produksi industri lainnya. Sedangkan usaha menengah dan usaha
kecil masing-masing 24.1% dan 22.8%.
Selama periode tahun 2004-2006 sub sektor Perikanan mengalami pertumbuhan
PDB sebesar 5,73%, masih dibawah, meskipun mendekati, pertumbuhan PDB
nasional. Investasi sub sektor ini sekitar 1,26% dari total investasi nasional atau
sekitar 28,76% dari total sektor pertanian pada tahun 2006.
Sub sektor kehutanan memiliki rasio input antara 21,29%, yang berarti 21,29%
output yang dihasilkan digunakan untuk membeli input dari industri lainnya dan
mampu menghasilkan nilai tambah 78,71% dari output yang dihasilkan. Hampir
semua skala usaha memiliki rasio input yang relatif sama yaitu 23,30% untuk
usaha kecil, 23,32% usaha menengah dan 24,45% usaha besar.
Tabel 20. Perkembangan PDB dan Investasi Sub Sektor Perikanan Menurut Skala Usaha Periode 2004-2006
Variabel Skala Usaha Perikanan
2004 2006 Grow/year
PDB ADH Konstan 2000 (Juta Rp)
Usaha Kecil 32,581,000 36,397,600 5.69%
Usaha Menengah 3,492,000 3,927,800 6.06%
Usaha Kecil + Menengah 36,073,000 40,325,400 5.73%
Usaha Besar 523,300 584,500 5.69%
Total Sub Sektor 36,596,300 40,909,900 5.73%
% Total Sub Sektor thd Sektor 14.81% 15.66% 2.83%
% Total Sub Sektor thd Nasional 2.43% 2.40% -0.57%
Jumlah Investasi ADH Konstan 2000 (Juta Rp)
Usaha Kecil 650,472 705,631 4.15%
Usaha Menengah 3,053,958 3,320,286 4.27%
Usaha Kecil + Menengah 3,704,430 4,025,917 4.25%
Usaha Besar 973,997 1,058,749 4.26%
Total Sub Sektor 4,678,427 5,084,666 4.25%
% Total Sub Sektor thd Sektor 28.74% 28.76% 0.02%
% Total Sub Sektor thd Nasional 1.32% 1.26% -2.41%
Laju Indeks Harga Implisit (%)
Usaha Kecil 10.25 15.88 24.47%
Usaha Menengah 8.63 15.98 36.08%
Usaha Besar 11.11 16.6 22.24%
Total Sub Sektor 10.1 15.9 25.47% Sumber : BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM 2006, diolah
Kebutuhan antara untuk sektor ini, untuk usaha kecil usaha dan menengah
pasokan input antara yaitu lebih didominasi dari usaha keci, sedangkan pasokan
impornya relatif lebih rendah yaitu masing 11,44% dan 11,72%. Sangat berbeda
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
122 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
122
dengan usaha besar dimana kebutuhan input antara juga sebagian besar usaha
kecil, namun pasokan dari impor juga jauh lebih tinggi dari UKM yaitu sekitar
29,61%. Dilihat dari kebutuhan antara yang dibutuhkan, baik bahan baku, bahan
bakar maupun bahan penolong lainnya maka usaha kecil dan menengah diduga
harga input antara relatif stabil dibandingkan usaha besar.
4.3. Potensi Beberapa Komoditas Agribisnis Indonesia Orang berkata, sepanjang masih ada manusia yang butuh makan, maka komoditas
agribisnis akan tetap menguntungkan untuk diproduksi dan diperdagangkan.
Begitu pula gambaran mengenai peluang komoditas agribisnis di Indonesia. Daya
dukung lahan, iklim, tenaga kerja dan infrastruktur seharusnya berpeluang
menjadikan sektor agribisnis sebagai salah satu sektor yang potensial untuk
meningkatkan penyerapan tenaga kerja, penanaman modal dan peningkatan
pendapatan nasional.
Peningkatan jumlah penduduk dunia saat ini berjalan dengan cepat, peningkatan
secara umum rata-rata sebesar 78 juta jiwa setiap tahunnya, Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) memperkirakan pada tahun 2030, populasi dunia akan mencapai 8
milyar jiwa. Peningkatan populasi penduduk dunia ini membawa konsekuensi
meningkatnya permintaan produk pangan dunia. Untuk memenuhi kebutuhan
akan pangan tersebut, pada tiga dekade terakhir, luas kawasan yang digunakan
untuk pertanian dan perkebunan di negara-negara berkembang telah berkembang
menjadi dua kali lipat, yaitu dari 50 juta hektar menjadi 100 juta hektar atau sama
dengan tiga kali luas propinsi Jawa Barat saat ini. Disamping peningkatan
populasi penduduk, permintaan akan produk pertanian dan perkebunan juga
didorong oleh meningkatnya pendapatan rata-rata penduduk dunia dan urbanisasi
penduduk di negara berkembang. Urbanisasi penduduk menurunkan kapasitas
sumberdaya manusia yang mengolah tanah pertanian, sedangkan meningkatnya
pendapatan merubah pola konsumsi dan belanja. Dua hal ini mendorong
peningkatan permintaan produk pangan dan pertanian lainnya. Hal-hal ini secara
umum menunjukkan peluang pasar komoditas agribisnis yang dapat diraih
Indonesia di masa depan.
Prospek yang masih terbuka luas dibidang agribisnis sebagai upaya memenuhi
kebutuhan masyarakat dunia ini perlu ditangani secara serius dan sistematis,
mengingat potensi Indonesia sebagai negara agraris besar yang memiliki hampir
semua kebutuhan faktor-faktor pendukung pertanian (iklim, geografis, tenaga kerja,
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
123 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
123
lahan, teknologi dan infrastruktur) serta pengembangan agribisnis modern.
Beberapa komoditas pangan dunia adalah (1) Grain – Biji-bijian (termasuk beras,
gandum, jagung, barley), (2) Dairy – susu dan produk tutunannya (susu, susu
bubuk, susu non-fat, mentega, keju), (3) Lifestock – Daging-dagingan (daging sapi,
daging babi, daging ayam), (4) Fish – perikanan (baik hasil perikanan tangkap dan
budidaya, termasuk rumput laut). Jika diperhatikan, secara umum UKM Indonesia
masih berpeluang untuk terjun dalam industri agribisnis komoditas pangan dunia
tersebut karena data menunjukkan Indonesia sendiri masih menjadi tujuan ekspor
yang besar dari negara-negara penghasil pangan dunia tersebut untuk beberapa
komoditas utama seperti beras (Indonesia mengimpor dari Thailand, Vietnam, dan
Amerika Serikat) , susu (Indonesia mengimpor dari Amerika Serikat dan New
Zealand), dan daging sapi (Indonesia mengimpor dari Australia). Sedangkan
produk perikanan menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara eksportir
produk perikanan terbesar dunia, padahal potensi perikanan sendiri belum digali
secara penuh dan masih lebih banyak dimanfaatkan (dicuri) oleh negara lain.
4.3.1. Potensi Komoditas Beras
Mari kita perhatikan komoditas beras yang sudah tidak asing lagi. Dari data yang
dimiliki tampak bahwa untuk memenuhi permintaan dalam negeri pun masih
tersisa ruang pasar yang sangat besar. Permintaan terhadap beras meliputi
permintaan untuk konsumsi di dalam rumah; di luar rumah (antara lain di rumah
makan dan hotel); konsumsi makanan hasil industri pengolahan; dan kebutuhan
beras untuk cadangan rumah tangga. Disamping itu produk padi juga
dipergunakan untuk benih dan campuran pakan. Secara umum terdapat
kecenderungan penurunan konsumsi beras per kapita di dalam rumah, yang
diiringi peningkatan konsumsi di luar rumah dan konsumsi produk-produk industri
pangan. Komposisi penggunaan beras pada tahun 1999-2003 yaitu: 79,6 persen
(di dalam rumah); 10,8 persen (di luar rumah); dan 9,6 persen (makanan hasil
industri).
Tabel di atas menunjukkan bahwa kebutuhan beras di dalam negeri masih lebih
besar dari ketersediaan beras yang dapat dipasok oleh produksi pertanian
nasional. Sehingga untuk memenuhinya diambil langkah impor beras. Situasi
defisit tersebut, apabila berkelanjutan akan berdampak pada meningkatnya
ketergantungan pada pangan impor, yang pada gilirannya melemahkan tingkat
kepastian pangan dan ketahanan pangan nasional. Untuk menekan tingkat defisit
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
124 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
124
tersebut, perlu upaya yang diarahkan pada peningkatan kemampuan penyediaan
(produksi) dan penurunan tingkat permintaan (konsumsi). Hal ini menunjukkan
salah satu peluang yang dapat diraih oleh industri agribisnis dalam negeri untuk
memenuhi salah satu komoditas utama kebutuhan indonesia.
Tabel 21. Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Oleh Indonesia Tahun 2003-2007 (November)
Tahun 2003/04 2004/05 2005/06 2006/07 2007/08 Pertumbuhan
Produksi (000 ton) 35,024 34,830 34,959 33,300 34,000 -1.25%
% terhadap produksi dunia 8.95% 8.70% 8.37% 7.97% 8.07%
Konsumsi (000 ton) 36,000 35,850 35,739 35,550 36,150 -0.31%
% terhadap konsumsi dunia 8.72% 8.78% 8.60% 8.49% 8.52%
Impor (000 ton) 650 500 539 1,900 1,600 30.76%
% terhadap impor dunia 2.39% 1.72% 1.87% 6.57% 5.41% Sumber: USDA, 2007
Potensi komoditas beras lainnya dapat dilihat dari turunnya produksi beras dunia.
Jika dilihat catatan secara global, produksi padi pada tahun 2006 meningkat 0,49%
atau meningkat sebesar 3,097 juta ton, namun pada tahun 2007 ini, diramalkan
oleh FAO produksi padi dunia akan menurun menjadi 633 juta ton atau sebesar
0.25%. Penurunan ini disebabkan prospek pertanian yang kurang baik di
beberapa negara utama produsen padi khususnya Banglades, Kamboja, India,
Jepang, Republik Negara Korea, Negeri Nepal dan Thailand. Faktor yang
mempengaruhi turunnya produksi padi dunia disebabkan pemanasan global yang
menimbulkan iklim yang tidak menentu hal ini menyebabkan banyaknya lahan
pertanian padi yang rusak akibat bencana alam (kekeringan, banjir dan longsor).
Jika diperhatikan data produksi dan konsumsi beras dunia tahun 2003 hingga
2007, maka diduga akan terjadi defisit produksi beras dunia pada tahun berikutnya.
Selisih antara konsumsi dan produksi tersebut, seperti yang tampak dalam gambar
diatas, tidak berarti terjadinya shortage/kelangkaan beras karena sesungguhnya
dunia masih memiliki stock beras dari tahun-tahun sebelumnya. Angka tersebut
sebenarnya menunjukkan potensi impor beras yang akan dilakukan oleh negara-
negara yang menghadapi defisit produksi beras dan negara-negara yang ingin
menjaga stock berasnya. Dengan demikian angka ini mencerminkan potensi pasar
beras yang dapat diraih oleh sektor agribisnis Indonesia melalui komoditas beras
jika berhasil memanfaatkan kebutuhan beras dunia.
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
125 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
125
Gambar 32. Produksi dan Konsumsi Beras Dunia Tahun 2003-2007 (000 ton)
Sumber: USDA 2007
Sebagai gambaran, di tahun 2008 impor beras yang akan dilakukan oleh pasar
dunia diperkirakan sebesar 19 juta ton. Jika harga beras (Thailand) di pasar
internasional tahun 2007 adalah sebesar kurang lebih USD 360 per ton nya, maka
potensi pasar komoditas beras yang dapat diraih adalah sebesar kurang lebih USD
6840 juta, atau sekitar Rp 61,56 trilyun (asumsi kurs Rp 9000/USD). Namun jika
potensi pasar hanya dihitung dari nilai defisit produksi beras dunia, maka angka
potensi ini menjadi sekitar Rp 9,72 trilyun (3 juta ton defisit beras x USD 360 x Rp
9000) dalam satu tahun. Sebuah nilai yang cukup besar.
4.3.2. Potensi Komoditas Susu
Indonesia memiliki 3 propinsi penghasil susu utama yaitu Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Secara keseluruhan produksi susu nasional Indonesia
cenderung stagnan pada tingkat produksi sekitar 1,2 juta liter per hari dari sekitar
400 ribu ekor sapi perah. Padahal, pertumbuhan konsumsi susu naik per tahun
sebesar 10%. Hal ini yang menyebabkan 70% kebutuhan susu Indonesia masih
diimpor.
Jika diperhatikan data yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan Amerika
Serikat, tampak bahwa ekspor susu Amerika ke Indonesia cukup tinggi. Indonesia
370,000
380,000
390,000
400,000
410,000
420,000
430,000
Tahun
Jum
lah
(00
0 to
n)
Produksi Konsumsi
Produksi 391,510 400,432 417,551 417,649 421,157
Konsumsi 412,985 408,090 415,450 418,854 424,229
2003 2004 2005 2006 2007
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
126 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
126
digolongkan sebagai negara importir utama produk susu bubuk Amerika Serikat di
Asia disamping Cina, Malaysia, Filipina dan Taiwan.
Tabel 22. Produksi Susu Perusahaan Sapi Perah 2000 - 2004
2000 2001 2002 2003 2004
Jumlah (000 Ltr) 34,290.80 35,717.80 37,013.33 31,639.38 34,102.13
Nilai (Juta Rp) 55,826.83 59,815.11 65,969.26 59,634.51 67,347.55 Sumber: BPS
Tabel 23. Pasar Utama Susu Bubuk Whole Milk Amerika Serikat Tahun 2003-2006 (ton)
Negara 2003 2004 2005 2006 Pertumbuhan
Algeria 136,419 171,562 170,067 167,264 -1.30%
Venezuela 92,081 123,407 96,849 120,479 1.40%
Saudi Arabia 84,780 109,870 92,070 90,493 -9.00%
Nigeria 54,722 70,634 56,294 67,945 0.20%
China 98,774 96,145 76,093 73,458 -2.20%
Sri Lanka 54,520 57,220 65,377 65,144 6.90%
Indonesia 79,301 68,850 78,505 77,714 6.50%
Malaysia 92,748 91,302 70,610 71,227 -0.90%
UAE 29,439 42,559 43,696 52,819 11.80%
Cuba 28,376 39,392 51,148 46,042 9.90%
Total 751,161 870,940 800,709 832,584 -2.00% Sumber: USDA, 2007
Tabel 24. Tujuan Ekspor Susu Bubuk Non Fat Amerika Serikat di ASEAN Tahun 2004-2006 (ton)
Negara 2004 2005 2006 Pertumbuhan
Indonesia 13,337 23,419 36,264 39.57%
Philippines 22,788 22,522 33,332 13.51%
Malaysia 11,431 14,089 19,027 18.51%
Vietnam 7,575 16,591 15,852 27.91%
Singapore 4,757 5,495 6,977 13.62%
Thailand 5,939 7,704 5,999 0.34% Sumber: USDA, 2007
Tabel 23 dan 24 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan importir produk susu
terbesar di kawasan ASEAN. Informasi lain yang dapat diperoleh dari tabel-tabel
tersebut adalah masih tingginya tingkat pertumbuhan kebutuhan produk susu di
negara-negara tetangga Indonesia. Pasar ini dapat dimanfaatkan oleh UKM
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
127 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
127
peternakan Indonesia. Jika di perhatikan keadaan sumber daya alam Indonesia,
maka diyakini bahwa di masa depan Indonesia dapat menjadi salah satu eksportir
produk susu utama di dunia. Hal ini berkaitan dengan menurunnya produk susu
Australia dan New Zealand (dua produsen susu utama dunia) akibat kekeringan
berkelanjutan yang mereka hadapi, yang diduga pengaruh tidak langsung dari
proses pemanasan global.
Praktik berhasil industri agribisnis susu ini sudah dapat dilihat di Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Di Lembang, Jawa Barat, misalnya, Koperasi Peternak
Sapi Perah Bandung Utara yang berhasil tumbuh pesat sehingga memiliki lini
produk yang beragam, unit pengolahan yang modern, dan asset sekitar Rp 40
milyar di tahun 2006, tanpa bantuan terlalu banyak dari Pemerintah.
Potensi pendapatan dari komoditas susu yang dapat diraih, dapat dihitung dari
besarnya impor yang dilakukan oleh pasar Asia. Jika diperhatikan kebutuhan
impor susu bubuk untuk pasar Asia Tenggara adalah sebesar 591,000 ton di tahun
2007. Jika harga susu diasumsikan sebesar USD 3 per kg nya, maka nilai impor
ini adalah sebesar US 1.77 atau sekitar Rp 15.9 trilyun (kurs Rp 9000/USD).
4.3.3. Potensi Komoditas Perikanan
Permintaan dunia akan produk perikanan digunakan untuk beragam manfaat,
antara lain: untuk konsumsi langsung dan dimanfaatkan oleh industri non makanan
termasuk sebagai pakan bagi pembudidayaan ikan. Mayoritas produksi perikanan
dunia digunakan untuk konsumsi langsung. Dalam laporan FAO tahun 2004,
dinyatakan bahwa sekitar 76% produksi perikanan dunia dimanfaatkan untuk
konsumsi langsung, sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk industri non pangan.
Pada tahun 2002, 70% total produksi ikan dunia dimanfaatkan oleh industri
pengolahan. Dari jumlah tersebut, 63% di antaranya adalah untuk industri
pengolahan ikan untuk konsumsi dan sisanya sebagai produk non makanan.
Meskipun terdapat beragam bentuk pengolahan ikan, produk ikan segar tetap
menjadi produk yang paling diterima di pasar dunia. Selama periode tahun 1990
sampai dengan tahun 2002, proporsi ikan yang dipasarkan dalam bentuk ikan
hidup/ikan segar meningkat bila dibandingkan dengan produk ikan lain (ikan
kaleng, ikan beku, ikan yang diawetkan), yaitu sebesar 30%. Sedangkan untuk
ikan olahan, pembekuan masih menjadi metode paling banyak digunakan untuk
pemrosesan ikan konsumsi, yaitu sebesar 53%. Kemudian diikuti oleh
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
128 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
128
pengalengan ikan (27%) dan pengawetan ikan (20%).
Gambar 33. Trend Pemanfaatan Produksi Ikan Dunia Tahun 1962 - 2002
Sumber: FAO (2004)
Tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk dunia pada tahun 2004 berada pada
kisaran angka 16,5 kg/kapita/tahun. Angka ini meningkat lebih dari 20% bila
dibandingkan dengan tahun 1992 yang hanya sebesar 13,1 kg/kapita/tahun.
Tingkat konsumsi ikan perkapita pertahun tertinggi dipegang oleh Jepang sebesar
110 kg/kapita/tahun. Sementara Hongkong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan dan
Amerika Serikat berturut-turut sebesar 80 kg, 70 kg, 65 kg, 60 kg dan 35 kg per
kapita pertahun. Sedangkan tingkat konsumsi ikan Indonesia pada tahun 2004
berada pada kisaran 23 kg/kapita/tahun.
Gambar 34. Pemanfaatan Produksi Ikan Dunia Tahun 2002
Sumber: FAO, 2004
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
129 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
129
Gambar 35. Perbandingan Konsumsi Sumber Protein Penduduk Dunia Periode Tahun 1999-2001
Sumber: FAO. 2004
Pertumbuhan tingkat konsumsi ikan dunia ini sebagian besar disumbangkan oleh
China, yang diperkirakan memberikan kontribusi pada peningkatan konsumsi ikan
perkapita penduduk dunia dari 16% menjadi 33% pada tahun 2004. Peningkatan
konsumsi ikan per kapita penduduk dunia ini dikarenakan semakin pentingnya
posisi ikan sebagai salah satu sumber protein dan micronutrient. Hal ini dipicu oleh
meningkatnya kesadaran masyarakat dunia untuk mengkonsumsi protein hewani
yang sehat.
Dalam 25 tahun terakhir banyak sekali penemuan ilmiah dari para ahli gizi dan
kesehatan dunia yang membuktikan bahwa ikan dan jenis seafood lainnya sangat
baik untuk kesehatan serta kecerdasan manusia. Kenyataan ini disebabkan karena
ikan (seafood) rata-rata mengandung 20% protein yang mudah dicerna dengan
komposisi asam amino esensial yang seimbang. Ikan juga mengandung omega-3
yang sangat penting bagi perkembangan jaringan otak, dan mencegah terjadinya
penyakit jantung, stroke dan darah tinggi.
Potensi Perikanan Indonesia
Laut Indonesia yang sangat luas menyimpan potensi perikanan yang masih sangat
besar. Untuk seluruh kawasan lautnya, Indonesia masih mempunyai potensi ikan
laut sekitar 6,4 juta ton per tahun atau sekitar 7% dari total potensi lestari ikan laut
dunia. Yang baru dimanfaatkan hanya sebesar 4,8 juta ton. Jadi laut Indonesia
masih mempunyai sumberdaya yang masih bisa dimanfaatkan sekitar 25 persen
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
130 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
130
yaitu sekitar 1,6 juta ton per tahun. Terdapat beberapa kelompok sumberdaya
yang pemanfaatannya sudah mendekati optimal yaitu pada golongan ikan pelagis
besar (80,8%) dan ikan demersal (97,4%). Meskipun ada juga pemanfaat
beberapa jenis ikan yang dinilai sudah berlebihan pemanfaatannya (over exploited)
yaitu pada kelompok ikan karang konsumsi (135%), kelompok udang peneid
sebesar 210% dan cumi-cumi sebesar 378%.
Tabel 25. Potensi, Tingkat Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Masing-Masing Kelompok Sumber Daya Ikan Laut
KELOMPOK SUMBER DAYA IKAN LAUT
Ikan Pelagis Besar
Ikan Pelagis Kecil
Ikan Demersal
Ikan Karang konsumsi
Udang Peneid
Cumi-cumi
Seluruh SDIL
Produksi 0,9 1,8 1,3 0,18 0,19 0,06 4,8
Potensi (106 Ton/Thn) 1,14 3,6 1,4 0,14 0,09 0,02 6,4
Pemanfaatan (%) 80,8 52,6 97,4 135 210 378 75%
Peluang Pengemb.(%) 19,2 47,7 2,6 25% Sumber : DKP dan BPS (diolah)
Meskipun potensi yang sangat besar tetapi terdapat beberapa kelompok
sumberdaya yang tingkat pemanfaatannya masih rendah yaitu berkisar 50%
seperti pelagis kecil sebesar 52,6%. Untuk kelompok-kelompok sumberdaya laut
yang masih rendah pemanfaatannya masih tersedia peluang untuk
pengembangannya. Berdasarkan tingkat pemanfaatan yang aman, lestari dan
berkelanjutan seperti yang ditentukan bahwa tingkat pemanfaatan yang aman
adalah 90 % dari besarnya potensi lestari atau MSY (maximum sustainable yield),
maka peluang pengembangan kelompok pelagis besar sekitar 9,2 %. Kemudian
untuk kelompok pelagis kecil dan lobster masing-masing 37,7%
Berdasarkan potensi total perikanan laut yang ada saat ini di perairan laut
Indonesia, maka secara keseluruhan Indonesia masih mempunyai peluang
pengembangan yang relatif besar yaitu sekitar 25%. Ini merupakan peluang emas
yang harus diantisipasi secara serius.
Berdasarkan data pada tabel 26 dapat dikatakan bahwa pemanfaatan potensi
perikanan laut dikawasan timur di Indonesia belum optimal. Ikan jenis tuna masih
sekitar 24%-48% sumberdaya yang masih bisa dikelola pemanfaatannya. Begitu
juga dengan ikan tongkol, bahkan di laut Arafuru, laut Banda, dan laut Sulawesi
baru sekitar 7%, 18%, dan 20% yang telah dimanfaatkan dan masih sekitar 93%,
82%, dan 80% potensi yang belum termanfaatkan. Kelihatannya kawasan laut
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
131 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
131
Arafuru, laut Banda, laut Sulawesi, laut Maluku, dan lautan Hindia masih kaya akan
potensi ikan laut seperti ikan tuna, tongkol, pelagis kecil, cakalang, dan tenggiri.
Apabila sumberdaya laut ini dapat dikelola dengan baik dan benar maka ini
merupakan potensi laut yang sangat besar untuk dapat menghadapi tantangan
pasar di era globalisasi.
Tabel 26. Tingkat Pemanfaatan (100% Optimal) Sumberdaya Ikan Laut Indonesia tahun 2002
Wilayah Perairan Udang Demersal Pelagis kecil
Tuna Skipjack Tenggiri Tongkol
Selat Malaka 154 178 106
Laut Cina Selatan 114 30 23
Laut Jawa 161 54 132 46 114
Laut Flores 106 103 50 76 107 37 78
Laut Banda n.a 56 25 42 38 14 18
Laut Maluku 68 76 46 64 34 7 63
Laut Sulawesi 116 100 29 58 25 102 20
Laut Arafuru 98 93 4 52 70 26 7
Lautan india 88 84 41 38 19 29 58 Catatan : n.a = Tidak ada data
Sumber : DKP diolah
Tabel 27. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap (juta Ton)
2000 2001 2002 2003 2004 2005* Pertumbuhan per tahun
Total Produksi 5,120,518 5,354,473 5,516,652 5,920,323 6,350,377 6,633,302 4.40%
Budidaya 993,727 1,076,749 1,137,151 1,228,559 1,468,612 1,690,490 8.13%
Tangkap 4,126,791 4,277,724 4,379,501 4,691,764 4,881,765 4,942,812 3.42%
-Laut 3,279,039 3,377,646 3,437,805 3,713,018 3,832,290 3,960,522 3.17%
-Darat 847,752 900,078 941,696 978,746 1,049,475 982,290 4.36% Sumber: DKP, FAO, diolah
Pada bagian awal telah disebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam negara
produsen perikanan tangkap terbesar di dunia setelah China, Peru, Chili dan
Amerika Serikat. Perkembangan produksi perikanan tangkap Indonesia dari tahun
ke tahun menunjukkan peningkatan, namun angka laju pertumbuhan cenderung
menurun. Dalam periode 5 tahun terakhir (2000-2004), produksi perikanan tangkap
meningkat rata-rata sebesar 3,61% per tahun, yaitu dari 4,12 juta ton pada tahun
2000 menjadi 4,97 juta ton pada tahun 2005. Sedangkan bila dilihat perkembangan
dari tahun 2004 ke 2005, maka laju pertumbuhan produksi kurang dari 2%, di
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
132 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
132
mana produksi pada tahun 2004 sebesar 4,88 juta ton sedangkan pada tahun
2005 sebesar 4,9 juta ton.
Produksi ikan tangkap Indonesia masih didominasi oleh ikan pelagis, baik pelagis
besar maupun pelagis kecil. Secara ekonomis, ikan jenis ini nilainya dipasaran
kurang tinggi, kecuali spesies-spesies tertentu seperti tuna atau cakalang. Pada
tahun 2004, produksi ikan paling banyak adalah ikan layang (325 ribu ton), yang
diikuti oleh ikan cakalang (233 ribu ton) dan ikan kembung (201 ribu ton). Produksi
beberapa jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan dapat dilihat pada tabel
28.
Bila dilihat dari sisi nilainya, maka nilai produksi perikanan tangkap tertinggi dicapai
oleh jenis udang windu (1.798.3951,18 juta rupiah), kemudian diikuti oleh udang
jerbung (1.546.036,81 juta rupiah). Dari jenis ikan, nilai tertinggi dicapai oleh ikan
tongkol komo dengan nilai produksi pada tahun 2004 mencapai 1.485.336,21 juta
rupiah atau meningkat sebesar 24 % dibanding tahun 2003 yang nilainya
mencapai 1.196.542 juta rupiah. Kemudian diikuti oleh ikan tenggiri yang nilainya
pada tahun 2004 mencapai 1.342.354,41 juta rupiah. Perkembangan nilai produksi
beberapa jenis ikan tangkap dapat dilihat pada tabel 29.
Tabel 28. Volume Produksi Beberapa Jenis Ikan Tangkap Tahun 2000 – 2004 (dalam kg)
Jenis Ikan 2000 2001 2002 2003 2004
Selar 129913 132998 149193 154866 138923
Layang 255375 258393 301115 297937 325187
Tembang 172219 185912 182026 153771 145428
Lemuru 88744 103710 132170 136436 103361
Teri 173944 190182 168959 161141 154811
Peperek 69512 87757 89936 92838 90859
Kakap Merah 62306 67773 62303 74233 91339
Tongkol Komo 250522 233051 266955 267339 133000
Cakalang 236275 214077 203102 208626 233319
Kembung 207037 214387 221634 194427 201882
Madidihang 163241 153110 148439 151926 94904
Udang Jerbung 66644 65269 69508 66501 68699
Udang Windu 40987 43759 38088 34190 34533
Kepiting 8774 11752 11240 14802 20129
Rajungan 14053 22040 19988 30530 21854
Cumi-cumi 39838 60529 62133 51482 69357 Sumber: DKP, diolah
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
133 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
133
Tabel 29. Nilai Produksi Beberapa Jenis Hasil Perikanan Tangkap Tahun 2000 – 2004 (dalam ribu rupiah)
Jenis Ikan 2000 2001 2002 2003 2004
Selar 390.226.364 482.022.187 599.517.182 701.537.549 654.783.237
Layang 777.706.320 973.853.374 1.173.723.832 1.229.561.801 1.305.851.517
Tembang 400.589.508 452.975.197 682.483.391 442.371.255 421.649.432
Lemuru 209.043.884 278.143.214 338.983.266 303.483.374 302.724.577
Teri 793.057.505 917.607.821 1.069.814.181 827.039.821 849.399.931
Peperek 126.978.349 180.668.447 200.295.449 199.845.990 243.190.619
Kakap Merah 349.404.691 434.941.266 446.497.421 564.516.932 609.078.059
Tongkol Komo - - - - 793.968.781
Cakalang 1.037.932.719 1.222.084.950 1.028.590.250 1.196.542.009 1.485.336.212
Kembung 888.524.764 1.010.313.868 1.149.317.529 1.133.615.400 1.213.120.473
Tenggiri 575.778.706 753.382.809 924.846.357 1.040.351.967 1.342.354.417
Udang Jerbung 1.701.405.234 1.688.705.550 1.812.160.747 1.703.368.608 1.546.036.813
Udang Windu 2.047.310.085 2.502.407.356 2.055.284.615 1.499.533.385 1.798.951.180
Kepiting 52.706.410 83.888.899 106.946.051 159.533.252 291.158.389
Rajungan 82.298.545 194.674.305 324.270.931 372.364.936 284.720.028
Cumi-cumi 262.993.600 337.604.742 556.916.293 440.612.405 647.076.939 Sumber: DKP, diolah
Tabel 30. Volume Produksi Perikanan Tangkap Berdasarkan Perairan Indonesia tahun 2004
Perairan Produksi
Barat Sumatra 276.804
Selatan Jawa 124.347
Selat Malaka 377.093
Timur Sumatera 525.073
Utara Jawa 779.821
Bali-Nusa Tenggara 241.360
Selatan/Barat Kalimantan 250.679
Timur Kalimantan 148.440
Selatan Sulawesi 502.336
Utara Sulawesi 314.995
Maluku-Papua 779.293
Total 4.320.241 Sumber: DKP, diolah
Area penangkapan ikan Indonesia relatif luas. Masing-masing perairan mempunyai
karakteristik tersendiri. Bila dilihat area penangkapannya, maka perairan yang
paling produktif adalah perairan di sekitar Maluku-Papua. Pada tahun 2004,
produksi ikan di perairan Utara Jawa dengan produksi mencapai 779.821 ton.
Kemudian diikuti oleh produksi di Maluku-Papua mencapai 779.293 ton, hanya
selisih sedikit dengan produksi di perairan Utara Jawa. Kedua perairan ini
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
134 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
134
memberikan kontribusi masing-masing 16% dari total produksi ikan Indonesia pada
tahun 2004.
Jika diperhitungkan dari sektor perikanan tangkap saja, total nilai nya saat ini
mencapai sekitar Rp 14 trilyun per tahun. Jika peluang disebutkan sebesar 25%
dari nilai saat ini, maka potensi perikanan tangkap adalah sebesar paling tidak Rp
3.5 trilyun per tahun.
4.3.4. Potensi Komoditas Rumput Laut
Salah satu hasil kekayaan kelautan di Indonesia adalah komoditas rumput laut,
yang merupakan salah satu komoditas unggulan nasional. Hal ini mengingat 555
jenis rumput laut dapat tumbuh di perairan wilayah Indonesia. Rumput laut banyak
ditemukan di enam provinsi di Indonesia yaitu Bali, NTB, NTT, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Hingga saat ini sebagian besar produk
ekspor rumput laut masih dalam bentuk basah atau kering, sehingga memiliki nilai
ekonomi yang relative rendah. Sedangkan untuk keperluan industri non-pangan di
dalam negeri, Indonesia masih mengimpor sebagian besar produk olahan rumput
laut. Jumlah dan nilai produk ekspor rumput laut Indonesia tersaji pada Tabel 31.
Tabel 31. Volume dan Nilai Ekspor Hasil Perikanan Utama Indonesia
KOMODITAS 2001 2002 2003 2004 2005 *) Udang Volume (ton) 128.830 124.765 137.636 139.450 147.000 Nilai (USD 1000) 934.986 836.563 850.222 887.127 955.960 Tuna/Cakalang Volume (ton) 84.205 92.797 117.092 94.221 124.780 Nilai (USD 1000) 218.991 212.426 213.179 243.937 316.500 Rumput Laut Volume (ton) 27.874 28.560 40.162 51.011 63.020 Nilai (USD 1000) 17.230 15.785 20.511 25.296 39.970 Mutiara Volume (ton) 22 6 12 2 10 Nilai (USD 1000) 25.257 11.471 17.128 5.866 19.980 Ikan Hias Volume (ton) 2.682 3.514 3.378 3.516 4.010 Nilai (USD 1000) 14.603 15.054 15.809 15.809 20.440 Lainnya Volume (ton) 243.503 316.097 559.504 614.158 560.960 Nilai (USD 1000) 420.832 479.054 526.693 602.798 624.149 Jumlah Volume (ton) 487.116 565.739 857.784 902.358 909.770 Nilai (USD 1000) 1.631.899 1.570.353 1.643.542 1.780.833 1.976.999
Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap DKP RI *) Angka Perkiraan
Jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan adalah eucheuma, sp dan gracilaria.
Di samping sebagai bahan untuk industri makanan seperti agar-agar, jelly food dan
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
135 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
135
campuran makanan seperti burger dan lain-lain, rumput laut adalah juga sebagai
bahan baku industri kosmetika, farmasi, tekstil, kertas, keramik, fotografi, dan
insektisida. Mengingat manfaatnya yang luas, maka komoditas rumput laut ini
mempunyai peluang pasar yang bagus dengan potensi yang cukup besar.
Rumput laut sebagai salah satu komoditas ekspor merupakan sumber devisa bagi
negara dan budidayanya merupakan sumber pendapatan petani nelayan, dapat
menyerap tenaga kerja, serta mampu memanfaatkan lahan perairan pantai di
kepulauan Indonesia yang sangat potensial.
Rumput laut merupakan bahan baku dari berbagai jenis produk olahan bernilai
ekonomi tinggi untuk tujuan pangan maupun non pangan, yaitu : agar-agar,
karaginan, dan alginate. Sebagai sumber gizi, rumput laut memiliki kandungan
karbohidrat, protein, sedikit lemak, dan abu (natrium, kalium, fosfor, natrium, besi,
yodium). Juga terdapat kandungan vitamin-vitamin yaitu A, B1, B2, B6, B12, dan
C, betakaroten.
Tabel 32. Manfaat Agar, Karaginan dan Alginat
Pemanfaatan Agar Karaginan Alginat Makanan dan Susu - ice cream, yoghurt , cream - coklat susu, pudding instant
x -
x -
x -
Minuman - minuman ringan, jus buah, bir
-
x
-
Roti x x x
Permen x - x Daging, ikan dalam kaleng x x x Saus, salad dressing - salad dressing, kecap
-
x
x
Makanan diet - Jelly, jam, sirup, puding
-
x
x
Makanan lain - makanan bayi
-
x
x
Farmasi dan kosmetik - pasta gigi, shampoo, obat - bahan cetak gigi , salep
- -
x -
x x
Selain digunakan untuk bahan makanan dan obat, ekstrak rumput laut yang
merupakan hidrokoloid seperti agar, karaginan, dan alginat juga banyak diperlukan
dalam berbagai industri. Rumput laut dimanfaatkan sebagai bahan penstabil,
pengemulsi, pembentuk gel, pengental, pensuspensi, pembentuk busa, pembentuk
film. Karaginan banyak dimanfaatkan oleh industri farmasi, kosmetik, makanan dan
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
136 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
136
minuman, pet food, serta keramik.
Karaginan yaitu senyawa hidrokoloid yang merupakan senyawa polisakarida rantai
panjang yang diekstraksi dari rumput laut jenis-jenis karaginofit, yaitu Eucheuma
sp, Chondrus sp, Hypnea sp, Gigartina sp.
Jika diperhatikan tabel 33 dan 34, tampak bahwa peluang pasar komoditas rumput
laut masih terbuka lebar. Memperhatikan panjangnya garis pantai yang dimiliki
Indonesia, iklim yang amat mendukung, dan kebutuhan teknologi yang terjangkau
oleh UKM, maka komoditas rumput laut amat strategis untuk dikembangkan oleh
Indonesia. Jumlah peluang pasar rumput laut kering diperkirakan rata-rata
sebesar 150.000 ton per tahun. Jika harga rumput laut kering sebesar Rp 5500
per kilogram maka potensi ini bernilai sekitar Rp 825 milyar per tahunnya. Jika
petani mampu membangun pabrik pemrosesan rumput laut tahap 1 (tahap
pemasakan menjadi rumput laut setengah jadi), maka nilai ini dapat ditingkatkan
menjadi sekitar Rp 3 trilyun per tahun karena harga rumput laut setengah jadi
untuk bahan baku produk makanan adalah sebesar USD 2.5 per kilogram atau Rp
20 per kilogram di pasaran internasional.
Tabel 33. Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia Menurut Negara Tujuan Tahun 1999-2003 (ton)
NEGARA TUJUAN 1999 2000 2001 2002 2003 Hongkong 6.857,3 9.157,4 7.808,8 7.164,5 7.867,0 Spanyol 3.450,9 3.838,3 4.359,3 4.700,0 3.363,6 Denmark 3.147,6 2.573,5 3.953,9 3.947,8 4.499,0 USA 2.298,7 979,9 1.661,6 1.804,4 2.127,7 Perancis 3.572,3 1.216,6 1.617,0 1.832,7 1.355,0 China 805,9 1.211,6 1.603,0 4.186,9 9.337,0 Filipina 1.204,9 139,6 1.522,8 1.471,9 4.573,8 Chili 335,0 200,0 1.360,0 340,0 1.116,7 Inggris 369,7 806,2 713,7 499,0 400,0 Australia 105,0 294,0 380,1 349,0 255,6 Jerman 175,1 455,2 335,0 209,0 338,6 Jepang 437,5 305,2 187,7 178,9 391,7 Lainnya 2.324,5 1.895,8 2.371,1 1.875,8 4.536,0 Jumlah 25.084,4 23.073,4 27.874,6 28.559,9 40.162,7
Sumber : Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2003
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
137 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
137
Tabel 34. Prediksi Peluang Pasar Rumput Laut Tahun 2006-2010 (ton)
Jenis Bahan Baku 2006 2007 2008 2009 2010 Kebutuhan (Jenis Eucheuma)
202.300 218.100 235.300 253.900 274.100
Produksi Luar Negeri 135.000 140.000 145.000 155.000 165.000 Peluang pasar 67.300 78.100 90.300 98.900 109.100 Kebutuhan (Jenis Glacilaria sp.)
79.200 87.040 95.840 105.440 116.000
Produksi Luar Negeri 40.500 44.000 48.500 54.000 61.000 Peluang pasar 38.700 43.040 47.340 51.440 55.000
Sumber : Jana T. Anggadireja, Tim RL BPPT, 2005
4.3.5. Jagung
Jagung adalah bagian dari tanaman pangan dunia yang penting bagi Indonesia.
Disamping dikonsumsi, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri pakan.
Produksi jagung dan kedelai pada tahun 2006 sebesar 11.61 juta ton jagung
pipilan dan 749.04 ton biji kedelai kering. Kedua komoditas ini mengalami
penurunan dari sisi luas panen namun mengalami kenaikan dari sisi produktivitas
lahan dibandingkan tahun sebelumnya. Upaya intesifikasi pertanian perlu terus
dilakukan mengingat Indonesia saat ini mulai menghadapi keterbatasan lahan dan
tenaga kerja serta modal yang tersedia untuk sektor pertanian.
Tabel 35. Produksi, Konsumsi dan Impor Jagung Indonesia Tahun 2003-2007 (November) (000 ton)
2003/04 2004/05 2005/06 2006/07 2007/08 Pertumbuhan
Produksi 6,350 7,200 6,500 6,700 7,000 1.97%
% terhadap produksi dunia 1.01% 1.01% 0.93% 0.95% 0.91%
Konsumsi 7,350 7,900 7,900 7,900 8,000 1.71%
% terhadap konsumsi dunia 1.13% 1.15% 1.12% 1.10% 1.05%
Impor 1,436 541 1,443 1,200 1,000 -6.98%
% terhadap impor dunia 1.82% 0.71% 1.75% 1.32% 1.07% Sumber: USDA, 2007
Pandangan terhadap tabel 35 menunjukkan pertumbuhan produksi yang lebih
tinggi dibandingkan pertumbuhan konsumsi dalam negeri. Ini menarik karena
berarti pada akhirnya potensi produksi jagung nasional dapat diarahkan untuk
mengisi pasar ekspor. Jika diperhatikan tingkat produksi dan kebutuhan jagung
dunia, tampak bahwa secara umum dunia cenderung dapat memenuhi kebutuhan
jagungnya dengan baik. Namun jika diperhatikan kebutuhan subtitusi impor jagung
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
138 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
138
nasional dan kemungkinan pertumbuhan permintaan di masa depan, maka jagung
masih merupakan komoditas yang perlu dikembangkan di Indonesia.
Tabel 36. Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia Tahun 2003-2007 (November) (000 ton)
2003/04 2004/05 2005/06 2006/07 2007/08 Pertumbuhan
Produksi Dunia 627,245 714,762 696,369 703,851 769,313 4.17%
Kebutuhan Dunia 648,881 687,981 704,029 720,714 766,426 3.39%
Surplus /(Defisit) (21,636) 26,781 (7,660) (16,863) 2,887 Sumber: USDA, 2007
4.3.6. Potensi Komoditas Daging Sapi dan Ayam
Secara umum tahun 2007 ini pertumbuhan sektor peternakan menempati posisi
kedua setelah perkebunan. Pertumbuhan itu ditopang komoditas daging dan telur
yang mencapai lebih dari 5.18% dibanding 2006.
Produksi daging sapi tahun 2007 ini diprediksi mencapai 418,2 ribu ton (dari 2006
yang sebesar 395,8 ribu ton). Sedangkan, ayam ras pedaging tahun ini akan
diproduksi sebesar 6,4% lebih tinggi dari 2006 (861,3 ribu ton). Sementara itu,
ternak domba akan memasok 84 ribu ton daging dan babi sebesar 198,9 ribu ton
tahun ini.
Tabel 37. Produksi Hasil Ternak Indonesia Tahun 2006-2007
Komoditas 2006 (000 ton)
2007 (000 ton)
Pertumbuhan
Sapi potong 395.8 418.2 5.7%
Ayam potong 861.3 918.5 6.6%
Domba 74.5 84.0 12.8%
Babi 196.0 198.9 1.5%
Telur 1200.0 1292.5 7.7% Sumber: BPS
Saat ini, masyarakat Indonesia baru mengkonsumsi daging unggas 10
gram/kapita/hari, sedangkan Malaysia mencapai 100 gram /kapita/hari. Konsumsi
telur masyarakat Indonesia juga sangat rendah, yakni sebesar 2,7 kg/kapita/tahun,
sedangkan masyarakat Malaysia 14,4 kg/kapita/tahun, Thailand 9,9 kg dan Filipina
6,2 kg. Bila rata-rata satu kilogram telur terdiri atas 17 butir, maka konsumsi telur
masyarakat Indonesia baru 46 butir/kapita/tahun. Artinya, setiap orang Indonesia
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
139 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
139
baru mengkonsumsi 1 butir telur setiap 8 hari sekali. Padahal penduduk Malaysia
setiap tahunnya memakan telur sebanyak 245 butir atau rata-rata 2 butir telur
dalam tiga hari sekali. Konsumsi susu masyarakat Indonesia juga sangat rendah,
yakni sekitar 7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia sudah mencapai 20
kg/kapita/tahun.
Konsumsi daging, telur dan susu yang rendah menyebabkan target konsumsi
protein hewani sebesar 6 gram/kapita/hari belum tercapai. Padahal untuk
meningkatkan kualitas hidup masyarakat, rata-rata konsumsi protein hewani ideal
adalah 26 gram/kapita/hari (Tuminga et. al. 1999). Analisis paling akhir yang
dilakukan Prof. I.K Han, guru besar Ilmu Produksi Ternak Universitas Nasional
Seoul (1999) menemukan sebuah fakta menarik. Ia menyatakan bahwa terdapat
relasi positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan umur harapan hidup
(UHH) dan pendapatan perkapita. Semakin tinggi konsumsi protein hewani
masyarakat di suatu negara semakin tinggi umur harapan hidup dan pendapatan
domestik bruto (PDB) negara tersebut.
Negara-negara berkembang seperti Korea, Brazil, China, Filipina dan Afrika
Selatan memiliki konsumsi protein hewani 20-40 gram/kapita/hari, UHH
penduduknya berkisar 65-75 tahun. Negara-negara maju seperti AS, Perancis,
Jepang, Kanada dan Inggris konsumsi protein hewani masyarakatnya berkisar 50-
80 gram/kapita/hari, UHH penduduknya 75-85 tahun. Karena jangan heran bila
manusia yang berumur lebih dari 100 tahun sekarang banyak terdapat di Jepang.
Sementara negara-negara yang konsumsi protein hewani di bawah 10
gram/kapita/hari seperti Banglades, India dan Indonesia, UHH penduduknya hanya
berkisar 55-65 tahun (Han, 1999).
Rendahnya konsumsi protein hewani telah berdampak luas pada tingkat
kecerdasan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Negara Malaysia yang pada
tahun 1970-an mendatangkan guru-guru dari Indonesia, sekarang jauh
meninggalkan Indonesia, terutama dalam kualitas sumber daya manusia (SDM)
sebagaimana ditunjukkan oleh peringkat Human Development Indeks (HDI) tahun
2004 yang dikeluarkan United Nation Development Program (UNDP). Indonesia
berada pada peringkat ke-111, hanya satu tingkat di atas Vietnam (112), namun
jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Singapura (peringkat 25), Malaysia (59),
Thailand (76) dan Filipina (83) (Rusfidra, 2006b).
Studi Monckeberg (1971) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat konsumsi
protein hewani pada anak usia pra-sekolah dengan frekuensi kejadian defisiensi
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
140 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
140
mental. Konsumsi protein hewani yang rendah pada anak usia pra sekolah dapat
mengakibatkan anak-anak berbakat normal menjadi sub-normal atau bahkan
defisien. Peningkatan konsumsi protein hewani dapat mengurangi frekuensi
kejadian defisiensi mental. Selain untuk kecerdasan, protein hewani dibutuhkan
untuk daya tahan tubuh (stamina). Hasil pengamatan Shiraki et al. (1972)
membuktikan peranan protein hewani dalam mencegah terjadinya anemia pada
orang yang menggunakan otot untuk bekerja keras. Gejala anemia tersebut
dikenal dengan istilah “sport anemia”. Penyakit ini dapat dicegah dengan
mengkonsumsi protein yang tinggi, dimana sebanyak 50% dari protein yang
dikonsumsi harus berasal dari protein hewani. Protein hewani diduga berperan
terhadap daya tahan eritrosit (butir darah merah) sehingga tidak mudah pecah.
Protein hewani juga berperan dalam mempercepat regenerasi sel darah merah.
Protein hewani memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan dibutuhkan
tubuh. Nilai hayati protein hewani relatif tinggi. Nilai hayati menggambarkan berapa
banyak nitrogen (N) dari suatu protein dalam pangan yang dimanfaatkan oleh
tubuh untuk pembuatan protein tubuh. Semakin tinggi nilai hayati protein suatu
bahan pangan makin banyak zat N dari protein tersebut yang dapat dimanfaatkan
untuk pembentukan protein tubuh. Hampir semua pangan asal ternak mempunyai
nilai hayati 80 ke atas. Telur memiliki nilai hayati tertinggi yakni 94-100
(Hardjosworo, 1987 dalam Rusfidra, 2005c).
Lebih lanjut, Hardjosworo (1987) dalam Rusfidra (2005) berhasil mengidentifikasi
empat faktor penting penyebab rendahnya konsumsi protein hewani: Pertama,
mahalnya harga pangan asal ternak bila diukur dari rata-rata pendapatan sebagian
besar masyarakat Indonesia. Untuk menghasilkan daging dan telur diperlukan
pakan yang mahal, apalagi komponen bahan pakan unggas (bungkil kedele,
tepung ikan dan jagung) merupakan bahan impor.
Kedua, tidak meratanya tingkat ketersediaan daging, susu dan telur di seluruh
penjuru tanah air. Bahan pangan tersebut melimpah di kota-kota besar dan
sekitarnya tetapi sangat langka di daerah yang jauh dari perkotaan. Ketiga,
pengaruh kemampuan produksi dalam negeri terhadap konsumen protein hewani.
Keempat, selera selektif dari masyarakat Indonesia. Bila dibandingkan dengan
negara-negara Barat yang lebih tinggi tingkat ekonominya, variasi jenis ternak
yang dijadikan sumber pangan di Indonesia sangat sempit. Sebagai contoh dari
ternak unggas hanya ayam yang disukai, sedangkan itik dan puyuh baru
sebagaian kecil yang memanfaatkan.
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
141 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
141
Tabel 38. Kebutuhan Impor Daging Sapi Beberapa Negara (000 ton)
Negara 2002 2003 2004 2005 2006 2007* 2008** Pertumbuhan
Algeria 22 53 103 112 82 98 98 23.79%
Angola 54 76 79 90 101 101 101 9.36%
Chile 143 180 178 200 124 161 161 1.71%
Congo(Brazzaville) 7 8 13 17 23 23 23 18.52%
Georgia 17 27 20 23 20 20 20 2.35%
Iran 23 61 100 27 93 187 187 34.90%
Israel 82 89 102 86 103 103 103 3.31%
Jordan 24 53 46 59 68 68 68 16.04%
Kuwait 16 32 34 58 79 79 79 25.62%
Lebanon 19 28 34 34 39 39 39 10.82%
Libya 3 2 17 23 30 36 36 42.62%
Malaysia 133 136 171 169 158 158 158 2.49%
Oman 14 13 13 16 17 17 17 2.81%
Philippines 124 127 161 137 136 160 160 3.71%
Saudia Arabia 75 80 100 101 101 101 101 4.34%
Singapore 25 26 25 25 27 31 31 3.12%
Switzerland 10 11 15 19 22 20 20 10.41%
United Arab Emirates
53 43 44 69 71 71 71 4.27%
Vietnam 1 1 2 20 29 29 29 61.78% Keterangan: * Angka ementara, ** Angka forecasting Sumber: USDA, 2007
Tabel 39. Kebutuhan Impor Daging Ayam Beberapa Negara (000 ton)
Negara 2002 2003
2004 2005
2006 2007* 2008** Pertumbuhan
Angola 80 99 86 103 130 130 130 7.18%
Azerbaijan, 16 37 67 47 17 30 30 9.40%
Bahrain 21 22 23 28 21 26 28 4.20%
Columbia 24 24 13 23 23 23 23 -0.61%
Congo 22 33 23 29 23 23 23 0.64%
Cuba 92 89 119 113 115 130 135 5.63%
Gabon 16 17 29 25 21 25 25 6.58%
Ghana 24 36 45 51 52 52 52 11.68%
Guatemala 49 63 59 57 58 58 58 2.44%
Haiti 24 29 17 22 22 22 22 -1.24%
Iraq 56 76 119 116 110 120 120 11.50%
Jordan 2 11 23 27 18 33 35 50.51%
Kazakhstan, 5 12 13 8 38 15 15 16.99%
Oman 47 52 45 46 39 39 39 -2.63%
Philippines 13 14 22 27 35 40 40 17.42%
Qatar 26 30 31 39 41 41 41 6.72%
Singapore 86 103 85 96 97 100 100 2.18%
Vietnam 11 1 36 6 29 70 70 30.26%
Yemen 93 87 108 94 75 80 85 -1.28% Keterangan: * Angka ementara, ** Angka forecasting Sumber: USDA, 2007
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
142 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
142
Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa tingkat kebutuhan
domestik terhadap komoditas-komoditas peternakan seperti daging dan telur akan
semakin meningkat di masa mendatang seiring dengan peningkatan pendapatan
dan tingkat pendidikan masyarakat. Pandangan terhadap kebutuhan impor daging
dari beberapa negara, termasuk beberapa negara tetangga dan negara anggota
gerakan non-blok, menunjukkan jumlah kebutuhan impor daging yang masih besar
dan positif dari tahun ke tahun. Sekali lagi, hal ini menunjukkan potensi pasar
komoditas agribisnis peternakan yang masih besar di masa depan. Untuk
komoditas ini, UKM sudah pasti dapat berperan besar di dalamnya. Bukan hanya
untuk memenuhi peningkatan kebutuhan di dalam negeri tetapi juga untuk
memanfaatkan peluang pasar yang tersedia di negara lain. Besarnya potensi
ekspor yang dapat diraih oleh komoditas daging sapi dan ayam ini kurang lebih
sama dengan Rp 100 milyar per tahunnya.
4.4. Masalah Dalam Pengembangan Komoditas Agribisnis Masalah utama yang dihadapi dunia, dan Indonesia, dalam pengembangan
potensi komoditas agribisnis saat ini adalah ketersediaan lahan dan perubahan
iklim.
4.4.1. Kebutuhan Lahan
Populasi penduduk yang terus meningkat, pendapatan yang lebih baik, dan
urbanisasi telah meningkatkan permintaan akan komoditas hasil pertanian.
Peningkatan permintaan komoditas pertanian ini membutuhkan ketersediaan lahan
yang kadang berbenturan dengan kebutuhan lain dan pelestarian alam.
Meningkatnya kebutuhan lahan terjadi karena proses produksi komoditas pertanian
memang membutuhkan ketersediaan lahan yang cukup besar. Seperti halnya
Indonesia dimana pemain utama penyedia komoditas pertanian adalah skala
usaha kecil dan menengah, di dunia pun komoditas pertanian sebagian besar
disediakan oleh negara berkembang yang memiliki daya dukung lahan yang
mencukupi, tenaga kerja yang murah, serta subsidi pemerintah untuk mendorong
meningkatnya pasokan-pasokan produksi hasil pertanian ini.
Pada negara berkembang, peningkatan hasil pertanian lebih banyak dilakukan
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
143 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
143
dengan memperluas areal tanaman (ekstensifikasi) dibandingkan meningkatkan
produktifitas lahan (intensifikasi). Hal ini karena (1) ekstensifikasi dengan
membuka lahan baru lebih mudah dan segera dapat dilakukan (biasanya dengan
membakar lahan) dan (2) intensifikasi pun memiliki batasan teknologi pertanian
(penemuan varietas bibit baru, teknologi produksi yang lebih produktif, dan lain-
lain) dan biasanya lebih mahal dan sulit untuk dapat langsung diterapkan tanpa
perubahan perilaku masyarakat, bantuan pemerintah dan investasi dari investor
besar.
Misalnya pada peningkatan permintaan daging sapi di negara-negara berkembang
diperkirakan akan menjadi dua kali lipat dalam lima belas tahun yang akan datang.
Daging-daging sapi tersebut sebagian besar diproduksi oleh negara-negara
berkembang itu sendiri dan kebanyakan akan diproduksi oleh peternakan sapi
yang memerlukan lahan yang sangat luas. Untuk pembukaan lahan ini belum
diketahui dengan jelas berapa keuntungan yang sesungguhnya dapat diperoleh
negara-negara berkembang tersebut dengan melakukan hal ini, karena
peningkatan produksi menyebabkan harga produk turun, namun harus
mengorbankan hutan-hutan untuk kegiatan pertanian dan peternakan yang pada
akhirnya keberhasilan ini diikuti dengan kegagalan di sisi lain.
Seperti telah digambarkan dalam contoh permintaan daging sapi diatas, dalam
penyediaan lahan pertanian, masalah yang dihadapi adalah kompetisi antara
kebutuhan pertanian dan pelestarian alam. Kompetisi ini masih bisa dilengkapi
dengan kebutuhan lahan untuk hunian dan infrastruktur, serta industri.
Gambar 36. Kompetisi Kebutuhan Lahan
Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudera Hindia dan
LAHAN
Pertanian
Hunian dan Infrastruktur
Pelestarian
alam
Industri
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
144 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
144
Samudera Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka
luas Indonesia menjadi sekitar 4,275,000 km persegi. Lima pulau besar di
Indonesia adalah : Sumatera dengan luas 473.606 km persegi, Jawa dengan luas
132.107 km persegi, Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia) dengan luas
539.460 km persegi, Sulawesi dengan luas 189.216 km persegi, dan Papua
dengan luas 421.981 km persegi.
Luas lahan pertanian Indonesia yang sebagian besar terdiri dari lahan perkebunan
dan lahan pertanian saat ini mencapai 169,727 km persegi (BPS, 2007) yang
terdiri dari 121,656 km persegi lahan pertanian padi dan 48,071 km persegi lahan
perkebunan. Luas ini baru sekitar 9.6% dari area daratan pulau utama Indonesia.
Menurut data Nation Master tahun 2005, luas area daratan Indonesia yang dapat
digunakan untuk kegiatan ekonomi adalah sebesar kurang lebih 478,000 km
persegi. Dari luas lahan tersebut, sekitar 50% nya (230,000 km persegi)
merupakan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bercocok tanam. Hal
ini menunjukkan masih adanya lahan yang dapat dikelola secara lestari dan
berkelanjutan untuk kebutuhan pengembangan kegiatan agribisnis.
Tabel 40. Luas Area Pulau Utama Indonesia
Pulau Utama Luas Area (km persegi)
Sumatera 473,606
Jawa 132,107
Kalimantan 539,460
Sulawesi 189,216
Papua 421,981
Total luas pulau utama 1,756,370
Luas Wilayah Keseluruhan (termasuk lautan, perkiraan) 4,275,000
Sumber: BPS
Masalahnya adalah, angka diatas dihitung secara agregat, yaitu total gabungan
dari seluruh luas lahan yang tersebar di seluruh Indonesia. Padahal, disamping
luas totalnya, kegiatan pengembangan agribisnis yang efektif juga membutuhkan
kecukupan luas minimal, lokasi yang sesuai, dan komposisi kimia lahan untuk
pelaksanaan kegiatan agribisnis yang sesuai dan efektif.
Misalnya, (1) untuk kegiatan penanaman padi yang efektif dan lestari diperlukan
luasan lahan tertentu yang cukup besar dan dalam satu area yang tidak terlalu
jauh terpisah-pisah. Dengan demikian pengaturan irigasi dan distribusi bahan
baku menjadi lebih mudah dilakukan. Akan sulit mengembangkan pertanian padi
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
145 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
145
jika lahan-lahan persawahannya terlalu kecil dengan lokasi yang terpisah-pisah
jauh. Kemudian (2) lahan yang tersedia tentunya memiliki komposisi kimia dan
jenis tanah yang berbeda-beda, dimana jenis tanah dan komposisi kimia tersebut
turut menentukan jenis tanaman apa yang cocok untuk kegiatan penanaman di
lahan tersebut.
Hal ini menunjukkan pentingnya pengaturan dan penjagaan tata guna lahan di
suatu daerah. Di sebuah propinsi, sejak awal perlu dianalisis kecocokan lahan dan
ditetapkan tata guna lahannya, mana yang tepat untuk kegiatan pengembangan
agribisnis, mana yang dapat untuk keperluan lainnya. Ketetapan tata guna ini
perlu dijaga agar di masa depan pengembangan agribisnis dapat lestari.
Masalah yang dihadapi adalah, tata guna lahan agribisnis dapat melampaui batas
wilayah kabupaten. Di Gorontalo, misalnya, untuk keperluan pengembangan
tanaman jarak penghasil bio diesel, perlu luas lahan yang meliputi lebih dari tiga
kabupaten. Jika antara kabupaten ini tidak ada kemauan untuk bekerjasama
untuk bersama-sama mengatur tata guna lahan bagi kegiatan agribisnisnya dan
lebih memilih untuk menggunakan lahan sebesar-besarnya untuk keperluan hunian
dan pembangunan bangunan komersial, maka program pengembangan agribisnis
yang dicanangkan tidak akan lestari di masa depan.
4.4.2. Perubahan Iklim
Pemanasan Global Mengurangi Lahan dan Merubah Iklim
Hasil penelitian Wetlands International dan Defl Hydrulics (2007), Indonesia
menempati urutan ketiga terbesar di dunia sebagai penyumbang emisi CO2
setelah Amerika Serikat dan China. Dari tahun 1997-2006, emisi CO2 akibat
kebakaran gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 1.400 metrik ton CO2, dan
dari setiap hektar pengeringan hutan gambut diperkirakan CO2 yang terlepas
mencapai 90 metrik ton CO2 per tahun.
Pemanasan global merupakan kejadian meningkatnya temperatur rata-rata
atmosfer, laut dan daratan di Bumi. Temperatur rata-rata global pada permukaan
Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun
terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan
bahwa, sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan
abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
146 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
146
gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, melalui efek rumah kaca. Kesimpulan
dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik,
termasuk semua akademi ilmu pengetahuan nasional dari negara-negara G8.
Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa
kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan temperatur
permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara
tahun 1990 dan 2100. Adanya beberapa hasil yang berbeda diakibatkan oleh
penggunaan skenario-skenario berbeda pula dari emisi gas-gas rumah kaca di
masa mendatang juga akibat model-model dengan sensitivitas iklim yang berbeda
pula. Walaupun sebagian besar penelitian memfokuskan diri pada periode hingga
2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut
selama lebih dari seribu tahun jika tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini
mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.
Gambar 37. Prediksi Pemanasan Global
Dampak Pemanasan Global Ke Seluruh Dunia
Dampak dari pemanasan global ini secara garis besar antara lain meningkatnya
temperatur global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang
lain seperti naiknya muka air laut, meningkatnya intensitas kejadian cuaca yang
ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan
global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletzer dan
punahnya berbagai jenis hewan. Emisi gas rumah kaca mengalami kenaikan
Pertambahan Suhu (oC)
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
147 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
147
70 persen antara 1970 hingga 2004.
Konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer jauh lebih tinggi dari kandungan
alaminya dalam 650 ribu tahun terakhir. Rata-rata temperatur global telah naik 1,3
derajat Fahrenheit (setara 0,72 derajat Celsius) dalam 100 tahun terakhir. Muka air
laut mengalami kenaikan rata-rata 0,175 centimeter setiap tahun sejak 1961.
Sekitar 20 hingga 30 persen spesies tumbuh-tumbuhan dan hewan berisiko punah
jika temperatur naik 2,7 derajat Fahrenheit (setara 1,5 derajat Celsius). Jika
kenaikan temperatur mencapai 3 derajat Celsius, 40 hingga 70 persen spesies
mungkin musnah.
Meski negara-negara miskin yang akan merasakan dampak sangat buruk,
perubahan iklim juga melanda negara maju. Pada 2020, 75 juta hingga 250 juta
penduduk Afrika akan kekurangan sumber air, penduduk kota-kota besar di Asia
akan berisiko terlanda banjir dan rob. Di Eropa, kepunahan spesies akan ekstensif.
sementara di Amerika Utara, gelombang panas makin lama dan menyengat
sehingga perebutan sumber air akan semakin tinggi. Kondisi cuaca ekstrim akan
menjadi peristiwa rutin. Badai tropis akan lebih sering terjadi dan semakin besar
intensitasnya. Gelombang panas dan hujan lebat akan melanda area yang lebih
luas. Risiko terjadinya kebakaran hutan dan penyebaran penyakit meningkat. Data
dampak pemanasan global lainnya misalnya mencairnya glasier di Pegunungan
Himalaya, meningkatnya frekuensi badai di Kepulauan Pasifik Selatan, pemutihan
karang secara massal dan berdampak pada kematian di Great Barrier Reef
Australia, berkurangnya persediaan air bersih di Sungai Mekong dan lain-lain.
Kenaikan suhu (temperatur) bumi sampai mencapai akibat pemanasan global ini
bisa mencapai tingkat 11 derajat C lebih tinggi daripada suhu semula (BBC,
Desember 1999). Peristiwa ini akan memicu mencairkan berjuta-juta kubik lapisan
es di kedua Kutub Utara dan Selatan secara bersamaan yang pada gilirannya
terjadi peningkatan luar biasa volume air laut di seluruh dunia.
Hal ini menyebabkan juga terjadi peningkatan permukaan air laut di bumi ini hingga
mencapai 1 meter lebih tinggi daripada level semula. Dapat dibayangkan luas areal
daratan pantai yang bakal tergenang air laut, bahkan lebih dahsyat bakal tidak
terhitung lagi jumlah gugusan pulau dan kepulauan yang akan hilang lenyap
secara tiba-tiba ditelan air laut. Suatu bencana yang tidak kalah dahsyatnya dari
gelombang pasang tsunami dengan cakupan yang lebih mengglobal.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan kelaparan di dunia sedang meningkat
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
148 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
148
sebagai akibat pemanasan global, karena perubahan iklim mengurangi luas lahan
pertanian di negara berkembang. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, FAO,
mengatakan perubahan iklim dapat mengurangi 300 juta ton produksi pangan, dan
akibat paling parah adalah di Afrika Sub-Sahara. Sebuah laporan FAO
memperkirakan bahwa sampai 90 juta hektar lahan di Afrika dapat menjadi tidak
sesuai untuk pertanian kalau pemanasan global terus berlangsung tanpa
hambatan dalam puluhan tahun mendatang. Namun, Badan PBB tadi mengatakan
iklim serupa dapat meningkatkan produksi pertanian di Negara-negara Industri di
belahan bumi Utara. Selain itu, badan dunia PBB meramalkan bahwa panen
makanan pokok seperti gandum, beras dan jagung dapat merosot sampai 39%
dalam 100 tahun mendatang akibat pemanasan global yang terjadi (Konferensi
Perubahan Iklim VII, Maroko, November 2001). Suatu ancaman yang sangat
serius, apalagi pertumbuhan penduduk dunia ke depan terus melaju tidak
terkendalikan.
Jadi perubahan iklim bumi merupakan tantangan yang paling serius yang dihadapi
dunia di abad ke-21 ini.
Masalah pemanasan yang terjadi dalam 50 tahun terakhir sebenarnya disebabkan
oleh tindakan manusia sendiri di mana pemanasan global di masa depan bakal
lebih besar daripada dugaan semula. Oleh karena itu, protokol Kyoto yang semula
selalu menghadapi jalan buntu, akhirnya mulai difungsikan untuk mengurangi emisi
rumah kaca terutama dari dampak kegiatan industri negara-negara maju.
Dampak Pemanasan Global di Indonesia
Pemanasan global sudah dirasakan Indonesia dengan naiknya permukaan laut 0,8
cm per tahun yang berdampak pada tenggelamnya pulau-pulau Nusantara hampir
satu meter dalam 15 tahun ke depan. Indonesia sebagai negara kepulauan
menjadi pihak yang sangat merasakan dampak pemanasan global ini perlahan
tetapi pasti jika tak diatasi sejak sekarang.
Diperkirakan, dengan laju kenaikan muka air laut seperti saat ini, maka pada tahun
2010 permukaan air laut akan naik 1 meter dari muka laut saat ini. Hal ini akan
membuat sekitar 2000 pulau Indonesia hilang akibat tenggelam dan beberapa
kabupaten yang berada di daerah pesisir akan merasakan dampak berkurangnya
luas wilayah daratannya. Jika laju kenaikan ini tidak dikendalikan, maka
diprediksikan pada tahun 2100 muka air laut akan bertambah setinggi 7 meter, dan
LAPORAN AKHIR
Dinamika UKM Dalam Agribisnis
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
149 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis
149
diperkirakan hanya tersisa sekitar 2000-3000 an pulau di wilayah Indonesia.
Indikasi pemanasan global lain yang begitu jelas dirasakan misalnya kenaikan
suhu yang ekstrim beberapa waktu belakangan ini, misalnya suhu di Kalimantan
yang biasanya sekitar 35 derajat Celsius naik menjadi 39 derajat Celsius.
Sebagian tulisan ada yang berpendapat bahwa kenaikan muka air laut dan
berkurangnya luas daratan mungkin dapat dipandang sebagai hal yang positif bagi
sebuah negara kepulauan seperti Indonesia. Karena luas potensi kelautan yang
dimilikinya menjadi begitu besar. Masalah adalah, kajian terbaru menunjukkan
perubahan suhu bumi dan pencairan es di kutub juga mempengaruhi aliran panas
air laut yang mengakibatkan perubahan arus air laut. Perubahan ini ternyata
berdampak buruk bagi kelestarian biota laut dan ketersediaan ikan di dalamnya.
Dengan demikian pemanasan global memang menjadi momok bagi kita semua.
Peningkatan suhu, perubahan pola angin, perubahan arus laut dan perubahan
pertukaran panas menyebabkan perubahan iklim seperti suhu dan curah hujan,
yang pada akhirnya mempengaruhi keberhasilan panen dari produk agribisnis
yang dikembangkan.
Pulau Sumatera, misalnya, yang biasanya suhu berkisar pada 33-34 derajat naik
menjadi 37 derajat, dan di Jakarta yang biasanya 32-34 naik menjadi 36 derajat
Celsius, ujarnya. Untuk seluruh Indonesia, dampak yang dirasakan adalah berupa
pergeseran iklim dari yang seharusnya Juni 2006 sudah musim kemarau, untuk
Kalimantan dan Sumatera masih mengalami banjir besar dan bulan September
yang seharusnya sudah dimulai musim hujan bergeser mulai November.