buku neuro
DESCRIPTION
neuroTRANSCRIPT
8
SINDROMA TEROWONGAN KARPAL
Dr. Nushrotul Laillya, SpS
Sub. Divisi Saraf Tepid an Neuro-fisiologi
PENDAHULUAN
Salah satu penyakit yang paling sering mengenai nervus medianus adalah neuropati
tekanan/jebakan (entrapment neurophaty) yang lebih dengan Carpal Tunnel Syndrome.
Sindrom terowongan karpal (Carpal Tunnel Sydrome), yang lebih dikenal dengan singkatan
CTS adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh kompresi nervus medianus di
pergelangan tangan. Penyakit ini sering ditemukan dalam praktek sehari-hari. Istilah
terowongan karpal digunakan karena daerah yang dilewati oleh nervus medianus tersebut
berbentuk seperti terowongan dan dikelilingi oleh delapan tulang yang disebut tulang karpal.
Pada sindrom ini muncul gejala akibat jebakan pada nervus medianus, yang berjalan
melewati terowongan tersebut.
Pada tahap awal CTS biasanya unilateral dan dapat menjadi bilateral. Gejala yang
ditimbulkan umumnya dimulai dengan gejala sensorik walaupun pada akhirnya dapat pula
mengenai gejala motorik. Gejala yang pertama kali muncul dan sering dikeluhkan oleh pasien
adalah rasa baal, kesemutan, atau nyeri seperti aliran listrik pada distribusi nervus medianus,
yaitu pada ibu jari, jari telunjuk, jari tengah dan setengah bagian lateral jari manis. Gejaa ini
dapat timbul kapan saja tetapi seringkali saat bangun tidur atau sering membangunkan pasien
dari tidur (nocturnal acroparesthesias)
Sebagian besar penderita baru mencari pengobtan setelah gejala timbul beberapa
aktifitas tangan yang berlebihan dan berulang seperti fleksi dan ekstensi pada pergelangan
tangan akan menyebabkan terjadinya jebakan pada nervus medianus. Aktifitas pada tangan
yang berulang dan cepat tersebut dapat menimbulkan inflamasi di daerah sekitar nervus
medianus yang mengakibatkan jebakan nervus medianus tersebut, sehingga terjadi kerusakan
akibat kompresi mekanis atau proses iskemik. Bila proses ini berlanjut, maka akan muncul
gejala motorik berupa kelemahan atau atrofi otot. CTS dapat berhubungan dengan beberapa
keadaan seperti obesitas, hipotiroid, arthritis rematoid, diabetes mellitus dan kehamilan.
CTS merupakan salah satu penyakit yang sering menyebabkan disabilitas, sehingga
menurunkan produktivitas. Adanya gejala sensorik seringkali menjadi penyebab timbulnya
diasbilitas. Disabilitas ini akan bertambah berat bila sudah timbul gejala motorik sehingga
kualitas hidup penderita akan terganggu. Hal ini didukung oleh penelitian Manktelow (2004)
yang dalam penelitiannya mendapatkan bahwa CTS dapat menyebabkan penurunan
produktivitas dan penghasilan pada pekerja di Kanada.
Sindrom ini mempunyai angka kejadian yang cukup tinggi. Pada tahun 1992, De
Krom di Belanda melaporkan insidensi CTS sebanyak 0,6% untuk pria dan 9,2% untuk
wanita pada populasi dewasa. Di Amerika Serikat diperkirakan terjadi peningkatan insidensi
dari 1-3 per 1000 penduduk menjadi 150 per 1000 penduduk setiap tahun dengan prevalensi
melebihi 500 kasus per 1000 penduduk.
ANATOMI
Terowongan karpal adalah suatudaerah di pergelangan tangan yang merupakan
terowongan kuadrangular fibrooseus yang keras dan tidak elastis. Terowongan ini dibatasi
pada ketiga sisinya oleh tulang dan ligamentum fibrosa pada satu sisi. Bila telapak tangan
diposisikan menghadap keatas, maka terowongan tersebut terdiri dari ligamentum karpal
transversum atau fleksor retinakulum yang tebal dan padat dengan lebar 4 cm, panjang 5-6
cm dan ketebalan 2,5-3,6 mm. Bersama dengan sembilan tendon fleksor dari ibu jari dan ibu
jari, nervus karpal, nervus medianus berjalan di bawah tendon Palmaris longus, setelah
melewati terowongan nervus medianus akan memberikan persarafan sensorik ke bagian volar
dari ibujari, telunjuk, jari tengah, dan bagian radial dari jari manis dan bagian dorsal dari jari
tersebut. Selain itu cabang lateral nervus medianus akan mempersarafi motorik ke otot tenar
dari ibu jari.
DEFINISI
Sindrom terowongan karpal merupakan suatu kumpulan gejala akibat kompresi
nervus medianus pada pergelangan tangan. Penyakit ini sering ditemukan dalam praktek
sehari-hari. Istilah terowongan karpal digunakan karena daerah yang dilewati oleh nervus
medianus tersebut berbentuk seperti terowongan dan dikelilingi oleh delapan tulang yang
disebut tulang karpal. Pada sindrom ini muncul gejala akibat kompresi pada nervus medianus,
yang berjalan melewati terowongantersebut.
Aktifitas tangan yang berlebihan dan berulang seperti fleksi dan ekstensi pada
pergelangan tangan akan menyebabkan terjadinya kompresi pada nervus medianus. Gejala
sensorik, seperti baal, kesemutan atau nyeri, merupakan gejala yang pertama kali muncul.
Bila proses ini berlanjut, maka akan muncul gejala motorik berupa kelemahan atau atrofi
otot. Adanya gejala sensorik seringkali menjadi penyebab timbulnya disabilitas. Disabilitas
ini akan bertambah berat bila sudah timbul gejala motorik sehingga kualitas hidup penderita
akan terganggu.
EPIDEMIOLOGI
CTS adalah salah satu neuropati perifer terbanyak yang dapat mengenai semua
golongan usia. Dahulu CTS dilaporkan sebagai penyakit akut yang menyertai trauma pada
pergelangan tangan atau sebagai gejala yang muncul pada wanita usia pertengahan. Namun
usia sekarang ini dketahui bahwa penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia 40 sampai 60
tahun yang memiliki pekerjaan berhubungan dengan aktivitas berlebihan pada tangan.
Sebanyak 80% penderita CTS adalah wanita. Perbandingan antara wanita dan pria adalah 6:1.
Diduga perubahan hormonal memegang peranan dalam meningkatkan insidensi timbulnya
CTS pada wanita.
Pusat statistic kesehatan di Amerika Serikat memperkirakan terdapat lebih dari 2 juta
kasus CTS, menjadikan penyakit ini sebagai bentuk kerusakan akibat cedera berulang
(repetitive stress injury) tersering di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, diperkirakan akan
terjadi peningkatan insidensi dari 1-3 per 1000 penduduk menjadi 150 per 1000 penduduk
setiap tahun.
PATOMEKANISME
CTS dianggap sebagai suatu penyakit inflamasi, suatu reaksi yang secara normal
terjadi pada jaringan yang mengalami kerusakan, akibat cedera berulang, trauma atau kondisi
medis lain. Adanya proses inflamasi pada terowongan karpal yang terjadi secara terus
meneruskan menyebabkan terjadinya jebakan pada nervus medianus yang terletak
didalamnya, arthritis rematoid, diabetes mellitus, penyakit tiroid, kehamilan, dan menopause
merupakan beberapa keadaan yang dapat menumbulkan gejala CTS. Faktor mekanik dan
vascular diduga merupakan factor terpenting dalam pathogenesis terjadinya CTS. Awalnya
factor mekanik mempunyai peranan yang lebih besar, namun pada akhirnya kedua factor
tersebut akan saling mempengaruhi.
Patofisiologi terjadinya CTS tidak sepenuhnya dimengerti.Pada penderita CTS
ditemukan adanya pembengkakan pada tenosinovium, yang mengelilingi nervus medianus
pada terowongan karpal.Tenosinovium memiliki cairan synovial yang berfungsi untuk
lubrikasi dan melindungi tendon dari gesekan. Beberapa peneiliti menduga pembengkakan
pada tenosinovium disebabkan oleh adanya produksicairan synovial yang berlebihan. Selain
itu ditemukan juga penebalan dari ligamentum transversum yang merupakan atap dari
terowongan karpal. Pada operasi ditemukan adanya sclerosis dan edema vascular pada
jaringan tenosinoviumnya. Deposit amyloid pada tenosinovium juga dilaporkan terjadinnya
CTS.
Pada orang normal, tekana di dalam terowongan karpal adalah sebesar 2 mmHg
tersebut akan menginkat saat fleksi dan ekstensi dari pergelangan tangan. Tekanan sebesar
20-30 mmHg dapat memperlambat aliran darah epineurium saraf. Transport aksinal
terganggu pada tekanan 30 mmHg. Perubahan neurofisiologis berupa disfungsi motoric dan
sensorik akan muncul pada tekanan 40 mmHg. Tekanan yang lebih tinggi dapat
mengakibatkan adanya blok sensorik dan motoric hingga gejala muncul. Pada tekanan 60-80
mmHg terjadi penghentian aliran darah intraneural sehingga terjadi kerusakan sel saraf.
Walaupun saraf perifer lebih resisten terhadap iskemia, namun peregangan dan kompresi
yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya proses iskemia tersebut.
Berkurangnya aliran darah dan asupan oksigen ke nervus medianus akan
memperlambat transmisi sinyal yang melewati terowongan karpal, sehingga timbul gejala
nyeri, kesemutan, dan baal pada daerah tangan yang dipersarafi oleh nervus medianus. Hal ini
akan menyebabkan pernurunan kecepatan hantar saraf pada pemeriksaan neurofisiologis.
Pada nervus medianus penderita CTS dapat terjadi proses demielinisasi atau bila lebih berat
dapat terjadi kerusakan aksonal. Jika proses kerusakan baru mengenai myelin, maka
perbaikan akan lebih cepat terjadi dapat beberapa hari sampai beberapa minggu. Jika terjadi
kerusakan aksonal, maka regenerasi akson akan terjadi satu sampai tiga mm per hari dimulai
dari otot yang menjadi pusat persarafan.
Sistem imun yang berperan dalam proses inflamasi juga mempunyai peranan penting
dalam patofisiologi terjadinya nyeri. Penelitian yang dilakukan oleh Bennet menunjukkan
bahwa pada kerusakan saraf dapat terjadinya interaksi neuroimunologis yang memberikan
kontribusi terjadinya nyeri. Pada suatu percobaan dengan tikus didapatkan peningkatan
sitolik pada nervus medianus pada suatu cedera akibat gerakan berulang. Dari beberapa
penelitian lain didapatkan bahwa penderita CTS terdapat perubahan berupa edema,
peningkatan prostaglandin, vascular endothelial growth factor (VEGF), tumor necrosis factor
(TNF) a dan interleukin-6 (IL-6).
Awalnya kerusakan terjadi pada nervus medianus bersifat reversibel, namun adanya
peningkatan tekanan yang lama akan menimbulkan gangguan aliran darah dan perburukan
transport aksonal yang pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan epineurium yang bersifat
menetap.
ETIOLOGI
Pada umumnya kasus CTS penyebab pasti masih belum diketahui, aktivitas berulang
pada tangan umumnya diduga sebagai penyebab sindroma ini. Pengulangan gerakan fleksi
dan ekstensi pada pergelangan tangan akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan
dalam terowongan karpal. Pada suatu penelitian didapatkan hubungan yang kuat antara
pergerakan pergelangan tanganyang berulang dengan angka kejadian CTS.
Pekerjaan mempunyai hubungan yang penting dengan risiko terjadinya CTS.
Beberapa peneliti mengemukakan enam faktor risiko penting suatu pekerjaan dapat
menyebabkan CTS. Faktor risiko tersebut adalah gerakan berulang, gerakan kecepatan tinggi,
posisi sendi yang tidak nyaman, tekanan langsung pada pergelangan tangan, vibrasi dan
postur pergelangan tangan yang dipertahankan uantuk jangka waktu yang lama.
Diperkirakan faktor lokal dan faktor sistemik mempunyai kontribusi pada terjadinya
CTS. Gejala yang muncul pada CTS merupakan akibat dari jebakan nervus medianus pada
pergelangan tangan yang menyebabkan iskemi dan gangguan transport aksional.
GEJALA KLINIS
Gejala sindrom trowongan karpal dapat muncul mendadak, namun kebanyakan kasus
muncul bertahap. Nervus medianus pada pergelangan 94% berfungsi sensorik sedangkan
hanya 6% motorik sehingga adanya disfungsi dari nervus tersebut pada awalnya akan
memberikan gejala sensorik. Pada tahap lanjut akan muncul gejala sensorik. Keluhan
pendewrita CTS yang sering membawa penderita untuk berobat adalah baal, kesemutan atau
nyeri terutama pada jari tengah dan manis, area yang murni dipersarafi oleh nervus medianus.
Beberapa penderita mempunyai gejala jari terasa bengkak atau tebal. Tidak jarang penderita
mengeluhkan gejala sampai ke batas siku atu bahkan sampai ke bahu dan lama kelamaan
akan terasa baal di daerah tersebut. Gejala ini awalnya lebih banyak terasa pada malam hari
bahkan pada beberapa penderita menyebabkan terbangun dari tidur (nocturnal
acroparasthesias), namun lama kelamaan akan dirasakan sepanjang hari. Pada suatu
penelitian yang dilakukan oleh Kocer di Turki, didapatkan hubungan antara frekuensi nyeri di
malam hari dengan kerusakan nervus medianus. Anamnesis yang khas dari sindrom ini
adalah hilangnya gejala nyeri bila penderita mengibas-ngibaskan tangannya, yang dikenal
dengan tanda flick. Bila tidak ditangani dengan baik, maka progresifitas penyakit akan
berjalan terus sehingga muncul kelemahan. Bila sudah terjadi gangguan motorik, pada
anamnesis didapatkan keluhan sulit mengenggam barang, pada keadaan berat dapat
ditemukan atrofi pada otot tenar telapak tangan.
PEMERIKSAAN
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan untuk sindroma terowongan karpal antara lain:
a. Pemeriksaan sensorik
- Defisit sensorik pada area yang dipersrafi nervus medianus, bagian volar manus
digiti 1,2,3, dan setengah lateral digiti 4
- Sensibilitas getar menurun
- Gangguan diskriminasi dua titik
b. Tes provokasi
Tanda tinel
Pada tes ini dilakukan perkusi di daerah nervus medianus di sekitar pergeangan
tangan. Hasil positif bila timbul kesemutan pada ibu jari, jari telunjuk, jari tengah dan
setengah bagian medial jari manis. Tes ini memiliki sensitivitas 44-77% dan spesifitas
94%.
Tanda phalen
Pada tes ini dilakukan fleksi maksimum pada pergelangan tangan selama 60 detik.
Hasil positif bila terasa nyeri kesemutan, atau rasa baal pada area distribusi nervus
medianus. Tes ini memiliki sensitivitas 70-80% dan spesifitas 80%.
Tes kompresi karpal
Pada tes ini dilakukan penekanan pada terowongan karpal selama 30 detik. Hasil
positif bila timbul rasa nyeri atau kesemutan pada daerah yang dipersarafi nervus
medianus. Tes ini memiliki sensitivitas dan spesifitas 90%.
Tes torniket
Pada tes ini dilakukan penekanan dengan tensimeter pada tekanan darah diatas sistolik
selama satu menit. Hasil positif bila timbul parestesi atau baal. Tes ini tidak sensitf
dan tidak spesifik.
c. Tes flick
Pada tes ini penderita diminta untuk mengibaskan tangan. Bila keluhan berkurang atau
menghilang maka dikatakan positif.
d. Kelemahan pada otot tangan
e. Atrofi pada tenar
DIAGNOSIS
Diagnosis CTS berdasarkan pemeriksaan klinis dan neurofisiologis. Criteria diagnosis
menurut Harrington (1998) untuk CTS adalah nyeri atau parastesi atau anestesi pada
distribusi nervus medianus dengan salah satu dari gejala sebagai berikut: tanda tinel positif,
tanda phalen positif, gejala eksaserbasi di malam hari, kelemahan atau atrofi dari otot
abductor polisis brevis, atau gangguan konduksi saraf pada pemeriksaan NCS.
Kriteria lain yaitu menurut Rempel (1998), diagnosis dari CTS ditegakkan bila
didapatkan kombinasi dari ketiga hal berikut yaitu gejala klinis berupa nyeri atau parestesi
atau anestesi pada distribusi nervus medianus atau adanya kelemahan pada tangan, tanda
yang khas pada pemeriksaan fisik berupa tes tinel atau tes phalen yang positif dan adanya
abnormalitas pada pemeriksaan neurofisiologis yang mendukung diagnosis CTS. Pada 15%
penderita dapat ditemukan gejala khas, alaupun pemeriksaan neurofisiologis normal.
Sedangkan beberapa penderita dapat ditemukan sebaliknya, yaitu gambaran abnormal pada
pemeriksaan neurofisiologis namun tidak ada gejala yang khas bahkan tidak ada keluhan
sama sekali. Pemeriksaan NCS juga dapat digunakan untuk mengetahui efek dari pengobatan
yang diberikan.
Salah satu langkah penting dalam diagnosis CTS adalah mencari adanya keadaan atau
kondisi medis yang menjadi dasar terjadinya sindrom tersebut, selain adanya aktivitas
berulang. Van Dijk dalam penelitiannya menemukan bahwa prevalensi CTS memang tinggi
pada penderita diabetes melitus, arthritis rematoid dan hipotiroid, namun pemeriksaan
laboratorium untuk mencari kondisi medis yang mendasari harus atas indikasi.
DIAGNOSIS BANDING
1. Cervical radiculaopathy
Distribusi gangguan sensorik sesuai dengan dermatom. Secara klinis keluhan berkurang
bila leher diistirahatkna dan bertambah bila leher banyak gerakan..
2. De Quervain’s syndrome
Tenosinovitis dari tendon muskulus abduktor policis longus dan ekstensor policis brevis,
biasanya terjadi akibat gerakan tangan repetitif. Gejala yang bisa ditemukan adalah nyeri
pada pergelangan tangan dekat ibu jari. Finkelstein’s test: palpasi otot abductor pada saat
abduksi pasif ibu jari, positif bila nyeri bertambah.
3. Inoracic outlet syndrome
Terdapat atrofi pada otot-otot tangan selain muskulus thenar. Gangguan sensibilitas
sesuai dengan persarafan nervus ulnaris lenagn bawah.
4. Pronator teres syndrome
Terdapat keluhan yang menonjol di daerah telapak tangan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
NCS
Foto manus
USG
MRI tangan
PENATALAKSANAAN
Terapi untuk CTS dapat berupa tindakan konservatif atau operatif. Tindakana konservatif
dapat berupa modifikasi pekerjaan, bidai untuk pergelangan tangan, fisioterapi, terapi
akupuntur, dan terapi medikamentosa antara lain dengan obat antiinflamasi non-steroid,
diuretik, piridoksin, kortikosteroid oral dan injeksi lokal. Terapi konservatif masih
merupakan terapi baku untuk penderita CTS.
a. Modifikasi Aktivitas
Tangan yang mengalami CTS diistirahatkan dari tindakan fleksi dan ekstensi yang
berulang selama dua sampai enam minggu. Diharapkan akan terjadi perbaikan pada
jaringan yang mengalami inflamasi sehingga penekanan pada nervus medianus
berkurang.
b. Penggunaan Bidai
Penggunaan bidai untuk mempertahankan tangan dalam posisi netral dan memberikan
efek yang baik pada 80% kasus, terutama pada kasus yang masih ringan.
c. Fisioterapi
Fisioterapi setelah delapan minggu dapat mengurangi nyeri secara bermakna
dibandingkan dengan penggunaan bidai. Pada suatu penelitian dengan menggunakan
ultrasound didapatkan perbaikan bermakna pada gejala klinis dan studi konduksi saraf.
d. Diuretik vitamin B6
Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbaikan gejala dan gambaran elektro-
diagnostik dengan pemberian vitamin B6 ada CTS. Demikian juga dengan diuretic
e. Anti inflamasi Non-steroid
Ibuprofen dan peroksikam merupakan NSAID yang banyak digunakan untuk
menghilangkan nyeri pada CTS. Pada penelitian randomized controlled trials, inflamasi
non-steroid tidak menunjukkan efek yang bermakna dibandingkan dengan diuretik atau
placebo. Obat ini mempunyai efek samping pendarahan gastrointestinal bila digunakan
dalam jangka waktu lama.
f. Steroid
Penggunaan steroid dapat mengurangi gejala dengan menghambat proses inflamasi. Pada
penelitian Chang dengan diberikan prednisone dosis 20 mg perhari selama 2 minggu
dilanjutkan dengan 10 mg perhari untuk dua minggu berikutnya memberikan efektifitas
yang baik dan menunjukkan perbaikan pada pemeriksaan neurofisiologis. Pemberian
peroral dapat memberikan efek samping berupa mual, muntah, bahkan perdarahan
lambung. Pada penelitian Cochrane didapatkan bahwa injeksi steroid lokal memberikan
perbaikan klinis yang lebih baik dibandingkan steroid oral.
g. Terapi operatif
Tindakan operatif merupakan pilihan bila telah ada atrofi otot. Saat ini dikembangkan
operasi pembebasan terowongan karpal teknik terbuka terbatas (limited open carpal
tunnel release).
DAFTARPUSTAKA
Jableckick, Andary M T. Froeter M.K. Miller R G. Quartly CA, Vennix M j. et al second AAEM
literature review of the usefulness of nerve conduction studies and needle
electromyography for evaluation of patients with carpal tunnel syndrome Muscle &
Nerve 2002. 25 (suppl x): 924 – 78
National Guideline Clearinghouse. Carpal tunnel syndrome (Acute & Chronic). 2006.
Available from URL Hyperlink http://www.guideline.gov
Manktelow R.T., Binhammer P., Tomat L.R., Bril V., Szalai J.P., Carpal tunnel syndrome
cross sectional and outcome study of Ontario workers. J Hand Surg (Am) 2004: 29 (2)
3007 – 17
De Krom M.C., Knipschild P.G., Kester A.D., Carpal tunnel syndrome : prevalence in the
general population. J Clin Epidemiol 1992; 45: 373-6
Viera A.J., Ma Bland D., Do nerve conduction studies predict the outcome of carpal tunnel
decompression? Muscle Nerve 2001 ; 24(7) : 935 – 40
Kimura J. Electrodiagnosis in Diseases of Nerve and Muscie. Principles and Practise
Edition 3. Oxford University, 2001 ;719-24
Katz J.N., Simmons B.P., 2002. carpal tunnel syndrome N Eng l Med, 346(23) :1807-11
Staal A et al. Median neuropathies. Examination, Diagnosis and Treatment WB Sanders 1999
:49-68
Aminott M.J., Median neuropathies In Electromyography in clinical practice. Third edition.
Churchill Livingstone. USA, 2002: 399-421
9
TENSION TYPE HEADACHE
Dr. Yusuf Wibisono, SpS
Sub. Divisi Nyeri
Pendahuluan
Tension type headache (TTH) merupakan penyakit dengan gejala klinis paling banyak
dikeluhkan pasien rawat jalan di klinik saraf atau klinik dokter umum. Beberapa penelitian
mengindikasikan sebagai faktor pencetus dan komorbid yang banyak dijumpai.
Perkembangan mengenai klasifikasi, patofisiologi dan pengobatan TTH selalu berubah-ubah
tergantung kepada hasil penelitian dan metaanalisnya. Di dalam makalah ini juga dimuat
mengenai klasifikasi TTH terbaru menurut International Headache Society tahun 2004.
Epidemiologi
TTH adalah jenis yang terbanyak dari nyeri kepala primer. Pada penelitian Rassmussen dak
untuk jenis TTH, 59% dari populasi pernah mengalami TTH 1 hari. (Atau kurang dari 1 hari)
perbulannya, 37% mengalami beberapa kali serangan perbulannya dan 3 % nya mengalami
TTH klinik, wanita lebih banyak dari pria (1,5:1).
Selama tahun 2003 di bagian Neurologi FK Universitas Padjajaran/ RS Hasan Sadikin,
penderita TTH mengalami 65% dari seluruh pasien nyeri kepala yang berkunjung ke poli.
Sedangkan dibagian neurologi FK Universitas Sumatera Utara / RS H.Adam Malik penderita
TTH mencapai 78% dari seluruh pasien nyeri kepala yang berkunjung ke poli.
KLASIFIKASI1. TTH episodic yang infrekuen
A. TTH infrekuen yang berhubungandengannyeritekanperikranialB. TTH infrekuen yang tidakberhubungandengannyeritekanperikranial
2. TTH episodic yang rekurenA. TTH episodik yang frekuenberhubungandengannyeritekanperikranialB. TTH episodic yang frekuentidakberhubungandengannyeritekanperikranial.
3. Chronic TTH (CTTH)A. CTTH yang berhubungandengannyeritekanperikranialB. CTTH yang tidakberhubungandengannyeritekanperikranial
4. Probable TTH
A. Probable TTH episodic infrekuenB. Probable TTH yang frekuenC. Probable CTTH
KRITERIA DIAGNOSTIK1. TTH episodic yang infrekuen
A. Paling sedikit terdapat 10 episode serangan dengan rata-rata <1 hari/bulan (<12 hari/tahun) dan memenuhi kriteria B-D
B. Nyeri kepala berlangsung dari 30 menitsampai 7 hariC. Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas:
1. Lokasi bilateral2. Menekan/mengikat (tidakberdenyut)3. Intensitasnya ringan dan sedang4. Tidak diperberat oleh aktivitas rutin seperti berjalan atau naik
tanggaD. Tidak didapatkan:
1. Mual atau muntah2. Lebih dari satu keluhan fotofobia atau fonofobia
E. Tidak berkaitan dengan kelainan yang lain2. TTH episodic yang infrekuen berhubungan dengan nyeri tekan perikranial
A. Memenuhi kriteria A-E dari TTH episodic yang infrekuenB. Nyeri tekan perkranial meningkat pada palpasi manual
3. TTH episodic yang infrekuen tidak berhubungan dengan nyeri tekan perikranialA. Memenuhi kriteria A-E dari TTH episdoik yang infrekuenB. Nyeri tekan perikranial tidak meningkat.
Catatan:Pericranial tendernss = nyeri tekan pada otot perkranial (otot frontal, temporal, masseter, sternokleido mastoideus, splenius, dan trapezius) pada waktu palpasi manual yaitu dengan menekan secara keras dengan gerakan kecil memutar oleh jari-jari tangan kedua dan ketiga pemeriksa. Hal ini merupakan tanda yang paling signifikan pada pasien TTH.
4. TTH episodic yang frekuenA. Paling tidakterdapat 10 episode serangandalam 1-15 hari/bulansela paling
tidak 3 bulan (12-180 hari/tahun) dan memenuhi kriteria B-D.B. Nyeri kepala berlangsung selama 30 menit sampai 7 hariC. Nyeri kepala yang memiliki paling tidak 2 dari karakteristik berikut:
1. Lokasi bilateral2. Menekan/mengikat/tidakberdenyut3. Intensitas ringan atau sedang4. Tidak bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin seperti
berjalan atau naik tanggaD. Tidakdidapatkan:
1. Mual atau muntah2. Foto fobia atau fonofobia secara bersamaan
E. Tidak berkaitan dengan penyakit yang lain
5. TTH episodic yang frekuen berhubungan dengan nyeri tekan perikranialA. Termasuk dalam kriteria A-E dari TTH episodic yang frekuenB. Meningkatnya nyeri tekan perikranial pada palpasi normal.
6. TTH episodic yang frekuen tidak berhubungan dengan nyeri tekan perikranialA. Termasuk dalam kriteria A-E dari TTH episodic yang frekuen.B. Nyeri tekan perikranial tidak meningkat.
7. CTTHA. Nyeri kepala timbul≥ 15 hari/ bulan. Berlangsung≥3 bulan (≥ 180 hari /tahun) dan juga memenuhi kriteria B-D.B. Nyeri kepala berlangsung beberapa jam atau terus menerus.C. Nyeri kepala memiliki paling tidak 2 karakteristik berikut:
1. lokasi bilateral2. menekan/ mengikat (tidakberdenyut)3. ringanatausedang4. tidak memberat dengan aktifitas fisik yang rutin.
D. Tidak didapatkan:1. lebih dari satu: fotofobia, fonofobia atau mual yang ringan2. mual yang sedang atau berat, maupun muntah.
E. Tidak ada kaitan dengan penyakit lain.
8. CTTH yang berhubungan dengan nyeri tekan perikranialA. Nyeri kepala yang memenuhi dalam kriteria A-E dari CTTH.B. Nyeri tekan perikranial yang meningkat pada palpasi manual.
9. CTTH yang tidak berhubungan dengan nyeri tekan perikranialA. Nyeri kepala yang memenuhi dalam kriteria A-E dari CTTH.B. Nyeri tekan perikranial tidak meningkat.
10. Probable TTHPenderita yang memenuhi satu dari kelompok-kelompok criteria ini mungkin juga
memenuhi criteria dari salah satu sub form dari 1.6 probable migren.Dalam hal demikian semua informasi lain yang bisa didapat harus dipakai untuk
menentukan kemungkinan mana yang lebih tepat.
PATOFISIOLOGIPada penderita TTH didapati gejala yang menonjol yaitu nyeri tekan yang bertambah
pada palpasi jaringan miofasial perikranial. Impuls nosiseptif dari otot perikranial yang menjalar ke kepala mengakibatkan timbulnya nyeri kepala dan nyeri yang bertambah pada tempat otot maupun tendon tempat inersinya. Mekanisme timbulnya nyeri miofascial dan nyeri tekan adalah sebagai berikut:
1. Sensitisasi nosiseptor miofasial perifer.2. Sensitisasi 2nd order neuron pada level kornudorsalis medulla spinalis/ nukleus
trigeminal.3. Berkurangnya aktifitas antinosiseptif dari struktur supraspinal (decrease in
supraspinal descending pain inhibitory activity).
Padapasien TTH nyeri otot miofasial dan perikranial bisa bertambah pada saat serangan nyeri kepala ataupun pada saat penderitanya sudah bebas nyeri kepala. Pengukuran
perikranial tenderness dapat dilakukan dengan cara manual palpasi gerakan memutar dan menekan maupun dengan alat palmometer terhadap otot perikranial seperti otot frontal, temporal, masseter, pterigoid, sternocleidomastoid, splenius dan trapezius.
Metode palpasi manual untuk memeriksa nyeri kepala dengan cara palpasi secara cepat bilateral dengan memutar jari kedua dan ketiga keotot yang diperiksa. Nyeri tekan yang terinduksi dinilai dengan skor Total Tenderness Scoring system. Yaitu suatu system skor dengan 4 poin penilaian kombinasi antara reaksi behavior dengan reaksi verbal penderita:
0= tidak ada nyeri, tidak tampak reaksi mimic1=laporan secara verbal adanya rasa tidak enak atau nyeri ringan, tidak tampak reaksi mimik.2= laporan secara verbal adanya nyeri moderate, dengan tanpa adanya reaksi mimik yang kelihatan.3=laporan secara verbal jelas sangat sakit, dengan kelihatan ekspresi wajah.
Tenderness didefinisikan sebagai suatu pressure induce pain, dalam keadaan normal tenderness merupakan aktivitas fisiologis otot yang berlebihan dan proses inflamasi sendi.
TERAPIPokok strategi penanganan TTH:
1. Diagnosis menurut kriteria HIS.2. pengenalan diferensial diagnosis3. terapi farmakologik dan non-farmakologik
Penderita CTTH bisa sangat sulit untuk disembuhkan terutama jika diikuti dengan komplikasi medication overuse, comorbid psychiatry disease, low frustation tolerance dan dependensi fisik maupun emosional.Tindakan yang utama adalah:
1. Eksklusikan kemungkinan suatu nyeri kepala sekunder2. Pastikan diagnosis spesifik nyeri kepala primer3. Indentifikasi penyakit komorbid medis klinik maupun psikiatrisnya4. Terangkan sebaik-baiknya pada pasien bahwa penyakitnya akan ditangani secara
serius
Pasien diberikan suatu pendidikan dan motivasi mengenai pengobatan preventif dan washing period elimination untuk pasien yang drug overuse, biasany pasien drug overuse tidak responsif terhadap pengobatan akut maupun preventif pada masa 2-10 minggu sesudah proses eliminasi obat.
A. Terapi FarmakologiA. I. Pada serangan akut Tidak boleh melebihi 2 kali/minggu.
1. Analgetik: Ibuprofen 800 mgr/hari, acetaminofen 1000 mgr/hari, aspirin 1000 mgr/hari, naproxen 660-760 mgr//hari, diclofenac 50-100 mgr/hari.
2. Coffein (nalgetik ajuvan) 65 mg3. Kombinasi: 325 mg aspirin, acetaminophen + 40 mg caffein.4. Muscle relaxant
Contoh-contoh muscle relaxant: cyclobenzapine, chlorzoxazone, orphenadine citrat, eperison hidrochloride, carisoprodol, metaxolone, muscle relaxant seperti golongan diazepam justru kurang direkomendasikan karena sifat potensial habituasinya terhadap kondisi penyakit CTTH.
A. II. Untuk akut dan kronik:
1. Anti-depresan.Sebaiknya pemilihan obat menurut tidaknya gangguan tidur pada pasien, jika pasien tidak ada gangguan tidur sebaiknya dipakai anti depresan yang non-sedatif seperti: fluksetine, bupropion, nefadozon, desipiramin, sentralin, venlafaxin, protriptilin. Sedangkan pasien yang mengeluh insomnia bisa dipakai: amitryptiline, nortriptiline, trimipramine, doxepin, imipramine, trazodone.Penggunaan antidepresan, terutama jenis trisiklik (amitriptilin) sering diteliti sebagai terapeutik maupun sebagai pencegahan TTH. Headache, obat ini mempunyai efek analgetika dengan cara mengurangi firing rate of trigeminal nucleus caudatus.
2. Anti-ansietasBermanfaat untuk pengobatan akut dan preventif terutama dengan komorbid ansietas. Golongan benzodiazepin dan butalbutal sering digunakan orang, akan tetapi bersifat adiktif, sulit dikontrol dan bisa memperburuk sindroma nyeri kepalanya. Obat barbiturat dan benzodiazepin harus diturunkan secara perlahan untuk menghindari timbulnya gejala withdrawl yang serius. Contoh golongan benzodiazepin yang digunakan: buspirone, lorazepam, alprazolam, diazepam dan klorazepat.
3. Botulinum toxin A (botox)Sering digunakan pada TTH, myofascial pain, cervicogenik headache, chronic daily headache, akibat drug overuse atau yang refrakter. Disuntikkan didaerah frontal, temporal, glabeler, oksipital, trapezeus, sternocleidomastoideus, tergantung dimana tempat nyeri tekan. Diberikan pada sekitar 12 tempat dengan dosis 2 unit. Dosis bisa maksimal 50-100 U. Hasilnya masih dalam penelitian. Ada yang menyebutkan bahwa ini lebih baik daripada biofeedback maupun terapi fisik yang lain.
B. Terapi non-farmakologiB.I. Terapi behaviour.Bisa dilakukan biofeedback, stress management terapi reassurance, konseling, terapi relaksasi, cognitif behaviour therapy.B.II. Terapi fisik.
1. Latihan postur dan posisi.2. Massage, ultrasound, manual terapi, kompres panas/dingin.3. Traksi4. Akupuntur dan TENS (transcutaneus electrical stimulation)
B.III. Terapi psikologisHarus diberikan penerangan yang jelas mengenai patofisiologi sederhana dan pengobatan penyakit tension type headache dan diterangkan bahwa penyakitnya bukanlah penyakit yang serius seperti: tumor otak, perdarahan otak dan sebagainya.
10
NYERI PUNGGUNG BAWAH
Dr. Henny AnggrainiSadeli, SpS(K)
Sub. DivisiNyeridan Neuro-rehabilitasi
PENDAHULUAN
Nyeri punggung bawah (NPB) atau low back pain dikeluhkan oleh hampir 80% orang dewasa
selama hidupnya dan merupakan penyebab disabilitas serta absen kerja tersering kedua.
Sekitar 85% kasus merupakan NPB non-spesifik. Prevalensi NPB
meningkatsesuaibertambahnyausiadan paling seringterjadipadausia decade tengahdanawal
decade empat. Insidensi berdasarkan kunjungan pasien rumah sakit yang diteliti penulis
mendekati 3% dan lebih dari setengahnya berusia decade dua sampai awal decade empat.
Penyebab NPB banyak dan bervariasi (lihat table 1). Triage
klinisdilakukandengancaradenganmembagi NPB menjadi : (1) NPB dengankelainan-
patologik-serius (red flags),(2) NPB non-spesifikdan (3) NPB
dengansindromaradikulertermasukkanalis stenosis,
dengantriageinikitadapatmenghindarkanpemeriksaanpenunjang yang
tidakperludanpenangananakanlebihterarah.
Jenis yang perludiwaspadaiadalah NPB denganred flagslanjut yang
dapatdisertaidengansindromaradikuler. Pemeriksaanneuroimejingdantes diagnostic yang
sesuaidiperlukanpada NPB denganred flags, sebaliknyapada NPB non-
spesifikpemeriksaanfotopolosdan neuro imejingtidakrutindilakukan. Penyebab NPB
denganred flagsadalahfraktur vertebra, infeksi,
neoplasma/keganasanatauditandaiolehsindromakaudaekuinadan deficit neurologisberat.
Pembagian NPB inimembantukitadalammenentukanterapidan prognosis.
Faktor yang berperan dalam perubahan NPB menjadi kronik adalah faktor biopsikososial
(yellow flags). Penapisan ini dapat mengidentifikasi risiko NPB menjadi kronik dan juga
kemungkinan terjadinya disabilitas. Sekitar 90% NPB tanpa tanda red flags mengalami
penyembuhan spontan dalam 1 sampai 6 minggu dan cenderung berulang. Umumnya NPB
non-spesifik dengan sindroma spontan dalam dua minggu dan sebagian kecil dalam 6-12
minggu. Hanya 1-2% kasus yang memerlukan evaluasi untuk tindakan bedah.
DEFINISI
NPB adalah nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah dapat berupa nyeri lokal, nyeri
radikuler atau keduanya. Nyeri ini terasa diantara tepi iga terbawah dan lipat bokong bawah
yaitu didaerah lumbal atau lumbosakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri kearah
tungkai dan kaki.
Nyeri yang berasal dari daerah punggung bawah dapat dirujuk ke daerah lain atau sebaliknya
nyeri yang berasal dari daerah lain dirasakan di daerah punggung bawah (referred pain atau
nyeri alih).
Berdasarkan waktu onset, NPB dikategorikan atas akut, subakut, dan kronik. NPB akut
terjadi dibawah 6 minggu. NPB subakut apabila nyeri menetap sejak enam minggu sampai 12
minggu awitan nyeri walau ada yang berpendapat sejak empat minggu awitan. Bila nyeri
dalam satu serangan menetap lebih dari 12 minggu atau melebihi periode waktu
penyembuhan dikatakan NPB kronik.
FAKTOR RISIKO
Dengan mengurangi atau menghilangkan faktor risiko diharapkan dapat mengurangi insidensi
NPB. Faktor risiko dibagi atas faktor fisik, pekerjaan/okupasi dan psikososial. Faktor fisik
adalah awitan NPB usia 35-55 tahun, riwayat NPB sebelumnya, kehamilan terutama trimester
ketiga, kebugaran, merokok, nyeri kepala dan mungkin kecanduan obat. Faktor pekerjaan
yang berisiko adalah posisi tubuh statik seperti duduk atau berdiri lama, tubuh terpapar
getaran seperti pengemudi (truk), mengoperasikan alat bergetar, sering mengangkat/menarik
beban berat, membungkuk dan berputar.
Faktor psikososial yang bermakna misalnya adalah rendahnya kepuasan kerja dan dukungan
sosial. Faktor risiko lain adalah tuntutan kerja dan tuntutan mutu tinggi, muatan kerja rendah
bahkan kehidupan pribadi.
Pada populasi umum faktor risiko psikososial yang terbukti adalah sikap (attitude), kognisi,
fear-avoidance belief, depresi, ansietas, distres dan riwayat kekerasan fisik.
Tabel 1. Beberapa Penyebab NPB
Etiologi Contoh
Tumor/neoplasma Primer
Neurinoma, meningioma
Sekunder
Infeksi Spondilitis, osteomielitis
Fraktur vertebra
Kelainan metabolik Osteoporosis
Inflamasi Ankilosing spondilitis, rematoid arthritis
Osteoarthritis sendi faset
Degenerasi diskus
Hernia nucleus pulposus (HNP)
Kanal stenosis
Spondilolistesis, spondilosis
Strain, sprain lumbosakral
PATOFISIOLOGI
Daerah lumbo sakral memiliki banyak jaringan peka nyeri yang mengandung reseptor nyeri
(nosiseptor) antara lain: kulit, jaringan subkutan, kapsul dan sendi, ligamentum, vertebra,
lapisan luar anulus fibrosus, duramater dan jaringan epidural fibroadiposa, dinding pembuluh
darah dan saraf. Nosiseptor tersebut tidak aktif (silent nociceptor) tetapi akan teraktivasi atau
tersensitisasi oleh mediator inflamasi yang timbul akibat trauma mayor atau trauma kumulatif
terutama yang berhubungan dengan pekerjaan sehingga timbul nyeri inflamasi. Sebagai
contoh fraktur atau terjebaknya meniskus pada sendi faset yang dipersarafi ramus dorsalis n.
Spinalis atau adanya inflamasi sendi sakroiliaka. Nyeri diskogenik timbul bila diskus
mengalami degenerasi atau terjadi herniasi nukleus ke kanalis spinalis. Diskus tidak berfungsi
sebagai peredam kejut lagi, timbul inflamasi pada diskus dan jaringan sekitar termasuk saraf.
Berkurangnya tinggi diskus menyebabkan perubahan biomekanik dan strain ligamentum
sekitar. Ligamentum sebenarnya membantu menjaga integritas tulang belakang
memungkinkan gerakan arah tertentu terbatas dan berperana mengurangi badan besar.
Adanya sumber nyeri menyebabkan stimulasi ke kornu dorsalis medula spinalis
sehingga menjadi lebih sensitif terhadap stimulasi yang tiba (sensitisasi sentral). Pasien
mengeluh hiperalgesia atau alodinia (rangsang normal tidak terasa nyeri). Pemberian
analgetik sedini mungkin akan mencegah hal ini. Selain nosiseptor ditemukan pula
mekanoseptor pada kulit, jaringan subkutan, kapsul sendi faset, periosteum vertebra dan otot
lumbosakral yang berperan dalam terapi seperti Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation
(TENS) dan pijat. Sebagaii proteksi nyeri dapat timbul spasme otot paraspinal dan timbul
iskemia otot yang lebih memperburuk keadaan.
Setelah menembus kantong durameter, radiks ventralis dan dorsalis bersatu
membentuk nervus spinalis di foramen interverebralis, mengisi 35%-50% ruang foramen
bagian atas. Radiks dorsalis terletak di posterior dan superior radiks ventralis. Di dalam
foramen radiks terbungkus arachnoid dan dura berlanjut sepanjang saraf bagian perineum.
Nervus Spinalis bercabang dua yaitu ramus ventralis dan dorsalis yang mempersarafi jaringan
di daerah lumbo-sakral.
Pada NPB dengan sindroma radikuler nyeri dapat berupa nyeri radikuler dengan atau
tanpa radikulopati lumbal. Nyeri radikuler adalah nyeri neuropatik akibat aktivasi ektopik,
deformitas mekanik, inflamasi, lesi iskemik ganglion atau saraf radiks dorsalis. Gejala ini
dapat dijumoai pada stenosis foramen atau prolaps diskus intervertebralis yang secara
mekanik mengganggu ganglion atau akson saraf. Eksudat berupa mediator inflamasi yang
dikeluarkan dari diskus prolaps atau sekunder dari jaringan sekitar saraf, dan dari sendi faset
bisa mengakibatkan nyeri radikuler. Pelepasan fosfolipase A2 (PLA2) dan glutamat serta
pesan substansi P, histamin, dan lekotrin dianggap bertanggung jawab akan hal ini. Istilah
skiatika sebaiknya tidak dipakai lagi karena membedakan dengan nyeri alih ke tungkai.
Diagnosis radikulopati lumbal digunakan apabila secara objektif ditemukan defisit
sensorik dan motorik pada pemeriksaan neurologik atau elektrodiagnostik, hal ini terjadi
akibat adanya blok konduksi saraf pada akson nervus spinal atau radiks. Parestesi pada
distribusi dermatomal dapat disebabkan oleh iskemia saraf spinal atau radiks dan
menggambarkan mulai terjadi gangguan blok konduksi saraf. Setiap lesi uuyang
menyebabkan blok konduksi saraf baik berupa kompresi mekanik langsung ke akson saraf
atau secara tidak langsung melalui gangguan suplai darah atau nutrisi dapat menimbulkan
radikulopati lumbal; seperti pada stenosis foramen intervertebralis, prolaps diskus dan
inflamasi kronik radiks ssaraf.
Sekuestrasi nukleus pulposus masif sentral akan mengenai beberapa radiks kauda
ekuina sehingga timbul gangguan miksi dan defekasi disertai nyeri hebat (sindroma kauda
ekuina).
Seluruh otot ekstensor, fleksor dan abduktor punggung berperan dalam stabilitas
ekstrensik dalam menahan beban. Disamping itu otot batang tubuh mengubah ruang abdomen
dan ruang torakal menjadi sebuah tabung kuat sehingga dapat mentransmisi tenaga dari
kolumna vertebralis sehingga beban kolumna berkurang. Pada usia 20 sampai 50 tahun
elemen otot menghilang dengan bertambahnya usia dan berkurangnya aktivitas; proses ini
akan dipecepat bila seseorang tidak beraktivitas lama sehingga proteksi otot berkurang.
Aktivitas yang kurang akan mempengaruhi otot, massa tulang dan sendi, selain itu juga
berpengaruh pada otak, medula spinalis serta organ lain seperti jantung, paru, pencernaan dan
juga neurotransmitter seperti serotonin, enkefalin dan endorfin.
Seccara biomekanik, 80-85% gerakan fleksi-ekstensi punggung terjadi pada diskus
intervertebralis vertebra L IV-V dan vertebra LV-SI. Pada hernia nukleus pulposus (HNP),
tekanan ke arah posterolateral akakn menekan radiks dorsalis dan menimbulkan sindroma
radikuler. Herniasi ke arah tenga atau ke dalam korpus vertebra tidak akan mengenai radiks
saraf. Hernia diskus LV-SI pada umumnya akan mengenai radiks SI, tetapi bila protusi ke
lateral akan mengenai radiks LV dan pada hernia besar akan mengenai kedua radiks tersebut.
Radiks yang sering terkena adalah radiks saraf SI disusul dengan radiks LV dan LIV. Radiks
saraf yang lebih atas jaang terkena.
Terjadinya cedera yang menyebabkan NPB akan menyebabkan gejala klinis yang
beratnya tergantung pada kemampuan diskus intervertebralis menyerap beban yang
diberikan. Nachemson dan Moris telah mengukur tekanan interdiskus berbagai posisi tubuh,
hal ini sangat bermanfaat sebagai pertimbangan dalam penanganan NPB. Beban yang
ditanggung diskus intervertebralis LIII akan makin meningkat dalam posisi tubuh berturut-
turut: tidur terlentang – tidur sesisi – berdiri tegak – berdiri bungkuk – duduk – duduk
bungkuk (Finneson, 1981). Sikap tubuh dalam bekerja yang berhubungan dengan NPB
terbanyak yang diteliti penulis adalah duduk dan mengangkat berat.
PEMERIKSAAN PENDERITA NPB
Dalam menghadapi kasus NPB kita harus mencari adanya tanda-tanda red flags dan
sindroma radikuler termasuk adanya stenosis kanalis. Bila tidak ditemukan tanda ini, bisa
dianggap NPB termasuk non-spesifik murni. Anamnesis dan pemeriksaan terarah sangat
membantu mencari adanya tanda-tanda red flags (tabel2). Setelah menyingkirkan tanda red
flags, maka selanjutnya dicari gejala yellow flags yang mengarah pada kemungkinan NPB
berkembang menjadi disabilitas kronik.
ANAMNESIS
Pada anamnesis hendaknya dapat digali mengenai lokasi, penjalaran, sifat, intensitas
nyeri, kapan terjadinya keluhan, keadaan saat awitan, dan lamanya nyeri. Jangan lupa untuk
ditanyakan mengenai perjalanan penyakit, factor yang memberatkan dan meringankan,
hubungan dengan posisi dan waktu, aktivitas harian, serta pekerjaan sehari-hari yang
dilakukan. Adakah deficit neurologi dan keluhanviseral. Riwayat penyakit dahulu serta status
psikologis juga merupakan hal yang harus digali dalam melakukan anamnesis.
Pertanyaan penting sehubungan dengan NPB agar mudah diingat adalah “PQRST”
.Provocative and Palliative factors, Quality of pain, Radiation, Severity and Systemic
Symtoms, and Timing.Pertanyaan yang mengarah ke red flags padatabel 2.
Tabel 2. Red flags NPB mengarahkelainanpatologikserius
Awitan NPB usia diatas 55 tahun
Riwayat trauma bermakna (termasuk trauma ringan pada usia lanjut atau berpotensi
osteoporosis)
Nyeri konstan progresif memburuk dengan berbaring
Deformitas struktural
Riwayat keganasan
Kecanduan obat terutama suntikan
Pemakaian steroid lama
Pemakaian imunosupresan
Luasnya gejala dan tanda neurologic seperti disfungsi kandung kencing, saddle
anesthesia, hilangnya sensibilitas progresif dengan atau tanpa hilangnya motorik
sesuai radiks saraf yang baru terjadi
Kelainan neurologic menetap sampai satu bulan
Restriksi fleksi lumbal berat (kurang dari 5cm)
Demam
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pemeriksaan dalam posisi tegak, tidur terlentang, telungkup. Bagian yang
nyeridiperiksa paling akhir.
Pada posisi tegak dilihat cara berjalan, apakah pasien dapat jongkok dan berdiri serta
fungsi intergritas sendi panggul dan tungkai. Perhatikan tulang belakang, paraspinal, bokong
dan kedua tungkai, juga dinilai mobilitas punggung.
Pada posisi telentang, dicari lesi primer pada nyeri alih atau metastasis. Dilakukan
pemeriksan neurologic termasuk tes Laseque. Hasil pemeriksaan otot, reflek dan sensibilitas
dapat menyimpulkan tinggi lesi.
Pada posisi telungkup. Perhatikan tulang belakang, paraspinal, bokong dan dicari lesi
primer nyeri alih.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Neurofisiologis
Pemeriksaan ini dilakukan pada NPB dengan penjalaran nyeri ke tungkai dan dapat
membantu menentukan tinggi lesi, derajat disfungsi serta menentukan relevansinya dengan
gambaran imejing. Yang banyak dikerjakan adalah kecepatan hantar saraf tepi dan
elektromiografi (EMG). Respons lambat berupa gelombang F dan reflex H, sedangkan
somatosensory Evoked Potential (SEP), umumnya diperiksa n.tibialis posterior atau
n.peroneus. SEP sensitive untuk kanal stenosis yang disertai mielopati. Selain itu dilakukan
pula pemeriksaan Motor Evoked Potential (MEP).
Blok Saraf
Selektif blok radiks saraf dan suntikan intradiskal merupakan tindakan diagnostic dan
terapi. Berguna menentukan tinggi lesi dan mengetahui asal nyeri. Dengan monitor video
jelas terlihat hubungan respons pasien (subjektif) dan respons fisik (objektif).
Neuroradiologi Fotopolos
Fotopolos lumbosacral tidak dilakukan rutin pada NPB akut, kecuali ditemukan red
flags. Pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan pada NPB dengan disabilitas lebih dari enam
minggu. Foto polos berguna melihat fraktur dan dislokasi. Biasanya cukup proyeksi AP dan
lateral. Foto oblik bila dugaan spondilolistesis atau kelainan sendi faset. Kadang diperlukan
pemeriksaan proyeksi lateral posisifleksi-ekstensi. Pada HNP foto polos lumbo sacral
menunjukkan pengurangan tinggi diskus intervertebralis setelah 4-6 minggu dan foto
bermakna bila ditemukan kalsifikasi nucleus pulposus atau annulus fibrosus. Perhatikan juga
kelainan visera dan paraspinal padafoto.
Mielografi
Beberapa kelainan yang dapat dilihat adalah HNP, tumor, kista, hematom, kanal
stenosis dan arah noiditis.Indikasi mielografi dan imejingya itu dugaan neoplasma, NPB
subakut, kegagalan dengan terapi konservatif, rencana operasi, dan paresis nyata pada
radikulopati.
Computer Tomography scan (CT scan)
Pemeriksaan imejing tidak rutin dan tidak harus secepatnya pada NPB akut subakut
dan tanpa tanda bahaya. CT scan cukup efektif bila tinggi lesi diketahui. Dapat melihat
kelainan tulang dan sendi, serta degenerasi tetapi kurang baik menilai isi kanalis spinalis.
Membantu diagnosis kanal stenosis. Kadang diperlukan pemeriksaan Mielogram-CT scan.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan ini berguna bila tinggi lesi belum jelas. Terutama melihat defek intra dan
ekstradural serta melihat jaringan lunak.MRI diperlukan pada neoplasma, infeksi, HNP atau
deficit neurologic menetap dan nyeri menetap tanpa gejala –tanda neurologic selama empat
sampai delapan minggu. Pada lesi medulla spinalis, MRI merupakan pilihan.
Perlu diperhatikan bahwa prolapse diskus intervertebralis ditemukan pada 25% subjek
asimtomatik usia dibawah 60 tahun dan 33% pasien berusia lebih dari 60 tahun.
Tindakan
Blok saraf somatic dengan anastesi local dapat membantu menentukan lokasi lesi bila
pemeriksaan lain tidak menunjang walau masih ada yang meragukan. Apabila dicurigai nyeri
miofasial, suntikan titik picu dapat sebagai diagnostic selain terapetik.
LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium atas indikasi seperti laju endap darah, darah perifer lengkap, C
reaktif protein (CRP), factor rematoid, fosfatase alkali/asam kalium. Urinanalisis berguna
untuk penyakit non-spesifikseperti infeksi, hematuria.
TERAPI
Pada NPB dengan red flags dan sindroma radikuler harus dilakukan pemeriksaan
penunjang lebih lanjut atau dirujuk untuk mendapat terapi sesuai penyebabnya.
NPB AKUT
Penderita NPB akut non-spesifik perlu diberi keterangan mengenai penyakitnya dan
ditenangkan. Tujuan terapi harus tergambar jelas dan pastikan terdapat persamaan persepsi
antara dokter dan pasien. Dengan mengenali adanya tanda awal yellow flags akan mencegah
nyeri menjadi kronik. Pasien diminta tetap aktif sesuai dengan aktivitas sebelumnya,
sehingga diharapkan dapat kembali bekerja secepat mungkin.
Tirah baring pada NPB akut non-spesifik tidak akan memberikanmanfaat, bahkan
berdampak buruk. Pada kondisi yang tertentu seperti radikulopati akut, dapat dilakukan tirah
baring selama dua atau tiga hari, namun tidak lebih dari seminggu dan secepatnya kembali
ke aktivitas asal. Posisi berbaring supinasi semi-flower panggul dan lutut tetap fleksi.
Terapi yang dapat diberikan adalah analgesic jangka pendek sepertiobat anti
inflamasi non-steroid (OAINS) atau parasetamol dengan memperhatikan efeksamping. Bila
nyeri hebat kadang perlu analgetik opioid jangka pendek. Terapi dapat dikombinasi dengan
relaksan otot untuk mengurangi spasme otot, nyeri dan meningkatkan mobilitas dalamsatu-
dua minggu. Lidokain patch local dapat membantu mengurangi nyeri.
Terapi latihan (exercise) tidak diperlukan pada NPB akut non-spesifik (Hayden, 2005)
walau masih ada yang mencoba latihan penguatan otot abdomen. Bila NPB lebih dari empat
minggu atau menjadi subakut dipertimbangkan untuk melakukan latihan fisik aktif
terprogram sesuai pekerjaan dengan tujuan dapat kembali bekerja. Sebagian ahli menentang
tindakan ini, meskipun demikian diyakini terapi latihan ini dapat mengurangi bolos kerja,
mengurangi nyeri, menguatkan otot, meregang otot, mengurangi stress mekanik pada spinal,
memperbaiki kebugaran, posisi tubuh dan mobilitas.
Manipulasi spinal member hasil kontradiktif pada NPB akut. Agaknya manipulasi
dapat meredakan nyeri dalam jangka pendek dan dapat meningkatkan aktivitas jika dilakukan
oleh yang ahli yang berpengalaman.
Terapi pijat biasanya merupakan bagian dari keseluruhan terapi. Stimulasi mekanik
menyebabkan peningkatan sirkulasi. Efektifitasnya pada NPB akut belum jelas.
Terapi modalitas dingin (cryotheraphy) atau panas (thermotheraphy) dapat
mengurangi nyeri atau spasme. Dilakukan pemijatan dengan es 10-30 menit setiap dua jam
selama dua sampai empat minggu pertama. Terapi dingin dapat mengurangi nyeri dengan
menghambat serabut saraf, mengurangi edema dan spasme otot karena efek metabolism local
menjadi berkurang, disertai dengan efek vasokontriksi serta aktifitas spindle otot.
Terapi panas terdiri dari pemanasan superfisial dan dalam. Dengan pemanasan
superfisial, panas menembus jaringan subkutan seperti pak hidrokolator, bantal pemanas,
pemanasan inframerah, whirlpool. Pemanasan dalam terdiri dari diatermi dan ultrasound
yang akan menembus sampai otot, tulang dan sendi. Terapi panas tidak dianjurkan pada
gangguan mental, gangguan sensibilitas dan sirkulasi serta edema. Efektifitas kedua terapi ini
pada NPB akut tidak jelas terbukti. Dikatakan continuous low-level heal wrap therapy
(CLHT) dapat memberikan hasil yang lebih baik.
TENS dapat diaplikasikan pada otot paraspinal, sciatic notch dan paha bagian
belakang. Alat ini tidak boleh dipakai pada pasien dengan alat pacu jantung. Pemakaian
TENS pada NPB akut tidak terbukti dapat meredakan gejala atau memperbaiki fungsional
pasien.
Terapi bedah adalah terapi yang paling akhir dipertimbangkan. Hasil penelitian yang
membandingkan pasien hernia nukleus pulposus yang dioperasi dan tanpa operasi
memperlihatkan bahwa kelompok yang dioperasi pada awalnya menunjukan perbaikan cepat
tetapi outcome kedua kelompok menjadi sama dengan berjalannya waktu. Indikasi tindakan
bedah pada NPB akut adalah dugaan sindroma kauda ekuina, deficit neurologik yang
semakin memburuk atau nyeri yang resisten terhadap terapi konservatif.
NPB KRONIK
Penanganan NPB non-spesifik kronis lebih bersifat multidisipliner. Kasus ini melibatkan
banyak pihak secara holistic, baik pasien, dokter, fisioterapis, dan pihak-pihak yang terkait.
Dalam satu tahun diharapkan nyeri terkendali dan secara fungsional meningkat walau secara
keseluruhan hanya paliatif. Terapi terutama berisi program fisik intensif dan restorasi
fungsional serta program psikososial yang terdiri dari edukasi, program latihan aktif, terapi
kognitif perilaku, latihan relaksasi dan kunjungan tempat kerja.
Penerangan secara jelas mengenai penyakit serta edukasi mengenai pengaturan sikap
tubuh dalam aktivitas harian yang makin meningkat selalu diperlukan, terapi latihan aktif
terprogram dan intensif termasuk aerobic ditujukan untuk memperkuat otot batang tubuh
sehingga membantu pasien kembali ke aktivitas harian normal dan kembali bekerja. Secara
bersamaan dapat ditambahkan terapi modalitas seperti diatermi dan ultrasound. Dengan
latihan selain mampu menguatkan batang tubuh, meregang struktur muskulotendineus,
menurunkan berat badan, juga dapat memperbaiki fungsi (Hayden, 2005). Beberapa peneliti
masih beranggapan back school jangka pendek berguna. Hindari tirah baring atau istirahat.
Terapi perilaku (behavior theraphy) berupa terapi relaksasi dan cognitive behavior
theraphy dilakukan multidislipiner walau dikatakan tidak berbeda bermakna dengan terapi
latihan. Masih ada yang berpendapat EMG biofeedback berguna.
Pemberian analgetik jangka pendek seperti asetaminofen, OAINS, willow bark dan
relaksan otot berguna pada NPB rekuren yang relaps. Opioid mungkin diperlukan pada nyeri
berat persisten walau efeknya parsial dan hati-hati efek samping dan toleransi. Antikonvulsan
terbaru diberikan untuk nyeri kronik kontinyu terutama NPB disertai nyeri neuropatik.
Beberapa antidepresan telah diteliti untuk mengurangi nyeri tetapi efektifitasnya masih
kontradiksi. Berguna bila NPB disertai masalah biopsikososial seperti depresi.
Beberapa penelitian memberikan suntikan fenol pada ligamentum. Suntikan
kombinasi kortikosteroid dan anestetik lokal pada titik picu lebih baik dalam meredakan nyeri
disbanding hanya anestesi lokal saja. Nyeri mereda setelah tiga bulan. Suntikan steroid
epidural dengan atau tanpa kombinasi dengan anestesi local memberi hasil kontradiksi.
Pemberian toksin botulinium tipe A pernah dicoba untuk NPB dengan spasme otot.
Traksi, manipulasi spinal, TENS, biofeedback, injeksi sendi faset dan sendi
sakroiliaka memperlihatkan hasil kontradiksi bahkan terbukti tidak berguna. TENS hanya
mengurangi nyeri dalam jangka pendek.
Pijat bermanfaat untuk sebagian pasien walau penelitian menunjukan hasilnya
kontradiksi.
Korset dan brace Alat ini dipakai untuk membatasi gerakan spinal, memperbaiki posisi
tubuh dan mengurangi stres pada mekanik lumbal bawah tetapi tidak tidak terbukti lebih baik
dibannding intervensi lain pada NPB baik pada akut atau kronik. Alat penunjang lumbal yang
kaku mungkin secara subjektif akan berefek pada NPB kronik.
Beberapa penulis menganjurkan terapi reduksionisme seperti radio frequency medial
branch neurotomy bila sumber nyeri berasal dari sendi faset dan intradiscal electrothermal
therapy (DET) pada lesi diskus intervertebralis tetapi belum didukung penelitian yang valid
Tindakan bedah dipertimbangkan bila penanganan konservatif wat selama dua sampai
empat bulan gagal disertai adanya defek struktural
PROGNOSIS
NPB akut yang pertama kali terjadi akan mengalami perbaikan dalam dua sampai enam
minggu. Sekurang-kurangnya 60% pasien NPB akut dapat kembali bekerja dalam satu bulan
dan go% pasien akan kembali bekerja dalam tiga bulan umumnya sembuh datar dua bulan,
hampir 10% yang menjadi kronik. Apabila tidak ada perbaikan gejala secara bermakna dalam
empat sampai enam minggu awitan harus dilakukan penilaian ulang rencana terapi.
Bila NPB berhubungan dengan pekerjaan, serangan ulang terjadi pada60% pasien
dalam satu tahun usia lanjut, pendidikan rendah, fear avoidance belief, gejala awal berat,
penanganan lambat, disabilitas yang meningkat berisiko memperlambat perbaikan atau
menjadi kronik. Lebih dari sepertiga pasien NPB kronik mengalami perbaikan dalam satu
tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Addison RG. Chronic Low Back Pain The Clinical of Pain 1985. (1): 50 - 9
Adie O.B. Evaluation of the Patient with Low Back pain Post Graduate Medicine 1988, 84
(3) : 111 - 9
Bogduk N. The innervation of the Lumbar spine, Spine 1983. 8 (3) :286 - 91
Bogduk N. clinical updated management of chronic Low Back pain MIA 2004; 180(2) :79 - 83
Bogduk N, Tulder M, Lipton s Low Back Pain dalam Pain 20os. An updated M. Review, IASP
Press, 2005.
Bossaco J., Berman A T Surgical Management of Lumbar Disc Disease Radiologic Clin s of N.
Am. 1983: 21 (2) ;377-9)
Brattonam RL Assessment and Management of Acute Low Back Pain Am Fam Psy 1999, vol
60, no 8
Burton c v. Cassidy i D omia Epidemiology and Risc Factors dalam Managing Low Back Pain.
Ed. 3 Ed. Kirkaldy WH., Burton C.V., Churchill Livingstone, New York, 1992.
Calliet R. Low Back Pain syndrome 3" ed. Philadelphia: FA. Davis Company 1984.
Campbell F.A., Atcheson R: Chronic Back Pain dalam Clinical Pain Management Chronic pain.
Ed. Jensen T.S., Wilson P.R., Rice A.S.C., Arnold, London, 2003
Carragee E.J., Persistent Low back Pain. NEJM. May 2005. no 18, vol 352: 1891 - 98
Costa L.M., dkk Prognosis for patients with Chronic Low Back Pain inception : cohort
study, BMJ 2009: 339 ; b3829
Finneson B.E., Low Back Pain 2nd ed .Philadelphia : J.B. Lippincott Company 1981
Frymoyer U.W., Pope M.H., Constanza M.C., Rosen J.C.: Epidemiologic Studies of Low Back
Pain Spine 1980: 5 (5) :419 – 222
Hayden I.A., dkk. Metaanalysis Exercise Theraphy for Nonspecific Low Back Pain. Ann Intern
Med. 2005. 142 : 765 – 75
Henny A.S. Pola Penyebab Pasien Nyen Pinggang di Labu/UPF llmu Penyakit Saraf
Fakultas Kedokteran Umum/ RS Hasan Sadikin, Bandung. Tesis untuk spesialis Penyakit
Sarat, 1991
Henny A.S., Neuroimejng pada NPB dalam Nyeri Punggung Bawah. Ed Lukas M. dkk
PERDOSSI. ISBN 979 95994 – 8 – 2
Henny A.S., Nyeri Punggung Bawah dalam Nyeri Neuropatik ed. Lukas M dkk PERDOSSI
Medikagama Press 2008 ISBN 978-979-1645-5-7
Imaging strategies for Low Back Pain systematic Review and Meta Analysis. The Lancet.
Vol 373 : 9662:463-472, 2009 (abstract)
Katznelson A., Nerubay J., Level A Gluteal Sky Line (GSL). Spine 1982, 7: 74 – 95
Kieffer S.A., Peterson H.O. Introduction to Neuroradiology. New York : Harper & Row
Publisher 1972 : 185 – 93, 202 – 31
Koes B. Tulder MV. Acute Low Back Pain. AmFamPsy Sept 2006, vol 74 no 5.
Loeser J.D. Low Back Pain Dalam Bonica's Management of Pain Edisi 3 Ed Loeser