buku putih seorang demonstran
TRANSCRIPT
1
http://www.antaranews.com/berita/403954/buku-putih-seorang-demonstran
Buku putih seorang demonstran Kamis, 7 November 2013 10:10 WIB | 2337 Views
Oleh Sapto HP
Buku "Anak Anak Revolusi" karya Budiman
Sudjatmiko yang diterbitkan Gramedia Pustaka
Utama pada Oktober 2013.
(Twitter.com/budimandjatmiko)
"Soeharto kok dilawan...," begitu
kira-kira komentar yang pas ketika anak
muda bernama Budiman Sudjatmiko
secara terang-terangan melawan Orde Baru dengan mendirikan Partai Rakyat
Demokratik (PRD) pada 1996.
Bendera partai yang merah menyala, asas partai yang disebut sebagai sosial
demokrasi kerakyatan, dan aksi-aksi turun ke jalannya membuat PRD
sungguh-sungguh menantang kenyamaan Soeharto.
Maka, jika gerakan reformasi 1998 gagal, nama Budiman Sudjatmiko pasti dikenang
sebagai antek-antek komunis, yang kerjaannya cuma membuat rusuh dan
memanas-manasi petani untuk menuntut tanah.
Sebelum Budiman Sudjatmiko mendirikan PRD, dia merupakan aktivis gerakan
reformasi tanah, yang menggerakkan petani di sejumlah daerah untuk menuntut
kembali hak mereka atas tanah yang dikuasai oleh institusi maupun konglomerasi.
Atas aksinya itu, dia berulangkali berurusan dengan pihak keamanan, ditangkap,
digebuki, bahkan distrum.
Namun di lain sisi, semua sosok mereka itu juga merupakan sasaran empuk yang
bakal mudah dijadikan kambing hitam oleh penguasa, justru karena semua
penampilan mereka berbeda dengan tabiat partai resmi. Bahkan terlihat lebih galak.
Pada saat bersamaan, dinamika politik ketika itu sedang diwarnai kemelut di
lingkungan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), satu dari tiga partai yang diakui
2
pemerintah.
Persaingan Megawati Soekarnoputri, yang terpilih sebagai Ketua Umum PDI, dengan
Soerjadi yang didukung pemerintah, akhirnya mencuatkan kerusuhan 27 Juli 1996.
Kerusuhan itu berlangsung setelah ratusan orang menyerang markas PDI di Jalan
Diponegoro, yang dikuasai pendukung Megawati.
Kerusuhan meluas menjadi gerakan anti-pemerintah, gedung-gedung milik
pemerintah, terutama di kawasan Matraman - Salemba, dibakar. Tapi pemerintah
sudah punya kambing hitam: Budiman Sudjatmiko dkk.
Mereka ditangkap, diadili, dan Budiman divonis 13 tahun.
Saat Budiman ditangkap, belum ada revolusi yang dia idam-idamkan sejak SMA.
Soeharto masih jadi penguasa dan Budiman dinarapidanakan oleh rejim yang ingin
ditumbangkannya itu.
"Aku ingin revolusi, mas," begitu kata Budiman kepada kakak kelasnya di Yogyakarta
bernama Herman yang memperkenalkan banyak buku, seperti karya Nietzsche,
Camus, dan Sartre.
Semua dongeng kisah nyata politisi yang kini jadi anggota DPR-RI itu dapat dibaca
dalam sebuah buku tulisan Budiman Sudjatmiko.
Novel autobiografi berjudul "Anak-anak Revolusi" yang diterbitkan Gramedia
Pustaka Utama pada Oktober 2013.
Catatan atas perjalanan hidupnya yang dirangkai sebagai novel heroik romantis ini
memperlihatkan jalan panjang dan berliku yang mesti dilalui Budiman untuk
konsisten memperjuangkan sesuatu; sesuatu yang menghantuinya sejak kecil,
sesuatu yang diyakininya sejak remaja, sesuatu yang dipilihnya sebagai jalan hidup
bahkan ketika dia belum dewasa.
Sebagai anak-anak, Budiman juga mengalami pergantian cita-cita. Malah dia pernah
ingin jadi pemuka agama.
Tapi, berbeda dengan kebanyakan anak, dia begitu cepat mendapatkan keputusan
3
untuk berhenti pada satu cita-cita.
Tapi, aneh juga ketika dia menulis bahwa pada masa SMP dia sudah memiliki satu
arah yang akan dituju, yaitu politik. Bahkan, sasaran tembak yang dituju pun sudah
jelas; pemerintah.
Konsisten
Buku bersampul putih dengan gambar tapak sepatu lars dan setangkai mawar merah
yang kelopaknya berguguran itu bercerita tentang konsistensi Budiman Sudjatmiko
dalam memilih jalan politik.
Jalan politik mulai mengerucut sebagai pilihan hidupnya setelah dia kembali ke desa
di Majenang, Cilacap, kembali hidup bersama dengan kakek-neneknya, saat kelas 2
SMP.
Dia sengaja memilih kembali ke desa setelah merasa terasing hidup di Bogor dan
jauh dari kemiskinan, kegembiraan, dan perasaan gundah gulananya yang dia nikmati
di desa.
Saat duduk di kelas 3 SMP di Majenang, dia mendapat guru politik pertama. Itu
membuatnya makin menjadi-jadi dan mulai berfikir soal perlawanan, walau masih
dalam ranah pikiran dan tak ada kawan untuk itu.
Maka, orang tua dari Budiman pun memaklumi ketika sang anak mohon izin untuk
sekolah SMA di Yogyakarta, kota pendidikan, sekaligus kota pergerakan.
Di kota itu, makin menjadilah Budiman sebagai aktivis politik.
Di sana dia bukan hanya mendapatkan komunitas yang menggelorakan hobinya
berdiskusi sejak SMP. Dia juga mendapatkan banyak guru, mentor, dan juga buku.
Yang terpenting, dia mendapatkan kesempatan untuk mengorganisir perlawanan.
Buku setebal 473 halaman ini memperlihatkan perkembangan pikiran Budiman yang
melompati usianya, sehingga ketika bersekolah di SMA Muhammadiyah di Yogya, dia
pun tidak kesulitan bergaul dengan mahasiswa.
4
Bahkan, akibat pergaulannya itu, dia mesti hengkang dari kota itu dan kembali ke
Bogor.
Pengalaman diinterogasi aparat keamanan saat dalam "pelariannya" di Bogor
rupanya menjadi yang pertama, karena selulus SMA di kota tempat orang tuanya
tinggal itu dia kembali ke Yogyakarta untuk berkuliah. Atau tepatnya, untuk
menjadi aktivis politik.
Jika buku ini dianggap "buku putih", maka di dalamnya Budiman memperlihatkan
sosoknya, sosok diri yang berbeda dengan yang digambarkan Orde Baru.
Selain itu, dia memperlihatkan bahwa ada orang yang memang menjadikan politik
sebagai jalan hidupnya, bagaikan Musashi Miyamoto yang hidup di jalan pedang.
Budiman juga bercerita tentang konsistensinya berjuang dari desa sebagai misinya
dalam berpolitik.
Bagi lelaki kelahiran 1970 itu, desa merupakan tempat yang pas untuk melacak
mengapa ada kemiskinan, ketakutan dan ketidakpedulian.
Desa disebutnya sebagai akar dari berbagai permasalahan kemiskinan dan
ketakutan pada Orde Baru. Sedangkan kota besar hanyalah muara tempat
berkumpulnya sampah dan bangkai yang diseret banjir bandang kemiskinan dan
ketakutan di desa-desa.
Di desa tempat tinggalnya, Budiman bercerita tentang kematian akibat kemiskinan
pada orang-orang yang dikenalnya.
Di sana pula dia melihat bagaimana orang-orang takut pada rejim Orde Baru dan
wajib memilih Golkar saat pemilu.
Bahkan kakeknya, yang adalah pendukung setia Soekarno justru, mau tidak mau,
harus menggiring warganya untuk memilih Golkar.
Konsistensi bergerak dari desa itu terus bisa diikuti, dan ketika dia menjadi
anggota dewan, justru dia sudah memiliki sesuatu untuk diperjuangkan. Budiman
adalah Wakil Ketua Pansus RUU Desa di DPR-RI periode 2009-2014.
5
Ini tentu saja berbeda dengan banyaknya orang yang masuk ke dunia politik secara
"ujug-ujug".
Seperti dalam novel ini, rupanya Budiman benar-benar belajar dari buku, seperti
yang juga dilakukan politisi di zaman pergerakan.
Dengan buku yang disebut sebagai jilid I ini, dia juga meniru politisi pergerakan
yang menguraikan konsep dan pikiran lewat buku.
Politisi dan buku, sesuatu yang langka saat ini.
Editor: Maryati