"buramnya garis demarkasi dimensi hukum pidana dan hukum administrasi"
DESCRIPTION
ÂTRANSCRIPT
BURAMNYA GARIS DEMARKASI DIMENSI HUKUM PIDANA DAN HUKUM
ADMINISTRASI DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
YANG BERORIENTASI PADA PEMBANGUNAN DAERAH1
oleh Adhimas P. Hutomo, Adya Sepasthika, Elizabeth B. V. Simanjuntak, Josua Collins dan
Guspita Arfina.2
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hakikat Indonesia sebagai welfare state atau Negara kesejahteraan dinyatakan secara
tegas dalam alinea keempat pembukaan UUD RI 1945 yang menyatakan bahwa tujuan
Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan sosial. Dalam konsep Negara kesejahteraan, Pemerintah ditempatkan sebagai
pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan rakyatnya, sehingga Negara dan pemerintah
harus terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai langkah untuk
mewujudkan kesejahteraan umum.3
Adapun jalan untuk mencapai hal tersebut adalah dengan menyelenggarakan
pemerintahan yang berorientasi pembangunan. Dalam rangka tersebut, daerah diberikan
otonomi seluas-luasnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
diakomodir dalam Pasal 18 UUD 1945 yang diatur lebih lanjut dalam UU 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Otonomi tersebut juga meliputi perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dengan daerah yang merupakan subsistem keuangan Negara. Berbicara
mengenai keuangan Negara, Muchsan berpendapat bahwa anggaran Negara merupakan inti
dari keuangan Negara, sebab anggaran Negara merupakan alat penggerak untuk
melaksanakan penggunaan keuangan Negara.4 Sedangkan, salah satu konsekuensi hukum
1 Tulisan ini ditujukan untuk ALSA Legal Review Competition 2016. 2 Penulis adalah mahasiswa/i dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 3 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 14. 4 W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara (Yogyakarta: Grasindo, 2013), hlm. 2.
dari otonomi tersebut adalah adanya pembagian antara anggaran pemerintah pusat dengan
daerah, yang diwujudkan dalam APBN dan APBD. Adapun pengelolaan APBD sendiri
diatur dalam PP Pengelolaan Keuangan Daerah Nomor 58 Tahun 2005.
Pengeluaran Pemerintah Daerah, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran
pembangunan harus direncanakan secara cermat mengingat terbatasnya sumber pendanaan
daerah, sebab efisiensi pengeluaran daerah merupakan salah satu indikator dalam
menentukan kualitas belanja daerah untuk mencapai tujuan pembangunan. Namun, pada
praktiknya, Pemerintah Daerah yang dalam hal ini adalah kepala daerah sebagai pemimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom dihadapkan
dilema karena takut bersinggungan dengan ketentuan pidana korupsi yang disebabkan
tumpang tindihnya konsep kerugian keuangan Negara bila ditinjau dari dimensi hukum
pidana korupsi dan administrasi Negara, dalam hal menafsirkan kerugian keuangan Negara
dari dua perspektif hukum tersebut. Menurut hukum administrasi Negara, kerugian keuangan
Negara harus ditentukan secara tepat jumlahnya, namun menurut hukum pidana korupsi,
kerugian keuangan Negara tersebut bahkan dapat hanya dilihat potential loss-nya saja.
Dampak dari hal tersebut secara nyata dapat dilihat dari fakta tidak terserapnya APBD
secara maksimal. Bahkan, pada semester I tahun anggaran 2015, Kementerian Dalam Negeri
mencatat rata-rata realisasi belanja APBD di tingkat provinsi hanya 25,9%, sedangkan di
tingkat kabupaten sebesar 24,6%.5 Hal ini membuat sisa anggaran daerah yang seharusnya
dapat digunakan untuk pembangunan justru mengendap di Bank. Tersendatnya pencairan
anggaran daerah oleh sejumlah daerah telah menyebabkan banyak daerah tak mampu
mengeksekusi program dan kegiatan yang telah direncanakan melalui Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), dan
Rencana Strategis Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Renstra SKPD).6 Terkait hal ini,
Reydonnyzar Moenek mengatakan bahwa satu hal mencolok yang menyebabkan hal
tersebut adalah kekhawatiran pada Pejabat Daerah untuk diseret ke wilayah pidana korupsi
5 Chandra G. Asmara Rochimawati, “Ini Penyebab Serapan Anggaran Pemda Rendah”, dalam
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/662482-ini-penyebab-serapan-anggaran-pemda-rendah, diakses pada 20
Januari 2016 6 W. Riawan Tjandra, “Inovasi, Diskresi, dan Korupsi”, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2015/09/22/16000041/Inovasi.Diskresi.dan.Korupsi?page=all, diakses pada 20
Januari 2016.
saat melaksanakan suatu kebijakan7 karena terindikasi menyebabkan kerugian Negara dan
kelalaian administrasi. Padahal, apabila tidak ada kekhawatiran tersebut, para Pejabat Daerah
dapat saja menciptakan inovasi-inovasi berorientasi pembangunan dengan diskresinya.
Diskresi sendiri merupakan sarana hukum yang diberikan oleh hukum administrasi
Negara kepada Pejabat pemerintahan untuk bertindak atas inisiatif sendiri menyelesaikan
berbagai permasalahan pelik yang membutuhkan penanganan secara cepat, sementara
terhadap permasalahan itu tidak ada atau masih belum dibentuk suatu dasar hukum
penyelesaiannya oleh lembaga legislatif.8 Secara teoritis, diskresi merupakan jalan keluar
yang diberikan atas berbagai kelemahan aliran legisme yang melahirkan asas legalitas,
dimana asas legalitas sebenarnya hanya dianut oleh rezim hukum pidana, sedangkan hukum
administrasi tidak mengikuti asas ini.9 Lebih lanjut, S.F. Marbun10 mengatakan bahwa
kebebasan bertindak (freies ermessen) ini diberikan kepada pejabat Negara dalam
kepentingannya untuk melaksanakan tugas mewujudkan kesejahteraan.
1.2 Rumusan Masalah
Bila dicermati, kekhawatiran para pejabat daerah itu berawal dari ketidakpastian hukum
antara lain disebabkan biasnya persepsi kerugian keuangan Negara dan kaburnya batas
demarkasi antara hukum administrasi Negara dan hukum pidana yang dalam hal ini adalah
tindak pidana korupsi. Hal tersebut yang pada akhirnya mempengaruhi langkah kebijakan
pemerintah daerah dalam hal pengelolaan keuangan daerah, yang pada akhirnya menghambat
pembangunan. Oleh sebab itu, dalam tulisan ini, akan dikaji mengenai:
1) Bagaimana Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara di Indonesia memandang
konsep kerugian keuangan Negara dan penerapannya oleh Para Penegak Hukum?
2) Bagaimana seharusnya hukum di Indonesia mengakomodir kepentingan pemberantasan
korupsi dan penyelenggaraan pembangunan sehingga dapat berjalan beriringan?
7 Sabrina Asril, “Ini 5 Provinsi yang Penyerapan Anggarannya Sangat Rendah”, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2015/08/24/16095331/Ini.5.Provinsi.yang.Penyerapan.Anggarannya.Sangat.Renda
h, diakses pada 18 Januari 2016. 8 Patuan Sinaga, Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire dalam Penyelengaraan
Pemerintahan, dalam S.F. Marbun et.al., Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta:
UII Press, 2001), hlm. 73. 9 Arfan Fair Muhlizi, “Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi”, dalam Jurnal
Rechtsvinding Vol. 1 No. 1 April 2012, hlm 101. 10 S.F. Marbun, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik di Indonesia
(Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 73.
II. PEMBAHASAN
2.1 Konsep Kerugian Keuangan Negara dalam Perspektif Hukum Pidana Korupsi dan
Administrasi Negara
2.1.1.1 Konsep Kerugian Keuangan Negara dalam Perspektif Hukum Pidana
Korupsi
Perlu dipahami, dalam melakukan penilaian terhadap dugaan korupsi, UU 31 Tahun
1999 jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK)
mengetengahkan tiga unsur, yakni ‘melawan hukum’, ‘menyalahgunakan wewenang’, yang
diikuti ‘merugikan keuangan negara’. Adapun, terkait konsep kerugian keuangan Negara
dalam dimensi hukum pidana, yang dalam hal ini adalah tindak pidana korupsi sangatlah
luas. UU PTPK tidak memberikan definisi maupun penjelasan yang rigid terkait pengertian
kerugian keuangan Negara, karena yang diatur di dalamnya hanyalah penjelasan mengenai
keuangan Negara saja. Artidjo Alkostar mengatakan keuangan Negara mencakup seluruh
kekayaan Negara termasuk uang dan sesuatu yang berharga. Dalam hubungannya dengan
tindak pidana korupsi, yang harus dibuktikan adalah adanya kerugian keuangan Negara yang
mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan terdakwa.11 Namun, konsep kerugian
keuangan Negara tidak ditentukan secara tegas dalam kerangka hukum pidana, menyebabkan
kerugian keuangan Negara telah secara tegas dinyatakan sebagai delik formil yang
menekankan pada perbuatan terlepas dari akibat yang ditimbulkan. Hal ini disebabkan
dengan perumusan frasa ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan keuangan atau perekonomian
Negara’ dan juga sehubungan dengan keberadaan norma Pasal 4 UU PTKP yang mengatur
bahwa pengembalian kerugian keuangan Negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku
korupsi.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa penggunaan frasa ‘dapat’ dalam UU PTPK dapat
dimaknai bahwa perbuatan-perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara merupakan perbuatan pidana meski kerugian Negara tersebut belum
terjadi. Pada praktiknya, terdapat perdebatan akan pemahaman dan penerapan kata “dapat
merugikan”. Kata “dapat merugikan” bertentangan dengan konsep actual loss di mana
11 H. Abdul Latif, Hukum Administrasi: Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Prenada Media
Group, 2014), hlm. 255.
kerugian negara harus benar-benar sudah terjadi.12 Pendapat ini didukung oleh Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa akan sangat sulit
bila harus membuktikan jumlah tepat kerugian keuangan Negara dalam skema perkara
korupsi yang besar. Jadi, dapat dikatakan, tindakan merugikan keuangan Negara dalam
konstruksi hukum pidana tipikor hanya menekankan pada unsur melawan hukum,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa definisi kerugian keuangan
Negara dalam dimensi hukum pidana sangatlah luas. Hal ini berarti penafsiran kerugian
keuangan Negara hanyalah secara argumentum a contrario dari definisi keuangan Negara
menurut Penjelasan dalam UU PTKP.
Junifer Girsang13 menyatakan bahwa terdapat ketidakpastian hukum dalam
penanganan perkara tindak pidana korupsi akibat tidak jelasnya definisi kerugian keuangan
Negara yang berimplikasi pada tidak jelasnya lembaga mana yang secara hukum berwenang
dan berhak untuk menyatakan bahwa telah terjadi kerugian keuangan Negara tersebut. Pada
prakteknya, Kejaksaan dan Polisi bergantung pada hasil audit institusi di luar penegak
hukum, yaitu BPK dan BPKP. Namun di sisi lain, Polisi Penyidik dan Jaksa Penyidik
terkadang memiliki perhitungan sendiri terhadap jumlah kerugian keuangan Negara yang
dituduhkannya. Dengan demikian, diperlukan adanya kejelasan definisi secara hukum
mengenai pengetian kerugian keuangan Negara, sebab dengan tidak jelas dan tidak
sinkronnya peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai pengertian (kerugian)
keuangan Negara telah menyebabkan multitafsir terhadap suatu perbuatan yang dianggap
melawan hukum, yang pada akhirnya menyebabkan ketidakpastian hukum.
2.1.2 Konsep Kerugian Keuangan Negara dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara
Berbeda dengan konsep kerugian keuangan Negara dalam dimensi hukum pidana
korupsi, konsep kerugian keuangan Negara dalam dimensi hukum administrasi Negara
memiliki pengertian yang jelas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka UU Perbendaharaan
Negara Nomor 1 Tahun 2004 (UU Perbendaharaan Negara) juncto Pasal 1 angka 15 UU
12 Emerson Yuntho, et.al., Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dlam Delik Tindak Pidana
Korupsi (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014), hlm. 28. 13 Junifer Girsang, Abuse of Power: Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum dalam
Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: JG Publishing, 2012), hlm. 181.
Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 15 Tahun 2006 (UU BPK). Kedua UU tersebut secara
hukum mengartikan kerugian keuangan Negara/Daerah sebagai suatu kondisi kekurangan
uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan
melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Hal ini berarti kerugian keuangan Negara dapat
berbentuk kerugian uang, surat berharga, dan barang dalam ruang lingkup definisi keuangan
Negara yang diatur oleh UU Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003, UU BPK, dan UU
PTPK, namun diperjelas dengan spesifikasi berupa ‘yang nyata dan pasti jumlahnya, akibat
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai’. Jadi, kerugian keuangan Negara
harus nyata dan pasti jumlahnya dan sebanding dengan pengertian keuangan Negara itu
sendiri.
Berbicara tentang hukum administrasi Negara, tentu tidak dapat terlepas dari aspek
kewenangan, sehingga akan selalu mengacu pada legalitas yang berintikan pada wewenang
dan legitimasi. Adapun lembaga yang secara implementatif dan atributif berwenang untuk
menilai dan/atau menetapkan kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU BPK. Hal ini juga merupakan konsekuensi hukum
dari ketentuan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa untuk memeriksa
pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan Negara diadakan satu badan pemeriksa
keuangan yang bebas dan mandiri, walaupun secara operasional BPK dapat saja
mendelegasikan weenang itu kepada delegataris (e.g. Akuntan Publik) sebagaimana
diakomodir dalam Pasal 9 ayat (3) UU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara Nomor 15 Tahun 2004 (UU PPTJKN).
Dalam melakukan pemeriksaan, BPK akan membuat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)
sebagai output dari pemeriksaannya, jadi dapat dikatakan BPK menuangkan hasil kerjanya
dalam LHP BPK.14 Sedangkan, dalam melakukan pemeriksaan ini, BPK wajib memenuhi
seluruh standar pemeriksaan yang ditetapkan oleh UU PPTJKN dan UU BPK, yaitu meliputi
standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang selanjutnya
dituangkan dalam Peraturan BPK tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN)
Nomor 1 Tahun 2007 yang merupakan pedoman dalam pemeriksaan keuangan Negara dan
ukuran pelaksanaan kerja BPK. Adanya SPKN tersebut tentunya membuat pemeriksa tidak
14 Ade Armando, Mengenal Lebih Dekat BPK: Sebuah Panduan Populer (Biro Humas dan LN BPK RI,
Tanpa Tahun), hlm. 82.
akan bekerja secara sembarangan tanpa panduan dan standar baku yang jelas. Bahkan, semua
kondisi yang terungkap oleh pemeriksa tersebut merupakan fakta yang dialami secara
langsung oleh pihak terperiksa sebagai pihak yang mengalami langsung kejadian, sehingga
pihak terperiksa mengetahui semua fakta yang terjadi.15
Adapun, jenis LHP BPK terhadap pemeriksaan pengelolaan keuangan oleh Pemerintah
Daerah adalah LHP atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). LKPD ini akan
disampaikan kepada BPK dan Kepala Daerah yang bersangkutan setelah sebelumnya
menerima laporan keuangan dari Kepala Daerah tersebut setelah tahun anggaran berakhir.16
Sedangkan fungsi dari LHP BPK sendiri salah satunya adalah mengomunikasikan hasil
pemeriksaan kepada Pihak yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.17
Dengan demikian, dapat dikatakan LHP BPK ini memiliki kedudukan penting sehubungan
dengan kepastian hukum terkait tidak jelasnya lembaga yang berwenang melakukan
penghitungan kerugian keuangan Negara dalam UU PTPK serta menciptakan keharmonisan
antara dimensi hukum pidana dengan administrasi Negara sebagai suatu kesatuan yang
integral untuk memberantas korupsi tanpa menghambat pembangunan.
2.2 Buramnya Batas Demarkasi Antara Dimensi Hukum Pidana Korupsi dan Administrasi
Negara dalam Penegakan Hukum
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014 (UU AP) dan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014 juncto Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 (UU Pemda) secara hukum sebenarnya sudah cukup melindungi
pelaksanaan program dan kegiatan di daerah dari potensi kriminalisasi. Hal ini dapat dilihat
dalam pengaturannya mengenai Inovasi Daerah dan Diskresi. Di dalamnya diatur bahwa
dalam rangka peningkatan kinerja penyelenggaraanya pemerintahan, Pemda dapat
melakukan inovasi, dan dalam hal pelaksanaan inovasi yang telah menjadi kebijakan Pemda
tidak mencapai sasaran yang ditetapkan, maka aparatur sipil Negara tidak dapat dipidana.18
15 M. Yusuf Jhon dan Dwi Setiawan, Kiat Memahami Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 141. 16 Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara: Pendekatan Hukum Pidana, Hukum Administrasi
Negara, dan Pidana Khusus Korupsi (Malang: Setara Press, 2015), hlm. 169. 17 Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan BPK tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara Nomor 1
Tahun 2007, TLN…., Lampiran VI butir 3. 18 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014, LN…, TLN..., Pasal 386 jo.
Pasal 389.
Adapun mengenai diskresi, diatur secara tegas bahwa diskresi harus sesuai dengan tujuan
filosofis dari diskresi itu sendiri, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
sesuai dengan AAUPB, berdasarkan alasan yang subjektif, tidak menimbulkan konflik
kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik.19 Penggunaan diskresi tersebut diatur secara
limitatif dengan mengacu pada Pasal 22 UU AP, yaitu untuk melancarkan penyelenggaraan
pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, dan mengatasi stagnansi pemerintahan. Selain
itu, diskresi dengan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan Negara harus
mendapat persetujuan dari atasan pejabat sesuai Undang-Undang.20
Jika dicermati ketentuan-ketentuan tersebut, sejatinya ingin mengonstruksikan suatu
penegasan garis demarkasi antara dimensi administrasi Negara dengan dimensi pidana
korupsi. Selanjutnya, untuk memperkuat garis demarkasi tersebut dalam tujuannya untuk
mengakomodir kepentingan pemberantasan korupsi dan pembangunan dalam kerangka
Negara hukum, Penulis berpendapat perlu diterapkan doktrin high degree of differentiation
yang berpandangan bahwa keberadaan sanksi administrative harus dipisahkan secara tegas
dari sanksi pidana. Jadi, masing-masing stelsel hukum berjalan sesuai koridornya masing-
masing dalam satu konstruksi Negara hukum. Hal ini sehubungan dengan asas hukum ne bis
in idem dan demi menjamin hak asasi manusia. Dengan diterapkannya hal ini, seharusnya
Pemda tidak perlu lagi khawatir kebijakan-kebijakannya dikriminalisasi dengan alasan-alasan
subyektif dari penegak hukum.
2.3 Analisis
Berdasarkan uraian di atas, Penulis berpandangan bahwa terdapat ketidakpastian hukum
yang disebabkan oleh multitafsir konsep Kerugian Keuangan Negara dan tidak jelasnya garis
batas antara dimensi hukum pidana korupsi dengan administrasi Negara dalam upaya
penegakan hukum.
Terkait kerugian keuangan Negara, sebagai salah satu unsur pokok dari tindak pidana
korupsi, ternyata masih terdapat ketidakpastian hukum terkait kompetensi kewenangan
lembaga dalam menilai adanya kerugian keuangan Negara. Hal ini dikarenakan, dalam
dimensi hukum pidana, UU PTPK tidak secara jelas mengatur mengenai kompetensi lembaga
yang berwenang untuk menilai kerugian tersebut. Hal ini yang kemudian membuat Polisi
19 Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014, LN…, TLN…, Pasal 24. 20 Ibid., Pasal 25 ayat (1) dan (2)
Penyidik maupun Jaksa Penyidik seringkali memiliki penghitungan sendiri dan tidak
berdasarkan LHP yang dibuat BPK atau BPKP dalam menilai jumlah kerugian keuangan
Negara yang dituduhkan. Bahkan, Dian Puji Simatupang21 berpendapat bahwa Indonesia
merupakan salah satu Negara dengan cara menilai dan menghitung kerugian Negara yang
paling mudah, kurang rasional, dan tidak standar, sehingga sulit menjadikannya sebagai hasil
pemeriksaan yang meyakinkan dan memadai (reasonable assurance), sebab pada prakteknya
terlampau mudah untuk menilai dan menghitung kerugian Negara sehingga tidak ada standar,
syarat, dan prosedur yang baku, pasti, dan memenuhi keadilan. Hal ini yang kemudian
menyebabkan diskriminasi, karena indikator penilaian terhadap dugaan korupsi yang
dilakukan Pejabat Daerah mutlak dipegang instansi tertentu atas nama kewenangan yang
hanya didasari pada subjektivitas penilainya dalam koridor hukum pidana korupsi (i.e. UU
PTPK).
Terkait hal ini, dengan mengacu pada asas kesesuaian (congruency) yang terdapat dalam
teori perundang-undangan, yang berpandangan bahwa UU harus diterapkan sesuai dengan
tujuan pembentukannya sehingga harus dicegah perbedaan antara bunyi UU dan
penegakannya, maka, Penulis berpandangan bahwa seharusnya penegak hukum melihat
konsep kerugian keuangan Negara melalui koridor hukum administrasi Negara, dikarenakan:
1) Istilah kerugian keuangan Negara justru didefinisikan dan diatur secara rinci dalam
Undang-Undang Perbendaharan Negara dan UU BPK, di mana kedua Undang-
Undang tersebut berada dalam ruang lingkup hukum administrasi Negara dalam
konteks menjalankan fungsi pemerintahan.
2) Kerugian keuangan Negara merupakan akibat dari pelaksanaan kewenangan di
bidang keuangan Negara melalui pemberian delegasi atau mandat. Hal ini
memperjelas kedudukan kerugian keuangan Negara dalam dimensi hukum
administrasi Negara.
3) Istilah kekuasaan, jabatan dan discretion by officials (wewenang pejabat) merupakan
istilah yang selalu berhubungan dengan penyelenggaraan Negara yang lazim disebut
pemerintahan, sehingga pada hakekatnya berada dalam ruang lingkup hukum
administrasi Negara.
21 Dian Puji N Simatupang, BUMN, Efisiensi, dan Kerugian Negara, dalam Harian Media Indonesia
tanggal 16 Januari 2016.
4) Pejabat daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahannya menggunakan instrumen
hukum administrasi Negara.
Selain itu perlu dipahami bahwa keputusan pemerintahan lebih mengutamakan pada
pencapaian tujuan (doelmatigheid) daripada kesesuaiannya dengan hukum yang berlaku
(rechtmatigheid). Namun, penegak hukum seringkali serta-merta hanya menempatkan unsur
‘kerugian keuangan negara’ pada kerangka hukum pidana, tanpa mempertimbangkan ketika
Pejabat Daerah melakukan tindakan pemerintahannya tersebut berada pada dimensi hukum
administrasi Negara. Padahal seharusnya penilaian terhadap tindakan pejabat tersebut
ditinjau dalam koridor hukumnya, yaitu dimensi hukum administrasi Negara dengan
menggunakan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB), terkhusus Asas
Kecermatan, Asas Penyalahgunan Wewenang, dan Asas Motivasi. Dengan demikian, jelas
bahwa secara konseptual tindak pidana korupsi dan kerugian keuangan Negara berada dalam
dimensi ilmu hukum yang berbeda, di mana korupsi berada dalam dimensi ilmu hukum
pidana, sedangkan keuangan Negara terkait dengan pengelolaan dan tanggung jawabnya
berada dalam dimensi ilmu hukum administrasi Negara, sehingga pasti terdapat prinsip-
prinsip hukum yang berbeda. Jangan sampai tuduhan korupsi hanya didasari dengan
kesalahtindakan dan selisih biaya yang kemudian menimbulkan kerugian keuangan Negara.
Selanjutnya, ketidakpastian hukum disebabkan oleh buramnya garis batas dimensi hukum
pidana korupsi dan administrasi Negara. Sebenarnya diterbitkannya UUAP dan UU Pemda
baru, telah memberikan penegasan batas antara kedua dimensi hukum tersebut. Terkait hal
ini, Penulis berpendapat bahwa penerapan doktrin high degree of differentiation di Indonesia
akan mempertegas batas antara dua disiplin ilmu hukum tersebut. Doktrin tersebut sesuai bila
diterapkan di Indonesia, mengingat kedudukan Indonesia sebagai Negara hukum yang selain
berkepentingan dalam penegakan hukum juga wajib menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Selain itu, penegasan tersebut juga dapat menghindari dari kekacauan politik hukum akibat
seolah menghalalkan segala cara untuk kepentingan pemberantasan korupsi tanpa
mempertimbangkan kepentingan awal dari welfare state yaitu pembangunan dan juga hak
asasi manusia.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1) Terdapat ketidakjelasan penafsiran mengenai konsep kerugian keuangan Negara akibat
tidak adanya standar, syarat, dan prosedur yang baku, pasti, dan memenuhi keadilan.
2) Para Penegak Hukum seharusnya bukan menggunakan parameter hukum pidana dalam
menilai adanya kerugian keuangan Negara, melainkan menggunakan parameter hukum
administrasi Negara, mengingat kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pejabat
daerah dalam konteks menjalankan administrasi pemerintahan.
3) Hukum pidana dan hukum administrasi Negara sejatinya dapat diposisikan pada
kedudukan yang tidak saling bersinggungan dalam kepentingannya memberantas korupsi
dan memacu pembangunan. Salah satunya adalah dengan penerapan doktrin high degree
of differentiation diperlukan untuk menegaskan garis demarkasi terkait ruang lingkup
administrasi Negara dan tindak pidana korupsi, sehingga proporsi hak, kewajiban, dan
tanggung jawab Pemerintah Daerah akan sejalan dengan tujuan awal Indonesia sebagai
welfare state, yaitu mewujudkan kesejahteraan. Sebab, apabila pemisahan antara
keduanya tidak jelas atau kabur, maka secara tidak langsung akan memperjelas etatisme
perekonomian dan menghambat laju pembangunan yang pada akhirnya seolah
memperlemah tanggung jawab publik Negara untuk mewujudkan kesejahteraan.
3.2 Saran
Diperlukan suatu kesepakatan mengenai standar penilaian kerugian keuangan Negara
yang jelas yang sebaiknya dirumuskan secara bersama-sama oleh pihak-pihak
berkepentingan (i.e. Penyidik Korupsi, Pemerintah Daerah) sehingga penegakan hukum
mempunyai penilaian yang rasional, tidak hanya didasari penilaian subyektif atas nama
kewenangan. Selain itu diperlukan penegasan garis batas antara konsep hukum pidana
korupsi dan administrasi Negara dengan menerapkan doktrin high degree of differentiation,
sehingga penegak hukum dalam melakukan penilaian tidak lagi mendasarinya dengan
penilaian subyektif hanya atas dasar kewenangan. Hal ini agar tidak terjadi tumpang tindih
yang menyebabkan ketidakpastian hukum, dimana trickle down effect dari ketidakpastian
hukum tersebut membuat para Pejabat Daerah khawatir apabila ingin melakukan tindakan
pemerintahan seperti misalnya diskresi inovatif yang bersentuhan langsung dengan keuangan
Negara, walaupun sesungguhnya memiliki motivasi baik yaitu mencapai tujuan
pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Armando, Ade. Mengenal Lebih Dekat BPK: Sebuah Panduan Populer (Biro Humas dan LN
BPK RI, Tanpa Tahun).
Girsang, Junifer. Abuse of Power: Penyalahgunaan Kekuasaan Aparat Penegak Hukum dalam
Penanganan Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: JG Publishing, 2012)
HR, Ridwan. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Rajawali Pers, 2013)
Jhon, M. Yusuf dan Dwi Setiawan, Kiat Memahami Pemeriksaan Laporan Keuangan
Pemerintah Daerah di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009).
Latif, H. Abdul. Hukum Administrasi: Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Prenada
Media Group, 2014)
Marbun, S.F. et.al.. Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara (Yogyakarta: UII
Press, 2001).
Marbun, S.F. Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik di Indonesia
(Yogyakarta: UII Press, 2001)
Sinaga, Patuan. Hubungan Antara Kekuasaan dengan Pouvoir Discretionnaire dalam
Penyelengaraan Pemerintahan.
Suhendar, Konsep Kerugian Keuangan Negara: Pendekatan Hukum Pidana, Hukum
Administrasi Negara, dan Pidana Khusus Korupsi (Malang: Setara Press, 2015).
Tjandra, W Riawan. Hukum Keuangan Negara. (Yogyakarta: Grasindo, 2013)
Yuntho, Emerson. et.al.. Penerapan Unsur Merugikan Keuangan Negara dalam Delik Tindak
Pidana Korupsi (Jakarta: Indonesia Corruption Watch, 2014)
JURNAL
Muhlizi, Arfan Fair. “Reformulasi Diskresi dalam Penataan Hukum Administrasi”. Jurnal
Rechtsvinding Vol. 1 No. 1 April 2012
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Badan Pemeriksa Keuangan, Peraturan BPK tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
Nomor 1 Tahun 2007, TLN….
Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014, LN…, TLN...
Indonesia, Undang-Undang Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014, LN…, TLN…
MEDIA
Asril, Sabrina. “Ini 5 Provinsi yang Penyerapan Anggarannya Sangat Rendah”, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2015/08/24/16095331/Ini.5.Provinsi.yang.Penyerapan.A
nggarannya.Sangat.Rendah
Rochimawati, Chandra G. Asmara. “Ini Penyebab Serapan Anggaran Pemda Rendah”, dalam
http://bisnis.news.viva.co.id/news/read/662482-ini-penyebab-serapan-anggaran-pemda-
rendah.
Simatupang, Dian Pudji N. “BUMN, Efisiensi, dan Kerugian Negara”, dalam Harian Media
Indonesia tanggal 16 Januari 2016.
Tjandra, W. Riawan. “Inovasi, Diskresi, dan Korupsi”, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2015/09/22/16000041/Inovasi.Diskresi.dan.Korupsi?pag
e=all, diakses pada 20 Januari 2016.