butir-butir pokok hak ekonomi, sosial dan...
TRANSCRIPT
1
BUTIR-BUTIR POKOK
HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA
Antonio Pradjasto1
1. Pengantar
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak-hak asasi yang telah dikenal secara
luas akan tetapi pada saat yang sama dilanggar secara sistematis. Kita tengok saja hak atas tempat
tinggal yang layak. Statistik resmi PBB, mengungkapkan bahwa lebih dari 1 milyar orang di
seluruh dunia menghuni tempat tinggal yang tidak layak dan seratus juta di antaranya sama sekali
tidak memiliki rumah.2
Kalaupun kebenaran angka statistic diragukan, kecenderungan
menunjukan bahwa gambaran itu tidak jauh dari realitas. Salah satu faktor untuk melihat
kecenderungan itu adalah besaran penggusuran, yang hingga kini semakin meningkat di berbagai
kota. Di Jakarta sendiri, sebuah ornop mencatat pada tahun 2000-2001 terjadi penggusuran lebih
dari 25 kali dengan puluhan ribu manusia harus pindah menjadi pengungsi di dalam negeri
sendiri.3
Pemaparan di atas sekedar ingin menggambarkan deficit hak atas tempat tinggal yang
layak. Keadaan yang serupa terjadi pada hak-hak asasi ekonomi, sosial dan budaya lainnya
seperti hak-hak untuk mendapat upah yang layak, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak
atas pangan dan lain sebagainya. Ribuan orang telah meninggal karena penyakit epidemic seperti
Demam Berdarah, Flu Burung atau HIV. Lebih dari itu, banyak diantara mereka yang meninggal
karena buruknya pelayanan kesehatan dasar. Pada 7 Februari 2005 Kompas memberitakan dua
kakak beradik, M Pradipta Audrio (9) dan I Dewangga Adrian (2), yang mengidap penyakit DBD
meninggal hanya dalam selisih waktu 16 jam karena buruknya pelayanan kesehatan dasar.
Sebab utamanya adalah dikotomi yang keliru antara hak-hak sipil/politik dengan hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya; dikotomi yang membuat hak-hak ekososbud tidak dilihat sebagai
hak asasi melainkan sekedar pernyataan aspiratif. Hanya hak-hak sipil dan politiklah yang
merupakan hak asasi. Padahal hak ini sudah dijamin dalam Konstitusi Negara kita [misalnya
1 Paper ini pernah disampaikan pada dan dikembangkan dari Workshop Monitoring dan Advokasi HAM,
CHRF-CIDA, April-Mei 2002, Makasar. 2
Global Strategy for Shelter to the year 2000. UN Doc. A/43/8/Add.1 3
Dalam Hukum Internasional dikenal adanya Internally Displaced Persons yang juga mencakup mereka
yang harus mengungsi karena kebijakan pembangunan.
2
Amandemen IV UUD 1945 pasal 34 (3) yang mengakui hak atas kesehatan]. Lebih lanjut, dalam
tataran praktis (politis) persoalan ini terjebak dalam klaim ‘nasi atau kebebasan’ dan klaim
mengedepankan hak ekososbud terlebih dahulu daripada hak-hak sipol untuk membenarkan
tindakan represif.
Paparan ini mencoba melihat persoalan realisasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
dengan pertama-pertama hendak menunjukan bahwa hak-hak yang diklaim adalah hak-hak asasi
manusia. Kemudian, mencoba melihat artinya bagi gerakan hak asasi manusia. Terakhir, melihat
sejauh mana hak-hak itu tertampung dalam standar hukum internasional
2. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagai hak asasi manusia
Jaminan utama hak-hak asasi ekonomi, sosial dan budaya adalah DUHAM dan Kovenan
Internasional Hak-hak Ekososbud, yang telah ditandatangani oleh 142 negara.4
Konvensi ini telah
berlaku dan mengikat Indonesia sejak ratifikasi dan diundangkan dalam UU No…. Bersama
Kovenan mengenai hak-hak sipol, kovenan yang terdiri atas pasal menjadi acuan utama
instrumen-instrumen hak asasi manusia lainnya, seperti misalnya Konvensi mengenai Hak Anak
maupun Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan Konvensi
mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Salah satu
persoalannya seperti dikemukakan di atas adalah cara pandang keliru mengenai hak ekososbud,
yaitu lebih dilihat sebagai aspirasi daripada hak yang bisa dituntut.
Cara pandang inilah yang pertama harus dirubah dahulu. Pertama, secara legal formal cara
pandang itu tidak relevan lagi, terutama di Indonesia, karena bukan saja Indonesia tunduk pada
DUHAM (melalui pasal 55-56 Statuta PBB), juga pada Kovenan Hak Ekonomi, Sosial Budaya
dan telah menjamin hak-hak ini dalam Konstitusi (pasal-pasal)
Kedua, seperti hak-hak asasi lain, hak-hak ekososbud merupakan buah dari gerakan sosial.
Yang secara konsisten dilindungi oleh hak asasi manusia dari waktu ke waktu adalah martabat
setiap umat manusia – terutama dari kesemena-menaan. Oleh karena itu hak-hak ekososbud yang
dijamin dalam DUHAM, Kovenan maupun konvensi hak asasi lainnya merupakan “standard
4
Millenium Summit Treaty Framework
3
bersama bagi semua orang dan semua bangsa…” [paragraph 8]5
Dan, setiap terjadi deprivasi
standar hak asasi menjadi dasar perlawanan bagi mereka yang mengalaminya.
Ketiga, pendekatan dikotomis ini juga sesat karena ada sejumlah hak yang tidak begitu saja
dapat ‘dikamarkan’ dalam hak ekososbud ataupun sipol. Lihat saja hak atas pendidikan. Di dalam
sistem HAM Eropa yang dikenal merupakan instrumen HAM regional untuk sipol, hak atas
pendidikan dianggap sebagai bagian darinya dan bukan bagian daripada hak ekososbud (yang di
Eropa banyak diatur dalam European Social Charter). Pendekatan ini terbalik dengan system
global dimana hak atas pendidikan merupakan bagian dari Konvensi Hak Ekonomi Sosial
Budaya. Demikian pula kiranya kebebasan berorganisasi para buruh6
yang sangat dijamin dalam
hak ekososbud.
Keraguan yang lain didasarkan pada anggapan bahwa hak-hak sipol merupakan ‘negative
rights’ sedangkan hak ekososbud sebagai ‘positive rights’. Pembedaan demikian bukan
menunjukan baik/buruknya hak melainkan pada derajat keterlibatan negara di dalamnya. Hak-hak
negatif menunjuk pada kewajiban negara untuk mencegah dari keterlibatan (refrain from
interference) atau hak-hak asasi yang bebas dari campur tangan pemerintah. Sifat demikian
dirumuskan dalam bentuk ‘freedom from’. Sedangkan hak-hak ekososbud dianggap positif karena
menuntut keterlibatan negara yang tinggi. Hak-hak ini dirumuskan dalam bentuk ‘freedom for’.
Oleh karenanya hak sipol dianggap bisa langsung dipenuhi (immediate) dan murah. Sebaliknya
hak ekososbud hanya bisa dipenuhi secara bertahap (progressive realization) dan mensyaratkan
tindakan afirmatif dari negara dan hanya bisa dilakukan oleh negara yang kaya.
Pembedaan secara ‘positif’ dan ‘negatif’ demikian tidak seluruhnya benar. Hak-hak sipol pun
membutuhkan keterlibatan negara. Sebagai contoh, hak atas rasa aman mensyaratkan keterlibatan
dan tindakan afirmatif dari negara seperti sistem hukum pidana dan aparat hukum termasuk
fasilitas-fasilitasnya (kantor kepolisian, kejaksaan, ruang pengadilan-penjara). Sebaliknya
pemenuhan hak-hak ekososbud (hak-hak subsisten) justru dapat menuntut negara untuk tidak
melakukan sesuatu, sebagai contoh tidak melakukan penggusuran paksa atau menahan diri dari
penggusuran juga demi kepentingan modal. Persoalannya, oleh karena itu bukan pada kewajiban
positif atau negatif dari negara, melainkan pada bagaimana tata cara penyelenggaraan kekuasaan
governance dilakukan. Dalam praktik, Komite HAM, yang bertanggung jawab menilai laporan
5
DUHAM memuat baik hak-hak sipol maupun ekososbud. Lihat pula Deklarasi Wina para. 8, 1993 6
Hak berorganisasi dijamin dalam ICCPR (kovenan untuk hak-hak sipol)
4
negara-negara pihak Kovenena Hak-hak SIPOL membuat general comment7
mengenai hak itu
sebagai berikut:
“the right to life has been too often narrowly interpreted…. The protection of this right requires that states adopt positive measures. In this context, … states [shall] take all possible measures to reduce infant mortality and to increase life expectancy, especially in
adopting measures to eliminate malnutrition and epidemics.8
Ide bahwa hak-hak ekonomi hanya bisa dicapai secara bertahap berangkat dari gagasan bahwa
pemenuhan hak itu sangat tergantung pada ketersediaan sumber-sumber daya. Anggapan ini
seringkali digunakan dengan merujuk pada pasal 2 Kovenen hak ekososbud yang pada intinya
mengatakan:
“setiap negara pihak… berjanji untuk mengambil langkah-langkah, baik sendiri maupun melalui bantuan kerjasama internasional, …., untuk secara progresif mencapai perwujudan penuh dari hak-hak yang diakui oleh Kovenan ini, … termasuk dengan
pengambilan langkah-langkah legislatif”.9
Dengan rumusan demikian hak-hak ekonomi sosial dianggap tidak memiliki efek kesegeraan
(immediate effect). Pandangan ini tidak seluruhnya tepat pertama karena secara konseptual harus
dibedakan antara cara pemenuhan hak dengan keharusan hak itu dilindungi. Cara pemenuhan
tidak merubah sifat hukum dan kemanusiaan dari hak ekososbud. Karenanya, tidak merubah
status sebagai hak asasi manusia. Lebih dari itu, hak-hak ini tidak tergantung pada ketersediaan
sumber-sumber daya melainkan pada akses yang sama terhadap sumber-sumber tersebut.10
Pemerintah-pemerintah negara-negara kaya dianggap melanggar kewajibannya jika mencegah
akses yang sama terhadap sumber-sumber daya.11
Sebaliknya pemerintah-pemerintah dari negara-
negara miskin yang memiliki sumber daya yang terbatas sekalipun juga dapat memenuhinya
misalnya melalui perangkat perundang-undangan.
7
General Comment adalah interpertasi legal yang dilakukan oleh Komite HAM atau Komite Hak-hak
Ekososbud terhadap pasal-pasal yang terdapat pada Kovenan Hak Sipol (oleh Komite HAM) dan Kovenan
Hak Ekososbud (oleh Komite Hak Ekososbud). 8
General Comment 6 para. 16 HRC (1982), UN Doc. A/37/4-, hal. 93 9
Lihat pasal 2 International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, UNGA Res. 2200 A
(XXI), 16 Des. 1966 10
Pandangan demikian antara lain diungkapkan oleh “Justiciability of Economic, Social and Cultural
Rights” 55 International Commission of Jurists Review hl.207 (Dec. 1995) 11
Tomsevski, Katarina., ‘Justiciability of Economic, Social and Cultural Rights’ 55 International
Commission of Jurists Review (December, 1995), 207, including its footnote no.12 and Gledhill John.,
‘Liberalism, Socio-Economic Rights and the Politics of Identity: From Moral Economy to Indigenous Rights’, in Wilson R. A., (ed.), ibid.
5
Disamping itu, sesunguhnya banyak hak-hak yang dimasukan dalam hak ekososbud yang dapat
memiliki efek kesegeraan dan tidak melulu dipenuhi secara progresif. Sebagai contoh adalah
larangan melakukan diskriminasi (pasal 3), hak atas kondisi kerja yang adil (pasal 7 [a]), hak
mendirikan serikat buruh (pasal 8), hak anak untuk bebas dari eksploitasi ekonomi dan sosial (10
[3]), bahkan juga hak atas tempat tinggal yang layak (pasal 11) yang saat ini termasuk bebas dari
penggusuran paksa.
Demikian pula jika pemenuhan secara progresif berarti meletakan kewajiban negara didasarkan
pada obligation by result (hasil) sedangkan pemenuhan langsung mensyaratkan kewajiban negara
didasarkan pada pelaksaan obligation by conduct (pelaksanaan). Sudah diinterpertasikan pula
secara legal bahwa Hak ekososbud mengandung kewajiban didasarkan pada pelaksaan maupun
didasarkan pada hasil. Hal ini ditegaskan pula dalam Limburg Prinnciples12
yang merupakan
kumpulan prinsip yang disusun para ahli hukum internasional sebagai pedoman implementasi
ICESCR. Disamping itu general comment 3 dari Komite Hak Ekososbud13
juga menjelaskan
bahwa pemenuhan secara progresif bukan berati tidak dapat dipenuhi secara langsung, seperti
larangan melakukan diskriminasi. Dari kedua sumber ini jelas menunjukan bahwa sekalipun
terdapat keterbatasan sumber-sumber daya, negara tetap harus melakukan langkah-langkah yang
dapat memberi efek langsung pada pemenuhan hak.14
Keenam, turunan dari keraguan-keraguan di atas yang lain adalah bahwa hak ekonomi
tidak memiliki kemungkinan diajukan ke pengadilan jika hak ini dilanggar (non justiciability).
Pemahaman ini juga keliru. Sebab banyak hak itu secara konseptual maupun praktis
pemenuhannya dapat dituntut melalui pengadilan. Sebagai contoh adalah hak berorganisasi dan
hak atas tempat tinggal yang layak15
termasuk gugatan class action atas situasi yang menunjukan
peningkatan secara signifikan jumlah orang yang tidak memiliki tempat tinggal.
Sebagai sebuah hak (asasi), yang dimiliki semua manusia karena ia adalah manusia, hak
bukan sebuah pemberian dari siapapun apalagi belas kasih. Oleh karena itu menciptakan
12 Prinsip-prinsip Limburg yang dikembangkan oleh masyarakat warga ini juga telah diadop secara resmi
oleh PBB (UN Doc.E/CN.4/1987/17. Annex) 13
General Comment 3, 1990 (E/1991/23) . 14
General Comment para. 1 dan Prnsip-prinsip Limburg para.16 15
Lihat Laporan Akhir Pelapor Khusus Rajindrar Sachar, July 1995 (E/CN.4.Sub.2/1995/12). Komisi
HAM Eropa dalam kasus Turki vs. Siprus (6780/74 dan 6950/75), 1981 beranggapan bahwa penghancuran rumah dari masyarakat Yunani Siprus sebagai pelanggaran hak asasi manusia dengan mengkaitkan pada pasal 3 Kovenan HAM Eropa mengenai kebebasan dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi.
6
pertanggungjawaban (akuntabilitas) pada pihak lain (pemerintah) untuk menghormatinya dan
melaksanakannya.
Meskipun banyak kasus membuktikan bahwa pelanggaran atas hak-hak ekososbud dapat
dituntut di hadapan pengadilan penerapan hak-hak asasi manusia tidak selalu harus didasarkan
pada kemungkinan untuk dituntut melalui pengadilan. Kasus pengembangan pemukiman di kali
code (dengan lobby dan pengakuan sosial dan politik) memungkinkan penuntutan pemenuhan
hak-hak ekososbud tidak melalui pengadilan. Penuntutan pemenuhan dapat pula dilakukan
dengan misalnya mewajibkan negara menganggarkan sejumlah uang untuk perlindungan dan
pemenuhan hak tersebut atau mewajibkan investor (atau institusi keuangan seperi Bank Dunia)
untuk menghormati hak-hak ini ketika mereka sedang melakukan investasi atau sedang
beroperasi. Artinya hak-hak asasi ekososbud bagaimanapun dapat dipaksakan untuk berlaku
(enforceable), sekalipun tidak dengan cara penuntutan ke pengadilan.
Terakhir, ketujuh namun paling mendasar adalah bahwa hak ini merupakan hak asasi
karena pemenuhan hak-hak itu sangat penting bagi martabat manusia. Tidak terpenuhinya hak-
hak asasi ini mengakibatkan korban semakin jauh dari sumber-sumber daya ekonomi, sosial dan
politik yang merupakan syarat bagi pemenuhan kemanusiaan mereka. Sebagai contoh, para
penghuni pemukiman miskin di perkotaan, mereka justru sering mendapat label kriminal atau
jorok atas pendirian pemukiman mereka secara mandiri. Di sana harapan akan pengakuan dari
pemerintah, masyarakat apalagi hukum lebih merupakan fantasi daripada kenyataan. Pada
gilirannya semakin sulit pulalah upaya warga untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar
mereka. Artinya justru dengan memberi perlindungan hak-hak ekososbud korban semakin
berdaya untuk menjadi warga masyarakat yang aktif – partisipatif.
Uraian panjang di atas tidak mengatakan bahwa tidak ada perbedaan di antar kedua ‘kelompok’
hak tersebut. Hanya perbedaan itu tidak serta merta membuat yang lain terhapus ‘statusnya’
sebagai hak asasi atau mengakibatkan disangkalnya hak ekososbud sebagai hak asai. Kalaupun
ada perbedaan, perbedaan itu terletak pada penekanan tanggung jawab Negara.
Tentu ada cara pandang lain dalam melihat hak asasi manusia daripada pendekatan dikotomis,
yaitu bahwa hak asasi manusia secara konseptual maupun praktis bersifat saling tergantung
(interdependent) dan tidak dapat dibagikan (indivisibility). Pendekatan yang telah lama digunakan
dan disepakati secara internasional.
7
Doktrin tak terpisahkan dan saling tergantung
Perdebatan mengenai hak ekososbud sebagai hak asasi manusia dalam praktek diletakan dalam
perdebatan antara ‘nasi atau kebebasan’. Perdebatan ini berlangsung antara negara maju dan
negara sedang berkembang.
Setelah Perang Dunia II berakhir, banyak negara memperoleh kemerdekaan. Sejarah yang dilalui
oleh negara-negara Selatan memang berbeda dengan sejarah kelahiran hak-hak asasi manusia
negara-negara di belahan bumi utara. Sejumlah akademisi berpandangan bahwa hak asasi
manusia yang ada saat ini tidak dapat berlaku karena apa yang dianggap ‘alamiah’ di negara barat
belum tentu ‘alamiah’ di negara selatan.16
Pandangan ini ‘diambil alih’ oleh pemerintahan,
termasuk pemerintah Indonesia kala itu, untuk menekankan bahwa pembangunan ekonomi lah
yang harus didahulukan daripada penerapan hak asasi manusia. Pembatasan-pembatasan hak
asasi manusia, khususnya hak-hak sipil dan politik dianggap merupakan sebuah kebutuhan untuk
tercapainya pembangunan (baca:pertumbuhan). Pembatasan hak asasi merupakan trade off dari
pembangunan.
Meskipun luasnya kemiskinan dan multi etnisnya masyarakat di Indonesia mengandung
kebenaran, namun penyangkalan hak asasi manusia berdasarkan kebutuhan prioritas
(pembangunan) tidak terbukti. Demikian pula dengan alasan mendahulukan hak ekonomi, sosial
dan budaya daripada hak sipol.
Pengejaran pertumbuhan ekonomi justru menghasilkan kesenjangan ekonomi yang lebih dalam.
Berbagai studi menunjukan bahwa dengan penundaan penerapan hak asasi dalam hal ini terutama
hak sipol justru bukan hanya hak asasi yang tidak tercapai tapi juga pembangunan itu sendiri,
sebagaimana kemudian terbukti dengan krisis ekonomi tahun 1997. Di banyak negara, termasuk
Indonesia, slogan ini justru digunakan untuk mengabsahkan kebijakan-kebijakan represif negara
terhadap warganya. Kebebasan disembunyikan dalam nama ‘pertumbuhan’. Secara konseptual
maupun praktis penghormatan/perlindungan hak sipol membantu proses distribusi sumber-
sumber daya (kesejahteraan) dan sebaliknya penghormatan/perlindungan hak-hak ekososbud
memperkuat pelaksaan hak sipol. Penghormatan hak-hak sipol dapat memperkuat masyarakat
dalam mengontrol dan menentukan negara untuk memenuhi tugas-tugasnya dalam
16
Pollis dan Scwab, “ Human Rights: A Western Construct with Limited Applicability” dalam Pollis, A. dan
Scwab (eds.) “Human Rights, Cultural and Ideological Perspectices” (Proeger 1980).
8
mensejahterakan rakyat. Sebaliknya, pemenuhan hak ekososbud dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan.
Kesalingan ini tampak pula dalam realitas. Contoh klasik adalah seorang tahanan politik tidak
saja kehilangan hak untuk bebas dari pemenjaraan yang semena-mena tapi juga kehilangan hak
atas kerja maupun hak untuk menikmati hidup keluarga. Hak-hak buruh pabrik untuk memiliki
upah yang layak akan sangat sulit terpenuhi tanpa pengakuan atas hak-hak politik mereka untuk
membentuk organisasi buruh, melakukan pemogokan, termasuk hak untuk menyatakan pendapat
dan untuk iktu menentukan kebijakan-kebijakan publik.. Di pihak lain, realisasi hak berorganisasi
akan sangat sulit dilakukan ketika buruh tidak memiliki penghasilan yang cukup. Mereka bahkan
harus lembur untuk mengisi kekurangan penghasilan, harus bermukim di tempat-tempat yang
tidak sehat dengan fasilitas yang sangat terbatas. Akibatnya waktu yang disisihkan untuk
berorganisasi juga menjadi terbatas. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi, kebebasan
berorganisasi, hak atas informasi, dan kebebasan dari penyiksaan dan kehidupan yang tidak
manusiawi merupakan hak-hak yang berkaitan erat dengan pemenuhan hak atas tempat tinggal
layak.
Kesaling-terkaitan dan ketergantungan antara hak sipol dan ekososbud juga diperkuat dengan
berbagai studi. Amartya Sen, seorang pemenang hadiah nobel, menunjukan bahwa dinikmatinya
hak-hak ekonomi meningkatkan kebebasan individu-individu dengan meningkatnya kemampuan
hidup mereka. Dari pendapat beliau dapat dikatakan bahwa bukan untuk memilih ‘nasi’ atau
‘kebebasan’ atau mendahulukan salah satu hak, tapi bahwa pemenuhan hak asasi manusia,
khususnya di negara-negara miskin, memerlukan penerapan kedua hak tersebut.
Kalau realita saat ini terdapat dua kovenan yang membedakan hak sipol dan ekososbud,
kenyataan itu sebenarnya merupakan ‘keterpaksaan sejarah’. Sebab, pada mulanya dirancang satu
perjanjian internasional yang mengikat (bukan semata deklaratif) yang mengelaborasi hak-hak
yang tertuang dalam DUHAM. Namun, karena saat itu penuh dengan tarik-tarikan politik akibat
perang dingin maka lahirlah dua kovenan hak asasi manusia ICCPR (kovenan hak sipol) dan
ICESCR (kovenan hak ekososbud).17
17
Lihat Craven, Matthew “The International Convention on Economic, Social and Cultural Rights” di Raija H dan Markku S. (ed.) “An Introduction to the International of Human Rights: A Textbook” hl 21 (1997) dan Eide, Asbjorn “Strategies for the Realisation of the Right to Food” dalam Mahorney K,
Mahoney P., (ed.) “Human Rights in the 21st
Century: A Global Challenge” 460 (1993)
9
Kemungkinan yang lain dari kaburnya pemisahan demikian adalah anggapan yang keliru bahwa
persoalan ekonomi bukan persoalan yang melibatkan penyelenggaraan kekuasaan -- yang seperti
kekuasaan lainnya sanggup menindas martabat manusia.18
Dalam hal ini adalah kekuasaan modal;
yang seringkali justru lebih besar dan berbahaya dari kekuasaan negara.19
Dalam persepsi tersebut
kekuasaan modal ‘dikamarkan’ dalam ranah privat dan tidak bukan ’ranah publik’.
Doktrin fundamental indvisibility dan interdependent ini juga telah mendapat pengakuan
internasional sebagaimana ditegaskan dalam berbagai konvensi. Bukan saja ia tercermin dalam
DUHAM, tapi juga dalam Deklarasi Wina, Proklamasi Teheran (pasal 3), Deklarasi Hak atas
Pembangunan. Sejumlah instrumen hak asasi manusia, seperti Konvensi mengenai hak-hak Anak
(CRC), Konvensi mengenai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW), mengenai penghapusan segala bentuk diskriminas (CERD) mengintegrasikan kedua
‘jenis’ hak asasi tersebut dalam satu konvensi. Seperti disinggung di atas hak membentuk serikat
buruh (pasal 8 ICESCR) memiliki bahasa yang sama dalam ICCPR (pasal 22). Pengakuan yang
begitu luas atas doktrin kesaling-tergantungan dari hak-hak asasi manusia berarti bahwa hak-hak
yang satu (sipol/ekososbud) tidak dapat didahulukan oleh hak (ekososbud/sipol) yang lain.
Bisa disimpulkan bahwa hak asasi manusia meski bersifat dinamis senantiasa membela
kepentingan martabat manusia. Ciri utama hak asasi manusia bersifat indivisibility dan
interdependent. Sehubungan dengan hal ini, hak-hak ekososbud sebagaimana hak-hak sipil dan
politik merupakan hak-hak asasi manusia yang universal, yang dapat dimintai
pertanggungjawaban, dapat dipaksakan keberlakuannya (enforceable), dan pemenuhannya sangat
berarti bagi pemenuhan hak-hak asasi yang lain (sipol maupun hak ekososbud lainnya).
3. Sistem internasional untuk perlindungan hak ekososbud
Perlindungan Hukum HAM internasional dalam masa damai didasarkan pada pengakuan
bahwa setiap umat manusia, terlepas dari negara ia berasal, memiliki hak-hak dasar semata-mata
karena dia adalah manusia. Sistem perlindungan hak asasi manusia melalui perjanjian-perjanjian
internasional yang tumbuh pesat sejak PD II bukan sebuah kebetulan. Akan tetapi merupakan
reaksi wajar atas kekejaman yang terjadi pada saat itu sehingga ada kehendak kuat untuk
18 Herry Priyono, Kompas 5/3/2002
19 Secara tradisional hak asasi manusia ada untuk menghadapi kekuasaan ‘negara’ yang memiliki monopoli
otoritas untuk memaksa. Oleh karena itu ‘negara’ memikul (3) tanggung jawab penegekan HAM.
10
mencegah terulangnya kembali pelanggaran hak asasi yang sama. Dasar dari perlindungan
internasional hak asasi manusia sangat jelas dalam pembukaan Piagam PBB yang menyatakan
tujuan adanya PBB: “menyelamatkan generasi-generasi yang akan datang dari musibah perang,
dan menegaskan kembali keyakinannya pada hak-hak asasi fundamental”.20
Selanjutnya
pasal-pasal 1(3)21
, 55 dan 56 dari Piagam memberi landasan utama bagi perumusan standar hak
asasi manusia dan sistem perlindungan internasional hak asasi manusia sebagaimana terlihat
dalam konvensi-konvensi internasional hak asasi manusia. Artinya persoalan hak asasi manusia
merupakan kepedulian yang sah dari masyarakat dunia. Aturan-aturan tersebut menjadi dasar bagi
sistem perlindungan hak asasi manusia universal. Dari sini dirumuskan substansi HAM dan
diciptakan mekanisme-mekanisme untuk melindunginya oleh organ-organ PBB.
Sumber yang paling eksplisit dan utama dari hak-hak ekonomi, sosial dan budaya adalah
DUHAM (Universal Declaration of Human Rights)22
yang kemudian dielaborasi lebih lanjut
dalam ICESR.23
Sebagai kovenan yang memberi daging (substansi) dan efek dari DUHAM, hak-
hak dan batasan-batasannya terformulasi secara lebih terinci di dalamnya. Disamping itu adalah
konvensi-konvensi HAM lain seperti Konvensi HAK Anak (CRC), Konvensi Pneghapusan
Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), dan kovensi-kovensi ILO serta instrumen HAM
regional seperti Social Charter Eropa. Instrumen-instrumen hak asasi manusia yang mengambil
semangatnya dari DUHAM ini dapat menjadi jurisprudence yang kuat untuk interpertasi dan
implementasi dari hak-hak tersebut.24
Perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia adalah salah satu instrumen
perlindungan sekaligus sumber hukum hak asasi manusia yang utama. Bahkan secara teoritis
maupun praktis, perjanjian-perjanjian internasional mendapat bobot yang besar dalam
20 Pasal 1 Paragraf 3 Piagam PBB. Penebalan oleh penulis. Basic Documents in International Law (4
th Ed.),
Ian Brownlie (ed.), 1995 hal. 3 21
dijelaskan maksud dari berdirinya PBB antara lain adalah: “to achieve international co-operation in ..
promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without
distinction as to race, sex, language or religion”. 22
UN General Assembly Res. 217 A (III) of December 1948 23
UN General Assembly Res. 2200 A (XXI), 16 December 1966. 24
DUHAM, meski dalam bentuk ‘soft law’ telah memperoleh otoritas yang kuat untuk disebut sebagai
hokum kebiasaan internasional. Lihat, Advisory Opinion on the Legal Consequences for the States of the
Continued Presence of South Africa in Namibia (Namibia Opinion) ICJ Rep. 1971, pp.16,67,76; and in USA v. Iran ICJ Rep. 1980, 3, 42, para.91 (selanjutny disebut Hostage Case).
11
perlindungan hak asasi manusia.25
Di dalamnya terumus norma-norma hak asasi manusia yang
menjadi standar universal.26
Melalui ratifikasi perjanjian internasional terbuka proses integrasi
norma-norma hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional. Disamping itu terdapat berbagai
bentuk mekanisme lain. Di PBB (tingkat global) mekanisme itu didasarkan atas perjanjian
internasional (treaty based) dan pada Piagam PBB (charter based).27
Di tingkat regional untuk
hak ekonomi, kita mengenal Social Charter28
negara-negara persatuan Eropa dan African Charter
on Human Rights and Peoples’. Di tingkat nasional hak-hak ini dijamin dalam Konstitusi, seperti
hak bekerja, hak atas tempat tinggal dan social security dijamin dalam UUD 1945.29
Kovenan mengenai hak ekososbud terdiri dari tiga puluh satu (31) pasal yang diatur
dalam 6 bagian, yang bagian pertamanya sama dengan saudaranya ICCPR. Jantung dari Kovenan
ini berada pada Bagian III (pasal 6-15) yang menguraikan hak-hak yang dilindungi, yaitu:
a. Hak atas kerja (right to work)
b. Hak atas kondisi kerja yang layak (pasal 7)
c. Hak untuk bergabung dan membentuk serikat buruh (pasal 8)
d. Hak atas jaminan sosial (pasal 9)
e. Hak atas perlindungan bagi keluarga (pasal 10)
f. Hak atas standar hiudp yang layak, termasuk hak atas pangan, pakain dan tempat tinggal
(pasal 11)
g. Hak atas kesehatan (pasal 12)
h. Hak atas pendidiakan (pasal 13)
i. Hak atas kebudayaan (pasal 15)
Lingkup dan penapsiran hak-hak ini terus berkembang. Lembaga-lembaga HAM
internasional seperti Committee on Economic, Social and Cultural Rights atau Komisi HAM dan
Sub Komisi HAM PBB serta lembaga-lembaga HAM yang dibentuk oleh perjanjian-perjanjian
HAM internasional di atas, mengembangkan kandungan dari hak-hak tersebut.30
Dapat dikatakan
25 Chaloka Beyani, “The Legal Prmises for the International Protection of Human Rights” di Guy S.
Goodwin-Gill and S.Talmon (ed.) The Reality of International Law Essays in Honour of Ian Brownlie. hal.
21-35 26
Saat ini terdapat 6 Konvensi HAM utama yaitu ICCPR, ICESCR, CAT, CEDAW,CERD dan CRC 27
Lihat H Hannum (ed), ‘Guide to International Human Rights Practice’ hal. 44-59 dan 61-84. 28
European Social Charter, 529 UNTS 89, berlaku sejak 26 Feb. 1965 29
Afrika Selatan disebut-sebut sebagai negara yang memberi jaminan perlindungan hak ekososbud di
dalamnya. 30
Berbeda dengan ICCPR yang memiliki organ untuk memantau pelaksanaan HAM dari konvensi bersangkuta (biasa dikenal dengan treaty based organs) untuk hak-hak ekososbud tidak demikian. Organ itu
12
bahwa keputusan-keputusan dan prinsip-prinsip yang dibentuk melalui badan-badan ini seperti
general comment pada dasarnya berakar pada DUHAM. Yurispruden-yurispruden di tingkat
nasional31
, regional dan internasional yang menawarkan batasan dari hak-hak tersebut juga
membentuk standar hukum hak asasi manusia dan dapat digunakan sebagai perbandingan.
Sebagai contoh Komite misalnya telah secara konsisten menyatakan bahwa penggusuran
merupakan pelanggaran dari hak atas tempat tinggal, Republik Dominik (1990), Panama (1992),
Kenya (1993) dan Filipina (1993) telah dinyatakan melakukan pelanggaran HAM. Sikap-sikap
demikian dapat dikatakan memiliki fungsi lebih dari sekedar saran dan quasi legal.32
Melalui
putusan-putusan demikian, yang mengembangkan kandungan dari hak-hak bersangkutan serta
kewajiban yang behubungan dengannya, perlawanan kelompok masyarakat yang dirugikan
memperoleh landasan (hukum) yang lebih kuat.
Walaupun masih banyak yang harus dikembangkan untuk menentukan isi dari hak bersangkutan
telah banyak putusan institusi internasional hak asasi manusia yang bisa dipakai untuk
menentukan kandungan hak bersangkutan. Upaya yang paling menonjol adalah apa yang dikenal
dengan Prinsip-prinsip Limburg dan Pedoman Maastrich untuk pelanggaran hak-hak ekososbud
dan berbagai general comment yang dihasilkan komite hak ekososbud. 33
Prinsip-prinsip ini dapat
digunakan sebagai ‘pisau’ untuk menentukan derajat pemenuhan hak-hak asasi ekonomi, sosial
dan budaya.
merupakan bagian dari ECOSOC namun hasil-hasil keputusannya diakui secara internasional memiliki otoritas yang sama. 31
Banyak kasus di berbagai negara yang menghukum pelanggaran hak-hak EKOSOSBUD. Lihat Michael
K Addo “Justiciability Re-examined” hl. 9. 32
Lihat Craven M. “Toward an Unoficial Petition Porcedure: A review of the role of the UN Committee on
Economic, Social, and Cultural Rights”, dalam K Drzewiki and Rosas (ed.) “Social Rights as Human
Rights: A European Challenge”, hal.91-113 (1994). 33
Prinsip-prinsip ini memang tidak mengikat secara hukum namun diakui bermanfaat dalam mengefek- tifkan dan memonitor pelaksanaan hak-hak asasi tersebut.