ca colorectal
DESCRIPTION
kanker kolonTRANSCRIPT
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Kanker Kolorektal
Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang berasal dari mukosa kolon
atau rektum. Kebanyakan kanker kolorektal berkembang dari polip, oleh karena
itu polpektomi kolon mampu menurunkan kejadian kanker kolorektal. Polip kolon
dan kanker pada stadium dini terkadang tidak menunjukkan gejala. Secara
histopatologis, hampir semua kanker usus besar adalah adenokarsinoma (terdiri
atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi mukus yang jumlahnya berbeda-beda.
Tumor dapat menyebar melalui infiltrasi langsung ke struktur yang berdekatan,
seperti ke dalam kandung kemih, melalui pembuluh limfe, dan melalui aliran
darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirkan darah ke sistem portal.1
2.2. Anatomi Kolon dan Rektum
Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang
sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter
usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6,5 cm (2,5
inci), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil.1
Usus besar terdiri dari 6 bagian, yaitu sekum, kolon ascenden, kolon transversum,
kolon descenden, kolon sigmoid dan rektum. Berbeda dengan mukosa usus halus,
pada mukosa kolon tidak dijumpai vili dan kelenjar biasanya lurus-lurus dan
teratur.
2.2.1. Sekum
Merupakan kantong yang terletak di bawah muara ileum pada usus besar. Panjang
dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Sekum terletak pada fossa iliaka
kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinal. Biasanya sekum
seluruhnya dibungkus oleh peritoneum sehingga dapat bergerak bebas, tetapi tidak
mempunyai mesenterium; terdapat perlekatan ke fossa iliaka di sebelah medial
5
dan lateral melalui lipatan peritoneum yaitu plica caecalis, menghasilkan suatu
kantong peritoneum kecil, recessus retrocaecalis.2
Gambar 2.1. Anatomi Kolon dan Rektum
2.2.2. Kolon ascenden
Bagian ini memanjang dari sekum ke fossa iliaka kanan sampai ke sebelah kanan
abdomen. Panjangnya 13 cm, terletak di bawah abdomen sebelah kanan, dan di
bawah hati membelok ke kiri. Lengkungan ini disebut fleksura hepatica (fleksura
coli dextra) dan dilanjutkan dengan kolon transversum.
2.2.3. Kolon Transversum
Merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling dapat bergerak bebas
karena tergantung pada mesokolon, yang ikut membentuk omentum majus.
Panjangnya antara 45-50 cm, berjalan menyilang abdomen dari fleksura coli
6
dekstra sinistra yang letaknya lebih tinggi dan lebih ke lateralis. Letaknya tidak
tepat melintang (transversal) tetapi sedikit melengkung ke bawah sehingga
terletak di regio umbilikalis.2
2.2.4. Kolon descenden
Panjangnya lebih kurang 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri, dari atas
ke bawah, dari depan fleksura lienalis sampai di depan ileum kiri, bersambung
dengan sigmoid, dan dibelakang peritoneum.
2.2.5. Kolon sigmoid
Disebut juga kolon pelvinum. Panjangnya kurang lebih 40 cm dan berbentuk
lengkungan huruf S. Terbentang mulai dari apertura pelvis superior (pelvic brim)
sampai peralihan menjadi rektum di depan vertebra S-3. Tempat peralihan ini
ditandai dengan berakhirnya ketiga taeniae coli, dan terletak + 15 cm di atas anus.
Kolon sigmoideum tergantung oleh mesokolon sigmoideum pada dinding
belakang pelvis sehingga dapat sedikit bergerak bebas..2
2.2.6. Rektum
Bagian ini merupakan lanjutan dari usus besar, yaitu kolon sigmoid dengan
panjang sekitar 15 cm. Rektum memiliki tiga kurva lateral serta kurva
dorsoventral. Mukosa dubur lebih halus dibandingkan dengan usus besar (Saladin,
2008). Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior
kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvic dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflectum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari
usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal,
dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur
pasase isi rektum ke dunia luar.2
7
2.3. Fungsi Kolon dan Rektum
Usus besar atau kolon mengabsorbsi 80% sampai 90% air dan elektrolit dari
kimus yang tersisa dan mengubah kimus dari cairan menjadi massa semi padat.
Usus besar hanya memproduksi mukus. Sekresinya tidak mengandung enzim atau
hormon pencernaan. Sejumlah bakteri dalam kolon mampu mencerna sejumlah
kecil selulosa dan memproduksi sedikit kalori nutrien bagi tubuh dalam setiap
hari. Bakteri juga memproduksi vitamin K, riboflavin, dan tiamin, dan berbagai
gas. Usus besar mengekskresi zat sisa dalam bentuk feses .3
Fungsi utama dari rektum dan kanalis anal ialah untuk mengeluarkan massa feses
yang terbentuk dan melakukan hal tersebut dengan cara yang terkontrol. Fungsi
rektum berhubungan dengan defekasi sebagai hasil refleks. Apabila feses masuk
ke dalam rektum, terjadi peregangan rektum sehingga menimbulkan gelombang
peristaltik pada kolon descendens dan kolon sigmoid mendorong feses ke arah
anus, sfingter ani internus dihambat dan sfingter ani internus melemas sehingga
terjadi defekasi. Feses tidak keluar secara terus menerus dan sedikit demi sedikit
dari anus berkat adanya kontraksi tonik otot sfingter ani internus dan externus .4
2.4. Epidemiologi Kanker Kolorektal
2.4.1. Distribusi dan Frekuensi
2.4.1.1. Orang
Sekitar 75% dari kanker kolorektal terjadi pada orang yang tidak memiliki faktor
risiko tertentu. Sisanya sebesar 25% kasus terjadi pada orang dengan faktor-faktor
risiko yang umum, sejarah keluarga atau pernah menderita kanker kolorektal atau
polip, terjadi sekitar 15-20% dari semua kasus. Faktor-faktor risiko penting
lainnya adalah kecenderungan genetik tertentu, seperti Hereditary Nonpoliposis
Kolorektal Cancer (HNPCC; 4-7% dari semua kasus) dan Familial Adenomatosa
Poliposis (FAP, 1%) serta Inflammatory Bowel Disease (IBD; 1% dari semua
kasus).
8
2.4.1.2. Tempat dan Waktu
Penyakit kanker kolorektal paling banyak ditemukan di Amerika Utara, Australia,
Selandia Baru dan Eropa. Kanker kolorektal paling sedikit dijumpai di Afrika.
Kanker kolorektal merupakan penyebab kematian keempat terbanyak dari seluruh
pasien kanker di Amerika Serikat. Lebih dari 150.000 kasus terdiagnosis setiap
tahunnya dan angka kematiannya mencapai 60.000. Pasien kanker kolorektal di
Amerika Serikat umumnya berusia di atas 60 tahun dengan angka kematian
tertinggi pada usia 55 tahun .Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi
geografik pada insidens yang ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial
ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara negara maju dan
berkembang.4,5
2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kanker kolorektal yaitu:
2.4.2.1. Umur
Kanker kolorektal sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 90% penyakit ini
menimpa penderita di atas usia 40 tahun, dengan insidensi puncak pada usia 60-70
tahun (lansia). Kanker kolorektal ditemukan di bawah usia 40 tahun yaitu pada
orang yang memiliki riwayat kolitis ulseratif atau poliposis familial.1
2.4.2.2. Faktor Genetik
Meskipun sebagian besar kanker kolorektal kemungkinan disebabkan oleh faktor
lingkungan, namun faktor genetik juga berperan penting. Ada beberapa indikasi
bahwa ada kecenderungan faktor keluarga pada terjadinya kanker kolorektal.
Risiko terjadinya kanker kolorektal pada keluarga pasien kanker kolorektal adalah
sekitar 3 kali dibandingkan pada populasi umum. Banyak kelainan genetik yang
dikaitkan dengan keganasan kanker kolorektal diantaranya sindrom poliposis.
Namun demikian sindrom poliposis hanya terhitung 1% dari semua kanker
kolorektal. Selain itu terdapat Hereditary Non-Poliposis Kolorektal Cancer
(HNPCC) atau Syndroma Lynch terhitung 2-3% dari kanker kolorektal4.
2.4.2.3. Faktor Lingkungan
9
Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik
dan faktor lingkungan. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa lingkungan berperan
penting pada kejadian kanker kolorektal. Risiko mendapat kanker kolorektal
meningkat pada masyarakat yang bermigrasi dari wilayah dengan insiden kanker
kolorektal yang rendah ke wilayah dengan risiko kanker kolorektal yang tinggi.
Hal ini menambah bukti bahwa lingkungan sentrum perbedaan pola makanan
berpengaruh pada karsinogenesis.4
2.4.2.4. Faktor Makanan
Makanan mempunyai peranan penting pada kejadian kanker kolorektal.
Mengkonsumsi serat sebanyak 30 gr/hari terbukti dapat menurunkan risiko
timbulnya kanker kolorektal sebesar 40% dibandingkan orang yang hanya
mengkonsumsi serat 12 gr/hari. Orang yang banyak mengkonsumsi daging merah
(misal daging sapi, kambing) atau daging olahan lebih dari 160 gr/hari (2 porsi
atau lebih) akan mengalami peningkatan risiko kanker kolorektal sebesar 35%
dibandingkan orang yang mengkonsumsi kurang dari 1 porsi per minggu.
Menurut Daldiyono et al. (1990), dikatakan bahwa serat makanan terutama yang
terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin sebagian besar tidak dapat
dihancurkan oleh enzim-enzim dan bakteri di dalam tractus digestivus. Serat
makanan ini akan menyerap air di dalam kolon, sehingga volume feses menjadi
lebih besar dan akan merangsang syaraf pada rektum, sehingga menimbulkan
keinginan untuk defekasi. Dengan demikian tinja yang mengandung serat akan
lebih mudah dieliminir atau dengan kata lain transit time yaitu kurun waktu antara
masuknya makanan dan dikeluarkannya sebagai sisa makanan yang tidak
dibutuhkan tubuh menjadi lebih singkat. Waktu transit yang pendek,
menyebabkan kontak antara zat-zat iritatif dengan mukosa kolorektal menjadi
singkat, sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di kolon dan rektum. Di
samping menyerap air, serat makanan juga menyerap asam empedu sehingga
hanya sedikit asam empedu yang dapat merangsang mukosa kolorektal, sehingga
timbulnya karsinoma kolorektal dapat dicegah.
10
2.4.2.5. Poliposis Familial
Poliposis Familial diwariskan sebagai sifat dominan autosom. Insiden pada
populasi umum adalah satu per 10.000. Jumlah total polip bervariasi 100-10.000
dalam setiap usus yang terserang. Bentuk polip ini biasanya mirip dengan polip
adenomatosun bertangkai atau berupa polip sesil, akan tetapi multipel tersebar
pada mukosa kolon. Sebagian dari poliposis ini asimtomatik dan sebagian disertai
keluhan sakit di abdomen, diare, sekresi lendir yang meningkat dan perdarahan
kecil yang mengganggu penderita. Polip cenderung muncul pada masa remaja dan
awal dewasa dan risiko karsinoma berkembang di pasien yang tidak diobati adalah
sekitar 90% pada usia 40 tahun.
2.4.2.6. Polip Adenoma
Polip Adenoma sering dijumpai pada usus besar. Insiden terbanyak pada umur
sesudah dekade ketiga, namun dapat juga dijumpai pada semua umur dan laki-laki
lebih banyak dibanding dengan perempuan. Polip adenomatosum lebih banyak
pada kolon sigmoid (60%), ukuran bervariasi antara 1-3 cm, namun terbanyak
berukuran 1 cm. Polip terdiri dari 3 bagian yaitu puncak, badan dan tangkai. Polip
dengan ukuran 1,2 cm atau lebih dapat dicurigai adanya adenokarsinoma.
Semakin besar diameter polip semakin besar kecurigaan keganasan. Perubahan
dimulai dibagian puncak polip, baik pada epitel pelapis mukosa maupun pada
epitel kelenjar, meluas ke bagian badan dan tangkai serta basis polip. Risiko
terjadinya kanker meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran dan jumlah
polip.
2.4.2.7. Adenoma Vilosa
Adenoma vilosa jarang terjadi, berjumlah kurang dari 10% adenoma kolon.
Terbanyak dijumpai di daerah rectosigmoid dan biasanya berupa massa papiler,
soliter, tidak bertangkai dan diameter puncak tidak jauh berbeda dengan ukuran
basis polip. Adenoma vilosa mempunyai insiden kanker sebesar 30-70%.
Adenoma dengan diameter lebih dari 2 cm, risiko menjadi kanker adalah 45%.
Semakin besar diameter semakin tinggi pula insiden kanker.6
11
2.4.2.8. Kolitis Ulserosa
Perkiraan kejadian kumulatif dari kanker kolorektal yang berhubungan dengan
kolitis ulserosa adalah 2,5% pada 10 tahun, 7,6% pada 30 tahun, dan 10,8% pada
50 tahun.Kolitis ulserosa dimulai dengan mikroabses pada kripta mukosa kolon
dan beberapa abses bersatu membentuk ulkus. Pada stadium lanjut timbul
pseudopolip yaitu penonjolan mukosa kolon yang ada diantara ulkus. Perjalanan
penyakit yang sudah lama, berulang-ulang, dan lesi luas disertai adanya
pseudopolip merupakan resiko tinggi terhadap karsinoma. Pada kasus demikian
harus dipertimbangkan tindakan kolektomi. Tujuannya adalah mencegah
terjadinya karsinoma (preventif) dan menghindari penyakit yang sering berulang-
ulang. Karsinoma yang timbul sebagai komplikasi kolitis ulserosa sifatnya lebih
ganas, cepat tumbuh dan metastasis.
2.5. Gambaran Klinis Kanker Kolorektal
Karsinoma kolon dan rektum dapat menyebabkan ulserasi, atau perdarahan,
menimbulkan obstruksi bila membesar, atau menembus (invasi) keseluruh dinding
usus dan kelenjar-kelenjar regional. Kadang-kadang bisa terjadi perforasi dan
menimbulkan abses di peritonium. Keluhan dan gejala tergantung juga dari lokasi
dan besarnya tumor.7
2.5.1. Karsinoma Kolon Sebelah Kanan
Penting untuk diketahui bahwa umumnya pasien dengan karsinoma pada sekum
atau pada ascending kolon biasanya memperlihatkan gejala nonspesifik seperti
kekurangan zat besi (anemia). Kejadian anemia ini biasanya meningkatkan
kemungkinan terjadinya karsinoma kolon yang belum terdeteksi, yang lebih
cenderung berada di proksimal daripada di kolon distal. Beberapa tanda gejala
yang terlihat yaitu berat badan yang menurun dan sakit perut pada bagian bawah
yang relatif sering, tetapi jarang terjadi pendarahan di anus. Pada 50-60% pasien
terdapat massa yang teraba di sisi kanan perut.
2.5.2. Karsinoma kolon sebelah kiri
12
Jika karsinoma terletak pada bagian distal, maka kemungkinan besar akan ada
gangguan pada kebiasaan buang air besar, serta adanya darah di feses. Beberapa
karsinoma pada transversa kolon dan kolon sigmoid dapat teraba melalui dinding
perut (Jones, 1990). Karsinoma sebelah kiri lebih cepat menimbulkan obstruksi,
sehingga terjadi obstipasi. Tidak jarang timbul diare paradoksikal, karena tinja
yang masih encer dipaksa melewati daerah obstruksi partial.7
2.5.3. Karsinoma Rektum
Sering terjadi gangguan defekasi, misalnya konstipasi atau diare. Sering terjadi
perdarahan yang segar dan sering bercampur lendir, berat badan menurun. Perlu
diketahui bahwa rasa nyeri tidak biasa timbul pada kanker rektum. Kadang-
kadang menimbulkan tenesmus dan sering merupakan gejala utama.
2.6. Patologi Kanker Kolorektal
Karsinoma kolorektal adalah penyakit yang berasal dari sel epitel yang karena
faktor herediter atau mutasi somatik memicu terjadinya pembelahan sel tanpa
batas. Biar apapun precursornya, alterasi pada set genetik yang membawa kepada
malignan kolorektal. Model yang dibina oleh Fearon dan Vogelstain sangat
diterima sebagai prototype sekuens perkembangan kanker kolorektal. Dasar
patologik bagi model ini adalah adenoma-carcinoma sekuens. Kejadian karsinoma
tanpa bukti adenomatues precursor mencadangkan bahwa ada beberapa lesi
displastik dapat digenerasi menjadi malignan tanpa melalui tahapan polipoid.
Secara molekular karsinogenesis, telah muncul beberapa studi yang
mencadangkan mekanisme evolusi kanker. Ada 2 alur patogenetik yang
membawa kepada perkembangan kanker kolorektal. Kedua-duanya ada mutasi
multiple tetapi yang membedakannya adalah gen yang terlibat dan mekanisme
akumulasi mutasi.
Alur pertama adalah APC/ β-catherin, diakibatkan oleh instabilitas kromosom
yang menyebabkan akumulasi mutasi dalam satu siri onkogen dan gen tumor
suppressor. Evolusi molekular dalam alur ini berlaku secara satu siri tahapan
13
identifikasi morfologi. Pertama adalah kolon yang normal, menjadi mukosa yang
beresiko, kemudian menjadi adenoma dan berkembang menjadi karsinoma. Alur
kedua pula adalah alur instabilitas mikrosatelite. Alur ini dikarakteristik oleh lesi
genetik pada DNA mismatch repair genes. Seperti dalam alur pertama, juga ada
akumulasi mutasi, tetapi pada alur kedua melibatkan gen yang berbeda, tidak ada
adenoma-carcinoma sekuens atau tahapan identifikasi morfologi. Defek DNA
repair yang disebabkan oleh inaktivasi DNA mismatch repair genes menginisiasi
permulaan kanker kolorektal. Mutasi inheritan dalam gen yang terlibat dalam
DNA repair bertanggungjawab untuk familial sindrom. Pada umumnya, dalam
perjalanan penyakit, pertumbuhan adenokarsinoma usus besar sebelah kanan dan
kiri berbeda. Adenokarsinoma usus besar kanan (sekum, kolon ascenden,
transversum sampai batas fleksura lienalis), tumor cenderung tumbuh eksofitik
atau polipoid. Pada permulaan, massa tumor berbentuk sesil, sama seperti tumor
kolon kiri. Akan tetapi kemudian tumbuh progresif, bentuk polipoid yang mudah
iritasi dengan simtom habit bowel: sakit di abdomen yang sifatnya lama. Keluhan
sakit, sering berkaitan dengan makanan/minuman atau gerakan peristaltik dan
kadang-kadang disertai diare ringan. Berat badan semakin menurun dan anemia
karena adanya perdarahan kecil tersembunyi. Konstipasi jarang terjadi, mungkin
karena volum kolon kanan lebih besar. Suatu saat dapat dipalpasi massa tumor di
rongga abdomen sebelah kanan.
Karsinoma usus besar kiri (kolon transversum batas fleksura lienalis, kolon
descenden, sigmoid dan rektum) tumbuh berbentuk cincin menimbulkan napkin-
ring. Pada permulaan, tumor tampak seperti massa berbentuk sesil, kemudian
tumbuh berbentuk plak melingkar yang menimbulkan obstipasi. Kemudian bagian
tengah mengalami ulserasi yang menimbulkan gejala diare, tinja campur lendir
dan darah, konstipasi dan tenesmus mirip dengan sindrom disentri.
2.7. Stadium Kanker Kolorektal
14
Setelah melakukan biopsi-endoskopi dan bedah, kanker dapat diklasifikasikan.
Staging secara umum sangat penting sebagai indikator prognostik. Secara umum
kanker dapat dikategorikan dari stadium 1 hingga 4, tetapi untuk kanker
kolorektal , dengan lebih spesifik stagingnya dikenali sebagai Dukes. Maka,
stadium 1 hingga 4 berkorelasi dengan staging Duke dari A hingga D.
Tabel 2.1. Stadium Kanker KolorektalStadium kanker kolorektal
Dukes TNM Derajat Deskripsi HistopatologiA T1N0M0 I Kanker terbatas pada
mukosa/submukosa B1 T2N0M0 I Kanker mencapai muskularis B2 T3N0M0 II Kanker cenderung untuk masuk atau
melewati lapisan serosa C TxN1M0 III Tumor melibatkan Kelenjar Getah
Bening Regional D TxNxM1 IV Metastasis
Prognosis dari pasien kanker kolorektal berhubungan dengan dalamnya penetrasi
tumor ke dinding kolon, keterlibatan kelenjar getah bening regional atau
metastasis jauh. Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan sistem
staging yang awalnya diperhatikan oleh Dukes.
15
Gambar 2.2 Stadium Kanker Kolorektal
2.8. Diagnosis Kanker Kolorektal
2.8.1. Anamnesis
Meliputi perubahan pola kebiasaan defekasi, baik berupa diare ataupun konstipasi
(change of bowel habit), perdarahan per anum (darah segar), penurunan berat
badan, faktor predisposisi (risk factor), riwayat kanker dalam keluarga, riwayat
polip usus, riwayat kolitis ulserosa, riwayat kanker payudara/ovarium, uretero
sigmoidostomi, serta kebiasaan makan (rendah serat, banyak lemak).7
2.8.2. Pemeriksaan Fisik
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah adanya perubahan pola buang air
besar (change of bowel habits), bisa diare bisa juga obstipasi. Semakin distal letak
tumor semakin jelas gejala yang ditimbulkan karena semakin ke distal feses
semakin keras dan sulit dikeluarkan akibat lumen yang menyempit, bahkan bisa
disertai nyeri dan perdarahan, bisa jelas atau samar. Warna perdarahan sangat
bervariasi, merah terang, purple, dan kadang kala merah kehitaman. Makin ke
distal letak tumor warna merah makin pudar. Perdarahan sering disertai dengan
16
lendir, kombinasi keduanya harus dicurigai adanya proses patologis pada
kolorektal. Selain itu, pemeriksaan fisik lainnya yaitu adanya massa yang teraba
pada fossa iliaka dextra dan secara perlahan makin lama makin membesar.
Penurunan berat badan sering terjadi pada fase lanjut, dan 5% kasus sudah
metastasis jauh ke hepar.8
2.8.3. Pemeriksaan Laboratorium
Meliputi pemeriksaan tinja apakah ada darah secara makroskopis/mikroskopis
atau ada darah samar (occult blood) serta pemeriksaan CEA (carcino embryonic
antigen). Kadar yang dianggap normal adalah 2,5-5 ngr/ml. Kadar CEA dapat
meninggi pada tumor epitelial dan mesenkimal, emfisema paru, sirhosis hepatis,
hepatitis, perlemakan hati, pankreatitis, kolitis ulserosa, penyakit crohn, tukak
peptik, serta pada orang sehat yang merokok. Peranan penting dari CEA adalah
bila diagnosis karsinoma kolorektal sudah ditegakkan dan ternyata CEA meninggi
yang kemudian menurun setelah operasi maka CEA penting untuk tindak lanjut.7
2.8.4. Double-Contrast Barium Enema
Pemeriksaan dengan barium enema dapat dilakukan dengan Single contras
procedure (barium saja) atau Double contras procedure (udara dan barium).
Kombinasi udara dan barium menghasilkan visualisasi mukosa yang lebih detail.
Akan tetapi barium enema hanya bisa mendeteksi lesi yang signifikan (lebih dari
1 cm).42 DCBE memiliki spesifisitas untuk adenoma yang besar 96% dengan
nilai prediksi negatif 98%. Metode ini kurang efektif untuk mendeteksi polips di
rektosigmoid-kolon. Angka kejadian perforasi pada DCBE 1/25.000 sedangkan
pada Single Contras Barium Enema (SCBE) 1/10.000. 9
2.8.5. Fleksibel Sigmoidoskopi
Fleksibel Sigmoidoskopi (FS) merupakan bagian dari endoskopi yang dapat
dilakukan pada rektum dan bagian bawah dari kolon sampai jarak 60 cm
(sigmoid) tanpa dilakukan sedasi. Prosedur ini sekaligus dapat melakukan biopsi.
Hasilnya terbukti dapat mengurangi mortalitas akibat karsinoma kolorektal hingga
60%-80% dan memiliki sensistivitas yang hampir sama dengan kolonoskopi 60%-
17
70% untuk mendeteksi karsinoma kolorektal. Walaupun jarang, FS juga
mengandung resiko terjadinya perforasi 1/20.000 pemeriksaan (BCMA, 2008).
Intepretasi hasil biopsi dapat menentukan apakah jaringan normal, prekarsinoma,
atau jaringan karsinoma. American Cancer Society (ACS) merekomendasikan
untuk dilakukan kolonoskopi apabila ditemukan jaringan adenoma pada
pemeriksaan FS. Sedangkan hasil yang negatif pada pemeriksaan FS, dilakukan
pemeriksaan ulang setelah 5 tahun.10
2.8.6. Endoskopi dan biopsi
Endoskopi dapat dikerjakan dengan rigid endoscope untuk kelainan-kelainan
sampai 25 cm – 30 cm, dengan fibrescope untuk semua kelainan dari rektum
sampai sekum. Biopsi diperlukan untuk menentukan secara patologis anatomis
jenis tumor.7
2.8.7. Kolonoskopi
Kolonoskopi adalah prosedur dengan menggunakan tabung fleksibel yang panjang
dengan tujuan memeriksa seluruh bagian rektum dan usus besar. Kolonoskopi
umumnya dianggap lebih akurat daripada barium enema, terutama dalam
mendeteksi polip kecil. Jika ditemukan polip pada usus besar, maka biasanya
diangkat dengan menggunakan kolonoskop dan dikirim ke ahli patologi untuk
kemudian diperiksa jenis kankernya. Tingkat sensitivitas kolonoskopi dalam
mendiagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal adalah 95%. Namun tingkat
kualitas dan kesempurnaan prosedur pemeriksaannya sangat tergantung pada
persiapan kolon, sedasi, dan kompetensi operator. Kolonoskopi memiliki resiko
dan komplikasi yang lebih besar dibandingkan FS. Angka kejadian perforasi pada
skrining karsinoma kolorektal antara 3-61/10.000 pemeriksaan, dan angka
kejadian perdarahan sebesar 2-3/1.000 pemeriksaan.11
2.8.8. Colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap penderita dengan tujuan untuk
menentukan keutuhan spinkter ani, ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum
1/3 tengah dan distal. Pada pemeriksaan colok dubur yang harus dinilai adalah
18
pertama, keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum. Kedua, mobilitas
tumor untuk mengetahui prospek terapi pembedahan. Ketiga, ekstensi penjalaran
yang diukur dari ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan primer, mobilitas
atau fiksasi lesi.
2.9. Penatalaksanaan Kanker Kolorektal
2.9.1. Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai
penanganan kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus
mengeksisi dengan batas yang luas dan maksimal regional lymphadenektomi
sementara mempertahankan fungsi dari kolon sebisanya. Untuk lesi diatas rektum,
reseksi tumor dengan minimum margin 5 cm bebas tumor.12
2.9.2. Terapi Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray
berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi
radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi
diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker. Eksternal radiasi (external
beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat
diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel kanker,
maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat
disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya
berlangsung beberapa menit. Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation)
menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel
kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan
dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor. Internal radiasi
memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat
bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal
radiasi secara sementara menetap didalam tubuh.
2.9.3. Adjuvant Kemoterapi
19
Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen kemoterapi.
Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara
teoritis seharusnya dapat menambah efektifitas dari agen kemoterapi. Kemoterapi
sangat efektif digunakan ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel
maligna yang berada pada fase pertumbuhan banyak.12
2.10. Pencegahan Kanker Kolorektal
2.10.1. Pencegahan Primordial
Dilakukan dengan peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat dalam
bentuk kampanye cara makan sehat yaitu makan seimbang baik dalam menu
maupun jumlah makanan yang dikonsumsi setiap hari sehingga
mengurangi/mencegah keterpaparan terhadap bahan makanan yang bersifat
karsinogenik dan kokarsinogenik. Selain itu, pengaturan pola makan juga dapat
menghindari obesitas, karena obesitas juga diketahui merupakan faktor risiko
untuk kanker kolorektal.13
2.10.2. Pencegahan Primer
Pencegahan primer ialah usaha untuk mencegah timbulnya kanker dengan
menghilangkan dan/atau melindungi tubuh dari kontak dengan karsinogen dan
faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kanker. Beberapa cara yang dapat
dilakukan dalam pencegahan primer kanker kolorektal yaitu:
a) Menghentikan atau mengubah kebiasaan hidup yang memperbesar risiko
terjadinya kanker kolorektal seperti menghindari makan makanan yang
tinggi lemak (khususnya lemak hewan) dan rendah kalsium, folat,
mengkonsumsi makanan berserat dengan jumlah cukup dan mengurangi
konsumsi daging merah. Kebalikan dengan daging merah/daging olahan,
konsumsi ikan dapat menurunkan risiko.
b) Mengubah kebiasaan mengkonsumsi alkohol karena selain merusak hepar,
konsumsi minuman beralkohol juga berhubungan dengan peningkatan
risiko kanker kolorektal.
20
2.10.3. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan skrining. Strategi skrining pada
orang yang tidak memperlihatkan gejala dianjurkan yaitu laki-laki dan perempuan
berusia lebih dari 40 tahun harus menjalani pemeriksaan rektal digital (rektal
toucher) setiap tahun dan orang yang berusia di atas 50 tahun harus menjalani
pemeriksaan darah samar feses setiap tahun dan pemeriksaan sigmoidoskopi
setiap 3 hingga 5 tahun setelah 2 kali pemeriksaan awal yang berjeda setahun.
Orang yang beresiko tinggi karena memiliki riwayat keluarga terkena kanker
kolorektal harus dipantau ketat dengan melakukan skrining teratur.1
2.10.4. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier dapat dilakukan setelah kanker selesai diobati, dengan cara
mengambil langkah-langkah untuk mencegah terjadinya kekambuhan kanker
tersebut termasuk pengaturan pola makan dan cara hidup sehat. Selain itu,
penderita kanker yang menjadi cacat karena komplikasi penyakitnya atau karena
pengobatan kanker, perlu direhabilitasi untuk mengembalikan bentuk dan/atau
fungsi organ yang cacat itu, supaya penderita dapat hidup dengan layak dan wajar
di masyarakat. Pada penderita kanker kolorektal dapat dilakukan ostomi yaitu
operasi untuk membuat lubang keluar dari saluran tubuh yang mengalami
obstruksi.14
Bab III
21
Laporan Kasus
Identitas pasien
Nama : NL
Jenis Kelamin : Wanita
Usia : 55 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Menikah
Alamat : Dusun IX gg langsat-tembung
Tanggal Masuk : 19 Mei 2013
Anamnesis
KU : Borok pada bokong
Telaah : Hal ini dialami pasien sejak 1 tahun yang lalu, awalnya pasien merasakan adanya benjolan di daerah anus 4 tahun yang lalu, makin lama makin membesar dan timbul luka, luka tersebut dibiarkan saja hingga memborok. Perubahan pola BAB (+) dialami 4 tahun yang lalu, pasien sering mengeluhkan sulit BAB dan BAB keluar sedikit-sedikit seperti kotoran kambing. Riwayat BAB berdarah (+) sejak 3 tahun yang lalu, BAB bercampur darah segar. Penurunan BB dialami 3 tahun ini sebanyak 30 kg dan os makin lama makin pucat. Riwayat mual & muntah (+). Demam (-).
Riwayat jarang mengkonsumsi buah dan sayur (+), os menyatakan gemar mengkonsumsi daging. Riwayat merokok (-), konsumsi alkohol (-). Riw. DM (-), HT (-) dan penyakit jantung (-). Riwayat keluarga menderita tumor kolorektal (-), riw. Penyakit keluarga lain (-).
Sebelumnya os sudah dioperasi di RS Pirngadi tahun 2011 a/i ca recti, dilakukan rotasi colostomy, riwayat kemoterapi 5x di Pirngadi, riwayat kemoterapi terakhir tahun 2012.
22
Status Presens:
Kesadaran : CM Tekanan darah : 100/70 mmHg Nadi : 86x/menit Suhu : 37,5˚C Pernafasan : 20x/menit Edema (-), Pucat (+), Sianosis (-), Ikterus (-) BB: 40 kg TB: 150 cm IMT: 17.7 kg/m2 (underweight)
Pemeriksaan Fisik
Kepala : mata: konj. Palp. Inf. Pucat (+) Leher : pembesaran KGB (-) Thorax : I : Simetris fusiformis
P : Sonor
A : Sp: vesikuler St: - HR 86x/I reg, S1S2 N, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : I : distensi (-), tampak colostomy P : soepel, massa (-)
P : hipertimpani
A : Peristaltik melemah
Digital Rectal Examination Perineum tampak massa dan ulkus menggaung, Ø 12x15 cm, dasar
kotor, konsistensi keras dan mudah berdarah, darah (+), permukaan tidak rata, nyeri (+).
DRE sulit dilakukan karena massa yang besar. Genitalia: Wanita, edema (+) Ekstremitas: kakheksia (+)
Pemeriksaan Laboratorium (5/5/13)
Hb/Ht/L/Plt: 5,1/18,5/6770/523000 KGD AR: 108,1 Ur/Cr: 26/0.54 Na/K/Cl: 136/3.4/102 CEA : 28
23
Pemeriksaan Radiologis
Diagnosis
Diagnosis Banding: Ca recti T4NxMx post kemoterapi Ca cervix Kondiloma akuminata
Diagnosis Ca Recti T4NxMx post kemoterapi
Tatalaksana
Bed Rest NGT terpasang Diet M2 2000 kkal via sonde feeding IVFD D5% + NaCl 0.9% 15 gtt/i Inj. Ranitidine 80 mg/12 jam Inj. Ceftriaxone 1 g/12 jam Transfusi PRC 3 bag (@175cc)
DAFTAR PUSTAKA
24
1. Lindseth, N.G. 2006. Gangguan Usus Besar dalam Patofisiologi, Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit Volume I. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran (EGC).
2. Widjaja, P., Wibowo, D.S. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta:
Penerbit Graha Ilmu, 342-344, 455-460.
3. Sloane, E. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran (EGC).
4. Abdullah, M. 2007. Tumor Kolorektal. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi,
B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Cetakan Kedua. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 373-378.
5. Syamsuhidajat, R. dan Jong W.D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd
Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC), 615-681.
6. Chandrasoma, P., Clive, R., Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi
Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC), 566-569.
7. Simadibrata, R. 1997. Karsinoma Kolorektal dalam Gastroenterologi
Hepatologi. Cetakan Kedua. Jakarta: Sagung Seto.
8. Corman, M.L. 2005. Carcinoma of The Colon; Colon and Rectal Surgery.
5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins Publisher.
9. Heiken, J.P., et al. 2006. Current Colorectal Cancer Screening
Recomendation. Colorectal Cancer Screening. American College of
Radiology (ACR), 3-6.
10. Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ). 2006. Screening
for Colorectal Cancer. In: Guide to Clinical Preventive Services.
25
Available from: http://www.ahrq.gov/clinic/pocketgd.pdf. [Accessed 18
April 2011].
11. British Columbia Medical Association. 2008. Detection of Colorectal
Neoplasm in Asymptomatic Patients. Ministry of Health Services.
Available from: http://www.bcguidelines.ca/pdf/colorectal_det.pdf.
[Accessed 18 April 2011].
12. Schwartz, S.I. 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Edition. United
States of America (USA): The McGraw-Hill Companies, 1041-1051.
13. Soeripto. 2003. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14728585. [Accessed on 10 April
2011]
14. Sukardja, I.G. 2000. Onkologi Klinik. Edisi 2. Surabaya: Airlangga
University Press.