ca nasofaring
DESCRIPTION
karsinoma nasofaringTRANSCRIPT
1.1. Latar Belakang
Karsinoma nasofaring berkembang di nasofaring, suatu area di belakang hidung menuju
dasar tengkorak. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di Indonesia (American Cancer Society, 2011 dan Roezin, 2010).
Karsinoma nasofaring jarang sekali ditemukan di benua Eropa, Amerika, ataupun
Oseania. Insidennya umumnya kurang dari 1/100.000. Insiden di beberapa negara Afrika agak
tinggi, sekitar 5-10/100.000 penduduk. Tapi, relatif sering ditemukan di berbagai Asia Tenggara
dan China. Di RRC, walaupun karsinoma nasofaring jauh lebih sering ditemukan daripada di
berbagai daerah lain di dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000 pada laki-laki
2,49/100.000, dan 1,27/100.000 pada perempuan (Desen, 2008).
Di Amerika Utara, karsinoma nasofaring terjadi pada 7 dari 1.000.000 penduduk. Pada
tahun 2011, ada sekitar 2,750 kasus di Amerika Serikat (American Cancer Society, 2011).
Di Indonesia, didapatkan di bagian THT RSUD Dr. Sutomo (selama tahun 2000-2001),
poliklinik onkologi melaporkan penderita baru karsinoma nasofaring berjumlah 623 orang. Di
bagian THT RSUP H.Adam Malik, selama 1991-1996 terdapat kasus 160 tumor ganas, 94 kasus
(58,81%) merupakan karsinoma nasofaring (Rusdiana, 2006).
Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia 30-
60 tahun, hingga 75-90%. Proporsi laki-laki dan perempuan adalah 2-2,8-1 (Desen, 2008).
Latar belakang etnis dan paparan kepada (Epstein-Barr Virus) EBV bisa mempengaruhi
faktor risiko perkembangan karsinoma nasofaring. Faktor risiko yang termasuk ke dalam halayak
yang berisiko ini adalah: Orang Cina atau keturunan Asia, Paparan EBV telah berkaitan dengan
karsinoma tertentu, termasuk karsinoma nasofaring dan beberapa lymphoma, dan terlalu banyak
minum alkohol (National Cancer Institute, 2011).
Telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier faktor genetik dari pasien
karsinoma nasofaring dengan keganasan pada organ tubuh lain. Pengaruh genetik terhadap
karsinoma nasofaring sedang dalam penelitian dengan mempelajari cell mediated immunity dari
EBV dan tumor assosiated antigens pada karsinoma nasofaring. Sebagian besar pasien adalah
golongan sosial ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula dengan keadaan lingkungan dan
kebiasaan hidup (Roezin, 2010).
Hampir semua sel karsinoma nasofaring mengandung virus EBV, dan kebanyakan orang
dengan karsinoma nasofaring memiliki bukti infeksi oleh virus ini di dalam darah. Infeksi EBV
sangat umum di suluruh dunia, dan sering terjadi pada masa kanak-kanak. Infeksi EBV sendiri
belum cukup untuk menyebabkan karsinoma nasofaring karena infeksi ini sangat umum dan
kanker ini jarang terjadi. Faktor-faktor lain, seperti genetik seseorang, mungkin mempengaruhi
bagaimana tubuh berespon terhadap EBV, yang pada gilirannya mempengaruhi bagaimana EBV
memberikan kontribusi terhadap perkembangan karsinoma nasofaring (American Cancer
Society, 2011).
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan
makanan terlalu panas serta memakan makanan yang diawetkan dalam musim dingin dengan
menggunakan bahan pengawet nitrosamine. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air
minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan
dengan keganasan lain tidak jelas (Roezin, 2010). Selain iu juga debu kayu (Herza, 2010), serta
asap dupa (kemenyan) bisa merupaka faktor lingkungan (Rusdiana, 2006).
Tembakau adalah penyebab yang paling sering disebut dalam perkembangan karsinoma
sel skuamosa. Bahkan, perokok berat dan hygiene mulut yang buruk telah dituduh sebagai faktor
penyebab (Adams, 1997).
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit untuk dilakukan , karena
nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak.
Oleh karena itu, tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli. Sering kali, tumor
ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala
pertama.
Sangat mencolok perbedaan (angka bertahan hidup 5 tahun), antara stadium awal dan
stadium lanjut, yaitu 76.9% untuk stadium I, 56.0% untuk stadium II, 38.4% untuk stadium III
dan hanya 16.4% untuk stadium IV (Roezin, 2010).
Dari hasil survei pendahuluan yang telah dilakukan di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN,
didapatkan data dari tahun 2008-2010 jumlah keseluruhan pasien penderita penyakit karsinoma
nasofaring yang dirawat inap berjumlah 141 pasien. Dengan perincian pada tahun 2008
berjumlah 82 pasien, 2009 berjumlah 32 pasien, dan 2010 berjumlah 27 pasien.
1.2. Rumusan Masalah
Bagimanakah gambaran klinis pasien karsinoma nasofaring?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran klinis pasien karsinoma nasofaring.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi proporsi sosiodemografi pada pasien karsinoma nasofaring: umur, jenis
kelamin, suku, dan pekerjaan.
b. Mengetahui distribusi proporsi keluhan utama pada pasien karsinoma nasofaring.
c. Mengetahui distribusi proporsi keluhan tambahan pada pasien karsinoma nasofaring.
d. Mengetahui distribusi proporsi tipe histopatologis pada pasien karsinoma nasofaring.
1.4. Manfaat Penelitian
a. Membantu menegakkan diagnosis karsinoma nasofaring.
b. Mengetahui gambaran klinis pasien karsinoma nasofaring
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karsinoma Nasofaring
2.1.1. Definisi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan sebuah kanker yang bermula tumbuh pada sel epitelial-
batas permukaan badan internal dan external sel di daerah nasofaring. Ada tiga tipe karsinoma
nasofaring (American Cancer Society, 2011):
a. Karsinoma sel skuamos keratinisasi.
b. Karsinoma berdiferensiasi non-keratinisasi.
c. Karsinoma tidak berdiferensiasi.
Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan (kanker) sel yang terbentuk di
jaringan nasofaring, yang merupakan bagian atas pharynx (tengorokan), di belakang hidung.
Pharynx merupakan sebuah lembah yang berbentuk tabung dengan panjang 5 inchi dimulai dari
belakang hidung dan berakhir di atas trakea dan esofagus. Udara dan makanan melawati
pharynx. Karsinoma nasofaring paling sering bermula pada sel skuamos yang melapisi
nasofaring (National Cancer Institute, 2011).
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas karsinoma berasal dari epitel nasofaring.
Biasanya tumor ganas ini tumbuh dari fossa rosenmuller dan dapat meluas ke hidung, tenggorok,
serta dasar tengkorak (Munir, 2010).
2.1.2. Epidemiologi
Seperti telah disebutkan dalam Bab Pendahuluan, karsinoma nasofaring jarang sekali
ditemukan di benua Eropa, Amerika, ataupun Oseania, insidennya umumnya kurang dari
1/100.000 penduduk. Insiden di beberapa negara Afrika agak tinggi, sekitar 5-10/100.000
penduduk. Namun relatif sering ditemukan di berbagai Asia Tenggara dan China. Di RRC,
walaupun karsinoma nasofaring jauh lebih sering ditemukan daripada berbagai daerah lain di
dunia, mortalitas rata-rata nasional hanya 1,88/100.000, pada pria 2,49/100.000, dan pada wanita
1,27/100.000 (Desen, 2008).
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah leher yang terbanyak ditemukan di
Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring,
kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), larynx (16%), dan tumor
ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam presentase rendah (Roezin, 2010).
Karsinoma nasofaring dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia 30-
60 tahun (menduduki 75-90%). Perbandingan proporsi pria dan wanita adalah 2-3,8:1 (Desen,
2008).
Sebagian besar penderita karsinoma nasofaring berumur diatas 20 tahun, dengan umur
paling banyak antara 50-70 tahun. Penelitian di Taipe menjumpai umur rata-rata penderita lebih
muda yaitu 25 tahun. Insiden karsinoma nasofaring meningkat setelah umur 20 tahun dan tidak
ada lagi peningkatan insiden setelah umur 60 tahun.
Sebesar 2% dari kasus. karsinoma nasofaring adalah penderita anak dan di Guangzhou
ditemukan 1% karsinoma nasofaring dibawah 14 tahun. Pada penelitian yang dilakukan di
medan (2008), kelompok umur penderita karsinoma nasofaring terbanyak adalah 50-59 tahun
(29,1%). Umur penderita yang paling muda adalah 21- tahun dan yang paling tua 77 tahun. Rata-
rata umur penderita pada penelitian ini adalah 48,8 tahun (Munir, 2010).
Karsinoma nasofaring paling sering ditemukan pada laki-laki dengan penyebab yang
masih belum dapat diungkap secara pasti dan mungkin berhubungan dengan adanya faktor
genetika, kebiasaan hidup, pekerjaan, dan lain-lain (Roezin, 2010).
2.1.3. Etiologi
Terjadinya karsinoma nasofaring mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya
mencakup banyak tahap. Faktor yang diduga terkait dengan timbulnya karsinoma nasofaring
adalah:
a. Kerentanan genetik
Walaupun karsinoma nasofaring bukan tumor genetik, kerentanan terhadap kanker
nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol ras yang banyak sekali
menderitanya adalah bangsa China dan memiliki fenomena agregasi familial ( Desen, 2008),
Anggota keluarga yang menderita karsinoma nasofaring cendrung juga menderita karsinoma
nasofaring. Penyebab karsinoma nasofaring ini belum diketahui apakah karsinoma nasofaring
dikarenakan oleh gen yang diwariskan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi ( seperti diet
makanan yang sama atau tinggal di lingkungan yang sama), atau beberapa kombinasi diantarnya
juga ikut mendukung timbulnya karsinoma nasofaring (American cancer society, 2011). Analisis
korelasi menunjukkan gen (Human Leukocyte Antigen) HLA dan gen pengode enzime sitokorm
p4502E (CYP2EI) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap kanker nasofaring, Mereka
berkaitan dengan timbulnya sebagian besar kanker nasofaring. Tahun 2002, RS Kanker
Universitas Zhongshan memakai 382 buah petanda mikrosatelit polimorfisme 22 helai autosom
genom manusia. Dengan melakukan pemeriksaan genom total terhadap keluarga insiden tinggi
kanker nasofaring berdialek Guangzhou di propinsi Guangdong, gen kerentanan nasofaring
ditetapkan berlokasi di 4p1511-q12 (Desen, 2008).
b. Epstein-Barr Virus
EBV adalah suatu virus yang sangat erat kaitannya dengan timbulnya karsinoma
nasofaring. Virus ini memiliki protein, yang diperkirakan memengaruhi DNA sel sehingga
mengalami mutasi, khususnya protooncogen menjadi oncogen (American Cancer Society, 2011
dan Sudiana, 2008).
c. Faktor ligkungan dan diet
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, termasuk asap
sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan
kebiasaan makan makanan terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum
dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan adanya hubungan dengan
keganasan lain tidak jelas (Roezin, 2010). Tingginya kadar nitrosamin diantaranya
dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin yang ada di dalam kandungan ikan asin Guangzhou juga
berhubungan (Desen, 2008).
Orang-orang yang tinggal di Asia, Afrika bagian Utara, dan wilayah Artik dengan
karsinoma nasofairng mempunyai kebiasaan makan makanan seperti ikan dan daging yang tinggi
kadar garamnya. Sebaliknya, beberapa studi menyatakan bahwa diet tinggi buah dan sayur
mungkin menurunkan resiko karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2011).
d. Faktor pekerjaan
Faktor yang juga ikut berpengaruh adalah pekerjaan yang banyak berhubungan dengan
debu nikel, debu kayu (pada industri mebel atau penggergajian kayu), atau pekerjaan pembuat
sepatu. Atau zat yang sering kontak dengan zat yang dianggap karsinogen adalah antara lain:
Benzopyrene, Bensoanthracene, gas kimia, asap industri, dan asap kayu (Soetjipto, 1989).
e. Radang kronis daerah nasofaring
Dianggap dengan adanya peradangan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap
karsinogen lingkungan (Soetjipto, 1989 dan Herawati, 2002).
2.1.4. Patologi
Rongga nasofaring diselaputi lapisan mukosa epitel tipis , terutama berupa epitel
skuamosa, epitel torak bersilia berlapis semu dan epitel transisional. Di dalam lamina propria
mukosa sering terdapat limfosit, di submukosa terdapat kelenjar serosa dan musinosa. Karsinoma
nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring.
A. Tipe Patologik
Sel karsinoma nasofaring 95% ke atas berdiferensiasi buruk, tingkat keganasan tinggi.
Para ahli di RRC menganjurkan penggunaan serentak klasifikasi histologik yang ditetapkan
WHO tahun 1991 dan klasifikasi ‘standar diagnosis terapi kanker nasofaring’ dari China (tabel
2.1).
Tabel 2.1. Perbandingan Klasifikasi ‘Standar Diagnosis Dan Terapi Karsinoma Nasofaring’
China Dan Klasifikasi Histologik Karsinoma Nasofaring WHO
Standar diagnosis dan terapi Kalsifikasi WHO
Karsinoma sel skuamosa
berdiferensiasi baik
Karsinoma sel skuamosa
berdiferensiasi sedang
Karsinoma sel skuamosa
berdiferensiasi buruk
Karsinoma sel intivaskular
Karsinoma tak berdiferensiasi
Karsinoma sel skuamosa
keratinisasi
Karsinoma nonkeratinisasi
berdiferensiasi
Karsinoma tak berdiferensiasi
(Desen, 2008).
B. Pertumbuhan Dan Ekspansi
Lokasi predileksi karsinoma nasofaring adalah dinding lateral nasofaring (terutama di
recessus pharyngeus) dan dinding supero-posterior.
Tingkat kegananasan karsinoma nasofaring tinggi, tumbuh infiltratif, dapat langsung
berekspansi hingga menginfiltrasi ke struktur yang berbatasan. Ke atas, dapat langsung merusak
basis kranial. Juga dapat melalui foramen spinosum, kanalis karotis internal atau sinus sfenoid
dan selula etmoidal posterior dll. Lubang saluran atau retakan alamiah menginfiltrasi kranial,
mengenai saraf kranial; ke anterior menyerang rongga nasal, sinus maksilaris, selula etmoidalis
anterior, kemudian ke dalam orbita, juga dapat melalui intrakranium, fisura orbitalis superior
atau kanalis pterigoideus, resesus pterigopalatina lalu ke orbita. Ke lateral tumor dapat
menginfiltrasi celah parafaring, fosa intratemporal dan kelompok otot kunyah dll. Ke posterior
menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal, vertebra servikal. Ke inferior mengenai
orofaring bahkan laringofaring.
C. Metastasis
Submukosa nasofaring kaya akan jaringan limfatik, drainase limfatik dapat melintasi
garasi tengah ke sisi leher kontra-lateral. Penyebaran limfogen ke kelenjar limfe leher dari
kanker nasofaring terjadi secara dini. Lokasi metastasis kelenjar limfe tersering ditemukan pada
kelenjar limfe profunda leher atas di bawah otot digastrik, yang kedua adalah kelenjar limfe leher
profunda kelompok tengah dan kelenjar limfe rantai nervus aksesorius di trigonum servikal
posterior.
Metasasis jauh kanker nasofaring berkaitan erat dengan metastasis ke kelenjar leher,
menyusul limfadenopati servikal, jumlahnya bertambah, peluang metastasis juga meningkat
jelas.
Lokasi metastasis jauh tersering adalah ke tulang, lalu ke paru, dan sering terjadi
metastais ke banyak organ sekaligus (Desen, 2008) tetapi, jarang ke hati (Brennan, 2006)
2.1.5. Manifestasi Klinis
Sekitar 3 dari 4 pasien mengeluh benjolan atau massa di leher ketika pertama kali datang
ke dokter. Hal ini di sebabkan oleh karena kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di
leher, menyebabkan mereka menjadi lebih besar dari normal (kelenjar getah bening yang
seukuran kacang mengumpuli sel sistem imun di seluruh tubuh). Gejala karsinoma nasofaring
dapat dibagi atas 4 kelompok (Roezin, 2010, American Cancer Society, 2011, Mansjoer, 2003,
Herawati, 2002, dan Soetjipto, 1989) yaitu :
1. Gejala nasofaring: berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, dan pilek.
2. Gejala telinga: gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat dengan muara tuba
eustachius ( fossa roodden muller). Gangguan dapat berupa tinitus, rasa tidak nyaman di telinga
(otalgia) hingga nyeri dan infeksi telinga yang berulang.
3. Gejala mata dan saraf: gangguan saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma ini.
Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, 1V,VI dan dapat pula ke V,
sehingga tidak jarang diplopialah yang membawa pasien dahulu ke dokter mata. Neuralgia
merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang
berarti. Proses karsinoma yang lanjut dapat mengenai saraf ke IX, X, XI, dan XII manifestasi
kerusakannya ialah:
N IX: gangguan pengecapan yang terjadi pada sepertiga belakang lidah dan terjadi kesulitan
menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior.
N X: hiper/hipo/anastesi pada mukosa palatum mole, faring dan laring diikuti gangguan respirasi
dan salivasi.
N XI: kelumpuhan dan atrofi pada otot-otot trapezius, sternokleidomastoideus, serta hemiparesis
palatum mole.
N XII: terjadi hemiparalisis dan atrofi pada sebelah lidah.
Jika penjalaran melewati foramen jugulare yang disebut sindrom jackson, dan jika
mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral serta dapat terjadi destruksi tulang
tengkorak dengan prognosis yang buruk.
4. Gejala atau metastasis di leher: dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong pasien untuk
berobat, karena sebelumnya tidak ada keluhan lain.
5. Gejala metastasis jauh: ke hati, paru, ginjal, limpa, tulang, dsb.
2.1.6. Stadium
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TIM menurut UICC (2002) dikutip dari buku
ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher Roezin, (lihat Roezin, 2010).
Stadium 0 T1s N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium IIA T2a N0 M0
Stadium IIB T1 N2 M0
T2a N1 M0
T2b N0,N1 M0
Stadium III T1 N2 M0
T2a,T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVa T4 N0,N1,N2 M0
Stadium IVb semua T N3 M0
Stadium IVc semua T semua N M1
T = Tumor
T0 = Tidak tampak tumor.
T1 = Tumor terbatas di nasofaring.
T2 = Tumor meluas kejaringan lunak.
T2a: Perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring
(perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor kearah postero-lateral melebihi fasia faring-
basiler.
T2b: Disertai perluasan ke parafaring.
T3 = Tumor menginvasi struktur tulang dan/ atau sinus paranasal.
T4 = Tumor dengan perluasan intracranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf cranial, fossa
infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang masticator.
N = Pembesaran kelenjar getah bening.
NX = Pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai.
N0 = Tidak ada pembesaran.
N1 = Metastasis kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan
6 cm, di atas fossa supraclavicular.
N2 = Metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar kurang atau sama dengan 6
cm, di atas fossa supraclavicular.
N3 = Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran lebih besar, atau terletak dalam fossa
supraclavikular.
N3a: Ukuran lebih dari 6 cm.
N3b: Di dalam fossa supraclavicular.
Catatan: kelenjar yang terletak di daerah midline dianggap sebagai kelenjar ipsilateral.
M = Metastasis.
MX = Metastasis jauh tidak dapat dinilai.
M0 = Tidak ada metastasis jauh.
M1 = Terdapat metastasis jauh.
2.1.7. Diagnosis Dan Prognosa
Diagnosis
Karsinoma nasofaring dapat ditegakkan diagnosisnya secara dini, untuk itu harus
melakukan hal-hal berikut ini:
a. Tingkat kewaspadaan, perhatikan keluhan utama pasien
Pasien dengan epistaksis aspirasi balik, hidung tersumbat menetap, tuli unilateral,
lymphadenopathy leher tak nyeri, cephalgia, ruda paksa saraf kranial dengan kausa tak jelas,
dengan keluhan lain harus diperiksa teliti rongga nasofaringnya dengan nasofaringoskop indirek
atau elektrik (Desen, 2008).
b. Pemeriksaan kelenar limfe leher
Perhatikan pemeriksaan kelenjar limfe rantai jugularis interna, rantai nervus aksesorius
dan rantai arteri vena transversalis koli apakah terdapat pembesaran (Desen, 2008 dan National
Cancer Institute, 2011).
c. Pemeriksaan nasofaring
Nasofaring diperiksa dengan cara rinoskopi posterior, dengan atau tanpa menggunakan
kateter (American Cancer Society, National Cancer Institute, 2011 dan Soetjipto, 1989).
Rinoskopi posterior tanpa menggunakan kateter
Nasofaringoskopi indirek menggunakan kaca dan lampu khusus untuk menilai nasofaring
dan area yang dekat sekitarnya.
Pada pasien dewasa yang tidak sensitif, pemeriksaan ini dapat dilakukan. Tumor yang
tumbuh eksofitik dan sudah agak besar akan dapat tampak dengan mudah.
Rinoskop posterior menggunakan kateter
Nasofaringoskopi direk, dokter menggunakan sebuah fibreoptic scope ( lentur,
menerangi, tabung sempit yang dimasukkan ke rongga hidung atau mulut) untuk menilai secara
langsung lapisan nasofaring.
Dua buah kateter dimasukkan masing-masing kedalam rongga hidung kanan dan kiri,
setelah tampak di orofaring, uung katater tersebut dijepit dengan pinset dan ditarik keluar
selanjutnya disatukan dengan masing-masing ujung kateter yang lainnya.
d. Pemeriksaan saraf kranial
Ditujukan pada kecurigaan paralisis otot mata, kelompok otot kunyah dan lidah kadang
perlu diperiksa berulang kali barulah ditemukan hasil positif (Desen, 2008).
e. Pencitraan
Computed tomography (CT) scan nasofaring
Makna klinis aplikasinya adalah: (1) membantu diagnosis; (2) memastikan luas lesi,
penetapan stadium secara akurat; (3) secara tepat menetapkan zona target terapi; merancang
medan radiasi; (4) memonitor kondisi remisi tumor pasca terapi dan pemeriksaan tindak lanjut
(Desen, 2008, National Cancer Institute 2011, dan Soetjipto, 1989).
Chest x-ray
Jika pasien telah didiagnosa karsinoma nasofaring, foto polos x-ray dada mungkin
dilakukan untuk menilai penyebaran kanker ke paru (National Cancer Institute, American Cancer
Society, 2011 dan Soetjipto, 1989) .
Magnetic resonance imaging (MRI) scan
MRI memiliki resolusi yang baik terhadap jaringan lunak, dapat serentak membuat
potongan melintang, sagital koronal, sehingga lebih baik dari CT. MRI selain dengan jelas
memperlihatkan lapisan struktur nasofaring dan luas lesi, juga dapat secara lebih dini
menunjukkan infiltrasi ke tulang. Dalam membedakan antara pasca fibrosis pasca radioterapi dan
rekurensi tumor, MRI juga lebih bermanfaat (Desen, 2008 dan American Cancer Society,
National Cancer Institute, 2011) .
Foto tengkorak (AP, lateral, dasar tengkorak dan waters)
Untuk memastikan adanya destruksi pada tulang dasar tengkorak serta adanya metastasis
jauh (National Cancer Institute, 2011 dan, Soetjipto, 1989).
Pencitraan tulang seluruh tubuh
Berguna untuk diagnosis kanker nasofaring dengan metastasis ke tulang, lebih sensitif
dibandingkan ronsen biasa atau CT, umumnya lebih dini 3-6 bulan dibandingkan ronsen. Setelah
dilakukan bone-scan, lesi umumnya tampak tampak sebagai akumulasi radioaktivitas; sebagian
kecil tampak sebagai area defek radioaktivitas (Desen, 2008 dan Soetjipto, 1989).
(Positron emission tomography) PET
Disebut juga pencitraan biokimia molekular metabolik in vivo. Pasien akan menerima
injeksi glukosa yang terdiri dari atom radioaktif. Jumlah radioaktif yang digunakan sangat
rendah. Karena sel kanker di dalam tubuh bertumbuh dengan cepat, kanker mengabsorpsi
sejumlah besar gula radioaktif (Desen, 2008 dan National Cancer Institute 2011).
f. Biopsy nasofaring
Penghapusan sel atau jaringan sehingga dapat dilihat dibawah mikroskop oleh patologi
untuk memastiakan tanda-tanda kanker (National Cancer Institute, 2011).
g. Pemeriksaan histopatologi
Telah disetujui oleh WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma (epidermoid) pada
nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa (berkeratinisasi), karsinoma tidak berkeratinisasi dan
karsinoma tidak berdiferensiasi ( Roezin, 2010 dan Brennan 2006).
h. Pemeriksaan serologis EBV
Bagi salah satu kondisi berikut ini dapat dianggap memiliki risiko tinggi kanker
nasofaring (Desen, 2008):
Titer antibodi (Viral Capsid Antigens-Imunoglobulin A) VCA-IgA >= 1:80;
Dari penelitian pemeriksaan VCA-IgA, (Early Antigen-Imunoglobulin) EA-IgA dan EBV-
DNAseAb, dua diantara tiga indikator tersebut positif.
Dari tiga indikator pemeriksaan diatas, salah satu menunjukkan titer yang tinggi kontinu atau
terus meningkat.
Prognosa
Gambaran dengan lymphadenomegali menyiratkan bahwa penyakit telah meyebar luas
keluar dari bagian primer. Beberapa penelitian melaporkan bahwa angka bertahan hidup 5 tahun
setelah mendapatkan terapi radiasi adalah 85-95% untuk KNF stadium I dan 70-80% untuk KNF
stadium II. Stadium III dan stadium IV yang cuma mendapat terapi radiasi, angka bertahan hidup
5 tahun berkisar antara 24-80%. Kira-kira sepertiga penderita meninggal dunia karena metastasis
jauh yang dapat ditemukan di tulang, paru, dan hati ( Lin HS, 2009, Gardjito, 2005, dan Brennan,
2006).
2.1.8. Diagnosis Banding
a. Kelainan hiperplastik nasofaring
Dalam keadaan normal korpus adenoid di atap nasofaring umumnya pada usia sebelum
30 tahun sudah mengalami atrofi. Tapi pada sebagian orang dalam proses atrofi itu terjadi infeksi
serius yang menimbulkan nodul-nodul gelombang asimetris di tempat itu.
b. TB nasofaring
Umumnya pada orang muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangakal atau benjol
granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor, bahkan mengenai seluruh nasofaring.
c. TB kelenjar limfe leher
Lebih banyak pada pemuda dan remaja, konsistensi agak keras, dapat melekat dengan
jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang terdapat nyeri tekan atau undulasi (Desen, 2008).
2.1.9. Terapi Karsinoma Nasofaring
a. Stadium I : Radioterapi.
b. Stadium II&III : Kemoradiasi (Roezin, 2010 dan National Cancer Institute 2011).
c. Stadium IV dengan N<6cm: Kemoradiasi.
d. Stadium IV dengan N>6cm: kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi (Roezin, 2010).
a. Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan kanker yang menggunakan X-ray energi atau radiasi tipe
lain untuk memusnahkan sel kanker atau menghambat pertumbuhan sel kanker. Ada dua tipe
terapi radiasi. Terapi radiasi external menggunakan mesin yang berada di luar tubuh untuk
memberikan radiasi kepada kanker. Terapi radiasi internal menggunakan zat radioaktif yang
dimasukkan melalui jarum, radioaktive seeds, wires atau kateter yang ditempatkan secara
langsung kedalam atau di dekat kanker. Cara pemberian terapi radiasi tergantung pada tipe dan
satdium kanker yang diobati.
Sumber radiasi menggunakan radiasi γ Co-60, radiasi β energi tinggi atau radiasi X
energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi luar isosentrum, dibantu brakiterapi
intrakavital, bila perlu ditambah radioterapi stereotaktik (Desen, 2008).
b. Kemoterapi
Pemberian kemoterapi diberikan dalam banyak siklus, dengan setiap periode diikuti
dengan adanya waktu istirahat untuk memberikan kesempatan tubuh melakukan recover. Siklus-
siklus kemoterapi umumnya berakhir hingga 3 sampai 4 minggu. Kemoterapi sering tidak
dianjurkan bagi pasien yang kesehatannya memburuk. Tetapi umur yang lanjut bukanlah
penghalang mendapatkan kemoterapi.
Cisplatin merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati karsinoma
nasofaring. Cisplatin telah digunakan secara tunggal sebagai bagian dari kemoradiasi, tetapi
boleh dikombinasikan dengan obat lain, 5-fluorourasil (5-FU) jika diberikan setelah terapi
radiasi. Beberapa obat lain boleh juga berguna untuk mengobati kanker yang telah menyebar.
Obat-obat ini termasuk: Carboplatin, Oxaliplatin, Bleomycin, Methotrexate, Doxorubicin,
Epirubicin, Docetaxel, dan Gemcitabine. Sering, pengkombinasian 2 atau lebih obat-obat ini
yang digunakan (American Cancer Society, 2011). Tetapi berbagai macam kombinasi
dikembangkan, yang terbaik sampai saat ini adalah kombinasi dengan Cis-platinum sebagai inti
(Roezin, 2010).
Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitocyn C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat “radiosensitizer” memperlihatkan hasil yang memberi
harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
c. Terapi bedah
Pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak
menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi
dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan
serologi, serta tidak adanya ditemukan metastsis jauh. Juga dilakukan pada karsinoma nasofaring
dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa grade I, II, adenokarsinoma,
komplikasi radiasi (parasinusitis radiasi, dll) (Desen, 2008 dan Roezin, 2010).
d. Terapi paliatif
Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan beban penderita
kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama yang tidak dapat disembuhakn lagi. Tujuan
terapi paliatif adalah:
Meningkatkan kualitas hidup penderita
Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya
Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita
Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya
Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut berduka cita atas kematian penderita.
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi. Mulut
rasa kering disebabkan oleh kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak
dapat banyak dilakukan selain menasihatkan penderita untuk makan dengan banyak kuah,
membawa minuman kemana pun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang
rasa asam sehingga merangsang keluarnya liur (Roezin, 2010 dan Sukardja, 2002).
2.1.10. Pencegahan
a. Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan risiko tinggi
(Roezin, 2010).
b. Mengurangi konsumsi ikan asin ternyata dapat menurunkan insidens secara nyata (Soetjipto,
1989).
c. Mengurangi konsumsi alkohol atau berhenti merokok.
d. Makan makanan yang bernutrisi dan mengurangi serta mengeontrol stress
e. Berolahraga secara teratur (American Cancer Society, 2011).
2.1.11. Komplikasi
Metastasis jauh ke tulang, hati dan paru dengan gejala khas nyeri pada tulang, batuk-
batuk, dan gangguan fungsi hati serta gangguan fungsi organ lain (Sudiana, 2008).
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian adalah :
Pasien Karsinoma NasofaringAnamnesis
Sosiodemografi: umur, jenis kelmin, suku, pekerjaan Keluhan utama Keluhan tambahan
Etiologi Kerentanan genetik: rasial dan agregasi familial. EBV Faktor lingkungan dan diet: konsumsi ikan asin yang mengandung nitrosamin, alkohol asap dupa,makan makanan panas, kurang makan sayur dan buah, diet tinggi garam, dll.
Faktor pekerjaan: Benzopyrene, asap industri, debu kayu, asap kayu, debu nikel, dan gas kimia lainnya.
Radang kronis daerah nasofaring.Rekam medikDiagnosis
Diagnosis laboratorium: Tipe histopatologis
= objek yang diteliti
Penelitian ini dilakukan dengan melihat dan mencatat rekam medis yang ada di RSUD Dr.
PIRNGADI MEDAN. Dari rekam medis, dilihat status pasien yang telah terdiagnosis oleh dokter
menderita karsinoma nasofaring pada tahun 2008-2010. Kemudian peneliti melihat umur, jenis
kelamin, etnis, pekerjaan, keluhan utama, keluhan tambahan, agregasi familial, tipe
histopatologis, stadium, dan komplikasi.
3.2. Variabel dan Definisi Operasional
Variabel DefinisiOperasional
Alat Ukur
Hasil Ukur Skala
Umur
PasienKarsinomanasofaring
Seseorang yang telah didiagnosis oleh dokter menderita karsinoma nasofaring
Rekam Medis
- Nominal
Umur Rekam Medis
Tahun Ordinal
Jenis Kelamin
Rekam Medis
1. Laki-laki2. Perempuan
Nominal
Pekerjaan Rekam Medis
1.Wiraswasta2. PNS3. IRT4. Pelajar5. Petani6. Mahasiswa7. Supir
Nominal
Etnis Rekam Medis
1. Batak2. Jawa3. Aceh4. Melayu5. Minang
Nominal
Keluhan Utama
Dasar utama untuk mengevaluasi masalah pasien (Lukmanto, 1995)
Rekam Medis
1. Benjolan di leher2. Pandangan ganda3. Apatis4. Benjolan di rongga nasofaring5. Batuk berdarah6. Susah menelan7. Telinga berdengung
Nominal
8. Nyeri mata9. Nyeri ulu hati10. Suara serak11. Benjolan di hidung12. Nyeri diafragma13. Mimisan 14. Sesak nafas15. Hidung tersumbat16. Luka di leher17. Sakit menelan18. Sakit kepala
Keluhan Tambahan
Gejala yang menyertai gejala utama penyakit karsinoma nasofaring
Rekam Medis
1. Benjolan di leher2. Sakit menelan3. Susah menelan4. Mimisan 5. Hidung tersumbat6. Pilek7. Telinga berdengung8. Tuli9. Batuk berdarah10. Nyeri di leher11. Sakit kepala12. Sesak nafas13. Batuk14. Pandangan mata menurun15. Mual16. Muntah17. Suara serak18. Badan lemas19. Benjolan di mata20. Mata kabur21. Susah tidur22. Pandangan ganda23. Benjolan di telinga24. Benjolan di hidung
Nominal
Tipe Histopatologis
Gambaran mikroskopik secara hisologi dan patologi (Hartanto, 2002).
Rekam Medis
1. Karsinoma tak berdiferensiasi2. Karsinoma sel skuamos3. Non keratinaizing skuamos4. Ca cell5. Karsinoma sel skuamos
diferensiasi buruk6. Malignant smear7. Karsinoma sel skuamos
keratinisasi diferensiasi baik8. Adeno karsinoma keratinaizing
skuamos diferensiasi baik
Nominal
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan desain studi kasus dilanjutkan dengan
analisis statistika.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
4.2.1. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilakukan pada 13 Desember-13 Januari 2011.
4.2.2. Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Ruang Rekam Medik RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
Seluruh data penderita karsinoma nasofaring rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN tahun 2008-2011.
4.3.2. Sampel
Besarnya Subjek yang diambil 100 data penelitian. Data diambilkan oleh petugas rekam
medis sebanyak 100.
4.4. Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dengan cara mencatat data rekam medis yang terdapat pada RSUD Dr.
PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010.
4.5. Pengolahan dan Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini menghitung distribusi proporsi
untuk analisis deskriptif menggunakan komputer program SPSS. Hasil disajikan dalam bentuk
tabel distribusi proporsi, gambar (bar)
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil Penelitian
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. PIRNGADI MEDAN terletak di jalan prof. H. M.
Yamin SH No. 47 Medan. Penelitian dilakukan di Gedung Ruang Rekam Medis lantai 2.
5.1.2 Deskripsi umur Pasien Karsinoma Nasofaring
Deskripsi umur pasien karsinoma nasofaring rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel di bawah ini:
Tabel 5.1.2 Deskripsi Umur Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr.
PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010
Jumlah Interval Umur
Termud
a
Umur
Tertua
Nilai rata-
rata
Umur 100 78 9 87 47.72
Dari Tabel 5.1.2 dapat diketahui umur tertua pasien karsinoma nasofaring adalah 87
tahun dan umur termuda adalah 9 tahun. Dengan jarak interval umur pasien dari umur yang
paling tua sampai umur yang paling muda adalah 78 tahun, dan dengan rata-rata 47,72.
5.1.3 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Rincian Tahun
Proporsi pasien karsinoma nasofaring rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN
berdasarkan rincian tahun dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:
Tabel 5.1.3 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr.
PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010
Pada Tabel 5.1.3 dapat dilihat tahun 2008 proporsi pasien karsinoma nasofaring 82 pasien
(52%), sedangkan pada tahun 2009 berjumlah 32 pasien (23%) dan tahun 2010 jumlah pasien
menurun menjadi 27 pasien (19%).
5.1.4 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Umur Dan Jenis
Kelamin
Proporsi pasien karsinoma nasofairng berdasarkan umur dan jenis kelamin yang rawat
inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:
No Tahun Jumlah Pasien Proporsi (%)
1 2008 82 58
2 2009 32 23
3 2010 27 19
Total 141 100
Tabel 5.1.4 Distribusi Proporsi Menurut Umur Dan Jenis Kelamin Pasien Karsinoma
Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010
Kelompok Umur
Jenis Kelamin Total
Laki-laki Perempuan
9-18 6 0 6
19-28 2 0 2
29-38 7 5 12
39-48 19 10 29
49-58 26 6 32
59-68 7 6 13
69-78 2 1 3
79-88 2 1 3
Total 71 29 100
Pada Tabel 5.1.4 didapatkan proporsi pasien terbanyak adalah antara umur 49-58 tahun
berjumlah 32 pasien. Sedangkan proporsi pasien yang paling sedikit adalah antara umur 19-28
tahun berjumlah 2 pasien. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dengan
pasien laki-laki berjumlah 71 pasien dan perempuan berjumlah 29 pasien.
5.1.5 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Suku
Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan suku yang rawat inap di RSUD Dr.
PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Gambar dibawah ini:
Gambar 5.1.5 Distribusi Proporsi Menurut Suku Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat
Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010
Pada Gambar 5.1.5 proporsi pasien yang bersuku batak merupakan pasien terbanyak
berjumlah 65 pasien, disusul dengan pasien yang bersuku jawa berjumlah 22 pasien, aceh
berjumlah 6 pasien, melayu berjumlah 4 pasien, dan proporsi pasien yang bersuku minang
merupakan pasien yang paling sedikit berjumlah 2 pasien.
5.1.6 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Pekerjaan
Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan pekerjaan yang rawat inap di RSUD
Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Gambar dibawah ini:
Gambar 5.1.6 Distribusi Proporsi Menurut Pekerjaan Pasien Karsinoma Nasofaring
Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010
Dari Gambar 5.1.6 dapat dilihat proporsi pasien yang berprofesi sebagai wiraswasta
merupakan pasien terbanyak berjumlah 38 pasien, disusul dengan pasien yang berfropesi sebagai
PNS berjumlah 27 pasien, IRT berjumlah 21 pasien, pelajar berjumlah 6 pasien, petani berjumlah
5 pasien, mahasiswa berjumlah 2 pasien, dan pasien yang berprofesi sebagai supir merupakan
pasien yang paling sedikit berjumlah 1 pasien.
5.1.7 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan Utama
Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan keluhan utama yang rawat inap di
RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:
Tabel 5.1.7 Distribusi Proporsi Menurut Keluhan Utama Pasien Pasien Karsinoma
Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN Tahun 2008-2010
No Keluhan utama f Proporsi (%)1 Benjolan di leher 51 512 Pandangan ganda 1 13 Apatis 1 14 Benjolan di rongga nasofaring 1 15 Batuk berdarah 1 1
6 Susah menelan 6 67 Telinga berdengung 1 18 Nyeri mata 1 19 Nyeri ulu hati 1 110 Suara serak 1 111 Benjolan di hidung 1 112 Nyeri diafragma 1 113 Mimisan 10 1014 Sesak nafas 3 315 Hidung tersumbat 8 816 Luka di leher 1 117 Sakit menelan 3 318 Sakit kepala 8 8
Total 100 100
Pada Tabel 5.1.7 keluhan yang paling banyak dikeluhkan pasien merupakan benjolan di
leher berjumlah 51 pasien, disusul dengan keluhan mimisan berjumlah 10 pasien, hidung
tersumbat dan sakit kepala masing-masing berjumlah 8 pasien, sesak nafas dan sakit menelan
masing-masing berjumlah 3 pasien, dan keluhan yang paling sedikit dikeluhkan pasien ada
beberapa keluhan diantaranya merupakan keluhan pandangan ganda, apatis, benjolan di rongga
nasofaring, batuk berdarah, telinga berdengung, nyeri di mata, nyeri ulu hati, suara serak, susah
menelan, benjolan di hidung, nyeri diafragma, dan luka di leher masing di keluhkan oleh
berjumlah 1 pasien.
5.1.8 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Keluhan
Tambahan
Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan keluhan utama yang rawat inap di RSUD Dr.
PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Gambar dibawah ini:
Gambar 5.1.8 Distribusi Proporsi Pasien Yang Memiliki Keluhan Tambahan Karsinoma
Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. Pirngadi Medan Tahun 2008-2010
Pada Gambar 5.1.8 dapat diketahui pasien yang mengeluhkan keluhan tambahan yang
terbanyak adalah keluhan susah menelan dan mimisan yang masing-masing berjumlah 16 pasien,
disusul dengan keluhan hidung tersumbat berjumlah 14 pasien, sakit kepala berjumlah 11 pasien,
benjolan di leher dan sakit menelan masing-masing berjumlah 10 pasien, telinga berdengung dan
tuli berjumlah 8 pasien, nyeri di leher berjumlah 6 pasien, muntah, mual, batuk, dan sesak nafas
masing-masing berjumlah 4 pasien, pandangan ganda berjumlah 3 pasien, benjolan di hidung,
batuk berdarah, dan pilek masing-masing berjumlah 2 pasein, dan pasien yang mengeluhkan
keluhan tambahan yang paling sedikit adalah keluhan pandangan mata menurun, suara serak,
badan lemas, benjolan di mata, mata kabur, susah tidur, dan benjolan di telinga yang masing-
masing berjumlah 1 pasien.
5.1.9 Distribusi Proporsi Pasien Karsinoma Nasofaring Berdasarkan Menurut Hasil
Pemeriksaan Histopatologis
Proporsi pasien karsinoma nasofaring berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologis yang
rawat inap di RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN tahun 2008-2010 dapat dilihat pada Diagram
dibawah ini:
Gambar 5.1.9 Distribusi Proporsi Menurut Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Histopatologis Pasien Karsinoma Nasofaring Rawat Inap Di RSUD Dr. PIRNGADI
MEDAN Tahun 2008-2010
Pada Gambar 5.1.9 dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan laboratorium histopatologis
yang terbanyak adalah karsinoma tak berdiferensiasi yang berjumlah 43 pasien, disusul dengan
karsinoma sel skuamos berjumlah 23 pasien, karsinoma sel skuamos diferensiasi buruk dan
malignant smear masing-masing berjumlah 9 pasien, non keratinaizing kuamos, ca cell, dan
karsinoma sel skuamos keratinisasi diferensiasi baik masing-masing berjumlah pasien, dan hasil
pemeriksaan histopatologis yang paling sedikit adalah adeno karsinoma keratinaizing skuamos
diferensiasi baik berjumlah 1 pasien.
5.2 Pembahasan
Umur yang tertua berumur 87 tahun, yang termuda berumur 9 tahun, dan umur rata-rata
pasien karsinoma nasofaring berumur 47,72 tahun. Sementara hasil penelitian Dharishini umur
tertua diatas 80 tahun, umur termuda dibawah 30 tahun (Dharishini, 2011). Dari hasil penelitian
Munir umur termuda adalah 21 tahun, umur tertua berumur 77 tahun dan hasil penelitian Rata-
rata umur penderita adalah 48,8 tahun (Munir, 2008). Desen menyebutkan dalam bukunya yang
berjudul Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi Dua bahwa karsinoma nasofaring dapat terjadi pada
segala usia (Desen, 2008).
Didapatkan pasien karsinoma nasofaring tiap tahunya mengalami penurunan jumlah, ini
dikarenakan tidak tersediannya alat radioterapi yang dibutuhkan oleh pasien karsinoma
nasofaring.
Diketahui rata-rata umur pasien karsinoma nasofaring yang paling banyak adalah antara
umur 49-58 tahun. sementara itu, dari hasil penelitian Dharishini didapatkan umur yang paling
banyak jumlah pasiennya adalah antara umur 40-49 tahun (Dharishini, 2011) dan penelitian
Munir didapatkan umur yang paling banyak antara umur 50-59 tahun. Pasien laki-laki lebih
banyak daripada pasien perempuan, dari teori American Cancer Society menyebutkan laki-laki 2
kali lebih rentan daripada wanita ini kemungkinan lamanya terpapar zat-zat karsinogen yang
menimbulkan karsinoma nasofaring (American Cancer Society, 2011).
Didapatkan jumlah pasien karsinoma nasofaring yang terbanyak ialah bersuku batak, ini
dikarenakan ada suku-suku tertentu yang memiliki faktor resiko kerentanan genetik, memiliki
agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (Human Leukocyte Antigen),
kromosom pasien karsinoma nasofaring menunjukkan keidaksetabilan, hingga lebih rentan
terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbulnya penyakit (Desen,
2008), dan gen pengode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan
terhadap kanker nasofaring dan memiliki perbedaan jaringan pada keturunan tertentu juga ikut
mempengaruhi imun respon, jadi mungkin berhubungan dengan bagaimana tubuh seseorang
merespon infeksi EBV (American Cancer Society, 2011). Selain itu juga kebiasaan makan
makanan yang bisa menimbulkan karsinoma nasofaring ikut serta memicu timbulnya karsinoma
nasofaring (Roezin, 2010)
Pasien karsinoma nasofaring yang paling banyak adalah wiraswasta, sementara hasil
penelitian Munir didapatkan pasien karsinoma nasofaring yang paling banyak berfropesi sebagai
petani (Munir, 2006). Dari penelitian ini pekerjaan juga ikut berpengaruh untuk memicu
timbulnya karsinoma nasofaring, karena pekerjaan yang banyak berhubungan dengan debu nikel,
debu kayu, atau pekerjaan pembuat sepatu, dan terpapar zat-zat kimia juga ikut merangsang sel
untuk menjadi mutagenik(Soetjipto, 1989 dan Desen, 2008)
Dapat diketahui bahwa pasien karsinoma nasofaring paling banyak mengeluhkan
benjolan di leher sebagai keluhan utama. Dikarenakan banyak pasien datang berobat pertama
kali saat sudah terjadi penyebaran limfogen atau sudah stadium lanjut. Selain itu, pada daerah
nasofaring juga kaya akan jaringan limfaik, drainase limfatik dapat melintasi garis tengah ke sisi
leher kontralateral (Desen, 2008). Sedangkan pada stadium awal pasien belum menunjukkan
gejala klinis yang menurutnya belum merasa mengganggu dirinya. Sakit kepala pada pasien
karsinoma nasofaring disebabkan karena tumor sudah mengalami perluasan ke intra-kranial
menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran petrosfenoid. Biasanya melalui foramen
laserum dan mengenai grup anterior saraf otak yaitu n II s.d nIV. Jika semua saraf grup anterior
terkena serta mengalami penekanan tumor pada duramater. Perluasan ke atas mengenai n VI
menimbulkan gejala pandangan ganda (Soetjipto, 1989). Nyeri dimata diduga tumor sudah
menginvasi jaringan mata. Benjolan di rongga nasofaring diduga tumor sudah membesar dan
menyumbat tengggorokan. Batuk berdarah, nyeri diafragma, dan sesak nafas dikarenakan tumor
sudah metastase ke paru. Telinga berdengung karena tumor di resesus faringeus dan dinding
lateral nasofaring menginfiltrasi, menekan tuba eustachi, menyebabkan tekanan negatif di dalam
kavum timpani. Nyeri ulu hati kemungkinan efek samping dari pengobatan radioterapi pada
karsinoma nasofaring, suara serak kemungkinan tumor telah menginvasi vokal cord. Benjolan
dihidung mungkin karena tumor telah menjalar dan membesar ke cavum nasi, tumor tumbuh dari
nasofaring melewati koana dan sampai ke cavum nasi dan dapat menimbulkan keluhan hidung
tersumbat (Sukardja, 2002).
Keluhan tambahan pasien karsinoma nasofaring yang paling banyak adalah susah
menelan dan mimisan. Susah menelan terjadi karena kemungkinan adanya sumbatan lumen
esofagus oleh massa tumor dan pembesaran kelenjar getah bening, pada tumor terdapat luka
yang apabila menelan makanan dan terjadi gesekan akan menimbulkan rasa sakit menelan
akhirnya menjadi sulit menelan, atau metastasis tumor ke batang otak yang merusak n V, n VII,
n IX, n X, dan n XII sehingga sulit menelan ( Soepardi, 2010). Sedangkan mimisan dikarenakan
sewaktu menghisap dengan kuat sekret dari rongga hidung atau nasofaring, bagian dorsal
palatum mole bergesekan dengan permukaan tumor, sehingga pembuluh darah dipermukaan
tumor robek dan menimbulkan perdarahan di hidung. Tuli dikarenakan hambatan konduksi
karena adanya desakan dari tumor dan mudah terjadinya otitis media transudatif (Desen, 2008).
Mual dan muntah merupakan efek samping dari radioterapi (Sukardja, 2002). Pilek karena
sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga nasofaring
dan menutupi koana. Badan lemas ini dikarenakan pada status rekam medis pasien didapatkan
pada pasien karsinoma nasofaring juga terkena diabetes melitus. Pandangan mata menurun dan
mata kabur dikarenakan tumor telah menjalar ke atas dan merusak seluru saraf grup anterior
yaitu n II s.d n VI.
Didapatkan karsinoma tak berdiferensiasi merupakan hasil pemeriksaan histopatologis
yang paling banyak ditemukan pada pasien karsinoma nasofaring. Sementara itu hasil penelitian
Herza dan Munir didapatkan subtipe yang paling banyak adalah karsinoma tak berdiferensiasi
(Munir, 2006, Munir, 2008, dan Herza, 2010). Pada teori American Cancer Society
menyebutkan, di Asia Tenggara. Karsinoma nasofaring yang paling banyak tipe karsinoma tak
berdiferensiasi (American Cancer Society, 2011). Ini tergantung dari bagaimana karakteristik
selnya, makin jelek diferensiasinya maka makin ganas sifat selnya. Tetapi, sebenarnya dari
kesemua tipe berasal dari satu sel yang sama.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Dari hasil data yang dikumpulkan, dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2008 jumlah
pasien karsinoma nasofaring rawat inap RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN berjumlah 82,
sedangkan pada tahun 2009 berjumlah 32, dan tahun 2010 berjumlah 27, data ini menunjukkan
penurunan jumlah pasien karsinoma nasofaring tiap tahun cendrung turun.
Pasien yang paling banyak ialah antara umur 49-58 tahun yaitu 32 orang. Umur yang
paling tua adalah 87 tahun, yang paling muda 9 tahun, dengan umur rata-rata 47,72. Dilihat dari
jenis kelamin, pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Yang bersuku
Batak merupakan pasien paling banyak. Ini mungkin karena penelitian yang dilakukan dalam
ruang lingkup kecil saja hanya pasien yang datang berobat ke RSUD Dr. PIRNGADI MEDAN.
Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan pasien yang berprofesi sebagai
wiraswasta paling banyak terkena karsinoma nasofaring. Keluhan utama yang paling banyak
ialah benjolan di leher, serta susah menelan dan mimisan merupakan keluahan tambahan yang
paling banyak dikeluhakan.
Dari hasil pemeriksaan histopatologi Karsinoma tak-berdiferensiasi adalah yang paling
banyak.
6.2 Saran
Masih diperlukan penelitian lanjutan dengan penambahan variabel yang diteliti yaitu
variabel stadium, dan komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G L., 1997. Tumor-Tumor Ganas Kepala Dan Leher. Dalam: Adam, Gorge L., Lawrence R.,
Boies, Jr., Dan Peter A. Higler. BOIES Buku Ajar Penyakit THT (BOIES Fundamentals Of
Otolaryngology). Terjemahan. EGC. Jakarta. 430-431.
American cancer society, 2011. Nasopharingeal cancer. USA: American Cancer Society. Diunduh:
http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003124-pdf.pdf (pada tanggal 12
juli 2011)
Brennan, B., 2006. Nasopharyngeal Carcinoma. BioMed Central Ltd. USA. Diunduh:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/ (pada tanggal 1 agustus 2011).
Desen, W., 2008. Buku ajar onkologi klinis edisi kedua. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta. 263-278.
Dharishini, P., 2011. Gambaran Karateristik Penderita Karsinoma Nasofaring Di Rumah
Sakit Umum Haji Adam Malik Dari Januari Sampai Desember 2009. USU Digital Library.
Medan. Diunduh:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21527 (pada 19 januari 2012)
Gardjito, W., 2005. Kepala dan Leher. Dalam: Sjamsuhidjarat. R., dan Wim de jong. Buku
Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta. 351-352.
Hartanto, H., Dkk. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. EGC. Jakarta. 44, 47, 478,
770, 1014, 1832, 1978, 2051.
Herawati, S., Dan Sri R. 2002. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Untuk Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi. EGC. Jakarta. 40-42.
Herza, P., 2010. Profil Penderita Karsinoma Nasofaring Di Laboratorium Patologi
Anatomi Kota Medan Tahun 2009. USU Digital Library. Medan. Diunduh:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16912/4/Chapter%20II.pdf (pada
tanggal 11 july 2011).
Lin HS, Fee WS., 2009. Malignant Nasopharyngeal Tumors. Medscape Referernse Drugs,
Disease, & Procedures. Diunduh:
http://emedicine.medscape.com/article/848163-overview (pada tanggal 2 agustus 2011).
Lukmanto, H., 1995. Adams Diagnosis Fisik Edisi 17. EGC. Jakarta. 11-38.
Mansjoer, A., Kuspaji T., Rakhmi S., Dkk. 2003. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga.
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 110-111.
Munir, D., 2006. Beberapa Aspek Karsinoma Nasofaring pada Suku Batak di Medan dan
Sekitarnya. USU Digital Library. Medan. Diunduh:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/20661 (pada tanggal 19 januari 2012).
Munir, D., 2008. Peran Gen HLA-DQB1 pada Penyebab Kerentanan Karsinoma Nasofaring
Suku Batak. USU Digital Library. Medan. Diunduh :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/18625 (19 januari 2012).
Munir, D., 2010. Karsinoma Nasofaring Kangker Tenggorok; Edisi Revisi . USU Press. Medan.
Diunduh: http://usupress.usu.ac.id/terbitan-2010/366- karsinoma-nasofaring-kangker-
tenggorok-edisi-revisi.html (pada tangal juli 2011).
National Cancer Institute at the national institutes of health, 2011. Nasopharyngeal Cancer
Treatment (PDQ®). USA: National Cancer Institute. Diunduh:
http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/Patient/All
Pages/Print (pada tanggal 12 juli 2011).
Roezin, A., dan Marlinda A. 2010. Karsinoma Nasofaring. dalam: Soepardi, Efianty A.,
Nurbaiti I., Jenny B., dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga- Hidung-Tenggorok
Kepala Leher edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 182-187.
Rusdiana., Delfitri M., Dan Yahwardiah S. 2006. Hubungan Antibodi Anti Epstein Barr
Virus dengan Karsinoma Nasofaring pada Pasien Etnis Batak di Medan. Usu Digital Library.
Medan. Diunduh:
http://www.usu.ac.id/id/files/artikel/rusdiana.pdf (pada tanggal 11 juli 2011).
Soetjipto, D., 1989. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Iskandar, N., Masrin M., Dan Damayanti S.
Tumor-hidung-tenggorok diagnose & penatalaksanaan. Fakultas kedokteran universitas
Indonesia. 71-83.
Soepardi, Efianty A., 2010. Disfagia. Dalam: Soepardi, Efianty A., Nurbaiti I., Jenny B.,
dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok Kepala Leher edisi keenam.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 276- 280.
Sudiana, I., 2008. Patobiologi Molekuler Kanker. Salemba Medika. Jakarta. 41-42.
Sukardja, I., 2002. Onkologi klinik edisi 2. Airlangga University Press. Surabaya. 229-237.
Susworo, R. 2001. Kanker Nasofaring Epidemiologi Dan Pengobatan Mutakhir. Cermin Dunia
Kedokteran. Diunduh:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/144_09KankerNasofaring.pdf/144_09K
ankerNasofaring.pdf (pada tanggal 12 juli 2001).
Peta kelenjar getah bening (KGB) leher
Gb1. Kelenjer getah bening di leher
Peta adalah suatu gambar yang digunakan untuk menunjukkan tempat, gunung, sungai dlsb di muka bumi. Untuk peta detail atau topografi diperlukan juga landmark atau tanda khusus untuk suatu tempat yang spesifik misalnya Monas bagi Jakarta.
Kelenjar getah bening (KGB) leher juga dipetakan.
Sebagai muara dari pembuluh getah bening, KGB memberikan petunjuk atas keadaan hulu yaitu alat tubuh. Hak ini terjadi karena KGB adalah garis pertahanan regional terhadap semua keadaan yang mengganggu alat tubuh di hulu. Gangguan itu dapat disebabkan oleh infeksi, benda asing, alergi ataupun kanker. Kegagalan pertahanan akan membuat mereka membesar karena aktivitas yang bertambah. Karena itu lokasi pembesaran KGB akan menunjukkan alat tubuh yang bermasalah. Gambar 1 memperlihatkan betapa sibuknya aliran pembuluh limfe leher sebagaimana banyaknya KGB . KGB leher berjumlah +/- tigaratus yang merupakan setengah dari keselurihan KGB tubuh.
Gambar 2, memperlihatkan peta kelenjar getah bening leher yang terbagi atas dua sisi
Gb 2. Leher kanan dan kiri
yaitu kanan dan kiri. Landmarknya adalah garis lurus antara dagu (1), tulang hyoid (2) dan takik jugularis atau jugular notches (3)
Selanjutnya bagian kanan atau kiri dibagi oleh otot leher menjadi segitiga depan (a) dan belakang (b), gambar 3. Landmark otot leher ini disebut otot sternocleidomastoideus yang jelas teraba bila kepala ditolehkan kesisi. KGB di depan adalah muara dari pembuluh limfe daerah tenggorokan sedangkan bagian belakang saluran pernapasan atas.
Berbagai otot membagi segitiga depan / belakang menjadi beberapa segitiga. Di depan mereka adalah (gambar 4) a1, segitiga suprahioid, yang terletak diatas tulang hyoid; a2, submaksila yang juga dikenal sebagai submandibula, dibawah rahang bawah; a3, karotis superior, diatas otot omohioid; dan a4. karotis inferior, dibawah otot omohioid.
Dibelakang mereka adalah: b1, segitiga oksipital, diatas otot omohioid; dan b2,
Gb 4. Segitiga lainnya
Gb 3. Segitiga depan dan belakang
subklavia yang dikenal juga sebagai supraklavikula, dibawah otot omohioid dan diatas tulang klavikula.
Refarat Karsinoma Nasofaring Labels: refarat, THT
KARSINOMA NASOFARING
Indira Pratiwi
I. PENDAHULUANKarsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor yang berasal dari sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring, disebut juga sebagai tumor Kanton (Canton Tumor).1,2 Menurut estimasi WHO, sekitar 80% dari kasus KNF di dunia terjadi di China.2 Di Indonesia, KNF merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%), laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut; tonsil, hipofaring dalam presentase rendah. Berdasarkan data Laboratorium Patologi Anatomik, tumor ganas nasofaring sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor ganas tubuh manusia bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit.3
II. EPIDEMIOLOGIKNF merupakan penyakit multifaktorial. Insidens dan distribusi geografi keganasan ini tergantung pada beberapa faktor seperti genetik, lingkungan, diet, dan pola hidup.4, 5KNF jarang ditemukan di negara-negara barat, tetapi endemik di China. Insidens tertinggi dilaporkan dari Provinsi Guangdong, Cina Selatan, di mana KNF merupakan keganasan ketiga yang paling sering terjadi, dengan angka insidens 15-50 per 100000. Insidens yang tinggi juga ditemukan di Hong Kong dan Singapura, dengan insiden intermediat ditemukan pada orang-orang Eskimo Alaska dan daerah Mediterania. 3, 5 Insidens KNF di Amerika Utara adalah 0.25%, di mana 18% di dalamnya adalah ras China-Amerika. Keturunan China yang hidup di Amerika mempunyai insidens yang lebih kecil dibanding yang hidup di China. KNF jarang di India dan negara sekitarnya, kecuali negara-negara Asia Tenggara di mana didominasi oleh orang-orang Mongoloid. Orang-orang Indonesia cenderung rentan mengalami KNF, terbukti dengan meratanya frekuensi pasien KNF di tiap daerah, dengan pasien dari ras Cina relatif lebih banyak dari suku bangsa lainnya.4 Untuk negara-negara lain, insidens KNF sangat rendah, yaitu kurang dari 1 per 100000.5,6KNF dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya menyerang usia 30-60 tahun, menduduki 75-90%.2 Pada anak-anak dan orang dewasa usia kurang dari 30 tahun, KNF lebih sering ditemukan daripada tumor ganas lain pada saluran nafas.7KNF lebih sering ditemukan pada laki-laki dengan proporsi laki-laki dan perempuan adalah 2-3,8 : 1.
2,3,7
III. ANATOMI DAN FISOLOGIFaring merupakan tabung/pipa fibromuskular yang mengerucut membentuk saluran nafas dan saluran pencernaan bagian atas. Secara anatomis, faring dibedakan menjadi tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, dan hipofaring/laringofaring. 2,4Nasofaring merupakan bagian teratas dari faring, sehingga sering juga disebut epifaring, terletak di antara basis cranial dan palatum molle, membuka ke arah depan hidung melalui koana posterior, menghubungkan rongga hidung dan orofaring. 2,4,8 Diameter atas-bawah dan kiri-kanan masing-masing sekitar 3 cm, diameter depan-belakang sekitar 2-3 cm.2
Gambar 1 (dikutip dari kepustakaan 9)Anatomi hidung dan nasofaring
Bagian atas nasofaring dibentuk oleh bassiphenoid dan basiocciput. Dinding posterior dibentuk oleh arkus atlas yang dilapisi otot-otot dan fascia prevertebral. Dasar nasofaring dibentuk oleh palatum molle anterior dan ismus orofaring. Dinding anterior dibentuk oleh ostium posterior nasal atau choanae dan margin posterior septum nasalis. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustakius, orifisium ini dibatasi oleh torus tubarius pada bagian posterior. Ke arah postero-superior dari torus tubarius terdapat Fossa Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering KNF.2,4,7,10Area nasofaring sangat kaya akan saluran limfatik, terutama drainase ke kelenjar limfe faringeal posterior paravertebral servikal (disebut juga kelenjar limfe Rouviere, sebagai kelenjar limfe terminal pertama drainase KNF), kemudian masuk ke kelenjar limfe kelompok profunda servikal, terutama meliputi: rantai kelenjar limfe jugularis interna, rantai kelenjar limfe nervi asesorius (terletak dalam segitiga posterior leher), rantai kelenjar limfe arteri dan vena transversalis koli (di fosa supraklavikular). 2Vaskularisasi nasofaring berasal dari percabangan level I atau II arteri karotis eksterna, masing-masng adalah: 2- Arteri faringeal asendens, cabang terkecil arteri karotis eksterna- Arteri palatina asendens- Arteri faringea, salah satu cabang terminal dari arteri maksilaris interna
- Arteri pterigoideus, juga salah satu cabang akhir arteri maksilaris interna. Untuk persarafan nasofaring, saraf sensorik berasal dari nervi glossofaringeal dan vagus. Saraf motorik dar nervus vagus, mempersarafi sebagian otot faring dan palatum mole. 2Adapun fungsi nasofaring sebagai berikut:4- Sebagai saluran udara yang berperan menghangatkan dan melembabkan udara di hidung yang menuju ke laring dan trakea- Melalui tuba eustachii, nasofaring berperan sebagai ventilasi dari telinga tengah dan menyeimbangkan tekanan udara antara kedua sisi membran timpani. Fungsi ini penting untuk proses pendengaran.- Nasofaring berperan dalam proses menelan, refleks muntah, dan berbicara- Sebagai ruang resonansi dalam proses bersuara dan berbicara.- Sebagai drainase untuk mukus yang disekresikan oleh hidung dan kelenjar nasofaring.
IV. ETIOLOGITerjadinya KNF mungkin multifaktorial dan proses karsinogenesisnya mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya KNF adalah:1. Genetik 1,2,3,4,5,6Walaupun KNF tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap KNF pada kelompok masyarakat tertentu relatif menonjol dan memiliki fenomena agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap KNF, mereka berkaitan dengan timbulnya sebagian besar KNF. Tahun 2002, RS Kanker Universitas Zhongshan memakai 382 buah petanda mikrosatelit polimorfisme 22 helai autosom genom manusia melakukan pemeriksaan genom total terhadap keluarga insidens tinggi KNF berdialek Guangzhao di propinsi Guangdong, gen kerentanan KNF ditetapkan berlokasi di p41511-q12.Penelitian geneteika molecular dan biologi molecular mutakhir menemukan KNF menunjukkan frekuensi tinggi kehilangan heterozigositas (LOH) kromosom terutama paa 1p, 3p, 9p, 9q, 11q, 13q, 14q, 16q, dan 19p, dan telah mengidentifikasikan region delesi minimal LOH yang berkaitan, terkesan di dalam region dengan frekuensi LOH tinggi mungkin terdapat gen supresor tumor yang berpearan penting dalam pathogenesis KNF.Penelitian di atas menunjukkan kromosom pasien KNF menunjukkan ketidakstabilan, hingga lebih rentan terhadap serangan berbagai faktor berbahaya dari lingkungan dan timbulnya penyakit. 2. Virus 1,2,3,4,5,6Virus Eipstein-Barr (EBV) merupakan virus herpes yang dikaitkan dengan KNF. Metode imunologi membuktikan EBV membawa antigen spesifik seperti antigen capsid virus (VCA), antigen membrane (MA), antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA) dan lain-lain. EBV dikaitkan dengan KNF dengan alasan sebagai berikut:- Di dalam serum pasien KNF ditemukan antibodi terkait EBV (termasuk VCA-IgA, EA-IgA, EBNA, dll) dengan frekuensi postif maupun rataa-rata titer geometriknya jelas lebih tinggi dibandingkan orang normal dan penerita kanker jenis lain (termasuk kanker kepala leher) dan titernya berkaitan positif dengan beban tumor. Selain itu titer antibody dapat meurun bertahap sesuai pulihnya kondisi pasien dan kembali meningkat bila penyakitnya rekuren atau memburuk.
- Di dalam sel KNF dapat dideteksi zat petanda EBV seperti DNA virus dan EBNA- Epitel nasofaring di luar tubuh bila diinfeksi dengan galur sel mengandung EBV, ditemukan epitel yang terinfeksi tersebut tumbuh lebih cepat, gambaran pembelahan inti juga banyak.- Dilaporkan EBV di bawah pengaruh zat karsinogen tertentu dapat menimbulkan karsinoma tak berdiferensiasi pada jaringan mukosa nasofaring fetus manusia.3. Lingkungan 1,2,3,4,5,6Menurut laporan luar negeri, orang Cina generasi pertama yang bermigrasi ke Amerika Serikat, memilik angka kematian akibat KNF 30 kali lebih tinggi dari penduduk kulit putih setempat, sedangkan pada generasi kedua turun menjadi 15 kali, pada generasi ketiga belum ada angka pasti, tapi secara keseluruhan cenderung menurun. Sedangkan orang kulit putih yang lahir di Asia Tenggara, angka kejadian KNF meningkat. Sebabnya selain pada sebagian orang terjadi perubahan pada hubungan darah, jelas faktor lingkuna=gan juga berperan penting.Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan kebiasaan makan makanan terlalu panas. Nikel sulfat dalam air minum atau makanan dapat memacu efek karsinogenesis pada proses timbulnya KNF.4. Diet 1,3,4,5,6Ho dari Hong Kong pertama kali melaporkan bahwa ikan asing Cina, makanan yang terkenal di Cina Selatan, utamanya yang berasal dari Kanton, merupakan salah satu faktor etiologi KNF. Teori ini didasarkan fakta bahwa insidens tertinggi KNF terjadi pada nelayan Hong Kong yang dietnya terdiri dari ikan asin yang banyak dam mengalami defisiensi vitamin yang berasal dari sayuran dan buah. Ikan asin ini juga terkenal di kalangan emigran Cina, dan beberapa negara Asia Tenggara. Nitrosamin yang dikandung oleh ikan asin kemudian diketahui menginduksi karsinoma squamosa, adenokarsinoma dan tumor lain di nasal dan kavum paranasal atau nasofaring.
V. PATOFISIOLOGIRongga nasofaring diselaputi selapis mukosa epitel tipis, terutama berupa epitel skuamosa, epitel torak besilia berlapis semu dan epitel transisional. Di dalam lamina propria mukosa sering terdapat sebukan limfosit, di submukosa terdapat kelenjar serosa dan musinosa. KNF adalah tumor ganas yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring. 2Infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan KNF. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita KNF. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa KNF, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Dari semua antigen yang diekspresikan oleh EBV pada KNF, latent membrane protein-1 (LMP-1) merupakan faktor penting yang berkontribusi dalam pathogenesis KNF sebab LMP-1 ini menginduksi pertumbuhan selular dan mempengaruhi mekanisme pengontrolan pertumbuhan seluler. LMP-1 merupakan onkogen viral dari EBV yang mengubah sel fibroblast embrio tikus. LMP-1 juga diketahui menginduksi reseptor faktor pertumbuhan epidermis dan gen A20 yang berperan dalam menghentikan apopotosis pada sel epitel yang dimediasi oleh p-53.6Lokasi predileksi KNF adalah dinding lateral nasofaring (terutama di resesu faringeus) dan dinding
superoposterior. Tingkat keganasan KNF tinggi, tumbuh infiltratif, dapat langsung menginfiltrasi berekspansi ke struktur yang berbatasan: ke atas dapat langsung merusak basis cranial, juga dapat melalui foramen sfenotik, foramen ovale, foramen spinosum, kanalis karotis internal atau sinus sphenoid dan selula etmoidal posterior, lubang saluran atau retakan alamiah menginfiltrasi intracranial, mengenai saraf cranial; ke anterior menyerang rongga nasal, sinus maksilaris, selula etmoidales anterior, kemudian ke dalam orbita, juga dapat melalui intrakranium, fisura orbitalis superior atau kanalis pterigoideus, resesus pterigopalatina lalu ke orbita; ke lateral tumor dapat menginfiltrasi celah parafaring, fossa intratemporal dan kelompok otot mengunyah; ke posterior menginfiltrasi jaringan lunak prevertebra servikal, vertebra servikal; ke inferior mengenai orofaring, bahkan laringofaring. 2
VI. GAMBARAN KLINISGejala nasofaring dibagi dalam 4 kelompok utama: 3,4- Gejala pada hidung dan nasofaring, berupa obstruksi nasal, sekret, dan epistaksis.- Gangguan pada telinga terjadi akibat tempat asal tumor dekat dengan muara tuba eustachi (Fossa Rosenmuller) dan menimbulkan obstruksi sehingga dpat terjadi penurunan pendengaran, otitis media serous maupun supuratif, tinnitus, gangguan keseimbangan, rasa tidak nyaman dan rasa nyeri di telinga. Adanya otitis media serosa yang unilateral pada orang dewasa meningkatkan kecurigaan akan terjadinya KNF.- Gangguan oftalmoneurologik terjadi karena nasofaring behubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang, sehingga gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF. Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI, dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopialah yang membawa pasien lebih dulu ke dokter mata. Gejala mata lain berupa penurunan reflex kornea, eksoftalmus dan kebutaan (berkaitan dengan saraf otak II). Neuralgia terminal merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika penjalaran melalui foremen jugulare yang relatif jauh dari nasofaring, sering disebut sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Ada juga yang dikenal dengan trias Trotter yaitu tuli konduktif, neuralgia temporoparietal ipsilateral dan paralisis palatal terjadi secara kolektif akibat KNF.- Metastasis di leher, merupakan gejala yang paling jelas manifestasinya berupa benjolan di leher yang kemudian mendorong pasien berobat. Benjolan biasanya ditemukan antara mandibula dan mastoid. Untuk metastasis lanjutan, gejala melibatkan tulang, paru-paru, hepar dan lain-lain.Berdasarkan frekuensi sering ditemukannya pada pasien, gejala dan tanda KNF berturut-turut sebagai berikut:4- Limfadenopati pada leher (60-90%)- Hilangnya pendengaran- Obstruksi nasal- Epistaksis- Kelumpuhan N.Kranialis- Nyeri kepala- Otalgia- Nyeri pada leher
- Penurunan berat badan
VII. DIAGNOSISAnamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap harus dilakukan, dan meskipun keluhan yang diungkapkan pasien tampak tidak bermakna, namun tetap dicurigai sebagai KNF jika lokasi geografis merupakan lokasi yang endemik. Pasien KNF jarang mencari pengobatan hingga terjadi metastasis ke limfe regional. Pembesaran tumor yang terjadi muncul sebagai gejala berupa obstruksi nasal, gangguan pendengaran dan kelumpuhan saraf kranialis. 5,11Pada pemeriksaan fisis, tanda yang paling sering ditemukan adalah benjolan pada leher (80%), umumnya bersifat bilateral, di mana kelenjar limfe yang terlibat paling sering adalah nodus limfe jugulodigastrik, atas dan tengah pada rantai servikal anterior. Selain itu, kelumpuhan saraf kranial ditemukan pada 25% pasien KNF.1,5,11Indirect nasopharyngoscopy perlu dilakukan untuk menilai tumor primer. Dapat juga digunakan nasopharyngoscopy direct berupa endoskopi.1,5,11CT Scan kepala dan leher dilakukan untuk menilai besarnya tumor, ada tidaknya erosi dari basis cranial,dan limfodenopati servikal yang terjadi. Potongan koronal memperlihatkan persebaran tumor dari fissura petroclinoid atau foramen laceru ke sinus cavernosus. Potongan axial menunjukkan persebaran ke retrofaringeal, paranasofaringeal, dan fossa intratempolar. 1,3,5,11
Gambar 2 (dikutip dari kepustakaan 5)Potongan Axial CT Scan menunjukkan KNF: A.Sebelum Nasofaringektomi B. Setelah Nasofaringektomi
Foto thoraks posisi AP dan lateral berfungsi untuk menilai adanya metastasis ke paru-paru.1Pemeriksaan darah rutin, termasuk hitung darah lengkap (CBC) serta ureum, kreatinin, elektrolit, fungsi hepar, Ca, PO4, alkalin fosfat. Fungsi liver mungkin abnormal pada kasus metastasis hepar. Asam urat mungkin meningkat pada pasien dengan pertumbuhan tumor yang cepat.1,11Pemeriksaan titer EBV termasuk antibodi IgA dan IgG terhadap antigen kapsid viral (VCA), antigen dini (EA), dan antigen nuklir sebaiknya dilakukan. Titer ini berhubungan dengan beratnya penyakit dan berkurang dengan pengobatan. Sedangkan titer DNA EBV penting dalam prognosis penyakit. Lo dalam beberapa tulisan menyebutkan bahwa titer DNA EBV berkaitan erat dengan stadium, respon pengobatan, relaps dan survival dari pasien KNF. 1,5,11Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu di hidung dan di mulut. Biopsi di hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya. Biopsi mulut dilakukan dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar.3Sesuai dengan klasifikasi WHO, KNF dibedakan menjadi 3 jenis berdasarkan gambaran histopatologiknya:3,7,11,121. Karsinoma sel squamosa (berkeratinisasi), terdapat jembatan interseluler dan keratin, dapat dilihat dengan mikroskop cahaya2. Karsinoma nonkeratinisasi, pada pemeriksaan dengan mikroskop cahaya, terdapat tanda differensiasi, tetapi tidak ada differensiasi skuamosa.3. Karsinoma tidak berdiferensiasi, sel mempunyai inti vesikuler, nukleo;us yang menonjol, dan dinding sel tidak tegas, tumor tampak lebih berbentuk sinsitium daripada bentuk susunan batu bata.Untuk penentuan stadium digunakan sistem TNM menurut UICC dan AJCC (2002, Edisi VI).
Tumor Primer (T)• Tx = Tumor primer yang belum dapat dipastikan • T0 = Tidak tampak tumor• Tis = Karsinoma in situ• T1 = Tumor berada di nasofaring• T2 = Tumor meluas ke jaringan lunak di orofaring dan/atau fossa nasal.• T2a = Tanpa perluasan parafaringeal• T2b = Dengan perluasan parafaringeal• T3 = Tumor menyerang struktur tulang dan/atau sinus paranasal• T4 = Tumor dengan extensi intracranial dan/atau keterlibatan CNs, fossa infratemporal, hipofaring, atau orbit.Nodul (N)• N0 = Nodul regional tidak ada• N1 = Nodul regional ada, tapi belum ada perlekatan• N2 = Nodul regional ada, sudah ada perlekatan• N3 = Metastasis di kelenjar getah bening (s)• N3a = Lebih besar dari 6 cm • N3b = Ekstensi untuk fosa supraklavikulaMetastase (M)• Mx = Metastatis jauh tidak dapat dinilai• M0 = Tidak ada metastasis jauh• M1 = Terdapat metastasis jauh
Tabel 1Stadium KNF (Dikutip dari kepustaaan 11,12)Stadium T N M0 Tx N0 M0I T1 N0 M0II T1 N1 M0 T2 N0 M0 T2 N1 M0III T1 N2 M0 T2 N2 M0 T3 N0 M0 T3 N1 M0 T3 N2 M0IV A T4 N0 M0 T4 N1 M0 T4 N2 M0IV B T1-4 N3 M0IV C T1-4 N0-3 M1
VIII. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS1. Polip NasalPolip nasal merupakan lesi abnormal yang berasal dari mukosa nasal atau sinus paranasal. Polip merupakan hasil akhir dari berbagai proses penyakit di kavum nasi. Polip hidung mengandung banyak cairan, berwarna putih keabu-abuan. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.3,112. Limfoma Non-HodgkinSering pada pemuda dan remaja, pembesaran kelenjar limfe leher, dapat mengenai banyak lokasi, secara bersamaan dapat terjadi pembesaran kelenjar limfe naksila, inguinal, mediastinum, dll. Konsistensi tumor agak lunak dan mudah digerakkan. 2,113. TB NasofaringUmumnya pada orang muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangkal atau benjolan granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor, bahkan mengenai seluruh nasofaring. Khususnya perlu ditegaskan apakah terdapat TB dan kanker bersama-sama, atau apakah terjadi reaksi tuberkuloid akibat KNF. 24. TB Kelenjar Limfe LeherLebih banayak pada pemuda dan remaja. Konsistensi agak keras, dapat melekat dengan jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang terdapat nyeri tekan atau undulasi, pungsi aspirasi jarum menemukan materi mirip keju. 25. Angiofibroma NasofaringSering ditemukan pada orang muda, pria jauh lebih banyak dari wanita. Dengan nasofaringoskop tampak permukaan timor licin, warna mukosa menyerupai jaringan normal, kadang tampak vasodilatasi di permukaannya, konsistensi kenyal padat. Bila secara klinis dicurigai penyakit ini, biopsi tidak dianjurkan karena mudah terjadi perdarahan masif. 2
IX. PENATALAKSANAANTerapi KNF unik karena dua alasan, pertama lokasi tumornya yang sulit dijangkau mengakibatkan tindakan bedah menjadi lebih sulit dan dilakukan. Alasan berikutnya yaitu bahwa KNF ini lebih radiosensitif. 5 Terapi terhadap KNF berprinsip pada individiualisasi dan tingkat keparahan: pasien stadium I/II dengan radioterapi eksternal sederhana atau radioterapi eksteral ditambah brakiterapi kevum nasofaring; pasien stadium III/IV dengan kombinasi radioterapi dan kemoterapi; pasien dengan metastasi jauh harus bertumpu pada kemoterapi dan radioterapi paliatof.2Radioterapi hingga sekarang masih merupakan terapi utama dan pengobatan tambahan yang dapat diberikan berupa bedah diseksi leher, pemberian tetrasiklin, interferon, kemoterapi, dan vaksin antivirus.3Sumber radiasi menggunakan radiasi Ɣ Co-60, radiasi β energy tinggi atau radiasi X energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi luar isosentrum, dibantu brakiterapi intrkavital, bila perlu ditambahi radioterapi stereotaktik. Wang melakukan penyinaran sebanyak 4500 rad pada tumor primer dan leher bagian atas, kemudian dilanjutkan dengan tambahan 1500 rad teroisah untuk tumor primer dan kelenjar leher bagian atas. Akhirnya untuk kelenjar leher bagian bawah yang tidak terkena tumor diberikan dosis 5000 rad.2,7Kemoterapi masih tetap terbaik sebagai terapi adjuvant (tambahan). Berbagai macam kombinasi dikembagkan, yang terbaik sampai saat iniadalah kombinasi dengan Cis-platinum.3
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhada benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi seta tidak ditemukan adanya metastasis jauh. 3
X. PROGNOSISDiagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan, karena nasofaring tersembunyi di belakang langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak dan ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh mereka yang bukan ahli, seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.3Perbedaan prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun) dari stadium awal dengan stadium lanjut sangat mencolok, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56 % untuk stadium II, 38,4% untuk stadium III, dan hanya 16,4% untuk stadium IV. 3Tidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, KNF mempunyai risiko terjadinya rekurensi sehingga follow up jangka panjang diperlukan. Kekambuhan tersering terjadi kurang dari 5 tahun, 5-15% kekambuhan seringkali terjadi antara 5-10 tahun. Sehigga pasien KNF perlu difollow-up setidaknya 10 tahun setelah terapi. 3
DAFTAR PUSTAKA
1. Brennan B. Review Nasopgaryngeal Carcinoma. Orphanet Journal of Rare Disease [serial on line]. 2006 [cited 1 November 2011]. Available from URL: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/pdf/1750-1172-1-23.pdf 2. Desen W. Tumor kepala dan leher. Dalam: Desen W, editor. Buku ajar onkologi klinis Edisi II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 263-78.3. Efiaty A. Karsinoma nasofaring. Dalam: Nurbaiti,Jenny,Ratna, editor. Buku ajar ilmu kesehatan THT kepala & leher Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 182-87.4. Dhingra PL. Disease of Pharynx. Disease of Ear, Nose and Throat 4th edition. New Delhi: Elsevier, 2007; 223-7, 232-5.5. Cummings CW et al. Nasopharyngeal Carcinoma. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery 4th edition. USA: Mosby, 2005; 1-136. Huang DP, Lo KW. Aetilogical Factors and Pathogenesis. Dalam: van Hasselt CA, Gibb AG, editors. Nasopharyngeal Carcinoma. Hongkong: The Chinese University of Hong Kong, 1999; 31-51.7. Ballenger JJ. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Edisi 13 Jilid 1.Jakarta: Binarupa Aksara, 1994; 391-6.8. Adams GL. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Adams, Boies, Higler, editors. Boies: Buku ajar penyakit THT Edisi VI. Jakarta: EGC, 1997; 320-559. Probst R, Grevers G, Iro H. Nose, Paranasal Sinuses and Face. Basic Otorhinolaryngology. New York: Thieme, 2005; 18.
10. Kalwani AK. Benign and Malignant Lesions of the Nasopharynx. Current Diagnosis and Treatment: Otolaryngology Head and Neck Surgery. USA: Mc Graw Hill, 2007; 1-7.11. Paulino AC et al. Nasopharyngeal Cancer. [Online]. 2010 [Cited 1 November 2011]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/988165-overview.12. Chan ATC, Teo PML, Johnson PJ. Review Nasopharyngeal Carcinoma. Annals of Oncology [serial online]. 2002 [Cited 1 November 2011]. Available from URL: http://www.entjournal.com/Media/PublicationsArticle/JEYAKUMAR-03_06.pdf
Nasopharyngeal Cancer
+ -Text Size
Download Printable Version [PDF] »
EARLY DETECTION, DIAGNOSIS, AND STAGING TOPICS
Document Topics
GO »
SEE A LIST »
Previous Topic
Can nasopharyngeal cancer be found early?
Next Topic
How is nasopharyngeal cancer staged?
How is nasopharyngeal cancer diagnosed?
Nasopharyngeal cancer (NPC) is most often diagnosed when a person goes to a doctor because of symptoms such as a lump in the neck.
Signs and symptoms of nasopharyngeal cancer
About 3 out of 4 people with NPC complain of a lump or mass in the neck when they first see their doctor. This is caused by the cancer spreading to lymph nodes in the neck, causing them to become larger than normal. (Lymph nodes are bean-sized collections of immune system cells found throughout the body).
Other possible symptoms of NPC include:
Hearing loss, ringing in the ear, or feeling of fullness in the ear (especially on one side only) Ear infections that keep coming back Nasal blockage or stuffiness Nosebleeds Headache Facial pain or numbness Trouble opening the mouth Blurred or double vision
These are possible symptoms and signs of NPC, but they are more often caused by other, less serious diseases. Still, if you have any of these problems, it's important to see your doctor right away so the cause can be found and treated, if needed.
Ear infections are common in children, but not in adults. If you develop an infection in one ear and you have not had ear infections in the past, it is important that a specialist examine your nasopharynx. This is especially true if you don't have an upper respiratory tract infection (like a “cold”) along with the ear infection.
Medical history and physical exam
If you have any signs or symptoms that suggest you might have nasopharyngeal cancer, your doctor will want to get your complete medical history to learn about your symptoms and any possible risk factors, including your family history.
A physical exam will be done to look for signs of NPC or other health problems. During the exam, the doctor will pay special attention to the head and neck area, including the nose, mouth, and throat; the facial muscles, and the lymph nodes in the neck.
If your doctor suspects you may have a tumor or other problem in the nose or throat, he or she may order imaging tests (such as CT or MRI) to look at the head and neck area more closely. Your doctor may also refer you to an otolaryngologist (a doctor specializing in ear, nose, and throat problems, also sometimes called an ENT doctor), who will do a more thorough exam of the nasopharynx. The nasopharynx is a difficult area to examine. Most doctors do not have the specialized training or equipment to do a thorough exam of this part of the body.
Exams of the nasopharynx
The nasopharynx is located deep inside the head and is not easily seen, so special techniques are needed to examine this area. There are 2 main types of exams used to look inside the nasopharynx for abnormal growths, bleeding, or other signs of disease. Both types of exams are usually done in the doctor's office.
For indirect nasopharyngoscopy, the doctor uses special small mirrors and lights placed at the back of your throat to look at the nasopharynx and nearby areas.
For direct nasopharyngoscopy, the doctor uses a fiber-optic scope known as a nasopharyngoscope (a flexible, lighted, narrow tube inserted through the nose) to look directly at the lining of the nasopharynx. You will have numbing medicine sprayed into your nose before the exam to make it easier.
If a tumor starts under the lining of the nasopharynx (in the tissue called the submucosa), it may not be possible to see it directly on physical exam, which is why imaging tests such as CT scans (see below) may be needed as well.
Biopsy
Symptoms and the results of exams can suggest that a person might have NPC, but the actual diagnosis is made by removing cells from an abnormal area and looking at them under a microscope. This is known as a biopsy. Different types of biopsies may be done, depending on where the abnormal area is.
Endoscopic biopsy
If a suspicious growth is found in the nasopharynx during an exam, the doctor may remove a biopsy sample with small instruments and the aid of a fiber-optic scope. Often, biopsies of the nasopharynx are done in the operating room as an outpatient procedure. The sample is then sent to a lab, where a doctor called a pathologist looks at it under a microscope. If the biopsy sample contains cancer cells, the pathologist sends back a report describing the type of the cancer.
If the cancer is hidden beneath the surface of the nasopharynx, NPC may not be visible during an exam. If a person has symptoms suggesting NPC but nothing abnormal is seen on exam, the doctor may take several samples of normal-looking tissue, which may be found to contain cancer cells when looked at under the microscope.
Fine needle aspiration (FNA) biopsy
An FNA biopsy may be used if you have a suspicious lump in or near your neck. For this procedure, the doctor uses a thin, hollow needle attached to a syringe to aspirate (withdraw) a few drops of fluid containing cells and tiny fragments of tissue. A local anesthetic (numbing medicine) may be used on the skin where the needle will be inserted. In some cases, no anesthetic is needed.
The doctor places the needle directly into the mass for about 10 seconds and withdraws cells and a few drops of fluid. The cells are then looked at under a microscope to see if they are cancerous.
In patients with an enlarged lymph node in the neck area, an FNA biopsy can help determine if the enlargement is caused by a response to an infection, the spread of cancer from somewhere else (such as the nasopharynx), or a cancer that begins in lymph nodes – called a lymphoma. If the cancer started somewhere else, the FNA biopsy alone might not be able to tell where it started. But if a patient already known to have NPC has enlarged neck lymph nodes, FNA can help determine if the spread of NPC caused the lymph node swelling.
Imaging tests
Imaging tests use x-rays, magnetic fields, sound waves, or radioactive particles to create pictures of the inside of your body. Imaging tests may be done for a number of reasons, including to help find a suspicious area that might be cancerous, to learn how far cancer may have spread, and to help determine if treatment has been effective.
Chest x-ray
If you have been diagnosed with NPC, a plain x-ray of your chest may be done to see if the cancer has spread to your lungs. This is very unlikely unless your cancer is far advanced. This x-ray can be done in any outpatient setting. If the results are normal, you probably don’t have cancer in your lungs.
Computed tomography (CT) scan
The CT scan is an x-ray test that produces detailed cross-sectional images of your body. Instead of taking one x-ray, a CT scanner takes many pictures as it rotates around you. A computer then combines these into images of slices of the part of your body that is being studied.
Before the pictures are taken, you may get an IV (intravenous) line through which a kind of contrast dye (IV contrast) is injected. This helps better outline structures in your body. You may also be asked to drink 1 to 2 pints of a liquid called oral contrast. This helps outline the intestine so that certain areas are not mistaken for tumors. It may not be needed for CT scans of the nasopharynx.
The injection can cause some flushing (redness and warm feeling). Some people are allergic and get hives or, rarely, more serious reactions like trouble breathing and low blood pressure. Be sure to tell the doctor if you have any allergies or have ever had a reaction to a contrast material used for x-rays.
You need to lie still on a table while the scan is being done. During the test, the table slides in and out of the scanner, a ring-shaped machine that completely surrounds the table. You might feel a bit confined by the ring you have to lie in while the pictures are being taken.
A CT scan of the head and neck can provide information about the size, shape, and position of a tumor and can help find enlarged lymph nodes that might contain cancer. CT scans or MRIs are important in looking for cancer that may have grown into the bones at the base of the skull. This is a common place for nasopharyngeal cancer to grow. CT scans can also be used to look for tumors in other parts of the body.
Magnetic resonance imaging (MRI) scan
Like CT scans, MRI scans provide detailed images of soft tissues in the body. But MRI scans use radio waves and strong magnets instead of x-rays. The energy from the radio waves is absorbed and then released in a pattern formed by the type of body tissue and by certain diseases. A computer translates the pattern into very detailed images of parts of the body. A contrast material called gadolinium is often injected into a vein before the scan to better see details.
MRI scans may be a little more uncomfortable than CT scans. They take longer – often up to an hour. You may be asked to lie on a table that slides inside a large tube, which is confining and can upset people with a fear of enclosed spaces. Special, “open” MRI machines can sometimes help with this if needed. The MRI machine makes buzzing and clicking noises that you may find disturbing. Some places will provide earplugs to help block this noise out.
Like CT scans, MRIs can be used to try to determine if the cancer has grown into structures near the nasopharynx. MRIs are a little better than CT scans at showing the soft tissues in the nose and throat, but they’re not quite as good for looking at the bones at the base of the skull, a common place for nasopharyngeal cancer to grow.
Positron emission tomography (PET) scan
For a PET scan, you receive an injection of a form of radioactive sugar (known as fluorodeoxyglucose or FDG). The amount of radioactivity used is very low. Because cancer cells in the body are growing rapidly, they absorb large amounts of the sugar. After about an hour, you are moved onto a table in the PET scanner. You lie on the table for about 30 minutes while a special camera creates a picture of areas of radioactivity in the body. The picture is not finely detailed like a CT or MRI scan, but it provides helpful information about your whole body.
Your doctor may use this test to see if the cancer has spread to your lymph nodes. It can also help give the doctor a better idea of whether an abnormal area on a chest x-ray may be cancer. A PET scan can also be useful if your doctor thinks the cancer may have spread but doesn’t know where.
Some machines are able to do both a PET and CT scan at the same time (PET/CT scan). This lets the doctor compare areas of higher radioactivity on the PET with the more detailed appearance of that area on the CT.
Blood tests
Blood tests are not used to diagnose NPC, but they may be done for other reasons, such as to help determine whether the cancer may have spread to other parts of the body.
Routine blood counts and blood chemistry tests
Routine blood tests can help determine a patient’s overall health. These tests can help diagnose malnutrition, anemia (low red blood counts), liver disease, and kidney disease. And they may suggest the possibility of spread of the cancer to the liver or bone, which may prompt further testing.
In people getting chemotherapy, blood tests are important to see if the treatment is damaging the bone marrow (where new blood cells are made), liver, and kidneys.
Epstein-Barr virus (EBV) DNA levels
In some patients, the blood level of EBV DNA may be measured before and after treatment to help show how effective treatment is.
http://www.cancer.org/cancer/nasopharyngealcancer/detailedguide/nasopharyngeal-cancer-diagnosis