cara mengatasi konflik

19
E. POLA PENYELESAIAN KONFLIK Konflik dapat berpengaruh positif atau negatif, dan selalu ada dalam kehidupan. Oleh karena itu konflik hendaknya tidak serta merta harus ditiadakan. Persoalannya, bagaimana konflik itu bisa dimanajemen sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan disintegrasi sosial. Pengelolaan konflik berarti mengusahakan agar konflik berada pada level yang optimal. Jika konflik menjadi terlalu besar dan mengarah pada akibat yang buruk, maka konflik harus diselesaikan. Di sisi lain, jika konflik berada pada level yang terlalu rendah, maka konflik harus dibangkitkan (Riggio, 1990). Berbeda lagi dengan yang dinyatakan oleh Soetopo (1999) bahwa strategi pengelolaan konflik menunjuk pada suatu aktivitas yang dimaksudkan untuk mengelola konflik mulai dari perencanaan, evaluasi, dan pemecahan/penyelesaian suatu konflik sehingga menjadi sesuatu yang positif bagi perubahan dan pencapaian tujuan. Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengelolaan konflik, dapat ditegaskan bahwa pengelolaan konflik merupakan cara yang digunakan individu dalam mengontrol, mengarahkan, dan menyelesaikan konflik, dalam hal ini adalah konflik interpersonal. Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui berbagai metode resolusi (penyelesaian) konflik, sebagai berikut: Pertama, dengan metode penggunaan paksaan. Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredam atau dipadamkan. Kedua, dengan metode penghalusan (smoothing). Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan bahasa kasihsayang, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang mengarah pada perdamaian. Ketiga, penyelesaian dengan cara demokratis. Artinya, memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Cribbin (1985) mengelaborasi terhadap tiga hal, yaitu mulai yang cara yang paling tidak efektif, yang efektif dan yang paling efektif. Menurutnya, strategi yang dipandang paling tidak efektif, misalnya ditempuh cara: (1) dengan paksaan. Strategi ini umumnya tidak disukai oleh kebanyakan orang. Dengan paksaan, mungkin konflik bisa

Upload: asep-yadi-windradi

Post on 29-Dec-2015

405 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cara Mengatasi Konflik

E. POLA PENYELESAIAN KONFLIKKonflik dapat berpengaruh positif atau negatif, dan selalu ada dalam kehidupan. Oleh karena itu konflik hendaknya tidak serta merta harus ditiadakan. Persoalannya, bagaimana konflik itu bisa dimanajemen sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan disintegrasi sosial. Pengelolaan konflik berarti mengusahakan agar konflik berada pada level yang optimal. Jika konflik menjadi terlalu besar dan mengarah pada akibat yang buruk, maka konflik harus diselesaikan. Di sisi lain, jika konflik berada pada level yang terlalu rendah, maka konflik harus dibangkitkan (Riggio, 1990). Berbeda lagi dengan yang dinyatakan oleh Soetopo (1999) bahwa strategi pengelolaan konflik menunjuk pada suatu aktivitas yang dimaksudkan untuk mengelola konflik mulai dari perencanaan, evaluasi, dan pemecahan/penyelesaian suatu konflik sehingga menjadi sesuatu yang positif bagi perubahan dan pencapaian tujuan. Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengelolaan konflik, dapat ditegaskan bahwa pengelolaan konflik merupakan cara yang digunakan individu dalam mengontrol, mengarahkan, dan menyelesaikankonflik, dalam hal ini adalah konflik interpersonal.

             Hodge dan Anthony (1991), memberikan gambaran melalui berbagai metode resolusi (penyelesaian) konflik, sebagai berikut: Pertama, dengan metode penggunaan paksaan. Orang sering menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredam atau dipadamkan. Kedua, dengan metode penghalusan (smoothing). Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan bahasa kasihsayang, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang mengarah pada perdamaian. Ketiga, penyelesaian dengan cara demokratis. Artinya, memberikan peluang kepada masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Cribbin (1985) mengelaborasi terhadap tiga hal, yaitu mulai yang cara yang paling tidak efektif, yang efektif dan yang paling efektif. Menurutnya, strategi yang dipandang paling tidak efektif, misalnya ditempuh cara: (1) dengan paksaan. Strategi ini umumnya tidak disukai oleh kebanyakan orang. Dengan paksaan, mungkin konflik bisa diselesaikan dengan cepat, namun bisa menimbulkan reaksi kemarahan atau reaksi negatif lainnya; (2) dengan penundaan. Cara ini bisa berakibat penyelesaian konflik sampai berlarut-larut; (3) dengan bujukan. Bisa berakibat psikologis, orang akan kebal dengan bujukan sehingga perselisihan akan semakin tajam; (4) dengan koalisi, yaitu suatu bentuk persekutuan untuk mengendalikan konflik. Akan tetapi strategi ini bisa memaksa orang untuk memihak, yang pada gilirannya bisa menambah kadar konflik konflik sebuah ‘perang’; (5) dengan tawar-menawar distribusi. Strategi ini sering tidak menyelesaikan masalah karena masing-masing pihak saling melepaskan beberapa hal penting yang mejadi haknya, dan jika terjadi konflik mereka merasa menjadi korban konflik.            Strategi yang dipandang lebih efektif dalam pengelolaan konflik meliputi: (1) koesistensi damai, yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling mengganggu dan saling merugikan, dengan menetapkan peraturan yang mengacu pada perdamaian serta diterapkan secara ketat dan konsekuen; (2) dengan mediasi (perantaraan). Jika penyelesaian konflik menemui jalan buntu, masing-masing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan secara jujur dan adil serta tidak memihak. Sedangkan strategi yang dipandang paling efektif, antara lain: (1) tujuan sekutu besar, yaitu dengan melibatkan pihak-pihak yang berkonflik ke arah tujuan yang lebih besar dan kompleks. Misalnya denga cara membangun sebuah kesadaran nasional yang lebih

Page 2: Cara Mengatasi Konflik

mantap; (2) tawar-menawar integratif, yaitu dengan menggiring pihak-pihak yang berkonflik, untuk lebih berkonsentrasi pada kepentingan yang luas, dan tidak hanya berkisar pada kepentingan sempit, misalnya kepentingan individu, kelompok, golongan atau suku bangsa tertentu.

            Nasikun (1993), mengidentifikasi pengendalian konflik melalui tiga cara, yaitu dengan konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), danperwasitan (arbitration). Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi, terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak yang berkonflik. Lembaga yang dimaksud diharapkan berfungsi secara efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal: (1) harus mampu mengambil keputusan secara otonom, tanpa campur tangan dari badan-badan lain; (2) lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti hanya lembaga itulah yang berfungsi demikian; (3) lembaga harus mampu mengikat kepentingan bagi pihak-pihak yang berkonflik; dan (4) lembaga tersebut harus bersifat demokratis. Tanpa keempat hal tersebut, konflik yang terjadi di antara beberapa kekuatan sosial, akan muncul ke bawah permukaan, yang pada saatnya akan meledak kembali dalam bentuk kekerasan. Pengendalian dengan cara mediasi, dengan maksud bahwa  pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan nasihat-nasihat, berkaitan dengan penyelesaian terbaik terhadap konflik yang mereka alami. Pengendalian konflik dengan cara perwasitan, dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik bersepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan keputusan-keputusan, dalam rangka menyelesaikan yang ada. Berbeda dengan mediasi, cara perwasitan mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan yang diambil oleh pihak wasit.             Pola penyelesaian konflik juga bisa dilakukan dengan menggunakan strategi seperti berikut: (1) gunakan persaingan dalam penyelesaian konflik, bila tindakan cepat dan tegas itu vital, mengenai isu penting, dimana tindakan tidak populer perlu dilaksanakan; (2) gunakan kolaborasi untuk menemukan pemecahan masalah integratif bila kedua perangkat kepentingan terlalu penting untuk dikompromikan; (3) gunakan penghindaran bila ada isyu sepele, atau ada isu lebih penting yang mendesak; bila kita melihat tidak adanya peluang bagi terpuaskannya kepentingan anda; (4) gunakan akomodasi bila diketahui kita keliru dan untuk memungkinkan pendirian yang lebih baik didengar, untuk belajar, dan untuk menunjukkan kewajaran; dan (5) gunakan kompromis bila tujuan penting, tetapi tidak layak mendapatkan upaya pendekatan-pendekatan yang lebih tegas disertai kemungkinan gangguan.1. Macam-macam Pola Pengelolaan KonflikMenurut penelitian Vliert dan Euwema (dalam Farida, 1996) penelitian-penelitian mengenai cara-cara penyelesaian konflik menggunakan klasifikasi yang berbeda. Belum ada kesepakatan dari para ahli mengenai klasifikasi yang dianggap paling valid. Individu berhubungan dengan yang lain dalam tiga cara; moving toward others (mendapatkan dukungan), moving againts other (menyerang dan mendominasi), danmoving away from other (menarik diri dari orang lain dan masalah yang menimbulkan konflik) (Horney dalam Hall, 1985). Berpijak dari perbedaan budaya, nilai maupun adat kebiasaan, Ury, Brett, dan Goldberg (dalam Tinsley, 1998) mengajukan tiga model

Page 3: Cara Mengatasi Konflik

pengelolaan konflik, sebagai berikut.1. Deffering to status powerIndividu dengan status yang lebih tinggi memiliki kekuasaan untuk membuat dan memaksakan solusi konflik yang ditawarkan. Status sosial memegang peranan dalam menentukan aktivitas-aktivitasyang akan dilakukan.2. Applying regulationsModel ini ditekankan oleh asumsi bahwa interaksi sosial diatur oleh hukum universal. Peraturan diterapkan secara merata pada seluruh anggota. Peraturan dibakukan untuk menggambarkan hukuman dan penghargaan yang diberikan berdasarkan perilaku yang dilakukan, bukan berdasarkan orang yang terlibat.3. Integrating interestModel ini menekankan pada perhatian pihak yang terlibat, untuk membuat hasilnya lebih bermanfaat bagi mereka daripada tidak mendapatkan kesepakatan satupun. Disini masing-masing pihak saling berbagi minat, prioritas, untuk menemukan penyelesaian yang dapat mempertemukan minat mereka masing-masing. Pola penyelesaian konflik bila dipandang dari sudut menang-kalah pada masing-masing pihak, maka ada empat bentuk pengelolaan konflik, yaitu:1. Bentuk kalah-kalah (menghindari konflik)Bentuk pertama ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut.2. Bentuk menang-kalah (persaingan)Bentuk kedua ini memastikan bahwa satu pihak memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kekuasaan atau pengaruh digunakan untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut individu tersebut yang keluar sebagai pemenangnya. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah.3. Bentuk kalah-menang (mengakomodasi)Agak berbeda dengan bentuk kedua, bentuk ketiga yaitu individu kalah-pihak lain menang ini berarti individu berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini digunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang diinginkan.4. Bentuk menang-menang (kolaborasi)Bentuk keempat ini disebut dengan gaya pengelolaan konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuannya adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut (Prijosaksono dan Sembel, 2002). Berbeda dengan pendapat diatas, Hendricks (2001) mengemukaan lima gaya pengelolaan konflik yang diorientasikan dalam organisasi maupun perusahaan. Lima gaya yang dimaksud adalah:1. Integrating (menyatukan, menggabungkan)Individu yang memilih gaya ini melakukan tukar-menukar informasi. Disini ada

Page 4: Cara Mengatasi Konflik

keinginan untuk mengamati perbedaan dan mencari solusi yang dapat diterima semua kelompok. Cara ini mendorong berpikir kreatif serta mengembangkan alternatif pemecahan masalah.2. Obliging (saling membantu)Disebut juga dengan kerelaan membantu. Cara ini menempatkan nilai yang tinggi untuk orang lain sementara dirinya sendiri dinilai rendah. Kekuasaan diberikan pada orang lain. Perhatian tinggi pada orang lain menyebabkan seorang individu merasa puas dan merasa keinginannya terpenuhi oleh pihak lain, kadang mengorbankan sesuatu yang penting untuk dirinya sendiri.3. Dominating (menguasai)Tekanan gaya ini adalah pada diri sendiri. Kewajiban bisa saja diabaikan demi kepentingan pribadi. Gaya ini meremehkan kepentingan orang lain. Biasanya berorientasi pada kekuasaan dan penyelesaiannya cenderung dengan menggunakan kekuasaan.4. Avoiding (menghindar)Individu yang menggunakan gaya ini tidak menempatkan suatu nilai pada diri sendiri atau orang lain. Ini adalah gaya menghindar dari persoalan, termasuk di dalamnya menghindar dari tanggung jawab atau mengelak dari suatu isu.5. Compromising (kompromi)Perhatian pada diri sendiri maupun orang lain berada dalam tingkat sedang.                 Berbeda dengan yang dikemukakan Johnson & Johnson (1991) bahwa strategi pengelolaan konflik ada karena dipelajari, biasanya sejak masa kanak-kanak sehingga berfungsi secara otomatis dalam level bawah sadar (preconscious). Tapi karena dipelajari, maka seseorangpun dapat mengubah strateginya dengan mempelajari cara baru dan lebih efektif dalam menangani konflik. Lebih lanjut Johnson & Johnson (1991) mengajukan beberapa gaya atau strategi dasar pengelolaan konflik, yaitu:1. Withdrawing (Menarik Diri). Individu yang menggunakan strategi ini percaya bahwa lebih mudah menarik diri (secara fisik dan psikologis) dari konflik daripada menghadapinya. Mereka cenderung menarik diri untuk menghindari konflik. Baik tujuan pribadi maupun hubungan dengan orang lain dikorbankan. Mereka menjauh dari isu yang dapat menimbulkan konflik serta dari orangorang yang terlibat konflik dengannya.2. Forcing (Memaksa). Individu berusaha memaksa lawannya menerima solusi konflik yang ditawarkannya. Tujuan pribadinya dianggap sangat penting. Mereka menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya. Mereka tidak peduli akan kebutuhan dan minat orang lain, serta apakah orang lain itu menerima solusi mereka atau tidak. Mereka menganggap konflik dapat diselesaikan dengan satu pihak yang menang dan pihak yang lain kalah. Mereka mencapai kemenangan dengan jalan menyerang, menghancurkan, dan mengintimidasi orang lain.3. Smoothing (Melunak). Individu yang menggunakan strategi ini berpendapat bahwa mempertahankan hubungan dengan orang lain jauh lebih penting dibandingkan dengan pencapaian tujuan pribadi. Mereka ingin diterima dan dicintai. Mereka merasa bahwa konflik harus dihindari demi keharmonisan dan bahwa orang tidak akan dapat membicarakan konflik tanpa mengakibatkan rusaknya hubungan. Mereka takut jika konflik berlanjut, maka orang lain akan kecewa dan ini menyebabkan rusaknya hubungan. Mereka mengorbankan tujuan pribadinya demi mempertahankan kelangsungan hubungan.4. Compromising (Kompromi). Strategi ini digunakan individu yang menaruh perhatian

Page 5: Cara Mengatasi Konflik

baik terhadap pribadinya sendiri maupun hubungan dengan orang lain. Mereka berusaha berkompromi, mengorbankan tujuannya sendiri dan mempengaruhi pihak lain untuk mengorbankan sebagian tujuannya juga. Mereka mencari solusi konflik agar kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan, solusi pertengahan antara dua posisi yang ekstrim.5. Confronting (Konfrontasi). Individu dengan tipe ini menaruh perhatian sangat tinggi terhadap tujuan pribadi maupun kelangsungan hubungan dengan orang lain. Mereka memandang konflik sebagai masalah yang harus dipecahkan dan solusi terhadap konflik haruslah mencapai tujuan pribadinya sendiri maupun tujuan orang lain. Konflik dipandang dapat meningkatkan hubungan dengan menurunkan ketegangan antara dua pihak yang terlibat. Dengan solusi yang memuaskan kedua belah pihak, mereka mencoba mempertahankan kelangsungan hubungan dapat memuaskan baik mereka sendiri maupun orang lain. Klasifikasi-klasifikasi yang diajukan beberapa ahli di atas, jika diperhatikan tidak benar-benar berbeda. Perbedaan yang ada hanya pada istilah yang dipakai namun memiliki pengertian yang hampir sama.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Penyelesaian Konflik Johnson & Johnson (1991) menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan bilamana seseorang terlibat dalam suatu konflik, dan akibatnya menentukan bagaimana seseorang menyelesaikan konflik, sebagai berikut: (1) tercapainya persetujuan yang dapat memuaskan kebutuhan serta tujuannya. Tiap orang memiliki tujuan pribadi yang ingin dicapai. Konflik bisa terjadi karena tujuan dan kepentingan individu menghalangi tujuan dan kepentingan individu lain; (2) seberapa penting hubungan atau interaksi itu untuk dipertahankan. Dalam situasi sosial, yang di dalamnya terdapat keterikatan interaksi, individu harus hidup bersama dengan orang lain dalam periode tertentu. Oleh karena itu diperlukan interaksi yang efektif selama beberapa waktu. Faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap pengelolaan konflik, seperti dirangkum sebagai berikut.1. Kepribadian Individu Yang Terlibat Konflik           Stenberg dan Soriano (dalam Farida, 1996) berpendapat bahwa gaya pengelolaan konflik seorang individu dapat diprediksi dari karakteristik-karakteristik intelektual dan kepribadiannya. Mereka menemukan bahwa subyek dengan skor intelektual yang rendah cenderung menggunakan aksi fisik dalam mengatasi konflik. Sebaliknya subyek dengan skor intelektual yang tinggi lebih cenderung untuk menggunakan gaya-gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik melunak.         Dari karakteristik kepribadian dapat diprediksi bahwa subyek dengan skor tinggi pada need for deference (kebutuhan untuk mengikuti dan mendukung seseorang), need for abasement (kebutuhan untuk menyerah atau tunduk) dan need for order (kebutuhan untuk membuat teratur) cenderung untuk memilih gayagaya pengelolaan konflik yang membuat konflik melunak. Sebaliknya subyek dengan skor tinggi pada need for autonomy (kebutuhan untuk bebas dan lepas dari tekanan) dan need for change (kebutuhan untuk membuat perubahan) memiliki kecenderungan untuk memilih paling tidak satu gaya pengelolaan konflik yang membuat konflik semakin intensif.         Menurut Broadman dan Horowitz (dalam Farida, 1996) karakteristik kepribadian yang terutama berpengaruh terhadap gaya pengelolaan konflik adalah kecenderungan agresifitas, kecenderungan untuk mengontrol dan menguasai, orientasi kooperatif dan kompetitif, kemampuan untuk berempati, dan kemampuan untuk menemukan pola penyelesaian konflik.

Page 6: Cara Mengatasi Konflik

2. Situasional       Aspek situasi yang penting antara lain adalah perbedaan struktur kekuasaan, riwayat hubungan, lingkungan sosial dan pihak ketiga. Apabila satu pihak memiliki kekuasaan lebih besar terhadap situasi konflik, maka besar kemungkinan konflik akan diselesaikan dengan cara dominasi oleh pihak yang lebih kuat posisinya. Riwayat hubungan menunjuk pada pengalaman sebelumnya dengan pihak lain, sikap dan keyakinan terhadap pihak lain tersebut. Termasuk dalam aspek lingkungan sosial adalah norma-norma sosial dalam menghadapi konflik dan iklim sosial yang mendukung melunaknya konflik atau justru mempertajam konflik. Sedangkan campur tangan pihak ketiga yang memiliki hubungan buruk dengan salah satu pihak yang berselisih dapat menyebabkan membesarnya konflik. Sebaliknya, hubungan baik pihak ketiga dengan pihak-pihak yang berselisih dapat melunakkan konflik karena pihak ketiga dapat berperan sebagai mediator.3. Interaksi

Digunakannya pendekatan disposisional saja dalam mencari pemahaman akan perilaku sosial dianggap mempunyai manfaat yang terbatas. Pendekatan yang lebih dominan dalam menerangkan perilaku sosial adalah interaksi dan saling mempengaruhinya determinan situasional dan disposisional.4. Isu KonflikTipe isu tertentu kurang mendukung resolusi konflik yang konstruktif dibandingkan dengan isu yang lain. Tipe isu seperti ini mengarahkan partisipan konflik untuk memandang konflik sebagai permainan kalah-menang. Isu yang berhubungan dengan kekuasaan, status, kemenangan, dan kekalahan, pemilikan akan sesuatu yang tidak tersedia substitusinya, adalah termasuk tipetipe isu yang cenderung diselesaikan dengan hasil menang-kalah. Tipe yang lain yang tidak berhubungan dengan hal-hal di atas dapat dipandang sebagai suatu permainan yang memungkinkan setiap pihak yang terlibat untuk menang. Pada umumnya, konflik kecil lebih mudah diselesaikan secara konstruktif daripada konflik besar. Akan tetapi pada konflik yang destruktif, konflik yang sebenarnya kecil cenderung untuk membesar dan meluas. Perluasan ini dapat terjadi bila konflik antara dua individu yang berbeda dianggap sebagai konflik rasial. Selain itu bisa juga jika konflik tentang masalah biasa dipandang sebagai konflik yang bersifat substantif atau dipandang menyangkut harga diri dan kekuasaan. Robbins (1996) mengungkapkan ada beberapa teknik yang bisa dijadikan acuan dalam pemecahan konflik dan perangsangan konflik, seperti berikut.

Page 8: Cara Mengatasi Konflik

CARA PENGENDALIAN KONFLIK

Pengendalian suatu konflik hanya mungkin dapat dilakukan apabila berbagai pihak yang

berkonflik terorganisir secara jelas. Menekankan sebuah konflik agar tidak berlanjut menjadi

sebuah tindak kekerasan memerlukan strategi pendekatan yang tepat.

1.      Pengendalian Secara Umum

Secara umum, terdapat beberapa cara dalam upaya mengendalikan atau meredakan

sebuah konflik, yaitu sebagai berikut :

a.       KONSILIASI

     Konsiliasi merupakan bentuk pengendalian konflik sosial yang dilakukan oleh lembaga-

lembag tertentu yang dapat memberikan keputusan dengan adil. Dalam konsiliasi berbagai

kelompok yang berkonflik duduk bersama mendiskusikan hal-hal yang menjadi pokok

permasalahan. Contoh bentuk pengendalian konflik seperti ini adalah melalui lembaga

perwakilan rakyat.

b.      ARBITRASI

Arbitrasi merupakan bantuk pengandalian konflik sosial melalui pihak ketiga dan kedua belah

pihak yang berkonflik menyetujuinya. Keputusan-keputusan yang diambil pihak ketiga harus

dipatuhi oleh pihak-pihak yang berkonflik.

c.       MEDIASI

Mediasi merupakan bentuk pengendalian konflik sosial dimana pihak-pihak yang berkonflik

sepakat menunjuk pihak ketiga sebagai mediator. Namun berbeda dengan arbitrasi, keputusan-

keputusan pihak ketiga tidak mengikat manapun.

d.      AJUDICATION

Ajudication merupakan cara penyelesaian konflik melalui pengadilan yang tetap dan adil.

e.       SEGREGASI

Upaya salign menghindar atau memisahkan diri untuk mengurangi ketegangan.

f.       STALAMATE

Konflik yang berhenti dengan sendirinya karena kekuatan yang seimbang.

g.      KOMPROMI

Page 9: Cara Mengatasi Konflik

Kedua belah pihak yang bertentangan berusaha mencari penyelesaian dengan mengurangi

tuntutan

h.      COERSION

Penyelesaian konflik dengan paksaan

i.        KONVERSI

Salah satu pihak mengalah dan mau menerima pendirian piahk lain.

j.        GENJATAN SENJATA

Penghentian konflik untuk sementara waktu yang biasanya dalam bentuk peperangan untuk

menyembuhkan korban.

2. Pengendalian Menggunakan Manajemen Konflik

Disamping cara-cara tersebut diatas, gaya pendekatan seseorang atau kelompok dalam

menghadapi situasi konflik dapat dilaksanakan sehubungan dengan tekanan relatif atas apa yang

dinamakan cooperativeness dan assertiveness. Cooperativiness adalah keinginan untuk

memenuhi kebutuhan dan minat individu atau kelompoknya lain sedangkan assertivenes

merupakan keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan minat individu atau kelompok sendiri.

Ada lima gaya menejemen konflik berkaitan dengan adanya tekanan relatif di antara keinginan

untuk menuju kearah cooperativeness atau assertiveness sesuai dengan intensitasnya, yaitu

sebagai berikut :

a.       Tindakan menghindari

Bersikap tidak kooperatif dan tidak assertif, menarik diri dari situasi yang berkembang dan atau

bersikap netral dalam segala macam cuaca.

b.      Kompetisi atau komando otoritatif

Bersikap tidak kooperatif, tetapi asertif, bekerja dengan cara menentang keinginan pihak lain,

berjuang untuk mendominasi dalam situasi menang atau kalah dan atau memaksakan segala

sesuatu agar sesuai dengan kesimpulan tertentu dengan menggunakan kekuasaan yang ada.

c.       Akomodasi atau meratakan

Besikap kooperatif, tetapi tidak asertif, membiarkan keinginan pihak lain menonjol, meratakan

perbedaan-perbedaan guna mempertahankan harmoni yang diusahakan secara buatan.

d.      Kompromis

Page 10: Cara Mengatasi Konflik

Bersikap cukup kooperatif dan juga asertif dalam intensitas yang cukup. Bekerja menuju kearah

pemuasan pihak-pihak yang berkepentingan, mengupayakan tawar-menawar untuk mencapai

pemecahan yang dapat diterima kedua belah pihak meskipun tidak sampai tingkat optimal, tak

seorangpun merasa menang, dan tak seorangpun merasa bahwa yang bersangkutan menang atau

kalah secara mutlak.

e.       Kolaborasi (kerjasama)

Bersikap kooperatif maupun asertif, berusaha untuk mencapai kepuasaan bagi pihak-pihak yang

berkepentingan dengan jalan bekerja melalui perbedaan-perbedaan yang ada, mencari dan

memecahkan masalah hingga setiap individu atau kelompok mencapai keuntungan masing-

masing sesuai dengan harapannya.

3. Hasil Manajemen Konflik

Dari gaya manajemen konflik tersebut kemungkinan hasil yang didapat adalah sebagai

berikut :

a.       Konflik kalah-kalah

Konflik kalah-kalah terjadi apabila tak seorangpun diantara pihak yang terlibat mencapai

tujuan yang sebenarnya dan alasan atau faktor-faktor penyebab konflik tidak mengalami

perubahan. Hasil kalah-kalah biasanya akan terjadi apabila konflik dikelola dengan sikap

menghindari, akomodasi, meratakan dan atau melalui kompromis.

Sikap menghindari merupakan sebuah bentuk ekstrim tiadanya perhatian. Orang berpura-pura

seakan-akan konflik tidak ada dan mereka hanya berharap bahwa konflik tersebut akan

terselesaikan dengan sendirinya. Akomodasi atau meratakan berusaha menekan perbedaan-

perbedaan antara pihak yang berkonflik dan menekankan pada persamaan-persamaan pada

bidang-bidang kesepekatan.

Kompromis akan terjadi apabila dibuat akomodasi sedemikian rupa sehingga masing-masing

pihak yang berkonflik mengorbankan hal tertentu yang dianggap mereka sebagai hal yang

bernilai. Akibatnya adalah bahwa tidak ada satu pihakpun yang mencapai keinginan mereka

dengan sepenuhnya dan menciptakan kondisi-kondisi anteseden untuk konflik-konflik yang

mungkin akan muncul pada masa yang akan datang.

b.      Konflik Menang-Kalah

Page 11: Cara Mengatasi Konflik

Pada konflik menang-kalah, salah satu pihak mencapai apa yang diinginkannya dengan

mengorbankan keinginan pihak lain. Hal tersebut mungkin disebabkan karena adanya

persaingan, dimana orang mencapai kemenangan melalui kekuatan, ketrampilan yang superior,

atau karena unsur dominasi. Ia juga dapat merupakan hasil dari komando otoratif, ketika seorang

otoriter mendikte sebuah pemecahan dan kemudian dispesifikasikan apa yang akan dicapai dan

apa yang akan dikorbankan dan oleh siapa. Andaikata figur otoritas tersebut merupakan pihak

aktif di dalam konflik yang berlangsung, maka kiranya mudah untuk meramalkan siapa yang

akan menjadi pemenang dan siapa yang akan kalah. Mengingat bahwa strategi-strategi menang-

kalah juga tidak memecahkan kausa pokok terjadi konflik, maka kiranya pada masa mendatang

konflik-konflik akan muncul lagi.

c.       Konflik Menang-Menang

Konflik menang-menang dilaksanakan dengan jalan menguntungkan semua pihak yang

terlibat dalam konflik yang terjadi. Hal tersebut secara tipikal dicapai melalui apabila dilakukan

konfrontasi persoalan-persoalan yang ada dan digunakannnya cara pemecahan masalah untuk

mengatasi perbedaan-perbedaan pendapat dan pandangan.

Kondisi menang-menang meniadakan alasan-alasan untuk melanjutkan atau menimbulkan

kembali konflik yang ada karena tiada hal yang dihindari ataupun ditekankan. Semua persoalan-

persoalan yang relevan diperbincangkan dan dibahas secara terbuka.

Pemecahan masalah dan kerjasama dapat dikatakan sebagai pendekatan yang peling berhasil

dan paling baik dalam usaha menejemen konflik. Akan tetapi, bukan berarti pemecahan yang

lain tidak memiliki nilai yang potensial dalam pengelolaan suatu konflik. Akan selalu ada konflik

yang tidak dapat dikelola dengan kolaborasi. Untuk hal-hal demikian kita pakai saja prinsip

“minus mallun” (terbaik diantara yang kurang baik). Dalam menangani konflik, terutama yang

sifatnya destruktif, kita hrus menjunjung tinggi demikrasi, transparansi dan toleransi dalam

segala aspek kehidupan.

Selain beberapa gaya menejemen konflik seperti disebutkan diatas, masih ada beberapa

pendekatan yang dapat dilakukan untuk menghentikan kekerasan, diantaranya adalah perdaiman

melalui kekuatan, pendekatan pola kontrol hukum, serta keamanan bersama dan konflik tanpa

konflik.

a.       Perdamaian Melalui Kekuatan

Page 12: Cara Mengatasi Konflik

Konsep perdamaian melalui kekuatan mendukung penggunaan cara apapun yang

diperlukan. Pendekatan ini melahirkan model kekerasan kriminal dan mengandalkan pencegahan

melalui intimidasi untuk mengurangi perilaku kekerasan dan mendukung pengembangan

teknologi. Tindakan tersebut dijalankan oleh negara, polisi atau militer, dan sistem pengadilan

kriminal, tetapi pada tingkat yang ekstrim, jika negara dirasa tidak efektif, maka kelompok-

kelompok yang peduli akan turut campur tangan.

b.      Pola Kontrol Hukum

Pendekatan ini menekankan pada negosiasi dan perjanjian pengendalian senjata di

lingkungan internasional, penegakan hukum secara efektif yang digabungkan dengan program

sosial untuk menghadapi para pelanggar hukum di tingkat lokal, serta kerangka hukum untuk

melindungi hak asasi manusia. Inti pendekatan iani adalah satu-satunya jalan untuk

menghentikan kekerasan adalah dengan mempertahankan aturan hukum. Pertikaian

antarkelompok harus diselesaikan di ruang pengadilan, bukan di medan perang karena manusia

pada dasarnya bersifat rasional sehingga dapat diajarkan untuk melakukan cara yang rasional.

c.       Kemanan Bersama dan Konflik Tanpa Kekerasan

Pendekatan ini menuntut adanya konstruksi institusi yang bisa mnghambat munculnya

sebab-sebab kekerasan, dan tidak menekankan pada organisasi agen kontrol sosial seperti militer

dan kepolisisan. Pendekatan ini menekankan pada kerjasama dan konflik tanpa kekerasan.

Adapun asumsi mendasar pendekatan ini adalah sebagai berikut :

1)      Tidak ada manusia yang akan aman sampai setiap orang merasa aman.

2)      Kekuatan diperlukan untuk mempertahankan perdamaian.

3)      Penyelesaian masalah dengan cara kekerasan hanya akan menghasilkan kepuasan sementara.

4)      Kekerasan struktur bisa menjadi destruktif seperti bentuk kekerasan lain.

5)      Konflik tidak harus menjadi suatu kemenangan bagi salah satu pihak dan kekalahan pada pihak

lain.

6)      Perjuangan tanpa kekerasan secara moral dan strategi lebih bernilai dari perjuangan dengan

kekerasan.

Secara singkat pendekatan keamanan bersama menghendaki adanya pemolaan kembali

semua pendekatan mendasar terhadap hubungan manusia dari tingkat keluarga sampai pada

sistem dunia.

Page 13: Cara Mengatasi Konflik

Referensi :

Soerjono Soekanto. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.