case 6 bronkiolitis.doc

24
MAKALAH CASE VI BRONKIOLITIS Tutorial C4 BLOK RS 2016 Rizkia Ima Ardanti 1410211101 Arinindya Putri 1410211063 Adhitya Agung Indra 1410211129 Rany Binawan 1410211161 Nadya Prima Putri 1410211106 Riza Amalia 1410211098 Achmad Syauqie 1410211050 Detris Visiadina 1410211116 Putri Annisa Rachmatilah 1410211089 Fakultas Kedokteran Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta

Upload: adrian-aldrin

Post on 09-Jul-2016

5 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

MAKALAH CASE VI

BRONKIOLITIS

Tutorial C4BLOK RS 2016

Rizkia Ima Ardanti 1410211101Arinindya Putri 1410211063Adhitya Agung Indra 1410211129Rany Binawan 1410211161Nadya Prima Putri 1410211106Riza Amalia 1410211098Achmad Syauqie 1410211050Detris Visiadina 1410211116Putri Annisa Rachmatilah 1410211089

Fakultas KedokteranUniversitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta

2014/2015

Page 2: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

RESPIRATORY SYSTEM – CASE 6

Seorang anak laki-laki An. F 5 bulan dibawa ibunya ke IGD RS dengan keluhan tidak mau menyusu

karena sesak napas sejak 2 jam yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 4 hari yang lalu pasien mulai pilek diikuti batuk dan demam. Demam siang dan malam yang hanya

turun bila diberikan obat turun panas. Jika batuk kuat pasien biasanya diikuti dengan muntah yang berisi

susu bercampur lendir. Sejak 1 hari yang lalu pasien terlihat sesak napas yang dikuti dengan suara mengi

dan mulai jarang menyusu. Sejak 2 jam yang lalu pasien sama sekali tidak mau menyusu. BAB normal.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien belum pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya. Pernah 2 kali batuk dan pilek tetapi sembuh

sendiri, tidak ada riwayat suara napas berbunyi ngik-ngik maupun seperti mengorok. Tidak ada riwayat

ruam kemerahan pada kulit.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit asma. Tidak ada anggota keluarga pasien yang

tinggal satu rumah yang memiliki keluhan sama dengan pasien tetapi nenek pasien beberapa hari

sebelumnya batuk, pilek dan demam selama selama 5 hari .

Riwayat Kehamilan dan Persalinan

ANC di bidan, selama kehamilan tidak ada masalah. Persalinan normal di RS pada usia kehamilan 34

minggu 5 hari. Saat lahir langsung menangis, air ketuban jernih. BB : 2200 gram , PB : 48 cm. By. F

dirawat dalam inkubator selama 1 minggu kemudian boleh pulang tanpa obat-obatan dan terapi khusus.

Riwayat Tumbuh Kembang

Imunisasi lengkap sesuai usianya. Pasien mendapat ASI ekslusif hanya sampai 4 bulan. Setelah itu

dibantu formula karena ibu bekerja . Berat badan, panjang badan dan lingkar kepala pada 50 persentil.

Pasien sudah bisa membalikkan badan sendiri.

Page 3: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

Riwayat Sosial Ekonomi

Keluarga pasien tinggal di rumah susun bersama ayah, ibu dan nenek yang berusia 60 tahun. Ayah dan

ibu pasien bekerja, sehingga pasien dirawat oleh nenek selama ibu bekerja. Ayah perokok 12 batang/hari

dan kadang-kadang merokok di dalam ruangan. Ventilasi kurang dan musim hujan ini menyebabkan

udara ruangan lembab

1. Tentukan terminologi yang tidak anda ketahui

2. Identifikasi masalah pasien

3. Bagaimana mekanisme terjadinya keluhan pasien? Jelaskan

4.Hipotesis apa yang dapat anda tentukan?

5.Informasi tambahan yang diperlukan?

Pemeriksaan fisik:

BB : 6,5 Kg PB : 55 cm

KU : gelisah, tampak sesak

N : 152 x/menit R : 62 x/menit S : 38,2 oC

- Kepala : UUB masih terbuka

- THT : rhinorhea (+), pernafasan cuping hidung (+), membran timphani intak, faring/tonsil

hiperemis

- Bibir : sianosis perioral (+)

- Leher : KGB tidak teraba membesar

- Thoraks :

Paru : Inspeksi : retraksi suprasternal (+), retraksi intercostal (+),

Palpasi : tidak ada kelainan

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : napas bronkovesikuler +/+, ronkhi basah (+) di kedua basal paru, wheezing (+).

Jantung: BJ I-II murni,regular, takikardi.

-Abdomen : supel, hepar teraba 2 jari dibawah arkus kostae, lien tidak teraba, BU (+) N

- Punggung: Tidak terdapat gibbus, tidak terdapat deformitas lainnya

-Genital :Tidak ada kelainan, tidak ada eritema pada daerah genital, orificium uretra eksterna tidak

hiperemis.

- Anus: Tidak tampak hiperemis, tidak ada massa, tidak ada fissura

-Ekstremitas Tidak ada edema, tidak ada deformitas, akral hangat, CRT < 2 detik

Page 4: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

Pemeriksaan Penunjang

Darah :

- Leukosit : 6.000/mm3  ;

- Hemoglobin : 15,5 g/dL 

- Hematokrit : 38%      

- Trombosit : 180.000/mm3  

- Hitung jenis : 0/2/5/60/20/6 (N: 0-1/1-3/0-5/50-65/25-35/4-6)

Fungsi Ginjal:- Ureum 40 mg/dl (N 20-40 mg/dl)

- Kreatinin 1 mg/dl ( N 0,5-1,5 mg/dl)

Analisa gas darah :

- pH 7,35 (N : 7,35 – 7,45)

- pO2 80 mmHg (N: 80 – 100 mmHg)

- pCO2 43 mmHg (N : 35 – 45 mmHg)

- HCO3- 22 mEq/L (N : 22 – 26 mEq/L)

- BE -1 (N : -2 s/d +3)

- Sat O2 93 %

Rontgen thoraks :

Tampak perselubungan hiller dan perihiler kanan, peningkatan corakan bronkovaskuler, terdapat bercak

konsolidasi yang tersebar dan atelektasis lobus medius.

Kesan: bronkiolitis dengan diagnosis banding pneumonia.

Page 5: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

Diagnosis

Bronkiolitis DD/ Pneumonia

Penatalaksanaan

- By. F dipuasakan

- Terapi suportif ; oksigenisasi, pemberian cairan intravena dan pemasangan NGT

- Terapi simptomatik ; antipiretik, inhalasi beta2agonis, kortikosteroid

- Pemberian antibiotik bila ada tanda-tanda infeksi sekunder

1. Apakah pemeriksaan lebih lanjut? Spesimen; swab tenggorok

2. Faktor risiko bronkiolitis?

Page 6: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

BRONKIOLITIS

DEFINISI

Bronkiolitis adalah infeksi akut pada saluran napas kecil atau bronkiolus yang pada

umumnya disebabkan oleh virus, sehingga menyebabkan gejala– gejala obstruksi bronkiolus.

Bronkiolitis ditandai oleh batuk, pilek, panas, wheezing pada saat ekspirasi, takipnea, retraksi,

dan air trapping/hiperaerasi paru pada foto dada

EPIDEMIOLOGI

Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 60–90% dari

kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B,

Adenovirus tipe 1,2, dan 5, atau Mycoplasma. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan

merupakan satu-satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. Hayden dkk (2004)

mendapatkan bahwa infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan

menyebabkan pneumonia sebanyak 40%.

Bronkiolitis sering mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada

bayi usia 6 bulan. Pada daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV

terbanyak pada usia 2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin

berat penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi

maternal

(maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan penyakit

jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis dan

immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit yang lebih

berat. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan 2003

didapatkan lebih dari 50% penderita bronkiolitis berusia 6 bulan ke bawah.

Page 7: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun bronkiolitis berat lebih

sering terjadi pada laki-Iaki. Di RSU Dr. Soetomo penderita laki- Iaki lebih banyak. Faktor

resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah

anggota keluarga yang besar, perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau ke tempat-

tempat umum yang ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak

mendapatkan air susu ibu.

RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya aman

apabila berjarak lebih 6 feet dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet yang besar

dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat menularkan virus

tersebut selama 10 hari.

Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak terdapat pada musim dingin sampai awal

musim semi, di negara tropis pada musim hujan. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSU Dr.

Soetomo Surabaya pada tahun 2002 dan tahun 2003, bronkiolitis banyak didapatkan pada bulan

Januari sampai bulan Mei .

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80 - 350nm), termasuk

paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari RSV

untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel dan protein F

(fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya.

Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam

strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang

lebih berat dan menimbulkan sekuele.1,2,4,5

Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam nasofaring kemudian menyebar

dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui penyebaran langsung pada epitel saluran

nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV mempengaruhi sistem saluran napas melalui

kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran

patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia. Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan

Page 8: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

terjadi edema submukosa dan pelepasan debris dan fibrin kedalam lumen bronkiolus . Virus yang

merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus tertimbun di dalam

bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih terpapar

terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida (neurokinin, substance P)

yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya kerusakan epitel saluran

napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan produksi

sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi, bronkiolus menjadi sempit karena

kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus serta

spasme otot polos saluran napas.

Adapun respon paru ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan

compliance, meningkatkan tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua

faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing,

obstruksi saluran napas, hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik

sampai gagal napas. Karena resistensi aliran udara saluran nafas berbanding terbalik dengan

diameter saluran napas pangkat 4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah

memberikan akibat cukup besar pada aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak

kecil lebih sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi maupun

pada fase ekspirasi. Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan

terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir ekspirasi meningkat

hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila obstruksi total.

Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila terserang infeksi virus.

Perbedaan anatomi antara paru-paru bayi muda dan anak yang lebih besar mungkin merupakan

kontribusi terhadap hal ini. Respon proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak

lengkap. Infeksi yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap

penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi ‘cumulatif immunity’ sehingga pada anak

yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan terhadap infeksi bronkiolitis dan

pneumonia karena RSV.

Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus dalam 3-4 hari,

sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat sampai 15 hari .

Page 9: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara infeksi virus saluran napas dan

asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada bayi atau anak keci seringkali disertai wheezing.

(2) Penderita wheezing berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali

mengalami infeksi virus saluran napas pada saat bayi/usia muda.

Infeksi RSV dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular.Respon antibodi

sistemik terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon imun

yang lebih buruk. Glezen dkk (dikutip dari Bar-on, 1996) mendapatkan bahwa terjadi hubungan

terbalik antara titer antibodi neutralizing dengan resiko reinfeksi.

Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV memproduksi IgE

dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34 hari. IgE-RSV ditemukan dalam

sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa

mengi. Bronkiolitis yang disebabkan RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila

ditemukan IgE spesifik RSV .

*Perubahan umur dengan respon imun adaptif terhadap infeksi RSV.

Page 10: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

MANIFESTASI KLINIS

Mula-mula bayi menderita gejala ISPA atas ringan berupa pilek yang encer dan bersin.

Gejala ini berlangsung beberapa hari, kadang-kadang disertai demam dan nafsu makan

berkurang. Kemudian timbul distres nafas yang ditandai oleh batuk paroksismal, wheezing, sesak

napas. Bayi-bayi akan menjadi rewel, muntah serta sulit makan dan minum. Bronkiolitis

biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar yang menderita infeksi

saluran nafas atas yang ringan.

Bayi mengalami demam ringan atau tidak demam sama sekali dan bahkan ada yang

mengalami hipotermi. Terjadi distres nafas dengan frekuensi nafas lebih dari 60 kali per menit,

kadang-kadang disertai sianosis, nadi juga biasanya meningkat. Terdapat nafas cuping hidung,

penggunaan otot bantu pernafasan dan retraksi. Retraksi biasanya tidak dalam karena adanya

hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Terdapat ekspirasi yang memanjang ,

wheezing yang dapat terdengar dengan ataupun tanpa stetoskop, serta terdapat crackles. Hepar

dan lien teraba akibat pendorongan diafragma karena tertekan oleh paru yang hiperinflasi. Sering

terjadi hipoksia dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien dengan

bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis.

Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena adenovirus atau inhalasi zat

toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide). Karakteristiknya: gambaran klinis & radiologis

hilang timbul dalam beberapa minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan

wheezing yang berulang. Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis. Histopatologi:

hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan deorganisasi jaringan otot

dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi,

atelektasis dan fibrosis

DIAGNOSIS

Diagnosis bronkiolitis berdasarkan gambaran klinis, umur penderita dan adanya

epidemi RSV di masyarakat . Kriteria bronkiolitis terdiri dari: (1) wheezing pertama kali, (2)

Page 11: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

umur 24 bulan atau kurang, (3) pemeriksaan fisik sesuai dengan gambaran infeksi virus

misalnya batuk, pilek, demam dan (4) menyingkirkan pneumonia atau riwayat atopi yang dapat

menyebabkan wheezing.

Untuk menilai kegawatan penderita dapat dipakai skor Respiratory Distress

Assessment Instrument (RDAI), yang menilai distres napas berdasarkan

2 variabel respirasi yaitu wheezing dan retraksi. Bila skor lebih dari 15 dimasukkan kategori

berat, bila skor kurang 3 dimasukkan dalam kategori ringan.

Tabel Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) (dikutip dari

Klassen, 1991)

SKOR Skor

0 1 2 3 4 maksimal

Wheezing

-Ekspirasi (-) Akhir ½ ¾ Semua 4

-Inspirasi (-) Sebagian Semua 2

-Lokasi (-) 2dr4 lap 3dr4 lap paru 2

paru

Retraksi

-Supraklavikular (-) Ringan Sedang Berat 3

-Interkostal (-) Ringan Sedang Berat 3

-Subkostal (-) Ringan Sedang Berat 3

TOTAL 17

Pulse oximetry merupakan alat yang tidak invasif dan berguna untuk menilai derajat

keparahan penderita. Saturasi oksigen < 95% merupakan tanda terjadinya hipoksia dan

merupakan indikasi untuk rawat inap.

Page 12: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

Tes laboratorium rutin tidak spesifik. Hitung lekosit biasanya normal. Pada pasien

dengan peningkatan lekosit biasanya didominasi oleh PMN dan bentuk batang.1,3,5 Kim dkk

(2003) mendapatkan bahwa ada subgrup penderita bronkiolitis dengan eosinofilia.17 Analisa gas

darah dapat menunjukkan adanya hipoksia akibat V/Q mismatch dan asidosis metabolik jika

terdapat dehidrasi.

Gambaran radiologik mungkin masih normal bila bronkiolitis ringan.

Umumnya terlihat paru-paru mengembang (hyperaerated). Bisa juga didapatkan bercak-bercak

yang tersebar, mungkin atelektasis (patchy atelectasis ) atau pneumonia (patchy infiltrates).

Pada x-foto lateral, didapatkan diameter AP yang bertambah dan diafragma tertekan ke bawah.

Pada pemeriksaan x-foto dada, dikatakan hyperaerated apabila kita mendapatkan: siluet jantung

yang menyempit, jantung terangkat, diafragma lebih rendah dan mendatar, diameter

anteroposterior dada bertambah, ruang retrosternal lebih lusen, iga horisontal, pembuluh darah

paru tampak tersebar.

Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama kalinya, berbeda

dengan asma yang mengalami wheezing berulang. Asma bronkiale merupakan diagnosis

banding yang tersering. Diagnosis banding bronkiolitis adalah: asma bronkiale, pneumonia,

aspirasi benda asing, refluks gastroesophageal, sistik fibrosis, gagal jantung, miokarditis .

Beberapa perbedaan antara bronkiolitis dan asma :

ASMA BRONKIOLITIS

Penyebab hiperreaktivitas virus

bronkus

Umur > 2 tahun 6 bulan-2 tahun

Sesak berulang ya tidak

Onset sesak akut insidious

ISPA atas + / - selalu +

Atopi keluarga sering jarang

Alergi lain sering -

Page 13: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

Respon bronkodilator cepat lambat

Eosinofil normal

Untuk menentukan penyebab bronkiolitis, dibutuhkan pemeriksaan aspirasi atau bilasan

nasofaring. Pada bahan ini dapat dilakukan kultur virus tetapi memerlukan waktu yang lama, dan

hanya memberikan hasil positif pada 50% kasus. Ada cara lain yaitu dengan melakukan

pemeriksaan antigen RSV dengan menggunakan cara imunofluoresen atau ELISA. Sensitifitas

pemeriksaan ini adalah 80-90%.

TATA LAKSANA

Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif: oksigenasi, pemberian cairan

untuk mencegah dehidrasi, dan nutrisi yang adekuat. Bronkiolitis ringan biasanya bisa rawat

jalan dan perlu diberikan cairan peroral yang adekuat. Bayi dengan bronkiolitis sedang sampai

berat harus dirawat inap. Penderita resiko tinggi harus dirawat inap, diantaranya: berusia kurang

dari 3 bulan, prematur, kelainan jantung, kelainan neurologi, penyakit paru kronis, defisiensi

imun, distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit adalah terapi suportif, mencegah dan

mengatasi komplikasi, atau bila diperlukan pemberian antivirus.

Di Bagian Anak RS Dr Soetomo Surabaya selain terapi suportif, secara rutin nebulasi

agonis dan juga diberikan pada setiap penderita bronkiolitis. Steroid sistemik diberikan pada

kasus–kasus berat. Antibiotika diberikan bilamana keadaan umum penderita kurang baik, atau

ada dugaan infeksi sekunder dengan bakteri.

Penanganan bronkiolitis di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Soetomo:

A. Cairan dan nutrisi: adekuat, tergantung kondisi penderita

B. Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan pulse oxymetry dan bila

perlu dilakukan analisa gas darah. Bila ada tanda gagal napas diberikan bantuan ventilasi

mekanik.

C. Bronkodilator: nebulasi agonis beta2: salbutamol 0,1 mg/kg BB/dosis, diencerkan

dengan cairan normal saline, diberikan 4 – 6 kali per-hari

Page 14: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

D. Steroid, pada bronkiolitis berat: deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis, IV

E. Antibiotika: penyakit berat, keadaan umum kurang baik, curiga infeksi sekunder

F. Digitalisasi: bila ada tanda payah jantung

Terapi Oksigen

Oksigen harus diberikan kepada semua penderita kecuali untuk kasus-kasus yang sangat

ringan. Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap oksigen di

dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2 liter/menit) , masker (minimum 4

liter/menit) atau head box.

Terapi oksigen dihentikan bila pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oximetry

(SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Pemberian oksigen pada saat masuk sangat

berpengaruh pada skor beratnya penyakit dan lama perawatan di rumah sakit.

Penderita bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada kasus

gagal napas, serta apnea berulang. CPAP biasa digunakan untuk mempertahankan tekanan positif

paru. CPAP mungkin memberi keuntungan dengan cara membuka saluran napas kecil ,

mencegah air trapping dan obstruksi. Bayi dengan hipoksemia berat yang tidak membaik dengan

ventilasi konvensional membutuhkan ventilasi dengan high-frequency jet ventilation atau

extracorporeal membrane oxygenation (ECMO).

Terapi cairan

Pemberian cairan dan kalori yang cukup (bila perlu dapat dengan infus dan diet

sonde/nasogastrik). Jumlah cairan disesuaikan dengan berat badan, kenaikan suhu dan status

hidrasi. Cairan intravena diberikan bila pasien muntah dan tidak dapat minum, panas, distres

napas untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Dapat dibenarkan pemberian retriksi cairan 2/3 dari

kebutuhan rumatan, untuk mencegah edema paru dan edema otak akibat SIADH (Syndrome of

Inappropriate Anti Diuretic Hormone). Selanjutnya perlu dilakukan koreksi terhadap kelainan

asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul.

Page 15: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

Antibiotika

Apabila terdapat perubahan pada kondisi umum penderita, peningkatan leukosit atau

pergeseran hitung jenis, atau tersangka sepsis maka diperiksa kultur darah, urine, feses dan

cairan serebrospinal, secepatnya diberikan antibiotika yang memiliki spektrum luas. Pemberian

antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis. Akan tetapi

keterlambatan dalam mengetahui virus RSV atau virus lain sebagai penyebab bronkiolitis dan

menyadari bahwa infeksi virus merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder dapat menjadi

alasan untuk memberikan antibiotika.

Di bagian anak RSU Dr. Soetomo Surabaya, pada penderita bronkiolitis selain diberikan

hidrasi dan oksigenasi juga diberikan antibiotika bilamana keadaan umum penderita kurang baik,

penyakit yang berat atau ada dugaan infeksi sekunder dengan bakteri .

Antivirus (Ribavirin)

Ribavirin adalah synthetic nucleoside analogue, menghambat aktivitas virus termasuk RSV.

Ribavirin menghambat translasi messenger RNA (mRNA) virus kedalam protein virus dan

menekan aktivitas polymerase RNA. Titer RSV meningkat dalam tiga hari setelah gejala timbul

atau sepuluh hari setelah terkena virus. Karena mekanisme ribavirin menghambat replikasi virus

selama fase replikasi aktif, maka pemberian ribavirin lebih bermanfaat pada fase awal infeksi.

Efektivitas ribavirin sampai saat ini masih kontroversi. Dapat terjadi perbaikan SaO2, penurunan

penggunaan ventilasi mekanik, lama perawatan dirumah sakit lebih singkat, dan perbaikan fungsi

paru. Tetapi pada penelitian lain penggunaan ribavirin tidak memberikan efek perbaikan.

Perbedaan hasil tersebut kemungkinan karena desain, metode yang dipakai berbeda termasuk

jumlah sampel yang terlibat, dan keterlambatan dalam memulai terapi.

Bronkodilator

Penggunaan bronkodilator untuk terapi bronkiolitis telah lama diperdebatkan selama hampir

40 tahun. Terapi farmakologis yang paling sering diberikan untuk pengobatan bronkiolitis adalah

Page 16: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc

bronkodilator dan kortikosteroid. Obat-obat beta2 agonis sangat berguna pada penyakit dengan

penyempitan saluran napas karena menyebabkan efek bronkodilatasi, mengurangi pelepasan

mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik, mengurangi sembab mukosa dan

meningkatkan pergerakan silia saluran napas sehingga efektivitas dari mukosilier akan lebih

baik.

Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa pasien-pasien yang diberikan beta2 agonis

secara nebulisasi menunjukkan perbaikan skor klinis dan saturasi oksigen, tetapi beberapa studi

yang lain tidak.

Sebuah penelitian meta-analisis oleh Kellner dkk (1996) mengenai efikasi bronkodilator

pada penderita bronkiolitis mendapatkan bahwa bronkodilator menyebabkan perbaikan klinis

yang singkat (short-term improvement) pada bronkiolitis ringan dan sedang. Uji efikasi

salbutamol secara inhalasi terhadap penderita bronkiolitis pernah dilakukan di bagian anak RS

Dr.Soetomo Surabaya pada tahun 1999. Terjadi penurunan skor RDAI pada kelompok

salbutamol terutama menit ke 60 dan rata-rata waktu lama inap menjadi lebih pendek.

Kortikosteroid

Banyak studi terdahulu yang telah dilakukan untuk mencari efektifitas kortikosteroid

untuk pengobatan bronkiolitis. Penelitian pada 61 penderita bronkiolitis anak dengan

menggunakan deksametason oral pada anak yang telah menggunakan nebulasi salbutamol tidak

didapatkan perbedaan antara grup perlakuan dan plasebo pada saturasi oksigen, laju nafas, skor

RDAI dan lamanya rawat inap. Hasil yang hampir sama juga didapatkan pada pemberian

deksamateson intravena pada penderita bronkiolitis, dan ternyata tidak didapatkan perbedaan

pada skor klinis, laju nafas, skor klinis, dan tes fungsi paru pada hari ke 3. Richter melakukan

penelitian nebulasi budesonide pada penderita bronkiolitis saat rawat inap dan dilanjutkan

sampai dengan 6 minggu dan ternyata mendapatkan hasil bahwa tidak mengurangi gejala

bronkiolitis dan tidak mencegah wheezing pasca bronkiolitis.33 Tetapi Schuh dkk (2002) yang

melakukan penelitian pada penderita bronkiolitis yang rawat jalan mendapatkan hasil bahwa

dengan pemberian deksametason oral 1 mg/kg BB mengurangi angka rawat inap.

Page 17: CASE 6 BRONKIOLITIS.doc