case demensia
DESCRIPTION
Case DemensiaTRANSCRIPT
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Demensia adalah kumpulan gejala kronik yang disebabkan oleh berbagai
latar belakang penyakit dan ditandai oleh hilangnya memori jangka pendek,
gangguan global fungsi mental, termasuk fungsi bahasa, mundurnya kemampuan
berpikir abstrak, kesulitan merawat diri sendiri, perubahan perilaku, emosi labil,
dan hilangnya pengenalan waktu dan tempat, tanpa adanya gangguan dalam
pekerjaan, aktivitas harian, dan sosial1,2.
Klasifikasi
Demensia dapat dibagi menjadi demensia yang reversibel dan ireversibel yaitu :
1. Demensia Reversibel
Ditemukan pada kurang dari 20% penderita demensia. Demensia
reversibel dapat disebabkan oleh:
Alkoholisme
Pemakaian jangka panjang berbagai jenis obat antidepresan secara
bersamaan, antiaritmia, antihipertensi, analgetik, dan digitalis.
Gangguan psikiatri
Depresi, skizofrenia (terutama tipe paranoid), gangguan bipolar, dan
gangguan pribadi berat.
Normal pressure Hydrocephalus
Ditemukan pada 2-6% demensia, biasa ditemukan pada usia lanjut
dengan gejala gangguan memori, bingung, reaksi lambat, gangguan
bejalan, dan inkotinensia. Pada penderita dapa dijumpai riwayat trauma,
meningitis, atau perdarahan subarakhnoid, tetapi pada sebagian besar
kasus tidak ditemukan kelainan sebelumnya. Dengan pemasangan
ventriculo-peritoneal shunt, keadaan dapat pulih kembali.
Demensia Vaskular(di bahas lebih rinci di halaman berikutnya)
2. Demensia Ireversibel
1
Pada umumnya berhubungan dengan proses degenerasi otak yang bersifat
permanen.
Demensia Alzheimer
Merupakan frekuensi demensia yang paling tinggi, meliputi 50-55 %
dari seluruh demensia, biasanya memeiliki faktor risiko seperti usia
yang lebih dari 40 tahun, riwayat keluarga Alzheimer, Parkinson,
Sindroma Down.
Demensia Alzheimer dibagi menjadi 3 stadium yaitun :
- Stadium Ringan
Gangguan memori menonjol, namun penderita masih dapat
melakukan aktivitas harian sederhana.
- Stadium Sedang.
Gangguan memori diikuti oleh gangguan kognisi lain : Penderita
membutuhkan bantuan untuk melakukan aktivitas harian, terutama
yang kompleks.
- Stadium lanjut.
Penderita sudah tidak dapat berkomunikasi karena gangguan
kognitif berat, biasanya diikuti penurunan fungsi motorik,
sehingga penderita sulit bergerak dan memerlukan bantuan penuh
ntuk melakukan aktifitas hariannya.
Awitan dan perjalanan penyakit bertahap, progresif lambat. Perubahan
prilaku dapat terjadi pada stadium ringan, sedang, maupun lanjut1.
Perubahan dimulai dengan penarikan fungsi sosial, indiferen, impulsif,
gangguan tidur, gelisah, dan wandering.
Pick’s Disease
Penyakit neurodegeneratifyang ditandai oleh atrofi kortikal berat,
terutama di daerah fontotemporal.gejala terutama berhubungan dengan
gangguan lobus frontal / temporalyang ditandai dengan penurunan
fungsi mental, perubahan perilaku, dan gangguan tilikan diri. Pda
stadium lanjut diikuti ganguan memori jangka panjang dan gangguan
2
berbahasa, munculnya refleks primitif. Pada stadium akhir dapat
dijumpai gangguan anglia basalis.
Parkinson’s Disease Dementia1
Penyakit neurodegeneratif progresif yang ditandai oleh adanya rigiditas,
bradikinesia, tremor, dan isntabilitas postural; diikuti oleh gangguan
bicara, berjalan, dan koordinasi. Gejala demensia terdapat pada kurang
lebih40% penderita, biasanya diawali dengan gejala disorientasi pada
malam hari, diikuti oleh gangguan kognitif lainnya.
Demensia terkait AIDS
Dipertimbangkan pada penderita dengan riwayat transfusi,
penyimpangan perilaku seksual, pemakaian obat NAPZA terutama
suntikan. Gejala dimulai dengan mudah lupa, lamban, gangguan
konsentrasi, dan pemecahan masalah.
Gangguan perilaku yang menonjol adalah apatis dan menarik diri.
Dapat ditemukan pula kelainan fisik, berupa tremor, ataksia, hipertonus,
hiperrefleks, dan gangguan gerak bola mata.
Diagnosis
Demensia ditandai oleh adanya gangguan kognisi, fungsional, dan perilaku,
sehingga terjadi gangguan pada pekerjaan, aktivitas harian, dan sosial. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan neuropsikologis.
Anamnesis/wawancara meliputi awitan penyakit ( akut/perlahan ), perjalanan
penyakit ( stabil/ progresif, membaik ), usia awitan, riwayat medis umum dan
neurologis, perubahan neurobehaviour, riwayat psikiatri, riwayat yang
berhubungan dengan etiologi ( seperti infeksi, gangguan nutrisi, penggunaan obat,
dan riwayat keluarga ). Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital, pemeriksaan
umum, pemeriksaan neurologis dan neuropsikologis. Pemeriksaan penunjang
meliputi pemeriksaan laboratorium dan radiologis
3
Anamnesis
Wawancara mengenai penyakit sebaiknya dilakukan pada penderita dan
mereka yang sehari-hari berhubungan langsung dengan penderita ( pengasuh ).
Hal yang paling penting diperhatikan adalah riwayat penurunan fungsi terutama
kognitif dibandingkan dengan sebelumnya. Awitan ( mendadak/progresif lambat),
dan adanya perubahan prilaku dan kepribadian.
Riwayat Medis Umum
Demensia dapat merupakan akibat sekunder dari berbagai penyakit, sehingga
perlu diketahui adanya riwayat infeksi kronis ( misalnya HIV dan Sifilis ),
ganguan endokrin ( hiper/hipotiroid ), diabetes Mellitus, neoplasma, kebiasaan
merokok, penyakit jantung, penyakit kolagen, hipertensi, hiperlipidemia, dan
aterosklerosis.
Riwayat Neurologis
Perlu umtuk mencari etiologi seperti riwayat gangguan serebrovaskuler, trauma
kapitis, infeksi SSP, epilepsi, tumor serebri dan hidrosefalus.
Riwayat Gangguan Kognisi
Riwayat gangguan kognitif merupakan bagian dari bagian terpenting dari
diagnosis demensia. Riwayat gangguan memori sesaat, jangka pendek, dan jangka
panjang; gangguan orientasi ruang, waktu, dan tempat, benda, muapun gangguan
komprehensif ); gangguan fungsi eksekutif ( meliputi pengorganisasian,
perencanaan, dan pelaksanaan suatu aktivitas ), gangguan praksis, dan
visuospasial.
Selain itu, perlu, ditanyakan mengenai aktivitas harian, diantaranya melakukan
pekerjaan, mengatur keuangan, mempersiapkan keperluan harian, melaksanakan
4
hobi, dan mengikuti aktivitas sosial. Dalam hal ini, perlu pertimbangan
berdasarkan pendidikan dan sosial budaya.
Riwayat Gangguan Perilaku dan kepribadian
Gejala psikiatri dan perubahan perilaku sering dijumpai pada penderita demensia.
Hal ini perlu dibedakan dengan gangguan psikiatri murni, misalnya depresi,
skizofrenia, terutama tipe paranoid. Pada penderita demensia dapat ditemukan
gejala neuropsikologis berupa waham, halusinasi, misidentifikasi, depresi, apatis,
dan cemas. Gejala perilaku dapat berupa bepergian tanpa tujuan, ( Wandering ),
agitasi, agresifitas fisik maupun verbal, restlessness, dan disinhibisi.
Riwayat Intoksikasi
Perlu ditanyakan riwayat intoksikasi aluminium, air raksa, pestisida, insektisida,
alkoholisme, dan merokok. Riwayat pengobatan terutama pemakaian kronis
antidepresan dan narkotika.
Riwayat Keluarga
Riwayat demensia, gangguan psikiatri, depresi, penyakit Parkinson, sindroma
down, dan retardasi mental.
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umum, dilakukan sebagaimana biasa pada prakter klinis.
Pemeriksaan neurologis : Dilihat adanya tekanan tinggi intra kranial, gangguan
neurologis fokal misalnya gangguan berjalan, gangguan motorik, sensorik,
otonom, koordinasi, gangguan penglihatan, gerakan abnormal/apraksia dan
adanya refleks patologis dan primitif1.
Pemeriksaan Neuropsikologi
Meliputi evaluasi memori, orientasi, bahasa, kalkulasi, praksis,
visuospasial, dan visuoperseptual. Mini Mental State Examination (MMSE)
5
adalah pemeriksaan penapisan yang berguna untuk mengetahui adanya disfungsi
kognisi, menilai efektifitas pengobatan, dan untuk menentukan progresifitas
penyakit. Nilai normal MMSE adalah 24-30. Sementara untuk nilai 18-23
digolongkn sebagai Mild Cognitive Impairment (MCI), dan untuk nilai <18
digolongkan sebagai demensia. Gejala awal demensia perlu dipertimbangkan pada
penderita dengan nilai MMSE kurang dari 27, terutama pada golongan
berpendidikan tinggi. Selain itu perlu pula dilakukan pemeriksaan Activity of
Daily Living (ADL) dan Instrumental of Daily Living (IADL). Hasil pemeriksaan
tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, sosial, dan budaya.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan laboratorium ( darah
lengkap termasuk elektrolit, fungsi ginjal, fungsi hati, hormon tiroid, dan kadar
vitamin B12, pemeriksaan HIV dan neurosifilis dianjurkan pada penderita dengan
risiko tinggi), pemeriksaan pencitraan otak (CT Scan dan MRI).
DEMENSIA VASKULER
Penyakit vaskuler merupakan penyebab kedua demensia, setelah penyakit
Alzheimer. Penyakit vaskuler dapat dicegah dan ditangani, dengan peningkatan
kewaspadaan dan pengendalian faktor-faktor vaskuler, sehingga insidensi
demensia dapat diturunkan3. Baru sedikit diketahui tentang penyebab yang
mendasari penyakit vaskuler ini. Beberapa penelitian di Amerika melaporkan
adanya gambaran insidensi spesifik untuk penyakit vaskuler, dan telah dapat
mengidentifikasikan faktor-faktor risiko yang berhubungan4.
Pada akhir abad ke-19, Otto Biswanger dan Alois Alzheimer meneliti
tentang hubungan antara patologi vaskuler dan pengurangan kemampuan kognisi.
Tujuh puluh tahun kemudian, Tomlisson dan Blessed melengkapi dengan
penelitian yang lebih sistematik yang menunjukkan hubungan antara patologi
vaskuler dengan demensia. Pada tahun 1974, Hachinski mengenalkan istilah
multi-infark dementia ( MID ) untuk menekankan bahawa demensia adalah
berhubungan dengan infark pembuluh darah otak baik pembuluh besar maupun
kecil. Kemudian peneliti-peneliti menggunakan istilah vascular dementia (VaD)
6
yang membantu para dokter untuk mempertimbangkan berbagai patologi vaskuler
termasuk perdarahan, yang dapat menyebabkan demensia. Baru-baru ini para
peneliti mengenalkan isitlah vascular cognitive impairment (VCI) dengan tujuan
untuk meluaskan konsep lebih lanjut. Dimaksudkan bahwa penyakit vaskuler
dapat menyebabkan suatu defisit kognisi dari skala ringan sampai berat, dan
pengenalan dini dari defisit tersebut membantu klinisi untuk mengintervensi
sebelum demensia terjadi3.
Insiden dan Prevalensi Demensia Vaskuler
Insidensi dan prevalensi VaD yang dilaporkan berbeda-beda menurut
populasi studi, metode pendeteksian, kriteria diagnosis yang dipakai dan periode
waktu pengamatan. Diperkirakan demensia vaskuler memberi kontribusi 10 % -
20 % dari semua kasus demensia3. Data dari negara-negara Eropa dilaporkan
prevalensi 1,6% pada kelompok usia lebih dari 65 tahun dengan insidensi 3,4 tiap
1000 orang per tahun. Penelitian di Lundby di Swedia memperlihatkan angka
resiko terkena VaD sepanjang hidup 34,5% pada pria dan 19,4% pada wanita bila
semua tingkatan gangguan kognisi dimasukkan dalam perhitungan4. Sudah lama
diketahui bahwa defisit kognisi dapat terjadi setelah serangan stroke. Penelitian
terakhir memperlihatkan bahwa demensia terjadi pada rata-rata seperempat hingga
sepertiga dari kasus-kasus stroke7.
Prevalensi dari semua bentuk demensia termasuk demesia vaskuler, naik
seiring dengan bertambahnya usia. Di Eropa, prevalensi demensia vaskuler
diperkirakan sekitar 1,5-4,8 % pada individu berusia antara 70 hingga 80 tahun8.
Faktor Risiko Demensia Vaskuler
Faktor-faktor risiko telah diteliti oleh beberapa ilmuwan dalam 4 tahun
terakhir ini.
Mereka membagi faktor-faktor risiko itu dalam 4 kategori :
1. Faktor demografi, termasuk diantaranya adalah usia lanjut, ras dan etnis( Asia,
Africo-American ), jenis kelamin ( pria), pendidikan yang rendah, daerah rural.
7
2. Faktor aterogenik, termasuk diantaranya adalah hipertensi, merokok cigaret,
penyakit jantung, diabetes, hiperlipidemia, bising karotis, menopause tanpa
terapi penggantian estrogen, dan gambaran EKG yang abnormal.
3. Faktor non-aterogenik, termasuk diantaranya adalah genetik, perubahan pada
hemostatis, konsumsi alkohol yang tinggi, penggunaan aspirin, stres psikologik,
paparan zat yang berhubungan dengan pekerjaan ( pestisida, herbisida, plastik),
sosial ekonomi.
4. Faktor yang berhubungan dengan stroke yang termasuk diantaranya adalah
volume kehilangan jaringan otak, serta jumlah dan lokasi infark4.
Jenis kelamin merupakan faktor yang masih kontroversial, dan beberapa
penelitian menemukan bahwa tidak ada perbedaaan dalam jenis kelamin.
Semuanya dapat terkena dalam perbandingan yang sama.Genetik juga merupakan
faktor yang berpengaruh. Arteriopati cerebral autosomal dominan dengan infark
subkortikal dan leukoencepalopati (CADASIL) adalah suatu penyakit genetik
yang melibatkan mutasi Notch 3, menyebabkan infark subkortikal dan demensia
pada 90 % pasien yang terkena yang akhirnya meninggal dengan kondisi ini.
Riwayat dari stroke terdahulu adalah faktor resiko yang penting pada demensia
vaskuler. Tidak hanya berhubungan dengan luas dan jumlah infark, tetapi juga
lokasi dan bahkan lesi tunggal yang strategis sudah dapat menyebabkan
demensia3.
Depresi merupakan suatu sindroma premonitor untuk VaD pada pasien-
pasien stroke, dan juga merupakan suatu penanda yang penting bagi kerusakan
pada otak. Hubungan antara VaD dan alel 4 dari ApoE telah diteliti pada beberapa
penelitian, dan ditemukan bahwa adanya alel ini bukan hanya merupakan suatu
penanda spesifik bagi Alzheimer Disease, tapi juga dihubungkan dengan proses
perbaikan pada sistem saraf. Frison et.al menghipotesiskan bahwa ApoE
memainkan peran pada metabolisme otak normal, dan terdapatnya alel €4 dalam
jumlah besar menandakan adanya kerusakan pada otak baik degeneratif atau
vaskuler. Bagaimanapun juga, semenjak diagnosis VaD ditetapkan dengan
menggunakan kriteria NINDS-AIREN, maka konkurensi dengan Alzheimer
Disease adalah mungkin dan menjelaskan hubungan dengan ApoE24.
8
Resiko yang berhubungan dengan paparan pestisida dan pupuk telah
dikonfirmasikan pada berbagai penelitian terdahulu, dan menjelaskan hubungan
dengan daerah rural. Tingginya insidensi VaD di daerah rural juga dilaporkan Liu
et.al dan hubungan antara zat ini juga terdapat pada Alzheimer Disease dan
Parkinson4.
Etiologi
Baru–baru ini diketahui, bahwa demesia vaskuler bukan hanya disebabkan
oleh discret infark ( multi-infark demensia ), tapi juga oleh keadaan
serebrovaskuler5.
Secara garis besar VaD terdiri dari tiga subtipe yaitu :
1. VaD pasca stroke .
Biasanya mempunyai korelasi waktu yang jelas antara stroke dengan terjadinya
demensia, mencakup;
a. Demensia infark strategis : lesi di girus angularis, talamus, basal
forebrain, teritori arteri serebri posterior, dan arteri serebri anterior.
b. Multiple Infark Dementia (MID)
c. Perdarahan intraserebral
2. VaD subkortikal, dengan kejadian TIA atau stroke yang sering tidak terdeteksi
namun memiliki faktor resiko vaskuler, mencakup;
a. Lesi iskemik substansia alba
b. Infark lakuner subkortikal
c. Infark non-lakuner subkortikal
3. VaD tipe campuran Alzheimer Disease dan Cerebrovascular Disease.
Patofisiologi Demensia Vaskuler
Penelitian akhir-akhir ini juga membuktikan adanya hubungan antara suatu
faktor genetik apolipoprotein E4 dengan kerusakan vaskuler dan juga penyakit
serebrovaskuler. DeCarli et.al menemukan bahwa peningkatan ApoE4 pada
pasien-pasien kardiovaskuler dan juga pada pasien-pasien stroke. ApoE4 akan
menyebabkan perubahan level kolesterol serum dan LDL. ApoE4 ini juga
9
memainkan peran dalam pembentukan aterosklerosis7. ApoE4 akan membantu
hemostasis dari kolesterol, dan ini merupakan komponen dari kilomikron, VLDL,
dan produk degradasi mereka. Beberapa reseptor di hati mengenali ApoE,
termasuk reseptor LDL, Reseptor LDL yang terikat protein , dan reseptor VLDL8.
Penelitian yang dilakukan oleh DeLeewu et.al menyimpulkan bahwa pasien
dengan ApoE4 adalah berisiko tinggi terhadap lesi di substansia alba apabila ia
juga menderita hipertensi9. Dalam penelitian terbaru yang dilakukan Kokobu et.al,
melaporkan adanya hubungan antara ApoE4 dengan perdarahan subarachnoid.
Hal ini membuat dugaan bahwa ApoE4 memainkan peran dalam respon terhadap
trauma sistem saraf pusat 3,4.
Patologi dari penyakit vaskuler dan perubahan-perubahan kognisi telah
diteliti. Berbagai perubahan makroskopik dan mikroskopik diobservasi. Beberapa
penelitian telah berhasil menunjukkan lokasi dari kecenderungan lesi patologis,
yaitu bilateral dan melibatkan pembuluh-pembuluh darah besar ( arteri serebri
anterior dan arteri serebri posterior). Penelitian-penelitian lain mendemonstrasikan
keberadaan lakuna-lakuna di otak misalnya di bagian anterolateral dan medial
talamus, yang dihubungkan dengan defisit neuropsikologi yang berat. Beberapa
lokasi strategis termasuk substansia alba bagian frontal atau basal dari forebrain,
basal ganglia, genu dari kapsula interna, hippocampus, mamillary bodies, otak
tengah dan pons. Pada analisis mikroskopik perubahan - perubahan tipe
Alzheimer (neurofibrillary tangles dan plak senile) didapatkan juga sehingga akan
merumitkan gambaran. Istilah demensia campuran digunakan ketika baik
perubahan vaskuler dan degenerasi memberikan kontribusi pada penurunan
kognisi3.
Mekanisme patofisiologi dimana patologi vaskuler menyebabkan
kerusakan kognisi adalah belum jelas. Hal ini dapat dijelaskan bahwa dalam
kenyataannya beberapa patologi vaskuler yang berbeda dapat menyebabkan
kerusakan kognisi, termasuk trombosis otak, emboli jantung, dan perdarahan.
Peran dari abnormalitas substansia alba sebagai penyebab disfungsi kognisi telah
diketahui. Suatu penelitian terbaru tentang patologi substansia alba pada 40 kasus
dengan demensia vaskuler menunjukkan adanya :
1. Patologi fokal meliputi daerah infark luas dan sempit pada substansia alba
10
2. Patologi difus substansia alba yang melibatkan rarefaction perifokal yang
dikelilingi infark dan substansia alba tanpa infark3.
Diagnosis Demensia Vaskuler
Kriteria diagnosis yang digunakan saat ini adalah NINDS-AIREN(
National Institute of Neurological Disorders and Stroke, and L’Association
Internationale pour la Recherche et L’Enseignmement en Neurosciences )1.
1. Diagnosis klinis probable VaD meliputi semua hal dibawah ini:
a) Demensia
b) Penyakit serebrovaskuler (CVD) yang ditandai dengan adanya defisit
neurologik fokal pada pemeriksaan fisik seperti hemiparese, kelumpuhan
otot wajah bawah, refleks Babinski, defisit sensorik, hemianopsia, disartria,
dll. Yang konsisten dengan stroke ( dengan atau tanpa riwayat stroke ), dan
bukti yang relevan adanya CVD dengan pemeriksaan pencitraan otak (CT-
scan atau MRI) meliputi stroke multipel pembuluh darah besar atau infark
tunggal tempat strategis ( girus angularis, talamus, basal forebrain, teritori
arteri serebri posterio dan anterior ), atau infark lakuner multipel di basal
ganglia dan substantia alba atau lesi substantia alba periventrikuler luas
atau kombinasi dari kelainan-kelainan di atas)
c) Terdapat hubungan antara kedua gangguan diatas dengan satu atau lebih
keadaan dibawah ini : Awitan demensia berada dalam kurun waktu 3 bulan
pasca stroke- deteriorasi fungsi kognisi yang mendadak atau berfluktuasi,
defisit kognisi yang progresif.
2. Kriteria diagnosis probable VaD subkortikal :
a) Sindroma kognisi yang meliputi kedua-duanya :
• Sindroma disexecution : gangguan formulasi tujuan, inisiasi,
perencanaan, pengorganisasian, sekuensial, eksekusi, set-shifting,
mempertahankan kegiatan dan abstraksi.
• Deteriorasi fungsi memori yang menyebabkan gangguan fungsi okupasi
dan sosial yang tidak disebabkan oleh gangguan fisik karena stroke.
11
b) CVD :
• CVD yang dibuktikan dengan neuroimaging
• Adanya riwayat defisit neurologis sebagai bagian dari CVD :
hemiparese, parese otot wajah, refleks Babinski positif, gangguan
sensorik, disartri, gangguan berjalan, gangguan ekstrapiramidal yang
berhubungan dengan lesi subkortikal otak6.
Gambaran Klinis
Sesuai dengan NINDS-AIREN maka didapatkan gambaran klinis VaD
sebagai berikut :
A. Gambaran klinis yang konsisten dengan diagnosis probable VaD :
1. Gangguan berjalan ( langkah-langkah kecil, atau marche a petit-pas,
magnetic, apraxic-ataxic atau parkinson gait )
2. Riwayat miksi dini dan keluhan kemih yang bukan disebabkan oleh
kelainan urologi. Perubahan kepribadian dan suasana hati, abulia dan
depresi. Inkontinesia, emosi, gejala defisit subkortikal meliputi retardasi
psikomotor dan gangguan fungsi eksekusi3.
B. Gambaran klinis yang tidak menyokong diagnosis VaD:
1. Defisit memori pada tahap dini, perburukan fungsi memori dan gangguan
kognisi lain seperti bahasa (ataxia transkortikal sensorik ), keterampilan
motorik (apraksia) dan persepsi ( agnosia) tanpa adanya lesi yang sesuai
pada pencitraan otak.
2. Tidak ditemukannya defisit neurologik fokal selain gangguan kognisi.
Tidak ditemukan lesi pada CT-scan atau MRI kepala5.
C. Gambaran klinis yang menyokong diagnosis VaD subkortikal :
1. Episode gangguan lesi upper motor neuron ( UMN) ringan seperti
kelumpuhan ringan, refleks asimetri, dan inkoordinasi.
2. Gangguan berjalan pada tahap dini demensia.
3. Riwayat gangguan keseimbangan, sering jatuh, tanpa sebab
4. Urgensi miksi yang dini yang tidak disebabkan oleh kelainan urologi
12
5. Disartri, disfagi dan gejala ekstrapiramidal
6. Gangguan perilaku dan psikis seperti depresi, perubahan kepribadian, emosi
labil, dan retardasi psikomotor.
D. Gambaran yang tidak menyokong diagnosis VaD subkortikal
1. Awitan dini gangguan memori yang progresif memburuk dan gangguan
kognisi lain seperti disfasia, dispraksi, dan agnosia.
2. Tidak ditemukan lesi fokal yang berhubungan pada pencitraan
3. Tidak ditemukannya relevansi lesi serebral pada CT-scan atau MRI1.7.
Pemeriksaan VaD secara umum antara lain :
A. Riwayat medis meliputi :
1. Riwayat medik umum.
Wawancara meliputi gangguan medik yang dapat menyebabkan demensia
seperti penyakit jantung koroner, gangguan katup jantung, penyakit jantung
kolagen, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, arteriosklerosis perifer,
hipotiroidisme., neoplasma, infeksi kronik ( sifilis, AIDS )
3. Riwayat Neurologi umum.
Wawancara riwayat neurologi seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis,
infeksi susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena tumor atau
hidrosefalus. Gejala penyerta demensia seperti gangguan motorik sensorik,
gangguan berjalan, koordinasi dan gangguan keseimbangan yang mendadak
pada fase awal menandakan defisit neurologik fokal yang mengarah pada VaD.
4. Riwayat Neurobehaviour.
Informasi dari keluarga mengenai penurunan fuingsi kognisi, kemampuan
intelektual dalam aktivitas sehari-hari dan perubahan tingkah laku adalah
sangat penting dalam diagnosis demensia.
5. Riwayat psikiatrik.
Riwayat psikiatrik penting untuk menentukan apakah pasien mengalami
depresi, psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku agresif, delusi,
13
halusinasi, pikiran paranoid, dan apakah gangguan ini terjadi sebelum atau
sesudah awitan demensia.
6. Riwayat keracunan, nutrisi, obat-obatan.
Keracunan logam berat, pestisida, lem dan pupuk, defisiensi nutrisi ,
pemakaian alkohol kronik dapat menyebabkan demensia walaupun tidak
spesifik untuk VaD. Pemakaian obat-obatan antidepresan, antikolinergik dan
herbal juga dapat mengganggu fungsi kognisi.
7. Riwayat keluarga.
Pemeriksa harus menggali semua insidensi demensia pada keluarga.
B. Pemeriksaan obyektif meliputi :
1. Pemeriksaan fisik umum. meliputi observasi penampilan, tanda-tanda vital,
arteriosklerosis, faktor risiko vaskuler.
2. Pemeriksaan neurologis. Gangguan berjalan, gangguan kekuatan, tonus atau
kontrol motorik, gangguan sensorik dan lapangan visual gangguan saraf otak,
gangguan keseimbangan dan gangguan refleks.
3. Pemeriksaan status mental. Pemeriksaan kognisi status mental meliputi
memori, orientasi, bahasa, fungsi kortikal, terkait dengan berhitung, menulis,
praksis, gnosis, visuospasial, dan visuopersepsi.
4. Pemeriksaan aktivitas fungsional. Merupakan pemeriksaan performa nyata
penderita dalam aktivitas kehidupan sehari-hari saat premorbid atau saat ini.
5. Pemeriksaan psikiatrik. Pemeriksaan ini untuk menentukan kondisi mental
penyandang demensia, apakah ia menderita gangguan depresi, delirium, cemas
atau mengalami gejala psikotik8.
Manajemen Terapi
Gangguan mood dan perilaku yang ditemukan pada pasien demensia
vaskuler dapat bervariasi sesuai dengan lokasi fungsi otak yang rusak. Gejala
yang sering muncul adalah depresi, agitasi, halusinasi, delusi, ansietas, perilaku
kekerasan, kesulitan tidur dan wandering ( berjalan ke sana kemari). Sebelum
memulai terapi farmakologis, terapi non-farmakologis harus dilakukan dulu untuk
mengontrol gangguan ini namun dalam prakteknya sering diperlukan kombinasi
14
kedua metode terapi ini. Penting untuk selalu menganalisa dengan seksama setiap
gejala yang timbul, adakah hubungan gejala perilaku atau psikiatrik dengan
kondisi fisik (nyeri), situasi (ramai, dipaksa, dll) atau semata-mata akibat
penyakitnya. Pasien demensia vaskuler dengan depresi memperlihatkan gangguan
fungsional yang labih berat dibanding pasien demensia Alzheimer tanpa depresi.
Obat antidepresan dapat memperbaiki gejala depresi, mengurangi disabilitas tetapi
tidak memperbaiki gangguan kognisi.
Penderita dengan faktor resiko penyakit serebrovaskuler misalnya
hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, arterosklerosis, arteriosklerosis,
dislipidemia dan merokok, harus mengontrol penyakitnya dengan baik dan
memperbaiki gaya hidup. Kontrol teratur terhadap penyakit primer dapat
memperbaiki fungsi kognisinya.
A. Terapi farmakologik.
1. Terapi simptomatik pada demensia vaskuler kolinergik adalah
pemberian kolinesterase inhibitor karena terjadi penurunan
neurotransmiter. Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan obat
golongan ini dapat menstabilkan fungsi kognisi dan memperbaiki
aktivitas harian pada penderita demensia vaskuler ringan dan sedang..
Efek samping kolinergik yang perlu diperhatikan adalah mual, muntah,
diare, bradikardi dan gangguan konduksi supraventrikuler. Terapi non-
farmakologis bertujuan untuk memaksimalkan/mempertahankan fungsi
kognisi yang masih ada.
2. Antidepresan yang dapat dipakai pada pasien demensia vaskuler antara
lain
a. Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors ( SSRI).
Golongan ini mempunyai tolerabilitas tinggi pada pasien lansia
karena tanpa efek antikolinergik dan kardiotoksik, efek hipotensi
ortostatik yang minimal
b. Golongan Reversible MAO-A Inhibitor (RIMA)
c. Golongan trisiklik. Tidak dianjurkan untuk lanjut usia karena efek
sampingnya ansietas dan agitasi. Sebagian pasien demensia vaskuler
dapat hipersensitif terhadap peristiwa sekitarnya.
15
3. Ansiolitik terutama benzodiazepin berguna terutama untuk terapi
jangka pendek ansietas yang tidak terlalu berat atau agitasi.
4. Neuroleptik diindikasikan pada agitasi yang berat, sama sekali tidak
dapat tidur, kegelisahan yang hebat, halusinasi atau delusi.
B. Terapi nonfarmakologik
Program harus dibuat secara individual mencakup intervensi terhadap pasien
sendiri, pengasuh dan lingkungan, sesuai dengan tahapan penyakit dan sarana
yang tersedia.
Intervensi terhadap pasien meliputi :
Program harian penderita
1. Kegiatan harian teratur dan sistematis, meliputilatihan fisik untuk
memacu aktivitas fisik dan otak yang baik (brain-gym).
2. Asupan gizi berimbang, cukup serat, mengandung antioksidan, mudah
dicerna, penyajian menarik dan praktis.
3. Mencegah/mengelola faktorrisiko yang dapat memperberat penyakit,
misalnya hipertensi, gangguan vaskuler, diabetes, dan merokok.
4. Melaksanakn hobi dan aktifitas sosial sesuai kemampuan.
5. Melaksanakan ”LUPA” (Latih, Ulang, Perhatikan, dan Asosiasi).
6. Tingkatkan aktivitas saat siang hari, tempatkan di ruangan yang
mendapatkan cahaya cukup.
Orietasi realitas
1. penderita diingatkan akan waktu dan tempat
2. beri tanda khusus untuk tempat-tempat tertentu, misalnya kamar mandi
3. pemberian stimulasi melalui latihanpermainan, misalnya permainan
monopoli, kartu, scrabble, mengisi teka-teki silang, sudoku, dan lain-
lain. Hal ini memberi manfaat yang baik pada predemensia (Mild
Cognitive Impairment).
Psikotetapi
16
BAB 2
LAPORAN KASUS
Seorang pasien laki-laki umur 58 tahun datang ke poliklinik saraf RSUP Dr.
M. Djamil Padang pada tanggal 21 Februari 2011, alloanamnesis dari istri
pasien, dengan;
Keluhan utama :
Pelupa .
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien pelupa, dimana pasien sering mengulang pembicaraan,
pertanyaan dan pekerjaan yang telah dilakukan sebelumnya, pasien
sering lupa letak benda-benda yang baru saja diletakkannya.
Pasien mengalami kesulitan berbicara namun pasien mengerti
pembicaraan orang lain, sejak 2 bulan yang lalu, namun sekarang
sudah berangsur pulih.
Pasien lebih banyak diam dan tidak ceria lagi seperti sebelum sakit.
Pasien sering ngompol di celana karena tidak bisa menahan
kencing..
Perubahan tingkah laku (-)
Anggota gerak kanan dirasakan masih lemah, pasien kontrol ulang
setelah dirawat di bangsal saraf sejak 2 bulan yang lalu dengan
stroke.
Pasien belum bisa berjalan dan menggunakan kursi roda.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien dirawat dengan stroke 2 bulan yang lalu, dirawat selama 17
hari dengan lemah anggota gerak kanan, pasien pulang dalam
keadaan belum bisa berjalan.
Riwayat menderita tekanan darah tinggi diketahui sejak 2 bulan
yang lalu, sebelumnya tidak diketahui, kontrol teratur.
17
Riwayat sakit jantung diketahui sejak 2 bulan yang lalu, sebelumnya
tidak diketahui, kontrol teratur.
Riwayat menderita hipertiroid sejak 3 tahun yang lalu, sedang
minum obat anti tiroid.
Riwayat sakit gula disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu pasien dan 2 orang saudara pasien menderita hipertensi dan
stroke.
Ibu pasien juga mengalalmi hal yang sama seperti pasien, sering
pelupa, bahkan ingin mati saja karena merasa sudah bosan dengan
penyakitnya.
Penyakit jantung dan sakit gula dalam keluarga tidak diketahui.
Riwayat Pekerjaan dan Sosio Ekonomi
Pasien seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Merokok 32 batang perhari selama ± 20 tahun, dan berhenti sejak 2
bulan ini.
Minum alkohol disangkal.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5)
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit, tidak teratur
Napas : 22x/menit
Suhu : 36,5 oC
Status Internus
Rambut : tidak mudah dicabut.
Kulit dan kuku : tidak ditemukan sianosis
KGB : tidak ditemukan pembesaran
Keadaan regional
Kepala : tidak ditemukan kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : tak ditemukan kelainan
18
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Leher : JVP 5-2 cmH2O
PARU
Inspeksi : simetris kiri=kanan
Palpasi : fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler N, ronkhi(-), wheezing(-)
JANTUNG
Inspeksi : ictus tidak terlihat
Palpasi : ictus teraba 1 jari lateral LCMS RIC VI
Perkusi : Kiri : 1 jari lateral LMCS RIC VI
Kanan : linea sternalis dextra
Atas : RIC II
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-)
ABDOMEN
Inspeksi : tak tampak membuncit
Palpasi : supel, hepar dan lien tak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) Normal
Status Neurologis
Kesadaran CMC, GCS 15 (E4 M6 V5)
1. Tanda Rangsangan Selaput Otak
Kaku kuduk : (-)
Brudzinski I : (-)
Brudzinski II : (-)
Tanda Kernig : (-)
2. Tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial
Pupil : Isokor, Ø 3mm/3 mm, Refleks cahaya +/+
Muntah proyektil (-)
sakit kepala progresif (-)
3. Pemeriksaan Nervus Kranialis
N.I (Olfaktorius)
19
Penciuman Kanan Kiri
Subjektif Baik Baik
Objektif (dengan bahan) Baik Baik
N.II (Optikus)
Penglihatan Kanan Kiri
Tajam Penglihatan Baik Baik
Lapangan Pandang Baik Baik
Melihat warna Baik Baik
Funduskopi Tidak diperiksa Tidak diperiksa
N.III (Okulomotorius)
Kanan Kiri
Bola Mata Bulat Bulat
Ptosis - -
Gerakan Bulbus Bebas ke segala arah
Strabismus - -
Nistagmus -
Ekso/Endopthalmus - -
Pupil
Bentuk Bulat, isokor Bulat, isokor
Refleks Cahaya (+) (+)
Refleks Akomodasi (+) (+)
Refleks Konvergensi (+) (+)
N.IV (Troklearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Baik Baik
Sikap bulbus Ortho Ortho
20
Diplopia (-) (-)
N.VI (Abdusens)
Kanan Kiri
Gerakanmata kemedial bawah Baik Baik
Sikap bulbus Ortho Ortho
Diplopia (-) (-)
N.V (Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik
Membuka mulut (+) (+)
Menggerakan rahang (+) (+)
Menggigit (+) (+)
Mengunyah (+) (+)
Sensorik
-Divisi Oftlamika
Refleks Kornea (+) (+)
Sensibilitas Baik (+)
-Divisi Maksila
Refleks Masseter (+) (+)
Sensibilitas Baik Baik
-Divisi Mandibula
Sensibilitas Baik Baik
N.VII (Fasialis)
Kanan Kiri
Raut wajah Plika nasolabialis kanan lebih datar
Sekresi air mata (+) (+)
Fisura palpebra Baik Baik
Menggerakan dahi Baik Baik
21
Menutup mata Baik Baik
Mencibir/bersiul (-)
Memperlihatkan gigi (-) Baik
Sensasi lidah 2/3 belakang Baik Baik
Hiperakusis (-) (-)
N.VIII (Vestibularis)
Kanan Kiri
Suara berbisik (+) (+)
Detik Arloji (+) (+)
Rinne test baik Baik
Webber test Tidak ada lateralisasi
Scwabach test
Memanjang -
Memendek
Nistagmus
Pendular (-) (-)
Vertical
Siklikal
Pengaruh posisi kepala (-) (-)
N.IX (Glosofaringeus)
Kanan Kiri
Sensasi Lidah 1/3 belakang baik Baik
Refleks muntah (gag refleks) (+) (+)
N.X (Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Simetris
Uvula Di tengah
22
Menelan Baik Baik
Artikulasi Kurang lancar
Suara Baik
Nadi Teratur
N.XI (Asesorius)
Kanan Kiri
Menoleh kekanan Baik
Menoleh kekiri Baik
Mengangkat bahu kanan Baik
Mengangkat bahu kiri Baik
N.XII (Hipoglosus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah dalam Deviasi ke kiri minimal
Kedudukan lidah dijulurkan Deviasi ke kanan minimal
Tremor (-) (-)
Fasikulasi (-) (-)
Atropi (-) (-)
Pemeriksaan Koordinasi
Cara Berjalan Sukar dinilai Disatria (+)
Romberg test Tidakterganggu Disgrafia (-)
Ataksia (-) Supinasi-Pronasi (+)
Rebound Phenomen (-) Tes Jari Hidung (+)
Tes Tumit Lutut (+) Tes Hidung Jari (+)
Pemeriksaan Fungsi Motorik
A. Badan Respirasi Teratur
23
Duduk Dapat dilakukan
B.Berdiri dan
berjalan
Gerakan spontan (-) (-)
Tremor (-) (-)
Atetosis (-) (-)
Mioklonik (-) (-)
Khorea (-) (-)
C.Ekstermitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Aktif aktif Aktif aktif
Kekuatan 444 555 333 555
Tropi Eutropi Eutropi Eutropi eutropi
Tonus Eutonus eutonus Eutonus eutonus
Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil Baik
Sensibilitas nyeri Baik
Sensibilitas termis Baik
Sensibilitas kortikal Baik
Stereognosis Baik
Pengenalan 2 titik Baik
Pengenalan rabaan Baik
Sistem Refleks
A. Fisiologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Kornea (+) (+) Biseps (++) (++)
Berbangkis Triseps (++) (++)
Laring KPR (++) (++)
Masseter APR (++) (++)
24
Dinding Perut Bulbokavernosa
Atas Creamaster
Tengah Sfingter
Bawah
B. Patologis Kanan Kiri Kanan Kiri
Lengan Tungkai
Hofmann Tromner (-) (-) Babinski (-) (-)
Chaddoks (-) (-)
Oppenheim (-) (-)
Gordon (-) (-)
Schaeffer (-) (-)
Klonus paha
Klonus kaki
Fungsi Otonom
Miksi : inkontinensia (+)
Defikasi : baik
Keringat : baik
Fungsi Luhur
Kesadaran Tanda Demensia
Reaksi bicara Baik Refleks glabela (+)
reaksi intelek Baik Refleks Snout (-)
Reaksi emosi baik Refleks Menghisap (+)
Refleks Memegang (-)
Refleks palmomental (+)
Mini Mental State Examination : Skor : 16
Kesan : gangguan kognitif definitif
Diagnosis Klinis : Demensia vaskuler
Diagnosis Topik : subkorteks serebri hemisfer sinistra
Diagnosis Etiologi : post stroke
25
Diagnosis Sekunder : -
Penatalaksanaan :
Aspilet 2x80 mg po
Donepezil 1x10 mg po
Amitriptilin 1x25 mg po
Neurodex 2x1 tab
Terapi yang dianjurkan untuk demensia:
Program harian penderita
1. Kegiatan harian teratur dan sistematis, meliputi latihan fisik untuk
memacu aktivitas fisik dan otak yang baik (brain-gym).
2. Asupan gizi berimbang, cukup serat, mengandung antioksidan, mudah
dicerna, penyajian menarik dan praktis.
3. Mencegah/mengelola faktorrisiko yang dapat memperberat penyakit,
misalnya hipertensi, gangguan vaskuler, diabetes, dan merokok.
4. Melaksanakn hobi dan aktifitas sosial sesuai kemampuan.
5. Melaksanakan ”LUPA” (Latih, Ulang, Perhatikan, dan Asosiasi).
6. Tingkatkan aktivitas saat siang hari, tempatkan di ruangan yang
mendapatkan cahaya cukup.
Orietasi realitas
1. penderita diingatkan akan waktu dan tempat
2. beri tanda khusus untuk tempat-tempat tertentu, misalnya kamar mandi
Psikotetapi
26
Contoh resep :
dr. Sef Zani Meria
SIP. 05 120 042
Praktek : Senin – Jumat (kecuali hari libur)
Jam Praktek : 17.00-20.00
Alamat Praktek : Jl. Marapalam Indah III no. 15
Padang, 26 Februari 2011
R/ Aspilet tab 80 mg No. XX
S2dd tab I §
R/ Donepezil tab 10 mg No. X
S1dd tab I §
R/ Amitriptilin tab 25 mg No. X
S1dd tab I §
R/Neurodex tab No. XX
S2dd tab I §
Pro : Tn. A
Umur : 58 tahun
27
Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (PKM)
Demensia merupakan penyakit saraf yang berhubungan dengan umur,
dimana penderitanya adalah orang-orang yang lanjut usia. Namun hal ini tidak
mutlak karena ada beberapa faktor yang menyebakan penderitanya dapat berumur
lebih muda, diantaranya adalah penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
kerusakan pembuluh darah otak misalnya stoke. Gejala demensia diantaranya;
mudah lupa apa yang telah dikerjakannya, lupa tempat dia meletakkan barang-
barang miliknya (memori jangka pendeknya terganggu), penderita tidak tahu lagi
hari, tanggal , bulan, tahun, dan tempat dia berada, kadang-kadang penderita dapat
mengalami perubahan psikis seperti depresi, tidak dapat lagi datang ke pengajian,
tidak dapat lagi mengatur keuangan, dan terganggu dalam pekerjaan.
Demensia dapat dicegah dengan pengendalian faktor-faktor risikonya
seperti mencegah jangan sampai terjadi stroke, agar tidak terjadi stroke maka
cegahlah faktor risiko stroke itu sendiri diantaranya; pengendalian tekanan darah
yang tinggi, pengendalian gula darah yang tinggi, pengendalain kadar kolesterol
yang tinggi. Hal ini tentunya butuh perhatian penderita untuk memeriksakan
dirinya sendiri secara berkala ke pusat–pusat pelayan kesehatan. Selain itu
menghindari rokok juga sangat penting untuk mrnghindari stroke karena hal ini
akan merusak pembuluh darah dan rokok dapat merubah kekentalan darah.
Demensia membuat hidup seseorang bergantung pada orang lain di hari
tuanya, untuk itu sangat penting pengertian dan perhatian keluarga terhadap
penderita demensia. Keluarga harus memahami perubahan perilaku dan tabiat
yang terjadi pada penderita demensia dan membantu untuk fisioterapi penderita.
28
Hal yang dapat dilakukan keluarga diantaranya mengtur program harian penderita
dan mengingatkan penderita.
Contoh program harian penderita diantaranya : Kegiatan harian teratur dan
sistematis, meliputi latihan fisik untuk memacu aktivitas fisik dan otak yang baik
(brain-gym)., menyediakan asupan gizi berimbang, cukup serat, mengandung
antioksidan, mudah dicerna, penyajian menarik dan praktis., mencegah/mengelola
faktor risiko yang dapat memperberat penyakit, misalnya hipertensi, gangguan
vaskuler, diabetes, dan merokok.
BAB 3
DISKUSI
Telah diperiksa seorang laki-laki berumur 58 tahun di poliklinik saraf RS
DR M Djamil Padang dengan diagnosis klinik demensia, diagnosis topik korteks
serebri hemisfer dextra, diagnosis etiologi post stroke.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Demensia ditegakkan berdasarkan anamnesis bahwa pasien berusia 58 tahun,
pasien mempunyai riwayat stroke yang merupakan penyebab demensia vaskular.
Pasien sering dan mudah lupa sejak 2 bulan ini pasien sering mengulang
pembicaraan, pertanyaan dan pekerjaan yang telah dilakukan sebelumnya. Ada
perubahan suasana hati namun tidak didapatkan perubahan prilaku.
Dari pemeriksaan fisik, ditemukan refleks glabela, hisap dan palmomental
yang menunjukkan adanya regresi, serta gangguan kognitif definitif melalui
pemeriksaan mini mental state examination (MMSE) dengan skor 16.
Pada kasus ini, demensia kemungkinan disebabkan oleh proses degenerasi
otak dan hipertensi yang merupakan faktor-faktor risiko demensia karena
menimbulkan kerusakan pada pembuluh darah otak. Setelah pasien mengalami
stroke, tidak menutup kemungkinan bahwa gejala yang dialami, menjadi
bertambah berat, sesuai dengan teori bahwa demensia berhubungan dengan infark
pembuluh darah otak.
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan anti kolinesterase (donrpezil
1x10 mg), anti agregasi trombosit (aspilet 2x80 mg po), dimana agregasi
29
trombosit juga merupakan agent modifying disease pada demensia, antidepressan
(amitriptilin 1x25 mg po) karena penderita mulai tampak depresi dan neurodex
2x1 tablet. Penatalaksanaan non farmakologis pada penderita demensia antara
lain program aktivitas harian penderita ( kegiatan harian yang teratur dan
sistematis, misalnya aktivitas fisik yang baik, melaksanakan “ LUPA” ( latih,
ulang, perhatikan, dan asosiasi ), serta orientasi realitas ( penderita diingatkan
akan waktu dan tempat, beri tanda khusus untuk suatu tempat tertentu).
DAFTAR PUSTAKA
1. Dikot Y, Ong PA, 2007. Diagnosis dini dan penatalaksanaan demensia. Jakarta:
PERDOSSI.
2 Mardjono M, Sidharta P, 2004. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat,
hal 211-214
3. Herbert R et al, Incidence and Risk Factors in the Canadian Study of Health
and Aging. American Heart Association, 2000; 3: 1487-933.
4.Geldmacher D, Whitehouse P, Evaluation of Dementia. The New England
Journal of Medicine. 1996; (8);330-364.
5. Taternichi TK, Desmond DW, Mayeux R, et al. Dementia after stroke: baseline
frequency, risks, and clinical features in hospitalized cohort. Neurology.1992;
42(6): 1185-936.
6. Rocca WA, Hoffman Apendiks, Brayne C, et.al. The prevalence of vascular
dementia in Europe: facts and fragments from 1980-1990 studies. EURODEM-
Prevalence Research Group. Ann Neurol. 1991; 30(6): 817-247.
7. DeCarli C, Reed T, Miller BL, et.al.Impact of Apolipprotein E 4 and Vascular
Disease om Brain Morphology in Men from the NHLBI Twin Study. American
Heart Association 1999; (5):1548-538.
8. Beilby JP, Hunt OCJ, et.al. Apolipoprotein E Gene Polymorphism are
associated with Carotid Plaque Formation but not With Intima-media Wall
Thickening. American Heart Association. 2003;(10):869-739.
30