case dhf

86
STATUS PASIEN LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL Nama Mahasiswa : Irina Aulianisa Dokter Pembimbing : dr.Herry Susanto, Sp.A NIM : 030.09.122 Tanda tangan : I. IDENTITAS PASIEN DATA PASIEN AYAH IBU Nama An. B (Alm) Tn. S Ny. S Umur 6 tahun - 46 tahun Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan Alamat Sumur panggang, 05/01, Margadana, Tegal Agama Islam Islam Islam Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa Pendidikan SD - Tamat SMA Pekerjaan - - Ibu rumah tangga Penghasilan - - Rp 5.000.000,- Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung Asuransi Umum No. RM 790015 1

Upload: fardhian-zaenal

Post on 11-Jan-2016

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Laporan kasus Demam berdarah dengue

TRANSCRIPT

Page 1: Case DHF

STATUS PASIEN LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL

Nama Mahasiswa : Irina Aulianisa Dokter Pembimbing : dr.Herry Susanto, Sp.A

NIM : 030.09.122 Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN

DATA PASIEN AYAH IBU

Nama An. B (Alm) Tn. S Ny. S

Umur 6 tahun - 46 tahun

Jenis Kelamin Laki-laki Laki-laki Perempuan

Alamat Sumur panggang, 05/01, Margadana, Tegal

Agama Islam Islam Islam

Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa

Pendidikan SD - Tamat SMA

Pekerjaan - - Ibu rumah tangga

Penghasilan - - Rp 5.000.000,-

Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung

Asuransi Umum

No. RM 790015

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada

hari Senin, 13 Juli 2015, pukul 09.00 WIB, di bangsal WK atas.

a. Keluhan Utama

Demam

b. Keluhan Tambahan

Batuk, nyeri sendi, nyeri perut, nafsu makan menurun, dan perut membesar.

1

Page 2: Case DHF

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan rujukan dari Puskesmas Margadana ke IGD RSUD

Kardinah Tegal dengan keluhan demam sejak 1 minggu SMRS. Demam dirasakan

mendadak, naik turun, mulai meningkat suhunya saat menjelang maghrib. Keluhan

lain yang menyertai adalah bintik-bintik merah pada perut, tangan dan kaki. Pasien

juga merasakan perut membesar dan nyeri perut, yang dirasakan 1 hari SMRS, juga

ada nyeri sendi, batuk, dan nafsu makan yang menurun. Mual, muntah, pilek,

mimisan, gusi berdarah, riwayat berpergian ke suatu daerah endemis malaria

disangkal oleh ibu pasien.

7 hari SMRS pada pagi hari, pasien mengalami demam yang tinggi dan tidak

naik turun, disertai dengan batuk. Sorenya pasien dibawa oleh ibu pasien ke

Puskesmas Margadana untuk diberobat. Keesokannya pada pagi hari karena ibu

pasien merasa pasien tidak membaik, dibawa ke mantri untuk berobat lagi. Sorenya

karena dirasakan tidak membaik juga, maka dibawa lagi ke Puskesmas Margadana,

dan dilakukan cek laboratorium, lalu dikatakan harus dirawat di Puskesmas

Margadana. Setelah dirawat pasien demamnya masih ada dan naik turun, batuk

masih ada, dan timbul bintik-bintik merah di tangan, kaki, dan perut pada hari

perawatan ke 3. Pada hari perawatan ke 4 didapatkan perut pasien membesar dan

nyeri perut, karena hal tersebut Puskesmas Margadana merujuk pasien ke RSU

Kardinah, Tegal.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien baru pertama kali mengalami hal seperti ini. Riwayat demam berdarah

sebelumnya disangkal. Tidak ada riwayat alergi obat atau makanan sebelumnya,

tidak ada riwayat operasi, riwayat trauma. Riwayat penyakit lain, seperti asma,

riwayat kejang, kurang darah, penyakit jantung, penyakit paru, dan sebagainya

disangkal.

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga di rumah yang mengalami hal yang sama seperti

pasien. Tidak ada anggota keluarga yang memiliki alergi pada obat-obatan atau

makanan tertentu. Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat asma ataupun

alergi tertentu.

f. Riwayat Lingkungan Perumahan

Kepemilikan rumah yaitu rumah kontrakan. Rumah berukuran 8 x 12 m,

beratap genteng, berlantai semen, dan berdinding tembok. Dasar atap terpasang

2

Page 3: Case DHF

plafon. Kamar tidur berjumlah 2, kamar mandi berjumlah 1, terdapat dapur dan tidak

terdapat ruang keluarga. Penerangan rumah bersumber listrik dan dan air minum dari

air sumur. Jarak septic tank dengan rumah sekitar 10 meter. Limbah rumah tangga

tersalur di selokan di dalam rumah dengan aliran lancar. Selokan dibersihkan

sebulan sekali. Cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah, lampu tidak

dinyalakan pada siang hari. Jika jendela dibuka maka udara dalam rumah tidak

pengap. Lingkungan rumah tidak terdapat banyak pot tanaman pada tiap-tiap rumah.

Ibu pasien mengatakan kalau ada anak tetangganya yang sempat dirawat karena

demam berdarah.

Kesan: Keadaan lingkungan rumah padat namun sanitasi, ventilasi dan

pencahayaan baik. Kemungkinan terdapat genangan air bersih sebagai tempat

penyarangan nyamuk Aedes Aegypty belum dapat disingkirkan

g. Riwayat Sosial Ekonomi

Ayah pasien sudah meninggal sejak 3 tahun yang lalu. Ibu pasien bekerja

sebagai ibu rumah tangga dan pedagang dengan penghasilan perbulan rata-rata

kurang lebih Rp2.000.000,- per bulan. Ibu pasien juga mendapatkan tambahan dari

kakak-kakak pasien yang sudah berpenghasilan kurang lebih Rp3.000.000. Ibu

pasien menanggung 2 orang anak, kakak pasien dan pasien.

Kesan: Riwayat sosial ekonomi cukup.

h. Riwayat Kehamilan dan Pemeriksaan Prenatal

Ibu memeriksakan kehamilannya secara teratur di bidan sebulan sekali. Lalu di

pada trimester akhir ibu memeriksakan kehamilan ke dokter SpOG. Mendapatkan

suntikan TT 2x. Tidak pernah menderita penyakit selama kehamilan, riwayat

perdarahan selama kehamilan disangkal, riwayat trauma selama kehamilan

disangkal, riwayat demam selama kehamilan disangkal.

Kesan: Riwayat pemeliharaan prenatal baik.

i. Riwayat Persalinan

Tempat kelahiran : RSU Kardinah

Penolong persalinan : Dokter Sp.OG

Cara persalinan : Sectio caesarea a/i letak sungsang

Masa gestasi : 38 minggu G4P3A0

Air ketuban : Ibu tidak tahu

Berat badan lahir : 3300 gram

Panjang badan lahir : 47 cm

3

Page 4: Case DHF

Lingkar kepala : Ibu lupa

Langsung menangis : Ya

Nilai APGAR : Ibu tidak tahu

Kelainan bawaan : Tidak ada

Penyulit/ komplikasi : Tidak ada

Kesan: Neonatus aterm, lahir SC, bayi dalam keadaan sehat.

j. Riwayat Pemeliharaan Postnatal

Pemeliharaan setelah kehamilan dilakukan di bidan dan anak dalam keadaan

sehat.

Kesan: Riwayat pemeliharaan postnatal baik.

k. Corak Reproduksi Ibu

Ibu P4A0, anak pertama laki-laki saat ini berusia 27 tahun lahir spontan, anak

kedua laki-laki berusia 23 tahun lahir spontan, anak ketiga perempuan berusia 16

tahun lahir spontan, dan anak keempat (pasien) laki-laki berusia 6 tahun lahir SC.

l. Riwayat Keluarga Berencana

Ibu pasien mengaku saat ini tidak menggunakan KB.

m. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Pertumbuhan

o Berat badan lahir 3300 gram, panjang badan lahir 47 cm.

o Berat badan sekarang 19 kg, tinggi badan sekarang 108 cm.

Perkembangan

o Senyum : Ibu lupa

o Tengkurap : Ibu lupa

o Mengangkat kepala : Ibu lupa

o Duduk : 6 bulan

o Merangkak : 8 bulan

o Berdiri : 10 bulan

o Berjalan : 10 bulan

o Berlari : 1,5 tahun

Kesan: Usia anak saat ini 6 tahun. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak tidak

terlambat dan sesuai dengan usia.

4

Page 5: Case DHF

n. Riwayat Makan dan Minum Anak

Ibu memberikan anak ASI eksklusif sampai usia kurang lebih 6 bulan. Usia

lebih dari 6 bulan pasien mulai diberikan susu formula dan makanan pendamping

seperti bubur bayi. Saat usia 2 tahun pasien mulai diberi makanan lunak berupa nasi

yang dilunakkan serta lauk tempe, tahu, dan telur. Usia 3 tahun pasien mulai diberi

makanan padat seperti nasi dan lauk pauknya. Pasien makan 3 x sehari, lauk yang

dikonsumsi seperti tahu, tempe, sayur sop, telur, ikan dan ayam. Pasien tidak

dibiasakan jajan sembarangan dan makan mie instan oleh ibunya.

Kesan : Kualitas makanan baik dan kuantitasnya cukup baik.

o. Riwayat Imunisasi

VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)

BCG Saat lahir - - - - -

DPT 2 bln 4 bln 6 bln - - -

POLIO Saat lahir 2 bln 4 bln - - -

CAMPAK 9 bln 1 thn - - - -

HEPATITIS B Saat lahir 1 bln 6 bln - - -

Kesan: Imunisasi dasar lengkap sesuai umur

p. Silsilah/Ikhtisar Keturunan

Keterangan: Laki-laki Perempuan Pasien

5

Page 6: Case DHF

III. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Senin, tanggal 13 Juli 2015, pukul 09.30

WIB, di bangsal WK atas.

a. Kesan Umum

Kesadaran compos mentis, tampak sakit ringan. Tampak sedikit ptekie pada tangan

dan kakinya.

b. Tanda Vital

Tekanan darah : 100/60 mmHg

Nadi : 88x/menit, reguler, isi dan ketegangan cukup

Laju nafas : 24x/menit

Suhu : 36,60 C (aksila)

c. Data Antropometri

Berat badan sekarang : 20 kg

Panjang badan sekarang : 115 cm

Lingkar kepala : 52 cm

d. Status Generalis

Kepala: Mesosefali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.

Rambut: Hitam, jarang, tampak terdistribusi merata, tidak mudah dicabut.

Mata: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-), mata

cekung (-/-), lakrimasi (-/-).

Hidung: Bentuk normal, simetris

Telinga: Bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-).

Mulut: Bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-), mukosa hiperemis -/-,

lidah normoglossia.

Tenggorok: Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-), detritus (-),

granulasi (-).

Leher: Simetris, pembesaran KGB (-).

Axilla: Pembesaran KGB (-).

Thorax: Dinding thorax normothorax dan simetris.

Pulmo:

Inspeksi: Pergerakan dinding toraks kiri-kanan simetris, retraksi (-).

6

Page 7: Case DHF

Palpasi: Tidak ada hemitoraks yang tertinggal, vokal fremitus simetris

sama kuat.

Perkusi: Sonor pada kedua hemitoraks.

Auskultasi: Suara napas vesikuler menurun pada basal paru kanan, ronki

(-/-), wheezing (-/-).

Cor:

Inspeksi: Iktus kordis tidak tampak.

Palpasi: Iktus kordis teraba di ICS IV midklavikula sinistra.

Perkusi: Tidak dilakukan pemeriksaan

Auskultasi: Bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen:

Inspeksi: Datar dan simetris.

Auskultasi: Bising usus (+) normal.

Palpasi: Supel, turgor kembali <2 detik, nyeri tekan (-), hepar teraba

membesar 2 jari dibawah arcus costae dextra dengan tepi rata dan

konsistensi kenyal, dan lien tidak teraba

Perkusi: Timpani di keempat kuadran abdomen.

Inguinal: Pembesaran KGB (-).

Genitalia: tidak dilakukan pemeriksaan

Anorektal: Tidak dilakukan pemeriksaan.

Kulit: warna kulit sawo matang. Terdapat sedikit ptekie di perut, tangan, dan

kaki.

Ekstremitas:

Superior Inferior

Akral Dingin -/- -/-

Akral Sianosis -/- -/-

CRT <2” <2”

Oedem -/- -/-

Tonus Otot Normotonus Normotonus

Trofi Otot Normotrofi Normotrofi

7

Page 8: Case DHF

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Laboratorium 9 Juli 2015 dari Puskesmas Margadana

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Leukosit 4.3 10^3/ul 4,5 – 13,5

Eritrosit 5.24 10^6/uL 3,8 – 5,8

Hemoglobin 11.7 g/dL 10,8 – 15,6

Hematokrit 42.1 % 35 – 45

Trombosit 20 (↓) Ribu/mm3 200-500

Hasil Laboratorium 10 Juli 2015 dari Puskesmas Margadana

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Hemoglobin 12 g/dL 10,8 – 15,6

Hematokrit 38.1 % 35 – 45

Trombosit 42 (↓) Ribu/mm3 200-500

Hasil Laboratorium 11 Juli 2015 di IGD RSU Kardinah

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

CBC + Diff

Leukosit 12.2 10^3/ul 4,5 – 13,5

Eritrosit 5.1 10^6/uL 3,8 – 5,8

Hemoglobin 11.8 g/dL 10,8 – 15,6

Hematokrit 35.1 % 35 – 45

RDW 14.8 % 11,5 – 14,5

MCV 69.1 (↓) U 80 – 96

8

Page 9: Case DHF

MCH 23.2 (↓) Pcg 28 – 33

MCHC 33.6 g/dL 33 – 36

Trombosit 60 (↓) 10^3/ul 150 – 521

Netrofil 35.5 (↓) 50-70

Limfosit 49.2 (↑) 25-40

Monosit 10.2 (↑) 2-8

Eosinofil 4 2-4

Basofil 1.3 (↑) 0-1

SEROIMUNOLOGI

Widal

St-O Negatif Negatif

St-H Negatif Negatif

S pt-AH Negatif Negatif

V. PEMERIKSAAN KHUSUS

Pemeriksaan Status Gizi

Data Antropometri Pemeriksaan Status Gizi

Anak laki-laki usia 6 tahun

Berat badan 20 kg

Tinggi badan 115 cm

Pertumbuhan persentil anak menurut CDC

adalah sebagai berikut:

BB/U= 20/21 x 100% = 95 % (Gizi normal

menurut berat badan per umur)

TB/U = 115/115 x 100% = 100% (Gizi

normal menurut tinggi badan per umur)

BB/TB = 20/21 x 100% = 95 % (Gizi baik)

Kesan: Anak laki-laki 6 tahun, status gizi baik.

9

Page 10: Case DHF

Pemeriksaan Lingkar Kepala (Kurva Nellhaus)

Lingkar kepala sekarang: 52 cm

Kesan: Lingkar kepala 52 cm pada anak laki-laki 6 tahun, mesosefali

10

Page 11: Case DHF

VI. DAFTAR MASALAH

Demam

Batuk

Nafsu makan menurun

Perut membesar

Nyeri perut

Nyeri sendi

VII. DIAGNOSIS BANDING

Observasi febris :

DHF

Tifoid

Malaria

Chikungunya

Infeksi saluran kemih

11

Page 12: Case DHF

Status Gizi :

Status gizi baik

Status gizi lebih

Status gizi kurang

VIII. DIAGNOSIS KERJA

Demam berdarah dengue grade I dan status gizi baik

IX. PENATALAKSANAAN

a. Medikamentosa

IVFD RL 16 tpm

Inj. Amoxan 3 x 500 mg (IV) (?)

Inj. Vit C 2 x 100 mg (IV)

Paracetamol syrup 3 x cth II

Psidii syrup 3 x cth I

b. Nonmedikamentosa

Rawat inap

Pantau KU dan TV

Edukasi mengenai penyakit dan pengobatan pasien ke ortu

X. PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

XI. SARAN PEMERIKSAAN

- IgM anti salomonela

- SADT

XII. PERJALANAN PENYAKIT

11 Juli 2015 (IGD)

Hari Perawatan ke-0 – pkl. 09.16

11 Juli 2015 (PWK atas)

Hari Perawatan ke-0 – pkl. 13.00

S Pasien dirujuk dari puskesmas S Demam (-), sakit perut (+), batuk (+),

12

Page 13: Case DHF

margadana dengan demam (+) 7 hari

SMRS, batuk (+), nyeri sendi (+),

penurunan nafsu makan (+), nyeri

perut (+) dan perut yang membesar.

pilek (-), nyeri sendi (+), penurunan

nafsu makan (+), mual (-), muntah (-),

mimisan (-), BAB (+), BAK (+)

O KU: lemas, tampak sakit sedang

Kesadaran: CM (E4 M6 V5)

TTV: TD: 80/60, HR 102x/m, RR

24x/m, S 37.80 C

Kepala: Mesosefali, UUB menutup

Mata: CA (-/-), SI (-/-),

Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-),

BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)

Abdomen: supel, BU (+), NT (+) di

epigastrium, hepar teraba membesar 2

jari dibawah arcus costae dextra

dengan tepi rata dan konsistensi

kenyal, lien tidak teraba

Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-)

Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE (-/-)

O KU: tampak sakit sedang

Kesadaran: CM (E4 M6 V5)

TTV: TD : tidak dilakukan, HR

102x/m, RR 40x/m, S :36,3 0 C

Kepala: Mesosefali, UUB menutup

Mata: CA (-/-), SI (-/-)

Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-),

BJ 1-2 reguler, m (-), g (-)

Abdomen: Supel, BU (+), NT (+) di

epigastrium, hepar teraba membesar 2

jari dibawah arcus costae dextra

dengan tepi rata dan konsistensi

kenyal, lien tidak teraba

Ekstremitas atas: AD (+/+), OE (-/-)

Ekstremitas bawah: AD (+/+), OE (-/-)

Sedikit ptekiae di tangan, kaki dan

perut

A DBD grade I A DBD grade I

P Rawat inap

IVFD RL 16 tpm

Inj. Amoxan 3 x 500 mg (IV) (?)

Inj. Vit C 2 x 100 mg (IV)

Paracetamol syrup 3 x cth II

Psidii syrup 3 x cth I

Pantau KU dan TV

P IVFD RL 20 tpm

Inj. Amoxan 3 x 500 mg (IV) (?)

Inj Vit C 2 x 100 mg (IV)

Paracetamol syrup 3 x 1 ½ cth

Imunos 2 x 1 cth

Psidii syrup 3 x 1 cth

12 Juli 2015 (PWK Atas)

Hari Perawatan ke-1

13 Juli 2015 (PWK atas)

Hari Perawatan ke-2

S Demam (-), sakit perut (-), batuk (+), S Demam (-), nyeri perut (-), nafsu

13

Page 14: Case DHF

nyeri sendi (+) ↓, nafsu makan mulai

meningkat

makan (+), batuk (+), BAB dan BAK

normal

O KU: Tampak Sakit Sedang

Kesadaran: CM (E4M6V5)

TTV: TD tidak dilakukan, HR 88x/m,

RR 24x/m, S 36,6°C

Kepala: Mesosefali, UUB menutup

Mata: CA (-/-), SI (-/-)

Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ

1-2 normal reguler, m (-), g (-), s(-)

Abdomen: Supel, BU (+), NT (-) di

epigastrium, hepar teraba membesar 2

jari dibawah arcus costae dextra dengan

tepi rata dan konsistensi kenyal, lien

tidak teraba

Ekstremitas atas: AD (-/-), OE (-/-)

Ekstremitas bawah: AD (-/-), OE (-/-)

Sedikit ptekie pada tangan, kaki dan

perut.

CRT < 2 detik

O KU: Tampak sakit sedang

Kesadaran: compos mentis

TTV: TD: tidak dilakukan, HR 97x/m,

RR 24 x/m, S 36,5 0C

Kepala: Mesosefali, UUB menutup

Mata: CA (-/-), SI (-/-)

Toraks: SNV (+/+), rh (-/-), wh (-/-), BJ

1-2 normal reguler, m (-), g (-), s(-)

Abdomen: Supel, BU (+), NT (-) di

epigastrium, hepar teraba membesar 2

jari dibawah arcus costae dextra dengan

tepi rata dan konsistensi kenyal, lien

tidak teraba

Ekstremitas atas: AD (-/-), OE (-/-)

Ekstremitas bawah: AD (-/-), OE (-/-)

Sedikit ptekie pada tangan, kaki, dan

perut.

CRT < 2 detik

A DBD perbaikan A DBD perbaikan

P Terapi lanjut P Acc pulang

14

Page 15: Case DHF

ANALISIS KASUS

Masalah Interpretasi

- OS mengalami demam mendadak, tinggi,

dan terus menurut pada 7 hari SMRS.

Demam dirasakan mulai meningkat bila

menjelang maghrib.

- OS juga mengalami batuk, nyeri sendi dan

penurunan nafsu makan

- 3 hari SMRS pasien mulai timbul bintik-

bntik merah di tangan, kaki dan perut

- 1 hari SMRS pasien merasakan adanya

nyeri perut dan terlihat membesar.

- NT (+) di epigastrium, hepar teraba

membesar 2 jari dibawah arcus costae

dextra dengan tepi rata dan konsistensi

kenyal, lien tidak teraba

- Sedikit ptekie pada tangan, kaki dan perut

- Trombosit : 20.000 → 40.000 → 60.000

()

- Hemokonsentrasi : 42,1 %

Pada kasus ini ditegakan diagnosis DBD

karena sudah memenuhi kriteria

penegakan diagnosis DBD yang dibuat

oleh WHO. Kriteria klinis yaitu demam

tinggi, tanda perdarahan, hepatomegali.

Kriteria klinis yang ada pada kasus ini

adalah demam selama 2-7 hari yang

muncul mendadak dan terus menerus

merupakan gejala klinis dari DBD.

Dimana fase kritis pada DBD dapat terjadi

pada hari ketiga hingga kelima, ditandai

dengan hilangnya demam tersebut. Nyeri

sendi dan adanya penurunan nafsu makan

merupakan gejala prodormal dari DBD

yang diakibatkan karena adanya suatu

reaksi inflamasi. Batuk pada kasus ini

diakibatkan karena adanya plasma leakage

yang terdapat pada parenkim paru.

Pada kasus ini bintik-bintik merah (ptekie)

merupakan suatu manifestasi akibat

pecahnya pembuluh kapiler. Terdapat 3

faktor yang menentukan intaknya

pembuluh darah yaitu faktor trombosit,

faktor koagulasi, dan faktor pembuluh

darah. Pada kasus ini yang terganggu

adalah faktor trombosit dan faktor

pembuluh darah.

Adanya nyeri perut dan tampak perut

membesar diakibatkan adanya

hepatomegali.

15

Page 16: Case DHF

Trombositopenia dan gangguan fungsi

trombosit dianggap sebagai penyebab

utama terjadinya perdarahan pada demam

berdarah dengue. Hepatomegali pada

pasien DBD terjadi akibat kerja

berlebihan hepar untuk mendestruksi

trombosit dan untuk menghasilkan

albumin. Selain itu, sel-sel hepar terutama

sel Kupffer mengalami banyak kerusakan

akibat infeksi virus dengue.

Hemokonsentrasi diakibatkan adanya

peningkatan permeabilitas kapiler dan

perembesan plasma (plasma leakage).

16

Page 17: Case DHF

TINJAUAN PUSTAKA

INFEKSI VIRUS DENGUE

DEFINISI

Infeksi virus dengue pada manusia merupakan suatu spektrum manifestasi klinis yang

bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam

dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah dengue disertai syok

(dengue shock syndrome/DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini

memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di

RS sebagai puncak gunung

EPIDEMIOLOGI

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh

David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue

menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts)

kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena

demam yang terjadimenghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot,

dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan

penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952 infeksi

virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang

ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke negara lain seperti Thailand,

Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya

dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi

peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk

yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol

vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi.

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status

imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi)

17

Page 18: Case DHF

virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan

virus dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah

penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di

seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa.

Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar

antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh

iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang

tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia,

karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya

penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue

terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar

bulan April-Mei setiap tahun.

ETIOLOGI

Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50 nm dan

mengandung RNA rantai tunggal. jHingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu DEN-1,

DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus

Stegomya. Aedes aegypty merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies

lainnya seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan

epidemi yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.

18

Page 19: Case DHF

PATOGENESIS

Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan

plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit

dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam dengue dan

demam berdarah dengue.

Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. Beberapa teori dan hipotesis yang

dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :

1. Teori virulensi virus

19

Gambar 1 Profil Nyamuk Aedes jika dibandingkan dengan culex

Page 20: Case DHF

2. Teori imunopatologi

3. Teori antigen antibodi

4. Teori infection enchancing antibody

5. Teori mediator

6. Teori endotoksi

7. Teori limfosit

8. Teori trombosit endotel

9. Trombosit apoptosis

Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing antibody dan

teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami.

Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda dapat

memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya berlaku

pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada anak dibawah 1

tahun ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig G anti dengue

dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan sel T memori

berperan penting dalam patofisiologi DBD.

20

Page 21: Case DHF

Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory

Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Belaiau mengajukan dasar imunopatologi

DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama perjalanan infeksi

sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear yang terinfeksi virus

dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan studi in vitro, teorui ini saat ini dikenal sebagai

”antibody dependent enhancement” (ADE) yang dianut untuk menjelaskan patogenesis

DBD/DSS. Hipotesisi ini juga mendukung bahwa pasien yang menderita infeksi sekunder

dengan serotipe virus dengue heterolog memiliki risiko lebih tinggi mengalami DBD dan

DSS.

Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN akan masuk

dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :

- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc dan

masuk dalam monosit

- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan sumsum

tulang (terjadi viremia).

- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai sistem

humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen), sitokin dan

tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi faktor

koagulasi.

Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:

- Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)

- Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing antibody).

Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan kompleks

imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari

bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih berat. Penelitian in

vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan dengue ditambahkan dalam

monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus

tetap hidup dan berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah monosit

terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.

21

Page 22: Case DHF

Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup respon imun

meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999) menjelaskan bahwa

kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek

sinergistik dari IFN-γ, TNF-α dan protein kompleman teraktivasi pada sel endotelial di

seluruh tubuh.

Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus membentuk

kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc monosit (makrofag).

Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen MHC memicu limfosit T

(CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-γ) yang mengaktivasi sel lain

termasuk makrofag sehingga terjadi up-regulation pada reseptor Fc dan ekspresi MHC.

Rangkaian reaksi ini memicu imunopatologi sehingga faktor lain seperti aktivasi komplemen,

aktivasi platelet, produksi sitokin (TNFα, IL-1,IL-6) akan menyebabkan eksaserbasi kaskade

inflamasi.

22

Page 23: Case DHF

PERJALANAN PENYAKIT

Virus dengue menyebabkan infeksi simtomatik maupun yang simtomatik. Bentuk infeksi

yang simtomatik memiliki spektrum klinis yang luas, baik yang parah atau tidak parah.

Setelah periode inkubasi, progresivitas penyakit akan mulai dengan mendadak, diikuti dengan

tiga fase berikut – demam (febrile), kritis, dan penyembuhan (recovery). Meskipun

perkembangan penyakit ini sangat kompleks dalam hal manifestasi klinis-nya,

penatalaksanaannya relatif sederhana, tidak mahal, dan sangat berguna dalam penyelamatan

hidup, selama intervensi yang dilakukan cepat dan tepat. Kunci menuju prognosis yang baik

23

Page 24: Case DHF

ialah pemahaman dan waspada akan masalah klinis yang muncul selama fase yang berbeda.

Manajemen yang baik pada lini pertama pelayanan kesehatan diharapkan dapat menurunkan

angka lama rawat inap di rumah sakit rujukan, serta dapat menyelamatkan hidup pasien

dengan infeksi virus dengue. Berikut merupakan fase infeksi virus dengue:

1. Fase febris

Secara khas, individu akan mengalami demam tinggi yang mendadak selama 2 – 7

hari dan sering disertai dengan kemerahan pada wajah, eritema kulit, nyeri pada badan

yang sifatnya umum, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbita, fotofobia, eksantem yang

mirip dengan rubella, serta nyeri kepala. Beberapa pasien menunjukkan manifestasi

berupa nyeri tenggorok, kemerahan pada faring, injeksi konjungtiva. Anoreksia, mual,

dan muntah lazim dijumpai. Sulit untuk membedakan secara klinis penyakit dengue

dengan non-dengue saat-saat awal demam, namun hasil tes torniquet yang positif

lebih mengindikasikan ke arah dengue. Bagaimana pun juga manifestasi klinis yang

ditunjukkan tidak menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Maka dari itu sangat

penting untuk mengawasi tanda-tanda bahaya dan parameter klinis yang lain dalam

rangka memahami proses ke arah fase kritis.

Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa dapat

dijumpai. Memar dan perdarahan yang mudah terjadi (spontan) pada lokasi injeksi

vena juga ditemui pada beberapa kasus. Perdarahan gastrointestinal juga terjadi pada

fase ini meskipun tidak lazim. Hepar dapat membesar dan kenyal setelah beberapa

hari demam. Prediksi yang tepat pada pemeriksaan hitung darah lengkap yaitu

menurunnya kadar leukosit darah yang progresif. Selain itu, pasien akan menunjukkan

kehilangan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari, seperti masuk sekolah, belajar,

bermain, maupun berinteraksi sosial.

2. Fase Kritis

Selama transisi dari fase febris ke fase yang non-febris, pasien tanpa adanya

peningkatan permeabiltas kapiler akan membaik tanpa mengalami fase kritis ini. Jika

tidak, disertai dengan demam tinggi, pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler,

dapat memunculkan manifestasi dengan tanda bahaya, kebanyakan merupakan akibat

dari kebocoran plasma.

Tanda-tanda bahaya (warning signs) merupakan pertanda mulainya fase kritis.

Keadaan umum menjadi lebih buruk dengan teperatur turun menjadi 37.5 – 38 C atau

kurang dan tetap dibawah, biasanya terjadi pada hari 3 – 8. Leukopenia progresif

24

Page 25: Case DHF

diikuti dengan penurunan trombosit biasanya mendahului kebocoran plasma.

Peningkatan hematokrit diatas nilai normal dapat menjadi tanda tambahan. Periode

kebocoran plasma secara klinis biasanya terjadi dalam 24 – 48 jam. Tingkat

kebocoran sangat bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan pada

tekanan darah dan volume nadi.

Derajat hemokonsentrasi diatas normal ini mencerminkan keparahan akan kebocoran

plasma; bagaimana pun hal ini dapat diturunkan dengan terapi cairan intravena secara

dini. Efusi pleura dan asites biasanya secara klinis dapat dideteksi seteah terapi cairan

intravena, kecuali pada kebocoran plasma yang berat. Foto toraks posisi lateral

dekubitus atau USG yang memperlihatkan air fluid level pada toraks dan abdomen,

maupun edema pada dinding vesika fellea dapat menjadi deteksi dini. Disamping

kebocoran plasma, manifestasi perdarahan seperti mudah memar, dan hematom pada

daerah injeksi juga sering terjadi.

Jika syok terjadi akibat volume kritis plasma ikut hilang lewat kebocoran, maka

sering didahului dengan tanda bahaya. Suhu tubuh menjadi subnormal ketika syok

terjadi. Jika terjadi syok berkepanjangan (prolonged shock), hipoperfusi akan

mengakibatkan asidosis metabolik, kegagalan fungsi organ, dan DIC (disseminated

Intravascular Coagulation). Hal ini kemudian akan menyebabkan perdarahan berat,

yang mengakibatkan hematokrit turun (pada syok yang berat). Leukosit dapat

meningkat sebagai tanda stres adanya perdarahan berat.

Tanda bahaya. Tanda bahaya mendahului manifestasi syok dan muncul setelah fase

demam, biasanya pada hari 3 – 7. Muntah persisten dan nyeri perut berat adalah

indikasi dini dari kebocoran plasma dan terus memburuk ketika memasuki keadaan

syok. Pasien akan menjadi letargi, lemah, pusing, dan mengalami hipotensi postural

selama keadaan syok. Perdarahan spontan pada membran mukosa atau pada daerah

suntikan menjadi gejala yang penting. Hepar yang membesar dan kenyal biasanya

dijumpai. Bagaimanapun akumulasi cairan dapat dideteksi jika kehilangan plasma

signifikan atau setelah penanganan dengan cairan intravena. Penurunan yang cepat

dan progresif pada hitung trombosit hingga 100.000 sel/mm kubik dan peningkatan

hematokrit diatas normal mungkin menjadi tanda paling awal dari kebocoran plasma.

Hal ini biasanya mendahului kejadian leukopenia (≤5000 sel/mm kubik).

3. Fase Penyembuhan

Ketika pasien bertahan hidup 24 – 48 jam pada fase kritis, reabsorpsi lambat dari

cairan pada ruang ekstravaskuler terjadi pada 48 – 72 jam berikutnya. Keadaan umum

25

Page 26: Case DHF

membaik, nafsu makan meningkat, status hemodinamik dan diuresis menjadi stabil.

Beberapa pasen dapat memiliki ruam yang disebut ‘Pulau Putih diatas Laut Merah’.

Beberapa pasien juga akan mengalami pruritus. Hitung hematokrit akan normal atau

rendah karena efek dilusional dari cairan yang tereabsorpsi. Sel darah putih biasanya

mulai meningkat. Hitung trombosit biasanya secara khas lebih akhir daripada sel

darah putih. Distres respirasi dari efusi pleura masif dan asites akan terjadi kapan pun

jika terapi intravena diberikan secara berlebihan. Selama fase kritis dan atau

penyembuhan, terapi cairan yang berlebihan berhubungan dengan edema pulmonal

atau gagal jantung kongestif.

Masalah klinis yang bervariasi selama fase-fase yang berbeda dapat disimpulkan ke

dalam tabel berikut.

Tabel 1 Fase Infeksi Dengue

1 Fase febris Dehidrasi; demam tiggi dapat menyebabkan gangguan

neurologis dan kejang demam pada anak-anak yang

lebih muda

2 Fase kritis Syok karena kebocoran plasma; perdarahan yang berat;

kegagalan fungsi organ

3 Fase penyembuhan Hipervolemia (hanya jika pemberian terapi IV

berlebihan)

26

Page 27: Case DHF

4. Severe Dengue

Didefinisikan sebagai satu atau lebih dari yang berikut ini: 1) kebocoran plasma yang

mengakibatkan syok (syok dengue) dan atau akumulasi cairan, dengan atau tanpa

distres respirasi, dan atau 2) perdarahan berat, dan atau 3) gangguan organ berat.

Selama tahap awal dari syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan tekanan

darah sistolik normal juga menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi perifer disertai

perfusi kulit yang menurun, yang ditandai sebagai akral dingin dan CRT yang

menurun. Uniknya, tekanan diastolik meningkat terhadap tekanan sistolik dan tekanan

nadi menyempit oleh karena adanya peningkatan resistensi perifer. Syok hipotensif

27

Gambar 2 Perjalanan penyakit Dengue

Page 28: Case DHF

yang berkepanjangan (prolonged) dan hipoksia dapat megakibatkan kegagalan multi-

organ.

Seorang pasien dianggap memiliki syok jika tekanan nadi (selisih antara tekanan

sistolik dengan diastolik) ≤ 20 mmHg pada anak-anak atau memiliki tanda dari

perfusi kapiler yang parah (akral dingin, CRT yang menurun, atau frekuensi nadi yang

meningkat). Hipotensi berhubungan dengan syok berkepanjangan yang sering

berkomplikasi pada perdarahan besar.

Pasien dengan severe dengue dapat memiliki abnormalitas fungsi koagulasi, namun

hal ini kurang efisien dalam menyebabkan perdarahan besar. Ketika perdarahan besar

terjadi, hampir selalu berhubungan dengan syok berat, dengan kombinasi

trombositopenia, hipoksia, dan asidosis, menyebabkan kegagalan organ multipel dan

DIC lanjut. Perdarahan masif dapat terjadi tanpa harus syok berkepanjangan pada

pemberian aspirin (asam asetilsalisilat), ibuprofen, atau kortikosteroid.

Severe Dengue sebaiknya dipertimbangkan jika pasien dari daerah yang beresiko

infeksi dengue, memperlihatkan demam 2 – 7 hari ditambah berapapun dari tanda-

tanda dibawah ini:

- Ada bukti kebocoran plasma (plasma leakage), seperti nilai hematokrit yang

tinggi atau secaraprogresif meningkat, asites atau efusi pleura, syok atau

gangguan sirkulasi (takikardia, akral dingin , CRT lebih dari 3 detik, denyut

nadi lemah atau tak terukur, tekanan nadi menyempit, atau pada syok lanjut,

tekanan darah yang tak terukur).

- Ada perdarahan yang bermakna

- Ada perubahan kesadaran (letargi atau restlessness, koma, konvulsi)

- Keterlibatan sistem gastrointestinal (muntah persisten, nyeri perut bertambah

hebat, ikterik)

- Adanya gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati

atau ensefalitis, atau manifestasi lainnya yang tak lazim, kardiomiopati)

MANIFESTASI KLINIS

Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yang dianut Depkes, yaitu:

1. Silent dengue atau undifferentiated fever

2. Demam dengue, mencerminkan fase febris, dimana terjadi demam akut selama 2 – 7

hari dengan dua atau lebih manifestasi: nyeri kepala, nyeri retro-orbita, mialgia, ruam

28

Page 29: Case DHF

kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia. Trias demam dengue meliputi demam

tinggi, nyeri anggota badan, dan ruam kulit. Demam biasanya mencapai 39 – 40 C,

dan demam bersifat bifasik yang berlangsung 5 – 7 hari, tetapi pada penelitian

selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak

dijadikan tanda patognomonik. Ruam kulit ditandai dengan kemerahan dan ercak

merah yang menyebar pada wajah, leher, dan dada selama separuh pertama periode

demam dan kemungkinan makulopapular atau menyerupai demam skarlatina yang

muncul pada hari ke-3 atau ke-4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik

pertama kali (hari sakit ke -3 – 5) dan berlangsung selama 3 – 4 hari. Anoreksia dan

obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya yaitu fotofobia, berkeringat, batuk,

epistaksis, dan disuria. Kelenjar limfe servikal dilaporkan membesar pada 67 – 77%

kasus atau dikenal sebagai Castelani’s sign yang bersifat patognomonik. Beberapa

bentuk perdarahan lain dapat menyertai. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan

hitung leukosit biasanya normal saat awal demam kemudian leukopenia hingga akhir

periode demam; hitung trombosit masih normal, demikian komponen faktor

pembekuan. Ada beberapa kejadian biasanya sudah terjadi trombositopenia; serum

biokimia (enzim) biasanya normal.

3. Demam Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) ditandai oleh 4 manifestasi

berikut; 1) demam tinggi, 2) perdarahan terutama pada kulit, 3) hepatomegali 4)

kegagalan sirkulasi. Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniket positif, memar

dan perdarahan pada tempat injeksi vena. Petekie halus tersebar di anggota gerak,

muka, aksila pada masa-masa awal demam. Epistaksis dan perdarahan membran

mukosa, misalnya gusi, jarang terjadi, sedangkan perdarahan saluran pencernaan

hebat lebih jarang lagi kecuali jika renjatan tidak dapat diatasi. Hati biasanya teraba

pada awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2 – 4 cm dibawa arkus costae

kanan. Pembesaran hepar tidak berhubungan dengan parahnya penyakit tapi sering

ditemukan pada kasus-kasus syok. Nyeri tekan pada daerah hepar terasa tetapi

biasanya tidak memunculkan ikterik. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan

adanya trombositopenia sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Perubahan

patofisiologis utama yang menentukan tingkat keparahan DBD dengan DD ialah

gangguan hemostasis dan kebocoran plasma (trombositopenia dan peningkatan kadar

hematokrit). Tabel berikut ini memaparan gejala klinis demam dengue dan DBD.

29

Page 30: Case DHF

Tabel 2 Gejala Klinis demam dengue dan DBD

4. Sindroma Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome), menggambarkan fase kritis

dengue, yaitu manifestasi klinis akibat kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan

frekuensi nadi yang cepat tapi isi lemah, tekanan nadi menyempit (<20 mmHg),

hipotensi, akral dingin dan lembab, serta letargi.

30

Page 31: Case DHF

Gambar 2 Kelainan Utama pada DBD. Gambaran Skematis Kebocoran Plasma

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis yang akurat dan efisien adalah kepentingan utama dalam pelayanan klinis. Metode

diagnosis laboratoris untuk menentukan infeksi virus dengue meliputi deteksi adanya virus,

asam nukleat virus, antigen dan antibodi, atau kombinasi dari ketiga teknik ini. Setelah onset

penyakit, virus dapat dideteksi di dalam serum, plasma, dan sel-sel darah yang berirkulasi,

serta pada jaringan lain, selama 4 – 5 hari. Selama tahap pertama dari penyakit, isolasi virus,

asam nukleat atau deteksi antigen dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi. Di akhir fase

akut infeksi, serologi adaah metode pilihan untuk diagnosis.

Respon antibodi terhadap infeksi berbeda-beda tergantung dari status imun pejamu. Ketika

infeksi dengue terjadi pada individu yang belum pernah terinfeksi sebelumnya dengan

flavivirus atau terimunisasi dengan vaksin flavivirus, tubuh pasien akan mengalami respon

antibodi primer yang ditandai dengan peningkatan lambat dari antibodi spesifik. IgM

merupakan isotipe imunogloulin pertama yang muncul. Antibodi ini terdteksi 50% pada hari

31

Page 32: Case DHF

3 -5 setelah onset, meningkat 80% pada hari ke-5 dan 99% pada hari ke-10 (Gambar 3).

Kadar IgM memuncak kira-kira 2 minggu setelah onset gejala dan umumnya menurun hingga

tak terdeteksi pada 2 -3 bulan. IgG umunya dapat dideteksi pada kadar rendah di akhir

minggu pertama sakit, kemudian meningkat perlahan, dapat tetap berada di serum beberapa

bulan, bahkan mungkin seumur hidup.

Selama infeksi dengue sekunder (infeksi dengue pada pejamu yang telah terinfeksi

sebelumnya oleh virus dengue, atau kadang setelah vaksinasi atau infeksi flavivirus non-

dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat dan bereaksi secara luas terhadap berbagai

macam flavivirus. Isotipe imunogloulin yang dominan ialah IgG yang terdeteksi pada kadar

yang tinggi, bahkan pada fase akut, dan bertahan hingga 10 bulan bahkan seumur hidup. Pada

tahap penyembuhan dini, kadar IgM secara signifikan lebih rendah pada infeksi sekunder dan

mungkin tak terdeteksi di beberapa kasus. Untuk membedakan infeksi primer atau sekunder

dengue, rasio IgM/IgG sekarang digunakan secara umum daripada uji hemoaglutinin-inhibisi

(uji HI).

32

Page 33: Case DHF

Gambar 3 Garis waktu infeksi virus dengue primer dan sekunder dan metode diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi

Secara umum, pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifisitas membutuhkan teknologi

kompleks dan ahli pada bidannya, sementara uji cepat (rapid test) dapat kurang senstif mauun

spesifik demi kecepatan. Isolasi virus dan deteksi asam nukleat lebih rumit dan mahal ,

namun lebih spesifik daripada deteksi antibodi menggunakan metode serologi.

Infeksi dengue menghasilkan spekrum gejala yang luas, banyak diantaranya adalah tidak

spesifik. Maka dari itu, diagnosis berdasarkan gejala klinis tak dapat dipercaya. Sebelum

hari-5 sakitm selama periode demam, infeksi dengue dapat didiagnosis oleh isolasi virus pada

kultur sel, oleh deteksi RNA virus, oleh nucleic acid amplification test (NAAT), atau oleh

deteksi antigen virus menggunakan ELISA atau rapid test. Isolasi virus dengan kultur sel

membutuhkan infrastruktur lengkap dan waktu yang lama. NAAT selalu dapat mendeteksi

RNA virus dalam 24 – 48 jam, namun uji ini tetap membutuhkan peralatan dan reagen yang

mahal, prosedur yang berkualitas, dan pekerja yang ahli. Peralatan untuk mendeteksi antigen

NS-1 kini tersedia dan dapat digunakan di laboratorium dengan peralatan yang terbatas dan

33

Page 34: Case DHF

mengeluarkan hasil laboratoris dalam beberapa jam. Deteksi antigen dengue cepat (rapid)

dapat juga dilakukan di lapangan dengan hasil kurang dari satu jam. Saat ini, metode ini

kurang spesifik, mahal dan sedang dalam tahap evaluasi mengenai biaya dan keakuratannya.

Tabel berikut ini memperlihatkan kesimpulan sifat dari metode diagnostik untuk infeksi

dengue.

Tabel 3 Kesimpulan Sifat dan Perbandingan Biaya Metode diagnostik

Setelah hari-5 sakit, virus dengue dan antigen hilang dari darah, bersamaan dengan

munculnya antibodi-antibodi spesifik. Antigen NS1 dapat dideteksi pada beberapa pasien

selama beberapa hari setelah demam reda. Uji serologi dengue lebih banyak tersedia di

negara-negara endemis, daripada uji virologi. Transportasi spesimen bukanlah masalah

karena imunoglobulin stabil pada suhu tropis.

Untuk serologi, waktu pengumpulan spesimen lebih fleksibel daripada isolasi virus atau

deteksi RNA karena suatu respon antibodi dapat diukur dengan membandingkan sampel yang

dikumpul selama keadaan akut dengan sampel yang dikumpul saat berminggu-minggu atau

berbulan-bulan kemudian. Kadar yang rendah terhadap respon IgM yang terdeteksi – atau

sama sekali tidak ada – pada beberapa infeksi sekunder, menurukan keakuratan uji IgM

34

Page 35: Case DHF

ELISA. Peningkatan empat kali lipat atau lebih kadar antibodi yang diukur oleh IgG ELISA

atau dari uji HI mengindikasikan infeksi flavivirus akut. Bagaimana pun, menunggu serum

saat penyembuhan atau saat pasien dipulangkan sangat tidak berguna untuk diagnosis dan

penatalaksanaan.

Tabel 4 Keuntungan dan Keterbatasan Metode Diagnostik Infeksi Dengue

1. Isolasi virus. Spesimen dikumpulkan hanya pada saat sedang terjadi infeksi, selaa

periode viremia (sebelum hari-5). Virus dapat dijumpai di serum, plasma, dan sel-sel

mononuklear perifer, atau jaringan (hepar, paru, kelenjar getah bening, timus, dan

sumsum tulang). Karena dengue merupakan heat-labile, pengiriman sampel harus

dengan referigerator atau di dalam es. Kultur sel merupakan metode yang luas dipakai

untuk mengisolasi virus.

35

Page 36: Case DHF

2. Deteksi Asam Nukleat. RNAbersifat heat-labile, maka untuk penyimpanannya harus

di dalam freezer. RT-PCR (Reverse Transcriptase-polymerase Chain Reaction) lebih

sensitif daripada isolasi virus, yaitu 80 – 100%. Positif palsu dapat terjadi jika

kontaminasi saat proses amplifikasi.

3. Deteksi antigen. Sampai sekarang, deteksi antigen dengue pada serum fase akut

jarang pada pasien dengan infeksi sekunder karena sudah memiliki antibodi IgG-virus

sebelumnya. Perkembangan baru dari ELISA dan dot blot assays yang fokus pada

antigen bagian membran atau envelop (E/M) dan protein non-struktural -1 (NS-1)

menunjukkan bahwa konsentrasi yang tinggi antigen-antigen ini dalam pembentukan

kompleks imun dapat terdeteksi pada pasien dengan infeksi primer maupun sekunder

dengue hingga sembilan hari setelah onset sakit. Glikoprotein NS-1 dihasilkan oleh

flavivirus dan disekresikan dari sel-sel mamalia. NS1 menghasilkan respon imun

humoral yang kuat. Banyak penelitian yang telah fokus menggunakan deteksi NS1

untuk diagnosis dini infeksi virus dengue.

4. Tes serologi. MAC-ELISA (IgM antibody-capture enzyme-linked immunosorbent

assay. IgM total pada serum pasien ditangkap oleh antibodi spesifik anti rantai-u yang

dilapisi diatas mikroplate. Antigen spesifik dengue (DEN-1 hingga 4) terikat dengan

IgM anti-dengue yang ‘terperangkap’ tadi. Kemudian, terdeteksi oleh antibodi dengue

monoklonal atau poliklonal yang terkonjugasi dengan suatu enzim yang akan

mengubah substat tak berwarna menjadi produk berwarna, yang diukur melalui

spektrometer. Serum, darah, dan saliva dapat dijadikan sampel yang diambil 5 hari

atau lebih setelah onset demam. MAC-ELISA memiliki sensitivitas dan spesifisitas

yang baik namun hanya jika digunakan saat lebih atau sama dengan 5 hari setelah

onset demam. Banyak penelitian yang menerangkan bahwa ELISA pada umumnya

lebih baik performanya daripada rapid test. Positif palsu dapat terjadi di serum pada

pasien dengan malaria, leptospirosis, dan pasca infeksi dengue.

IgG ELISA digunaka untuk mendeteksi infeksi dengue masa lampau atau sekarang.

Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi IgG di serum atau plasma dan sampel

darah filter dan bisa mengidentifikasi kasus infeksi primer atau sekunder.

Uji HI didasarkan atas kemampuan antigen dengue untuk menggumpalkan

(aglutinasi) sel darah merah. Antibodi anti-dengue di dalam serum dapat menghambat

terjadinya aglutinasi dan potensi inhibisi ini dapat diukur lewat uji HI. Sampel seru

diberikan aseton atau kaolin untuk menghilangkan inhibitor non-spesifik, dan

kemudian di-adsorpsi dengan sel darah merah golongan 0 untuk menghilangkan

36

Page 37: Case DHF

aglutinin yang tidak spesifik. Secara optimal, uji HI membutuhkan serum yang

diambil saat masuk RS (akut) an keluar rumah sakit (sudah sembuh), atau dengan

serum yang berbeda selama lebih atau sama dengan tujuh hari. Respon terhadap

infeksi primer ditandai oleh kadar rendah antibodi pada serum fase akut (sebelum

hari-5) dan peningkatan yang lambat dari titer antibodi HI kemudian. Selama infeksi

dengue sekunder, antibodi HI meningkat secara cepat, biasanya melebihi 1 : 1280.

Nilai yang lebih rendah dari ini umumnya diobservasi pada serum pada masa

penyembuhan dari pasien dengan respon primer.

Gambar 4 Uji Hemaagutinasi-inhibisi

5. Pemeriksaan Hematologi. Hitung trombosit dan hematokrit lazim diukur selama fase

akut infeksi dengue. Rendahnya kadar trombosit dalam darah dibawah 100.000 per uL

per hari dapat dijumpai pada demam dengue, namun hal ini merupakan tanda yang

tetap pada demam berdarah dengue (DBD). Trombositopenia biasanya dijumpai pada

periode antara hari-3 dan 8 menjelang onset sakit.

Hemokonsentrasi, yang ditandai dengan peningkatan hematokrit >20% yang

dibandingkan dengan masa penyembuhan, merupakan tanda hipovolemia karena

peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma.

KRITERIA DIAGNOSIS

37

Page 38: Case DHF

Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi dengue

yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah masalah kesehatan

masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih

tanda klinis ditambah tanda laboratoris, yaitu trombositopenia dan hemokonsentrasi (kedua

hasil laboratorium tersebut harus ada) dan dikonfirmasi lagi dengan pemeriksaan serologi.

Kriteria diagnosis DBD berdasarkan WHO tahun 1997 ialah:

Kriteria Klinis : demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas terus menerus selama 2 – 7

hari, terdapat manifestasi perdarahan termasuk tes torniket positif, petekie, ekimosis,

epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, serta melena; pembesaran hati, dan nadi cepat dan

lemah serta penurunan tekanan nadi. Kriteria laboratoris: trombositopenia (100.000/ul atau

kurang), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20%).

Pembagian derajat DBD menurut WHO ialah:

- Derajat I : demam diikuti gejala aspesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan

adalah uji torniket positif atau mudah memar

- Derajat II : gejala yang ada pada derajat I + perdarahan spontan. Perdarahan dapat

terjadi di kulit atau pada tempat lain.

- Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat tapi lemah,

tekanan nadi menurun atau hipotensi, suhu tubuh subnormal, kulit lembab, dan

gelisah

- Derajat IV: syok berat dengan nadi dan tekanan darah tak terukur.

PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma

sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD

dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada

kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien

DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang

memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan.

Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok,

merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan

penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak

baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan

38

Page 39: Case DHF

tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi masa

peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.

Demam dengue

Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan Tirah

baring, selama masih demam.

Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.

Untuk menurunkan suhu menjadi < 39°C, dianjurkan pemberian parasetamol.

Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat meyebabkan

gastritis, perdarahan, atau asidosis.

Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping

air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.

Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan. Meskipun

demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2

hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan

antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu

pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan

sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.

Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air

besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi,

apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga

harus segera dibawa segera ke rumah sakit. Penerangan untuk orang tua tertera pada

Lampiran 1. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak

perlu lagi diobservasi. Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD).

Demam Berdarah Dengue

Ketentuan Umum

Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah adanya

peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan

hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis

hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD

39

Page 40: Case DHF

terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of

defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan

observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Prognosis

DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari

peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.

Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (rata-rata

dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan

suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma

danmerupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat

sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan

penyakit. Perhatian khusus pada asus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus

danpenurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I danII dapat

dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit

kelas B dan A.

Fase Demam

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik

dansuportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak

dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan,

maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi

perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada 7BD.

Parasetamoi direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera

pada Tabel 5.

Rasa haus dankeadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan

muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta

larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah

keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24

jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oiarit.

Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam.

40

Page 41: Case DHF

Tabel 5 Dosis Parasetamol menurut Umur

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis adalah

waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan

kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk

pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma dan

pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum

dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal

satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan

hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif

walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat

dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb

Penggantian Volume Plasma

Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu

(fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume

plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan

bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama,

sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).

Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar

hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal

mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan adalah

jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak terus

menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum

per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai

hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan

tergantung dari derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di

dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2

ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih

maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan

41

Page 42: Case DHF

komposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai

sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 6 dibawah

ini.

Tabel 6 Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang

Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan tergantung dari umur danberat badan

pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi. Pada

anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur yang

sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari tabel 3 berikut.

Tabel 7 Kebutuhan Cairan Rumatan

Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20) =1900

ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan plasma tidak

konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume cairan

pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dankehilangan plasma, yang dapat diketahui

dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang bedebihan danterus menerus

setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian. Perembesan plasma berhenti ketika

memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam

intravaskuler. Apabila pada saat itucairan tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru

dandistres pernafasan. Pasien harus dirawat dansegera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok

yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis, oliguri, dannadi lemah, tekanan

nadi menyempit (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, danpeningkatan mendadak dari kadar

hematokrit atau kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan

intravena. Jenis Cairan (rekomendasi WHO) adalah sebagai berikut:

Kristaloid.

42

Page 43: Case DHF

Larutan ringer laktat (RL)

Larutan ringer asetat (RA)

Larutan garam faali (GF)

Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)

Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)

Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)

(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang

mengandung dekstran)

Koloid.

Dkstran 40

Plasma

Albumin

Sindrom Syok Dengue

Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama yang

berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami

syok dansembuh kembali bila diobatisegera dalam 48 jam. Pada penderita SSD dengan tensi

tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak 20ml/kg

BB/jam selama 15 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10 ml/kg BB.

Penggantian Volume Plasma Segera. Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat

> 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan

berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak

ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat

teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada

perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg

BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian

koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian

cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun,

diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila

kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam)

dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus

dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit.

43

Page 44: Case DHF

Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar

hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian

disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan

CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan

intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya.

Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi

membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi.

Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi

plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian

cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal

jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda

perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal,

diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.

Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit. Hiponatremia danasidosis metabolik sering

menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit harus selalu

diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID,

sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.

Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan

koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan

tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.

Pemberian Oksigen. Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua

pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus

diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.

Transfusi Darah. Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap

pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian

transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit

untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai

hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% me.njadi 40%) tanpa perbaikan

klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan.

Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung

plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi

44

Page 45: Case DHF

trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi

pada syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian.

Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan

fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi

terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan

prognosis.

Monitoring. Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur

untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau

lebih sering, sampai syok dapat teratasi.

Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien

stabil.

setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah,

dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.

Jumlah dan frekuensi diuresis.

Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler telah

benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB, sedang

jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara lain edema,

pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Pemantauan

jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan. Tetapi, apabila diuresis

tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi dengan baik, maka

pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD

Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di

ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan

khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin,

hematokrit, dan trombosit yang tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang

penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat didantu oleh orang tua pasien

untuk mencatatjumlah cairan baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena,

serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.

45

Page 46: Case DHF

Kriteria Memulangkan Pasien

Tampak perbaikan secara klinis

Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

Hematokrit stabil

Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl

Tiga hari setelah syok teratasi

Nafsu makan membaik

TATALAKSANA ENSEFALOPATI DENGUE

Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak dan alkalosis, maka bila syok telah teratasi

cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- dan jumlah cairan harus segera

dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa

(5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap 8

jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan.

Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari,

kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial

dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan

elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi

produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-

obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban

detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas

indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat

diberikan asam amino rantai pendek.

Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan diagnosis

DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalakasana awal dapat dibagi dalam 3 bagan

yaitu

Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD

derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 2 dan 3)

Tatalaksana kasus DBD, temasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar

hematokrit (Bagan 4)

Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV (Bagan 5)

46

Page 47: Case DHF

Keterangan Bagan 2

Tatalaksana Kasus Tersangka DBD

Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak spesifik, oleh karena itu orang

tua/anggota keluarga diharapkan untuk waspada jika meiihat tanda/gejala yang mungkin

merupakan gejala awal penyakit DBD. Tanda/gejala awal penyakit DBD ialah demam tinggi

47

Page 48: Case DHF

2-7 hari mendadak tanpa sebab yang jelas, terus menerus, badan terasa lemah/anak tampak

lesu.Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu (1) Adakah tanda kedaruratan yaitu tanda syok

(gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab), muntah terus menerus,

kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak darah, maka pasien perlu dirawat

(tatalaksana disesuaikan dengan bagan 3,4,5) (2) Apabila tidak dijumpai tanda kedaruratan,

periksa uji tourniquet/uji Rumple Leede/uji bendung dan hitung trombosit;

a. Bila uji tourniquet positif dan/ atau trombosit <_ 100.000/pl, pasien di observasi

(tatalaksana kasus tersangka DBD ) Bagan 3

b. Bila uji tourniquet negatif dengan trombosit >_ 100.000/pl atau normal , pasien boleh

pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun. Pasien dianjurkan

minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dll serta diberikan obat antipiretik

golongan parasetamol jangan golongan salisilat. Apabila selama di rumah demam tidak turun

pada hari sakit ketiga, evaluasi tanda klinis adakah tanda-tanda syok yaitu anak menjadi

gelisah, ujung kaki/tangan dingin, sakit perut, berak hitam, kencing berkurang; bila perlu

periksa Hb, Ht, dantrombosit. Apabila terdapat tanda syok atau terdapat peningkatan Hb/Ht

danatau penurunan trombosit, segera kembali ke rumah sakit (lihat Lampiran 1 formulir

untuk orang tua)

48

Page 49: Case DHF

Keterangan Bagan 3

Tatalaksana Kasus tersangka DBD (Lanjutan Bagan 2)

Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DBD derajat I) atau

disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD derajat II) dapat dikelola

seperti tertera pada Bagan 2

Apabila pasien masih dapat minum, berikan minum sebanyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok

makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh manis, sirop,

jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik (parasetamol) diberikan bila suhu > 38.5°C. Pada

49

Page 50: Case DHF

anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien tidak dapat

minum atau muntah terus menerus, sebaiknya diberikan infus NaCL 0,45% : dekstrosa 5%

dipasang dengan tetesan rumatan sesuai berat badan. Disamping itu perlu dilakukan

pemeriksaaan Ht, Hb 6 jam dan trombosit setiap 2 jam. Apabila pada tindak lanjut telah

terjadi perbaikan klinis dan laboratorium anak dapat dipulangkan; tetapi bila kadar Ht

cenderung naik dan trombosit menurun, maka infus cairan diganti dengan ringer laktat dan

tetesan disesuaikan seperti pada Bagan 3.

50

Page 51: Case DHF

51

TERAPI SHOCK

Page 52: Case DHF

Keterangan Bagan 4

Tatalaksana Kasus DBD

Pasien DBD apabila dijumpai demam tinggi mendadak terus menerus selama <_ 7 hari tanpa

sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan (tersering perdarahan kulit danmukosa

yaitu petekie atau *mimisan) disertai penurunan jumlah trombosit !_100.000/pl,

danpeningkatan kadar hematokrit.

Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/NaCI 0,9 % atau dekstrosa 5%

dalam ringer laktat/NaCl 0,9 % 6-7 ml/kg BB/jam. Monitor tanda vital dankadar hematokrit

serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam

1. Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak tenang, tekanan

nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dankadar Ht cenderung turun minimal dalam

2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila

dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3ml/kgBB/jam

danakhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam.

2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke dalam syok. Maka apabila keadaan

klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas cepat (distres pernafasan),

frekuensi, nadi meningkat, diuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, disertai

peningkatan Ht, maka tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/kgBB/jam, setelah 1 jam tidak ada

perbaikan tetesan dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam. Apabila terjadi distres pernafasan dan

Ht naik maka berikan cairan koloid 20-30 ml/kgBB/jam; tetapi apabila Ht turun berarti

terdapat perdarahan, berikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam. Bila keadaan klinis

membaik, maka cairan disesuaikan seperti ad 1.

52

Page 53: Case DHF

53

Page 54: Case DHF

SYOK

Definisi

Syok (renjatan) adalah kumpulan gejala-gejala yang diakibatkan oleh karena

gangguan perfusi jaringan yaitu aliran darah ke organ tubuh tidak dapat mencukupi

kebutuhannya.2

Syok juga dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang mengancam jiwa yang

diakibatkan karena tubuh tidak mendapatkan suplai darah yang adekuat yang mengakibatkan

kerusakan pada multiorgan jika tidak ditangani segera dan dapat memburuk dengan cepat

Klasifikasi 

Berdasarkan etiloginya maka syok digolongkan atas beberapa macam yaitu :Syok

Hipovolemik, Syok Kardiogenik, Syok Distributif, dan Syok Obstruktif

SYOK HIPOVOLEMIK

Syok hipovolemik merupakan tipe syok yang paling umum ditandai dengan

penurunan volume intravascular.Cairan tubuh terkandung dalam kompartemen intraseluler

dan ekstraseluler. Cairan intraseluler menempati hamper 2/3 dari air tubuh total sedangkan

cairan tubuh ekstraseluler ditemukan dalam salah satu kompartemen intavaskular dan

interstitial. Volume cairan interstitial adalah kira-kira 3-4x dari cairan intravascular.Syok

hipovolemik terjadi jika penurunan volume intavaskuler 15% sampai 25%. Hal ini akan

menggambarkan kehilangan 750 ml sampai 1300 ml pada pria dgn berat badan 70 kg.

Etiologi

Kondisi-kondisi yang menempatkan pasien pada resiko syok hipovolemik adalah (1)

kehilangan cairan eksternal seperti : trauma, pembedahan, muntah-muntah, diare, diuresis, (2)

perpindahan cairan internal seperti : hemoragi internal, luka baker, asites dan peritonitis

SYOK KARDIOGENIK

Syok kardiogenik disebabkan oleh kegagalan fungsi pompa jantung yang

mengakibatkan curah jantung menjadi berkurang atau berhenti sama sekali.

Etiologi

Penyebab syok kardiogenik mempunyai etiologi koroner dan non koroner. Koroner,

disebabkan oleh infark miokardium, Sedangkan Non-koroner disebabkan oleh kardiomiopati,

kerusakan katup, tamponade jantung, dan disritmia.

54

Page 55: Case DHF

SYOK DISTRIBUTIF

Syok distributif atau vasogenik terjadi ketika volume darah secara abnormal

berpindah tempat dalam vaskulatur seperti ketika darah berkumpul dalam pembuluh darah

perifer.

Etiologi

Syok distributif dapat disebabkan baik oleh kehilangan tonus simpatis atau oleh

pelepasan mediator kimia ke dari sel-sel. Kondosi-kondisi yang menempatkan pasien pada

resiko syok distributif yaitu (1) syok neurogenik seperti cedera medulla spinalis, anastesi

spinal, (2) syok anafilaktik seperti sensitivitas terhadap penisilin, reaksi transfusi, alergi

sengatan lebah (3) syok septik seperti imunosupresif, usia yang ekstrim yaitu > 1 thn dan >

65 tahun, malnutrisi

Berbagai mekanisme yang mengarah pada vasodiltasi awal dalam syok distributif

lebih jauh membagi klasifikasi syok ini kedalam 3 tipe :

1. Syok Neorugenik

Pada syok neurogenik, vasodilatasi terjadi sebagai akibat kehilangan tonus

simpatis.Kondisi ini dapat disebabkan oleh cedera medula spinalis, anastesi spinal, dan

kerusakan sistem saraf. Syok ini juga dapat terjadi sebagai akibat kerja obat-obat depresan

atau kekurangan glukosa (misalnya : reaksi insulin atau syok). Syok neurogenik spinal

ditandai dengan kulit kering, hangat dan bukan dingin, lembab seperti terjadi pada syok

hipovolemik. Tanda lainnya adalah bradikardi.

2. Syok Anafilaktik

Syok anafilaktik disebabkan oleh reaksi alergi ketika pasien yang sebelumnya sudah

membentuk anti bodi terhadap benda asing (anti gen) mengalami reaksi anti gen- anti bodi

sistemik.

3. Syok Septik

Syok septik adalah bentuk paling umum syok distributuf dan disebabkan oleh infeksi

yang menyebar luas. Insiden syok septik dapat dikurangi dengan melakukan praktik

pengendalian infeksi, melakukan teknijk aseptik yang cermat, melakukan debriden luka ntuk

membuang jarinan nekrotik, pemeliharaan dan pembersihan peralatan secara tepat dan

mencuci tangan secara menyeluruh

Derajat Syok

Menentukan derajat syok :4

1. Syok Ringan

55

Page 56: Case DHF

Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot

rangka, dan tulang.Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa

adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible).Kesadaran tidak terganggu, produksi

urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau ringan.

2. Syok Sedang

Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal).Organ-

organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit dan otot.

Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik.

Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.

3. Syok Berat

Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat.Mekanisme kompensasi syok beraksi

untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di

semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan

tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah jantung menurun).

Patofisiologi

Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat.Hasil akhirnya berupa

lemahnya aliran darah yang merupakan petunjuk yang umum, walaupun ada bermacam-

macam penyebab. Syok dihasilkan oleh disfungsi empat sistem yang terpisah namun saling

berkaitan yaitu ; jantung, volume darah, resistensi arteriol (beban akhir), dan kapasitas vena.

Jika salah satu faktor ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan

terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri mungkin normal sebagai kompensasi peningkatan

isi sekuncup dan curah jantung.Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokontriksi

perifer meningkat. 4, 6

Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu : 5,10

1. Fase Kompensasi

Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul

gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler.

Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran

darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang

kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan

menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi

adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini

terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah

56

Page 57: Case DHF

jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran

darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk

mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka

filtrasi glomeruler juga menurun.

2. Fase Progresif

Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi

kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak

lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan

darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata,

gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan

akhirnya terjadi kematian sel.

Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga

terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter

prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke

jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi

koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation).

Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor

dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia

menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan

bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi

jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus,

pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi.

Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan.

Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak,

integritas mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan

metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik,

terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.

3. Fase Irrevesibel/Refrakter

Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat

diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok. Gagal

sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru

menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya

anoksia dan hiperkapnea.

57

Page 58: Case DHF

D. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis tergantung pada penyebab syok (kecuali syok neurogenik) yang meliputi : 2,

6,10,11

1. Sistem pernafasan : nafas cepat dan dangkal

2. Sistem sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat dingin, nadi cepat dan

lemah, tekanan darah turun bila kehilangan darah mencapai 30%.

3. Sistem saraf pusat : keadaan mental atau kesadaran penderita bervariasi

tergantung derajat syok, dimulai dari gelisah, bingung sampai keadaan tidak sadar.

4. Sistem pencernaan : mual, muntah

5. Sistem ginjal : produksi urin menurun (Normalnya 1/2-1 cc/kgBB/jam)

6. Sistem kulit/otot : turgor menurun, mata cekung, mukosa lidah kering.

7. Individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan kecepatan denyut jantung

yang normal atau melambat, tetapi akan hangat dan kering apabila kulitnya diraba.

Penatalaksanaan2,12,13

Penanggulangan syok dimulai dengan tindakan umum yang bertujuan untuk

memperbaiki perfusi jaringan; memperbaiki oksigenasi tubuh; dan mempertahankan suhu

tubuh. Tindakan ini tidak bergantung pada penyebab syok. Diagnosis harus segera ditegakkan

sehingga dapat diberikan pengobatan kausal. Segera berikan pertolongan pertama sesuai

dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A = air way) harus bebas kalau perlu dengan

pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B = breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan

memberikan ventilasi buatan dan pemberian oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah

(C = circulation) pada syok hipovolemik sejati atau hipovolemia relatif (syok septik, syok

neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila

perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk mempertahankan fungsi jantung atau obat

vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer. Segera menghentikan perdarahan yang

terlihat dan mengatasi nyeri yang hebat, yang juga bisa merupakan penyebab syok. Pada syok

septik, sumber sepsis harus dicari dan ditanggulangi.

Penanganannya meliputi:

1. Umum :

Memperbaiki sistim pernafasan :

- Bebaskan jalan nafas

- Terapi oksigen

- Bantuan nafas

58

Page 59: Case DHF

Memperbaiki sistim sirkulasi:

- Pemberian cairan

- Hentikan perdarahan yang terjadi

- Monitor nadi, tekanan darah, perfusi perifer, produksi urin

Menghilangkan atau mengatasi penyebab syok.

2. Khusus :

Obat farmakologik :

- Tergantung penyebab syok

- Vasopresor (kontraindikasi syok hipovolemik)

- Vasodilator

59

Page 60: Case DHF

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue Haemorrhagic

Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting. Proceedings Book

13th National Congress of Child Health. KONIKA XIII. Bandung, July 4-7, 2005. h.

329- 333

2. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam

Berdarah Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting.

Current Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan

Ilmu Kesehatan Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2004.h. 63-

3. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam : Behrman RE,

Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17.

Philadelphia : WB Saunders.2004.h.1092-4

4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press 1988

5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent

enhancement, a brief history and personal memoir . Rev Cubana Med Trop 2002;

54(3):h.171-79

6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan pada

Penderita Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII. Surabaya 12-13

September 1998.h.

7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003.

Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9

8. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and

Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines.

New Delhi : WHO.1999

9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Hadinegoro

SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan

bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana

Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-43

10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib Aap,

Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis Berbagai

Penyakit Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55

60

Page 61: Case DHF

11. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam

Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter

Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD.

Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h. 80-135

12. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro

SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi

pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208

13. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras. Cermin

Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13

14. Panbio. Dengue. Didapatkan dari : URL: http://www.panbio.com.au/ modules.php?

name= ontent&pa=showpage&pid=33. Diunduh pada tanggal 27 Juni 2006.

15. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi 1

Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.

61