case gangguan medula spinalis
DESCRIPTION
neurologiTRANSCRIPT
PARAPARESE INFERIOR LESI UMN
I. DEFINISI
Paraparese inferior lesi Upper Motor Neuron (UMN) adalah kelemahan
kedua anggota gerak bawah yang disebabkan oleh gangguan pada proyeksi
korteks ke V neuron korteks serebri yang mengatur gerakan volunter melalui jaras
piramidal dan ekstrapiramidal.
II. KLASIFIKASI
Klasifikasi berdasarkan Onset :
Paraparese inferior lesi tipe UMN :
- Akut :
Infeksi non spesifik (ex:myelitis transversa).
Trauma (ex: kontusio, whisplash injury).
Tumor (tu tumor ganas & metastasis)
- Kronik :
Infeksi spesifik (TBc)
Tumor (tu tumor jinak).
Penyakit Degeneratif.
1
Anatomi medulla spinalis
Medulla spinalis adalah saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan dari
sistem saraf pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi oleh tulang
belakang. Fungsi utama medulla spinalis adalah transmisi pemasukan rangsangan antara
periferi dan otak.
Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat. Terbentang dari
foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang
disebut conus terminalis atau conus medullaris. Terbentang dibawah cornu
terminalis serabut-serabut bukan syaraf yang disebut filum terminale yang
merupakan jaringan ikat. Terdapat 31 pasang syaraf spinal: 8 pasang
syaraf servikal, 12 Pasang syaraf Torakal, 5 Pasang syaraf Lumbal, 5 Pasang syaraf
Sacral dan 1 pasang syaraf coxigeal. Akar syaraf lumbal dan sacral terkumpul
yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan syaraf keluar melalui
Intervertebral foramina. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen
dan juga oleh meningen spinal dan CSF.
2
Struktur Internal terdapat substansi abu-abu dan substansi putih. Substansi Abu-abu
membentuk seperti kupu-kupu dikelilingi bagian luarnya oleh substansi putih. Terbagi
menjadi bagian kiri dan kanan oleh anterior median fissure dan median septum yang disebut
dengan posterior median septum. Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal
dari syaraf spinal. Substansi abu-abu mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen,
akson tak bermyelin, syaraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Substansi abu-
abu membentuk seperti huruf H dan terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior, posterior dan
comissura abu-abu. Bagian Posterior sebagai input/afferent, anterior sebagai Output/efferent,
comissura abu-abu untuk refleks silang dan substansi putih merupakan kumpulan serat syaraf
bermyelin.
3
1 Spinal Nerve
2 Dorsal Root Ganglion
3 Dorsal Root (Sensory)
4 Ventral Root (Motor)
5 Central Canal
6 Grey Matter
7 White Matter
Peran medulla spinalis :
1. Pusat prosesing data
2. Jalur sensoris
3. Sistem piramidal dan ekstra-piramidal
4
Trauma medulla spinalis
Cedera medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang
belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang, ligamentum longitudinalis
posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis
serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah kemedula spinalis dapat ikut
terputus .
Cedera medulla spinalis merupakan kelainan yang pada masa kini yang
banyak memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan
dibidang penatalaksanaannya. Kalau dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak
disebabkan oleh jatuh dari ketinggian seperti pohon kelapa, pada masa kini
penyebabnya lebih beraneka ragam seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
tempat ketinggian dan kecelakaan olah raga.
Pada masa lalu kematian penderita dengan cedera sumsum tulang belakang
terutama disebabkan oleh terjadinya penyulit berupa infeksi saluran kemih gagal
ginjal, pneumoni atau decubitus.
Klasifikasi tingkat keparahannya. Berdasarkan Impairment Scale
Grade Tipe Gangguan medula spinalis ASIA
A Komplit Tidak ada fungsi motorik & sensorik sampai S4-S5
B Inkomplit Fungs i s enso r ik msh ba ik t ap i mo to r ik t e rganggu sampai
segmen sakral S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu di bawah level tapi otot-otot motorik
utama msh punya kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level , otot-ototmotorik
utama punya kekuatan > 3
E Normal F u n g s i m o t o r i k d a n s e n s o r i k n o r m a l
Tabulasi perbandingan klinik lesi komplet dan inkomplet:
5
Karakteristik Lesi komplit Lesi inkomplit
Motorik Menghilang dibawah lesi Sering (+)
Protopatik (nyeri, suhu) Menghilang dibawah lesi Sering (+)
Proprioseptif (vibrasi, joint position) Menghilang dibawah lesi Sering (+)
Sacral sparing (-) (+)
Rontgen vertebra Sering dengan fraktur,
luksasi, dan listhesis
Sering normal
MRI Hemoragi (54%),
kompresi (25%), kontusi
(11%)
Edema (62%), kontusi
(26%), normal (15%)
I. Penyebab dan bentuk
Cedera medulla spinalis terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak
mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi,
hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang. Didaerah torakal tidak
banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks.
Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompressi, kominutif, dan
dislokasi, sedangkan kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa
memar, contusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan
peredaran darah, atau perdarahan.
Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat disebabkan
hipoksemia dan iskemia. Iskamia disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi.
Perlu disadarkan bahwa kerusakan pada sumsum belakang merupakan
kerusakan yang permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf.
Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi
disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh
tekanan, memar, atau oedema.
6
II. Patofisiologi
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan
kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak
selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung
bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut
“whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi
berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah
maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat
berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak
tinggi menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,
hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12 sampai L.2), rotasi. Kerusakan
yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap. Akibat
trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk
sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam
beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri
vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis
yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,
contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang
belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat
mematahkan/menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi
transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen
transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia adalah perdarahan
dalam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.
Trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan
berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio. Kompresi
medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh
penyempitan kanalis vertebralis.
7
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra
meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang
terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis. Gejala yang didapat sama
dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam
kanalis vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis
dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis. Pada trauma whislap, radiks columna 5-
7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler
spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau
neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma
tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah
radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang
akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang
bersangkutan dan sindroma sistema anastomosis anterial anterior spinal.
III. Gambaran Klinik
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang
terjadi. Kerusakan meningitis lintang memberikan gambaran berupa hilangnya
fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock
spinal. Shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang
karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya
berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah
kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi
rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock
spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan
fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi
ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot
lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua
sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.
8
Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada
umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh
hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh
ligamentum flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang
memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan
yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong
dihiperekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial. Gangguan pada
ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal
tidak terganggu.
Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi
IV. Diagnosis
Radiologik
Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan
mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai
dengan dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka
dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2.
Pungsi Lumbal
Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan
likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt
menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat
tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi
tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi
pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah
vertebra servikalis tersebut.
Mielografi
9
Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah
lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis.
V. Penatalaksanaan
Pada umumnya pengobatan trauma medula spinalis adalah konservatif dan
simptomatik. Manajemen yang paling utama untuk mempertahankan fungsi
medula spinalis yang masih ada dan memperbaiki kondisi untuk penyembuhan
jaringan medula spinalis yang mengalami trauma tersebut.
Prinsip tatalaksana dapat diringkas sebagai berikut :
* stabilisasi, imobilisasi medula spinalis dan penatalaksanaan hemodinamik dan
atau gangguan otonom yang kritis pada cedera dalam fase akut, ketika
penatalaksanaan gastrointestinal (contoh, ileus, konstipasi, ulkus), genitourinaria
(contoh, infeksi traktus urinarius, hidronefrosis) dan sistem muskuloskletal
(contoh, osteoporosis, fraktur).
* Jika merupakan suspek trauma, stabilisasi kepala dan leher secara manual atau
dengan collar. Pindahkan pasien secara hati-hati.
* Terapi radiasi mungkin dibutuhkan pada penyakit dengan metastasis. Untuk
tumor spinal yang menyebabkan efek massa gunakan deksametason dosis tinggi
yaitu 10-100 mg intra vena dengan 6-10 mg intravena per 6 jam selama 24
jam.Dosis diturunkan dengan pemberian intravena atau oral setiap 1 sampai 3
minggu.
* Trauma medula spinalis segmen servikal dapat menyebabkan paralisis otot-otot
interkostal. Oleh karena itu dapat terjadi gangguan pernapasan bahkan kadangkala
apnea. Bila perlu dilakukan intubasi nasotrakeal bila pemberian oksigen saja tidak
efektif membantu penderita. Pada trauma servikal, hilangnya kontrol vasomotor
menyebabkan pengumpulan darah di pembuluh darah abdomen, anggota gerak
bawah dan visera yang mengalami dilatasi, menyebabkan imbulnya hipotensi.
* Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen akibat dilatasi
gaster akut. Bila tidak dilakukan dapat berakibat adanya vomitus lalu aspirasi dan
akan memperberat pernapasan.
10
* Pada stadium awal dimana terjadi dilatasi gastrointestinal, diperlukan
pemberian enema. Kemudian bila peristaltik timbul kembali dapat diberikan obat
pelunak feses. Bila traktus gastrointestinal menjadi lebih aktif lagi enema dapat
diganti dengan supositoria.
Operasi
Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus
tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi :
1. reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah
servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.
2. adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen
tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah
dilakukan traksi yang adekuat.
3. trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak
adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh
herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan
mielografi dan scan tomografi untuk membuktikannya.
4. fragmen yang menekan lengkung saraf.
5. adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.
6. Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada
mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan,
harus dicurigai hematoma.
TUMOR MEDULLA SPINALIS
A. DEFINISI
Tumor Medulla spinalis adalah tumor di daerah spinal yang dapat terjadi
pada daerah cervica l pertama hingga sacral.
11
B. KLASIFIKASI
Tumor ini dapat dibedakan atas :
A.Tumor primer:
1) jinak
a) Osteoma dan kondroma berasal dari tulang
b) Neurinoma (Schwannoma) berasal serabut saraf
c) Meningioma berasal dari selaput otak
d) Glioma, Ependinoma berasal dari jaringan otak.
2) ganas
a) Astrocytoma, Neuroblastoma, yang berasal dari jaringan saraf.
b) sel muda seperti Kordoma.
B. Metastasis à Ca. mamae, prostat,
Berdasarkan letak :
Intradural - ekstramedular
Intradural - intramedular
Ekstradural
C. EPIDEMIOLOGI
Tumor primer medula spinalis à 10%-19% dari total tumor SSP dan
insidennya meningkat seiring dengan umur.
Meningioma à >> pada wanita.
Ependymoma à >> laki-laki.
70% à intradural ekstramedular
30% à intradural intramedular.
D. DIAGNOSIS
Gejala-gejala gangguan MS yang disebabkan oleh tumor MS mempunyai
karakteristik SBB :
• Gangguan fungsi motorik : kelumpuhan otot, tanda gangguan piramidal.
• Gangguan sensorik distal, awal penyakit à tidak jelas batasnya.
• Gangguan urinaria.
12
• gangguan sensorik radikuler (meyebar)
• hilangnya refleks superfisial & regleks tendon.
• Nyeri skiatika
• deformitas kolumna vertebralis
• X-Foto : destruksi tulang, pelebaran kanalis servikalis, destruksi processus
spinosus, hemangioma vertebralis.
• LP : kadar protein sangat tinggi (SINDROM FRUIN)
Pemeriksaan Penunjang
Foto Polos
Foto polos tulang belakang berguna untuk skrining, memperlihatkan kelainan
pada 90 % pasien dengan tumor sekunder kolom tulang belakang. Evaluasi foto
polos harus termasuk penilaian :
1. Perubahan tulang kualitatif (litik, blastik, sklerotik). Kebanyakan
metastasis spinal memperlihatkan perubahan osteolitik. Perubahaan
sklerotik atau osteoblastik paling sering terjadi pada metastasis dari
payudara atau prostat.
2. Daerah yang terkena (elemen posterior, pedikel, badan tulang belakang).
Tidak lazim metastasis spinal mengenai hanya elemen posterior (spine dan
lamina). Lebih sering fokus tumor berlokasi di badan tulang belakang,
menyebabkan kompresi kantung dural serta isinya dari depan. Paling
sering, metastasis spinal mengenai dari lateral, didaerah pedikel, dan
meluas keanterolateral dan keposterolateral. Erosi pedikel lebih dini dan
paling sering kelainannya tampak pada foto polos tulang belakang pasien
dengan metastasis spinal. Radiograf anteroposterior tulang belakang
biasanya menampilkan “totem of owls”. Erosi pedikel menimbulkan tanda
“winking owls”; erosi pedikel bilateral menampilkan tanda “blinking
owl”.
13
3. Temuan lain (bayangan jaringan lunak paraspinal, tulang belakang yang
kolaps, fraktura dislokasi patologis, dan mal alignment). Daerah erosi
pedikel sering bersamaan dengan bayangan jaringan lunak paravertebral.
Hilangnya integritas struktural bisa menyebabkan kolaps tulang belakang
dengan kompresi baji. Destruksi lebih lanjut badan tulang belakang bisa
berakibat fraktura dislokasi patologis. Fraktura dislokasi patologis paling
sering terjadi didaerah servikal, dimana pergerakan leher luas, posisi
tergantungnya kepala, dan hilangnya sanggaan rangka iga, semua berperan
menempatkannya pada risiko integritas struktural kolom spinal dan
alignment anatomik kanal spinal.
Sken Tulang
Menggunakan radioisotop, bisa memperlihatkan adanya tumor spinal
metastatik pada tahap lebih awal dibanding foto polos. Diduga 50-75 % ruang
meduler vertebral tergantikan sebelum perubahan radiografik tampak. Namun
sken tulang relatif tidak spesifik. Perubahan degeneratif dan infeksi, seperti tumor
spinal, menyebabkan take positif. Kegunaan sken tulang adalah untuk
menunjukkan adanya pertumbuhan skeletal multipel.
Mielografi
Dimasa lalu merupakan standar untuk menunjukkan lokasi dan tingkat
kord spinal dan akar saraf yang terganggu tumor spinal. Tumor spinal ekstradural,
intradural ekstrameduler dan intrameduler dibedakan dengan pola khas
mielografik. Deviasi kolom kontras menunjukkan asal (anterior, lateral, posterior)
massa penekan. Bila tingkat blok total ditemukan dengan mielografi lumbar
adalah berbeda dengan penilaian klinis, mielografi sisternal harus dilakukan untuk
menentukan perluasan lesi soliter atau untuk menentukan tingkat yang lebih
proksimal yang terkena. MRI sudah menggantikan mielografi sebagai prosedur
diagnostik.
Tomografi Aksial Terkomputer (CT scanning)
14
Berguna menampilkan distribusi tumor spinal, pergeseran kord spinal dan
akar saraf, derajat destruksi tulang, dan perluasan paraspinal dari lesi dalam
dataran horizontal. Juga efektif membedakan kelainan degeneratif jinak tulang
belakang dari lesi neoplastik.
Mgnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan terpilih untuk tumor spinal termasuk metastasis. MRI
memungkinkan penampilan kolom spinal menyeluruh dalam potongan sagital
untuk memastikan tingkat terbatas yang terkena, penyebaran tumor berdekatan
pada tingkat multipel, atau fokus tumor berbeda pada tingkat multipel.
Rekonstruksi horizontal dan koronal memberikan informasi penting atas geometri
tumor, berguna dalam merencanakan operasi dekompresi, juga memberi data
mengenai integritas penulangan tulang belakang, penting dalam memutuskan
rekonstruksi tulang belakang.
MRI mungkin kontra indikasi pada pasien dengan prostetik dan implant,
dimana disini dilakukan mielografi disertai CT.
E. PENGELOLAAN
Tumor Jinak
Tindakan atas neurilemmoma, neurofibroma dan meningioma adalah reseksi
bedah yang biasanya dapat dilakukan lengkap. Terapi radiasi tidak diindikasikan.
Tumor Metastasis
Dirancang untuk mengurangi nyeri dan untuk mempertahankan atau memperbaiki
fungsi neurologis. Sasaran realistik adalah palliasi. Namun mengurangi nyeri serta
menjaga atau memulihkan fungsi neurologis berperan tidak ternilai dalam
menjaga kualitas sisa hidup penderita kanser dan mengurangi kesulitan perawatan.
15
Tindakan radiasi, bedah atau kombinasinya tetap kontroversi. Radioterapi biasa
dipikirkan sebagai terapi inisial bagi kebanyakan pasien dengan tumor spinal
sekunder radiosensitif yang bergejala dengan tanpa defisit neurologis atau
minimal, terutama efektif untuk lesi limforetikuler. Operasi dipikirkan sebagai
pilihan terakhir. Indikasi operasi biasanya adalah gagal atas radiasi, diagnosis
tidak diketahui, fraktur/dislokasi patologis dan paraplegia yang berlangsung cepat
atau sudah berjalan lanjut.
F. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan metastasis spinal simptomatis bervariasi. Keluaran
tindakan tergantung beratnya defisit, lamanya gejala, jenis tumor, lokasi tumor
dan derajat penyakit.
SPONDILITIS TUBERCULOSA
Spondilitis tuberculosa (Tb) merupakan salah satu penyakit tertua yang
telah didokumentasikan disaat zaman besi dan mumi kuno di mesir dan peru pada
16
tahun 1779 oleh percivall pott tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil
tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882,sehingga
etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.
Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang
dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5
tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia
ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering.
Setelah ditemukannya obat anti Tb dan berkembangnya kualitas kesehatan
masyarakat, penyakit spondilitis Tb ini mulai jarang ditemukan di negara maju
namun angka penyakit ini masih tinggi di negara berkembang. Penyakit ini
memiliki potensi morbiditas yang cukup serius meliputi defisit neurologi
permanent dan deformitas. Terapi dengan obat-obatan atau kombinasi terapi
dengan operasi dapat mengontrol penyakit ini pada sebagian besar penderita.
A. DEFINISI
Spondilitis Tb atau Pott disease ialah suatu osteomielitis kronik tulang
belakang yang disebabkan oleh kuman tbc. Infeksi umumnya mulai dari korpus
vertebra lalu ke diskus intervertebralis dan ke jaringan sekitarnya. Daerah yang
paling sering terkena, berturut-turut ialah daerah torakal terutama bagian bawah,
daerah lumbal dan servikal 1 - 4. Akibat perkejuan akan terbentuk abses yang
dapat meluas ke sekitamya dan mencari jalan keluar. Paling sering mengikuti fasia
otot psoas, berkumpuldalam fosa iliaka sampai terjadi fistel kulit.
B. EPIDEMIOLOGI
Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan
mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di
Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan
masalah utama. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit
ini mengalami peningkatan pada populasi imigran,tunawisma lanjut usia dan pada
orang dengan tahap lanjut infeksi HIV (Medical Research Council TB and Chest
Diseases Unit 1980). Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa peminum
17
alkohol dan pengguna obat-obatan terlarang adalah kelompok beresiko besar
terkena penyakit ini.
Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama
mengenai dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan
Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20
tahun). Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi
terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat
terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight
bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering
terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang
belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang
(kurang lebih 50% kasus)(Gorse et al. 1983), diikuti kemudian oleh tulang
panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan
tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah
(umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering
terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai
maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral.
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis
tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan
penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik(7). Insidensi
paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-
anak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa
pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang
ditemukan keadaan ini.
C. FAKTOR RESIKO
1. Usia dan jenis kelamin
18
Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan
hingga masa pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai
kekebalan yang lemah. Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam
bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang
berasal dari penyebaran secara hematogen.
Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalam
mencegah penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah
penyebaran penyakit di paru-paru.
Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi
pada wanita cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi
ini kemudian meningkat kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak
usia terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara
pria bisa mencapai usia 60 tahun.
2. Nutrisi
Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan
menurunkan resistensi terhadap penyakit.
3. Faktor toksik
Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya
tahan tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau
immunosupresan lain.
4. Penyakit
Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia
meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.
5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)
Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan
pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya
malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.
6. Ras
19
Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau
Amerika asli, mempunyai mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap
penyakit ini.
D. PATOFISIOLOGI
Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran
hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui
jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar
tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat
bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem
pulmoner dan genitourinarius. Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang
belakang berasal dari fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa
penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).
Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang
memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian
bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui
pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan
banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih
70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan,
sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.
Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari
vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi
ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior,
melibatkan dua atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah
ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus
intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan
oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang
jauh melalui abses paravertebral.
Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang
baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular
sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus
intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa.
20
Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke
dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya
corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus,
sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga
akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan
tulang
menjadi nekrosi.
Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian
tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan
berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi
intervertebral dan lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul
deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung
dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah
timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini
sudah meluas.
Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang
normal di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar
lordosis dimana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior
sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya
bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar berat
badan disalurkan melalui prosesus artikular.
Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya
fibrosis dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan
fibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra
yang kolap.
Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan
kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan,
dan tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks
dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold abcesss ini
kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang fasial
dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi aslinya.
E. KLASIFIKASI
21
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk
spondilitis:
(1) Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di
bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan
pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus.
Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
(2) Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering
menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain. sehingga
menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang
bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
(3) Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di
atas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped
karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini
diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses
prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya
perubahan lokal dari suplai darah vertebral.
(4) Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan
keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus
transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral
posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemenposterior tidak diketahui
tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.
F. DIAGNOSA
22
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada
banyak faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan
berevolusi lambat. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu
diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga tahun sebagian besar kasus didiagnosa
sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.
Anamnesa dan inspeksi
1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat
malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan
malam hari serta cachexia.
2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah
disertai nyeri dada.
3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang
menjalar.
Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di
daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas
akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di
bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian
perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk
mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.
4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah
kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.
5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan
kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk
dalam posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan
lainnya di oksipital.
Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan
timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa
nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak
pembengkakan di kedua sisi leher.
Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal
notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor
respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan
23
menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). Dislokasi atlantoaksial
karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab
kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini
perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa
di regio servikal (Lal et al. 1992).
6. Di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila
berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi
panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya
sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test).
7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak
yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar
melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi
panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi
dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas
paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi
sendi panggul.
8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang
belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan
dislokasi.
9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit
neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia
pada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan
servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak
bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang
spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi
gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.
10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan
nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari
pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut
disebabkan karena tuberkulosa.
11. Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia
yang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul
24
secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari
kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada
penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya
terjadi pada pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus)
dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini.
Palpasi
1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit
diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan
abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa
iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot
sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar
dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi
destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.
2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena
Perkusi
Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus
vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium :
Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari
100mm/jam.
Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative
(PPD) positif.
Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum
dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru yang aktif)
Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat
relatif.
Tes darah untuk titer anti-staphylococcal dan anti-streptolysin haemolysins,
typhoid, paratyphoid dan brucellosis (pada kasus-kasus yang sulit dan pada
25
pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk
menyingkirkan diagnosa banding.
Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis
tuberkulosa).
Xantokrom, Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal,
Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut
responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik (Kocen
and Parsons 1970; Traub et al 1984). Kandungan protein meningkat.
Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat
kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan. Kandungan protein cairan
serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai
1-4g/100ml.
Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi
yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa dan tahap
infeksi.
2. Radiologis
Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.
Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya
tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).
Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti
adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat
setelah 3-8 minggu onset penyakit.
- Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut
inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut
sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan,
serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk scalloping karena
penyebaran infeksi dari area subligamentous.Infeksi tuberkulosa jarang
melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau prosesus spinosus.
- Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya
deformita scoliosis (jarang)
26
- Pada pasien dengan deformitas gibbus yang sudah lama akan tampak
tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya (
long vertebra atau tall vertebra)
- Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan
psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular
dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan
lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi
pada saat penyembuhan.
3. Computed Tomography – Scan (CT)
Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga
yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti
pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat
kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang.
Bermanfaat untuk membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan
bersifat konservatif atau operatif dan membantu menilai respon terapi.
Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di
abses.
5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal.
mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan
pembacaan histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut)
(berhasil pada 50% kasus).
6. Aspirasi pus paravertebral yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari
basil tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea
babi.
G. KOMPLIKASI
Cedera corda spinalis (spinal cord injury).
27
Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa,
sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia
–prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh
jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika
cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor).
MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau
karena invasi dura dan corda spinalis.
Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal
kedalam pleura.
H. MANAJEMEN TERAPI
Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :
1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit
2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis.
Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa
terbagi menjadi :
Terapi konservatif
1. Pemberian nutrisi yang bergizi
2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa. Obat anti tuberkulosa yang
utama adalah :
- Isoniazid (INH) dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari
- Rifampin (RMP) dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.
- Pyrazinamide (PZA) dosis : 15-30mg/kg/hari
- Ethambutol (EMB) dosis : 15-25 mg/kg/hari
- Streptomycin (STM) dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari
Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS),
ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin. Peran steroid pada terapi
medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih kontroversial. Obat ini membantu
pasien yang terancam mengalami spinal block disamping mengurangi oedema
jaringan (Ogawa et.al 1987). Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus
selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium
secara periodik.
28
3. Istirahat tirah baring (resting)
Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada
turning frame / plaster bed atau continous bed rest. Istirahat dapat dilakukan
dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi
terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan
untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih
lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai
keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan
laboratorium.
Terapi Operatif
Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang
mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research
Council 1993). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang
mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya
kelainan neurologis. Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu
pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif)
dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling
efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi
“pus” tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi
dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat. Selain indikasi diatas,
operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila:
1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi
2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan
3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase
4. penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau
kifosis berat.
5. Penyakit yang rekuren.
Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6
minggu.
29
I. PROGNOSA
Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia
dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis
serta terapi yang diberikan.
a. Mortalitas
Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring
dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien
didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).
b. Relaps
Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan
regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.
c. Kifosis
Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi
kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit
neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi
paru.
d.Defisit neurologis.
Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik
secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis
membaik dengan dilakukannya operasi dini.
e. Usia
Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasaf.
f. Fusi
Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan
permanen spondilitis tuberkulosa.
DAFTAR PUSTAKA
Mardjono M, dkk, Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat, 1988.
30
De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah ed 4 . Philadelphia : Harper & Row
Hangersteron, 1979
Diakses dari www. Pustakaunpad.ac.id pada tanggal 1 maret 2013.
Diakses dari www.wikipedia.com pada tanggal 1 maret 2013.
Diakses dari www.residenneurologi.multiply.com
www.emedicine.traumamedulaspinalis.html
Nuartha B.N., Joesoef A.A., Aliah A., dkk, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 1993
Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000
http://medicastore.com/penyakit/675/
Cedera_Medula_Spinalis_Akibat_Kecelakaan.html
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIENNama : Tn.R
31
Jenis Kelamin : Laki-lakiUsia : 65 tahunAgama : IslamAlamat : Sasak, Pasaman BaratNo. Rekam Medis : 819698Tanggal masuk RS : 28 Februari 2013 ANAMNESIS : Autoanamnesa Keluhan Utama : Lumpuh pada kedua tungkai
Riwayat Penyakit Sekarang: Lumpuh pada kedua tungkai sejak 2 minggu SMRS terjadi tiba tiba.
Pasien sama sekali tidak bisa menggerakkan kedua tungkai sama sekali. Sehingga pasien hanya berbaring di tempat tidur, keluhan disertai dengan rasa raba yang berkurang mulai dari pertengahan pusar ke bawah.
Keluhan disertai dengan BAB yang keluar tanpa disadari dan Pasien mengeluhkan buang air kecil dimana pasien hanya menekan perut bagian bawah agar BAK dapat keluar. 1 minggu yang lalu keluhan BAK bertambah berat dimana pasien sama sekali tidak BAK.
Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat trauma sebelumnya disangkal. Riwayat demam sebelumnya tidak ada. Riwayat batuk batuk lama tidak ada. Riwayat keganasan tidak ada.
Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini.
Riwayat pekerjaan,sosial,ekonomi. Pasien tidak bekerja, aktivitas fisik kurang.
PEMERIKSAAN FISIK
Status GeneralisKeadaan umum : Sakit sedangKesadaran : CMC GCS 15 (E4M6V5)Tekanan darah: 160/100 mmHgNadi : 88 x / menitPernapasan : 20 x / menitSuhu : 37 0C
Leher : Tidak ada jejas, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Paru : In : simetris kiri dan kanan
32
Pa : fremitus kiri = kanan Pe : Sonor Au : vesikular, Ronki -/-, Wheezing -/-
Jantung : In : iktus tidak terlihat Pa : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V Pe : batas jantung dalam batas normal Au : irama teratur, bising (-)
Abdomen : In : tidak membuncit Au : bising usus normal Pe : timpani Pa : hepar dan lien tidak teraba
Punggung : In : tidak ada benjolan, deformitas (-) Pa : Nyeri tekan (+), nyeri ketok (+)
STATUS NEUROLOGISKesadaran : GCS 15 (E4V5M6)Tanda Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-)
Brudzinski I (-)Brudzinski II (-)Laseque -Kernig (-)
Tanda peningkatan tekanan intrakranial: (-)
Pemeriksaan NerviCranialis1. N I : penciuman baik2. N II : penglihatan baik3. N III, IV, VI : ptosis (-), pupil bulat 3 mm / 3 mm, Refleks Cahaya +/+,
Gerak bola mata bebas ke segala arah4. N V : sensorik dan motorik baik5. N VII : dalam batas normal6. N VIII : dalam batas normal7. N IX, X : Refleks menelan (+), uvula di tengah,
arkus faring simetris, Refleks muntah (+)8. N XI : menoleh ke kanan kiri (+), mengangkat bahu (+)9. N XII : dalam batas normal
PemeriksaanMotorikEkstremitas atas : eutrofi, eutonusEkstremitas bawah : eurofi, hipertonus
Kekuatan :5 5 5 555
33
000 0 0 0
Refleks fisiologis :++ ++
+++ +++
Reflex patologis : _ _
+ +
Pemeriksaan sensorikRangsang raba : (-) pada kedua tungkai mulai dari pertengahan pusat
hingga ujung jari kakiRangsang nyeri : (-) pada kedua tungkai mulai dari pertangahan pusat
hingga ujung jari kakiRangsang suhu : (-) pada kedua tungkai mulai dari pertangahan pusat
hingga ujung jari kakiPropioseptif : (-) pada kedua tungkai mulai dari pertengahan pusat
hingga ujung jari kakiDiskriminasi 2 titik : (-) pada kedua tungkai mulai dari pertengahan pusat
hingga ujung jari kaki
Saraf otonom: BAK : inkontinensia urinBAB : inkontinensia alviBerkeringat : normal
Pemeriksaan Fungsi Luhur: Memori : dalam batas normalKognitif : dalam batas normalBahasa : dalam batas normal
Pemeriksaan Koordinasi: Tes supinasi-pronasi : dalam batas normalTes tunjuk hidung : dalam batas normal
Laboratorium :Hb : 16,4 g/dlHt : 50 %Leukosit : 11.600 /mm3
Trombosit :275.000 /mm3
Na/K/Cl : 137/4.2/104
Pemeriksaan Rontgen thoraco lumbal dengan ekspertise :Tampak destruksi pada corpus vertebre Th XII-LIDiskus invtervertebralis menyempit pada Th XII-LI
34
DIAGNOSISDiagnosis Kerja:
Klinis : paraplegia inferior tipe UMNTopis : segmen medula spinalis setinggi Th XII-LIEtiologi : Fraktur KompresiDiagnosa sekunder : Hipertensi Stage II
PEMERIKSAAN ANJURAN MRI tulang belakang (torako-lumbal)
TATALAKSANAUmum
Diet MB RG IIIVFD RL 12 jam/kolfPasang Kateter urin,untuk balance cairanKonsultasi ahli bedah syaraf Konsultasi ahli bedah ortopedi
KhususMethyl prednisolon 4x125 mg (po) Ranitidine 2 x 50 mg (iv)Amlodipin 1x5 mg (po)
PROGNOSISQuo ad vitam : dubia ad bonamQuo ad functionam : dubia ad malamQuo ad sanationam : dubia ad bonam
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien laki-laki 65 tahun di bangsal Neurologi RS. M. Djamil Padang dengan diagnosis klinis paraplegia inferior tipe UMN,
35
diagnosis topik segmen medula spinalis setinggi Th XII-L1, diagnosis etiologi fraktur kompresi serta diagnosis sekunder hipertensi stage II. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta ditunjang dengan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan pasien mengalami lumpuh pada kedua tungkai sejak 2 minggu SMRS. Keluhan disertai dengan tidak adanya rasa ingin BAK dan BAB keluar tanpa disadari. Dari hasil pemeriksaan neurologis tidak ditemukan kelainan pada saraf kranial, namun pada pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan pada kedua tungkai adalah 0 0 0 disertai hilangnya sensoris serta propioseptif pada kedua tungkai mulai dari pertengahan pusat hingga ujung jari kaki. Ditemukan refleks fisiologis meningkat dan balbinski pada kedua tungkai. Hasil foro rotgen thorako-lumbal didapatkan kesan multiple kompresi fraktur di Th XII-LI. Dari anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan maka pada pasien ini mengarah kepada diagnosis paraplegi inferior tipe UMN akibat fraktur kompresi medula spinalis.
Pada pasien diberikan terapi umum Diet MB RG II, pasang kateter urin, , konsultasi
ahli bedah syaraf, konsultasi ahli bedah ortopedi. Pengobatan khusus yang
diberikan adalah methyl prednisolon 4 x 125 mg tab, ranitidine 2 x 50 mg
dan amlodipin 1x5 mg tab.
36