case itp
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
Pupura Trombositopenia Idiopatik (PTI) merupakan suatu kelainan didapat yang berupa
gangguan autoimun yang mengakibatkan trombositopenia oleh karena adanya penghancuran
trombosit secara dini dalam sistem retikuloendotel akibat adanya autoantibodi terhadap trombosit
yang biasanya berasal dari Immunoglubolin G (IgG) yang bersirkulasi dalam darah.
Adanya trombositopenia pada PTI ini akan mengakibatkan gangguan pada sistem
hemostasis karena trombosit bersama dengan sistem vaskular faktor koagulasi darah terlibat
secara bersamaan dalam mempertahankan hemostasis normal. Manifestasi klinis PTI sangat
bervariasi mulai dari manifestasi perdarahan ringan, sedang sampai dapat mengakibatkan
kejadian-kejadian yang fatal. Kadang juga asimptomatik.
Diperkirakan insidensi PTI terjadi pada 100 kasus per 1 juta penduduk per tahun, dan
kira-kira setengahnya terjadi pada anak-anak dengan usia puncak 5 tahun, dimana jumlah
kasuspada anak laki-laki dan perempuan sama perbandingannya. Namun pada orang dewasa, ITP
paling sering terjadi pada wanita muda: 72 persen pasien selama 10 tahun adalah perempuan, dan
70 persen wanita ini usianya kurang dari 40 tahun. Pada anak-anak itu biasanya merupakan tipe
akut, yang sering mengikuti suatu infeksi, dan sembuh dengan sendirinya (self limited). Pada
orang dewasa umumnya terjadi tipe kronis.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Fisiologi Tombosit
Trombosit adalah fragmen-fragmen sel tak berinti yang diproduksi dari megakariosit oleh
sumsum tulang. Ketika megakariosit tersebut matur, sejumlah besar trombosit dilepaskan ke
dalam sirkulasi. Setelah dilepaskan, usia trombosit itu sendiri berkisar antara 7 sampai dengan 10
hari, setelah itu mereka dihapus dari peredaran oleh sistem monosit dan makrofag.1
Gambar 1. Hematopoesis
Trombosit yang beredar melakukan banyak fungsi hemostasis penting. Ketika ada
pembuluh darah kecil terbelah, trombosit berakumulasi pada lokasi cedera dan membentuk
sumbatan hemostatik. Adhesi platelet diawali oleh kontak dengan komponen ekstravaskular
seperti kolagen, dan difasilitasi dengan adanya faktor Von Willebrand. Sekresi mediatormediator
2
hemostasis seperti tromboksan, adenosine 5 difosfat, serotonin, dan histamine menyebabkan
terjadinya agregasi yang kuat melalui ikatan fibrinogen dan peningkatan vasokonstriksi lokal.
Trombosit juga berperan dalam penghancuran kembali bekuan darah. Risiko perdarahan
meningkat dengan rendahnya jumlah trombosit.1 Rentang hitung jumlah trombosit normal
berkisar antara 150 - 450 x 103/μL. Risiko perdarahan tidak akan meningkat sampai penurunan
jumlah trombosit yang signifikan hingga dibawah 100 x 103/μL (Gambar 1). Jumlah trombosit
lebih besar dari 50 x 103/μL cukup untuk kelangsungan hemostasis dalam sebagian besar situasi,
dan pasien dengan trombositopenia ringan kemungkinan besar tidak akan diketahui kecuali jika
hitung trombosit dilakukan atas alasan yang lain. Pasien dengan trombositopenia sedang, dengan
jumlah trombosit antara 30 sampai 50 x 103/μL jarang mengalami gejala (seperti mudah lecet
atau berdarah), bahkan dengan trauma yang signifikan. Pasien yang secara persisten hitung
trombositnya antara 10 - 30 x 103/μL kadangkala juga tanpa gejala dengan aktivitas keseharian
yang normal namun memiliki risiko perdarahan berlebihan pada trauma yang signifikan.
Perdarahan spontan tidak akan terjadi kecuali hitung trombositnya kurang dari 10 x 103/μL.
Pasien seperti ini biasanya mengalami ptekie dan memar, namun bahkan kadangkala juga
asimptomatik. Pada sebagian besar kasus, terlihat bahwa jumlah trombosit harus kurang dari 5 x
103/μL untuk menyebabkan perdarahan kritis spontan (seperti perdarahan intracranial tanpa
disebabkan trauma).1
3
Gambar 2. Proses pembentukan platelet plug
Trombosit muda memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih aktif secara hemostasis.
Maka dari itu, pasien dengan trombositopenia destruktif dengan produksi normal tidak akan
mengalami perdarahan hebat karena banyaknya trombosit muda, jika dibandingkan dengan
pasien yang memiliki gangguan fungsi trombosit yang mengakibatkan trombosit tua lebih
banyak di sirkulasi.1
2.2 Definisi
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit pada darah yang kurang dari
150 x 103/μL atau 150 x 109/L, dan merupakan penyebab utama dalam gangguan hemostasis
primer yang dapat menyebabkan perdarahan signifikan pada anak-anak. Jika jumlah trombosit
berkurang manifestasi klinisnya ditandai dengan timbulnya ptekie, purpura, perdarahan pada
mukosa, biasanya sering pada mukosa hidung dan mulut. 2
4
Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI/ITP) adalah suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari
150.000/n.L) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan destruksi
prematur dari trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di limpa.1 Purpura
Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai dengan jumlah
trombosit yang rendah dan perdarahan mukokutan.2
2.3 Epidemiologi
ITP adalah penyebab paling banyak trombositopenia imun pada anak-anak, dengan
tingkat insidens kasus simptomatik antara 3 sampai 8 per 100.000 anak tiap tahun. Pasien
pediatrik yang mengalami ITP biasanya berumur 2 sampai 10 tahun, dengan insidens tertinggi
antara usia 2 sampai 5 tahun. Tidak terdapat bias gender yang signifikan terhadap insidens ITP
pada anak-anak. Merupakan penyebab tersering trombositopenia tanpa anemia atau neutropenia.1
ITP diperkirakan merupakan salah satu penyebab kelainan perdarahan didapat yang banyak
ditemukan, insiden penyakit simtomatik berkisar 3 sampai 8 per 100.000 anak pertahun. 80-90%
anak dengan ITP menderita episode perdarahan akut yang akan sembuh dalam 6 bulan. Pada ITP
akut tidak ada perbedaan insiden laki-laki maupun perempuan dan akan mencapai puncak pada
usia 2-5 tahun. ITP kronis terjadi pada anak usia > 7 tahun, sering terjadi pada anak perempuan.
ITP rekuren didefinisikan sebagai adanya episode trombositopenia > 3 bulan dan terjadi pada 1-4
% dengan ITP. 3
2.5 Etiologi
Trombositopenia dapat disebabkan karena :
1. Produksi trombosit yang berkurang
a. Pansitopenia
Pansitopenia bisa disebabkan karena keganasan (leukemia) , infiltrasi pada
sumsum tulang (neuroblastoma), kegagalan pada sumsum tulang (anemia
aplastik), infeksi virus (HIV) , obat-obatan yang toksik, dan radiasi.
b. Trombopoesis yang tidak efektif
5
i. Dapat ditemukan pada kelainan kongenital yang jarang,yaitu
thrombocytopenia – absent radius (TAR) syndrom , Wiskott Aldrich
syndrom, trombosistopenia amegakariosit kongenital, penyakit platelet
raksasa (Bernand-soulier Syndrom)
ii. Infeksi virus, contohnya EBV, CMV, parvovirus
2. Peningkatan konsumsi trombosit
a. Imun
i. Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)
ii. Penyakit autoimun dan kolagen-vaskuler (SLE)
iii. Disebabkan virus HIV
iv. Trombositpenia diinduksi obat,contohnya heparin
b. Nonimun
i. Disseminated intravascular coagulation (DIC)
ii. Hemolytic – Uremic syndrom (HUS)
iii. Sepsis
iv. Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP)
3. Destruksi trombosit
Keadaan ini dapat ditemukan pada hipersplenisme, yaitu aktivitas lien yang berlebihan
dapat disebabkan karean infeksi, inflamasi, kongesti, kelainan sel darah merah.
4. Dilusi dari trombosit.
Hemodilusi menyebabkan konsentrasi relatif trombosit pada darah berkurang 1
ITP sendiri seringkali disebabkan oleh suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri/ virus
yang memicu sistem imun untuk bekerja dan mendegradasi platelet pada limpa.
2.6 Patogenesa dan Patofisiologi
2.6.1 Immune Trombositopeni Purpura (ITP)
Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibodi terhadap glikoprotein yang
terdapat pada membrane trombosit. Penghancuran terjadi terhadap trombosit yang diselimuti
antibody (antibody coated platelets) tersebut dilakukan oleh makrofag yang terdapat pada limpa
dan organ retikuloendotelial lainnya.3
6
Megakariosit dalam sumsum tulang bisa normal atau meningkat pada ITP. Sedangkan
kadar trombopoietin dalam plasma, yang merupakan progenitor proliferasi dan maturasi dari
trombosit mengalami penurunan yang berarti, terutama pada ITP kronis.3
Tabel 1. Perbedaan ITP akut dan kronis
PTI akut PTI Kronik
Awal penyakit 2-6 tahun 20-40 tahun
Rasio L:P 1:1 1:2-3
Trombosit < 20.000/mL 30.000-100.000/mL
Lama Penyakit 2-6 minggu Beberapa tahun
Perdarahan Berulang Beberapa
hari/minggu
Adanya perbedaan secara klinis maupun epidemiologis antara ITP akut dan kronis
menimbulkan dugaan adanya perbedaan mekanisme patofisiologi terjadinya trombositopenia
diantara keduanya. Pada ITP akut, telah dipercaya bahwa penghancuran trombosit meningkat
karena adanya antibody yang dibentuk saat terjadi respons imun terhadap infeksi bakteri/virus
atau pada imunisasi, yang bereaksi silang dengan antigen dari trombosit. Mediator-mediator lain
yang meningkat selama terjadinya respons imun terhadap infeksi, dapat berperan dalam
terjadinya penekanan terhadap produksi trombosit. Sedangkan pada ITP kronis mungkin telah
terjadi gangguan pada regulasi system imun seperti pada penyakit autoimun lainnya, yang
berakibat terbentuknya antibody spesifik terhadap trombosit.3
Saat ini telah diidentifikasi beberapa jenis glikoprotein (GP) permukaan trombosit pada
ITP, diantaranya GP IIb-Iia, GP Ib, dan GP V. Namun bagaimana antibody antitrombosit
7
meningkat pada PTI, perbedaan secara pasti patofisiologi PTI akut, serta komponen yang terlibat
dalam regulasinya masih belum diketahui.3
2.7 Manifestasi Klinis
Anak-anak dengan trombositopenia dapat menimbulkan gejala atau tidak. Pada pasien
yang tidak menunjukkan gejala, trombositpeni sering dideteksi secara tidak sengaja pada
pemeriksan hitung jenis. Pada pasien yang menunjukkan gejala biasanya muncul dengan keluhan
perdarahan mukosa atau perdarahan kutaneus. Perdarahan kutaneus muncul berupa ptekie atau
perdarahan kutaneus biasanya muncul sebagai petechie atau ekimosis superfisial. Pasien yang
memiliki thrombositopenia juga mungkin memiliki perdarahan persisten dari luka yang dangkal.
Petechiae, lesi diskret berukuran sebesar ujung jarum, merah, datar, disebabkan oleh
ekstravasasi sel darah merah dari kapiler kulit, dicirikan dengan menurunnya jumlah platelet
atau fungsi platelet. Petechiae tidak nyeri dan tidak hilang dengan penekanan. Petechie tidak
memberikan gejala dan tidak teraba dan harus dibedakan dari telangiektasis kecil dan
vaskulitis purpura (teraba).
Purpura menggambarkan perubahan warna keunguan pada kulit akibat adanya petechiae
konfluen.
Ekimosis adalah daerah perdarahan dalam kulit yang tidak nyeri yang biasanya kecil,
multipel, dan dangkal, dan dapat berkembang tanpa trauma yang terlihat. Ekimosis memiliki
berbagai warna tergantung kepada darah yang tereksavasasi (merah atau ungu) dan
kerusakan heme yang sedang berlangsung dalam darah yang tereksavasasi oleh makrofag
kulit (hijau, kuning, atau coklat)
Pola perdarahan ini berbeda dari pasien yang memiliki gangguan faktor koagulasi, seperti
hemofilia. Pasien dengan trombositopenia cenderung mengalami sedikit perdarahan dalam otot
atau sendi, banyak perdarahan setelah luka kecil, sedikit perdarahan tertunda, dan sedikit
perdarahan pascaoperasi. Selain itu, pasien yang mengalami gangguan faktor koagulasi
cenderung tidak memiliki petechiae. Meskipun jarang, perdarahan sistem saraf pusat adalah
penyebab kematian paling umum akibat trombositopenia. Ketika perdarahan tersebut terjadi,
sering didahului oleh riwayat trauma kepala. 1
8
Pasien dengan Purpura Trombositopenik Imun (PTI) biasanya merupakan anak sehat
yang tiba-tiba mengalami perdarahan baik pada kulit, purpura atau perdarahan pada mukosa
hidung (epistaksis). Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya perdarahan
trombosit (platet-type bleeding), yaitu ptekie, pupura, perdarahan konjungtiva, atau perdarahn
mukokutaneus lainya. Perlu dipikirkan penyakit lain, jika ditemukan adanya pembesaran hati dan
atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10% anak dengan PTI. 3 Pada
ITP akut, pada pemeriksaan fisik akan didapatkan manifestasi perdarahan berupa ptekie dan
memar yang terjadi secara tiba-tiba. Limfadenopati ringan atau splenomegali mungkin disertai
infeksi virus. Sedangkan pada ITP kronik biasanya memiliki penyakit yang mendasari. Beberapa
anak dengan ITP kronik memiliki kelainan imunologik seperti Evans syndrom atau autoimmune
lymphoroliferative syndrom (ALPS). 1
2.8 Diagnosis
2.8.1 Diagnosis ITP
Biasanya pasien ITP merupakan anak yang sehat yang tiba-tiba mengalami perdarahan
baik pada kulit, petekie, purpura atau perdarahan pada mukosa hidung (epistaksis). 3 Lama
terjadinya perdarahan ITP dapat membantu membedakan antara ITP akut dan kronis. Tidak
didapatkannya gejala sistemik dapat membantu menyingkirkan kemungkinan suatu bentuk
sekunder dan diagnosis lainnya. Perlu juga dicari riwayat tentang penggunaan obat atau bahan
yang lain yang dapat menyebabkan trombositopenia. Riwayat keluarga umumnya tidak
didapatkan.3
Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya perdarahan tipe
trombosit (platelet type bleeding), yaitu petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, atau
perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan kemungkinan suatu penyakit lain, jika
ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada
lebih kurang 10% anak dengan ITP.3
Selain, trombositopenia, pemeriksaan darah tepi lainnya pada anak dengan ITP umumnya
normal sesuai dengan umurnya. Pada lebih kurang 15% pasien didapatkan anemia ringan karena
perdarahan yang dialaminya. Pemeriksaan hapusan darah tepi diperlukan untuk menyingkirkan
kemungkinan pseudotrombositopenia, sindroma trombosit raksasa yang diturunkan (inherited
9
giant platelet syndrome) dan kelainan hematologi lainnya. Trombosit yang imatur
(megatrombosit) ditemukan pada sebagian besar pasien. Pada pemeriksaan dengan flow
cytometry terlihat trombosit pada ITP lebih aktif secara metabolic, yang menjelaskan mengapa
dengan jumlah trombosit yang sama, perdarahan lebih jarang didapatkan pada ITP disbanding
pada kegagalan sumsum tulang. Pemeriksaan laboratorium sebaiknya dibatasi terutama pada saat
terjadinya perdarahan dan jika secara klinis ditemukan kelainan yang khas.3
Perlu tidaknya pemeriksaan aspirasi sumsum tulang secara rutin dilakukan pada anak
dengan dugaan ITP masih menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ahli. Umumnya
pemeriksaan ini dilakukan pada kasus yang meragukan. Namun, tidak pada kasus-kasus dengan
manifestasi klinis yang khas. Beberapa ahli berpendapat bahwa leukemia tidak pernah nampak
dengan trombositopenia saja, tapi tidak semua rumah sakit berpengalaman dalam pemeriksaan
hapusan darah pada anak. Pemeriksaan sumsum tulang dianjurkan pada kasus-kasus yang tidak
khas, misalnya pada :
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang tidak umum, misalnya panas, penurunan
berat badan, kelemahan, nyeri tulang, pembesaran hati dan atau limpa.
Kelainan eritrosit dan leukosit pada pemeriksaan darah tepi.
Kasus yang akan diterapi dengan steroid, baik sebagai pengobatan awal atau yang gagal
diterapi dengan immunoglobulin intravena.
Pada audit yang dilakukan di negara maju,disepakati bahwa pemeriksaan aspirasi
sumsum tulang sebaiknya dilakukan sebelum pengobatan steroid diberikan. Terdapat pula
kesepakatan yang didukung oleh hasil beberapa penelitian retrospektif, bahwa pemeriksaan
sumsum tulang tidak diperlukan pada pasien yang hanya diobservasi atau dengan terapi
immunoglobulin intravena.3
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada pasien ITP adalah mengukur antibody yang
berhubungan dengan trombosit (platelet-associated antibody) dengan menggunakan direct assay.
Namun pemeriksaan ini juga belum dapat membedakan ITP primer dengan sekunder. Atau anak
yang akan sembuh dengan sendirinya dengan yang akan mengalami perjalanan menjadi kronis.3
Diagnosis ITP ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab
trombositopenia yang lain. Bentuk sekunder kelainan ini didapatkan bersamaan dengan
10
Eritematosus Lupus Sistemik (ELS), sindroma antifosfolipid, leukemia atau limfoma, defisiensi
IgA, hipogamaglobulinemia, infeksi HIV atau hepatitis C dan pengobatan dengan heparin atau
quinidin. 3 Pada anak yang berumur kurang dari 3 bulan, kemungkinan suatu trombositopenia
congenital perlu disingkirkan. Pada sindrom Bernard-Soulier perdarahan sering lebih hebat fari
jumlah trombosit yang diduga (contohnya, perdarahan yang nyata pada jumlah trombosit
30.000/mm3). Pada sindrom Wiskott-Aldrich didapatkan trombosit yang lebih kecil dari normal,
sedangkan pada ITP biasanya lebih besar dari bentuk trombosit normal. Kelainan congenital lain
yang dapat menyebabkan perdarahan pada bayi dan terdiagnosa sebagai ITP adalah penyakit von
Willebrand’s tipe IIb, yang disebabkan faktor von Willebrand abnormal agregasi trombosit dan
trombositopenia.3 Anak yang lebih tua dan mereka yang mengalami perjalanan menjadi kronis,
perlu dipikirkan adanya kelainan autoimun yang lebih luas, serta perlu dicari adanya tanda-tanda
dan atau gejala-gejala dari ELS atau sindrom antifosfolipid.3 Pada anak yang menderita varisela
yang disertai trombositopenia perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti, sebab meskipun
jarang namun dapat mengancam jiwa berhubungan dengan kekurangan protein S yang didapat
dan thrombosis mikrovaskuler.3
2.9 Pemeriksaan Penunjang
2.9.1 Temuan Laboratorium
2.9.1.1 Darah
Kelainan trombosit dari segi ukuran dan morfologi pada umumnya sering ditemukan.
Biasanya didapatkan platelet abnormal dari segi ukuran ( diameter 3-4 mikron). Trombosit kecil
yang abnormal dan fragmen – fragmen trombosit ("mikropartikel") juga ditemukan dan temuan
tersebut setara dengan microspherocytes dan schistocytes . meskipun fragmen megakariosit
mungkin terlihat pada apusan darah rutin, studi kuantitatif mengungkapkan jumlah abnormal
fragmen ini .1
Perkiraan volume trombosit rata-rata (Mean Platelet Volume- MPV) dan tingkat
heterogenitas ukuran trombosit (distribusi trombosit) dengan cara penghitungan partikel secara
otomatis mungkin, jika ada, memberikan informasi yang berguna dalam mengevaluasi pasien
dengan ITP . Adanya sejumlah megathrombocyte menghasilkan nilai MVP yang tinggi dan
11
menyebabkan distribusi trombosit juga meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan abnormal
anisositosis trombosit. Teori yang tepat yang mendasari megathrombocytosis sebenarnya masih
belum pasti, tapi hal ini mungkin karena produktifitas yang meningkat sebagai respon terhadap
penghancuran trombosit.1
Kondisi anemia sebanding dengan tingkat kehilangan darah dan biasanya normositiik.
Jika perdarahan yang terjadi berat dan lama,anemia zat besi bisa terjadi. Perdarahan hebat yang
baru terjadi bisa menyebabkan retikulositosis dan makrositosis relative. Antibodi antiplatelet
pada pasien dengan ITP biasanya tidak bereaksi silang dengan eritrosit meskipun hanya berupa
fragmen eritrosit. Pada pasien juga bisa ditemukan uji Coomb positif dan anemia hemolitik
autoimun. Kombinasi keduanya dikenal sebagai sindrom Evans.1 Jumlah total leukosit dan
hitung jenis biasanya normal, kecuali untuk perubahan-perubahan akibat perdarahan akut seperti
neutrofilia ringan sampai sedang dengan peningkatan bentuk imatur. Eosinophilia juga bisa
ditemukan terutama pada anak-anak, tetapi temuan ini tidak terlalu berarti. 1 Uji hemostasis dan
pembekuan darah menunjukkan perubahan pada keadaan trombositopenia, contohnya
pemanjangan bleeding time. hasil uji pembekuan darah, termasuk protrombin time, parsial
tromboplastin time, biasanya normal pada pasien dengan trombositopenia ringan. Sedikit
peningkatan dari FDP (fibrinogen degradation product) dapat ditemukan dalam plasma beberapa
pasien dengan ITP . Konsentrasi thrombopoietin tidak meningkat secara signifikan pada pasien
ITP, berbeda dengan pasien dengan trombositopenia akibat penurunan produksi. 1
2.9.1.2 Sumsum tulang
Perubahan dalam sumsum tulang biasanya terbatas pada megakariosit meskipun
hiperplasia normoblastic dapat berkembang sebagai akibat dari kehilangan darah. Leukosit
biasanya normal namun kadang- kadang dapat ditemukan eosinophilia. Megakariocyte, ukrannya
biasanya meningkat, tapi jumlahnya bisa normal atau meningkat. Abnormalitas morfologi sel ini
muncul pada sebagian pasien ITP. pemeriksaan sumsum tulang kadang kadang membantu
terutama dalam membedakan ITP dengan kondisi lainnya yang meragukan. Perubahan –
perubahan diatas bisa ditemukan pada hampir semua kasus trombositopenia yang disebabkan
oleh penghancuran platelet besar-besaran sehingga perubahan tersebut tidak khas dalam
menegakkan diagnosis ITP. Perbedaan antara megakariocyte yang ditemukan pada ITP akut dan
12
kronis tidak jelas dan pemeriksaan sumsum tulang tidak sangat membantu dalam menentukan
prognosis. 1
2.9.1.3 antiplatelet antibodi
Trombositopenia autoimun adalah diagnosis eksklusi dan bergantung pada gambaran
klinis. Beberapa jenis tes antibodi antiplatelet telah dikembangkan dan dilaporkan selama
bertahun-tahun. Pemeriksaan ini mengukur berbagai jenis Ig termasuk antibodi antiplatelet
serum, Ig permukaan terkait-platelet atau Ig trombosit total dan sekarang tidak bisa dijadikan
patokan. Pada penelitian terbaru pada uji antibodi antiplatelet, antibodi monoklonal untuk
glicoprotein membran spesifik platelet yang terlibat dalam ITP digunakan dalam uji
penangkapan antigen (juga disebut glycoprotein immobilization assays). studi terbaru telah
melaporkan bahwa spesifisitasnya 78 sampai 93%. Namun sensitivitas nya (49 sampai 66%)
sehingga tidak cukup untuk menyingkirkan ITP jika tes ini negative. Pada masa yang akan
datang mungkin akan digunakan pemeriksaan flow cytometry dalam diagnosis dan tindak lanjut
dari trombositopenia autoimun. 1
2.10 TATALAKSANA
2.10.1 Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP)
Terdapat perbedaan signifikan pada manajemen ITP pada anak yang dipublikasi pada
guideline dari Negara-negara maju. Berdasarkan American Society of Hematology, tatalaksana
terbaik adalah observasi, kecuali jika jumlah platelet 20.000/mm3 dengan perdarahan mukosa
signifikan atau 10.000/mm3 dengan purpura minor.
Tatalaksana yang digunakan pada ITP akut diantaranya adalah Intravenous
Immunoglobulin (IVIg), kortikosteroid, dan anti-D immunoglobulin (anti-D Ig). Peranan obat-
obatan tersebut masih kontroversi. Obat-obatan diatas hanya meningkatkan jumlah platelet
namun tidak mempengaruhi perjalanan klinis penyakit 14
Manajemen awal ITP
1. Menentukan status penyakit pasien
13
Tentukan jenis perdarahan yang dialami pasien
Tentukan waktu perdarahan, lokasi, dan tingkat keparahan dari perdarahan
Tentukan apakah pasien memiliki faktor-faktor resiko perdarahan seperti penggunaan
antithrombotic agents atau pekerjaan dengan risiko tinggi
Apakah pasien akan menjalani prosedur bedah?
Apakah pasien ini akan lebih merespon terapi yang direkomendasikan?
Apakah perdarahan yang dialami pasien mengganggu aktivitas sehari-hari atau
menimbulkan ansietas.
2. Pertimbangan umum dalam terapi awal
Mayoritas pasien tanpa perdarahan atau perdarahan ringan (ditentukan sebagai
perdarahan dengan manifestasi pada kulit saja, seperti ptekie dan memar) dapat
diobservasi saja berapapun jumlah trombositnya
Terapi lini pertama berupa observasi, kortikosteroid, IVIg, atau anti-D immunoglobulin
Anti-D harus digunakan secara hati-hati berdasarkan peringatan dari FDA baru-baru ini
akan hemolisis. Maka dari itu tidak dianjurkan diberikan pada pasien dengan perdarahan
yang menyebabkan penurunan hemoglobin, atau pasien dengan hemolysis autoimun.
3. Pertimbangan khusus terapi pada anak
Single-dose IVIg (0.8-1.0 g/kg) atau kortikosteroid short course digunakan sebagai terapi
lini pertama IVIg sebaiknya digunakan dibandingkan dengan kortikosteroid jika dibutuhkan
peningkatan jumlah platelet. Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan kortikosteroid jangka
panjang dibandingkan dengan jangka pendek.
Anti-D dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada anak dengan Rh+ yang
belum displenectomy dengan mempertimbangkan risiko-risiko di atas. 15
Terapi Khusus
Splenectomy
Direkomendasi pada anak-anak dengan perdarahan signifikan dan persisten dan respons
yang kurang terhadap terapi kortikosteroid, IVIf, dan anti-D dan/atau membutuhkan
peningkatan kualitas hidup.
14
Rituximab
Dapat dipertimbangkan pada anak-anak dengan ITP yang memiliki perdarahan signifikan
dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas hidup. Juga dipertimbangkan sebagai
alternatif splenectomy pada anak-anak dengan ITP kronik atau yang gagal splenectomy.
Agonis Reseptor Trombopoietin
Masih dipelajari pada berbagai studi namun belum ada petunjuk penggunaan pada anak
yang telah dipublikasi
Deksametason dosis tinggi
Dapat dipertimbangkan pada anak-anak atau remaja dengan ITP dengan perdarahan
massif dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas hidup. Dapat dipertimbangkan
sebagai alternative splenectomy pada anak dengan ITP kronik atau pada pasien yang
gagal splenectomy
Immunosupresi
Beberapa agen telah dilaporkan, namun data tentang agen yang spesifik masih kurang
untuk rekomendasi. 15
4. Pertimbangan Khusus pada ITP Sekunder
1. ITP Sekunder (HIV-associated)
Tatalaksana penyakit dasar HIV dengan antiviral therapy sebelum tatalaksana lainnya pada
pasien dengan perdarahan signifikan
IVIg, kortikosteroid, atau anti-D dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan terapi
lanjutan
Splenectomi dapat dipertimbangkan pada pasien yang gagal diterapi dengan obat-obatan
awal
2. ITP Sekunder (HCV-associated)
Terapi antiviral dapat dipertimbangkan jika tidak ada kontraindikasi, namun jumlah
platelet harus dimonitor secara ketat pada situasi yang beresiko terjadi trombositopenia
akibat interferon
15
Jika dibutuhkan terapi, tatalaksana awal harus dengan IVIg
3. ITP Sekunder (H.pylori-associated)
Test rutin terhadap Helicobacter Pylori tidak dianjurkan pada anak dengan ITP yang tidak
teratasi namun asimptomatik
Terapi dilanjutkan dengan eradikasi H.Pylori jika ditemukan infeksi
4. MMR-Related ITP
Anak-anak dengan riwayat ITP namun belum diimunisasi dapat menerima vaksinasi MMR
pertama
Pada anak dengan ITP yang berhubungan/tidak dengan vaksinasi yang telah menerima
dosis pertama vaksinasi MMR, titer vaksin dapat diterima. Jika anak menunjukkan
imunitas lengkap, tidak perlu diberikan vaksin MMR lanjutan. Jika anak tidak memiliki
imunitas yang adekuat, anak dapat diimunisasi ulang pada usia yang dianjurkan.15
16
Tabel.1: Pilihan terapi farmakologik ITP. 16
Agent Dosis
Rituximab 375 mg/m2/minggu dibagi 4 dosis
Anti-D Immunoglobulin 50-75 μg/kg, diulang dalam interval 3 minggu
sesuai
jumlah trombosit
Siklofosfamid 150 mg/hari hingga 8 minggu
Colchicine 200 mg/hari hingga 4 minggu
Dexamethason 40 mg/kg/hari selama 4 hari, diulang dalam
interval 4 hari
Danazole 400 mg 2 kali sehari selama 1 bulan/lebih
IVIG 1 g/kg dalam dosis terbagi, diulang dalam
interval 2-4
minggu pada dosis 400 mg/kg
Prednison 1 mg/kg/hari selama 14 hari
Vincristine 2 mg pada interval 5-7 hari dalam 2 dosis atau
lebih
Vinblastin 7,5 mg pada interval 5-7 hari dalam 3 dosis
atau lebih
Beberapa perubahan tatalaksana farmakologik awal pada ITP
1. Kortikosteroid
Terdapat sedikit perubahan dibandingkan guideline ASH 1996. Telah dilakukan suatu
randomized trial sejak guideline sebelumnya dikeluarkan yang membandingkan observasi saja
dengan pemberian prednisone 2 mg/kg/hari selama 2 minggu yang kemudian di taperingoff
selama 21 hari pada pasien dengan jumlah platelet antara 10 - 29 x 109/L tanpa tanda perdarahan
mukosa. Dengan target jumlah platelet 30 x 109/L. Tidak terdapat perbedaan statistik signifikan
antara pemberian prednisone dengan observasi dalam mencapai target (secara berurutan 2 hari vs
4 hari). Selain itu tidak terdapat perdarahan baru yang membutuhkan perawatan tambahan pada
17
kedua grup. Tidak ada bukti yang memadai untuk menentukan apakah penggunaan
kortikosteroid pada populasi dengan risiko perdarahan tinggi berguna atau tidak. Walaupun
demikian, anak dengan jumlah platelet kurang dari 10 x 109/L atau dengan perdarahan mukosa
masih dipertimbangkan untuk diberikan terapi kortikosteroid rutin oleh dokter. Jika
kortikosteroid dipilih sebagai tatalaksana awal, tidak terdapat bukti ataupun support terhadap
dosis atau pemilihan yang mana lebih baik dibandingkan yang lain. Pemberian kortikosteroid
jangka panjang pada anak dengan ITP akut harus dihindari karena efek sampingnya. 17
2. IVIg
Terdapat sedikit perubahan dibandingkan guideline ASH 1996. Sebuah meta-analisis
yang membandingkan tatalaksana dengan IVIg (pada dosis 0.8 sampai 1.0 g/kg) dan
kortikosteroid dilaporkan mengumpulkan data dari 6 trial. Hasil akhir yang diharapkan adalah
jumlah platelet > 20 x 109 dalam 48 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa anak yang menerima
kortikosteroid 26% lebih kurang mendapatkan hasil. 17
3. Anti-D Immunoglobulin
Terdapat perubahan signifikan dibandingkan guideline ASH 1996, dengan data-data
terbaru termasuk kemungkinan risiko hemolysis. Sejak 1996 telah dilakukan 3 randomized trial
yang membandingkan terapi antara anti-D dalam berbagai dosis dengan IVIg. Dengan hasil yang
menunjukkan bahwa terapi anti-D lebih baik pada dosis 75 μg/kg dibandingkan dengan 50
μg/kg, namun hasil perbandingan antara anti-D dengan IVIg pada 3 studi tersebut kontradiktif,
dengan salah satu hasil mengatakan pemberian IVIg lebih baik dan studi lain mengatakan Anti-D
dosis yang lebih tinggi lebih baik. Data dari Tarantino et al menunjukkan bahwa Anti-D pada
dosis 50 μg/kg sama efektifnya dengan pemberian IVIg, dan Anti-D pada dosis 75 μg/kg lebih
efektif namun dengan efek samping yang lebih besar. Anti-D hanya disarankan pada pasien
dengan Rhesus positif, yang test antiglobulin direct-nya negative, dan tidak menjalani
splenectomy dan risiko intravascular hemolysis harus diperhatikan dan dipertimbangkan
dibandingkan dengan manfaatnya. 17
18
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. A
Umur : 2 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jatiasih
Tanggal Masuk RS : 30 Januari 2013
B. IDENTITAS ORANG TUA
Nama Ayah : Tn. Am. Nama Ibu : Ny. Sb.
Umur : 47 Umur : 35
Agama : Islam Agama: Islam
Pendidikan : SD Pendidikan : SD
Perkawinan : Pertama Perkawinan : Pertama
Pekerjaan : Buruh Pekerjaan : Ibu rumah tangga
19
II. ANAMNESA
Anamnesa dilakukan secara Allo-Anamnesa pada tanggal 01 Februari 2014 dengan ibu os.
A. KELUHAN UTAMA
Os datang dengan keluhan demam tinggi sejak 1 hari sebelum masuk RS (SMRS)
B. KELUHAN TAMBAHAN
Ruam kemerahan pada wajah dan tungkai bawah
C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
4 hari SMRS orangtua os mengeluhkan ruam merah yang muncul secara mendadak pada
wajah dan bertambah banyak sehingga keesokan harinya os dibawa ke puskesmas, di
puskesmas os hanya diberikan obat penurun panas (Paracetamol syrup) yang tidak
diminumkan oleh kedua orangtuanya karena saat itu os tidak mengalami demam.
1 hari SMRS demam timbul mendadak tinggi dan tidak turun dengan pemberian obat
penurun panas. Pada pagi harinya os lalu dibawa ke IGD RSUD kota Bekasi dan
disarankan untuk rawat inap.
Pada (01/02/2014) ibu os mengeluhkan demam yang hanya turun apabila os diberikan
obat penurun panas dan gusi yang berdarah pada mulut os. Ibu os mengakui sekitar 2 hari
SMRS gusi os mulai memerah namun warna merahnya tidak setegas saat ini sehingga
keadaan ini kurang diperhatikan oleh ibu os.BAB cair 1x, warna coklat ampas (+), lendir
(+), darah (-) dan bau busuk. BAK normal. Kejang selama sakit disangkal dan mimisan
disangkal.
D. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Os belum pernah mendapat perawatan di rumah sakit sebelumnya.
E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Tidak ada anggota keluarga os yang memiliki keluhan atau kelainan yang sama dengan
yang dialami os.
20
F. RIWAYAT KEHAMILAN DAN PERSALINAN
Selama kehamilan, ibu memeriksakan kehamilan pada seorang bidan. Selama kehamilan
ibu os tidak ada keluhan yang berarti dan tidak menggunakan obat-obatan tertentu. Os
dikandung cukup bulan, lahir spontan, dengan berat lahir 2900 gram dan panjang badan +
48 cm.
G. SUSUNAN KELUARGA
Os adalah anak kedua dari dua orang bersaudara.
H. RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
Motorik Kasar.
Os masih belum dapat mengangkat kepala pada keadaan tengkurap
Motorik halus.
Ibu os tidak tahu kapan os mulai memegang benda-benda disekitarnya.
Bahasa.
Os belum dapat berbicara.
Sosial.
Os masih bersosialisasi hanya dengan orang tua dan lingkungan sekitarnya.
Kesan : Riwayat pertumbuhan dan perkembangan baik.
I. RIWAYAT GIZI DAN MAKANAN.
Os mendapat ASI sampai sekarang (usia 2 bulan). Makanan tambahan belum diberikan.
Kesan : Riwayat Gizi cukup.
J. RIWAYAT IMUNISASI
Riwayat immunisasi yang didapat adalah : (-) Riwayat Imunisasi belum lengkap.
Imunisasi tidak diberikan hingga saat ini dengan alasan, os seringkali sakit ketika sedang
waktu imunisasi tiba sehingga ibu os menunda untuk mengimunisasi os.
21
K. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
Ayah os merupakan seorang buruh dengan penghasilan rendah dan Ibu os merupakan ibu
rumah tangga tanpa penghasilan tetap.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit sedang.
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital :
Tek. Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 116 kali/menit
Suhu : 37.8 °C
Laju Nafas : 26 kali/menit
Berat Badan : 5.5 kg
Tinggi Badan : 55 cm
STATUS GIZI
1. BB / U Σ = (5.5/4.8) x 100%=114%
Kesan = Gizi Lebih/ Overweight
2. TB / U Σ = (55/56)x100%= 98%
Kesan = Gizi Baik
3. BB / TB Σ = (5.5/4.8)x100%
Kesan = Gizi Lebih/ Overweight
Indikator BB/U : Gizi lebih
22
Indikator TB/U : Normal
Indikator BB/TB : Gizi lebih
Kesan : Keadaan gizi anak “lebih/overweight” pada saat ini dan pada masa lalu..
STATUS GENERALIS
Kepala : Normocephali, Rambut hitam, Distribusi rata.
Wajah : Tampak ptechiae ukuran miliar, sirkumskrip, multiple, diskret
Mata : Pupil bulat isokor, Reflek Cahaya Langsung +/+,
Reflek Cahaya Tidak Langsung +/+,
Conjungtiva Anemis -/-, Sclera Icterik -/-. Mata cekung (-)
Telinga : Normotia, Sekret -/-, Serumen -/-.
Hidung : Septum Deviasi (-), Sekret -/-,Nafas cuping hidung (-)
Mulut : Tampak hematoma pada gusi bawah
Leher : Kel. Thiroid tidak membesar, KGB tidak membesar.
Thorak :
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat.
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS IV
Perkusi : Batas Jantung normal.
Auskultasi : S1 dan S2 reguler, Murmur (-), Gallop (-).
23
Pulmo
Inspeksi : Simetris pada kedua hemithorak.
Palpasi : Vocal Fremitus kanan = kiri.
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : Suara Nafas Vesikuler, Wheezing -/-, Ronchi -/-.
Abdomen : Datar, Super, Bising Usus (+) N,
Nyeri Tekan (-), Nyeri Lepas (-), Defans Muskuler (-).
Hepatomegali (-), Splenomegali (-)
Ekstrimitas Atas : Akral hangat, Oedem -/-, Deformitas (-)
Tonus otot baik
Tampak ptechiae ukuran miliar, sirkumskrip, multiple, diskret
Ekstrimitas Bawah : Akral hangat, Oedem -/-, Deformitas (-)
Tonus otot baik
Tampak ptechiae ukuran miliar, sirkumskrip, multiple, diskret
24
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium: 30 Januari 2014
Darah Periksa Lengkap Unit Nilai Normal
Laju Endap Darah* 12 mm/jam <10
Leukosit* 18000 /mm3 5000 - 10.000
Basofil - % <1
Eosinofil* - % 1-3
Batang* - % 2-6
Segmen* - % 50-70
Limfosit* - % 20-40
Monosit* - % 2-8
Eritrosit 2.30 x1012sel/l 4-5
Hemoglobin (Hb)* 6.8 g/dl 11-16
Hematokrit (Ht)* 20.3 % 40-48
MCV* 88.5 fL 82-92
MCH 29.4 Pg 27-32
MCHC 33.2 g/dl 32-37
Thrombosit* 9 x109/l 150-400
25
Kimia Darah Unit Nilai Normal
Natrium* 131 mmol/l 135 – 145
Kalium 4.3 mmol/l 3.5 – 5
Chlorida* 88 mmol/l 94 – 110
Gambaran darah tepi :
Eritrosit: mikrositik hipokrom, polikromasi
Leukosit : Kesan jumlah meningkat, limfositosis atipik
Trombosit : Jumlah kurang, morfologi sulit dinilai
Kesan : Anemia mikrositik hipokrom dengan leukositosis atipik dan trombositopenia
akibat infeksi virus dengan infeksi sekunder . ITP belum dapat disingkirkan
Laboratorium : 1 Februari 2014
Darah Unit Nilai Normal
Leukosit* 12600 /mm3 5000 - 10.000
Hemoglobin (Hb)* 16.2 g/dl 11-16
Hematokrit (Ht)* 48.2 % 40-48
Thrombosit* 149 x109/l 150-400
26
V. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan anjuran yang disarankan adalah :
PT & APTT
BMP.
VI. DIAGNOSIS KERJA
Thrombositopenia suspek Idiopathic Trombocytopenic Purpura
VII. DIAGNOSIS BANDING
Dengue Hemorragic Fever
Acquired Protombine Complex Deficiency
VIII. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
o IVFD tridex Plain 240cc/24jam
o Ceftazidin 2x250mg
o Ranitidine 2x20mg
o Sanmol drops 3x60ml
o Vit K 1mg I.M
o Transfusi TC 2unit & FFP 100cc
Non-medikamentosa
o Tirah baring
27
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : bonam
X. FOLLOW UP
02/02/2014 03/02/2014
S Demam
Kembung
Ruam pada wajah dan kaki
mulai berkurang
Kembung
BAB cair (-)
Demam
Ruam pada wajah mulai
berkurang
O HR: 114x/menit
RR: 26x/menit
S :380C
Tampak ptechiae ukuran
miliar, sirkumskrip, multiple,
diskret
HR: 114x/menit
RR: 26x/menit
S :380C
Tampak ptechiae ukuran
miliar, sirkumskrip, multiple,
diskret
A Suspek ITP Suspek ITP
P IVFD tridex Plain
240cc/24jam
Ceftazidin 2x250mg
Ranitidine 2x20mg
Sanmol drops 3x60ml
Vit K 1mg I.M
Transfusi FFP 100cc
IVFD tridex Plain
240cc/24jam
Ceftazidin 2x250mg
Ranitidine 2x20mg
Sanmol drops 3x60ml
Vit K 1mg I.M
28
Laboratorium: 02 Februari 2014
Darah Unit Nilai Normal
Leukosit* 7000 /mm3 5000 - 10.000
Hemoglobin (Hb)* 16.4 g/dl 11-16
Hematokrit (Ht) 43.8 % 40-48
Thrombosit 240 x109/l 150-400
29
BAB III
ANALISA KASUS
Diagnosis yang ditegakkan pada kasus ini adalah Thrombositopenia e.c suspek ITP akut.
Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan anamnesis yang menunjukkan onset pada usia yang cocok
dengan epidemiologi ITP akut yang terjadi pada pediatri 90% merupakan kasus akut. Keluhan
ruam merah (ptechiae) menunjukkan adanya gangguan faal hemostasis yang lebih mengarah ke
gangguan thrombosit sebagai penyebabnya. ITP biasanya di dahului oleh suatu infeksi virus atau
bakteri sebagai pencetus reaksi imunologisnya, pada pasien ini riwayat menderita suatu penyakit
infeksi yang sering terjadi pada anak seperti pharingitis maupun diare tidak ditemukan, namun
keluhan saat ini berupa demam, BAB yang cair, dan peningkatan kadar leukosit hingga 18000
menunjukkan bahwa terdapat suatu infeksi bakteri pada traktus gastrointestinal, hal ini mungkin
saja sudah berlangsung sebelum terjadinya manifestasi ruam dan menjadi pemicu timbulnya
gejala klinis berupa ruam ptechiae. Pada pemeriksaan fisik ditemukan ruam yang tersebar pada
wajah dan kaki yang tidak hilang ketika ditekan, menunjukkan bahwa terjadi perdarahan kapiler
yang disebabkan oleh keadaan thrombositopenia pada os. Pada pemeriksaan laboratorium
ditemukan leukosit meningkat (18.000/dl) yang menunjukkan adanya infeksi sekunder,
kemungkinan besar bakteri mengingat yang terjadi adalah leukositosis, bukan leukopeni seperti
yang terjadi pada infeksi virus. LED yang meningkat kemungkinan merupakan akibat dari proses
infeksi yang sedang terjadi saat ini. Kadar thrombosit yang menurun (9.000/dl) yang menguatkan
diagnosis menuju ke arah ITP (kadar thrombosit <20.000/dl). Pada pemeriksaan laboratorium
darah yang pertama pada tanggal 30/01/2014 juga ditemukan adanya anemia (Hb 6.9g/dl),
berdasarkan SADT, anemia yang terjadi bersifat mikrosittik hipokrom, jenis anemia ini memang
seringkali ditemukan pada penderita ITP sebagai akibat dari perdarahan yang lama atau masif
pada sistem gastrointestinal dan organ lainnya namun hal ini tidak didukung dengan hasil
pemeriksaan fisik yang tidak menunjukkan tanda-tanda anak anemis maupun manifestasi
perdarahan yang cukup masif yang sekiranya dapat menjadi penyebab dari penurunan kadar HB
yang cukup signifikan.
Pada terapi, antibiotik diberikan sebagai terapi untuk infeksi sekunder yang mungkin
terjadi pada pasien ini, ceftazidime diberikan dengan dosis 50mg/kgbb karena diperkirakan
bakteri yang menyebabkan infeksi sekunder adalah jenis gram (-). Sanmol (parasetamol)
30
diberikan sebagai antipiretik. Karena APCD merupakan suatu diagnosis banding pada kasus ini,
vit K diberikan dengan pemikiran bahwa defisiensi vitamin K dapat menjadi etiologi pada kasus
ini, pengambilan keputusan ini didukung oleh keterangan ibu os yang menyebutkan bahwa
anaknya belum pernah disuntik di paha atau tangan ketika baru lahir, menunjukkan kemungkinan
bahwa os belum menerima suntikan vitamin K. Thromobosit concentrat diberikan mengingat
kadar thrombosit yang sangat rendah pada pasien ini.
Pada follow up didapatkan respon terapi yang baik, ptechiae mulai berkurang dan kadar
trombosit darah os meningkat. Diperlukan pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan PT dan
APTT serta lumbal pungsi untuk menyingkirkan diagnosis banding ITP.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Consolini. Deborah M. Thrombocytopenia in Infants and Children. Pediatric in Review.
American Academy of Pediatrics; 2011. H. 135-151
2. Buchanan. George R. Thrombocytopenia During Childhood: What the Pediatrician Need
to Know. Pediatric in Review. American Academy of Pediatrics; 2005. H. 401- 409
3. Permono. H. Bambang dkk. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan Kedua.
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006
4. Setiaty. Tatty E, Wagenaar. Jiri. F. P, et al. Changing Epidemiology of Dengue
Hemorrhagic Fever in Indonesia. Dengue Bulletin. Vol. 30; 2006
5. Sumarmo S. Poorwo, Soedarmo dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi Kedua.
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008
6. Chaerulfatah. Alex, Setiabudi. Djatnika et al. Thrombocytopenia and Platelet
Transfusions in Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome. Dengue
Bulletin. Vol. 27; 2003
7. Napitupulu. Herald A. Laporan Kasus: Sepsis. Anastesia and Critical Care. Vol 28 No. 3;
2010. H. 50-58
8. Yaguchi A, Lobo FLM, Vincent J-L, Pradier O. Platelet function in sepsis. J Thromb
Haemost 2004; 2: 2096–2102
9. Knoebl P. Blood Coagulation Disorders in Septic Patients. Wien Med Wochenschr 2010;
160:129-38
10. Saba HI, Morelli GA. The Pathogenesis and Management of Disseminated Intravascular
Coagulation. Clin Adv Hematol Oncol 2006; 4:919-26
11. Levi M, De Jonge E, Poll T. Rationale for restoration of physiological anticoagulant
pathways in patients with sepsis an disseminated intravascular coagulation. Crit Care
Med 2001; 29 Suppl 7:90-4
12. Watson RS, Carcillo JA, Linde-Zwirble WT, Clermont G, Lidicker J, Angus DC. The
Epidemiology of Severe Sepsis in Children in the United States. Am J Respir Crit Care
Med. 2003;1;167(5):695-701.
32
13. Antonacci Carvalho, Paulo R, Trotta, Eliana de A. Advances in Sepsis Diagnosis and
Treatment. Journal de Pediatria. Sociedade Brasileira de Pediatria; 2003
14. Rehman. A. Immune Thrombocytopenia in Children with Reference to Low-Income
Countries. Eastern Meditterranean Health Journal, Vol. 15, No. 3; 2009. H. 729-737
15. 2011 Clinical Practice Guideline on the Evaluation and Management of Immune
Thrombocytopenia. American Society of Hematology; 2011. H.1-8
16. Greer. John P et al. Wintrobe’s Clinical Hematology, Vol. 2, Twelfth Edition. Lippincott
Williams & Wilkins; 2009
17. Neunert. Cindy, Lim. Wendy et al. The American Society of Hematology 2011 Evidence
Based-Practice Guideline for Immune Thrombocytopenia. Bloodjournal.hematology.org;
2011. H. 4190-4207
18. Hay, Jr. William W, Hayward. Anthony R et al. Lange Current Pediatric Diagnosis and
Treatment. Sixteenth edition; 2002. H. 888
19. Levi M. Disseminated intravascular coagulation in cancer patients. Best Pract Res Clin
Haematol 2009; 22:129-36.
20. Robert. Satran, Yaniv. Almog. The Coagulopathy of Sepsis: Pathophysiology and
Management Medical Intensive Care Unit, Soroka University Hospital and Faculty of
Health Sciences, Ben-Gurion University of the Negev,Beer Sheva, Israel
21. Setiabudy. Rahajuningsih D. Hemostasis dan Trombosis. Edisi Keempat. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
33