case jd
DESCRIPTION
bacoan anestesioTRANSCRIPT
1
BAB 1
STATUS PASIEN
I. Ilustrasi Kasus
A. Identitas
Nama pasien : Tn. Hn
Nomor MR : 09.88.12
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 23 tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Bengkulu tengah
Agama : Islam
Jaminan : BPJS
Diagnosa : Appendisitis akut
Tindakan : Appendiktomy
B. Anamnesa
Keluhan Utama
(Diperoleh melalui autoanamnesis pada tanggal 20 Juni 2015 di ruang
Seruni).
Nyeri perut kuadran kanan bawah sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 2 hari yang lalu, pasien mengeluh nyeri perut kuadran kanan bawah.
Nyeri yang dirasakan semakin hebat. Awalnya pasien merasakan nyeri
disekitar pusat kemudian menjalar ke kuadran kanan bawah dan menetap
serta semakin nyeri hebat, sehingga pasien sulit melakukan aktivitas sehari-
hari. Pasien juga merasakan mual dan muntah-muntah sebanyak 4 kali, kira-
kira 1 gelas aqua sekali muntah. Nafsu makan pasien juga menurun.
2
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada gejala penyakit yang sama sebelumnya. Riwayat penyakit
diabetes mellitus, hipertensi, asma dan penyakit jantung disangkal oleh
pasien. Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan ataupun obat.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan
keluhan yang dialami pasien.
Riwayat Sosial
Saat ini pasien tinggal bersama istri dan 1 orang anak. Pasien bekerja
sebagai wiraswasta, dengan status sosial ekonomi cukup.
C. Pemeriksaan Fisik
Diperiksa tanggal 20 Juni 2015
• Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Status Gizi : BB : 60 kg
TB : 162 cm
• Tanda Vital
Tekanan Darah: 130/70 mmHg
Nadi : 92x/menit
Pernafasan : 19x/menit
Suhu : 37,4oC
Status Generalis
a. Kepala
Bentuk : Normochepali, tidak ada deformitas
Rambut : Hitam, tidak rontok
b. Wajah
3
Inspeksi : Bentuk simetris, tidak pucat, dan tidak
ikterik
c. Mata
Konjungtiva : Tidak anemis
Sclera : Tidak ikterik
Pupil : Isokhor, reflek cahaya langsung +/+
Reflek cahaya tidak langsung +/+
Gerakan bola mata baik
d. Telinga
Bentuk : Dalam batas normal
e. Hidung
Bagian luar : Normal, tidak terdapat deformitas
Septum : Terletak di tengah dan simetris
f. Mulut dan Tenggorok
Bibir : Normal, tidak pucat, tidak sianosis
Mukosa mulut : Normal, tidak hiperemis
Tonsil : Tidak hiperemis T1-T1
Faring : Tidak hiperemis, arcus faring simetris,
uvula ditengah
Mallampati score : I pilar faring (+) uvula (+) palatum mole
(+)
Tiromental junction : 8 cm
Temporomandibular junction: baik
g. Leher
Bendungan vena : Tidak terdapat bendungan vena
Kelenjar tiroid : Tidak membesar, mengikuti gerakan,
simetris
Trakea : Di tengah, deviasi (-)
JVP : (5-2) cmH2O
KGB : tidak membesar, tidak ada massa
h. Kulit
4
Warna : Kuning langsat, tidak pucat
i. Thoraks
Paru
Inspeksi dan palpasi : Bentuk dan gerak simetris kiri dan kanan
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing
-/-
Jantung : Dalam batas normal
Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 reguler, murmur (-),
gallop (-)
j. Abdomen
Inspeksi : abdomen simetris kiri dan kanan, datar,
striae (-)
Palpasi : Nyeri tekan (+) kuadran kanan bawah,
tidak teraba massa, hepar dan lien tak
teraba.
Perkusi : timpani di semua regio abdomen
Auskultasi : bising usus normal
k. Ekstremitas
Tidak tampak deformitas
Akral hangat pada keempat ekstremitas
Tidak terdapat udem pada keempat ekstremitas
l. Status Urologis
Ginjal kiri dan kanan tidak teraba, nyeri ketok -/-
Buli-buli kosong, terpasang folley catheter efektif
m. Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi : Warna seperti warna kulit sekitarnya, tidak ada tanda-
tanda radang, tidak terdapat luka bekas operasi.
Palpasi : Nyeri tekan titik mc burney (+), rovsing sign (+)
RT : tidak terdapat darah pada handskun, tidak ada lendir
dan tidak berbau, dan nyeri goyang (+) arah jam 11
5
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium (tanggal 20 Juni 2015)
Hemoglobin : 15,0 mg/dl
Hematokrit : 42%
Leukosit : 18.400/ul
Trombosit : 300.000/ul
Waktu perdarahan : 1’15 menit
Waktu pembekuan : 2,30 menit
BSS : 94,6 mg %
E. Diagnosis
Appendisitis akut
F. Diagnosis banding
Infeksi saluran kemih
G. Konsul Anestesi
Prinsip setuju tindakan anestesi, saran :
1. Puasa 6 jam pre op
2. Pasien ASA I
3. Cairan pre op Ringer Laktat
4. Loading Fimahes 1 jam pre op
H. Pre-Operatif
Premedikasi
Premedikasi yang diberikan pada pasien yaitu fentanyl 120 µg.
Cairan infus yang diberikan Ringer Laktat 1 kolf.
Tindakan sebelum premedikasi dilakukan:
- Pasien diposisikan pada posisi supinasi
- Memasang sensor finger pada ibu jari tangan pasien untuk monitoring
SpO2.
6
- Memasang manset pada lengan pasien untuk monitoring tekanan
darah.
- Memastikan cairan infus berjalan lancar.
I. Durante Operatif
a) Prosedur anestesi
1. Persiapan alat dan obat anestesi spinal
Mempersiapkan mesin anestesi, monitor anestesi, selang oksigen, tensi
meter, saturasi oksigen serta mengecek tabung O2. Obat anestesi spinal
yang digunakan adalah Decain (Buvipacain HCL anhydrous 5 mg dalam
dextrose monohydrate 80 mg).
2. Teknik anestesi spinal
1. Pasien dibebani dengan 500 - 1000 ml cairan intravena elektrolit
2. Dilakukan teknik sterilisasi
3. Pengaturan kedudukan penderita amat cermat, dengan tulang
belakang penderita dilengkungkan guna memperlebar celah di antara
tulang belakang
4. Infiltrasi kulit, jaringan subkutan, ligamen interspinalis pada L4/L5
dengan larutan anestesi dengan aspirasi terlebih dahulu, untuk
melihat masuk atau tidak ke subarachnoid dari spinal.
5. Dilakukan sepuluh menit sebelum operasi dimulai.
3. Persiapan alat dan mesin anestesi
Mempersiapkan mesin anestesi, monitor anestesi, selang O2, tensi
meter, saturasi oksigen serta mengecek tabung O2.
4. Mempersiapkan obat anestesi yaitu :
- (Buvipacain HCL anhydrous 5 mg dalam dextrose monohydrate
80 mg).
- Fentanil (Fentanyl Dehidrogenum Citrate)
7
- Midazolam 1 ampul
- Metamizole 1000 mg
- Pronalges suppositoria 100 mg
5. Waktu anestesi dan operasi
Jam anestesi mulai: 16.30 WIB
Jam anestesi selesai: 16.40 WIB
Jam operasi mulai: 17.20 WIB
Jam operasi selesai: 17.30 WIB
b) Monitoring anestesi
Perhitungan Terapi Cairan:
Kebutuhan cairan rumatan (BB = 60 kg)
- 10 kg pertama x 4 ml/kgBB/jam = 40ml/jam
- 10 kg kedua x 2 ml/kgBB/jam = 20 ml/jam
- selanjutnya x 1 ml/kgBB/jam = 40 ml/jam
- Total : 100ml/jam
Penganti cairan puasa (pasien puasa 6 jam)
- Puasa x kebutuhan cairan : 6 X 100 ml = 600 ml
8
Stres operasi (6ml/kgBB/jam)
- 6 X 60 ml = 360 ml
EBV
- 65 X 60 = 3900 ml
Perdarahan
- 12 kasa kecil 12 X 10= 120 ml
- 1 kasa besar = 100 ml
- Tabung suction = 130 ml
Total 350 ml
IWL
- 15 X 60 kgBB/24 jam 900 ml/24 jam 37,5 ml/jam
Cara pemberian
- Jam 1 (50% X 600 ) + 100 + 350 = 750 ml
Input cairan jam
- Jam 1 + pengganti jumlah perdarahan = 750 + (2-3 X 350 ml) = 1450
– 1800 ml
Perhitungan balance cairan
Input ; 3 kolf RL = 1500 ml
Output : urin + IWL + perdarahan = 100 + 37,5 + 350 = 487,5 ml
Balance cairan : + 1012,5
E. Post Operatif
Keadaan pasca operasi
- Drip metamizole 1 ampul dalam 1 kolf RL
- Pronalges suppositoria
- Aldrete score : 10 (layak ditransport ke ruang perawatan)
- Warna kulit : normal (2)
- Motorik : gerak 4 anggota tubuh (2)
- Pernapasan : spontan (2)
- Tekanan darah: ± 20 mmHg dari pre op (2)
- Kesadaran : sadar sepenuhnya (2)
9
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 87 kali per menit
- Suhu : 37,20 celsius
- Pupil : isokhor
- Pasien bisa langsung makan minum.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
i. Preoperatif
Penilaian pertama pada preoperatif adalah riwayat kesehatan pasien.
Tanyakan kepada pasien riwayat operasi dan anestesi yang terdahulu dan penyakit
serius yang pernah dialami.1 Tujuan dari preoperatif adalah melakukan identifikasi
kondisi yang tidak terduga yang mungkin memerlukan terapi sebelum operasi atau
perubahan dalam penatalaksanaan operasi atau anestesia perioperatif, menilai
penyakit yang sudah diketahui sebelumnya, kelainan, terapi medis atau alternatif
yang dapat mempengaruhi anestesia perioperatif, memperkirakan komplikasi pasca
bedah, dan sebagai dasar pertimbangan untuk referensi berikutnya.2 Selain itu,
dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa
menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre
operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah
operasi.
Evaluasi harus dilengkapi dengan klasifikasi status fisik pasien berdasarkan
skala The American Society of Anaesteshesiologist (ASA) yaitu:3
11
Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada
pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam
informed consent.
Anamnesis bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap
makanan dan obat-obatan, riwayat DM, riwayat asma, riwayat hipertensi, riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, juga riwayat operasi dan anestesi
sebelumnya yang bisa menunjukkan kemungkinan komplikasi anestesi.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik
setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respirasi, suhu)
dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, neurologis, dan sistem
muskuloskeletal. Pemeriksaan airway juga sangat penting. Pemeriksaan gigi geligi,
tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk
diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.
Pemeriksaan penunjang laboratorium rutin seperti pemeriksaan kadar
hematokrit, hemoglobin, leukosit, trombosit, urinalisis, ureum, kreatinin, EKG, dan
foto polos thoraks pada pasien.
Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah informed consent
yang tertulis mempunyai aspek medikolegal yang dapat melindungi dokter bila ada
tuntutan. Dalam proses informed consent perlu dipastikan bahwa pasien
mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan
resikonya. Tujuan kunjungan pre operasi bukan hanya untuk mengumpulkan
informasi yang penting, tetapi juga membantu membentuk hubungan dokter-pasien.
Bahkan pada interview yang dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan
penting serta membiarkan pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal
tersebut setidaknya dapat membantu mengurangi kecemasan yang dirasakan
pasien.4
12
Premedikasi anestesi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan
tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya
yaitu:2
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan
2. Memperlancar induksi anesthesia
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik
5. Mengurangi mual muntah pasca bedah
6. Mengurangi efek yang membahayakan
ii. Durante Operatif
1. Induksi Anestesi2
Analgetik yang diberikan pada pasien ini adalah fentanyl 120 µg.
dosisnya adalah 2-5 µg /kgBB. Turunan fenilperidin ini merupakan agonis
opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 25-125 kali lebih poten
dibandinngkan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat
mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dibandingkan morfin. Stabilitas
kardiovaskular dapat dipertahankan walaupun dalam dosis besar saat
digunakan sebagai anetesi tunggal. Waktu pemberian fentanil 30 detik, onset
of action 5-15 menit, durasi of action 30-60 menit. Pada pasien yang secara
hemodinamik stabil, analgesic dapat diberikan 2-4 menit sebelum laringoskopi
untuk memperlemah respon presor terhadap intubasi.5
2. Prosedur Anestesi
Regional Anestesi
Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat
anestesi disekitar syaraf sehingga area yang di syarafi teranestesi. Anestesia
atau analgesia regional, dibagi menjadi dua yaitu:
a. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural dan
kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.
b. Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler,
analgesia regional intravena, dan lainnya.2
Pada pasien ini dilakukan spinal anestesi. Spinal
anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu teknik anestesi
regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke
dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom
tertentu dan relaksasi otot rangka. Untuk dapat memahami spinal anestesi yang
menghasilkan blok simpatis, blok sensoris dan blok motoris maka perlu
diketahui neurofisiologi saraf, mekanisme kerja obat anestesi lokal pada SAB
dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Derajat anestesi yang dicapai
tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikan, untuk mendapatkan blockade
sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung banyak
faktor antara lain posisi pasien selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan
berat jenis obat. Berat jenis obat lokal anesthesia dapat diubah–ubah
dengan mengganti komposisi nya, hiperbarik diartikan bahwa obat lokal
anestesi mempunyai berat jenis yang lebih besar dari berat jenis cairan
serebrospinal, yaitu dengan menambahkan larutan glukosa, namun apabila
ditambahkan NaCl atau aqua destilata akan menjadi hipobarik.16
1. Indikasi Spinal Anestesi2
a. Operasi ektrimitas bawah, meliputi jaringan lemak, pembuluh darah dan
tulang.
b. Operasi daerah perineum termasuk anal, rectum bawah dan dindingnya
atau pembedahan saluran kemih.
c. Operasi abdomen bagian bawah dan dindingnya atau operasi peritoneal.
d. Operasi obstetrik vaginal deliveri dan section caesaria.
e. Diagnosa dan terapi
2. Kontra indikasi Spinal Anestesi2
a. Absolut
1) Pasien menolak
2) Infeksi tempat suntikan
3) Hipovolemik berat, syok
4) Gangguan pembekuan darah, mendapat terapi antikoagulan
5) Tekanan intracranial yang meninggi
6) Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi
7) Fasilitas resusitasi minimal atau tidak memadai
b. Relatif
1) Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)
2) Kelainan neurologis
3) Kelainan psikis
4) Pembedahan dengan waktu lama
5) Penyakit jantung
6) Nyeri punggung
7) Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal
3. Monitoring Anestesi
Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif
adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode
preoperatif. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan
autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini
akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika
tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat
antihipertensi akan menggeser kembali kurva autoregulasi kekiri kembali ke
normal. Karena kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada
beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:6
- Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
- Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak.
Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka
kejadian stroke. Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal,
kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral. Anestesia aman jika
dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan
hemodinamik yang kita inginkan.
Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang
dianestesi selama operasi. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor
pasien selama anestesi adalah:
1. Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter
2. Heart rate, nadi, dan tekanan darah
3. Warna membran mukosa, dan capillary refill time
4. Kedalaman / stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek
palpebra)
5. Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi
6. Pulse oximetry: saturasi oksigen, suhu.
Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien tidak
pernah < 97%, tekanan darah pasien dalam batas normal (S 80-140, D 50-90).
iii. Post-Operatif
Pada post operatif, diberikan obat analgetik berupa novaldo (metamizole
sodium) 1000 mg di drip RL 1 kolf.
Aldrete scoring
No KRITERIA SCORE
1. Warna Kulit
a. Kemerahan / normal
b. Pucat
c. Sianonis
2
1
0
2. Aktifitas Monorik
a. Gerak 4 anggota tubuh
b. Gerak 2 anggota tubuh
c. Tidak ada gerakan
2
1
0
3. Pernafasan
a. Nafas dalam, batuk, dan tangis kuat
b. Nafas dalam dan adekuat
c. Apnea atau nafas tidak adekuat
2
1
0
4. Tekanan Darah
a. ±20 mmHg dari preoperasi
b. 20-50 mmHg dari preoperasi
c. +50 mmHg dari preoperasi
2
1
0
5. Kesadaran
a. Sadar penuh mudah dipanggil
b. Bangun jika dipanggil
c. Tidak ada respon
2
1
0
Ket :
a. Pasien dapat pindah ke bangsal, jika score minimal
8 pasien
b. Pasien dipindah ke ICU, jika score < 8 setelah
dirawat selama 2 jam
Aldrete score pada pasien ini yaitu 9 (layak dibawa keruang perawatan).
a. Warna kulit : normal (2)
b. Motorik : gerak 2 anggota tubuh (2)
c. Pernafasan : spontan (2)
d. Tekanan darah : ± 20 mmHg dari pre op (2)
e. Kesadaran : sadar penuh mudah dipanggil (2)
iv. Apendisitis akut
1. Definisi Apendisitis Akut
Apendisitis akut adalah peradangan yang terjadi pada apendiks
vermivormis.14
2. Etiologi Apendisitis Akut
Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfonodi, fekalit, tumor
apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain
yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena
parasit seperti E.histolityca.12,14
3. Patofisiologi Apendisitis Akut
Pada dasarnya appendicitis akut adalah suatu proses penyumbatan yang
mengakibatkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin
lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis
akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.13
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan apendisitis supuratif akut.13
Setelah mukosa terkena kemudian serosa juga terinvasi sehingga akan
merangsang peritoneum parietale maka timbul nyeri somatic yang khas yaitu di sisi
kanan bawah (titik Mc Burney). Titik Mc Burney terletak pada 1/3 lateral garis yang
menghubungkan SIAS dan umbilicus.11
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.11
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah apendiks sehingga melokalisasi daerah infalmasi
yaitu dengan mengelompok dan memebentuk suatu infiltrate apendiks dan disebut
proses walling off. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.11
Pada orangtua kemungkinan terjadi perforasi lebih besar karena daya tahan
tubuh sudah lemah dan telah ada gangguan pembuluh darah. Pada anak-anak,
karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih
tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi.11
4. Gambaran Klinis
Tabel.1 Gambaran Klinis Apendisitis Akut12
Tanda awal Nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus
disertai mual dan anoreksi.
Nyeri pindah ke kanan
bawah dan menunjukan
tanda rangsangan
peritoneum lokal di titik
McBurney
Nyeri tekan
Nyeri lepas
Defans muskuler
Nyeri rangsangan
peritoneum tidak langsung
Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri
dilepaskan (Blumberg)
Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak,
seperti napas dalam, berjalan, batuk, mengedan
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-
samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar
umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya
nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah
ke titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium,
tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.
Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.
Bila terdapat perangsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit perut bila
berjalan atau batuk.
Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung
oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda
rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul
pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang dapat menimbulkan
gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat,
pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks
tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing
karena rangsangan dindingnya.
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering
hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak
menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis
diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80 – 90% apendisitis baru diketahui setelah
terjadi perforasi.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tidak
ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia
lanjut yang gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh
penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan
muntah. Yang perlu diperhatikan ialah pada kehamilan trimester pertama sering
juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks
terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah
tetapi lebih ke regio lumbal kanan.
5. Diagnosis Apendisitis Akut
A. Pemeriksaan Fisik
(1). Inspeksi
- tidak ditemukan gambaran spesifik.
- kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi.
- penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada masaa atau abses periapendikuler.
- tampak perut kanan bawah tertinggal pada pernafasan
(2). Palpasi
- nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri tekan lepas.
- defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
- pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk
menentukan adanya rasa nyeri.
(3). Perkusi
- terdapat nyeri ketok pekak hati (jika terjadi peritonitis pekak hati ini hilang karena
bocoran usus maka udara bocor)
(4). Auskultasi
- sering normal
- peristaltic dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat
apendisitis perforata pada keadaan lanjut
- bising usus tidak ada (karena peritonitis).
(5). Rectal Toucher
- tonus musculus sfingter ani baik
- ampula kolaps
- nyeri tekan pada daerah jam 09.00-12.00
- terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses)
- pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunsi diagnosis dalah
nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
(6). Uji Psoas
Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul
kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila
apendiks yang meradang menepel di m.poas mayor, tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri.
(7). Uji Obturator
Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m. obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada
apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih
ditujukan untuk mengetahui letak apendiks.
(8). Alvarado Score
Digunakan untuk menegakkan diagnosis sebagai appendisitis akut atau
bukan, menjadi 3 symptom, 3 sign dan 2 laboratorium
Alvarado Score:
Appendicitis point pain : 2
Lekositosis : 2
Vomitus : 1
Anorexia : 1
Rebound Tendeness Fenomen : 1
Degree of Celcius (.>37,5) : 1
Observation of hemogram : 1
Abdominal migrate pain : 1
Total : 10
Dinyatakan appendisitis akut bila skor > 7 poin.13
B. Pemeriksaan Penunjang
(1).Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
- leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan
komplikasi.
- pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat
b. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di
dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala
klinis yang hampir sama dengan appendicitis.13
(2). Radiologis
a. Foto polos abdomen
Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi
(misalnya peritonitis) tampak:
- scoliosis ke kanan
- psoas shadow tak tampak
- bayangan gas usus kananbawah tak tampak
- garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak
- 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak
- Appendicogram hasil positif bila: non filling partial filling mouse tail cut
off.11
b. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,
terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai
untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan
sebagainya.15
c. Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis
banding.
Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada appendicitis akut
memperlihatkan tidak adanya pengisian apendiks dan efek massa pada tepi medial
serta inferior dari seccum; pengisisan lengkap dari apendiks menyingkirkan
appendicitis.12
d. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.
e. Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang
dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara
langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat
melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu
juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.15
C. Diagnosis Banding
1) Gastroenteritis akut
Adalah kelainan yang sering dikacaukan dengan apendisitis. Pada kelainan
ini muntah dan diare lebih sering. Demam dan lekosit akan meningkat jelas dan
tidak sesuai dengan nyeri perut yang timbul. Lokasi nyeri tidak jelas dan berpindah-
pindah. Hiperperistaltik merupakan gejala yang khas. Gastroenteritis biasanya
berlangsung akut, suatu observasi berkala akan dapat menegakkan diagnosis.
2) Kehamilan Ektopik
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu. Jika ada rupture tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan
perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin
terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan
penonjolan cavum Douglas.
3) Adenitis Mesenterium
Penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala dan tanda yang identik dengan
apendisitis. Penyakit ini lebih sering pada anak-anak, biasanya didahului infeksi
saluran nafas. Lokasi neri diperut kanan bawah tidak konstan dan menetap.13
6. Tatalaksana
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-
satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi
biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat
mengakibatkan abses atau perforasi.
Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara
laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh
ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan
observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila
dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan
laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan
dilakukan operasi atau tidak.13
7. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendinginan
sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum dan lekuk usus
halus.13
8. Prognosis
Mortalitas adalah 0.1% jika appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika
pecah pada orangtua. Kematian biasanya berasal dari sepsis, emboli paru, atau
aspirasi; prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic
yang lebih baik.
Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah
sepsis. Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan
predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi
peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu
bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari jahitan kantong. Obstruksi usus
dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut
meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis dan hernia.12
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan
morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi
bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada.13
BAB III
PEMBAHASAN
1. Bagaimana mekanisme kerja bupivcaine?
Bupivaaine tergolong obat-obatan golongan amida. Obat ini menempati
kanal natrium di sel-sel saraf dan memblokade kanal tersebut. Hal ini
menghambat terjadinya potensial aksi dan menyebabkan pemblokan dari
serabut saraf yang ditempati obat buvanes ini sendiri.7
2. Mungkinkah obat bupivacaine atau obat anestesi regional spinal lainnya
bergerak ke atas/ otak dan mempengaruhi otak?
Bupivcaine dan obat-obat spinal memiliki berat jenis yang lebih berat
daripada berat jenis cairan cerebrospinal, hal ini bertujuan untuk mencegah obat
ini naik ke atas. Berat jenis yang besar (hiperbarik) membuat obat ini cenderung
mengikuti gaya tarik bumi sehingga aman dari kemungkinan naik ke organ vital
seperti otak dan medula spinalis.
3. Mengapa riwayat alkohol dipertanyakan sewaktu persiapan preoperasi?
Orang-orang dengan kebiasaan minum alkohol dikenal dengan sebutan
alkoholik. Alkohol mempengaruhi reseptor protein sel saraf. Reseptor protein
neuron menjadi rusak. Hal ini mengakibatkan neuron menjadi tumpul akan
sebuah rangsangan, sehingga dibutuhkan rangsang dengan ambang yang lebih
tinggi untuk mencapai suatu potensial aksi maupun efek obat. Orang-orang ini
memerlukan obat dengan dosis yang lebih tinggi daripada orang yang non-
alkoholik.8
4. Berapa toleransi cairan tubuh yang masuk dalam tubuh sebagai batas maksimal
dalam terapi cairan?
Cairan menempati sekitar 60 persen dari total berat badan orang
dewasa.Toleransicairan tubuh yang masuk ke dalam tubuh sebagai batas
maksimal dalam terapi cairan sebanyak 20 persen. Sebagai contoh, jika berat
badan seseorang 60 kg, berarti jumlah cairan dalam tubuh orang tersebut
sebanyak 3,6 liter dan toleransi cairan masuk sekitar 20 persen yaitu berkisar
700an cc9
BAB IV
KESIMPULAN
1. Pasien dengan diagnosis appendisitis akut menjalani operasi appendiktomy
dengan regional anestesi, yaitu spinal anestesi.
2. Pada penilaian preoperative, pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, asma,
diabetes mellitus dan riwayat operasi sebelumnya tidak ada. Pasien layak
dilakukan regional anastesi dengan teknik spinal anestesi.
3. Selama monitoring durante operatif status neurologis, kardiopulmonar,
hemodinamik, dan urologis pasien cukup stabil.
4. Post operatif menggunakan metamizole 1 ampul drip infus RL 500 cc. Pada
penilaian post operatif, aldrete score pasien berjumlah 10, yang
mengidentifikasikan bahwa pasien layak dipindahkan ke ruang perawatan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Collins, VI.1996. Fluids and Electrolytes in Physicologic and Pharmachologic
Bases of Anesthesia. Williams & Wilkins, USA, p : 165-187.
2. Latief, SA, Suryadi, KA, Dachlan, MR. 2001. Penuntun Praktis Anestesi.
Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
3. The Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland. 2007.
Recommendations For Standards Of Monitoring During Anaesthesia And
Recovery
4. Barash P.G, Cullen B.F, Stoelting R.K. Clinical Anesthesia 5thed. Lippincott
Williams & Wilkins
5. Miller RD. Anesthesia. 5th ed Churcill Livingstone. Philadelphia 2000.
6. Omoigui, Sota. 2012. Obat-Obatan Anestesi Edisi II. Jakarta : EGC
7. Syamsuhidayat, R dan Wim, de Jong. 2004.Buku Ajar Ilmu
Bedah.Jakarta:EGC
8. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In:
Hines RL, Marschall KE, editors. Stoelting•s anesthesia and co-existing
disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.
9. Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at: http:// www. 4um.com/
tutorial/anaesthbp.htm. Accessed Aug 16th 2007.
10. Kowalak J.P, Welsh W, Mayer B. 2013. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta:
EGC.
11. Reksoprojo, S dkk. 2002. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI. Jakarta:
Binarupa Aksara.
12. Schwartz, dkk. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Ed. 6. Jakarta: EGC.
13. Sjamsuhidajat R, dkk. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
14. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed.6.
Jakarta: EGC.
15. Soda, K., dkk. 2001. Detection of Pinpoint Tenderness on the Appendix Under
Ultrasonography Is Useful to Confirm Acute Appendicitis.
www.jama.com. Accessed on June 29th, 2014 at 19.00 p.m
sorces : http://sanirachman.blogspot.com/2009/11/appendicitis-akut-dan-
appendicitis.html#ixzz3InM2fbw0
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial.
16. Gwinnutt, Carl. L. 2011. Catatan Kuliah Anestesi Klinis ed.3; alih bahas:
Susanto, Diana; editor Bahasa Indonesia; Wisurya, K., Surya, N., Hippy, Indah.
Jakarta: EGC.
LAPORAN KASUS ANESTESI
APPENDISITIS AKUT
Disusun oleh:
Wily Arianto, S.Ked
H1AP09049
Pembimbing :
AKBP. dr. Yalta Hasanudin Nuh, Sp.An
BAGIAN KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI
RUMAH SAKIT JITRA BAYANGKARA POLDA BENGKULU
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2015