case jd

32
1 BAB 1 STATUS PASIEN I. Ilustrasi Kasus A. Identitas Nama pasien : Tn. Hn Nomor MR : 09.88.12 Jenis kelamin : Laki-laki Usia : 23 tahun Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Bengkulu tengah Agama : Islam Jaminan : BPJS Diagnosa : Appendisitis akut Tindakan : Appendiktomy B. Anamnesa Keluhan Utama (Diperoleh melalui autoanamnesis pada tanggal 20 Juni 2015 di ruang Seruni). Nyeri perut kuadran kanan bawah sejak 2 hari yang lalu. Riwayat Penyakit Sekarang Sejak 2 hari yang lalu, pasien mengeluh nyeri perut kuadran kanan bawah. Nyeri yang dirasakan semakin hebat. Awalnya pasien merasakan nyeri disekitar pusat kemudian menjalar ke kuadran kanan bawah dan menetap serta semakin nyeri hebat, sehingga pasien sulit melakukan aktivitas sehari- hari. Pasien juga merasakan mual dan muntah-muntah sebanyak 4 kali, kira- kira 1 gelas aqua sekali muntah. Nafsu makan pasien juga menurun.

Upload: ndr-kurniawan

Post on 11-Jan-2016

27 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bacoan anestesio

TRANSCRIPT

Page 1: Case jd

1

BAB 1

STATUS PASIEN

I. Ilustrasi Kasus

A. Identitas

Nama pasien : Tn. Hn

Nomor MR : 09.88.12

Jenis kelamin : Laki-laki

Usia : 23 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Bengkulu tengah

Agama : Islam

Jaminan : BPJS

Diagnosa : Appendisitis akut

Tindakan : Appendiktomy

B. Anamnesa

Keluhan Utama

(Diperoleh melalui autoanamnesis pada tanggal 20 Juni 2015 di ruang

Seruni).

Nyeri perut kuadran kanan bawah sejak 2 hari yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 2 hari yang lalu, pasien mengeluh nyeri perut kuadran kanan bawah.

Nyeri yang dirasakan semakin hebat. Awalnya pasien merasakan nyeri

disekitar pusat kemudian menjalar ke kuadran kanan bawah dan menetap

serta semakin nyeri hebat, sehingga pasien sulit melakukan aktivitas sehari-

hari. Pasien juga merasakan mual dan muntah-muntah sebanyak 4 kali, kira-

kira 1 gelas aqua sekali muntah. Nafsu makan pasien juga menurun.

Page 2: Case jd

2

Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada gejala penyakit yang sama sebelumnya. Riwayat penyakit

diabetes mellitus, hipertensi, asma dan penyakit jantung disangkal oleh

pasien. Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan ataupun obat.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada riwayat penyakit keluarga yang berhubungan dengan

keluhan yang dialami pasien.

Riwayat Sosial

Saat ini pasien tinggal bersama istri dan 1 orang anak. Pasien bekerja

sebagai wiraswasta, dengan status sosial ekonomi cukup.

C. Pemeriksaan Fisik

Diperiksa tanggal 20 Juni 2015

• Keadaan Umum

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Status Gizi : BB : 60 kg

TB : 162 cm

• Tanda Vital

Tekanan Darah: 130/70 mmHg

Nadi : 92x/menit

Pernafasan : 19x/menit

Suhu : 37,4oC

Status Generalis

a. Kepala

Bentuk : Normochepali, tidak ada deformitas

Rambut : Hitam, tidak rontok

b. Wajah

Page 3: Case jd

3

Inspeksi : Bentuk simetris, tidak pucat, dan tidak

ikterik

c. Mata

Konjungtiva : Tidak anemis

Sclera : Tidak ikterik

Pupil : Isokhor, reflek cahaya langsung +/+

Reflek cahaya tidak langsung +/+

Gerakan bola mata baik

d. Telinga

Bentuk : Dalam batas normal

e. Hidung

Bagian luar : Normal, tidak terdapat deformitas

Septum : Terletak di tengah dan simetris

f. Mulut dan Tenggorok

Bibir : Normal, tidak pucat, tidak sianosis

Mukosa mulut : Normal, tidak hiperemis

Tonsil : Tidak hiperemis T1-T1

Faring : Tidak hiperemis, arcus faring simetris,

uvula ditengah

Mallampati score : I pilar faring (+) uvula (+) palatum mole

(+)

Tiromental junction : 8 cm

Temporomandibular junction: baik

g. Leher

Bendungan vena : Tidak terdapat bendungan vena

Kelenjar tiroid : Tidak membesar, mengikuti gerakan,

simetris

Trakea : Di tengah, deviasi (-)

JVP : (5-2) cmH2O

KGB : tidak membesar, tidak ada massa

h. Kulit

Page 4: Case jd

4

Warna : Kuning langsat, tidak pucat

i. Thoraks

Paru

Inspeksi dan palpasi : Bentuk dan gerak simetris kiri dan kanan

Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing

-/-

Jantung : Dalam batas normal

Auskultasi : bunyi jantung 1 dan 2 reguler, murmur (-),

gallop (-)

j. Abdomen

Inspeksi : abdomen simetris kiri dan kanan, datar,

striae (-)

Palpasi : Nyeri tekan (+) kuadran kanan bawah,

tidak teraba massa, hepar dan lien tak

teraba.

Perkusi : timpani di semua regio abdomen

Auskultasi : bising usus normal

k. Ekstremitas

Tidak tampak deformitas

Akral hangat pada keempat ekstremitas

Tidak terdapat udem pada keempat ekstremitas

l. Status Urologis

Ginjal kiri dan kanan tidak teraba, nyeri ketok -/-

Buli-buli kosong, terpasang folley catheter efektif

m. Status Lokalis

Regio Abdomen

Inspeksi : Warna seperti warna kulit sekitarnya, tidak ada tanda-

tanda radang, tidak terdapat luka bekas operasi.

Palpasi : Nyeri tekan titik mc burney (+), rovsing sign (+)

RT : tidak terdapat darah pada handskun, tidak ada lendir

dan tidak berbau, dan nyeri goyang (+) arah jam 11

Page 5: Case jd

5

D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium (tanggal 20 Juni 2015)

Hemoglobin : 15,0 mg/dl

Hematokrit : 42%

Leukosit : 18.400/ul

Trombosit : 300.000/ul

Waktu perdarahan : 1’15 menit

Waktu pembekuan : 2,30 menit

BSS : 94,6 mg %

E. Diagnosis

Appendisitis akut

F. Diagnosis banding

Infeksi saluran kemih

G. Konsul Anestesi

Prinsip setuju tindakan anestesi, saran :

1. Puasa 6 jam pre op

2. Pasien ASA I

3. Cairan pre op Ringer Laktat

4. Loading Fimahes 1 jam pre op

H. Pre-Operatif

Premedikasi

Premedikasi yang diberikan pada pasien yaitu fentanyl 120 µg.

Cairan infus yang diberikan Ringer Laktat 1 kolf.

Tindakan sebelum premedikasi dilakukan:

- Pasien diposisikan pada posisi supinasi

- Memasang sensor finger pada ibu jari tangan pasien untuk monitoring

SpO2.

Page 6: Case jd

6

- Memasang manset pada lengan pasien untuk monitoring tekanan

darah.

- Memastikan cairan infus berjalan lancar.

I. Durante Operatif

a) Prosedur anestesi

1. Persiapan alat dan obat anestesi spinal

Mempersiapkan mesin anestesi, monitor anestesi, selang oksigen, tensi

meter, saturasi oksigen serta mengecek tabung O2. Obat anestesi spinal

yang digunakan adalah Decain (Buvipacain HCL anhydrous 5 mg dalam

dextrose monohydrate 80 mg).

2. Teknik anestesi spinal

1. Pasien dibebani dengan 500 - 1000 ml cairan intravena elektrolit

2. Dilakukan teknik sterilisasi

3. Pengaturan kedudukan penderita amat cermat, dengan tulang

belakang penderita dilengkungkan guna memperlebar celah di antara

tulang belakang

4. Infiltrasi kulit, jaringan subkutan, ligamen interspinalis pada L4/L5

dengan larutan anestesi dengan aspirasi terlebih dahulu, untuk

melihat masuk atau tidak ke subarachnoid dari spinal.

5. Dilakukan sepuluh menit sebelum operasi dimulai.

3. Persiapan alat dan mesin anestesi

Mempersiapkan mesin anestesi, monitor anestesi, selang O2, tensi

meter, saturasi oksigen serta mengecek tabung O2.

4. Mempersiapkan obat anestesi yaitu :

- (Buvipacain HCL anhydrous 5 mg dalam dextrose monohydrate

80 mg).

- Fentanil (Fentanyl Dehidrogenum Citrate)

Page 7: Case jd

7

- Midazolam 1 ampul

- Metamizole 1000 mg

- Pronalges suppositoria 100 mg

5. Waktu anestesi dan operasi

Jam anestesi mulai: 16.30 WIB

Jam anestesi selesai: 16.40 WIB

Jam operasi mulai: 17.20 WIB

Jam operasi selesai: 17.30 WIB

b) Monitoring anestesi

Perhitungan Terapi Cairan:

Kebutuhan cairan rumatan (BB = 60 kg)

- 10 kg pertama x 4 ml/kgBB/jam = 40ml/jam

- 10 kg kedua x 2 ml/kgBB/jam = 20 ml/jam

- selanjutnya x 1 ml/kgBB/jam = 40 ml/jam

- Total : 100ml/jam

Penganti cairan puasa (pasien puasa 6 jam)

- Puasa x kebutuhan cairan : 6 X 100 ml = 600 ml

Page 8: Case jd

8

Stres operasi (6ml/kgBB/jam)

- 6 X 60 ml = 360 ml

EBV

- 65 X 60 = 3900 ml

Perdarahan

- 12 kasa kecil 12 X 10= 120 ml

- 1 kasa besar = 100 ml

- Tabung suction = 130 ml

Total 350 ml

IWL

- 15 X 60 kgBB/24 jam 900 ml/24 jam 37,5 ml/jam

Cara pemberian

- Jam 1 (50% X 600 ) + 100 + 350 = 750 ml

Input cairan jam

- Jam 1 + pengganti jumlah perdarahan = 750 + (2-3 X 350 ml) = 1450

– 1800 ml

Perhitungan balance cairan

Input ; 3 kolf RL = 1500 ml

Output : urin + IWL + perdarahan = 100 + 37,5 + 350 = 487,5 ml

Balance cairan : + 1012,5

E. Post Operatif

Keadaan pasca operasi

- Drip metamizole 1 ampul dalam 1 kolf RL

- Pronalges suppositoria

- Aldrete score : 10 (layak ditransport ke ruang perawatan)

- Warna kulit : normal (2)

- Motorik : gerak 4 anggota tubuh (2)

- Pernapasan : spontan (2)

- Tekanan darah: ± 20 mmHg dari pre op (2)

- Kesadaran : sadar sepenuhnya (2)

Page 9: Case jd

9

- Tekanan darah : 120/80 mmHg

- Nadi : 87 kali per menit

- Suhu : 37,20 celsius

- Pupil : isokhor

- Pasien bisa langsung makan minum.

Page 10: Case jd

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

i. Preoperatif

Penilaian pertama pada preoperatif adalah riwayat kesehatan pasien.

Tanyakan kepada pasien riwayat operasi dan anestesi yang terdahulu dan penyakit

serius yang pernah dialami.1 Tujuan dari preoperatif adalah melakukan identifikasi

kondisi yang tidak terduga yang mungkin memerlukan terapi sebelum operasi atau

perubahan dalam penatalaksanaan operasi atau anestesia perioperatif, menilai

penyakit yang sudah diketahui sebelumnya, kelainan, terapi medis atau alternatif

yang dapat mempengaruhi anestesia perioperatif, memperkirakan komplikasi pasca

bedah, dan sebagai dasar pertimbangan untuk referensi berikutnya.2 Selain itu,

dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa

menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre

operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah

operasi.

Evaluasi harus dilengkapi dengan klasifikasi status fisik pasien berdasarkan

skala The American Society of Anaesteshesiologist (ASA) yaitu:3

Page 11: Case jd

11

Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada

pasien tentang manajemen anestesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam

informed consent.

Anamnesis bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi terhadap

makanan dan obat-obatan, riwayat DM, riwayat asma, riwayat hipertensi, riwayat

penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, juga riwayat operasi dan anestesi

sebelumnya yang bisa menunjukkan kemungkinan komplikasi anestesi.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik

setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate, respirasi, suhu)

dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, neurologis, dan sistem

muskuloskeletal. Pemeriksaan airway juga sangat penting. Pemeriksaan gigi geligi,

tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat penting untuk

diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.

Pemeriksaan penunjang laboratorium rutin seperti pemeriksaan kadar

hematokrit, hemoglobin, leukosit, trombosit, urinalisis, ureum, kreatinin, EKG, dan

foto polos thoraks pada pasien.

Hal penting lainnya pada kunjungan pre operasi adalah informed consent

yang tertulis mempunyai aspek medikolegal yang dapat melindungi dokter bila ada

tuntutan. Dalam proses informed consent perlu dipastikan bahwa pasien

mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan dilakukan dan

resikonya. Tujuan kunjungan pre operasi bukan hanya untuk mengumpulkan

informasi yang penting, tetapi juga membantu membentuk hubungan dokter-pasien.

Bahkan pada interview yang dilakukan secara empatis dan menjawab pertanyaan

penting serta membiarkan pasien tahu tentang harapan operasi menunjukkan hal

tersebut setidaknya dapat membantu mengurangi kecemasan yang dirasakan

pasien.4

Page 12: Case jd

12

Premedikasi anestesi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan

tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya

yaitu:2

1. Meredakan kecemasan dan ketakutan

Page 13: Case jd

2. Memperlancar induksi anesthesia

3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

4. Meminimalkan jumlah obat anestetik

5. Mengurangi mual muntah pasca bedah

6. Mengurangi efek yang membahayakan

ii. Durante Operatif

1. Induksi Anestesi2

Analgetik yang diberikan pada pasien ini adalah fentanyl 120 µg.

dosisnya adalah 2-5 µg /kgBB. Turunan fenilperidin ini merupakan agonis

opioid poten. Sebagai suatu analgesik, fentanil 25-125 kali lebih poten

dibandinngkan morfin. Awitan yang cepat dan lama aksi yang singkat

mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dibandingkan morfin. Stabilitas

kardiovaskular dapat dipertahankan walaupun dalam dosis besar saat

digunakan sebagai anetesi tunggal. Waktu pemberian fentanil 30 detik, onset

of action 5-15 menit, durasi of action 30-60 menit. Pada pasien yang secara

hemodinamik stabil, analgesic dapat diberikan 2-4 menit sebelum laringoskopi

untuk memperlemah respon presor terhadap intubasi.5

2. Prosedur Anestesi

Regional Anestesi

Anestesi regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikan obat

anestesi disekitar syaraf sehingga area yang di syarafi teranestesi. Anestesia

atau analgesia regional, dibagi menjadi dua yaitu:

a. Blok sentral (blok neuroaksial), yaitu meliputi blok spinal, epidural dan

kaudal. Tindakan ini sering dikerjakan.

b. Blok perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler,

analgesia regional intravena, dan lainnya.2

Page 14: Case jd

Pada pasien ini dilakukan spinal anestesi. Spinal

anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu teknik anestesi

regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke

dalam ruang subarachnoid untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom

tertentu dan relaksasi otot rangka. Untuk dapat memahami spinal anestesi yang

menghasilkan blok simpatis, blok sensoris dan blok motoris maka perlu

diketahui neurofisiologi saraf, mekanisme kerja obat anestesi lokal pada SAB

dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Derajat anestesi yang dicapai

tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikan, untuk mendapatkan blockade

sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung banyak

faktor antara lain posisi pasien selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan

berat jenis obat. Berat jenis obat lokal anesthesia dapat diubah–ubah

dengan mengganti komposisi nya, hiperbarik diartikan bahwa obat lokal

anestesi mempunyai berat jenis yang lebih besar dari berat jenis cairan

serebrospinal, yaitu dengan menambahkan larutan glukosa, namun apabila

ditambahkan NaCl atau aqua destilata akan menjadi hipobarik.16

1. Indikasi Spinal Anestesi2

a. Operasi ektrimitas bawah, meliputi jaringan lemak, pembuluh darah dan

tulang.

b. Operasi daerah perineum termasuk anal, rectum bawah dan dindingnya

atau pembedahan saluran kemih.

c. Operasi abdomen bagian bawah dan dindingnya atau operasi peritoneal.

d. Operasi obstetrik vaginal deliveri dan section caesaria.

e. Diagnosa dan terapi

2. Kontra indikasi Spinal Anestesi2

a. Absolut

1) Pasien menolak

2) Infeksi tempat suntikan

3) Hipovolemik berat, syok

4) Gangguan pembekuan darah, mendapat terapi antikoagulan

Page 15: Case jd

5) Tekanan intracranial yang meninggi

6) Hipotensi, blok simpatik menghilangkan mekanisme kompensasi

7) Fasilitas resusitasi minimal atau tidak memadai

b. Relatif

1) Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)

2) Kelainan neurologis

3) Kelainan psikis

4) Pembedahan dengan waktu lama

5) Penyakit jantung

6) Nyeri punggung

7) Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal

3. Monitoring Anestesi

Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif

adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode

preoperatif. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran kekanan

autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini

akan mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika

tekanan darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat

antihipertensi akan menggeser kembali kurva autoregulasi kekiri kembali ke

normal. Karena kita tidak bisa mengukur autoregulasi serebral sehingga ada

beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:6

- Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal

yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.

- Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala

hipoperfusi otak.

Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka

kejadian stroke. Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal,

kurang lebih sama dengan yang terjadi pada serebral. Anestesia aman jika

Page 16: Case jd

dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan

hemodinamik yang kita inginkan.

Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang

dianestesi selama operasi. Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor

pasien selama anestesi adalah:

1. Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter

2. Heart rate, nadi, dan tekanan darah

3. Warna membran mukosa, dan capillary refill time

4. Kedalaman / stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek

palpebra)

5. Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

6. Pulse oximetry: saturasi oksigen, suhu.

Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pasien tidak

pernah < 97%, tekanan darah pasien dalam batas normal (S 80-140, D 50-90).

iii. Post-Operatif

Pada post operatif, diberikan obat analgetik berupa novaldo (metamizole

sodium) 1000 mg di drip RL 1 kolf.

Aldrete scoring

No KRITERIA SCORE

1. Warna Kulit

a. Kemerahan / normal

b. Pucat

c. Sianonis

2

1

0

2. Aktifitas Monorik

a. Gerak 4 anggota tubuh

b. Gerak 2 anggota tubuh

c. Tidak ada gerakan

2

1

0

3. Pernafasan

a. Nafas dalam, batuk, dan tangis kuat

b. Nafas dalam dan adekuat

c. Apnea atau nafas tidak adekuat

2

1

Page 17: Case jd

0

4. Tekanan Darah

a. ±20 mmHg dari preoperasi

b. 20-50 mmHg dari preoperasi

c. +50 mmHg dari preoperasi

2

1

0

5. Kesadaran

a. Sadar penuh mudah dipanggil

b. Bangun jika dipanggil

c. Tidak ada respon

2

1

0

Ket :

a. Pasien dapat pindah ke bangsal, jika score minimal

8 pasien

b. Pasien dipindah ke ICU, jika score < 8 setelah

dirawat selama 2 jam

Aldrete score pada pasien ini yaitu 9 (layak dibawa keruang perawatan).

a. Warna kulit : normal (2)

b. Motorik : gerak 2 anggota tubuh (2)

c. Pernafasan : spontan (2)

d. Tekanan darah : ± 20 mmHg dari pre op (2)

e. Kesadaran : sadar penuh mudah dipanggil (2)

iv. Apendisitis akut

1. Definisi Apendisitis Akut

Apendisitis akut adalah peradangan yang terjadi pada apendiks

vermivormis.14

2. Etiologi Apendisitis Akut

Apendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai

faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan

sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfonodi, fekalit, tumor

apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain

Page 18: Case jd

yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena

parasit seperti E.histolityca.12,14

3. Patofisiologi Apendisitis Akut

Pada dasarnya appendicitis akut adalah suatu proses penyumbatan yang

mengakibatkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin

lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai

keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan

yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan

edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis

akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.13

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal

tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan

menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum

setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut

dengan apendisitis supuratif akut.13

Setelah mukosa terkena kemudian serosa juga terinvasi sehingga akan

merangsang peritoneum parietale maka timbul nyeri somatic yang khas yaitu di sisi

kanan bawah (titik Mc Burney). Titik Mc Burney terletak pada 1/3 lateral garis yang

menghubungkan SIAS dan umbilicus.11

Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks

yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.

Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.11

Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang

berdekatan akan bergerak ke arah apendiks sehingga melokalisasi daerah infalmasi

yaitu dengan mengelompok dan memebentuk suatu infiltrate apendiks dan disebut

proses walling off. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau

menghilang.11

Pada orangtua kemungkinan terjadi perforasi lebih besar karena daya tahan

tubuh sudah lemah dan telah ada gangguan pembuluh darah. Pada anak-anak,

karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih

Page 19: Case jd

tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang

memudahkan terjadinya perforasi.11

4. Gambaran Klinis

Tabel.1 Gambaran Klinis Apendisitis Akut12

Tanda awal Nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus

disertai mual dan anoreksi.

Nyeri pindah ke kanan

bawah dan menunjukan

tanda rangsangan

peritoneum lokal di titik

McBurney

Nyeri tekan

Nyeri lepas

Defans muskuler

Nyeri rangsangan

peritoneum tidak langsung

Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)

Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri

dilepaskan (Blumberg)

Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak,

seperti napas dalam, berjalan, batuk, mengedan

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang

mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak

disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-

samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium di sekitar

umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada muntah. Umumnya

nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah

ke titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya

sehingga merupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium,

tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar.

Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi.

Bila terdapat perangsangan peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit perut bila

berjalan atau batuk.

Page 20: Case jd

Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung

oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda

rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul

pada saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal.

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang dapat menimbulkan

gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltis meningkat,

pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks

tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing

karena rangsangan dindingnya.

Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering

hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa

nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak

menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis

diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80 – 90% apendisitis baru diketahui setelah

terjadi perforasi.

Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit di diagnosis sehingga tidak

ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia

lanjut yang gejalanya sering samar-samar saja sehingga lebih dari separuh

penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.

Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan

muntah. Yang perlu diperhatikan ialah pada kehamilan trimester pertama sering

juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks

terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah

tetapi lebih ke regio lumbal kanan.

5. Diagnosis Apendisitis Akut

A. Pemeriksaan Fisik

(1). Inspeksi

- tidak ditemukan gambaran spesifik.

- kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi.

Page 21: Case jd

- penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada masaa atau abses periapendikuler.

- tampak perut kanan bawah tertinggal pada pernafasan

(2). Palpasi

- nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri tekan lepas.

- defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.

- pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk

menentukan adanya rasa nyeri.

(3). Perkusi

- terdapat nyeri ketok pekak hati (jika terjadi peritonitis pekak hati ini hilang karena

bocoran usus maka udara bocor)

(4). Auskultasi

- sering normal

- peristaltic dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat

apendisitis perforata pada keadaan lanjut

- bising usus tidak ada (karena peritonitis).

(5). Rectal Toucher

- tonus musculus sfingter ani baik

- ampula kolaps

- nyeri tekan pada daerah jam 09.00-12.00

- terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses)

- pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunsi diagnosis dalah

nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.

(6). Uji Psoas

Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul

kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila

apendiks yang meradang menepel di m.poas mayor, tindakan tersebut akan

menimbulkan nyeri.

(7). Uji Obturator

Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan

m. obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan

Page 22: Case jd

endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada

apendisitis pelvika.

Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih

ditujukan untuk mengetahui letak apendiks.

(8). Alvarado Score

Digunakan untuk menegakkan diagnosis sebagai appendisitis akut atau

bukan, menjadi 3 symptom, 3 sign dan 2 laboratorium

Alvarado Score:

Appendicitis point pain : 2

Lekositosis : 2

Vomitus : 1

Anorexia : 1

Rebound Tendeness Fenomen : 1

Degree of Celcius (.>37,5) : 1

Observation of hemogram : 1

Abdominal migrate pain : 1

Total : 10

Dinyatakan appendisitis akut bila skor > 7 poin.13

B. Pemeriksaan Penunjang

(1).Laboratorium

a. Pemeriksaan darah

- leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan

komplikasi.

- pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat

b. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di

dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis

banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala

klinis yang hampir sama dengan appendicitis.13

(2). Radiologis

a. Foto polos abdomen

Page 23: Case jd

Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi

(misalnya peritonitis) tampak:

- scoliosis ke kanan

- psoas shadow tak tampak

- bayangan gas usus kananbawah tak tampak

- garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak

- 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak

- Appendicogram hasil positif bila: non filling partial filling mouse tail cut

off.11

b. USG

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG,

terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai

untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan

sebagainya.15

c. Barium enema

Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon

melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari

appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis

banding.

Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada appendicitis akut

memperlihatkan tidak adanya pengisian apendiks dan efek massa pada tepi medial

serta inferior dari seccum; pengisisan lengkap dari apendiks menyingkirkan

appendicitis.12

d. CT-Scan

Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat

menunjukkan komplikasi dari appendicitis seperti bila terjadi abses.

e. Laparoscopi

Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang

dimasukkan dalam abdomen, appendix dapat divisualisasikan secara

langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat

Page 24: Case jd

melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix maka pada saat itu

juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.15

C. Diagnosis Banding

1) Gastroenteritis akut

Adalah kelainan yang sering dikacaukan dengan apendisitis. Pada kelainan

ini muntah dan diare lebih sering. Demam dan lekosit akan meningkat jelas dan

tidak sesuai dengan nyeri perut yang timbul. Lokasi nyeri tidak jelas dan berpindah-

pindah. Hiperperistaltik merupakan gejala yang khas. Gastroenteritis biasanya

berlangsung akut, suatu observasi berkala akan dapat menegakkan diagnosis.

2) Kehamilan Ektopik

Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak

menentu. Jika ada rupture tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan

perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin

terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan

penonjolan cavum Douglas.

3) Adenitis Mesenterium

Penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala dan tanda yang identik dengan

apendisitis. Penyakit ini lebih sering pada anak-anak, biasanya didahului infeksi

saluran nafas. Lokasi neri diperut kanan bawah tidak konstan dan menetap.13

6. Tatalaksana

Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-

satunya pilihan yang baik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi

biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau

apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat

mengakibatkan abses atau perforasi.

Apendektomi bisa dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara

laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi McBurney paling banyak dipilih oleh

ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan

observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila

Page 25: Case jd

dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan

laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan

dilakukan operasi atau tidak.13

7. Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa

perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendinginan

sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum dan lekuk usus

halus.13

8. Prognosis

Mortalitas adalah 0.1% jika appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika

pecah pada orangtua. Kematian biasanya berasal dari sepsis, emboli paru, atau

aspirasi; prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic

yang lebih baik.

Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah

sepsis. Infeksi luka membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan

predisposisi terjadinya robekan. Abses intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi

peritonealis setelah gangren dan perforasi. Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu

bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari jahitan kantong. Obstruksi usus

dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi. Komplikasi lanjut

meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi mekanis dan hernia.12

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan

morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan

morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi

bila apendiks tidak diangkat. Terminologi apendisitis kronis sebenarnya tidak ada.13

Page 26: Case jd

BAB III

PEMBAHASAN

1. Bagaimana mekanisme kerja bupivcaine?

Bupivaaine tergolong obat-obatan golongan amida. Obat ini menempati

kanal natrium di sel-sel saraf dan memblokade kanal tersebut. Hal ini

menghambat terjadinya potensial aksi dan menyebabkan pemblokan dari

serabut saraf yang ditempati obat buvanes ini sendiri.7

2. Mungkinkah obat bupivacaine atau obat anestesi regional spinal lainnya

bergerak ke atas/ otak dan mempengaruhi otak?

Bupivcaine dan obat-obat spinal memiliki berat jenis yang lebih berat

daripada berat jenis cairan cerebrospinal, hal ini bertujuan untuk mencegah obat

ini naik ke atas. Berat jenis yang besar (hiperbarik) membuat obat ini cenderung

mengikuti gaya tarik bumi sehingga aman dari kemungkinan naik ke organ vital

seperti otak dan medula spinalis.

3. Mengapa riwayat alkohol dipertanyakan sewaktu persiapan preoperasi?

Orang-orang dengan kebiasaan minum alkohol dikenal dengan sebutan

alkoholik. Alkohol mempengaruhi reseptor protein sel saraf. Reseptor protein

neuron menjadi rusak. Hal ini mengakibatkan neuron menjadi tumpul akan

sebuah rangsangan, sehingga dibutuhkan rangsang dengan ambang yang lebih

tinggi untuk mencapai suatu potensial aksi maupun efek obat. Orang-orang ini

memerlukan obat dengan dosis yang lebih tinggi daripada orang yang non-

alkoholik.8

4. Berapa toleransi cairan tubuh yang masuk dalam tubuh sebagai batas maksimal

dalam terapi cairan?

Page 27: Case jd

Cairan menempati sekitar 60 persen dari total berat badan orang

dewasa.Toleransicairan tubuh yang masuk ke dalam tubuh sebagai batas

maksimal dalam terapi cairan sebanyak 20 persen. Sebagai contoh, jika berat

badan seseorang 60 kg, berarti jumlah cairan dalam tubuh orang tersebut

sebanyak 3,6 liter dan toleransi cairan masuk sekitar 20 persen yaitu berkisar

700an cc9

Page 28: Case jd

BAB IV

KESIMPULAN

1. Pasien dengan diagnosis appendisitis akut menjalani operasi appendiktomy

dengan regional anestesi, yaitu spinal anestesi.

2. Pada penilaian preoperative, pasien tidak memiliki riwayat alergi obat, asma,

diabetes mellitus dan riwayat operasi sebelumnya tidak ada. Pasien layak

dilakukan regional anastesi dengan teknik spinal anestesi.

3. Selama monitoring durante operatif status neurologis, kardiopulmonar,

hemodinamik, dan urologis pasien cukup stabil.

4. Post operatif menggunakan metamizole 1 ampul drip infus RL 500 cc. Pada

penilaian post operatif, aldrete score pasien berjumlah 10, yang

mengidentifikasikan bahwa pasien layak dipindahkan ke ruang perawatan.

Page 29: Case jd

DAFTAR PUSTAKA

1. Collins, VI.1996. Fluids and Electrolytes in Physicologic and Pharmachologic

Bases of Anesthesia. Williams & Wilkins, USA, p : 165-187.

2. Latief, SA, Suryadi, KA, Dachlan, MR. 2001. Penuntun Praktis Anestesi.

Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.

3. The Association of Anaesthetists of Great Britain and Ireland. 2007.

Recommendations For Standards Of Monitoring During Anaesthesia And

Recovery

4. Barash P.G, Cullen B.F, Stoelting R.K. Clinical Anesthesia 5thed. Lippincott

Williams & Wilkins

5. Miller RD. Anesthesia. 5th ed Churcill Livingstone. Philadelphia 2000.

6. Omoigui, Sota. 2012. Obat-Obatan Anestesi Edisi II. Jakarta : EGC

7. Syamsuhidayat, R dan Wim, de Jong. 2004.Buku Ajar Ilmu

Bedah.Jakarta:EGC

8. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension. In:

Hines RL, Marschall KE, editors. Stoelting•s anesthesia and co-existing

disease. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.

9. Neligan P. Hypertension and anesthesia; Available at: http:// www. 4um.com/

tutorial/anaesthbp.htm. Accessed Aug 16th 2007.

10. Kowalak J.P, Welsh W, Mayer B. 2013. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta:

EGC.

11. Reksoprojo, S dkk. 2002. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI. Jakarta:

Binarupa Aksara.

12. Schwartz, dkk. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Ed. 6. Jakarta: EGC.

13. Sjamsuhidajat R, dkk. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

14. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed.6.

Jakarta: EGC.

15. Soda, K., dkk. 2001. Detection of Pinpoint Tenderness on the Appendix Under

Ultrasonography Is Useful to Confirm Acute Appendicitis.

www.jama.com. Accessed on June 29th, 2014 at 19.00 p.m

Page 30: Case jd

sorces : http://sanirachman.blogspot.com/2009/11/appendicitis-akut-dan-

appendicitis.html#ixzz3InM2fbw0

Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial.

16. Gwinnutt, Carl. L. 2011. Catatan Kuliah Anestesi Klinis ed.3; alih bahas:

Susanto, Diana; editor Bahasa Indonesia; Wisurya, K., Surya, N., Hippy, Indah.

Jakarta: EGC.

Page 31: Case jd

LAPORAN KASUS ANESTESI

APPENDISITIS AKUT

Disusun oleh:

Wily Arianto, S.Ked

H1AP09049

Pembimbing :

AKBP. dr. Yalta Hasanudin Nuh, Sp.An

BAGIAN KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI

RUMAH SAKIT JITRA BAYANGKARA POLDA BENGKULU

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2015

Page 32: Case jd