case report tht uki bekasi
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Tonsilitis kronik pada anak mungkin disebabkan karena anak sering menderita ISPA
atau karena tonsilitis akut yang tidak diterapi adekuat atau dibiarkan (2). Berdasarkan data
epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsilitis
kronik tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%.
Insiden tonsilitis kronik di RS Dr. Kariadi Semarang 23,36% dan 47% di antaranya pada
usia 6-15 Tahun (3). Sedangkan di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997 sampai
dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah
kunjungan (4).
Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri
telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri kepala
dan badan terasa meriang (5).
Pada tonsilitis kronik hipertrofi dapat menyebabkan apnea obstruksi saat tidur; gejala
yang umum pada anak adalah mendengkur, sering mengantuk, gelisah, perhatian berkurang dan
prestasi belajar yang kurang baik (4,6).
Kualitas hidup anak dengan apnea obstruksi saat tidur dapat dinilai dari hasil/prestasi
belajarnya (7). Indikasi tonsilektomi pada tonsilitis kronik adalah jika sebagai fokus infeksi,
kualitas hidup menurun dan menimbulkan rasa tidak nyaman (8).
1 | P a g e
BAB II
EMBRIOLOGI DAN ANATOMI TONSIL
2.1 ANATOMI TONSIL
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria membentuk
cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal
dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui
udara dan makanan. Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa
kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan kemudian menjadi
atrofi pada masa pubertas.
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting dari cincin
waldeyer.
Gambar 2 : Cincin Waldeyer
2 | P a g e
Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring
posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s). 9,10
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak pada
dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla ditutupi membran mukosa dan
permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-
lubang kecil yang berjalan ke dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta. Pada
bagian atas permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan lateral
tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla palatina, terletak
berdekatan dengan tonsilla lingualis.
Gambar 3. Tonsil Palatina
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :
3 | P a g e
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.
A. carotis interna terletak 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsilla.
Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina
4 | P a g e
Adenoid atau tonsila faringea adalah jaringan limfoepitelial berbentuk triangular yang
terletak pada aspek posterior. Adenoid berbatasan dengan kavum nasi dan sinus paranasalis pada
bagian anterior, kompleks tuba eustachius- telinga tengah- kavum mastoid pada bagian lateral.
Terbentuk sejak bulan ketiga hingga ketujuh embriogenesis. Adenoid akan terus
bertumbuh hingga usia kurang lebih 6 tahun, setelah itu akan mengalami regresi. Adenoid telah
menjadi tempat kolonisasi kuman sejak lahir. Ukuran adenoid beragam antara anak yang satu
dengan yang lain. Umumnya ukuran maximum adenoid tercapai pada usia antara 3-7
tahun. Pembesaran yang terjadi selama usia kanak-kanak muncul sebagai respon multi antigen
seperti virus, bakteri, alergen, makanan dan iritasi lingkungan.
Gambar 5. Adenoid
Fossa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Pada
5 | P a g e
bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi
karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil.9
Pada bagian permukaan lateral dari tonsil tertutup oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Kapsul tonsil terbentuk dari fasia faringobasilar yang kemudian membentuk
septa. 9
Plika anterior dan plika posterior bersatu di atas pada palatum mole. Ke arah bawah
berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Plika triangularis
atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis terletak diantara pangkal lidah dengan bagian
anterior kutub bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari otot palatofaringeus.
Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil dengan jerat.
Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.9
Vaskularisasi tonsil berasal dari cabang-cabang A. karotis eksterna yaitu A. maksilaris
eksterna (A. fasialis) yang mempunyai cabang yaitu A. tonsilaris dan A. palatina asenden, A.
maksilaris interna dengan cabang A. palatina desenden, serta A. lingualis dengan cabang A.
lingualis dorsal, dan A. faringeal asenden.
Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar m. konstriktor superior dan
memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan
cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga
memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis
dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika
posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau "lesser palatine artery" memberi
6 | P a g e
vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina
asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.
9,10
Gambar 6. Pendarahan Tonsil
Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening.
Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda atau
disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar toraks dan
pada akhirnya ke duktus torasikus.
Innervasi tonsil bagian atas mendapat persarafan dari serabut saraf V melalui ganglion
sphenopalatina dan bagian bawah tonsil berasal dari saraf glossofaringeus (N. IX). 9,10
7 | P a g e
Gambar 7. Sistem Limfatik kepala dan leher
Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan patogen,
selanjutnya membawa mentranspor ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar dari tonsil
ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T
berkurang banyak sekali pada semua kompartemen tonsil.
8 | P a g e
TONSILITIS KRONIS
Definisi
Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi
berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan
diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar
serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan
apabila tonsil ditekan keluar detritus. 10
Gambar 8. Tonsilitis
Etiologi
Etiologi berdasarkan Morrison yang mengutip hasil penyelidikan dari Commission on
Acute Respiration Disease bekerja sama dengan Surgeon General of the Army America dimana
dari 169 kasus didapatkan data sebagai berikut :
9 | P a g e
25% disebabkan oleh Streptokokus β hemolitikus yang pada
masa penyembuhan tampak adanya kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam
serum penderita.
25% disebabkan oleh Streptokokus golongan lain yang tidak
menunjukkan kenaikan titer Streptokokus antibodi dalam serum penderita.
Sisanya adalah Pneumokokus, Stafilokokus, Hemofilus influenza.
Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu : 10
Rangsangan kronis (rokok, makanan)
Higiene mulut yang buruk
Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah- ubah)
Alergi (iritasi kronis dari allergen)
Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat.
Patologi
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses radang
berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta
akan melebar.
10 | P a g e
Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang mati, sel
leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat berwarna kekuning
kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan
jaringan sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak, proses ini akan disertai dengan pembesaran
kelenjar submandibula. 10
Manifestasi Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis akut yang
berulang ulang, adanya rasa sakit (nyeri) yang terus-menerus pada tenggorokan (odinofagi),
nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa
kering dan pernafasan berbau.
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang
mungkin tampak, yakni :
1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar,
kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju.
2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti
terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripta yang melebar dan
ditutupi eksudat yang purulen.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi : 10
11 | P a g e
T0 : Tonsil masuk di dalam fossa
T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
Diagnosis
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut
1. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat
ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada
tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada
sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher.
2. Pemeriksaan Fisik
Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta
mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut.
Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat
banyak terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang
12 | P a g e
kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang
tipis terlihat pada kripta.
3. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil.
Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang
rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau
Pneumokokus. 10
Komplikasi
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar
atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai
komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut : 10
1. Komplikasi sekitar tonsila
Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses.
Abses Peritonsilar (Quinsy)
Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal
dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan
penjalaran dari infeksi gigi.
13 | P a g e
Abses Parafaringeal
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau
pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid,
kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.
Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya terjadi pada anak
usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
Kista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini
menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan,
biasanya kecil dan multipel.
Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)
Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang
membentuk bahan keras seperti kapur.
2. Komplikasi Organ jauh
Demam rematik dan penyakit jantung rematik
Glomerulonefritis
Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
14 | P a g e
Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
Artritis dan fibrositis.
Penatalaksanaan
Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil
(Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis
atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan gejala-gejala.
Penatalaksanaan medis termasuk pemberian antibiotika penisilin yang lama, irigasi
tenggorokan sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripta tonsilaris dengan alat irigasi gigi
(oral). Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis atau berulang-
ulang.
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur pembedahan yang dilakukan dengan cara
mengangkat tonsil dengan menggunakan pisau bedah atau dengan menggunakan couter listrik
(elektrocouter).
15 | P a g e
BAB III
CASE REPORT
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. R A
Umur : 7 tahun
Jenis kelamin : laki - laki
Pekerjaan : Pelajar
Pendidikan : SD
Status pernikahan : -
Alamat : Kemakmuran Rt. 02 Rw. 05
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal Pemeriksaan : 17 November 2012
No. MR : 01258157
ANAMNESIS
Dilakukan Alloanamnesis dan autoanamnesis kepada pasien yang datang ke poli THT
pada hari Sabtu, 17 November 2012.
Keluhan Utama
Sulit menelan sejak 1 bulan yang lalu.
16 | P a g e
Keluhan Tambahan
Pasien juga mengeluhkan demam, batuk berdahak, dan pilek.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD kota Bekasi dengan keluhan utama sulit menelan
sejak ± 1 bulan lalu. Keluhan ini dirasakan pasien semakin lama semakin berat sejak 2 minggu
terakhir. Pasien juga mengeluhkan rasa sakit di tenggorok, nyeri menelan, gatal pada
tenggorokan, batuk, pilek dan demam yang dirasakan pasien terutama ketika serangan. Keluhan
ini dirasakan hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu. Ibu pasien juga mengeluhkan bahwa saat
pasien tidur mendengkur (ngorok), dan membuat pasien terbangun tiba-tiba karena sesak nafas.
Sebelum mengalami keluhan ini, pasien mengeluhkan demam yang dirasakan naik turun ,
selain itu pasien juga mengeluh batuk berdahak. Pasien sudah berobat ke klinik untuk mengobati
keluhan ini, dan didiagnosa amandel membengkak. Kemudian pasien di beri obat dan
keluhannya hanya berkurang sementara. Tidak berapa lama kemudian pasien mengeluhkan
keluhan yang sama yakni sulit menelan dan nyeri yang semakin mengganggu pasien. Sehingga
pasien, datang ke poliklinik THT RSUD kota Bekasi. Demam (+) sejak 1 hari yang lalu, batuk
(+), pilek (+). Keluhan ini hilang timbul, dalam sebulan terakhir pasien bisa merasakan keluhan
ini 2 kali dalam sebulan. Keluhan sakit kepala/ sakit didaerah wajah dan rasa adanya cairan yang
mengalir di tenggorokan disangkal oleh pasien, Keluhan nyeri pada telinga, telinga terasa
mendengung, rasa penuh di telinga, suara serak juga disangkal oleh OS.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengeluhkan penyakit/keluhan yang sama sejak 1 tahun yang lalu, yang dirasakan
hilang timbul, dengan frekuensi lebih 3 kali dalam setahun.
Riwayat penyakit hipertensi, kencing manis dan asthma disangkal.
Riwayat alergi obat, makanan, debu/ udara dingin disangkal.
Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaan Pasien:
Pasien memiliki kebiasaan jajan sembarangan. Pasien, lebih senang makan makanan di luar
rumah.
17 | P a g e
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan serupa pada keluarga juga disangkal.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis GCS : 15
Tanda vital
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 98 x/menit
Suhu : 38,6 oC
Respiratory rate : 22 x/menit
Bentuk badan : astenikus
Gizi : cukup
BMI : persentil 40 ( BB normal )
Status generalis
Kepala Tidak terdapat deformitas
Rambut hitam, tidak mudah dicabut, ditribusi merata
Mata Konjungtiva anemis -/-
Sclera ikterik -/-
Pupil isokor, diameter 2/2 mm
Reflek cahaya +/+
Lensa jernih
Wajah Bentuk bulat
Parese Nervus VII (-)
THT Terlampir pada status lokalis
18 | P a g e
Gimul Sianosis (-)
Trimus (-)
Pertumbuhan gigi baik, distribusi merata
Gigi goyang (-)
Caries dentis (+)
Stomatitis (-)
Oral Hygiene kurang baik
KGB Regio Submandibula tidak teraba membesar
Regio Colli anterior –
posterior
Tidak teraba membesar
Regio Supraclavicula Tidak teraba membesar
Thorax Pergerakan dinding dada simetris
Bentuk normochest
Sikatris (-)
Paru Bunyi napas dasar vesikuler
Ronkhi -/-
Wheezing -/-
Jantung Bunyi jantung I & II normal
Murmur (-)
Gallop (-)
Abdomen Tampak datar, supel
Nyeri tekan (-)
Bising usus (+) 4x/menit
Hepar, lien tidak teraba membesar
Vesika Urinaria Nyeri ketok (-)
Buldging (-)
Ekstremitas Capillary refill < 2 detik
Akral hangat +/+ || +/+
Edema (-)
Sendi dan kulit Kulit warna sawo matang
19 | P a g e
Nyeri sendi (-)
Nyeri sumbu (-)
Gerakan leher dan tubuh normal
Status Lokalis
Telinga
Telinga luar
Aurikula Dextra Aurikula Sinistra
Normotia Bentuk telinga luar Normotia
Normal
Nyeri tarik (-)Daun Telinga
Normal
Nyeri tarik (-)
Normal
Nyeri tekan (-)
Benjolan (-)
Retroaurikular
Normal
Nyeri tekan (-)
Benjolan (-)
Nyeri tekan (-) Tragus Nyeri tekan (-)
Liang telinga
Aurikula Dextra Aurikula Sinistra
Lapang Lapang / sempit Lapang
Tidak hiperemis Warna Epidermis Tidak hiperemis
- Sekret -
- Serumen -
Tidak terdapat kelainan Kelainan lain Tidak terdapat kelainan
Membran timpani
Aurikula Dextra Aurikula Sinistra
Intak Bentuk Intak
Putih seperti mutiara Warna Putih seperti mutiara
+ Refleks Cahaya +
- Perforasi -
Tidak terdapat kelainan Kelainan lain Tidak terdapat kelainan
20 | P a g e
Pemeriksaan fungsi pendengaran
Aurikula Dextra Aurikula Sinistra
Positif Tes Rinne Positif
Tidak terdapat lateralisasi Tes Weber Tidak terdapat lateralisasi
Sama dengan pemeriksa Tes Swabach Sama dengan pemeriksa
Pemeriksaan fungsi koordinasi
Aurikula Dextra Aurikula Sinistra
Tidak dilakukan Tes kalori Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Tes Romberg Tidak dilakukan
- Finger to finger -
- Finger to nose -
Hidung
Dextra Sinistra
Simetris Bentuk hidung luar Simetris
- Deformitas -
- Nyeri tekan -
- Krepitasi -
- Hiperemis -
Rhinoskopi Anterior
Dextra Sinistra
Tidak hiperemis
Secret (-)Vestibulum
Tidak hiperemis
Secret (-)
Lapang Cavum nasi Lapang
Pink pale Mukosa Pink pale
(+) jernih Sekret (+) jernih
Tidak ada deviasi Septum Tidak ada deviasi
Normal Dasar Hidung Normal
Eutrofi Konka inferior Eutrofi
21 | P a g e
Tidak hiperemis Tidak hiperemis
Eutrofi
Tidak hiperemisKonka media
Eutrofi
Tidak hiperemis
Eutrofi
Tidak hiperemisKonka superior
Eutrofi
Tidak hiperemis
Tidak terlihat Meatus nasi Tidak terlihat
Rhinoskopi Posterior
Dextra Sinistra
Tidak dilakukan Koana Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Mukosa Konka Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Sekret Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Muara Tuba Eustachii Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Adenoid Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Fossa Russenmuller Tidak dilakukan
Tidak dilakukan Atap Nasofaring Tidak dilakukan
Transiluminasi
Dextra Sinistra
Terang Sinus Maksilaris Terang
Terang Sinus Frontalis Terang
Tidak dilakukan Foto Sinus Paranasal Tidak dilakukan
Faring
Arkus Faring Simetris
Hiperemis
Palatum Molle Hiperemis
Mukosa Faring Hiperemis
Dinding Faring Licin
Uvula Ditengah
Tonsil Palatina Besar T4 – T4
22 | P a g e
Warna Hiperemis
Kripta Melebar
Detritus (+)
Perlekatan Tonsil kanan melekat dengan
uvula
tonsil kiri hampir melekat
dengan uvula
Laring
Epiglotis Tidak dilakukan
Pita suara Tidak dilakukan
Aritenoid Tidak dilakukan
Pergerakan Kripta Tidak dilakukan
Massa Tidak dilakukan
RESUME
An R.A 7 tahun, datang ke poli THT dengan keluhan utama sulit menelan sejak 1 bulan
yang lalu. Pasien juga mengeluhkan rasa sakit di tenggorok, nyeri menelan, gatal pada
tenggorokan, batuk, pilek dan demam yang dirasakan pasien terutama ketika serangan. Keluhan
ini dirasakan hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu. Ibu pasien juga mengeluhkan tidur
mendengkur (ngorok), dan membuat pasien terbangun tiba-tiba karena sesak nafas. Pasien sudah
berobat ke klinik dan didiagnosa amandel membengkak, kemudian pasien di beri obat dan
keluhannya hanya berkurang sementara. Tidak berapa lama kemudian pasien mengeluhkan
keluhan yang sama kembali muncul. Riwayat Demam (+), batuk (+), pilek (+). Dalam sebulan
terakhir pasien bisa merasakan keluhan ini 2 kali dalam sebulan. Keluhan sakit kepala/ sakit
didaerah wajah, nyeri pada telinga, telingga terasa mendengung, rasa penuh di telinga, suara
serak juga disangkal oleh OS. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos
mentis dengan keadaan umum tampak sakit sedang. Tanda vital pasien didapatkan tekanan darah
110/80 mmHg, nadi 98x/menit, Frekuensi napas 22x.menit, dan suhu 38,6 0C.
23 | P a g e
Pada pemeriksaan tenggorokan didapatkan :
tonsil hipertrofi dengan ukuran T4/T4
tonsil hiperemis +/+
permukaan mukosa tidak rata/ granular +/+
Kripta melebar +/+
Detritus +/+
DIAGNOSA KERJA
Tonsilitis Kronik
DIAGNOSA BANDING
Faringitis, Laringtis
RENCANA PEMERIKSAAN
Pemeriksaan laboratorium berupa kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apusantonsil untuk
mengetahui kuman penyebab serta pemeriksaan darah lengkap untuk persiapan operasi
(tonsilektomi).
RENCANA PENGOBATAN
Medikamentosa:
1.Antibiotik: Cefixime 1,5 – 3 mg/kgBB
2.Anti inflamasi: Metil prednisolon
3.Analgetik: asam mefenamat 3x500mg
4.Vitamin C
Operatif: Tonsilektomi
PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : Ad Bonam
24 | P a g e
Quo Ad Functionam : Ad Bonam
Quo Ad sanationam : Ad Bonam
DAFTAR PUSTAKA
25 | P a g e
1. Notosiswoyo M, Martomijoyo R, Supardi S, Riyadina W. Pengetahuan dan
Perilaku Ibu / Anak Balita serta persepsi masyarakat dalam kaitannya dengan penyakit
ISPA dan pnemonia. Bul. Penelit. Kes. 2003; 31:60-71.
2. Vetri RW, Sprinkle PM., Ballenger JJ. Etiologi Peradangan aluran
Nafas Bagian Atas Dalam : Ballenger JJ. Ed. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala
dan leher. Edisi 13. Bahasa Indonesia, jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara; 1994 : 194-224.
3. Suwento R. Epidemiologi Penyakit THT di 7 Propinsi. Kumpulan makalah dan
pedoman kesehatan telinga. Lokakarya THT Komunitas. PIT PERHATI-KL, Palembang,
2001: 8-12.
4. Aritomoyo D. Insiden tonsilitis akuta dan kronika pada klinik THT RSUP Dr.
Kariadi Semarang, Kumpulan naskah ilmiah KONAS VI PERHATI, Medan, 1980: 249-
55.
5. Udaya R, Sabini TB. Pola kuman aerob dan uji kepekaannya pada apus tonsil dan
jaringan tonsil pada tonsilitis kronis yang mengalami tonsilektomi. Kumpulan naskah
ilmiah KONAS XII PERHATI, Semarang:BP Undip;1999: 193-205.
6. Jackson C, Jackson CL. Disease of the Nose, Throat and Ear, 2 Nd ed..
Philadelphia: WB Saunders Co; 1959: 239-57.
7. Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome
:http://www.emedicine.com/ped/topic 1630.htm.2002.
8. Franco RA, Rosenfeld RM. Quality of life for children with obstructive sleep apnea.
Otolaryngol. Head and Neck Surgery. 2000; 123:9-16
26 | P a g e
9. Adams LG, Boies RL, Higler AP, BOIES Fundamentals of Otolaryngology. 6 th
Ed. Edisi Bahasa Indonesia, EGC, Jakarta, 2001; 263-368
10. Soepardi AE.dr, Iskandar N.Dr.Prof, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, FKUI, Jakarta, 2001; 180-183
27 | P a g e