case sirosis hepatis

36
BAB I PENDAHULUAN Penyakit sirosis hepatis merupakan penyebab kematian terbesar setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (Lesmana, 2004). Diseluruh dunia sirosis hepatis menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hepatis merupakan penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan dalam. Gejala klinis dari sirosis hepatis sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas. Apabila diperhatikan, laporan di negara maju, maka kasus sirosis hepatis yang datang berobat kedokter hanya kira-kira 30% dari seluruh populasi penyakit ini dan lebih dari 30% lainnya ditemukan secara kebetulan ketika berobat , sisanya ditemukan saat otopsi (Sutadi, 2003). Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), pada tahun 2000 sekitar 170 juta umat manusia terinfeksi sirosis hepatis. Angka ini meliputi sekitar 3% dari seluruh populasi manusia di dunia dan setiap tahunnya infeksi baru sirosis hepatis bertambah 3-4 juta orang. Angka prevalensi penyakit sirosis hepatis di Indonesia, secara pasti belum diketahui. Prevalensi penyakit sirosis hepatis pada tahun 2003 di Indonesia berkisar antara 1- 2,4%. Dari rata-rata prevalensi (1,7%), diperkirakan lebih dari 7 juta penduduk Indonesia mengidap sirosis hepatis (Anonim, 2008).

Upload: rnurdiany

Post on 01-Dec-2015

110 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

case sirosis hepatis internship rsudsoreang

TRANSCRIPT

Page 1: Case Sirosis Hepatis

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit sirosis hepatis merupakan penyebab kematian terbesar setelah

penyakit kardiovaskuler dan kanker (Lesmana, 2004). Diseluruh dunia sirosis hepatis

menempati urutan ketujuh penyebab kematian. Sekitar 25.000 orang meninggal setiap

tahun akibat penyakit ini. Sirosis hepatis merupakan penyakit hati yang sering

ditemukan dalam ruang perawatan dalam. Gejala klinis dari sirosis hepatis sangat

bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas. Apabila

diperhatikan, laporan di negara maju, maka kasus sirosis hepatis yang datang berobat

kedokter hanya kira-kira 30% dari seluruh populasi penyakit ini dan lebih dari 30%

lainnya ditemukan secara kebetulan ketika berobat , sisanya ditemukan saat otopsi

(Sutadi, 2003).

Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), pada tahun 2000 sekitar 170 juta

umat manusia terinfeksi sirosis hepatis. Angka ini meliputi sekitar 3% dari seluruh

populasi manusia di dunia dan setiap tahunnya infeksi baru sirosis hepatis bertambah

3-4 juta orang. Angka prevalensi penyakit sirosis hepatis di Indonesia, secara pasti

belum diketahui. Prevalensi penyakit sirosis hepatis pada tahun 2003 di Indonesia

berkisar antara 1-2,4%. Dari rata-rata prevalensi (1,7%), diperkirakan lebih dari 7 juta

penduduk Indonesia mengidap sirosis hepatis (Anonim, 2008).

Menurut Ali (2004), angka kasus penyakit hati menahun di Indonesia sangat

tinggi. Jika tidak segera diobati, penyakit itu dapat berkembang menjadi sirosis atau

kanker hati, sekitar 20 juta penduduk Indonesia terserang penyakit hati menahun.

Angka ini merupakan perhitungan dari prevalensi penderita dengan infeksi hepatitis B

di Indonesia yang berkisar 5-10 persen dan hepatitis C sekitar 2-3 persen. Dalam

perjalanan penyakitnya, 20-40 persen dari jumlah penderita penyakit hati menahun itu

akan menjadi sirosis hati dalam waktu sekitar 15 tahun, tergantung sudah berapa lama

seseorang menderita hepatitis menahun itu.

Sirosis hepatis merupakan penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia

termasuk di Indonesia, kasus ini lebih banyak ditemukan pada kaum laki-laki

dibandingkan kaum wanita dengan perbandingan 2-4 : 1 dengan umur rata-rata

terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun

(Hadi, 2008).

Page 2: Case Sirosis Hepatis

BAB II

LAPORAN KASUS : SIROSIS HEPATIS

2. 1 Identitas Umum Pasien

Nama : TN. WH

Jenis Kelamin : Pria

Umur : 60 tahun 8 bulan 27 hari

RM : 381759

Alamat : Kopo Sayati 3/3 Sayati Kec. Margahayu Kab. Bandung

Pekerjaan : Buruh

Agama : Islam

Ruangan : IGD – Mawar – ICU

Tanggal Masuk : 20 Oktober 2012 pukul 14.10

Tanggal Pemeriksaan : 22 Oktober 2012

2. 2 Anamnesis

Autoanamnesis IGD ( 20 Oktober 2012)

Keluhan Utama : Perut membesar

Pasien mengeluhkan perutnya membesar sejak 2 minggu SMRS. Perut

membesar disertai dengan nyeri ulu hati dan mual. Disangkal adanya muntah.

Keluhan ini diikuti dengan bengkak pada kedua kaki sejak k.l 1 minggu SMRS.

Pasien juga mengeluhkan adanya sesak yang semakin lama semakin

bertambah berat. Sesak timbul jika berjalan jauh atau tidur dalam posisi terlentang,

sehingga pasien merasa lebih nyaman tidur dalam posisi setengah duduk. Pasien

menyangkal sering terbangun di malam hari karena sesak nafas. Disangkal adanya

riwayat demam, batuk lama atau bunyi mengi pada saat bernafas

Pasien mengeluh sejak 1 bulan SMRS merasa menjadi mudah lelah dan lemas,

nafsu makan menurun disertai dengan penurunan berat badan k.l sekitar 5 kilogram.

Mata pasien tampak menjadi kuning sejak 1 bulan SMRS.

Sebelumnya pasien pernah dirawat dengan keluhan yang sama 10 bulan

SMRS, namun sudah 3 bulan terakhir tidak kontrol. Obat-obatan yang rutin diminum

oleh pasien adalah Furosemid, Ranitidine dan antasida.

BAB : frekuensi 1x/hari, keras, berwarna hitam

BAK : warna kuning pekat seperti air teh sejak 1 bulan SMRS, jumlah sedikit-sedikit.

Page 3: Case Sirosis Hepatis

RPD : HT (-) DM (-) Sakit Kuning (-)

Kebiasaan : Merokok + Sudah berhenti k.l 20 tahun yang lalu, minum minuman

beralkohol (+)

2.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum :

Kesan sakit : sakit sedang

Kesadaran     : compos mentis

Keadaan Gizi  : cukup

Ekspresi : tenang

Posisi : tidak tampak letak paksa

Tanda – tanda vital :

TD                   : 100/70 mmHg

Nadi                 : 82 x/menit

Respirasi          : 22 x/menit

Suhu                 : 36,8 oC

Pemeriksaan Sistematik

Mata                : Conjungtiva anemis +/+,   sklera ikterik +/+

THT                 : sekret -, epistaksis –

Mulut : Mukosa basah

Leher : KGB coli t.t.m, JVP meningkat

Thorax             : B/P simetris, retraksi –

Cor                  : Bunyi jantung murni reguler, murmur -

Pulmo              : VBS +/+ ka=ki, Rh+/+ basah halus pada basal paru, Wh -/-

Abdomen : Cembung, Soepel, BU(+) Normal

Ascites + , Shifting Dullness +, H/L Sulit dinilai

Extremitas       : Akral hangat, CRT < 2’, pitting edema +/+

2. 4. Diagnosis Kerja / Differensial Diagnosis

Asites e.c DD/ - CHF fc III – IV

- CKD

- Sirosis Hepatis

Page 4: Case Sirosis Hepatis

                   

2. 5 Pemeriksaan Penunjang

Hematologi rutin

Hb : 14,5 g/dl

Ht : 46 %

Leukosit : 6.500 / mm3

Trombosit : 221.000 / mm3

Pem. Kimia Klinik

GDS : 120 mg/dl

Ureum : 34 mg/dl

Kreatinin : 1,11 mg/dl

SGOT : 31,8 U/l / SGPT : 15,6 U/l

Bilirubin Total : 1,83 mg/dl

Bilirubin Direk : 1,35 mg/dl

Bilirubin Indirek : 0,48 mg/dl

Protein Total : 8,80 g/dl/ Albumin : 4,54 g/dl/ Globulin : 4,26 g/dl

Pemeriksaan Foto Thorax PA

Efusi pleura bilateral

Edema paru

EKG : OMI Inferior

2. 6 Terapi

O2 2-4 liter/menit

Venflon

Ondansetron 3 x 4 mg

Furosemid 3 x 2 amp

Ranitidine 2x1 amp iv

KSR 1x1 tab

Spironolakton 1x1 tab

Kateterisasi Jika urine (-) lakukan forced diuretik

2.7 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad malam

Quo ad functionam : ad malam

Page 5: Case Sirosis Hepatis

2. 9 Resume

Seorang pria berusia 60 tahun datang ke IGD RSUD Soreang dengan keluhan

perut membesar sejak 2 minggu SMRS disertai dengan nyeri ulu hati, nausea tanpa

disertai vomitus, edema ekstremitas inferior (+), dyspnea d’effort (+), orthopnea (+) ,

disangkal adanya paroxysimal nocturnal dyspnea, orthopnea, keringat malam ataupun

riwayat demam dan batuk lama.

Sejak 1 bulan SMRS pasien juga mengeluhkan adanya anoreksia, malaise dan

penurunan berat badan sebanyak 5 kg disertai dengan ikterik pada mata. BAK

menjadi seperti air teh dengan jumlah sedikit-sedikit setiap BAK. BAB menjadi

berwarna hitam dan keras.

Pasien pernah dirawat dengan keluhan serupa 10 bulan SMRS namun sudah 3

bulan tidak kontrol, disangkal adanya riwayat HT, DM dan Sakit Kuning, Pasien

pernah memiliki kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol sekitar 20 tahun

yang lalu.

Pemeriksaan Fisik : KU: Compos mentis dengan Vital Sign dbn, Sclera

Icteric, JVP meningkat, Batas Jantung Kiri melebar 2 jari lateral LMCS, Pada

pemeriksaan paru ditemukan Rhonki basah halus pada basal paru tanpa adanya

wheezing, Pada Abdomen, ditemukan ascites dengan shifting dullness, bising usus +,

dan hepar serta lien sulit dinilai. Pitting edema pada ekstremitas inferior +

Diagnosis sementara adalah : Asites e.c DD/ CHF

- CKD

- Sirosis Hepatis

Pemeriksaan Penunjang didapatkan Bilirubin Total : 1,83 mg/dl (meningkat),

Bilirubin Direk : 1,35 mg/dl (meningkat), Protein Total : 8,80 g/dl(meningkat),

Globulin : 4,26 g/dl (meningkat)

Pemeriksaan Foto Thorax PA didapatkan Efusi pleura bilateral dan edema paru.

Pemeriksaan EKG : OMI Inferior.

Terapi yang didapatkan : O2 2-4 liter/menit, Venflon, Ondansetron 3 x 4 mg,

Furosemid 3 x 2 amp, Ranitidine 2x1 amp iv, KSR 1x1 tab, Spironolakton 1x1 tab,

Kateterisasi Jika urine (-) lakukan forced diuretik

Pada hari pertama dan kedua perawatan, kondisi pasien dalam kondisi stabil,

dilakukan pemeriksaan tambahan berupa HBsAg, Profil lipid (dbn), As. Urat (13,44

mg/dl) serta USG dengan hasil menyokong gambaran sirosis hepatis dan

splenomegali. Produksi Urine pasien pada hari pertama 700 cc/24 jam dan pada hari

Page 6: Case Sirosis Hepatis

kedua 750 cc/24 jam. Diagnosis sementara adalah Sirosis Hepatis + CHF fc ?. Terapi

dilanjutkan dengan penambahan dosis spironolakton menjadi 3 x 100 mg dan

curcuma 3x1 tab.

Pada hari ketiga perawatan (17.00), pasien menjadi bertambah sesak dan

delirium. Produksi urine menurun menjadi hanya 20 cc/jam. Disarankan untuk masuk

ICU dan dilakukan forced diuresis. Di ICU kesadaran pasien menurun menjadi sopor

dan tekanan darah turun menjadi 70/palp, diberikan terapi Dopamine 1

mcg/kgbb/menit, Dobutamine 5 mcg/kgbb/menit, setelahnya tekanan darah sempat

naik menjadi 85/60 mmHg. Sejak masuk ICU, produksi urine pasien (-), dilakukan

forced diuresis mulai dengan pemberian lasix 4 amp iv dinaikkan menjadi 8 amp iv

dan 12 amp iv, namun urine tetap tidak keluar.

Pada hari keempat perawatan (2.10) pasien apnea, TD tidak terukur dan nadi

tidak teraba, setelah dilakukan RJP pasien dinyatakan meninggal di ICU di hadapan

dokter, perawat dan keluarga.

2. 10 Permasalahan

Penegakkan diagnosis pada pasien kasus ini

Penatalaksanaan penyakit

Page 7: Case Sirosis Hepatis

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Sirosis hati (liver cirrhosis) merupakan perjalanan patologi akhir berbagai

macam penyakit hati. Istilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada

tahun1826. Diambil bahasa Yunani scirrhus atau kirrhos yang artinya warna oranye

dan dipakai untuk menunjukan warna oranye atau kuning kecoklatan permukaan hati

yang tampak saat otopsi.

Batasan fibrosis sendiri adalah penumpkan berlebihan matriks ekstaselular

(seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam hati.

Menurut SHERLOCK; secara anatomis sirosis hati ialah terjadinya fibrosis

yang sudah meluas dengan terbentuknya nodul-nodul pada semua bagian hati, tidak

hanya pada satu lobulus saja.

Menurut GALL; sirosis hati ialah penyakit hati kronis dimana terjadi

kerusakan sel hati ynag terus – menerus, dan terjadi regenerasi noduler serta

proliferasi jaringan ikat yang difus untuk menahan terjadinya nekrose parenkim atau

timbulnya inflamasi.

3.2 Epidemiologi

Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki – laki daripada

wanita, didapat perbandingan 1,6 : 1. Menurut ARYONO, 78% penderita sirosis

dalam golongan umur 30 – 60 tahun. Puncaknya sekitar usia 40 – 49 tahun. Menurut

JULIUS dan HANIF di RSUP Padang puncaknya antara 30 – 49 tahun, dan 64,8%

pada laki – laki.

3.3 Etiologi

Penyebab pasti sirosis hati belum jelas, tapi di antaranya disebutkan:

1. Factor kekurangan gizi.

2. Hepatitis virus.

3. Zat hepatotoksik

4. Penyakit Wilson

5. Hemokromatosis

6. Sebab – sebab lain;

Page 8: Case Sirosis Hepatis

1. Kelemahan jantung yang lama mengakibatkan sirosis kardiak.

2. Obstruksi saluran empedu menyebabkan sirosis biliaris primer.

3.4 Manifestasi klinis

3.4.1 Gejala-gejala Sirosis

Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga ditemukan pada waktu

pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau kerena kelainan penyakit lain.

Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi perasaan mudah lelah dan lemas, selera

makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun, pada laki-

laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya

dorongan seksualitas.

Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala yang lebih menonjol

terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi hilangya

rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Dapat disertai gangguan

pembekuaan darah, perdarahan gusi, epiktasis, gangguan siklus haid, ikterus dengan

air kemih seperti teh pekat, muntah darah atau/dan melena, serta perubahan mental,

meliputi mudah lupa, sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma.

3.4.2 Temuan Klinis

Temuan klinis sirosis meliputi :

Spider nevi

Eritema Palmaris

Kuku-kuku Muchrche

Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia Palmaris

Ginekomastia

Atrofi testis

Splenomegali

Hepatomegali

Asites

Fetor hepatikum

Ikterus

Asterixis-bilateral

Page 9: Case Sirosis Hepatis

Gambar 1. gambaran klinis pada sirosis hati

3.4.3 Gambaran Laboratoris

Adanya sirosis dicurigai apabila ditemukan kelaninan pemeriksaan laboratorium

meliputi :

Peningkatan SGOT dan SGPT, SGOT lebih meningkat dari SGPT tetapi bila

normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.

Peningkatan alkali fosfatase

Peningkatan Gamma-glutamil transpeptidase

Peningkatan bilirubin

Peningkatan globulin

Pemanjangan waktu PT

Penurunan albumin

Anemia

Pemeriksaan barium meal dapat melihat varises

Pemeriksaan Imaging seperti CT scan dan MRI utuk melihat perubahan

morfologi hati

Page 10: Case Sirosis Hepatis

3.5 Komplikasi

1. Edema dan asites

Dengan makin beratnya sirosis, terjadi pengiriman sinyal ke ginjal untuk

melakukan retensi garam dan air dalam tubuh. Garam dan air yang berlebihan,

pada awalnya akan berkumpul dalam jaringan di bawah kulit disekitar tumit

dan kaki, karena efek gravitasi pada saat duduk atau berdiri dan berkurang

pada malam hari sebagai hasil menghilangnya efek gravitasi pada waktu tidur.

Dengan makin beratnya sirosis dan makin banyak air dan garam yang

diretensi, air akhirnya akan berkumpul dalam rongga abdomen antara dinding

perut dan organ dalam perut. Penimbunan cairan ini disebut asites yang

berakibat pembesaran perut, keluhan tak enak dalam perut dan peningkatan

berat badan.

2. Perdarahan gastrointestinal akibat hipertensi portal sehingga timbul varises

esophagus yang gampang pecah.

Gambar 2. obstruksi aliran darah dalam sirkulasi portal, dengan hipertensi portal dan pengalihan aliran darah ke jalur vena yang lain, termasuk vena di lambung dan esofagus.

Pada pasien sirosis, jaringan ikat dari hati menghambat aliran darah dari usus

yang kembali ke jantung. Kejadian ini dapat meningkatkan tekanan dalam

vena porta (hipertensi portal). Sebagai hasil peningkatan aliran darah dan

Page 11: Case Sirosis Hepatis

peningkatan tekanan vena porta ini, vena-vena di bagian bawah esofagus dan

bagian atas lambung akan melebar, sehingga timbul varises esofagus dan

lambung. Makin tinggi tekanan portalnya, makin besar varisesnya, dan makin

besar kemungkinannya pasien mengalami perdarahan varises. Perdarahan

varises biasanya hebat dan tanpa pengobatan yang cepat dapat berakibat fatal.

Keluhan perdarahan varises bisa berupa muntah darah atau hematemesis.

Bahan muntahan dapat berwarna merah bercampur bekuan darah, atau seperti

kopi (coffee grounds appearance) akibat efek asam lambung terhadap darah.

Buang air besar berwarna hitam lembek (melena), dan keluhan lemah dan

pusing pada saat posisi berubah (orthostatic dizziness atau fainting), yang

disebabkan penurunan tekanan darah mendadak saat melakukan perubahan

posisi berdiri dari berbaring.

3. Ensefalopati hepatik

Beberapa protein makanan yang masuk ke dalam usus akan digunakan oleh

bakteri-bakteri normal usus. Dalam proses pencernaan ini, beberapa bahan

akan terbentuk dalam usus. Bahan-bahan ini sebagian akan terserap kembali

ke dalam tubuh. Beberapa diantaranya, misalnya amonia, berbahaya terhadap

otak. Dalam keadaan normal bahan-bahan toksik dibawa dari usus lewat vena

porta masuk ke dalam hati untuk didetoksifikasi. Pada sirosis, sel-sel hati tidak

berfungsi normal, baik akibat kerusakan maupun akibat hilangnya hubungan

normal sel-sel ini dengan darah. Akibatnya bahan-bahan toksik dalam darah

tidak dapat masuk sel hati,sehingga terjadi akumulasi bahan ini dalam darah.

Jika bahan-bahan ini terkumpul cukup banyak, fungsi otak akan terganggu.

Kondisi ini disebut ensefalopati hepatik. Tidur lebih banyak pada siang

dibanding malam (perubahan pola tidur) merupakan tanda awal ensefalopati

hepatik. Keluhan lain dapat berupa mudah tersinggung, tidak mampu

konsentrasi atau menghitung, kehilangan memori, bingung, dan penurunan

kesadaran bertahap. Akhirnya ensefalopati hepatik yang berat dalam

menimbulkan koma dan kematian.

4. Sindroma hepatorenal

Pasien dengan sirosis yang memburuk dapat berkembang menjadi sindroma

hepatorenal. Sindroma ini merupakan komplikasi serius karena terdapat

penurunan fungsi ginjal namun ginjal secara fisik sebenarnya tidak mengalami

kerusakan sama sekali. Penurunan fungsi ginjal ini disebabkan perubahan

Page 12: Case Sirosis Hepatis

aliran darah ke dalam ginjal. Batasan sindroma hepatorenal adalah kegagalan

ginjal secara progresif untuk membersihkan bahan-bahan toksik dari darah

dan kegagalan memproduksi urin dalam jumlah adekuat, meskipun fungsi lain

ginjal yang penting, misalnya retensi garam tidak terganggu. Bila fungsi hati

membaik atau dilakukan transplantasi hati, ginjal akan bekerja normal lagi.

5. Karsinoma hepatoseluler. Beberapa penderita sirosis ditemukan juga

karsinoma hati akibat hiperplasi yang menjadi karsinoma.

6. Infeksi akibat penurunan daya tahan tubuh seperti peritonitis, pneumoni,

sistitits, endokarditis, glomerulonefritis, pielonefritis, sepsis.

3.6 Pengobatan

Etiologi sirosis mempengaruhi penanganannya. Terapi ditujukan mengurangi

progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakkan hati,

pencegahan dan penanganan komplikasi. Bila tidak ada koma hepatik diberikan diet

yang mengandung protein 1g/Kg BB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari.

Tatalaksana pasien sirosis kompensata ditujukan untuk mengurangi progresi

kerusakan hati. Terapi ini ditujukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya :

alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati.

Hepatitis autoimun bisa diberikan kortikosteroid atau imunosupresif. Pada

hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal

dan diulang sesuai kebutuhan. Pada penyakit non-alkoholik; menurunkan berat badan

akan mencegah terjadinya sirosis.

Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin merupakan terapi utama.

Lamvudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama

setahun. Interferon alfa diberikan secara subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu 4-6

bulan, namun ternyata juga banyak yang kambuh.

Pada hepatitis C kronik; kombinasi interferon dan ribavirin merupakan terapi

standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5 MIU tiga kali

seminggu dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.

Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih

mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosis. Di masa datang,

menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik akan

merupakan terapi utama.

Page 13: Case Sirosis Hepatis

3.6. 1Pengobatan sirosis dekompensata

- Asites

Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2

gram atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretic.

Awalnya dengan pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari.

Penurunan berat badan dimonitor 0.5kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1Kg/hari

dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat bisa

dikombinasi dengan furosemid 20-40 mg/hari dengan dosis maksimal 160mg/hari.

Parasintesis dilakukan jika asites terlampau besar. Pengeluaran asites bisa sampai 4-6

liter dan dilindungi dengan pemberian albumin.

- Ensefalopati hepatik

Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan ammonia. Neomisin bisa

digunakan unuk menurangi bakteri sus penghasil ammonia, diet prtein dikurangi

sampai 0,5 gr/kg berat badan per hari, terutama diberikan yang kaya asam amino

rantai cabang.

- Varises esophagus

Sebelum berdarah dan sesudah berdarah dapat diberikan obat beta-blocker

(propanolol). Waktu perdarahan akut, bisa diberikan prearat somatostatin atau

oktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi.

- Peritonitis bakerial spontan

Diberikan antibiotik seperti sefotaksim intravena, amoksisilin, atau

aminoglikosida.

- Sindrom hepatorenal

Mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati, mengatur keseimbangan garam

dan air.

- Transplantasi hati

Terapi definitif pada pasien sirosis decompensata. Namun sebelum dilakukan

transplantasi ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi resipien dahulu.

3. 7 Prognosis

Prognosis pasien sirosis tergantung ada tidaknya komplikasi sirosis. Pasien

sirosis kompensata mempunyai harapan hidup lebih lama, jika tidak berkembang

menjadi sirosis dekompensata.

Page 14: Case Sirosis Hepatis

Untuk pasien sirosis hati yang direncanakan tindakan bedah, penilaian

prognosis pasien dilakukan dengan melakukan penilaian skor menurut Child-

Turcotte-Pough (skor CTP). Sementara untuk penilaian pasien sirosis yang

direncanakan transplantasi hati menggunakan skor MELD (Model for End-stage Liver

Disease) atau PELD (Pediatric for End-stage Liver Disease).

CTP score :

Klasifikasi CTP 1 2 3

Bilirubin (mg/dL) <2 2 – 3 >3

Pasien PBC dan PSC <4 4 – 10 >10

Albumin (g/dL) >3.5 2.8 – 3.5 <2.8

PT memanjang >3.5 4 – 6 >6

INR <1,7 1.8 – 2.3 >23

Asites - Sedikit atau terkontrol

obat

Sedang atau berat

Ensefalopati - 1 – 2 3 – 4

Skor MELD atau PELD :

Skor MELD : 3.8*log (bilirubin) + 11,2*log (INR) + 9.6* (kreatinin) +6.4

Interval skor MELD = 6 – 40

Menurut SHERLOCK, sirosis hati bukanlah penyakit yang progresif. Dengan

terapi yang adekuat dapat terjadi perbaikan. Menurut READ, STEIGMAN jika sudah

terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal prognosanya jelek.

Page 15: Case Sirosis Hepatis

BAB IV

ANALISIS KASUS DAN PEMBAHASAN

Seorang pria berusia 60 tahun datang ke IGD RSUD Soreang dengan keluhan

utama perut membesar sejak 2 minggu SMRS disertai dengan nyeri ulu hati, nausea

tanpa disertai vomitus, edema ekstremitas inferior (+), dyspnea d’effort (+), orthopnea

(+) ,

Sejak 1 bulan SMRS pasien juga mengeluhkan adanya anoreksia, malaise dan

penurunan berat badan sebanyak 5 kg disertai dengan ikterik pada mata. BAK

menjadi seperti air teh dengan jumlah sedikit-sedikit setiap BAK. BAB menjadi

berwarna hitam dan keras.

Pasien pernah dirawat dengan keluhan serupa 10 bulan SMRS namun sudah 3

bulan pasien tidak kontrol. Pasien pernah memiliki kebiasaan merokok dan minum

minuman beralkohol sekitar 20 tahun yang lalu.

Pemeriksaan Fisik : KU: Compos mentis dengan Vital Sign dbn, Sclera

Icteric, JVP meningkat, Batas Jantung Kiri melebar 2 jari lateral LMCS, Pada

pemeriksaan paru ditemukan Rhonki basah halus pada basal paru tanpa adanya

wheezing, Pada Abdomen, ditemukan spider naevi +, ascites dengan shifting dullness,

bising usus +, dan hepar serta lien sulit dinilai. Pitting edema pada ekstremitas inferior

+.

Pemeriksaan Penunjang didapatkan Bilirubin Total : 1,83 mg/dl (meningkat),

Bilirubin Direk : 1,35 mg/dl (meningkat), Protein Total : 8,80 g/dl(meningkat),

Globulin : 4,26 g/dl (meningkat)

Pemeriksaan Foto Thorax PA didapatkan Efusi pleura bilateral dan edema paru.

Pemeriksaan EKG : OMI Inferior

USG menyokong gambaran sirosis hepatis dan splenomegali.

Diagnosis kerja pasien ini adalah Sirosis Hepatis dan CHF fc ? . Dengan

diagnosis tersebut maka pasien mendapatkan terapi O2 2-4 liter/menit, Venflon,

Ondansetron 3 x 4 mg, Furosemid 3 x 2 amp, Ranitidine 2x1 amp iv, KSR 1x1 tab,

Spironolakton 1x1 tab.

Menurut David. C. Wolf (2012) gejala awal sirosis (kompensata) meliputi

perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung,

mual dan berat badan menurun, sedangkan pada tahap lanjut dari sirosis

(dekompensata) dapat menimbulkan komplikasi berupa hipertensi porta dengan

Page 16: Case Sirosis Hepatis

manifestasi timbulnya asites yang menimbulkan rasa nyeri atau tidak nyaman,

splenomegali yang dapat menimbulkan rasa nyeri pada perut kanan atas, perdarahan

varises esofagus yang dapat menimbulkan hematemesis dan melena, timbulnya

pembuluh darah kolateral pada kulit abdomen (caput medusa) dan pembengkakan

pada ekstremitas bawah.

Selain itu, pasien dengan sirosis juga dapat mengalami peningkatan konversi

hormon steroid androgen menjadi estrogen di kulit, jaringan adiposa, otot dan tulang.

Pada pasien pria dapat timbul ginekomastia dan impotensi. Hilangnya rambut ketiak

dan rambut pubis dapat pula ditemukan pada pasien pria dan wanita. Keadaan

hiperestrogenemia juga mengakibatkan timbulnya spider angiomata dan palmar

eritema. (David. C. Wolf, 2012)

Kelainan hematologi seperti anemia dan trombositopenia dapat terjadi akibat

dari splenomegali dan penurunan kadar trombopoietin. Kelainan pembekuan darah

juga dapat terjadi akibat penurunan produksi faktor pembekuan darah akibat

kerusakan sel parenkim hepar. (David. C. Wolf, 2012)

Gangguan fungsi paru-paru dapat terjadi pada pasien sirosis hepatis, dimana

dapat ditemukan efusi pleura dan elevasi diafragma yang diakibatkan oleh asites yang

hebat, akibatnya dapat terjadi gangguan ventilasi-perfusi paru. Edema interstitial juga

dapat menurunkan kapasitas difusi paru-paru sehingga dapat menimbulkan sesak pada

pasien. (David. C. Wolf, 2012)

Adanya sirosis dicurigai apabila ditemukan kelaninan pemeriksaan

laboratorium meliputi :

Peningkatan SGOT dan SGPT, SGOT lebih meningkat dari SGPT tetapi bila

normal tidak mengenyampingkan adanya sirosis.

Peningkatan alkali fosfatase

Peningkatan Gamma-glutamil transpeptidase

Peningkatan bilirubin

Peningkatan globulin

Pemanjangan waktu PT

Penurunan albumin

Anemia

Pemeriksaan barium meal dapat melihat varises

Pemeriksaan Imaging seperti USG untuk melihat perubahan morfologi hati

Page 17: Case Sirosis Hepatis

Penegakkan Diagnosis Sirosis Hepatis berdasarkan anamnesis dimana

didapatkan :

Perut membesar sejak dua minggu yang lalu

Mual dan nyeri ulu hati

Penurunan nafsu makan

Lemah

Berat Badan Menurun

Kuning pada mata

BAK seperti air teh dengan jumlah sedikit-sedikit

BAB berwarna hitam

Riwayat minum-minuman beralkohol (+)

Riwayat pernah dirawat dengan keluhan serupa (+)

Sedangkan pada pemeriksaan fisik didapatkan hal-hal yang menunjang ke arah Sirosis

Hepatis diantaranya :

Sclera icteric

Spider naevi (+)

Asites (+) shifting dullness (+) H/L Sulit dinilai

Rhonkhi basah pada basal paru efusi pleura bilateral

edema ekstremitas +/+

Pemeriksaan lab yang mendukung ke arah sirosis hepatis adalah ditemukannya

peningkatan Bilirubin Total : 1,83 mg/dl, Bilirubin Direk : 1,35 mg/dl, Protein Total :

8,80 g/dl, Globulin : 4,26 g/dl, sedangkan kadar SGOT/SGPT, Ureum dan Creatinin

serta GDS dalam batas normal.

Pemeriksaan Foto Thorax PA didapatkan Efusi pleura bilateral dan edema paru.

USG menyokong gambaran sirosis hepatis dan splenomegali.

Pada pasien sirosis yang mengalami asites, menurut David. C. Wolf (2012)

terapi yang diberikan adalah :

Restriksi asupan sodium : kurang dari 2000 mg/hari, bahkan pada pasien

dengan asites refreakter diet diusahakan kurang dari 500 mg/hari.

Diuretik

o Spironolakton 50-300 mg/hari

o Furosemide (Lasix) 40-240 mg/hari dibagi dalam 1-2 dosis terbagi.

Albumin

Page 18: Case Sirosis Hepatis

Large-volume paracentesis

Peritoneovenous shunt

Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt

Pada kasus ini, pasien mendapatkan terapi O2 2-4 liter/menit, Venflon, Ondansetron 3

x 4 mg, Furosemid 3 x 2 amp, Ranitidine 2x1 amp iv, KSR 1x1 tab, Spironolakton

1x1 tab, sesuai dengan literatur.

Prognosis pada pasien sirosis dapat diprediksi mempergunakan Child-Pugh

Score, yaitu :

Klasifikasi CTP 1 2 3

Bilirubin (mg/dL) <2 2 – 3 >3

Pasien PBC dan PSC <4 4 – 10 >10

Albumin (g/dL) >3.5 2.8 – 3.5 <2.8

PT memanjang >3.5 4 – 6 >6

INR <1,7 1.8 – 2.3 >23

Asites - Sedikit atau terkontrol

obat

Sedang atau berat

Ensefalopati - 1 – 2 3 – 4

Pada pasien didapatkan score CTP minimal 8 (delapan), karena kadar PT dan

INR tidak diperiksa. Score CTP lebih besar atau sama dengan 10 memberikan

gambaran ekspetansi hidup yang lebih rendah (kurang dari 50%) dalam satu tahun.

Masalah yang timbul pada pasien ini adalah rendahnya produksi urine sejak

pasien dirawat. Pada pasien diketahui bahwa sejak 1 bulan SMRS BAK frekuensi

menjadi berkurang dengan jumlah hanya sedikit tiap BAK. Pada hari pertama

perawatan jumlah produksi urine 700 cc/24 jam, hari kedua perawatan 750 cc/24 jam

dan menurun menjadi hanya 20 cc/jam pada hari ketiga perawatan, disertai dengan

keadaan umum pasien yang menjadi gelisah dan sesak.

Page 19: Case Sirosis Hepatis

Beberapa kemungkinan yang dapat mengakibatkan gagal ginjal akut pada pasien

sirosis, adalah sbb :

Pada pasien ini kemungkinan besar penyebab gagal ginjal akut adalah keadaan

hepatorenal syndrome.

Sindrom hepatorenal yang diusulkan oleh International Ascites Club (1994)

adalah sindroma klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan kegagalan

hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan

abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktifitas sistem vasoactive endogen.4

SHR adalah komplikasi dari penyakit hati lanjut yang ditandai tidak hanya

gagal ginjal, tapi juga gangguan sistem hemodinamik dan aktifitas sistem vasoaktif

endogen. Patogenesis SHR belum diketahui pasti, tapi diduga karena pengurangan

Page 20: Case Sirosis Hepatis

pengisian sirkulasi arteriol sekunder karena vasodilatasi sirkulasi arteriol di splanik,

serta gangguan keseimbangan antara faktor vasokonstriktor dan vasodilator.

Menurut Pere Ginès, et al dalam Lancet 2003; 362: 1819–27, patogenesis terjadinya

HRS adalah sbb :

Page 21: Case Sirosis Hepatis

Penegakan Diagnosis SHR berdasarkan CJASN September 2006 vol. 1 no. 5

1066-1079 adalah sbb :

Pada pasien tiga dari empat kriteria mayor untuk penegakkan diagnosis

hepatorenal sindrom terpenuhi, Satu kriteria yang tidak terpenuhi yaitu tidak adanya

perbaikan fungsi renal setelah penghentian diuretic dan penambahan volume plasma

sebanyak 1,5 liter.

Menurut Andres Cardenas pada Am J Gastroenterol, 2005:100:460-467,

terdapat dua tipr HRS yaitu ;

Page 22: Case Sirosis Hepatis

Pada kasus sulit ditentukan apakah pasien mengalami HRS tipe 1 atau tipe 2 karena

pada saat terjadi penurunan produksi urine tidak dilakukan pengukuran kembali kadar

ureum dan kreatinin. Namun berdasarkan perjalanan waktu dan gejala yang timbul,

kemungkinan besar pasien menderita HRS tipe 2 dimana gejala berjalan lebih lambat

dan disertai dengan timbulnya asites yang berulang.

Penanganan HRS tipe 2 menurut Pere Ginès, et al dalam Lancet 2003; 362:

1819–27, adalah sbb :

Pada pasien telah diberikan diuretic dan restriksi cairan namun belum

dilakukan paresentesis ataupun pemberian albumin untuk menangani asites.

Masalah selanjutnya pada kasus ini adalah terjadinya penurunan kesadaran

pada pasien yang kemungkinan besar terjadi sebagai komplikasi dari sirosis hepatis

yaitu ensefalopati hepatikum.

Hepatic encephalopathy (HE) adalah suatu sindroma disfungsi neuropsikiatri

yang diakibatkan oleh portosystemic venous shunting, dengan ataupun tanpa adanya

kelainan intrinsik hati. Manifestasi klinis HE biasanya muncul sebagai perubahan

status mental yang bervariasi dari mulai hanya perubahan kepribadian sampai

timbulnya koma. (Munoz,2008).

Manifestasi klinis HE adalah sbb ;

Page 23: Case Sirosis Hepatis

Pada pasien awalnya hanya timbul keadaan delirium, nampak bingung jika

ditanya namun lama kelamaan pasien jatuh ke keadaan koma.

Beberapa faktor pencetus yang dapat mengakibatkan pasien sirosis jatuh ke

keadaan koma hepatikum, diantaranya adalah :

Pada pasien kemungkinan besar penyebab timbulnya hepatic encephalopathy

adalah adanya gagal ginjal akut akibat Hepatorenal Syndrome dimana terjadi

penurunan ekskresi ammonia melalui ginjal.

Menurut Munoz (2008), penatalaksanaan HE adalah dengan mengkoreksi

faktor pencetus, pemberian laktulosa, antibiotik oral dan diet protein (branched amino

Page 24: Case Sirosis Hepatis

acid preparat). Pada kasus, untuk penanganan HE pasien diberi tambahan terapi

komafusin.

Selain menyebabkan Hepatic Encephalopathy, Keadaan Hepatorenal

Syndrome pada pasien ini mengakibatkan overloading cairan, akibatnya beban

jantung pada pasien bertambah berat, sedangkan pasien sudah memiliki riwayat CHF

sebelumnya. Akibatnya timbul Syok Kardiogenik pada pasien. Pemberian dopamine

dan dobutamine sebagai agen vasokonstriktor pada pasien sempat memperbaiki

keadaan pasien, namun karena sudah terjadi kegagalan fungsi hepar, ginjal dan

jantung, maka pasien meninggal pada hari ke-empat perawatan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN

Pasien datang dengan diagnosis sirosis hepatis dekompensata disertai dengan

adanya Gagal Jantung Kongestif. Pada perjalanan penyakit pasien mengalami

komplikasi berupa Hepatorenal Syndrome yang kemudian berakibat timbulnya Koma

Hepatikum dan Syok Kardiogenik. Kegagalan organ hepar, ginjal, jantung dan otak

mengakibatkan kematian pada pasien ini.

5.2 SARAN

Pemantauan input/uotput cairan pada pasien cirhosis dengan asites berat perlu

dilakukan dengan ketat dan dilaporkan segera untuk menghindari

keterlambatan penegakkan diagnosis dan pemberian terapi.

Pemeriksaan penunjang pada pasien kasus ini masih banyak terlewat dan

kurang lengkap, seperti hasil HbsAg, tidak dilakukannya pemeriksaan kadar

Ureum dan kreatinin ulang pada saat terjadi anuria.

Page 25: Case Sirosis Hepatis

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi IV.

Jakarta: Balai Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 2006.

2. Sulaiman, H Ali. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi I. Jakarta: Jayabadi.

2007.

3. Fauci, dkk. Harrison’s principles of internal medicine. Edisi XVII.

Amerika serikat: The McGraw-Hill Companies. 2008.

4. Wadei, M.H, et al. Hepatorenal Syndrome: Pathophysiology and

Management. CJASN September 2006 vol. 1 no. 5 1066-1079.

5. Gines, P, et al. Hepatorenal Syndrome. Lancet 2003; 362: 1819–27.

6. Munoz, S.J. Hepatic Encephalopathy. Med Clin N Am 92 (2008) 795–812

7. Blei, et al. Practice Guidelines:Hepatic encephalopathy. AJG – Vol. 96,

No. 7, 2001

8. http://emedicine.medscape.com/article/185856-overview#aw2aab6c11