case study_standarisasi varian logistik
TRANSCRIPT
ANALISIS POTENSI PENGHEMATAN DARI STANDARISASI JENIS
OBAT-OBATAN DI APOTEK R
Oleh: Rahmalia Dini Putranti
ABSTRAK
Apotek R yang didirikan pada tahun 1992 di Rumah Sakit H merupakan unit usaha
mandiri yang bergerak dalam bidang penyediaan obat dan alat kesehatan serta pelayanan
jasa profesi farmasi. Saat ini, dalam menjalankan peranannya sebagai penunjang kinerja
Rumah Sakit H, Apotek R harus melakukan pemesanan untuk ribuan jenis obat-obatan ke
berbagai Pedagang Besar Farmasi sebanyak tiga kali seminggu, kemudian
mendistribusikannya kepada 29 titik depo. Banyaknya jenis obat yang berputar serta belum
maksimalnya pemanfaatan teknologi komputer dalam sistem kerja apotek berakibat pada
kesulitan dalam melakukan inventory management. Agar dapat survive dalam kondisi
industri yang makin kompleks, perusahaan harus mengoptimalkan kinerja sistem
distribusinya, termasuk diantaranya adalah dengan menganalisis kemungkinan
dilakukannya variety reduction (standarisasi) pada persediaan obat-obatan di Apotek R.
Analisis ditujukan untuk mengetahui dan mengkuantifikasi berbagai konsekuensi
yang timbul akibat penerapan standarisasi jenis obat-obatan. Hal ini mencakup analisis
obat-obatan yang memiliki komposisi sama, mengelompokkannya dan menelaah frekuensi
penjualan masing-masing obat tersebut. Berdasarkan data tersebut, obat-obat dari setiap
kelompok yang jumlah penjualannya di bawah standar, akan dihapuskan dari daftar
inventory Apotek R, dan penjualan maupun pembelian obat-obat tersebut akan dialihkan ke
obat generik. Dengan jenis item yang lebih sedikit, pihak apotek akan lebih mudah
menangani proses distribusi inventory-nya.
Kata Kunci: Variety Reduction, Apotek, Obat Generik, Proses Distribusi.
PROFIL PERUSAHAAN
Pendirian Apotek R di Rumah Sakit H didasari oleh adanya kebijakan Pemerintah
mengenai swadanisasi rumah sakit dan berakhirnya perjanjian kerja sama antara Rumah
Sakit H dan PT Kimia Farma dalam hal pelayanan obat, pada tanggal 31 Desember 1991.
Sebagai usaha perapotekan yang merupakan bagian dari Rumah Sakit H, Apotek R bertugas
untuk menyuplai kebutuhan instalasi farmasi Rumah Sakit H.
Proses bisnis Apotek R adalah proses pelayanan kefarmasian serta proses
pendistribusian obat-obatan dan alat kesehatan. Pelayanan yang diberikan meliputi
pelayanan obat bebas atau tanpa resep, maupun pelayanan resep yang dibuat oleh dokter,
baik dari lingkungan Rumah Sakit H ataupun dari luar rumah Sakit H. Selain itu, Apotek R
juga memberikan pelayanan kefarmasian berupa pemberian informasi obat dan alat
kesehatan untuk menjamin keamanan pemakaian obat oleh pasien, serta pemberian
konseling atau konsultasi obat kepada pasien ataupun keluarga pasien. Pelayanan diberikan
di seluruh depo-depo farmasi yang tersebar di Rumah Sakit H. Pihak-pihak yang terlibat
dalam proses bisnis Apotek R adalah:
Pedagang Besar Farmasi (PBF), yang terdiri atas distributor-distributor yang
menyediakan obat-obatan dan alat kesehatan yang dipesan oleh gudang pusat.
Gudang pusat yang mengkoordinasikan seluruh kegiatan pembelian apotek dan
mendistribusikan barang, baik secara langsung maupun tidak langsung ke depo-depo
pelayanan di Apotek R.
Gudang gedung baru atau gudang antara, merupakan penyedia obat-obatan bagi depo
yang terletak di gedung baru.
Depo yang tersebar di gedung lama, bertugas untuk melayani persediaan obat untuk
instalasi rawat inap dan rawat jalan di gedung lama.
IPD, merupakan salah satu depo pelayanan di gedung lama yang juga menyuplai obat-
obatan untuk depo-depo pelayanan yang tidak memiliki ruangan persediaan.
Gambar 1 Jaringan Distribusi Apotek R
Gudang pusat melakukan pembelian rutin ke PBF sebanyak 3 kali dalam
seminggu, yaitu pada hari Senin, Rabu dan Jumat. Selain itu, proses bisnis gudang pusat
juga meliputi pelayanan pemesanan rutin dari gudang gedung baru dan depo-depo di
gedung lama. Gudang gedung baru melakukan pemesanan rutin setiap hari Senin hingga
Jumat, sementara itu depo-depo lain melakukan pemesanan sebanyak 3 kali dalam
seminggu pada hari-hari yang telah ditentukan dalam jadwal.
Tabel 1 Jadwal Pemesanan Rutin di Apotek R
Jadwal Pemesanan RutinSenin: OPD I, OPD II, Gudang Gedung Baru, Depo Rawat Inap Gedung Lama
Selasa: IPD, Gudang Gedung Baru, Askes Pusat, Depo Rawat Inap Gedung LamaRabu: OPD I, OPD II, Gudang Gedung Baru, Depo Rawat Inap Gedung LamaKamis: IPD, Gudang Gedung Baru, Askes Pusat, Depo Rawat Inap Gedung Lama
Jumat: OPD I, OPD II, Gudang Gedung Baru, Depo Rawat Inap Gedung Lama
Sabtu: IPD, Gudang Gedung Baru, Askes Pusat, Depo Rawat Inap Gedung Lama
PENDAHULUAN
Hingga saat ini, sistem rantai pasok yang berlangsung di Apotek R belum optimal,
karena proses pemesanan (baik dari gudang pusat ke PBF ataupun dari depo ke gudang
pusat) masih bergantung pada intuisi dari pegawai inventory di gudang pusat. Keterlibatan
teknologi komputer dalam sistem distribusinya masih rendah. Meskipun depo-depo telah
dilengkapi dengan komputer yang difasilitasi dengan jaringan lokal, komputer hanya
dimanfaatkan untuk melakukan proses pemesanan obat ke gudang pusat atau peminjaman
ke depo lain. Dengan tidak digunakannya sistem komputerisasi untuk inventory
management di setiap depo, kegiatan monitoring level persediaan untuk tiap jenis obat
menjadi sulit dilakukan. Hal tersebut diperparah dengan tata letak dan pengaturan rak
penyimpanan obat-obatan yang kurang ergonomis sehingga menyebabkan kesulitan untuk
melakukan pengecekan level persediaan secara rutin. Hal ini berujung pada tingginya
frekuensi stock out pada depo-depo pelayanan di Rumah Sakit H. Stock out pada level depo
mengakibatkan terjadinya fenomena pinjam-meminjam antar depo dan terjadinya
pemesanan non-rutin ke gudang pusat, yang menghambat proses pemenuhan pesanan rutin.
Baik pada level gudang pusat maupun depo, hingga saat ini permintaan non-rutin
merupakan gangguan yang paling dominan bagi proses pemenuhan pesanan rutin. Hal ini
disebabkan pesanan non rutin umumnya bersifat urgent atau mendesak sehingga
pemenuhannya harus diprioritaskan.
Gambar 2 Current Reality Tree Permasalahan Sistem Distribusi di Apotek R
Tingginya frekuensi stock out dan pinjam-meminjam antar depo mengindikasikan
bahwa sistem distribusi di Apotek R belum optimal. Kombinasi dari banyaknya jenis obat-
obatan yang disuplai oleh gudang pusat dan tidak efektifnya sistem distribusi internal,
mengakibatkan kesulitan yang sangat besar, baik bagi pegawai gudang pusat untuk
mengkalkulasi secara tepat jumlah pesanan obat-obatan ke PBF maupun bagi pegawai depo
untuk melakukan pemesanan ke gudang pusat. Permasalahan distribusi di Apotek R
merupakan hal yang sangat penting untuk dibenahi, mengingat:
1. Rumah Sakit H merupakan rumah sakit referensi di Jawa Barat, sehingga jumlah
pasiennya sangat banyak (depo IPD melayani ± 371 konsumen setiap harinya).
2. Apotek R mengelola lebih dari 6000 jenis inventori di gudangnya, dan berhubungan
dengan puluhan PBF atau distributor obat.
3. Sistem kerja di Apotek R terbagi atas 87 shift dan memiliki 29 titik depo pelayanan.
4. Saat ini gudang pusat Apotek R tidak berada di “pusat” apotek, sehingga delivery time
ke depo-depo menjadi lebih lama. Selain itu, kapasitas ruang persediaan sangat tidak
memadai, sehingga sistem penyimpanan inventori sangat tidak sistematis dan
menyulitkan pencarian obat.
5. Terdapat banyak dokter di lingkungan Rumah Sakit H dengan preferensi brand obat
yang berbeda-beda, sehingga banyak varian inventori yang beredar di Apotek R
Karena rumitnya kondisi kerja di Apotek R, sistem distribusi dan rantai pasok yang optimal
merupakan hal yang tak bisa ditawar lagi bagi Apotek R.
Alternatif yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kinerja sistem distribusi
Apotek R adalah melalui pengurangan variasi brand obat-obatan yang disediakan di setiap
depo layanan Apotek R. Alternatif ini logis untuk dilakukan mengingat dari ribuan jenis
obat yang disuplai oleh Apotek R, banyak diantaranya yang memiliki komposisi ataupun
kegunaan yang identik, namun diproduksi oleh pabrik yang berbeda. Secara teoritis,
standarisasi jenis obat-obatan akan dapat menghasilkan berbagai keuntungan, termasuk
diantaranya keuntungan finansial dari segi penurunan biaya.
Bahasan pada makalah ini diarahkan pada analisis kuantitatif dan kualitatif
terhadap berbagai konsekuensi yang akan dihadapi oleh apotek akibat penerapan proses
standarisasi jenis obat-obatan. Objek analisis akan dibatasi pada obat-obatan kategori CKT
(Capsule, Kaplet dan Tablet) di luar tablet-tablet jenis vitamin, multivitamin dan suplemen
yang umumnya memiliki kandungan kompleks. Proses standarisasi akan dilakukan
berdasarkan data penjualan apotek pada periode Desember 2005 hingga Januari 2006.
PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH
Dari hasil pengumpulan dan pengolahan data, pada periode Desember 2005 –
Januari 2006 Apotek R telah menjual 1134 brand obat kategori CKT dari seluruh depo
layanannya. Setelah melakukan pengelompokan dan menetapkan kriteria eliminasi,
diperoleh 52 kelompok obat sebagai objek analisis standarisasi. Nama-nama kelompok obat
tersebut disajikan pada Tabel 2.
Gambar 3 Metode Pengelompokan Obat
Tabel 2 52 Kelompok Obat yang Menjadi Objek Analisis Standarisasi
Golongan Obat Jumlah Brand Golongan Obat Jumlah Brand Allopurinol 300 4 Meloxicam 15 6 Alprazolam 0.5 8 Meloxicam 7.5 4 Ambroxol HCl 30 7 Metformin HCl 500 4 Amoxicillin 500 8 Methylprednisolon 16 4 Calcitriol 0.25 4 Methylprednisolon 4 5 Captopril 12.5 4 Methylprednisolon 8 4 Captopril 25 4 Metoclopramide 10 6 Cefadroxil monohydrate 5 Metronidazole 500 8 Cefixime 100 8 Nimesulide 100 6 Cetrizine HCl 10 8 Ofloxacin 400 5 Ciprofloxacin 500 11 Omeprazole 20 8 Clindamycin 150 5 Ondansetron HCl 8 5 Clindamycin 300 9 Paracetamol 500 12 Diclofenac Na 50 9 Piracetam 1200 7 Diclofenax Na 25 4 Piracetam 800 7 Domperidone 10 7 Ramipril 2.5 4 Doxycycline hyclate 4 Ranitidine 150 11 Eperisone HCl 50 5 Risperidone 2 4 Fluoxatine HCl 20 7 Simvastatin 10 4 Haloperidol 5 4 Simvastatin 5 4 Lansoprazole 30 7 Spironolactone 25 4 Levofloxacin 500 10 Thiamphenicol 500 6 Loratadine 10 7 Ticlopidine HCl 250 4 Mecobalamin 500 6 TM 80, SMZ 400 4 Mefenamic acid 250 4 Tramadol 50 7 Mefenamic acid 500 4 Tranexamic acid 500 4
Dengan kriteria eliminasi yang akan tetap mempertahankan 3 brand obat dengan
nilai penjualan tertinggi dari tiap kelompok, jumlah brand obat yang akan dipertahankan
adalah sebanyak 156 (= 3 x 52), dan jumlah brand yang akan dilepas adalah sebanyak 154.
Jadi berdasarkan data penjualan Apotek R pada periode bulan Desember 2005-Januari
2006, jumlah brand obat yang akan direduksi adalah sebanyak 13,58% dari jumlah total
obat kategori CKT yang terjual sebanyak 1134 brand. Pengecualian eliminasi akan
diberlakukan pada obat-obat generik. Obat generik tetap dipertahankan pada daftar
inventori apotek, meskipun tidak termasuk ke dalam 3 besar nilai penjualan tertinggi,
mengingat preferensi dan kebutuhan masyarakat yang besar terhadap obat-obat generik.
Berdasarkan persetujuan dengan pihak internal Apotek R, disepakati bahwa dalam
pelaksanaan proses standarisasi ini, penjualan brand obat-obatan yang tereliminasi akan
dialihkan ke obat generik. Dengan mengalihkan penjualan kepada obat-obatan generik yang
memiliki harga lebih murah daripada obat-obat lain yang memiliki kandungan sama, proses
standarisasi diharapkan tidak akan menghadapi penolakan dari pihak pasien.
HASIL ANALISIS
Standarisasi jenis obat akan memberikan berbagai keuntungan bagi apotek, baik
berupa keuntungan finansial maupun non-finansial. Keuntungan finansial itu dapat berupa
penurunan nilai persediaan, sedangkan keuntungan non-finansial dapat berupa pengurangan
space area penyimpanan persediaan, penurunan waktu pemesanan obat dan sebagainya.
Penurunan Nilai Persediaan
Dengan pengalihan jumlah penjualan obat-obat paten tereliminasi ke obat generik
yang memiliki harga lebih rendah, nilai inventori apotek akan menurun. Karena tidak
adanya data level inventori maka digunakan pendekatan bahwa nilai penjualan Apotek R
sama dengan nilai inventorinya. Dari total 52 jenis obat yang distandarisasi, nilai total
inventori awal Apotek R selama 2 bulan adalah sebesar Rp 384.722.500,-. Standarisasi
akan menghasilkan penurunan nilai inventori sebesar Rp 46.016.549,57,- atau sebesar
11,96% dari nilai inventori awal. Dengan demikian, jumlah investasi apotek untuk
menyediakan inventori sejumlah penjualan pada periode tersebut akan berkurang
sebesar 11,96%. Penurunan nilai inventori ini cukup berarti bagi Apotek R, karena dengan
penurunan ini, kekayaan apotek yang terendapkan sebagai inventori akan menurun,
sehingga apotek dapat menggunakannya untuk keperluan lain. Selain itu dengan penurunan
nilai inventori, nilai insurance cost apotek atau risiko yang ditanggung oleh apotek karena
nilai kepemilikan inventori juga menurun. Contoh perhitungan penurunan nilai persediaan
ini disajikan pada Tabel 3
Tabel 3 Penurunan Nilai Persediaan untuk Golongan Levofloxacin 500 Pasca Standarisasi
NAMA OBATHARGA/
UNIT(Rp/bh)
Sebelum Standarisasi Setelah StandarisasiJUMLAH
PENJUALAN (Bh)
NILAI PENJUALAN
(Rp)
JUMLAH PENJUALAN
(Bh)
NILAI PENJUALAN
(Rp)Content : Levofloxacin 500 CRAVIT 500 TAB 32.240,55 577 18.602.800 577 18.602.800,00DIFLOXIN 500 TAB 16.257,93 416 6.763.300 416 6.763.300,00VOLEQUIN 500 TAB 29.913,53 170 5.085.300LEVOFLOXACIN 500 TAB 10.062,56 406 4.085.400 976 9.821.060,10RESKUIN 500 KAPL 32.040,57 106 3.396.300 TOTAL 35.187.160,10CRAVOX 500 TAB 16.857,72 149 2.511.800 INACID 500 TAB 11.809,41 85 1.003.800 LEVOCIN 500 TAB 29.552,17 23 679.700 NISLEV 500 TAB 21.380,00 25 534.500 VOXIN 500MG KAPLET 16.075,00 12 192.900 TOTAL 42.855.800 SELISIH 7.668.639,90
Penurunan Jumlah Inventori
Bila Apotek R telah menggunakan metode yang benar dalam perencanaan
pemesanan, maka untuk service level yang sama, level inventori yang harus dipersiapkan
oleh apotek menjadi berkurang karena adanya efek risk pooling. Contoh perhitungan risk
pooling pada level depo diberikan untuk penjualan obat kelompok Amoxicillin 500 di IPD.
Tabel 4 Penjualan Obat Amoxicillin 500 di IPD Sebelum Dilakukannya Standarisasi
Nama ObatDATA PENJUALAN Avg.
Weekly Demand
Weekly Std.
Deviation
Avg. Daily
Demand*
Std. Deviation of Daily
Demand*Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
AMOXSAN 500 CAPS 60 86 48 68 65,5 15,95 9,36 6,03PENMOX 500 TAB 0 0 0 0 0 0 0 0AMOXYCILLIN 500 KAP 164 160 204 96 156 44,66 22,29 16,88INTERMOXIL 500 CAP 28 30 0 48 26,5 19,82 3,79 7,49KALMOXILIN 500 KAP 10 15 0 10 8,75 6,29 1,25 2,38NOVAX 500 TAB 10 0 15 0 6,25 7,5 0,89 2,83AMOXIL 500 CAPS 10 10 0 0 5 5,77 0,71 2,18SILAMOX 500 TAB 16 0 0 10 6,5 7,9 0,93 2,99
* Average daily demand = Average weekly demand/7 Standard deviation of daily demand = Weekly standard deviation/√ 7
Dengan menggunakan metode Periodic Review Policy, maka nilai base stock level atau
target inventory level adalah:
Base stock level = (r+L) x AVG + z x STD x
r = Periodic Order (2 hari)L = Lead Time (4 jam atau 0,167 hari)AVG = Average Daily Demandz = Safety Factor (z = 1,65 untuk service level 95%, nilai ini dipilih karena metode ini merupakan hal yang baru bagi Apotek R, sehingga sebaiknya digunakan standar yang moderate untuk awal penerapannya).STD = Standard Deviation of Daily Demand
Tabel 5 Nilai Base Stock Level Golongan Amoxicillin 500 di IPD Sebelum Standarisasi
Nama Obat Base Stock LevelAMOXSAN 500 CAPS 34.92PENMOX 500 TAB 0.00AMOXYCILLIN 500 KAPL 89.29INTERMOXIL 500 CAPS 26.40KALMOXILIN 500 KAPL 8.48NOVAX 500 TAB 8.82AMOXIL 500 CAPS 6.84SILAMOX 500 TAB 9.26Total 184.03
Jadi, berdasarkan metode Periodic Review Policy, sebelum dilakukannya standarisasi, IPD
harus mempersiapkan obat golongan Amoxicillin 500 CKT sebanyak 185 tablet untuk
persediaan selama 2 hari agar dapat mengantisipasi dinamika penjualan.
Tabel 6 Penjualan Obat Amoxicillin 500 di IPD Setelah Dilakukannya Standarisasi
Nama ObatDATA PENJUALAN Avg.
Weekly Demand
Weekly Std.
Deviation
Avg. Daily
Demand
Std. Deviation of
DailyDemandMinggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4
AMOXSAN 500 CAPS 60 86 48 68 65,5 15,95 9,36 6,03PENMOX 500 TAB 0 0 0 0 0 0 0 0AMOXYCILLIN 500 238 215 219 164 209 31,63 29,86 11,96
Tabel 7 Nilai Base Stock Level Golongan Amoxicillin 500 di IPD Setelah Standarisasi
Nama Obat Base Stock LevelAMOXSAN 500 CAPS 34.92PENMOX 500 TAB 0.00AMOXYCILLIN 500 93.74Total 128.66
Sebagaimana terlihat pada Tabel 5 dan Tabel 7, standarisasi dapat mengakibatkan
penurunan nilai base stock level. Jumlah penjualan satu jenis obat yang tinggi akan
terimbangi (ter-off set) oleh jumlah penjualan yang rendah dari obat lain, karena penjualan
obat-obat tersebut telah dialihkan ke obat yang sama, yaitu obat generik. Dengan service
level 95% atau stock out possibility = 5%, dan dengan adanya standarisasi, IPD hanya perlu
menyediakan obat golongan Amoxicillin 500 sebanyak 129 tablet atau menurun sebesar
30,27% dari jumlah persediaan awal. Dengan reduksi ini, jumlah aset yang menumpuk
sebagai persediaan obat akan menurun dan perputaran uang di Apotek R menjadi lebih
cepat. Contoh perhitungan hanya dilakukan untuk satu depo dan satu jenis obat. Namun
apabila standarisasi diterapkan di seluruh depo, maka penurunan jumlah persediaan ini akan
dialami di setiap depo, untuk seluruh kelompok obat yang distandarisasi.
Contoh perhitungan penurunan level persediaan untuk gudang pusat juga dilakukan
untuk jenis obat Amoxicillin 500. Berdasarkan data pembelian gudang pusat untuk obat
Amoxicillin 500 selama periode bulan Desember 2005 hingga Januari 2006, gudang pusat
rata-rata melakukan replenishment obat golongan Amoxicillin 500 satu kali dalam satu
minggu. Jumlah total pembelian golongan obat ini pada periode 2 bulan tersebut adalah
18.450 buah, atau rata-rata sebanyak 2.307 buah per minggu.
Tabel 8 Data Penjualan Gudang Pusat untuk Obat Golongan Amoxicillin 500 pada Periode
Desember 2005 – Januari 2006 Bila Standarisasi Telah Diterapkan
Nama ObatDATA PENJUALAN (Bh) Avg. Monthly
DemandMonthly Std.
DeviationAvg. Daily Demand*
Daily Std. Deviation*Des'05 Jan'06
AMOXSAN 500 CAPS 879 856 867,5 11,5 28,92 2,10PENMOX 500 TAB 844 791 817,5 26,5 27,25 4,84AMOXYCILLIN 500 KAPL 3.344 4.291 3.817,5 473,5 127,25 86,45
Total 5.067 5.938 * Average daily demand = Average weekly demand/30 Standard deviation of daily demand = Weekly standard deviation/√ 30
Pada Tabel 8 disajikan data penjualan gudang pusat pada periode Desember 2005 hingga
Januari 2006, bila standarisasi diterapkan dan penjualan obat paten tereliminasi telah
dialihkan ke obat generik. Jumlah obat golongan Amoxicillin 500 yang terjual pada
periode tersebut adalah 11.005 buah. Dengan demikian, sebenarnya jumlah pembelian
gudang pusat jauh melebihi jumlah penjualannya. Mengingat lead time pengiriman barang
dari PBF ke Apotek R maksimal hanya 1 hari, maka seharusnya gudang pusat tidak perlu
melakukan penumpukan inventori sebanyak itu. Bila gudang pusat melakukan perencanaan
pembelian dengan benar, misalnya berdasarkan metode Periodic Review Policy, maka level
inventori gudang pusat dapat berkurang dengan cukup signifikan. Data Base Stock Level
gudang pusat pasca standarisasi disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Nilai Base Stock Level Obat Golongan Amoxicillin 500 di Gudang Pusat Setelah
Dilakukannya Standarisasi
Nama Obat Base Stock LevelContent: Amoxicillin 500 AMOXSAN 500 CAPS 241,13PENMOX 500 TAB 240,58AMOXYCILLIN 500 KAPL 1,421,45
Total 1.903,16
Berdasarkan hasil yang disajikan pada tabel tersebut, nilai base stock level atau
target inventory level gudang pusat untuk 1 minggu adalah 1.904 buah. Terdapat penurunan
yang cukup signifikan dari jumlah inventori gudang pusat. Bila sebelumnya, dengan
perencanaan pembelian yang hanya berdasarkan pada intuisi, gudang pusat melakukan
pembelian obat golongan Amoxicillin 500 sebanyak 2.307 buah per minggu, maka dengan
dilakukannya standarisasi yang disertai pula dengan penerapan metode Periodic Review
Policy, setiap minggunya gudang pusat hanya perlu melakukan replenishment hingga
jumlah persediaan obat golongan Amoxicillin 500-nya mencapai 1.904 buah.
Laba/Profit Apotek dari Hasil Penjualan Obat-obatan
Obat generik merupakan obat yang dipasarkan dengan harga rendah, dan harus
disediakan oleh apotek untuk menjalankan fungsi pelayanan publik. Karena itulah, margin
keuntungan yang ditetapkan untuk obat-obatan generik umumnya lebih kecil dibandingkan
dengan margin obat-obat lain. Dengan demikian, proses standarisasi obat-obatan dengan
pengalihan penjualan brand-brand tereliminasi ke penjualan obat generik kemungkinan
akan mengakibatkan penurunan profit bagi apotek. Namun karena data margin keuntungan
merupakan data yang sensitif bagi pihak apotek, maka perhitungan kuantitatif untuk
mengetahui pengaruh standarisasi terhadap profit apotek tidak dapat dilakukan.
Waktu Pemesanan Rutin ke PBF
Apotek R melakukan pemesanan obat-obatan dan alat kesehatan kepada PBF
sebanyak tiga kali dalam seminggu, yaitu pada hari Senin, Rabu dan Jumat. Berdasarkan
hasil sampling, proses pemesanan tersebut rata-rata berlangsung dalam 2 jam 30 menit.
Dengan durasi waktu pemesanan tersebut, maka rata-rata Apotek R melakukan pemesanan
barang selama 7 jam 30 menit setiap minggunya, atau 30 jam setiap bulan.
Berdasarkan data pembelian apotek pada bulan Maret 2006, pada bulan tersebut
pembelian jenis item obat CKT mencapai 39,41% dari pembelian total. Melalui pendekatan
proporsional, maka total waktu yang dibutuhkan oleh Apotek R untuk melakukan
pemesanan obat kategori CKT setiap bulannya adalah 11,823 jam (39,41% dari 30 jam).
Dengan adanya reduksi brand sebanyak 13,58% dari jumlah obat kategori CKT, waktu
pemesanan barang total dapat berkurang sebanyak 5,35% (13,58% x 39,41%) atau 1,6 jam
setiap bulannya. Berdasarkan data inventori total pada bulan Januari 2005, Apotek R
memiliki sekitar 6.354 jenis inventori dari berbagai kategori. Dengan mengasumsikan
bahwa setiap kategori inventori dapat direduksi dengan pola yang sama dengan reduksi
CKT, maka standarisasi pada inventori total Apotek R juga dapat menghasilkan reduksi
brand sebanyak 13,58%, sehingga diperoleh hasil reduksi total sebagai berikut:
Jumlah reduksi dari inventori total = 13,58% x 6.354 = 862,87 ≈ 863 brand
Jadi, apabila penghematan waktu pemesanan rutin yang dihasilkan dari standarisasi obat
CKT diproyeksikan untuk mengkalkulasikan penghematan waktu dari standarisasi inventori
total, maka dengan metode proporsional diperoleh hasil sebagai berikut:
Penghematan waktu inventori total = = 8,97 jam/bulan
Dengan menggunakan proyeksi reduksi obat kategori CKT untuk menghitung penghematan
waktu dari reduksi inventori total, maka diperoleh bahwa standarisasi pada seluruh kategori
inventori akan menghasilkan penghematan waktu pemesanan rutin sebesar 8,97 jam/bulan
atau 29,9% dari waktu pemesanan rutin awal.
Waktu Pemesanan Non-Rutin ke PBF
Proses pemesanan non-rutin tidak memiliki pola dan sangat bergantung pada
penjualan harian (dapat terjadi belasan hingga puluhan kali dalam sehari pada waktu-waktu
yang tidak tetap), sehingga total waktu proses pemesanannya sulit termonitor. Dalam
melakukan analisis terhadap waktu pemesanan non-rutin ke PBF, dilakukan sampling untuk
memperoleh data waktu rata-rata komunikasi via telepon yang dibutuhkan untuk
melakukan pemesanan satu jenis obat. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap daftar
863 x 1,6 jam/bulan154
permintaan non-rutin per hari dalam periode satu bulan. Waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan pemesanan non-rutin diperoleh dengan mengalikan jumlah varian barang pada
daftar permintaan non-rutin dengan waktu rata-rata komunikasi telepon per jenis inventori.
Berdasarkan pengamatan, berbeda dengan proses pemesanan rutin ke PBF, proses
pemesanan non-rutin berlangsung dengan tidak terlalu intens. Pada pemesanan rutin,
petugas PBF telah memperoleh daftar barang-barang yang harus dibeli, sehingga proses
pembelian dilakukan dengan cepat dan efektif. Pada permintaan non-rutin, data barang
yang harus dibeli tidak sampai ke tangan petugas pembelian secara serentak, karena
bergantung pada pergerakan inventori di seluruh penjuru apotek. Dengan demikian, petugas
pembelian melakukan pemesanan dengan lebih santai, sehingga waktu pemesanan per
jumlah barang menjadi lebih lama dibandingkan dengan permintaan rutin. Dari hasil
sampling pada bulan Maret 2006, diperoleh waktu rata-rata pemesanan barang pada
permintaan non-rutin selama 82,66 detik per jenis barang. Data pembelian barang pada
hari-hari pemesanan non-rutin (Selasa, Kamis dan Sabtu) selama periode bulan Maret 2006
disajikan pada Tabel 10. Waktu pemesanan pada tabel tersebut diperoleh dengan
mengalikan durasi rata-rata 82,66 detik dengan jenis varian barang yang dibeli.
Berdasarkan tabel tersebut, total waktu yang dialokasikan untuk pembelian obat CKT
adalah 45.959,24 detik atau 12,77 jam.
Tabel 10 Data Pembelian Obat Pada Hari Pemesanan Non-Rutin
Hari TanggalJenis Varian Barang yang
Dibeli
Waktu Pemesanan
(detik)
% Kategori CKT Dalam Pemesanan
Waktu Pemesanan CKT (detik)
Kamis 2/3/2006 74 6.116,84 31,08% 1.901,11Sabtu 4/3/2006 85 7.026,10 48,23% 3.388,69Selasa 7/3/2006 97 8.018,02 24,74% 1.983,66Kamis 9/3/2006 70 5.786,20 50,00% 2.893,10Sabtu 11/3/2006 101 8.348,66 25,74% 2.148,95Selasa 14/3/2006 143 11.820,38 35,66% 4.215,15Kamis 16/3/2006 70 5.786,20 47,14% 2.727,61Sabtu 18/3/2006 97 8.018,02 31,96% 2.562,56Selasa 21/3/2006 101 8.348,66 43,56% 3.636,68Kamis 23/3/2006 70 5.786,20 34,29% 1.984,09Sabtu 25/3/2006 85 7.026,10 24,71% 1.736,15Selasa 28/3/2006 468 38.684,88 43,38% 16.781,.50
120.766,26 Total 45.959,24
Selain pada hari-hari pemesanan non-rutin, pembelian non-rutin juga terjadi pada
hari-hari pembelian rutin. Pembelian rutin rata-rata hanya berlangsung dari pukul 07.00
hingga pukul 09.30. Pembelian-pembelian yang terjadi setelahnya merupakan pesanan
susulan (terjadi karena pergerakan obat di pagi hari), yang dikategorikan pada proses
pemesanan non-rutin. Berdasarkan wawancara dengan petugas pembelian, jumlah
pembelian non-rutin ini rata-rata sebesar 20% dari total pembelian barang pada hari
tersebut. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 11, total waktu yang dialokasikan untuk
pembelian obat CKT adalah 32.971,87 detik atau 9,16 jam.
Tabel 11 Data Pembelian Non-Rutin Pada Hari Pemesanan Rutin ke PBF
Hari TanggalJenis Varian
Barang Total
Jenis Varian yang Dipesan pada
Periode Non-Rutin*
Waktu Pemesanan Non-Rutin
% Kategori CKT dalam Pemesanan
Waktu Pemesanan
CKTRabu 1/3/2006 324 65 5.372,90 48,15% 2.587,05Jumat 3/3/2006 324 65 5.372,90 37,35% 2.006,78Senin 6/3/2006 296 60 4.959,60 62,16% 3.082,89Rabu 8/3/2006 472 95 7.852,70 27,37% 2.149,28Jumat 10/3/2006 339 68 5.620,88 41,18% 2.314,68Senin 13/3/2006 335 67 5.538,22 26,90% 1.489,78Rabu 15/3/2006 550 110 9.092,60 29,09% 2.645,04Jumat 17/3/2006 359 72 5.951,52 29,17% 1.736,06Senin 20/3/2006 343 69 5.703,54 30,43% 1.735,59Rabu 22/3/2006 332 67 5.538,22 41,79% 2.314,42Jumat 24/3/2006 433 87 7.191,42 54,02% 3.884,81Senin 27/3/2006 281 57 4.711,62 45,61% 2.148,97Rabu 29/3/2006 285 57 4.711,62 40,35% 1.901,14Jumat 31/3/2006 472 95 7.852,70 37,89% 2.975,39
Total 32.971,87* 20% dari jenis varian total
Dengan menggabungkan data pada Tabel 10 dan 11, total waktu pemesanan non-rutin
untuk seluruh kategori inventori adalah selama 57,29 jam per bulan, sementara itu waktu
pemesanan non-rutin untuk obat kategori CKT adalah selama 21,93 jam. Dengan adanya
reduksi brand obat kategori CKT sebanyak 13,58%, maka jumlah waktu pemesanan non-
rutin yang dapat dihemat adalah = 13,58% x 21,93 = 2,98 jam/bulan.
Apabila penghematan waktu pemesanan non-rutin yang dihasilkan dari
standarisasi obat kategori CKT diproyeksikan untuk mengkalkulasikan penghematan waktu
yang diperoleh dari standarisasi inventori total, maka dengan menggunakan asumsi yang
sama dengan sebelumnya, diperoleh penghematan waktu total selama 16,69 jam/bulan atau
29,15% dari waktu pemesanan non-rutin awal.
Waktu Pemeriksaan Barang Diterima dan Waktu Entry Data
Selain waktu pemesanan barang ke PBF, penerapan standarisasi juga akan
mengakibatkan penurunan waktu yang diperlukan untuk pengecekan barang yang baru
diterima dari PBF dan waktu untuk memasukkan informasi barang ke komputer. Hasil
sampling pengamatan kegiatan checking dan entry data disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Hasil Sampling Durasi Kegiatan Checking Barang dan Pemasukan Data
21/04/2006 PBF dan Jumlah Varian Obat Durasi Checking&Entry Data Durasi per Varian ObatEntry Data 1 Indofarma: 4 varian 8 menit 4 detik 2 menit 1 detikEntry Data 2 Rajawali: 1 varian 50 detik 50 detikEntry Data 3 Antarmitra: 4 varian 8 menit 31 detik 2 menit 8 detikEntry Data 4 Langkah Abadi: 2 varian 3 menit 50 detik 1 menit 55 detikEntry Data 5 Anugrah Argon: 5 varian 10 menit 33 detik 2 menit 7 detikEntry Data 6 Singgasana: 2 varian 2 menit 11 detik 1 menit 6 detikEntry Data 7 Enseval: 13 varian 28 menit 12 detik 2 menit 11 detik26/04/2006 PBF dan Jumlah Varian Obat Durasi Checking&Entry Data Durasi per Varian ObatEntry Data 1 Kebayoran: 5 varian 10 menit 41 detik 2 menit 8 detikEntry Data 2 Anugrah Argon: 11 varian 23 menit 3 detik 2 menit 6 detikEntry Data 3 Cahaya Berkat: 1 varian 1 menit 2 detik 62 detikEntry Data 4 Indofarma: 1 varian 53 detik 53 detikEntry Data 5 Antarmitra: 4 varian 9 menit 21 detik 2 menit 20detikEntry Data 6 Tunggal: 4 varian 7 menit 41 detik 1 menit 55 detikEntry Data 7 Enseval: 7 varian 12 menit 18 detik 1 menit 45 detikEntry Data 8 Megah Medika: 2 varian 3 menit 3 detik 1 menit 32 detik08/05/2006 PBF dan Jumlah Varian Obat Durasi Checking&Entry Data Durasi per Varian ObatEntry Data 1 Wigo: 4 varian 8 menit 18 detik 2 menit 5 detikEntry Data 2 Brataco: 1 varian 56 detik 56 detikEntry Data 3 Anugrah Argon: 6 varian 10 menit 56 detik 1 menit 49 detikEntry Data 4 Kalista: 1 varian 1 menit 3 detik 1 menit 3 detikEntry Data 5 Megah Medika: 4 varian 7 menit 4 detik 1 menit 46 detikDurasi Rata-rata Checking&Entry Data = 1 menit 41 detikJumlah Pembelian Reguler dan Askes Bulan Maret 2006 = 6.606 varian
Berdasarkan data pada tabel di atas, waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk melakukan
checking barang serta untuk memasukkan data per varian obat adalah 1 menit 41 detik.
Dengan jumlah pembelian pada bulan Maret 2006 sebanyak 6.606 varian, maka waktu total
yang dibutuhkan untuk proses checking dan entry data selama 1 bulan adalah 185,34 jam.
Pada bulan Maret 2006, pembelian jenis obat CKT mencapai 39,41% dari jenis
item total yang dibeli oleh Apotek R. Melalui pendekatan proporsional, maka total waktu
yang dibutuhkan oleh Apotek R untuk melakukan checking dan entry data obat kategori
CKT setiap bulannya adalah 73,04 jam (39,41% dari 185,34 jam). Dengan reduksi brand
sebanyak 13,58% dari jumlah obat kategori CKT, waktu checking dan entry data total dapat
berkurang sebanyak 9,92 jam setiap bulannya. Apabila penghematan waktu ini
diproyeksikan untuk mengkalkulasikan penghematan waktu yang diperoleh dari
standarisasi inventori total, maka dengan asumsi yang sama dengan sebelumnya, dihasilkan
penghematan waktu checking dan entry data total selama 55,72 jam/bulan.
Waktu Pemenuhan Pesanan dari Gudang Pusat
Untuk mengetahui pengaruh standarisasi terhadap waktu yang dibutuhkan oleh
gudang pusat dalam memenuhi permintaan dari depo-depo, dilakukan sampling pada IPD
selama 7 hari. Data hasil sampling tersebut disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Waktu Pemenuhan Pesanan Untuk IPD
Tanggal Pengamatan Jumlah Varian Barang yang Dipesan Waktu Pemenuhan Pesanan25/04/2006 164 4 jam 23 menit27/04/2006 137 3 jam 59 menit29/04/2006 133 4 jam 18 menit2/05/2006 103 4 jam 29 menit4/05/2006 128 4 jam 32 menit6/05/2006 107 4 jam 23 menit9/05/2006 86 4 jam 3 menit
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, berapapun jumlah varian barang yang
dipesan, waktu pemenuhan pesanan tetap berkisar antara 4 hingga 4,5 jam. Lamanya waktu
pemenuhan pesanan tersebut tidak dapat menunjukkan suatu pola. Dari Tabel 13, terlihat
bahwa dengan jumlah varian barang yang lebih sedikit, waktu pemenuhan pesanan
terkadang justru lebih lama dibandingkan dengan jumlah varian barang yang banyak. Hal
ini menunjukkan bahwa lamanya waktu pemenuhan pesanan bukanlah merupakan fungsi
dari banyaknya varian atau jenis barang. Dengan demikian, standarisasi atau penurunan
variasi brand obat-obatan tidak akan mempengaruhi waktu pemenuhan pesanan oleh
gudang pusat. Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan petugas terkait,
lamanya waktu pemenuhan tersebut disebabkan oleh banyaknya ketidakpastian pada
aktivitas apotek. Ketidakpastian itu bersumber pada terbatasnya jumlah petugas pengantar
barang, terbatasnya jumlah trolley untuk mengangkut barang (Apotek R hanya memiliki
trolley sejumlah tiga buah) maupun karena aktivitas pemenuhan pesanan rutin terinterupsi
oleh pemenuhan pesanan non-rutin yang sifatnya lebih mendesak.
Harga Pembelian Obat-obatan
Pengalihan penjualan beberapa jenis obat ke obat generik akan mengakibatkan
volume pembelian obat-obat generik dari para Pedagang Besar Farmasi meningkat dengan
cukup signifikan. Contoh beberapa obat yang dapat mengalami peningkatan penjualan
dengan cukup signifikan disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Peningkatan Penjualan Beberapa Obat generik Pasca Standarisasi
Nama ObatJumlah Penjualan
Awal (Buah)Jumlah Penjualan bila
Dilakukan Standarisasi (Buah)LEVOFLOXACIN 500 TAB 406 976MEFINTER 500 KAPL 359 965PIRACETAM 1200 KAPL 498 1046TRAMADOL 50 CAPS 730 1439METOCLOPRAMIDE 10 DX 280 557
Dengan peningkatan volume pembelian yang cukup besar, Apotek R akan
memiliki posisi tawar yang lebih kuat (daripada sebelumnya) dalam proses negosiasi harga
dengan PBF, sehingga apotek dapat meminta harga yang lebih baik untuk obat-obat
generik. Jadi, proses standarisasi ini sebenarnya berpotensi menghasilkan keuntungan
tambahan bagi apotek dari segi harga pembelian (kenaikan persentase discount). Namun,
dengan adanya peraturan baru dari Menteri Kesehatan pada tahun 2006 yang menetapkan
harga dasar dan melarang adanya discount bagi obat-obatan generik, peluang apotek untuk
memperoleh keuntungan dari kenaikan volume pembelian obat-obatan generik menjadi
tertutup. Jadi, standarisasi dengan skenario pengalihan penjualan obat tereliminasi ke obat
generik tidak memberikan pengaruh apapun dari segi harga pembelian obat-obatan
Ruang Penyimpanan Inventori
Secara teoritis, standarisasi juga dapat menghasilkan pengurangan space atau ruang
penyimpanan obat-obatan. Pada saat dilakukannya penelitian, ruang inventori Apotek R
sedang mengalami perombakan, sehingga obat disimpan di ruang penyimpanan temporer.
Pada ruangan ini, karena keterbatasan ruang dan rak yang kurang memadai, penyusunan
obat menjadi kurang sistematis. Obat-obat diletakkan dalam kotak-kotak kardus dengan
ukuran standar yang telah diberi label nama dan disusun di dalam rak penyimpanan. Pada
sebagian besar rak, kardus-kardus obat diletakkan bertumpuk satu sama lain sehingga
mempersulit proses pengamatan. Sebagian obat yang tidak tertampung dalam rak
penyimpanan diletakkan berderet di atas meja. Dengan kondisi tersebut, analisis reduksi
space dari proses standarisasi hanya dapat dilakukan berdasarkan pengurangan jumlah
kotak kardus yang digunakan untuk penyimpanan obat.
Pada analisis reduksi space, diasumsikan kotak penyimpanan obat memiliki ukuran
yang seragam, yaitu berukuran (25 cm x 7,5 cm x 7,5 cm) atau memiliki volume sebesar
1.406,25 cm3, yang merupakan ukuran kotak yang umum digunakan di Apotek R. Kotak ini
diasumsikan dapat menampung 100 buah obat kategori CKT. Karena data mengenai posisi
inventori pada periode Desember 2005 dan Januari 2006 tidak dapat diketahui, maka
analisis space dilakukan berdasarkan jumlah penjualan pada periode tersebut. Untuk obat-
obatan yang terjual di atas 1.000 buah pada periode dua bulan, diasumsikan replenishment
dilakukan per minggu, sehingga kotak penyimpanan harus dapat menampung persediaan
untuk 1 minggu. Sementara itu untuk obat-obat yang terjual di bawah 1.000 buah,
replenishment dilakukan per dua minggu. Contoh hasil analisis disajikan pada Tabel 15.
Dari total 52 jenis obat yang distandarisasi, jumlah kotak yang diperlukan untuk
menampung inventori dari 310 brand obat adalah 476 kotak. Setelah dilakukannya
standarisasi, jumlah kotak yang diperlukan sebanyak 334 kotak. Dengan demikian, terjadi
penurunan jumlah kotak penyimpanan sebanyak 142 kotak atau 29,83%. Penghematan
ruang tersebut diperoleh karena kotak yang pada awalnya dialokasikan untuk menampung
obat-obat yang tereliminasi menjadi tidak diperlukan lagi. Pengalihan penjualan pada obat
generik mengakibatkan jumlah kotak untuk beberapa jenis obat generik bertambah,
meskipun penambahannya tidak sebanyak jumlah kotak yang tereliminasi, sehingga pada
akhirnya standarisasi ini tetap akan menghasilkan penghematan penggunaan ruang.
Tabel 15 Contoh Analisis Reduksi Space
NAMA OBAT
Sebelum Standarisasi Setelah StandarisasiJumlah
Penjualan (Buah)
Level Inventori per Periode
Replenishment*
Jumlah Kotak
Jumlah Penjualan
(Buah)
Level Inventori per Periode
Replenishment*
Jumlah Kotak
Content : Amoxicillin 500 AMOXSAN 500 CAPS 1.735 217 3 1.735 217 3PENMOX 500 TAB 1.635 204 3 1.635 204 3AMOXYCILLIN 500 KAPL 7.002 875 9 7.635 954 10INTERMOXIL 500 CAPS 402 101 2 KALMOXILIN 500 KAPL 166 42 1 NOVAX 500 TAB 30 8 1 AMOXIL 500 CAPS 20 5 1 SILAMOX 500 TAB 15 4 1
* Jumlah penjualan dibagi 8 untuk periode replenishment 1 minggu dan dibagi 4 untuk periode replenishment 2 minggu
DISKUSI
Berdasarkan analisis, standarisasi jenis inventori dapat menimbulkan berbagai
konsekuensi positif bagi Apotek R. Bila standarisasi dilakukan pada seluruh kategori
inventori dan diimplementasikan tanpa adanya pembatasan-pembatasan yang
diterapkan pada makalah ini (hanya pada obat berkandungan tunggal dan tidak dilakukan
untuk obat jenis vitamin dan suplemen), maka standarisasi ini berpotensi menghasilkan
penghematan yang jauh lebih besar daripada hasil yang telah diungkapkan di atas.
Selain konsekuensi-konsekuensi yang telah diuraikan sebelumnya, proses
standarisasi juga dapat menghasilkan berbagai keuntungan kualitatif bagi apotek, yaitu:
1. Kemudahan dalam proses inventory management.
2. Berkurangnya kemungkinan pencurian obat-obatan, karena standarisasi jenis inventori
akan memudahkan pengawasan dan pengontrolan persediaan.
3. Berkurangnya kemungkinan adanya barang-barang kadaluwarsa dan barang macet
(tidak laku), karena dengan adanya standarisasi, inventori yang disediakan oleh apotek
adalah inventori-inventori dengan frekuensi turn-over yang relatif tinggi.
Selain konsekuensi positif, skenario standarisasi yang diuraikan pada makalah ini
memiliki konsekuensi negatif dari sisi profit. Karena itulah dilakukan analisis tambahan
untuk mengetahui konsekuensi finansial dari alternatif skenario yang lain, yaitu pengalihan
ke obat dengan omset terbesar atau pengalihan ke obat yang memiliki harga terendah
kedua. Untuk kedua skenario ini, secara kasar tidak akan terjadi perubahan nilai profit yang
signifikan dibandingkan dengan kondisi sebelum standarisasi. Hal ini disebabkan margin
keuntungan untuk obat paten (obat-obatan selain obat generik) umumnya tidak jauh
berbeda. Sementara itu dari sisi discount, dengan adanya kenaikan volume pembelian untuk
beberapa jenis obat, tentunya ada peluang untuk memperoleh kenaikan persentase discount.
Pada skenario pengalihan penjualan obat tereliminasi ke obat dengan omset
tertinggi, akan terjadi kenaikan nilai persediaan, mengingat obat dengan omset terbesar
umumnya juga merupakan obat-obatan dengan harga satuan tertinggi. Dengan demikian,
alternatif ini tidak terlalu menarik bagi Apotek R, karena mengakibatkan kenaikan nilai aset
apotek yang mengendap sebagai inventori.
Dari hasil perhitungan, penerapan skenario pengalihan ke obat dengan harga
terendah kedua akan menyebabkan penurunan nilai persediaan sebanyak Rp 9.028.862,33,-
(penurunan 2,35%) dibandingkan dengan kondisi sebelum standarisasi. Jadi dari segi nilai
persediaan, skenario ini lebih merugikan dibandingkan dengan skenario awal yang
menghasilkan penurunan sebanyak Rp 44.838.043,20,- (11,65%). Namun dari segi profit,
skenario ini lebih menguntungkan, karena diperkirakan tidak akan mengakibatkan
penurunan profit. Sementara itu dari segi discount, skenario ini juga lebih menguntungkan,
karena pada skenario ini apotek berpeluang memperoleh kenaikan discount. Karena setiap
skenario memiliki konsekuensi negatif, sebaiknya pihak apotek berhati-hati dalam
merumuskan kebijakan standarisasi ini dan merundingkannya dengan pihak-pihak terkait,
agar dapat memutuskan skenario yang terbaik untuk Apotek R.
Berdasarkan Current Reality Tree (CRT) pada Gambar 2, pengurangan variasi
brand obat-obatan dapat membantu meredam tingginya frekuensi permintaan non-rutin ke
gudang pusat. Namun dari CRT tersebut juga terlihat bahwa pada dasarnya penyebab
tingginya frekuensi permintaan non-rutin ke gudang pusat adalah karena kegiatan
perencanaan pemesanan yang kurang efektif dan hanya mengandalkan intuisi. Berdasarkan
CRT tersebut, terdapat setidaknya tiga masalah yang harus dibenahi agar kegiatan
perencanaan pemesanan apotek dapat berjalan optimal, yaitu: Jumlah variasi brand obat-
obatan yang sangat banyak, tidak adanya sistem yang memadai untuk mendukung kegiatan
perencanaan serta tata letak dan penyusunan rak penyimpanan yang kurang ergonomis
sehingga mempersulit pengamatan level persediaan riil. Dengan demikian, implementasi
proses standarisasi baru akan menyelesaikan satu masalah saja. Untuk dapat memberikan
efek yang signifikan dalam mengurangi frekuensi pemesanan non-rutin, proses standarisasi
obat-obatan ini perlu ditindaklanjuti dengan berbagai tindakan untuk memecahkan masalah
sistem yang kurang memadai maupun masalah penyusunan rak yang kurang ergonomis.
Hingga saat ini, kegiatan pemesanan obat lebih didasarkan pada intuisi petugas.
Hal tersebut seringkali mengakibatkan depo-depo melakukan kesalahan dalam
memperkirakan jumlah obat-obatan yang harus disediakan guna memenuhi permintaan
konsumen. Salah satu alasan mengapa petugas gudang ataupun petugas depo cenderung
menggunakan intuisi daripada metode yang benar dalam merencanakan pemesanan barang
adalah karena terlalu banyaknya jenis obat yang harus di-manage. Dengan berkurangnya
jenis obat yang harus di-manage, proses perhitungan jumlah pemesanan setiap jenis obat
akan menjadi lebih mudah. Untuk memacu petugas gudang agar menggunakan metode
yang benar dalam melakukan pemesanan obat, pihak apotek sebaiknya juga menyiapkan
suatu program komputer sederhana, yang dapat membantu petugas dalam melakukan
perencanaan pemesanan atau menghitung jumlah obat yang harus dipesan.
Selain itu, pembenahan rak penyimpanan juga perlu dilakukan untuk
mempermudah monitoring level persediaan. Rak tersebut harus dapat memudahkan
pengamatan sisa stok, sehingga mengurangi risiko terjadinya lost sales. Dengan
dilakukannya kegiatan perencanaan secara benar, frekuensi stock out di level depo dapat
ditekan, sehingga frekuensi permintaan non-rutin ke gudang pusat juga akan berkurang.
KESIMPULAN
Proses standarisasi varian inventori merupakan usulan yang logis untuk dilakukan
di Apotek R karena dalam industri farmasi dari tahun ke tahun sering terjadi peningkatan
jumlah obat-obatan karena munculnya brand-brand baru obat-obatan ataupun alat-alat
kesehatan. Seandainya pihak apotek tidak melakukan pengendalian atau pembatasan
terhadap brand-brand obat-obatan dan alat kesehatan tersebut, maka semakin lama, jenis
inventori apotek akan terus mengalami pembengkakan. Dengan terus meningkatnya varian
inventori, tingkat kesulitan dalam melakukan inventory management semakin tinggi.
Satu contoh perusahaan yang sukses dalam menerapkan standarisasi inventori
adalah Costco, sebuah perusahaan Amerika yang bergerak di bidang usaha retail. Salah
satu kunci sukses Costco dalam bersaing adalah dengan hanya menyediakan satu macam
brand untuk setiap kategori produk selain brand miliknya sendiri (Ref: Simchi-Levi, D.,
Kaminsky P., Simchi-Levi, E. 2003. Designing & Managing The Supply Chain: Case
“How Kimberly-Clark Keeps Client Costco in Diapers”). Apabila strategi ini dapat sukses
diterapkan pada penjualan consumer goods dimana masyarakat pada umumnya memiliki
preferensi brand yang spesifik, maka seharusnya strategi ini juga dapat dilakukan pada
usaha perapotekan, mengingat secara umum konsumen tidak memiliki preferensi brand
untuk obat-obatan (hanya bergantung pada resep yang dituliskan oleh dokter).
Berdasarkan uraian di atas, standarisasi memang sebaiknya diterapkan untuk
mengurangi keruwetan pada sistem distribusi apotek. Agar keuntungan standarisasi dapat
dirasakan secara optimal, Apotek R sebaiknya juga memperbaiki sistem perencanaannya,
misalnya dengan menerapkan metode Periodic Review Policy dalam perhitungan jumlah
pesanan ke PBF, untuk menghindari terjadinya penumpukan barang ataupun stock out.
Dalam penerapannya, pihak apotek harus bersifat fleksibel dalam melakukan
pengubahan-pengubahan brand yang disediakan. Sejalan dengan waktu, apabila terdapat
brand-brand baru yang bermunculan, pihak Apotek harus menyediakan brand-brand
tersebut dalam daftar persediaannya dan melakukan analisis pasar selama beberapa bulan.
Dari hasil analisis pasar itu, bila brand tersebut menunjukkan tingkat penjualan yang baik,
obat tersebut dapat dimasukkan ke daftar inventori tetap apotek, dan apotek dapat
mengeliminasi satu brand dari kelompok obat tersebut untuk mempertahankan stabilitas
jumlah varian inventori apotek. Sebaliknya, bila tidak menunjukkan tingkat penjualan yang
baik, brand baru tersebut dapat segera di-drop dari daftar inventori apotek.
Agar penerapan standarisasi berjalan dengan lancar, perlu dipertimbangkan pula
tanggapan dari berbagai stakeholder apotek terhadap rencana implementasi standarisasi ini.
Kemungkinan halangan terbesar dalam implementasi standarisasi, datang dari pihak dokter.
Secara logika, dengan adanya standarisasi, dokter dapat kehilangan insentif promosi yang
diperoleh dari pabrik. Untuk memperoleh dukungan dari pihak dokter, dokter sebaiknya
dilibatkan dalam penentuan kebijakan atau skenario standarisasi. Dokter dapat turut
memberikan masukan atau pertimbangan khusus dalam proses eliminasi inventori, sehingga
hasil standarisasi benar-benar dapat memberikan keuntungan bagi banyak pihak (win-win
solution). Dengan demikian, skenario standarisasi yang akan diterapkan merupakan hasil
kesepakatan antara pihak apotek dan dokter.
REFERENSI
Simchi-Levi, D., Kaminsky P., & Simchi-Levi, E. 2003. Designing & Managing The
Supply Chain. 2nd Edition. Mc Graw-Hills. New York. pp. 62-144.