case weil disease, gga, & syok septik
TRANSCRIPT
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
1/36
CASE REPORT
SEORANG PRIA 62 TAHUN DENGAN
WEILS DISEASE, GANGGUAN GINJAL AKUT (GGA),
DAN SYOK SEPTIK
Oleh:
Ovi Rizky Astuti
J500080039
Pembimbing:
dr. Asna Rosida, Sp.PD
KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAMRSUD DR. HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
1
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
2/36
CASE REPORT
SEORANG PRIA 62 TAHUN DENGAN
WEILS DISEASE, GANGGUAN GINJAL AKUT (GGA),
DAN SYOK SEPSIS
Diajukan Oleh:
Ovi Rizky Astuti
J500080039
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pada hari Rabu, tanggal 30 Januari 2013.
Pembimbing:
dr. Asna Rosidah, Sp. PD ( )
Dipresentasikan dihadapan:
dr. Asna Rosidah, Sp.PD ( )
Disahkan Ka. Program Profesi:
dr. Hj. Yuni Prasetyo, M. M. Kes ( )
KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD DR. HARJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
2
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
3/36
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Tn. K
Umur : 62 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
Alamat : Cepoko, Ngrayun, Ponorogo
Pekerjaan : petani
Status perkawinan : menikah
Agama : islam
Suku : Jawa
Tanggal rawat di RS : 20 Januari 2013
Tanggal pemeriksaan : 23 Januari 2013
II. ANAMNESISRiwayat penyakit pasien diperoleh secara autoanamnesis dan aloanamnesis.
A. Keluhan Utama
Nyeri pada kedua betis.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Ponorogo pada pukul 17.00 WIB dengan
keluhan nyeri pada kedua betis. Keluhan ini sudah dirasakan beberapa jam
SMRS. Awalnya, nyeri dirasakan tiba-tiba setelah makan. Rasa nyeri disertai
kaki terasa berat, kaku, dan tegang sehingga pasien merasa sulit untuk berjalan.
Nyeri tidak berkurang dengan istirahat. Selain nyeri pada betis, pasien juga
3
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
4/36
mengeluhkan nyeri pada punggung yang timbul secara bersamaan. Pasien juga
merasa kembung dan mual tetapi tidak disertai muntah.
Sebelumnya, pasien mengalami demam sejak 3 hari SMRS. Demam
muncul tiba-tiba dirasakan naik turun disertai dengan pusing dan nyeri telan.
Batuk (-), sesak (-), nyeri dada (-), nafsu makan turun (+), lemas (+).
Pasien juga mengeluh BAK berwarna seperti teh sejak 1 hari SMRS
sebanyak 1 kali gelas belimbing (100 cc), nyeri saat kencing (-), panas (-),
darah (-), buih (-). BAK ini merupakan BAK terakhir SMRS dan pasien tidak
BAK lagi. BAB normal 1-2 kali per hari konsistensi padat, hitam (-), darah (-),
lendir (-).
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat hipertensi : diakui ( 3 tahun yang lalu)
2. Riwayat diabetes melitus : disangkal
3. Riwayat penyakit jantung : disangkal
4. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
5. Riwayat penyakit liver : disangkal
6. Riwayat maag : disangkal
7. Riwayat atopi : disangkal
8. Riwayat opname : disangkal
9. Riwayat trauma : disangkal
10. Riwayat penyakit serupa : diakui (chikungunya 3 tahun yang lalu)
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat penyakit serupa : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat diabetes melitus : disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : disangkal
5. Riwayat atopi : disangkal
4
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
5/36
E. Riwayat Pribadi
1. Merokok : disangkal
2. Konsumsi alkohol : disangkal
3. Konsumsi obat bebas : disangkal
4. Konsumsi jamu : disangkal
5. Konsumsi kopi : disangkal
6. Makan tidak teratur : disangkal
7. Riwayat kontak dengan hewan : diakui (di rumah banyak terdapat tikus)
8. Riwayat tidak pakai alas kaki : diakui (jika pergi ke sawah)
9. Riwayat konsumsi air sungai : disangkal (sumur)
F. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal di rumah bersama istri dan anak-anaknya. Pasien merupakan
seorang petani dan setiap hari pergi ke sawah. Pasien berobat dengan fasilitas
jamkesmas.
III. PEMERIKSAAN FISIK(23 Januari 2013)
Keadaan umum : lemah
Kesadaran : kompos mentis, E4 V5 M6
Vital Sign :
Tekanan darah : 110/70 mmHg (berbaring, pada lengan kanan)
Nadi : 100 x/menit (isi dan tegangan cukup), irama reguler
Respiratory rate : 26 x/menit tipe thorakoabdominal
Suhu : 35,7 0C per aksiler
A. Kulit
Ikterik (+), petekie (-), purpura (-), akne (-), turgor cukup, hiperpigmentasi (-),
bekas garukan (-), kulit kering (-), kulit hiperemis (-).
5
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
6/36
B. Kepala
Bentuk mesosefal, rambut warna hitam, mudah rontok (-), luka (-).
C. Mata
Sklera ikterik (+/+), konjungtiva anemis (-/-), injeksi konjungtiva (+/+),
perdarahan subkonjungtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter 3 mm/3 mm,
reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-).
D. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-).
E. Telinga
Deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-).
F. Mulut
Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), stomatitis (-), mukosa pucat (-), lidah
tifoid (-), papil lidah atrofi (-), luka pada tengah bibir (-), luka sudut bibir (-).
G. Leher
Leher simetris, deviasi trakea (-), JVP R0, pembesaran kelenjar limfe (-).
H. Thorak
1. Paru
- Inspeksi : kelainan bentuk (-), simetris (+), ketinggalan gerak (-),
retraksi otot-otot bantu pernapasan (-).
6
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
7/36
- Palpasi :
Ketinggalan gerak
Depan Belakang
- - - -
- - - -
- - - -
Fremitus
Depan Belakang
n n n n
n n n n
n n n n
- Perkusi :
Depan Belakang
S S S S
S S S SS S S S
S: sonor
- Auskultasi :
Suara dasar vesikuler
Depan Belakang
+ + + +
+ + + +
+ + + +
Suara tambahan: wheezing(-/-), ronkhi (-/-).
2. Jantung
- Inspeksi : iktus kordis tidak tampak.
- Palpasi : iktus kordis tidak kuat angkat.
- Perkusi : batas jantung.
Batas kiri jantung
Atas : SIC II linea parasternalis sinistra.
Bawah : SIC V linea midclavicula sinistra.
Batas kanan jantun g
Atas : SIC II linea parasternalis dextra.
7
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
8/36
Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra.
- Auskultasi : bunyi jantung I-II murni, reguler, bising(-), gallop (-).
3. Abdomen
- Inspeksi : dinding abdomen lebih tinggi dari dinding dada, distended
(+), venektasi (-).
- Auskultasi : peristaltik (+) normal, metallic sound(-).
- Perkusi : timpani, pekak alih (-), undulasi (-), hepatomegali (-),
splenomegali (-).
-Palpasi : hepar dan lien tidak teraba membesar, defans muskuler (-),
nyeri tekan hipokondriaka dekstra (+).
Nyeri tekan
+ - -
- - -
- - -
4. Pinggang
Nyeri ketok kostovertebra (-/-).
5. Ekstremitas
- Superior : clubbing finger(-), koilonikia (-), palmar eritema (-), edema (-),
akralhangat (+).
- Inferior : clubbing finger(-), koilonikia (-), nyeri tekan m. gastroknemius
(+) edema (-), akralhangat (+).
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan darah rutin
PemeriksaanHasil
Satuan Nilai Normal20/1/13 25/1/13
Leukosit 11.9 10.4 103 ul 4.0-10.0
8
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
9/36
Limfosit# 0.7 1.1 103 ul 0.8-4
Mid# 1.4 0.9 103 ul 0.1-0.9
Granulosit# 9.8 8.4 103
ul 2-7Limfosit% 6.1 11 % 20-40
Mid% 11.5 8.5 % 3-9
Granulosit% 82.4 80.5 % 50-70
Hemoglobin 12.5 15.3 gr/dl 11.0-16.0
Eritrosit 4.71 5.44 106 ul 3.50-5.50
Hematokrit 40.1 43.7 % 37-50
Indeks eritrosit
MCV
MCH
MCHC
85.2
26.5
31.1
80.5
28.1
35
fl
pg
g/dl
82-95
27-31
32-36
Trombosit 34 24 103 ul 100-300
Gula darah
sewaktu
160 mg/dl
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
10/36
a. Frekuensi : 110 x/menit
b. Ritme : reguler
c. Jenis irama : sinus
d. Aksis : normal (lead I (+), aVF (+))
e. Morfologi gelombang : gelombang P selalu diikuti gelombang QRS dan T
interval PR 0,12 detik
gelombang QRS 0,08 detik
D. Dower Catheter
Produksi urin : 400 cc
V. RESUME / DAFTAR MASALAH (yang ditemukan positif)
A. Anamnesis
1. Nyeri kedua betis (berat, kaku, tegang) dan nyeri punggung tidak berkurang
dengan istirahat sejak beberapa jam SMRS.
2. Kembung dan mual tetapi tidak disertai muntah.
3. Demam muncul tiba-tiba naik turun sejak 3 hari SMRS disertai pusing,
nyeri telan, nafsu makan menurun, dan lemas.
4. BAK seperti teh sejak 1 hari SMRS 1 kali gelas belimbing (BAK
terakhir SMRS dan tidak BAK lagi).
B. Pemeriksaan
1. Vital sign
Tekanan darah : 110/70 mmHg (berbaring, pada lengan kanan).
Nadi : 100 x/menit (isi dan tegangan cukup), irama reguler.
RR : 26 x/menit tipe thorakoabdominal (takipnea)
Suhu : 35,7 0C per aksiler (hipotermia)
10
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
11/36
2. Pemeriksaan fisik
Sklera ikterik (+/+), injeksi konjungtiva (+/+), kulit ikterik (+), abdomen
distended (+), nyeri tekan hipokondriaka dekstra (+), nyeri tekan m.
gastroknemius (+).
3. Pemeriksaan darah rutin
PemeriksaanHasil
Satuan Nilai Normal20/1/13 25/1/13
Leukosit 11.9 10.4 103 ul 4.0-10
Granulosit% 82.4 83.3 % 50-70Trombosit 34 24 103 ul 100-300
4. Pemeriksaan kimia darah
PemeriksaanHasil
Satuan Nilai Normal20/1/13 24/1/13
SGOT 74.5 74.2 u/l 0-31
SGPT 37.6 82.6 u/l 0-31
Ureum 85.73 322.51 mg/dl 10-50
Kreatinin 2.75 5.83 mg/dl 0.7-1.2
Asam urat 3.8 7.2 mg/dl 2.4-6.1
5. Produksi urin : 400 cc
VI. POMR (Problem Oriented Medical Record)
Daftar Masalah Problem AssesmentPlanning
Diagnosa
Planning
Terapi
Plannin
Monitori
-Nyeri betis (berat, kaku,
tegang), nyeri punggung,
demam, pusing, nyeri telan,
mual, kembung, nafsu makan
turun, lemas, BAK seperti teh.
Nyeri m.
gastroknemius
Granulositosis
Trombositopenia
Gangguan LFT
Weil disease
(leptospirosis
fulminan)
Darah
lengkap
IgG-IgM
leptospirosis
LFT
EKG
PZ 20 tpm
Meropenem 2x1
amp
Metoklopramid
3x1 amp
Ranitidin 2x1
Klinis
Vital sign
Darah
lengkap
LFT
11
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
12/36
- Sklera ikterik, injeksi
konjungtiva, kulit ikterik,
abdomen distended, nyeri
tekan regio hipokondriaka
dekstra & m. gastroknemius.
- Granulosit%: 82.480.5
Trombosit: 34 24
SGOT: 74.574.2
SGPT: 37.682.6
Gama GT: 12.2 83.3Albumin: 3.42.8
amp
Ketorolac 3x1
amp
B complex 3x1
amp
Hepato-protektor
- BAK gelas belimbing
(100 cc).
- Urea: 85.73322.51
Kreatinin: 2.75 5.83
Asam urat: 3.8 7.2
Produksi urin: 400 cc
Gangguan RFT
Oliguria
GGA
(gangguan
ginjal akut)
RFT
Urin lengkap
Cek elektrolit
Furosemid I-I-0 Klinis
Vital sign
RFT
Urin outpu
- T: 70 per palpatoir
N: 100 x/menit
RR: 26 x/menit
S: 35.70C
Leukosit: 11.910.4
Hipotensi
Takikardi
Takipnea
Hipotermia
Leukositosis
Syok sepsis Darah
lengkap
Kultur darah
Sensitivitas
antibiotik
O2 3 l/m
Drip dopamin
Meropenem 2x1
amp
Dexamethason
3x1 amp
Klinis
Vital sign
Darah
lengkap
12
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
13/36
FOLLOW UP
Date Subject Object Assesmen
t
Planning
21/1/13 Demam,sesak,
lemas,
pusing
KU: lemah KS: CMT: 70/palpatoir N: 112
RR:32 S: 35.4
K/L: CA (-/-), SI (+/+), IK (+/+), PKGB (-/-).
Thorak: dbn.
Abdomen: distended, nyeri tekan hipokondriaka
dekstra (+).
Ekstremitas: ikterik, nyeri tekan m.
gastroknemius, akral dingin
Produksi urin: (-) anuria
Weilsdisease,
GGA
Syok sepsis
PZ 24 tpm (drip Dopamin)Ceftriaxon 2x1 amp
Dexamethason 3x1 amp
Ranitidin 3x1 amp
Antasid 3x1 tab
B complex 3x1 tab
Paracetamol 3x1 tab (k/p)
22/1/13 Demam,
sesak,
lemas,pusing
KU: lemah KS: CM
T: 90/60 N: 80-100
RR:28 S: 36
K/L: CA (-/-), SI (+/+), IK (+/+), PKGB (-/-).
Thorak: dbn.
Abdomen: distended, nyeri tekan hipokondriaka
dekstra (+).
Ekstremitas: ikterik, nyeri tekan m.
gastroknemius.
Produksi urin: 100 cc
Weils
disease,
GGA
Syok sepsis
PZ 20 tpm (drip Dopamin)
Meropenem 2x1 amp
Dexamethason 3x1 amp
Furosemid 1-1-0
Ranitidin 3x1 amp
Antasid 3x1 tab
B complex 3x1 tab
Paracetamol 3x1 tab (k/p)
23/1/13 Demam,
batuk, sesak,
lemas
KU: lemah KS: CM
T: 110/70 N: 100
RR:26 S: 35.6
K/L: CA (-/-), SI (+/+), IK (+/+), PKGB (-/-).
Thorak: dbn.
Abdomen: distended, nyeri tekan hipokondriaka
dekstra (+).
Ekstremitas: ikterik, nyeri tekan m.
gastroknemius.
Produksi urin: 400 cc
Weils
disease,
GGA
Syok sepsis
PZ 20 tpm (drip Dopamin)
Meropenem 2x1 amp
Dexamethason 3x1 amp
Furosemid 1-1-0
Ranitidin 3x1 amp
Antasid 3x1 tab
B complex 3x1 tab
24/1/13 Batuk , KU: lemah KS: CM Weils PZ 20 tpm (drip Dopamin)
13
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
14/36
sesak ,
lemas
T: 120/90 N: 88
RR: 24 S: 36
K/L: CA (-/-), SI (+/+), IK (+/+), PKGB (-/-).
Thorak: dbn
Abdomen: distended, nyeri tekan hipokondriaka
dekstra.
Ekstremitas: ikterik, nyeri tekan m.
gastroknemius .
Produksi urin: 1.800 cc
disease,
GGA
Syok sepsis
Meropenem 2x1 amp
Dexamethason 3x1 amp
Furosemid 2-2-0
Ranitidin 3x1 amp
Antasid 3x1 tab
B complex 3x1 tab
25/1/13 Batuk,
sesak, lemas
T: 110/80 N: 88
RR:26 S: 36.5
K/L: CA (-/-), SI (+/+), IK (-/-), PKGB (-/-)
Thorak: dbn.
Abdomen: distended, nyeri tekan epigastrium,
hipokondriaka dekstra, & lumbalis dekstra,ascites (+).
Ekstremitas: ikterik, edema ekstremitas inferior
dekstra & sinistra, nyeri tekan m. gastroknemius
.
Produksi urin: 2.000 cc
Weils
disease,
GGA
Syok sepsis
PZ 20 tpm (drip Dopamin)
Meropenem 2x1 amp
Dexamethason 3x1 amp
Furosemid 2-2-0
Ranitidin 3x1 amp
Antasid 3x1 tabB complex 3x1 tab
CPZ 12.5 mg
26/1/13 Batuk,
sesak, lemas
KU: lemah KS: CM
T: 90/60 N: 80
RR:28 S: 35.6
K/L: CA (-/-), SI (+/+), IK (-/-), PKGB (-/-)
Thorak: dbn.
Abdomen: distended, nyeri tekan hipokondriaka
dekstra, ascites .
Ekstremitas: ikterik, edema ekstremitas inferior
dekstra & sinistra .
Produksi urin: 1.200 cc
Weils
disease,
GGA
Syok sepsis
PZ 20 tpm (drip Dopamin)
Meropenem 2x1 amp
Dexamethason 3x1 amp
Furosemid 2-2-0
Ranitidin 3x1 amp
Antasid 3x1 tab
B complex 3x1 tab
27/1/13 Batuk,
sesak, lemas
KU: lemah KS: CM
T: 90/60 N: 100
RR:26 S: 35.6
K/L: CA (-/-), SI (+/+), IK (-/-), PKGB (-/-)
Thorak: dbn
Abdomen: -
Ekstremitas: ikterik, edema ekstremitas inferior
dekstra & sinistra .
Weils
disease,
GGA
Syok sepsis
PZ 20 tpm (drip Dopamin)
Meropenem 2x1 amp
Dexamethason 3x1 amp
Ranitidin 3x1 amp
Antasid 3x1 tab
B complex 3x1 tab
14
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
15/36
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
16/36
dan L. biflexa yang non patogen atau saprofit. Kedua spesies tersebut dibagi menjadi
beberapa serogrup dan serovar (Speelman, 2005).
Saat ini telah ditemukan 240 serovar tergabung dalam 23 serogrup. Subgrup
yang dapat menginfeksi manusia adalah L. icterohaemorrhagiae, L. javanica, L.
celledoni, L. canicola, L ballum, L. pyrogenes, L. cynopteri, L. automnalis, L.
australis, L. panama, L. pomona, L. grippothyphosa, L. hebdomadis, L. bataviae, L.
tarassovi, L. bufonis, L. andamana, L. shermani, L. ranarum, L. copenhageni
(Speelman, 2005; Zein, 2006).
Beberapa serogrup menyebabkan panyakit dengan gejala berat bahkan dapat
fatal seperti L. icterohaemorrhagiae. Namun, ada serogrup dengan gejala ringan
seperti infeksi L. automnalis, L. bataviae, L. pyrogenes, dan sebagainya. Menurut
beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia adalah L. icterohaemorrhagiae
dengan reservoir tikus, L. canicola dengan reservoir anjing, dan L. pomona dengan
reservoir sapi atau babi (Speelman, 2005; Zein, 2006).
Gambar 1. Bakteri leptospira menggunakan mikroskop elektron tipescanning
C. Epidemiologi
Di negara subtropis infeksi leptospira jarang ditemukan. Iklim yang sesuai
untuk perkembangan leptospira adalah udara hangat, tanah basah, dan pH alkalis.
Keadaan demikian dijumpai di negara tropis sepanjang tahun. Di negara tropis
kejadian leptospirosis lebih banyak 1.000 kali dibandingkan subtropis dengan risiko
penyakit lebih berat. Angka insiden leptospirosis di negara tropis 5-20 per 100.000
penduduk per tahun (Hatta dkk, 2002).
16
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
17/36
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Di Indonesia
dilaporkan bahwa sejak 1936 telah diisolasi berbagai serovar leptospira baik dari
hewan liar maupun peliharaan. Angka kematian di Indonesia termasuk tinggi
mencapai 2,5-16,45%. Pada usia lebih dari 50 tahun kematian mencapai 56%.
Penderita leptospirosis dengan ikterik (kerusakan jaringan hati), risiko kematian lebih
tinggi (Widarso & Wilfried, 2002). Angka kematian dilaporkan antara 3-54%
tergantung sistem organ yang terinfeksi (Esen et al, 2004).
Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan, pekerja
tambang, pekerja potong hewan, dan militer. Ancaman ini berlaku juga bagi mereka
yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau di sungai seperti berenang
(Sarkaret al, 2002).
D. Patogenesis
Leptospira masuk melalui lesi pada kulit atau menembus mukosa seperti
konjungtiva, nasofaring, dan vagina. Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme
ini ikut aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Leptospira juga dapat menembus
jaringan seperti kamera okuli anterior mata dan subarahnoid tanpa menimbulkan
reaksi inflamasi berarti. Faktor yang bertanggung jawab untuk virulensi leptospira
masih belum diketahui. Sebaliknya leptospira yang virulen dapat bermutasi menjadi
tidak virulen. Virulensi berhubungan dengan resistensi terhadap proses penghancuran
antigen di serum oleh neutrofil. Antibodi meningkatkan klirens leptospira dari darah
melalui peningkatan opsonisasi dan dengan mengaktifkan fagositosis (Poerwo, 2002).
Leptospira yang lisis dapat mengeluarkan enzim, toksin, atau metabolit lain
yang menimbulkan manifestasi klinis. Hemolisis pada leptospira dapat terjadi karena
hemolisin yang tersirkulasi diserap oleh eritrosit sehingga eritrosit lisis walaupun di
dalam darah sudah ada antibodi. Diastesis hemoragik terbatas pada kulit dan mukosa,
pada keadaan tertentu dapat terjadi perdarahan gastrointestinal atau organ vital dan
dapat menyebabkan kematian (Poerwo, 2002).
17
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
18/36
Proses hemoragik tersebut disebabkan rendahnya protrombin serum dan
trombositopenia. Namun, terbukti walaupun aktivitas protrombin dapat dikoreksi
dengan pemberian vitamin K, beratnya diastesis hemoragik tidak terpengaruh.
Trombositopenia tidak selalu ditemukan pada pasien dengan perdarahan. Jadi,
diastesis hemoragik ini merupakan refleksi dari kerusakan endotel kapiler yang luas.
Penyebab kerusakan endotel ini belum jelas tetapi diduga disebabkan oleh toksin
(Poerwo, 2002).
Terdapat bukti menunjukkan bahwa hemolisis bukanlah penyebab ikterik, di
samping itu hemoglobinuria dapat ditemukan pada awal perjalanan leptospirosis
bahkan sebelum terjadi ikterik. Namun, akhir ini ditemukan bahwa anemia hanya ada
pada pasien leptospirosis dengan ikterik. Tampaknya hemolisis hanya terjadi pada
kasus leptospirosis berat dan dapat menimbulkan ikterik pada beberapa kasus.
Penurunan fungsi hati juga sering terjadi tetapi nekrosis sel hati jarang terjadi
sedangkan SGOT dan SGPT hanya sedikit meningkat. Gangguan fungsi hati yang
mencolok adalah ikterik, gangguan faktor pembekuan, albumin serum menurun, dan
globulin serum meningkat (Poerwo, 2002).
Gangguan ginjal merupakan penyebab kematian pada leptospirosis. Pada kasus
yang meninggal minggu pertama perjalanan penyakit, terlihat pembengkakan atau
nekrosis sel epitel tubulus ginjal. Pada kasus yang meninggal pada minggu ke-2,
terlihat banyak fokus nekrosis pada epitel tubulus ginjal. Sedangkan yang meninggal
setelah hari ke-12 ditemukan sel radang yang menginfiltrasi seluruh ginjal (medula
dan korteks). Penurunan fungsi ginjal disebabkan oleh hipotensi, hipovolemia, dan
kegagalan sirkulasi. Gangguan aliran darah ke ginjal menimbulkan nefropati pada
leptospirosis. Kadang dapat terjadi insufisiensi adrenal karena perdarahan pada
kelenjar adrenal (Poerwo, 2002).
Gangguan fungsi jantung seperti miokarditis, perikarditis, dan aritmia dapat
menyebabkan hipoperfusi pada leptospirosis. Gangguan jantung ini terjadi sekunder
karena hipotensi, gangguan elektrolit, hipovolemia, atau anemia. Mialgia merupakan
keluhan umum pada leptospirosis, disebabkan oleh vakuolisasi sitoplasma pada
18
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
19/36
miofibril. Keadaan lain yang dapat terjadi yaitu pneumonia hemoragik akut,
hemoptisis, meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis, mielitis, radikulitis, dan
neuritis perifer. Peningkatan titer antibodi di dalam serum tidak disertai peningkatan
antibodi leptospira (hampir tidak ada) di dalam cairan bola mata sehingga leptospira
masih dapat bertahan hidup di kamera okuli anterior mata selama berbulan-bulan. Hal
ini penting dalam terjadinya uveitis rekuren, kronis, atau laten pada kasus leptospirosis
(Poerwo, 2002).
Gambar 2. Patogenesis leptospirosis.
E. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis leptospirosis dibagi atas tiga fase yaitu:
1. Fase akut, septikemia, atau leptospiremia
Fase ini dimulaisetelah masa inkubasi antara 2-20 hari.Timbulnya lesi jaringan
akibat invasi langsung leptospira dan toksin menandakan fase akut. Gejala akan
berkurang bersamaan dengan berhentinyaproliferasi organisme di dalam darah.
Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala, nyeri otot,
hiperestesia kulit, mual muntah, diare, bradikardi relatif, ikterik, dan injeksi silier
19
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
20/36
mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan berakhir dengan hilangnya gejala untuk
sementara.
2. Fase imun
Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah dan inflamasi organ yang
terinfeksi sehingga gejala bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan
fungsi ginjal maupun hati, dan gangguan hemostatis dengan manifestasi
perdarahan spontan. Secara garis besar manifestasi klinis dapat dibagi menjadi
leptospirosis anikterik dan ikterik.
3. Fase penyembuhan (konvalesen)
Fase ini terjadi pada minggu ke 2-4 dengan patogenesis yang belum jelas. Gejala
berupa demam dengan atau tanpa muntah, sakit kepala, nyeri otot, batuk, ikterik,
perdarahan, hepatomegali, dan splenomegali (Saroso, 2003).
Menurut berat ringannya leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat.
Namun, untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya dibagi menjadi
leptospirosis anikterik (non ikterik) dan leptospirosis ikterik.
1. Leptospirosis anikterik
Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan demam ringan atau
tinggi bersifat remiten, nyeri kepala, dan mialgia. Nyeri kepala mirip infeksi
dengue disertai nyeri retroorbita dan fotofobia. Nyeri otot di daerah betis,
punggung, dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga kreatinin
fosfokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat dan membantu diagnosis
klinis leptospirosis. Akibat nyeri betis berat, pasien mengeluh sulit berjalan. Mual,
muntah, dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian besar pasien.
Pemeriksaan fisik khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri tekan pada
betis. Limfadenopati, hepatomegali, splenomegali, dan rash makulopapular bisa
ditemukan walaupun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis dapat
dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik. Gambaran klinis
penting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang tidak spesifik.
Dalam fase leptospiremia, bakteri leptospira dapat ditemukan di dalam cairan
20
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
21/36
serebrospinal tetapi dalam minggu ke-2 bakteri ini menghilang setelah muncul
antibodi. Pasien dengan leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat
karena keluhan ringan. Sebagian pasien, dapat sembuh sendiri (self limited) dan
gejala menghilang dalam waktu 2-3 minggu.
2. Leptospirosis ikterik
Ikterik umumnya dianggap sebagai indikator utama leptospirosis berat. Gangguan
ginjal akut, ikterik, dan manifestasi perdarahan merupakan gambaran klinis khas
penyakit weil. Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten sehingga fase
imun menjadi tidak jelas atau overlapping dengan fase leptospiremia. Ada
tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis serovar, jumlah bakteri leptospira
yang menginfeksi, status imun, nutrisi penderita, dan kecepatan mendapat terapi.
Leptospirosis adalah penyebab tersering gangguan ginjal akut (Iskandar dkk, 2002;
Zein, 2006).
Fase Manifestasi KlinisSpesimen
Laboratorium
Leptospirosis anikterik- fase leptospiremia
(3-7 hari)
- fase imun (3-30 hari)
demam tinggi, nyeri kepala,
mialgia, nyeri perut, mual,
muntah, conjungtiva suffusion
demam ringan, nyeri kepala,
muntah
darah, LCS
urin
Leptospirosis ikterik
- fase leptospiremia dan
fase imun (overlapping)
terdapat periode
asimptomatik
(1-3 hari)
demam tinggi, nyeri kepala,
mialgia, ikterik, gangguan ginjal,
hipotensi, manifestasi perdarahan,
pneumonitis, leukositosis
darah, LCS
minggu ke-1
urin minggu
ke-2
Tabel 1. Gambaran klinis leptospirosis anikterik dan ikterik.
Organ-organ yang menjadi sasaran leptospirosis antara lain yaitu:
1. Mata
21
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
22/36
Pada fase akut ditemukan dilatasi pembuluh darah konjungtiva, perdarahan
subkonjungtiva, dan retina vaskulitis. Sedangkan pada fase imun, sering
ditemukan iridosiklitis.
2. Saluran cerna
Gejala berupa ikterik, hepatitis, kolesistitis, pankreatitis, dan perdarahan GIT.
Terdapat peningkatan ringan kadar enzim transaminase dan gamma GT.
Namun, pada anak dengan ikterik kadar enzim transaminase dapat normal
sedangkan bilirubin pada weil disease dapat mencapai 30 mg/dl. Pada
leptospirosis yang disertai keluhan nyeri perut, mual, dan muntah perlu
dipikirkan adanya pankreatitis.
3. Paru
Gejala berupa batuk, hemoptisis, dan pneumonia. Pada pemeriksaan foto
thoraks dapat ditemukan infiltrat unilateral atau bilateral dan efusi pleura.
Gangguan napas dapat berkembang menjadi acute respiratory distress
syndrome (ARDS).
4. Sistem saraf pusat
Meningitis mempunyai hubungan yang klasik dengan fase imun. Nyeri kepala
merupakan gejala awal. Leptospira dapat ditemukan pada likuor serebrospinal
pada fase leptospiremia. Limfosit predominan terjadi pada hari ke-4. Hitung
jenis mencapai puncak antara hari ke-5 sampai hari ke-10. Walaupun lebih dari
80% ditemukan organisme pada biakan likuor serebrospinal pada kasus
meningitis, hanya setengah kasus terdapat tanda rangsang meningeal.
5. Ginjal
Pada urinalisis dapat ditemukan piuria, hematuria, dan proteinuia. Nekrosis
tubulus akut dan nefritis intersisiel merupakan dua kelainan ginjal klasik pada
leptospirosis. Nekrosis tubulus akut disebabkan langsung oleh leptospira
sedangkan nefritis terjadi lebih lambat diduga berhubungan dengan komplek
antigen antibodi pada fase imun. Fungsi ginjal yang normal dapat terjadi
gangguan yang memerlukan dialisis. Hipokalemia sekunder dapat terjadi
22
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
23/36
akibat rusaknya tubulus. Hiperkalemia dilaporkan pada kasus leptospirosis.
Gangguan ginjal akut yang ditandai oleh oliguria atau poliuria dapat timbul 4-
10 hari setelah gejala timbul.
6. Kulit
Ruam pada kulit dapat timbul dalam bentuk makulopapular dengan eritema,
urtikaria, petekie, atau lesi deskuamasi.
7. Otot
Miositis sering timbul pada minggu pertama dan berakhir hingga minggu ke-3
atau ke-4 dari perjalanan penyakit. Perdarahan pada otot, sebagian pada
dinding abdomen dan ekstremitas bawah menyebabkan nyeri yang hebat dan
diyakini sebagai penyebab akut abdomen.
8. Perdarahan
Perdarahan dapat terjadi pada 39% pasien yang berupa epistaksis, perdarahan
gusi, hematuria, hemoptisis, dan perdarahan paru.
9. Sistem kardiovaskular
Vaskulitis akibat leptospira dapat menimbulkan syok hipovolemik dan
pembuluh darah yang kolaps. Komplikasi pada jantung terjadi pada kasus
berat, dapat timbul miokarditis, arteritis koroner, dan friction rubs. Pada
pemeriksaan EKG dapat dijumpai kelainan berupa AV blok derajat 1, inversi
gelombang T, elevasi segmen ST, dan disritmia.
10. Kelenjar limfe
Limfadenopati pada kelenjar limfe leher, aksila, dan mediastium dapat timbul
dan berkembang selama perjalanan penyakit (WHO, 2003; Zein, 2006).
F. Diagnosis
Pada kasus leptospirosis anikterik dijumpai jumlah leukosit normal dengan
neutrofilia, peningkatan LED, dan protein dalam likuor serebrospinal.Kelainan paru
dan jantung, peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase, enzim amino transferase,
23
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
24/36
kreatin fosfokinase, kreatinin, dan ureum serta trombositopenia pada umumnya
terdapat pada leptospira ikterik (Iskandar dkk, 2002).
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan isolasi dari organisme dari
berbagai spesimen atau serokonversi antibodi 4 kali lipat antara akut dan konvalesen.
Namun, reaksi silang dengan penyakit spirochaeta lainnya sering dijumpai. Bakteri
dapat diisolasi dari darah atau likuor serebrospinal pada 10 hari pertama. Leptospira
dapat diidentifikasi secara langsung dari jarigan yang terinfeksi dengan menggunakan
mikroskop lapangan gelap atau dengan direct fluorescent antibody assay. Biakan
darah, likuor serebrospinal, urin, dan jaringan yang terkena dapat memberikan hasil
positif (Riyanto dkk, 2002).
Leptospira dapat dibiakkan pada media tertentu (Fletcher, Stuart,
Ellinghausen) yang dikombinasikan dengan neomisin atau 5-fluorouracil. Selama 7-10
hari pertama setelah timbul gejala, sampel diambil dari darah dan likuor serebrospinal.
Setelah itu dapat diambil dari urin yang bertahan lebih lama sekitar beberapa minggu
sampai bulan (Riyanto dkk, 2002).
Pemeriksaan serologis leptospira lebih berguna secara klinis jika diperiksa
pada awal penyakit. Microscopic agglutination test (MAT) dan indirect
hemagglutination assay (IHA) adalah dua uji yang biasanya tersedia. MAT
menggunakan antigen yang diperoleh dari serovar leptospira yang umum ditemukan.
Hasil positif didefinisikan sebagai peningkatan titer 4 kali antara fase akut dan
konvalesen. Titer tunggal yang melebihi 1:200 atau titer serial yang melampaui 1:100
menunjukkan dugaan ke arah infeksi leptospira tetapi keduanya tidak diagnostik.
Sensitivitas dan spesifisitas MAT adalah 92% dan 95% sedangkan nilai prediktif
positif 95% dan negatif 100%. Hasil negatif palsu MAT dapat terjadi pada sampel
tunggal yang diambil sebelum fase imun. Hasil positif palsu MATdapat terjadi pada
kasus legionella, penyakit lyme, dan sifilis. Uji IHA cepat dan mudah dilakukan serta
berdasarkan atas antibodi spesifik genus dengan sensitivitas 92-100% dan spesifisitas
94-95%. Uji yang sedang dalam penelitian adalah enzyme linked immunosorbent
24
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
25/36
assay (ELISA), polymerase chain reaction (PCR), dan dipstick assays (Riyanto dkk,
2002).
G. Diagnosis Banding
Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utamafever of unknown origin di
beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis banding leptospirosis
anikterik harus mencakup penyakit infeksi virus seperti influenza, HIV, infeksi
dengue, hepatitis, infeksi mononukleosis, serta infeksi bakteri atau parasit seperti
demam tifoid, bruselosis, riketsia, dan malaria (Speelman, 2005).
Leptospirosis ikterik didiagnosis banding dengan malaria falsifarum berat,
hepatitis virus, demam tifoid dengan komplikasi berat, haemorrhagic fevers with
renal failure, dan demam berdarah virus lain dengan komplikasi (Speelman, 2005).
H. Tatalaksana
1. Pencegahan
Pencegahan penularan leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur
intervensi yang meliputi intervensi sumber infeksi, jalur penularan, dan penjamu
manusia. Leptospira mampu bertahan hidup bulanan di air dan tanah serta mati
oleh desinfektan seperti lisol. Maka perlu upaya lisolisasi seluruh permukaan
lantai, dinding, dan bagian rumah yang diperkirakan tercemar air kotor banjir yang
mungkin sudah terinfeksi leptospira (Speelman, 2005).
Selain sanitasi lingkungan, higiene perorangan dilakukan dengan menjaga
tangan selalu bersih. Hindari kontak dengan urin hewan piaraan. Biasakan
memakai pelindung seperti sarung tangan sewaktu kontak dengan air kotor,
pakaian pelindung kulit, dan alas kaki terutama jika kulit ada luka, borok, atau
eksim. Biasakan membasuh tangan sehabis kontak dengan hewan atau
membersihkan tempat-tempat kotor (Speelman, 2005).
Hewan piaraan yang terserang leptospirosis langsung diobati dan yang
masih sehat diberi vaksin. Vaksinasi leptospirosis disarankan untuk manusia yang
25
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
26/36
memiliki risiko tinggi terjangkit dan pemberiannya harus diulang setiap tahun
yaitu diberikan terapi profilaksis dengan Doksisiklin 200 mg 1 x seminggu (WHO,
2003).
2. Kuratif
Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah
Penicillin G dosis dewasa 4 x 1,5 juta unit /im, biasanya diberikan 2 x 2,4 unit/im
selama 7 hari (Saroso, 2003).
Tujuan Pemberian Obat Regimen
1. Kuratif
a. Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg/oral atau
Ampisillin 4 x 500-750 mg/oral atau
Amoxicillin 4 x 500 mg/oral
b. Leptospirosis sedang/berat Penicillin G 1,5 juta unit/6 jam im atau
Ampicillin 1 g/6 jam iv atau
Amoxicillin 1 g/6 jam iv atau
Eritromycin 4 x 500 mg iv
2. Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/oral/minggu
Tabel 2. Antibiotik leptospirosis.
Berdasarkan ringan dan beratnya penyakit, pemberian terapi pada
leptospirosis dibedakan menjadi:
1. Leptospirosis ringan
Pada golongan ini tidak perlu dirawat. Penatalaksanaan konservatif padaleptospirosis ringan yaitu:
a. Antipiretik (> 38 0C)
b. Cairan dan nutrisi adekuat
26
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
27/36
Kalori diberi dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen,
dianjurkan sekitar 2.000-3.000 kalori tergantung berat badan penderita.
Karbohidrat dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis.
Protein diberikan 0,2-0,5 gram/kgBB/hari yang cukup mengandung asam
amino esensial.
c. Antibiotik
Paling tepat diberikan pada fase leptospiremia yaitu diperkirakan pada
minggu ke-1 setelah infeksi. Pemberian Penicilin setelah hari ke-7 atau
setelah terjadi ikterik tidak efektif. Penicillin diberikan dalam dosis 2-8 juta
unit bahkan pada kasus berat atau sesudah hari ke-4 diberikan sampai 12
juta unit. Lama pemberian bervariasi bahkan ada yang memberikan selama
10 hari.
d. Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi berat. Pengawasan terhadap
fungsi ginjal sangat perlu.
2. Leptospirosis berat
a. Antipiretik
b. Nutrisi dan cairan
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita
biasanya menurun maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi
seimbang dengan kebutuhan kalori serta keadaan fungsi hati dan ginjal
yang berkurang. Diberikan protein esensial dalam jumlah cukup. Karena
kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia maka masukan kalium dibatasi
sampai hanya 40 mEq/hari. Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi. Pada faseoliguria maksimal 0,5 gram/hari. Pada fase oliguria pemberian cairan harus
dibatasi. Hindari pemberian cairan terlalu banyak karena membebani kerja
hati maupun ginjal. Infus ringer laktat justru akan membebani kerja hati.
Cairan berlebihan akan menambah beban ginjal. Untuk dapat memberikan
27
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
28/36
cairan dalam jumlah yang cukup atau tidak berlebihan secara sederhana
dapat dikerjakan monitoring atau balance cairan secara cermat. Pada
penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan makan
secara parenteral.
c. Antibiotik
Pada kasus berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai 12 juta
unit. Penelitian terakhir golongan Fluoroquinolone dan Beta Laktam
(Sefalosporin, Ceftriaxone) lebih baik dibanding antibiotik konvensional
tersebut di atas walaupun perlu dibuktikan keunggulannya secara in vivo.
d. Penanganan gangguan ginjal
Gangguan ginjal mendadak adalah salah satu komplikasi berat dari
leptospirosis. Kelainan berupa akut tubuler nekrosis (ATN). ATN dapat
diketahui dengan melihat rasio osmolaritas urin dan plasma (normal < 1).
Juga dengan melihat perbandingan kreatinin urin dan plasma, renal failure
index, dan lain-lain.
e. Infeksi sekunder
Penderita leptospirosis rentan terhadap terjadinya beberapa infeksi
sekunder akibat dari penyakitnya sendiri atau tindakan medis seperti
bronkopneumonia, infeksi saluran kencing, peritonitis (komplikasi dialisis
peritoneal), dan sepsis. Pengelolaan tergantung dari jenis komplikasi yang
terjadi. Pada penderita leptospirosis, sepsis atau syok septik mempunyai
angka kematian yang tinggi.
f. Penanganan khusus
28
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
29/36
1) Hiperkalemia C glukonas 1 gram atau glukosa insulin (10-20 unit
insulin dalam infus dextrose 40%). Keadaan yang harus segera
ditangani karena menyebabkan cardiac arrest.
2) Asidosis metabolik natrium bikarbonas dengan dosis (0,3 x kgBB x
defisit HCO3 plasma dalam mEq/l).
3) Hipertensi antihipertensi.
4) Gagal jantung pembatasan cairan, digitalis, dan diuretik.
5) Kejang akibat dari hiponatremia, hipokalsemia, hipertensi
ensefalopati, dan uremia. Penting untuk menangani etiologi primernya,
mempertahankan oksigenasi atau sirkulasi darah ke otak, dan
pemberian obat anti konvulsan.
6) Perdarahan transfusi. Manifestasi perdarahan dapat dari ringan
sampai berat, kadang terjadi pada waktu mengerjakan dialisis
peritoneal. Untuk menyampingkan etiologi lain perlu dilakukan
pemeriksaan koagulasi lengkap. Perdarahan terjadi akibat timbunan
bahan-bahan toksik dan akibat trpmbositopati.
7) Gagal ginjal akut hidrasi cairan dan elektrolit, dopamin, diuretik,
serta dialisis (Riyanto dkk, 2002).
I. Komplikasi
1. Gangguan ginjal akut (GGA)
Keterlibatan ginjal pada gangguan ginjal akut bervariasi dari insufisiensi
ginjal ringan sampai gangguan ginjal akut (GGA) yang fatal. GGA pada
leptospirosis disebut sindrom pseudohepatorenal. Selama periode demam
29
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
30/36
ditemukan albuminuria, piuria, hematuria, azotemia, bilirubinuria, dan urobilinuria
(Drunl, 2001).
Terjadinya GGA pada leptospirosis melalui tiga mekanisme yaitu:
a. Invasi atau nefrotoksik langsung dari leptospira
Invasi leptospira menyebabkan kerusakan tubulus dan glomerulus sebagai efek
dari migrasi leptospira yang menyebar hematogen ke kapiler peritubuler
menuju jaringan intersisiel tubulus dan lumen tubulus. Kerusakan jaringan
tidak jelas apakah hanya efek migrasi atau efek endotoksin leptospira.
b. Reaksi imunologi
Reaksi imunologi berlangsung cepat, adanya kompleks imun dalam sirkulasi,
komplemen, dan electron dance bodies pada glomerulus bukti adanya proses
immune complexs glomerulonephritis dan terjadi tubule interstitial nefritis
(TIN).
c. Reaksi non spesifik terhadap infeksi
Invasi bakteri menyebabkan terjadinya GGA sehingga terjadi pelepasan
mediator inflamasi (TNF-, IL-1, PAF, PDGF-, TXA2, LTC4, TGF-) dan
terekspresinya leucocyte adhesion molecules yang akan meregulasi fungsi
leukosit sebagai respon adanya renal injury (Drunl, 2001).
Manifestasi klinis GGA pada leptospirosis ada dua tipe yaitu:
a. GGA oliguria
Disebut GGA oliguria jika produksi urin < 600 ml/24 jam dan disebut anuria
jika produksi urin < 100 ml/24 jam. Terjadi kira-kira pada 54% penderita
leptospirosis dan mempunyai mortalitas tinggi. Prognosis kurang baik jika
terdapat oliguria atau anuria yang berlangsung lama, BUN selalu meningkat >
60 mg%/24 jam, dan rasio ureum urin dengan ureum darah tidak meningkat.
Pada histopatologi tampak gambaran obstruksi tubulus, nekrosis tubulus,
endapan komplemen pada membran basalis glomerulus, dan infiltrasi sel
radang pada jaringan intersisiel.
30
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
31/36
b. GGA non oliguria
Produksi produksi urin > 600 ml/24 jam. GGA oliguria mempunyai prognosis
kurang baik dibandingan non oliguria dengan mortalitas 50-90%. Pada
histoppatologi tampak edema pada tubulus dan jaringan intersisiel tanpa
adanya nekrosis. Duktus kolektifus pars medularis resisten terhadap vasopresin
sehingga tidak mampu memekatkan urin dan terjadi poliuria (Drunl, 2001).
Perubahan abnormal elektrolit dan hormon pada GGA leptospirosis
meliputi:
a. Hipokalemia terjadi karena peningkatan fractional urinary excretion (Fe)
kalium yang diikuti Fe Na. Terjadi karena sekresi K meningkat dan adanya
gangguan reabsorbsi Na oleh tubulus proksimal. Fe K dan Fe Na berkorelasi
dengan beratnya GGA.
b. Hormon kortisol dan aldosteron meningkat akibatnya ekskresi kalium lewat
urin juga meningkat sehingga makin menambah hipokalemia.
c. CD3, CD4 menurun, dan limfosit B meningkat yang bersifat reversibel (Drunl,
2001).
Adapun tatalaksana pada GGA oliguria maupun non oliguria meliputi:
a. Suportif
1) Hidrasi dengan cairan yang mengandung elektrolit sampai tercapai
rehidrasi.
2) Monitoring elektrolit, produksi urin, dan balance cairan/24 jam.
3) Diuretika (furosemid atau manitol) untuk mengubah GGA oliguria menjadi
poliuria.
4) Dopaminergik agen untuk memperbaiki perfusi ginjal (dopamin).
5) Arterial natriuretik peptid.
31
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
32/36
6) Untuk preservasi integritas sel calcium channel blocker.
7) Stimulasi regenerasi sel asam amino (glisin,growth factor).
8) Antibiotika eradikasi leptospira.
b. Nutrisi
Meminimalkan balance nitrogen negatif, intake kalori yang adekuat, dan
mencegah volume overload.
c. Dialisis
Indikasi berupa hiperkatabolik (produksi ureum > 60 mg/24 jam), hiperkalemia
(serum kalium > 6 mEq/L), asidosis metabolik (HCO3 < 12 mEq/L),
perdarahan, dan kadar ureum yang sangat tinggi diikuti gejala klinis.
Hemodialisis tidak lebih menguntungkan untuk terapi pengganti pada GGA
leptospirosis, lebih dipilih tindakan dialisis peritoneal jika ada indikasi. Dialisis
peritoneal dapat mengkoreksi kelainan biokimiawi akibat GGA dan
mengeluarkan bahan-bahan toksik akibat penurunan faal hati (Drunl, 2001).
2. Perdarahan paru
Kelainan paru berupa hemorrhagic pneumonitis, patogenesisnya tidak jelas
diduga akibat endotoksin yang merusak kapiler. Hemoptisis terjadi pada awal
septikemia. Perdarahan terjadi pada pleura, alveoli, dan trakeobronkial dengan
manifestasi berupa batuk, blood tinged sputum, dan hemoptisis masif sehingga
menyebabkan asfiksia (Zein, 2006).
3. Liver failure
Terjadinya ikterik pada hari ke 4-6 dapat juga terjadi pada hari ke-2 atau
ke-9. Pada hati terjadi nekrosis sentrolobuler dengan proliferasi sel Kupfer.
Terjadinya ikterik pada leptospirosis disebabkan oleh:
a. Kerusakan sel hati.
32
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
33/36
b. Gangguan fungsi ginjal yang akan menurunkan sekresi bilirubin sehingga
meningkatkan kadar bilirubin darah.
c. Perdarahan jaringan dan hemolisis intravaskuler.
d. Proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatis intrahepatik.
e. Kerusakan parenkim hati akibat penurunan hepatic flow dan toksin yang
dilepas leptospira (Zein, 2006).
4. Perdarahan gastrointestinal
Perdarahan terjadi akibat adanya lesi endotel kapiler (Zein, 2006).
5. Syok
Infeksi menyebabkan terjadi perubahan homeostasis tubuh yang berperan pada
timbulnya kerusakan jaringan. Perubahan ini adalah hipovolemia dan
hiperviskositas. Hipovolemia terjadi akibat intake cairan yang kurang dan
meningkatnya permeabilitas kapiler efek dari mediator yang dilepaskan. Keadaan
ini menyebabkan hipoperfusi jaringan sehingga menyokong terjadinya disfungsi
organ (Zein, 2006).
6. Miokarditis
Komplikasi pada kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa gangguan sistem
konduksi, miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan arteritis koroner. Manifestasi
klinis miokarditis bervariasi dari tanpa keluhan sampai berat berupa gagal jantung
kongesif yang fatal. Sebagian akan berlanjut menjadi kardiomiopati kongestif,
aritmia, gangguan konduksi, atau gagal jantung yang secara struktural dianggap
normal (Zein, 2006).
33
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
34/36
7. Ensefalopati
Didapatkan gejala meningitis atau meningoensefalitis seperti nyeri kepala, pada
likuor serebrospinal didapatkan pleositosis, santokrom, leukosit 10-100/mm3,
glukosa normal atau rendah, protein meningkat (mencapai 100 mg%). Kadang
didapatkan menigismus tanpa ada kelainan LCS dan sindrom Guillian Barre. Pada
pemeriksaan patologi didapatkan infiltrasi leukosit pada selaput otak dan LCS.
Setiap serotipe leptospira yang patologis mungkin dapat menyebabkan meningitis
aseptik, paling sering Conicola,Icterohaemorrhagiae, danPamoma (Zein, 2006).
8. Prognosis
Mortalitas pada leptospirosis berat sekitar 10%, kematian paling sering
disebabkan karena gagal ginjal,perdarahan masif, atau ARDS. Fungsi hati dan ginjal
akan kembali normal walaupun terjadi disfungsi berat bahkan pada pasien yang
menjalani dialisis. Sekitar sepertiga kasus yang menderita meningitis aseptik dapat
mengalami nyeri kepala periodik. Beberapa pasien dengan riwayat uveitis akan
mengalami kehilangan ketajaman penglihatan dan pandangan yang kabur (Riyanto
dkk, 2002).
34
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
35/36
DAFTAR PUSTAKA
Ashford, D.A. et al. 2000. Asymtomatic Infection and Risk Factors for Leptospirosis in
Nicaragua. American Journal Tropical Medicine and Hygiene. pp: 249-54.
Drunl, W. 2001. Nutritional Support in Patients ARF: Acute Renal Failure. (Brenners &
Rectors) ed WB Saunders. pp: 465-83.
Esen, S. et al. 2004. Impact of Clinical and Laboratory Findings on Prognosis inLeptospirosis. Swiss Medical Weekly. pp: 347-52.
Hatta, M., dkk. 2002.Detection of IgM to Leptospira Agent with ELISA ang LeptodipstickMethod. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan FK Universitas Tarumanegara Vol.1.
Ebers Papyrus.
Iskandar, Z., Nelwan, Suhendro, dkk. 2002. Gambaran Klinis Leptospirosis. RSUP NCM.
Levett. 2001.Leptospirosis: Clinical Microbiology Reviews. pp: 296-326.
Riyanto, B., dkk. 2002. Leptospira Sevoars in Patients with Severe Leptospirosis
Admitted to Hospitals of Semarang: Buku Abstrak Konas VIII PETRI. Malang.
Sarkar, U. et al. 2002. Population Based Case-Control Investigation of Risk Factors for
Leptospirosis during an Urban Epidemic. American Journal Tropical Medicine
and Hygiene. pp : 605-10.
Speelman, P. 2005. Leptospirosis: Harrisons Principles of Internal Medicine Edisi 16.New York: Mc. Graw-Hill. pp: 988-91.
Saroso, S. 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan LaboratoriumLeptospirosis di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
WHO. 2003. International Leptospirosis Society: Human Leptospirosis Guidance for
Diagnosis, Surveillance, and Control. Geneva. pp: 109.
35
-
7/30/2019 Case Weil Disease, GGA, & Syok Septik
36/36
Widarso, H.S & Wilfried. 2002. Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam
Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Kumpulan Makalah Simposium
Leptospirosis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Zein, U. 2006. Leptospirosis: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi 4. FKUI:Jakarta. pp: 1845-8.