cerdas&kreatif
TRANSCRIPT
BAB III
PERKEMBANGAN KECERDASAN DAN KREATIVITAS
Tujuan
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan akan mendapatkan
gambaran tentang :
a. Pengertian tentang :
1) Pengertian kecerdasan
2) Teori kecerdasan
3) Klasifikasi kecerdasan
4) Faktor kecerdasan dalam belajar dan perkembangan anak
b. Pengertian, teori dan perkembangan kreativitas
1) Pengertian kreativitas
2) Teori kreativitas
3) Perkembangan kreativitas
4) Faktor kreativitas dan pengembangannya dalam KBM
1. Pengertian, Teori dan Klasifikasi Kecerdasan
a. Pengertian Kecerdasan
Istilah kecerdasan itu diturunkan dari kata inteleligensi. Inteligensi.
Inteligensi merupakan suatu kata yang memiliki makna sangat abstrak
tidak seperti kata tinggi, berat atau umur. Walaupun nampak abstrak, telah
banyak para ahli psoikologi yang telah mencoba mengembangkan teorinya
dalam memahami inteligensi.
Pada hakekatnya ada dua pandangan yang berkembang dalam
memahami intelegensi, yaitu inteligensi sebagai faktor tunggal dan faktor
multiple. Adapun tokoh yang mengembangkan pandangannya terhadap
inteligensi sebagai faktor tunggal adalah Jensen, Ebbinghaus, dan Terman
Jensen (11979) mengartikan inteligensi sebagai kemampuan mental umum
(general mental ability). Ebbinghaus (Rochmat Wahab, 1987) menyatakan
bahwa inteligensi sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi,
sedangkan Terman mengemukakan bahwa inteligensi adalah kemampuan
untuk berpikir abstrak.
Selanjutnya dijelaskan bahwa inteligensi merupakan suatu
kemampuan multiple diperkuat oleh pendapat Kail dan Pallegreno
(Stanrock and Yussen 1992) yang menegaskan bahwa inteligensi itu dapat
dijelaskan dengan terminologi pengetahuan dan penalaran. Sementara itu
Robert Sternberg (1982) mengemukakan bahwa pada prinsipnya ada tiga
karakteristik utama, yaitu kemampuan verbal, pemecahan masalah praktis,
dan kemampuan sosial. Adapun ahli lainnya yang tidak kalah populernya
yaitu howard Gardner. Gardner (1983) menegaskan bahwa inteligensi
seharusnya diefinisikan sebagai seperangkat kemampuan untuk
memperoses operasi yang memungkinkan individu mampu memecahkan
masalah, menciptakan produk, menemukan pengetahuan yang baru selama
kegiatan yang bermuatan nilai secara kultur. Oleh karena itu karakteristik
yang menggambarkan inteligensi, yaitu kemampuan di bidang linguistik,
logika matematik, musik, keruangan, kinestetik-motorik, interpersonal dan
intrapersonal.
Berdasarkan rumusan-rumusan tersebut diatas, maka dapatlah
dikemukakan bahwa secara umum kecerdasan (inteligensi) dapat
didefinisikan sebagai suatu konsep abstrak yang diukur secara tidak
langsung oleh para psikolog melalui tes inteligensi untuk mengestimasi
proses intelektual. Adapun komponen utama inteligensi, yaitu kemampuan
verbal, keterampilan pemecahan masalah, kemampuan belajar dan
kemampuan beradaptasi dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.
Inteligensi adalah kesanggupan mental untuk memahami, menganalisis
secara kritis cermat dan teliti , serta menghasilkan ide-ide baru secara
efektif dan efisien.
Laure E. Berk (1994) menegaskan bahwa karakteristik itu dapat
bervariasi antara satu kelompok dengan kelompok usia lainnya. Belian
mengutip Singler and Richards (1980) bahwa ada lima sifat yang berbeda
antara satu kelompok dengan usia lain tentang karakteristiknya.
b. Teori Kecerdasan
Untuk mendefinisikan hakekat inteligensi terdapat berbagai
perbedaan. Perbedaan ini terjadi disebabkan oleh perbedaan pengertian
dasar dalam memandang dan mengamati apa yang disebut perilaku
inteligen. Cara memandang ini disebut teori. Teori yang dipakai acuan
untuk mendefinisikan hakekat inteligensi (subino Hadisubroto, 1984 Moh.
Surya. 1979), yaitu meliputi teori keturunan lingkungan, epistimologis-
biologis, struktural, dan factorial.
1) Teori Keturunan lingkungan
Teori ini mempunyai tiga anak teori. Pertama, yang memandang
bahwa inteligensi lebih ditentukan oleh keturunan daripada oleh
lingkungan. Ada empat tokoh yang memperkuat anak teori ini, yaitu
Arthur R. Jensen (1969) yang menyimpulkan dari hasil penelitiannya
bahwa inteligensi itu lebih ditentukan oleh keturunan daripada
lingkungannya. Sir Cyril Burt (1955) memandang bahwa inteligensi itu
sebagai kemampuan berpikir umum yang dibawa sejak lahir, Woodrow
(Butcher, 1973) memandang bahwa inteligensi sebagai kapasitas
bawaan, dan tokoh terakhir adalah David Wechsler (1943) juga
memandang bahwa inteligensi itu sebagai kapasitas bawaan serta
kapasitas yang bulat untuk bertindak secara terarah, berpikir rasional,
dan berhubungan dengan lingkungannya secara efektif.
Anak teori kedua, yang memandang inteligensi sebagai yang lebih
ditentukan oleh lingkungan daripada keturunan. Tokohnya adalah
Jerome S Kegan (1969) yang didasarkan pada pengamatannya terhadap
anak-anak kulit putih lapisan bawah dan menengah, sewaktu mereka
mengerjakan tes inteligensi. Kegan melihat bahwa anak-anak lapisan
bawah bekerja kurang baik apabila dibandingkan dengan anak-anak
lapisan menengah.
Anak teori ketiga, yang memandang inteligensi sebagai hasil antara
keturunan, lingkungan, dan interkasi antara keduanya. Berdasarkan
teori ini yang tokoh-tokohnya di antaranya Crow (1972), Hilgard
(1962), Ross (1974) dan Clark 1983 (conny Semiawan, 1986),
konsepsi-konsepsinya dapat dirumuskan bahwa perkembangan
intelektual merupakan hasil interaksi antara pola genetis dan pengaruh
lingkungan.
2) Teori Epistimologis biologis
Teori ini mempunyai dua anak teori. Anak teori pertama memandang
bahwa inteligensi sebagai kemampuan berpikir jernih, analitis, dan
komprehensip. Tokoh pertama ini yaitu Lewis M. Terman (Butcher,
1973) yang memandang bahwa inteligensi itu disarikan sebagai
kemampuan abstrak. tokoh kedua adalah G.D. Stoddard (1943) yang
menyatakan bahwa inteligensi itu merupakan kemampuan majemuk,
yakni kemampuan menyelesaikan tugas-tugas yang sulit , rumit,
abstrak, ekonomis, adaptif terhadap tujuan, berbobot sosial dan
orisinal, serta tetap memelihara kemampuan menyelesaikan tugas-tugas
seperti itu di dalam keadaan yang menuntut pemusatan energi dan
menahan gejolak-gejolak emosional. Tokoh ketiga adalah Henry E.
Garret (1946) yang menyatakan bahwa inteligensi paling sedikit
sebagai kemampuan –kemampuan yang diperlukan untuk memecahkan
persoalan-persoalan yang menuntut pemahaman dan penggunaan
simbol-simbol, baik berupa kata-kata, angka-angka diagram-diagram,
persamaan-persamaan maupun rumus-rumus yang menyatakan gagasan-
gagasan dan hubungan berbagai hal dari yang sederhana sampai yang
sangat rumit.
Anak teori ketiga kedua, yang memandang inteligensi sebagai
kemampuan menyesuaikan diri terhadap situasi yang baru (biologis),
salah satu tokohnya adalah Jean Piaget (1956) yang menyatakan bahwa
inteligensi adalah kemampuan melakukan penyesuaian diri terhadap
lingkungan. Tokoh lainnya adalah Williem Ster yang berpendapat
bahwa inteligensi itu merupakan kemampuan personal untuk dapat
menghadapi tuntutan-tuntutan baru dengan menggunakan alat-alat
berpikir secara efisien.
3) Teori Struktural
Ada dua model teori struktural yang dapat dikemukakan yaitu model
struktural Guilford dan model facet Guttman. Model struktural
Guilford ini sering dikenal dengan sebutan The structure of intellect
(singkat SOI) yang mula-mula dikembangkan oleh Guilford tahun 1959
dan disempurnakan tahun 1966. dalam teori ini, ia membedakan
berpikir konvergentif dengan divergentif. Tes yang mengukur sisi
konvergentif menghendaki tes ini mencari satu jawaban betul atassuatu
persoalan sisi inilah yang oleh Guilford dinamakan kecerdasan.
Sedangkan tes yang mengukur sisi divergentif menghendaki tes ini
mencari sejumlah alternafi jawaban atas suatu persoalan dimaksudkan
untuk mengukur kemampuan berpikir divergentif atau yang sering
disebut kreativitas. Guilford berpendapat bahwa inteligensi itu
dibangun atas tiga matras (domain) yaitu operasi, sisi dan hasil.
Guttman (Subino Hadisubroto, 1984) mengemukakan bahwa ia
sangat terkesan oleh kenyataan bahwa dengan pemilihan tes yang
cermat maka orang dapat memperoleh matriks korelasi antar tes yang
memiliki koefisien-koefisien korelasi sama pada dua belahan
geometrik yang dibelah oleh garis diagonal. Dengan menggunakan
prinsip-prinsip analisis matrik korelasi tersebut, Guttman
menyimpulkan bahwa ada tiga kategori tes inteligensi, yakni tes yang
disusun di dalam bentuk gambar-gambar, simbol-simbol, dan kata-kata
bermakna, menurut Guttman Model tersebut belum lengkap. Untuk
melengkapinya Guttman mengusulkan butir-butir soal analitis dan
prestasi belajar ke dalam tes inteligensi tersebut.
4) Teori Faktorial
Teori factorial mempunyai berbagai variasi, diantaranya teori satu
faktor Binet, teori dua faktor Spearmen, teori dua faktor Holzinger,
teori bertingkat Philip E. Vernon, tiga faktor Sternberg. Dan teori
tujuh faktor Gardner.
Teori satu faktor Binet berpendapat bahwa inteligensi itu terbangun
atas satu faktor saja, yaitu faktor “g” saja (Freeman, 1965) yang
dimaksudkan dengan faktor g di sini adalah faktor kemampuan umum
(general ability).
Teori dua faktor Spearman berpendapat bahwa inteligensi itu
terbangun atas dua faktor, yaitu faktor general ability (“g”) dan special
ability (“s”). teori dua faktor Helpzinger merupakan variasi dari teori
Spearman. Beliau berpendapat bahwa tes yang tidak memenuhi syarat
proporsionalitas tidak perlu dipandang sebagai penganggu dan harus
dibuang dari baterai tes yang bersangkutan, sepanjang bagian-bagian
tes lainnya dari tes tersebut memiliki faktor kebersamaan yang sama.
Teori bertingkat Philip E. Vernon ini mirip dengan konsepsi
Spearman. Menurut Vernon (subino Hadisubroto, 1984) bahwa dibawah
faktor “g” itu terdapat dua faktor kelompok utama (major group
factors) yang masing-masingnya adalah faktor pendidikanverbal
(verbal educational faktors) dan faktor praktis (practical factors). Yang
pertama dibagi ke dalam dua faktor kelompok minor (minor-group
factors), yakni verbal dan numerical; sedangkan yang kedua dibagi
menjadi kemampuan keruangan (spatial ability), kemampuan manual
(manual ability), dan kemampuan mekanik (mechanical ability).
Masing-masing bagian tersebut dibagi lagi menjadi faktor-faktor
spesifik yang sangat besar jumlahnya dan mencakup lingkup yang
sangat khusus.
Teori tiga faktor Sternberg atau Sternberg's Triarchic Theory (Laura
E. Berk, 1994) dibangun melalui tiga sub-teori yang berinteraksi
secara fungsional, yaitu sub-teori komponensial, sub-teori
eksperiensial, dan sub-teori kontekstual. Teori ini menegaskan bahwa
keterampilan memproses informasi, pengalaman terdahulu yang
berkaitan dengan tugas, dan faktor-faktor kontekstual atau kultural itu
berinteraksi untuk menentukan perilaku yang inteligen. Sub-teori
pertama lebih mengekspresikan tentang metakognisi, aplikasi strategi,
dan pemerolehan pengetahuan. Sub-teori kedua menyatakan bahwa
individu yang berinteligensi tinggi dibandingkan dengan individu yang
berinteligensi rendah digambarkan pads kemampuan mengolah
informasi lebih terampil di dalam situasi yang barn, menyelesaikan
tugas baru relatif lebih cepat, dan mampu menyelesaikan tugas yang
lebih komplek dan cara yang lebih otomatis. Akhirnya, bahwa sub-teori
ketiga menjelaskan bahwa orang -orang yang inteligen itu lebih
terampil dalam mengadaptasikan (adapt ing) keterampilan memproses
informasi dengan tuntutan pribadi dan tuntutan dari kehidupan sehari-
hari. Selanjutnya, ketika mereka itu tidak dapat mengadaptasikan
dengan situasi, mereka mencoba untuk membentuk (shaping) atau
mengubahnya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan. Jika mereka tidak
dapat membentuknya, maka mereka menyeleksi (selecting) konteks-
konteks yang baru yang konsisten dengan tujuannya. Dengan kata lain,
sub-teori kontekstual menekankan bahwa perilaku inteligen itu tidak
pernah bebas budaya (cultural-free).
Teori inteligensi multipel Gardner atau Gardner's Theory of
Multiple intellingences mengidentifikasi tujuh kecerdasan yang
berbeda berdasarkan seperangkat processing operations yang
diterapkan dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna secara kultural
(yaitu linguistik, logika matematik, musical, kinestatik, interpersonal,
dan intrapersonal). Kecerdasan linguistik (linguistic intelligence)
menggambarkan tentang sensitivitas terhadap suara, ritme, makna kata-
kata dan fungsi bahasa yang berbeda, misalnya: penyair dan jurnalis.
Kecerdasan logika matematik (Logico mathematical intelligence)
menunjukan tentang sensitivitas terhadap, dan kemampuan mendeteksi,
pola-pola logik atau numerical; kemampuan mengatasi rangkaian
panjang penalaran logik, misalnya ahli matematik dan saintis.
Kecerdasan musical (Musical Intelligence) yang menunjukan
kemampuan menghasilkan dan menghargai sentuhan, ritme (melodi),
dan bunyi suara estetik; kemampuan memahami bentuk-bentuk ekspresi
musik, misalnya : ahli biola, painis, dan pengarang lagu. Kecerdasan
spasial (spatial intelligence) menggambarkan kemampuan memahami
dunia ruang-visual secara tepat, menunjukkan transformasi persepsi-
persepsi ini, dan menciptakan kembali aspek-aspek pengalaman visual
ketika tidak rangsangan yang relevan, misalnya pematung dan pelaut.
Kecerdasan kinestetik (Bodily-kinesthic intelligence) yang
menunjukkan kemampuan untuk menggunakan tubuhnya secara
terampil untuk mengekspresikan sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan; kemampuan menangani obyek-obyek secara terampil,
misalnya penari dan atlit . Kecerdasan interpersonal (interpersonal
intelligence) menunjukan kemampuan mendeteksi dan merespon secara
tepat terhadap suasana, temperamen, motivasi dan maksud orang lain,
misalnya terapis dan penjaja. Akhirnya kecerdasan intrapersonal
(intrapersonal intelligence) menunjukan kemampuan
mendeskriminasikan perasaan dari dalam yang komplek dan
menggunakannya untuk membimbing perilakunya sendiri : pengetahuan
tentang kekuatan, kelemahan, keinginan dan kecerdasan sendiri,
misalnya orang yang teliti dan autodidak.
Berdasarkan deskripsi teori-teori tersebut di atas. Kirannya sulit
dikemukakan satu-satunya rumusan definisi kecerdasan (intelligensi)
yang tepat. Oleh karenanya rumusan definisi kecerdasan sangat
tergantung pada teori mana yang relevan untuk kepentingan apa.
c. Klasifikasi Kecerdasan
Secara konvensional klasifikasi kecerdasan dewasa ini masih
mengikuti klasifikasi yang dikembangkan oleh Binet dan Simon, di
antaranya: pertama, retardasi mental yang meliputi idiot dengan IQ 30 ke
bawah, embisil dengan IQ 31-50, debil dengan IQ 51-70; kedua, slow-
learner dengan IQ 71-90; ketiga, normal (rata-rata) dengan IQ 91-110;
keempat, rapid-learner dengan IQ III-130; dan kelima gifted dengan IQ
131 ke atas.
Perlu disadari bawah dewasa ini telah berkembang cara perhitungan
dan distribusi skor IQ, sehingga IQ dapat dibedakan antara skor IQ
tradisional dan skor IQ modern (Laura E. Berk, 1994). Pertama, bahwa
skor IW tradisional-sebagaimana yang dikembangkan oleh Stanford-Binet-
menjelaskan bahwa skor IQ itu diperoleh dengan mengkonversikan skor
mentah dengan usia mental age (MA) yang menunjukkan usia anak
berdasarkan skor yang diperoleh. Misalnya, jika skor mentah rata-rata
anak usia 8 tahun itu 40, maka skor mentah 40 itu sama dengan usia
mental 8 tahun. Skor IQ dapat dihitung melalui membagi usia mental anak
dengan usia kronologis atau chronological age (CA) dan mengalikan
dengan 100:
Anak yang mendapat di atas IQ 100 menunjukan pada kelompok
anak yang berkecerdasan di atas rata-rata, sedangkan anak yang mendapat
skor dibawah IQ 100 menunjukan pada kelompok yang berkecerdasan
rendah.
Walaupun pendekatan usia mental memberikan suatu yang relatif
nyaman untuk membandingkan skor tes anak-anak, pendekatan ini
sebenarnya memiliki dua kelemahan. Pertama pendekatan ini mendorong
orang yang tidak familiar dengan dasar skor akan menyimpulkan bahwa
anak yang CA-nya 8 tahun dan MA-nya 12 tahun akan seperti anak yang
berusia 12 tahun dalam segala hal, padahal yang relatif sama kan
kemampuan akademiknya, sedangkan kemampuan sosial dipertanyakan.
Kedua, perkembangan intelektual pada anak yang lebih muda itu
cenderung lebih cepat daripada anak yang lebih tua. Perbedaan mental
pada anak yang berusia 2-3 tahun jauh lebih besar dari pada antara anak
usia 10-11 tahun, sedangkan IQ yang berdasarkan formula ini tidak
mendapat perhatian tersendiri.
Kedua, metode modern membedakan IQ secara langsung antara skor
mentah seorang anak dengan skor anak-anak lainnya yang berusia
kronologis sama. Ini dapat disebut juga Deviation IQ, karena IQ-nya
didasarkan pada penyimpangan tingkat kinerja anak dari rata-rata anak
yang seusia. Ketika tes disusun berdasarkan sampel individu yang
representatif. Kinerja setiap tingkat usia untuk sebagian besar skornya
jatuh mendekati pusat (rata-rata) clan semakin sedikit menuju ke ekstrim
kanan clan kiri, sehingga wujudnya seperti kurva normal. Dua hal yang
penting dari kurva ini, yaitu rata-rata (mean) clan simpangan (deviation)
yang memberikan ukuran variabilitas skor dari rata-rata.
Sebagian besar tes mengkonversikan skor mentahnya pada rata-rata
100 dan SD-nya 15. Berdasarkan angka ini dapat ditemukan prosentasi
individu yang ada pada skor IQ tertentu. Anak yang ber-IQ 100 lebih baik
daripada 50% anak yang berusia sama. Sedangkan anak yang ber-IQ 115
berkedudukan lebih baik daripada 84% anak yang berusia sama. Metode
moderen ini dirancang untuk mengganti pendekatan MA, karena metode
ini memungkinkan dapat mengadakan perbandingan langsung kinerja anak
dengan sampel yang representatif dengan anak sebaya.
d. Faktor Kecerdasan dalam Belajar dan Perkembangan anak
Pada dasarnya kemampuan manusia dapat dibedakan atas
kemampuan intelektual clan non-intelektual. Demikian juga kemampuan
intelektual ada yang bersifat potensial dan aktual. Kemampuan intelektual
potensial dapat dipresentasikan dengan kecerdasan atau inteligensi,
sedangkan kemampuan intelektual aktual Bering digambarkan dengan
prestasi belajar. Bila ditelaah lebih jauh, prestasi belajar berkaitan erat
dengan kecerdasan (inteligensi), bahkan prestasi belajar sangat ditentukan
oleh faktor kecerdasan. Tylor (1974) menegaskan bahwa “ Intelligence
should not be defined as general learning ability, but it is clearly related
t school success and to the kinds of life achievement that are dependent on
schooling” (kecerdasan seharusnya tidak didefinisikan sebagai kemampuan
belajar umum, melainkan kecerdasan itu secara jelas berkaitan dengan
kebersihan sekolah dan berbagai jenis prestasi hidup yang tergantung pada
pendidikan).
Ada sejumlah hasil penelitian memperkuat pendapat tersebut di atas
Pertama, studi Lyn Lyn Michell dan R.D. Lambourne (Subino
Hadisubroto, 1984) menyimpulkan bahwa pertama, kelompok cerdas
mampu bertahan berdiskusi lebih lama dengan kognitif lebih tinggi dan
mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih berbobot; kedua,
kelompok cerdas mampu mengemukakan gagasannya yang lebih tentative
dan lebih kaya; dan ketiga kelompok cerdas lebih mampu mencapai tingkat
pemahaman yang lebih rumit dan lebih kaya.
Kedua, Henderson dkk. (1976) melalui stdudinya berkesimpulan
bahwa kecerdasan berkorelasi positif dengan prestasi belajar. Demikian
juga entwiste dan Hayduk (1981:188) melaporkan bahwa inteligensi akan
berbentuk penampilan awal siswa dan selanjutnya akan menentukan
penampilan akademiknya.
Ketiga, korelasi antara hasil tes Wechler dengan prestasi siswa yang
dilakukan oleh Soedarsono (1985) pada siswa SD Negeri dan swasta di
Indonesia tahun 1984 dalam disertasinya dilaporkan bahwa koefisien
korelasi inteligensi dengan prestasi Bahasa Indonesia sebesar 0,518, IPS
sebesar 0,528, IPA sebesar 0,505, dan Matematika sebesar 0,587 yang
semuanya signifikan pada taraf signifikansi 0,001.
Keempat, studi yang dilakukan oleh Nason (Moh. Surya, 1979)
menemukan bahwa koefisien korelasi antara inteligensi dengan prestasi
belajar sebesar 0,34 untuk laki-laki dan 0,39 untuk perempuan.
Berdasarkan uraian tersebut di alas kiranya dapat ditegaskan lagi
bahwa faktor kecerdasan dapat berperan sebagai predikator yang berarti
terhadap belajar dan prestasi belajar anak. Mengapa demikian ? Laura E.
Berk (1994) menjelaskan bahwa pertama, bahwa IQ dan prestasi belajar
bergantung pada proses penalaran abstrak yang sama yang melandasi
faktor "g" Spearman. Seorang anak yang memiliki kemampuan "g" faktor
cenderung mampu secara lebih baik memperoleh pengetahuan dan
keterampilan yang diajarkan di sekolah.
Kedua, inteligensi dan prestasi diambil dari kutub yang sama dari
informasi spesifik secara kultural. Maksudnya bahwa tes inteligensi
sebagiannya sama dengan tes prestasi, dan pengalaman masa lalu anak
mempengaruhi penampilannya pada kedua tes.
Walaupun IQ berkontribusi terhadap prestasi belajar, faktor
kecerdasan bukanlah satu-satunya faktor yang sangat menentukan
keberhasilan belajar anak, karena hubungan keduanya sangatlah komplek,
bahkan sangat ditentukan oleh berbagai faktor lainnya, misalnya motivasi
dan karakteristik kepribadiannya.
Selanjutnya sebagaimana dengan perkembangan kecerdasan anak?
Kiranya tidaklah dapat diragukan bahwa intervensi sejak dini (baik
dilingkungan keluarga maupun di sekolah) memiliki sumbangan yang
berarti bagi perkembangan kecerdasan anak. Laure E. Beck (1994)
mengemukakan dua hasil studi yang memberikan dukungan terhadap
pentingnya intervensi dini Pertama, bahwa proyek Head Start memiliki
pengaruh yang minimal terhadap kecerdasan anak dan prestasi belajarnya.
Dinyatakan bahwa ketidakefektifan proyek ini disebabkan oleh
kekurangtepatan penyusunan program pada subyek kontrol dan perlakuan.
Perlu diketahui bahwa subyek studi dalam proyek ini berasal dari keluarga
yang berekonomi rendah. Sementara itu melalui temuan Jensen (1969)
dinyatakan bahwa tingkat kecerdasan anak yang rendah pada keluarga
miskin sebagian besar dipengaruhi oleh keturunan dan sangat sulit untuk
tumbuh.
Kedua, studi yang bersifat longitudinal yang dikoordinasikan oleh
konsorsium. Hasil studi menunjukan bahwa anak-anak yang mendapatkan
perlakuan cenderung menunjukan skor IQ dan prestasi belajar lebih tinggi
daripada kelompok kontrol dini pada dua sampai tiga tahun pertama di SD.
Setelah itu, perbedaan skor tes menurun. Walaupun demikian, anak-anak
yang mendapatkan intervensi tetap akan mengalami kemajuan ketika
berada di sekolah hingga mencapai dewasa. Stephen Ceci (1990, 1991)
menegaskan bahwa kehadiran anak di sekolah secara tidak teratur
menimbulkan pengaruh yang lebih besar IQ. Sebaliknya anak yang
mendapat perlakuan di sekolah lebih teratur, maka akan mendapatkan
kenaikan poin dari 10 hingga 30. Demikian juga halnya anak yang
memasuki sekolah lebih lambat, maka tingkat kecerdasannya akan turun
sekitar 7 poin.
Bertitik tolak dari kondisi tersebut, Cecci (1991) menegaskan bahwa
sekolah dapat berpengaruh positif terhadap tingkat kecerdasan, paling
tidak melalui tiga cara, yaitu mengajar anak tentang pengetahuan faktual
sesuai dengan pertanyaan yang diujikan-, mempromosikan keterampilan
memproses informasi, seperti strategi mengingat dan kategorisasi melalui
item-item tes; dan mendorong sikap dan nilai yang mampu memelihara
kinerja dalam menyelesaikan ujian secara-sukses, seperti mendengarkan
dengan sungguhsungguh pertanyaan orang dewasa (guru), menjawab
dengan ketentuan waktu, dan mencoba bekerja keras.
2. Pengertian, teori, dan perkembangan Kreativitas
a. Pengertian Kreativitas
Kreativitas pada dasarnya merupakan suatu istilah yang mudah
diucapkan dan sulit didefinisikan secara pasti, sehingga merupakan istilah
yang ambigius. Lebih ambigius lagi ketika istilah ini digunakan oleh
orang awam, karma setup yang aneh dan unik itu kreatif, walaupun sesuatu
itu tidak bermanfaat bagi orang lain. Para ahli sebenarnya telah
mengembangkan pengertian kreativitas dalam bentuk pengertian populer
dan makna psikologis (Hurlock, 1978).
Ada beberapa makan populer kreativitas, diantaranya: Pertama ,
kreativitas menekankan pada upaya membuat sesuatu yang baru dan
berbeda kedua, kreativitas menganggap bahwa sesuatu yang baru dan asli
itu terjadi karena kebetulan, misalnya ketika anak kecil menumpuk batu
dan berbentuk rumah akhirnya bangunan itu disebut rumah. Ketiga,
kreativitas dapat dipahami sebagai apa saja yang telah tercipta sebagai
sesuatu yang baru dan berbeda dari apa yang telah ada sebelumnya.
Keempat, kreativitas itu merupakan suatu proses unik – suatu proses yang
diperlukan tidak untuk tujuan yang lain, kecuali untuk menghasilkan
sesuatu yang baru, berbeda dan asli. Kreativitas menuntut jenis berpikir
yang unik dan divergen.
Kelima, kreativitas sering dianggap sama dengan inteligensi atau
kecerdasan yang tinggi. Orang yang ber-IQ yang sangat tinggi itu disebut
genius dan orang awam sering mengatakan bahwa orang jenius disebut
sebagai orang kreatif, walaupun sedikit bukti bahwa orang yang ber-IQ
tinggi itu juga memiliki kreativitas yang tinggi, keenam, kreativitas itu
merupakan kemampuan bawaan yang tidak ada hubungannya dengan
belajar atau pengaruh lingkungan. Ke tujuh, kreativitas dianggap sebagai
sinonim dengan imaginasi dan fantasi seperti suatu bentuk permainan
mental. Gardner mengatakan bahwa kreativitas merupakan suatu aktivitas
otak yang terorganisasikan, komprehensif, dan imaginatif tinggi untuk
menghasilkan sesuatu yang orisinil. Oleh karenanya kreativitas lebih dapat
dikatakan sebagai suatu yang lebih inovatif. Daripada reproduktif semua
(orang dapat dikelompokkan secara garis besar menjadi dua kelompok,
yaitu "(conformer" dan "creator". Conformer diharapkan kedatangannya di
tengah-tengah orang lain tidak akan mengganggunya atau menyebabkan
masalah, namun creator diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa
ide-ide yang orisinil, pendapat yang berbeda, atau cara-cara baru dalam
menghadapi dan memecahkan masalah.
Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
berpikir tentang sesuatu dengan suatu cara yang baru dan tidak-biasa
(unusual) dan menghasilkan penyelesaian yang unik terhadap berbagai
persoalan.
Selain dari apa yang telah disebutkan di atas, maka untuk
memahami pengertian kreativitas, maka Rhodes (Munandar, 1977)
mengemukakan bahwa ada beberapa tinjauan yang harus dikaji. Adapun
definisi kreativitas itu dapat dikaji melalui the Four P's of Creativity
(Person, Product, Process, and Press).
Kreativitas sebagai pribadi (person), kreativitas itu mencerminkan
keunikan individu dalam pikiran-pikiran dan ungkapan-ungkapan. Hal ini
dipertegas oleh Paul Swartz (1963) bahwa kreativitas merupakan ekspresi
tertinggi individualitas manusia.
Kreativitas sebagai produk (product), suatu karya dapat dikatakan
kreatif, j ika karya itu merupakan suatu ciptaan yang baru atau orisinil dan
bermakna bagi individu dan/atau lingkungan. Lebih jauh diungkapkan oleh
John A Glover (1980) bahwa ada tempat pemberangkatan yang terbaik,
yaitu kriteria yang dianggap cukup representatif oleh sebagian besar para
ahli psikologi dalam mendefinisikan kreativitas. Kriteria yang
dimaksudkan adalah sifat kebiruan (novelty) dan kegunaan (utility).
Kreativitas sebagai proses (process), yaitu bersibuk diri secara
kreatif yang menunjukan kelancaran, fleksibilitas, dan orisinalitas dalam
berpikir. Para ahli yang merumuskan definisi kreativitas berdasarkan
proses, yaitu Spearman (1930)dan Torrance (1974). Spearman (munandar,
1977) berpendapat bahwa berpikir kreatif pada dasarnya merupakan proses
melihat atau menciptakan hubungan antara proses sadar dan di bawah
sadar. Sementara E. Paul Torrance (1974) mendefinisikannya sebagai
berikut:
Creativity, as a process of becoming sensitive to problems,
deficiencies, gaps in knowledge, nissing elements, disharmonies, and so
on ; identifying the difficulty; searching for solutions, making guesses, or
formulating hypotheses about the deficiences, testing and retesting these
hypotheses and possibility modifying and rtesting the; and finally
communicating the results .
Kreativitas sebagai press, menurut bahasa MacKinnon (roslnaksky
1970)- the creative situation, yaitu kondisi dari dalam atau luar, lebih
kongkritnya situasi kehidupan atau lingkungan sosial, kultural, dan kerja
yang memberikan kemudahan dan mendorong penampilan pikiran dan
tindakan kreatif.
Akhirnya secara komprehensif kreativitas dapat diartikan sebagai
kemampuan berpikir, bersikap, dan bertindak tentang sesuatu dengan cara
yang baru dan tidak biasa (unusual) guna memecahkan berbagai persoalan,
sehingga dapat menghasilkan penyelesaian yang orisinil dan bermanfaat.
b. Teori Kreativitas
Keragaman definisi kreativitas yang ada erat sekali kaitannya
dengan keragaman teori yang mendasarinya. Disadari bahwa tidak ada satu
pun definisi yang sempurna, karena sejauh ini belum ada teori yang
dianggap paling komprehensif dan sempurna yang dapat menjelaskan
hakekat kreativitas. Pernyataan ini dikuatkan oleh Donald J. Treffinger
(1980) “…….. none of these theories could be considered to provide a
comprehensive and completely persuasive theoretical explanation of
creativity”
Para teoretisi kreativitas yang telah berjasa merumuskan teori
kreativitas, di antaranya: Mackler dan Shontz (Kintz & Bruning, 1970)
dan Getzels dan Jackson (1962), Kneller (1965), Rowston (1972), Gowan
(1972) sebagaimana yang diungkapkan oleh Treffinger (1980) dan Clark
(1983). Teori-teori ini pada umumnya memberikan kerangka umum dalam
mengklasifikasikan berbagai teori secara lugs ke dalam, kelompok
kategori berdasarkan pandangan psikologis perilaku manusia.
Mackler dan Shontz (Kintz dan Bruning, 1970) mengemukakan
bahwa dalam studi kreativitas ada enam teori pokok, yaitu: teori
psikoanalitik assosiasionistik, gestalt, eksistensial, interpersonal, dan
trait.
1) Teori Psikoanalisis
Tulisan frued diawali dengan minat psikoanalitik terhadap
kreativitas artistik. Yang dilanjutkan dengan studi, sehingga mulai
studi ini dikembangkan konsep subliamsi. Kemampuan sublimasi
merupakan kemampuan menukarkan tujuan seksual asli untuk tujuan
lain. Perbedaan individu bisa terjadi karena kekuatan instink seksual
dan kemampuan sublimasi.
Freud merasa bahwa ada tiga alat untuk mengadaptasi kesukaran
hidup, yaitu : peralihan minat yang sangat kuat, gratifikasi substantive
dan substantsi yang memabukkan. Kreativitas dipandang sebagai
penganti, yaitu alat yang dapat melepaskan dari kesukaran, sehingga
dapat mencapai berbagai tingkat kepuasan dalam waktu yang terbatas
individu kreatif adalah individu yang lari dari kenyataan, karena dia
dapat memenuhi tuntutannya untuk meninggalkan kepuasan instintif,
kemudian dia kembali menuju dunia fantasi di mana dia dapat
memuaskan keinginannya yang erotik dan ambisius. Akhirnya feud
memperluas konsep sublimasinya dari individu kreatif menuju kultural,
karena beliau melihat bahwa sublimasi instink merupakan suatu ciri
perubahan kultural yang penting.
2) Teori Assosiasionistik
Ribot (1960) adalah pelopor assosiasionist modern yang berkenaan
dengan kreativitas. Assosiasi adalah proses keadaan mental yang
menyatu, sehingga suatu proses cenderung dapat menimbulkan proses
lainnya. Sejalan dengan assosiasi, berpikir analogic merupakan hat
yang penting dalam proses kreatif. Aspek kreatif intelektual terdiri dari
proses yang Baling melengkapi, yaitu assosiasi dan dissosiasi. Teori
assosiasionistik berkenaan dengan kemampuan berpikir secara
produktif dan menggunakan sejumlah ikatan assosiatif yang ada pada
diri individu.
3) Teori Gestalt
Wertheimer (1945) menunjukkan kesannya bahwa ada dua
pendekatan dalam memahami masalah berpikir kreatif dan produktif,
yaitu teori logika tradisional dan assosiatif. Dia melancarkan kritik
bahwa kedua teori itu gagal bertindak adil dalam menjelaskan
fenomena dan kedua pandangan itu nampak sempit dan terbatas. Di sisi
lain, dia menawarkan suatu teori Gestalt yang mampu meningkatkan
pengertian, pertanyaan kembali, dan pengkajian terhadap proses
berpikir
4) Teori Eksistensial
Eksistensialisme merupakan suatu teori yang hampir sama dengan
teori Gestalt. Kedua teori mencoba menjelaskan pribadi kreatif sendiri
dalam momen-momen kreatifnya. Teori ini dipelopori oleh R. May
(1950).
May melancarkan kritik terhadap pendekatan psikoanalitik dengan
konsepnya regression in the service of the ego. Seperti teori Gestalt,
teori eksistensial tidak mencoba mengurangi keseluruhan menjadi
segmen-segmen dan menjelaskan proses secara keseluruhan. Kalau
teori Gestalt memberikan konsep kekuatan medan, struktur, Gestalt,
dan vector maka teori eksistensial hanya memberikan satu konsep,
yaitu encounter. Dengan demikian kreativitas dapat didefinisikan oleh
May (1959) sebagai “… the process of briging something new into
birth through the vehicle of the encounter”. Berdasarkan perkembangan
konsepnya, akhirnya May (1959) menyimpulkan pendapatnya bahwa
“… creativity is the encounter of the intensely dedicated, conscious
human being with his world”
5) Teori Interpersonal
Pendekatan interpersonal terhadap kreativitas menekankan pada
creator sebagai inovator dan orang lain yang mengenal atau mengakui
kreasinya. Teori ini memandang penting arti nilai dalam karya kreatif.
Karena nilai mengimplikasikan pengakuan dan kontrol sosial.
Selanjutnya seseorang hendaknya mengasumsikan bahwa dunia ini
terdiri dari pribadi-pribadi dan / atau benda-benda yang dipertemukan
oleh pencipta (creator) secara intensif.
6) Teori Trait
Teori trait berbeda sekali dengan kelima teori sebelumnya. Trait
merupakan karakteristik individu dan dapat diteliti melalui suatu
pendekatan yang menekankan pada perbedaan individual. Trait
merupakan cara yang dibedakan dan relatif abadi dalam hal mana setiap
individu akan berbeda dengan lainnya.
Guilford (1959) menjelaskan bahwa traits yang utama berkaitan
dengan kreativitas. Traits itu diantaranya : sensitivitas terhadap
masalah, kelancaran berpikir, keluwesan berpikir, orisinalitas berpikir,
redefinisi, dan elaborasi semantik. Aptitude traits ini ditemukan
melalui analisa faktor. Guilford juga menegaskan bahwa non-aptitude
traits itu mencakup motivasi dan temperamen.
Teori kreativitas selanjutnya diketengahkan oleh Gowan (1972).
Gowan (Treffinger, 1980) mengelompok.kan ke lima kategori dalam
memilahkan setiap kategori menjadi beberapa sub kategori. Kelima
kategori itu di antaranya pertama, kognitif, rasional, dan semantik yang
mencakup problem solving, kemampuan kognitif, dan assosiatif. .
Kedua, faktor-faktor kepribadian dan lingkungan yang mencakup trait
dan larakteristik kepribadian, kebiasaan orang tua dan setting sosial-
kultural, dan trans aktualisasi. Ketiga, kesehatan mental dan
penyesuaian psikologis yang mencakup aktualisasi diri - realisasi diri -
pertumbuhan psikologis dan mekanisme pertumbuhan biologis dan
pribadi. Keempat, psikoanalitik dan psikodinamik yang mencakup
Feudian yang menekankan pads konflik dan sublimasi, yang
menekankan pads kegiatan regresi dan di bawah sadar serta dinamika
perseptual. Terakhir, psikodelik yang menekankan pads aspek
eksistensial dan non-rasional, juga mengubah keadaan kesadaran
melalui obat dan tanpa obat.
Yang terakhir teori kreativitas Barbara Clark (1993) memandang
bahwa untuk mengetahui hakekat kreativitas dapat dilihat fungsi kedua
belahan otak, yaitu fungsi otak belahan kiri (left-hemisphere) dan
belahan kanan (right hemisphere). Fungsi otak belahan kiri seperti
berpikir matematis, analitik, komperatif, relasional, linier, logis, dan
ilmiah. Sementara fungi otak belahan meliputi berpikir inventif,
intutif, holistic, integratif. Gestalt, kreatif, dan imaginatif.
c. Perkembangan kreativitas anak
Hurlock (1978) menegaskan bahwa hasil sejumlah studi kreativitas
menunjukan bahwa perkembangan kreativitas mengikuti suatu pola yang
dapat diramalkan. Ada sejumlah variasi di dalam pola ini. Demikian juga
ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap variasi–variasi tersebut, di
antaranya: jenis kelamin, status sosio-ekonomik, posisi urutan kelahiran,
ukuran besar anggota keluarga, lingkungan kota versus desa, dan
intelignesi Pertama, anak-anak lelaki menunjukan kreativitas yang lebih
tinggi daripada anak perempuan, terutama di masa-masa perkembangan. Di
sebagian masyarakat, anak lelaki mendapat perlakuan yang berbeda dari
anak perempuan.Anak lelaki mendapat kesempatan yang lebih banyak
daripada anak perempuan untuk hidup mandiri, lebih mendapat
kesempatan untuk menghadapi resiko, mendapat kesempatan dari orang tua
dan guru untuk berinisiatif dan menampilkan keasliannya.
Kedua, anak-anak yang berlatar belakang sosio-ekonomis lebih
tinggi cenderung lebih kreatif dari pada anak-anak yang berlatar belakang
rendah Kelompok pertama diduga mendapatkan perlakukan orangtua yang
lehill demokratis, sementara kelompok keduanya lebih banyak mendapat
pcdaktian otoriter. Kontrol orangtua yang demokratis dapat memelihara
kenianiptian kreatif dengan memberikan kesempatan yang lebih banyak
kepada anak, untuk mengekspresikan individualitasnya dan mengejar
minas dan aktivitas menurut pilihannya sendiri. Yang lebih penting lagi
anak-anak yang berlatar belakang ekonomi tinggi mendapat kesempatan
yang lebih banyak untuk mengakses pengetahuan dan pengalaman yang
diperlukan untuk pengembangan kreativitas, misalnya ke tempat-tempat
rekreasi, tempat-tempat penting, dan pusat-pusat informasi yang dapat
mendorong anak untuk berimaginasi serta berpikir dan bertindak secara:
kreatif.
Ketiga, bahwa anak posisi kelahiran berbeda menunjukkan tingkat
kreativitas yang berbeda. Pernyataan ini memiliki implikasi bahwa
lingkungan memiliki kedudukan yang lebih penting daripada keturunan.
Anak tengah dan anak bungsu memungkinkan lebih kreatif daripada anak
sulung. Anak sulung cenderung mendapat tekanan yang lebih besar untuk
memenuhi harapan orangtua daripada anak berikutnya, sehingga mereka
lebih dikehendaki sebagai konformis daripada pencetus ide.
Keempat, anak-anak dari keluarga kecil cenderung lebih kreatif
daripada anak-anak dari keluarga besar. Hal ini disebabkan oleh
pengasuhan dalam keluarga besar menuntut sikap yang lebih otoriter guna
dapat mengendalikan anak yang banyak itu. Perlakuan yang otoriter
cenderung menghambat perkembangan kreativitas. Sebaliknya anak dari
keluarga kecil cenderung mendapatkan lebih banyak perlakuan yang
demokratis. Sikap tersebut memungkinkan dapat mendukung terciptanya
suasana dan sikap yang favorable untuk pengembangan kreativitas.
Kelima , anak-anak dari lingkungan kota cenderung lebih kreatif
daripada anak-anak dari lingkungan desa, karena yang pertama lebih
banyak mendapatkan lingkungan yang lebih memberikan stimulasi dalam
pengembangan kreativitas. Di kota-kota banyak tempat-tempat, obyek-
obyek, benda-benda, dan tantangan-tantangan yang mengundang setiap
untuk mengembangkan kemampuan kreatif. Stmulan-stimulan ini
mendorong dan mendukung peningkatan kreativitas anak-anak kota, yang
pada kenyataannya mereka akhirnya memiliki kreativitas yang lebih tinggi
dari pada anak desa.
Terakhir . Untuk anak yang seusia, anak-anak yang cerdas
menunjukan kemampuan kreatif yang lebih daripada anak-anak yang
kurang cerdas. Yang pertama cenderung memiliki ide-ide yang lebih baru
dalam mengatasi situasi konflik sosial dan mampu merumuskan lebih
banyak alternatif pemecahan terhadap konflik-konflik itu. Oleh karenanya,
cukup beralasan bahwa anak-anak yang cerdas pada akhirnya lebih pantas
dipilih sebagai pemimpin daripada anak-anak yang seusianya.
Selain daripada beberapa faktor yang kontributif bagi variabilitas
kreativitas itu dapat nampak pada usia dini ketika anak itu sibuk dalam
kegiatan permainan. Secara berangsur-angsur kreativitas anak dapat
dilihat dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya dalam kegiatan di
sekolah, kegiatan rekreasi dan aktivitas kerjannya.
Karya-karya kreatif yang produktif umumnya mencapai puncak pada
usia tigapuluh sampai empatpuluh, dan setelah itu cenderung mengalami
stagnan dan bahkan secara berangsur-angsur mengalami penurunan.
Lehman menegaskan bahwa pencapaian prestasi kreativitas yang dicapai
pada usia lebih awal sangat besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
sebaliknya tidak ada bukti yang cukup untuk meyakinkan bahwa
penurunan kreativitas itu akibat dari keterbatasan keturunan.
Bertitik tolak dari apa yang telah tersebutkan di alas, kiranya faktor
eksternal memiliki sumbangan yang cukup, berarti bagi peningkatan dan
penurunan kreativitas, individu. Spock Huflock,
1982).,menekankan,betapa pentingnya sikap orangtua pada usia dini. bagi
pengembangan kreativitas anak. Demikian jugs halnya sikap guru balk
di .Taman Kanak-Kanak dan SD mempunyai nilai penting bagi
perkembangan dan penurunan potensi kreativitas anak didik.
Arasteh (Hurlock, 1982) mencoba untuk mengidentifikasi sejumlah
usia kritis bagi perkembangan kreativitas pada usia anak-anak. Pertama,
pada usia 5-6 tahun ketika anak-anak slap memasuki sekolah, maka belajar
bahwa mereka harus menerima otoritas dan konformis dengan aturan dan
tata tertib yang dibuat orang dewasa (orangtua dan guru). Semakin kaku
dalam menerapkan otoritas, maka semakin besar kemungkinan dapat
mengganggu perkembangan kreativitas. Pada usia ini seyogyanya orangtua
dan guru mampu memperlakukan peraturan yang ada dengan disertai
berbagai penjelasan yang dapat memberikan pemahaman kepada anak,
sehingga anak dalam mengikuti aturan tidak merasa tertekan. Demikian
juga aturan yang ada hendaknya dirumuskan dan dipraktekkan secara
fleksibel. Tidak kaku. Tentu saja penerapan aturannya masih tetap
memegang prinsip, sehingga tujuan peraturan atau tata tertib dibuat dapat
dicapai dengan baik.
Kedua, usia 8 sampai 10 tahun ketika keinginan anak untuk diterima
sebagai anggota gang mencapai puncaknya. Sebagian besar anak-anak
pada usia ini merasa bahwa untuk dapat diterima di dalam gang, mereka
harus konformis sedekat mungkin dengan pola-pola perilaku yang telah
disepakati dengan gang-nya dan siapa saja yang berani menyimpang,
mereka akan ditolak kehadirannya di dalam gang. Dalam suasana yang
demikian anak-anak usia ini dikondisikan untuk terbiasa berpikir dan
bertindak secara konformis, mereka cenderung tidak berniat mengambil
resiko untuk berbeda pendapat. Sekiranya dikembangkan kegiatan-
kegiatan di sekolah yang menuntut pikiran, sikap, dan tindakan yang
divergen, maka mereka tidak selalu meresponnya dengan sikap positif,
karena mereka belum dan tidak terbiasa mengambil resiko dalam
menghadapi perbedaan. Ditambah lagi, mereka sering dituntut dalam
berbagi kegiatan disekolah lebih banyak sikap konformis daripada sikap
divergen,
d. Faktor kreativitas dan pengembangannya dalam KBM
Bila didasarkan konsep Guliford melalui struktur intelektual, maka
antara kreativitas (dalam hal ini berpikir kreatif) dan hasil belajar berada
pada posisi yang bersebrangan. Di satu pihak kreativitas ditopang oleh
aspek berpikir divergen yang dicirikan dengan kemampuan
memproduksikan sejumlah besar kemungkinan pemecahan terhadap suatu
masalah, di pihakkk lain hasil belajar dewasa ini cenderung dilandasi oleh
aspek berpikir konvergen yang menuntut sikap konfirmis.
Uraian tersebut di atas diperkuat dengan pernyataan Blackhurst dan
dengan Berdine (1981), yaitu "Divergent thinking is characterized by
ability to produce a large number of possible solution to a problem .. .",
dan Hurlock (1978) menyatakan bahwa :
. . . . divergent productions and transformations, thinking different
directions, sometime searcing, sometime seeking variety as apposed to the
convergent function, using information is a way that leads to one right
answer or to a recognized best or conventional answer.
Berdasarkan hasil penelitian (survai) yang dilakukan oleh Badan
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana
yang dinyatakan oleh S.C. Utami Munandar (Balitbangdikbud, 1982):
Pengajaran di SD dan SM semata-mata menekankan pada
penampilan rutin dan hapalan, yang kurang relevansinya dengan
masyarakat. Anak kurang dilatih untuk memikirkan apa yang telah
diperoleh. Anak-anak tidak didorong untuk yang mengajukan pertanyaan
untuk menggunakan daya imajinasinya, untuk mengemukakan masalah-
masalah sendiri, untuk penyelesaian terhadap masalah yang non-rutin, atau
tidak menunjukkan inisiatif.
Manakala hingga saat ini, sistem pembelajaran di Indonesia tetap
seperti tersebut diatas, maka keberadaan pengembangan kreativitas tidak
akan berarti banyak dalam membantu siswa dalam meraih keberhasilan
akademik di sekolah.
Adalah disadari bahwa kondisi obyektif di sekolah dewasa ini
nampak belum menunjukan perubahan yang berarti , kendatipun sejak
tahun 80-an telah dikembangkan pendekatan roses dan CBSA yang
menuntut siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran. Padahal semua
orang tidak meragukan pentingnya kreativitas bagi anak didik baik untuk
menghadapi tuntutan globalisasi yang sarat dengan berbagai persoalan
yang sangat komplek. Untuk dapat survival dalam era tersebut, setiap
individu sungguh merasa perlu memiliki kemampuan berpikir dan
bertindak kreatif untuk dapat menyelesaikan persoalan kehidupan yang
komplek.
Menyadari akan posisi strategi kreativitas dalam kehidupan anak,
maka selanjutnya kirannya perlu dikemukakan berbagai upaya yang dapat
memelihara dan mendukung pengembangan kreativitas. Hurlock (1982)
menyatakan bahwa beberapa orang memang percaya bahwa kreativitas
dapat berkembang secara otomatis, bahkan tidak perlu rangsangan
lingkungan atau kondisi lingkungan yang favorable. Namun sebagian besar
meyakini (treffinger. 1980) bahwa semua anak memiliki potensi
kreativitas. Walaupun kemampuan berbeda tingkat kualitasnya. Seperti
juga kemampuan potensial lainnya, kemampuan ini dapat berkembang
secara optimal. Apabila diberikan perlakuan yang sesuai. Berkenaan
dengan ini ada dua kondisi penting yang perlu diperhatikan.
Pertama, sikap sosial yang t idak menyenangkan, sehingga
menghalangi perkembangan kreativitas harus dikurangi dan dihilangkan.
Perlakuan-perlakuan yang perlu ditiadakan di antaranya mendorong anak-
anak untuk berbuat sama dengan anak yang lainnya yang sebaya secara
berlebihan, memaksa anak mengikuti kemauan orangtua padahal anak
tidak sepenuhnya sejalan dengan pikiran orangtua.
Kedua, menciptakan kondisi-kondisi yang menyenangkan bagi
pengembangan kreativitas anak sejak usia dini dalam kehidupannya,
hingga mereka mencapai usia-usia puncak perkembangan. Apabila anak-
anak mendapatkan iklim lingkungan baik fisik maupun sosial yang
menyenangkan, maka kreativitas anak dapat mencapai perkembangan yang
menggembirakan. Ada sejumlah kondisi yang dapat memelihara dan
mengembangkan kreativitas, yaitu: waktu, kesunyian (solitude), dorongan
(encoragement), material, l ingkungan yang stimulating, hubungan
orangtua anak yang tidak posesif, teknik pengasuhan, dan kesempatan
mendapatkan pengetahuan. Pertama, untuk menjadi kreatif, anak-anak
harus memanfaatkan waktu senggang seoptimal mungkin untuk bermain
dengan ide dan konsep serta mencobanya untuk membuat bentuk
permainan barn dan asli. Kedua, anak-anak harus dibebaskan dari tekanan-
tekanan kelompok sosial yang mengganggu pengembangan kreatifnya.
Solitude sangat diperlukan untuk mengembangkan suatu kehidupan yang
imaginatif.
Ketiga, kendatipun anak berada di jauh dari prestasi sebagaimana
yang distandarkan orang dewasa, anak-anak harus tetap didorong untuk
kreatif dan bebas dari kritik-kritik yang merugikan anak. Keempat, bahan-
bahan dan materi-materi yang diberikan kepadanya hendaknya mampu
memberikan stimulasi anak untuk melakukan eksperimen dan ekspolarsi
yang memungkinkan dapat mengembangkan kreativitasnya.
Kelima, lingkungan keluarga dan sekolah seyogayanya mampu
menstimulasi kreativitas anak dengan memberikan bimbingan dan
dorongan untuk menggunakan bahan-bahan yang tersedia yang pada
akhirnya dapat mendorong kreativitas anak. Kondisi ini sebaiknya dapat
dilakukan sedini mungkin yang dilanjutkan pada usia-usia sekolah dengan
tetap membuat kreativitas sebagai pengalaman yang menyenangkan dan
mendorong kehidupan sosial anak.
Keenam, orangtua yang merasa tidak terlalu memiliki dan
melindungi anak cenderung dapat mendorong anaknya untuk lebih mandiri
dan percaya diri dua kondisi yang kualitas ini sungguh memiliki
kontribusi yang sangat bermakna bagi kreativitas anak.
Ketujuh, pengasuhan anak yang demokratik dan permisif di dalam
keluarga dan sekolah dengan dihindarkannya pengasuh yang otoriter
cenderung dapat memelihara dan mengembangkan potensi kreatif anak.
Akhirnya, kreativitas tidak akan pernah berkembang dalam suasana yang
vakum. Artinya bahwa semakin banyak pengetahuan yang didapatkan anak
–anak, maka semakin baik fundasi yang dimiliki anak untuk membangun
kreativitas. Dengan kata lain, anak baru dapat berfantasi secara produktif,
manakala anak menguasai substansinya terlebih dahulu.
Selanjutnya, bagaimana dengan pengembangan KBM sehingga
mampu mengembangkan potensi kreativitas anak. Ketika siswa masih
berada pada level yang bawah, seharusnya mulai mengkondisikan dirinya
untuk meningkatkan kemampuan kreatifnya tanpa harus menunda-
nundanya. Oleh karenanya guru dituntut bertanggung jawab untuk menjadi
fasilitator dan pembimbing dalam mengajar dan memanaj kelas. Berikut
ini Donald J. Treffinger (1980) mengemukakan sejumlah pengalaman
belajar yang dapat dikembangkan oleh guru, agar memiliki kekuatan untuk
mengembangkan kreativitas anak. Pertama, menciptakan tugas yang
dikehendaki anak-anak, sehingga memungkinkan anak-anak mampu
menunjukkan keterlibatan personal yang tinggi. Apabila mereka merasa
terlibat dalam penciptaan tugas itu, kiranya mereka dapat
menyelesaikannya dengan penuh antusiasme.
Kedua, kegiatan pembelajaran hendaknya dilandasi oleh rasa ingin
tahu siswa (curiosity), oleh karenanya dalam mengembangkan segala
pengalaman belajar hendaknya didasarkan pada minas dan kepedulian
anak, lebih konkritnya hendaknya lebih dilandasi dengan motif intinsik
anak.
Ketiga, penciptaan proses pembelajaran hendaknya memungkinkan
anak-anak dapat mengembangkan sensitivitasnya terhadap berbagai
masalah dan tantangan. Dalam kondisi demikian, kemampuan melakukan
diagnosis perlu dikembangkan.
Keempat, kegiatan pembelajaran yang perlu ditegakkan adalah
pengalaman belajar yang memberikan kelonggaran bagi anak untuk
melakukan elaborasi dalam berpikir dan pengembangan kemampuan
berpikir divergen, sehingga anak-anak tidak terbiasa dihadapkan pada
suatu jawaban benar setiap menjumpai persoalan, melainkan mereka akan
terkondisikan dalam kehidupan yang selalu mempertimbangkan berbagai
ide yang berbeda dan kemungkinan alternatif jawaban terhadap setiap
persoalan.
Kelima, selama proses pembelajaran hendaknya dihindari perilaku
judgmental dari guru, sebaliknya perlu dikembangkan sikap apresiatif.
Evaluasi terhadap anak hendaknya dikembangkan standar yang didasarkan
pada tugas dan tujuan serta kemampuan anak, sehingga evaluasi lebih
bersifat sangat personal. Dengan kata lain untuk kegiatan evaluasi perlu
dihindari adanya standar eksternal yang sepenuhnya ditentukan oleh
subyektivitas guru.
Keenam, pengalaman belajar yang diberikan kepada anak hendaknya
memungkinkan anak bebas melakukan eksperimen, jika perlu anak dapat
melakukan kegiatan eksperimen berkali sesuai dengan kebutuhan. Adalah
sangat terpuji, sekirannya selalu diusahakan dapat memberikan
kelonggaran kepada para siswa untuk menemukan kesalahan, dan mereka
dapat belajar dari kesalahan, sehingga mereka dapat menemukan solusinya
sendiri.
Ketujuh kegiatan pembelajaran yang positif diharapkan dapat
memberikan kesempatan yang banyak bagi para siswa untuk menentukan
pilihannya sendiri selanjutnya mereka dapat merumuskannya secara
menarik dan menyenangkan sehingga alternatif solusi itu tidak hanya
menyenangkan dirinya saja, melainkan juga bermanfaat bagi orang lain.
Kedelapan, selama proses pembelajaran, anak-anak perlu sekali
dihadapkan kepada persoalan riil dalam kehidupan sehari-hari. Adapun
hasil pemecahan masalah tersebut dapat di-sharing-kan kepada orang lain,
terutama produk-produk kreatif.
Akhirnya, pengalaman belajar yang benar-benar perlu mendapat
penekanan adalah pengalaman belajar yang mampu menghantarkan para
siswa untuk memecahkan suatu masalah yang dapat mengarahkan mereka
mengidentifikasikan tantangan-tantangan baru.
Selain daripada itu selama kegiatan pembelajaran, guru diharapkan
dapat menyajikan materi pembelajaran, menyiapkan berbagai media. serta
menggunakan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan posisi anak
didik memungkinkan sebagai subyek, daripada obyek pembelajaran, serta
mengadakan evaluasi yang tepat, sehingga semuanya mampu mendukung
pengembangan kreativitas anak.