cerdas&kreatif

47
BAB III PERKEMBANGAN KECERDASAN DAN KREATIVITAS Tujuan Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan akan mendapatkan gambaran tentang : a. Pengertian tentang : 1) Pengertian kecerdasan 2) Teori kecerdasan 3) Klasifikasi kecerdasan 4) Faktor kecerdasan dalam belajar dan perkembangan anak b. Pengertian, teori dan perkembangan kreativitas 1) Pengertian kreativitas 2) Teori kreativitas 3) Perkembangan kreativitas 4) Faktor kreativitas dan pengembangannya dalam KBM 1. Pengertian, Teori dan Klasifikasi Kecerdasan a. Pengertian Kecerdasan

Upload: sudarman-diraksa

Post on 28-Nov-2015

12 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Cerdas&Kreatif

BAB III

PERKEMBANGAN KECERDASAN DAN KREATIVITAS

Tujuan

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan akan mendapatkan

gambaran tentang :

a. Pengertian tentang :

1) Pengertian kecerdasan

2) Teori kecerdasan

3) Klasifikasi kecerdasan

4) Faktor kecerdasan dalam belajar dan perkembangan anak

b. Pengertian, teori dan perkembangan kreativitas

1) Pengertian kreativitas

2) Teori kreativitas

3) Perkembangan kreativitas

4) Faktor kreativitas dan pengembangannya dalam KBM

1. Pengertian, Teori dan Klasifikasi Kecerdasan

a. Pengertian Kecerdasan

Istilah kecerdasan itu diturunkan dari kata inteleligensi. Inteligensi.

Inteligensi merupakan suatu kata yang memiliki makna sangat abstrak

tidak seperti kata tinggi, berat atau umur. Walaupun nampak abstrak, telah

banyak para ahli psoikologi yang telah mencoba mengembangkan teorinya

dalam memahami inteligensi.

Page 2: Cerdas&Kreatif

Pada hakekatnya ada dua pandangan yang berkembang dalam

memahami intelegensi, yaitu inteligensi sebagai faktor tunggal dan faktor

multiple. Adapun tokoh yang mengembangkan pandangannya terhadap

inteligensi sebagai faktor tunggal adalah Jensen, Ebbinghaus, dan Terman

Jensen (11979) mengartikan inteligensi sebagai kemampuan mental umum

(general mental ability). Ebbinghaus (Rochmat Wahab, 1987) menyatakan

bahwa inteligensi sebagai kemampuan untuk membuat kombinasi,

sedangkan Terman mengemukakan bahwa inteligensi adalah kemampuan

untuk berpikir abstrak.

Selanjutnya dijelaskan bahwa inteligensi merupakan suatu

kemampuan multiple diperkuat oleh pendapat Kail dan Pallegreno

(Stanrock and Yussen 1992) yang menegaskan bahwa inteligensi itu dapat

dijelaskan dengan terminologi pengetahuan dan penalaran. Sementara itu

Robert Sternberg (1982) mengemukakan bahwa pada prinsipnya ada tiga

karakteristik utama, yaitu kemampuan verbal, pemecahan masalah praktis,

dan kemampuan sosial. Adapun ahli lainnya yang tidak kalah populernya

yaitu howard Gardner. Gardner (1983) menegaskan bahwa inteligensi

seharusnya diefinisikan sebagai seperangkat kemampuan untuk

memperoses operasi yang memungkinkan individu mampu memecahkan

masalah, menciptakan produk, menemukan pengetahuan yang baru selama

kegiatan yang bermuatan nilai secara kultur. Oleh karena itu karakteristik

yang menggambarkan inteligensi, yaitu kemampuan di bidang linguistik,

logika matematik, musik, keruangan, kinestetik-motorik, interpersonal dan

intrapersonal.

Berdasarkan rumusan-rumusan tersebut diatas, maka dapatlah

dikemukakan bahwa secara umum kecerdasan (inteligensi) dapat

didefinisikan sebagai suatu konsep abstrak yang diukur secara tidak

langsung oleh para psikolog melalui tes inteligensi untuk mengestimasi

proses intelektual. Adapun komponen utama inteligensi, yaitu kemampuan

verbal, keterampilan pemecahan masalah, kemampuan belajar dan

Page 3: Cerdas&Kreatif

kemampuan beradaptasi dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari.

Inteligensi adalah kesanggupan mental untuk memahami, menganalisis

secara kritis cermat dan teliti , serta menghasilkan ide-ide baru secara

efektif dan efisien.

Laure E. Berk (1994) menegaskan bahwa karakteristik itu dapat

bervariasi antara satu kelompok dengan kelompok usia lainnya. Belian

mengutip Singler and Richards (1980) bahwa ada lima sifat yang berbeda

antara satu kelompok dengan usia lain tentang karakteristiknya.

b. Teori Kecerdasan

Untuk mendefinisikan hakekat inteligensi terdapat berbagai

perbedaan. Perbedaan ini terjadi disebabkan oleh perbedaan pengertian

dasar dalam memandang dan mengamati apa yang disebut perilaku

inteligen. Cara memandang ini disebut teori. Teori yang dipakai acuan

untuk mendefinisikan hakekat inteligensi (subino Hadisubroto, 1984 Moh.

Surya. 1979), yaitu meliputi teori keturunan lingkungan, epistimologis-

biologis, struktural, dan factorial.

1) Teori Keturunan lingkungan

Teori ini mempunyai tiga anak teori. Pertama, yang memandang

bahwa inteligensi lebih ditentukan oleh keturunan daripada oleh

lingkungan. Ada empat tokoh yang memperkuat anak teori ini, yaitu

Arthur R. Jensen (1969) yang menyimpulkan dari hasil penelitiannya

bahwa inteligensi itu lebih ditentukan oleh keturunan daripada

lingkungannya. Sir Cyril Burt (1955) memandang bahwa inteligensi itu

sebagai kemampuan berpikir umum yang dibawa sejak lahir, Woodrow

(Butcher, 1973) memandang bahwa inteligensi sebagai kapasitas

bawaan, dan tokoh terakhir adalah David Wechsler (1943) juga

memandang bahwa inteligensi itu sebagai kapasitas bawaan serta

Page 4: Cerdas&Kreatif

kapasitas yang bulat untuk bertindak secara terarah, berpikir rasional,

dan berhubungan dengan lingkungannya secara efektif.

Anak teori kedua, yang memandang inteligensi sebagai yang lebih

ditentukan oleh lingkungan daripada keturunan. Tokohnya adalah

Jerome S Kegan (1969) yang didasarkan pada pengamatannya terhadap

anak-anak kulit putih lapisan bawah dan menengah, sewaktu mereka

mengerjakan tes inteligensi. Kegan melihat bahwa anak-anak lapisan

bawah bekerja kurang baik apabila dibandingkan dengan anak-anak

lapisan menengah.

Anak teori ketiga, yang memandang inteligensi sebagai hasil antara

keturunan, lingkungan, dan interkasi antara keduanya. Berdasarkan

teori ini yang tokoh-tokohnya di antaranya Crow (1972), Hilgard

(1962), Ross (1974) dan Clark 1983 (conny Semiawan, 1986),

konsepsi-konsepsinya dapat dirumuskan bahwa perkembangan

intelektual merupakan hasil interaksi antara pola genetis dan pengaruh

lingkungan.

2) Teori Epistimologis biologis

Teori ini mempunyai dua anak teori. Anak teori pertama memandang

bahwa inteligensi sebagai kemampuan berpikir jernih, analitis, dan

komprehensip. Tokoh pertama ini yaitu Lewis M. Terman (Butcher,

1973) yang memandang bahwa inteligensi itu disarikan sebagai

kemampuan abstrak. tokoh kedua adalah G.D. Stoddard (1943) yang

menyatakan bahwa inteligensi itu merupakan kemampuan majemuk,

yakni kemampuan menyelesaikan tugas-tugas yang sulit , rumit,

abstrak, ekonomis, adaptif terhadap tujuan, berbobot sosial dan

orisinal, serta tetap memelihara kemampuan menyelesaikan tugas-tugas

seperti itu di dalam keadaan yang menuntut pemusatan energi dan

menahan gejolak-gejolak emosional. Tokoh ketiga adalah Henry E.

Page 5: Cerdas&Kreatif

Garret (1946) yang menyatakan bahwa inteligensi paling sedikit

sebagai kemampuan –kemampuan yang diperlukan untuk memecahkan

persoalan-persoalan yang menuntut pemahaman dan penggunaan

simbol-simbol, baik berupa kata-kata, angka-angka diagram-diagram,

persamaan-persamaan maupun rumus-rumus yang menyatakan gagasan-

gagasan dan hubungan berbagai hal dari yang sederhana sampai yang

sangat rumit.

Anak teori ketiga kedua, yang memandang inteligensi sebagai

kemampuan menyesuaikan diri terhadap situasi yang baru (biologis),

salah satu tokohnya adalah Jean Piaget (1956) yang menyatakan bahwa

inteligensi adalah kemampuan melakukan penyesuaian diri terhadap

lingkungan. Tokoh lainnya adalah Williem Ster yang berpendapat

bahwa inteligensi itu merupakan kemampuan personal untuk dapat

menghadapi tuntutan-tuntutan baru dengan menggunakan alat-alat

berpikir secara efisien.

3) Teori Struktural

Ada dua model teori struktural yang dapat dikemukakan yaitu model

struktural Guilford dan model facet Guttman. Model struktural

Guilford ini sering dikenal dengan sebutan The structure of intellect

(singkat SOI) yang mula-mula dikembangkan oleh Guilford tahun 1959

dan disempurnakan tahun 1966. dalam teori ini, ia membedakan

berpikir konvergentif dengan divergentif. Tes yang mengukur sisi

konvergentif menghendaki tes ini mencari satu jawaban betul atassuatu

persoalan sisi inilah yang oleh Guilford dinamakan kecerdasan.

Sedangkan tes yang mengukur sisi divergentif menghendaki tes ini

mencari sejumlah alternafi jawaban atas suatu persoalan dimaksudkan

untuk mengukur kemampuan berpikir divergentif atau yang sering

Page 6: Cerdas&Kreatif

disebut kreativitas. Guilford berpendapat bahwa inteligensi itu

dibangun atas tiga matras (domain) yaitu operasi, sisi dan hasil.

Guttman (Subino Hadisubroto, 1984) mengemukakan bahwa ia

sangat terkesan oleh kenyataan bahwa dengan pemilihan tes yang

cermat maka orang dapat memperoleh matriks korelasi antar tes yang

memiliki koefisien-koefisien korelasi sama pada dua belahan

geometrik yang dibelah oleh garis diagonal. Dengan menggunakan

prinsip-prinsip analisis matrik korelasi tersebut, Guttman

menyimpulkan bahwa ada tiga kategori tes inteligensi, yakni tes yang

disusun di dalam bentuk gambar-gambar, simbol-simbol, dan kata-kata

bermakna, menurut Guttman Model tersebut belum lengkap. Untuk

melengkapinya Guttman mengusulkan butir-butir soal analitis dan

prestasi belajar ke dalam tes inteligensi tersebut.

4) Teori Faktorial

Teori factorial mempunyai berbagai variasi, diantaranya teori satu

faktor Binet, teori dua faktor Spearmen, teori dua faktor Holzinger,

teori bertingkat Philip E. Vernon, tiga faktor Sternberg. Dan teori

tujuh faktor Gardner.

Teori satu faktor Binet berpendapat bahwa inteligensi itu terbangun

atas satu faktor saja, yaitu faktor “g” saja (Freeman, 1965) yang

dimaksudkan dengan faktor g di sini adalah faktor kemampuan umum

(general ability).

Teori dua faktor Spearman berpendapat bahwa inteligensi itu

terbangun atas dua faktor, yaitu faktor general ability (“g”) dan special

ability (“s”). teori dua faktor Helpzinger merupakan variasi dari teori

Spearman. Beliau berpendapat bahwa tes yang tidak memenuhi syarat

proporsionalitas tidak perlu dipandang sebagai penganggu dan harus

Page 7: Cerdas&Kreatif

dibuang dari baterai tes yang bersangkutan, sepanjang bagian-bagian

tes lainnya dari tes tersebut memiliki faktor kebersamaan yang sama.

Teori bertingkat Philip E. Vernon ini mirip dengan konsepsi

Spearman. Menurut Vernon (subino Hadisubroto, 1984) bahwa dibawah

faktor “g” itu terdapat dua faktor kelompok utama (major group

factors) yang masing-masingnya adalah faktor pendidikanverbal

(verbal educational faktors) dan faktor praktis (practical factors). Yang

pertama dibagi ke dalam dua faktor kelompok minor (minor-group

factors), yakni verbal dan numerical; sedangkan yang kedua dibagi

menjadi kemampuan keruangan (spatial ability), kemampuan manual

(manual ability), dan kemampuan mekanik (mechanical ability).

Masing-masing bagian tersebut dibagi lagi menjadi faktor-faktor

spesifik yang sangat besar jumlahnya dan mencakup lingkup yang

sangat khusus.

Teori tiga faktor Sternberg atau Sternberg's Triarchic Theory (Laura

E. Berk, 1994) dibangun melalui tiga sub-teori yang berinteraksi

secara fungsional, yaitu sub-teori komponensial, sub-teori

eksperiensial, dan sub-teori kontekstual. Teori ini menegaskan bahwa

keterampilan memproses informasi, pengalaman terdahulu yang

berkaitan dengan tugas, dan faktor-faktor kontekstual atau kultural itu

berinteraksi untuk menentukan perilaku yang inteligen. Sub-teori

pertama lebih mengekspresikan tentang metakognisi, aplikasi strategi,

dan pemerolehan pengetahuan. Sub-teori kedua menyatakan bahwa

individu yang berinteligensi tinggi dibandingkan dengan individu yang

berinteligensi rendah digambarkan pads kemampuan mengolah

informasi lebih terampil di dalam situasi yang barn, menyelesaikan

tugas baru relatif lebih cepat, dan mampu menyelesaikan tugas yang

lebih komplek dan cara yang lebih otomatis. Akhirnya, bahwa sub-teori

ketiga menjelaskan bahwa orang -orang yang inteligen itu lebih

terampil dalam mengadaptasikan (adapt ing) keterampilan memproses

Page 8: Cerdas&Kreatif

informasi dengan tuntutan pribadi dan tuntutan dari kehidupan sehari-

hari. Selanjutnya, ketika mereka itu tidak dapat mengadaptasikan

dengan situasi, mereka mencoba untuk membentuk (shaping) atau

mengubahnya, sehingga dapat memenuhi kebutuhan. Jika mereka tidak

dapat membentuknya, maka mereka menyeleksi (selecting) konteks-

konteks yang baru yang konsisten dengan tujuannya. Dengan kata lain,

sub-teori kontekstual menekankan bahwa perilaku inteligen itu tidak

pernah bebas budaya (cultural-free).

Teori inteligensi multipel Gardner atau Gardner's Theory of

Multiple intellingences mengidentifikasi tujuh kecerdasan yang

berbeda berdasarkan seperangkat processing operations yang

diterapkan dalam kegiatan-kegiatan yang bermakna secara kultural

(yaitu linguistik, logika matematik, musical, kinestatik, interpersonal,

dan intrapersonal). Kecerdasan linguistik (linguistic intelligence)

menggambarkan tentang sensitivitas terhadap suara, ritme, makna kata-

kata dan fungsi bahasa yang berbeda, misalnya: penyair dan jurnalis.

Kecerdasan logika matematik (Logico mathematical intelligence)

menunjukan tentang sensitivitas terhadap, dan kemampuan mendeteksi,

pola-pola logik atau numerical; kemampuan mengatasi rangkaian

panjang penalaran logik, misalnya ahli matematik dan saintis.

Kecerdasan musical (Musical Intelligence) yang menunjukan

kemampuan menghasilkan dan menghargai sentuhan, ritme (melodi),

dan bunyi suara estetik; kemampuan memahami bentuk-bentuk ekspresi

musik, misalnya : ahli biola, painis, dan pengarang lagu. Kecerdasan

spasial (spatial intelligence) menggambarkan kemampuan memahami

dunia ruang-visual secara tepat, menunjukkan transformasi persepsi-

persepsi ini, dan menciptakan kembali aspek-aspek pengalaman visual

ketika tidak rangsangan yang relevan, misalnya pematung dan pelaut.

Kecerdasan kinestetik (Bodily-kinesthic intelligence) yang

menunjukkan kemampuan untuk menggunakan tubuhnya secara

terampil untuk mengekspresikan sesuai dengan tujuan yang telah

Page 9: Cerdas&Kreatif

ditetapkan; kemampuan menangani obyek-obyek secara terampil,

misalnya penari dan atlit . Kecerdasan interpersonal (interpersonal

intelligence) menunjukan kemampuan mendeteksi dan merespon secara

tepat terhadap suasana, temperamen, motivasi dan maksud orang lain,

misalnya terapis dan penjaja. Akhirnya kecerdasan intrapersonal

(intrapersonal intelligence) menunjukan kemampuan

mendeskriminasikan perasaan dari dalam yang komplek dan

menggunakannya untuk membimbing perilakunya sendiri : pengetahuan

tentang kekuatan, kelemahan, keinginan dan kecerdasan sendiri,

misalnya orang yang teliti dan autodidak.

Berdasarkan deskripsi teori-teori tersebut di atas. Kirannya sulit

dikemukakan satu-satunya rumusan definisi kecerdasan (intelligensi)

yang tepat. Oleh karenanya rumusan definisi kecerdasan sangat

tergantung pada teori mana yang relevan untuk kepentingan apa.

c. Klasifikasi Kecerdasan

Secara konvensional klasifikasi kecerdasan dewasa ini masih

mengikuti klasifikasi yang dikembangkan oleh Binet dan Simon, di

antaranya: pertama, retardasi mental yang meliputi idiot dengan IQ 30 ke

bawah, embisil dengan IQ 31-50, debil dengan IQ 51-70; kedua, slow-

learner dengan IQ 71-90; ketiga, normal (rata-rata) dengan IQ 91-110;

keempat, rapid-learner dengan IQ III-130; dan kelima gifted dengan IQ

131 ke atas.

Perlu disadari bawah dewasa ini telah berkembang cara perhitungan

dan distribusi skor IQ, sehingga IQ dapat dibedakan antara skor IQ

tradisional dan skor IQ modern (Laura E. Berk, 1994). Pertama, bahwa

skor IW tradisional-sebagaimana yang dikembangkan oleh Stanford-Binet-

menjelaskan bahwa skor IQ itu diperoleh dengan mengkonversikan skor

mentah dengan usia mental age (MA) yang menunjukkan usia anak

berdasarkan skor yang diperoleh. Misalnya, jika skor mentah rata-rata

Page 10: Cerdas&Kreatif

anak usia 8 tahun itu 40, maka skor mentah 40 itu sama dengan usia

mental 8 tahun. Skor IQ dapat dihitung melalui membagi usia mental anak

dengan usia kronologis atau chronological age (CA) dan mengalikan

dengan 100:

Anak yang mendapat di atas IQ 100 menunjukan pada kelompok

anak yang berkecerdasan di atas rata-rata, sedangkan anak yang mendapat

skor dibawah IQ 100 menunjukan pada kelompok yang berkecerdasan

rendah.

Walaupun pendekatan usia mental memberikan suatu yang relatif

nyaman untuk membandingkan skor tes anak-anak, pendekatan ini

sebenarnya memiliki dua kelemahan. Pertama pendekatan ini mendorong

orang yang tidak familiar dengan dasar skor akan menyimpulkan bahwa

anak yang CA-nya 8 tahun dan MA-nya 12 tahun akan seperti anak yang

berusia 12 tahun dalam segala hal, padahal yang relatif sama kan

kemampuan akademiknya, sedangkan kemampuan sosial dipertanyakan.

Kedua, perkembangan intelektual pada anak yang lebih muda itu

cenderung lebih cepat daripada anak yang lebih tua. Perbedaan mental

pada anak yang berusia 2-3 tahun jauh lebih besar dari pada antara anak

usia 10-11 tahun, sedangkan IQ yang berdasarkan formula ini tidak

mendapat perhatian tersendiri.

Kedua, metode modern membedakan IQ secara langsung antara skor

mentah seorang anak dengan skor anak-anak lainnya yang berusia

kronologis sama. Ini dapat disebut juga Deviation IQ, karena IQ-nya

didasarkan pada penyimpangan tingkat kinerja anak dari rata-rata anak

yang seusia. Ketika tes disusun berdasarkan sampel individu yang

representatif. Kinerja setiap tingkat usia untuk sebagian besar skornya

jatuh mendekati pusat (rata-rata) clan semakin sedikit menuju ke ekstrim

kanan clan kiri, sehingga wujudnya seperti kurva normal. Dua hal yang

Page 11: Cerdas&Kreatif

penting dari kurva ini, yaitu rata-rata (mean) clan simpangan (deviation)

yang memberikan ukuran variabilitas skor dari rata-rata.

Sebagian besar tes mengkonversikan skor mentahnya pada rata-rata

100 dan SD-nya 15. Berdasarkan angka ini dapat ditemukan prosentasi

individu yang ada pada skor IQ tertentu. Anak yang ber-IQ 100 lebih baik

daripada 50% anak yang berusia sama. Sedangkan anak yang ber-IQ 115

berkedudukan lebih baik daripada 84% anak yang berusia sama. Metode

moderen ini dirancang untuk mengganti pendekatan MA, karena metode

ini memungkinkan dapat mengadakan perbandingan langsung kinerja anak

dengan sampel yang representatif dengan anak sebaya.

d. Faktor Kecerdasan dalam Belajar dan Perkembangan anak

Pada dasarnya kemampuan manusia dapat dibedakan atas

kemampuan intelektual clan non-intelektual. Demikian juga kemampuan

intelektual ada yang bersifat potensial dan aktual. Kemampuan intelektual

potensial dapat dipresentasikan dengan kecerdasan atau inteligensi,

sedangkan kemampuan intelektual aktual Bering digambarkan dengan

prestasi belajar. Bila ditelaah lebih jauh, prestasi belajar berkaitan erat

dengan kecerdasan (inteligensi), bahkan prestasi belajar sangat ditentukan

oleh faktor kecerdasan. Tylor (1974) menegaskan bahwa “ Intelligence

should not be defined as general learning ability, but it is clearly related

t school success and to the kinds of life achievement that are dependent on

schooling” (kecerdasan seharusnya tidak didefinisikan sebagai kemampuan

belajar umum, melainkan kecerdasan itu secara jelas berkaitan dengan

kebersihan sekolah dan berbagai jenis prestasi hidup yang tergantung pada

pendidikan).

Ada sejumlah hasil penelitian memperkuat pendapat tersebut di atas

Pertama, studi Lyn Lyn Michell dan R.D. Lambourne (Subino

Hadisubroto, 1984) menyimpulkan bahwa pertama, kelompok cerdas

Page 12: Cerdas&Kreatif

mampu bertahan berdiskusi lebih lama dengan kognitif lebih tinggi dan

mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lebih berbobot; kedua,

kelompok cerdas mampu mengemukakan gagasannya yang lebih tentative

dan lebih kaya; dan ketiga kelompok cerdas lebih mampu mencapai tingkat

pemahaman yang lebih rumit dan lebih kaya.

Kedua, Henderson dkk. (1976) melalui stdudinya berkesimpulan

bahwa kecerdasan berkorelasi positif dengan prestasi belajar. Demikian

juga entwiste dan Hayduk (1981:188) melaporkan bahwa inteligensi akan

berbentuk penampilan awal siswa dan selanjutnya akan menentukan

penampilan akademiknya.

Ketiga, korelasi antara hasil tes Wechler dengan prestasi siswa yang

dilakukan oleh Soedarsono (1985) pada siswa SD Negeri dan swasta di

Indonesia tahun 1984 dalam disertasinya dilaporkan bahwa koefisien

korelasi inteligensi dengan prestasi Bahasa Indonesia sebesar 0,518, IPS

sebesar 0,528, IPA sebesar 0,505, dan Matematika sebesar 0,587 yang

semuanya signifikan pada taraf signifikansi 0,001.

Keempat, studi yang dilakukan oleh Nason (Moh. Surya, 1979)

menemukan bahwa koefisien korelasi antara inteligensi dengan prestasi

belajar sebesar 0,34 untuk laki-laki dan 0,39 untuk perempuan.

Berdasarkan uraian tersebut di alas kiranya dapat ditegaskan lagi

bahwa faktor kecerdasan dapat berperan sebagai predikator yang berarti

terhadap belajar dan prestasi belajar anak. Mengapa demikian ? Laura E.

Berk (1994) menjelaskan bahwa pertama, bahwa IQ dan prestasi belajar

bergantung pada proses penalaran abstrak yang sama yang melandasi

faktor "g" Spearman. Seorang anak yang memiliki kemampuan "g" faktor

cenderung mampu secara lebih baik memperoleh pengetahuan dan

keterampilan yang diajarkan di sekolah.

Kedua, inteligensi dan prestasi diambil dari kutub yang sama dari

informasi spesifik secara kultural. Maksudnya bahwa tes inteligensi

Page 13: Cerdas&Kreatif

sebagiannya sama dengan tes prestasi, dan pengalaman masa lalu anak

mempengaruhi penampilannya pada kedua tes.

Walaupun IQ berkontribusi terhadap prestasi belajar, faktor

kecerdasan bukanlah satu-satunya faktor yang sangat menentukan

keberhasilan belajar anak, karena hubungan keduanya sangatlah komplek,

bahkan sangat ditentukan oleh berbagai faktor lainnya, misalnya motivasi

dan karakteristik kepribadiannya.

Selanjutnya sebagaimana dengan perkembangan kecerdasan anak?

Kiranya tidaklah dapat diragukan bahwa intervensi sejak dini (baik

dilingkungan keluarga maupun di sekolah) memiliki sumbangan yang

berarti bagi perkembangan kecerdasan anak. Laure E. Beck (1994)

mengemukakan dua hasil studi yang memberikan dukungan terhadap

pentingnya intervensi dini Pertama, bahwa proyek Head Start memiliki

pengaruh yang minimal terhadap kecerdasan anak dan prestasi belajarnya.

Dinyatakan bahwa ketidakefektifan proyek ini disebabkan oleh

kekurangtepatan penyusunan program pada subyek kontrol dan perlakuan.

Perlu diketahui bahwa subyek studi dalam proyek ini berasal dari keluarga

yang berekonomi rendah. Sementara itu melalui temuan Jensen (1969)

dinyatakan bahwa tingkat kecerdasan anak yang rendah pada keluarga

miskin sebagian besar dipengaruhi oleh keturunan dan sangat sulit untuk

tumbuh.

Kedua, studi yang bersifat longitudinal yang dikoordinasikan oleh

konsorsium. Hasil studi menunjukan bahwa anak-anak yang mendapatkan

perlakuan cenderung menunjukan skor IQ dan prestasi belajar lebih tinggi

daripada kelompok kontrol dini pada dua sampai tiga tahun pertama di SD.

Setelah itu, perbedaan skor tes menurun. Walaupun demikian, anak-anak

yang mendapatkan intervensi tetap akan mengalami kemajuan ketika

berada di sekolah hingga mencapai dewasa. Stephen Ceci (1990, 1991)

menegaskan bahwa kehadiran anak di sekolah secara tidak teratur

menimbulkan pengaruh yang lebih besar IQ. Sebaliknya anak yang

Page 14: Cerdas&Kreatif

mendapat perlakuan di sekolah lebih teratur, maka akan mendapatkan

kenaikan poin dari 10 hingga 30. Demikian juga halnya anak yang

memasuki sekolah lebih lambat, maka tingkat kecerdasannya akan turun

sekitar 7 poin.

Bertitik tolak dari kondisi tersebut, Cecci (1991) menegaskan bahwa

sekolah dapat berpengaruh positif terhadap tingkat kecerdasan, paling

tidak melalui tiga cara, yaitu mengajar anak tentang pengetahuan faktual

sesuai dengan pertanyaan yang diujikan-, mempromosikan keterampilan

memproses informasi, seperti strategi mengingat dan kategorisasi melalui

item-item tes; dan mendorong sikap dan nilai yang mampu memelihara

kinerja dalam menyelesaikan ujian secara-sukses, seperti mendengarkan

dengan sungguhsungguh pertanyaan orang dewasa (guru), menjawab

dengan ketentuan waktu, dan mencoba bekerja keras.

2. Pengertian, teori, dan perkembangan Kreativitas

a. Pengertian Kreativitas

Kreativitas pada dasarnya merupakan suatu istilah yang mudah

diucapkan dan sulit didefinisikan secara pasti, sehingga merupakan istilah

yang ambigius. Lebih ambigius lagi ketika istilah ini digunakan oleh

orang awam, karma setup yang aneh dan unik itu kreatif, walaupun sesuatu

itu tidak bermanfaat bagi orang lain. Para ahli sebenarnya telah

mengembangkan pengertian kreativitas dalam bentuk pengertian populer

dan makna psikologis (Hurlock, 1978).

Ada beberapa makan populer kreativitas, diantaranya: Pertama ,

kreativitas menekankan pada upaya membuat sesuatu yang baru dan

berbeda kedua, kreativitas menganggap bahwa sesuatu yang baru dan asli

itu terjadi karena kebetulan, misalnya ketika anak kecil menumpuk batu

dan berbentuk rumah akhirnya bangunan itu disebut rumah. Ketiga,

Page 15: Cerdas&Kreatif

kreativitas dapat dipahami sebagai apa saja yang telah tercipta sebagai

sesuatu yang baru dan berbeda dari apa yang telah ada sebelumnya.

Keempat, kreativitas itu merupakan suatu proses unik – suatu proses yang

diperlukan tidak untuk tujuan yang lain, kecuali untuk menghasilkan

sesuatu yang baru, berbeda dan asli. Kreativitas menuntut jenis berpikir

yang unik dan divergen.

Kelima, kreativitas sering dianggap sama dengan inteligensi atau

kecerdasan yang tinggi. Orang yang ber-IQ yang sangat tinggi itu disebut

genius dan orang awam sering mengatakan bahwa orang jenius disebut

sebagai orang kreatif, walaupun sedikit bukti bahwa orang yang ber-IQ

tinggi itu juga memiliki kreativitas yang tinggi, keenam, kreativitas itu

merupakan kemampuan bawaan yang tidak ada hubungannya dengan

belajar atau pengaruh lingkungan. Ke tujuh, kreativitas dianggap sebagai

sinonim dengan imaginasi dan fantasi seperti suatu bentuk permainan

mental. Gardner mengatakan bahwa kreativitas merupakan suatu aktivitas

otak yang terorganisasikan, komprehensif, dan imaginatif tinggi untuk

menghasilkan sesuatu yang orisinil. Oleh karenanya kreativitas lebih dapat

dikatakan sebagai suatu yang lebih inovatif. Daripada reproduktif semua

(orang dapat dikelompokkan secara garis besar menjadi dua kelompok,

yaitu "(conformer" dan "creator". Conformer diharapkan kedatangannya di

tengah-tengah orang lain tidak akan mengganggunya atau menyebabkan

masalah, namun creator diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa

ide-ide yang orisinil, pendapat yang berbeda, atau cara-cara baru dalam

menghadapi dan memecahkan masalah.

Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk

berpikir tentang sesuatu dengan suatu cara yang baru dan tidak-biasa

(unusual) dan menghasilkan penyelesaian yang unik terhadap berbagai

persoalan.

Selain dari apa yang telah disebutkan di atas, maka untuk

memahami pengertian kreativitas, maka Rhodes (Munandar, 1977)

Page 16: Cerdas&Kreatif

mengemukakan bahwa ada beberapa tinjauan yang harus dikaji. Adapun

definisi kreativitas itu dapat dikaji melalui the Four P's of Creativity

(Person, Product, Process, and Press).

Kreativitas sebagai pribadi (person), kreativitas itu mencerminkan

keunikan individu dalam pikiran-pikiran dan ungkapan-ungkapan. Hal ini

dipertegas oleh Paul Swartz (1963) bahwa kreativitas merupakan ekspresi

tertinggi individualitas manusia.

Kreativitas sebagai produk (product), suatu karya dapat dikatakan

kreatif, j ika karya itu merupakan suatu ciptaan yang baru atau orisinil dan

bermakna bagi individu dan/atau lingkungan. Lebih jauh diungkapkan oleh

John A Glover (1980) bahwa ada tempat pemberangkatan yang terbaik,

yaitu kriteria yang dianggap cukup representatif oleh sebagian besar para

ahli psikologi dalam mendefinisikan kreativitas. Kriteria yang

dimaksudkan adalah sifat kebiruan (novelty) dan kegunaan (utility).

Kreativitas sebagai proses (process), yaitu bersibuk diri secara

kreatif yang menunjukan kelancaran, fleksibilitas, dan orisinalitas dalam

berpikir. Para ahli yang merumuskan definisi kreativitas berdasarkan

proses, yaitu Spearman (1930)dan Torrance (1974). Spearman (munandar,

1977) berpendapat bahwa berpikir kreatif pada dasarnya merupakan proses

melihat atau menciptakan hubungan antara proses sadar dan di bawah

sadar. Sementara E. Paul Torrance (1974) mendefinisikannya sebagai

berikut:

Creativity, as a process of becoming sensitive to problems,

deficiencies, gaps in knowledge, nissing elements, disharmonies, and so

on ; identifying the difficulty; searching for solutions, making guesses, or

formulating hypotheses about the deficiences, testing and retesting these

hypotheses and possibility modifying and rtesting the; and finally

communicating the results .

Page 17: Cerdas&Kreatif

Kreativitas sebagai press, menurut bahasa MacKinnon (roslnaksky

1970)- the creative situation, yaitu kondisi dari dalam atau luar, lebih

kongkritnya situasi kehidupan atau lingkungan sosial, kultural, dan kerja

yang memberikan kemudahan dan mendorong penampilan pikiran dan

tindakan kreatif.

Akhirnya secara komprehensif kreativitas dapat diartikan sebagai

kemampuan berpikir, bersikap, dan bertindak tentang sesuatu dengan cara

yang baru dan tidak biasa (unusual) guna memecahkan berbagai persoalan,

sehingga dapat menghasilkan penyelesaian yang orisinil dan bermanfaat.

b. Teori Kreativitas

Keragaman definisi kreativitas yang ada erat sekali kaitannya

dengan keragaman teori yang mendasarinya. Disadari bahwa tidak ada satu

pun definisi yang sempurna, karena sejauh ini belum ada teori yang

dianggap paling komprehensif dan sempurna yang dapat menjelaskan

hakekat kreativitas. Pernyataan ini dikuatkan oleh Donald J. Treffinger

(1980) “…….. none of these theories could be considered to provide a

comprehensive and completely persuasive theoretical explanation of

creativity”

Para teoretisi kreativitas yang telah berjasa merumuskan teori

kreativitas, di antaranya: Mackler dan Shontz (Kintz & Bruning, 1970)

dan Getzels dan Jackson (1962), Kneller (1965), Rowston (1972), Gowan

(1972) sebagaimana yang diungkapkan oleh Treffinger (1980) dan Clark

(1983). Teori-teori ini pada umumnya memberikan kerangka umum dalam

mengklasifikasikan berbagai teori secara lugs ke dalam, kelompok

kategori berdasarkan pandangan psikologis perilaku manusia.

Mackler dan Shontz (Kintz dan Bruning, 1970) mengemukakan

bahwa dalam studi kreativitas ada enam teori pokok, yaitu: teori

psikoanalitik assosiasionistik, gestalt, eksistensial, interpersonal, dan

trait.

Page 18: Cerdas&Kreatif

1) Teori Psikoanalisis

Tulisan frued diawali dengan minat psikoanalitik terhadap

kreativitas artistik. Yang dilanjutkan dengan studi, sehingga mulai

studi ini dikembangkan konsep subliamsi. Kemampuan sublimasi

merupakan kemampuan menukarkan tujuan seksual asli untuk tujuan

lain. Perbedaan individu bisa terjadi karena kekuatan instink seksual

dan kemampuan sublimasi.

Freud merasa bahwa ada tiga alat untuk mengadaptasi kesukaran

hidup, yaitu : peralihan minat yang sangat kuat, gratifikasi substantive

dan substantsi yang memabukkan. Kreativitas dipandang sebagai

penganti, yaitu alat yang dapat melepaskan dari kesukaran, sehingga

dapat mencapai berbagai tingkat kepuasan dalam waktu yang terbatas

individu kreatif adalah individu yang lari dari kenyataan, karena dia

dapat memenuhi tuntutannya untuk meninggalkan kepuasan instintif,

kemudian dia kembali menuju dunia fantasi di mana dia dapat

memuaskan keinginannya yang erotik dan ambisius. Akhirnya feud

memperluas konsep sublimasinya dari individu kreatif menuju kultural,

karena beliau melihat bahwa sublimasi instink merupakan suatu ciri

perubahan kultural yang penting.

2) Teori Assosiasionistik

Ribot (1960) adalah pelopor assosiasionist modern yang berkenaan

dengan kreativitas. Assosiasi adalah proses keadaan mental yang

menyatu, sehingga suatu proses cenderung dapat menimbulkan proses

lainnya. Sejalan dengan assosiasi, berpikir analogic merupakan hat

yang penting dalam proses kreatif. Aspek kreatif intelektual terdiri dari

proses yang Baling melengkapi, yaitu assosiasi dan dissosiasi. Teori

assosiasionistik berkenaan dengan kemampuan berpikir secara

Page 19: Cerdas&Kreatif

produktif dan menggunakan sejumlah ikatan assosiatif yang ada pada

diri individu.

3) Teori Gestalt

Wertheimer (1945) menunjukkan kesannya bahwa ada dua

pendekatan dalam memahami masalah berpikir kreatif dan produktif,

yaitu teori logika tradisional dan assosiatif. Dia melancarkan kritik

bahwa kedua teori itu gagal bertindak adil dalam menjelaskan

fenomena dan kedua pandangan itu nampak sempit dan terbatas. Di sisi

lain, dia menawarkan suatu teori Gestalt yang mampu meningkatkan

pengertian, pertanyaan kembali, dan pengkajian terhadap proses

berpikir

4) Teori Eksistensial

Eksistensialisme merupakan suatu teori yang hampir sama dengan

teori Gestalt. Kedua teori mencoba menjelaskan pribadi kreatif sendiri

dalam momen-momen kreatifnya. Teori ini dipelopori oleh R. May

(1950).

May melancarkan kritik terhadap pendekatan psikoanalitik dengan

konsepnya regression in the service of the ego. Seperti teori Gestalt,

teori eksistensial tidak mencoba mengurangi keseluruhan menjadi

segmen-segmen dan menjelaskan proses secara keseluruhan. Kalau

teori Gestalt memberikan konsep kekuatan medan, struktur, Gestalt,

dan vector maka teori eksistensial hanya memberikan satu konsep,

yaitu encounter. Dengan demikian kreativitas dapat didefinisikan oleh

May (1959) sebagai “… the process of briging something new into

birth through the vehicle of the encounter”. Berdasarkan perkembangan

konsepnya, akhirnya May (1959) menyimpulkan pendapatnya bahwa

Page 20: Cerdas&Kreatif

“… creativity is the encounter of the intensely dedicated, conscious

human being with his world”

5) Teori Interpersonal

Pendekatan interpersonal terhadap kreativitas menekankan pada

creator sebagai inovator dan orang lain yang mengenal atau mengakui

kreasinya. Teori ini memandang penting arti nilai dalam karya kreatif.

Karena nilai mengimplikasikan pengakuan dan kontrol sosial.

Selanjutnya seseorang hendaknya mengasumsikan bahwa dunia ini

terdiri dari pribadi-pribadi dan / atau benda-benda yang dipertemukan

oleh pencipta (creator) secara intensif.

6) Teori Trait

Teori trait berbeda sekali dengan kelima teori sebelumnya. Trait

merupakan karakteristik individu dan dapat diteliti melalui suatu

pendekatan yang menekankan pada perbedaan individual. Trait

merupakan cara yang dibedakan dan relatif abadi dalam hal mana setiap

individu akan berbeda dengan lainnya.

Guilford (1959) menjelaskan bahwa traits yang utama berkaitan

dengan kreativitas. Traits itu diantaranya : sensitivitas terhadap

masalah, kelancaran berpikir, keluwesan berpikir, orisinalitas berpikir,

redefinisi, dan elaborasi semantik. Aptitude traits ini ditemukan

melalui analisa faktor. Guilford juga menegaskan bahwa non-aptitude

traits itu mencakup motivasi dan temperamen.

Teori kreativitas selanjutnya diketengahkan oleh Gowan (1972).

Gowan (Treffinger, 1980) mengelompok.kan ke lima kategori dalam

Page 21: Cerdas&Kreatif

memilahkan setiap kategori menjadi beberapa sub kategori. Kelima

kategori itu di antaranya pertama, kognitif, rasional, dan semantik yang

mencakup problem solving, kemampuan kognitif, dan assosiatif. .

Kedua, faktor-faktor kepribadian dan lingkungan yang mencakup trait

dan larakteristik kepribadian, kebiasaan orang tua dan setting sosial-

kultural, dan trans aktualisasi. Ketiga, kesehatan mental dan

penyesuaian psikologis yang mencakup aktualisasi diri - realisasi diri -

pertumbuhan psikologis dan mekanisme pertumbuhan biologis dan

pribadi. Keempat, psikoanalitik dan psikodinamik yang mencakup

Feudian yang menekankan pads konflik dan sublimasi, yang

menekankan pads kegiatan regresi dan di bawah sadar serta dinamika

perseptual. Terakhir, psikodelik yang menekankan pads aspek

eksistensial dan non-rasional, juga mengubah keadaan kesadaran

melalui obat dan tanpa obat.

Yang terakhir teori kreativitas Barbara Clark (1993) memandang

bahwa untuk mengetahui hakekat kreativitas dapat dilihat fungsi kedua

belahan otak, yaitu fungsi otak belahan kiri (left-hemisphere) dan

belahan kanan (right hemisphere). Fungsi otak belahan kiri seperti

berpikir matematis, analitik, komperatif, relasional, linier, logis, dan

ilmiah. Sementara fungi otak belahan meliputi berpikir inventif,

intutif, holistic, integratif. Gestalt, kreatif, dan imaginatif.

c. Perkembangan kreativitas anak

Hurlock (1978) menegaskan bahwa hasil sejumlah studi kreativitas

menunjukan bahwa perkembangan kreativitas mengikuti suatu pola yang

dapat diramalkan. Ada sejumlah variasi di dalam pola ini. Demikian juga

ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap variasi–variasi tersebut, di

antaranya: jenis kelamin, status sosio-ekonomik, posisi urutan kelahiran,

ukuran besar anggota keluarga, lingkungan kota versus desa, dan

Page 22: Cerdas&Kreatif

intelignesi Pertama, anak-anak lelaki menunjukan kreativitas yang lebih

tinggi daripada anak perempuan, terutama di masa-masa perkembangan. Di

sebagian masyarakat, anak lelaki mendapat perlakuan yang berbeda dari

anak perempuan.Anak lelaki mendapat kesempatan yang lebih banyak

daripada anak perempuan untuk hidup mandiri, lebih mendapat

kesempatan untuk menghadapi resiko, mendapat kesempatan dari orang tua

dan guru untuk berinisiatif dan menampilkan keasliannya.

Kedua, anak-anak yang berlatar belakang sosio-ekonomis lebih

tinggi cenderung lebih kreatif dari pada anak-anak yang berlatar belakang

rendah Kelompok pertama diduga mendapatkan perlakukan orangtua yang

lehill demokratis, sementara kelompok keduanya lebih banyak mendapat

pcdaktian otoriter. Kontrol orangtua yang demokratis dapat memelihara

kenianiptian kreatif dengan memberikan kesempatan yang lebih banyak

kepada anak, untuk mengekspresikan individualitasnya dan mengejar

minas dan aktivitas menurut pilihannya sendiri. Yang lebih penting lagi

anak-anak yang berlatar belakang ekonomi tinggi mendapat kesempatan

yang lebih banyak untuk mengakses pengetahuan dan pengalaman yang

diperlukan untuk pengembangan kreativitas, misalnya ke tempat-tempat

rekreasi, tempat-tempat penting, dan pusat-pusat informasi yang dapat

mendorong anak untuk berimaginasi serta berpikir dan bertindak secara:

kreatif.

Ketiga, bahwa anak posisi kelahiran berbeda menunjukkan tingkat

kreativitas yang berbeda. Pernyataan ini memiliki implikasi bahwa

lingkungan memiliki kedudukan yang lebih penting daripada keturunan.

Anak tengah dan anak bungsu memungkinkan lebih kreatif daripada anak

sulung. Anak sulung cenderung mendapat tekanan yang lebih besar untuk

memenuhi harapan orangtua daripada anak berikutnya, sehingga mereka

lebih dikehendaki sebagai konformis daripada pencetus ide.

Keempat, anak-anak dari keluarga kecil cenderung lebih kreatif

daripada anak-anak dari keluarga besar. Hal ini disebabkan oleh

Page 23: Cerdas&Kreatif

pengasuhan dalam keluarga besar menuntut sikap yang lebih otoriter guna

dapat mengendalikan anak yang banyak itu. Perlakuan yang otoriter

cenderung menghambat perkembangan kreativitas. Sebaliknya anak dari

keluarga kecil cenderung mendapatkan lebih banyak perlakuan yang

demokratis. Sikap tersebut memungkinkan dapat mendukung terciptanya

suasana dan sikap yang favorable untuk pengembangan kreativitas.

Kelima , anak-anak dari lingkungan kota cenderung lebih kreatif

daripada anak-anak dari lingkungan desa, karena yang pertama lebih

banyak mendapatkan lingkungan yang lebih memberikan stimulasi dalam

pengembangan kreativitas. Di kota-kota banyak tempat-tempat, obyek-

obyek, benda-benda, dan tantangan-tantangan yang mengundang setiap

untuk mengembangkan kemampuan kreatif. Stmulan-stimulan ini

mendorong dan mendukung peningkatan kreativitas anak-anak kota, yang

pada kenyataannya mereka akhirnya memiliki kreativitas yang lebih tinggi

dari pada anak desa.

Terakhir . Untuk anak yang seusia, anak-anak yang cerdas

menunjukan kemampuan kreatif yang lebih daripada anak-anak yang

kurang cerdas. Yang pertama cenderung memiliki ide-ide yang lebih baru

dalam mengatasi situasi konflik sosial dan mampu merumuskan lebih

banyak alternatif pemecahan terhadap konflik-konflik itu. Oleh karenanya,

cukup beralasan bahwa anak-anak yang cerdas pada akhirnya lebih pantas

dipilih sebagai pemimpin daripada anak-anak yang seusianya.

Selain daripada beberapa faktor yang kontributif bagi variabilitas

kreativitas itu dapat nampak pada usia dini ketika anak itu sibuk dalam

kegiatan permainan. Secara berangsur-angsur kreativitas anak dapat

dilihat dalam berbagai aspek kehidupan, misalnya dalam kegiatan di

sekolah, kegiatan rekreasi dan aktivitas kerjannya.

Karya-karya kreatif yang produktif umumnya mencapai puncak pada

usia tigapuluh sampai empatpuluh, dan setelah itu cenderung mengalami

Page 24: Cerdas&Kreatif

stagnan dan bahkan secara berangsur-angsur mengalami penurunan.

Lehman menegaskan bahwa pencapaian prestasi kreativitas yang dicapai

pada usia lebih awal sangat besar dipengaruhi oleh faktor lingkungan,

sebaliknya tidak ada bukti yang cukup untuk meyakinkan bahwa

penurunan kreativitas itu akibat dari keterbatasan keturunan.

Bertitik tolak dari apa yang telah tersebutkan di alas, kiranya faktor

eksternal memiliki sumbangan yang cukup, berarti bagi peningkatan dan

penurunan kreativitas, individu. Spock Huflock,

1982).,menekankan,betapa pentingnya sikap orangtua pada usia dini. bagi

pengembangan kreativitas anak. Demikian jugs halnya sikap guru balk

di .Taman Kanak-Kanak dan SD mempunyai nilai penting bagi

perkembangan dan penurunan potensi kreativitas anak didik.

Arasteh (Hurlock, 1982) mencoba untuk mengidentifikasi sejumlah

usia kritis bagi perkembangan kreativitas pada usia anak-anak. Pertama,

pada usia 5-6 tahun ketika anak-anak slap memasuki sekolah, maka belajar

bahwa mereka harus menerima otoritas dan konformis dengan aturan dan

tata tertib yang dibuat orang dewasa (orangtua dan guru). Semakin kaku

dalam menerapkan otoritas, maka semakin besar kemungkinan dapat

mengganggu perkembangan kreativitas. Pada usia ini seyogyanya orangtua

dan guru mampu memperlakukan peraturan yang ada dengan disertai

berbagai penjelasan yang dapat memberikan pemahaman kepada anak,

sehingga anak dalam mengikuti aturan tidak merasa tertekan. Demikian

juga aturan yang ada hendaknya dirumuskan dan dipraktekkan secara

fleksibel. Tidak kaku. Tentu saja penerapan aturannya masih tetap

memegang prinsip, sehingga tujuan peraturan atau tata tertib dibuat dapat

dicapai dengan baik.

Kedua, usia 8 sampai 10 tahun ketika keinginan anak untuk diterima

sebagai anggota gang mencapai puncaknya. Sebagian besar anak-anak

pada usia ini merasa bahwa untuk dapat diterima di dalam gang, mereka

harus konformis sedekat mungkin dengan pola-pola perilaku yang telah

Page 25: Cerdas&Kreatif

disepakati dengan gang-nya dan siapa saja yang berani menyimpang,

mereka akan ditolak kehadirannya di dalam gang. Dalam suasana yang

demikian anak-anak usia ini dikondisikan untuk terbiasa berpikir dan

bertindak secara konformis, mereka cenderung tidak berniat mengambil

resiko untuk berbeda pendapat. Sekiranya dikembangkan kegiatan-

kegiatan di sekolah yang menuntut pikiran, sikap, dan tindakan yang

divergen, maka mereka tidak selalu meresponnya dengan sikap positif,

karena mereka belum dan tidak terbiasa mengambil resiko dalam

menghadapi perbedaan. Ditambah lagi, mereka sering dituntut dalam

berbagi kegiatan disekolah lebih banyak sikap konformis daripada sikap

divergen,

d. Faktor kreativitas dan pengembangannya dalam KBM

Bila didasarkan konsep Guliford melalui struktur intelektual, maka

antara kreativitas (dalam hal ini berpikir kreatif) dan hasil belajar berada

pada posisi yang bersebrangan. Di satu pihak kreativitas ditopang oleh

aspek berpikir divergen yang dicirikan dengan kemampuan

memproduksikan sejumlah besar kemungkinan pemecahan terhadap suatu

masalah, di pihakkk lain hasil belajar dewasa ini cenderung dilandasi oleh

aspek berpikir konvergen yang menuntut sikap konfirmis.

Uraian tersebut di atas diperkuat dengan pernyataan Blackhurst dan

dengan Berdine (1981), yaitu "Divergent thinking is characterized by

ability to produce a large number of possible solution to a problem .. .",

dan Hurlock (1978) menyatakan bahwa :

. . . . divergent productions and transformations, thinking different

directions, sometime searcing, sometime seeking variety as apposed to the

convergent function, using information is a way that leads to one right

answer or to a recognized best or conventional answer.

Page 26: Cerdas&Kreatif

Berdasarkan hasil penelitian (survai) yang dilakukan oleh Badan

Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana

yang dinyatakan oleh S.C. Utami Munandar (Balitbangdikbud, 1982):

Pengajaran di SD dan SM semata-mata menekankan pada

penampilan rutin dan hapalan, yang kurang relevansinya dengan

masyarakat. Anak kurang dilatih untuk memikirkan apa yang telah

diperoleh. Anak-anak tidak didorong untuk yang mengajukan pertanyaan

untuk menggunakan daya imajinasinya, untuk mengemukakan masalah-

masalah sendiri, untuk penyelesaian terhadap masalah yang non-rutin, atau

tidak menunjukkan inisiatif.

Manakala hingga saat ini, sistem pembelajaran di Indonesia tetap

seperti tersebut diatas, maka keberadaan pengembangan kreativitas tidak

akan berarti banyak dalam membantu siswa dalam meraih keberhasilan

akademik di sekolah.

Adalah disadari bahwa kondisi obyektif di sekolah dewasa ini

nampak belum menunjukan perubahan yang berarti , kendatipun sejak

tahun 80-an telah dikembangkan pendekatan roses dan CBSA yang

menuntut siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran. Padahal semua

orang tidak meragukan pentingnya kreativitas bagi anak didik baik untuk

menghadapi tuntutan globalisasi yang sarat dengan berbagai persoalan

yang sangat komplek. Untuk dapat survival dalam era tersebut, setiap

individu sungguh merasa perlu memiliki kemampuan berpikir dan

bertindak kreatif untuk dapat menyelesaikan persoalan kehidupan yang

komplek.

Menyadari akan posisi strategi kreativitas dalam kehidupan anak,

maka selanjutnya kirannya perlu dikemukakan berbagai upaya yang dapat

memelihara dan mendukung pengembangan kreativitas. Hurlock (1982)

menyatakan bahwa beberapa orang memang percaya bahwa kreativitas

dapat berkembang secara otomatis, bahkan tidak perlu rangsangan

Page 27: Cerdas&Kreatif

lingkungan atau kondisi lingkungan yang favorable. Namun sebagian besar

meyakini (treffinger. 1980) bahwa semua anak memiliki potensi

kreativitas. Walaupun kemampuan berbeda tingkat kualitasnya. Seperti

juga kemampuan potensial lainnya, kemampuan ini dapat berkembang

secara optimal. Apabila diberikan perlakuan yang sesuai. Berkenaan

dengan ini ada dua kondisi penting yang perlu diperhatikan.

Pertama, sikap sosial yang t idak menyenangkan, sehingga

menghalangi perkembangan kreativitas harus dikurangi dan dihilangkan.

Perlakuan-perlakuan yang perlu ditiadakan di antaranya mendorong anak-

anak untuk berbuat sama dengan anak yang lainnya yang sebaya secara

berlebihan, memaksa anak mengikuti kemauan orangtua padahal anak

tidak sepenuhnya sejalan dengan pikiran orangtua.

Kedua, menciptakan kondisi-kondisi yang menyenangkan bagi

pengembangan kreativitas anak sejak usia dini dalam kehidupannya,

hingga mereka mencapai usia-usia puncak perkembangan. Apabila anak-

anak mendapatkan iklim lingkungan baik fisik maupun sosial yang

menyenangkan, maka kreativitas anak dapat mencapai perkembangan yang

menggembirakan. Ada sejumlah kondisi yang dapat memelihara dan

mengembangkan kreativitas, yaitu: waktu, kesunyian (solitude), dorongan

(encoragement), material, l ingkungan yang stimulating, hubungan

orangtua anak yang tidak posesif, teknik pengasuhan, dan kesempatan

mendapatkan pengetahuan. Pertama, untuk menjadi kreatif, anak-anak

harus memanfaatkan waktu senggang seoptimal mungkin untuk bermain

dengan ide dan konsep serta mencobanya untuk membuat bentuk

permainan barn dan asli. Kedua, anak-anak harus dibebaskan dari tekanan-

tekanan kelompok sosial yang mengganggu pengembangan kreatifnya.

Solitude sangat diperlukan untuk mengembangkan suatu kehidupan yang

imaginatif.

Ketiga, kendatipun anak berada di jauh dari prestasi sebagaimana

yang distandarkan orang dewasa, anak-anak harus tetap didorong untuk

Page 28: Cerdas&Kreatif

kreatif dan bebas dari kritik-kritik yang merugikan anak. Keempat, bahan-

bahan dan materi-materi yang diberikan kepadanya hendaknya mampu

memberikan stimulasi anak untuk melakukan eksperimen dan ekspolarsi

yang memungkinkan dapat mengembangkan kreativitasnya.

Kelima, lingkungan keluarga dan sekolah seyogayanya mampu

menstimulasi kreativitas anak dengan memberikan bimbingan dan

dorongan untuk menggunakan bahan-bahan yang tersedia yang pada

akhirnya dapat mendorong kreativitas anak. Kondisi ini sebaiknya dapat

dilakukan sedini mungkin yang dilanjutkan pada usia-usia sekolah dengan

tetap membuat kreativitas sebagai pengalaman yang menyenangkan dan

mendorong kehidupan sosial anak.

Keenam, orangtua yang merasa tidak terlalu memiliki dan

melindungi anak cenderung dapat mendorong anaknya untuk lebih mandiri

dan percaya diri dua kondisi yang kualitas ini sungguh memiliki

kontribusi yang sangat bermakna bagi kreativitas anak.

Ketujuh, pengasuhan anak yang demokratik dan permisif di dalam

keluarga dan sekolah dengan dihindarkannya pengasuh yang otoriter

cenderung dapat memelihara dan mengembangkan potensi kreatif anak.

Akhirnya, kreativitas tidak akan pernah berkembang dalam suasana yang

vakum. Artinya bahwa semakin banyak pengetahuan yang didapatkan anak

–anak, maka semakin baik fundasi yang dimiliki anak untuk membangun

kreativitas. Dengan kata lain, anak baru dapat berfantasi secara produktif,

manakala anak menguasai substansinya terlebih dahulu.

Selanjutnya, bagaimana dengan pengembangan KBM sehingga

mampu mengembangkan potensi kreativitas anak. Ketika siswa masih

berada pada level yang bawah, seharusnya mulai mengkondisikan dirinya

untuk meningkatkan kemampuan kreatifnya tanpa harus menunda-

nundanya. Oleh karenanya guru dituntut bertanggung jawab untuk menjadi

fasilitator dan pembimbing dalam mengajar dan memanaj kelas. Berikut

Page 29: Cerdas&Kreatif

ini Donald J. Treffinger (1980) mengemukakan sejumlah pengalaman

belajar yang dapat dikembangkan oleh guru, agar memiliki kekuatan untuk

mengembangkan kreativitas anak. Pertama, menciptakan tugas yang

dikehendaki anak-anak, sehingga memungkinkan anak-anak mampu

menunjukkan keterlibatan personal yang tinggi. Apabila mereka merasa

terlibat dalam penciptaan tugas itu, kiranya mereka dapat

menyelesaikannya dengan penuh antusiasme.

Kedua, kegiatan pembelajaran hendaknya dilandasi oleh rasa ingin

tahu siswa (curiosity), oleh karenanya dalam mengembangkan segala

pengalaman belajar hendaknya didasarkan pada minas dan kepedulian

anak, lebih konkritnya hendaknya lebih dilandasi dengan motif intinsik

anak.

Ketiga, penciptaan proses pembelajaran hendaknya memungkinkan

anak-anak dapat mengembangkan sensitivitasnya terhadap berbagai

masalah dan tantangan. Dalam kondisi demikian, kemampuan melakukan

diagnosis perlu dikembangkan.

Keempat, kegiatan pembelajaran yang perlu ditegakkan adalah

pengalaman belajar yang memberikan kelonggaran bagi anak untuk

melakukan elaborasi dalam berpikir dan pengembangan kemampuan

berpikir divergen, sehingga anak-anak tidak terbiasa dihadapkan pada

suatu jawaban benar setiap menjumpai persoalan, melainkan mereka akan

terkondisikan dalam kehidupan yang selalu mempertimbangkan berbagai

ide yang berbeda dan kemungkinan alternatif jawaban terhadap setiap

persoalan.

Kelima, selama proses pembelajaran hendaknya dihindari perilaku

judgmental dari guru, sebaliknya perlu dikembangkan sikap apresiatif.

Evaluasi terhadap anak hendaknya dikembangkan standar yang didasarkan

pada tugas dan tujuan serta kemampuan anak, sehingga evaluasi lebih

bersifat sangat personal. Dengan kata lain untuk kegiatan evaluasi perlu

Page 30: Cerdas&Kreatif

dihindari adanya standar eksternal yang sepenuhnya ditentukan oleh

subyektivitas guru.

Keenam, pengalaman belajar yang diberikan kepada anak hendaknya

memungkinkan anak bebas melakukan eksperimen, jika perlu anak dapat

melakukan kegiatan eksperimen berkali sesuai dengan kebutuhan. Adalah

sangat terpuji, sekirannya selalu diusahakan dapat memberikan

kelonggaran kepada para siswa untuk menemukan kesalahan, dan mereka

dapat belajar dari kesalahan, sehingga mereka dapat menemukan solusinya

sendiri.

Ketujuh kegiatan pembelajaran yang positif diharapkan dapat

memberikan kesempatan yang banyak bagi para siswa untuk menentukan

pilihannya sendiri selanjutnya mereka dapat merumuskannya secara

menarik dan menyenangkan sehingga alternatif solusi itu tidak hanya

menyenangkan dirinya saja, melainkan juga bermanfaat bagi orang lain.

Kedelapan, selama proses pembelajaran, anak-anak perlu sekali

dihadapkan kepada persoalan riil dalam kehidupan sehari-hari. Adapun

hasil pemecahan masalah tersebut dapat di-sharing-kan kepada orang lain,

terutama produk-produk kreatif.

Akhirnya, pengalaman belajar yang benar-benar perlu mendapat

penekanan adalah pengalaman belajar yang mampu menghantarkan para

siswa untuk memecahkan suatu masalah yang dapat mengarahkan mereka

mengidentifikasikan tantangan-tantangan baru.

Selain daripada itu selama kegiatan pembelajaran, guru diharapkan

dapat menyajikan materi pembelajaran, menyiapkan berbagai media. serta

menggunakan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan posisi anak

didik memungkinkan sebagai subyek, daripada obyek pembelajaran, serta

mengadakan evaluasi yang tepat, sehingga semuanya mampu mendukung

pengembangan kreativitas anak.

Page 31: Cerdas&Kreatif