cermin muka hukum di negara sejuta tikus

9
NAMA : MERRYSA ARBET NIM / BP : 83673/2007 KODE SEKSI : 63027 CERMIN MUKA HUKUM DI NEGARA SEJUTA “TIKUS” Mafia peradilan, kriminalisasi KPK dan terakhir slogan yang paling heboh saat ini adalah pertarungan besar antara cicak dan buaya. Kata – kata ini tak hentinya kita dengar dari berbagai media massa , televisi , radio, Koran bahkan situs jejaring sosial sekaliber Facebook dan Twitter. Masyarakat Indonesia pun menjadikan informasi ini layaknya sebuah bom atom yang siap meledak pada waktunya. Tak di pungkiri ketenaran epik berjudul Cicak versus Buaya hampir mampu menyaingi kemashuran berbagai box office Indonesia. Tak pelak media masssa mampu menyuguhkan secara gamblang berbagai info terbaru mengggenai perkembangan kasus ini. 1

Upload: karolina-hutagalung

Post on 21-Nov-2015

216 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

CERITA BERMANFAAT YANG LAYAK UNTUK DIBACA

TRANSCRIPT

NAMA

: MERRYSA ARBETNIM / BP

: 83673/2007

KODE SEKSI: 63027

CERMIN MUKA HUKUM DI NEGARA SEJUTA TIKUSMafia peradilan, kriminalisasi KPK dan terakhir slogan yang paling heboh saat ini adalah pertarungan besar antara cicak dan buaya. Kata kata ini tak hentinya kita dengar dari berbagai media massa , televisi , radio, Koran bahkan situs jejaring sosial sekaliber Facebook dan Twitter. Masyarakat Indonesia pun menjadikan informasi ini layaknya sebuah bom atom yang siap meledak pada waktunya. Tak di pungkiri ketenaran epik berjudul Cicak versus Buaya hampir mampu menyaingi kemashuran berbagai box office Indonesia. Tak pelak media masssa mampu menyuguhkan secara gamblang berbagai info terbaru mengggenai perkembangan kasus ini.

Beberapa bula terakhir, masyarakat Indonesia disibukkan dengan berbagai pemberitaan tentang kasus ini. Bagaiman kisah ini bergulir?. Sebenarnya kisah ini di mulai dengan adanya pengakuan fantasis dari ketua aktif KPK, Antazari Azhar. Sang ketua menyatakan bahwa semua anggota KPK menerima suap dari Angoro Widjoyo, yang pada saat itu masih dalam staus pencekalan oleh pihak kepolisian. Di tambah lagi kasus ini pun menyeret salah satu petinggi kepolisian, Susno Djuadji. Susno merasa penyadapan terhadap teleponnya sangatlah tidak manusiawi, dan disinilah pertama kali di publikasikan jargon cicak versus buaya. Buntut dari semua pelaporan ini adalah pemanggilan para petinggi KPK, Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah.

Saat inilah kredebilitas para pimpinan hukum Indonesia di pertanyakan, polisi dengan tegas menyatakan bahwa Chandra- Hamzah berstatus tahanan, tanpa cukup bukti. Pada saat bersamaan pimpinan mereka pun mengalami hal yang sama , dan mereka berusaha menutupi dari publik, semua skandal dan skenario telah terlaksana. Perseteruan sengit ini pun menyebabkan reaksi positif dari presiden Republik Indonesia. Beliau membentuk sebuah tim yang dinamakan Tim 8, yang terdiri dari 8 ahli hukum yang telah di akui kredebilitasnya. Tim ini di ketuai oleh Adnan Buyung Nasution. Tugas utama kelompok ini adalah memverivikasi semua fakta sejak awal kasus ini bergulir. Pada saat ini ketegangan masih saja berlanjut, dan fakta terbaru terus saja bergulir tanpa tau kebenarannya.Dan akhir- akhir ini mahkamah agung memutar percakapan beberapa orang dengan Anggoro Widjoyo yang berisi tentang skenario penagkapan Bibit dan Hamzah, ini mempermulus kerja tim 8 sebagai Tim Pencari Fakta, sedikit titik terang telah di raih, jalan menuju peradilan yang bersih telah menampakan hasilnya. Saat inilah keputusan tegas seorang presiden sangat di butuhkan.

Dan hasil dari keputusan presiden sebagai mana di kutip dalam sebuah blog bapak Ainut Tijar, solusi terbaik dari masalah hukum yang membelit Bibit dan Chandra adalah tidak membawa masalah ini ke arena peradilan, dengan tetap mempertimbangkan azas keadilan, namun segera melakukan tindakan tindakan korektif dan perbaikan untuk 3 lembaga konstitusi tersebut polri, kejaksaan, dan KPK.Dari pernyataan presiden tertanggal 23 November 2009, kita menyadari bahwa presiden, sang juru kunci dalam kasus ini pun tidak mampu mengeluarkan kata kata mujarab serta tindakan tegas dalam hal penanganan kasus mafia hukum ini. Presiden SBY hanya mengusahakan jalan damai sebagai solusi terbaik dalam pemecahan maslah ini. Lagi- lagi masyarakat Indonesia tidak mendapatkan ketegasan dari pucuk pimpinan mereka sendiri. Ada sedikit sifat ragu dan kehati hatian dari beberapa pernyataan yang disampaikan oleh SBY pada pidato nya kemarin, seharusnya sebagai seorang mantan prajurit TNI, SBY hendaknya tetap teguh pada keadilan, dan tegas terhadap keputusannya sendiri. Tapi pada kenyataannya SBY di nilai penakut untuk bertindak ekstrim, sebagai seorang no.1 di Republik Indonesia. SBY dinilai NATO ( no action and talk only ). Ini pula yang membuat berbagai perang argument di kalangan masyarakat, serta lembaga lembaga tinggi di Indonesia, karena nahkoda kapal ini terlalu penakut untuk mengambil keputusan.Hal ini menimbulkan kegeraman masyarakat dalam melihat perkembangan kasus ini, ditambah lagi ketidak tegasan polisi serta presiden dalam memproses kasus mafia peradilan. Ketidaktegasan dalam menangani kasus ini, menyiratkan adanya negosiasi tingkat tinggi yang sangat mungkin melibatkan aspek politik elit dalam perekayasaan kasus Bibit Hamzah.Menilik pada kasus ini, kuat dugaan bahwa adanya tindakan sengaja polisi dalam rangka mengulur ulur waktu dengan tujuan utama untuk mengukur peta kekuatan suhu politik dan tuntunan keadilan politik, dalam kalkulasi inilah kita mempertaruhkan nilai sebuah keadilan, yang sangat dirasakan masih terbilang mahal untuk sebuah Negara berasaskan demokrasi.Tuntutan kerja TPF (tim delapan) atau dalam epos ini bisa kita analogikan sebagai pandawa 8, akan menjadi dasar perhatian publik, apakah kasus ini akan segera diselesaikan tuntas pada tingkat tinggi atau hanya sebatas penyelesain ecek - ecek di level menegah.

Disinilah kinerja para TPF di uji, seluruh momentum ini akan menjadi bahan ujian untuk sebuah proyek reformasi kita. Tuntutan keadilan publik adalah kewajiban moral bagi para TPF, artinya protes rakyat hendaknya di jadikan oleh TPF sebagai dukungan moril penuh bagi mereka untuk penyelesaian kasus ini. Keadialn hakiki yang di cari tidak akan di temukan melalui transaksi keuangan, namun hanya bisa di cari dengan kekuatan hati nurani yang memungkinkan lahirnya Indonesia bersih, Indonesia bermartabat dalam pergaulan keadilan dunia.Yang menjadi problem politik bagi kita adalah, bagaimana memepertahankan sebuah momentum keadilan ini serta mampu untuk mengubahnya menjadi modal politik untuk mendorong reformasi birokrasi dan peradilan. Artinya bangsa ini dalam keadaan siaga satu dalam bidang hukum, tinggal menunggu alarm itu berbunyi dan pastinya kepanikan akan melanda kita semua jika pegangan akan keadilan dan nurani luhur tidak ada dalam genggaman.Pertanyaan besar adalah apa motif dari semua alur serial KPK layaknya sebuah sinetron ini? dan Siapakah yang menjadi penanggung jawab dari cerita epos ini? Apa benar Negara hukum bernama Indonesia bebas dari yang namaya politik uang dan politik pembualan?

Pertanyaan besar ada dalam benak kita para mahasiswa , dan para rakyat Indonesia. Kitalah para pencari fakta sebenarnya. Yang tidak kalah pentingnya adalah pengetahuan tentang kronologi kasus ini, jangan buat rakyat ini bingung dengan berbagai peran dan lakon yang dimainkan elit politik kita. Jangan jadikan rakyat sebagai korban dari pertarungan mafia mafia pembual, cukuplah dengan penderitaan mereka dengan kekurangan pangan dan minim uang, telah menjadikan mereka sebagai bangsa yang kebal dari ganasnya dunia peradilan.KASUS CICAK VERSUS BUAYA DALAM PARAMATER DEGRADASI MORAL

Membahas moralitas dalam kasus cicak versus buaya, sama halnya membuka kudis - kudis hukum peadilan Indonesia. Kasus ini hanya segelintir bakteri peradilan yang mampu di lihat oleh mikroskop masyarakat Indonesia, dan di pastikan masih banyak kasus kasus serupa yang belum menguak di permukaan. Tinggal menunggu waktu, semua kebobrokan itu akan terkuak.Kasus ini penuh dengan intrik intrik kotor yang di protektif secara higienis oleh kekuasan politik elit, oleh karena itu perguliran kasus ini amat sangat membingungkan karena fakta yang ada sengaja ditutupi demi menghindari diri pencemaran nama baik bagi kaum penguasa.Banyak cacat moral yang ditemui dalam kasus ini, yang paling merajai adalah, mulai adanya reduksi moral kejujuran dalam dunia peradilan Indonesia. Kejujuran adalah sembako langka dalam kasus ini. Mereka tidak lagi mengagungkan kejujuran tapi bagaimana cara untuk bertahan dalam gelimang harta dari sebuah dinasti bernama KPK, kejaksaan agung serta Polri.Selain itu politik - politk kotor lainnya yang menyeruak adalah mulai melemahnya kesadaran mereka akan tanggung jawab sebagia wakil rakyat, yang telah di amanahkan pada saat mereka berkoar menyampaikan bualan bualan politis. Situasi ini secara tidak langsung telah memberi pelajaran buruk kepada pola pikir masyarakat, bahwa kewajiban tak lagi di anggap sebagai hal yang mutlak di kerjakan, tapi kewajiban adalah hal mempermulus untuk menuntut semaksimal mungkin hak.

Sudah saatnya pelajaran akan moral dijadikan sebagai prasyarat layak atau tidaknya seorang pemegang amanah rakyat. Jangan sampai potret dunia hukum Indonesia seperti saat ini terus terjadi pada kepemimpinan berikutnya.

Perlu adanya cermin muka dalam hal penuntasan kasus mafia peradilan ini, cermin besar yang mampu merefleksikan wujud nyata dari prilaku manusia- manusia penguasa negri. Agar mereka mampu secara professional merevisi tindak tanduk yang mereka lakukan, dan diharapkan dengan segera bisa menjadi tolak ukur untuk tidak berbuat hal bobrok untuk kemudian harinya.

KPK sebagai poin of view dari masalah ini diharapkan untuk masa mendatng tidaklah lagi menjadi imun bagi semua institusi pemerintahan Indonesia. Cukuplah hanya dengan porsi awalnya sebagai institusi penagkap para tikus tikus berdasi, tak lebih dari hal itu.

Diharapkan untuk masa mendatang pemilihan pucuk pimpinan KPK berdasarkan integritas dan moral nya dalam mengayuh nahkoda hukum. Semoga bisa menutupi cacat hukum dunia peradilan Indonesia.3